bab 4 gambaran umum lingkungan masyarakat … · karakteristik budaya sunda pada abad ke-18 (asep,...
TRANSCRIPT
35
BAB 4
GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN MASYARAKAT ADAT
KASEPUHAN SINAR RESMI
4.1 Letak Geografis
Komunitas adat Banten Kidul adalah suatu komunitas yang dalam
kesehariannya menjalankan sosio-budaya tradisional yang mengacu pada
karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip
Hanafi et al., 2004). Kasepuhan Sinar Resmi merupakan satu dari sebelas
Kasepuhan yang berada di Wilayah Banten Kidul (Banten Selatan) dan
merupakan bagian dari komunitas adat Banten Kidul. Wilayah Kasepuhan Sinar
Resmi juga berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.
Pusat Kasepuhan ini terletak di Kampung Sinar Resmi, Desa Sirnaresmi,
Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dan memiliki jarak 23 Km
ke Kecamatan Cisolok dan 33 Km ke Kabupaten Sukabumi. Kampung Sinar
Resmi berada pada ketinggian 600-1200 meter di atas permukaan laut dan berada
di lereng selatan Gunung Halimun. Adapun batas wilayah Kampung Sinar Resmi
adalah sebagai berikut:
Barat : Desa Cicadas
Timur : Kampung Cikaret
Utara : Sungai Cibareno
Selatan : Kampung Cibombong
Menurut Ketua Adat, Abah ASN (44 tahun) batas-batas Kasepuhan sulit
ditentukan secara administratif, karena tersebarnya masyarakat adat Kasepuhan
(incu putu) di wilayah Gunung Halimun. Bahkan masih menurut Abah, seluruh
kawasan Gunung Halimun adalah wilayah adat Komunitas Adat Banten Kidul,
dimana Kasepuhan Sinar Resmi adalah salah satu bagiannya.
Jumlah penduduk Desa Sirna Resmi berdasarkan data monografi desa
tahun 2010 terdiri dari 1537 kk, dengan jumlah penduduk laki-laki 2619 jiwa dan
jumlah penduduk perempuan 2694 jiwa. Namun, untuk jumlah penduduk
Kasepuhan Sinar Resmi yang tinggal di Kampung Sinar Resmi sendiri, menurut
36
Abah terdiri dari 76 kk. Desa Sirna Resmi memiliki luas 4917 hektar dan
memiliki luas hutan sebesar 2950 hektar, dan lahan pertanian 275 hektar.
4.2 Kondisi Sosial-Budaya
4.2.1 Kepercayaan atau Religi
Masyarakat adat Banten Kidul adalah suatu komunitas yang dalam
kesehariannya menjalankan sosio-budaya tradisional yang mengacu pada
karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip
Hanafi et al., 2004). Hasil studi literatur sejarah yang dilakukan Hanafi et al.
(2004), diketahui bahwa nenek moyang masyarakat adat Banten Kidul yang
berada di kawasan Gunung Halimun terdiri atas tiga komunitas, yaitu komunitas
sisa pasukan Kerajaan Sunda Padjajaran yang lari bersembunyi, komunitas sisa
pasukan Kerajaan Mataram, dan komunitas yang berasal dari dinamika konflik
yang terjadi di Kesultanan Banten (termasuk para buruh perkebunan yang
didatangkan oleh VOC dari seluruh Nusantara).
Dilihat dari segi religi, seluruh masyarakat adat Kasepuhan mengaku
beragama Islam, meskipun dalam beberapa hal masih mempercayai hal-hal yang
bersifat ghaib (Animisme). Menurut tokoh adat kampung, Wa UGS (64 tahun)
mereka mengikuti tata cara ibadah yang dilakukan oleh Rasul, dengan istilah
Slampangan dika Gusti Rasul.
“kami beragama Islam, dan kami juga mempercayai Nabi Muhammad sebagai Rasul kami. Tata cara ibadah kami mengikuti ajaran Nabi, yang disebut dengan Slampangan dika Gusti Rasul” Menurut Rosdiana (1994) sebagaimana dikutip oleh Kurniawan (2002)
masyarakat adat Kasepuhan mempunyai kepercayaan yang kuat terhadap
kekuatan alam yang dikuasai oleh para leluhur mereka. Hal ini ditunjukkan
dengan masih adanya ritual-ritual adat yang diwariskan leluhur dalam setiap
kegiatan kemasyarakatan, seperti membakar kemenyan dengan diiringi dengan
mantera-mantera yang dilafalkan dalam bahasa Sunda yang ditujukan untuk Gusti
Nu Kuasa (Tuhan Yang Maha Kuasa) dan para leluhur. Bagi mereka, adat dan
kepercayaan itu merupakan pedoman hidup utama dalam menjalankan kehidupan.
37
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat adat Kasepuhan mempunyai
persepsi bahwa alam semesta memiliki keteraturan dan keseimbangan.
Terganggunya keteraturan dan keseimbangan berbagai komponen fisik maupun
non fisik yang ada di bumi, dapat menimbulkan malapetaka bagi masyarakat.
Oleh karena itu, masyarakat adat Kasepuhan masih memegang teguh aturan-
aturan yang diwariskan oleh para leluhurnya.
4.2.2 Bahasa Sehari-hari
Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi sebagian besar merupakan suku
Sunda dan ada beberapa yang merupakan pendatang. Masyarakat asli Kasepuhan
merupakan keturunan dari para leluhurnya yang terus mengabdi pada pimpinan
Adat mereka. Masyarakat pendatang yang tinggal di Kampung Sinar Resmi ada
yang berkomitmen untuk mengabdi pada pimpinan Adat, ada pula yang mengabdi
kepada Abah di Kasepuhan lainnya.
Menurut sejarah, masyarakat adat Kasepuhan merupakan keturunan dari
para sisa pasukan Kerajaan Padjajaran yang melarikan diri ke wilayah Gunung
Halimun ketika terjadi penyerangan oleh Kerajaan Islam. Oleh sebab itu,
masyarakat adat Kasepuhan mewariskan adat dan budaya dari Kerajaan
Padjajaran, salah satunya adalah Bahasa Sunda. Bahasa Sunda digunakan dalam
percakapan sehari-hari masyarakatnya. Selain itu, bahasa Sunda pun digunakan
dalam berkomunikasi dengan para leluhur dan dalam ritual-ritual adat.
