bab 2 landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2008-1-00203-mn-bab...
TRANSCRIPT
5
BAB 2
Landasan Teori
2.1 Pemasaran
2.1.1 Definisi Pemasaran
Menurut pendapat Kotler (2002, p9), Pemasaran adalah proses sosial yang dengan
proses itu individu dan kelompok mendapat apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan
menciptakan, menawarkan, dan secara bebas mempertukarkan produk dan jasa yang
bernilai dengan pihak lain.
Dari definisi yang ada terlihat jelas bahwa marketing atau pemasaran merupakan suatu
konsep yang sangat universal mengenai sebuah proses mengidentifikasi segala aspek sosial
yang mampu diterjemahkan melalui penciptaan gagasan, konsep, ataupun sebuah produk
yang memiliki arti di dalam benak konsumen.
2.2 Konsep Pemasaran
Menurut Kotler (2002, p22), pekerjaan pemasaran bukan lagi untuk menemukan
pelanggan yang tepat untuk produk anda, melainkan menemukan produk yang tepat bagi
pelanggan anda. Konse pemasaran menegaskan bahwa kunci untuk mencapai sasaran
organisasi adalah perusahaan harus lebih efektif dibandingkan pesaing dalam menciptakan,
menyerahkan, dan mengkomunikasikan kepada pasar sasaran yang dipilih.
Konsep pemasaran menurut Kotler (2002, p33) menegaskan bahwa kunci untuk
mencapai sasaran organisasi adalah menentukan kebutuhan dan keinginan pasar sasaran
dan memberikan kepuasan yang diinginkan secara lebih efektif dan efisien dibandingkan
pesaing.
9
2.3 Bauran Pemasaran
2.3.1 Definisi Bauran Pemasaran
Menurut Kotler (2002, p18), bauran pemasaran adalah seperangkat alat pemasaran
yang digunakan perusahaan untuk terus menerus mencapai tujuan pemasarannya di pasar
sasaran.
2.3.2 Konsep Bauran Pemasaran
Di dalam bauran pemasaran terdapat elemen-elemen yang digunakan sebagai alat
pembuat perencanaan strategis pemasaran dalam usaha untuk memasuki pasar. Bauran
pemasaran digunakan oleh para pemasar sebagai konsep strategis dalam perencanaan
produk, penentuan harga, perencanaan saluran perdagangan atau saluran distribusi ke
konsumen akhir, dan sebagai perencanaan konsep promosi yang tepat kepada pasar
Pelanggan yang dibidik
Posisi yang diharapkan
Produk
KeragamanKualitasDesainFiturNama MerkKemasanServis
Promosi
Personal sellingMass sellingPenjualan langsungPromosi penjualanHubungan masyarakat
Distribusi
SaluranCakupanKombinasiLokasiPersediaanTransportasiLogistik
Harga
Daftar HargaDiskonPencadangan (allowances)Periode PembayaranPersyaratan Krecit
Gambar 2.1Empat P Bauran
PemasaranSumber : Kotler dan
Armstrong (2003, p79)
10
sasaran. Konsep strategis bauran pemasaran yang telah disebutkan di atas bila dirinci
menjadi akan menjadi 4 buah variabel utama atau yang dikenal dengan istilah ”4P” atau
Product, Price, Place, dan Promotion. Dalam penjelasan berikut ini, didefinisikan masing-
masing dimensi dari bauran pemasaran:
Produk (Product)
Menurut Kotler dan Amstrong (2003, p17), produk adalah segala sesuatu yang dapat
ditawarkan kesatu pasar untuk memenuhi keinginan atau kebutuhan. Produk-produk
yang dipasarkan meliputi barang fisik, jasa, orang, tempat, orang dan gagasan.
Harga (Price)
Harga adalah sejumlah uang yang dibayarkan oleh konsumen untuk memperoleh
suatu produk. Penetapan harga perlu disesuaikan dengan nilai produk yang
ditawarkan menurut pandangan pelanggan atau para pelanggan akan beralih ke
produk pesaing (Kotler dan Amstrong, 2003, p17).
Promosi (Promotion)
Promosi adalah usaha yang dilakukan pemasar untuk mempengaruhi pemihak lain
agar berpatisipasi dalam kegiatan pertukaran. Merupakan usaha mengkomunikasikan
informasi yang bermanfaat tentang suatu peusahaan atau produk untuk
mempengaruhi pembelian potensial. Menurut Kotler dan Amstrong (2003, p17),
promosi merupakan bagian dari keseluruhan aktifitas perusahaan yang menangani
tentang komunikasi dan menawarkan produknya kepada target pasar.
Tempat (Place)
Menurut Kotler dan Amstrong (2003: p17), tempat adalah termasuk berbagai
kegiatan yang dilakukan perusahaan untuk membuat produk dapat diperoleh dan
tersedia bagi pelanggan sasaran. Perusahaan harus mengidentifikasikan, merekrut,
11
dan menghubungkan sebagai penyedia fasilitas pemasaran untuk menyediakan
produk dan pelayanan secara efisien kepada pasar.
2.4 Merek
2.4.1 Definisi Merek
Dalam bukunya, Kotler & Keller (2006, p256) menyebutkan definisi merk dari AMA
(American Marketing Association) yaitu:
“Brand as a name, term, sign, symbol, or design, or a combination of them, to
identify the goods or services of one seller or a group of seller and to differentiate
them from those of competitor”
“Merek adalah nama, istilah, tanda, simbol, atau rancangan atau kombinasi dari hal-
hal tersebut, yang dimaksudkan untuk mengidentifikasi barang atau jasa dari
seseorang atau sekelompok penjual dan untuk membedakannya dengan produk
pesaing”.
Menurut Kotler (2002, p13), merek adalah tawaran dari suatu sumber yang sudah
terkenal. Sementara itu, menurut Knapp dalam bukunya yang berjudul The Brand Mindset
(2001, p8), ia mendefinisikan merek adalah sebagai berikut:
“Merek adalah merek yang dirasakan dalam benak konsumen, atau apa yang kita
sebut sebagai pikiran (the mind’s eye). Pikiran para pelanggan setiap hari dipengarui
oleh ribuan kesan dan sering berubah-ubah. Merek tidak hanya harus secara terus
menerus memonitor kesan-kesannya, merek juga harus menempati suatu posisi
khusus dalam pikiran untuk benar-benar menjadi sebuah merek”.
12
Ditambahkan lagi dalam bukunya, Knapp (2005, p8) berpendapat bahwa untuk
menjadi suatu merek, suatu produk atau jasa harus dicirikan oleh suatu atribut yang
khusus dalam benak konsumen.
