bab 2 tinjauan pustaka 2.1 keselamatan pasien (patient safetyeprints.umbjm.ac.id/360/2/bab 2.pdf ·...
TRANSCRIPT
-
10
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keselamatan Pasien (Patient Safety)
Penerapan keselamatan pasien (patient safety) adalah bersifat menyeluruh di
seluruh bagian di rumah sakit. Unit-unit atau bagian-bagian di rumah sakit
dengan banyak prosedur atau tindakan di dalamnya mengandung konsekuensi
risiko terjadinya kesalahan juga lebih banyak. Pelayanan kesehatan yang
melibatkan aspek kolaborasi antar banyak tenaga kesehatan juga mempunyai
dampak terhadap peningkatan potensi terjadinya kejadian yang tidak
diharapkan.
2.1.1 Definisi Keselamatan Pasien
Keselamatan Pasien/Patient Safety adalah pasien bebas dari
harm/cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari harm yang
potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik / sosial / psikologis,
morbiditas, kematian). Menurut Nursalam (2012), patient safety adalah
penghindaran, pencegahan dan perbaikan dari kejadian yang tidak
diharapkan atau mengatasi cedera-cedera dari proses pelayanan
kesehatan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/
Menkes/ Per/ VIII/ 2011, keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu
sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang
meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang
berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta
implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan
mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat
melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang
seharusnya diambil.
-
11
2.1.2 Sasaran Keselamatan Pasien
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Keselamatan pasien rumah
sakit dijelaskan bahwa setiap rumah sakit wajib mengupayakan
pemenuhan sasaran keselamatan pasien. Sasaran Keselamatan pasien
merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang
diakreditasi oleh komisi akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran
ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari
WHO patient safety (2007). Adapun sembilan solusi keselamatan
pasien tersebut adalah: Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan
Mirip (Look-Alike, Sound-Alike Medication Names), pastikan
identfikasi pasien, komunikasi secara benar saat serah
terima/pengoperan pasien, pastikan tindakan yang benar pada sisi
tubuh yang benar, kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated),
pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan, hindari
salah kateter dan salah sambung selang (tube), gunakan alat injeksi
sekali pakai, tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk
pencegahan infeksi nosokomial.
Sasaran keselamatan pasien menurut WHO (Permenkes RI, 2011) ada
enam yang meliputi:
2.1.2.1 Mengidentifikasi Pasien dengan Tepat
Adapun elemen penilaian untuk sasaran ini adalah sebagai
berikut :
a. Pasien yang dirawat diidentifikasi dengan menggunakan
gelang identitas sedikitnya dua identitas pasien (nama,
tanggal lahir atau nomor rekam medik).
b. Pasien yang dirawat diidentifikasi dengan warna gelang
yang ditentukan dengan ketentuan biru untuk laki-laki dan
merah muda untuk perempuan, merah untuk pasien yang
mengalami alergi dan kuning untuk pasien dengan risiko
-
12
jatuh (risiko jatuh telah diskoring dengan menggunakan
protap penilaian skor jatuh yang sudah ada)
c. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum pemberian obat,
darah, atau produk darah.
d. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum mengambil
darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis.
e. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum pemberian
pengobatan dan tindakan/prosedur.
2.1.2.2 Meningkatkan Komunikasi yang Efektif
Elemen penilaian pada sasaran II ini terdiri dari beberapa hal
sebagai berikut:
a. Melakukan kegiatan “READ BACK‟ pada saat menerima
permintaan secara lisan atau menerima intruksi lewat
telepon dan pasang stiker ‟SIGN HERE‟ sebagai pengingat
dokter harus tanda tangan.
b. Menggunakan metode komunikasi yang tepat yaitu SBAR
saat melaporkan keadaan pasien kritis, melaksanakan serah
terima pasien antara shift (hand off) dan melaksanakan
serah terima pasien antar ruangan dengan menggunakan
singkatan yang telah ditentukan oleh manajemen.
2.1.2.3 Peningkatan Keamanan Obat yang Membutuhkan Perhatian
atau yang Perlu Diwaspadai
Elemen yang merupakan standar penilaian sasaran III adalah
sebagai berikut :
a. Melakukan sosialisasi dan mewaspadai obat Look Like dan
Sound Alike (LASA) atau Nama Obat Rupa Mirip
(NORUM)
b. Menerapkan kegiatan DOUBLE CHECK dan COUNTER
SIGN setiap distribusi obat dan pemberian obat pada
masing-masing instansi pelayanan.
-
13
c. Menerapkan agar Obat yang tergolong HIGH ALERT
berada di tempat yang aman dan diperlakukan dengan
perlakuan khusus
d. Menjalankan Prinsip tujuh Benar dalam pelaksanaan
pendelegasian Obat (Benar Pasien, Obat, Masa Berlaku
Obat, Dosis, Waktu, Cara, dan Dokumentasi).
2.1.2.4 Mengurangi Risiko Salah Lokasi, Salah Pasien, dan Tindakan
Operasi
Elemen yang menjadi penilaian pada sasaran IV ini adalah
memberi tanda spidol skin marker pada sisi operasi (Surgical
Site Marking) yang tepat dengan cara yang jelas dimengerti dan
melibatkan pasien dalam hal ini (Informed Consent)
2.1.2.5 Mengurangi Risiko Infeksi
Elemen yang menjadi penilaian sasaran V adalah sebagai
berikut :
a. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman Five
Moment Hand Hygiene dan digunakan dalam tatanan
kesehatan untuk pelayanan ke pasien.
b. Menggunakan Hand rub di ruang perawatan dan melakukan
pelatihan cuci tangan efektif.
c. Memberikan tanggal dengan menggunakan spidol atau tinta
yang jelas setiap melakukan prosedur invasif (infuse, dower
cateter, CVC, WSD, dan lain-lain)
2.1.2.6 Mengurangi Risiko Pasien Jatuh.
Elemen yang menjadi penilaian sasaran VI adalah sebagai
berikut :
a. Melakukan pengkajian risiko jatuh pada pasien yang
dirawat di rumah sakit.
b. Melakukan tindakan untuk mengurangi atau
menghilangkan risiko jatuh.
