bab 2 landasan teori - library & knowledge center · mampu mengidentifikasi hasil atau...
TRANSCRIPT
11
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1. Kewirausahaan
2.1.1. Definisi Kewirausahaan (Entrepreneurship)
Topik mengenai kewirausahaan merupakan topik yang sedang hangat, karena
merupakan tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan sikap dan
kemampuan berwirausaha. Menurut Hisrich et al., dalam Wijanto(2009:3)
kewirausahaan merupakan sebuah proses menciptakan sesuatu yang baru dan
bernilai, dengan memanfaatkan usaha dan waktu yang diperlukan, dengan
memperhatikan risiko sosial, fisik, dan keuangan, dan menerima imbalan dalam
bentuk uang dan kepuasan personal serta independensi. Dari definisi ini dapat dilihat
adanya empat aspek dasar dari kewirausahaan yaitu :
1. Kewirausahaan melibatkan proses penciptaan. Proses penciptaan disini berarti
menciptakan sesuatu yang baru. Penciptaan harus memiliki sebuah nilai, baik
untuk wirausaha sendiri maupun orang lain.
2. Kewirausahaan memerlukan waktu dan usaha. Hanya mereka yang melalui
proses kewirausahaan menghargai waktu dan usaha yang mereka gunakan
untuk menciptakan sesuatu yang baru.
3. Kewirausahaan memiliki risiko tertentu. Risiko ini mengambil berbagai
bentuk pada area keuangan, psikologi, dan sosial.
4. Kewirausahaan melibatkan imbalan sebagai wirausaha. Imbalan yang penting
adalah independensi, diikuti oleh kepuasan pribadi.
Menurut Coulter (Suryana dan Kartib, 2011: 25) “kewirausahaan sering
dikaitkan dengan proses, pembentukan atau pertumbuhan suatu bisnis baru yang
berorientasi pada pemerolehan keuntungan, penciptaan nilai, dan pembentukan
produk atau jasa baru yang unik dan inovatif”. Zimmerer (Kasmir, 2011: 20)
menyatakan bahwa “kewirausahaan adalah suatu proses penerapan kreativitas dan
inovasi dalam memecahkan persoalan dan menemukan peluang untuk memperbaiki
kehidupan (usaha)”. Senada dengan pendapat tersebut, Ropke (Suryana dan Kartib,
2011:25) mengemukakan bahwa “kewirausahaan merupakan proses penciptaan
sesuatu yang baru (kreasi baru) dan membuat sesuatu yang berbeda dari yang telah
12
ada (inovasi), tujuannya adalah tercapainya kesejahteraan individu dan nilai
tambah bagi masyarakat”. Meredith (Suryana, 2008: 17) mengemukakan bahwa:
Berwirausaha berarti memadukan watak pribadi, keuangan, dan sumber daya.
Oleh karena itu, berwirausaha merupakan suatu pekerjaan atau karier yang
harus bersifat fleksibel dan imajinatif, mampu merencanakan, mengambil
risiko, keputusan, dan tindakan untuk mencapai tujuan.
Dari beberapa pendapat tersebut, terlihat ada kesamaan inti antara definisi
kewirausahaan yang satu dengan definisi lainnya. Kewirausahaan merupakan proses
penerapan kreativitas dan inovasi untuk menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda
dengan menggunakan waktu, modal, serta berani mengambil risiko untuk
menghasilkan nilai tambah dan kesejahteraan bagi masyarakat.
2.1.2. Definisi Wirausaha (Entrepreneur)
Ada banyak pemahaman mengenai apa itu wirausaha, ada yang menganggap
sebagai orang yang berhasil mengambil resiko, orang yang berani menghadapi
ketidakpastian, orang yang membuat rencana kegiatan sendiri, atau orang yang
menciptakan kegiatan usaha dan kegiatan industri yang sebelumnya tidak ada (Alma,
2010: 25). Menurut Alma (2010: 5), wirausaha adalah seorang innovator, sebagai
individu yang mempunyai naluri untuk melihat peluang-peluang, mempunyai
semangat, kemampuan dan pikiran untuk menaklukan cara berpikir lamban
Menurut Kuratko (2009: 21), wirausaha merupakan proses dinamis dari visi,
perubahan, dan penciptaan yang membutuhkan usaha dan semangat terhadap
penciptaan dan implementasi ide baru dan solusi kreatif. Secara terperinci Kuratko
(2009: 4) menjelaskan bahwa wirausaha adalah seorang innovator atau pengembang
yang mampu mengenali dan mengambil peluang; mengubah peluang tersebut
menjadi ide yang workable/marketable; penambahan nilai pada ide tersebut melalui
waktu, usaha, uang, atau keterampilan; mampu melihat resiko dari lingkungan yang
kompetitif sebagai pertimbangan dari keputusan implementasi ide tersebut; dan
mampu mengidentifikasi hasil atau penghargaan dari usaha yang dilakukan.
Seperti yang dijelaskan Kuratko , menurut Meredith (Suryana dan Kartib,
2011: 28), wirausaha adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan melihat dan
menilai kesempatan usaha mengumpulkan serta sumber daya yang dibutuhkan guna
13
mengambil keuntungan daripadanya dan mengambil tindakan yang tepat guna
memastikan kesuksesan. Zimmerer, Scarborough, dan Wilson (2008: 4) menyatakan
bahwa:
Wirausahawan adalah seseorang yang menciptakan bisnis baru dengan
mengambil risiko dan ketidakpastian demi mencapai keuntungan dan
pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang yang signifikan dan
menggabungkan sumber daya yang diperlukan sehingga sumber daya-sumber
daya itu bisa dikapitalisasikan.
Menurut Dewanti (2008: 4) wirausahawan adalah orang yang menciptakan
bisnis dengan mengambil resiko dan ketidakpastian demi mencapai keuntungan dan
pertumbuhan dengan cara mengidentifikasi peluang dan menggabungkan sumber
daya yang diperlukan untuk mendirikannya. Pendapat senada disampaikan oleh
Steinhoff dan Burgess (Suryana dan Kartib,2011: 27) yang menyatakan bahwa
“wirausaha merupakan orang yang mengorganisasi, mengelola, dan berani
menanggung risiko untuk menciptakan usaha baru dan peluang berusaha”.
Suryana (2008: 3) menyatakan bahwa “wirausaha adalah orang yang berani
menghadapi risiko dan menyukai tantangan”. Kasmir (2011:19) juga
mengungkapkan hal serupa bahwa “wirausahawan (entrepreneurs) adalah orang
yang berjiwa berani mengambil risiko membuka usaha dalam berbagai kesempatan”.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa wirausaha adalah seseorang yang berani
mengambil resiko dan memiliki kemampuan untuk melihat dan mengevaluasi
peluang bisnis, serta mampu memperoleh sumber daya yang diperlukan untuk
mengambil keunggulan darinya dan berinisiatif mengambil tindakan yang tepat
untuk mencapai kesuksesan.
2.1.3. Keuntungan dan Kelemahan Menjadi Wirausaha
Pengambilan keputusan menjadi wirausaha memiliki sisi positif dan negatif yang
dapat disebut sebagai keuntungan dan kelemahan menjadi wirausaha. Menurut
Dewanti (2008: 9) manfaat menjadi wirausahawan dan pemilik bisnis yaitu:
1. Peluang untuk mengendalikan diri sendiri untuk menentukan sasaran yang
penting.
2. Kesempatan melakukan perubahan yang dianggap penting.
14
3. Peluang untuk menggunakan potensi sepenuhnya. Bisnis merupakan alat
aktualisasi diri dimana pertumbuhan diri hanya dibatasi oleh bakat dan
kekuatan sendiri.