Merek, dalam aplikasinya dalam dunia bisnis memiliki beberapa istilah, seperti
menurut Rangkuti (2002, p2) yaitu dibagi menjadi:
a. Brand name (nama merek), yang merupakan bagian dari yang dapat diucapkan.
b. Brand mark (tanda merek), yang merupakan sebagian dari merek yang dapat
dikenali namun tidak dapat diucapkan, seperti labang, desain huruf atau warna
khusus.
c. Trade mark (tanda merek dagang), yang merupakan merek atau sebagian dari
merek yang dilindungi hukum karena kemampuanya untuk menghasilkan sesuatu
yang istimewa. Tanda dagang ini melindungi penjual dengan hak istimewanya untuk
menggunakan nama merek (tanda merek).
d. Copyright (hak cipta), yang merupakan hak istimewa yang dilindungi oleh undang-
undang untuk memproduksi, menerbitkan, menjual karya tulis, karya musik atau
karya seni.
Berdasarkan beberapa definisi merk diatas dapat disimpulkan bahwa merek
merupakan sebuah alat yang bisa berupa nama, simbol, atau lambang yang
dimaksudkan agar dapat mudah diingat dan memberikan ciri terhadap produk atau
perusahaan di mana dengan alat tersebut, pemasar atau produsen memberikan janji
kepada konsumen atau pasar dalam sebuah arti fungsional dan jaminan untuk secara
konsisten memberikan manfaat, nilai, dan jaminan kualitas, serta pelayanan. Menurut
Durianto, Sugiarto, dan Lie Joko Budiman (2004, p2), merek sebenarnya merupakan
nilai tangible dan intangible yang terwakili dalam sebuah merek dagang (trademark)
yang mampu menciptakan nilai dan pengaruh tersendiri di pasar bila dikelola dengan.
13
Menurut Rangkuti (2002, p3), sebuah merek memiliki enam tingkatan pengertian
yaitu:
a. Atribut
Setiap merek memiliki atribut. Atribut ini perlu dikelola dan diciptakan agar
pelanggan dapat mengetahui dengan pasti atribut-atribut apa saja yang terkandung
dalam suatu merek.
b. Manfaat
Selain atribut, merek juga memiliki serangkaian manfaat. Konsumen tidak membeli
atribut, mereka membeli manfaat. Produsen harus dapat menerjemahkan atribut
menjadi manfaat fungsional maupun manfaat emosional.
c. Nilai
Merek juga menyatakan sesuatu tentang nilai bagi produsen. Merek yang memiliki
nilai tinggi akan dihargai oleh konsumen sebagai merek yang berkelas, sehingga
dapat mencerminkan siapa pengguna merek tersebut.
d. Budaya
Merek juga mewakili budaya tertentu. Misalnya merek SONY mewakili budaya
Jepang yang terorganisasi dengan baik, memiliki cara kerja yang efisien, dan selalu
menghasilkan produk yang berkualitas tinggi.
e. Kepribadian
Merek juga memiliki kepribadian, yaitu kepribadian bagi para penggunanya. Jadi
diharapkan dengan menggunakan merek tertentu, kepribadian si pengguna akan
tercermin bersamaan dengan merek yang ia gunakan.
f. Pemakai
14
Merek juga menunjukan jenis konsumen pemakai merek tersebut. Itulah sebabnya
para pemasar selalu menggunakan analogi orang-orang terkenal untuk penggunaan
mereknya.
2.4.2 Tipologi Merek
Menurut Susanto dan Wijanarko (2004, p12), terdapat sejumlah tipologi merek, yaitu:
a. Merek Fungsional (Functional Brands)
Merek fugsional terutama berkaitan dengan manfaat fungsional (functional benefit)
sehingga sangat terkait dengan penafsiran yang dikaitkan dengan atribut-atribut
fungsional. Merek fungsional sangat mengutamakan kinerja produk dan nilai
ekonomisnya. Faktor yang menentukan adalah 3P, yaitu product, price, dan place,
sehingga kualitas produk, harga yang kompetitif, dan ketersediaannya pada saluran
distribusi sangat menentukan.
Pola pengambilan keputusan konsumen terhadap merek jenis ini relatif rendah,
tanpa pertimbangan yang mendalam dan jika merek tersebut tidak tersedia,
konsumen dengan mudah beralih pada merek subtitusi. Ciri khas dalam mengelola
merek jenis ini adalah selalu memelihara superioritas.
b. Merek Citra (Image Brands)
Merek citra terutama untuk memberikan manfaat ekspresi diri (self expression
benefit). Sebagai merek yang bertujuan untuk meningkatkan citra pemakainya,
merek ini haruslah mempunyai kekuatan untuk membangkitkan keinginan. Faktor
komunikasi memegang peranan utama dalam mengelola merek jenis ini.
Sebagai merek yang memberi manfaat ekspresi diri, dalam proses pengambilan
keputusan konsumen memiliki keterlibatan yang tinggi (high involvement).
Kemewahan, kemegahan dan keagungan merupakan ciri khas yang ditampilkan
dalam pengelolaan merek ini.
15
c. Merek Eksperiensial (Experential Brands)
Merek eksperiensial terutama untuk memberikan manfaat emosional. Faktor yang
menentukan adalah 2P yaitu place dan people. Place adalah tempat atau sarana
untuk memberikan pengalaman yang dapat dirasakan oleh pelanggan dan people
adalah cara para karyawan memberikan layanan (srvice delivery) kepada pelanggan.
Dalam pengambilan keputusan terhadap pemilihan merek ini konsumen mempunyai
keterlibatan yang tinggi. Kunci untuk mengelola merek ini adalah konsistensi dan
kepuasan. Dalam kaitan antara merek dan pemasaran perlu dilakukan pendekatan
pemasaran berdasarkan merek (brand based marketing). Inti dari pendekatan ini
adalah upaya-upaya pemasaran terpadu dalam mengelola keterkaitan merek dengan
stakeholder untuk menjaga konsistensi strategi komuinikasi dalam rangka
meningkatkan ekuitas merek.
2.4.3 Peranan Merek
Menurut Freddy Rangkuti dalam bukunya yang berjudul The Power of Brands (2002,
p14), peranan sebuah merek adalah sebagai berikut:
“Merek merupakan sebuah nama atau simbol (seperti logo, merek dagang, desain
kemasan, dan sebagainya) yang dibuat untuk membedakan suatu produk dengan
produk lainnya. Merek dapat juga dijadikan ciri untuk membedakan satu produk dari
produk pesaing. Selain itu, merek yang dipatenkan dapat membuat produk tersebut
lebih terlindungi dari upaya pemalsuan dan pembajakan.”
