bab 2 tinjauan pustaka -...

37
25 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Sesuai tujuan penelitian ini, bab 2 tinjauan pustaka diuraikan dengan sistematika sebagai berikut: 1. Definisi Sikap. 2. Teori Pembentukan Sikap. 3. Agama dan Sikap. 4. Hukuman Mati secara Global. 5. Praktik Hukuman Mati di Indonesia. 6. Metode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati. 8. Agama dan Hukuman Mati. 9. Mahasisw a Fakultas Hukum. 2.1. Definisi Sikap Allport (1935) menyatakan bahw a sikap merupakan kata yang sering digunakan untuk menggambar kan seseorang atau menjelaskan tentang perilaku. Seseorang tidak dapat bertahan hidup tanpa sikap, dan psikolog tidak dapat membuat gambaran lengkap tentang perilaku manusia tanpa sikap (Crano & Prislin,

Upload: vancong

Post on 22-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

25  

 

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Sesuai tujuan penelitian ini, bab 2 tinjauan pustaka diuraikan dengan

sistematika sebagai berikut:

1. Definisi Sikap.

2. Teori Pembentukan Sikap.

3. Agama dan Sikap.

4. Hukuman Mati secara Global.

5. Praktik Hukuman Mati di Indonesia.

6. Metode Eksekusi Hukuman Mati

7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati.

8. Agama dan Hukuman Mati.

9. Mahasisw a Fakultas Hukum.

2.1. Definisi Sikap

Allport (1935) menyatakan bahw a sikap merupakan kata yang sering

digunakan untuk menggambarkan seseorang atau menjelaskan tentang perilaku.

Seseorang tidak dapat bertahan hidup tanpa sikap, dan psikolog t idak dapat

membuat gambaran lengkap tentang perilaku manusia tanpa sikap (Crano & Prislin,

Page 2: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

26  

 

2008). Dengan demikian, sikap merupakan bagian yang penting dalam kehidupan

manusia.

Sikap meliputi semua perasaan, keyakinan, dan informasi perilaku tentang

semua hal dari objek-objek sikap (Crano & Prislin, 2008). Untuk mengetahui lebih

mendalam tentang sikap. Dibaw ah ini adalah beberapa definisi sikap:

a. Sikap adalah sebuah kecenderungan untuk merespon dengan cara mendukung

atau tidak mendukung sehubungan dengan objek tertentu (Oskamp & Schultz,

2005).

b. Sikap adalah tendensi untuk berreaksi dalam cara suka atau tidak suka terhadap

suatu objek (Hanuraw an, 2010).

c. Sikap adalah kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan

mengevaluasi entitas tertentu dengan derajat positif atau negatif (Eagly &

Chaiken, 1993, dalam Albarracin, Johnson, & Zanna, 2005).

d. Sikap adalah sebuah organisasi yang relatif stabil dari keyakinan, perasaan, dan

kecenderungan terhadap sesuatu atau seseorang (Morris & Maisto, 2002).

Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahw a sikap

merupakan kecenderungan reaksi seseorang yang diekspresikan dengan

mengevaluasi suatu objek tertentu berupa mendukung atau tidak mendukung. Pada

penelit ian ini, sikap mendukung direpresentasikan dengan “setuju”, sedangkan tidak

mendukung direpresentasikan dengan “tidak setuju”.

Sikap terdiri dari dua jenis yaitu explicit attitudes dan implicit attitudes

(Oskamp & Schultz, 2005). Explicit attitudes atau sikap eksplisit diartikan sebagai

evaluasi bahw a seseorang menyadari dan dapat mengekspresikan sikapnya.

Page 3: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

27  

 

Implicits attitudes atau sikap implisit diartikan sebagai evaluasi yang otomatis dan

berfungsi tanpa disadari oleh individu, sehingga berada diluar kendalinya. Dalam

penelit ian ini, penulis membatasi kajian pada sikap eksplisit (explicit attitudes)

individu. Pembatasan ini dilakukan, karena sesuai dengan pandangan Posit ivisme,

hanya sikap yang dieksplisitkan sebagai konstruk terukur dan teramati yang

dianggap ada sehingga pantas dijadikan sebagai variabel penelitian.

Menurut Bornstein & Miller (2010), proses pengambilan keputusan oleh

hakim sering digambarkan sebagai keputusan berdasarkan fakta dan teladan

hukum, kendati temuan empiris juga menunjukkan bahw a faktor psikologis seperti

sikap dan latar belakang hakim berperan dalam proses tersebut.  Sikap dapat

membuat seseorang mengambil keputusan dengan cepat dan tanpa usaha yang

berat (Sanbonmatsu & Fazio, 1990). Hal ini membuat keputusan individu cenderung

kongruen dengan sikapnya.

Dalam konteks hukuman mati, McKelvie (2006) menjelaskan, orang yang

bersikap positif terhadap hukuman mati akan lebih cenderung menerima

pemberlakuan vonis mati dibandingkan orang yang bersikap negatif. Hal ini terjadi

karena sikap mengarahkan perilaku pengambilan keputusan dengan memengaruhi

penilaian individu terhadap pilihan keputusan (Sanbonmatsu & Fazio, 1990).

 

Page 4: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

28  

 

2.2. Teori Pembentukan Sikap

Pada tahun 2004, Haddock dan Maio merumuskan sebuah teor i

pembentukan sikap yang dikenal dengan sebutan Multicomponent Model of Attitude.

Teori ini menjelaskan bahw a prinsip dasar pembentukan sikap adalah penilaian

global terhadap suatu stimulus objek yang berasal dari tiga sumber informasi yaitu

affective information, cognitive information, dan behavioral information.

Affective information (informasi afektif) merujuk pada perasaan atau emosi

yang diasosiasikan dengan suatu objek. Misalnya seseorang menolak untuk

mendonorkan darah karena merasa takut atau cemas. Cognitive information

(informasi kognit if) merujuk pada keyakinan tentang suatu objek. Misalnya orang

yang menolak untuk mendonorkan darah karena percaya bahw a donor darah sangat

menyakitkan. Sedangkan behavioral information (informasi perilaku) merujuk pada

kecenderungan perilaku seseorang terhadap suatu objek yang diciptakan dar i

pengalaman masa lalu. Misalnya orang yang menolak untuk mendonorkan darah

karena pernah melihat orang lain kesakitan karena mendonorkan darah. Untuk

mempermudah penjelasan, teori pembentukan sikap diuraikan pada bagan berikut

ini:

Page 5: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

29  

 

Gambar 2.1 Teori Pembentukan Sikap

Dalam pembentukan sikap, ketiga informasi tersebut memiliki kaitan yang

kuat satu sama lain. Eagly dan Chaiken (dalam Haddock & Maio, 2004),

menyatakan bahw a ketiga sumber informasi tersebut memiliki hubungan yang

sinergis yakni perasaan positif akan diikuti dengan keyakinan positif dan

pengalaman perilaku yang posit if juga.

