bab 2 tinjauan pustaka -...
TRANSCRIPT
25
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Sesuai tujuan penelitian ini, bab 2 tinjauan pustaka diuraikan dengan
sistematika sebagai berikut:
1. Definisi Sikap.
2. Teori Pembentukan Sikap.
3. Agama dan Sikap.
4. Hukuman Mati secara Global.
5. Praktik Hukuman Mati di Indonesia.
6. Metode Eksekusi Hukuman Mati
7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati.
8. Agama dan Hukuman Mati.
9. Mahasisw a Fakultas Hukum.
2.1. Definisi Sikap
Allport (1935) menyatakan bahw a sikap merupakan kata yang sering
digunakan untuk menggambarkan seseorang atau menjelaskan tentang perilaku.
Seseorang tidak dapat bertahan hidup tanpa sikap, dan psikolog t idak dapat
membuat gambaran lengkap tentang perilaku manusia tanpa sikap (Crano & Prislin,
26
2008). Dengan demikian, sikap merupakan bagian yang penting dalam kehidupan
manusia.
Sikap meliputi semua perasaan, keyakinan, dan informasi perilaku tentang
semua hal dari objek-objek sikap (Crano & Prislin, 2008). Untuk mengetahui lebih
mendalam tentang sikap. Dibaw ah ini adalah beberapa definisi sikap:
a. Sikap adalah sebuah kecenderungan untuk merespon dengan cara mendukung
atau tidak mendukung sehubungan dengan objek tertentu (Oskamp & Schultz,
2005).
b. Sikap adalah tendensi untuk berreaksi dalam cara suka atau tidak suka terhadap
suatu objek (Hanuraw an, 2010).
c. Sikap adalah kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan
mengevaluasi entitas tertentu dengan derajat positif atau negatif (Eagly &
Chaiken, 1993, dalam Albarracin, Johnson, & Zanna, 2005).
d. Sikap adalah sebuah organisasi yang relatif stabil dari keyakinan, perasaan, dan
kecenderungan terhadap sesuatu atau seseorang (Morris & Maisto, 2002).
Berdasarkan definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahw a sikap
merupakan kecenderungan reaksi seseorang yang diekspresikan dengan
mengevaluasi suatu objek tertentu berupa mendukung atau tidak mendukung. Pada
penelit ian ini, sikap mendukung direpresentasikan dengan “setuju”, sedangkan tidak
mendukung direpresentasikan dengan “tidak setuju”.
Sikap terdiri dari dua jenis yaitu explicit attitudes dan implicit attitudes
(Oskamp & Schultz, 2005). Explicit attitudes atau sikap eksplisit diartikan sebagai
evaluasi bahw a seseorang menyadari dan dapat mengekspresikan sikapnya.
27
Implicits attitudes atau sikap implisit diartikan sebagai evaluasi yang otomatis dan
berfungsi tanpa disadari oleh individu, sehingga berada diluar kendalinya. Dalam
penelit ian ini, penulis membatasi kajian pada sikap eksplisit (explicit attitudes)
individu. Pembatasan ini dilakukan, karena sesuai dengan pandangan Posit ivisme,
hanya sikap yang dieksplisitkan sebagai konstruk terukur dan teramati yang
dianggap ada sehingga pantas dijadikan sebagai variabel penelitian.
Menurut Bornstein & Miller (2010), proses pengambilan keputusan oleh
hakim sering digambarkan sebagai keputusan berdasarkan fakta dan teladan
hukum, kendati temuan empiris juga menunjukkan bahw a faktor psikologis seperti
sikap dan latar belakang hakim berperan dalam proses tersebut. Sikap dapat
membuat seseorang mengambil keputusan dengan cepat dan tanpa usaha yang
berat (Sanbonmatsu & Fazio, 1990). Hal ini membuat keputusan individu cenderung
kongruen dengan sikapnya.
Dalam konteks hukuman mati, McKelvie (2006) menjelaskan, orang yang
bersikap positif terhadap hukuman mati akan lebih cenderung menerima
pemberlakuan vonis mati dibandingkan orang yang bersikap negatif. Hal ini terjadi
karena sikap mengarahkan perilaku pengambilan keputusan dengan memengaruhi
penilaian individu terhadap pilihan keputusan (Sanbonmatsu & Fazio, 1990).
28
2.2. Teori Pembentukan Sikap
Pada tahun 2004, Haddock dan Maio merumuskan sebuah teor i
pembentukan sikap yang dikenal dengan sebutan Multicomponent Model of Attitude.
Teori ini menjelaskan bahw a prinsip dasar pembentukan sikap adalah penilaian
global terhadap suatu stimulus objek yang berasal dari tiga sumber informasi yaitu
affective information, cognitive information, dan behavioral information.
Affective information (informasi afektif) merujuk pada perasaan atau emosi
yang diasosiasikan dengan suatu objek. Misalnya seseorang menolak untuk
mendonorkan darah karena merasa takut atau cemas. Cognitive information
(informasi kognit if) merujuk pada keyakinan tentang suatu objek. Misalnya orang
yang menolak untuk mendonorkan darah karena percaya bahw a donor darah sangat
menyakitkan. Sedangkan behavioral information (informasi perilaku) merujuk pada
kecenderungan perilaku seseorang terhadap suatu objek yang diciptakan dar i
pengalaman masa lalu. Misalnya orang yang menolak untuk mendonorkan darah
karena pernah melihat orang lain kesakitan karena mendonorkan darah. Untuk
mempermudah penjelasan, teori pembentukan sikap diuraikan pada bagan berikut
ini:
29
Gambar 2.1 Teori Pembentukan Sikap
Dalam pembentukan sikap, ketiga informasi tersebut memiliki kaitan yang
kuat satu sama lain. Eagly dan Chaiken (dalam Haddock & Maio, 2004),
menyatakan bahw a ketiga sumber informasi tersebut memiliki hubungan yang
sinergis yakni perasaan positif akan diikuti dengan keyakinan positif dan
pengalaman perilaku yang posit if juga.
Penjelasan serupa juga dijabarkan oleh Oskamp & Schultz (2005). Mereka
menggunakan istilah tri-componential viewpoint, menjelaskan bahw a ada tiga aspek
atau komponen dalam pembentukan sikap yaitu affective (emotional) component,
behavioral component dan cognitive component. Komponen afektif
(affective/emotional component) merujuk pada perasaan atau emosi seseorang
terhadap suatu objek. Komponen perilaku (behavioral component) meliputi
kecenderungan t indakan seseorang terhadap suatu objek. Terakhir, komponen
kognit if (cognitive component) merujuk pada ide atau keyakinan seseorang terhadap
suatu objek.