Merek, selain berperan sebagai sebuah nama pada suatu produk, juga dapat berperan
sebagai sebuah asosiasi dari sebuah produk. Melalui sebuah merek saja kita dapat
membayangkan berbagai hal seperti misalnya konsekuensi psikososial, ataupun konsekuensi
fungsional yang mungkin muncul dari merek tersebut. Sebuah merek yang telah kuat di
pasar, terutama dalam benak konsumen, tidak terlalu butuh usaha pengenalan dari
16
perusahaan terhadap merek tersebut. Paling tidak, merek hanya perlu diingatkan,
dipromosikan bila ada inovasi dan pengembangan baru. Dengan merek yang kuat, dengan
sendirinya persepsi kualitas bekerja dan mempromosikan dirinya sendiri melalui konsumen
merek tersebut melalui WOM (World Of Mouth).
2.4.4 Cara Membangun Merek
Menurut Rangkuti (2002, p5), terdapat beberapa cara untuk membangun merek,
diantaranya adalah:
a. Memiliki positioning yng tepat
Merek dapat di-positioning-kan dengan berbagai cara, misalnya dengan
menempatkan posisinya secara spesifik di benak pelanggan. Membangun positioning
adalah menempatkan semua aspek dari brand value (termasuk manfaat fungsional)
secara konsisten sehingga selalu menjadi nomor satu di benak pelanggan. Menjadi
nomor satu di benak pelanggan merupakan tujuan utama dari positioning dan bukan
berarti selalu nomor satu untuk semua aspek.
b. Memiliki brand value yang tepat
Semakin tepat merek di-positioning-kan di benak pelanggan, merek tersebut akan
semakin kompetitif. Untuk mengelola hal tersebut kita perlu mengetahui brand value.
Brand value membentuk brand personality. Brand personality lebih cepat berubah
dibanding brand positioning, karena brand personality mencerminkan gejolak
perubahan selera konsumen. Brand value juga mencerminkan brand equity secara
real sesuai dengan customer values-nya.
c. Memiliki konsep yang tepat
Tahap akhir untuk mengkomunikasikan brand value dan positioning yang tepat
kepada konsumen harus didukung oleh konsep yang tepat. Pengembangan konsep
merupakan proses kreatif, karena berbeda dari positioning, konse dapat terus
17
menerus berubah sesuai dengan daur hidup produk yang bersangkutan. Konsep
yang baik adalah dapat mengkomunikasikan semua elemen-elemen brand value dan
positioning yang tepat, sehingga brand image dapat terus menerus ditingkatkan.
2.5 Ekuitas Merek
2.5.1 Definisi Ekuitas Merek
Menurut Kotler dan Keller dalam Marketing Management (2006, p258), Brand Equity
adalah:
“Brand Equity is the added value endowed to products and services. The value may
be reflected in how consumer think, feel, and act with respect to the brand, as well
as the prices, market share, and probability that the brand commands for the firm.”
Menurut Aaker(1991) dalam Rangkuti (2002, p39), brand equity atau ekuitas merek
adalah seperangkat aset dan liabilitas merek yang berkaitan dengan suatu merek, nama, dan
simbolnya, yang menambah atau mengurangi nilai yang diberikan oleh suatu barang atau
jasa kepada perusahaan atau pelanggan.
Menurut Peter dan Olson (2000, p134), bila dilihat dari sudut pandang pemasar,
ekuitas merek menyiratkan keuntungan, arus kas, dan pangsa pasar yang lebih besar. Dari
sudut padang konsumen, ekuitas merek melibatkan suatu sikap merek positif yang kuat
(evaluasi yang baik terhadap suatu merek) didasarkan pada kepercayaan dan arti baik yang
dapat diakses dari dalam ingatan (dengan mudah dapat diaktifkan). Ketiga faktor ini
menciptakan hubungan konsumen-merek yang menyenangkan dan kuat atas asset yang
sangat penting bagi sebuah perusahaan dan dasar bagi ekuitas merek.
2.5.2 Konsep Ekuitas Merek
18
2.5.3 Elemen-elemen Ekuitas Merek
Menurut Aaker dalam Durianto, Sugiarto, Sitinjak (2004, p4), Ekuitas merek dapat
dikelompokkan ke dalam 5 elemen, yaitu:
a. Kesadaran Merek (Brand Awareness), menunjukkan kesanggupan seorang calon
pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan
bagian dari kategori produk tertentu.
b. Asosiasi-asosiasi merek (Brand Association), mencerminkan pencitraan suatu merek
terhadap suatu kesan tertentu dalam kaitannya dengan kebiasaan, gaya hidup,
manfaat, atribut produk, geografis, harga, pesaing, selebritis, dan lain-lain.
Brand Equity
Brand Assets
Brand Awareness
Perceived Quality
Brand Association
Brand Loyalty Proptirtary(nama, simbol) Other
Memberikan nilai kepada pelanggan dengan memperkuat:
Interprestasi/ proses informasi Rasa percaya diri Pencapaian kepuasan pelanggan
Memberikan nilai kepada perusahaan dengan memperkuat
Efisiensi dan Efektifitas Program Pemasaran
Harga / laba Perluasan merek Peningkatan
Perdagangan Keuntungan Kompetitif
Gambar 2.2 Konsep Brand EquitySumber : Durianto, Sugiarto, Sitinjak (2004, p5)
19
c. Kesan Kualitas (Brand Perceived Quality), mencerminkan persepsi pelanggan
terhadap keseluruhan kualitas/keunggulan suatu produk atau jasa layanan
berkenaan dengan maksud yang diharapkan
d. Loyalitas Merek (Brand Loyalty), mencerminkan tingkat keterikatan konsumen
dengan suatu merek produk.
e. Aset-aset Merek lainnya (Other Proprietary Brand Assets) seperti hak paten, rahasia
teknologi, rahasia bisnis, akses khusus terhadap pemasok ataupun pasar, dan lain-
lain.
2.5.4 Peranan Ekuitas Merek
Dengan ekuitas merek yang kuat, kegiatan dan strategi pemasaran akan lebih mudah
diimplementasikan, dan tujuan pemasaran akan lebih mudah tercapai. Dalam konsep Brand
Equity pada gambar 2.2, brand equity dapat juga menciptakan dan memberikan nilai
kepada pelanggan. Menurut Durianto, Sugiarto, Sitinjak (2004, p6), Brand Equity dapat
mempengaruhi rasa percaya diri konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian atas
dasar pengalaman masa lalu dalam penggunaan atau kedekatan, asosiasi dengan berbagai
karakteristik merek.
Selain memberi nilai bagi konsumen, menurut Durianto, Sugiarto, Sitinjak (2004, p6-
p8), brand equity juga memberikan nilai bagi perusahaan dalam bentuk:
a. Brand Equity yang kuat dapat mempertinggi keberhasilan program dalam memikat
konsumen baru atau merangkul kembali konsumen lama.
b. Empat dimensi utama brand equity dapat mempengaruhi alasan pembelian
konsumen, setidaknya dapat mempengaruhi keinginan atau rangsangan konsumen
untuk mencoba merek-merek lain
c. Brand Loyalty yang telah diperkuat merupakan hal penting dalam merespons inovasi
yang dilakukan para pesaing.
