bab 3 transfer daerah

25
BAB III GAMBARAN UMUM A. PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH Setelah di bagian sebelumnya dijelaskan mengenai jenis-jenis dan definisi serta mekanisme Dana Perimbangan, maka pada bagian ini kami mencoba untuk memberikan gambaran mengenai perkembangan pelaksanaan penyaluran transfer ke daerah dan pengaruhnya terhadap APBN. Dalam pelaksanaannya, Dana Perimbangan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh karena masing-masing komponen mempunyai tujuan yang saling melengkapi satu dengan lainnya. Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan instrumen untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan daerah. Disadari bahwa instrumen DBH tersebut menimbulkan kesenjangan fiskal antardaerah karena adanya variasi sumber daya antardaerah. Oleh karena itu, instrumen Dana Alokasi Umum (DAU) ditujukan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah. Di samping itu, untuk membantu daerah dengan kemampuan keuangan yang relatif rendah, dialokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk mendukung pencapaian tujuan dan prioritas nasional serta meningkatkan pemerataan akses terhadap layanan publik. Tabel di bawah ini menggambarkan perkembangan Dana Perimbangan dan dana Otonomi Khusus yang ditransfer oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam 6 tahun terakhir. Penyempurnaan terus dilakukan terhadap ketiga komponen transfer tersebut, antara lain, melalui peningkatan akurasi data DBH sehingga penetapan alokasi dan penyaluran DBH dapat dilakukan secara tepat waktu dan tepat jumlah, penyempurnaan formulasi DAU melalui

Upload: riza-faisal

Post on 03-Jul-2015

494 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 3 Transfer Daerah

BAB III

GAMBARAN UMUM

A. PERKEMBANGAN TRANSFER KE DAERAH

Setelah di bagian sebelumnya dijelaskan mengenai jenis-jenis dan definisi serta mekanisme Dana

Perimbangan, maka pada bagian ini kami mencoba untuk memberikan gambaran mengenai

perkembangan pelaksanaan penyaluran transfer ke daerah dan pengaruhnya terhadap APBN.

Dalam pelaksanaannya, Dana Perimbangan harus dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh karena

masing-masing komponen mempunyai tujuan yang saling melengkapi satu dengan lainnya. Dana

Bagi Hasil (DBH) merupakan instrumen untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan

daerah. Disadari bahwa instrumen DBH tersebut menimbulkan kesenjangan fiskal antardaerah

karena adanya variasi sumber daya antardaerah. Oleh karena itu, instrumen Dana Alokasi Umum

(DAU) ditujukan untuk mengurangi kesenjangan antardaerah. Di samping itu, untuk membantu

daerah dengan kemampuan keuangan yang relatif rendah, dialokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK)

untuk mendukung pencapaian tujuan dan prioritas nasional serta meningkatkan pemerataan akses

terhadap layanan publik. Tabel di bawah ini menggambarkan perkembangan Dana Perimbangan dan

dana Otonomi Khusus yang ditransfer oleh pemerintah pusat ke pemerintah daerah dalam 6 tahun

terakhir.

Penyempurnaan terus dilakukan terhadap ketiga komponen transfer tersebut, antara lain, melalui

peningkatan akurasi data DBH sehingga penetapan alokasi dan penyaluran DBH dapat dilakukan

secara tepat waktu dan tepat jumlah, penyempurnaan formulasi DAU melalui penerapan

pembobotan masing-masing variabel yang diarahkan untuk pemerataan kemampuan keuangan

daerah, serta penajaman kriteria DAK agar lebih tepat sasaran.