COGNITIVE INFORMATION
AFFECTIVE INFORMATION
BEHAVIOR INFORMATION
ATTITUDE
30
2.3. Agama dan Sikap
Agama adalah aspek utama dari masyarakat dan merupakan komponen
integral dari kehidupan banyak orang (Miller, Singer, & Jehle, 2008). Ajaran agama
telah menjadi panutan orang-orang yang menganutnya. Keyakinan seseorang akan
ajaran agamanya dapat mengantarkan individu tersebut pada sikap terhadap suatu
hal, baik dalam isu sosial maupun legal (Bornstein & Miller, 2010). Pada dasarnya
sikap keagamaan seseorang dapat membentuk cara seseorang memproses
informasi. Individu akan cenderung lebih fokus pada informasi yang menegaskan
sikap dan keyakinannya, serta cenderung mengabaikan informasi yang tidak sesuai
(Miller, Singer, & Jehle, 2008).
Heuristic-Systematic model merupakan sebuah model pembentukan sikap
yang dapat menjelaskan alasan agama dapat memengaruhi pemikiran seseorang
(Miller, Singer, & Jehle, 2008). Menurut Miller, dkk (2008), ada dua cara dalam
memproses informasi yaitu systematic dan heuristic. Proses systematic merupakan
cara seseorang menerima informasi dan memprosesnya secara cermat dan rasional
untuk menilai keabsahannya. Proses heuristic merupakan cara seseorang menerima
pesan dan memprosesnya dengan usaha yang sedikit. Seseorang yang
menggunakan cara heuristic pada umumnya tidak menganalisa informasi yang
sudah diterimanya secara mendalam. Misalnya, seseorang mungkin mempercayai
pernyataan ahli atau beranggapan bahw a penjelasan yang diberikan adalah benar.
Jika seseorang pada aw alnya memproses informasi secara systematic dengan
menganalisa setiap hal yang diajarkan, namun pada akhirnya mereka mungkin
31
merasa tidak perlu untuk memproses segalanya secara cermat. Begitu juga dalam
ruang lingkup keagamaan, seseorang bisa saja memproses informasi secara
systematic pada aw alnya, namun selanjutnya akan bergeser pada proses heuristic.
Jika seorang petinggi agama yang disegani menyampaikan suatu pernyataan
keagamaan, maka umat tidak akan mempertanyakan pernyataan tersebut. Hal ini
tentu saja berpengaruh terhadap perilaku individu. Dengan demikian, dapat
diasumsikan bahw a jika agama seseorang hakim mendukung praktik hukuman mati,
maka hal tersebut dapat memengaruhi keputusan dibuatnya dalam persidangan.
2.4. Hukuman Mati Secara Global
Hukuman mati sudah dilakukan sejak zaman Babilonia pada masa kerajaan
Hammurabi abad ke-18 Sebelum Masehi. Pemikiran tentang pelaksanaan hukuman
ini berdasarkan f ilosofi “an eye for an eye, and a tooth for a tooth” (Golston, 2009).
Jika seseorang mengambil nyaw a orang lain, sebagai gantinya dia juga harus
diambil nyaw anya. Pada aw alnya eksekusi hukuman mati dilakukan dengan cara
merajam pelaku kejahatan (Golston, 2009).
Di w ilayah Asia, berdasarkan penjelasan Golton (2009), hukuman mati sudah
diberlakukan di China sejak 551-479 Sebelum Masehi. Informasi ini diperoleh dari
tulisan Confucious dan pengikutnya yang percaya bahwa hukuman mati dilakukan
untuk mencegah perilaku kejahatan dengan memberikan contoh daripada sanksi itu
sendiri. Jadi hukuman mati dilakukan pada zaman itu guna memberikan contoh
kepada masyarakat sipil agar t idak melakukan kejahatan serupa.
32
Henderson (dalam Marzilli, 2008) menjelaskan bahw a kematian merupakan
hukuman standar untuk kejahatan utama di seluruh Eropa. Metode eksekusi yang
digunakan juga tergolong kejam, bar bar 1, dan sering kali melibatkan beberapa
bentuk penyiksaan. Penggunaan hukuman mati bertujuan untuk membalas
perbuatan yang sudah dilakukan oleh pelaku kejahatan (Marzilli, 2008). Pada abad
ke-17 hingga abad ke-18, eksekusi untuk kejahatan umum di Eropa semakin
berlimpah. Pada tahun 1700, terdapat 222 jenis kejahatan yang dijatuhkan hukuman
mati, termasuk para pencuri domba, dan penebang pohon liar, (Golston, 2009).
Pada abad ke-18 muncul gerakan yang disebut Enlightment yang membaw a
perubahan terhadap tradisi penggunaan hukuman mati di Eropa (Golston, 2009).
Kelompok ini mulai menggantikan tradisi dengan nilai-nilai kemanusiaan sebagai
penentu kebenaran dan kesalahan dalam masyarakat. Pada tahun 1786, Komunitas
Sant’Egidio menginisiasi suatu kegiatan yang dikenal dengan nama Cities for Life
yaitu terjadinya penghapusan hukuman mati oleh suatu otoritas negara di Eropa,
Great Duchy of Tuscany (Kontras, 2007). Kemudian pada tahun 1794, Pennsylvania
menjadi negara bagian pertama di Serikat Baru yang melakukan penghapusan
terhadap praktik hukuman mati untuk semua kejahatan, kecuali pembunuhan t ingkat
pertama.
Seiring dengan berjalannya w aktu berbagai negara mulai menghapus
hukuman mati. Berdasarkan data Amnesty International, hingga Desember 2010
terdapat 96 negara yang menghapus hukuman mati untuk seluruh kategor i
kejahatan, 9 negara menghapus hukuman mati untuk kejahatan biasa, 34 negara
1 Bar bar adalah tindakan yang tidak beradab
33
yang menghapus hukuman mati secara praktik yaitu t idak melakukan eksekusi
selama 10 tahun terakhir. Walaupun demikian, masih terdapat 58 negara yang
masih memberlakukan hukuman mati, salah satunya adalah Indonesia.
2.5. Praktik Hukuman Mati di Indonesia
Di Indonesia terdapat sejumlah peraturan perundang-undangan terkait
dengan hukuman mati. Berikut adalah daftar undang-undang yang memiliki
ancaman hukuman mati:
Tabel 2.1. Pasal-Pasal yang Mencantumkan Ancaman Hukuman Mati
NO UNDANG-UNDANG PASAL
1 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana KUHP.
Pasal 104, 111 ayat (2), 124, 140 ayat
(3), 340, 365 ayat (4), 444, 124 bis,
127, 129, 368 ayat (2).
2 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Militer (KUHPM).
Pasal 64, Pasal 65, Pasal 67, Pasal 68,
Pasal 73 Ke-1, Ke-2, Ke-3, dan Ke-4,
Pasal 74 Ke-1 dan Ke-2, Pasal 76 (1),
Pasal 82, Pasal 89 Ke-1dan Ke-2,
Pasal 109 Ke-1 dan Ke-2, Pasal 114
ayat (1), Pasal 133 ayat (1) dan (2),
Pasal 135 ayat (1) Ke-1 dan Ke-2, ayat
(2), Pasal 137 ayat (1) dan (2), Pasal
34
138 ayat (1) dan (2), dan Pasal 142
ayat (2).