Penjelasan serupa juga dijabarkan oleh Oskamp & Schultz (2005). Mereka

menggunakan istilah tri-componential viewpoint, menjelaskan bahw a ada tiga aspek

atau komponen dalam pembentukan sikap yaitu affective (emotional) component,

behavioral component dan cognitive component. Komponen afektif

(affective/emotional component) merujuk pada perasaan atau emosi seseorang

terhadap suatu objek. Komponen perilaku (behavioral component) meliputi

kecenderungan t indakan seseorang terhadap suatu objek. Terakhir, komponen

kognit if (cognitive component) merujuk pada ide atau keyakinan seseorang terhadap

suatu objek.

COGNITIVE INFORMATION

AFFECTIVE INFORMATION

BEHAVIOR INFORMATION

ATTITUDE

Page 6: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

30  

 

2.3. Agama dan Sikap

Agama adalah aspek utama dari masyarakat dan merupakan komponen

integral dari kehidupan banyak orang (Miller, Singer, & Jehle, 2008). Ajaran agama

telah menjadi panutan orang-orang yang menganutnya. Keyakinan seseorang akan

ajaran agamanya dapat mengantarkan individu tersebut pada sikap terhadap suatu

hal, baik dalam isu sosial maupun legal (Bornstein & Miller, 2010). Pada dasarnya

sikap keagamaan seseorang dapat membentuk cara seseorang memproses

informasi. Individu akan cenderung lebih fokus pada informasi yang menegaskan

sikap dan keyakinannya, serta cenderung mengabaikan informasi yang tidak sesuai

(Miller, Singer, & Jehle, 2008).

Heuristic-Systematic model merupakan sebuah model pembentukan sikap

yang dapat menjelaskan alasan agama dapat memengaruhi pemikiran seseorang

(Miller, Singer, & Jehle, 2008). Menurut Miller, dkk (2008), ada dua cara dalam

memproses informasi yaitu systematic dan heuristic. Proses systematic merupakan

cara seseorang menerima informasi dan memprosesnya secara cermat dan rasional

untuk menilai keabsahannya. Proses heuristic merupakan cara seseorang menerima

pesan dan memprosesnya dengan usaha yang sedikit. Seseorang yang

menggunakan cara heuristic pada umumnya tidak menganalisa informasi yang

sudah diterimanya secara mendalam. Misalnya, seseorang mungkin mempercayai

pernyataan ahli atau beranggapan bahw a penjelasan yang diberikan adalah benar.

Jika seseorang pada aw alnya memproses informasi secara systematic dengan

menganalisa setiap hal yang diajarkan, namun pada akhirnya mereka mungkin

Page 7: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

31  

 

merasa tidak perlu untuk memproses segalanya secara cermat. Begitu juga dalam

ruang lingkup keagamaan, seseorang bisa saja memproses informasi secara

systematic pada aw alnya, namun selanjutnya akan bergeser pada proses heuristic.

Jika seorang petinggi agama yang disegani menyampaikan suatu pernyataan

keagamaan, maka umat tidak akan mempertanyakan pernyataan tersebut. Hal ini

tentu saja berpengaruh terhadap perilaku individu. Dengan demikian, dapat

diasumsikan bahw a jika agama seseorang hakim mendukung praktik hukuman mati,

maka hal tersebut dapat memengaruhi keputusan dibuatnya dalam persidangan.

2.4. Hukuman Mati Secara Global

 

Hukuman mati sudah dilakukan sejak zaman Babilonia pada masa kerajaan

Hammurabi abad ke-18 Sebelum Masehi. Pemikiran tentang pelaksanaan hukuman

ini berdasarkan f ilosofi “an eye for an eye, and a tooth for a tooth” (Golston, 2009).

Jika seseorang mengambil nyaw a orang lain, sebagai gantinya dia juga harus

diambil nyaw anya. Pada aw alnya eksekusi hukuman mati dilakukan dengan cara

merajam pelaku kejahatan (Golston, 2009).

Di w ilayah Asia, berdasarkan penjelasan Golton (2009), hukuman mati sudah

diberlakukan di China sejak 551-479 Sebelum Masehi. Informasi ini diperoleh dari

tulisan Confucious dan pengikutnya yang percaya bahwa hukuman mati dilakukan

untuk mencegah perilaku kejahatan dengan memberikan contoh daripada sanksi itu

sendiri. Jadi hukuman mati dilakukan pada zaman itu guna memberikan contoh

kepada masyarakat sipil agar t idak melakukan kejahatan serupa.

Page 8: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

32  

 

Henderson (dalam Marzilli, 2008) menjelaskan bahw a kematian merupakan

hukuman standar untuk kejahatan utama di seluruh Eropa. Metode eksekusi yang

digunakan juga tergolong kejam, bar bar 1, dan sering kali melibatkan beberapa

bentuk penyiksaan. Penggunaan hukuman mati bertujuan untuk membalas

perbuatan yang sudah dilakukan oleh pelaku kejahatan (Marzilli, 2008). Pada abad

ke-17 hingga abad ke-18, eksekusi untuk kejahatan umum di Eropa semakin

berlimpah. Pada tahun 1700, terdapat 222 jenis kejahatan yang dijatuhkan hukuman

mati, termasuk para pencuri domba, dan penebang pohon liar, (Golston, 2009).

Pada abad ke-18 muncul gerakan yang disebut Enlightment yang membaw a

perubahan terhadap tradisi penggunaan hukuman mati di Eropa (Golston, 2009).

Kelompok ini mulai menggantikan tradisi dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagai

penentu kebenaran dan kesalahan dalam masyarakat. Pada tahun 1786, Komunitas

Sant’Egidio menginisiasi suatu kegiatan yang dikenal dengan nama Cities for Life

yaitu terjadinya penghapusan hukuman mati oleh suatu otoritas negara di Eropa,

Great Duchy of Tuscany (Kontras, 2007). Kemudian pada tahun 1794, Pennsylvania

menjadi negara bagian pertama di Serikat Baru yang melakukan penghapusan

terhadap praktik hukuman mati untuk semua kejahatan, kecuali pembunuhan t ingkat

pertama.

Seiring dengan berjalannya w aktu berbagai negara mulai menghapus

hukuman mati. Berdasarkan data Amnesty International, hingga Desember 2010

terdapat 96 negara yang menghapus hukuman mati untuk seluruh kategor i

kejahatan, 9 negara menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa, 34 negara

                                                                         1 Bar bar adalah tindakan yang tidak beradab  

Page 9: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

33  

 

yang menghapus hukuman mati secara praktik yaitu t idak melakukan eksekusi

selama 10 tahun terakhir. Walaupun demikian, masih terdapat 58 negara yang

masih memberlakukan hukuman mati, salah satunya adalah Indonesia.

2.5. Praktik Hukuman Mati di Indonesia

Di Indonesia terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan terkait

dengan hukuman mati. Berikut adalah daftar undang-undang yang memiliki

ancaman hukuman mati:

Tabel 2.1. Pasal-Pasal yang Mencantumkan Ancaman Hukuman Mati

NO UNDANG-UNDANG PASAL

1 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana KUHP.

Pasal 104, 111 ayat (2), 124, 140 ayat

(3), 340, 365 ayat (4), 444, 124 bis,

127, 129, 368 ayat (2).

2 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana Militer (KUHPM).