4.2.3 Mata Pencaharian Masyarakat
Masyarakat adat kasepuhan Sinar Resmi berupaya untuk hidup mandiri
dan lepas dari ketergantungan hidup pada pihak lain. Namun, mereka tidak
melupakan nilai kekeluargaan dan sifat kegotong-royongan. Walaupun pada
umumnya masyarakat bekerja sebagai petani dan peladang, tidak pernah terdengar
kabar adanya krisis pangan atupun warga yang kekurangan pangan. Bahkan,
lumbung-lumbung padi pun tidak pernah kosong sepanjang tahun, sampai panen
padi berikutnya.
Pertanian ladang (huma) dan sawah masyarakat adat Kasepuhan hanya
dilakukan setahun sekali pada bulan September hingga bulan Oktober. Hal ini
didasarkan pada kepercayaan masyarakat yang diwariskan oleh leluhur mereka,
38
yang menganggap bahwa tidak akan berhasil jika menanam padi lebih dari satu
kali dalam setahun. Selain itu, anggapan ini didasarkan pada prinsip Ibu Bumi
yang menganggap bumi (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya seorang ibu
hanya dapat melahirkan setahun sekali. Terdapat 46 jenis padi yang dimiliki
Kasepuhan Sinar Resmi. Ketua Adat, Abah ASN (44 tahun) mengharapkan warga
dapat menanam ke-46 jenis padi tersebut di tiap petak sawah.
“Dahuu, di ladang dan sawah milik masyarakat ditanami kurang lebih 100 spesies padi. Namun, saat ini, hanya bersisa 46 spesies. Abah menginginkan warga dapat menanam 46 spesies padi tersebut, di setiap petak ladang. Jadi, warga dapat memiliki 46 petak ladangdan 46 lumbung padi. Namun, saat ini, hal tersebut belum dapat terlaksana.” Setiap kali panen, warga memisahkan dua pocong padi untuk diserahkan
pada sesepuh girang sebagai tatali untuk kemudian disimpan di lumbung komunal
yang disebut Leuit Si Jimat. Padi ini disimpan sebagai cadangan makanan bila
musim paceklik datang, dan bisa dipinjam kepada warga yang kekurangan beras,
dan dikembalikan dengan jumlah yang sama. Leuit Si Jimat selain berfungsi
sebagai tempat menyimpan cadangan padi warga, lumbung ini juga digunakan
dalam upacara adat Seren Taun setiap tahunnya sebagai tempat penyimpanan
indung pare (Ibu padi).
Peraturan adat melarang masyarakat untuk memperjualbelikan beras
sebagai makanan pokok, dan hasil olahan lainnya. Peraturan adat menganalogikan
padi sebagai seorang wanita, yang apabila telah dikupas kulit padinya maka akan
terlihat seperti seorang wanita yang tidak berpakaian. Jika beras diperjualbelikan,
maka akan sama dengan memperjualbelikan harga diri seorang perempuan.
Seperti pernyataan yang disebut oleh tokoh adat, Wa UGS (64 tahun).
“Secara filosofis, beras dianalogikan sebagai seorang wanita yang tidak memakai pakaian, maka tidak pantas ketika kami menjual wanita yang tidak berpakaian, sedangkan wanita sangat dihormati terkait dengan istilah Ibu Bumi.” Walaupun masyarakat dilarang untuk memperjualbelikan beras dan hasil
olahannya, masyarakat masih diperbolehkan untuk menjual padi. Namun ada
ritual khusus yang harus dijalankan, dan dengan syarat kebutuhan keluarga sudah
39
terpenuhi sampai panen padi berikutnya. Seperti yang dipaparkan oleh Ketua
Adat, Abah ASN (44 tahun).
“Beras tabu untuk diperjualbelikan, dan ini sudah ada di dalam peraturan adat. Kecuali, ada keluarga yang memiliki lumbung padi lebih dari satu, dan kebutuhan keluarganya telah tercukupi hingga panen berikutnya, maka keluarga tersebut dapat menjual padi, bukan beras. Keluarga tersebut harus melakukan ritual khusus jika ingin menjual padi, dan tidak dapat dilakukan secara terus menerus.” Masyarakat adat Kasepuhan, selain hidup dari pertanian padi, mereka juga
hidup dari berkebun dan berternak. Talun atau kebun warga ditanami oleh
tanaman pisang, jagung, kacang, sayur-sayuran dan tanaman buah-buahan. Selain
itu, warga juga menanan pohon kayu-kayuan seperti mahoni dan albasia untuk
keperluan kayu bakar dan membuat rumah, leuit (lumbung padi), dan sarana
ibadah. Hasil kebun yang berupa buah-buahan dan sayuran dapat dijual untuk
memenuhi kebutuhan lainnya, seperti pakaian. Namun, untuk pohon kayu-kayuan
tidak boleh dijual, hanya untuk kebutuhan kayu bakar dan pembangunan sarana
dan prasarana seperti membangun rumah, leuit (lumbung padi), dan sarana ibadah.
Selain berkebun, masyarakat juga beternak ayam. Hampir semua warga memiliki
kBapak/Ibung ayam di depan rumahnya.
4.2.4 Nilai-nilai Tradisional
Kearifan lokal adalah pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat
adat Kasepuhan khususnya secara turun temurun dalam pengelolaan lingkungan.
Kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat Kasepuhan terbagi dalam
pengelolaan pertanian, pengelolaan hutan, dan pepatah-pepatah lokal yang terkait
dalam pengelolaan pertanian dan hutan.
Pengelolaan pertanian masyarakat adat Kasepuhan terbagi dalam tiga
pengelolaan, yaitu pertanian ladang (huma), sawah dan kebun (talun). Telah
disinggung dalam sub-bab sebelumnya, bahwa pertanian ladang dan sawah hanya
dilakukan sekali dalam setahun. Hal ini didasarkan pada kepercayaan masyarakat
yang menganggap bahwa tidak akan berhasil jika menanam padi lebih dari satu
kali dalam setahun. Selain itu, ini juga didasarkan pada prinsip Ibu Bumi yang
menganggap bumi (tanah) sebagai Ibu dan pada hakikatnya seorang ibu hanya
40
dapat melahirkan setahun sekali. Beras sebagai komoditas utama pertanian sawah
dan ladang tidak boleh diperjualbelikan.
Kegiatan pertanian ladang berbeda dengan kegiatan pertanian di sawah.