20
d. Brand association juga sangat penting sebagai dasar strategi positioning maupun
strategi perluasan produk.
e. Brand equity yang kuat memungkinkan perusahaan memperoleh margin yang lebih
tinggi dengan menerapkan premium price (harga premium), dan mengurangi
ketergantungan pada promosi sehingga dapat diperoleh laba yang lebih tinggi.
f. Brand equity yang kuat dapat digunakan sebagai dasar untuk pertumbuhan dan
perluasan merek kepada produk lainnya atau menciptakan bidang bisnis baru yang
terkait, yang biayanya akan jauh lebih mahal untuk dimasuki tanpa merek yang
memiliki brand equity tersebut.
g. Brand equity yang kuat dapat meningkatkan penjualan karena mampu menciptakan
loyalitas sauran distribusi.
h. Aset-aset brand equity lainnya dapat memberikan keuntungan kompetitif bagi
perusahaan dengan memanfaatkan celah-celah yang tidak dimiliki pesaing. Biasanya
bila dimensi utama dari brand equity yaitu brand awareness, brand association,
perceived quality, dan brand loyalty sudah kuat, secara otomatis aset brand equity
lainnya juga akan kuat. Sebagai contoh kesetiaan perantara maupun pemasar (toko,
dealer, dll) dangat tergantung pada kekuatan empat elemen utama dari brand
equity. Pada umumnya, mereka tidak ragu lagi terhadap perusahaan yang memiliki
brand equity kuat, sehingga kepercayaan untuk memasarkan produknya semakin
meningkat. Oleh karenanya penekanan riset bran equity diberikan pada keempat
elemen utama dari brand equity, sedangkan aset brand equity lainnya akan secara
otomatis terimbas oleh kekuatan dari keempat elemen utama tersebut.
2.6 Kesadaran Merek (Brand Awareness)
2.6.1 Definisi Brand Awareness
21
Menurut Kotler dan Keller (2006, p268), brand awareness adalah:
“Consumer’s ability to idetify the brand under different conditions, as reflected by
their brand recognition or recall performance.”
Menurut Santoso dan Tjiptono (2001, p235), Brand Awareness adalah kemampuan
konsumen untuk mengingat sebuah merek. Menurut Durianto, Sugiarto, Lie Joko Budiman
(2004, p6), kesadaran merek atau brand awareness menggambarkan kesanggupan seorang
calon pembeli untuk mengenali, mengingat kembali, suatu merek sebagai bagian dari suatu
kategori produk tersebut. Kesadaran merek merupakan komponen penyusun ekuitas merek
yang sangat penting. Pada umumnya konsumen cenderung membeli produk dengan merek
yang sudah dikenalnya atas dasar pertimbangan kenyamanan, keamanan, dan lain-lain.
2.6.2 Peran Kesadaran Merek (Brand Awareness)
Peran kesadaran merek dalam membantu merek dapat dipahami dengan mengkaji
bagaimana kesadaran merek menciptakan suatu nilai. Nilai-nilai kesadaran merek, terlihat
dalam bagan berikut (Durianto, Sugiarto, Lie Joko Budiman, 2004, p7):
Jangkar yang menjadi cantolan asosiasi lain
Familier / rasa suka
Substansi / komitmen
Mempertimbangkan merek
Kesadaran merek
Gambar 2.3 Nilai-nilai Kesadaran MerekSumber : Durianto, Sugiarto, dan Budiman (2004, p7)
22
2.6.3 Tingkatan dalam Kesadaran Merek (Brand Awareness)
Kesadaran merek suatu produk dapat dicapai melalui berbagai proses pemasaran.
Peran brand awareness dalam keseluruhan ekuitas merek bergantung pada sejauh mana
tingkatan kesadaran atau awareness yang dicapai oleh suatu merek (Durianto, Sugiarto,
Sitinjak, 2004, p55). Menurut Durianto, Sugiarto, Budiman (2004, p6-7), terdapat piramida
tingkat kesadaran merek yaitu:
1. Unaware of Brand (tidak menyadari merek) adalah tingkat paling rendah dalam
piramida kesadaran merek, di mana konsumen tidak menyadari atau tidak
mengetahui adanya merek tersebut.
2. Brand Recognition (pengenalan merek) adalah tingkat minimal kesadaran merek, di
mana pengenalan suatu merek muncul lagi setelah dilakukan pengingatan kembali
lewat bantuan (aided recall).
3. Brand Recall (pengingatan kembali terhadap merek) adalah pengingatan kemballi
terhadap merek tanpa bantuan (unaided recall). Brand Recall merupakan
pengingatan kembali merek yang dicerminkan dengan merek lain yang diingat oleh
responden setelah responden menyebutkan merek yang pertama.
4. Top of Mind (puncak pikiran) adalah merek yang disebutkan pertama kali oleh
konsumen atau yang pertama kali muncul dalam benak konsumen. Dengan kata lain
merek tersebut merupakan merek utama dari berbagai merek yang ada dalam benak
konsumen.
23
2.6.4 Cara Membangun Brand Awareness
Menurut Durianto, Sugiarto, Budiman (2004, p30), kesadaran merek dapat dibangun
dan diperbaiki melalui cara-cara berikut:
1. Pesan yang disampaikan oleh suatu merek harus mudah diingat oleh konsumen.
2. Pesan yang disampaikan harus berbeda dibandingkan merek produk lainnya serta
harus ada hubungan antara merek dan kategori produknya.
3. Memakai slogan atau jingle lagu yang menarik sehingga membantu konsumen
mengingat merek.
4. Jika satu produk memiliki simbol, hendaknya simbol itu dapat dihubungkan dengan
mereknya.
5. Kesadaran merek dapat diperkuat dengan memakai suatu isyarat yang sesuai
dengan kategori produk, merek, atau keduanya.
6. Melakukan pengulangan untuk meningkatkan pengingatan karena membentuk
ingatan adalah lebih sulit dibandingkan membentuk pengenalan.