-
14
c. Memberikan tanda bila pasien berisiko jatuh dengan gelang
warna kuning dan kode jatuh yang telah ditetapkan oleh
manajemen
Tujuan dari sasaran keselamatan pasien adalah mendorong perbaikan
spesifik dalam keselamatan pasien. Depkes RI (2006) menyatakan
bahwa tujuan keselamatan pasien yaitu terciptanya budaya
keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatnya akuntabilitas rumah
sakit terhadap pasien dan masyarakat, menurunnya KTD (Kejadian
Tidak Diharapkan) di rumah sakit, terlaksananya program-program
pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD.
2.2 Kesalahan Pengobatan (Medication Error)
Keslahan pengobatan (medication error) sangat mungkin terjadi pada setiap
pasien yang sedang menjalani proses pengobatan, namun bukan berarti hal ini
tidak dapat dicegah atau diminimalisir. Tenaga kesehatan, pasien dan
pemerintah memiliki peran penting dalam mencegah atau meminimalkan
terjadinya Medication Error.
2.2.1 Definisi Medication Error
Medication error merupakan kesalahan dalam proses pengobatan yang
masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab profesi
kesehatan, pasien atau konsumen, dan seharusnya dapat dicegah
(Cohen, Basse & Myers, 1991). Aronson (2009), menyatakan bahwa
medication error adalah sesuatu yang tidak benar, dilakukan melalui
ketidaktahuan atau ketidaksengajaan, kesalahan, kegagalan untuk
menyelesaikan tindakan atau rencana tindakan yang tidak tepat untuk
mencapai tujuan tertentu (Aronson, 2009).
William, (2007), mengemukakan medication error sebagai kesalahan
dalam meresepkan, pembuatan, dan memberikan obat, tanpa
tergantung dengan di mana kesalahan ini menyebabkan konsekuensi
-
15
yang merugikan atau tidak. Kesalahan pengobatan dapat terjadi pada
setiap langkah pengobatan yang menggunakan proses, dan mungkin
atau tidak dapat menyebabkan Adverse Drug Event (ADE).
Medication error merupakan kegagalan dalam proses pengobatan yang
menimbulkan atau memaparkan bahaya pada penderita. Bahaya yang
dimaksud adalah manfaat dari pengobatan tersebut tidak terlihat dan
mengindikasikan kegagalan pengobatan.
2.2.2 Klasifikasi Medicatiom Error
Perawatan kesehatan secara inheren berisiko, dan resep dengan tulisan
tangan menjadi yang paling berbahaya dari semua prosedur medis.
Kesalahan pengobatan, yang sering disebabkan tidak terbacanya
tulisan tangan (Cohen, 2007). Cohen (1991) memaparkan empat fase
dalam medication error yaitu fase prescribing, fase transcribing, fase
dispensing, dan fase administrasion oleh perawat.
2.2.2.1 Prescribing Errors yaitu error yang terjadi pada fase penulisan
resep. Fase ini meliputi: kesalahan resep, kesalahan karena
yang tidak diotorisasi, kesalahan karena dosis tidak benar,
kesalahan karena indikasi tidak diobati, dan kesalahan karena
penggunaan obat yang tidak diperlukan
2.2.2.2 Transcription Errors yaitu kesalahan terjadi pada saat
pembacaan resep untuk proses dispensing, antara lain salah
membaca resep karena tulisan yang tidak jelas. Salah dalam
menterjemahkan order pembuatan resep dan signature juga
dapat terjadi pada fase ini. Jenis kesalahan obat yang
termasuk transcription errors, yaitu: kesalahan karena
pemantauan yang keliru, kesalahan karena ROM (Reaksi Obat
Merugikan), kesalahan karena interaksi obat.
-
16
Rahimi, et. al. (2015), menemukan 52% kesalahan transkripsi
yaitu kelalaian (pasien tidak menerima pengobatan yang
diperintahkan). Hal yang sama juga di ungkapkan oleh
Alassaad, et al. (2011), mengidentifikasi 120 pesanan obat
yang diidentifikasi. Hasil studi menunjukan bahwa 41%
kesalahan dinilai moderat dan 3% terjadi kesalahan yang berat.
2.2.2.3 Administration Error yaitu kesalahan yang terjadi pada proses
penggunaan/pemberian obat. Fase ini dapat melibatkan petugas
perawat dan pasien atau keluarganya. Feleke, et al. (2015),
mengemukakan sebagian besar (87,5%) memiliki kesalahan
dokumentasi obat. Hal yang sama juga di ungkapkan oleh
Bifftu, et al. (2016), kesalahan dokumentasi adalah jenis
kesalahan yang paling dominan yang diamati selama penelitian
berlangsung.
2.2.2.4 Dispensing Error yaitu kesalahan pada saat penyiapan hingga
penyerahan resep oleh petugas apotek. Salah satu kemungkinan
terjadinya error adalah salah dalam mengambil obat dari rak
penyimpanan karena kemasan atau nama obat yang mirip atau
dapat pula terjadi karena berdekatan letaknya.
