bab 2 tinjauan pustaka 2.1 keselamatan pasien (patient safetyeprints.umbjm.ac.id/360/2/bab 2.pdf ·...

28
10 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keselamatan Pasien (Patient Safety) Penerapan keselamatan pasien (patient safety) adalah bersifat menyeluruh di seluruh bagian di rumah sakit. Unit-unit atau bagian-bagian di rumah sakit dengan banyak prosedur atau tindakan di dalamnya mengandung konsekuensi risiko terjadinya kesalahan juga lebih banyak. Pelayanan kesehatan yang melibatkan aspek kolaborasi antar banyak tenaga kesehatan juga mempunyai dampak terhadap peningkatan potensi terjadinya kejadian yang tidak diharapkan. 2.1.1 Definisi Keselamatan Pasien Keselamatan Pasien/Patient Safety adalah pasien bebas dari harm/cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari harm yang potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik / sosial / psikologis, morbiditas, kematian). Menurut Nursalam (2012), patient safety adalah penghindaran, pencegahan dan perbaikan dari kejadian yang tidak diharapkan atau mengatasi cedera-cedera dari proses pelayanan kesehatan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/ Menkes/ Per/ VIII/ 2011, keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil.

Upload: others

Post on 11-Feb-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 10

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Keselamatan Pasien (Patient Safety)

    Penerapan keselamatan pasien (patient safety) adalah bersifat menyeluruh di

    seluruh bagian di rumah sakit. Unit-unit atau bagian-bagian di rumah sakit

    dengan banyak prosedur atau tindakan di dalamnya mengandung konsekuensi

    risiko terjadinya kesalahan juga lebih banyak. Pelayanan kesehatan yang

    melibatkan aspek kolaborasi antar banyak tenaga kesehatan juga mempunyai

    dampak terhadap peningkatan potensi terjadinya kejadian yang tidak

    diharapkan.

    2.1.1 Definisi Keselamatan Pasien

    Keselamatan Pasien/Patient Safety adalah pasien bebas dari

    harm/cedera yang tidak seharusnya terjadi atau bebas dari harm yang

    potensial akan terjadi (penyakit, cedera fisik / sosial / psikologis,

    morbiditas, kematian). Menurut Nursalam (2012), patient safety adalah

    penghindaran, pencegahan dan perbaikan dari kejadian yang tidak

    diharapkan atau mengatasi cedera-cedera dari proses pelayanan

    kesehatan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1691/

    Menkes/ Per/ VIII/ 2011, keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu

    sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman yang

    meliputi asesmen risiko, identifikasi dan pengelolaan hal yang

    berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden,

    kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjutnya serta

    implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko dan

    mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan akibat

    melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang

    seharusnya diambil.

  • 11

    2.1.2 Sasaran Keselamatan Pasien

    Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

    1691/MENKES/PER/VIII/2011 tentang Keselamatan pasien rumah

    sakit dijelaskan bahwa setiap rumah sakit wajib mengupayakan

    pemenuhan sasaran keselamatan pasien. Sasaran Keselamatan pasien

    merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang

    diakreditasi oleh komisi akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran

    ini mengacu kepada Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari

    WHO patient safety (2007). Adapun sembilan solusi keselamatan

    pasien tersebut adalah: Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan

    Mirip (Look-Alike, Sound-Alike Medication Names), pastikan

    identfikasi pasien, komunikasi secara benar saat serah

    terima/pengoperan pasien, pastikan tindakan yang benar pada sisi

    tubuh yang benar, kendalikan cairan elektrolit pekat (concentrated),

    pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan, hindari

    salah kateter dan salah sambung selang (tube), gunakan alat injeksi

    sekali pakai, tingkatkan kebersihan tangan (hand hygiene) untuk

    pencegahan infeksi nosokomial.

    Sasaran keselamatan pasien menurut WHO (Permenkes RI, 2011) ada

    enam yang meliputi:

    2.1.2.1 Mengidentifikasi Pasien dengan Tepat

    Adapun elemen penilaian untuk sasaran ini adalah sebagai

    berikut :

    a. Pasien yang dirawat diidentifikasi dengan menggunakan

    gelang identitas sedikitnya dua identitas pasien (nama,

    tanggal lahir atau nomor rekam medik).

    b. Pasien yang dirawat diidentifikasi dengan warna gelang

    yang ditentukan dengan ketentuan biru untuk laki-laki dan

    merah muda untuk perempuan, merah untuk pasien yang

    mengalami alergi dan kuning untuk pasien dengan risiko

  • 12

    jatuh (risiko jatuh telah diskoring dengan menggunakan

    protap penilaian skor jatuh yang sudah ada)

    c. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum pemberian obat,

    darah, atau produk darah.

    d. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum mengambil

    darah dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis.

    e. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum pemberian

    pengobatan dan tindakan/prosedur.

    2.1.2.2 Meningkatkan Komunikasi yang Efektif

    Elemen penilaian pada sasaran II ini terdiri dari beberapa hal

    sebagai berikut:

    a. Melakukan kegiatan “READ BACK‟ pada saat menerima

    permintaan secara lisan atau menerima intruksi lewat

    telepon dan pasang stiker ‟SIGN HERE‟ sebagai pengingat

    dokter harus tanda tangan.

    b. Menggunakan metode komunikasi yang tepat yaitu SBAR

    saat melaporkan keadaan pasien kritis, melaksanakan serah

    terima pasien antara shift (hand off) dan melaksanakan

    serah terima pasien antar ruangan dengan menggunakan

    singkatan yang telah ditentukan oleh manajemen.

    2.1.2.3 Peningkatan Keamanan Obat yang Membutuhkan Perhatian

    atau yang Perlu Diwaspadai

    Elemen yang merupakan standar penilaian sasaran III adalah

    sebagai berikut :

    a. Melakukan sosialisasi dan mewaspadai obat Look Like dan

    Sound Alike (LASA) atau Nama Obat Rupa Mirip

    (NORUM)

    b. Menerapkan kegiatan DOUBLE CHECK dan COUNTER

    SIGN setiap distribusi obat dan pemberian obat pada

    masing-masing instansi pelayanan.