Pasal 64, Pasal 65, Pasal 67, Pasal 68,

Pasal 73 Ke-1, Ke-2, Ke-3, dan Ke-4,

Pasal 74 Ke-1 dan Ke-2, Pasal 76 (1),

Pasal 82, Pasal 89 Ke-1dan Ke-2,

Pasal 109 Ke-1 dan Ke-2, Pasal 114

ayat (1), Pasal 133 ayat (1) dan (2),

Pasal 135 ayat (1) Ke-1 dan Ke-2, ayat

(2), Pasal 137 ayat (1) dan (2), Pasal

Page 10: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

34  

 

138 ayat (1) dan (2), dan Pasal 142

ayat (2).

3 Undang-Undang No. 12 Tahun

1951 tentang Senjata Api.

Pasal 1 ayat (1)

4 Penetapan Presiden No. 5 Tahun

1959 tentang Wew enang Jaksa

Agung/Jaksa Tentara Agung

dalam hal memperberat ancaman

hukuman terhadap tindak pidana

yang membahayakan

pelaksanaan perlengkapan

sandang pangan.

Pasal 2

5 Perpu No. 21 Tahun 1959 tentang

memperberat ancaman hukuman

terhadap tindak pidana ekonomi.

Pasal 1 ayat (1) dan (2)

6 Undang-Undang No.

11/PNPS/1963 tentang

Pemberantasan Kegiatan Subversi

Pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 1 ayat

(1)

7 Undang-Undang No.

31/PNPS/1964 tentang Ketentuan

Ketentuan Pokok Tenaga Atom

Pasal 23

8 Undang-Undang No. 4 tahun 1967

tentang Perubahan dan

Pasal 3, Pasal 479 huruf (k) dan (o)

Page 11: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

35  

 

Penambahan Beberapa Pasal

dalam KUHP bertalian dengan

Per luasan Berlakunya Ketentuan

Perundang-undangan Pidana

Kejahatan Penerbangan dan

Kejahatan terhadap Sarana-

Prasarana Penerbangan

9 Undang-Undang No. 5 tahun 1997

tentang Psikotropika

Pasal 59 ayat (2)

10 Undang-Undang No. 22 tahun

1997 tentang Narkotika

Pasal 80 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 82

ayat (1), (2), dan (3)

11 Undang-Undang No. 31 tahun

1999 tentang Pembrantasan

Korupsi

Pasal 2 ayat (2)

12 Undang-Undang No. 26 tahun

2000 tentang Pengadilan HA M

Pasal 36, 37, 41, 42 ayat (3)

13 Undang-Undang No. 15 tahun

2003 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme

Pasal 6, 8, 9, 10, 14, 15, dan 16.

Sumber: Supriyadi Widodo Eddyono, S.H. & Wahyu Wagiman, S.H. (2008).

Semua legislasi yang tercantum di atas berlaku bagi seluruh masyarakat

Indonesia, kecuali Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) yang

berlaku hanya bagi personil militer. Dari legislasi yang ada, penulis membuat dua

Page 12: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

36  

 

pengelompokan kejahatan, yaitu kejahatan vertikal dan kejahatan horizontal.

Kejahatan vertikal merupakan perbuatan jahat yang bersifat melaw an otoritas, dalam

hal ini adalah negara. Sedangkan kejahatan horizontal adalah perbuatan jahat yang

dilakukan oleh sesama masyarakat. Berikut ini merupakan ilustrasi pengkategorian

kejahatan vertikal dan horizontal:

Kejahatan Vertikal Kejahatan Horizontal

Gambar 2.2. Kejahatan Vertikal dan Horizontal.

Kategori kejahatan vertikal yang tercantum dalam undang-undang antara lain:

1. Kejahatan Terhadap Keamanan Negara: KUHP Pasal 104, Pasal 111 ayat

2, Pasal 124, Pasal 129.

2. Kejahatan-Kejahatan Terhadap Negara Sahabat dan Terhadap Kepala

Negara Sahabat Serta Wakilnya: KUHP Pasal 140 ayat 3.

3. Kejahatan Senjata Api: Undang-Undang No. 12 Tahun 1951 Tentang

Senjata Api Pasal 1 ayat 1.

4. Kegiatan Subversi: Undang-Undang No. 11/PNPS/1963 Tentang

Pemberantasan Kegiatan Subversi. Undang-Undang ini sudah dicabut

pada tahun 1999 dengan Undang-Undang No. 26 tahun 1999 Tentang

OTORITAS MASYARAKAT MASYARAKAT

MASYARAKAT

Page 13: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

37  

 

Pencabutan Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang

Pemberantasan Kegiatan Subversi.

5. Ketentuan Pokok Tenaga Atom: Undang-Undang No. 31/PNPS/1964

Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Atom Pasal 23

6. Kejahatan Korupsi: Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Korupsi Pasal 2 ayat 2.

7. Tindak Pidana Terorisme: Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 6, 8, 9, 10, 14, 15, dan

16. Perpu ini sudah menjadi Undang-Undang pada tahun 2003 melalui

Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 Tentang

Pemberantasan Tindan Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang.

Kategori kejahatan horizontal yang tercantum dalam undang-undang antara lain:

1. Kejahatan Terhadap Nyaw a: KUHP Pasal 340.

2. Pencurian: KUHP Pasal 365 ayat 4.

3. Kejahatan Pelayaran: KUHP Pasal 444.

4. Pemerasan dan Pengancaman: KUHP Pasal 368 ayat 2.

5. Ketentuan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana-Prasarana

Penerbangan: KUHP Pasal 479k ayat 2, Pasal 479o ayat 2. Perubahan

dan penambahan legislasi ini ke dalam KUHP dinyatakan melalui Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan

Beberapa Pasal dalam KUHP bertalian dengan Per luasan Berlakunya

Page 14: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

38  

 

Ketentuan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana-Prasarana

Penerbangan.

6. Kejahatan Narkoba:

a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Ps ikotropika: Pasal 59

ayat 2.

b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika: Pasal 80

ayat 1, 2, dan 3; Pasal 82 ayat 1, 2, dan 3.

Pada tahun 2009 kedua undang-undang tersebut diganti menjadi

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika. Pada undang-undang ini terdapat 10 pasal yang

mencantumkan ancaman hukuman mati yaitu Pasal 113 ayat 2, Pasal

114 ayat 2, Pasal 116 ayat 2, Pasal 118 ayat 2, Pasal 119 ayat 2, Pasal

121 ayat 2, Pasal 126 ayat 2, Pasal 132 ayat 3, Pasal 133 ayat 1, dan

Pasal 144 ayat 2.

7. Tidak Pidana Ekonomi:

a. Penetapan Presiden Nomor 5 tahun 1959 tentang Wew enang Jaksa

Agung/Jaksa Tentara Agung dalam hal memperberat ancaman

hukuman terhadap t indak pidana yang membahayakan pelaksanaan

perlengkapan sandang pangan: Pasal 2.

b. Perpu Nomor 21 Tahun 1959 tentang Memperberat Ancaman

Hukuman terhadap Tindak Pidana Ekonomi: Pasal 1 ayat 2.