Cheung, et al. (2009), mengemukakan bahwa penyebab
terjadinya dispensing error adalah keadaan sibuk (21%),
kekurangan staf (12%), mengalami kendala waktu (11%),
kelelahan penyedia layanan kesehatan (11%), gangguan saat
melakukan pengeluaran (9,4%), dan obat-obatan serupa (8,5%).
Anacleto, et al. (2007) mengidentifikasi 422 pesanan resep
obat. Hasil menunjukan bahwa peluang terjadinya kesalahan
lebih tinggi pada formulir pesanan resep yang diketik (odds
ratio = 4,5), pada mereka dengan 9 atau lebih obat (odds ratio =
4.0), dan dengan obat injeksi (rasio odds = 5.0).
-
17
2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Medication Error
Dumo (2012) mengemukakan beberapa faktor yang dapat
menyebabkan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error)
yaitu sikap profesional adalah nomor satu penyebab kesalahan
pengobatan, diikuti oleh faktor manajerial, faktor yang berhubungan
dengan pekerjaan, dan faktor individu. Menurut World Health
Organization (WHO, 2016) menyatakan sejumlah penelitian telah
meneliti faktor-faktor yang terkait dengan medication error yaitu:
2.2.3.1 Faktor yang berhubungan dengan perawat
Shahrokhi, et. al. (2013), menyatakan bahwa faktor yang
terkait dengan perawat adalah faktor paling efektif untuk
kesalahan pengobatan. Kurangnya pelatihan terapeutik,
pengetahuan dan pengalaman obat yang tidak memadai,
pengetahuan pasien yang tidak memadai, tenaga kesehatan
yangbekerja berlebihan atau lelah, masalah kesehatan fisik
dan emosional, komunikasi yang buruk antara petugas
kesehatan dengan pasien.
2.2.3.2 Faktor yang berhubungan dengan klien
Karakteristik pasien (contohnya : kepribadian, literacy dan
hambatan bahasa) dan peran klien dan keluarga kurang.
2.2.3.3 Faktor yang terkait dengan lingkungan kerja
Beban kerja dan time pressure, adanya gangguan (oleh staf
perawatan primer dan pasien), kurangnya protokol dan
prosedur standar, sumber daya manusia tidak mencukupi,
masalah dengan lingkungan kerja (contohnya: pencahayaan,
suhu dan ventilasi).
2.2.3.4 Faktor yang terkait dengan obat-obatan
Penamaan obat-obatan dan pelabelan serta kemasan obat.
-
18
2.2.3.5 Faktor yang terkait dengan tugas
Sistem berulang untuk pemesanan, pengolahan serta
pemantauan pasien (tergantung pada praktek, pasien,
prescriber)
2.2.3.6 Faktor yang terkait dengankomputerisasi
Sistem komputerisasi yang kurang mendukung (contohnya:
daftar pilihan obat, pengaturan dosis standar), proses yang
sulit untuk menghasilkan pengulangan resep yang benar,
kurang tepatnya catatan pasien, dan desain yang tidak
adekuat sehingga memungkinkan terjadinya human error.
2.2.4 Dampak Medication Error
Menurut National Coordinating Council for Medication Error
Reporting and Prevention (NCC MERP, 2017), akibat dari terjadinya
medication error dapat dibagi menjadi tiga derajat yaitu;
2.2.4.1 Tidak menyebabkan perubahan fisik, mental, dan psikologis,
Derajat yang paling ringan adalah kejadian medication error
terdeteksi tetapi tidak mengakibatkan perubahan apapun.
2.2.4.2 Menyebabkan perubahan,
Medication error derajat yang kedua akan menyebabkan
perubahan yang dapat sembuh dengan sendirinya atau
memerlukan terapi baru.
2.2.4.3 Menyebabkan kematian.
Derajat paling parah dalam medication error yaitu dapat
menyebabkan yang berakibat kematian.
2.2.5 Upaya Pencegahan Medication Error
Berbagai metode pendekatan organisasi sebagai upaya menurunkan
medication error yang jika dipaparkan menurut urutan dampak
efektifitas terbesar menurut depkes RI (2008) adalah :
-
19
2.2.5.1 Mendorong fungsi dan pembatasan (forcing function &
contraints) : suatu upaya mendesain sistem yang mendorong
seseorang melakukan hal yang baik, contoh : sediaan
potassium klorida siap pakai dalam konsentrasi 10% Nacl
0,9%, karena sediaan di pasar dalam konsenrasi 20% (>10%)
yang mengakibatkan fatal (henti jantung dan nekrosin pada
tempat injeksi).
2.2.5.2 Otomasi dan computer (Computerized Prescribing Order
Entry): membuat statis/ robotisasi pekerjaan berulang yang
sudah pasti dengan dukungan teknologi, contoh :
komputerisasi proses penulisan resep oleh dokter diikuti
dengan tanda-tanda atau tanda peringatan jika diluar standar
(ada penanda otomatis ketika digoxinditulis 0,5g).
2.2.5.3 Standar dan protokol, standarisasi prosedur: menetapkan
standar berdasarkan bukti ilmiah dan standarisasi prosedur
(menetapkan standar pelaporan insiden dengan prosedur
baku). Kontribusi apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi
serta pemenuhan sertifikasi/ akreditasi pelayanan memegang
peranan penting.
2.2.5.4 Sistem daftar tilik dan double checking : alat kontrol berupa
daftar tilik dan penetapan cek ulang setiap langkah kritis
dalam pelayanan. Untuk mendukung efektifitas sistem ini
diperlukan pemetaan analisis titik kritis dalam sistem.
2.2.5.5 Peraturan dan kebijakan : untuk mendukung keamanan proses
manajemen obat pasien. contoh : semua resep rawat inap
harus melalui supervise apoteker.