TABEL 3.1PERKEMBANGAN TRANSFER DAERAH

TAHUN 2005-2010

2005 2006 2007 2008 2009 2010LKPP LKPP LKPP LKPP RAPBN-P RAPBN

I. DANA PERIMBANGAN

143,221.3 222,130.6

243,967.5

278,913.0

285,317.1

292,979.6

Page 2: Bab 3 Transfer Daerah

A. DANA BAGI HASIL

50,479.2 64,900.3

62,942.3

78,618.6

74,083.4

76,586.1

1. Pajak

23,709.6 28,227.1

34,990.4

37,879.0

38,563.3

46,859.3

a. Pajak Penghasilan 5,439.6

6,052.6

7,965.3

9,988.3

8,207.4

13,173.8

b. Pajak Bumi Bangunan 14,935.7

18,994.9

22,584.6

2,251.8

22,811.0

25,217.2

c. BPHtB 3,334.3

3,179.6

4,440.6

5,638.9

6,480.0

7,354.8

d. Cukai 1,065.1

1,113.4

e. Pengembalian DBH Pajak 0.1

2. Sumber Daya Alam

26,769.6 36,673.2

27,951.9

40,739.6

35,520.1

29,726.8

a. Migas 22,633.3

31,635.8

21,978.8

33,094.5

26,390.1

22,214.2

i. Minyak Bumi 12,551.7

18,818.0

12,237.5

18,916.3

13,640.1

11,985.2

ii. Gas Bumi 10,081.6

12,819.9

9,741.3

14,178.2

10,750.0

8,229.0

iii. Kurang salur 2,000.0

2,000.0

b. Pertambangan Umum 2,584.2

3,624.9

4,227.6

6,191.7

7,200.3

5,692.4

c. Kehutanan 1,334.0

1,212.7

1,724.2

1,389.4

800.6

1,543.0

d. Perikanan 218.1

199.7

166.0

64.0

120.0

81.6

e. Pertambangan Panas Bumi

1,009.1

195.5

f. Pengembalian DBH Sumber Daya Alam

B. DANA ALOKASI UMUM

88,765.4 145,664.2

164,787.4

179,507.1

186,414.1

195,805.6

1. DAU Murni 88,765.4

145,664.2

164,787.4

179,507.1

186,414.1

186,950.7

2. DAU tambahan tunjangan profesi guru

8,854.9

C. DANA ALOKASI KHUSUS

3,976.7 11,566.1

16,237.8

20,787.3

24,819.6

20,587.9

II. DANA OTONOMI KHUSUS DAN PENYESUAIAN

7,242.6

4,049.4

9,296.0

13,718.8

24,255.2

16,818.0

Page 3: Bab 3 Transfer Daerah

A. DANA OTONOMI KHUSUS 1,775.3

3,488.3

4,045.7

7,510.3

9,526.6

8,878.0

B. DANA PENYESUAIAN 5,467.3

561.1

5,250.3

6,208.5

14,728.6

7,940.0

J U M L A H 150,463.9

226,180.0

253,263.5

292,631.8

309,572.3

309,797.6

Belanja lainnya 359,168.5

440,948.7

504,386.4

693,098.9

696,101.3

699,688.1

TOTAL BELANJA NEGARA 509,632.4

667,128.7

757,649.9

985,730.7

1,005,673.6

1,009,485.7

Selama beberapa tahun terakhir, besarnya dana perimbangan yang ditrsanfer ke daerah cenderung

stabil dibandingkan dengan pertumbuhan Anggaran belanja dalam APBN, yaitu di kisaran rata-rata

30%.

GRAFIK 3.1PROPORSI DANA TRANSFER DALAM APBN

TAHUN 2005-2010

2005 2006 2007 2008 2009 20100%

10%

20%

30%

40%

50%

60%

70%

80%

90%

100%

Belanja Pemerintah PusatDana transfer

Saat ini Dana Alokasi Umum merupakan komponen yang paling dominan disbanding kompionen-

komponen lainnya dalam dana perimbangan, kemudian diikuti oleh dana bagi hasil, Dana Alokasi

Khusus dan dana penyesuaian & Otonomi khusus.

Page 4: Bab 3 Transfer Daerah

GRAFIK 3.2KOMPOSISI DANA TRANSFER

TAHUN 2005-2010

2005 2006 2007 2008 2009 2010 -

50,000.0

100,000.0

150,000.0

200,000.0

250,000.0

300,000.0

350,000.0

PENYESUAIANOTSUSDAKDAUDBH

B. DANA BAGI HASIL

Dana bagi hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan kepada

daerah berdasarkan persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka

pelaksanaan desentralisasi. Kebijakan pelaksanaan alokasi DBH tahun 2010 mengacu kepada

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

antara Pemerintah Pusat da Pemerintahan Daerah, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan

Aceh, UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan

atas UU Nomor 21 Tahun 2001

tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang, dan UU Nomor 39 Tahun

2007 tentang Perubahan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, serta PP Nomor 55 Tahun 2005

tentang Dana Perimbangan.

Sumber-sumber penerimaan negara yang berasal dari daerah dibagi antara Pemerintah dan daerah

dengan prinsip by origin, dengan proporsi yang lebih besar bagi daerah penghasil serta

memperhitungkan porsi pemerataan di wilayah provinsi yang bersangkutan. Berdasarkan jenis

Page 5: Bab 3 Transfer Daerah

penerimaannya, DBH terdiri dari DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam (SDA). Adapun mekanisme

penetapan dan penyaluran DBH ke tiap-tiap daerah yang berhak menerima diatur dalam Peraturan

Menteri Keuangan. Dalam tahun 2010, arah kebijakan di bidang DBH dititikberatkan untuk

mendukung upaya penyempurnaan mekanisme perhitungan alokasi dan penyaluran ke daerah. Hal

tersebut dilakukan melalui peningkatan koordinasi, baik antarkementerian/lembaga terkait maupun

antara Pemerintah dan daerah, sehingga tuntutan akurasi dan validasi data dapat terpenuhi.