  • 13

    c. Menerapkan agar Obat yang tergolong HIGH ALERT

    berada di tempat yang aman dan diperlakukan dengan

    perlakuan khusus

    d. Menjalankan Prinsip tujuh Benar dalam pelaksanaan

    pendelegasian Obat (Benar Pasien, Obat, Masa Berlaku

    Obat, Dosis, Waktu, Cara, dan Dokumentasi).

    2.1.2.4 Mengurangi Risiko Salah Lokasi, Salah Pasien, dan Tindakan

    Operasi

    Elemen yang menjadi penilaian pada sasaran IV ini adalah

    memberi tanda spidol skin marker pada sisi operasi (Surgical

    Site Marking) yang tepat dengan cara yang jelas dimengerti dan

    melibatkan pasien dalam hal ini (Informed Consent)

    2.1.2.5 Mengurangi Risiko Infeksi

    Elemen yang menjadi penilaian sasaran V adalah sebagai

    berikut :

    a. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman Five

    Moment Hand Hygiene dan digunakan dalam tatanan

    kesehatan untuk pelayanan ke pasien.

    b. Menggunakan Hand rub di ruang perawatan dan melakukan

    pelatihan cuci tangan efektif.

    c. Memberikan tanggal dengan menggunakan spidol atau tinta

    yang jelas setiap melakukan prosedur invasif (infuse, dower

    cateter, CVC, WSD, dan lain-lain)

    2.1.2.6 Mengurangi Risiko Pasien Jatuh.

    Elemen yang menjadi penilaian sasaran VI adalah sebagai

    berikut :

    a. Melakukan pengkajian risiko jatuh pada pasien yang

    dirawat di rumah sakit.

    b. Melakukan tindakan untuk mengurangi atau

    menghilangkan risiko jatuh.

  • 14

    c. Memberikan tanda bila pasien berisiko jatuh dengan gelang

    warna kuning dan kode jatuh yang telah ditetapkan oleh

    manajemen

    Tujuan dari sasaran keselamatan pasien adalah mendorong perbaikan

    spesifik dalam keselamatan pasien. Depkes RI (2006) menyatakan

    bahwa tujuan keselamatan pasien yaitu terciptanya budaya

    keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatnya akuntabilitas rumah

    sakit terhadap pasien dan masyarakat, menurunnya KTD (Kejadian

    Tidak Diharapkan) di rumah sakit, terlaksananya program-program

    pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD.

    2.2 Kesalahan Pengobatan (Medication Error)

    Keslahan pengobatan (medication error) sangat mungkin terjadi pada setiap

    pasien yang sedang menjalani proses pengobatan, namun bukan berarti hal ini

    tidak dapat dicegah atau diminimalisir. Tenaga kesehatan, pasien dan

    pemerintah memiliki peran penting dalam mencegah atau meminimalkan

    terjadinya Medication Error.

    2.2.1 Definisi Medication Error

    Medication error merupakan kesalahan dalam proses pengobatan yang

    masih berada dalam pengawasan dan tanggung jawab profesi

    kesehatan, pasien atau konsumen, dan seharusnya dapat dicegah

    (Cohen, Basse & Myers, 1991). Aronson (2009), menyatakan bahwa

    medication error adalah sesuatu yang tidak benar, dilakukan melalui

    ketidaktahuan atau ketidaksengajaan, kesalahan, kegagalan untuk

    menyelesaikan tindakan atau rencana tindakan yang tidak tepat untuk

    mencapai tujuan tertentu (Aronson, 2009).

    William, (2007), mengemukakan medication error sebagai kesalahan

    dalam meresepkan, pembuatan, dan memberikan obat, tanpa

    tergantung dengan di mana kesalahan ini menyebabkan konsekuensi

  • 15

    yang merugikan atau tidak. Kesalahan pengobatan dapat terjadi pada

    setiap langkah pengobatan yang menggunakan proses, dan mungkin

    atau tidak dapat menyebabkan Adverse Drug Event (ADE).

    Medication error merupakan kegagalan dalam proses pengobatan yang

    menimbulkan atau memaparkan bahaya pada penderita. Bahaya yang

    dimaksud adalah manfaat dari pengobatan tersebut tidak terlihat dan

    mengindikasikan kegagalan pengobatan.

    2.2.2 Klasifikasi Medicatiom Error

    Perawatan kesehatan secara inheren berisiko, dan resep dengan tulisan

    tangan menjadi yang paling berbahaya dari semua prosedur medis.

    Kesalahan pengobatan, yang sering disebabkan tidak terbacanya

    tulisan tangan (Cohen, 2007). Cohen (1991) memaparkan empat fase

    dalam medication error yaitu fase prescribing, fase transcribing, fase

    dispensing, dan fase administrasion oleh perawat.

    2.2.2.1 Prescribing Errors yaitu error yang terjadi pada fase penulisan

    resep. Fase ini meliputi: kesalahan resep, kesalahan karena

    yang tidak diotorisasi, kesalahan karena dosis tidak benar,

    kesalahan karena indikasi tidak diobati, dan kesalahan karena

    penggunaan obat yang tidak diperlukan

    2.2.2.2 Transcription Errors yaitu kesalahan terjadi pada saat

    pembacaan resep untuk proses dispensing, antara lain salah

    membaca resep karena tulisan yang tidak jelas. Salah dalam

    menterjemahkan order pembuatan resep dan signature juga

    dapat terjadi pada fase ini. Jenis kesalahan obat yang

    termasuk transcription errors, yaitu: kesalahan karena

    pemantauan yang keliru, kesalahan karena ROM (Reaksi Obat

    Merugikan), kesalahan karena interaksi obat.

  • 16

    Rahimi, et. al. (2015), menemukan 52% kesalahan transkripsi

    yaitu kelalaian (pasien tidak menerima pengobatan yang

    diperintahkan). Hal yang sama juga di ungkapkan oleh

    Alassaad, et al. (2011), mengidentifikasi 120 pesanan obat

    yang diidentifikasi. Hasil studi menunjukan bahwa 41%

    kesalahan dinilai moderat dan 3% terjadi kesalahan yang berat.

