bab 2 tinjauan pustaka 2.1 konsep puskesmas
TRANSCRIPT
10
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Puskesmas
2.1.1 Definisi Puskesmas
Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang
merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga
membina peran serta masyarakat di samping memberikan pelayanan
secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya
dalam bentuk kegiatan pokok (Herlambang, 2016).
Puskesmas didirikan untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar,
menyeluruh, paripurna, dan terpadu bagi seluruh penduduk yang tinggal
di wilayah kerja Puskesmas. Program dan upaya kesehatan yang
diselenggarakan oleh Puskesmas merupakan program pokok (public
health essential) yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat (Herlambang, 2016).
Menurut (Notoatmodjo, 2003 dalam Herlambang, 2016), fungsi
Puskesmas dalam melaksanakan kegiatan dapat mewujudkan empat misi
pembangunan kesehatan yaitu: menggerakkan pembangunan kecamatan
yang berwawasan pembangunan, mendorong kemandirian masyarakat
dan keluarga untuk hidup sehat, memelihara dan meningkatkan pelayanan
kesehatan yang bermutu, merata dan terjangkau serta memelihara dan
meningkatkan kesehatan individu, kelompok dan masyarakat.
11
Dari beberapa definisi Puskesmas dapat di simpulkan bahwa Puskesmas
adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan
pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran
serta masyarakat, untuk memberikan pelayanan kesehatan dasar,
menyeluruh, paripurna, dan terpadu bagi seluruh penduduk.
2.1.2 Fungsi Puskesmas
Puskesmas sesuai dengan fungsinya sebagai pusat pembangunan
berawawasan kesehatan, pusat pemberdayaan masyarakat, meyediakan
dan menyelenggarakan pelayanan yang bermutu dalam memenuhi
kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan yang berkualitas dalam
rangka mencapai tujuan pembangunan kesehatan nasional yaitu
terwujudnya kesehatan yang setinggi-tingginya bagi masyarakat. Fungsi
Puskesmas dapat dikelompokkan menjadi 2 (tiga), yaitu:
2.1.2.1 Sebagai pusat penggerak pembangunan berawawasan kesehatan
masyarakat di wilayah kerjanya melalu, sebagai berikut:
a. Upaya menggerakkan lintas sektor dan dunia usaha di
wilayah kerjanyaagar menyelenggarakan pebangunan yang
berwawasan kesehatan.
b. Keaktifan memantau dan melaporkan dampak kesehatan dari
penyelenggaraan setiap program pembangunan di wilayah
kerjanya.
c. Mengutamakan pemeliharaan keseatan dan pencegahan
penyakit tanpa mengabaikan penyembuhan dan pemulihan.
2.1.2.1 Pusat pemberdayaan masyarakat
a. Berupaya agar perorangan terutama pemuka masyarakat,
keluarga, dan masyarakat memiliki kesadaran, kemauan, dan
kemampuan melayan diri sendiri dan masyarakat untuk hidup
12
sehat serta menetapkan, menyelenggarakan, dan memantau
pelaksanaan program kesehatan serta memberikan pelayanan
kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat
diwilayah kerjanya.
b. Memberikan bantuan yang bersifat bimbingan teknis materi
dan rujukan medis maupun rujukan kesehatan kepada
masayrakat dengan ketentuan bantuan tersebut tidak
menimbulkan ketergantungan.
2.1.2.2 Pusat Pelayanan Pertama
Menyelenggarakan pelayanan kesehatan tingkat pertama secara
menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan, melalui pelayanan
kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat
(Herlambang, 2016).
2.1.3 Wilayah Kerja Puskesmas
Wilayah kerja Puskesmas meliputi satu kecamatan atau sebagian dari
kecamatan. Bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja
Puskesmas antara lain faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan
geografis dan keadaan infrastruktur lainnya. Pembagian wilayah kerja
Puskesmas ditetapkan oleh bupati dan walikota, dengan saran teknis dari
kepala dinas kesehatan kebupaten/kota. Sasaran penduduk yang dilayani
Puskesmas rata-rata 30.000 penduduk setiap Puskesmas (Herlambang,
2016).
Untuk perluasan jangakauan pelayanan kesehatan, maka sebuah
Puskesmas ditunjang dengan unit pelayanan kesehatan yang lebih
sederhana disebut dengan Puskesmas pembantu dan Puskesmas keliling.
Khusus untuk kota besar dengan jumlah penduduk satu juta atau lebih,
13
wilayah kerja Puskesmas dapat satu kelurahan. Puskesmas di ibukoa
kecamtan dengan jumlah penduduk 150.000 jiwa atau lebih, merupakan
Puskesmas pembantu yang berfungsi sebagai pusat ujukan bagi
Puskesmas kelurahan dan mempunyai fungsi koordinasi. Dengan adanya
undang-undang otonomi daerah, setiap daerah tingkat II mempunyai
kesempatan mengembangkan Puskesmas sesuai rencana strategis bidang
kesehatan sesuai situasi dan kondisi daerah tingkat II (Herlambang,
2016).
2.1.4 Ruang Lingkup Pelayanan Puskesmas
Pelayanan kesehatan yang diberikan Puskesmas adalah pelayanan
menyeluruh yang meliputi pelayanan sebagai berikut: kuratif
(pengobatan), preventif (pencegahan), promotif (peningkatan kesehatan),
rehabilitative (pemulihan kesehatan) (Herlambang, 2016).
2.1.5 Program Pokok Puskesmas (Rais dan Suhadi, 2015)
Untuk tercapainya visi pembangunan kesehatan melalui Puskesmas yakni
terwujudnya kecamatan sehat menuju Indonesia Sehat. Puskesmas
bertanggung jawab menyelenggarakan upaya kesehatan perorangan dan
upaya kesehatan masyarakat.
2.1.5.1 Upaya Kesehatan Ibu dan Anak
a. Pemeliharaan kesehatan ibu hamil, melahirkan dan
menyusui, bayi, balita dan anak prasekolah.
b. Memberikan nsehat tentang makanan makanan guna
mencegah gizi buruk karena kekurangan kalori dan protein,
serta bila ada pemberian makanan tambahan dan mineral.
c. Pemberian nasehat tentang perkembangan anak dan cara
stimulasinya.
14
d. Imunisaasi tetanus toksoid pada ibu hamil, BCG, DPT 3 kali,
polio 3 kali dan campak 1 kali pada bayi.
e. Penyuluhan kesehatan meliputi beerbagai aspek dalam
mencapai tujuan program KIA.
f. Pelayanan KB pada pasngan usia subur dengan perhatian
khusus pada mereka yang dalam keadaan bahaya karena
melahirkan anak berkali-kali dan ibu berisiko tinggi.
g. Pengobatan bagi ibu, bayi, balita dan anak prasekolah untuk
macam-macam penyakit ringan.
h. Kunjungan untuk mencari ibu dan anak yang memerlukan
pemeliharaan, memberikan penerangan dan pendidikan
tentang kesehatan dan mengadaka pementauanpada mereka
yang lalai mengunjungi Puskesmas dan meminta mereka
datang ke Puskesmas lagi.
i. Pengawasan dan bimbingan kepada taman kanak-kanak dan
para dukun bayi.
2.1.5.2 Upaya Keluarga Berencana
a. Mengadakan kursus KB untuk para ibu dan calon ibu.
b. Mengadakan kursus kepada dukun yang kemudian akan
bekerja sebagai penggerak calon peserta KB.
c. Mengadakan pembicaraan-pembicaraan tentang KB kapan
saja ada kesempatan baik Di Puskesmas maupun ketika
mengadakan kunjungan rumah.
d. Memasang IUD, cara-cara penggunaan pil, kondom, dan
cara-cara lain dengan memberikan sarannya.
e. Mengamati mereka yang menggunakan sarana penceghan
kehamilan.
15
2.1.5.3 Upaya Peningkatan Gizi
a. Mengenali penderita kekurangan gizi dan mengobati mereka.
b. Mempelajari keadaan gizi masyarakat dan mengembangkan
program perbaikan gizi.
c. Memberikan pendidikan gizi pada masyarakat secara
perseorangan kepada mereka yang membutuhkan terutama
dalam rangka program KIA.
d. Melaksanakan program :
1) Program perbaikan gizi keluarga.
2) Memberikan makanan tambahan yang mengandung
protein dan kalori yang cukup pada anak-anak di bawah
umur 5 tahun dan ibu yang menyusui.
3) Memberikan vitamin A pada anak-anak di bawah umur 5
tahun.
2.1.5.4 Upaya Kesehatan Lingkungan
a. Penyehatan air bersih.
b. Penyehatan pembuangan kotoran.
c. Penyehatan lingkungan rumah.
d. Penyehatan makanan dan minuman.
e. Pelaksanaan peraturan dan perundang-undangan.