1. DANA BAGI HASIL PAJAK

DBH Pajak meliputi bagi hasil atas penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN, PBB,

BPHTB, serta Cukai Hasil Tembakau. Berdasarkan ketentuan Pasal 13 UU Nomor 33 Tahun 2004,

serta Pasal 8 PP Nomor 55 Tahun 2005, DBH PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN yang

merupakan bagian daerah adalah sebesar 20 persen. Dana bagi hasil dari penerimaan PPh Pasal 21

dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN yang diserahkan kepada daerah tersebut dibagi dengan imbangan,

sebesar 60 persen untuk kabupaten/kota dan 40 persen untuk provinsi.

Adapun alokasi DBH PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN untuk masing-masing daerah terdiri

atas:

a) alokasi sementara, yang didasarkan atas rencana penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal

25/29 WPOPDN dan ditetapkan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang

bersangkutan dilaksanakan; serta

b) alokasi definitif, yang didasarkan atas prognosa realisasi penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh

Pasal 25/29 WPOPDN dan ditetapkan paling lambat pada bulan pertama triwulan keempat

tahun anggaran berjalan.

Penyaluran DBH PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN dilaksanakan berdasarkan prognosa

realisasi penerimaan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25/29 WPOPDN tahun anggaran berjalan secara

triwulanan, dengan rincian sebagai berikut:

a) penyaluran triwulan pertama sampai dengan triwulan ketiga masing-masing sebesar 20

persen dari alokasi sementara; dan

b) penyaluran triwulan keempat didasarkan pada selisih antara pembagian definitive dengan

jumlah dana yang telah dicairkan selama triwulan pertama sampai dengan triwulan ketiga.

Selanjutnya, apabila penyaluran triwulan pertama sampai dengan triwulan ketiga yang

Page 6: Bab 3 Transfer Daerah

didasarkan atas pembagian sementara lebih besar daripada pembagian definitifnya, maka

kelebihan dimaksud diperhitungkan dalam penyaluran tahun anggaran berikutnya.

Sementara itu, berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (1), (2), dan (3) UU Nomor 33 Tahun 2004 serta

Pasal 5 dan Pasal 6 PP Nomor 55 Tahun 2005, bagian daerah atas PBB ditetapkan sebesar 90 persen

dari penerimaan PBB (termasuk Biaya Pemungutan (BP) sebesar 9 persen), sedangkan sisanya

sebesar 10 persen merupakan bagian Pemerintah, yang seluruhnya juga dikembalikan lagi kepada

daerah. Adapun proses penetapan DBH PBB untuk masing-masing daerah dilakukan melalui

Peraturan Menteri Keuangan berdasarkan rencana penerimaan PBB tahun anggaran yang

bersangkutan. Penyaluran DBH PBB dilaksanakan berdasarkan realisasi penerimaan PBB tahun

anggaran berjalan.

Secara umum, penyaluran DBH PBB dilakukan dalam tiga mekanisme, yaitu mekanisme untuk (1)

bagian daerah termasuk BPnya; (2) bagian Pemerintah yang dibagikan merata kepada

kabupaten/kota; dan (3) bagian Pemerintah yang dibagikan kepada kabupaten/kota sebagai insentif.

Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 12 ayat (4) dan (5) UU Nomor 33 Tahun 2004 serta Pasal 7

PP Nomor 55 Tahun 2005, bagian daerah atas BPHTB ditetapkan sebesar 80 persen dari penerimaan

PHTB, sedangkan sisanya sebesar 20 persen merupakan bagian Pemerintah yang dikembalikan lagi

kepada pemerintah daerah. Adapun proses penetapan DBH BPHTB untuk masing-masing daerah

dilakukan melalui Peraturan Menteri Keuangan berdasarkan rencana penerimaan BPHTB tahun

anggaran yang bersangkutan, sedangkan penyaluran DBH BPHTB dilaksanakan berdasarkan realisasi

penerimaan BPHTB tahun anggaran berjalan. Selanjutnya, penyaluran DBH BPHTB dilakukan melalui

dua mekanisme,yaitu mekanisme untuk: (1) bagian daerah, dan (2) bagian Pemerintah yang

dibagikan merata kepada kabupaten/kota.