Masing-masing pertanian memiliki ritual-ritual adat tersendiri dalam
pelakasaannya. Berikut adalah tahap-tahap kegiatan yang dilakukan dalam
pertanian ladang.
Tabel-3 Tahap-tahap Kegiatan Pertanian Ladang
Kegiatan Bulan (Sistem Kalender Islam)
Pelaksana *)
Narawas (menBapak/Ibui lokasi yang akan dijadikan lahan huma)
Jumadil awal Lk
Nyacar (membersihkan lahan, biasanya selama 1 minggu setelah itu di keringkan selama 15 hari – 1 bulan)
Jumadil awal Lk, Pr, P
Ngahuru (membakar semak kering untuk dijadikan pupuk)
Jumadil akhir Lk
Ngerukan (mengumpulkan sisa-sisa yang belum terbakar )
Jumadil akhir Lk, Pr, P
Ngaduruk (membakar sisa-sisanya)
Jumadil akhir Lk, Pr
Nyara (meremahkan tanah)
Jumadil akhir
Lk, Pr, P
Ngaseuk (penanaman bibit padi dengan menggunakan tongkat atau aseuk)
Rajab Lk, Pr, P
Ngored (menyiangi rumput)
Ruwah Lk, Pr, P
Mipit/ Dibuat (memotong padi/ panen)
Haji Lk, Pr
Ngadamel lantayan (membuat tempat menjemur padi)
Haji Lk
Ngalantaykeun (proses menjemur padi pada lantayan)
Haji Lk, Pr
Mocong (mengikat padi yang kering)
Muharam Lk, Pr, P
Ngunjal (diangkut ke lumbung padi)
Muharam Lk
Ngaleuitkeun (memasukkan ke lumbung)
Muharam Lk, Pr
Ngeuleupkeun (dirapikan)
Muharam Lk
Ngadieukeun indung pare (menyimpan padi di dalam leuit)
Muharam Lk
Selametan (ampih pare)
Muharam Lk, Pr, P
Keterangan: Lk = Laki-laki, Pr = Perempuan, dan P = Pemuda
Sumber: diolah dari data primer, (2010)
41
Dari 17 prosesi di atas, ada enam kegiatan utama yang harus dilakukan
antara lain:
• Ngaseuk merupakan kegiatan menanam padi dengan memasukkan benih
ke dalam lubang dengan menggunakan aseuk (tongkat).
• Beberes Mager: ritual untuk menjaga padi dari serangan hama. Kegiatan
ini dilakukan oleh pemburu di ladang Abah (ladang milik Kasepuhan)
dengan membaca doa. Kegiatan ini dilaksanakan sekitar bulan Muharam.
• Ngarawunan : ritual untuk meminta isi padi agar tumbuh dengan subur,
sempurna dan tidak ada gangguan. Kegiatan ini dilakukan oleh semua incu
putu untuk meminta doa kepada abah melalui bagian pamakayaan.
Ngasrawunan dilakukan setelah padi berumur tiga bulan sampai empat
bulan.
• Mipit: kegiatan memanen padi yang dilakukan lebih dulu oleh Abah
sebagai pertBapak/Ibu masuknya musim panen.
• Nutu: kegiatan menumbuk padi pertama hasil panen.
• Nganyaran: memasak nasi menggunakan padi hasil panen pertama, dua
bulan setelah masa panen.
Adapun tahap-tahap pertanian sawah yang dilakukan oleh masyarakat
kampung mulai dari menanam padi hingga memanen padi adalah sebagai berikut:
1. Macul (nyangkul), yaitu kegiatan menyangkul tanah yang akan ditanami
sawah, meliputi macul badag dan macul alus.
2. Ngalur Garu, yaitu membajak sawah dengan menggunakan alat bantu garu
dan hewan ternak kerbau.
3. Ngoyos, yaitu membersihkan tanaman pengganggu seperti rumput liar yang
menghambat pertumbuhan tanaman padi.
4. Patangkeun, yaitu meratakan seluruh permukaan tanah di sawah yang belum
rata.
5. Sebar, yaitu menumbuhkan benih padi (persemaian) pada tahap pembibitan
awal.
6. Tandur, yaitu menanam bibit padi yang sudah tumbuh setelah sebar.
42
7. Ngabungkil, yaitu memberikan sedikit pupuk kimia pada tanaman (TSP dan
urea) agar tanaman padi tumbuh dengan baik.
8. Ngoyos Kadua, yaitu membersihkan kembali tanaman pengganggu seperti
rumput liar yang dapat menghambat pertumbuhan tanaman padi.
9. Babad, yaitu membersihkan rumput atau tanaman pengganggu yang terdapat
di pematang sawah.
10. Nunggu Dibuat, yaitu menjaga padi yang sudah mulai tumbuh dari gangguan,
seperti burung-burung pemakan padi.
11. Dibuat, yaitu panen tanaman padi yang sudah matang.
12. Ngalantai, yaitu menjemur padi yang sudah dipanen hingga kering.
13. Mocong, yaitu mengikat padi dari jemuran sebelum dimasukkan ke dalam
leuit (lumbung).
14. Asup Leuit, yaitu memasukkan padi yang sudah kering ke dalam leuit
(lumbung).
15. Nganyaran, yaitu mengadakan acara selamatan untuk padi yang baru dipanen
dan memasak padi menjadi nasi yang panen pada tahun tersebut.
Penentuan waktu untuk mulai menanam padi ditentukan dengan sistem
perbintangan yang dipercayai oleh masyarakat adat Kasepuhan. Ada dua bintang
yang diyakini sebagai permulaan penanaman ketika keduanya telah muncul, yaitu
bintang Kerti dan bintang Kidang.
Bintang Kerti muncul sekitar bulan September hingga bulan Oktober pada
pukul 00.00 WIB. Ketika bintang Kerti muncul atau disebut sebagai Tanggal
Kerti Turun Besi, menBapak/Ibukan bahwa masyarakat sudah memulai untuk
membuat perkakas-perkakas pertanian. Bintang Kidang muncul sekitar tiga
hingga empat minggu kemudian yang menBapak/Ibukan sudah saatnya untuk
menggunakan perkakas pertanian yang telah dibuat. Sebutannya adalah Turun
Kujang. Artinya masyarakat sudah mulai untuk mengolah lahan untuk ditanami
padi dengan menggunakan perkakas-perkakas pertanian tradisional, seperti bajak
dan cangkul. Enam bulan kemudian bintang Kidang tenggelam, yang disebut
dengan Turun Kungkang. Artinya, sudah saatnya padi dipanen, karena saatnya
hama-hama muncul. Ketika semua padi telah dipanen, muncul lagi tunas baru
43
pada bekas tanaman padi tersebut. Tunas ini merupakan bagian untuk hama-hama
tersebut, yang disebut dengan istilah Turiang.