3 Undang-Undang No. 12 Tahun
1951 tentang Senjata Api.
Pasal 1 ayat (1)
4 Penetapan Presiden No. 5 Tahun
1959 tentang Wew enang Jaksa
Agung/Jaksa Tentara Agung
dalam hal memperberat ancaman
hukuman terhadap tindak pidana
yang membahayakan
pelaksanaan perlengkapan
sandang pangan.
Pasal 2
5 Perpu No. 21 Tahun 1959 tentang
memperberat ancaman hukuman
terhadap tindak pidana ekonomi.
Pasal 1 ayat (1) dan (2)
6 Undang-Undang No.
11/PNPS/1963 tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi
Pasal 13 ayat (1) dan (2), Pasal 1 ayat
(1)
7 Undang-Undang No.
31/PNPS/1964 tentang Ketentuan
Ketentuan Pokok Tenaga Atom
Pasal 23
8 Undang-Undang No. 4 tahun 1967
tentang Perubahan dan
Pasal 3, Pasal 479 huruf (k) dan (o)
35
Penambahan Beberapa Pasal
dalam KUHP bertalian dengan
Per luasan Berlakunya Ketentuan
Perundang-undangan Pidana
Kejahatan Penerbangan dan
Kejahatan terhadap Sarana-
Prasarana Penerbangan
9 Undang-Undang No. 5 tahun 1997
tentang Psikotropika
Pasal 59 ayat (2)
10 Undang-Undang No. 22 tahun
1997 tentang Narkotika
Pasal 80 ayat (1), (2), dan (3), Pasal 82
ayat (1), (2), dan (3)
11 Undang-Undang No. 31 tahun
1999 tentang Pembrantasan
Korupsi
Pasal 2 ayat (2)
12 Undang-Undang No. 26 tahun
2000 tentang Pengadilan HA M
Pasal 36, 37, 41, 42 ayat (3)
13 Undang-Undang No. 15 tahun
2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme
Pasal 6, 8, 9, 10, 14, 15, dan 16.
Sumber: Supriyadi Widodo Eddyono, S.H. & Wahyu Wagiman, S.H. (2008).
Semua legislasi yang tercantum di atas berlaku bagi seluruh masyarakat
Indonesia, kecuali Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) yang
berlaku hanya bagi personil militer. Dari legislasi yang ada, penulis membuat dua
36
pengelompokan kejahatan, yaitu kejahatan vertikal dan kejahatan horizontal.
Kejahatan vertikal merupakan perbuatan jahat yang bersifat melaw an otoritas, dalam
hal ini adalah negara. Sedangkan kejahatan horizontal adalah perbuatan jahat yang
dilakukan oleh sesama masyarakat. Berikut ini merupakan ilustrasi pengkategorian
kejahatan vertikal dan horizontal:
Kejahatan Vertikal Kejahatan Horizontal
Gambar 2.2. Kejahatan Vertikal dan Horizontal.
Kategori kejahatan vertikal yang tercantum dalam undang-undang antara lain:
1. Kejahatan Terhadap Keamanan Negara: KUHP Pasal 104, Pasal 111 ayat
2, Pasal 124, Pasal 129.
2. Kejahatan-Kejahatan Terhadap Negara Sahabat dan Terhadap Kepala
Negara Sahabat Serta Wakilnya: KUHP Pasal 140 ayat 3.
3. Kejahatan Senjata Api: Undang-Undang No. 12 Tahun 1951 Tentang
Senjata Api Pasal 1 ayat 1.
4. Kegiatan Subversi: Undang-Undang No. 11/PNPS/1963 Tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi. Undang-Undang ini sudah dicabut
pada tahun 1999 dengan Undang-Undang No. 26 tahun 1999 Tentang
OTORITAS MASYARAKAT MASYARAKAT
MASYARAKAT
37
Pencabutan Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi.
5. Ketentuan Pokok Tenaga Atom: Undang-Undang No. 31/PNPS/1964
Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Tenaga Atom Pasal 23
6. Kejahatan Korupsi: Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Korupsi Pasal 2 ayat 2.
7. Tindak Pidana Terorisme: Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Pasal 6, 8, 9, 10, 14, 15, dan
16. Perpu ini sudah menjadi Undang-Undang pada tahun 2003 melalui
Undang-Undang No. 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 Tentang
Pemberantasan Tindan Pidana Terorisme, Menjadi Undang-Undang.
Kategori kejahatan horizontal yang tercantum dalam undang-undang antara lain:
1. Kejahatan Terhadap Nyaw a: KUHP Pasal 340.
2. Pencurian: KUHP Pasal 365 ayat 4.
3. Kejahatan Pelayaran: KUHP Pasal 444.
4. Pemerasan dan Pengancaman: KUHP Pasal 368 ayat 2.
5. Ketentuan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana-Prasarana
Penerbangan: KUHP Pasal 479k ayat 2, Pasal 479o ayat 2. Perubahan
dan penambahan legislasi ini ke dalam KUHP dinyatakan melalui Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan
Beberapa Pasal dalam KUHP bertalian dengan Per luasan Berlakunya
38
Ketentuan Penerbangan dan Kejahatan terhadap Sarana-Prasarana
Penerbangan.
6. Kejahatan Narkoba:
a. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Ps ikotropika: Pasal 59
ayat 2.
b. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika: Pasal 80
ayat 1, 2, dan 3; Pasal 82 ayat 1, 2, dan 3.
Pada tahun 2009 kedua undang-undang tersebut diganti menjadi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika. Pada undang-undang ini terdapat 10 pasal yang
mencantumkan ancaman hukuman mati yaitu Pasal 113 ayat 2, Pasal
114 ayat 2, Pasal 116 ayat 2, Pasal 118 ayat 2, Pasal 119 ayat 2, Pasal
121 ayat 2, Pasal 126 ayat 2, Pasal 132 ayat 3, Pasal 133 ayat 1, dan
Pasal 144 ayat 2.
7. Tidak Pidana Ekonomi:
a. Penetapan Presiden Nomor 5 tahun 1959 tentang Wew enang Jaksa
Agung/Jaksa Tentara Agung dalam hal memperberat ancaman
hukuman terhadap t indak pidana yang membahayakan pelaksanaan
perlengkapan sandang pangan: Pasal 2.
b. Perpu Nomor 21 Tahun 1959 tentang Memperberat Ancaman
Hukuman terhadap Tindak Pidana Ekonomi: Pasal 1 ayat 2.
8. Kejahatan Hak Asasi Manusia: Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM Pasal 36, Pasal 37, Pasal 41, Pasal 42 ayat 3.
39
Penegakan hukum yang bersifat adil terjadi ketika ada kesetaraan antara
satu pihak dengan pihak yang lainnya (Kant dalam Ladd, 1999). Dalam kejahatan
vertikal terdapat ketidaksetaraan antara pihak satu dengan pihak yang lain yakni
otoritas dengan masyarakat. Sedangkan kejahatan horizontal memiliki titik
kesetaraan satu pihak dengan pihak yang lain yaitu masyarakat dengan masyarakat.
