bab 2 teori dasar 2.1 pekerjaan survei...
TRANSCRIPT
6
BAB 2
TEORI DASAR
Pada bab ini akan dijelaskan uraian mengenai pekerjaan yang dilaksanakan dalam
rangka penelitian Tugas Akhir ini, meliputi survei hidrografi yang terdiri dari: survei
batimetri atau pemeruman, pengamatan tinggi muka sungai. Bab ini juga akan
menjelaskan ketentuan-ketentuan seperti spesifikasi alur pelayaran dan jenis-jenis
kegiatan pemeliharaan yang bisa dilakukan.
2.1 Pekerjaan Survei Hidrografi
Pada Tugas Akhir ini, peneliti dipersilahkan mengikuti kegiatan survei yang rutin
dilakukan oleh PT BERAU COAL dan dibawahi oleh Department Technical
Services. Survei batimetri yang dilaksanakan berlokasi di Sungai Kelay dan
pengamatan pasang surut yang dilaksanakan selama 29 hari di dermaga kantor utama
PT BERAU COAL, Tanjung Redeb.
Survei Batimetri adalah kegiatan yang dilakukan untuk menunjang kegiatan
eksplorasi yang dilakukan oleh PT BERAU COAL, tujuan dilakukannya survei
batimetri ini adalah untuk mengetahui kedalaman dasar sungai terhadap chart datum
yang telah didefinisikan sebelumnya.
Pada kegiatan survei lapangan, hal utama yang dilakukan adalah kegiatan
pengambilan data lapangan, data ini umumnya diolah setelah proses pengambilan
data selesai. Oleh karena itu, untuk mendapatkan hasil pengolahan yang baik,
diperlukan metode pengambilan data yang baik pula. Dalam menentukan metode
pengambilan data sangat terkait dengan tujuan yang ingin dicapai, konsep
pengolahan dan teknologi yang digunakan.
Pada kegiatan Tugas Akhir ini, data yang diambil adalah data dari kegiatan batimetri
lalu dikoreksikan dengan data pengamatan muka sungai yang diamati selama survei
berlangsung. Data pengamatan tinggi muka sungai dilakukan selama 29 hari di
dermaga kantor utama PT BERAU COAL, Tanjung Redeb, Kabupaten Berau,
Kalimantan Timur.
7
2.1.1 Pengamatan Tinggi Muka Sungai
Variasi ketinggian muka sungai sejatinya hampir sama dengan pasang surut di laut,
namun memiliki beberapa perbedaan dari segi tenaga penggerak dan variasi
temporalnya.
Sesuai dengan karakteristik alam di daerah kabupaten Berau, Kalimantan Timur yang
mempunyai banyak sungai yang sangat lebar dan luas, sehingga pengaruh pasang
surut air laut akan besar pengaruhnya terhadap tinggi muka sungai yang akan
diamati. Maka pengamatan tinggi muka sungai dilakukan dengan menggunakan
metode yang mirip dengan pengamatan pasang surut di laut dengan menambahkan
faktor-faktor lain seperti pengaruh pasut laut, curah hujan, iklim, dan lebar sungai,
berikut adalah pengertian pasut dan metode yang digunakan dalam pengamatan
tinggi muka sungai.
2.1.1.1 Pengertian Pasang Surut
Pasang surut laut adalah fenomena naik dan turunnya muka laut yang terlihat dari
adanya arus laut yang bolak balik secara periodik / harmonik akibat adanya gaya
pembangkit pasut, dalam keadaan perairan laut faktor yang mempengaruhi terjadinya
pasang surut adalah gaya gravitasi yang diakibatkan posisi bumi terhadap bulan dan
matahari (Djunarsjah, 2005).
Posisi bumi terhadap bulan dan matahari akan menyebabkan perbedaan tinggi
permukaan air laut. Ketika kedudukan matahari, bumi, dan bulan berada dalam satu
garis maka akan terjadi pasang maksimum di titik yang berada dalam garis
kedudukan bumi, bulan, dan matahari. Fenomena pasut pada kedudukan ini disebut
dengan spring tide atau pasut perbani, fenomena ini terjadi dua kali setiap bulan,
yaitu pada saat bulan baru (new moon) dan bulan purnama (full moon) seperti terlihat
pada gambar 2.1.