Setelah padi dipanen, padi dijemur (ngalantai) dan diikat dengan tali-tali
pocong (mocong). Satu ikatan pocong padi dapat menghasilkan tiga hingga empat
liter beras. Kemudian padi yang telah diikat tadi dimasukkan ke dalam lumbung
(leuit). Setelah itu, dilakukan kegiatan syukuran dengan memasak beras pertama
dari hasil panen tahun tersebut yang disebut dengan nganyaran.
Ritual selanjutnya dalam kegiatan pertanian adalah upacara pesta panen
atau upacara Seren Taun. Upacara ini dilakukan untuk mensyukuri hasil panen
tahun itu dan sebagai hiburan untuk masyarakat yang telah bekerja selama satu
tahun dalam pertanian. Rangkaian acara dimulai setelah panen dilakukan, dengan
melakukan Serah Ponggokan. Para Kolot Lembur (kepala kampung/dusun)
berkumpul untuk mendiskusikan besarnya biaya yang ditanggung per orang untuk
biaya Seren Taun. Kemudian masyarakat menyerahkan besarnya biaya yang telah
disepakati kepada Abah yang diwakilkan pada Kolot Lembur di setiap
kampung/dusun. Abah sebagai pimpinan adat melakukan ziarah ke makam-
makam leluhurnya, mulai dari makam Abah sebelumnya hingga makam
leluhurnya di Cipatat Bogor. Ziarah ini dilakukan untuk memohon restu kepada
para leluhur, agar pelaksanaan Seren Taun dapat berjalan dengan lancar.
Kearifan masyarakat adat Kasepuhan dalam pengelolaan hutan
diwujudkan dalam pembagian hutan menjadi tiga bagian, Leuweung tutupan,
Leuweung titipan, dan Leuweung Bukaan. Leuweung tutupan adalah kawasan
hutan alam yang dititipkan oleh leluhur untuk generasi mendatang, dan tidak
boleh berubah keutuhannya, yang memiliki keanekaragaman tumbuhan dan satwa
yang tinggi dan termasuk dalam kawasan lindung karena fungsinya sebagai
daerah resapan air (Leuweung sirah cai) dan pusat keseimbangan ekosistem.
Kawasan ini tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena menurut adat manusia
bukan termasuk makhluk hidup yang tinggal di hutan. Leuweung titipan adalah
kawasan hutan yang boleh dimasuki oleh manusia atas seizin Abah, dan dengan
tujuan untuk pengambilan hasil hutan kayu untuk kayu bakar dan membuat
bangunan dan hasil hutan non-kayu berupa tanaman obat-obatan, madu hutan,
44
rotan dan sebagainya. Jika ingin mengambil hasil hutan kayu dari hutan tutupan,
masyarakat harus menanam kembali pohon sebagai pengganti pohon yang
ditebangnya sesuai dengan jumlah pohon yang ditebang. Leuweung Bukaan
adalah kawasan hutan yang telah dibuka sejak lama secara turun temurun dan
digunakan untuk lahan garapan masyarakat, baik berupa ladang (huma), sawah,
maupun talun (kebun). Lahan garapan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan
pangan dan papan (kayu) masyarakat adat. Selain itu, adapula leuweung awisan
yang dipersiapkan untuk lokasi perpindahan pusat Kasepuhan yang merupakan
usaha untuk mendekati lebak cawane (tujuan akhir perpidahan Kasepuhan) yang
didasarkan pada petunjuk yang berkaitan dengan perubahan penting (uga) yang
diperkirakan terletak di antara Gunung Bengbreng, Beser, Suren, Talaga, Herang,
Halimun, Pangkulahan, Putri, Kasur, Salimbar, Bancet, Panyugihan, dan Surandil.
Selain ritual-ritual dalam pengelolaan pertanian dan hutan, masyarakat
adat Kasepuhan pun memiliki pepatah-pepatah lokal sebagai pedoman dalam
menjalankan kehidupannya. Pepatah-pepatah lokal tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Tilu Sapamulu, Dua Sakarupa, Nu hiji Eta-eta Keneh
Basis dari hukum adat Kasepuhan Sinar Resmi adalah filosofi hidup
mereka yang berbasis pada tiga tiang (Tilu Sapamulu), yaitu Tekad, Ucap, dan
Lampah, yang diartikan sebagai tekad, perkataan dan perilaku. Masyarakat
Kasepuhan harus memberikan perhatian besar kepada ketiga prinsip tersebut dan
menggunakannya sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan baik tingkat
individu maupun komunitas.
Dalam tingkat individu, Tekad, Ucap, dan Lampah digunakan dalam
perkataan dan perbuatan: satu kata dan perbuatan harus konsisten dengan niat
yang baik. Dalam level komunitas, komunitas (Buhun), harus serasi dengan
pemerintah (Nagara) sebagai penguasa komunitas, dan adat kampung (Syara).
Pada level lainnya, komunitas dan sistem pemerintahan harus menghormati
kehidupan masyarakat. Kasepuhan, urusan pemerintah dan komunitas harus
memperhitungkan ruh (kehidupan komunitas), raga (sosial-politik) dan norma
adat (Papakean). Jika hal ini diatur tanpa memperhitungkan komunitas (Buhun),
45
akan seperti orang yang berpakaian lengkap namun tidak memiliki ruh seperti
mayat. Jika hanya memperhitungkan raga dan komunitas (Buhun), akan
menghasilkan komunitas tanpa aturan, seperti manusia yang tidak berpakaian.
2. Ibu bumi, bapak langit, tanah ratu
Bumi (tanah) dianalogikan sebagai ibu yang dapat melahirkan sebuah
kehidupan (makanan untuk hidup manusia). Langit dianalogikan sebagai bapak
yang dapat menurunkan hujan, dimana jika hujan turun ke bumi, maka akan
menumbuhkan kehidupan baru.