Sesuai ketentuan Pasal 66A UU Nomor 39 Tahun 2007, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau

dibagikan kepada provinsi penghasil cukai hasil tembakau sebesar 2 persen (dua persen) yang

digunakan untuk mendanai: (1) peningkatan kualitas bahan baku; (2) pembinaan industri; (3)

pembinaan lingkungan sosial; (4) sosialisasi ketentuan di bidang cukai; dan/atau (5) pemberantasan

barang kena cukai ilegal. Berbeda dengan DBH Pajak yang bersifat block grant, DBH Cukai Hasil

Tembakau lebih bersifat specific grant, karena penggunaan dananya telah ditentukan.

Selanjutnya, penyaluran DBH Cukai Hasil Tembakau dilaksanakan secara triwulanan, dengan rincian:

Page 7: Bab 3 Transfer Daerah

(a) triwulan pertama sebesar 20 persen dari alokasi sementara;

(b) triwulan kedua sebesar 30 persen dari alokasi sementara;

(c) triwulan ketiga sebesar 30 persen dari alokasi sementara; dan

(d) triwulan keempat sebesar selisih antara alokasi definitive.

Dengan jumlah dana yang telah disalurkan selama triwulan pertama sampai dengan triwulan ketiga

yang disalurkan setelah pemerintah daerah penerima DBH Cukai Hasil Tembakau menyampaikan

laporan realisasi pelaksanaan DBH Cukai Hasil Tembakau semester I kepada Menteri Keuangan.

Pada Grafik 3.3 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah yang menerima DBH Pajak

tertinggi adalah daerah se-Provinsi DKI Jakarta, dengan proporsi penerimaan DBH Pajak terhadap

keseluruhan DBH Pajak, masing-masing sebesar 22,50 persen dan 23,70 persen, sedangkan daerah

yang menerima DBH Pajak paling rendah adalah daerah se-Provinsi Gorontalo, dengan proporsi

penerimaan DBH Pajak terhadap keseluruhan DBH Pajak pada tahun 2009 dan 2010, masing-masing

sebesar 0,34 persen dan 0,28 persen.

GRAFIK 3.3PETA DANA BAGI HASIL PAJAK DAERAH

PER PROVINSI DI INDONESIA *)

TAHUN 2009-2010

Page 8: Bab 3 Transfer Daerah

2. DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM

Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 33 Tahun 2004, transfer DBH dihitung berdasarkan persentase

tertentu dari realisasi penerimaan dalam negeri yang dibagihasilkan, baik dari penerimaan pajak

maupun penerimaan Sumber Daya Alam (SDA). Penerimaan negara yang berasal dari penerimaan

pajak yang dibagihasilkan ke daerah meliputi Pajak Penghasilan, yaitu PPh Pasal 21 dan PPh Pasal

25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

Penerimaan negara yang berasal dari SDA yang dibagihasilkan ke daerah meliputi minyak bumi, gas

bumi, pertambangan umum, kehutanan, dan perikanan. Sejak tahun 2006, DBH SDA Kehutanan juga

mencakup DBH Dana Reboisasi (DR), yang merupakan pengalihan dari Dana Alokasi Khusus Dana

Reboisasi (DAK DR).

Sebanyak 20 kabupaten dan kota di Indonesia mendapatkan transfer dana bagi hasil sumber daya

alam dari pemerintah pusat dalam jumlah sangat besar. Bahkan, sangat jauh berbeda dibandingkan

dengan puluhan kabupaten lainnya.

Beberapa kabupatan malah mendapatkan dana bagi hasil triliunan rupiah dari tahun ke tahun. Sebut

saja misalnya Kabupaten Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur yang mendapatkan bagian dana

Bagi Hasil Rp2,5 triliun pada 2009 atau Kabupaten Bengkalis di Riau yang mendapatkan jatah Rp1,5

triliun.

Ini tak sebanding dengan rata-rata kabupaten paling miskin sumber daya alam, kebanyakan di Jawa

yang cuma memperoleh ratusan juta rupiah per tahun. Contohnya, seperti Kabupatan Gunung Kidul,

Sleman dan Kulon Progo di propinsi Jogjakarta yang masing-masing cuma mendapatkan jatah dana

bagi hasil sumber alam, Rp 144-146 jutaan per tahun.

Kabupaten kaya raya tersebut sebagian besar berlokasi di Kalimantan Timur, sebagian lagi tersebar

di Riau, Sumatra Selatan, Kepulauan Riau dan Papua. Kalimantan Timur menjadi pusat lokasi

pertambangan batu bara, sedangkan Riau dan Kepulauan Riau menjadi tempat pertambangan

minyak dan gas.

Dari Papua ada kabupaten Mimika yang mendapatkan jatah Dana Bagi Hasil Rp440 miliar pada

2009. Wilayah di pegunungan Papua ini mendapatkan dana bagi hasil tertinggi dibandingkan

Page 9: Bab 3 Transfer Daerah

kabupaten lain di Papua lantaran menjadi tempat pertambangan emas dan tembaga oleh PT

Freeport Indonesia.