2.1.5.5 Upaya Pencegahan Penyakit Menular
a. Mengumpulkan dan menganalisa penyakit.
b. Melaporkan kasus penyakit menular.
c. Menyelidiki di lapangan untuk melihat benar atau tidaknya
laporan yang masuk untuk menemukan kasus-kasus baru dan
untuk mengetahui sumber penularan.
d. Tindakan permulaan untuk menahan penularaan penyakit.
16
e. Menyembuhkan penderita sehingga ia tidak lagi menjadi
sumber infeksi.
f. Pemberian imunisasi.
g. Pemberantasan vektor.
h. Pendidikan kesehatan pada masyarakat.
2.1.5.6 Upaya Pelayanan Kesehatan
a. Penyuluhan kesehatan masyarakat merupakan bagikan yang
tidak terpisahkan dari tiap-tiap program Puskesmas. Kegiatan
penyuluhan kesehatan dilakukan pada setiap kesempatan
oleh petugas, apakah di klinik, rumah dan kelompok
masyarakat.
b. Di tingkat Puskesmas tidak ada petugas penyuluhan
tersendiri tetapi ditingkat kabupaten diadakan tenaga-tenaga
koordinator penyuluhan kesehatan. Koordinator membantu
para petugas Puskesmas dalam mengembangkan teknik dan
materi penyuluhan Di Puskesmas.
2.1.5.7 Upaya Kesehatan Sekolah
a. Membina sarana keteladanan Di Sekolah, berupa sarana
keteladanan gizi berupa kantin dan sarana keteladanan
kebersihan lingkungan.
b. Membina kebersihan perseorangan peserta didik.
c. Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berperan
aktif dalam pelayanan kesehatan melalui kegiatan dokter
kecil.
d. Penjaringan kesehatan peserta didik kelas 1.
e. Pemeriksaan kesehatan periodik sekali setahun untuk kelas
II-IV dan guru berupa pemeriksaan kesehatan sederhana.
17
f. Imunisasi peserta didik I dan VI.
g. Pengawasan terhadap keadaan air.
h. Pengobatan ringan pertolongan pertama.
i. Rujukan medik.
j. Penanganan kasus anemia pertama.
k. Pembinaan teknik dan pengawasan Di Sekolah.
l. Pencatatan pelaporan.
2.1.5.8 Upaya Kesehatan Masyarakat
a. Asuhan keperawatan kepada individu Di Puskesmas maupun
di rumah dengan berbagi tingkat umur, kondisi kesehatan
tumbuh kembang dan jenis kelamin.
b. Asuhan perawatan yang diarahkan kepada keluarga sebagai
unit terkecil dari masyarakat (keluarga binaan).
c. Pelayanan perawatan kepada kelompok khusus diantaranya :
ibu hamil, anak balita, usia lanjut dan sebagainya.
d. Pelayanan keperawatan kepada tingkat masyarakat.
2.1.5.9 Upaya Kesehatan Kerja
a. Identifikasi masalah, meliputi :
1) Pemeriksaan kesehatan awal dan bekal untuk para
pekerja.
2) Pemeriksaan kasus terhadap pekerja yang datang berobat
ke Puskesmas.
3) Peninjauan tempat kerja menentukan bahaya akibat kerja.
b. Kegiatan peningkatan tenaga kerja melalui peningkatan gizi
pekerja, lingkungan kerja dan penignkatan kegiatan
kesejahteraan.
c. Kegiatan pencegahan kecelakaan akibat kerja :
18
1) Penyuluhan kesehatan.
2) Kegiatan ergonomic, yaitu kegiatan untuk mencapai
kesesuaian antara alat kerja agar tidak terjadi stress fisik.
3) Kegiatan monitoring bahaya akibat kerja.
4) Pemakaian alat pelindung.
d. Kegiatan pengobatan kasus penyakit akibat kerja.
e. Kegiatan pemulihan bagi pekerja yang sakit.
f. Kegiatan rujukan medik dan kesehatan terhadap pekerja yang
sakit.
2.1.5.10 Upaya Kesehatan Gigi dan Mulut
a. Pembinaan atau pembangunan kemampuan peran serta
masyarakat dalam upaya pemeliharaan diri dalam wadah
program UKGM.
b. Pelayanan asuhan pada kelompok rawan meliputi : anak
sekolah, kelompok ibu hamil, menyusui dan anak prasekolah.
c. Pelayan medis gigi dasar, yaitu :
1) Pengobatan gigi pada penderita uyang berobat maupun
rujuk.
2) Merujuk kasus-kasus yang dapat ditanggulangi ke
sasaran yang lebih mampu.
3) Memberikan penyuluhan secara individu atau kelompok.
4) Memelihara kesehatan (hygiene clinic).
5) Memelihara atau merawat peralatan atau obat-obatan.
d. Pencatatan dan pelaporan.
2.1.5.11 Upaya Kesehatan Jiwa
a. Kegiatan kesehatan jiwa yang terpadu dengan kegiatan
pokok Puskesmas.
19
b. Penanganan pasien dengan gangguan jiwa.
c. Kegiatan dalam bentuk penyuluhan serta pembinaan peran
serta masyarakat.
d. Pengembangan upaya kesehatan jiwa Puskesmas melalui
tekanan bola mata, tes saluran air mata, tes lapang pandang,
pundus copy dan pemeriksaan laboratorium.
e. Penataan pelaporan.
2.1.5.12 Upaya Kesehatan Mata
a. Kegiatan kesehatan mata, pencegahan kesehatan dasar yang
terpadu dengan kegiatan lainnya.
b. Upaya kesehatan mata :
1) Anamnesa.
2) Pemeriksaan virus dan mata keluar, tes buta warna, tes
tekanan bola mata, tes saluran air mata, tes lapang
pandang, pundus copy dan pemeriksaan laboratorium.
3) Pengobatan dan pemberian kaca mata.
4) Operasi katarak.
5) Perawatan post operasi katarak dan glukoma akut.
6) Merujuk kasus yang tidak dapat diatasi.
7) Pemberian protesa mata.
c. Peningkatan peran serta masyarakat dalam bentuk
penyuluhan kesehatan, serta menciptakan kemandirian
masyarakat dalam pemeliharaan kesehatan mata mereka.
d. Pengembangan masyarakat dalam kesehatan mata
masyarakat.
e. Pencatatan dan pelaporan.
20
2.1.5.13 Upaya Laboratorium Kesehatan
a. Di ruang laboratorium :
1) Penerimaan pasien.
2) Pengambilan specimen.
3) Penanganan specimen.
4) Pelaksanaan pemeriksaan.
5) Penanganan sisa specimen.
6) Pencatatan hasil pemeriksaan.
7) Penyampaian hasil pemeriksaan.
b. Terhadap specimen yang akan dirujuk :
1) Pengambilan specimen.
2) Penanganan specimen.
3) Pengemasan specimen.
4) Pengiriman specimen.
5) Pengambilan hasil pemeriksaan.
6) Pencatatan hasil pemeriksaan.
7) Penyampaian hasil pemeriksaan.
c. Di ruang klinik dilakukan oleh perawat atau bidan meluputi :
1) Persiapan pasien.
2) Pengambilan specimen.
3) Menyerahkan specimen untuk diperiksa.
d. Di luar gedung meliputi :
1) Melakukan tes skrining Hb.
2) Pengambilan specimen untuk kemudian dikirim ke
laboratorium Puskesmas.
3) Memberikan penyuluhan.
4) Pencatatan dan pelaporan.
5) Upaya pencatatan dan pelaporan dalam rangka sistem
informasi kesehatan :
21
a) Dilakukan oleh semua Puskesmas (pembina,
pembantu dan keliling).
b) Pencatatan dan pelaporn mecakup :
(1) Data umum dan demografi wilayah kerja
Puskesmas.
(2) Data ketenagaan Di Puskesmas.
(3) Data sarana yang dimiliki Puskesmas.
(4) Data kegiatan pokok Puskesmas yang dilakukan
baik di dalam maupun di luar gedung Puskesmas.
c) Laporan dilakukan secara periodik (bulan, triwulan
dan tahunan).
2.1.5.14 Upaya Kesehatan Olahraga
Upaya kesehatan olahraga adalah upaya kesehatan yang
memanfaatkan aktivitas fisik atau olahraga untuk meningkatkan
derajat kesehatan. Aktivitas fisik atau olahraga merupakan
sebagian kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari karena
dapat meningkatkan kebugaran yang diperlukan dalam
melakukan tugasnya.
Berbagai implementasi program upaya kesehatan ini dapat
bergantung sesuai kebutuhan suatu Puskesmas sesuai wilayah
kerjanya, contoh nya
1. Olahraga Preventif
2. Olahraga pada Anak
3. Olahraga pada Wanita
4. Olahraga pada Lanjut Usia
22
2.2 Konsep Lansia
2.2.1 Pengertian Lansia
Lanjut usia menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998 tentang
kesejahteraan Lanjut Usia pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa
umur 60 tahun keatas.
Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang, manusia tidak
secara tiba-tiba menjadi tua,tetapi berkembang dari bayi, anak-anak,
dewasa dan akhirnya menjadi tua. Lansia merupakan suatu proses yang
alami, semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua
merupakan masa hidup manusia yang terakhir, dimasa ini seseorang akan
mengalami kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap (Azizah,
2011).
Menurut Surini dan Utomo (2003) lanjut usia bukan suatu penyakit, tetapi
merupakan tahap lanjut dari proses keidupan yang akan dijalani semua
individu, ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi
dengan stres lingkungan (Azizah, 2011).
2.2.2 Proses Menua
Ageing process (proses menua) adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau
mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan
terhadap infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita (Constantides,
1994; Darmojo). Proses menua merupakan proses yang terus menerus
(berlanjut) secara alamiah, yang dimulai sejak lahir dan umumnya dialami
oleh makhluk hidup (Azizah, 2011).
23
Pada usia lanjut biasanya seseorang akan mengalami kehilangan jaringan
otot, susunan syaraf, dan jaringan lain sehingga tubuh akan “mati” sedikit
demi sedikit. Secara individu, pengaruh proses menua dapat
menimbulkan berbagai masalah sosial-ekonomi, mental, maupun fisik-
biologik. Dari aspek fisik-biologik terjadi perubahan pada beberapa
sistem, seperti sistem organ dalam, sistem muskuloskeletal, sistem
sirkulasi (jantung), sel jaringan dan sistem syaraf yang tidak dapat diganti
karena rusak atau mati (Mujahidullah, 2012).
2.2.3 Batasan-batasan lanjut usia (Mujahidullah, 2012)
2.2.3.1 Menurut WHO
a. Usia petengahan (midle age) kelompok usia 45-59 tahun.
b. Usia lanjut (elderly) antara 60-70 tahun.
c. Usia lanjut tua (old) antara 75-90 tahun.
d. Usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.
2.2.3.2 Menurut undang-undang RI No 13 tahun 1998
Tentang kesejahteraan lanjut usia : Bahwa usia lanjut adalah
seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
2.2.3.3 Menurut Departemen Kesehatan RI
Usia lanjut digolongkan menjadi 3 golongan yaitu :
a. Kelompok lansia dini (55-64 tahun)
b. Kelompok lansia pertengahan (65 tahun ke atas)
c. Kelompok lansia dengan resiko tinggi (70 tahun ke atas)
2.2.3.4 Menurut Bernice Neu Gardon (1975)
a. Lansia muda, yaitu pada orang berumur antara 55-75 tahun
b. Lansia tua, yaitu orang yang berumur lebih dari 75 tahun
24
2.2.3.5 Menurut Levinson (1978)
a. Lansia peralihan awal, antara 50-55 tahun
b. Lansia peralihan menengah, antara 55-60 tahun
c. Lansia peralihan akhir, antara 60-65 tahun.
2.2.4 Perubahan Pada Lansia
Azizah (2011) memaparkan bahwa semakin bertambahnya umur manusia,
terjadi proses penuaan secara degeneratif yang akan berdampak pada
perubahan-perubahan pada diri manusia, tidak hanya perubahan fisik,
tetapi juga kognitif, perasaan, sosial, dan seksual.
2.2.4.1 Perubahan Fisik
a. Sistem panca indra
Perubahan sistem panca indra pada lansia antara lain sebagai
berikut :
1) Perubahan sistem penglihatan pada lansia erat kaitanya
dengan presbiopi. Lensa kehilangan elastisitas dan kaku.
Otot penyangga lensa lemah, ketajaman penglihatan dan
daya akomodasi dari jarak jauh atau dekat berkurang,
penggunaan kacamata dan sistem penerangan yang baik
dapat digunakan.
2) Sistem pendengaran: presbiakusis (gangguan pada
pendengaran) oleh karena hilangnya kemampuan (daya)
pendengaran pada telinga dalam, terutama terhadap bunyi
suara atau nada –nada yang tinggi, suara yang tidak jelas,
sulit dimengerti kata-kata, 50% terjadi pada usia diatas 60
tahun.
3) Sistem integument: pada lansia kulit mengalami atrofi,
kendur, tidak elastis, kering dan kerut. Kulit akan
25
kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan bebercak.
Kekeringan kulit disebabkan atrofi glandula sabasea dan
glandula sudoritera, timbul pigmen berwarna coklat pada
pigmen kulit dikenal dengan liver spot. Perubahan kulit
lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara
lain angin dan matahari, terutama sinar ultraviolet.
b. Sistem Muskuloskeletal
Perubahan sistem muskuloskeletal pada lansia antara lain
sebagai berikut:
1) Jaringan penghubung (kolagen dan elastin). Kolagen
sebagai pendukung utama pada kulit, tendon, tulang,
kartilago dan jaringan pengikat mengalami perubahan
menjadi bentangan yang tidak teratur. Perubahan pada
kolagen tersebut merupakan penyebab turunya
fleksibelitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak
berupa nyeri, penurunan kemampuan untuk
meningkatkan kekuatan otot, kesulitan bergerak dari
duduk ke berdiri, jongkok dan berjalan dan hambatan
dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
2) Kartilago; jaringan kartilago pada persendian lunak
mengalami granulasi dan akhirnya permukaan sendi
menjadi rata, kemudian kemampuan kartilago untuk
regenerasi berkurang dan regenerasi yang terjadi
cenderung kearah progresif, konsekuensinya kartilago
pada persendian menjadi rentan terhadap gesekan.
Perubahan sering terjadi pada sendi besar penumpu berat
badan, akibat perubahan itu sendi mengalami peradangan,
26
kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak dan terganggunya
aktifitas sehari-hari.
3) Tulang; berkurangannya kepadatan tulang setelah di
observasi adalah bagian dari penuaan fisiologis. Dampak
berkurangnya kepadatan akan mengakibatkan nyeri,
deformitas dan fraktur.
4) Otot; perubahan struktur pada otot pada penuaan sangat
bervariasi, penurunan jumlah dan ukuran serabut otot,
peningkatan jaringan penghubung dan jaringan lemak
pada otot mengakibatkan efek negatif, dampak perubahan
morfologis pada otot adalah penurunan kekuatan,
penurunan fleksibelitas, peningkatan waktu reaksi dan
penurunan kemampuan fungsional otot.
5) Sendi; pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti
tendon, ligamen dan fasia mengalami penurunan
elastisitas. Ligamen dan jaringan periarkular mengalami
penurunan daya lentur dan elastisitas. Terjadi degenerasi,
erosi, dan klasifikasi pada kartilago dan kapsul sendi.
Sendi kehilangan fleksibilitasnya sehingga terjadi
penurunan gerak sendi. Kelainan tersebut dapat
menimbulkan gangguan berupa bengkak, nyeri, kekakuan
sendi, gangguan jalan dan aktifitas keseharian lainnya.
c. Sistem Kardiovaskuler
Masa jantung bertambah, ventrikel kiri mengalami hipertrofi
dan kemampuan peregangan jantung berkurang karena
27
perubahan pada jaringan ikat dan penumpukan lipofusin dan
klasifikasi SA node dan jaringan ondksi berubah menjadi
jaringan ikat. Konsumsi O2 pada tingkat maksimal berkurang
sehingga kapasitas paru menurun.
d. Sistem Respirasi
Pada penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru, kapasitas
total paru tetap, tetapi volume cadangan paru bertambah
untuk mengompensasi kenaikan ruang rugi paru, udara yang
mengalir ke paru berkurang. Perubahan pada otot, kartilago
dan sendi torak mengakibatkan gerakan pernafasan
terganggu dan kemampuan perengangan toraks berkurang.
Umur tidak berhubungan dengan perubahan otot diafragma,
apabila terjadi perubahan otot diafragma, maka otot thoraks
menjadi tidak seimbang dan menyebabkan terjadinya distorsi
dinding toraks selama respirasi berlangsung.
e. Pencernaan dan Metabolisme
Perubahan yang terjadi pada sistem pencernaan, seperti
penurunan produksi sebagai kemunduran fungsi yang nyata.
