bab-21 penyul di masa depan.doc

Download Bab-21 Penyul Di Masa Depan.doc

If you can't read please download the document

Upload: anang-dwi-setyawan

Post on 02-Jan-2016

52 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

bab 21..penyuluhan masa depan

TRANSCRIPT

16

Penyuluhan Pertanian Di Masa Depan

Penyuluhan Pertanian Di Masa Depan

404 Sistem Penyuluhan Pertanian

403Sistem Penyuluhan Pertanian

21Penyuluhan Pertanian Di Masa Depan

A. Tantangan Penyuluhan Memasuki Abad 21

Memasuki abad 21, dunia telah banyak mengalami perubahan, terutama dalam bentuk globalisasi dalam banyak aspek kehidupan. Kondisi tersebut berimplikasi kepada semua bidang dan sektor kegiat-an pembangunan, termasuk kegiatan penyuluhan pertanian. Kondisi tersebut, telah mengahadapkan para pengambil keputusan pada dilema yang setidaknya menyangkut 2 (dua) isu-pokok, yaitu:

1)Informasi dan organisasi pembangunan pertanian yang dibutuh-kan masyarakat untuk:memperoleh informasi dan ide-ide baru guna mengembangkan usahataninya agar dapat menghadapi kompleksitas pola permintaan konsumen, mengurangi kemis-kinan, serta terus menjaga kelestarian sumberdaya-alam dan ling-kungannya.

2)Pembiayaan penyuluhan dan penyebar-luasannya yang melekat pada mandat yang diembannya, yaitu:tugas-tugas pokokketergantungannya terhadap kebijakan pemerintah dan fungsi lembaga-lembaga lainnyamasalah-masalah yang diakibatkan dan berdampak pada kemauan politik serta dukungan finansialnyaketerandalannya sebagai lembaga layanan informasi dan pengetahuan barukeberlanjutan fiskal, daninteraksinya dengan tumbuh dan berkembangnya ilmu penge-tahuan dan teknologi.

Dilema penyuluhan pertanian juga dilaporkan oleh Davidson, et al (2001) dari kajiannya di Pakistan, yang mengungkapkan adanya 4 (empat) hal, yaitu:

1)Sering terjadi konflik, persaingan, dan tumpang-tindih antara penyuluhan yang dilakukan instansi pemerintah dan pihak swasta.2)Baik instansi pemerintah maupun swasta, seringkali meman-faatkan kontak-person di dalam implementasi strateginya, tetapi tidak banyak manfaatnya bagi difusi inovasi.3)Lembaga swasta, lebih suka memusatkan perhatiannya kepada petani-kaya atau kelompok-atas, yang biasanya lebih cepat meng-adopsi inovasi yang ditawarkan.4)Instansi pemerintah sering berhadapan dengan petani-terdidik, tetapi tidak cukup memiliki kemampuan untuk mempengaruhi petani-kaya

Khusus yang berkaitan dengan proses adopsi inovasi, Vanclay (1992), mengidentifikasi adanya 10 (sepuluh) hambatan atau barrier adopsi, yang meliputi:

1)Kompleksitas, yang disamping mempersulit kermampuan petani untuk memahami dan menerapkannya, seringkali juga berakibat pada meningkatnya resiko (kegagalan) yang akan dideritanya.

2)Divisibilitas, yang seringkali tidak dijumpai dalam rekomendasi penyuluh yang lebih cenderung menawarkan paket teknologi yang harus dilaksanakan secara serentak (simultan).

3)Inkompatibilitas, yang sering tidak sesuai dengan tujuan petani dan usahataninya.

4)Nilai-ekonomis inovasi, yang tidak selalu dapat memenuhi nilai-nilai non-ekonomi yang dikehendaki oleh petaninya.

5)Resiko dan ketidak-pastian, yang tidak hanya disebabkan oleh ketergantungan usahatani kepada kondisi alam dan lingkungannya yang menetukan keberhasilan panennya, tetapi juga resiko dan ketidak-pastian pemasaran/harga produk.

6)Konflik informasi, karena petani menerima informasi dari beragam sumber yang belum tentu sepakat terhadap kemanfaatan serta dapatnya diterapkan.

7)Keharusan penggunaan modal dari luar, yang tidak selalu dapat dipenuhi oleh petani sendiri, seperti: benih, pestisida, peralatan, dan mesin-mesin pertanian.

8)Biaya intelektual, khususnya terhadap inovasi yang datang dari luar yang belum mampu dipahami oleh petaninya, sehingga mereka harus mengeluarkan biaya-intelektual sebelum dapat mengadopsinya.

9)Hilangnya fleksibilitas, yang biasanya dimiliki oleh petani tradi-sional, untuk menyesuaikan komoditi dan pola usahataninya dengan keadaan iklim dan kondisi alam lain yang tidak menentu.

10)Prasarana fisik dan sosial (kelembagaan) yang belum tentu tersedia dengan mutu dan layanan sebaik yang diharapkan.

Lebih lanjut, Vanclay (1994), telah mengidentifikasi terjadinya krisis yang melanda kegiatan penyuluhan pertanian, yang menyangkut:

1)Krisis fiskal, karena menurunnya anggaran pemerintah yang dialokasikan untuk kegiatan penyuluhan pertanian.

2)Krisis efektivitas penyuluhan, karena tidak dilaksanakannya fungsi-fungsi penyuluhan sebagaimana mestinya, petani tidak mau mengadopsi inovasi yang direkomenda-sikan (khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan)

3)Krisis legitimasi, yang berupa komentar-komentar negatif yang disampaikan oleh petani terhadap kinerja penyuluh dan program-program penyuluhan pertanian.

4)Krisis teoritis, berupa penolakan model-model penyuluhan tradisional tanpa diikuti dengan alternatif yang lebih mudah diterima oleh masyarakat (petani) secara luas.

Dari dalam negeri, Mardikanto (1998; 2000) mensinyalir beberapa kelemahan dalam kegiatan penyuluhan pertanian yang menyangkut banyak hal, yaitu:

1)Penggunaan Istilah Penyuluhan

Berbicara tentang penggunaan istilah penyuluhan pembangunan, perkembangan sejak pertengahan 1980-an, ternyata sering tidak menguntungkan kegiatan penyuluhan pembangunan itu sendiri.Hal ini disebabkan karena, sering digunakannya/dimasyarakatkannya penggunaan istilah penyuluhan oleh pihak-pihak di luar penyuluh pertanian (yang seharusnya layak disyukuri), kegiatan penyuluhan menjadi kehilangan mak-na, atau dalam istilah lain boleh dikatakan telah mengalami erosi nilai. Sebab, banyak kalangan sering terlalu menyederhanakan pengertian dan tujuan penyuluhan. Penyuluhan bukan lagi dihayati sebagai kegiatan yang memer-lukan kerja-keras, dan ketekunan yang melelahkan serta seringkali harus dibarengi dengan korban perasaan untuk membantu masyarakat agar mampu membantu dirinya sendiri guna memperbaiki kesejahteraan atau mutu-hidupnya, melainkan seringkali hanya diartikan sebagai kegiatan omong-omong tanpa makna, atau bahkan sekadar datang untuk minta tanda-tangan (bukti kehadir-annya) guna memperoleh (menipu) biaya perjalanan. Oleh sebab itu, kemudian oleh kalangan terbatas muncul pemikiran untuk mencari istilah pengganti yang lebih segar, bergengsi, dan menarik perhatian, tanpa menghilangkan makna penyuluhan yang sebenarnya. Istilah yang ditawarkan itu (antara lain) adalah: edfikasi yang merupakan akronim dari pokok-pokok kegiatan penyuluhan yang mencakup: edukasi, diseminasi inovasi, fasilitasi, koordinasi, supervisi, dan evaluasi.