Seorang ibu yang memiliki rambut yang indah akan membuat bapak
tertarik dan mencumbui ibu untuk menghasilkan keturunan. Hal ini memiliki
makna bahwa sebagai bumi (tanah) yang dianalogikan sebagai ibu harus memiliki
banyak pepohonan yang dianalogikan dengan rambut yang indah, agar menarik
bapak yang menyimbolkan langit untuk menurunkan hujan agar dapat
memberikan penghidupan kepada manusia.
4.2.5 Kelembagaan Adat
Kasepuhan Sinar Resmi dipimpin oleh seorang Abah, yang bernama Abah
ASN. Peranan seorang Abah, sangatlah penting karena selain pimpinan adat,
beliau juga merupakan junjungan masyarakat Kasepuhan, sehingga
keberadaannya sangat dihormati. Tidak sembarang orang mendapatkan posisi
sebagai pemimpin adat. Hanya anak laki-laki keturunan Abah sebelumnya yang
bisa menjadi penerus ayahnya. Itu pun harus berdasarkan wangsit yang diturunkan
oleh karuhun (leluhur) mereka. Jika bukan orang yang mendapatkan wangsit
memaksakan diri menjadi pemimpin adat, maka akan mendapatkan kabendon
(kualat) karena melanggar apa yang telah ditetapkan oleh para karuhun. Kabendon
dapat berupa musibah atau bencana kepada orang yang kena kabendon, seperti
misalnya sakit yang tidak kunjung sembuh. Kabendon dapat hilang ketika orang
tersebut ”turun” dari posisi Abah dan meminta maaf kepada karuhun dengan
ritual-ritual khusus.
46
Masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi mengenal adanya perangkat-
perangkat Kasepuhan yang membantu Abah dalam menjalankan sistem
pemerintahan di Kasepuhan. Perangkat-perangkat tersebut adalah sebagai berikut:
Tabel-4 Perangkat-perangkat Kasepuhan berdasarkan Fungsinya
No. Jabatan Fungsi 1 Kanagaraan
(Kepala urusan luar kampung) Membantu Abah dalam semua permasalahan yang terkait dengan pemerintah. Sebagai penasihat Abah ketika ada isu-isu yang terjadi di komunitas.
2 Syara’ (Kepala urusan agama)
Membantu Abah dalam permasalahan yang terakait dengan hukum adat dan agama.
3 Panghulu (Kepala urusan adat)
Sebagai pemimpin doa dalam ritual-ritual adat. Menyiapkan segala keperluan untuk pemakaman, dan menentukan biaya untuk pemakaman.
4 Tatanen (Pengatur air)
Mengkoordinasi manajemen sawah dan sistem irigasi. Menghukum orang-orang yang ikut campur dalam mensuplai air.
5 Dukun Manusia (Penyembuh orang)
Memimpin ritual-ritual untuk mencegah dan mengobati penyakit. Memberikan obat-obatan dan menentukan biaya untuk pengobatan.
6 Dukun Hewan (Penyembuh hewan)
Mengobati hewan yang sakit.
7 Panyawah (Pengatur urusan sawah)
Mengawasi dan mengurus sawah komunal
8 Paraji (Bidan)
Membantu wanita melahirkan
9 Moro (Pemburu)
Memburu hewan untuk ritual adat mengusir hama yang mengganggu
10 Kemit (Penjaga)
orang yang bertugas menjaga keamanan wilayah tempat tinggal
11 Ganek/Koja (Asisten abah)
Mendampingi abah ketika melakukan perjalanan ke luar kampung
Sumber: diolah dari data primer (2010)
Perangkat-perangkat Kasepuhan bekerja sesuai dengan tugas yang telah
ditetapkan. Posisi-posisi perangkat-perangkat tersebut ditunjuk secara
musyawarah disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh orang yang
ditunjuk dan disetujui oleh Abah sebagai ketua adat.
47
4.2.6 Nilai Hutan bagi Masyarakat
Hutan memiliki arti penting bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Karena masyarakat sekitar hutan memiliki intensitas interaksi yang tinggi
terhadap hutan. Masyarakat sekitar hutan menganggap bahwa hutan adalah tempat
untuk memperoleh hasil hutan atau mendayagunakan hutan dalam rangka
memenuhi kebutuhan konsumsi keluarganya, dan bersifat subsisten. Selain itu,
ada juga masyarakat yang menganggap hutan sebagai tempat yang mengandung
nilai-nilai spiritual yang tinggi dan sebagai tempat makhluk-makhluk gaib berada
sehingga keberadaan hutannya tidak boleh diganggu oleh manusia.
Masyarakat adat Kasepuhan memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap
hutan. Mereka menganggap hutan sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari. Hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat adat Kasepuhan
adalah hutan titipan. Hasil yang dimanfaatkan berupa kayu-kayuan dan bambu
untuk membuat rumah, leuit, sarana ibadah, dan lainnya, nipah dan kirai untuk
membuat atap rumah, buah-buahan, madu hutan, rotan untuk membuat kerajinan-
kerajinan dan peralatan rumah tangga, dan tanaman obat-obatan.
Penggunaan kayu-kayuan dan bambu untuk membuat bangunan termasuk
rumah dan leuit dan penggunaan nipah dan kirai sebagi atap merupakan perintah
karuhun yang tidak boleh dilanggar. Masyarakat adat Kasepuhan tidak boleh
menggunakan bahan tanah dalam mendirikan bangunan. Hal ini diyakini bahwa
sebagai makhluk yang hidup, tidak sepatutnya untuk tinggal di bawah tanah,
karena makhluk hidup yang tinggal di bawah tanah hanya makhluk yang sudah
mati. Penggunaan rotan untuk pembuatan kerajinan dan peralatan rumah tangga,
ini dilakukan karena adat hanya memperbolehkan penggunaan peralatan-peralatan
tradisional dalam melakukan aktivitas harian. Penggunaan kayu-kayu yang sudah
mati dan ranting-ranting untuk kayu bakar diharuskan, karena masyarakat harus
menggunakan hawu semacam tungku untuk memasak, khususnya memasak nasi.
48
Seperti yang diungkapkan oleh Abah ASN (44 tahun), Ketua Adat.