8
(sumber : www.bayoffundy.com)
Ketika posisi matahari tegak lurus dengan sumbu bumi-bulan, maka akan terjadi
pasut minimum pada titik di permukaan bumi yang tegak lurus sumbu bumi-bulan.
Fenomena ini terjadi di perempat bulan awal dan perempat bulan akhir, fenomena
pasut seperti ini disebut dengan neap tide atau pasut mati seperti terlihat pada gambar
2.2. Periode ini akan berlangsung dua kali setiap bulan, oleh karena itu sebaiknya
dilaksanakan pengukuran selama 29 hari dengan interval waktu pengukuran
maksimal satu jam, untuk dapat melihat 2 kali fenomena pasut perbani dan pasut
mati agar dapat dianalisis karakteristik pasang surut di suatu daerah dengan lebih
teliti.
(sumber : www.bayoffundy.com)
2.1.1.2 Metode yang Digunakan
Pengamatan tinggi muka sungai bertujuan untuk mencatat atau merekam gerakan
vertikal permukaan air sungai yang terjadi secara periodik dengan menggunakan
Gambar 2.1 Spring Tide
Gambar 2.2 Neap Tide
9
beberapa metode. Hasil data tinggi muka air yang diamati pada rentang waktu
tertentu akan menghasilkan muka sungai rata-rata. Permukaan ini dapat dipakai
sebagai tinggi nol yang dijadikan sebagai referensi (datum) vertikal dalam penentuan
kedalaman suatu titik.
Data tinggi muka sungai dengan kurun waktu yang berbeda dapat menghasilkan
informasi dan tujuan yang berbeda pula. Secara umum, informasi yang ingin didapat
dari data tinggi muka sungai adalah tipe tinggi muka sungai, dan datum vertikal
sungai tersebut.
Pada kasus ini, tujuan yang ingin dicapai pada pengamatan tinggi muka sungai
adalah untuk menentukan bidang referensi datum vertikal. Pada umumnya bidang
referensi vertikal untuk pengukuran di darat adalah MSL (Mean Sea Level) atau
MWL (Mean Water Level) , sedangkan bidang referensi vertikal untuk pengukuran
di laut adalah MSL/MWL dan Chart Datum, namun mengingat maksud dan tujuan
dari survei hidrografi ini adalah untuk perencanaan alur pelayaran aman pada
perairan sungai, maka bidang referensi lain yang dapat digunakan beserta
hubungannya dengan muka surutan (chart datum) sebagai pedoman dalam
perencanaan pelabuhan seperti digambarkan pada gambar 2.3 dibawah ini.
Gambar 2.3 Hubungan Antara bidang referensi, dan
Chart Datum
ΔH
10
Keterangan :
1. HHWL (Highest High Water Level / Muka Air Tinggi Tertinggi) adalah air
tertinggi pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
2. MHWL (Mean High Water Level / Muka Air Tinggi Rerata) adalah rerata dari
muka air tinggi selama periode 18.6 tahun.
3. Muka Air Saat (t) adalah ketinggian muka air saat dilaksanakannya pembacaan
ukuran saat (t)
4. MWL (Mean Water Level / Muka Air Rerata) adalah muka air rerata antara
muka air tinggi rerata dan muka air rendah rerata. Elevasi ini digunakan
sebagai referensi untuk elevasi di daratan.
5. MLWL (Mean Low Water Level / Muka Air Rendah Rerata ) adalah rerata dari
muka air rendah selama periode 18.6 tahun.
6. LLWL (Lowest Low Water Level / Muka Air Rendah Terendah) adalah air
terendah pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
7. CD (Chart Datum), adalah muka surutan air dimana ketinggian air didefinisikan
dalam kondisi terendah.
8. BM : Bench mark
9. HBM : tinggi Bench mark terhadap MWL
10. H(t) : tinggi muka air saat (t)
11. ΔH : selisih tinggi antara BM dan Rambu ukur dengan menggunakan waterpass
12. So : Tinggi muka sungai rata-rata
13. Zo : Kedalaman muka surutan (chart datum)
Metode yang digunakan untuk perhitungan bidang referensi di atas adalah
menggunakan metode Admiralty untuk mendapatkan konstanta harmonik melalui
persamaan variansi tinggi muka sungai dengan menggunakan persamaan di bawah
ini:
11
dimana :
A(t) = Amplitudo
S0 = Tinggi muka sungai rata-rata
An = Amplitudo komponen harmonis tinggi muka sungai.