2)Profesionalisme PenyuluhanErosi nilai dari kegiatan penyuluhan tersebut, jika ditelusuri, sebe-narnya disebabkan oleh rendahnya profesionalisme penyuluhan pem-bangunan, yang menyangkut:

Keahlian Penyuluh, yang oleh maraknya globalisasi infor-masi, sering ketinggalan dibanding keahlian para praktisi atau penerima manfaat penyuluhannya.

Kebanggaan Profesi Penyuluhan, karena jabatan fungsional yang disandang para penyuluh dinilai lebih rendah atau kalah status dibanding jabatan struktural yang lebih bergengsi dan memper-oleh (lebih) banyak kemudahan serta kesempatan memperkaya diri.

Etika Profesi Penyuluhan, yang tidak lagi dihayati sebagai peker-jaan yang penuh pengabdian, melainkan telah teracuni oleh kebijakan pemerintah di masa lalu, tamanya dalam pelaksanaan program GEMA PALAGUNG yang memberikan insentif sebesar 1% (dibayarkan di muka) kepada penyluh (PPL) dari jumlah nilai usulan Kredit Usahatani (KUT) yang direkomendasikan, tanpa harus menunggu efektiivitas atau seberapa jauh KUT tersebut benar-benar memberikan kenaikan produksi dan pendapatan petaninya.

3)Unsur-unsur Sistem Penyuluhan Pertanian

Berkaitan dengan unsur-unsur penyuluan, tantangan-tantangan muncul dari semua unsur komunikasinya, yaitu:

a)Penyuluh, yang selama ini adalah tergolong orang luar (baik aparat pemerintah atau aktivis LSM) yang tidak dibayar (diangkat dan diberhentikan) oleh penerima manfaatnya. Karena itu, dalam melaksanakan kegiatannya seringkali tidak mangacu kepada kepentingan masyarakat penerima manfaatnya, melainkan lebih mementingkan keinginan pemerintah atau visi dan misi LSM-nya.Di samping itu, belum terbangunnya kebanggaan profesi di kalangan penyuluh, serta rendahnya penghargaan masyarakat maupun aparat pemerintah terhadap arti penting penyuluh dan kegiatan penyuluhan.

b)Materi Penyuluhan, umumnya masih didominasi oleh materi-teknis, dan belum banyak memperhatikan kebtuhan penerima manfaatnya, utamanya tentang manajemen, permintaan pasar, kewirausahaan dan pentingnya pendidikan politik Sumber informasi yang masih didominasi dari Dinas/Lembaga Penelitian, sementara itu, kearifan tradisional belum banyak digali bahkan cenderung tidak dihargai.

c)Metoda Penyuluhan, masih terpusat pada pemanfaatan media interpersonal dan belum banyak memanfaatkan multi-media secara proporsional.Secara teoritis, kegiatan penyuluhan hanya mengacu kepada konsep-konsep pendidikan dan komunikasi, dan belum meman-faatkan konsep-konsep psikologi-sosial, serta pemasaran-sosial.

d) Pendekatan dan Strategi Penyuluhan Satu hal yang layak dicermati adalah, banyak kebijakan pembangunan yang tidak menggunakan pendekatan kesejahteraan masyarakat, tetapi lebih mengutamakan pendekatan kekuasaan. Seiring dengan itu, kegiatan penyuluhan lebih ditekankan pada pendekatan proyek (NFCEP, NAEP, P4K, dll) yang tidak berbekas seiring dengan selesainya proyeki. Padahal, penyuluhan pembangunan mestinya menggunakan pendekatan pengembangan masyarakat (community development) yang sekali dimulai, harus dilaksanakan secara berkelanjutan.

e) Efektivitas Penyuluhan Kegiatan penyuluhan, secara konseptual masih sangat konven-sional dalam arti terbatas menggunakan konsep-konsep pendi-dikan dan atau komunikasi. Tetapi, pendekatan bisnis dengan pemasaran belum banyak didisksikan, dikerjakan, dan diajarkan,

Berkaitan dengan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh kegiatan penyuluhan pertanian tersebut, Feder, et al (1999) mengidentifikasi adanya 8 (delapan) tantangan-generik yang sedang dihadapi penyuluhan pertanian, yaitu:

1)Skala dan kompleksitas dari tugas-tugas penyuluhan.Skala, berkaitan dengan luas wilayah dan jumlah manusia yang terlibat. Sedang kompleksitas berkaitan dengan sumber infor-masi, stakeholders, serta mitra-kerja dalam kegiatan penyuluhan (pembangunan) pertanian.

2)Ketergantungannya terhadap kebijakan pemerintah dan fungsi lembaga-lembaga lainnya, yang berakibat pada efektivitas inves-tasi penyuluhan, efektivitas kelembagaan dan kebijakan, serta efisiensi pemanfaatan sumberdaya yang dapat diakses.

3)Ketidak-mampuan untuk menelusuri hubungan penyebab dan akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan penyuluhan, kaitannya dengan: masalah-masalah yang dihadapi, dukungan politis, alokasi anggaran, dan akuntabilitas kegiatan penyuluhan.

4)Komitmen dan dukungan politis, terutama pada kondisi seringnya terjadi pergantian (pemegang) kekuasaan.

5)Akuntabilitas, yang menyangkut kinerja penyuluhan, kinerja personil, dan kinerja staf yang berhubungan dengan petani (penyuluh, peneliti, dll)

6)Kelayakan sebagai lembaga layanan pengetahuan dan informasi, yang harus menjangkau semua kelompok-sasaran, aparat peme-rintah di lapis terbawah, dan stakeholders lain yang memerlu-kannya

7)Keberlanjutan operasionalisasi fiskal dan sumberdaya yang lain, baik karena ketidak-pastian anggaran maupun rendahnya pengem balian dana yang telah digunakan untuk kegiatan penyuluhan.8)Interaksi dengan tumbuh dan berkembangnya pengetahuan kaitannya dengan mutu pesan-pesan yang disamapaikan melalui kegiatan penyuluhan, yang tercermin pada keterkaitan antara penyuluhan dengan penelitian.

Khusus yang menyangkut interaksi atau keterkaitan antara kegiatan penyuluhan dan penelitian, Barret dan Marsh (2001) mengemukakan adanya tiga hal pokok yang perlu dicermati, yaitu:

1)efektivitas adopsi teknologi, karena kesenjangan tingkat pendi-dikan antara peneliti, penyuluh, dan masyarakat penggunanya.2)tantangan penelitian, kaitannya dengan tingginya biaya atau kor-banan yang harus ditanggung penggunanya3)pentingnya memerankan pengusaha yang berhasil sebagai aktor-panutan yang sekaligus dapat dijadikan tenaga sukarela dalam kegiatan penyuluhan pertanian.