2.2.5.6 Pendidikan dan Informasi : penyediaan informasi setiap saat
tentang obat, pengobatan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan
tentang prosedur untuk meningkatkan kompetensi dan
mendukung kesulitan pengambilan keputusan saat
memerlukan informasi.
-
20
2.2.5.7 Lebih hati-hati dan waspada: membangun lingkungan
kondusif untuk mencegah kesalahan, contoh : baca sekali lagi
nama pasien sebelum menyerahkan.
2.3 Kompetensi
Kompetensi sangat penting dalam keperawatan dan diperlukan standar sebagai
penentuan kompetensi yang diharapkan dari seorang perawat. Kompetensi
dalam keperawatan harus mengandung unsur kemampuan melayani dengan
aman dan nyaman, melindungi masyarakat, dan menjaga kredibilitas perawat.
Kompetensi yang spesifik diidentifikasi dengan peran yang ada atau
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang ditunjukkan dengan kinerjanya
sesuai kriteria atau standar tertentu. Hasil yang dicapai pada perawat yang
kompeten diperlihatkan dengan adanya kualitas dari sikap, motif, wawasan
perawat, kemampuan menginterpretasikan, kemampuan menerima sesuatu
yang baru, kematangan pikiran, dan penilaian diri (Axley, 2008). Kompetensi
yang harus dimiliki oleh perawat adalah knowledge (pengetahuan), skill
(keterampilan) dan attitude (sikap) dalam melaksanakan asuhan keperawatan
kepada klien (Cusveller & Akkerman, 2016).
Teori Patricia Benner (Alligood, 2014) “From novice to expert” menjelaskan
bahwa kompetensi yang dimiliki perawat dari awal sampai dengan ahli,
melalui proses pendidikan, pelatihan, pengalaman untuk mencapai itu.
Kompetensi perawat harus dilakukan evaluasi secara periodik, untuk
menentukan kewenangan klinis yang tepat baik dari segi pengetahuan,
keterampilan dan sikap tepat dalam pemberian asuhan keperawatan yang
berkualitas dan aman kepada klien.
Kompetensi perawat merupakan kemampuan perawat untuk melakukan
tindakan keperawatan terintegrasi antara pengetahuan, keterampilan, sikap dan
penilaian berdasarkan pendidikan dasar dan tujuan praktik keperawatan yang
-
21
terukur sesuai dengan kinerja perawat. Dimana tujuannya adalah untuk tetap
menjaga kualitas kesehatan dan keamanan pasien (Bartlett 2010).
2.4 Pengetahuan (Knowledge)
2.4.1 Definisi Pengetahuan
Pengetahuan yaitu segala sesuatu yang diketahui yang diperoleh dari
persentuhan panca indera terhadap objek tertentu. Pengetahuan pada
dasarnya merupakan hasil dari proses melihat, mendengar, merasakan,
dan berfikir yang menjadi dasar manusia bersikap dan bertindak.
Pengetahuan dapat didefinikan sebagai actionable information yang
dapat ditindaklanjuti atau informasi yang dapat digunakan sebagai
dasar untuk bertindak, untuk mengambil keputusan dan menempuh
arah atau strategi tertentu (Nursalam, 2015).
Pengetahuan menurut Notoatmojo (2014) merupakan hasil “tahu” dan
ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu
objek tertentu yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa
dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata
dan telinga.Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat
penting dalam membentuk tindakan seseorang. Menurut Bloom, 1987 ;
Notoatmojo, 2014) Pengetahuan mencakup enam tingkat domain
kognitif, yaitu :
2.4.1.1 Tahu (Know)
Tahu dimaksudkan sebagai mengingat kembali suatu materi
yang telah dipelajari sebelumnya atau mengingat kembali
(recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang
dipelajari atau rangsangan yang telah diterima termasuk ke
dalam pengetahuan tingkat ini. Sehingga dapat dikatakan
bahwa tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling
rendah.
-
22
2.4.1.2 Memahami (Comprehension)
Memahami yaitu suatu kemampuan untuk menjelaskan
secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
2.4.1.3 Aplikasi (Aplication)
Aplikasi dimaksudkan sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau
kondisisebenarnya.
2.4.1.4 Analisis (Analysis)
Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan
materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi
masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada
kaitannya satu sama lain.
2.4.1.5 Sintesis (Synthesis)
Sintesis yaitu suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu
kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-
formulasi yang telah ada.
2.4.1.6 Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi yang dimaksudkan berkaitan dengan kemampuan
untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu
materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada
suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan
kriteria-kriteria yang telah ada.
Roger (1974, dalam Mubarak, 2012) mengungkapkan bahwa
sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang
tersebut sudah terjadi proses berurutan, yaitu :
-
23
2.4.1.1 Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari
dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus
(objek).
2.4.1.2 Interest (merasa tertarik), terhadap stimulus atau objek
tersebut. Pada proses ini, sikap subjek sudah mulai timbul
2.4.1.3 Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan
tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.
2.4.1.4 Trial (mencoba), dimana subjek mulai mencoba untuk
melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
stimulus.
2.4.1.5 Adoptiom, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai
dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap
stimulus.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari
subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin
kita ketahui atau kita ukut dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-
tingkatan di atas (Mubarak, 2012).
2.4.2 Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan
Faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah:
2.4.2.1 Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang pada
orang lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat
memahami. Pengetahuan yang lemah bisa menjadi akibat
kekurangan dalam pendidikan keperawatan dasar, atau
kurangnya pelatihan pemeliharaan berkelanjutan selama
tahun-tahun kerja (Simonsen, et al. 2014).