Gn = Fase komponen tinggi muka sungai
n = Konstanta yang diperoleh dari hasil perhitungan astronomis
t = waktu
Penentuan referensi tinggi dari data pasang surut ditentukan dengan rumus-rumus
sebagai berikut (Surimiharja, 1997) :
dimana :
O1 : unsur tinggi muka air tunggal utama yang disebabkan oleh pasut dengan gaya tarik
bulan
K1 : unsur tinggi muka air tunggal yang disebabkan oleh pasut dengan gaya tarik matahari
M2 : unsur tinggi muka air ganda utama yang disebabkan oleh pasut dengan gaya tarik bulan
S2 : unsur tinggi muka air ganda utama yang disebabkan oleh pasut dengan gaya tarik
matahari
Lalu setelah didapatkan ketinggian bidang referensi yang diinginkan, selanjutnya
sudah dapat dilaksanakan survei batimetri dengan melakukan pengamatan tinggi
muka sungai kembali saat survei batimetri dilangsungkan .
MWL = S0
HHWL = S0+(M2+S2)+(O1+K1)
LLWL = S0 -(M2+S2)-(O1+K1)
12
2.1.2 Survei Batimetri
Survei batimetri adalah proses penggambaran garis-garis kontur kedalaman dasar
perairan yang meliputi pengukuran, pengolahan, hingga visualisasinya. Pada survei
batimetri akan didapatkan garis-garis kontur kedalaman, dimana garis-garis tersebut
didapat dengan menginterpolasikan titik-titik pengukuran kedalaman yang tersebar
pada lokasi yang dikaji (Djunarsjah, 2005).
Selain informasi kedalaman, dibutuhkan juga informasi posisi dari titik kedalaman
tersebut. Kegiatan penentuan posisi dan penentuan kedalaman dari suatu titik harus
dilakukan dalam waktu yang bersamaan, dengan adanya posisi dan kedalaman dari
posisi tersebut, kita dapat membangun topografi dari dasar perairan. Pekerjaan
penentuan posisi beserta kedalamannya umumnya disebut dengan kegiatan
pemeruman.
Untuk menentukan sebuah kedalaman, diperlukan suatu bidang referensi kedalaman,
pemilihan bidang referensi bergantung pada maksud dan tujuan dari masing-masing
aplikasi seperti perencanaan, dan perancangan pelabuhan, keselamatan pelayaran,
dan lain-lain. Bidang referensi yang digunakan dalam kegiatan pemeruman kali ini
adalah muka sungai rata-rata dan Lowest Low Water Level (LLWL) dikarenakan
hasil survei ini akan dipakai untuk kegiatan keselamatan dan perawatan alur
pelayaran.
Untuk memperoleh kedalaman yang bereferensikan terhadap datum vertikal, selama
kegiatan survei batimetri harus dilakukan pengamatan tinggi muka sungai.
Kedudukan muka air yang selalu bevariasi akan menghasilkan kedalaman sesaat
pada waktu tertentu, dengan melakukan pengamatan tinggi muka sungai pada waktu
yang sama dengan kegiatan penentuan kedalaman, maka kita dapat mereduksi data
ukuran kedalaman agar dapat mengacu terhadap datum vertikal yang telah disepakati
sebelumnya.
2.1.2.1 Tujuan Kegiatan Survei Batimetri
Kegiatan batimetri yang dilakukan di PT BERAU COAL bertempat di sungai dan
kolam atau danau buatan, hasil dari survei batimetri digunakan untuk mengetahui
topografi dasar perairan, salah satu aplikasi dari survei ini adalah dalam keperluan
13
pengerukan (dredging), baik itu untuk keamanan pelayaran, perencanaan pelabuhan,
penentuan tempat parkir kendaraan sungai, untuk pemantauan pergerakan
sedimentasi di dasar sungai dan lain-lain
2.1.2.2 Metode yang Digunakan
Pengukuran kedalaman dan penentuan posisi merupakan bagian terpenting dalam
kegiatan pemeruman, metode yang digunakan dalam kegiatan pemeruman pada
Tugas Akhir ini adalah metode akustik dengan menggunakan Single-Beam
Echosounder .