    2.2.2.3 Administration Error yaitu kesalahan yang terjadi pada proses

    penggunaan/pemberian obat. Fase ini dapat melibatkan petugas

    perawat dan pasien atau keluarganya. Feleke, et al. (2015),

    mengemukakan sebagian besar (87,5%) memiliki kesalahan

    dokumentasi obat. Hal yang sama juga di ungkapkan oleh

    Bifftu, et al. (2016), kesalahan dokumentasi adalah jenis

    kesalahan yang paling dominan yang diamati selama penelitian

    berlangsung.

    2.2.2.4 Dispensing Error yaitu kesalahan pada saat penyiapan hingga

    penyerahan resep oleh petugas apotek. Salah satu kemungkinan

    terjadinya error adalah salah dalam mengambil obat dari rak

    penyimpanan karena kemasan atau nama obat yang mirip atau

    dapat pula terjadi karena berdekatan letaknya.

    Cheung, et al. (2009), mengemukakan bahwa penyebab

    terjadinya dispensing error adalah keadaan sibuk (21%),

    kekurangan staf (12%), mengalami kendala waktu (11%),

    kelelahan penyedia layanan kesehatan (11%), gangguan saat

    melakukan pengeluaran (9,4%), dan obat-obatan serupa (8,5%).

    Anacleto, et al. (2007) mengidentifikasi 422 pesanan resep

    obat. Hasil menunjukan bahwa peluang terjadinya kesalahan

    lebih tinggi pada formulir pesanan resep yang diketik (odds

    ratio = 4,5), pada mereka dengan 9 atau lebih obat (odds ratio =

    4.0), dan dengan obat injeksi (rasio odds = 5.0).

  • 17

    2.2.3 Faktor yang Mempengaruhi Medication Error

    Dumo (2012) mengemukakan beberapa faktor yang dapat

    menyebabkan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error)

    yaitu sikap profesional adalah nomor satu penyebab kesalahan

    pengobatan, diikuti oleh faktor manajerial, faktor yang berhubungan

    dengan pekerjaan, dan faktor individu. Menurut World Health

    Organization (WHO, 2016) menyatakan sejumlah penelitian telah

    meneliti faktor-faktor yang terkait dengan medication error yaitu:

    2.2.3.1 Faktor yang berhubungan dengan perawat

    Shahrokhi, et. al. (2013), menyatakan bahwa faktor yang

    terkait dengan perawat adalah faktor paling efektif untuk

    kesalahan pengobatan. Kurangnya pelatihan terapeutik,

    pengetahuan dan pengalaman obat yang tidak memadai,

    pengetahuan pasien yang tidak memadai, tenaga kesehatan

    yangbekerja berlebihan atau lelah, masalah kesehatan fisik

    dan emosional, komunikasi yang buruk antara petugas

    kesehatan dengan pasien.

    2.2.3.2 Faktor yang berhubungan dengan klien

    Karakteristik pasien (contohnya : kepribadian, literacy dan

    hambatan bahasa) dan peran klien dan keluarga kurang.

    2.2.3.3 Faktor yang terkait dengan lingkungan kerja

    Beban kerja dan time pressure, adanya gangguan (oleh staf

    perawatan primer dan pasien), kurangnya protokol dan

    prosedur standar, sumber daya manusia tidak mencukupi,

    masalah dengan lingkungan kerja (contohnya: pencahayaan,

    suhu dan ventilasi).

    2.2.3.4 Faktor yang terkait dengan obat-obatan

    Penamaan obat-obatan dan pelabelan serta kemasan obat.

  • 18

    2.2.3.5 Faktor yang terkait dengan tugas

    Sistem berulang untuk pemesanan, pengolahan serta

    pemantauan pasien (tergantung pada praktek, pasien,

    prescriber)

    2.2.3.6 Faktor yang terkait dengankomputerisasi

    Sistem komputerisasi yang kurang mendukung (contohnya:

    daftar pilihan obat, pengaturan dosis standar), proses yang

    sulit untuk menghasilkan pengulangan resep yang benar,

    kurang tepatnya catatan pasien, dan desain yang tidak

    adekuat sehingga memungkinkan terjadinya human error.

    2.2.4 Dampak Medication Error

    Menurut National Coordinating Council for Medication Error

    Reporting and Prevention (NCC MERP, 2017), akibat dari terjadinya

    medication error dapat dibagi menjadi tiga derajat yaitu;

    2.2.4.1 Tidak menyebabkan perubahan fisik, mental, dan psikologis,

    Derajat yang paling ringan adalah kejadian medication error

    terdeteksi tetapi tidak mengakibatkan perubahan apapun.

    2.2.4.2 Menyebabkan perubahan,

    Medication error derajat yang kedua akan menyebabkan

    perubahan yang dapat sembuh dengan sendirinya atau

    memerlukan terapi baru.

    2.2.4.3 Menyebabkan kematian.

    Derajat paling parah dalam medication error yaitu dapat

    menyebabkan yang berakibat kematian.

    2.2.5 Upaya Pencegahan Medication Error

    Berbagai metode pendekatan organisasi sebagai upaya menurunkan

    medication error yang jika dipaparkan menurut urutan dampak

    efektifitas terbesar menurut depkes RI (2008) adalah :

  • 19

    2.2.5.1 Mendorong fungsi dan pembatasan (forcing function &

    contraints) : suatu upaya mendesain sistem yang mendorong

    seseorang melakukan hal yang baik, contoh : sediaan

    potassium klorida siap pakai dalam konsentrasi 10% Nacl

    0,9%, karena sediaan di pasar dalam konsenrasi 20% (>10%)

    yang mengakibatkan fatal (henti jantung dan nekrosin pada

    tempat injeksi).

    2.2.5.2 Otomasi dan computer (Computerized Prescribing Order

    Entry): membuat statis/ robotisasi pekerjaan berulang yang

    sudah pasti dengan dukungan teknologi, contoh :

    komputerisasi proses penulisan resep oleh dokter diikuti

    dengan tanda-tanda atau tanda peringatan jika diluar standar

    (ada penanda otomatis ketika digoxinditulis 0,5g).

    2.2.5.3 Standar dan protokol, standarisasi prosedur: menetapkan

    standar berdasarkan bukti ilmiah dan standarisasi prosedur

    (menetapkan standar pelaporan insiden dengan prosedur

    baku). Kontribusi apoteker dalam Panitia Farmasi dan Terapi

    serta pemenuhan sertifikasi/ akreditasi pelayanan memegang

    peranan penting.