TABEL 3.2DAFTAR PENERIMA DBH SDA TERBESAR

TAHUN 2009

DAFTAR PENERIMA DBH SDA TERBESAR2009

No. Kabupten Propinsi Bagi Hasil

(Milyar)1 kutai Kertanegara kaltim 25662 Bengkalis Riau 15193 Kutai Timur kaltim 10594 Siak Riau 9935 Rokan Lilir Riau 9116 Musi Banyuasin Sumsel 8587 Kampar kaltim 6798 Kutai Barat kaltim 6709 Pasir kaltim 593

10 Berau kaltim 55311 Bulungan kaltim 48212 Samarinda kaltim 48013 Nunukan kaltim 47814 Panajam Pasir Utara kaltim 47715 Bontang kaltim 47616 Malinau kaltim 46217 Tarakan kaltim 45418 Balikpapan kaltim 44119 Natuna Kep. Riau 44020 Mimika Papua 424

Selanjutnya, pada Grafik 3. 4 dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah yang

menerima DBH SDA tertinggi adalah daerah se-Provinsi Kalimantan Timur, dengan proporsi

penerimaan DBH SDA terhadap keseluruhan DBH SDA, masing-masing sebesar 35,24 persen dan

34,06 persen. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa wilayah tersebut memang penyumbang

utama hasil migas nasional, diikuti oleh wilayah Riau dan Sumatera Selatan. Sedangkan daerah yang

menerima DBH SDA paling rendah pada tahun 2009 adalah daerah se-Provinsi Bali dan pada tahun

2010 adalah daerah se-Provinsi DI Yogyakarta, dengan proporsi penerimaan DBH SDA terhadap

keseluruhan DBH SDA yang sama besarnya yaitu 0,004 persen.

Page 10: Bab 3 Transfer Daerah

GRAFIK 3.4PETA DANA BAGI HASIL SDA DAERAH PER PROVINSI DI INDONESIA *)

TAHUN 2009-2010

C. DANA ALOKASI UMUM

Dana Alokasi Umum (DAU) dialokasikan untuk seluruh Provinsi dan Kabupaten/kota. Kecuali Daerah

kabupaten/kota yang ada di wilayah Provinsi DKI Jakarta tidak menerima DAU karena otonomi

provinsi DKI Jakarta diletakkan pada lingkup provinsi sesuai dengan perundang-undangan yang

berlaku. Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari Pendapatan Dalam

Negeri Netto. Yang dimaksud dengan Pendapatan Dalam Negeri Netto adalah pendapatan dalam

negeri setelah dikurangi dengan penerimaan Negara yang dibagihasilkan kepada daerah. Proporsi

DAU antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan

pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Dalam hal penentuan

proporsi belum dapat dihitung secara kuantitatif, proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota

ditetapkan dengan imbangan 10% dan 90%.

Sebagai salah satu komponen dalam dana perimbangan yang ditransfer ke Daerah, Dana Alokasi

Umum mengambil porsi yang sangat dominan, seperti yang dapat kita lihat pada tabel. Selain itu

DAU yang dianggarkan dan direalisasikan juga menunjukkan peningkatan yang pesat di setiap

Page 11: Bab 3 Transfer Daerah

tahunnya. Hal ini didorong oleh pemekaran daerah yang terus terjadi selama beberapa tahun

terakhir. Pemekaran ini biasanya menjadikan daerah baru yang belum siap secara finanSial untuk

menghidupi APBDnya menjadi sangat tergantung terhadap Dana perimbangan dari pemerintah

Pusat untuk membiayai administrasinya.

TABEL 3.3PETA KAPASITAS FISKAL PROVINSI

TAHUN 2010 Provinsi 2010

1 NAD Tinggi

2 Sumatera Utara Rendah

3 Sumatera Barat Sedang

4 Riau Tinggi

5 Jambi Sedang

6 Sumatera Selatan Rendah

7 Bengkulu Rendah

8 Lampung Rendah

9DKI Jakarta

Sangat

Tinggi

10 Jawa Barat Rendah

11 Jawa Tengah Rendah

12 DI Yogjakarta Rendah

13 Jawa Timur Rendah

14 Kalimantan Barat Sedang

15Kalimantan

TengahTinggi

16Kalimantan

Selatan

Sangat

Tinggi

17Kalimantan Timur

Sangat

Tinggi

18 Sulawesi Utara Sedang

19 Sulawesi Tengah Rendah

20 Sulawesi Selatan Rendah

21 Sulawesi Tenggara Rendah

22 Bali Sangat

Page 12: Bab 3 Transfer Daerah

Tinggi

23 NTB Rendah

24 NTT Rendah

25 Maluku Rendah

26 Papua Tinggi

27 Maluku Utara Sedang

28 Banten Sedang

29 Bangka Belitung Tinggi

30 Gorontalo Sedang

31Kepulauan Riau

Sangat

Tinggi

32Papua Barat

Sangat

Tinggi

33 Sulawesi Barat Sedang

Sangat Tinggi 6

Tinggi 5

Sedang 8

Rendah 14

Peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun terjadi pada DAU, yang terjadi karena peningkatan

rasio alokasi DAU terhadap Penerimaan Dalam Negeri (PDN) neto, yaitu 25,5 persen pada tahun