Pengukuran kedalaman menggunakan metode akustik merupakan metode yang
paling populer dalam dunia hidrografi pada saat ini. Gelombang akustik dapat
merambat dengan lebih baik pada medium air dibandingkan pada medium udara,
sehingga gelombang ini efektif digunakan dalam penentuan kedalaman air. Metode
ini hanya menerapkan konsep fisika sederhana dalam menentukan jarak
menggunakan gelombang, jarak dasar perairan relatif terhadap sumber gelombang
dengan rumus (Djunarsjah, 2005):
Dimana :
du = kedalaman hasil ukuran
v = kecepatan suara dalam air
t = selisih waktu pengiriman dan penerimaan sinyal
Pada proses peremuman, single-beam echosounder mengirimkan sebuah gelombang
suara yang merambat melalui medium dan memantulkan kembali gelombang
tersebut setelah menyentuh dasar perairan. Perbedaan intensitas dan waktu tempuh
gelombang saat gelombang dipancarkan dan diterima kembali menjadi hal utama
yang diukur dalam proses pengukuran batimetri menggunakan metode akustik,
gambar pengukuran kedalaman menggunakan metode akustik dengan alat single-
beam echosounder dapat dilihat pada gambar 2.4.
tvdu 2
1
14
(sumber : www.bayoffundy.com)
Dalam penentuan posisi secara horisontal, digunakan system Global Positining
System (GPS) sebagai teknologi penentuan posisi dari kedalaman, adapun metode
penentuan posisi horisontal yang digunakan ialah Real Time Kinematik GPS atau
RTK-GPS.
2.1.3 Penentuan Posisi Horisontal Menggunakan RTK- GPS
Sistem RTK (Real-Time Kinematic) adalah sistem penentuan posisi real-time secara
differensial yang menggunakan data fase (Abidin, ZH. 2006) Sistem ini merupakan
sistem penentuan posisi real-time secara diferensial yang menggunakan lebih dari
satu antena GPS sekaligus. Dimana satu antena digunakan sebagai stasiun referensi
dan antena lainnya dipasang pada wahana bergerak atau rover. Sistem ini dapat
disebut real-time karena stasiun monitor GPS mengirimkan data koreksi ke wahana
bergerak atau rover secara real-time menggunakan sistem komunikasi data tertentu.
Melalui gelombang radio koreksi ini dikirimkan setiap saat dari stasiun monitor ke
stasiun rover melalui antena differensial untuk kemudian di aplikasikan pada tiap
sinyal satelit yang diterima oleh rover, seperti terlihat pada gambar 2.5. Untuk
metode Real Time Kinematik memiliki ketelitian yang sangat tinggi yang dapat
mencapai 10 cm. Dengan cara ini maka secara real time nilai koordinat rover akan
dapat ditentukan untuk penentuan posisi pada pekerjaan survei hidrografi.
Gambar 2.4 Pengukuran Kedalaman Secara Akustik (Single-Beam Echosounder )
15
2.2 Spesifikasi Alur Pelayaran
Keselamatan pelayaran adalah hal yang paling diutamakan dalam kegiatan
transportasi hasil batubara. Alur pelayaran di pelabuhan sungai ini tidak dapat
terlepas dari pekerjaan survei hidrografi. Oleh karena itu, kedalaman, panjang, dan
lebar alur pelayaran menjadi salah satu persyaratan navigasi yang penting, hal ini
tentu saja dipengaruhi oleh kondisi fisik alam (kondisi sungai, iklim, cuaca, dan
karakteristik sungai). Agar alur pelayaran sungai dapat berfungsi dengan baik dan
aman, maka diperlukan sebuah kegiatan pemeliharaan secara berkala yang
diperlukan karena kedalaman sungai cenderung berubah-ubah (Kramadibrata, 2002).