Lebih lanjut, Marsh dan Pannel (1999) mengungkapkan adanya 4 (empat) masalah yang akan dihadapi di awal abad 21 ini, yaitu:

1)Kemampuan penelitian dan aliran informasi yang dihasilkan.2)Efisiensi dan keberlanjutan setiap pembaharuan organisasi dan rancangan yang disiapkan.3)Kesalahan pasar dan informasi tentang sifat-sifat produk pertani-an yang dihasilkan4)Metoda penyuluhan dan alih-teknologi

Berkaitan dengan pelibatan generasi muda dalam kegiatan penyu-luhan pertanian, pengalaman 4-H menunjukkan bahwa

1)Perubahan desa menjadi perkotaan, telah mengakibatkan susutnya remaja yang tertarik terlibat pada kelompok 4-H.2)Hambatan dalam memadukan kegiatan sekolah dengan kegiatan 4-H.3)Keberlanjutan pembiayaan yang disediakan lembaga peme rintah maupun politikus yang dialokasikan untuk kegiatan penyuluhan pertanian.4)Semakin sulitnya memperoleh tenaga sukarela5)Semakin susahnya mengangkat staf baru6)Semakin tidak memadainya perlengkapan penyuluhan dibanding kemajuan teknologi perlengkapan pendidikan pada umumnya.

B. Revitalisasi Penyuluhan Pertanian

(1) Rekayasa Ulang

Mengahadapi beragam tantangan sebagaimana di kemukakan di atas, banyak pihak telah mengajukan rumusan pemecahan atau solusinya.Menghadapi 8 tantangan generik yang dikemukakan, Feder. et al (2001) menawarkan solusinya sebagai berikut:

a) Pengembangan manajemen penyuluhan, melalui modifikasi dan mengoreksi kelemahan-kelemahan sistem-kerja Latihan dan Kunjungan (LAKU) yang terbukti mampu meningkatkan mutu penyuluhan dan profesionalisme penyuluhnya, agar:

dilaksanakan dengan lebih partisipatippenyesuaian jadwal LAKU, baik yang menyangkut kunjungan ke petani maupun pelatihan dan supervisi terhadap penyuluh.lebih banyak memanfaatkan penyuluh sukarela, dan atau penyuluh yang diangkat dan dibiayai oleh kelom-pok-tani..lebih banyak memanfaatkan media-masa untuk men-dukung kegiatan LAKU.mempererat jalinan keterkaitan penyuluh dengan peneliti dan stakeholders maupun sumber-sumber informasi yang lainmengintensifkan kegiatan supervisi yang lebih bersifat peme-cahan masalah dibanding pengawasan

Desentralisasi penyuluhan, yang tidak sekadar merupakan pelim-pahan wewenang penyuluhan kepada pemerintah daerah dan masyarakat lokal, tetapi juga memberikan alokasi anggaran yang lebih besar kepada daerah, serta kewenangan untuk mengem-bangkan sistem penyuluhannya sendiri.

Fokus kepada pengembangan sentra-sentra komoditi-unggulan, yang memiliki nilai ekonomi dan berdaya saing tinggi.

Pembayaran biaya penyuluhan oleh penerima manfaat, untuk mempercepat pengembalian investasi penyuluhan.

Keragaman kelembagaan melalui mobilisasi pelaku-pelaku lain. Seperti: LSM, Organisasi Profesi, Perguruan Tinggi, Produsen, Pelaku Bisnis, dll.

Pendekatan pemberdayaan dan partisipatip, untuk mengembang-kan swadaya dan kemandirian masyarakat.

Privatisasi secara bertahap, sejak dari kerjasama, kontrak-kegiat-an penyuluhan, sampai dengan menyerahkan sepenuhnya kegiat-an penyuluhan dari pemerintah kepada pihak swasta/LSM.

Pengembangan jejaring yang memungkinkan masyarakat dapat berinteraksi dan memanfaatkan media yang tepat, seperti:

penyadaran melalui media masa dan pertunjukan yang populer.

penumbuhan minat melalui pertemuan kelompok, kelompen-capir, dan pertemuan-lapang.

kegiatan penilaian melalui demonstrasi-cara dan hasil

mendorong uji-coba, melalui kunjungan, pertukaran-petani, pengujian lokal dan demonstrasi

layanan bagi adopter, melalui perlombaan, pemberian peng-hargaan, pengakuan, dll.

Berkaitan dengan upaya mengatasi tantangan-tantangan tersebut, Coffey dan Clark (2001) menawarkan kegiatan rekayasa ulang (rengineering) penyuluhan pertanian, melalui kegiatan-kegiatan:

Identifikasi kasusIdentifikasi keadaan sekarang dan sebelum terjadinya kasusIdentifikasi masalah, peluang, dan pihak-pihak yang terkait (yang dirugikan maupun yang diuntungkan)Aspek-aspek yang mendukung perubahan, oleh siapa, dan menga-pa?Aspek-aspek penyebar luasan perubahan, oleh siapa, dan menga-pa?Pembiayaan, dll.

Di samping itu, Qamar (2001) mengingatkan bahwa memasuki milenium baru, diperlukan:

Client orientation, yaitu penyuluhan yang dirancang secara khusus khusus untuk setiap kelompok-sasaran

Lokalitas, yaitu penyuluhan yang memperhatikan kondisi fisik dan sosial-budaya setempat yang spesifik.

Penerapan metoda yang efektif, berdasarkan pengalaman setem-pat.

Penggunaan media elektronik yang semakin luas (radio, TV, multi-media (CD), internet, dll

Pemanfaatan modul jarak-jauh, jika:terbatasnya penyuluh dan sarana transportasibahasa mnerupakan hambatan dalam komunikasi langsungsumberdaya penyuluhan sangat menurunkondisi geografi tidak memungkinkanterdapat kendala budaya (tabu) dalam pelaksaanaan kunjung-an

kerjasama dengan kegiatan penyampaian pesan non-pertanian.pengembangan penyuluhan partisipatip

keterpaduan antar disiplin keilmuanPenilaian dampak dan manfaat kegiatan penyuluhan

Peningkatan peran dalam pembangunan (keluarga) yang berkelanjutan

(2)Pengembangan Kelembagaan Penyuluhan

Hobson, et al (2001) mengemukakan pentingnya kelembagaan penyu-luhan. Yang dimaksud dengan kelembagaan di sini, tidak hanya dalam arti sempit yang berupa pembentukan kelompok atau organi-sasi, tetapi juga dalam arti luas yang menyangkut pola perilaku sesuai nilai-nilai sosial budayanya (Berg,). Tentang hal ini, Hoffman et al (2000) melaporkan reformasi organisasi penyuluhan pertanian di Jerman yang dapat dijadikan pelajaran bagi negara-negara lain, yang mencakup:

Dewan Pertanian, yang merupakan perwakilan (kebutuhan dan minat) petani pada suatu kawasan tertentu yang relatip luas.Kantor Dinas Pertanian, selaku agen penyuluhan.Penasehat Penyuluhan SwastaAgen penyuluhan yang lainKelompok-kelompok tani

Dari pengorganisasian seperti itu, dapat ditarik banyak pelajaran, seperti:

perbaikan mutu penyuluhan melalui peningkatan partisipasi kelompok-sasaranKejelasan peran pemerintah, yang lebih banyak pada perumusan strategi penyuluhan kaitannya dengan kegiatan pelatian, program-program panduan, dll.Penurunan atas kelambanan lembaga-lembaga publik yang biasanya resistan terhadap perubahanMenghindari konflik antar aparat pemerintahAncangan pembiayaan untuk biaya pemerintahKeluwesan untuk mengemabngkan sistem penyuluhan.