Pada penelit ian ini, penulis hanya mengkaji mengenai kejahatan hor izontal.
Dalam kejahatan hor izontal, penulis mengeluarkan dua kategori kejahatan
yang dianggap lebih tepat dilakukan penelit ian secara khusus karena cakupan t indak
kejahatan tersebut sangat luas. Dua kategori kejahatan itu adalah tindak pidana
ekonomi dan kejahatan hak asasi manusia. Atas dasar itu, jenis kejahatan yang
paling tepat sebagai bahan kajian dalam penelitian ini antara lain kejahatan terhadap
nyaw a, pencurian, kejahatan pelayaran, pemerasan dan pengancaman, ketentuan
penerbangan dan kejahatan terhadap sarana-prasarana penerbangan, dan
kejahatan narkotika.
Adanya ancaman hukuman mati terhadap kejahatan-kejahatan tertentu pada
dasarnya merupakan peraturan yang diturunkan oleh Kolonial Belanda. Tujuan
diberlakukannya hukuman mati hingga saat ini adalah untuk mencegah timbulnya
kejahatan dan pelanggaran (Husein, 2003).
Hingga saat ini A mnesty International yang juga merupakan organisasi
perlindungan hak asasi manusia terbesar di dunia mengkategorikan Indonesia
sebagai negara retentionist (Amnesty International, 2011). Negara retentionist
merupakan negara yang masih memberlakukan hukuman mati baik secara hukum
maupun praktik. Pengkategorian tersebut dilakukan berdasarkan hasil pantauan
40
eksekusi mati yang pernah dilakukan oleh Indonesia selama sepuluh tahun terakhir
terhitung dari tahun 2000.
Selama tahun 1998 hingga akhir 2008, jumlah terpidana mati yang telah
dieksekusi sebanyak 21 orang (Imparsial, 2009). Berdasarkan data tersebut
dijelaskan bahw a tiga besar kasus yang melatari eksekusi mati adalah pembunuhan
(13 kasus), narkotika (5 kasus), dan terorisme (3 kasus).
Penentuan vonis dan hukuman mati di Indonesia dilakukan oleh hakim. Hal
ini menunjukkan bahw a hidup atau mati seorang terdakw a berada di tangan seorang
hakim. Hakim memiliki tanggungjaw ab yang sangat besar dalam proses persidangan
dan proses hukum. Dengan tugas yang sedemikian rupa, tidak mungkin sembarang
orang bisa menjadi pemangku otoritas tertinggi di setiap persidangan. Atas dasar itu,
apa sajakah syarat untuk menjadi seorang hakim?
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dalam
Pasal 14 ayat 1, syarat untuk menjadi hakim adalah
1. Warga Negara Indonesia.
2. Bertakw a kepada Tuhan Yang Maha Esa.
3. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
4. Sarjana Hukum.
5. Lulus pendidikan hakim.
6. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan
kew ajiban.
41
7. Berw ibaw a, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
8. Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40
(empat puluh) tahun.
9. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Seorang calon hakim w ajib menempuh jenjang pendidikan sarjana terlebih
dahulu, selanjutnya menyelesaikan pendidikan hakim yang diselenggarakan oleh
Mahkamah Agung. Pendidikan hakim bukan dalam bentuk sekolah, melainkan
pendidikan dan pelatihan (diklat) yang diselenggarakan oleh internal organisasi
masing-masing (Rachmadsyah, 2010). Dari semua itu, syarat pendidikan minimal
yang w ajib dimiliki oleh seorang hakim adalah sarjana hukum.
2.6. Metode Eksekusi Hukuman Mati
Menurut Syd Golston (2009), ada beberapa metode eksekusi yang paling sering
digunakan dalam praktik hukuman mati adalah
a. Rajam (stoning) yaitu eksekusi hukuman mati yang dilakukan oleh massa
dengan melempar batu ke pelaku kejahatan.
b. Penggal kepala (beheading) yaitu eksekusi hukuman mati yang dilakukan
dengan memotong kepala pelaku kejahatan.
c. Tembak (shooting) yaitu eksekusi hukuman mati dengan menggunakan
senjata api dan ditembakan ke arah jantung pelaku kejahatan.
42
d. Gantung (hanging) yaitu eksekusi hukuman mati yang dilakukan dengan
menggantung pelaku kejahatan di t iang gantungan.
e. Suntik (lethal injection) yaitu eksekusi hukuman mati yang dilakukan dengan
menyuntikan obat yang dapat membunuh kepada pelaku kejahatan.
f. Sengatan listrik (electrocution) yaitu eksekusi hukuman mati yang dilakukan
dengan meminta pelaku kejahatan duduk di atas kursi kemudian dialiri listrik
yang bertegangan tinggi.
Metode eksekusi yang dilakukan di Indonesia berdasarkan Penetapan Presiden
No. 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer yaitu ditembak sampai mati.
2.7. Pro dan Kontra terhadap Hukuman Mati
Hukuman mati merupakan salah satu jenis hukuman yang paling
kontroversial dan selalu mendapat sorotan dari berbagai kalangan di seluruh dunia
(Husein, 2003). Menurut Golston (2009) argumen masyarakat Amerika Serikat yang
mendukung keberadaan praktik hukuman mati adalah
a. Retribution: Hukuman mati memegang peran penting dalam konsep ganti rugi.
Pihak yang sudah merugikan orang lain harus mendapatkan hukuman sesuai
dengan perbuatannya. Konsep ini juga bertujuan untuk mencegah adanya
pembalasan dendam secara pribadi sehingga hal yang berurusan dengan
kemarahan dan kehilangan dapat dikendalikan melalui hukum.
43
b. Detterence: Pelaksanaan hukuman mati dipertahankan dengan alasan dapat
mencegah kejahatan. Dasar pemikiran tersebut terletak pada asumsi bahw a
semua manusia takut mati, oleh karena itu keberadaan hukuman mati dapat
mencegah orang lain untuk melakukan kejahatan dan menghindari hukuman mati
(Marzilli, 2008).
c. Protection of society from repeat killers: pelaksanaan hukuman mati bertujuan
untuk melindungi masyarakat luas dari adanya ancaman yang berbahaya seperti
pembunuh berantai.
d. Cost: Biaya yang dikeluarkan untuk membiaya para penjahat seumur hidup lebih
baik dihabiskan untuk perlindungan dan pendidikan.