“Para Leluhur memerintahkan untuk mendirikan rumah dan lumbung padi dengan menggunakan kayu-kayuan dan bambu untuk bagian dinding dan rangka rumah, serta menggunakan daun nipah dan kirai untuk bagian atap. Peraturan adat melarang kami untuk menggunakan bahan tanah dalam membangun rumah, karena makhluk hidup tidak patut untuk tinggal di bawah tanah. Ketika memasak nasi, masyarakat harus menggunakan tungku dan kayu bakar, karena sudah diatur oleh adat.” Mengingat kebutuhan yang tinggi terhadap hasil hutan, masyarakat
Kasepuhan tidak dapat terpisahkan kehidupannya dari hutan. Karena mereka
terikat adat yang kuat dalam pengelolaan dan pemanfaataannya. Ada nilai spiritual
yang terkandung di dalamnya. Kawasan hutan tutupan yang merupakan hutan
titipan leluhur dipercaya menyimpan benda-benda pusaka milik leluhur yang
harus dijaga. Selain itu, mengingat hutan tutupan sebagai daerah resapan air
(leuweung sirah cai), dan air merupakan kebutuhan utama masyarakat, maka
sudah pasti keutuhannya mesti terjaga dan menjadi hal yang penting dalam
kehidupannya. Maka, tidak adil rasanya ketika akses masyarakat Kasepuhan
terhadap hutan harus dibatasi bahkan diputus oleh pihak-pihak yang memiliki
wewenang tinggi terhadap hutan.
4.2.7 Sistem Pengelolaan dan Kepemilikan Hutan
Kampung Sinar Resmi memiliki kekayaan sumberdaya alam yang
melimpah, salah satunya adalah sumberdaya lahan yang dapat dimanfaatkan
masyarakatnya untuk bertani sawah, berladang, dan berkebun. Masyarakat
memanfaatkan lahan pertanian ini untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan
komoditi yang dihasilkan berupa padi, sayuran, jagung, dan buah-buahan. Dalam
mengelola lahan pertanian, masyarakat adat hanya diperkenankan menggunakan
peralatan pertanian tradisional, seperti garu, cangkul, arit, dan kerbau untuk
membajak sawah.
Sumberdaya lainnya yang dimiliki oleh kampung Sinar Resmi adalah
sumberdaya hutan. Dalam pengelolaannya, adat membagi hutan (leuweung) ke
dalam tiga pembagian, yaitu Leuweung tutupan, Leuweung titipan, dan Leuweung
Bukaan. Leuweung tutupan adalah kawasan hutan alam yang memiliki
49
keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang tinggi dan termasuk dalam kawasan
lindung karena fungsinya sebagai daerah resapan air (Leuweung sirah cai) dan
pusat keseimbangan ekosistem. Kawasan leuwueng tutupan merupakan warisan
atau titipan para leluhur adat dan Allah (Gusti Nu Kuasa) yang harus terjaga
keutuhannya dan tidak boleh dimasuki oleh manusia, karena manusia tidak
termasuk makhluk hidup yang ada di dalam hutan. Hutan ini hanya boleh
dimasuki oleh petugas pengawasan hutan (kemit leuweung) yang telah
diamanatkan oleh Abah untuk memeriksa barang-barang pusaka yang ada di
dalam hutan tutupan. Pemeriksaan hanya dilakukan setahun sekali. Leuweung
tutupan berada di atas pegunungan atau puncak pegunungan Halimun. Kawasan
leuweung tutupan memiliki luas 60% dari seluruh kawasan hutan adat yang
dimiliki oleh kampung.
Leuweung titipan adalah kawasan hutan yang dialokasikan untuk kawasan
pemukiman di masa mendatang (awisan) dan untuk lahan garapan nantinya.
Perpindahan pemukiman didasarkan pada wangsit yang diterima Abah.
Perpindahan biasa dilakukan dalam kurun waktu 30-40 tahun sekali. Perpindahan
dilakukan untuk memulihkan kembali daya dukung alam secara ekologis bagi
kebutuhan manusia. Hutan tutupan boleh dimasuki oleh manusia atas seizin Abah,
dan dengan tujuan untuk pengambilan hasil hutan kayu untuk kayu bakar dan
membuat bangunan dan hasil hutan non-kayu berupa tanaman obat-obatan, madu
hutan, rotan dan sebagainya. Dalam mengambil kayu tidak boleh dilakukan secara
sembarangan, ada aturan khusus yang harus dijalankan. Setiap warga yang ingin
mengambil kayu harus menanam pohon di lahan yang memiliki jarak renggang
antar pohon. Jumlah pohon yang ditanam pun, harus disesuaikan dengan jumlah
pohon yang akan ditebang. Selain itu, pohon yang ditebang pun harus pohon yang
telah cukup umur, dan pohon yang memiliki jarak dekat satu sama lainnya.
Leuweung Bukaan adalah kawasan hutan yang telah dibuka sejak lama
secara turun temurun dan digunakan untuk lahan garapan masyarakat, baik berupa
ladang (huma), sawah, maupun talun (kebun). Lahan garapan ini digunakan untuk
memenuhi kebutuhan pangan dan papan (kayu) masyarakat adat. Pengaturan
lahan garapan untuk warga dilakukan oleh Abah sebagai pimpinan adat tertinggi.
Untuk daerah-daerah tertentu, penanaman padi sawah dan huma tidak boleh
50
dilakukan pada lokasi yang sama untuk kedua kalinya, daerah ini disebut dengan
Huma Serang (suci).
Tabel-5. Penggunaan Lahan Masyarakat Kasepuhan Sinar Resmi di desa Sirna Resmi
Penggunaan lahan Zona di Kasepuhan Luas (Ha) Pemukiman Hutan bukaan (leuweung garapan) 78,18 Sawah Hutan bukaan (leuweung garapan) 559,98 Perkebunan Hutan bukaan (leuweung garapan) 303,4 Tanah kuburan Hutan bukaan (leuweung garapan) 7.00 Hutan adat Hutan titipan (leuweung titipan) 1.013,00 Hutan adat Hutan yang dilindungi (leweung
tutupan) 2.948,48
Total luas desa 4.906,04
Sumber: Suganda, 2009
Sumberdaya lainnya yang tersedia di kampung Sinar Resmi adalah
sumberdaya air, berupa sungai. Sungai-sungai yang dimanfaatkan masyarakat
adalah sungai Cipanengah, sungai Cibareno dan sungai Cikaret. Sungai-sungai ini
dimanfaatkan untuk keperluan mengairi sawah, mandi, dan air minum. Air sungai
dialirkan menggunakan pipa-pipa paralon ke bak-bak penampungan yang tersedia
di belakang Imah Gede (rumah Abah) untuk digunakan mandi, mencuci dan
memasak. Air untuk pengairan sawah, dialirkan dari sungai dengan membuat
saluran-saluran irigasi yang langsung menuju ke sawah.