8. Kejahatan Hak Asasi Manusia: Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000

tentang Pengadilan HAM Pasal 36, Pasal 37, Pasal 41, Pasal 42 ayat 3.

Page 15: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

39  

 

Penegakan hukum yang bersifat adil terjadi ketika ada kesetaraan antara

satu pihak dengan pihak yang lainnya (Kant dalam Ladd, 1999). Dalam kejahatan

vertikal terdapat ketidaksetaraan antara pihak satu dengan pihak yang lain yakni

otoritas dengan masyarakat. Sedangkan kejahatan horizontal memiliki titik

kesetaraan satu pihak dengan pihak yang lain yaitu masyarakat dengan masyarakat.

Pada penelit ian ini, penulis hanya mengkaji mengenai kejahatan hor izontal.

Dalam kejahatan hor izontal, penulis mengeluarkan dua kategori kejahatan

yang dianggap lebih tepat dilakukan penelit ian secara khusus karena cakupan t indak

kejahatan tersebut sangat luas. Dua kategori kejahatan itu adalah tindak pidana

ekonomi dan kejahatan hak asasi manusia. Atas dasar itu, jenis kejahatan yang

paling tepat sebagai bahan kajian dalam penelitian ini antara lain kejahatan terhadap

nyaw a, pencurian, kejahatan pelayaran, pemerasan dan pengancaman, ketentuan

penerbangan dan kejahatan terhadap sarana-prasarana penerbangan, dan

kejahatan narkotika.

Adanya ancaman hukuman mati terhadap kejahatan-kejahatan tertentu pada

dasarnya merupakan peraturan yang diturunkan oleh Kolonial Belanda. Tujuan

diberlakukannya hukuman mati hingga saat ini adalah untuk mencegah timbulnya

kejahatan dan pelanggaran (Husein, 2003).

Hingga saat ini A mnesty International yang juga merupakan organisasi

perlindungan hak asasi manusia terbesar di dunia mengkategorikan Indonesia

sebagai negara retentionist (Amnesty International, 2011). Negara retentionist

merupakan negara yang masih memberlakukan hukuman mati baik secara hukum

maupun praktik. Pengkategorian tersebut dilakukan berdasarkan hasil pantauan

Page 16: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

40  

 

eksekusi mati yang pernah dilakukan oleh Indonesia selama sepuluh tahun terakhir

terhitung dari tahun 2000.

Selama tahun 1998 hingga akhir 2008, jumlah terpidana mati yang telah

dieksekusi sebanyak 21 orang (Imparsial, 2009). Berdasarkan data tersebut

dijelaskan bahw a tiga besar kasus yang melatari eksekusi mati adalah pembunuhan

(13 kasus), narkotika (5 kasus), dan terorisme (3 kasus).

Penentuan vonis dan hukuman mati di Indonesia dilakukan oleh hakim. Hal

ini menunjukkan bahw a hidup atau mati seorang terdakw a berada di tangan seorang

hakim. Hakim memiliki tanggungjaw ab yang sangat besar dalam proses persidangan

dan proses hukum. Dengan tugas yang sedemikian rupa, tidak mungkin sembarang

orang bisa menjadi pemangku otoritas tertinggi di setiap persidangan. Atas dasar itu,

apa sajakah syarat untuk menjadi seorang hakim?

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan

Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dalam

Pasal 14 ayat 1, syarat untuk menjadi hakim adalah

1. Warga Negara Indonesia.

2. Bertakw a kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

4. Sarjana Hukum.

5. Lulus pendidikan hakim.

6. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan

kew ajiban.

Page 17: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

41  

 

7. Berw ibaw a, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.

8. Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40

(empat puluh) tahun.

9. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap.

Seorang calon hakim w ajib menempuh jenjang pendidikan sarjana terlebih

dahulu, selanjutnya menyelesaikan pendidikan hakim yang diselenggarakan oleh

Mahkamah Agung. Pendidikan hakim bukan dalam bentuk sekolah, melainkan

pendidikan dan pelatihan (diklat) yang diselenggarakan oleh internal organisasi

masing-masing (Rachmadsyah, 2010). Dari semua itu, syarat pendidikan minimal

yang w ajib dimiliki oleh seorang hakim adalah sarjana hukum.

2.6. Metode Eksekusi Hukuman Mati

Menurut Syd Golston (2009), ada beberapa metode eksekusi yang paling sering

digunakan dalam praktik hukuman mati adalah

a. Rajam (stoning) yaitu eksekusi hukuman mati yang dilakukan oleh massa

dengan melempar batu ke pelaku kejahatan.

b. Penggal kepala (beheading) yaitu eksekusi hukuman mati yang dilakukan

dengan memotong kepala pelaku kejahatan.

c. Tembak (shooting) yaitu eksekusi hukuman mati dengan menggunakan

senjata api dan ditembakan ke arah jantung pelaku kejahatan.

Page 18: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

42  

 

d. Gantung (hanging) yaitu eksekusi hukuman mati yang dilakukan dengan

menggantung pelaku kejahatan di t iang gantungan.

e. Suntik (lethal injection) yaitu eksekusi hukuman mati yang dilakukan dengan

menyuntikan obat yang dapat membunuh kepada pelaku kejahatan.

f. Sengatan listrik (electrocution) yaitu eksekusi hukuman mati yang dilakukan

dengan meminta pelaku kejahatan duduk di atas kursi kemudian dialiri listrik

yang bertegangan tinggi.

Metode eksekusi yang dilakukan di Indonesia berdasarkan Penetapan Presiden

No. 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh

Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer yaitu ditembak sampai mati.

2.7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

 

Hukuman mati merupakan salah satu jenis hukuman yang paling

kontroversial dan selalu mendapat sorotan dari berbagai kalangan di seluruh dunia

(Husein, 2003). Menurut Golston (2009) argumen masyarakat Amerika Serikat yang

mendukung keberadaan praktik hukuman mati adalah

a. Retribution: Hukuman mati memegang peran penting dalam konsep ganti rugi.

Pihak yang sudah merugikan orang lain harus mendapatkan hukuman sesuai

dengan perbuatannya. Konsep ini juga bertujuan untuk mencegah adanya

pembalasan dendam secara pribadi sehingga hal yang berurusan dengan

kemarahan dan kehilangan dapat dikendalikan melalui hukum.

Page 19: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

43  

 

b. Detterence: Pelaksanaan hukuman mati dipertahankan dengan alasan dapat

mencegah kejahatan. Dasar pemikiran tersebut terletak pada asumsi bahw a

semua manusia takut mati, oleh karena itu keberadaan hukuman mati dapat

mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan dan menghindari hukuman mati

(Marzilli, 2008).

c. Protection of society from repeat killers: pelaksanaan hukuman mati bertujuan

untuk melindungi masyarakat luas dari adanya ancaman yang berbahaya seperti

pembunuh berantai.

d. Cost: Biaya yang dikeluarkan untuk membiaya para penjahat seumur hidup lebih

baik dihabiskan untuk perlindungan dan pendidikan.