Berikut adalah argumen masyarakat Amerika Serikat yang menolak
keberadaan praktik hukuman mati:
a. Brutalization: pelaksanaan hukuman mati telah meningkatkan kekerasan di
kalangan masyarakat.
b. Execution of innocent people: juri dan hakim yang salah membuat keputusan
dapat menyebabkan kematian seseorang yang tidak bersalah.
c. Inconsistency of the death sentence: juri dan hakim yang t idak konsisten dala m
menetapkan vonis dan hukuman. Beberapa narapidana yang dieksekusi mati
melakukan kejahatan yang kurang mengerikan dibandingkan mereka yang masih
hidup.
d. Execution for juvenile, retardation, and mental illness: Remaja t idak memiliki
penilaian seperti orang dew asa dan kontrol, sehingga perlu pemberian ampun
44
terhadap mereka yang melakukan kejahatan. Pelaku kejahatan yang mengalami
keterbelakangan mental atau gangguan jiw a tidak pantas diberi hukuman mati.
e. Cruel and unusual punishment: hukuman mati merupakan hukuman yang keja m
dan eksekusi merupakan suatu penyiksaan publik.
Penjelasan tersebut merupakan gambaran argumen tentang hukuman mati di
kalangan international. Bagaimana dengan situasi di Indonesia? Tidak dapat
dipungkiri masih ada pihak yang mendukung dan menolak keberadaan hukuman
mati di Indonesia. Berikut adalah beberapa argumen yang mendukung keberadaan
praktik hukuman mati di Indonesia:
a. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam debat Capres/Caw apres
menyatakan hukuman mati kepada pengedar narkoba, koruptor, dan pelanggar
berat hak asasi manusia merupakan keadilan yang harus ditegakkan dan
memberikan efek jera bagi para pelakunya ( Imparsial, 2004).
b. Pidana mati adalah suatu alat pembersih radikal yang dapat digunakan pada
setiap masa revolusioner (Hazew inkel-Suringa, dalam Husein, 2003).
c. Hukuman mati dilakukan untuk mencegah perbuatan pidana yang kejam terulangi
lagi dan pidana sebaiknya dijatuhkan untuk t indak pidana yang jelas-jelas
membahayakan masyarakat (Eddyono & Wagiman, 2008).
d. Sebagai suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dar i
bencana dan bahaya atau pun ancaman kejahatan besar yang mungkin terjadi
yang akan menimpa masyarakat, yang telah atau akan mengakibatkan
kesengsaraan dan mengganggu ketertiban serta keamanan rakyat umum, dala m
45
pergaulan manusia bermasyarakat dan beragama (Hartaw i A. M, dalam Husein,
2003).
e. Untuk mengontrol kejahatan masih diperlukan ancaman keras seperti hukuman
mati, khususnya terhadap kejahatan yang bengis (Bambang Poernomo, dala m
Hendarman Supandji, 2008).
Pada sisi lain, para penentang hukuman mati juga memberikan argumen
terkait dengan keberadaan praktik hukuman mati di Indonesia. Berikut adalah
argumen penolakan terhadap keberadaan praktik hukuman mati di Indonesia:
a. Hukuman mati telah melanggar hak asasi manusia yang paling penting, yakni hak
untuk hidup (right to life). Hak fundamental (non-derogable rights) ini merupakan
jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apa
pun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi
narapidana (Kontras, 2007)
b. Hukuman mati memiliki turunan pelanggaran HAM serius lainnya, yaitu
pelanggaran dalam bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam dan tidak
manusiaw i. Hal ini bisa terjadi karena umumya rentang antara vonis hukuman
mati dengan eksekusi berlangsung cukup lama (Kontras, 2007).
c. Praktek hukuman mati di Indonesia selama ini masih bias kelas dan diskriminasi.
Hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak
kejahatannya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius atau luar biasa.
Contohnya para koruptor, pelaku pelanggaran berat HAM (Kontras, 2007).
d. Berdasarkan Supandji (2008), beberapa argumen yang menentang keberadaan
hukuman mati adalah mencabut nyaw a seseorang merupakan hak Tuhan bukan
46
hak negara/pemerintah, hukuman mati melanggar hak dasar manusia untuk hidup
dan merupakan tindakan yang tidak manusiaw i, hukuman mati yang dijatuhkan
tidak dapat memperbaiki kesalahan atau kekeliruan hakim yang hanyalah
manusia biasa, t idak ada bukti ilmiah yang menjelaskan bahw a pemberlakuan
hukuman mati dapat mencegah t ingkat kejahatan.
e. Negara yang memberlakukan hukuman mati hanya memperlihatkan
ketidakmampuannya, kelemahannya untuk memberantas kejahatan. Jika negara
masih dapat mencapai tujuannya dengan melaksanakan penerapan pidana yang
lain, maka negara berkew ajiban menghapus hukuman mati. Selain itu, hal yang
harus diperhatikan adalah jika terjadi kekeliruan atas vonis hakim, dan pidana
mati telah dilaksanakan, maka kekeliruan itu t idak dapat diperbaiki lagi (Roeslan
Saleh, dalam Hendarman Supandji, 2008).
2.8. Agama dan Hukuman Mati
Di Indonesia terdapat enam agama utama yaitu Islam, Kr isten Protestan,
Katolik, Buddha, Hindu dan Kong Hu Chu. Agama-agama di Indonesia pada
umumnya memiliki posisi unik tentang hukuman mati sebagai sanksi. Berikut
merupakan pernyataan agama-agama di Indonesia terkait dengan praktik hukuman
mati:
47
2.8.1. Agama Islam
Merujuk pada Al-Qur’an, Surah ke-5 Al-Ma’idah ayat 45,
“Kami telah menetapkan bagi mereka di dalamnya (Taurat)
bahw a nyawa (dibalas) dengan nyawa, mata dengan mata,
hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan
gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya (balasan yang sama).
Barang siapa melepaskan hak qisasnya, maka itu (menjadi)
penebus dosa baginya. Barang siapa t idak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka
itulah orang-orang zalim”.
Dalam ayat di atas Qisas bermakna memberikan perlakuan yang
sama kepada pelaku pidana sebagaimana ia melakukannya terhadap
korban. Menurut Rachman (2008), dasar berlakunya qisas ini adalah
berdasarkan f irman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah yakni kedua dari Al-
Quran, ayat 178 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diw ajibkan atas kamu
qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan
wanita dengan w anita. Maka barangsiapa yang mendapat
pemaafan dari saudaranya hendaklah yang memaafkan
mengikuti dengan cara yang baik dan hendaklah yang diberi
48
maaf membayar diat kepada yang memberi maaf dengan cara
yang baik pula”.
Pada dasarnya dalam ajaran Islam pelaksanaan hukuman mati
merupakan suatu bentuk retribusi. Kendati demikian, masih ada cara yang
lebih baik untuk menyelesaikan suatu perkara yakni pemaafan atau
kerukunan. Artinya asas rekonsiliasi lebih dimuliakan ketimbang retribusi.