Berdasarkan hasil konferensi International Association of Ports and Harbours
(IAPH) Juni 1983 di Vancouver, Kanada, merekomendasikan bahwa pada umumnya
seluruh pelabuhan harus melakukan kegiatan pemeliharaan alur pelayaran secara
kontinu (terus-menerus) di sepanjang alur pelayaran untuk mengakomodasikan
kapal-kapal yang masuk dan menjaga keamanan serta keselamatan pelayaran agar
sesuai dengan persyaratan navigasi yang baik dan benar.
Jenis pelayaran sungai yang relatif dilewati oleh kapal-kapal kecil menyebabkan
spesifikasi alur ini menjadi tidak terlalu diperhatikan. Namun mengingat akan
diadakannya sebuah kegiatan transportasi batubara yang memerlukan kapal-kapal
yang berdimensi besar, spesifikasi ini menjadi penting dan harus diperhatikan dalam
rangka menciptakan alur pelayaran yang aman.
Gambar 2.5 Metode Real Time Kinematic GPS (RTK-GPS)
Sinyal Frekuensi
Radio Rover
Stasiun
Referensi
Satelit
GPS
16
Pertama-tama dijelaskan terlebih dahulu gambaran mengenai jenis-jenis kapal yang
akan melewati daerah Sungai Kelay, Berau, Kalimantan Timur.
2.2.1 Jenis-Jenis Kapal
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya untuk menentukan spesifikasi alur
pelayaran sungai, perlu diketahui dimensi dari kapal yang akan melewati wilayah
perairan tersebut. Dimensi ini meliputi panjang, lebar, dan batas kedalaman (draft)
dari kapal tersebut, jenis kapal yang biasa digunakan oleh PT BERAU COAL dalam
kegiatan transportasi hasil pertambangan batubara diantaranya adalah (Shipping
Dept. PT BERAU COAL):
1. Kapal Tongkang (Barge)
Kapal tongkang adalah kapal yang tidak memiliki mesin dan awak, kapal ini
difokuskan untuk mengangkut muatan dalam jumlah besar, terdapat dua jenis
dimensi dari kapal tongkang yang digunakan oleh PT BERAU COAL yaitu
(Shipping Dept. PT BERAU COAL):
a) Kapal tongkang besar (300 ft):
Nama : RMN 365
Panjang : 91.44 m
Lebar : 24.38 m
Draft maksimum : 5.49 m
Kapasitas kargo : 7500 MT
b) Kapal tongkang sedang (270 ft)
Nama : RMN 2703
Panjang : 79.01 m
Lebar : 21.4 m
Draft maksimum : 4.9 m
Kapasitas Kargo : 5550 MT
Penggunaan tongkang ini selalu disertai dengan penggunaan kapal tunda (tugboat)
yang berfungsi untuk menarik dan mengarahkan kapal tongkang menuju tempat yang
diinginkan.
17
Salah satu jenis kapal tongkang dapat dilihat pada gambar 2.6.
(Sumber : PT BERAU COAL)
2. Kapal Tunda (Tugboat)
Kapal tunda ini digunakan sebagai kapal penggerak dari sebuah kapal tongkang,
biasanya satu kapal tongkang dapat digerakkan oleh 2 kapal tunda sekaligus. Jenis
dan dimensi dari kapal tunda yang digunakan adalah (Shipping Dept. PT BERAU
COAL):
a) Nama : KSA 12
b) Panjang : 25.44 m
c) Lebar : 7.75 m
d) Draft maksimum : 3.55 m
Salah satu jenis kapal tunda yang digunakan dapat dilihat pada gambar 2.7.
(Sumber : PT BERAU COAL)
Gambar 2.6 Kapal Tongkang RMN 365
Gambar 2.7 Kapal Tunda KSA 12
18
Setelah diketahui spesifikasi dan dimensi dari kapal yang akan digunakan, untuk
mendapatkan sebuah spesifikasi alur pelayaran yang aman, dibutuhkan informasi
mengenai kedalaman, dan lebar alur pelayaran yang sudah ada pada sungai tersebut.
Berikut adalah beberapa metode dan faktor-faktor yang digunakan untuk mendesain
alur pelayaran.