2.7 Persepsi Kualitas Merek (Brand Perceived Quality)
Top of Mind
Brand Recall
Brand Recognition
Unaware of Brand
Gambar 2.4 : Piramida Brand AwarenessSumber : Aaker (1997) dalam buku Durianto, Sugiarto, Budiman (2004, p7)
24
2.7.1 Definisi Perceived Quality
Perceived quality atau persepsi kualitas merupakan persepsi konsumen terhadap
keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan yang sama dengan
maksud yang diharapkannya (David A. Aakker menurut Darmadi, Sugiarto, Budiman,2004,
p15)
2.7.2 Dimensi Perceived Quality
Menurut David A.Garvin dalam buku Durianto, Sugiarto, dan Sitinjak, (2004, p52),
dimensi Perceived Quality dibagi menjadi tujuh, yaitu:
a. Kinerja (Performance)
b. Pelayanan (Service)
c. Ketahanan (Durability)
d. Keandalan (Reliability)
e. Karakteristik Produk
f. Kesesuaian dengan Spesifikasi
g. Hasil
2.7.3 Nilai-nilai dari Perceived Quality
Diferensiasi / Posisi
Harga optimum
Minat saluran distribusi
Perluasan merek
Persepsi Kualitas
Gambar 2.5 Nilai-nilai Persepsi KualitasSumber : Durianto, Sugiarto, dan Budiman (2004, p16)
Alasan untuk membeli
25
Penjelasan dari gambar 2.5 mengenai nilai-nilai yang dapat dibentuk dalam persepsi
kualitas adalah sebagai berikut:
a. Alasan untuk membeli
Konsumen sering kali tidak termotivasi untuk mendapatkan dan menyaring informasi
yang mungkin mengarah pada objektivitasnya mengenai kualitas, atau informasi itu
memang tidak tersedia, atau konsumen tidak mempunyai kesanggupan atau sumber
daya untuk mendapatkan atau memproses informasi. Karena terkait dengan
keputusan-keputusan pembelian, persepsi kualitas, mampu mengefektifkan semua
elemen program pemasaran. Apabila kualitas tinggi, kemungkinan besar periklanan
dan promosi yang dilancarkan akan efektif atau dalam hal ini mampu menghasilkan
penjualan.
b. Diferensiasi / posisi
Karakteristik penting dari merek yaitu sebagai penentu posisi dalam dimensi persepsi
kualitas. Apakah merek tersebut merupakan yang terbaik atau hanya sekedar
kompetitif terhadap merek-merek lain.
c. Harga optimum
Keuntungan persepsi kualitas memberikan pilihan-pilihan dalam penetapan harga
optimum.
d. Minat saluran distribusi
Dapat menawarkan suatu produk yang memiliki persepsi kualitas tinggi dengan
harga yang menarik dan menguasai lalu lintas distribusi tersebut akan memotivasi
pos-pos distribusi atau para distributor untuk menyalurkan merek yang diminati
konsumen tersebut.
e. Perluasan merek
26
Sebuah merek yang kuat dalam hal persepsi kualitas dapat dieksploitasi untuk
meluaskan diri lebih jauh, dan akan mempunyai peluang sukses yang lebih besar
dibandingkan merek dengan persepsi kualitas yang lemah.
2.7.4 Cara membangun Perceived Quality yang Kuat
Menurut Aaker yang dikutip dalam Durianto, Sugiarto, Sitinjak (2004, p104-105), ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun Perceived Quality yaitu:
a. Komitmen terhadap kualitas
Perusahaan harus mempunyai komitmen terhadap kualitas serta memelihara kualitas
secara terus menerus.
b. Budaya kualitas
Komitmen kualitas darus terefleksi dalam budaya perusahaan, norma perilakunya,
dan nilai-nilainya. Jika perusahaan dihadapkan kepada pilihan kualitas dan biaya,
maka kualitaslah yang harus dimenangkan.
c. Informasi masukan dari pelanggan
Pada akhirnya dalam membangun perceived quality pelangganlah yang
mendefinisikan kualitas. Sering kali para pemimpin keliru dalam memperkirakan apa
yang dianggap penting oleh pelanggannya. Untuk itulah perusahaan perlu secara
berkesinambungan melakukan riset terhadap pelanggannya sehingga diperoleh
informasi yang akurat, relevan, dan up to date.
d. Sasaran / standar yang jelas
Sasaran kualitas harus jelas dan tidak terlalu umum karena sasaran kualitas yang
teralu umum cenderung tidak bermanfaat. Kualitas juga harus memiliki standar
yang jelas, dapat dipahami, dan diprioritaskan. Terlau banyak sasaran tanpa prioritas
sama saja dengan tidak mempunyai dengan tidak mempunyai sasaran yang fokus
yang pada akhirnya akan membahayakan kelangsungan perushaaan itu sendiri.
27
e. Kembangkan karyawan yang berinisiatif
Karyawan harus dimotivasi dan diijinkan untuk berinisiatif serta dilibatkan dalam
mencari solusi masalah yang dihadapi dengan pemikiran yang kreatif dan inovatif.
Karyawan juga secara aktif dilibatkan dalam pengendalian kualitas layanan.
2.7.5 Dasar-dasar Analisa Perceived Quality.
Dalam mengukur atau menganalisis persepsi kualitas suatu merek produk, harus
ditetapkan dulu atribut-atribut dari produk merek tersebut. Kita harus mengetahui atribut
apa sajakah yang melekat dalam merek tersebut. Persepsi kualitas erat kaitannya dengan
asosiasi merek. Oleh karena itu biasanya analisa mengenai asosiasi merek (Brand
Association) dilakukan terlebih dahulu kemudian baru melakukan analisa persepsi kualitas
(Perceived Quality). Namun, atribut yang digunakan dalam analisis perceived quality tidak
harus sama persis dengan atribut dalam asosiasi merek (Brand Association).
2.8 Asosiasi Merek (Brand Association)
2.8.1 Definisi Brand Association
Menurut Santoso dan Tjiptono (2001, p235), asosiasi merek (Brand Association) adalah
kemampuan konsumen untuk mengasosiasikan suatu merek dengan atribut tertentu dari
produk.
Menurut Durianto, Sugiarto, Sitinjak (2004, p69), asosiasi merek adalah segala kesan
yang muncul di benak seseorang yang terkait dengan ingatannya mengenai suatu merek.
2.8.2 Peranan Asosiasi Merek (Brand Association)
Asosiasi merek seperti dijelaskan dalam berbagai definisi yang ada merupakan salah
satu faktor pertimbangan dalam pengambilan keputusan pembelian suatu merek. Asosiasi
yang terbentuk atas sebuah merek nantinya akan mengarah pada citra produk atau citra
merek (Brand Image). Asosiasi-asosiasi ini membentuk berbagai atribut tentang suatu
28
merek, misalnya atribut prestise, organisasi yang memproduksi, persepsi nilai suatu produk,
serta kepribadian merek tersebut.
Pada kenyataannya, asosiasi dapat terbentuk dengan sendirinya dan berubah dengan
sendirinya sesuai dengan kepribadian individu yang terlibat atau dalam hal ini adalah
konsumen. Berbagai fungsi atau peranan dari asosiasi merek menurut Durianto, Sugiarto,
Sitinjak (2004, p69-70) adalah:
1. Help process/ retrieve information (membantu proses peyusunan informasi)
2. Differentiate (membedakan)
Suatu asosiasi dapat memberikan landasan yang penting bagi upaya pembedaan
suatu merek dari merek lainnya.