2.8.2. Agama Kristen Protestan
Hukum Perjanjian Lama memerintahkan hukuman mati untuk
berbagai perbuatan pembunuhan (Alkitab Keluaran 21:12), penculikan
(Alkitab Keluaran 21:16), hubungan seks dengan binatang (Alkitab Keluaran
22:19), perzinahan (Alkitab Imamat 20:10), homoseksualitas (Alkitab Imamat
20:13), menjadi nabi palsu (Alkitab Ulangan 13:5), dan pemerkosaan (Alkitab
Ulang 22:25). Ada sebuah kisah menar ik yang dijelaskan dalam Perjanjian
Baru. Ketika orang-orang Far isi membaw a kepada Yesus seorang wanita
yang tertangkap basah sedang berzina dan bertanya kepadaNya apakah
wanita itu perlu dirajam, Yesus menjaw ab “Barangsiapa di antara kamu tidak
berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan
itu” (Alkitab Yohanes 8:7).
Dalam sebuah forum komunitas blogger Kristen (2009,
www.sabdaspace.org) dijelaskan bahw a ungkapan Yesus (Alkitab Yohanes
8:7) tidak dapat diartikan sebagai penolakan Yesus terhadap hukuman mati
49
dalam segala hal, karena dalam bagian ini, Yesus hanya bermaksud untuk
mengungkapkan kemunafikan orang-orang Farisi. Tindak Yesus tersebut
merupakan tanggapan terhadap rencana orang Farisi yang ingin menjebak
Yesus untuk melanggar Hukum Perjanjian Lama. Dukungan terhadap
hukuman mati juga dicantumkan dalam Alkitab Kejadian 9:6 yang berbunyi
“siapa yang menumpahkan darah manusia, oleh manusia darahnya akan
dicurahkan, karena dalam gambar Allah menciptakan manusia”.
Dari penjelasan tersebut ter lihat bahw a sesungguhnya agama Kristen
Protestan memberlakukan hukuman mati. Kendati demikian, hukuman
tersebut tidak dapat ditegakkan secara serta-merta untuk menghakimi
perbuatan orang lain.
2.8.3. Agama Katolik
Ayat-ayat Alkitab yang tercantum dalam perspektif agama Kristen
Protestan juga berlaku bagi agama Katolik yakni Keluaran 21:12, Keluaran
21:16, Keluaran 22:19, Imamat 20:13, Ulangan 13:5, Ulang 22:4, Yohanes
8:7, Kejadian 9:6). Dalam ajaran Katolik, menurut Romo William P. Saunders
(2001), hukuman seharusnya digunakan untuk mencegah terjadinya
kejahatan di masa mendatang, artinya suatu hukuman ditegakan untuk
kepentingan orang banyak. Pada prinsipnya Gereja Katolik menjunjung t inggi
hak negara untuk melaksanakan hukuman mati atas penjahat-penjahat
tertentu, namun selagi masih ada cara yang tidak berdarah untuk
50
penghukuman tersebut, maka yang berw enang harus merealisasikan cara
tersebut (Romo William P. Saunders, 2011).
Agama Katolik juga menghendaki diberlakukannya hukuman mati
sebagai alat pembuat jera pelaku kejahatan (deterrence effect). Meski begitu,
jika ada solusi yang lebih baik tanpa harus mengorbankan nyaw a seseorang
maka solusi tersebut harus dijalankan.
2.8.4. Agama Buddha
Pancasila Buddhis2 merupakan pedoman dasar bagi pemeluk agama
Buddha. Membunuh merupakan hal yang paling dilarang dalam ajaran
Buddha. Larangan membunuh terlihat pada pernyataan sila pertama
Pancasila Buddhis yang berbunyi, “Aku bertekad melatih diri menghindari
pembunuhan makhluk hidup”. Pada dasarnya ajaran Buddha tidak secara
eksplisit membahas tetang keberadaan praktik hukuman mati. Namun,
penjelasan tentang hukuman dalam agama Buddha sudah dicantumkan
pada Kitab Suci Dhammapada Sutta Pitaka Khuddaka Nikaya, Danda Vagga
(bab X) ayat 1 dan 2 yang berbunyi:
Bait 129: “Semua orang takut akan hukuman; semua orang takut akan
kematian. Setelah membandingkan orang lain dengan diri sendir i,
hendaknya seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan
pembunuhan”.
2 Pancasila Buddhis merupakan lima aturan yang diberlakukan untuk seluruh umat Buddha.
51
Bait 130: “Semua orang takut akan hukuman; semua orang mencintai
kehidupan. Setelah membandingkan orang lain dengan diri sendir i,
hendaknya seseorang tidak membunuh atau mengakibatkan
pembunuhan”.
Dari penjelasan ayat tersebut dapat disimpulkan bahw a
sesungguhnya ajaran Buddha tidak menyarankan adanya praktik
pembunuhan.
2.8.5. Agama Hindu
Hukuman mati dianggap perlu diberlakukan bagi siapa saja yang
membakar rumah, meracuni sesama manusia, menenung sesama manusia,
mengamuk, memfitnah raja dan merusak kehormatan w anita (Kitab Kutara
Manaw a Pasal 11, dalam artikel Majalah Gumi Bali Sarad, 2008). Selain itu,
penjelasan tentang pihak yang patut dihukum mati juga tercantum dalam
kitab Manaw a Dharma Sastra bab VIII 350-379 (Gelgel, dalam Majalah Gumi
Bali, 2008). Menurut Gelgel (2008), hukuman mati sesungguhnya
dimaksudkan untuk menimbulkan efek jera bagi masyarakat luas, agar
kejadian itu tidak terulang kembali. Dengan demikian, dalam ajaran Hindu
sesungguhnya menghendaki pemberlakuan hukuman mati bagi mereka
yang pantas menerima hukuman tersebut.
52
2.8.6. Agama Kong Hu Chu
Agama Kong Hu Chu sepenuhnya t idak mendukung maupun menolak
praktik hukuman mati (Sugiaman, 2009). Menurut Sugiaman, ada tiga syarat
yang dipenuhi sebelum hukuman mati dilakukan. Pertama, berdasarkan ayat
Meng Zi IIB. 8, pembuatan keputusan hukuman mati hanya boleh dilakukan
oleh orang yang memiliki w ew enang. Dalam konteks hukum, orang tersebut
adalah hakim. Kedua, berdasarkan Sabda Suci IV.10, hukuman mati boleh
saja dijatuhkan apabila kejahatan yang dilakukan setimpal dan layak untuk
dijatuhi hukuman mati. Ketiga, berdasarkan Sabda Suci IV.10 juga, hukuman
mati diharapkan bisa memberikan efek jera dan mencegah orang untuk
berbuat kejahatan yang sama.
Tiga syarat yang disampaikan tidak dapat diartikan secara “mentah”
bahw a agama Kong Hu Chu mendukung praktik hukuman mati. Dalam
Sabda Suci I. 5, Nabi Kong Zi bersabda, “Mengatur negeri yang mempunyai
seribu kereta perang haruslah hormat kepada tugas dan dapat dipercaya,
hemat dalam anggaran belanja dan mencintai sesama manusia serta dalam
memerintah rakyat hendaknya disesuaikan dengan waktunya” (Sugiaman,
2009). Sugiaman menambahkan, agama Kong Hu Chu tidak berada pada
posisi menerima atau menolak hukuman mati, namun pelaksanaan hukuman
tersebut haruslah disesuaikan dengan kebutuhan dan w aktunya.