Dalam peraturan adat Kasepuhan, sumberdaya lahan dikelompokkan
menurut fungsinya, seperi hutan ditanami pohon kayu-kayuan keras (gunung
kayuan); lereng curam ditanami dengan bambu (lamping gawit awian); area
perkebunan (kebun talun); pertanian padi (datar sawahan), dan kolam ikan (legok
balongan). Pengelompokan lahan ini mempengaruhi cara masyarakat Kasepuhan
dalam mengelola sumberdaya alam.
Sumberdaya alam yang dimiliki oleh masyarakat adat Kasepuhan
dianggap sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan titipan dari para leluhur
mereka. Oleh karena itu, mereka wajib untuk menjaga keutuhan dan
mempergunakan sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka saat
ini hingga generasi mendatang. Sebagai lahan titipan para leluhur, seluruh
sumberdaya alam ini diklaim sebagai milik adat dan bersifat komunal. Hanya
51
boleh dipergunakan dan dimanfaatkan untuk hidup, namun tidak boleh untuk
dijual dan dimiliki secara individual. Pengaturan penggunaan dan pengelolaan
sumberdaya alam di Kasepuhan, diatur oleh seorang Abah sebagai pemimpin adat.
Kawasan Gunung Halimun, selain terdapat wilayah adat yang telah ada
sejak dahulu, ada juga wilayah konservasi pemerintah berupa kawasan hutan
lindung taman nasional. Kawasan ini berfungsi sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa
serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam dan ekosistemnya. Kawasan
konservasi taman nasional berdasarkan UU No. 41 Tahun 1999 pasal 4 (1) dan (2)
disebutkan sebagai kawasan hutan yang dikuasai oleh Negara dan memberikan
wewenang kepada pemerintah untuk, (1) mengatur dan mengurus segala sesuatu
yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; (2) menetapkan
status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan
kawasan hutan; dan (3) mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum
antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai
kehutanan. Selain itu, pengaturan pengelolaan Gunung Halimun secara konservasi
dilakukan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
berdasarkan pada SK. Menhut No. 175 Tahun 2003.
Terkait dengan keberadaan taman nasional sebagai kawasan konservasi,
institusi pengelola di Indonesia mencakup unsur hak kepemilikan, batas wilayah
kewenangan dan aturan keterwakilan. Hak kepemilikan taman nasional, sesuai
dengan UUD 1945 Pasal 33 dan UU No. 5 Tahun 1967 mengenai Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kehutanan adalah milik Negara (state property). Menurut pasal
34 UU No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumberdaya Alam dan
Ekosistemnya, pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh pemerintah, dalam
hal ini oleh Kementrian Kehutanan.
Kawasan konservasi taman nasional, memiliki lokasi yang berdekatan,
bahkan bertumpang tindih dengan wilayah adat Kasepuhan. Dalam kasus
Kasepuhan Sinar Resmi, wilayah adat yang tumpang tindih dengan kawasan
taman nasional pada zona rimba dan zona rehabilitasi adalah leuweung tutupan,
leuweung titipan dan leuweung Bukaan.
52
4.3 Sejarah Kasepuhan Sinar Resmi
Masyarakat adat Banten Kidul adalah suatu komunitas yang dalam
kesehariannya menjalankan sosio-budaya tradisional yang mengacu pada
karakteristik budaya Sunda pada abad ke-18 (Asep, 2000 sebagaimana dikutip
Hanafi et al., 2004). Hasil studi literatur sejarah yang dilakukan Hanafi et al.
(2004), diketahui bahwa nenek moyang masyarakat adat Banten Kidul yang
berada di kawasan Gunung Halimun terdiri atas tiga komunitas, yaitu komunitas
sisa pasukan Kerajaan Sunda Padjajaran yang lari bersembunyi, komunitas sisa
pasukan Kerajaan Mataram, dan komunitas yang nerasal dari dinamika konflik
yang terjadi di Kesultanan Banten (termasuk para buruh perkebunan yang
didatangkan oleh VOC dari seluruh nusantara).
Dalam tiap perpindahan, penduduk menggarap lahan di wilayah baru
dan hanya meninggalkan tradisi ‘nyekar’ ke wilayah-wilayah sebelumnya.
Itupun bila ada peninggalan makam leluhur. Masyarakat Kasepuhan Sinar
Resmi menggambarkan latar belakang asal muasal leluhur mereka yang
mempunyai kaitan dengan prosesi ritual adat dalam kegiatan perladangan.
Menjelang permulaan kegiatan berladang dan setelah syukuran panen, para
sesepuh adat, perangkat dan pemimpin Kasepuhan melakukan acara ritual
ngembang atau ziarah kubur ke beberapa kuburan yang dianggap mempunyai
hubungan dengan sejarah keberadaan dan leluhur mereka, yang ada disekitar
kawasan hutan dalam Desa Sirnaresmi dan di luar desa, seperti: kuburan di
Cipatat Urug - Bogor, di Cisono, Tegal Lumbu, Lebak Larang, Lebak Binong
daerah Banten. Tempat-tempat ini diyakini berhubungan dengan tempat dan asal
muasal leluhur mereka.
Lokasi Kasepuhan Sinar Resmi selalu berpindah-pindah sebelum di desa
Sirna Resmi saat ini. Berpindah-pindahnya lokasi Kasepuhan didasarkan pada
wangsit dari para karuhun yang disampaikan melalui kepala Adat yang disebut
dengan Abah. Lokasi Kasepuhan sendiri telah berpindah-pindah selama 29
generasi dimulai sejak tahun 611 M. Namun hanya delapan generasi terakhir saja
yang boleh diketahui oleh Incu putu (masyarakat adat), karena 21 generasi lainnya
merupakan “rahasia para karuhun” yang tidak boleh diketahui oleh siapapun.