-
24
2.4.2.2 Pekerjaan
Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang
memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara
langsung maupun tidak langsung.
2.4.2.3 Umur
Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi
perubahan pada aspek fisik, psikologis (mental).
2.4.2.4 Minat
Sebagai sesuatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi
terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk
mencoba menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh
pengetahuan yang lebih mendalam.
2.4.2.5 Pengalaman
Pengalaman merupakan suatu kejadian yang pernah dialami
seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
2.4.2.6 Kebudayaan lingkungan sekitar
Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai
pengaruh besar terhadap sikap kita.
2.4.2.7 Informasi
Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat
membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh
pengetahuan yang baru (Mubarak, 2012).
2.5 Pemeriksaan Ganda (Double Checking)
Pemeriksaan double checking didefinisikan sebagai verifikasi kebenaran dan
kesesuaian komponen dari proses pemberian obat dengan menggunakan dua
tenaga perawat dalam pengecekan sebelum obat diberikan.
2.5.1 Definisi Double Checking
The New South Wales Therapeutic Advisory Group (NSW TAG)
mendefinisikan double checking tepatnya sebagai prosedur dimana dua
individu, sebaiknya dua praktisi secara terpisah memeriksa setiap
-
25
komponen dalam pemberian obat. Praktisi kedua harus memeriksa
obat, dosis, perhitungan, cairan IV dan identitas pasien sebelum
pemberian. Perlu disebutkan bahwa titik prosedur pemeriksaan adalah
bahwa perawat diharapkan untuk menemukan kesamaan dalam
informasi yang mereka kelola. Apabila seorang perawat menemukan
hasil yang berbeda, dalam menyelesaikan perbedaan yang muncul
harus dilakukan sebelum obat tersebut diberikan kepada pasien
(Australian Commission on Safety and Quality in Health Care, 2013).
Athanasakis, (2015) mengemukakan double checking menyangkut
prosedur recheck/verifikasi langkah-langkah persiapan obat-obatan,
tidak dari satu tetapi dari dua perawat secara terpisah, sebelum tahap
pemberian obat dimulai. Menurut Schwappach et al. (2016)
mendefinisikan bahwa double checking sebagai prosedur yang
membutuhkan dua tenaga kesehatan (perawat) dalam pengecekan obat
sebelum diberikan ke klien. Dengan dilakukan double checking dapat
meminimalkan kesalahan yang dilakukan oleh perawat lain.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa double checking merupakan
pengecekan kembali obat-obatan high alert dan elektrolit konsentrat
oleh dua orang perawat dengan tahap perawat pertama melakukan
persiapan obat yang akan diberikan dan perawat kedua memeriksa
kembali atau memastikan obat yang telah disiapkan untuk menghindari
kesalahan terhadap pasien.
2.5.2 Tujuan dan Manfaat Prosedur Double Checking
ISMP (2013) menyatakan bahwa tujuan dari prosedur double checking
adalah untuk menemukan kesamaan informasi dari perawat pertama
dan kedua sebelum memberikan obat kepada klien sehingga
medication error dapat dicegah. Apabila terjadi perbedaan informasi,
-
26
seharusnya perbedaan tersebut diselesaikan sebelum dilakukan
pemberian obat.
Manfaat prosedur double checking dilakukan secara independen yaitu
perawat kedua meverifikasi kembali benar dosis, independen yang
dimaksud yaitu tanpa ada masukan dari perawat pertama. Hasil
verifikasi perawat kedua kemudian dibandingkan dengan hasil
perhitungan dosis yang dilakukan oleh perawat pertama. Pengecekan
kembali secara mandiri oleh perawat kedua dimaksudkan untuk
menghilangkan bias yang akan tercipta jika kedua perawat tersebut
melakukan perhitungan dosis obat secara bersama-sama.
Independent double checking (IDC) sangat penting untuk pemberian
obat yang aman dan berkontribusi dalam pelayanan keperawatan yang
aman. Melaksanakan IDC dan meningkatkan keamanan pasien
membangun hubungan terapi perawat yang lebih kuat dan mengarah
pada hasil pasien yang lebih baik (Baldwin & Walsh, 2014). Banyak
rumah sakit melakukan double checking untuk pengobatan seperti
insulin yang berpotensi menimbulkan bahaya (Urden, et. al. 2014).
Meskipun ada kesalahan pengobatan yang berpotensi serius,
konsekuensi dari kesalahan yang melibatkan obat-obatan high alert
dapat sangat membahayakan. Beberapa contoh obat high alert adalah
antikoagulan, obat kemoterapi, insulin, dan opioid (ISMP, 2013).
Conroy, et. al. (2014) menyatakan pemeriksaan ganda tampaknya
lebih efektif dalam mendeteksi dan mengurangi kesalahan daripada
pemeriksaan tunggal.
2.5.3 Proses Double Checking
Proses double checking dapat dilihat pada skema dibawah ini
(Paterson, 2015) :
-
27
Skema 2.1 Proses Double-check pada obat-obatan high alert
Tahap I : Menyaksikan proses persiapan obat
Dua perawat menyaksikan seluruh prosesnya dalam
persiapan obat, obat akan disiapkan dibaca dengan suara yang
lantang. Proses penyiapan obat dilakukan di ruangan yang
tenang, tanpa interupsi. Periksa dengan prinsip 5 benar (benar
pasien, benar obat, benar dosis, benar rute, benar waktu).