2005 dan kemudian meningkat menjadi 26 persen dalam periode tahun 2006-2010. Sejalan dengan

peningkatan rasio DAU terhadap PDN neto tersebut, maka dalam rentang waktu 2005–2010,

realisasi DAU meningkat dari Rp88,8 triliun pada tahun 2005, menjadi Rp186,4 triliun pada tahun

2009, dan meningkat lagi menjadi Rp203,6 triliun pada tahun 2010 atau rata-rata tumbuh sebesar

18,65 persen per tahun.

Pengalokasikan DAU ke daerah dilakukan dengan menggunakan formula yang didasarkan pada data

dasar perhitungan DAU. Sebelum tahun 2006, formula DAU terbagi menjadi dua komponen utama,

yaitu alokasi minimum (AM) dan alokasi DAU berdasarkan kesenjangan fiskal (KF). AM dihitung

berdasarkan komponen lumpsum dan proporsional belanja pegawai. Sejak diberlakukannya UU

Nomor 33 Tahun 2004, yang efektif berlaku sejak tahun 2006, komponen AM dan KF tersebut

disempurnakan menjadi alokasi dasar (AD) dan celah fiscal (CF). Alokasi DAU berdasarkan CF

Page 13: Bab 3 Transfer Daerah

tersebut merupakan komponen ekualisasi kemampuan keuangan antardaerah, dengan

mempertimbangkan selisih kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal masing-masing daerah.

Pada Grafik 3.5, dapat dilihat bahwa pada tahun 2010, daerah yang menerima DAU tertinggi adalah

daerah se-Provinsi Jawa Timur, dengan alokasi sekitar 11,06 persen dari total DAU. Dalam kurun

waktu 2005 sampai dengan saat ini, upaya untuk mewujudkan fungsi DAU sebagai equalization grant

dilakukan melalui kebijakan sebagai berikut:

1) Melakukan pembobotan alokasi dasar dengan persentase di bawah 50 persen dari DAU

Nasional agar memberikan porsi alokasi yang lebih besar untuk menutup celah fiskal.

Dengan kebijakan ini berarti besaran rata-rata gaji PNSD per daerah dihitung di bawah 100

persen.

2) Melakukan pembobotan pada setiap variabel kebutuhan fiskal dengan asumsi

bahwapemanfaatan Transfer ke Daerah adalah untuk pelayanan kepada penduduk dan

pengelolaan wilayah, sehingga bobot untuk penduduk seimbang dengan bobot untuk

wilayah.

3) Menetapkan persentase tertentu dalam menghitung variabel kapasitas fiskal untuk

mendapatkan indek pemerataan yang terbaik yang dicerminkan dari semakin rendahnya

Williamson Index.

GRAFIK 3.5PETA DANA ALOKASI UMUM *)

TAHUN 2009-2010

Page 14: Bab 3 Transfer Daerah

D. DANA ALOKASI KHUSUS

Peningkatan alokasi belanja untuk Dana Alokasi Khusus juga menunjukkan peningkatan yang cukup

signifikan dari tahun ke tahun. Peningkatan Dana Alokasi Khusus antara lain disebabkan oleh

bertambahnya bidang yang dapat dibiayai. Pada tahun 2005, DAK dialokasikan untuk 8 bidang, yaitu

pendidikan, kesehatan, jalan, irigasi, prasarana pemerintahan, kelautan dan perikanan, air bersih,

serta pertanian. Selanjutnya, pada tahun 2006 bidang yang didanai melalui DAK ditambah bidang

lingkungan hidup. Bahkan pada tahun 2008 bertambah dua bidang, yaitu bidang Keluarga Berencana

(KB) dan bidang kehutanan. Sedangkan pada tahun 2009 bertambah dua bidang lagi yaitu bidang

perdagangan dan bidang sarana prasarana perdesaan, sehingga menjadi 13 bidang. Selanjutnya,

pada tahun 2010 menjadi 14 bidang sebagai akibat dari dipisahkannya DAK Air Minum dan DAK

Sanitasi yang pada tahun sebelumnya tergabung dalam satu bidang.