4. Peluang untuk meraih keuntungan tanpa batas.
Tabel 2.1. Perbandingan Manfaat Antara Pekerja dan Pengusaha
URAIAN PEKERJA PENGUSAHA
Hasil minimal yang
diterima
Gaji + tunjangan Keuntungan perusahaan
Hasil maksimal yang
akan diterima bila
mencapai target dari
pekerjaan (kontribusi ke
perusahaan)
Bonus atau insentif
Invetaris kendaraan
Laba dari total omset
Investasi aktiva tetap
(milik sendiri)
Pendapatan dari usaha Sebagian kecil milik
pribadi
Sebagian besar milik
perusahaan
Sumber : Hendro et, al (2006 : 38)
5. Peluang untuk berperan bagi masyarakat dan medapatkan pengakuan atas
usaha sendiri. Memberikan citra yang baik bagi perekonomian nasional atau
masyarakat sekitarnya adalah kepuasan pribadi baginya.
6. Peluang melakukan sesuatu yang disukai.
Pendapat serupa juga disampaikan Alma (2010: 4) keuntungan menjadi
wirausaha adalah:
1. Terbuka peluang untuk mencapai tujuan yang dikehendaki sendiri.
2. Terbuka peluang untuk mendemonstrasikan kemampuan serta potensi
seseorang secara penuh.
3. Terbuka peluang untuk memperoleh manfaat dan keuntungan secara
maksimal.
4. Terbuka peluang untuk membantu masyarakat dengan usaha-usaha konkrit.
5. Terbuka kesempatan untuk menjadi bos.
15
Lambing dan Kuehl (Suryana, 2009:70) berpendapat bahwa keuntungan
berwirausaha adalah:
1. Otonomi. Pengelolaan yang bebas dan tidak terikat membuat wirausaha
menjadi seorang “bos” yang penuh kepuasan.
2. Tantangan awal dan perasaan motif berprestasi. Tantangan awal atau
perasaan bermotivasi yang tinggi merupakan hal yang menggembirakan.
Peluang untuk mengembangkan konsep usaha yang dapat menghasilkan
keuntungan sangat memotivasi wirausaha.
3. Kontrol finansial. Wirausaha memiliki kebebasan untuk mengelola
keuntungan dan merasa kekayaan sebagai milik sendiri.
Ada beberapa kelemahan dalam berwirausaha. Menurut Dewanti (2008:9)
manfaat menjadi wirausahawan dan pemilik bisnis yaitu:
1. Pendapatan yang tidak pasti
2. Resiko kehilangan seluruh investasi.
Tabel 2.2. Perbandingan Risiko Antara Pekerja dan Pengusaha
URAIAN PEKERJA PENGUSAHA
Minimal Diberi peringatan (SP) Rugi kecil atau tidak
untung
Sedang PHK Rugi besar
Maksimal Tidak/belum mendapat
pekerjaan lagi
Bangkrut, namun sebelum
bangkrut pekerja yang
tidak berpotensi akan
diberhentikan dahulu agar
tidak bangkrut untuk
diganti dengan yang lebih
baik
Sumber : Hendro et, al (2006 : 38)
3. Bekerja lama dan kerja keras.
4. Mutu hidup yang rendah sampai bisnisnya mapan.
5. Ketegangan mental yang tinggi yang terjadi akibat penanaman modal yang
berdampak pada kekhawatiran akan
16
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Alma (2010:4), kelemahan berwirausaha
yaitu:
1. Memperoleh pendapatan yang tidak pasti, dan memikul berbagai risiko.
2. Bekerja keras dan waktu/jam kerjanya panjang.
3. Kualitas kehidupannya masih rendah sampai usahanya berhasil, sebab dia
harus berhemat.
4. Tanggung jawabnya semakin sangat besar, banyak keputusan yang harus dia
kurang menguasai permasalahan yang dihadapinya.
Kelemahan berwirausaha menurut Lambing dan Kuehl (Suryana, 2009:70) yaitu:
1. Pengorbanan personal. Pada awalnya, wirausaha, harus bekerja dengan waktu
yang lama dan sibuk.
2. Beban tanggung jawab. Wirausaha harus mengelola semua fungsi bisnis, baik
pemasaran, keungan, personal, maupun pengadaan dan pelatihan.
3. Kecilnya margin keuntungan dan besarnya kemungkinan gagal. Wirausaha
menggunakan sumber dana miliknya sendiri, maka margin laba/keuntungan
yang diperoleh relatif kecil.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
keuntungan menjadi wirausaha yaitu memiliki kesempatan untuk mencapai tujuan
yang dikehendaki sendiri, memiliki peluang untuk menggunakan potensi
sepenuhnya, membantu masyarakat dengan usaha-usaha yang nyata, berkesempatan
menjadi bos, bebas melakukan apapun pada usahanya, termotivasi untuk sukses,
bebas mengelola keuangan sendiri, dan mendapatkan laba.
Adapun kelemahan menjadi wirausaha yaitu pendapatan tak pasti, jam
kerjanya panjang, tanggung jawab besar yang meliputi semua hal, pada awal usaha
labanya kecil dan memiliki kemungkinan gagal.
17
2.2. Intensi
2.2.1. Definisi Intensi
Ajzen (Teo dan Lee, 2010), mengemukakan definisi intensi yaitu indikasi
seberapa kuat keyakinan seseorang akan mencoba suatu perilaku, dan seberapa besar
usaha yang akan digunakan untuk melakukan sebuah perilaku. Intensi memiliki
korelasi yang tinggi dengan perilaku, oleh karena itu dapat digunakan untuk
meramalkan perilaku (Ajzen, 2005).
Lebih lanjut Krueger dan Carsrud (Vemmy,2012:119), menyatakan bahwa
intensi telah terbukti menjadi prediktor yang terbaik bagi perilaku kewirausahaan.
Choo dan Wong (Vemmy, 2012:119) menyatakan bahwa intensi dapat dijadikan
sebagai pendekatan dasar yang masuk akal untuk memahami siapa-siapa yang akan
menjadi wirausaha.
Bandura (Vemmy, 2012:119) menyatakan bahwa:
Intensi merupakan suatu kebulatan tekad untuk melakukan aktivitas tertentu
atau menghasilkan suatu keadaan tertentu di masa depan. Intensi menurutnya
adalah bagian vital dari self regulation individu yang dilatarbelakangi oleh
motivasi seseorang untuk bertindak.
Intensi berkaitan dengan indikasi akan seberapa susah seseorang mencoba
untuk memahami, seberapa besar usaha seseorang dalam merencanakan sesuatu,
untuk melakukan suatu perilaku tertentu (Hisrich, Peters dan Shepherd, 2010:38)
Van Gelderen, et al. (Vemmy, 2012:120) intensi diwakili oleh empat faktor,
yaitu : desires, preferences, plans dan behavior expectancies. Desires adalah sesuatu
dalam diri seseorang yang berupa keinginan untuk memulai suatu usaha. Preferences
adalah suatu dalam diri seseorang yang menujukkan bahwa berwirausaha adalah
suatu kebutuhan yang harus dicapai. Plans adalah suatu harapan yang ada dalam diri
seseorang untuk memulai suatu usaha dimasa akan datang. Sedangkan behavior
expectancies adalah suatu kemungkinan untuk berwirausaha dengan diikuti oleh
target memulai usaha.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa intensi
merupakan indikator penting yang dapat digunakan untuk memprediksi suatu
perubahan perilaku di masa mendatang karena intensi mempunyai hubungan yang
sangat dekat dengan perilaku yang diinginkan.