2.2.2 Kedalaman Alur Pelayaran
Setiap pelabuhan memiliki standar alur pelayaran yang berbeda-beda, lebar dan
kedalaman alur pelayaran merupakan faktor yang sangat penting dalam standardisasi
pelabuhan. Nilai kedalaman tersebut tidak boleh kurang dari ukuran draft kapal yang
melewati alur pelayaran tersebut, sehingga setiap pelabuhan memiliki klasifikasi
tersendiri bagi kapal-kapal yang akan melewati alur pelayaran pelabuhan.
Untuk mendapatkan kondisi operasi yang ideal, kedalaman air di alur pelayaran
harus cukup besar untuk memungkinkan pelayaran pada muka air rendah terendah
(LLWL) dengan kapal bermuatan maksimum, atau kedalaman alur harus lebih besar
dibandingkan dengan batas muatan kapal terbesar yang melewatinya. Selain faktor-
faktor tersebut, ada beberapa hal lain yang harus diperhatikan untuk menentukan
draft kedalaman pelabuhan.
Kedalaman alur pelayaran secara umum dapat ditentukan dengan menggunakan
rumus sebagai berikut (Kramadibrata, 2002):
H = d + G + R + P
Dimana:
H = Kedalaman alur
d = Draft kapal
G = Gerak vertikal kapal karena gelombang dan squat
R = Ruang bebas bersih untuk alur sebesar 10%-15% dari draft kapal
P = Ketelitian pengukuran
Secara grafis perhitungan kedalaman alur pelayaran digambarkan pada gambar 2.8 .
19
(Sumber : Soedjono Kramadibrata)
2.2.3 Lebar Alur Pelayaran
Pada dasarnya, faktor-faktor yang mempengaruhi lebar alur pelayaran agar dapat
dilalui kapal laut dengan aman diantaranya adalah jenis lalu-lintas (alur pelayaran
satu arah dan dua arah), ukuran kapal, dan sudut pembelokan air. Alur pelayaran satu
arah (gambar 2.9) dan alur pelayaran dua arah (gambar 2.10) memiliki geometri
lebar alur seperti terlihat pada gambar 2.9 dan gambar 2.10 (Kramadibrata,2002)
(Sumber : Soedjono Kramadibrata)
D 1
A A C
P
R
G
d
H
Permukaan Air Rendah Terendah
(LLWL)
Gambar 2.8 Skema penentuan kedalaman alur pelayaran
Gambar 2.9 Lebar alur pelayaran satu arah
20
(Sumber : Soedjono Kramadibrata)
Keterangan:
A : Faktor pengaman antara sisi alur sebesar 1.5 sampai 2 kali lebar kapal (B)
B : Lebar kapal yang direncanakan melewati alur pelayaran
C : Lebar untuk pergerakan horisontal kapal yang disebabkan alur pelayaran yang
tidak searah dengan arus air, sebesar 1.6 sampai 2 kali lebar kapal (B)
D1 : Lebar total alur pelayaran satu arah sebesar 4.6 sampai 6 kali lebar kapal
D2 : Lebar total alur pelayaran dua arah sebesar 6.2 sampai 9 kali lebar kapal
Selain dari kurangnya lebar, atau kedalaman sungai, terdapat beberapa faktor lainnya
yang dapat mengganggu aktifitas pelayaran untuk transportasi batubara. Jenis dari
bahaya ini dapat disebut dengan hambatan pelayaran sungai.
2.3 Hambatan Pelayaran Sungai
Hambatan pelayaran sungai adalah hal-hal yang dapat mengganggu aktifitas
pelayaran di sungai, hal ini dapat terjadi karena berbagai macam hal, diantaranya
adalah (Pelayaran Sungai dan Danau : www.wikibuku.co.id ) :
1. Tonggak-tonggak yang tertanam di sungai.
2. Dahan atau ranting-ranting kayu yang menjorok ketengah sungai serta sampah
rumah tangga.
3. Sisa-sisa penebangan kayu atau hutan yang terbawa oleh hutan yang terbawa arus
sungai.
A A C C E
D 2
Gambar 2.10 Lebar alur pelayaran dua arah
21
4. Balok-balok kayu yang terlepas dari ikatannya.
5. Batu-batuan dan segala macam endapan atau pendangkalan sungai
6. Jenis tumbuh-tumbuhan atau gulma yang berada di alur pelayaran, khususnya di
perairan tropis seperti di Pulau Kalimantan dengan jenis tanaman seperti eceng
gondok yang sering berada pada perairan yang kecepatan arusnya rendah.