Berikut adalah argumen masyarakat Amerika Serikat yang menolak

keberadaan praktik hukuman mati:

a. Brutalization: pelaksanaan hukuman mati telah meningkatkan kekerasan di

kalangan masyarakat.

b. Execution of innocent people: juri dan hakim yang salah membuat keputusan

dapat menyebabkan kematian seseorang yang tidak bersalah.

c. Inconsistency of the death sentence: juri dan hakim yang t idak konsisten dala m

menetapkan vonis dan hukuman. Beberapa narapidana yang dieksekusi mati

melakukan kejahatan yang kurang mengerikan dibandingkan mereka yang masih

hidup.

d. Execution for juvenile, retardation, and mental illness: Remaja t idak memiliki

penilaian seperti orang dew asa dan kontrol, sehingga perlu pemberian ampun

Page 20: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

44  

 

terhadap mereka yang melakukan kejahatan. Pelaku kejahatan yang mengalami

keterbelakangan mental atau gangguan jiw a tidak pantas diberi hukuman mati.

e. Cruel and unusual punishment: hukuman mati merupakan hukuman yang keja m

dan eksekusi merupakan suatu penyiksaan publik.

Penjelasan tersebut merupakan gambaran argumen tentang hukuman mati di

kalangan international. Bagaimana dengan situasi di Indonesia? Tidak dapat

dipungkiri masih ada pihak yang mendukung dan menolak keberadaan hukuman

mati di Indonesia. Berikut adalah beberapa argumen yang mendukung keberadaan

praktik hukuman mati di Indonesia:

a. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam debat Capres/Caw apres

menyatakan hukuman mati kepada pengedar narkoba, koruptor, dan pelanggar

berat hak asasi manusia merupakan keadilan yang harus ditegakkan dan

memberikan efek jera bagi para pelakunya ( Imparsial, 2004).

b. Pidana mati adalah suatu alat pembersih radikal yang dapat digunakan pada

setiap masa revolusioner (Hazew inkel-Suringa, dalam Husein, 2003).

c. Hukuman mati dilakukan untuk mencegah perbuatan pidana yang kejam terulangi

lagi dan pidana sebaiknya dijatuhkan untuk t indak pidana yang jelas-jelas

membahayakan masyarakat (Eddyono & Wagiman, 2008).

d. Sebagai suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dar i

bencana dan bahaya atau pun ancaman kejahatan besar yang mungkin terjadi

yang akan menimpa masyarakat, yang telah atau akan mengakibatkan

kesengsaraan dan mengganggu ketertiban serta keamanan rakyat umum, dala m

Page 21: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

45  

 

pergaulan manusia bermasyarakat dan beragama (Hartaw i A. M, dalam Husein,

2003).

e. Untuk mengontrol kejahatan masih diperlukan ancaman keras seperti hukuman

mati, khususnya terhadap kejahatan yang bengis (Bambang Poernomo, dala m

Hendarman Supandji, 2008).

Pada sisi lain, para penentang hukuman mati juga memberikan argumen

terkait dengan keberadaan praktik hukuman mati di Indonesia. Berikut adalah

argumen penolakan terhadap keberadaan praktik hukuman mati di Indonesia:

a. Hukuman mati telah melanggar hak asasi manusia yang paling penting, yakni hak

untuk hidup (right to life). Hak fundamental (non-derogable rights) ini merupakan

jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apa

pun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi

narapidana (Kontras, 2007)

b. Hukuman mati memiliki turunan pelanggaran HAM serius lainnya, yaitu

pelanggaran dalam bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam dan tidak

manusiaw i. Hal ini bisa terjadi karena umumya rentang antara vonis hukuman

mati dengan eksekusi berlangsung cukup lama (Kontras, 2007).

c. Praktek hukuman mati di Indonesia selama ini masih bias kelas dan diskriminasi.

Hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak

kejahatannya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius atau luar biasa.

Contohnya para koruptor, pelaku pelanggaran berat HAM (Kontras, 2007).

d. Berdasarkan Supandji (2008), beberapa argumen yang menentang keberadaan

hukuman mati adalah mencabut nyaw a seseorang merupakan hak Tuhan bukan

Page 22: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

46  

 

hak negara/pemerintah, hukuman mati melanggar hak dasar manusia untuk hidup

dan merupakan tindakan yang tidak manusiaw i, hukuman mati yang dijatuhkan

tidak dapat memperbaiki kesalahan atau kekeliruan hakim yang hanyalah

manusia biasa, t idak ada bukti ilmiah yang menjelaskan bahw a pemberlakuan

hukuman mati dapat mencegah t ingkat kejahatan.

e. Negara yang memberlakukan hukuman mati hanya memperlihatkan

ketidakmampuannya, kelemahannya untuk memberantas kejahatan. Jika negara

masih dapat mencapai tujuannya dengan melaksanakan penerapan pidana yang

lain, maka negara berkew ajiban menghapus hukuman mati. Selain itu, hal yang

harus diperhatikan adalah jika terjadi kekeliruan atas vonis hakim, dan pidana

mati telah dilaksanakan, maka kekeliruan itu t idak dapat diperbaiki lagi (Roeslan

Saleh, dalam Hendarman Supandji, 2008).

2.8. Agama dan Hukuman Mati

Di Indonesia terdapat enam agama utama yaitu Islam, Kr isten Protestan,

Katolik, Buddha, Hindu dan Kong Hu Chu. Agama-agama di Indonesia pada

umumnya memiliki posisi unik tentang hukuman mati sebagai sanksi. Berikut

merupakan pernyataan agama-agama di Indonesia terkait dengan praktik hukuman

mati:

Page 23: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

47  

 

2.8.1. Agama Islam

Merujuk pada Al-Qur’an, Surah ke-5 Al-Ma’idah ayat 45,

“Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat)

bahw a nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata,

hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan

gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama).

Barang siapa melepaskan hak qisasnya, maka itu (menjadi)

penebus dosa baginya. Barang siapa t idak memutuskan

perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka

itulah orang-orang zalim”.

Dalam ayat di atas Qisas bermakna memberikan perlakuan yang

sama kepada pelaku pidana sebagaimana ia melakukannya terhadap

korban. Menurut Rachman (2008), dasar berlakunya qisas ini adalah

berdasarkan f irman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah yakni kedua dari Al-

Quran, ayat 178 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diw ajibkan atas kamu

qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang

merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan

wanita dengan w anita. Maka barangsiapa yang mendapat

pemaafan dari saudaranya hendaklah yang memaafkan

mengikuti dengan cara yang baik dan hendaklah yang diberi

Page 24: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

48  

 

maaf membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara

yang baik pula”.

Pada dasarnya dalam ajaran Islam pelaksanaan hukuman mati

merupakan suatu bentuk retribusi. Kendati demikian, masih ada cara yang

lebih baik untuk menyelesaikan suatu perkara yakni pemaafan atau

kerukunan. Artinya asas rekonsiliasi lebih dimuliakan ketimbang retribusi.