    2.2.5.4 Sistem daftar tilik dan double checking : alat kontrol berupa

    daftar tilik dan penetapan cek ulang setiap langkah kritis

    dalam pelayanan. Untuk mendukung efektifitas sistem ini

    diperlukan pemetaan analisis titik kritis dalam sistem.

    2.2.5.5 Peraturan dan kebijakan : untuk mendukung keamanan proses

    manajemen obat pasien. contoh : semua resep rawat inap

    harus melalui supervise apoteker.

    2.2.5.6 Pendidikan dan Informasi : penyediaan informasi setiap saat

    tentang obat, pengobatan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan

    tentang prosedur untuk meningkatkan kompetensi dan

    mendukung kesulitan pengambilan keputusan saat

    memerlukan informasi.

  • 20

    2.2.5.7 Lebih hati-hati dan waspada: membangun lingkungan

    kondusif untuk mencegah kesalahan, contoh : baca sekali lagi

    nama pasien sebelum menyerahkan.

    2.3 Kompetensi

    Kompetensi sangat penting dalam keperawatan dan diperlukan standar sebagai

    penentuan kompetensi yang diharapkan dari seorang perawat. Kompetensi

    dalam keperawatan harus mengandung unsur kemampuan melayani dengan

    aman dan nyaman, melindungi masyarakat, dan menjaga kredibilitas perawat.

    Kompetensi yang spesifik diidentifikasi dengan peran yang ada atau

    pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang ditunjukkan dengan kinerjanya

    sesuai kriteria atau standar tertentu. Hasil yang dicapai pada perawat yang

    kompeten diperlihatkan dengan adanya kualitas dari sikap, motif, wawasan

    perawat, kemampuan menginterpretasikan, kemampuan menerima sesuatu

    yang baru, kematangan pikiran, dan penilaian diri (Axley, 2008). Kompetensi

    yang harus dimiliki oleh perawat adalah knowledge (pengetahuan), skill

    (keterampilan) dan attitude (sikap) dalam melaksanakan asuhan keperawatan

    kepada klien (Cusveller & Akkerman, 2016).

    Teori Patricia Benner (Alligood, 2014) “From novice to expert” menjelaskan

    bahwa kompetensi yang dimiliki perawat dari awal sampai dengan ahli,

    melalui proses pendidikan, pelatihan, pengalaman untuk mencapai itu.

    Kompetensi perawat harus dilakukan evaluasi secara periodik, untuk

    menentukan kewenangan klinis yang tepat baik dari segi pengetahuan,

    keterampilan dan sikap tepat dalam pemberian asuhan keperawatan yang

    berkualitas dan aman kepada klien.

    Kompetensi perawat merupakan kemampuan perawat untuk melakukan

    tindakan keperawatan terintegrasi antara pengetahuan, keterampilan, sikap dan

    penilaian berdasarkan pendidikan dasar dan tujuan praktik keperawatan yang

  • 21

    terukur sesuai dengan kinerja perawat. Dimana tujuannya adalah untuk tetap

    menjaga kualitas kesehatan dan keamanan pasien (Bartlett 2010).

    2.4 Pengetahuan (Knowledge)

    2.4.1 Definisi Pengetahuan

    Pengetahuan yaitu segala sesuatu yang diketahui yang diperoleh dari

    persentuhan panca indera terhadap objek tertentu. Pengetahuan pada

    dasarnya merupakan hasil dari proses melihat, mendengar, merasakan,

    dan berfikir yang menjadi dasar manusia bersikap dan bertindak.

    Pengetahuan dapat didefinikan sebagai actionable information yang

    dapat ditindaklanjuti atau informasi yang dapat digunakan sebagai

    dasar untuk bertindak, untuk mengambil keputusan dan menempuh

    arah atau strategi tertentu (Nursalam, 2015).

    Pengetahuan menurut Notoatmojo (2014) merupakan hasil “tahu” dan

    ini terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu

    objek tertentu yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa

    dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata

    dan telinga.Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat

    penting dalam membentuk tindakan seseorang. Menurut Bloom, 1987 ;

    Notoatmojo, 2014) Pengetahuan mencakup enam tingkat domain

    kognitif, yaitu :

    2.4.1.1 Tahu (Know)

    Tahu dimaksudkan sebagai mengingat kembali suatu materi

    yang telah dipelajari sebelumnya atau mengingat kembali

    (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang

    dipelajari atau rangsangan yang telah diterima termasuk ke

    dalam pengetahuan tingkat ini. Sehingga dapat dikatakan

    bahwa tahu merupakan tingkat pengetahuan yang paling

    rendah.

  • 22

    2.4.1.2 Memahami (Comprehension)

    Memahami yaitu suatu kemampuan untuk menjelaskan

    secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat

    menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

    2.4.1.3 Aplikasi (Aplication)

    Aplikasi dimaksudkan sebagai kemampuan untuk

    menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau

    kondisisebenarnya.

    2.4.1.4 Analisis (Analysis)

    Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan

    materi atau suatu objek kedalam komponen-komponen, tetapi

    masih di dalam satu struktur organisasi, dan masih ada

    kaitannya satu sama lain.

    2.4.1.5 Sintesis (Synthesis)

    Sintesis yaitu suatu kemampuan untuk meletakkan atau

    menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk

    keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu

    kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-

    formulasi yang telah ada.

    2.4.1.6 Evaluasi (Evaluation)

    Evaluasi yang dimaksudkan berkaitan dengan kemampuan

    untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu

    materi atau objek. Penilaian-penilaian itu didasarkan pada

    suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau menggunakan

    kriteria-kriteria yang telah ada.

    Roger (1974, dalam Mubarak, 2012) mengungkapkan bahwa

    sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri orang

    tersebut sudah terjadi proses berurutan, yaitu :

  • 23

    2.4.1.1 Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari

    dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus

    (objek).

    2.4.1.2 Interest (merasa tertarik), terhadap stimulus atau objek

    tersebut. Pada proses ini, sikap subjek sudah mulai timbul

    2.4.1.3 Evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan

    tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

    2.4.1.4 Trial (mencoba), dimana subjek mulai mencoba untuk

    melakukan sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh

    stimulus.