(3)Pendekatan Penyuluhan

Beberapa penulis menawarkan beragam pendekatan penyuluhan, seperti:

Pendekatan Pembelajaran untuk Pembangunan Pertanian Berkelanjutan, yang bertumpu pada 3 (tiga) konsep dasar, yaitu:

Kompetensi profesional, melalui pengembangan kemampuan praktisi dengan beragam teori, nilai-nilai, dan kepercayaan tertentu.Penggunaan teori-sistem dan filsafat ilmu dalam kegiatan praktisBelajar kriitis, melalui proses belajar bersama untuk meng-kritisi setiap alternatip perubahan yang ditawarkan.

Pendekatan Navigator (Boon dan Murray, 2001), yaitu suatu percepatan perubahan melalaui pengembangan SDM, pembela-jaran berkelanjutan, dan pola-pikir baru untuk mem-bantu para produsen agar terus melakukan perubahan-perubahan, yang secara singkat disampaikan dalam Gambar 43.

c) Orientasi masa-depan, dan bukan apa yang dilakukan sekarang (Toscano, 2001), dengan memperhatikan:kecenderungan globalperubahan-perubahan masa depanperubahan kependudukankemajuan bioteknologi modernhukum internasionaletika dan lingkungankecenderungan bisnis globalkecenderungan lokakarya global

d) Orientasi kepada keinginan kelompok sasaran (Mcleish, et al, 001) terhadap informasi yang:

cermat, bersahabat, menyadarkantertulis, sehingga membantu pengambilan keputusansederhana, singkat, dan jelas tentang pesan yang ditonjolkanmembantu pengembangan diri/usahanya.cermat, bersahabat, menyadarkantertulis, sehingga membantu pengambilan keputusansederhana, singkat, dan jelas tentang pesan yang ditonjolkanmembantu pengembangan diri/usahanya.

Gambar 43. Pendekatan Navigator

e) Pendekatan ekonomi/manajemen usahatani, yang mencakup:sumbangan yang diberikan (Evenson, 1997)efektivitas pembiayaan (Adhikarya, 1995)kepuasan pelanggan (Rennekamp et al, 2001) yaitu: relevansi, mutu, kemanfaatan, dan layanan.keunikan bisnis (Reeve, 2001)perencanaan pemasaran (Nehiley, 2001) yang terdiri: inventarisasi pelanggan, tujuan dan sasaran pemasaran, putuskan pesan yang ingin disampaikan,manfaatkan media yang tepat.

C. Undang-undang Sistem Penyuluhan Pertanian

Sebagai tindak lanjut pencanangan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan pada tanggal 11 Nopember 2005, pada tanggal 15 Nopember 2006 pemerintah menetapkan Undang-undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan, yang mencakup:

Kebijakan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan KehutananKelembagaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan KehutananKetenagaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan KehutananPenyelenggaraan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutan-anPembiayaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan KehutananPengawasan dan pembinaan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan

Kehadiran Undang-undang tersebut, oleh banyak kalangan disambut dengan sangat antusias, khususnya oleh para penyuluh pertanian, karena setidak-tidaknya sudah ada landasan hukum yang kuat yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan.Tetapi jika dicermati, terdapat beberapa hal yang layak dikritisi, yaitu:

Nomenklatur yang digunakan

Penggunaan nama Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan, dapat menimbulkan kerancuan pemahaman dalam masyharakat, yang sejak lama telah mengartikan pertanian dalam arti-sempit (pertanian tanaman pangan dan hortikultura) dan dalam arti-luas (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan).Penggunaan nomenklatur seperti itu, sangat jelas hanya untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, karena kebetulan di jajaran birokrasi yang sedang berkuasa terdapat 3 (tiga) Departemen lingkup pertanian, yaitu: Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, serta Departemen Kelautan dan Perikanan, yang sewaktu-waktu dapat diganti tergantung kepada rezim yang sedang berkuasa.Kebijakan yang sentralistis

Meskipun kegiatan penyuluhan pertanian sudah diserahkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota jauh hari sebelum reformasi, tetapi peran pemerintah nasional (pusat) dalam UU No. 16 Tahun 2006 masih sangat kuat, seperti tersebut dalam:

Pasal 18, tentang kelembagaan penyuluhan pemerintahPasal 21 (3), tentang peningkatan mutu penyuluhPasal 25, tentang pedoman penyusunan programa penyuluhanPasal 28 (3), tentang penetapan teknologi tertentuPasal 33, tentang pembiayaan penyuluhanPasal 34, tentang pembinaan dan pengawasan

Dominasi penyuluhan oleh pemerintah

Harus diakui bahwa, kegiatan penyuluhan pertanian selama ini lebih didominasi oleh pemerintah, baik dalam perumusan kebijakan, ketenagaan penyuluh, penyediaan sarana dan prasarana, pembiayaan, serta pengawasan dan pembinaan penyuluhan,

Terkait tentang hal ini, dominasi pemerintah masih terlihat pada pasal Pasal 28 (3), tentang penetapan teknologi tertentu dan pasal 32 (5) tentang pembiayaan penyuluhan. Di samping itu, rencana Departe-men Pertanian untuk mengangkat tenaga penyuluh sebanyak seorang/ desa, semakin menunjukkan dominasi pemerintah dalam penyuluhan pertanian.

Pengembangan penyuluhan swasta dan swadaya

Meskipun dalam pasal 20, dinyatakan bahwa tenaga penyuluh pertanian terdiri dari: penyuluh PNS, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya, tetapi tidak ada satu pasal/ayat yang menyebutkan upaya pemerintah untuk mengembangkan kegiatan penyuluh swasta dan swadaya. Artinya, tidak ada upaya pemerintah yang secara aktif dan sungguh-sungguh mengembangkan kegiatan penyuluh swasta dan swadaya. Pada pasal 21 (2) pemerintah hanya sekadar memfasilitasi pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh swasta dan swadaya. Demikian juga, pada pasal 33 (5), pembiayaan kegiatan penyuluh swasta dan swadaya hanya dapat dibantu oleh pemerintah dan pemerintah daerah

Kemandirian Penyuluhan Oleh Masyarakat

Sejarah mencatat bahwa pelaksanaan penyuluhan pertanian, sejak jaman penjajahan Hindia Belanda, selalu didominasi oleh pemerintah. Hal ini terlihar bahwa, pelaksana penyuluhan pertanian dilakukan oleh pangreh praja, pamong praja, aparat Departemen/Dinas Pertanian, dan terakhir oleh Penyuluh Pertanian dengan status Pega-wai Negeri Sipil (PNS).Dilihat dari kepentingan pemerintah, praktek penyuluhan seperti ini sangat cocok, karena semua kebijakannya selalu dapat diamankan dengan baik oleh para penyuluh PNS yang sangat loyal kepada pemerintah (yang membayar, menghidupi, dan membuatnya mem-peroleh penghargaan dari masyarakatnya). Sayangnya kebijakan pemerintah tidak selalu berpihak kepada petani. Bahkan seringkali campur-tangan pemerintah tidak memberikan perbaikan tetapi justru merugikan kepentingan petani dan lebih mementingkan pemangku-kepentingan yang lain.