2.8.2. Agama Kristen Protestan

Hukum Perjanjian Lama memerintahkan hukuman mati untuk

berbagai perbuatan pembunuhan (Alkitab Keluaran 21:12), penculikan

(Alkitab Keluaran 21:16), hubungan seks dengan binatang (Alkitab Keluaran

22:19), perzinahan (Alkitab Imamat 20:10), homoseksualitas (Alkitab Imamat

20:13), menjadi nabi palsu (Alkitab Ulangan 13:5), dan pemerkosaan (Alkitab

Ulang 22:25). Ada sebuah kisah menar ik yang dijelaskan dalam Perjanjian

Baru. Ketika orang-orang Far isi membaw a kepada Yesus seorang wanita

yang tertangkap basah sedang berzina dan bertanya kepadaNya apakah

wanita itu perlu dirajam, Yesus menjaw ab “Barangsiapa di antara kamu tidak

berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan

itu” (Alkitab Yohanes 8:7).

Dalam sebuah forum komunitas blogger Kristen (2009,

www.sabdaspace.org) dijelaskan bahw a ungkapan Yesus (Alkitab Yohanes

8:7) tidak dapat diartikan sebagai penolakan Yesus terhadap hukuman mati

Page 25: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

49  

 

dalam segala hal, karena dalam bagian ini, Yesus hanya bermaksud untuk

mengungkapkan kemunafikan orang-orang Farisi. Tindak Yesus tersebut

merupakan tanggapan terhadap rencana orang Farisi yang ingin menjebak

Yesus untuk melanggar Hukum Perjanjian Lama. Dukungan terhadap

hukuman mati juga dicantumkan dalam Alkitab Kejadian 9:6 yang berbunyi

“siapa yang menumpahkan darah manusia, oleh manusia darahnya akan

dicurahkan, karena dalam gambar Allah menciptakan manusia”.

Dari penjelasan tersebut ter lihat bahw a sesungguhnya agama Kristen

Protestan memberlakukan hukuman mati. Kendati demikian, hukuman

tersebut tidak dapat ditegakkan secara serta-merta untuk menghakimi

perbuatan orang lain.

2.8.3. Agama Katolik

Ayat-ayat Alkitab yang tercantum dalam perspektif agama Kristen

Protestan juga berlaku bagi agama Katolik yakni Keluaran 21:12, Keluaran

21:16, Keluaran 22:19, Imamat 20:13, Ulangan 13:5, Ulang 22:4, Yohanes

8:7, Kejadian 9:6). Dalam ajaran Katolik, menurut Romo William P. Saunders

(2001), hukuman seharusnya digunakan untuk mencegah terjadinya

kejahatan di masa mendatang, artinya suatu hukuman ditegakan untuk

kepentingan orang banyak. Pada prinsipnya Gereja Katolik menjunjung t inggi

hak negara untuk melaksanakan hukuman mati atas penjahat-penjahat

tertentu, namun selagi masih ada cara yang tidak berdarah untuk

Page 26: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

50  

 

penghukuman tersebut, maka yang berw enang harus merealisasikan cara

tersebut (Romo William P. Saunders, 2011).

Agama Katolik juga menghendaki diberlakukannya hukuman mati

sebagai alat pembuat jera pelaku kejahatan (deterrence effect). Meski begitu,

jika ada solusi yang lebih baik tanpa harus mengorbankan nyaw a seseorang

maka solusi tersebut harus dijalankan.

2.8.4. Agama Buddha

Pancasila Buddhis2 merupakan pedoman dasar bagi pemeluk agama

Buddha. Membunuh merupakan hal yang paling dilarang dalam ajaran

Buddha. Larangan membunuh terlihat pada pernyataan sila pertama

Pancasila Buddhis yang berbunyi, “Aku bertekad melatih diri menghindari

pembunuhan makhluk hidup”. Pada dasarnya ajaran Buddha tidak secara

eksplisit membahas tetang keberadaan praktik hukuman mati. Namun,

penjelasan tentang hukuman dalam agama Buddha sudah dicantumkan

pada Kitab Suci Dhammapada Sutta Pitaka Khuddaka Nikaya, Danda Vagga

(bab X) ayat 1 dan 2 yang berbunyi:

Bait 129: “Semua orang takut akan hukuman; semua orang takut akan

kematian. Setelah membandingkan orang lain dengan diri sendir i,

hendaknya seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan

pembunuhan”.

                                                                         2 Pancasila Buddhis merupakan lima aturan yang diberlakukan untuk seluruh  umat Buddha. 

Page 27: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

51  

 

Bait 130: “Semua orang takut akan hukuman; semua orang mencintai

kehidupan. Setelah membandingkan orang lain dengan diri sendir i,

hendaknya seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan

pembunuhan”.

Dari penjelasan ayat tersebut dapat disimpulkan bahw a

sesungguhnya ajaran Buddha tidak menyarankan adanya praktik

pembunuhan.

2.8.5. Agama Hindu

Hukuman mati dianggap perlu diberlakukan bagi siapa saja yang

membakar rumah, meracuni sesama manusia, menenung sesama manusia,

mengamuk, memfitnah raja dan merusak kehormatan w anita (Kitab Kutara

Manaw a Pasal 11, dalam artikel Majalah Gumi Bali Sarad, 2008). Selain itu,

penjelasan tentang pihak yang patut dihukum mati juga tercantum dalam

kitab Manaw a Dharma Sastra bab VIII 350-379 (Gelgel, dalam Majalah Gumi

Bali, 2008). Menurut Gelgel (2008), hukuman mati sesungguhnya

dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera bagi masyarakat luas, agar

kejadian itu tidak terulang kembali. Dengan demikian, dalam ajaran Hindu

sesungguhnya menghendaki pemberlakuan hukuman mati bagi mereka

yang pantas menerima hukuman tersebut.

Page 28: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

52  

 

2.8.6. Agama Kong Hu Chu

Agama Kong Hu Chu sepenuhnya t idak mendukung maupun menolak

praktik hukuman mati (Sugiaman, 2009). Menurut Sugiaman, ada tiga syarat

yang dipenuhi sebelum hukuman mati dilakukan. Pertama, berdasarkan ayat

Meng Zi IIB. 8, pembuatan keputusan hukuman mati hanya boleh dilakukan

oleh orang yang memiliki w ew enang. Dalam konteks hukum, orang tersebut

adalah hakim. Kedua, berdasarkan Sabda Suci IV.10, hukuman mati boleh

saja dijatuhkan apabila kejahatan yang dilakukan setimpal dan layak untuk

dijatuhi hukuman mati. Ketiga, berdasarkan Sabda Suci IV.10 juga, hukuman

mati diharapkan bisa memberikan efek jera dan mencegah orang untuk

berbuat kejahatan yang sama.

Tiga syarat yang disampaikan tidak dapat diartikan secara “mentah”

bahw a agama Kong Hu Chu mendukung praktik hukuman mati. Dalam

Sabda Suci I. 5, Nabi Kong Zi bersabda, “Mengatur negeri yang mempunyai

seribu kereta perang haruslah hormat kepada tugas dan dapat dipercaya,

hemat dalam anggaran belanja dan mencintai sesama manusia serta dalam

memerintah rakyat hendaknya disesuaikan dengan waktunya” (Sugiaman,

2009). Sugiaman menambahkan, agama Kong Hu Chu tidak berada pada

posisi menerima atau menolak hukuman mati, namun pelaksanaan hukuman

tersebut haruslah disesuaikan dengan kebutuhan dan w aktunya. 