18
2.2.2. Teori Planned Behavior
Theory of planned behavior merupakan teori yang dikembangkan oleh Ajzen
yang merupakan penyempurnaan dari theory of reasoned action yang dikemukakan
oleh Fishbein dan Ajzen. Fokus utama dari teori planned behavior ini sama seperti
teori reasoned action yaitu intensi individu untuk melakukan perilaku tertentu.
Intensi dianggap dapat melihat faktor-faktor motivasi yang mempengaruhi perilaku.
Intensi merupakan indikasi seberapa keras orang mau berusaha untuk mencoba dan
berapa besar usaha yang akan dikeluarkan individu untuk melakukan suatu perilaku.
Theory of reasoned action mengatakan ada dua faktor penentu intensi yaitu
sikap individu terhadap perilaku dan norma subjektif . Sikap merupakan evaluasi
positif atau negatif individu terhadap perilaku tertentu (Ajzen, 2012 : 441).
Sedangkan norma subjektif adalah persepsi seseorang terhadap tekanan sosial untuk
melakukan atau tidak melakukan perilaku tertentu (Ajzen, 2012 : 443). Namun Ajzen
(2012) berpendapat bahwa teori reasoned action belum dapat menjelaskan tingkah
laku yang tidak sepenuhnya berada di bawah kontrol seseorang. Karena itu dalam
theory of planned behavior Ajzen menambahkan satu faktor yang menentukan
intensi yaitu perceived behavioral control. Perceived behavioral control merupakan
persepsi individu terhadap kontrol yang dimilikinya sehubungan dengan perilaku
tertentu (Ajzen, 2012 : 447). Faktor ini menurut Ajzen (2012) mengacu pada persepsi
individu mengenai mudah atau sulitnya memunculkan tingkah laku tertentu dan
diasumsikan merupakan refleksi dari pengalaman masa lalu dan juga hambatan yang
diantisipasi. Menurut Ajzen (2012: 448) ketiga faktor ini yaitu sikap, norma
subjektif, dan perceived behavioral control dapat memprediksi intensi individu
dalam melakukan perilaku tertentu.
Gambar 2.1. Theory of Planed Behavior
Sumber : Azjen (2005)
19
2.2.3. Aspek-Aspek Intensi
Aspek intensi merupakan aspek-aspek yang mendorong niat individu
berperilaku seperti keyakinan dan pengendalian diri. Terbentuknya perilaku dapat
diterangkan dengan teori planned behavior yang telah dijabarkan sebelumnya. Teori
ini menyebutkan bahwa intensi adalah fungsi dari tiga determinan dasar (Azjen,
2012), yaitu:
1. Sikap terhadap perilaku
Menurut Ajzen (2012:441) sikap terhadap perilaku didefinisikan
sebagai derajat penilaian positif atau negatif individu terhadap perilaku
tertentu. Sikap terhadap perilaku ditentukan oleh kombinasi antara behavioral
belief dan outcome evaluation. Behavioral belief adalah belief individu
mengenai konsekuensi positif atau negatif dari perilaku tertentu dan outcome
evaluation merupakan evaluasi individu terhadap konsekuensi yang akan ia
dapatkan dari sebuah perilaku. Rumusnya adalah sebagai berikut:
Sumber: Azjen (2012:441)
Berdasarkan rumus di atas sikap terhadap perilaku (AB) didapat dari
penjumlahan hasil kali antara belief terhadap outcome yang dihasilkan (bi)
dengan evaluasi terhadap outcome (ei) (Ajzen, 2012:441). Dapat disimpulkan
bahwa individu yang percaya dan memiliki evaluasi yang positif terhadap
outcome atau konsekuensi dari sebuah perilaku maka individu tersebut akan
memiliki sikap yang positif terhadap sebuah perilaku, begitu juga sebaliknya
,semakin individu percaya dan memiliki evaluasi yang negatif terhadap
outcome atau konsekuensi dari sebuah perilaku maka individu tersebut akan
memiliki sikap yang negatif terhadap sebuah perilaku tersebut
2. Norma Subjektif
Ajzen (2012:443) mengatakan norma subjektif merupakan fungsi
yang didasarkan oleh belief yang disebut normative belief dan motivation to
comply. Normative belief yaitu belief mengenai kesetujuan dan atau
ketidaksetujuan yang berasal dari referent atau orang dan kelompok yang
berpengaruh bagi individu (significant others) seperti orang tua, pasangan,
teman dekat, rekan kerja atau lainnya terhadap suatu perilaku. Sedangkan
20
motivation to comply adalah motivasi seseorang untuk mengikuti seseorang
atau kelompok yang menjadi referensi (Azjen, 2005).
Norma subjektif didefinisikan sebagai persepsi individu tentang
tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku (Ajzen,
2012 : 443). Norma subjektif ditentukan oleh kombinasi antara normative
belief individu dan motivation to comply.
Sumber : Azjen (2012:443)
Berdasarkan rumus di atas norma subjektif (SN) didapat dari
penjumlahan hasil kali dari normative belief (ni) dengan motivation to comply
(mi). (Ajzen, 2012 :443). Dapat disimpulkan, individu yang percaya bahwa
referent akan mendukung dan adanya motivasi untuk melakukan sebuah
perilaku akan merasakan tekanan sosial untuk melakukan perilaku tersebut,
dan begitu juga sebaliknya.
3. Perceived Behavioral Control
Perceived behavioral control menggambarkan tentang perasaan self
efficacy atau kemampuan diri individu dalam melakukan suatu perilaku.
Perceived behavioral control adalah persepsi individu mengenai kemudahan
atau kesulitan untuk melakukan perilaku tertentu (Ajzen, 2005). Azjen (2012,
446) menerangkan bahwa perceived behavioral control ditentukan oleh
kombinasi antara control belief dan perceived power control. Control belief
merupakan belief individu mengenai faktor pendukung atau penghambat
untuk memunculkan sebuah perilaku. Belief ini didasarkan pada pengalaman
terdahulu individu tentang suatu perilaku, informasi yang dimiliki individu
tentang suatu perilaku yang diperoleh dengan melakukan observasi pada
pengetahuan yang dimiliki diri maupun orang lain yang dikenal individu, dan
juga oleh berbagai faktor lain yang dapat meningkatkan ataupun menurunkan
perasaan individu mengenai tingkat kesulitan dalam melakukan suatu
perilaku. Sedangkan perceived power control adalah persepsi individu akan
kekuatan setiap faktor pendukung atau penghambat tersebut. Hubungan
antara control belief dan perceived power control dapat dilihat pada rumus
berikut:
21
Sumber : Azjen (2012:448)
Berdasarkan rumus di atas perceived behavioral control (PBC)
didapat dari penjumlahan hasil kali control belief (ci) dengan perceived
power control (pi) (Azjen, 2012 :448). Semakin besar persepsi mengenai
kesempatan dan sumber daya yang dimiliki individu maka semakin besar
Perceived Behavioral Control yang dimiliki orang tersebut.
2.3. Intensi Berwirausaha
2.3.1. Definisi Intensi Berwirausaha (Entrepreneurial Intention)
Menurut Lee dan Wong (Suharti dan Sirine, 2011:126) Entrepreneurial
intention atau intensi berwirausaha dapat diartikan sebagai langkah awal dari suatu
proses pendirian sebuah usaha yang umumnya bersifat jangka panjang (Lee &
Wong, 2004). Menurut Krueger (Suharti dan Sirine, 2011:126) intensi berwirausaha
mencerminkan komitmen seseorang untuk memulai usaha baru dan merupakan isu
sentral yang perlu diperhatikan dalam memahami proses kewirausahaan pendirian
usaha baru.