53
Menurut Sekretaris Desa Sirna Resmi, Bapak BHR (62 tahun), terbentuknya
Kasepuhan ini adalah dari sejarah perpindahan komunitas nomadik yang
kemudian menetap, akibat pengaruh perkembangan sosial politik. Secara singkat
sejarah perpindahan tersebut adalah sebagai berikut:
1. tahun 611 – 807 di wilayah Seni
2. tahun 807 – 1001 di wilayah Kadu Luhur
3. tahun 1001 – 1181 di wilayah Jasinga
4. tahun 1181 – 1381 di wilayah Lebak Binong Banten
5. tahun 1381 – 1558 di wilayah Cipatat Urug
6. tahun 1558 – 1720 di wilayah Lebak Larang Banten
7. tahun 1720 – 1797 di wilayah Lebak Binong Banten
8. tahun 1797 – 1834 di wilayah Pasir Talaga
9. tahun 1834 – 1900 di wilayah Tegal Lumbu Banten
10. tahun 1900 – 1937 di wilayah Cisono Banten
11. tahun 1937 – 1960 di wilayah Cimapag, Cikaret
12. tahun 1960 – 1982 di wilayah Cikaret, Ciganas
13. tahun 1982 – 2002 di wilayah Sinar Resmi dan Cipta Gelar
Dimulai tahun 1474, lokasi Kasepuhan berlokasi di daerah Cipatat,
Jasinga, Kabupaten Bogor. Kasepuhan ini dipimpin oleh seorang sesepuh yang
bernama Uyut Cipatat (Aki Buyut Bao Rosa) yang berasal dari Banten selama 150
tahun masa kepemimpinan. Anak Uyut Cipatat sebagai penerus setelah Uyut
Cipatat wafat, kemudian memindahkan pusat Kasepuhan ke Lebak Larang,
Banten. Anak Uyut Cipatat ini dikenal dengan Uyut Gondok (Aki Buyut
Warning). Tiga Tahun di Lebak Larang, Uyut Gondok wafat dan Kasepuhan
diteruskan oleh Aki Buyut Kayon. Lokasi Kasepuhan pun berpindah ke Lebak
Binong, Banten, selama 27 tahun. Pada waktu itu, pemerintahan colonial Hindia-
BelBapak/Ibu baru saja berdiri. Setelah Aki Kayon wafat, penerus selanjutnya
adalah putranya yang bernama Aki Ceboy. Namun karena saat itu, Aki Ceboy
54
belum dewasa saat ayahnya wafat, maka untuk sementara Kasepuhan dipimpin
oleh adik Aki Kayon yang bernama Aki Buyut Santayan sampai usia Aki Ceboy
cukup umur untuk memimpin Kasepuhan. Semasa pimpinan Aki Santayan,
Kasepuhan berada di daerah Pasir Talaga, Sukabumi. Setelah Aki Ceboy dewasa,
kepemimpinan Kasepuhan diberikan pada beliau, Kasepuhan berpindah tempat
lagi ke Tegal Lumbu, Banten.
Aki Ceboy memimpin Kasepuhan selama 32 tahun. Setelah wafat,
diteruskan oleh anaknya yang bernama Uyut Jasiun (Ki Ciung), Kasepuhan
berpindah lokasi lagi ke Bojong Cisono, Banten. Ketika Jepang masuk, pengganti
Uyut Jasiun, yaitu Aki Rusdi membawa incu putu-nya ke Cimapag. Di sinilah
incu putu diizinkan untuk membuka ladang oleh pemerintah Jepang.
Di Cimapag mereka menetap cukup lama. Semasa perang kemerdekaan,
dusun ini menjadi salah satu basis brigade Kian Santang dari Divisi Siliwangi.
Tidak kurang dari 3.000 pocong padi disediakan Ki Rusdi buat ransum para
gerilyawan. Ki Ardjo, anaknya yang menjadi lurah Cimapag, pun sempat diberi
pangkat sersan mayor oleh TRI. Untuk jasa-jasanya, ia kemudian dianugerahi
Bintang Gerilya, Aksi Militer I dan Aksi Militer II. Lalu disusul dengan bintang
GOM II dan GOM V. Karena ikut serta dalam penumpasan pemberontakan DI/TII
dan G30S-PKI di daerah itu. Sekitar tahun 1980-an, dusun terpencil itu membara.
Pernah, 10 orang warga ditebas kepalanya sekaligus oleh gerombolan DI/TII yang
sedang panik. Belum lagi gangguan gerombolan-gerombolan penyamun yang
tidak jelas ideologinya. Maka, pada tahun 1957, Ki Rusdi pun memindahkan pusat
kesepuhan ke Cikaret. Kali ini, campur tangan pihak luar mulai tampak. Pada
acara yang dinamai serah tahun, nama dusun itu ditetapkan sebagai Sirna Resmi.
Idenya dari Overste Ishak Djuarsa. Di Sirna Resmi ini pula, Ki Rusdi wafat. Tidak
lama kemudian, pada tahun 1974, Ki Ardjo yang telah menjadi sesepuh membawa
pengikutnya ke Ciganas, Sirna Rasa. Daerah ini termasuk kawasan Perhutani dan
PHPA. Ki Ardjo pun wafat pada tahun 1982. Kasepuhan saat itu digantikan oleh
Abah Encup Sucipta (Abah Anom).
55
Tahun 1983 Beliau pindah ke Cipta Rasa selama 17 Tahun. Pada tahun
1985 Kesepuhan terpecah menjadi dua yaitu:
1. Kasepuhan Cipta Rasa ( Abah Anom )
2. Kasepuhan Sinar Resmi ( Abah Ujat Sujati ).
Tahun 2000 Abah Anom pindah ke Cipta Gelar. Dan pada Tahun 2002
Abah Ujat Sujati mengakhiri hidupnya. Dan waktu itu pula Kasepuhan Sinar
Resmi terpecah kembali menjadi dua Kasepuhan, yaitu:
1. Kasepuhan Sinar Resmi ( Abah Asep Nugraha )
2. Kasepuhan Cipta Mulya ( Abah Uum Sukmawijaya)
Pada Tahun 2007 Abah Anom meninggal dunia dan Kasepuhan
dilanjutkan oleh anaknya Abah Ugi Sugriana Rakasiwi.
Sejak tahun 2002 hingga tahun akhir tahun 2010 Kasepuhan terbagi menjadi tiga:
1. Kasepuhan Cipta Gelar (Abah Ugi Sugriana Rakasiwi)
2. Kasepuhan Sinar Resmi (Abah Asep Nugraha)
3. Kasepuhan Cipta Mulya (Abah Hendrik)