Page 29: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

53  

 

2.9. Mahasiswa Fakultas Hukum

Mahasisw a fakultas hukum adalah masyarakat terdidik yang memenuhi

prasyarat akademis untuk berprofesi sebagai hakim. Untuk menjalani profesi

tersebut, seseorang harus melangkahkan kakinya pertama kali ke perguruan t inggi

yang mengadakan program studi ilmu hukum dan mendapatkan gelar sarjana

hukum (S.H). Artinya, gelar kesarjanaan merupakan fondasi keilmuan bagi seorang

hakim.

Pada penelitian ini, mahasisw a diberlakukan sebagai mock judges yang

artinya seolah-olah hakim. Sehingga mahasisw a yang dilibatkan dalam penelitian

harus memenuhi persyaratan tertentu. Mahasisw a yang terlibat merupakan mereka

yang sudah atau sedang mengambil mata kuliah yang berhubungan dengan

kejahatan atau hukuman mati pada perguruan tinggi berafiliasi agama. Yang

dimaksud dengan perguruan t inggi berafiliasi agama adalah perguruan tinggi yang

secara eksplisit mencantumkan agama di bagian namanya3.

Fieldman, Parker, dan Hunsberger (dalam Junkin, 2001), berpendapat

bahw a kuatnya penetapan pilihan agama seseorang banyak terjadi pada masa

perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan pada masa perguruan t inggi mahasisw a

memiliki pemikiran yang lebih kritis dalam menyikapi isu-isu keagamaan. Pernyataan

ini diperkuat oleh Lee (2010) yang menjelaskan bahw a ketika seseorang memasuki

tahap dew asa awal, ia akan lebih memahami makna keagamaan yang dipelajarinya

ketimbang masa remaja. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahw a mahasisw a lebih

                                                                         3 Contoh: Universitas Kris ten Indonesia. Pencantumkan kata Kris ten sebagai tanda bahwa perguruan tinggi tersebut beraf iliasi agama Kristen.  

Page 30: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

54  

 

memahami makna keagamaan yang dipelajarinya pada perguruan t inggi berafiliasi

agama.

Selain itu, dapat diasumsikan bahw a perguruan tinggi yang berafiliasi agama

memasukkan nilai-nilai keagamaan ke dalam kurikulum pendidikan, mereka

termasuk kurikulum pendidikan hukum. Untuk mendapatkan gambaran mengenai

mata kuliah yang disajikan kepada mahasisw a terkait dengan kejahatan atau

hukuman mati, penulis menelusuri tiga4 perguruan tinggi berafiliasi agama yakni

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Kristen Indonesia,

dan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Daftar mata kuliah yang penulis sajikan merupakan hasil w awancara dengan

pihak yang berw enang pada perguruan tinggi tersebut. Berikut merupakan daftar

mata kuliah yang berkaitan dengan kejahatan atau hukuman mati:

Tabel 2.2. Daftar Mata Kuliah yang Berkaitan dengan Kejahatan atau

Hukuman Mati

Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta5

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya6

Universitas Kristen Indonesia7

Hukum Pidana Hukum Pidana Hukum Pidana Hukum Acara Pidana Hukum Acara Pidana Hukum Acara Pidana Hukum Pidana Islam Hukum Penitensier Hukum Penitensier

                                                                         4 Di Indonesia terdapat 6  agama utama yakni Islam, Katolik, Kristen  Protestan, Buddha, Hindu, dan Kong Hu Chu, namun tidak semua perguruan tinggi berafiliasi agama memiliki fakultas hukum atau jurusan  ilmu  hukum.  5 Daftar mata kuliah dan  penje lasan diperoleh dari wawancara dengan Abu Tamrin,S.H.,M.H selaku Sekretaris Prodi Ilmu  Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.  6 Daftar mata kuliah dan  penje lasan diperoleh dari wawancara dengan Siradj Okta,S.H.,LLM(kepala) selaku Dosen FH UNIKA Indonesia Atma Jaya. 7 Daftar mata kuliah dan  penje lasan diperoleh dari wawancara dengan Richard J. Sahulata,S.H.,M.H selaku Kepala Bagian Hukum Pidana FH  UKI (Ketua Program Studi Penanggulangan Kejahatan).  

Page 31: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

55  

 

Hukum & Hak Asasi Manusia Krimonologi Kriminologi Kekuasaan Kehakiman Tindak Pidana Tertentu Tindak Pidana dalam KUHP

Kemahiran Beracara Pidana

Sumber: Hasil wawancara

Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing mata kuliah:

a. Hukum Pidana

Hukum Pidana merupakan mata kuliah yang membedah segala aspek yang

berhubungan dengan hukum pidana yang ada di Indonesia. Aspek-aspek tersebut

meliputi jenis t indak pidana, jenis-jenis delik, sanksi, kejahatan dan pelanggaran,

hingga sistematika KUHP dan RUU KUHP. Kata pidana merupakan terjemahan dari

kata Strafrecht yang merupakan kata dalam bahasa Belanda. Pada dasarnya hukum

pidana mencakup segala aturan hukum yang mengandung keharusan dan tidak

boleh dilanggar. Jika dilanggar, maka kepada pelanggar akan dijatuhi hukuman

dalam bentuk penderitaan f isik. Salah satu hukuman bentuk hukuman tersebut

adalah hukuman mati.

b. Hukum Acara Pidana

Mata kuliah ini berisikan materi tentang proses dan prosedur penegakan

hukum mulai dari adanya perkara, penyidikan, penyelidikan, penangkapan,

penuntutan, pengadilan, penjatuhan hukuman, hingga pelaksanaan hukuman. Pada

mata kuliah ini mahasisw a juga mempelajari pihak-pihak yang berperan dalam

setiap langkah penegakan hukum, seperti polisi, jaksa, hakim, saksi, pelaku dan

seterusnya.

Page 32: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

56  

 

c. Kriminologi

Mata kuliah ini mengkaji sebab musabab seseorang melakukan kejahatan,

proses terjadinya kejahatan, dan perbuatan-perbuatan yang disebut sebagai

kejahatan.

d. Hukum Penitensier

Pada mata kuliah ini mahasisw a mempelajar i konsep dan jenis-jenis

pemidanaan (sanksi atau hukuman) dalam konteks hukum pidana secara konkrit.

e. Hukum Pidana Islam

Mata kuliah ini membahas aspek hukum pidana dalam agama Islam. Pada

mata kuliah ini, mahasisw a dapat mempelajari tentang pengertian hukum pidana

Islam, sumber-sumber aturan pidana Islam, delik hukum pidana Islam, hukuman

dan sebab-sebab dihapusnya suatu hukuman.

f. Hukum dan Hak Asasi Manusia

Mata kuliah ini membedah sejarah perkembangan hak asasi manusia, istilah

dibidang hak asasi manusia, hak asasi manusia dalam UUD 1945, teori dan praktik

hak asasi manusia ditinjau dari perspektif hukum, dan hak asasi manusia dalam

perspektif hukum islam.