TABEL 3.4BIDANG DANA ALOKASI KHUSUS

TAHUN 2008-2010

11 Bidang DAK pada 2008 13 Bidang DAK pada 2009 14 Bidang pada 2010

1. Pendidikan

2. Kesehatan

3. Prasarana Jalan

4. Prasarana Irigasi

5. Prasarana Air minum dan

Lingkungan Kesehatan

6. Kelautan dan Perikanan

7. Prasarana Pertanian

8. Prasarana Pemerintahan

9. Lingkungan Hidup

10. Kependudukan

11. Kehutanan

1. Pendidikan

2. Kesehatan

3. Prasarana Jalan

4. Prasarana Irigasi

5. Prasarana Air minum dan

Lingkungan Kesehatan

6. Kelautan dan Perikanan

7. Prasarana Pertanian

8. Prasarana Pemerintahan

9. Lingkungan Hidup

10. Kependudukan

11. Kehutanan

12. Sarana Prasarana

Perdesaan

13. Perdagangan

1. Pendidikan 2. Kesehatan

3. Prasarana Jalan

4. Prasarana Irigasi

5. Prasarana Air minum

6. Lingkungan Kesehatan

7. Kelautan dan Perikanan

8. Prasarana Pertanian

9. Prasarana Pemerintahan

10. Lingkungan Hidup

11. Kependudukan

12. Kehutanan

13. Sarana Prasarana

Perdesaan

14. Perdagangan

Page 15: Bab 3 Transfer Daerah

Selain itu perencaan alokasi DAK juga semakin baik dari tahun ke tahun. Hal ini ditunjukkan melalui

sasaran alokasi penerima DAK yang sudah jelas yang ditunjukan untuk daerah tertinggal, daerah

ketahanan pangan dan daerah pariwisata.

Untuk menunjukkan komitmen daerah dalam pelaksanaan DAK, kepada daerah diwajibkan

menganggarkan dana pendamping dalam APBD, sekurang-kurangnya 10 persen dari besaran alokasi

DAK yang diterima. Sejalan dengan penambahan bidang yang dibiayai dengan DAK, alokasi DAK juga

terus meningkat, dari Rp3,97 triliun (0,1 persen terhadap PDB) pada tahun 2005, menjadi Rp20,8

triliun (0,4 persen terhadap PDB) pada tahun 2008, dan meningkat menjadi Rp24,7 triliun (0,4

persen terhadap PDB) pada tahun 2009. Pada tahun 2010, alokasi DAK mengalami penurunan

menjadi Rp21,1 triliun sebagai akibat dari terbatasnya kemampuan keuangan negara. Sementara itu,

dengan semakin bertambahnya daerah otonom baru berdampak terhadap bertambahnya jumlah

daerah yang menerima DAK. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penerima DAK pada tahun 2005, yaitu

dari 377 kabupaten/ kota dan 2 Provinsi pada tahun 2005, menjadi 485 kabupaten/kota dan 32

provinsi pada tahun 2010.

Adapun sebaran DAK untuk pemerintah daerah se-provinsi di Indonesia disajikan pada Grafik 3.6 di

bawah. Pada grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk tahun 2009 dan 2010, daerah yang

menerima DAK tertinggi adalah daerah se-provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan proporsi

masing-masing sama sebesar 8,65 persen dan 9,32 persen terhadap total penerimaan DAK seluruh

daerah.

Page 16: Bab 3 Transfer Daerah

GRAFIK 3.6PETA DANA ALOKASI KHUSUS*)

TAHUN 2009-2010

E. DANA OTONOMI KHUSUS

Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian merupakan amanat dari UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang

Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua menjadi undang-undang dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang

Pemerintahan Aceh. Dalam APBN 2011 dialokasikan Dana Otonomi Khusus sebesar 2 persen dari

DAU nasional untuk Provinsi Papua dan Papua Barat, yang penggunaannya diutamakan untuk

pendanaan pendidikan dan kesehatan. Kebijakan pemberian Dana Otonomi Khusus sebesar 2 persen

dari DAU nasional tersebut juga berlaku untuk Provinsi NAD, yang penggunaannya diarahkan untuk

mendanai pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat,

pengentaskan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. Di samping itu, dalam

rangka pelaksanaan otonomi khusus kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat juga

dialokasikan dana tambahan untuk infrastruktur, yang besarannya disepakati antara Pemerintah

dengan DPR, yang penggunaannya diutamakan untuk pendanaan pembangunan infrastruktur.