3. Reason to buy (alasan pembelian)
Brand Association dapat membangkitkan berbagai atribut produk atau manfaat bagi
konsumen (customer benefits) yang dapat memberikan alasan spesifik bagi
konsumen untuk membeli dan menggunakan merek tersebut.
4. Create positive attitude/ feelings (menciptakan sikap atau perasaan poitif)
Beberapa asosiasi mampu merangsang suatu perasaan positif yang pada gilirannya
merembet ke merek yang bersangkutan. Asosiasi-asosiasi tersebut dapat
menciptakan perasaan positif atas dasar pengalaman mereka sebelumnya serta
pengubahan pengalaman tersebut menjadi sesuatu yang lain daripada yang lain.
5. Basis for extensions (landasan untuk perluasan)
Suatu asosiasi dapat menghasilkan landasan bagi suatu perluasan dengan
menciptakan rasa kesesuaian (sense of fit) antara merek dengan produk baru, atau
dengan menghadirkan alasan untuk membeli produk perluasan tersebut.
29
2.8.3 Acuan Asosiasi Merek (Brand Association)
Dalam mengasosiasikan atau memberi atribut suatu merek, konsumen dapat
melihatnya dari berbagai macam pandangan. Terkadang perusahaan juga turut andil dalam
penciptaan asosiasi merek. Melalui iklan misalnya, pemakaian bintang idola sebagai endorser
banyak dilakukan agar dapat mempengaruhi penciptaan asosiasi produk atau merek.
Beragamnya cara penciptaan dan pembentukan asosiasi suatu merek membuat para
pemasar perlu mengelompokan atau menghubungkan berbagai hal yang dapat
mempengaruhi munculnya asosiasi terhadap merek tersebut. Hal ini dinilai perlu selain
sebagai pengendalian dapat juga dilakukan agar merek tersebut tidak terjebak dalam suatu
asosiasi yang tidak diinginkan oleh perusahaan.
Menurut Durianto, Sugiarto, Sitinjak (2004, p70-72), asosiasi-asosiasi yang terkait
dengan suatu merek umumnya dihubungkan dengan berbagai hal berikut:
1. Product attributes (atribut produk)
Diferensiasi / Posisi
Alasan membeli
Menciptakan sikap/perasaan positif
Basis Perluasan
Asosiasi Merek
Gambar 2.6 Nilai Asosiasi MerekSumber : Rangkuti (2004, p43)
Membantu proses/penyusunan informasi
30
Mengasosiasikan atribut atau karakteristik suatu produk merupakan strategi
positioning yang paling sering digunakan. Mengembangkan asosiasi semacam ini
efektif karena jika atribut tersebut bermakna, asosiasi dapat secara langsung
diterjemahkan dalam alasan pembelian suatu merek. Misalnya, apa yang tercermin
dalam kata mobil MERCEDES pasti berbeda dari apa yang tercermin dari kata mobil
SUZUKI.
2. Intangibles attributes (atribut tak berwujud)
Suatu faktor tak berwujud merupakan atribut umum, seperti halnya persepsi
kualitas, kemajuan teknologi, atau kesan nilai yang mengikhtisarkan serangkaian
atribut yang objektif.
3. Customer’s benefits (manfaat bagi pelanggan)
Karena sebagian besar atribut produk memberikan manfaat bagi pelanggan, maka
biasanya terdapat hubungan antar keduanya. Contoh, mobil MERCEDES sangat
nyaman dan aman dikendarai (suatu karakteristik produk) dan memberikan
kepuasan mengemudi bagi pelanggan (suatu manfaat pelanggan). Manfaat bag
pelanggan dapat dibagi dua, yaitu rational benefit (manfaat rasional) dan
pshycological benefit (manfaat psikologis). Manfaat rasional berkaitan erat dengan
atribut dari produk yang dapat menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan
yang rasional. Mafaat psikologis sering kali merupakan konsekuensi ekstreem dalam
proses pembentukan sikap, berkaitan dengan perasaan yang ditimbulkan ketika
membeli atau menggunakan merek tersebut. Misalnya, dalam merek produk Intel
Inside terkandung manfaat processor komputer yang canggih dan cepat.
4. Relative price (harga relatif)
Evaluasi terhadap suatu merek di sebagian kelas produk ini akan diawali dengan
penentuan posisi merek tersebut dalam satu atau dua dari tingkatan harga.
31
5. Application (penggunaan)
Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan merek tersebut dengan suatu
penggunaan atau aplikasi tertentu.
6. User/ Customer (pengguna / pelanggan)
Pendekatan ini adalah dengan mengasosiasikan sebuah merek dengan sebuah tipe
pengguna atau pelanggan dari produk tersebut. Misalnya Dimensin Kiddies dikaitkan
dengan pemakainya yang adalah anak-anak.
7. Celebrity/ Person (orang terkenal/ khalayak)
Mengaitkan orang terkenal, misalnya artis, dengan sebuah merek dapat mentransfer
asosiasi kuat yang dimiliki oleh orang terkenal ke merek tersebut.
8. Life style/ personality (gaya hidup/ kepribadian)
Asosiasi sebuah merek dengan suatu gaya hidup dapat diilhami oleh asosiasi para
pelanggan merek tersebut dengan aneka kepribadian dan karakteristik gaya hidup
yang hampir sama. Misalnya ‘Nagat’ mencerminkan kepribadian yang maskulin, kuat,
dan berani. MARLBORO identik dengan rokoknya pria sejati yang tangguh.
9. Product class (kelas produk)
Mengasosiasikan sebuah merek menurut kelas produknya. Misalnya, VOLVO
mencerminkan nilai berupa prestise, performa tinggi, keamanan, dan lain-lain.
10. Competitors (para pesaing)
Mengetahui pesaing dan berusahan untuk menyamai atau bahkan mengungguli
pesaing.
11. Country/ geographic area (negara/ wilayah geografis)
Sebuah negara dapat menjadi simbol yang kuat asalkan memiliki hubungan yang
erat dengan produk, bahan, dan kemampuan. Contoh, Prancis diasosiasikan dengan
mode pakaian dan parfum. Asosiasi tersebut dapat dieksploitasidengan mengaitkan
32
merek pada sebuah negara. Contoh lain, mobil MERCEDES mencerminkan budaya
negara Jerman yang berkualitas tinggi, konsistensi tinggi, dan keseriusan tinggi.
2.8.4 Cara Menghitung Brand Association
Asosiasi dari suatu merek terbentuk setelah konsumen membeli dan menggunakannya.