53
2.9. Mahasiswa Fakultas Hukum
Mahasisw a fakultas hukum adalah masyarakat terdidik yang memenuhi
prasyarat akademis untuk berprofesi sebagai hakim. Untuk menjalani profesi
tersebut, seseorang harus melangkahkan kakinya pertama kali ke perguruan t inggi
yang mengadakan program studi ilmu hukum dan mendapatkan gelar sarjana
hukum (S.H). Artinya, gelar kesarjanaan merupakan fondasi keilmuan bagi seorang
hakim.
Pada penelitian ini, mahasisw a diberlakukan sebagai mock judges yang
artinya seolah-olah hakim. Sehingga mahasisw a yang dilibatkan dalam penelitian
harus memenuhi persyaratan tertentu. Mahasisw a yang terlibat merupakan mereka
yang sudah atau sedang mengambil mata kuliah yang berhubungan dengan
kejahatan atau hukuman mati pada perguruan tinggi berafiliasi agama. Yang
dimaksud dengan perguruan t inggi berafiliasi agama adalah perguruan tinggi yang
secara eksplisit mencantumkan agama di bagian namanya3.
Fieldman, Parker, dan Hunsberger (dalam Junkin, 2001), berpendapat
bahw a kuatnya penetapan pilihan agama seseorang banyak terjadi pada masa
perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan pada masa perguruan t inggi mahasisw a
memiliki pemikiran yang lebih kritis dalam menyikapi isu-isu keagamaan. Pernyataan
ini diperkuat oleh Lee (2010) yang menjelaskan bahw a ketika seseorang memasuki
tahap dew asa awal, ia akan lebih memahami makna keagamaan yang dipelajarinya
ketimbang masa remaja. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahw a mahasisw a lebih
3 Contoh: Universitas Kris ten Indonesia. Pencantumkan kata Kris ten sebagai tanda bahwa perguruan tinggi tersebut beraf iliasi agama Kristen.
54
memahami makna keagamaan yang dipelajarinya pada perguruan t inggi berafiliasi
agama.
Selain itu, dapat diasumsikan bahw a perguruan tinggi yang berafiliasi agama
memasukkan nilai-nilai keagamaan ke dalam kurikulum pendidikan, mereka
termasuk kurikulum pendidikan hukum. Untuk mendapatkan gambaran mengenai
mata kuliah yang disajikan kepada mahasisw a terkait dengan kejahatan atau
hukuman mati, penulis menelusuri tiga4 perguruan tinggi berafiliasi agama yakni
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Kristen Indonesia,
dan Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
Daftar mata kuliah yang penulis sajikan merupakan hasil w awancara dengan
pihak yang berw enang pada perguruan tinggi tersebut. Berikut merupakan daftar
mata kuliah yang berkaitan dengan kejahatan atau hukuman mati:
Tabel 2.2. Daftar Mata Kuliah yang Berkaitan dengan Kejahatan atau
Hukuman Mati
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta5
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya6
Universitas Kristen Indonesia7
Hukum Pidana Hukum Pidana Hukum Pidana Hukum Acara Pidana Hukum Acara Pidana Hukum Acara Pidana Hukum Pidana Islam Hukum Penitensier Hukum Penitensier
4 Di Indonesia terdapat 6 agama utama yakni Islam, Katolik, Kristen Protestan, Buddha, Hindu, dan Kong Hu Chu, namun tidak semua perguruan tinggi berafiliasi agama memiliki fakultas hukum atau jurusan ilmu hukum. 5 Daftar mata kuliah dan penje lasan diperoleh dari wawancara dengan Abu Tamrin,S.H.,M.H selaku Sekretaris Prodi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 6 Daftar mata kuliah dan penje lasan diperoleh dari wawancara dengan Siradj Okta,S.H.,LLM(kepala) selaku Dosen FH UNIKA Indonesia Atma Jaya. 7 Daftar mata kuliah dan penje lasan diperoleh dari wawancara dengan Richard J. Sahulata,S.H.,M.H selaku Kepala Bagian Hukum Pidana FH UKI (Ketua Program Studi Penanggulangan Kejahatan).
55
Hukum & Hak Asasi Manusia Krimonologi Kriminologi Kekuasaan Kehakiman Tindak Pidana Tertentu Tindak Pidana dalam KUHP
Kemahiran Beracara Pidana
Sumber: Hasil wawancara
Berikut merupakan penjelasan dari masing-masing mata kuliah:
a. Hukum Pidana
Hukum Pidana merupakan mata kuliah yang membedah segala aspek yang
berhubungan dengan hukum pidana yang ada di Indonesia. Aspek-aspek tersebut
meliputi jenis t indak pidana, jenis-jenis delik, sanksi, kejahatan dan pelanggaran,
hingga sistematika KUHP dan RUU KUHP. Kata pidana merupakan terjemahan dari
kata Strafrecht yang merupakan kata dalam bahasa Belanda. Pada dasarnya hukum
pidana mencakup segala aturan hukum yang mengandung keharusan dan tidak
boleh dilanggar. Jika dilanggar, maka kepada pelanggar akan dijatuhi hukuman
dalam bentuk penderitaan f isik. Salah satu hukuman bentuk hukuman tersebut
adalah hukuman mati.
b. Hukum Acara Pidana
Mata kuliah ini berisikan materi tentang proses dan prosedur penegakan
hukum mulai dari adanya perkara, penyidikan, penyelidikan, penangkapan,
penuntutan, pengadilan, penjatuhan hukuman, hingga pelaksanaan hukuman. Pada
mata kuliah ini mahasisw a juga mempelajari pihak-pihak yang berperan dalam
setiap langkah penegakan hukum, seperti polisi, jaksa, hakim, saksi, pelaku dan
seterusnya.
56
c. Kriminologi
Mata kuliah ini mengkaji sebab musabab seseorang melakukan kejahatan,
proses terjadinya kejahatan, dan perbuatan-perbuatan yang disebut sebagai
kejahatan.
d. Hukum Penitensier
Pada mata kuliah ini mahasisw a mempelajar i konsep dan jenis-jenis
pemidanaan (sanksi atau hukuman) dalam konteks hukum pidana secara konkrit.
e. Hukum Pidana Islam
Mata kuliah ini membahas aspek hukum pidana dalam agama Islam. Pada
mata kuliah ini, mahasisw a dapat mempelajari tentang pengertian hukum pidana
Islam, sumber-sumber aturan pidana Islam, delik hukum pidana Islam, hukuman
dan sebab-sebab dihapusnya suatu hukuman.
f. Hukum dan Hak Asasi Manusia
Mata kuliah ini membedah sejarah perkembangan hak asasi manusia, istilah
dibidang hak asasi manusia, hak asasi manusia dalam UUD 1945, teori dan praktik
hak asasi manusia ditinjau dari perspektif hukum, dan hak asasi manusia dalam
perspektif hukum islam.