Tahap II : Periksa ulang secara mandiri
Perhitungan dosis dilakukan secara terpisah oleh dua
perawat. Kemudian dikonfirmasi perhitungan dosis secara
mandiri. Mandiri dimaksudkan adalah tanpa ada masukan
Pilih dan periksa obat yang benar dan sesuai untuk pasien
Menghitung dosis secara mandiri
Perawat pertama menyiapkan obat, yang diamati oleh
perawat kedua
Kedua perawat bersama-sama ke pasien dan memverifikasi
identitas pasien
Verifikasi rute
Perawat kedua meninggalkan tempat begitu pemberian obat
sedang diberikan oleh perawat pertama setelah
menandatangani pada lembar obat yang telah dicek.
-
28
dari perawat pertama. Hasil verifikasi perawat kedua
kemudian dibandingkan dengan hasil perhitungan dosis yang
dilakukan oleh perawat pertama. Apabila terdapat perbedaan
dalam perhitungan dosis, keduanya dapat memeriksa
kembali. Menurut Armitage (2008), perawat yang lebih
junior tidak harus menyetujui perhitungan yang dilakukan
oleh perawat senior hanya karena perawat senior lebih
berpengalaman. Hal semacam itu dapat mempengaruhi
banyak masalah dalam sebuah organisasi.
Tahap III : Persiapan pengobatan
Persiapan pengobatan dilakukan oleh satu orang perawat dan
perawat kedua mengamati persiapan obat tersebut untuk
menghindari dari kesalahan. Setelah obat selesai disiapkan,
kedua perawat tersebut membawa obatnya kepada klien dan
memverifikasi terlebih dahulu identitas klien.
Tahap IV : Pemeriksaan identitas pasien
Verifikasi pemeriksaan gelang identitas pasien disesuaikan
dengan daftar obat pasien. Pemeriksaan identitas klien lebih
efektif bila dilakukan disamping tempat tidur pasien.
Tahap V : Verifikasi rute
Rute yang akan diberikan diverifikasi terlebih dahulu.
Setelah diidentifikasi dan dikonfirmasi, perawat kedua dapat
meninggalkan ataupun dapat mendampingi perawat pertama
dalam pemberian obat. setelah memberikan tanda tangan
pada daftar obat yang diberikan sebagai dokumentasi
keperawatan (Paterson, 2015).
-
29
Pendekatan yang dilakukan dalam pengecekan ganda (double
checking) (Ramasamy, et. al. 2013) :
2.5.3.1 Perhitungan Obat
Kegiatan pada tahap ini yaitu:
a. Mandiri : perawat pertama dan perawat kedua
menghitung obat secara terpisah.
b. Bersama : secara bersamaan verbal
c. Melihat : perawat kedua melihat perawat pertama
melakukan perhitungan obat
d. Lakukan dan tunjukkan : perawat pertama menunjukkan
kepada perawat kedua tentang perhitungan yang
dilakukan dan perawat kedua memeriksa kembali
kebenarannya.
2.5.3.2 Persiapan obat
Kegiatan pada tahap persiapan obat yaitu:
a. Bersama : perawat pertama dan perawat kedua
menyiapkan obat secara bersama-sama
b. Pre persiapan : perawat pertama menyiapkan obat dan
menunjukkan pelarut dll kepada perawat kedua.
2.5.3.3 Pemberian obat
a. Satu perawat di samping tempat tidur pasien
b. Dua perawat di samping tempat tidur pasien
Strategi dalam prosedur double checking tidak dilakukan untuk semua
obat karena kendala waktu dan beban kerja yang tinggi, oleh karena itu
disarankan prosedur double checking hanya dilakukan untuk obat-
obatan dengan kewaspadaan tinggi (high alert).
Menurut penelitian Panchal dan Chhabra (2017) yang berjudul
“Strategies to Manage and Prevention of the Look-Alike and Sound-
Alike (LASA) Drugs Associated Medication Errors” Kesalahan
pengobatan dapat dicegah dengan memperhatikan hal penting berikut :
-
30
a. Semua obat high alert seharusnya diberi label dengan warna merah
sehingga dapat di identifikasi dengan mudah
b. Obat-obatan high alert harus disimpan dengan lemari yang
terkunci dan obat-obatan high alert terpisah dengan obat-obatan
rutin.
c. Obat-obatan high alert harus diverifikasi dua kali dengan dua
orang petugas kesehatan dalam proses pengobatan di semua
tingkatan seperti : meresepkan, pemesanan, pengeluaran,
administrasi (pemberian) dan langkah pemantauan.
d. Petunjuk khusus untuk obat-obatan LASA/NORUM
2.5.4 Implementasi Prosedur Double Checking
Paterson, (2015), memberikan rekomendasi untuk implementasi proses
double checking obat high alert yaitu :
2.5.4.1 Harus memiliki prosedur jelas yang telah ditetapkan rumah
sakit untuk pemeriksaan obat sehingga semua perawatdapat
mengikuti sistem yang telah dibuat.
2.5.4.2 Dalam pelaporan kesalahan, sistem rumah sakit juga harus
diperiksa bukan hanya dari human error. Sehingga
mendorong perawat dapat jujur dengan kesalahan dan
membuat pelaporan. Hal ini seharusnya dapat meningkatkan
pelaporan kesalahan dan memastikan kesalahan sistem tidak
terjadi.
2.5.4.3 Rumah sakit harus menentukan obat yang mana yang
harusdilakukan double check oleh perawat karena beberapa
study menunjukkan bahwa perawat tidak melakukan double
checking apabila perawat terlalu sibuk. Sehingga perlu di
spesifikasi obat mana yang harus dilakukan prosedur double
checking. Namun, hingga saat ini perawat masih terikat
dengan pedoman standar profesional yang mengamanatkan
double checking dilakukan untuk jenis obat high alert.