Asosiasi yang terbentuk tersebut kemudian dijadikan suatu kepercayaan oleh pasar yang
belum pernah menggunakannya dan diaktifkan pada saat berada dalam situasi pengambilan
keputusan pembelian.
Menurut Rangkuti (2004, p44-45), seandainya kita ingin mengukur asosiasi merek
(brand association) suatu produk, misalnya mie instan merek X, maka caranya adalah
dengan mengajukan pertanyaan kepada sejumlah responden yang benar-benar telah
menggunakan produk tersebut. Jangan menanyakan kepada responden yang belum pernah
memakai produk tersebut karena pada umumnya mereka tidak mengetahui secara detail
karakteristik produk yang belum pernah mereka gunakan atau belum pernah mereka
konsumsi.
2.9 Loyalitas Merek (Brand Loyalty)
2.9.1 Definisi Brand Loyalty
Brand loyalty adalah sejauh mana seorang konsumen setia terhadap suatu merek, dan
seberapa besar kemungkinan ia akan berpindah ke merek yang lain. (Santoso dan Tjiptono,
2001, p235).
Menurut Rangkuti (2004, p60-61), brand loyalty merupakan ukuran dari kesetiaan
terhadap suatu merek. Brand loyalty merupakan inti dari brand equity yang menjadi gagasan
sentral dalam pemasaran, karena hal ini merupakan satu ukuran keterkaitan seorang
pelanggan pada sebuah merek.
2.9.2 Tingkatan Brand Loyalty
33
Tingkatan dalam brand loyalty dapat terlihat dalam piramida loyalitas merek berikut
ini:
Dari piramida di atas (gambar 2.7) terdapat 5 tingkatan pengelompokan konsumen
berdasarkan tingkat kesetiaannya (Brand Loyalty). Tiap-tiap tingkatan memiliki
karaktersitik sebagai berikut: (Durianto, Sugiarto, Budiman, 2004, p19-20)
1. Switcher/ price buyer (pembeli yang berpindah-pindah)
Adalah tingkat loyalitas paling dasar. Semakin sering pembelian konsumen berpindah
dari suatu merek ke merek yang lain mengindikasikan bahwa mereka tidak loyal,
semua merek dianggap memadai. Dalam hal ini merek memegang peranan yang
kecil dalam keputusan pembelian. Ciri paling jelas dalam kategori ini adalah mereka
membeli suatu merek karena banyak konsumen lain membeli merek tersebut karena
harganya murah.
2. Habitual buyer (pembeli yang bersifat kebiasaan)
Committed Buyer
Likes the Brand
Satisfied Buyer
Habitual Buyer
Switcher / Price Buyer
Gambar 2.7 : Piramida Brand LoyaltySumber : Aaker (1997) dalam buku Durianto, Sugiarto, Budiman (2004, p21)
34
Adalah pembeli yang tidak mengalami ketidakpuasan dalam mengkonsumsi suatu
merek produk. Tidak ada alasan yang kuat baginya untuk membeli merek produk
lain atau berpindah merek, terutama jika peralihan itu membutuhkan usaha, biaya,
atau pengorbanan lain. Jadi, ia membeli suatu merek karena alasan kebiasaan.
3. Satisfied buyer (pembeli yang puasdengan biaya peralihan)
Adalah kategori pembeli yang puas dengan merek yang mereka konsumsi. Namun
mereka dapat daja berpindah merek dengan menanggung switching cost (biaya
peralihan), seperti waktu, biaya, atau resiko yang timbul akibat tindakan peralihan
merek tersebut. Untuk menarik peminat pembeli kategori ini, pesaing perlu
mengatasi biaya peralihan yang harus ditanggung pembeli dengan menawarkan
berbagai manfaat sebagai kompensasi.
4. Likes the Brand (menyukai merek)
Adalah kategori pembeli yang sungguh-sungguh menyukai merek tersebut. Rasa
suka didasari oleh asosiasi yang berkaitan dengan simbol, rangkaianpengalaman
menggunakan merek itu sebelumnya, atau persepsi kualitas (Perceived Quality) yang
tinggi.
5. Commited buyer (pembeli yang berkomitmen)
Adalah kategori pembeli yang setia. Mereka mempunyai kebanggan dalam
menggunakan suatu merek. Merek tersebut bahkan sangat penting baik dari segi
fungsi maupun sebagai ekspresi siapa sebenarnya penggunanya. Ciri yang tampaka
pada kategori ini adalah tindakan pembeli untuk merekomendasikan atau
mempromosikan merek yang ia gunakan kepada orang lain.
2.9.3 Fungsi atau Nilai dari Brand Loyalty
Loyalitas merek dapat memberikan nilai kepada perusahaan: (Durianto, Sugiarto,
Budiman, 2004, p21-22)
35
1. Mengurangi biaya pemasaran.
Biaya pemasaran untuk mempertahankan konsumen akakn lebih murah
dibandingkan untuk mendapatkan konsumen baru.
2. Meningkatkan perdagangan.
Loyalitas yang kuat terhadap suatu merek akan meningkatkan perdagangan dan
memperkuat keyakinan perantara pemasaran.
3. Menarik konsumen baru.
Perasaan puas dan suka terhadap suatu merek akan menimbulkan perasaan yakin
bagi acalon konsumen untuk mengkonsumsi merek tersebut dan biasanya akan
merekomendasikan / mempromosikan merek yang ia pakai kepada orang lain,
sehingga kemungkinan dapat menarik konsumen baru.
4. Memberi waktu untuk merespons ancaman persaingan.
Bila pesaing mengembangkan produk yang lebih unggul, konsumen yang loyal akan
memberikan waktu bagi perusahaan untuk merespons pesaing dengan
memperbaharui produknya.
2.10 Jasa
2.10.1 Definisi Jasa
Dalam aktivitas tukar menukar, pihak yang terlibat saling menukar komoditi atau
dalam hal ini bias dikatakan sebagai produk. Pada perkembangannya, kebutuhan manusia
terus meningkat dan sifatnya semakin kompleks. Untuk memuaskan kebutuhan, manusia
bukan hanya memerlukan produk atau komoditi yang sifatnya tangible atau dapat terlihat
secara fisik, namun manusia juga memerlukan pihak-pihak yang mengurus hal-hal tertentu
dimana aktivitas dari pihak-pihak tersebut tidak kasat mata atau intangible. Hal tersebut
36
dalam pemasaran dikategorikan sebagai jasa. Jasa biasanya tidak dapat dilihat oleh mata,
hanya dapat dirasakan manfaatnya.
Sekarang ini banyak produk merupakan kombinasi dari barang dan jasa, yang
membuat definisi jasa menjadi lebih rumit. Namun menurut Philip Kotler (2002, p237), jasa
atau service adalah:
“Service is a deed, a performance, or an act that is essentially intangible and does
not necessarily result in the ownership of anything. Its creation may or may not be
tied to a physical product.”