Dalam RAPBN 2011, alokasi Dana Otonomi Khusus direncanakan sebesar Rp10,3 triliun,

Page 17: Bab 3 Transfer Daerah

dengan rincian sebagai berikut:

1) Dana Otonomi Khusus untuk Papua sebesar Rp4,4 triliun. Sesuai dengan UU Nomor 35

Tahun 2008, Dana Otonomi Khusus untuk Papua tersebut dibagikan kepada Provinsi Papua

dan Provinsi Papua Barat.

2) Dana Otonomi Khusus untuk Provinsi NAD sebesar Rp4,4 triliun.

3) Dana Tambahan Otsus Infrastruktur Provinsi Papua dan Papua Barat sebesar Rp1,4 triliun.

Sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2008, Dana Tambahan Infrastruktur Papua dan Papua Barat

tersebut dibagikan kepada Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Dana otonomi khusus yang diberikan kepada provinsi Nangroe Aceh Darrusalam, Papua, dan Papua

Barat, sebelum tahun 2008, hanya Pemerintah Kabupaten/kota yang berhak menerima dana

Otonomi khusus, namun sejak 2008, pemerintah provinsi juga menerimanya. Untuk mengetahui

perkembangan dana yang dialokasikan pada dana otonomi khusus ini dapat kita lihat pada grafik di

bawah ini.

GRAFIK 3.7DANA OTONOMI KHUSUS

TAHUN 2005-2010

2005 2006 2007 2008 2009 20100

500

1000

1500

2000

2500

3000

3500

4000

KabupatenProvinsi

F. DANA PENYESUAIAN

Dana Penyesuaian sampai dengan tahun 2007, terutama dialokasikan berupa Dana Penyeimbang

kepada daerah yang menerima DAU lebih kecil dari DAU yang diterima tahun sebelumnya, sehingga

DAU yang diterima minimal sama dengan DAU yang diterima tahun sebelumnya. Pengalokasian

Page 18: Bab 3 Transfer Daerah

Dana Penyeimbang tersebut bertujuan agar penerapan formula DAU tidak menimbulkan adanya

daerah yang memperoleh DAU lebih kecil dari DAU tahun sebelumnya, yang selanjutnya dikenal

dengan prinsip non-hold harmless. Dalam perkembangannya, pada tahun 2009 kebijakan non-hold

harmless telah dihapuskan.

Pengalokasian Dana Penyesuaian tersebut juga menampung program-program tertentu untuk

jangka waktu tertentu (ad hoc) dengan nomenklatur yang berganti-ganti hingga tahun 2009 dengan

sebutan Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah (DPDF & PPD).

Selain DPDF & PPD, terdapat alokasi dana untuk meningkatkan penghasilan bagi guru PNSD yang

belum mendapatkan tunjangan profesi, besarnya adalah Rp250.000, per orang per bulan dalam 12

bulan setahun. Dari alokasi anggaran Dana Tambahan Penghasilan bagi Guru PNSD tahun 2009

sebesar Rp7,49 triliun hanya terserap sekitar Rp4,57 triliun atau 61,01 persen.

Pada tahun 2010, DPDF & PPD dialokasikan kembali sebesar Rp7,1 triliun. Sementara itu, pendanaan

untuk guru PNSD selain Dana Tambahan Penghasilan Guru sebesar Rp5,8 triliun juga dialokasikan

Dana Tunjangan Profesi Guru sebesar Rp10,99 triliun. Tunjangan Profesi Guru tersebut merupakan

pengalihan alokasi anggaran dari Kementerian Pendidikan Nasional. Secara umum, Dana

Penyesuaian tersebut dimaksudkan untuk menampung alokasi anggaran untuk mendanai kebijakan

tertentu pemerintah dan anggaran yang disediakan untuk mendorong atau menguatkan

desentralisasi fiskal dan percepatan pembangunan daerah.

Dalam grafik 3.8, dapat dilihat bahwa realisasi Dana Otsus dan Penyesuaian dalam periode 2005–

2010 mengalami peningkatan yang signifikan, dari Rp7,2 triliun dalam tahun 2005, menjadi Rp21,3

triliun pada tahun 2009, dan meningkat lagi menjadi Rp30,2 triliun dalam APBNP 2010. Peningkatan

ini tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah untuk lebih mendorong peran daerah dalam era

otonomi daerah yang ditandai dengan makin beragamnya jenis Dana Penyesuaian dari tahun ke

tahun.

Page 19: Bab 3 Transfer Daerah

GRAFIK 3.8DANA OTONOMI KHUSUS DAN DANA PENYESUAIAN

TAHUN 2005-2010

BUAT DAFTAR PUSTAKA NYA :

1. Nota keuangan dan RAPBN 2010

2. Nota keuangan dan RAPBN 2011

3. Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan

4. Bappenas

5. Badan Kebijakan Fiskal