Menurut Ramdhani (Srimulyani, 2013:98) intensi berwirausaha adalah
faktor motivasional yang mempengaruhi individu - individu untuk mengejar hasil -
hasil wirausaha. Carsrud dan Brannback (2009:55) juga memberikan definisi dari
intensi berwirausaha yaitu keinginan untuk memulai suatu bisnis, untuk
menciptakan suatu usaha baru.
Dari definisi diatas dan dari pemahaman akan definisi intensi serta
wirausaha sebelumnya dapat disimpulkan bahwa intensi berwirausaha
(entrepreneurial intention) merupakan niat yang ada pada diri seseorang untuk
melakukan tindakan kewirausahaan.
2.3.2. Faktor-Faktor Pembentuk Intensi Berwirausaha
Alma (2007:9) menyatakan terdapat 3 faktor kritis yang berperan dalam
intensi berwirausaha yaitu:
1. Personal
Yaitu menyangkut aspek-aspek kepribadian seseorang. David Mcceland
dalam Alma (2009:13) dalam bukunya the achieving society menyatakan bahwa
22
seorang wirausaha adalah seseorang yang memiliki keinginan berprestasi yang
sangat tinggi dibandingkan orang yang tidak berwirausaha.
Juga Alma (2009:13) menyatakan dalam suatu peenlitian di Inggris
menyatakan bahwa minat dan motivasi seseorang membuka bisnis adalah 50% ingin
mempunyai kebebasan dengan berbisnis sendiri, hanya 18% menyatakan ingin
memperoleh uang dan 10% menyatakan jawaban membuka bisnis untuk kesenangan,
hobi, tantangan atau kepuasan pribadi dan melakukan kreatifitas.
2. Sociological
Yaitu menyangkut masalah hubungan dengan keluarga dan hubungan sosial
lainnya. Alma (2009:7) menyatakan masalah hubungan keluarga ini dapat dilihat dari
orang tua, pekerjaan , dan status social. Faktor sosial yang berpengaruh terhadap
intensi berwirausaha ialah masalah tanggung jawab terhadap keluarga. Selain itu
terhadap pekerjaan orang tua seringkali terlihat bahwa ada pengaruh dari orang tua
yang bekerja sendiri, dan memiliki usaha sendiri cenderung anaknya jadi pengusaha
pula. Keadaan ini seringkali memberi inspirasi pada anak kecil (Alma 2009:8).
Lingkungan dalam bentuk “role model” juga berpengaruh terhadap intensi
berwirausaha. Role model ini biasanya melihat kepada orang tua, saudara, keluarga
yang lain (kakek, paman , bibi, anak), teman-teman, pasangan atau pengusaha sukses
yang diidolakannya. Dorongan teman cukup berpengaruh terhadap semangat
berwirausaha, karena kita dapat berdiskusi dengan bebas, dibandingkan orang lain ,
teman biasa, memberi dorongan, pengertian, bahkan bantuan, tidak perlu takut
terhadap kritikan, di samping ini ada lagi faktor social lainnya yang berpengaruh.
3. Environmental
Yaitu menyangkut hubungan dengan lingkungan. Suryana (2008:63)
menyatakan faktor yang berasal dari lingkungan di antaranya adalah model peran,
peluang, aktivitas, selain itu di pengaruhi juga oleh pesaing, sumber daya, dan
kebijakan pemerintah. Seperti yang di contohkan oleh Alma (2009:13) bahwa ada
beberapa lokasi atau daerah yang banyak wirausahanya, seperti di daerah silicon
valley di Amerika Serikat di mana dijumpai banyak pengusaha-pengusaha besar, di
daerah tersebut dijumpai kegiatan wirausaha membeli dan menjual barang,
transportasi, pergudangan, perbankan, dan berbagai jasa konsultan. Suasana macam
23
ini sangat berpengaruh kepada masyarakat untuk menumbuhkan intensi
berwirausaha.
Selain itu Tjahjono (2008:46) juga menjelaskan bahwa menjelaskan bahwa
bagi banyak orang Keputusan untuk berwirausaha merupakan perilaku dengan
keterlibatan (high involvement) yang akan melibatkan beberapa faktor di antaranya
yaitu:
• Faktor Internal seperti kepribadian , persepsi, motivasi dan pembelajaran(sikap)
• Faktor Eksternal seperti keluarga, teman , tetangga dan lain sebagainya.
Dan menurut David Mclleland dalam Suryana (2008:62) mengemukakan
bahwa kewirausahaan ditentukan oleh motif berprestasi, optimisme, sikap nilai dan
status kewirausahaan atau keberhasilan.
2.3.2.1. Karakter Wirausaha
Menurut Baharuddin (2009:193) karakter adalah suatu keadaan jiwa yang
tampak dalam tingkah laku dan perbuatan sebagai akibat pengaruh pembawaan dan
lingkungan. Dengan kata lain, karakter tergantung pada kekuatan dari luar (eksogen).
Scerenco (Samani dan Hariyanto, 2012:2) mendefinisikan karakter sebagai atribut
atau ciri-ciri yang membentuk dan membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan
kompleksitas mental dari seseorang,suatu kelompok atau bangsa. Sedangkan
menurut Hermawan Kartajaya (Asmani, 2012:28) karakter adalah ciri khas yang
dimiliki seseorang dan ciri khas tersebut adalah asli mengakar pada kepribadian
seseorang tersebut,dan merupakan mesin pendorong bagaimana sesorang
bertindak,bersikap, berujar,dan merespon sesuatu. Jadi karakter individu merupakan
ciri khas yang dimiliki seseorang yang membedakan dirinya dengan individu lain
dalam bertindak , besikap , berujar dan merespon sesuatu.
Seperti yang sudah disimpulkan sebelumnya , pada umumnya wirausaha
adalah seseorang yang berani mengambil resiko dan memiliki kemampuan untuk
melihat dan mengevaluasi peluang bisnis , serta mampu memperoleh sumber daya
yang diperlukan untuk mengambil keunggulan darinya dan berinisiatif mengambil
tindakan yang tepat untuk mencapai kesuksesan.
Maka dapat disimpulkan bahwa karakter wirausaha adalah ciri khas yang
dimiliki wirausaha dalam melakukan kegiatan kewirausahaan seperti mengambil
resiko , melihat peluang , mengevaluasi bisnis serta memperoleh sumber daya.
24
(Merdeka, 2011) membuktikan bahwa karakter individu mempengaruhi
intensi berwirausaha. Hal ini juga diperkuat dengan penemuan (Mustofa, 2014)
dalam skripsinya yang menyatakan bahwa karakter wirausaha mempengaruhi intensi
berwirausaha secara positif dan signifikan.
Geoffrey G. Meredith et al (Darpujinto, 2014:23) mengemukakan daftar ciri-
ciri dan sifat-sifat sebagai profil wirausaha sebagaimana tersusun dalam tabel 2.3.
Tabel 2.3. Ciri dan Watak WIrausaha
Ciri-ciri Watak
Percaya Diri Keyakinan, ketidaktergantungan,
individualitas , optimis.
Berorientasikan tugas dan hasil Kebutuhan akan prestasi, berorientasi
laba, ketekunan, ketabahan , tekad kerja
keras, mempunyai dorongan kuat,
energetic, dan inisiatif.
Pengambilan Risiko Kemampuan mengambil resiko, suka
pada tantangan.
Kepemimpinan Bertingkah laku sebagai pemimpin, dapat
bergaul dengan orang lain, menanggapi
saran-saran dan kritik.
Keorisinilan Inovatif dan kreatif, fleksibel,
mengetahui banyak.