Kehilangan gigi; penyebab utama adalah periodental disease
yang bisa terjadi setelah umur 30 tahun., penyebab lain yang
meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi yang buruk.
f. Sistem perkemihan
Pada sistem perkemihan banyak fungsi yang mengalami
perubahan secara signifikan, seperti laju filtrasi, ekskresi, dan
reabsosi oleh ginjal. Hal ini akan memberikan efek dalam
pemberian obat pada lansia. Mereka menghilangkan
28
kemampuan untuk mengekskresi obat atau produk
metabolisme obat. Pola berkemih tidak normal, seperti
banyak berkemih di malam hari, sehingga mengharuskan
mereka pergi ke toilet sepanjang malam, hal ini menunjukan
bahwa inkontenensia meningkat (Ebersole dan Hess, 2001
dalam Azizah, 2011).
g. Sistem Saraf
Sistem susunan saraf mengalami perubahan anatomi dan
atrofi yang progresif pada serabut saraf lansia. Lansia
mengalami penuruanan koordinasi dan kemampuan dalam
melakukan aktifitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan
penurunan persepsi sensori dan respons motorik pada
susunan saraf pusat dan penurunan reseptor propioseptif, hal
ini terjadi karena susunan saraf pusat pada lansia mengalami
perubahan morfologis dan biokimia, perubahan tersebut
mengakibatkan penurunan fungsi kognitif. Menurut (Surini
dan Utomo, 2003 dikutip oleh Azizah, 2011).
h. Sistem Reproduksi
Perubahan sistem reproduksi lansia ditandai dengan
manciutnya ovari dan oterus. Terjadi atrovi payudara. Pada
laki-laki testis masih dapat memproduksi spermatosoa,
meskipun adanya penurunan secara beransur-ansur (watson,
2003 dalam azizah, 2011).
29
2.2.4.2 Perubahan Kognitif
a. Memory (Daya ingat, ingatan)
Pada lanjut usia , daya ingat (memory) merupakan salah satu
fungsi kognitif yang seringkali paling awal mengalami
penurunan. Ingatan jangka panjang (Long term memory)
kurang mengalami perubahan, sedangkan ingatan jangka
pendek (short term memory) atau seketika 0-10 menit
memburuk.
b. IQ (Intellegent Quocient)
Lansia tidak mengalami perubahan dengan informasi
matematika (analisis, linier, sekuensial) dan perkataan verbal,
tetapi persepsi dan daya membayangkan (fantasi) menurun.
Walaupun mengalami kontroversi, tes intelegensia kurang
memperhatikan adanya penurunan kecerdasan pada lansia
(Cockburn & Smith, 1991 dikutip oleh Lumbantobing,
2006).
c. Kemampuan belajar
Menurut Brocklehurst dan Allen (1987); Darmojo &
Martono (2004), lanjut usia yang sehat dan tidak mengalami
demensia masih memiliki kemampuan belajar yang baik,
bahkan di negara industri maju didirikan University of the
third age.
d. Kemampuan pemahaman (Compherension)
Kemampuan pemahaman atau menangkap pengertian pada
lansia mengalami penurunan. Hal ini dipengaruhi oleh
30
konsentrasi dan fungsi pendengarannya lansia yang
mengalami penurunan.
e. Pemecahan masalah (Problem Solving)
Pada lanjut usia masalah-masalah yang dihadapi tentu
semakin banyak. Banyak hal yang dahulunya dengan mudah
tanpa dipecahkan menjadi terhambat karena terjadi
penurunan fungsi indra pada lanjut usia.
f. Pengambilan keputusan (Decission Making)
Pengambilan keputusan pada lanjut usia sering lambat atau
seolah-olah terjadi penundaan.
g. Kebijaksanaan (Wisdom)
Bijaksana (Wisdom) adalah aspek kepribadian (personality)
dan kombinasi dari aspek kognitif. Kebijaksanaan
menggambarkan sifat dan sikap individu yang mampu
mempertimbangkan antara baik dan buruk serta untung dan
ruginya sehingga dapat bertindak secara adil atau bijaksana.
Menurut Kuntjoro (2002), para lansia semakin bijaksana
dalam menghadapi suatu permasalahan.
h. Kinerja (Performance)
Pada lanjut usia memang akan terlihat penurunan kinerja
baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Perubahan
performance yang membutuhkan kecepatan dan waktu
mengalami penurunan (Lumbantobing, 2006).
31
i. Motivasi
Pada lanjut usia, motivasi baik kognitif maupun afektif untuk
mencapai atau memperoleh sesuatu cukup besar, namun
motivasi tersebut seringkali kurang memperoleh dukungan
kekuatan fisik maupun psikologis, sehingga hal-hal
diinginkan banyak berhenti di tengah jalan.
2.2.4.3 Perubahan Spiritual
Agama atau kepercayaan lansia makin berintegrasi dalam
kehidupan (Maslow, 1976); Stuart dan Sundeen, 1998). Lansia
makin teratur dalam kehidupan keagamaannya. Hal ini dapat
dilihat dalam berfikir dan bertindak sehari-hari (Murray dan
Zentner, dikutip Nugroho, 2000). Pada tahap perkembangan usia
lanjut merasakan atau sadar akan kematian (Sense of Awareness
of Mortality).
2.2.4.4 Psikososial
a. Pensiun
Pensiun sering dikaitkan secara salah dengan kepasifan dan
pengasingan. Dalam kenyataannya, pensiun adalah tahap
kehidupan yang dicirikan oleh adanya transisi dan perubahan
peran, yang dapat menyebabkan stress psikososial.Meskipun
tujuan ideal pensiun adalah agar pada lansia dapat menikmati
hari tua atau jaminan hari tua, namun kenyataannya sering
dirasakan sebalikanya, karena pensiun sering diartikan
sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran,
kegiatan, status, dan harga diri.
32
b. Perubahan aspek kepribadian
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia
mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia
mengalami perubahan kepribadian. Menurut Kuntjoro
(2002), kepribadian lanjut usia dibedakan menjadi 5 tipe
kepribadian yaitu tipe kepribadian konstruktif (construction
personality), mandiri (independent personality), tipe
kepribadian tergantung (dependent personality), bermusuhan
(hostile personality), tipe kepribadian defensive, dan tipe
kepribadian kritik diri (self hate personality).
c. Perubahan dalam peran sosial di masyarakat
Akibat berkurangnya fungsi indera pendengaran,
penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul
gangguan fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia,
misalnya badannya menjadi bungkuk, pendengaran sangat
berkurang, penglihatan semakin kabur dan sebagainya
sehingga sering menimbulkan keterasingan.
d. Perubahan minat
Lanjut usia juga mengalami perubahan dalam minat.
Bagaimana sikap yang ditujukan apakah memuaskan atau
tidak memuaskan, hal ini tergantung dari pengaruh
perubahan terhadap peran dan pengalaman pribadinya.
2.2.4.5 Perubahan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali
berhubungan dengan berbagai gangguan fisik. Menurut kuntjoro
33
(2002), faktor psikologis yang menyertai lansia berkaitan dengan
seksualitas, antara lain seperti rasa tabu atau malu bila
mempertahankan kehidupan seksual pada lansia. Di dalam
menghadapi perubahan tersebut diperlukan penyesuaian. Ciri-ciri
penyesuaian yang tidak baik dari lansia (Hurlock, 1979) di kutip
oleh Munandar (1994) adalah :
a. Minat sempit terhadap kejadian di lingkungannya
b. Penarikan diri ke dalam dunia fantasi
c. Selalu mengingat kembali masa lalu
d. Selalu khawatir karena pengangguran
e. Kurang dari motivasi
f. Rasa kesendirian karena hubungan dengan keluarga baik
g. Tempat tinggal yang tidak diinginkan.
Dilain pihak ciri penyesuaian diri lanjut usia yang baik antara
lain adalah minat yang kuat, ketidaktergantungan secara
ekonomi, kontak sosial luas, menikmati kerja dan hasil kerja,
menikmati kegiatan yang dilakukan saat ini dan memiliki
kekhawatiran minimal terhadap diri dan orang lain.
2.2.5 Penyakit Yang Sering Dijumpai Pada Lansia
2.2.5.1 Dikemukakan dalam Azizah (2011) ada empat penyakit yang
sangat erat hubungannya dalam proses menua, yakni :
a. Gangguan sirkulasi darah, seperti hipertensi , kelainan
pembuluh darah, gangguan pembuluh darahdi otak (koroner)
dan ginjal.
b. Gangguan metabolisme hormonal, seperti: diabetes militus,
klimakterium, dan ketidakseimbangan tiroid.
c. Gangguan pada persendian, seperti: osteoarthiritis, gout
astritis, ataupun penyakit kolagen lainnya.
34
d. Berbagai macam neoplasma.
2.2.5.2 Menurut “The National Old People’s Welfare Council” dalam
Azizah (2011), mengemukakan bahwa penyakit atau gangguan
pada lansia ada 12 macam yakni:
a. Depresi mental.
b. Gangguan mendengar.
c. Bronkitis kronis.
d. Gangguan pada tungkai/sikap berjalan.
e. Gangguan pada koksa/sendi panggul.
f. Anemia.
g. Demensia.
h. Gangguan penglihatan.
i. Ansietas atau kecemasan.
j. Dekompensasi kordis.
k. Diabetes Militus, osteomalisia, dan hipotiroidisme.
l. Gangguan pada defekasi
2.3 Konsep Senam Lansia
2.3.1 Pengertian Senam Lansia
Olahraga adalah menggerakkan tubuh dalam jangka waktu tertentu.
Aktivitas olahraga yang bisa dilakukan contohnya berjalan, berlari,
menangkap, memukul menangkis, menjadi bagian keseharian, dimana
dalam melaksanakan shalat, gerakan-gerakan tubuh yang dilakukan
menyerupai gerakan-gerakan senam.