7. Pendangkalan sungai atau alur karena daerah aliran sungai kurang dikendalikan
dengan baik, terutama tambang yang membuang sisa hasil tambang (tailing) ke
sungai mengakibatkan pendangkalan yang relatif cepat.
Untuk dapat menanggulangi berbagai jenis hambatan dan memenuhi spesifikasi alur
pelayaran yang diinginkan, salah satu jenis pekerjaan yang dapat adalah dengan
melaksanakan pekerjaan pengerukan.
2.4 Pekerjaan Pengerukan
Pengerukan merupakan proses pemindahan tanah dengan menggunakan suatu
peralatan atau suatu alat berat, dengan cara mekanis dan/atau hidraulis dari suatu
tempat ke tempat lain (misalnya dari suatu dasar sungai ke tempat lain), peralatan
yang lazim digunakan biasanya berupa kapal (Hermawan, 2010).
Pekerjaan pengerukan tentunya membutuhkan biaya yang besar, sehingga untuk
dapat melakukannya dibutuhkan sebuah perencanaan dan spesifikasi pekerjaan yang
rumit. Oleh karena itu biasanya kegiatan ini dilakukan setelah menilai konsekuensi
ekonomi yang dapat ditimbulkan untuk perusahaan yang melaksanakan kegiatan
tersebut.
Tujuan pekerjaan pengerukan adalah untuk berbagai macam keperluan, diantaranya
(Nugraha, 2008):
a) Memperdalam dasar sungai / laut
b) Memperbesar penampang sungai
c) Mengambil material pasir laut untuk keperluan urugan yang nantinya
dialokasikan untuk keperluan pembangunan atau reklamasi tanah
d) Mengambil material / tanah / lumpur di dasar sungai untuk keperluan
penambangan
22
e) Keperluan navigasi
f) Pengendalian banjir / pengambilan material di muara sungai (delta)
g) Rekayasa konstruksi dan reklamasi
h) Pemeliharaan pesisir / pantai
Berdasarkan keperluannya, pekerjaan pengerukan dapat dikelompokkan menjadi 4
jenis pekerjaan, yaitu (Dredging for Navigation – a handbook for port and
waterways authorities):
2.4.1 Pengerukan Awal (Capital Dredging)
Jenis pengerukan ini sangat diperlukan dalam pembuatan kolam / alur pelayaran
baru, guna mempermudah manuver bagi kapal-kapal yang berada di wilayah
perairan, membuat pelabuhan baru (termasuk alur pelayarannya).
Pekerjaan pengerukan ini merupakan suatu kegiatan konstruksi yang besar, dan
dalam beberapa kasus, pekerjaan ini memerlukan waktu yang cukup lama namun
memiliki hasil yang signifikan dan berkelanjutan. Seperti menciptakan sebuah
daratan, perbaikan lingkungan wilayah perairan serta membuat alur sungai.
2.4.2 Pengerukan Perawatan (Maintenance Dredging)
Jenis pengerukan ini merupakan pengerukan yang dilakukan secara berkala, dan
dilaksanakan dalam rangka untuk menjaga kedalaman alur pelayaran yang sudah ada
dari pendangkalan. peristiwa ini menyebabkan alur pelayaran menjadi tidak dapat
dilewati oleh kapal-kapal yang sesuai dengan kriteria pelabuhan tersebut.
Dalam kasus perairan sungai, penyebab dari pendangkalan yang paling utama adalah
sedimentasi. Fenomena ini dapat terjadi akibat adanya timbunan massa benda yang
diakibatkan oleh faktor alamiah seperti arus sungai, longsor, dan lain-lain.
2.4.3 Pengerukan Batu (Rock Dredging)
Jenis pengerukan ini merupakan pekerjaan yang paling sulit dan mahal, karena
material yang dikeruk berupa batu keras atau padatan lainnya yang memerlukan
bantuan peralatan khusus yang juga beresiko tinggi untuk merusak lingkungan dan
alam seperti bahan peledak dan linggis tajam (rock-breaker).