Orientasi masa depan Pandangan jauh ke depan
Sumber : Geoffrey G. Meredith et al, (Darpujinto, 2014:23)
2.3.2.2. Motivasi
Sardiman (2007: 73), menyebutkan motif dapat diartikan sebagai daya upaya
yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif dapat dikatakan sebagai
daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk melakukan aktifitas-aktifitas
tertentu demi mencapai suatu tujuan
Menurut Uno (2008:1) ,motivasi adalah dorongan dasar yang menggerakkan
seseorang bertingkah laku. Dorongan ini berada pada diri seseorang yang
menggerakkan untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan dorongan dalam
25
dirinya. Ada dua faktor yang mempengaruhi motivasi yaitu faktor intrinsik yang
terdiri kebutuhan, pengetahuan untuk kemajuan sendiri, aspirasi atau cita-cita dan
faktor ekstrinsik yang terdiri dari ganjaran, hukuman, persaingan atau kompetisi.
Menurut Uno (2008:23), motivasi yang timbul karena faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik memiliki indikator yaitu adanya hasrat dan keinginan berhasil, adanya
dorongan dan kebutuhan dalam berwirausaha, adanya harapan dan cita-cita masa
depan, adanya penghargaan dalam berwirausaha, adanya kegiatan yang menarik
dalam berwirausaha.
Sarosa (Rosmiati, Junias, dan Munawar, 2015:22) motivasi adalah suatu
dorongan dari dalam diri seseorang yang mendorong orang tersebut untuk melakukan
sesuatu, termasuk menjadi young entrepreneur. Kebanyakan orang yang berhasil di
dunia ini mempunyai motivasi yang kuat yang mendorong tindakan-tindakan
mereka. Mereka mengetahui dengan baik yang menjadi motivasinya dan memelihara
motivasi tersebut dalam setiap tindakannya.
Motivasi merupakan proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan
usaha untuk mencapai suatu tujuan (Robbins dan Timothy, 2009:222). Seseorang
yang mempunyai motivasi tinggi akan berusaha melakukan yang terbaik, memiliki
kepercayaan terhadap kemampuan untuk bekerja mandiri dan bersikap optimis, tidak
cepat puas atas hasil yang telah diperoleh serta mempunyai tanggung jawab yang
besar atas perbuatan yang dilakukan sehingga seseorang yang mempunyai motivasi
yang tinggi pada umumnya akan lebih cepat meraih keberhasilan.Dalam hal ini
motivasi yang tinggi dibutuhkan dalam meraih keberhasilan usaha.
Baum, Frese, and Baron (Rosmiati, Junias, dan Munawar, 2015:22)
menjelaskan bahwa motivasi dalam kewirausahaan meliputi motivasi yang diarahkan
untuk mencapai tujuan kewirausahaan, seperti tujuan yang melibatkan pengenalan
dan eksploitasi terhadap peluang bisnis. Motivasi menjadi entrepreneur adalah
sesuatu yang melatar belakangi atau mendorong seseorang melakukan aktivitas dan
memberi energi yang mengarah pada pencapaian kebutuhan, memberi kepuasan
ataupun mengurangi ketidakseimbangan dengan membuka suatu usaha atau bisnis
(Zimmerer,2008).
McClelland dalam Alma (2006) menyatakan bahwa ada tiga motif sosial
yang mempengaruhi tingkah laku seseorang jika ia berhubungan dengan orang lain di
dalam suatu lingkungan yakni:
26
a. Motif afiliasi (affiliation motive). Keinginan untuk bergaul dengan
orang lain secara harmonis, penuh keakraban, dan disenangi. Orang ini akan
berbahagia jika ia bisa diterima lingkungannya dan mampu membina
hubungan yang harmonis dengan lingkungannya. Orang seperti ini biasanya
merupakan teman yang baik dan menyenangkan.
b. Motif kekuasaan (power motive). Orang yang memiliki motivasi
berkuasa tinggi suka menguasai dan mempengaruhi orang lain, ia mau orang
lain melakukan apa yang diminta /diperintahkannya, ia cenderung tidak
mempedulikan perasaan orang lain, baginya keharmonisan bukanlah hal yang
utama, ia memberikan bantuan kepada orang lain bukan atas dasar belas
kasihan akan tetapi supaya orang yang dibantunya menghormati dan kagum
kepadanya sehingga ia bisa menunjukkan kelebihannya kepada orang lain dan
agar orang lain mau terpengaruh oleh mereka sehingga bisa diperintah dan
diaturnya.
c. Motif berprestasi (achievement motive). Orang yang memiliki motif
berprestasi fokus pada cara-cara untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi.
Segumpan dan Zahari (Al-Harrasi, Al-Zadjali, dan Al-Salti, 2014)
menyebutkan bahwa kebutuhan akan pendapatan yang lebih tinggi dan keinginan
untuk status sosial dan profesional yang lebih tinggi adalah motivasi untuk memulai
bisnis. Ditemukan bahwa keinginan akan pendapatan yang lebih tinggi dan
kurangnya kesempatan kerja yang sesuai adalah motivator kunci untuk memulai
bisnis (Perri dan Chu, 2012). Pengusaha termotivasi untuk memulai bisnis mereka
sendiri untuk memberikan keamanan bagi mereka dan keluarga mereka dan untuk
meningkatkan pendapatan (Stefanovic , Prokie dan Rankovic, 2010) .Status mengacu
pada posisi relatif individu terhadap orang lain dalam situasi sosial tertentu (Al-
Harrasi, Al-Zadjali, dan Al-Salti, 2014).
2.3.2.3. Self-efficacy
Menurut King (2012: 153), efikasi diri adalah keyakinan bahwa seseorang
dapat menguasai suatu situasi dan menghasilkan berbagai hasil positif”. Lebih lanjut,
King (2012: 153) menjelaskan bahwa “efikasi diri membantu orang-orang dalam
berbagai situasi yang tidak memuaskan dan mendorong mereka untuk meyakini
bahwa mereka dapat berhasil
27
Menurut Ivancevich, Konopaske, dan Matteson (2006:99) self - efficacy
merupakan keyakinan pribadi mengenai kemampuan diri untuk menyelesaikan suatu
tugas dengan berhasil. Faktor yang berperan penting dalam pengembangan self -
efficacy seseorang adalah pengalaman masa lalu. Jika pada masa lalu seseorang
berhasil dalam menyelesaikan suatu tugas, seseorang akan lebih memiliki rasa
percaya diri dan keyakinan yang meningkat dalam kemampuannya untuk
melaksanakan tugas dengan baik. Self - efficacy berhubungan dengan kinerja
seseorang dalam pekerjaan, pilihan karier, pembelajaran dan pencapaian, serta
kemampuan beradaptasi dengan teknologi baru.
Menurut Bandura dalam Luthans (2006:338) efikasi diri adalah mengacu
pada keyakinan individu mengenai kemampuannya untuk memobilisasi motivasi,
sumber daya kognitif, dan tindakan yang diperlukan agar berhasil melaksanakan
tugas dalam konteks tertentu.Individu yang memiliki efikasi tinggi berfokus pada
peluang yang layak dikejar dan melihat rintangan sebagai hal yang dapat diatasi.
Individu dengan efikasi diri tinggi pasti akan mengharapkan keberhasilan dan
mendapatkan yang diinginkan dan insentif hasil yang positif. Seseorang yang
mempunyai kepercayaan bahwa orang tersebut akan menjadi seorang entrepreneur
yang sukses maka semakin besar pula keinginan orang tersebut untuk menjadikan
entrepreneurship sebagai pilihan dalam berkarier (Lambing dan Kuehl, 2007:21).