Senam merupakan suatu cabang olahraga yang melibatkan performa
gerakan yang membutuhkan kekuatan, kecepatan dan keserasian gerakan
fisik yang teratur. Senam lanjut usia merupakan salah satu contoh dari
35
bagian latihan fisik atau olahraga yang baik bagi lanjut usia selain jenis-
jenis lainnya misalnya pekerjaan rumah dan berkebun, berjalan-jalan,
jalan cepat, renang dan bersepeda (Maryam, R Siti; Ekasari, Mia Fatma;
Rosidawati; Jubaedi; Ahmad; Batubara, Irwan., 2008: 146-149).
Olahraga memerlukan takaran yang pas, tidak kurang dan tidak lebih,
terutama untuk kesehatan jantung. Format olahraga yang harus dipenuhi
agar tetap segar bugar adalah :
2.3.1.1 Frekuensi Latihan
Frekuensi latihan yang dimaksud adalah sering nya (berapa hari)
dilakukan latihan dalam kurun satu minggu sehingga latihan
tersebut memberikan manfaat. Beberapa penelitian
menyampaikan bahwa olahraga tiga hari dalam seminggu sudah
cukup baik. Olahraga yang dilakukan melebihi lima kali
seminggu akan menimbulkan berbagai komplikasi psikologis
maupun fisiologis, misal cedera tungkai, serangan jantung, dan
lain-lain. Dapat pula terjadi penebalan otot jantung yang tidak
harmonis sehingga jantung terganggu atau disebut kardiomiopati.
Sebaiknya olahraga dilakukan tiga sampai lima kali seminggu
karena kita memerlukan pemulihan untuk memberikan
kesempatan kepada otot dan persendian untuk memulihkan diri.
2.3.1.2 Intensitas Latihan
Reaksi denyut jantung dapat dipakai sebagai cerminan reaksi
pembebanan. Beban yang dapat diterima jantung berkisar antara
60-80% dari kekuatan maksimalnya jantung. Beban ini
dijabarkan dengan denyut jantung antara 70-80% denyut
maksimal. Bila latihan dilakukan dibawah 70% efek latihan
maka kemampuan sangatlah sedikit dan kurang bermanfaat.
36
Untuk beban latihan, kemampuan jantung harus diukur dengan
uji latih jantung.
2.3.1.3 Tempo Latihan
Darah akan bertambah banyak sewaktu orang melakukan latihan.
Aliran darah cukup bila beban antara 60-80% dari
kemampuannya atau 70-85% dari denyut jantung maksimal. Saat
jantung berdenyut pada beban tersebut, aliran akan meningkat 3-
5 kali lipat dibanding saat istirahat. Bila denyut jantung
dipertahankan selama latihan, aliran darah yang meningkat akan
bertahan. Artinya semakin lama orang berolahraga, semakin
lama pula aliran darah mengalir ke dalam pembuluh darah
koroner untuk memimgkatkan daya tahan jantung sehingga dosis
yang diberikan untuk latihan dibuat sedemikian rupa sehingga
porsi latihan dilakukan dalam kondisi tersebut. Denyut jantung
latihan disebut Training Heart Rate (THR). Beberapa penelitian
telah menunjukkan bahwa lama latihan antara 20-30 menit sudah
cukup memberikan kenaikan kemampuan sebanyak 35%, bila
dilakukan selama tiga hari dalam seminggu dalam jangka waktu
1 bulan.
2.4 Konsep Keberhasilan Program
Menurut Jones (dalam hidayah, 2012) istilah kebijakan digunakan dalam praktik
sehari-hari, diantaranya digunakan untuk menggantikan kegiatan atau keputusan
yang berbeda. Istilah ini sering dipertukarkan dengan tujuan, program,
keputusan, standar, proposal dan grand design. Secara umum, istilah kebijakan
dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor dalam suatu bidang
kegiatan tertentu.
37
Dengan demikian, dari definisi kebijakan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
kebijakan adalah rangkaian konsep pokok yang menjadi garis besar dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan yang mengandung program pencapaian tujuan, nilai-
nilai dan praktek-praktek yang terarah bercirikan konsistensi dan pengulangan
tingkah laku dari mereka yang mematuhi keputusan tersebut.
2.4.1 Kebijakan Publik
Berbicara tentang kebijakan publik, maka tentu saja kita akan
bersinggungan dengan apa yang disebut dengan pengambilan
keputusan. Pengambilan keputusan merupakan kegiatan atau proses yang
dilakukan oleh pihak berwenang dalam negara untuk menetapkan
kebijakan-kebijakan umum yang terkait dengan kebaikan dan
kepentingan bersama. Dalam pengambilan keputusan ini biasanya para
desicion makers akan melakukan berapa rangkaian yang saling berikat,
mulai dari: menetapkan masalah yang benar, merumuskan alternatif-
alternatif guna menyelesaikan masalah yang ada, menghitung kerugian
dan keuntungan (cost and benefits) yang dapat tercipta dari alternatif
kebijakan yang telah disusun, sampai dengan pengambilan keputusan.
Dunn (2006:64) menjelaskan bahwa Kebijakan publik ialah pola
ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling
tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang
dibuat oleh badan atau kantor pemerintah. Menurut Anderson dalam
Agustino (2006:41) memberikan pengertian atas definisi kebijakan
publik adalah Serangkaian kegaiatan yang mempunyai maksud dan tujuan
tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau
sekelompok aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau
suatu hal yang perlu diperhatikan.
38
2.4.2 Implementasi Kebijakan Publik
Negara sebagai suatu organisasi publik selain mempunyai tujuan (goals)
yang harus direalisasikan, ia juga mempunyai berbagai permasalahan
yang harus diatasi, dikurangi atau dicegah. Permasalahan tersebut bisa
berasal dari masyarakat itu sendiri, bisa juga berasal sebagai dampak
negatif dari kebijakan yang diambil oleh pemerintah.
Masalah yang harus diatasi oleh pemerintah adalah masalah publik, yaitu,
nilai, kebutuhan atau peluang yang tak terwujudkan yang meskipun bisa
diidentifikasi tetapi hanya mungkin dicapai lewat tindakan publik (Dunn,
1994 : 58 dalam Tachjan, 2006).
Karakteristik masalah publik yang harus diatasi selain bersifat
interdependensi juga bersifat dinamis, sehingga pemecahannya
memerlukan pendekatan holistik (holistic approach), yaitu pendekatan
yang memandang masalah sebagai bagian dari keseluruhan yang tidak
dapat dipisahkan atau diukur sendirian.
Dengan demikian, karena masalah-masalah publik tidak bisa diatasi
secara perorangan dan di samping itu dikehendaki pemecahan secara
efektif dan efisien, maka mensyaratkan adanya proses perumusan
masalah dan penetapan kebijakan. Hal ini dimaksudkan agar sekali suatu
kebijakan publik ditetapkan dan diimplementasikan maka dampak
positifnya akan dirasakan oleh publik secara luas, termasuk oleh pembuat
kebijakan itu sendiri.
2.4.3 Implementasi Kebijakan Model Edward III
Pendapat yang dikemukakan oleh Edwards III (1980 : 10-`11) bahwa,
kinerja atau efektivitas kerja yang dicapai oleh organisasi pelaksana
39
(birokrasi) dalam implementasi kebijakan publik, akan ditentukan oleh
factor : “Bureaucratic Structure, Resources, Dispositions,
Communication”. Dalam hal ini, struktur birokrasi, sumber daya, dan
disposisi, dapat diposisikan sebagai faktor kepemilikan (hal yang perlu
dimiliki) birokrasi, sedangkan komunikasi dapat diposisikan sebagai
aktivitas yang harus dilakukan oleh birokrasi (Tachjan, 2006).
2.4.3.1 Faktor Sumber Daya
Faktor suber daya mempunyai peranan penting dalam
implementasi kebijakan, karena bagaimanapun jelas
konsistennya ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan suatu
kebijakan, jika para personil yang bertanggung jawab
mengimplementaskan kebijakan kurang mempunyai sumber-
sumber untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka
implementasi kebijakan tersebut tidak akan bisa efektif.