-
31
2.6 Pelatihan (Training)
2.6.1 Definisi Pelatihan
Dessler (2015) mengemukakan bahwa, “Pelatihan (training) berarti
memberikan kepada karyawan baru atau karyawan yang ada
keterampilan yang mereka butuhkan untuk melakukan pekerjaan
mereka. Pelatihan sangat penting, jika karyawan yang berpotensi tinggi
sekalipun tidak mengetahui apa yang harus dilakukan dan bagaimana
melakukannya, mereka akan berimprovisasi atau tidak melakukan
sesuatu sama sekali”.
Menurut Rosidah (2009) pelatihan penting dilakukan karena
merupakan cara yang digunakan oleh organisasi untuk
mempertahankan, menjaga, memelihara, dan sekaligus meningkatkan
keahlian para pegawai untuk kemudian dapat meningkatkan
produktivitasnya. Hasibuan (2011) menjelaskan bahwa pelatihan
merupakan suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan tekhnis,
teoritis, konseptual dan moral karyawan. Mathis & Jackson (2006)
menyatakan pelatihan adalah sebuah proses dimana orang
mendapatkan kapabilitas untuk membantu pencapaian tujuan-tujuan
organisasional.
Sehingga dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
pelatihan adalah proses sistematik untuk memperbaiki kemampuan,
pengubahan sikap dan perilaku para pegawai dalam melaksanakan
tugasnya sehingga terjadi peningkatan keahlian, pengetahuan,
keterampilan yang spesifik yang berkaitan dengan pekerjaan.
2.6.2 Proses Pelatihan
Pemberi kerja harus menggunakan proses pelatihan yang rasional.
Standarnya disini masih menggunakan model pelatihan dasar analisis –
desain – kembangkan – implementasikan – evaluasi (analysis – design
-
32
– develop – implement – evaluate – ADDIE) yang telah digunakan
para ahli pelatihan selama bertahun-tahun (Allen, 2006 ; Dressler,
2015). Sebagai contoh, sebuah vendor pelatihan mendeskripsikan
proses pelatihan mereka sebagai berikut :
2.6.2.1 Analisis kebutuhan pelatihan,
2.6.2.2 Desain program pelatihan secara keseluruhan,
2.6.2.3 Kembangkan mata pelajarannya (benar-benar menyusun/
membuat materi pelatihan),
2.6.2.4 Implementasikan pelatihan, dengan benar-benar melatih
kelompok karyawan sasaran dengan menggunakan metode
seperti pelatihan on-the-job atau dering
2.6.2.5 Evaluasi efektivitas mata pelajaran tersebut (Dessler, 2015).
Menurut Rivai (2009), di dalam pelatihan ada beberapa faktor yang
perlu dipertimbangkan dan berperan yaitu: efektivitas biaya, materi
program yang dibutuhkan, prinsip-prinsip pembelajaran, ketepatan dan
kesesuaian fasilitas, kemampuan dan preferensi peserta pelatihan serta
kemampuan dan preferensi instruktur pelatihan.
2.6.3 Metode pelatihan
Metode pelatihan berarti ketepatan cara penyampaian yang digunakan
selama pelatihan itu berlangsung. Training yang tidak terlepas dari
pengembangan kemampuan, pengukuran tujuan yang jelas, dan
perubahan sikap dapat diterapkan dengan beberapa pilihan metode
sesuai dengan lingkungan pelatihan (Wagonhurst, 2002). Beberapa
metode tersebut menurut Wagonhurst meliputi lecture, guest
facilitators, and video tape material.
Hasibuan (2005) menyatakan dalam melaksanakan pelatihan ini ada
beberapa metode yang digunakan, antara lain metode on the job dan off
the job training adalah sebagai berikut :
2.6.3.1 On The Job Training
-
33
On the job training (OJT) atau disebut juga pelatihan dengan
instruksi pekerjaan sebagai suatu metode pelatihan dengan
cara para pekerja atau calon pekerja ditempatkan dalam
kondisi pekerjaan yang nyata, dibawah bimbingan dan
supervisi dari karyawan yang telah berpengalaman atau
terlatih. Dalam on the job training perlu memperhatikan
prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Adanya pembimbing yang bertanggung jawab atas
keberhasilan calon karyawan dalam melaksanakan
tugasnya.
b. Tersedianya waktu yang cukup agar dapat mencapai
tingkat terampil atau mahir.
c. Sikap, perilaku pegawai yang mendukung (antusias, rajin
dan tekun).
Ada beberapa macam metode pelatihan on the job training :
a. Instruksi
Pelatihan dengan instruksi pekerjaan sebagai suatu
metode pelatihan dengan cara para pekerja atau calon
pekerja ditempatkan dalam kondisi pekerjaan yang nyata,
di bawah bimbingan dan supervisi dari pegawai yang
telah berpengalaman atau seorang supervisor.
b. Rotasi
Untuk pelatihan silang (cross-train) bagi karyawan agar
mendapatkan variasi kerja, para pengajar memindahkan
para peserta pelatihan dari tempat kerja yang satu ke
tempat kerja yang lainnya.
c. Magang
Magang melibatkan pembelajaran dari pekerja yang lebih
berpengalaman. Ini menggunakan partisipasi tingkat
-
34
tinggi dari peserta dan memiliki tingkat transfer tinggi
kepada pekerjaan.
d. Pelatihan Jabatan
Calon karyawan dilibatkan secara langsung dibawah
seorang pemimpin (yang bertugas sebagai pelatih), calon
karyawan tersebut dijadikan sebagai pembantu pimpinan
atau pelatih
2.6.3.2 Off The Job Training
Pelatihan di luar kerja (Off the job training) adalah pelatihan
yang berlangsung pada waktu karyawan yang dilatih tidak
melaksanakan pekerjaan rutin/biasa.