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa efikasi
diri (self-efficacy) merupakan keyakinan pada kemampuan yang dimiliki oleh
seseorang. Apabila seseorang tidak yakin dapat memproduksi hasil yang mereka
inginkan, mereka memiliki sedikit motivasi untuk bertindak. Seseorang yang
memiliki efikasi diri (self-efficacy) tinggi mempunyai potensi untuk dapat mengubah
kejadian di lingkungannya, akan lebih mungkin untuk bertindak dan lebih mungkin
untuk menjadi sukses daripada orang yang mempunyai efikasi diri (self-efficacy)
yang rendah.
2.3.2.4. Entrepreneurial Learning
Menurut Rae dan Carswell (Susetyo dan Lestari, 2014:188) kemampuan
untuk belajar penting dalam mengembangkan kemampuan kewirausahaan, dengan
keberhasilan pembelajaran, keterampilan, pengetahuan dan kemampuan yang
dibutuhkan, pengembangan usaha dapat dilakukan. Entrepreneurial Learning di
dalam (Rae dan Wang, 2015: 16) didefinisikan sebagai pembelajaran yang
28
memberikan informasi pada wirausaha dalam mencari peluang baru (Franco and
Haase,2009), bagaimana wirausaha menambah dan memperbarui pengetahuan
(Minniti dan Bygrave ,2001), pembelajaran untuk bekerja dengan cara
kewirausahaan (Rae, 2000), pembelajaran yang dialami oleh wirausaha selama
pembuatan dan pengembangan usaha baru atau bentuk pembelajaran yang bisa
digambarkan sebagai kewirausahaan (Cope, 2005), pembelajaran yang dialami oleh
pengusaha (Cope,2003; Cope and Watts,2000), dan apa , bagaimana dan mengapa
wirausaha belajar (Parker,2006) Jadi dapat disimpulkan bahwa Entrepreneurial
Learning adalah mengenai apa dan bagaimana seorang wirausaha melakukan
pembelajaran yang berhubungan dengan kewirausahaan.
Berdasarkan pengertian sebelumnya maka Entrepreneurial learning dapat
didefinisikan dalam 2 aspek (Susetyo dan Lestari, 2014) yaitu entrepreneurial
knowledge dan entrepreneurial experience. Entrepreneurial knowledge adalah
kursus bisnis yang disampaikan dalam ruang kelas. Tujuan dari program ini adalah
untuk memberikan siswa pengetahuan tentang bisnis dan kewirausahaan. Menurut
Ackoff (Susetyo dan Lestari, 2014) definisi pengetahuan adalah sebagian besar
terkait dengan terminologi data, informasi, kecerdasan, kecakapan, ide, intuisi atau
wawasan,di mana mereka semua tergantung pada konteks kata pengetahuan
digunakan. Sedangkan entrepreneurial experience merupakan kegiatan yang
mendorong siswa untuk memiliki praktik bisnis dengan menyediakan beberapa event
bisnis untuk menerapkan pengetahuan bisnis mereka. Tujuan berlatih bisnis untuk
siswa adalah untuk memperkaya pengalaman dan wawasan siswa dalam
mengembangkan kegiatan usaha (Susetyo dan Lestari, 2014).
Menurut Azjen (Khuong dan An, 2016:105) adanya kontak dengan
pendidikan kewirausahaan sebelumnya memiliki dampak tertentu pada sikap siswa
terhadap kewirausahaan dan intensi untuk memilih kewirausahaan sebagai profesi
masa depan mereka. Dalam penelitian lain (Mai dan Anh, 2013) pengaruh isi
program perkuliahan untuk kewirausahaan benar-benar penting untuk meningkatkan
kesadaran kewirausahaan.
29
2.3.2.5. Entrepreneurial Support
Turker dan Selcuk (Denanyoh, Adjei, dan Nyemekye, 2015) mengembangkan
Entrepreneurial Support Model (ESM) yang menyatakan bahwa intensi
berwirausaha merupakan fungsi dari dukungan struktural, dukungan akademik dan
dukungan sosial.
Menurut Global Entrepreneurship Monitor Report (2012) dukungan
struktural berhubungan dengan dukungan dari lingkungan budaya dan kelembagaan
terhadap pengembangan aktivitas kewirausahaan. Kelley et al (2012)
merekomendasikan kebijakan yang meningkatkan fleksibilitas tenaga kerja,
komunikasi dan keterbukaan pasar serta menghilangkan birokrasi untuk mendorong
tingkat kewirausahaan di masyarakat.
Dukungan akademik berhubungan dengan dukungan dari pihak akademik
seperti lingkungan universitas meliputi sarana, informasi kampus maupun dukungan
infrastruktur yang memadai. Menurut Bandura (dalam Alwisol, 2009), dukungan
akademik mengacu pada faktor-faktor yang berkaitan dengan dukungan bagi seorang
pelajar untuk mencapai dan menyelesaikan tugas-tugas studi dengan target hasil dan
waktu yang telah ditentukan.
Sedangkan dukungan atau bantuan yang berasal dari orang yang memiliki
hubungan sosial yang akrab dengan individu yang menerima bantuan (Suharti dan
Sirine, 2011). Dukungan sosial merupakan kepercayaan dan ekspetasi seseorang
bahwa ia akan mendapatkan dukungan untuk memulai sebuah bisnis baru dari
kerabat dekat “belonging group” (orangtua, saudara kandung dan pasangannya) dan
dari kelompok “reference” seperti teman, kolega dan dosen (Leon et al., 2007).
Temuan (Denanyoh, Adjei, dan Nyemekye, 2015) menyatakan bahwa
entrepreneurial support berhubungan positif dengan intensi berwirausaha.
2.3.2.6. Instrumental Readiness
Ketersediaan modal merupakan hal yang sangat penting. Demikian pula
ketersediaan sumber daya lainnya, termasuk sumber daya manusia (SDM) dengan
pengalaman serta keterampilan yang sesuai, sumber daya informasi seperti bank
data, serta sumber daya infrastruktur seperti lokasi yang tepat. Perhatian media juga
penting, khususnya sebagai sarana untuk menerbitkan cerita seputar model peran
yang sesuai serta cerita tentang kesuksesan yang diraih (Susanto dalam Wijanto,
2009:395). Kesiapan instrumentasi ialah tiga faktor lingkungan yang dipercaya
30
mempengaruhi wirausaha yaitu akses mereka kepada modal, informasi dan kualitas
jaringan sosial yang dimiliki (Indarti dalam Wijanto, 2009:395). Hal ini juga
dibuktikan dengan temuan (Agustina dan Sularto, 2011) dan (Darmanto dan
Wahyudi, 2014) yang diketahui bahwa kesiapan instrumental (instrumental
readiness) mempengaruhi intensi kewirausahaan mahasiswa.
1. Akses Kepada Modal.
Menurut Madura (2007:11) modal meliputi mesin, peralatan, perlengkapan dan
fasilitas fisik yang digunakan oleh sumber daya manusia untuk menghasilkan
produk. Dalam membangun suatu usaha diperlukan modal yang cukup untuk
membiaya operasional usaha (Rini, 2006:168). Dalam kamus Bahasa Indonesia
“modal” didefinisikan sebagai uang pokok yang dipakai untuk berdagang.
Modal merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk memulai usaha.