    2.4.1.5 Adoptiom, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai

    dengan pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap

    stimulus.

    Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

    angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari

    subjek penelitian atau responden. Kedalaman pengetahuan yang ingin

    kita ketahui atau kita ukut dapat kita sesuaikan dengan tingkatan-

    tingkatan di atas (Mubarak, 2012).

    2.4.2 Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan

    Faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang adalah:

    2.4.2.1 Pendidikan

    Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan seseorang pada

    orang lain terhadap sesuatu hal agar mereka dapat

    memahami. Pengetahuan yang lemah bisa menjadi akibat

    kekurangan dalam pendidikan keperawatan dasar, atau

    kurangnya pelatihan pemeliharaan berkelanjutan selama

    tahun-tahun kerja (Simonsen, et al. 2014).

  • 24

    2.4.2.2 Pekerjaan

    Lingkungan pekerjaan dapat menjadikan seseorang

    memperoleh pengalaman dan pengetahuan baik secara

    langsung maupun tidak langsung.

    2.4.2.3 Umur

    Dengan bertambahnya umur seseorang akan terjadi

    perubahan pada aspek fisik, psikologis (mental).

    2.4.2.4 Minat

    Sebagai sesuatu kecenderungan atau keinginan yang tinggi

    terhadap sesuatu. Minat menjadikan seseorang untuk

    mencoba menekuni suatu hal dan pada akhirnya diperoleh

    pengetahuan yang lebih mendalam.

    2.4.2.5 Pengalaman

    Pengalaman merupakan suatu kejadian yang pernah dialami

    seseorang dalam berinteraksi dengan lingkungannya.

    2.4.2.6 Kebudayaan lingkungan sekitar

    Kebudayaan dimana kita hidup dan dibesarkan mempunyai

    pengaruh besar terhadap sikap kita.

    2.4.2.7 Informasi

    Kemudahan untuk memperoleh suatu informasi dapat

    membantu mempercepat seseorang untuk memperoleh

    pengetahuan yang baru (Mubarak, 2012).

    2.5 Pemeriksaan Ganda (Double Checking)

    Pemeriksaan double checking didefinisikan sebagai verifikasi kebenaran dan

    kesesuaian komponen dari proses pemberian obat dengan menggunakan dua

    tenaga perawat dalam pengecekan sebelum obat diberikan.

    2.5.1 Definisi Double Checking

    The New South Wales Therapeutic Advisory Group (NSW TAG)

    mendefinisikan double checking tepatnya sebagai prosedur dimana dua

    individu, sebaiknya dua praktisi secara terpisah memeriksa setiap

  • 25

    komponen dalam pemberian obat. Praktisi kedua harus memeriksa

    obat, dosis, perhitungan, cairan IV dan identitas pasien sebelum

    pemberian. Perlu disebutkan bahwa titik prosedur pemeriksaan adalah

    bahwa perawat diharapkan untuk menemukan kesamaan dalam

    informasi yang mereka kelola. Apabila seorang perawat menemukan

    hasil yang berbeda, dalam menyelesaikan perbedaan yang muncul

    harus dilakukan sebelum obat tersebut diberikan kepada pasien

    (Australian Commission on Safety and Quality in Health Care, 2013).

    Athanasakis, (2015) mengemukakan double checking menyangkut

    prosedur recheck/verifikasi langkah-langkah persiapan obat-obatan,

    tidak dari satu tetapi dari dua perawat secara terpisah, sebelum tahap

    pemberian obat dimulai. Menurut Schwappach et al. (2016)

    mendefinisikan bahwa double checking sebagai prosedur yang

    membutuhkan dua tenaga kesehatan (perawat) dalam pengecekan obat

    sebelum diberikan ke klien. Dengan dilakukan double checking dapat

    meminimalkan kesalahan yang dilakukan oleh perawat lain.

    Sehingga dapat disimpulkan bahwa double checking merupakan

    pengecekan kembali obat-obatan high alert dan elektrolit konsentrat

    oleh dua orang perawat dengan tahap perawat pertama melakukan

    persiapan obat yang akan diberikan dan perawat kedua memeriksa

    kembali atau memastikan obat yang telah disiapkan untuk menghindari

    kesalahan terhadap pasien.

    2.5.2 Tujuan dan Manfaat Prosedur Double Checking

    ISMP (2013) menyatakan bahwa tujuan dari prosedur double checking

    adalah untuk menemukan kesamaan informasi dari perawat pertama

    dan kedua sebelum memberikan obat kepada klien sehingga

    medication error dapat dicegah. Apabila terjadi perbedaan informasi,

  • 26

    seharusnya perbedaan tersebut diselesaikan sebelum dilakukan

    pemberian obat.

    Manfaat prosedur double checking dilakukan secara independen yaitu

    perawat kedua meverifikasi kembali benar dosis, independen yang

    dimaksud yaitu tanpa ada masukan dari perawat pertama. Hasil

    verifikasi perawat kedua kemudian dibandingkan dengan hasil

    perhitungan dosis yang dilakukan oleh perawat pertama. Pengecekan

    kembali secara mandiri oleh perawat kedua dimaksudkan untuk

    menghilangkan bias yang akan tercipta jika kedua perawat tersebut

    melakukan perhitungan dosis obat secara bersama-sama.

    Independent double checking (IDC) sangat penting untuk pemberian

    obat yang aman dan berkontribusi dalam pelayanan keperawatan yang

    aman. Melaksanakan IDC dan meningkatkan keamanan pasien

    membangun hubungan terapi perawat yang lebih kuat dan mengarah

    pada hasil pasien yang lebih baik (Baldwin & Walsh, 2014). Banyak

    rumah sakit melakukan double checking untuk pengobatan seperti

    insulin yang berpotensi menimbulkan bahaya (Urden, et. al. 2014).

    Meskipun ada kesalahan pengobatan yang berpotensi serius,

    konsekuensi dari kesalahan yang melibatkan obat-obatan high alert

    dapat sangat membahayakan. Beberapa contoh obat high alert adalah

    antikoagulan, obat kemoterapi, insulin, dan opioid (ISMP, 2013).

    Conroy, et. al. (2014) menyatakan pemeriksaan ganda tampaknya

    lebih efektif dalam mendeteksi dan mengurangi kesalahan daripada

    pemeriksaan tunggal.