Indikator-indikator yang dipergunakan untuk melihat
sejauhmana sumber daya dapat berjalan dengan rapi dan baik
adalah :
a. Staf : sumber daya utama dalam implementasi kebijakan
adalah staf/pegawai, atau lebih tepatnya street-level
bureaucrats. Kegagalan yang sering terjadi dalam
implementasi kebijakan salah satunya disebabkan oleh staf
yang tidak memadai, mencukupi ataupun tidak kompeten di
bidangnya. Selain itu, cakupan atau luas wilayah
implementasi perlu juga diperhitungkan manakala hendak
menentukan staf pelaksana kebijakan.
b. Informasi: dalam implementasi kebijakan, informasi
mempunyai dua bentuk. Pertama, informasi yang
berhubungan dengan cara melaksanakan kebijakan,
40
implementor harus mengetahui apa yang harus mereka
lakukan disaat mereka diberi perintah untuk melakukan
tindakan. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari
para pelaksana terhadap regulasi pemerintah yang telah
ditetapkan, implementor hatus mengetahui apakah orang lain
yang terlibat dalam pelaksanaan tersebut patuh terhadap
hukum.
c. Wewenang: kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi
bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang
telah ditetapkan secara politik. Kewenangan harus bersifat
formal untuk menghindari gagalnya proses implementasi
karena dipandang oleh publik implementor tersebut tidak
terlegitimasi. Tetapi dalam konteks yang lain, efektivitas
kewenangan dapat menyurut manakala diselewengkan oleh
para pelaksana demi kepentingannya sendiri mapun
kelompoknya.
2.4.3.2 Faktor Komunikasi
Komunikasi adalah suatu kegiatan manusia untuk
menyampaikan apa yang menjadi pemikiran dan perasaannya,
harapan atau pengalamannya kepada orang lain. Faktor
komunikasi dianggap sebagai faktor yang amat penting, karena
dalam setiap proses kegiatan melibatkan unsur manusia dan
sumber daya yang akan selalu berurusan dengan permasalahan
”Bagaimana hubungan yang dilakukan”. Implemantasi yang
efektif baru akan terjdai apabila para pembuat kebijakan dan
implementor mengetahui apa yang akan mereka kerjakan, dan
hal itu hanya akan diperoleh melalui komunikasi yang baik, yang
41
juga dari komunikasi tersebut membentuk kualitas partisipatif
masyarakat. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai dalam
mengukur keberhasilan variabel komunikasi, yaitu :
a. Transmisi : penyaluran komuikasi yang baik akan dapat
menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali
komunikasi yang telah melalui beberapa tingkatan birokrasi
menyebabkan terjdainya salah pengertian (miskomunikasi).
b. Kejelasan : komunikasi yang diterima oleh para pelaksana
kebijakan haruslah jelas, akurat, dan tidak ambigu, sehingga
dapat dihindari terjadinya perbedaan tujuan yang hendak
dicapai oleh kebijakan seperti yang telah ditetapkan (tidak
tepat sasaran).
c. Konsistensi: perintah yang diberikan kepada implementor
haruslah kosisten dan jelas. Karena apabila perintah sering
berubah-ubah akan membingungkan pelaksana kebijakan,
sehingga tujuan dari kebijakan tidak akan tercapai.
2.4.3.3 Struktur Organisasi
Penduduk adalah semua orang yang berdomisili di wilayah
geografis Indonesia selama enam bulan atau lebih dan atau
mereka yang berdomisili kurang dari enam bulan tetapi bertujuan
menetap. Pertumbuhan penduduk diakibatkan oleh tiga
komponen yaitu: fertilitas, mortalitas dan migrasi Fertilitas
(Kelahiran). Menurut Atmadji (2007) dalam Hidayah (2012)
Fertilitas sebagai istilah demografi diartikan sebagai hasil
reproduksi yang nyata dari seorang wanita atau sekelompok
wanita. Dengan kata lain fertilitas ini menyangkut banyaknya
42
bayi yang lahir hidup. Natalitas mempunyai arti yang sama
dengan fertilitas hanya berbeda ruang lingkupnya. Fertilitas
menyangkut peranan kelahiran pada perubahan penduduk
sedangkan natalitas mencakup peranan kelahiran pada perubahan
penduduk dan reproduksi manusia.
2.4.3.4 Disposisi (Sikap dan Perilaku)
Disposisi dalam pendapat ini merupakan faktor yang bertalian
dengan watak atau sikap serta komitmen yang harus dimiliki
oleh pelaksana kebijakan. Pelaksana tidak hanya harus tahu apa
yang harus dikerjakan dan memiliki kapasitas untuk melaku-
kannya, melainkan mereka juga mesti memiliki kehendak (sikap)
untuk melakukan suatu kebijakan. “Implementors not only must
know what to do and have the capability to do it, but they must
also desire to carry out a policy” (Edwards III, 1980 : 11 dalam
Tahcjan, 2006).
Dikemukakan oleh Thoha (2002 : 37) bahwa, nilai, kepercayaan,
asumsi, persepsi, norma prilaku, dan pola (pattern) sikap,
termasuk ke dalam aspek-aspek kebudayaan yang bersifat
intangible (intangible things). Dengan demikian, disposisi
(sikap) tersebut merupakan faktor budaya yang dimiliki oleh
birokrasi. Faktor ini dapat diposisikan sebagai energi sosial yang
dapat menggerakkan implementor (Tachjan, 2006).
Disposisi ini diartikan sebagai sikap para pelaksana untuk
mengimplementasikan kebijakan. Dalam implemtasi kebijakan
menurut Edward III , jika ingin berhasil secara efektif dan
efisien, para pelaksana tidak hanya harus mengetahui apa yang
43
harus mereka lakukan dan mempunyai kemampuan untuk
mengimplemenatsikan kebijakan tersebut, tetapi mereka juga
harus mempunyai kemauan untuk mengimplementasikan
kebijakan tersebut. Hal-hal pentig yang perlu diperhatikan pada
variabel disposisi menurut Edward III, antara lain:
a. Pengangkatan birokrat: pemilihan dan pengangkatan personil
pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memilki
dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus
lagi pada kepentingan warga. Disposisi atau sikap para
implementor yang tidak mau melaksanakan kebijakan yang
telah ditepkan akan menimbulkan hambatan-hambatan bagi
tercapainya tujuan dari pengimplementasian kebijakan.
b. Insentif: Edward III menyatakan bahwa salah satu teknik
yang disarankan untuk mnegatasi kecenderungan sikap para
pelaksana kebijakan adalah dengan memanipulasi insentif.
Pada umumnya, orang bertindak berdasarkan kepentingan
mereka sediri, maka manipulasi insentif oleh pembuat
kebijakan dapat mengurangi tindakan para pelaksana
kebijakan. Deng menambah keuntungan atau biaya tertentu
mungkin dapat memotivasi para pelaksana kebijakan untuk
dapat melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan
dalam upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interest)
atau organisasi.
2.5 Konsep Sikap
2.5.1 Pengertian Sikap
Thomaz dan Znaniecki (1920) sikap adalah predisposisi untuk melakukan
suatu perilaku tertentu, sehungga sikap bukan hanya kondisi internal
44
psikologis yang murni dari individu (purely psychic inner state), tetapi
sikap lebih merupakan proses kesadaran yang sifatnyaindividual (Dewi
dan Wawan, 2010).
Menurut Allport (1935) bahwa sikap merupakan kesiapan mental, yaitu
suatu proses yang berlangsung dalam diri seseorang, bersama dengan
pengalaman individual masing-masing, mengarahkan dan menentukan
respons terhadap berbagai obyek dan situasi (Dewi dan Wawan, 2010).
Menurut Notoatmojo (1997) sikap merupakan reaksi atau respon sesorang
yang, masih tertutup teerhadap suatu stimulus atau objek (Dewi dan
Wawan, 2010).
Menurut Heri Purwanto (1998) sikap adalah pandangan-pandangan atau
perasaan yang disertai kecenderungan untuk bertindak sesuai sikap objek
tadi (Dewi dan Wawan, 2010).
2.5.2 Komponen Pokok Sikap
Menurut Azwar S (2000) stuktur sikap terdiri atas 3 komponen yang
sangat menunjang, yaitu:
2.5.2.1 Komponen kognitif
Komponen kognitif berisi persepsi dan kepercayaan yang
dimiliki oleh individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen
kognitif ini dapat disamakan dengan pandangan (opini).
2.5.2.2 Komponen afektif
Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap objek
sikap dan menyangkut masalah emosi. Aspek emosional inilah
yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan
45
merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-
pengaruh yang mungkin akan mengubah sikap seseorang.
2.5.2.3 Komponen konatif
Komponen konatif merupakan komponen perilaku yang
cenderung untuk bertindak atau untuk bereaksi terhadap sesuatu
dengan cara-cara tertentu.
2.5.3 Cara Pengukuran Sikap
Salah satu problem metodologi dasar dalam psikologi sosial adalah
bagaimana mengukur sikap seseorang. Beberapa teknik pengukuran
sikap, antara lain:
2.5.3.1 Skala Thurstone (Method of Equel-Appearing Intervals)
Metode ini mencoba menempatkan sikap seseorang pada
rentangan kontinum dari yang sangat unfavorabel hingga sangat
favorabel terhadap suatu objek sikap. Caranya dengan
memberikan orang tersebut sejumlah item sikap yang telah
ditentukan derajat favorabilitasnya. Tahap yang paling kritis
dalam menyusun alat ini seleksi awal terhadap pernyataan sikap
dan perhitungan ukuran yang mencerminkan derajat favorabilitas
dari masing-masing pernyataan. Derajat (ukuran) favorabilitas
ini disebut ilai skala.