Ada beberapa macam metode pelatihan off the job training :
(Hasibuan, 2005).
a. Ceramah Kelas dan Presentase
Video Ceramah adalah pendekatan terkenal karena
menawarkan sisi ekonomis dan material organisasi.
Partisipasi dan umpan balik dapat meningkat dengan
adanya diskusi selama ceramah.
b. Pelatihan Vestibule.
Agar pembelajaran tidak mengganggu operasional rutin,
beberapa perusahaan menggunakan pelatihan vestibule.
Wilayah atau vestibule terpisah di buat dengan peralatan
yang sama dengan yang digunakan dalam pekerjaan. Cara
ini memungkinkan adanya transfer, repetisi, dan
partisipasi serta material perusahaan bermakna dan
umpan balik.
c. Demonstrasi
Metode demonstrasi merupakan metode pelatihan yang
sangat efektif karena lebih mudah menunjukkan kepada
peserta cara mengerjakan suatu tugas. Suatu demonstrasi
-
35
menunjukkan dan merencanakan bagaimana sesuatu itu
dikerjakan. Metode demonstrasi melibatkan penguraian
dan memeragakan sesuatu melalui contoh-contoh.
d. Simulasi.
Permainan simulasi dapat dibagi menjadi dua macam.
Pertama, simulasi yang melibatkan simulator yang
bersifat mekanik (mesin) yang mengandalkan aspek-
aspek utama dalam suatu situasi kerja. Kedua, simulasi
komputer. Metode ini sering berupa games atau
permainan. Para pemain membuat suatu keputusan, dan
komputer menentukan hasil yang terjadi sesuai dengan
kondisi yang telah diprogramkan dalam komputer.
e. Belajar Terprogram
Bahan–bahan pembelajaran terprogram adalah bentuk
lain dari belajar mandiri. Biasanya terdapat program
komputer atau cetakan booklet yang berisi tentang
pertanyaan dan jawaban. Setelah membaca dan menjawab
pertanyaan, pembaca langsung mendapatkan umpan balik
kalau benar, belajar lanjut kalau salah.
Sementara menurut Ranupandoyo dan Husnan (2003), metode
pelatihan untuk karyawan operasional antara lain adalah:
2.5.3.1 On the Job Training: Sistem ini memberikan tugas kepada
kemampuan atasan langsung dari karyawan yang baru untuk
melatih mereka. Cara ini mempunyai efek fisik dan
psikologis yang kuat terhadap para karyawan yang dilatih
karena dijalankan.
2.5.3.2 Vestibule School: Merupakan bentuk pelatihan dimana
pelatihnya bukan atasan langsung, tetapi pelatih-pelatih
khusus. Salah satu bentuk vestibule school ini adalah
simulasi.
-
36
2.5.3.3 Apprenticeship: Biasa dipergunakan untuk pekerja-pekerja
yang membutuhkan keterampilan yang relatif tinggi. Program
apprenticeship ini bisa mengkombinasikan on the job
training dan pengalaman dengan petunjuk-petunjuk di kelas
dalam pengetahuan tertentu.
2.5.3.4 Kursus-kursus khusus: Merupakan bentuk pengembangan
karyawan yang lebih mirip pendidikan dari pada pelatihan.
Kursus-kursus ini biasanya diadakan untuk memenuhi minat
para karyawan dalam bidang-bidang pengetahuan tertentu (di
luar bidang pekerjaannya), seperti kursus bahasa asing.
-
37
2.7 Kerangka Teori
2.2 Skema Kerangka Teori Penelitian Pengaruh Pelatihan Tentang Prosedur
Double Checking Terhadap Pengetahuan Perawat Untuk Mencegah
Medication Error (Sumber : WHO, 2016; Depkes RI, 2008; Cohen, 1991;
NCC MERP, 2017; Hasibuan, 2005; Mubarak, 2012; Cusveller&Akkerman,
2016)
Upaya Pencegahan :
a. Forcing function & constraints
b. Computerized prescribing order entry
c. Standarisasi prosedur
d. Sistem daftar tilik dan double check
e. Peraturan dan kebijakan f. Pendidikan & informasi g. Lebih hati-hati & waspada
Depkes RI, (2008)
Faktor yang mempengaruhi :
a. Faktor yang b.d perawat b. Faktor yang b.d klien c. Faktor yang b.d lingkungan
kerja
d. Faktor yang b.d obat-obatan e. Faktor yang b.d tugas f. Faktor yang b.d komputerisasi
WHO, (2016)
Pelatihan
Metode Pelatihan :
a. On the job training 1) Instruksi 2) Rotasi 3) Magang 4) Pelatihan jabatan
b. Off the job training
1) Ceramah kelas dan presentasi
2) Pelatihan vestibule
3) Demonstrasi 4) Simulasi 5) Belajar terprogram
Hasibuan (2005)
MEDICATION ERROR
KlasifikasiMedication
Error:
a. Prescribing error b. Transcription error
c. Administration error d. Dispensing error Cohen, (1991)
Dampak medication error :
a. Tidak menyebabkan perubahan fisik, mental,
dan psikologis
b. Menyebabkan perubahan c. Menyebabkan kematian
(NCC MERP, 2017)
Faktor yang
mempengaruhi
pengetahuan :
a. Pendidikan b. Pekerjaan
c. Umur d. Minat
e. Pengalaman f. Kebudayaan
lingkungan sekitar
g. Informasi
Mubarak, (2012)
Kompetensi:
1. Pengetahuan 2. Keteranpilan 3. Sikap (Cusveller
&Akkerman, 2016)