Praktek serupa, juga dapat dicermati dari kegiatan penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh (perusahaan) swasta yang lebih menguntungkan dan atau berorientasi kepada kepentingan pengusaha dari pada kepentingan petani; serta penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh beberapa oknum pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang lebih berorientasi dan menguntungkan (agenda terse-lubung) penyandang dana, atau kepentingan Asing.Pengalaman seperti itu, mendorong pemikiran kearah kemandirian penyelenggaran penyuluhan oleh masyarakat, untuk kepentingan masyarakat. Sebab, selama penyuluh berasal (diangkat dan dibayar) pihak luar, selama itu pula mereka akan lebih berpihak kepada kepentingan luar disbanding kepentingan petaninya.Terkait dengan hal ini, sering muncul pertanyaan: apakah masyarakt mampu membiayai penyuluhnya? Jawabnya: mampu, asal benar-benar diberi kesempatan dan kepercayaan untuk melepaskan diri dari proyek-proyek pemerintah, swasta dan LSM.

Privatisasi Penyuluhan Pertanian

Dominasi pemerintah dalam penyelenggaraan penyuluhan, tidak saja terlihat pada pengangkatan tenaga penyuluh, tetapi juga dalam pembiayaan kegiatan penyuluhan. Sayangnya, tidak semua penye-lenggara pemerintah memahami arti penting penyuluhan untuk kepentingan jangka pendek kaitannya dengan pencapaian target pem-bangunan, maupun kepentingan jangka panjang kaitannya dengan investasi sumberdaya manusia. Akibatnya, kegiatan penyuluhan sangat tergantung kepada pemahaman masing-masing kepala peme-rintahannya untuk menyediakan anggaran penyuluhan pertanian.

Integrasi Penyuluhan Pembangunan

Dalam UU No. 16 Tahun 2006 pasal 6 (2a) dinyatakan bahwa; ... penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan;

Tentang hal ini, perlu dipahami bahwa, dewasa ini, pemerintah menyelenggarakan tidak kurang dari 20 jenis penyuluhan pembangunan di pedesaan. Oleh sebab itu, perlu perenungan yang sungguh-sungguh, apakah penyuluhan (sektoral) pertanian masih diperlukan, ataukah hanya dikembangkan satu kegiatan penyuluhan pembangunan perdesaan secara terintegrasi dan holistik

D. Penyuluhan Pertanian Di Masa Depan

Di masa mendatang, kegiatan penyuluhan pertanian akan menghadapi tantangan-tantangan, terutama yang diakibatkan oleh pertumbuhan populasi penduduk di tengah-tengah semakin sempitnya lahan per-tanian, sehingga usahatani harus semakin mengkhususkan diri serta meningkatkan efisiensinya.Dalam perspektif pemerintah, apapun prioritas yang akan ditempuh, kegiatan penyuluhan pertanian akan tetap menjadi kebijakan kunci untuk mempromosikan kegiatan Pertanian Berkelanjutan baik dalam kontek ekologi maupun sosial-ekonomi ditengah-tengah sistem pemerintahan yang birokratis dan semakin terbatas kemampuannya untuk membiayai kegiatan-kegiatan publik. Di lain pihak, kegiatan penyuluhan harus semakin bersifat partisipatip yang diawali dengan analisis tentang keadaaan dan kebutuhan masyarakat melalui kegiatan Penilaian Desa Partisipatip atau participatory rural appraisal/PRA (Chambers, 1993). Meskipun demikian, kegiatan penyuluhan per-tanian akan banyak didukung oleh kemajuan teknologi informasi.Karena itu, di masa depan, kekuatan dan perubahan penyuluhan per-tanian akan selalu terkait dengan keempat hal yang akan dikemuka-kan berikut ini (Rivera & Gustafson, 1991):

Iklim ekonomi dan PolitikSejak krisis ekonomi dan politik melanda beberapa negara pada akhir abad 20, banyak negara yang tidak lagi mampu membiayai kegiatan publik di tengah-tengah tuntutan demokratisasi.

Karena itu, kegiatan penyuluhan harus dilaksanakan seca-ra lebih efisien untuk dapat melayani kelompok sasaran yang lebih luas, dan di lain pihak, pemerintah akan lebih banyak menyerahkan kegiatan penyuluhan kepada pihak swasta.

Konteks sosial di wilayah pedesaanDi masa depan, masyarakat pedesaan relatif berpendidikan, lebih banyak memperoleh informasi dari media masa serta terbuka dari isolasi geograpis, lebih memiliki aksesi-bilitas dengan kehidupan bangsanya sendiri dan dunia internasional. Karena itu, penyuluh-an pertanian harus mampu menjawab tantangan pertumbuhan penduduk, meningkatnya urbanisasi, perubahan aturan/kebijakan, persyaratan pasar, serta kebutuhan masyarakat akan beragam layanan seperti: pelatihan, spesialisasi, pelatihan kompetensi dan bentuk-bentuk organisasi (Moris, 1991). Sehubungan dengan itu, penyuluhan pertanian di masa depan harus meninggalkan mono-poli pemerintah sebagai penyelenggara penyuluhan, mampu melayani beragam kelompok-sasaran yang berbeda, tidak saja terkait dengan keragaman kategori adopternya, tetapi juga yang terkait dengan aksesibilitas pasar, derajat komersialisasi serta ketergantungannya pada usahatani untuk perbaikan penda-patan dan kesejahteraannya.

(3) Sistem PengetahuanTerjadinya perubahan politik yang berdampak pada debiro-kratisasi, desentralisasi (pelimpahan kewenangan) dan devolusi (penyerahan kewenangan) kepada masyarakat lokal, juga akan berimbas pada pengembangan usahatani yang memiliki spesifi-kasi lokal. Pengakuan terhadap pentingnya spesifikasi lokal, harus dihadapi dengan pengakuan penyuluh terhadap kemampuan petani, pengalaman petani, penelitian yang dilakukan petani, serta upaya-upaya pengembangan yang dilakukan. Oleh sebab itu, penyuluh harus menjalin hubungan yang partisipatip dengan kelompok sasarannya, khususnya dalam pemanfaatan media-masa untuk menunjang kegiatan penyuluhan di wilayah-kerjanya.