Untuk menghitung nilai skala dan memilih pernyataan sikap,
pembuat skala perlu membuat sampel pernyataan sikap sekitar
lebih 100 buah atau lebih. Pernyataan-pernyataan itu kemudian
diberikan kepada beberapa orang penilai (judges). Penilaian ini
bertugas untuk menentukan derajat favorabilitas nilai itu di
ekspresikan melalui titik skala rating yang memiliki rentang 1-11
46
sangat tidak setuju 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 sangat tidak setuju
tugas penilaian ini bukan untuk menyampaikan setuju tidaknya
mereka terhadap pernyataan itu. Median atau rerata perbedaan
penilaian antar penilai terhadap item ini kemudian dijadikan
sebagai nilai skala masing-masing item. Pembuat skala
kemudian menyusun item mulai dari item yang memiliki nilai
skala terendah hingga tertinggi. Dari item-item tersebut pembuat
skala kemudian memilih item untuk kuesioner skala sikap yang
sesungguhnya. Dalam penelitian, skala yang telah dibuat ini
kemudian diberikan kepada responden. Responden diminta
menunjukan seberapa kesetujuan atau ketidaksetujuannya pada
masing-masing item sikap tersebut.
Teknik ini disusun oleh Thrustone didasarkan pada asumsi-
asumsi: ukuran sikap seseorang dapat digambarkan dengan
interval skala sama. Perbedaan yang sama pada suatu
skalamencerminkan perbedaan yang sama pula dalam sikapnya.
Asumsi kedua adalah nilai skala yang berasal dari rating para
penilai tidak dipengaruhi oleh sikap penilai pada isue. Penilai
melakukan rating terhadap item dalam tataran yang sama
terhadap isue tersebut.
2.5.3.2 Skala Likert (Method of Summateds Ratings)
Likert (1932) mengajukan metodenya sebagai alternatif yang
lebih sederhana dibandingkan dengan skala Thurstone. Skala
Thurstone yang terdiri dari 11 point di sederhanakan menjadi dua
kelompok, yaitu yang favorabel dan unfavorabel. Sedangkan
item yang netral tidak disertakan. Untuk mengatasi hilangnya
netral tersebut, Likert menggunakan teknik konatruksi test yang
47
lain. Masing-masing responden diminta melakukan egreement
atau disegreementnya untuk masing-masing item dalam skala
yang terdiri dari 5 point (sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak
setuju, sangat tidak setuju). Semua item yang favorabel
kemudian diubah nilainya dalam angka, yaitu untuk sangat setuju
nilainya 5, sedangkan untuk yang sangat tidak setuju nilainya 1.
Sebaliknya, untuk item yang unfavorabel nilai skala sangat tidak
setuju nilainya 5. Seperti halnya skala Thurstone, skala Likert
disusun dan diberi skor sesuai dengan skala interval sama
(equali-interval scale).
2.5.3.3 Unobstrusive Measures
Metode ini berakar dari suatu situasi dimana seseorang dapat
mencatat aspek-aspek perilakunya sendiri atau yang
berhubungan sikapnya dalam pernyataan.
2.5.3.4 Multidemensional Scaling
Teknik ini memberikan deskripsi seseorang lebih kaya bila
dibandingkan dengan pengukuran sikap yang bersifat
unindemensional. Namun demikian, pengukuran ini kadangkala
menyebabkan asumsi-asumsi mengenai stabilitas struktur
dimensial kurang valid terutama apabila diterapkan pada lain
orang, lain isu dan lain skala aitem.
2.5.3.5 Pengukuran Involuntary Behavior (pengukuran terselubung)
a. Pengukuran dapat dilakukan jika memang diinginkan atau
dapat dilakukan oleh responden.
b. Dalam banyak situasi, akurasi pengukuran sikap dipengaruhi
oleh kerelaan responden.
48
c. Pendekatan ini merupakan pendekatan observasi terhadap
reaksi-reaksi fisiologis yang terjadi tanpa disadari dilakukan
oleh individu yang bersangkutan.
d. Observer dapat menginterpretasikan sikap individu mulai
dari fasial, reaction, voice tones, body gesture, keringat,
dilatasi pupil mata, detak jantung dan beberapa aspek
fisiologis lainnya.
2.5.4 Hubungan sikap dengan keberhasilan program
2.5.4.1 Tingkatan Sikap
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu (Soekidjo
Notoatmojo, 1996) :
a. Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek).
b. Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi
dari sikap. Karena dengan suatu usaha untuk menjawab
pertanyaan atau mengerjakan tugas diberikan. Terlepas dari
hal tersebut, pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti
bahwa orang mnerima ide tersebut.
c. Menghargai (valuing)
Menghargai diartikan subyek atau seseorang memberikan
nilai yang positif terhadap obyek atau stimulus, dalam arti
membahasnya dengan orang lain, bahkan mengajak atau
mempengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons.
49
d. Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya
dengan segala resiko adalah mempunyai sikap yang paling
tinggi. Misalnya seorang ibu mau menjadi akseptor KB,
meskipun mendapatkan tantangan dari mertua atau orang
tuanya sendiri.
2.5.5 Sikap Pelaku Pelayanan
Lestari (2014) Terdapat lima aspek yang harus dimiliki jasa pelayanan,
yaitu:
2.5.5.1 Cepat, waktu yang digunakan dalam melayani tamu minimal
sama dengan batas waktu standar. Merupakan batas waktu
kunjungan dirumah sakit yang sudah ditentukan batas waktunya.
2.5.5.2 Tepat, kecepatan tanpa ketepatan dalam bekerja tidak menjamin
kepuasan konsumen. Bagaimana dalam memberikan pelayanan
kepada pasien yaitu tepat memberikan bantuan dengan keluhan-
keluhan pasien.
2.5.5.3 Aman, rasa aman meliputi aman secara fisikataupun psikis
selama pengkonsumsian suatu produk atau dalam memberikan
pelayanan jasa yaitu memperhatikan keamanan pasien dan
memberikan keyakinan dan kepercayaan kepada pasien
sehingga memberikan rasa aman kepada pasien.
50
2.5.5.4 Ramah tamah, menghargai dan menghormati konsumen, bahkan
pada saat pelanggan menyampaikan keluhan. Perawat selalu
ramah dalam menerima keluhan tanpa emosi yang tinggi
sehingga pasien akan merasa senang dan menyukai pelayanan
dari perawat.
2.5.5.5 Nyaman, rasa nyaman timbul jika seseorang merasa diterima apa
adanya. Pasien yang membutuhkan kenyamanan baik dari runag
inap maupun situasi dan kondisi yang nyaman sehingga pasien
akan merasakan kenyamanan dalam proses penyembuhannya.
2.5.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap
Beberapa faktor yang ikut berperan dalam pembentukan sikap antara lain:
2.5.6.1 Pengalaman pribadi
Apa yang telah dan sedang kita alami akan ikut membentuk dan
mempengaruhi penghayatan kita terhadapstimulus sosial.
Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap.
Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang
harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan objek
psikologis. Apakah penghayatan itu kemudian akan membentuk
sikap positif ataukah negatif akan tergantung pada faktor lain.
2.5.6.2 Pengaruh orang lain yang dianggap penting
Orang lain disekitar kita merupakan salah satu diantara
komponen sosial yang kita anggap penting, seseorang yang kita
harapkan persetujuan bagi setiap gerak tingkah dan pendapat
kita, seseorang yang tidak ingin kita kecewakan, atau seseorang
yang berarti khusus bagi kita, akan banyak mempengaruhi
pembentukan sikap kita terhadap sesuatu. Diantara orang yang
51
biasanya dianggap penting bagi individu adalah orang tua, orang
yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat,
guru, teman kerja, isteri atau suami dan lain-lain.
2.5.6.3 Pengaruh kebudayaan
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempuyai
pengaruh besar terhadap pembentukan sikap kita. Apabila kita
hidup dalam budaya yang mempunyai norma longgar bagi
pergaulan heteroseksual, sangat mungkin kita akan mempunyai
sikap yang mendukung terhadap masalah kebebasan pergaulan
heteroksesual. Apabila kita hidup dalam budaya sosia yang
sangat mungkin kita akan mempunyai sikap negatif terhadap
kehidupan individualisme yang mengutamakan kepentingan
perorangan.
2.5.6.4 Media massa
Sebagai sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa
mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan opini dan
kepercayaan orang. Media massa membawa pesan-pesan yang
berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Pesan-
pesan sugesti yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup
kuat akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal
sehingga terbentuklah sikap tertentu.
2.5.6.5 Lembaga pendidikan dan lembaga agama
Lembaga pendidikan serta lembaga agama, lembaga pendidikan
suatu sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap
dikarenakan keduanya diletakkan dasar pengertian dan konsep
moral dalam diri individu.