Penelitian oleh beberapa peneliti seperti Marsden, Meier dan Pilgrim, Steel
(Wiyanto, 2014:395) menyatakan bahwa kesulitan dalam mendapatkan akses
modal, skema kredit dan kendala sistem keuangan dipandang sebagai hambatan
utama dalam kesuksesan usaha menurut calon-calon wirausaha di negara-negara
berkembang. Kristiansen (Wiyanto, 2014:395) menyatakan bahwa akses kepada
modal menjadi salah satu penentu kesuksesan suatu usaha. Sesen (2012:628)
access to capital merupakan salah satu faktor penting dalam menciptakan suatu
usaha baru. Menurut Indarti et al. (Wiyanto, 2014:395) akses kepada modal
merupakan hambatan klasik terutama dalam memulai usaha baru, setidaknya
terjadi di negara-negara berkembang dengan dukungan lembaga-lembaga
penyedia keuangan yang tidak begitu kuat.
2. Ketersediaan Informasi.
Menurut Madura (2007:322) seorang entrepreneur harus mempertimbangkan
seluruh kondisi pasar sebelum memutuskan untuk menciptakan suatu usaha baru
seperti pesaing, permintaan, tenaga kerja, peraturan dan perundang - undangan.
Berbagai sumber dapat digunakan untuk mendapatkan informasi mengenai
bisnis.
Menurut Griffin dan Ebert, (2007:10) business information memainkan
peranan penting dalam membangun suatu usaha. Suatu bisnis bergantung pada
prediksi pasar, orang - orang dengan keahlian tertentu, serta berbagai bentuk
data ekonomi untuk mendukung dalam menjalankan proses bisnis.
31
Menurut Sesen (2012:628) ketersediaan tentang business information
merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memulai suatu usaha. Seorang
yang ingin membangun sebuah bisnis membutuhkan informasi mengenai pasar
untuk dapat berkompetisi di pasar. Ketersediaan dari business information
dibutuhkan pada saat ingin membangun suatu usaha (Gomezelj dan Kusoe,
2013:911).
Penelitian yang dilakukan oleh Singh dan Krishna (Wiyanto, 2014:395) di
India membuktikan bahwa keinginan yang kuat untuk memperoleh informasi
adalah salah satu karakter utama seorang wirausaha. Pencarian informasi
mengacu pada frekuensi kontak yang dibuat oleh seseorang dengan berbagai
sumber informasi. Hasil dari aktivitas tersebut sering tergantung pada
ketersediaan informasi, baik melalui usaha sendiri atau sebagai bagian dari
sumber daya sosial dan jaringan. Indarti (Wiyanto, 2014:395), ketersediaan
informasi baru akan tergantung pada karakteristik seseorang, seperti tingkat
pendidikan dan kualitas infrastruktur, meliputi cakupan media dan sistem
telekomunikasi. Pengertian ketersediaan informasi kewirausahaan dalam
penelitian ini adalah tersedianya informasi yang dibutuhkan dan mendukung
kegiatan kewirausahaan secara memadai.
3. Jaringan Sosial.
Campur tangan orang lain dapat menentukan keberhasilan atau kegagalan
seseorang dalam dunia bisnis. Relasi bisnis memiliki prinsip berbanding lurus,
artinya semakin banyak jumlah relasi bisnis, semakin cepat seseorang mencapai
sukses dalam berusaha, begitu juga sebaliknya (Sudjatmoko, 2009:25).
Ketersediaan jaringan sosial tentunya dapat mempengaruhi seseorang dalam
berwirausaha karena para wirausahawan akan semakin percaya diri dalam
memulai usaha. Menurut Sesen (2012:629) social networks dapat dimanfaatkan
bagi seorang entrepreneur untuk memperoleh sumber daya yang dapat
digunakan dalam menjalankan atau membangun bisnis. Seorang entrepreneur
mungkin kekurangan sumber daya seperti modal dan informasi bisnis, walaupun
demikian entrepreneur tersebut dapat memanfaatkan social networks yang
dimilikinya untuk memperoleh sumber daya yang dibutuhkan.
Mazzarol (Wiyanto, 2014:395) menyebutkan bahwa jaringan sosial
mempengaruhi intensi kewirausahaan. Jaringan sosial didefinisikan sebagai
hubungan antara dua orang yang mencakup: (a) Komunikasi atau penyampaian
32
informasi dari satu pihak ke pihak lain, (b) Pertukaran barang dan jasa dari dua
belah pihak, dan (c) Muatan normatif atau ekspektasi yang dimiliki oleh
seseorang terhadap orang lain karena karakter-karakter atau atribut khusus yang
ada. Bagi wirausaha, jaringan merupakan alat mengurangi resiko dan biaya
transaksi serta memperbaiki akses terhadap ide-ide bisnis, informasi dan modal.
Hal senada diungkap oleh Kristiansen (Wiyanto, 2014:395) yang menjelaskan
bahwa jaringan sosial terdiri dari hubungan formal dan informal antara pelaku
utama dan pendukung dalam satu lingkaran terkait dan menggambarkan jalur
bagi wirausaha untuk mendapatkan akses kepada sumber daya yang diperlukan
dalam pendirian, perkembangan dan kesuksesan usaha.
2.4. Analisis Faktor
2.4.1. Definisi Analisis Faktor
Menurut Taufik Hidayat dan S.N., (2011:12) Dalam statistik multivariate,
analisis faktor adalah suatu teknik interdependensi. Disebut interdependensi karena
variabel dalam faktor analisis tidak dibedakan menjadi variabel bebas dan variabel
tidak bebas, tetapi setiap variabel mempunyai tingkatan yang sama.
Sedangkan menurut (Santoso, 2012:57) Analisis faktor mencoba menemukan
hubungan antar sejumlah variabel-variabel yang awalnya saling independen satu
dengan yang lain, sehingga bisa dibuat satu atau beberapa kumpulan variabel yang
lebih sedikit dari jumlah variabel awal. Contohnya jika ada 10 variabel yang
independen satu dengan yang lain, dengan analisis faktor mungkin bisa diringkas
hanya menjadi 3 kumpulan variabel baru. Kumpulan variabel tersebut disebut faktor,
di mana faktor tersebut tetap mencerminkan variabel-variabel aslinya.
(Matsunaga, 2010:98) Analisis faktor adalah istilah yang luas yang mewakili
berbagai teknik statistik yang memungkinkan untuk memperkirakan struktur tingkat
populasi yang mendasari variasi variabel yang diamati dan hubungannya. Analisis
faktor menyediakan alat diagnostik untuk mengevaluasi apakah data yang
dikumpulkan sejalan dengan pola teoritis yang diharapkan.
Berdasarkan pengertian dari para ahli diatas, penulis dapat menyimpulkan
bahwa analisis faktor yang mana dalam penelitian ini merupakan exploratory factor
analysis adalah teknik statistik yang dapat mereduksi variabel dengan
mengelompokan variabel-variabel yang mempunyai hubungan kedalam 1 faktor
baru.
33
2.4.2. Konsep Dasar Analisis Faktor
Analisis faktor merupakan teknik statistika yang bertujuan menerangkan
struktur hubungan di antara variabel-variabel yang diamati dengan jalan
membangkitkan beberapa faktor yang jumlahnya lebih sedikit dari pada banyaknya
variabel asal (mereduksi data dari banyak variabel menjadi sedikit variabel),
misalnya dari 15 variabel menjadi 5 variabel baru yang disebut faktor dan masih
memuat sebagian besar informasi yang terkandung dalam variabel asli (original
variable). (Supranto, 2010:114)
Analisis faktor dipergunakan dalam situasi sebagai berikut (Supranto, 2010:114):
a. Mengenali atau mengidentifikasi dimensi yang mendasari atau faktor yang
menjelaskan korelasi antara suatu set variabel
b. Mengenali atau mengidentifikasi suatu set variabel baru yang tidak
berkorelasi , yang lebih sedikit jumlahnya untuk menggantikan suatu set
variabel asli yang saling berkorelasi didalam analisis multivariate selanjutnya.
c. Mengenali atau mengidentifikasi satu set variabel yang penting dari suatu set
variabel yang lebih banyak jumlahnya untuk dipergunakan didalam analisis
multivariate selanjutnya.