(4) Teknologi InformasiPerkembangan telekomunikasi dan penggunaan komputer pribadi/ PC akan sangat berpengaruh terhadap kegiatan penyuluhan per-tanian di masa depan. Kelompok sasaran yang memiliki kemam-puan memanfaatkan teknologi informasi/IT akan relatif lebih independen. Dengan demikian, fungsi penyuluh tidak lagi menyampaikan pesan melainkan lebih bersifat fasilitatif dan konsultatif, dan karena itu akan menuntut jalinan interaksi partisipatip yang semakin intensif dengan kelompok-sasarannya.

Khusus di Indonesia, masa depan penyuluhan pertanian perlu mem-perhatikan:

Kemandirian Penyuluhan Oleh MasyarakatSejarah mencatat bahwa pelaksanaan penyuluhan pertanian, sejak jaman penjajahan Hindia Belanda, selalu didominasi oleh pemerintah. Hal ini terlihar bahwa, pelaksana penyuluhan pertanian dilakukan oleh pangreh praja, pamong praja, aparat Departemen/Dinas Pertanian, dan terakhir oleh Penyuluh Pertanian dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Dilihat dari kepentingan pemerintah, praktek penyuluhan seperti ini sangat cocok, karena semua kebijakannya selalu dapat diamankan dengan baik oleh para penyuluh PNS yang sangat loyal kepada pemerintah (yang membayar, menghidupi, dan membuatnya memper-oleh penghargaan dari masyarakatnya). Sayangnya kebijakan peme-rintah tidak selalu berpihak kepada petani. Bahkan seringkali campur-tangan pemerintah tidak memberikan perbaikan tetapi justru merugikan kepentingan petani dan lebih mementingkan pemangku-kepentingan yang lain. Praktek serupa, juga dapat dicermati dari kegiatan penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh (perusahaan) swasta yang lebih menguntungkan dan atau berorientasi kepada kepentingan pengusaha dari pada kepentingan petani; serta penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh beberapa oknum pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang lebih berorientasi dan menguntungkan (agenda terselubung) penyandang dana, atau kepentingan Asing.

Pengalaman tersebut, mendorong pemikiran kearah kemandirian penyelenggaran penyuluhan oleh masyarakat, untuk kepentingan masyarakat. Sebab, selama penyuluh berasal (diangkat dan dibayar) pihak luar, selama itu pula mereka akan lebih berpihak kepada kepentingan luar disbanding kepentingan petaninya.Pemikiran seperti itu, juga disampaikan oleh Puspadi (2006) yang menyatakan bahwa: penyuluhan yang dikelola petani merupakan pendekatan penyelenggaraan penyuluhan pertanian partisipatif pada tingkat tertinggi yang merupakan alternatif untuk mendekatkan sumberdaya informasi dan teknologi di pedesaan.Terkait dengan hal ini, sering muncul pertanyaan: apakah masyarakt mampu membiayai penyuluhnya? Jawabnya: mampu, asal benar-benar diberi kesempatan dan kepercayaan untuk melepaskan diri dari proyek-proyek pemerintah, swasta dan LSM.

Desentralisasi Penyuluhan Seiring dengan kebijakan desentralisasi pemerintahan yang digulirkan sebagai tuntutan reformasi sejak diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999, desentralisasi penyuluhan pertanian yang sudah digulirkan sejak tahun 1995 semakin menjadi keharusan.

Terkait dengan itu, penyuluhan spesifik lokal yang memperhatikan indigenuous technology, serta budaya dan kearifan-lokal semakin menjadi kebutuhan di masa depan

Privatisasi Penyuluhan Pertanian Dominasi pemerintah dalam penyelenggaraan penyuluhan, tidak saja terlihat pada pengangkatan tenaga penyuluh, tetapi juga dalam pembiayaan kegiatan penyuluhan. Sayangnya, tidak semua penye-lenggara pemerintah memahami arti penting penyuluhan untuk kepentingan jangka pendek kaitannya dengan pencapaian target pem-bangunan, maupun kepentingan jangka panjang kaitannya dengan investasi sumberdaya manusia.

Akibatnya, kegiatan penyuluhan sangat tergantung kepada pema-haman masing-masing kepala pemerintahannya untuk menyediakan anggaran penyuluhan pertanian.

Integrasi Penyuluhan Pembangunan Dalam UU No. 16 Tahun 2006 pasal 6 (2a) dinyatakan bahwa; penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan;

Tentang hal ini, perlu dipahami bahwa, dewasa ini, pemerintah menyelenggarakan tidak kurang dari 20 jenis penyuluhan pemba-ngunan di pedesaan (Sutadi, 1999). Oleh sebab itu, perlu perenungan yang sungguh-sungguh, apakah penyuluhan (sektoral) pertanian masih diperlukan, ataukah hanya dikembangkan sebagai sub-sistem dari sistem penyuluhan pembangunan perdesaan secara terintegrasi dan holistik

J. Penyuluhan Pertanian Di Masa Depan

Di masa mendatang, kegiatan penyuluhan pertanian akan menghadapi tantangan-tantangan, terutama yang diakibatkan oleh pertumbuhan populasi penduduk di tengah-tengah semakin sempitnya lahan per-tanian, sehingga usahatani harus semakin mengkhususkan diri serta meningkatkan efisiensinya.Dalam perspektif pemerintah, apapun prioritas yang akan ditempuh, kegiatan penyuluhan pertanian akan tetap menjadi kebijakan kunci untuk mempromosikan kegiatan Pertanian Berkelanjutan baik dalam kontek ekologi maupun sosial-ekonomi ditengah-tengah sistem pemerintahan yang birokratis dan semakin terbatas kemampuannya untuk membiayai kegiatan-kegiatan publik. Di lain pihak, kegiatan penyuluhan harus semakin bersifat partisipatip yang diawali dengan analisis tentang keadaaan dan kebutuhan masyarakat melalui kegiatan Penilaian Desa Partisipatip atau participatory rural appraisal/PRA (Chambers, 1993). Meskipun demikian, kegiatan penyuluhan per-tanian akan banyak didukung oleh kemajuan teknologi informasi.Karena itu, di masa depan, kekuatan dan perubahan penyuluhan per-tanian akan selalu terkait dengan keempat hal yang akan dikemuka-kan berikut ini (Rivera & Gustafson, 1991):

Iklim ekonomi dan PolitikSejak krisis ekonomi dan politik melanda beberapa negara pada akhir abad 20, banyak negara yang tidak lagi mampu membiayai kegiatan publik di tengah-tengah tuntutan demokratisasi.

Karena itu, kegiatan penyuluhan harus dilaksanakan seca-ra lebih efisien untuk dapat melayani kelompok sasaran yang lebih luas, dan di lain pihak, pemerintah akan lebih banyak menyerahkan kegiatan penyuluhan kepada pihak swasta.