    2.5.3 Proses Double Checking

    Proses double checking dapat dilihat pada skema dibawah ini

    (Paterson, 2015) :

  • 27

    Skema 2.1 Proses Double-check pada obat-obatan high alert

    Tahap I : Menyaksikan proses persiapan obat

    Dua perawat menyaksikan seluruh prosesnya dalam

    persiapan obat, obat akan disiapkan dibaca dengan suara yang

    lantang. Proses penyiapan obat dilakukan di ruangan yang

    tenang, tanpa interupsi. Periksa dengan prinsip 5 benar (benar

    pasien, benar obat, benar dosis, benar rute, benar waktu).

    Tahap II : Periksa ulang secara mandiri

    Perhitungan dosis dilakukan secara terpisah oleh dua

    perawat. Kemudian dikonfirmasi perhitungan dosis secara

    mandiri. Mandiri dimaksudkan adalah tanpa ada masukan

    Pilih dan periksa obat yang benar dan sesuai untuk pasien

    Menghitung dosis secara mandiri

    Perawat pertama menyiapkan obat, yang diamati oleh

    perawat kedua

    Kedua perawat bersama-sama ke pasien dan memverifikasi

    identitas pasien

    Verifikasi rute

    Perawat kedua meninggalkan tempat begitu pemberian obat

    sedang diberikan oleh perawat pertama setelah

    menandatangani pada lembar obat yang telah dicek.

  • 28

    dari perawat pertama. Hasil verifikasi perawat kedua

    kemudian dibandingkan dengan hasil perhitungan dosis yang

    dilakukan oleh perawat pertama. Apabila terdapat perbedaan

    dalam perhitungan dosis, keduanya dapat memeriksa

    kembali. Menurut Armitage (2008), perawat yang lebih

    junior tidak harus menyetujui perhitungan yang dilakukan

    oleh perawat senior hanya karena perawat senior lebih

    berpengalaman. Hal semacam itu dapat mempengaruhi

    banyak masalah dalam sebuah organisasi.

    Tahap III : Persiapan pengobatan

    Persiapan pengobatan dilakukan oleh satu orang perawat dan

    perawat kedua mengamati persiapan obat tersebut untuk

    menghindari dari kesalahan. Setelah obat selesai disiapkan,

    kedua perawat tersebut membawa obatnya kepada klien dan

    memverifikasi terlebih dahulu identitas klien.

    Tahap IV : Pemeriksaan identitas pasien

    Verifikasi pemeriksaan gelang identitas pasien disesuaikan

    dengan daftar obat pasien. Pemeriksaan identitas klien lebih

    efektif bila dilakukan disamping tempat tidur pasien.

    Tahap V : Verifikasi rute

    Rute yang akan diberikan diverifikasi terlebih dahulu.

    Setelah diidentifikasi dan dikonfirmasi, perawat kedua dapat

    meninggalkan ataupun dapat mendampingi perawat pertama

    dalam pemberian obat. setelah memberikan tanda tangan

    pada daftar obat yang diberikan sebagai dokumentasi

    keperawatan (Paterson, 2015).

  • 29

    Pendekatan yang dilakukan dalam pengecekan ganda (double

    checking) (Ramasamy, et. al. 2013) :

    2.5.3.1 Perhitungan Obat

    Kegiatan pada tahap ini yaitu:

    a. Mandiri : perawat pertama dan perawat kedua

    menghitung obat secara terpisah.

    b. Bersama : secara bersamaan verbal

    c. Melihat : perawat kedua melihat perawat pertama

    melakukan perhitungan obat

    d. Lakukan dan tunjukkan : perawat pertama menunjukkan

    kepada perawat kedua tentang perhitungan yang

    dilakukan dan perawat kedua memeriksa kembali

    kebenarannya.

    2.5.3.2 Persiapan obat

    Kegiatan pada tahap persiapan obat yaitu:

    a. Bersama : perawat pertama dan perawat kedua

    menyiapkan obat secara bersama-sama

    b. Pre persiapan : perawat pertama menyiapkan obat dan

    menunjukkan pelarut dll kepada perawat kedua.

    2.5.3.3 Pemberian obat

    a. Satu perawat di samping tempat tidur pasien

    b. Dua perawat di samping tempat tidur pasien

    Strategi dalam prosedur double checking tidak dilakukan untuk semua

    obat karena kendala waktu dan beban kerja yang tinggi, oleh karena itu

    disarankan prosedur double checking hanya dilakukan untuk obat-

    obatan dengan kewaspadaan tinggi (high alert).

    Menurut penelitian Panchal dan Chhabra (2017) yang berjudul

    “Strategies to Manage and Prevention of the Look-Alike and Sound-

    Alike (LASA) Drugs Associated Medication Errors” Kesalahan

    pengobatan dapat dicegah dengan memperhatikan hal penting berikut :

  • 30

    a. Semua obat high alert seharusnya diberi label dengan warna merah

    sehingga dapat di identifikasi dengan mudah

    b. Obat-obatan high alert harus disimpan dengan lemari yang

    terkunci dan obat-obatan high alert terpisah dengan obat-obatan

    rutin.

    c. Obat-obatan high alert harus diverifikasi dua kali dengan dua

    orang petugas kesehatan dalam proses pengobatan di semua

    tingkatan seperti : meresepkan, pemesanan, pengeluaran,

    administrasi (pemberian) dan langkah pemantauan.

    d. Petunjuk khusus untuk obat-obatan LASA/NORUM

    2.5.4 Implementasi Prosedur Double Checking

    Paterson, (2015), memberikan rekomendasi untuk implementasi proses

    double checking obat high alert yaitu :

    2.5.4.1 Harus memiliki prosedur jelas yang telah ditetapkan rumah

    sakit untuk pemeriksaan obat sehingga semua perawatdapat

    mengikuti sistem yang telah dibuat.

    2.5.4.2 Dalam pelaporan kesalahan, sistem rumah sakit juga harus

    diperiksa bukan hanya dari human error. Sehingga

    mendorong perawat dapat jujur dengan kesalahan dan

    membuat pelaporan. Hal ini seharusnya dapat meningkatkan

    pelaporan kesalahan dan memastikan kesalahan sistem tidak

    terjadi.