Kaitannya dengan hukuman mati, hak asasi manusia sering kali digunakan
sebagai senjata untuk menolak pelaksanaan hukuman mati. Penghilangan nyaw a
secara hukum dianggap telah merampas hak hidup pelaku kejahatan. Kendati
demikian, pihak yang mendukung hukuman mati juga menyuarakan penegakan hak
asasi manusia, karena menganggap hukuman mati ditegakan untuk kepentingan
orang banyak.
57
g. Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan Kehakiman merupakan mata kuliah yang mengkaji tentang asas-
asas kehakiman dan pelaku kekuasaan kehakiman. Hal ini meliputi hak dan
kew ajiban hakim dalam persidangan.
h. Tindak Pidana Tertentu
Mata kuliah ini berfokus pada t indak pidana dan unsur-unsurnya secara
mendalam.
i. Tindak Pidana Dalam KUHP
Mata kuliah ini membahas tentang unsur-unsur tindak pidana dalam pasal-
pasal di KUHP. Unsur-unsur tindak pidana yang dimaksud antara lain:
1. Subjek: Adanya pelaku pidana yang merupakan manusia.
2. Kesalahan: Kesalahan terdiri dari dua macam yaitu dengan niat atau
keinginan dan kulpa (kelalaian).
3. Bersifat melaw an hukum: Tindakan yang dilakukan bersifat melanggar
undang-undang.
4. Tindakan: Tindakan harus dapat dibuktikan. Tindakan terdiri dari dua
macam yaitu t indakan aktif dan pasif. Tindakan aktif adalah t indakan yang
dilarang secara hukum, misalnya pembunuhan (melanggar KUHP Pasal
340). Sedangkan tindakan pasif adalah tidak melakukan t indakan yang
diw ajibkan hukum, misalnya bayar pajak.
5. Tempat t indak pidana: adanya lokasi kejadian perkara secara spesif ik.
6. Waktu kejadian: w aktu kejadian perkara sesuai dengan w aktu
internasional, misalnya pukul 01.00 WIB.
58
7. Keadaan: Adanya catatan keadaan lokasi kejadian, misalnya posisi
korban, posisi barang, dan lain-lain.
Untuk menyatakan seseorang telah melakukan t indak pidana, maka semua
unsur di atas harus terpenuhi. Apabila ada salah satu unsur tidak terpenuhi, maka
pelaku akan dilepaskan. Sedangkan jika dakw aan terhadap subjek atau pelaku t idak
didukung dengan bukti-bukti yang dihadirkan dipersidangan, maka akan dibebaskan.
j. Kemahiran Beracara Pidana
Kemahiran Beracara Pidana merupakan mata kuliah yang berisikan praktik
peradilan. Pada mata kuliah ini, mahasisw a mempraktikkan peran-peran dalam
persidangan, seperti hakim, jaksa, pengacara, tersangka, dan seterusnya.
Dari mata kuliah yang disajikan diyakini dapat memberikan w awasan kepada
mahasisw a terkait dengan praktik hukuman mati di Indonesia. Hal ini juga yang
membedakan mahasisw a fakultas hukum dengan mahasisw a non hukum ataupun
non mahasisw a. Lester (1997, dalam A mbrioso 2005) menjelaskan bahw a orang
yang sudah mempelajari ilmu hukum di bangku kuliah lebih memahami implikasi
sesungguhnya dari penggunaan hukuman mati. Sehingga, dapat diartikan bahw a
penilaian mahasisw a fakultas hukum terkait dengan hukuman mati merupakan hasil
pertimbangan yang matang dan berlandaskan keilmuan.
Pada perguruan tinggi berafiliasi agama juga terlihat adanya muatan nilai-
nilai keagamaan pada kurikulum pendidikan mereka. Berikut ini merupakan
gambaran mata kuliah yang berkaitan dengan keagamaan yang diajarkan kepada
mahasisw a pada masing-masing perguruan tinggi:
59
Tabel 2.3 Daftar Mata Kuliah yang Berkaitan dengan Keagamaan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
Universitas Kristen Indonesia
Ulumul Qur'an dan Hadis Agama Katolik Etika Kristen Aqidah Akhlak Pendidikan Agama Pendidikan Agama Ushul Fiqih I Pengantar Filsafat Ushul Fiqih II Fiqih / Praktik Ibadah
Sumber: Hasil wawancara
Daftar mata kuliah yang diperoleh berasal dari hasil yang sama dengan
daftar mata kuliah yang berkaitan dengan hukuman mati. Berikut ini merupakan
penjelasan dari masing-masing mata kuliah tersebut:
a. Ulumul Qur’an dan Hadis
Pada mata kuliah ini, mahasisw a mempelajari tentang ilmu Qur’an dan hadis
secara umum.
b. Aqidah Akhlak
Mata kuliah ini membahas tentang teologi dalam ilmu Islam.
c. Usuhl Fiqih I dan II
Mata kuliah ini membedah tentang prinsip dasar dalam fiqih. Fiqih
merupakan hasil olah pikir dalam hukum islam.
d. Fiqih atau Praktik Ibadah
Mahasisw a mempelajari tentang tata cara beribadah agama Islam pada mata
kuliah ini.
e. Agama Katolik
Mata kuliah ini mengkaji tentang agama Katolik termasuk Perjanjian Lama
dan Perjanjian Baru.
60
f . Pendidikan Agama (UNIKA Atma Jaya)
Pada mata kuliah ini, mahasisw a mempelajari tentang seluruh agama yang
ada di Indonesia, namun tidak secara mendalam.
g. Pengantar Filsafat
Mata kuliah ini pada dasarnya bukan merupakan mata kuliah keagamaan
murni, namun di dalam materinya banyak membahas tentang f ilsafat-f ilsafat yang
dikemukakan oleh tokoh-tokoh dalam agama Katolik.
h. Etika Kristen
Pada mata kuliah ini, mahasisw a mempelajari tentang etika dalam
kekristenan yang berhubungan dengan profesi.
i. Pendidikan Agama (UKI)
Mata kuliah ini mengkaji tentang agama Kristen.
61
Terjadi berpedaan pendapat terhadap praktik hukuman mati di mata dunia.
Praktik hukuman mati juga menjadi perdebatan di Indonesia.
Hadirnya agama dalam
persidangan dikhawatirkan
dapat membiaskan keputusan
hakim.
Latar belakang pendidikan
merupakan faktor yang
penting dalam berprofesi.
Agama dan pendidikan dapat membentuk sikap yang merupakan dasar
pembentukan perilaku seseorang.
Perlu adanya kajian tentang sikap orang-orang yang mempelajari ilmu
hukum pada perguruan tinggi berafiliasi agama terkait dengan praktik
hukuman mati.
2.10. Kerangka Berpikir
Hukum mati merupakan hukuman yang paling berat di antara seluruh hukuman.