Konteks sosial di wilayah pedesaanDi masa depan, masyarakat pedesaan relatif berpendidikan, lebih banyak memperoleh informasi dari media masa serta terbuka dari isolasi geograpis, lebih memiliki aksesi-bilitas dengan kehidupan bangsanya sendiri dan dunia internasional. Karena itu, penyuluh-an pertanian harus mampu menjawab tantangan pertumbuhan penduduk, meningkatnya urbanisasi, perubahan aturan/kebijakan, persyaratan pasar, serta kebutuhan masyarakat akan beragam layanan seperti: pelatihan, spesialisasi, pelatihan kompetensi dan bentuk-bentuk organisasi (Moris, 1991). Sehubungan dengan itu, penyuluhan pertanian di masa depan harus meninggalkan mono-poli pemerintah sebagai penyelenggara penyuluhan, mampu melayani beragam kelompok-sasaran yang berbeda, tidak saja terkait dengan keragaman kategori adopternya, tetapi juga yang terkait dengan aksesibilitas pasar, derajat komersialisasi serta ketergantungannya pada usahatani untuk perbaikan penda-patan dan kesejahteraannya.

(3) Sistem PengetahuanTerjadinya perubahan politik yang berdampak pada debiro-kratisasi, desentralisasi (pelimpahan kewenangan) dan devolusi (penyerahan kewenangan) kepada masyarakat lokal, juga akan berimbas pada pengembangan usahatani yang memiliki spesifi-kasi lokal. Pengakuan terhadap pentingnya spesifikasi lokal, harus dihadapi dengan pengakuan penyuluh terhadap kemampuan petani, pengalaman petani, penelitian yang dilakukan petani, serta upaya-upaya pengembangan yang dilakukan. Oleh sebab itu, penyuluh harus menjalin hubungan yang partisipatip dengan kelompok sasarannya, khususnya dalam pemanfaatan media-masa untuk menunjang kegiatan penyuluhan di wilayah-kerjanya.

(4) Teknologi InformasiPerkembangan telekomunikasi dan penggunaan komputer pribadi/ PC akan sangat berpengaruh terhadap kegiatan penyuluhan per-tanian di masa depan. Kelompok sasaran yang memiliki kemam-puan memanfaatkan teknologi informasi/IT akan relatif lebih independen. Dengan demikian, fungsi penyuluh tidak lagi menyampaikan pesan melainkan lebih bersifat fasilitatif dan konsultatif, dan karena itu akan menuntut jalinan interaksi partisipatip yang semakin intensif dengan kelompok-sasarannya.

Khusus di Indonesia, masa depan penyuluhan pertanian perlu mem-perhatikan:

Kemandirian Penyuluhan Oleh MasyarakatSejarah mencatat bahwa pelaksanaan penyuluhan pertanian, sejak jaman penjajahan Hindia Belanda, selalu didominasi oleh pemerintah. Hal ini terlihar bahwa, pelaksana penyuluhan pertanian dilakukan oleh pangreh praja, pamong praja, aparat Departemen/Dinas Pertanian, dan terakhir oleh Penyuluh Pertanian dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Dilihat dari kepentingan pemerintah, praktek penyuluhan seperti ini sangat cocok, karena semua kebijakannya selalu dapat diamankan dengan baik oleh para penyuluh PNS yang sangat loyal kepada pemerintah (yang membayar, menghidupi, dan membuatnya memper-oleh penghargaan dari masyarakatnya). Sayangnya kebijakan peme-rintah tidak selalu berpihak kepada petani. Bahkan seringkali campur-tangan pemerintah tidak memberikan perbaikan tetapi justru merugikan kepentingan petani dan lebih mementingkan pemangku-kepentingan yang lain. Praktek serupa, juga dapat dicermati dari kegiatan penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh (perusahaan) swasta yang lebih menguntungkan dan atau berorientasi kepada kepentingan pengusaha dari pada kepentingan petani; serta penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh beberapa oknum pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang lebih berorientasi dan menguntungkan (agenda terselubung) penyandang dana, atau kepentingan Asing.

Pengalaman tersebut, mendorong pemikiran kearah kemandirian penyelenggaran penyuluhan oleh masyarakat, untuk kepentingan masyarakat. Sebab, selama penyuluh berasal (diangkat dan dibayar) pihak luar, selama itu pula mereka akan lebih berpihak kepada kepentingan luar dibanding kepentingan petaninya.Pemikiran seperti itu, juga disampaikan oleh Puspadi (2006) yang menyatakan bahwa: penyuluhan yang dikelola petani merupakan pendekatan penyelenggaraan penyuluhan pertanian partisipatif pada tingkat tertinggi yang merupakan alternatif untuk mendekatkan sumberdaya informasi dan teknologi di pedesaan.Terkait dengan hal ini, sering muncul pertanyaan: apakah masyarakt mampu membiayai penyuluhnya? Jawabnya: mampu, asal benar-benar diberi kesempatan dan kepercayaan untuk melepaskan diri dari proyek-proyek pemerintah, swasta dan LSM.

Desentralisasi Penyuluhan Seiring dengan kebijakan desentralisasi pemerintahan yang digulirkan sebagai tuntutan reformasi sejak diundangkannya UU No. 22 Tahun 1999, desentralisasi penyuluhan pertanian yang sudah digulirkan sejak tahun 1995 semakin menjadi keharusan.

Terkait dengan itu, penyuluhan spesifik lokal yang memperhatikan indigenuous technology, serta budaya dan kearifan-lokal semakin menjadi kebutuhan di masa depan

Privatisasi Penyuluhan Pertanian Dominasi pemerintah dalam penyelenggaraan penyuluhan, tidak saja terlihat pada pengangkatan tenaga penyuluh, tetapi juga dalam pembiayaan kegiatan penyuluhan. Sayangnya, tidak semua penye-lenggara pemerintah memahami arti penting penyuluhan untuk kepentingan jangka pendek kaitannya dengan pencapaian target pem-bangunan, maupun kepentingan jangka panjang kaitannya dengan investasi sumberdaya manusia.

Akibatnya, kegiatan penyuluhan sangat tergantung kepada pema-haman masing-masing kepala pemerintahannya untuk menyediakan anggaran penyuluhan pertanian.

Integrasi Penyuluhan Pembangunan Dalam UU No. 16 Tahun 2006 pasal 6 (2a) dinyatakan bahwa; ... penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan;

Tentang hal ini, perlu dipahami bahwa, dewasa ini, pemerintah menyelenggarakan tidak kurang dari 20 jenis penyuluhan pembangunan di pedesaan (Sutadi, 1999). Oleh sebab itu, perlu perenungan yang sungguh-sungguh, apakah penyuluhan (sektoral) pertanian masih diperlukan, ataukah hanya dikembangkan sebagai sub-sistem dari sistem penyuluhan pembangunan perdesaan secara terintegrasi dan holistik

Lebih lanjut, berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi penyuluhan pertanian, pada tahun 1989 Mardikanto telah mengusulkan gagasan pembentukan Kantor/Unit Penyuluhan Pembangunan di setiap Kabu-paten Kota yang secara langsung di bawah kamando dan bertang-gungjawab kepada Bupati/Walikota.Pembentukan kantor/Unit Penyuluhan Pembangunan seperti itu, dira-sakan sangat mutlak, sebab yang diperlukan (yang dapat menjamin orientasi lintas sektoral) bukanlah sekadar wadah atau forum koordi-nasi penyuluhan, tetapi suatu unit kegiatan yang bertanggungjawab penuh kepada Bupati/Walikota dan memiliki kekuasaan penuh dalam menyelenggarakan administrasi penyuluhan pembangunan. Adanya forum koordinasi penyuluhan, pengalaman menunjukkan bahwa koordinasi yang baik dimeja rapat tidak selalu diikuti dengan pelaksanaan penyuluhan pembangunan di lapangan yang benar-benar ber-orientasi lintas-sektoral yang terpadu, selaras, seimbang, dan serasi sesuai dengan prioritas kebutuhan demi tercapainya tujuan pemba-ngunan lokal, regional dan nasional.