    2.5.4.3 Rumah sakit harus menentukan obat yang mana yang

    harusdilakukan double check oleh perawat karena beberapa

    study menunjukkan bahwa perawat tidak melakukan double

    checking apabila perawat terlalu sibuk. Sehingga perlu di

    spesifikasi obat mana yang harus dilakukan prosedur double

    checking. Namun, hingga saat ini perawat masih terikat

    dengan pedoman standar profesional yang mengamanatkan

    double checking dilakukan untuk jenis obat high alert.

  • 31

    2.6 Pelatihan (Training)

    2.6.1 Definisi Pelatihan

    Dessler (2015) mengemukakan bahwa, “Pelatihan (training) berarti

    memberikan kepada karyawan baru atau karyawan yang ada

    keterampilan yang mereka butuhkan untuk melakukan pekerjaan

    mereka. Pelatihan sangat penting, jika karyawan yang berpotensi tinggi

    sekalipun tidak mengetahui apa yang harus dilakukan dan bagaimana

    melakukannya, mereka akan berimprovisasi atau tidak melakukan

    sesuatu sama sekali”.

    Menurut Rosidah (2009) pelatihan penting dilakukan karena

    merupakan cara yang digunakan oleh organisasi untuk

    mempertahankan, menjaga, memelihara, dan sekaligus meningkatkan

    keahlian para pegawai untuk kemudian dapat meningkatkan

    produktivitasnya. Hasibuan (2011) menjelaskan bahwa pelatihan

    merupakan suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan tekhnis,

    teoritis, konseptual dan moral karyawan. Mathis & Jackson (2006)

    menyatakan pelatihan adalah sebuah proses dimana orang

    mendapatkan kapabilitas untuk membantu pencapaian tujuan-tujuan

    organisasional.

    Sehingga dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa

    pelatihan adalah proses sistematik untuk memperbaiki kemampuan,

    pengubahan sikap dan perilaku para pegawai dalam melaksanakan

    tugasnya sehingga terjadi peningkatan keahlian, pengetahuan,

    keterampilan yang spesifik yang berkaitan dengan pekerjaan.

    2.6.2 Proses Pelatihan

    Pemberi kerja harus menggunakan proses pelatihan yang rasional.

    Standarnya disini masih menggunakan model pelatihan dasar analisis –

    desain – kembangkan – implementasikan – evaluasi (analysis – design

  • 32

    – develop – implement – evaluate – ADDIE) yang telah digunakan

    para ahli pelatihan selama bertahun-tahun (Allen, 2006 ; Dressler,

    2015). Sebagai contoh, sebuah vendor pelatihan mendeskripsikan

    proses pelatihan mereka sebagai berikut :

    2.6.2.1 Analisis kebutuhan pelatihan,

    2.6.2.2 Desain program pelatihan secara keseluruhan,

    2.6.2.3 Kembangkan mata pelajarannya (benar-benar menyusun/

    membuat materi pelatihan),

    2.6.2.4 Implementasikan pelatihan, dengan benar-benar melatih

    kelompok karyawan sasaran dengan menggunakan metode

    seperti pelatihan on-the-job atau dering

    2.6.2.5 Evaluasi efektivitas mata pelajaran tersebut (Dessler, 2015).

    Menurut Rivai (2009), di dalam pelatihan ada beberapa faktor yang

    perlu dipertimbangkan dan berperan yaitu: efektivitas biaya, materi

    program yang dibutuhkan, prinsip-prinsip pembelajaran, ketepatan dan

    kesesuaian fasilitas, kemampuan dan preferensi peserta pelatihan serta

    kemampuan dan preferensi instruktur pelatihan.

    2.6.3 Metode pelatihan

    Metode pelatihan berarti ketepatan cara penyampaian yang digunakan

    selama pelatihan itu berlangsung. Training yang tidak terlepas dari

    pengembangan kemampuan, pengukuran tujuan yang jelas, dan

    perubahan sikap dapat diterapkan dengan beberapa pilihan metode

    sesuai dengan lingkungan pelatihan (Wagonhurst, 2002). Beberapa

    metode tersebut menurut Wagonhurst meliputi lecture, guest

    facilitators, and video tape material.

    Hasibuan (2005) menyatakan dalam melaksanakan pelatihan ini ada

    beberapa metode yang digunakan, antara lain metode on the job dan off

    the job training adalah sebagai berikut :

    2.6.3.1 On The Job Training

  • 33

    On the job training (OJT) atau disebut juga pelatihan dengan

    instruksi pekerjaan sebagai suatu metode pelatihan dengan

    cara para pekerja atau calon pekerja ditempatkan dalam

    kondisi pekerjaan yang nyata, dibawah bimbingan dan

    supervisi dari karyawan yang telah berpengalaman atau

    terlatih. Dalam on the job training perlu memperhatikan

    prinsip-prinsip sebagai berikut:

    a. Adanya pembimbing yang bertanggung jawab atas

    keberhasilan calon karyawan dalam melaksanakan

    tugasnya.

    b. Tersedianya waktu yang cukup agar dapat mencapai

    tingkat terampil atau mahir.

    c. Sikap, perilaku pegawai yang mendukung (antusias, rajin

    dan tekun).

    Ada beberapa macam metode pelatihan on the job training :

    a. Instruksi

    Pelatihan dengan instruksi pekerjaan sebagai suatu

    metode pelatihan dengan cara para pekerja atau calon

    pekerja ditempatkan dalam kondisi pekerjaan yang nyata,

    di bawah bimbingan dan supervisi dari pegawai yang

    telah berpengalaman atau seorang supervisor.

    b. Rotasi

    Untuk pelatihan silang (cross-train) bagi karyawan agar

    mendapatkan variasi kerja, para pengajar memindahkan

    para peserta pelatihan dari tempat kerja yang satu ke

    tempat kerja yang lainnya.

    c. Magang

    Magang melibatkan pembelajaran dari pekerja yang lebih

    berpengalaman. Ini menggunakan partisipasi tingkat

  • 34

    tinggi dari peserta dan memiliki tingkat transfer tinggi

    kepada pekerjaan.

    d. Pelatihan Jabatan

    Calon karyawan dilibatkan secara langsung dibawah

    seorang pemimpin (yang bertugas sebagai pelatih), calon

    karyawan tersebut dijadikan sebagai pembantu pimpinan

    atau pelatih

    2.6.3.2 Off The Job Training

    Pelatihan di luar kerja (Off the job training) adalah pelatihan

    yang berlangsung pada waktu karyawan yang dilatih tidak

    melaksanakan pekerjaan rutin/biasa.