2.4.3. Tujuan Analisis Faktor
Menurut (Santoso, 2012:58) tujuan analisis faktor adalah:
o Data Summarization
Mengidentifikasi adanya hubungan antar variabel dengan melakukan uji
korelasi. Jika korelasi dilakukan antar variabel, analisis tersebut dinamakan R
Factor Analysis. Namun jika korelasi dilakukan antar responden atau sampel,
analisis disebut Q factor analysis, yang juga popular disebut Cluster Analysis.
o Data Reduction
Setelah melakukan korelasi, dilakukan proses membuat sebuah variabel set
baru yang dinamakan faktor untuk menggantikan sejumlah variabel tertentu.
2.4.4. Fungsi Analisis Faktor
Terdapat 3 fungsi analisis faktor menurut Suliyanto (2005), diantaranya
adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi dimensi-dimensi mendasar yang dapat menjelaskan korelasi
dari serangkaian variabel.
34
2. Mengidentifikasi variabel-variabel baru yang lebih kecil, untuk menggantikan
variabel tidak berkorelasi dari serangkaian variabel asli yang berkorelasi.
3. Mengidentifikasi beberapa variabel kecil dari sejumlah variabel yang banyak
untuk dianalisis multivariat lainnya.
2.4.5. Principal Factor Analysis
Principal Factor Analysis atau common factor analysis yang biasa disebut
juga dengan metode Principal Axis Factoring merupakan metode analisis faktor
yang mengestimasi faktor berdasarkan pada common variance , communalities
dimasukkan dalam matriks korelasi .Selain berfungsi untuk mereduksi data Principal
Factor Analysis dapat juga digunakan untuk mengenali/mengidentifikasi dimensi
yang mendasari dan common variance yang menarik perhatian (Supranto, 2010:125)
Varian-varian yang ada pada matriks korelasi adalah kunci dalam
menjelaskan analisis faktor. Total varian yang dicerminkan oleh sebuah item
pertanyaan terdiri dari dua komponen: (1) yang sama dengan dimiliki item lain
(common variance), dan (2) yang memang spesifik dimiliki item tersebut, tidak
dimiliki item lain (unique variance).Selain dua varian ini, biasanya terdapat satu lagi
yang spesifik ke item tertentu tetapi tidak bisa diandalkan, sehingga disebut “error”
atau random variance. Proporsi jumlah common variance yang hadir dalam satu item
disebut sebagai “communality”.Jadi item yang tidak punya varian yang spesifik akan
memiliki nilai communality “1”, sedangkan item yang tidak mempunyai common
variance (tidak punya varian yang sama dengan item lain) akan memiliki nilai
communality “0”. (Amir, 2015:130)
Dalam metode PFA , matriks korelasi commmunalities-nya juga dihitung
dengan cara (Amir, 2015:131) :
• Perhitungan yang berulang dari communalities
• Memperkirakan communalities menggunakan squared multiple correlation.
Secara ringkas pada Principal Factor Analysis , setelah faktor pertama
diekstrak, signifikansi dari residual matriks harus diuji. Residual matriks
menunjukkan sejauh mana prediksi model yang dihipotesiskan dengan indikasi yang
diperoleh dari data yang ada. Uji ini membantu mengetahui apakah koefisien residual
ini bisa ditingkatkan lagi peluangnya menjadi semakin kecil (semakin kecil nilai
residualnya, berarti semakin mirip model yang dihipotesiskan dengan informasi yang
diperoleh dari data). Jika memang cukup signifikan , faktor kedua kemudian bisa
35
diekstraksi dan begitu juga selanjutnya sampai residual matriks tidak lagi signifikan
secara spesifik (Amir, 2015:132)
Principal Factor Analysis tidak menjelaskan semua varian di sebuah matriks
karena metode ini tidak mengasumsikan bahwa semua varian yang ada adalah
common variance, sebaliknya metode ini hanya memperhatikan common variance
yang ada. (Amir, 2015:130). Hal ini memberikan kelebihan , karena secara teori
tidak mungkin suatu faktor bisa menjelaskan semua varian yang ada di matriks
tertentu, karena semua korelasi selalu memiliki komponen error di dalamnya.
(Amir, 2015:132)
Menurut Costello dan Osborne (dalam Amir, 2015) Principal Axis Factor
merupakan metode yang lebih sesuai untuk analisis faktor , karena kita selalu
berasumsi adanya hubungan antara faktor yang menjadi landasan setiap butir
pertanyaan. Selain itu , metode Principal Axis Factoring secara umum memberikan
hasil terbaik pada data yang berdistribusi normal maupun tidak. Ini juga menjadi
keunggulan Principal Axis Factor karena tidak semua metode analisis faktor dapat
memberikan hasil terbaik pada data yang berdistribusi tidak normal.
2.4.6. Jumlah Sampel Ideal dan Jenis Data Untuk Analisis Faktor
Secara umum, jumlah sampel dalam analisis faktor minimal 50 pengamatan.
Bahkan seharusnya ukuran sampel sebanyak 100 atau lebih besar. Biasanya ukuran
sampel dalam analisis ini dianjurkan memiliki paling sedikit 5 kali jumlah variabel
yang akan diamati, karena semakin banyak sampel yang dipilih akan mencapai
patokan rasio 10:1, dalam arti untuk satu variabel ada 10 sampel (Hair, Black, Babin,
dan Anderson, 2010). Dalam pengertian SPSS, hal ini berarti untuk setiap 1 kolom
yang ada, seharusnya terdapat 10 baris data, sehingga jika ada 5 kolom (variabel),
minimal seharusnya ada 50 baris data (sampel).
Data dalam analisis faktor minimal adalah interval, sehingga apabila data yg
diperoleh berupa data ordinal, harus ditransformasikan menjadi data interval,
misalnya dengan menggunakan metode successive interval (Suliyanto,2005).
2.4.7. Penamaan Faktor yang Terbentuk
Menurut Suliyanto (2005) untuk menamai faktor yang telah dibentuk dalam
analisis faktor, dapat dilakukan dengan cara berikut.
36
1. Memberikan nama faktor yang dapat mewakili nama-nama variabel yang
membentuk faktor tersebut.
2. Memberikan nama faktor berdasarkan variabel yang memiliki nilai factor
loading tertinggi. Hal ini dilakukan apabila tidak dimungkinkan untuk
memberikan nama faktor yang dapat mewakili semua variabel yang
membentuk faktor tersebut.
2.5. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.2. Kerangka Penelitian
Sumber : Peneliti (2015)
Keterangan :
T-1 : Untuk mengidentifikasi apa saja faktor-faktor pembentuk intensi berwirausaha
pada mahasiswa jurusan manajemen angkatan 2012-2013 Universitas Bina
Nusantara.
T-2 : Untuk mengetahui apa saja faktor-faktor pembentuk intensi berwirausaha pada
mahasiswa jurusan manajemen angkatan 2012-2013 Universitas Bina Nusantara
setelah direduksi menggunakan metode Principal Factor Analysis.
Faktor 1
Faktor 2
Faktor 3
Faktor 4
Faktor 5
Faktor 6
Faktor n
Faktor 40
Ana
lisis
Dom
ain
dan
Ta
kso
nom
i
Ana
lisis
Fa
ktor
Faktor 1
Faktor 2
Faktor 3
Faktor 4
Faktor n
T-1 T-2
In D
ept
h In
terv
iew