52
2.5.6.6 Pengaruh faktor emosional
Tidak semua bentuk sikap ditentukan oleh situasi lingkungan dan
pengalaman pribadi seseorang. Kadang-kadang suatu bentuk
sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi yang
berfungsi sebagai semacam penyaluran frustasi atau bentuk
pengalihan mekanisme pertahanan ego.
2.6 Konsep Perilaku
2.6.1 Pengertian perilaku
Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu
tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi
dan tujuan baik disadari maupun tidak. Perilaku merupakan kumpulan
berbagai faktor yang saling berinteraksi (Dewi dan Wawan, 2010).
Perilaku Perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh individu baik yang
diamati secara langsung maupun tidak langsung, Perilaku manusia pada
hakikatnya adalah suatu aktivitas daripada manusia itu sendiri, oleh
karena itu perilaku manusia mempunyai bentangan yang sangat luas.
(Notoatmojo, 2002 dalam Rusdyah, 2008).
2.6.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku
Menurut Notoatmojo (2002) dalam Rusydiah (2008) menganalisis
perilaku manusia berangkat dari tingkat kesehatan, bahwa kesehatan
seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor
di luar perilaku (Non Behaviour Causes) dan faktor di dalam perilaku
(Behaviour Causes) dan faktor perilaku tersebut dipengaruhi oleh:
2.6.2.1 Faktor predisposisi (Predisposing Factor) yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
53
2.6.2.2 Faktor pendukung (Enabling Factor) yang terwujud dalam
lingkungan fisik, tersedia atau tidaknya fasilitas atau sarana
kesehatan misalnya obat-obatan, peralatan steril, ruang
perawatan dan sebagainya.
2.6.2.3 Faktor pendorong (Reinforcing Factor) yang terwujud dalam
sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas yang lain yang
merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.
2.6.3 Hubungan Perilaku dengan keberhasilan program
2.6.3.1 Macam-macam bentuk perilaku
Menurut Alberti (1977) dalam Wowo Sunaryo Kusna (2014)
perilaku ada 3 macam, yaitu perilaku agresif, perilaku asertif dan
perilaku non-asertif:
a. Perilaku agresif
Perilaku agresif adalah perilaku antar pribadi di mana
seseorang berdiri untuk hak-hak mereka sendiri sedemikian
rupa sehingga hak orang lain dilanggar. Perilaku agresif
seperti menghina, mendominasi, atau menempatkan orang
lain lebih rendah dari dirinya, dan tidak sekedar
mengekspresikan emosi atau pikiran sendiri. Perilaku agresif
sering dikesankan bersikap bemusuhan, menunjukan reaksi
berlebihan atau ledakan emosional yang merupakan hasil dari
kemarahan terpendam masa lalu (Wowo Sunaryo Kuswana,
2014).
54
b. Perilaku asertif
Perilaku asertif adalah perilaku komunikasi antar pribadi
dimana seseorang berdiri untuk hak-hak yang sah sedemikian
rupa, sehingga hak-hak orang lain tidak di langgar atau
ditiadakan (Alberti , 1977 dalam Wowo Sunaryo Kuswana,
2014).
Berdasarkan dari beberapa pengertian tentang perilaku asertif
dapat disimpulkan bahawa perilaku asertif adalah suatu
komunikasi yang bersifat langsung, terbuka, jujur, pada
tempatnya dari pikiran, perasaan, kebutuhan atau hak-hak
seseorang tanpa kecemasan yang beralasan, tidak berbelit-
belit dan sesuai dengan gerak-gerik tubuh. Diungkapkan
dengan cara tanpa adanya unsur mengacam, menghukum
atau menjauhkan orang lain.
1) Ciri-ciri perilaku asertif
Ada lima ciri-ciri individu dengan perilaku asertif ciri-ciri
yang dimaksud yaitu (Rathus dan Nevid, 1983 dalam
Awaluddin Tjalla, 2008):
a) Menghormati hak-hak orang lain dan diri sendiri
Menghormati orang lain berarti menghormati hak-hak
yang mereka miliki, tetapi tidak berarti menyerah
atau selalu menyetujui apa yang diinginkan orang
lain. Artinya, individu tidak harus menurut dan takut
mengungkapkan pendapatnya kepada seseorang
karena orang tersebut lebih tua dari dirinya atau
memiliki kedudukan yang lebih tinggi.
55
b) Berani mengungkapkan pendapat secara langsung
Perilaku asertif memungkinkan individu
mengkomunikasikan perasaan, pikiran dan kebutuhan
lainnya secara langsung dan jujur.
2) Kejujuran
Bertindak jujur berarti mengekspresikan diri secara tepat
agar dapat mengkomunikasikan perasaan, pendapat atau
pilihan tanpa merugikan diri sendiri atau orang lain.
3) Memperhatikan situasi dan kondisi
Semua jenis komunikasi melibatkan setidaknya dua orang
dan terjadi dalam konteks tertentu bertindak asertif
seseorang harus dapat memperhatikan lokasi, waktu,
frekuensi, inrensitas komunikasi dan kualitas hubungan.
4) Bahasa tubuh
Dalam bertindak asertif yang terpenting bukanlah apa
yang dikatakan tetapi bagaimana menyatakannya.
Bahasa ubuh yang menghambat komunikasi, misalnya:
jarang tersenyum, terlihat kaku, mengerutkan muka,
berbicara kaku, bibir terkatup rapat, mendominasi
pembicaraan, tidak berani melakukan kontak mata dan
nada bicara tidak tepat.
c. Perilaku non-asertif
Perilaku non-asertif adalah jenis perilaku interpersonal yang
memungkinkan hak-hak orang dilanggar oleh orang lain. Hal
ini dapat terjadi dalam dua cara, pertama, seseorang gagal
56
untuk menegaskan diri sendiri ketika orang lain dengan
sengaja mencoba untuk melanggar hak-hak anda. Kedua,
orang lain tidak ingin melanggar batas hak-hak kita, tetapi
kegagalan untuk mengekspresikan kebutuhan sebagai hasil
perasaan dalam pelanggaran tidak disengaja. Orang yang
tidak tegas dapat menghambat, reaksi spontan dan biasanya
terasa sakit, cemas dan kadang-kadang marah akibat dari
tindakan yang tidak tegas dalam situasi tertentu (Wowo
Sunaryo Kuswana, 2014).
Perbedaan perilaku agresif, perilaku asertif, dan perilaku non-asertif
Agresif Asertif Non-asertif
Ciri-ciri
perilaku
Mengungkapkan
keinginan, ide-
ide dan perasaan
dengan
mengorbankan
orang lain.
Mengungkapkan
keinginan, ide,
dan perasaan
dengan cara
yang langsung
dan tepat.
Tidak
mengekspresik
an keinginan
mereka dengan
cara mencela
diri sendiri.
Perasaan
ketika
berindak
dengan
cara:
Benar sendiri,
superior.
Yakin, merasa
baik tentang diri
pada saat itu dan
kemudian.
Cemas,
kecewa
dengan diri
sendiri, sering
marah, dan
kesal.
Perasaan
orang lain
tentang
diri
mereka
sendiri
ketika
anda
bertindak
dengan
cara:
Dipermalukan
dan terluka.
Dihormati dan
dihargai.
Bersalah atau
unggul.
Perasaan
orang lain
Marah dan
dendam
Biasanya
menghormati.
Iritasi,
kasihan, dan
57
tentang
anda
bertindak
dengan
cara:
jijik.
Keluaran Sering
mendapatkan
apa yang anda
inginkan dengan
mengorbankan
orang lain.
Sering merasa
dibenarkan
daripada
“mendapatkan”.
Sering
mendapat yang
diinginkan.
Jangan
mendapatkan
apa yang anda
inginkan,
kemarahan
menumpuk.
Penyelesai
an
Kemarahan dan
merasa superior.
Merasa baik,
dihormati oleh
orang lain.
Peningkatan
ke[ercayaan diri
dan hubungan.
Menghindari
situasi yang
tidak
menyenangkan
, menghindari
konflik,
ketegangan,
konfortasi.
Tabel 2.1 Perilaku agresif, asertif, dan non-asertif
58
2.7 Kerangka Konsep Penelitian
Untuk dapat melihat alur penelitian maka akan dibuat bagan kerangka konsep
peneliti sebagai berikut :
Variabel Independen Variabel Dependen
Keterangan :
: Diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 2.1 kerangka konsep penelitian
2.8 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan uraian dalam latar belakang serta perumusan masalah, dan kerangka
konsepsual yang telah disusun maka hipotesis dalam penelitian ini adalah ada
hubungan antara sikap dan perilaku petugas pelayanan kesehatan dengan keberhasilan
program senam lansia Di Puskesmas Pekauman Wilayah Kota Banjarmasin.
Faktor yang
mempengaruhi :
1. Sumber daya
2. Birokrasi
3. Komunikasi
Keberhasilan Program
Senam Lansia
4. Sikap dan perilaku
(disposisi)