    Ada beberapa macam metode pelatihan off the job training :

    (Hasibuan, 2005).

    a. Ceramah Kelas dan Presentase

    Video Ceramah adalah pendekatan terkenal karena

    menawarkan sisi ekonomis dan material organisasi.

    Partisipasi dan umpan balik dapat meningkat dengan

    adanya diskusi selama ceramah.

    b. Pelatihan Vestibule.

    Agar pembelajaran tidak mengganggu operasional rutin,

    beberapa perusahaan menggunakan pelatihan vestibule.

    Wilayah atau vestibule terpisah di buat dengan peralatan

    yang sama dengan yang digunakan dalam pekerjaan. Cara

    ini memungkinkan adanya transfer, repetisi, dan

    partisipasi serta material perusahaan bermakna dan

    umpan balik.

    c. Demonstrasi

    Metode demonstrasi merupakan metode pelatihan yang

    sangat efektif karena lebih mudah menunjukkan kepada

    peserta cara mengerjakan suatu tugas. Suatu demonstrasi

  • 35

    menunjukkan dan merencanakan bagaimana sesuatu itu

    dikerjakan. Metode demonstrasi melibatkan penguraian

    dan memeragakan sesuatu melalui contoh-contoh.

    d. Simulasi.

    Permainan simulasi dapat dibagi menjadi dua macam.

    Pertama, simulasi yang melibatkan simulator yang

    bersifat mekanik (mesin) yang mengandalkan aspek-

    aspek utama dalam suatu situasi kerja. Kedua, simulasi

    komputer. Metode ini sering berupa games atau

    permainan. Para pemain membuat suatu keputusan, dan

    komputer menentukan hasil yang terjadi sesuai dengan

    kondisi yang telah diprogramkan dalam komputer.

    e. Belajar Terprogram

    Bahan–bahan pembelajaran terprogram adalah bentuk

    lain dari belajar mandiri. Biasanya terdapat program

    komputer atau cetakan booklet yang berisi tentang

    pertanyaan dan jawaban. Setelah membaca dan menjawab

    pertanyaan, pembaca langsung mendapatkan umpan balik

    kalau benar, belajar lanjut kalau salah.

    Sementara menurut Ranupandoyo dan Husnan (2003), metode

    pelatihan untuk karyawan operasional antara lain adalah:

    2.5.3.1 On the Job Training: Sistem ini memberikan tugas kepada

    kemampuan atasan langsung dari karyawan yang baru untuk

    melatih mereka. Cara ini mempunyai efek fisik dan

    psikologis yang kuat terhadap para karyawan yang dilatih

    karena dijalankan.

    2.5.3.2 Vestibule School: Merupakan bentuk pelatihan dimana

    pelatihnya bukan atasan langsung, tetapi pelatih-pelatih

    khusus. Salah satu bentuk vestibule school ini adalah

    simulasi.

  • 36

    2.5.3.3 Apprenticeship: Biasa dipergunakan untuk pekerja-pekerja

    yang membutuhkan keterampilan yang relatif tinggi. Program

    apprenticeship ini bisa mengkombinasikan on the job

    training dan pengalaman dengan petunjuk-petunjuk di kelas

    dalam pengetahuan tertentu.

    2.5.3.4 Kursus-kursus khusus: Merupakan bentuk pengembangan

    karyawan yang lebih mirip pendidikan dari pada pelatihan.

    Kursus-kursus ini biasanya diadakan untuk memenuhi minat

    para karyawan dalam bidang-bidang pengetahuan tertentu (di

    luar bidang pekerjaannya), seperti kursus bahasa asing.

  • 37

    2.7 Kerangka Teori

    2.2 Skema Kerangka Teori Penelitian Pengaruh Pelatihan Tentang Prosedur

    Double Checking Terhadap Pengetahuan Perawat Untuk Mencegah

    Medication Error (Sumber : WHO, 2016; Depkes RI, 2008; Cohen, 1991;

    NCC MERP, 2017; Hasibuan, 2005; Mubarak, 2012; Cusveller&Akkerman,

    2016)

    Upaya Pencegahan :

    a. Forcing function & constraints

    b. Computerized prescribing order entry

    c. Standarisasi prosedur

    d. Sistem daftar tilik dan double check

    e. Peraturan dan kebijakan f. Pendidikan & informasi g. Lebih hati-hati & waspada

    Depkes RI, (2008)

    Faktor yang mempengaruhi :

    a. Faktor yang b.d perawat b. Faktor yang b.d klien c. Faktor yang b.d lingkungan

    kerja

    d. Faktor yang b.d obat-obatan e. Faktor yang b.d tugas f. Faktor yang b.d komputerisasi

    WHO, (2016)

    Pelatihan

    Metode Pelatihan :

    a. On the job training 1) Instruksi 2) Rotasi 3) Magang 4) Pelatihan jabatan

    b. Off the job training

    1) Ceramah kelas dan presentasi

    2) Pelatihan vestibule

    3) Demonstrasi 4) Simulasi 5) Belajar terprogram

    Hasibuan (2005)

    MEDICATION ERROR

    KlasifikasiMedication

    Error:

    a. Prescribing error b. Transcription error

    c. Administration error d. Dispensing error Cohen, (1991)

    Dampak medication error :

    a. Tidak menyebabkan perubahan fisik, mental,

    dan psikologis

    b. Menyebabkan perubahan c. Menyebabkan kematian

    (NCC MERP, 2017)

    Faktor yang

    mempengaruhi

    pengetahuan :

    a. Pendidikan b. Pekerjaan

    c. Umur d. Minat

    e. Pengalaman f. Kebudayaan

    lingkungan sekitar

    g. Informasi

    Mubarak, (2012)

    Kompetensi:

    1. Pengetahuan 2. Keteranpilan 3. Sikap (Cusveller

    &Akkerman, 2016)