Kaitannya dengan hukuman mati, hak asasi manusia sering kali digunakan

sebagai senjata untuk menolak pelaksanaan hukuman mati. Penghilangan nyaw a

secara hukum dianggap telah merampas hak hidup pelaku kejahatan. Kendati

demikian, pihak yang mendukung hukuman mati juga menyuarakan penegakan hak

asasi manusia, karena menganggap hukuman mati ditegakan untuk kepentingan

orang banyak.

Page 33: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

57  

 

g. Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan Kehakiman merupakan mata kuliah yang mengkaji tentang asas-

asas kehakiman dan pelaku kekuasaan kehakiman. Hal ini meliputi hak dan

kew ajiban hakim dalam persidangan.

h. Tindak Pidana Tertentu

Mata kuliah ini berfokus pada t indak pidana dan unsur-unsurnya secara

mendalam.

i. Tindak Pidana Dalam KUHP

Mata kuliah ini membahas tentang unsur-unsur tindak pidana dalam pasal-

pasal di KUHP. Unsur-unsur tindak pidana yang dimaksud antara lain:

1. Subjek: Adanya pelaku pidana yang merupakan manusia.

2. Kesalahan: Kesalahan terdiri dari dua macam yaitu dengan niat atau

keinginan dan kulpa (kelalaian).

3. Bersifat melaw an hukum: Tindakan yang dilakukan bersifat melanggar

undang-undang.

4. Tindakan: Tindakan harus dapat dibuktikan. Tindakan terdiri dari dua

macam yaitu t indakan aktif dan pasif. Tindakan aktif adalah t indakan yang

dilarang secara hukum, misalnya pembunuhan (melanggar KUHP Pasal

340). Sedangkan tindakan pasif adalah tidak melakukan t indakan yang

diw ajibkan hukum, misalnya bayar pajak.

5. Tempat t indak pidana: adanya lokasi kejadian perkara secara spesif ik.

6. Waktu kejadian: w aktu kejadian perkara sesuai dengan w aktu

internasional, misalnya pukul 01.00 WIB.

Page 34: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

58  

 

7. Keadaan: Adanya catatan keadaan lokasi kejadian, misalnya posisi

korban, posisi barang, dan lain-lain.

Untuk menyatakan seseorang telah melakukan t indak pidana, maka semua

unsur di atas harus terpenuhi. Apabila ada salah satu unsur tidak terpenuhi, maka

pelaku akan dilepaskan. Sedangkan jika dakw aan terhadap subjek atau pelaku t idak

didukung dengan bukti-bukti yang dihadirkan dipersidangan, maka akan dibebaskan.

j. Kemahiran Beracara Pidana

Kemahiran Beracara Pidana merupakan mata kuliah yang berisikan praktik

peradilan. Pada mata kuliah ini, mahasisw a mempraktikkan peran-peran dalam

persidangan, seperti hakim, jaksa, pengacara, tersangka, dan seterusnya.

Dari mata kuliah yang disajikan diyakini dapat memberikan w awasan kepada

mahasisw a terkait dengan praktik hukuman mati di Indonesia. Hal ini juga yang

membedakan mahasisw a fakultas hukum dengan mahasisw a non hukum ataupun

non mahasisw a. Lester (1997, dalam A mbrioso 2005) menjelaskan bahw a orang

yang sudah mempelajari ilmu hukum di bangku kuliah lebih memahami implikasi

sesungguhnya dari penggunaan hukuman mati. Sehingga, dapat diartikan bahw a

penilaian mahasisw a fakultas hukum terkait dengan hukuman mati merupakan hasil

pertimbangan yang matang dan berlandaskan keilmuan.

Pada perguruan tinggi berafiliasi agama juga terlihat adanya muatan nilai-

nilai keagamaan pada kurikulum pendidikan mereka. Berikut ini merupakan

gambaran mata kuliah yang berkaitan dengan keagamaan yang diajarkan kepada

mahasisw a pada masing-masing perguruan tinggi:

Page 35: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

59  

 

Tabel 2.3 Daftar Mata Kuliah yang Berkaitan dengan Keagamaan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Universitas Kristen Indonesia

Ulumul Qur'an dan Hadis Agama Katolik Etika Kristen Aqidah Akhlak Pendidikan Agama Pendidikan Agama Ushul Fiqih I Pengantar Filsafat Ushul Fiqih II Fiqih / Praktik Ibadah

Sumber: Hasil wawancara

Daftar mata kuliah yang diperoleh berasal dari hasil yang sama dengan

daftar mata kuliah yang berkaitan dengan hukuman mati. Berikut ini merupakan

penjelasan dari masing-masing mata kuliah tersebut:

a. Ulumul Qur’an dan Hadis

Pada mata kuliah ini, mahasisw a mempelajari tentang ilmu Qur’an dan hadis

secara umum.

b. Aqidah Akhlak

Mata kuliah ini membahas tentang teologi dalam ilmu Islam.

c. Usuhl Fiqih I dan II

Mata kuliah ini membedah tentang prinsip dasar dalam fiqih. Fiqih

merupakan hasil olah pikir dalam hukum islam.

d. Fiqih atau Praktik Ibadah

Mahasisw a mempelajari tentang tata cara beribadah agama Islam pada mata

kuliah ini.

e. Agama Katolik

Mata kuliah ini mengkaji tentang agama Katolik termasuk Perjanjian Lama

dan Perjanjian Baru.

Page 36: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

60  

 

f . Pendidikan Agama (UNIKA Atma Jaya)

Pada mata kuliah ini, mahasisw a mempelajari tentang seluruh agama yang

ada di Indonesia, namun tidak secara mendalam.

g. Pengantar Filsafat

Mata kuliah ini pada dasarnya bukan merupakan mata kuliah keagamaan

murni, namun di dalam materinya banyak membahas tentang f ilsafat-f ilsafat yang

dikemukakan oleh tokoh-tokoh dalam agama Katolik.

h. Etika Kristen

Pada mata kuliah ini, mahasisw a mempelajari tentang etika dalam

kekristenan yang berhubungan dengan profesi.

i. Pendidikan Agama (UKI)

Mata kuliah ini mengkaji tentang agama Kristen.

Page 37: BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - library.binus.ac.idlibrary.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2012-1-00574-PS bab 2.pdfMetode Eksekusi Hukuman Mati 7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati

61  

 

Terjadi berpedaan pendapat terhadap praktik hukuman mati di mata dunia.

Praktik hukuman mati juga menjadi perdebatan di Indonesia.

Hadirnya agama dalam

persidangan dikhawatirkan

dapat membiaskan keputusan

hakim.

Latar belakang pendidikan

merupakan faktor yang

penting dalam berprofesi.

Agama dan pendidikan dapat membentuk sikap yang merupakan dasar

pembentukan perilaku seseorang.

Perlu adanya kajian tentang sikap orang-orang yang mempelajari ilmu

hukum pada perguruan tinggi berafiliasi agama terkait dengan praktik

hukuman mati. 

2.10. Kerangka Berpikir

Hukum mati merupakan hukuman yang paling berat di antara seluruh hukuman.