Berbeda dengan Dinas/Instansi teknis yang ada, yang lebih memuastkan perhatian kepada kegiatan pengaturan dan pelayanan sesuai dengan sektor/sub-sektornya masing-masing, Kantor/Unit Penyuluhan Pembangunan merupakan aparat fungsional dari yang berkewajiban dan bertanggungjawab merancang, melaksanakan, maupun mengevaluasi program-program penyuluhan pembangunan di wilayah yang bersangkutan, untuk semua kegiatan sektoral dan sub-sektoral, secara terpadu, seimbang, selaras, dan serasi berdasarkan prioritas kebutuhan pembangunan wilayah setempat demi tercapainya perbaikan mutu-hidup masyarakat terus menerus.

Keberadaan Kantor/Unit Pelaksana Penyuluhan Pembangunan yang diharapkan akan mewadahi semua kegiatan penyuluhan yang selama ini dilakukan oleh beragam Dinas/Instansi tersebut, dirasakan penting karena praktek pelaksanaan kegiatan penyuluhan pembangunan yang dirancang dan dikelola oleh beragam dinas/instansi secara terpisah seperti itu, sedikitnya akan memiliki kelemahan-kelemahan dilihat dari:

pemanfaatan sumberdaya pembangunan, ketidak-paduan bahkan terjadinya kompetisi kegiatan penyuluhan antar sektor, keterbatasan wawasan dan pola berpikir aparat penyuluhan, dankepentingan masyarakat sasaran.

Pemanfaatan sumberdaya pembangunan,

Sebagai akibat dari pelaksanaan kegiatan penyuluhan yang dilaksanakan oleh beraga dinas/ instansi, maka sering terjadi kegiat-an penyuluhan tentang suatu aspek kehidupan yang sama tetapi dilaksanakan oleh banyak pihak, padahal semestinya dapat dilaku-kan oleh seorang penyuluh yang sama. Praktek-praktek penyuluhan seperti ini dapat dilihat misalnya pada:

Penyuluhan kesehatan masyarakat, yang dilakukan oleh : PKK dan Puskesmas (melalui Posyandu), Penyuluh Pertanian (melalui UPGK), juru penerang, LSM, dll.Pembinaan generasi muda, yang dilakukan oleh kantor Mendik-nas, Departemen Sosial (Karang Taruna), Penyuluh Pertanian (Pembinaan Pemuda Tani, Pramuka Taruna Bumi), Ormas Pemuda dll.Pertanian, Koperasi, Hukum, dan Keluarga Berencana oleh : Penyuluh Pertanian, Departemen Koperasi, BKKBN, Penga-dilan Negeri (Kadarkum), Jaksa Masuk Desa, dll.

Praktek kegiatan penyuluhan seperti itu, meskipun disatu pihak memiliki arti positif sebagai upaya perluasan lapangan kerja, tentu saja merupakan pemborosan sumberdaya pembangunan (apalagi dalam sua-sana perekonomian yang sulit seperti sekarang ini). Disamping itu, praktek penyuluhan seperti ini sekarang menjadi tidak efektif manakala pesan yang disampaikan oleh masing-masing penyuluh tidak selaras (misalnya penyuluhan penggunaan pestisida oleh PPL dan pelarangan penggunaan pesti-sida oleh LSM di bidang lingkungan hidup).Peningkatan kegiatan penyuluhan yang ditangani oleh setiap dinas/ instansi terkait seperti itu, akan semakin terasa sebagai beban pembangunan yang tidak kecil, manakala selaras dengan tahapan pembangunan, setiap sektor kegiatan menuntut pengangkatan penyuluh baru (termasuk kemudahan yang selaras) dengan jumlah seperti yang telah dimiliki oleh sektor lain. Pengalaman seperti ini pernah kita rasakan pada awal Pelita III, pada saat semua sub-sektor lingkup Departemen Pertanian menginginkan untuk mengangkat PPL-nya sendiri-sendiri seperti yang telah dimiliki oleh Dinas Pertanian (Tanaman Pangan).

b. Ketidak-paduan dan Kompetisi antar Sektor

Seperti telah disinggung, kegiatan penyuluhan yang dilaksa-nakan oleh masing-masing dinas/ instansi terkait seringkali menjadi tidak padu bahkan cenderung berebut lahan dan popularitas, demi tercapainya target-target sektoral atau sub-sektoral. Sehingga tidaklah mengherankan jika keadaan seperti itu dapat menimbulkan kesenjangan psikologis antar aparat penyuluhan di lapangan. Dan jika kesenjangan seperti itu dapat dipadukan dengan baik, yang muncul di lapangan adalah adanya satu kegiatan dengan papan nama yang berbeda (berganti-ganti) sesuai dengan siapa yang sedang membutuhkan (misalnya: kelompok tani berubah menjadi kelompencapir, kadarkum, atau yang lainnya lagi) karena sasarannya memang sama.

c. Keterbatasan wawasan dan pola pikir aparat penyuluh

Adalah satu kendala yang perlu segera diantisipasi adalah, keter batasan wawasan dan pola berpikir sektoral (atau bahkan sub-sektor yang dimiliki oleh aparat penyuluh di lapangan, sebagai akibat demi tercapainya target-target sektor/ sub-sektornya. Perilaku seperti ini, nampaknya telah dapat diselesaikan dengan baik di meja rapat koordinasi (baik pada saat perencanaan atau pemantauan/ evaluasi). Akan tetapi dalam pelaksanaan di lapangan, penyakit seperti itu sangat sulit disem-buhkan karena sebagai aparat yang baik, harus dapat mengamankan dan mensukseskan program serta target dinas/ instansinya sendiri-sendiri.

d. Kepentingan masyarakat sasaranDitinjau dari kepentingan masyarakat selaku penerima manfaat penyuluhan, kegiatan penyuluhan pembangunan yang diprogram dan dilaksanakan oleh beragam instansi sektoral (melalui penyuluhnya masing-masing) akan menyita waktu dan perhatian tokoh-tokoh masyarakat yang bersangkutan hanya untuk menerima kehadiran, mendengar kan penyuluhan, dan kegiatan lain yang dirancang oleh masing-masing penyuluhnya; sehingga waktu yang tersedia untuk mengelola kegiatannya sendiri, dan waktu serta perhatiannya untuk mengorganisir dan menggerakkan partisipasi anggotanya menjadi relatif sangat terbatas.