Jasa sering terwujud dalam bentuk pelayanan. Jasa merupakan suatu kinerja yang
tidak berwujud dan cepat hilang, yang lebih dapat dirasakan daripada dimiliki. Contoh-contoh
jasa yang dapat ditemui misalnya, restoran, penginapan, instansi pendidikan, kesehatan,
hiburan, atau profesi lainnya. Seperti telah dikatakan bahwa sekarang ini semakin banyak
2.10.2 Karakterisktik Jasa
Seperti telah dikatakan bahwa sekarang ini semakin banyak produk yang merupakan
kombinasi dari barang dan jasa, maka perlu ditinjau lebih lanjut mengenai karakteristik jasa
agar semakin dapat mempertajam dan membedakan antara barang (produk fisik) dan jasa.
Philip Kotler menguraikan karakteristik atau sifat dari jasa sebagai berikut: (Kotler, 2002,
p12)
1. Intangible (tidak berwujud)
Jasa memiliki sifat tidak berwujud, tidak dapat dilihat, dikecap, dirasakan, dicium,
atau dinikmati sebelum jasa tersebut dibeli.
2. Inseparibility (tidak dapat dipisahkan)
Jasa tidak dapat dipisahkan dari si pemberi jasa.
3. Variability (bervariasi)
37
Jasa senantiasa mengalami perubahan, yang dipengaruhi oleh siapa jasa tersebut
diberikan. Karena sifat jasa yang tidak dapat dipisahkan dari si pemberi jasa, maka
perubahan yang terjadi adalah perbedaan kualitas jasa tergantung dari siapa
penyedia jasa, penerima, dan kondisi di mana jasa tersebut diberikan.
4. Perishability (tidak tahan lama)
Maksudnya adalah bahwa jasa tidak dapat disimpan untuk digunakan atau dijual
kemudian. Jasa langsung habis dinikmati setelah dibeli saat itu juga.
2.11 Kualitas Pelayanan (Services)
2.11.1 Definisi Kualitas
Montgomery dalam Supranto (2006, p2) menjelaskan definisi dari mutu, yaitu:
”Quality is the extent to which produscts meet the requirements of people who use
them.”
Kualitas merupakan aspek yang penting dalam distribusi produk. Meurut Foster
(2003, p3) bahwa kualitas adalah sebuah ukuran kesempurnaan yang berkaitan dengan
suatu produk baik barang ataupun jasa. Dikatakan kesempurnaan karena kualitas identik
dengan suatu kondisi tanpa cacat. Definisi dari Edward Deming, penggagas konsep PDCA
(Plan-Do-Check-Act) menganggap bahwa kualitas adalah sebagai ”Zero Defects”. Dalam
bukunya, Render dan Heizer (2005, p256) berpendapat bahwa kualitas adalah kemampuan
suatu produk, barang ataupun jasa, dalam memenuhi kebutuhan pelanggan.
2.11.2 Dimensi Kualitas Jasa
Agar dapat memenangkan persaingan perusahaan jasa harus selalu memberikan
jasanya dengan kualitas yang lebih tinggi dari pesaingnya secara konsisten. Kualitas jasa
lebih sulit di definisikan daripada kualitas barang (produk fisik). Ada 5 dimensi kualitas jasa
38
atau yang biasa dikenal dengan istilah ServQual (service quality), yaitu: (Parasuraman;
Zeithamel; Berry, dalam Foster, 2003, p7)
Tangibles, adalah penampilan fisik dari fasilitas jasa, peralatan, dan personil dalam
memberikan jasa. Misalnya, penampilan staff, gedung kantor, dsb
Empathy, adalah fokus kepada tiap-tiap pelanggan, perhatian dari penyedia jasa
terhadap pelanggan secara individual, karena pelanggan menginginkan untuk
dianggap sebagai sesuatu yang penting atau bergharga oleh perusahaan penyedia
jasa.
Responsiveness, adalah kemauan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa
dengan cepat dan tanggap.
Reliability, adalah kemampuan untuk memberikan jasa yang dijanjikan dengan tepat
dan terpercaya.
Assurance, adalah pengetahuan dan kesopanan dari karyawan serta kemampuan
mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan
2.12 Kepuasan Konsumen (Customer Satisfaction)
Kepuasan konsumen merupakan sebuah unsur penting dalam kelangsungan bisnis
barang maupun jasa. Konsumen yang puas akan cenderung loyal atau setia terhadap suatu
produk atau suatu merek. Bahkan besar kemungkinan konsumen tersebut akan
merekomendasikan merek produk tersebut kepada orang lain sehingga mengaktifkan sitem
pemasaran natural yaitu word of mouth.
Namun, membangun produk (barang ataupun jasa) baik melalui kualitas produk dan
jasa, kepercayaan, dan kegiatan lainnya guna memuaskan kebutuhan konsumen bukanlah
suatu perkara mudah. Tiap orang memiliki persepsi yang berbeda akan kualitas suatu merek
produk, setiap orang memiliki hasrat yang berbeda dalam kepemilikan sebuah produk, oleh
39
karena itu tiap perusahaan perlu mengetahui faktor-faktor apa sajakah yang dapat
memuaskan kebutuhan konsumen melalui konsumsi produk baik dalam bentuk barang atau
jasa.
Pelanggan memang harus dipuaskan, sebab kalau mereka tidak puas akan
meninggalkan perusahaan dan menjadi pelanggan pesaing, hal ini akan menyebabkan
penurunan penjualan dan pada gilirannya akan menurukan laba dan kerugian. (Supranto,
2006,p2)
2.12.1 Definisi kepuasan konsumen (Customer Satisfaction)
Menurut Oliver dalam Peter dan Olson (2000, p158), kepuasan adalah:
“Rangkuman kondisi psikologis yang dihasilkan ketika emosi yang mengelilingi
harapan yang tidak cocok dilipatgandakan oleh perasaan-perasaan yang terbentuk
dalam konsumen tentang pengalaman pengonsumsian.”
Ditambahkan lagi, bahwa rasa heran atau kegairahan yang disebabkan oleh evaluasi
ini dianggap memiliki tenggang waktu yang terbatas, sehingga kepuasan dengan segera
melarut ke dalam (namun demikian tidak terlalu mempengaruhi) sikap keseluruhan terhadap
pembelian produk, khususnya yang berkaitan dengan lingkungan pengecer yang khas.
Menurut Kotler (2004, p42), kepuasan pelanggan adalah perasaan senang atau kecewa
seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi/kesannya terhadap kinerja
atau hasil dari suatu produk dan harapan-harapannya. Kepuasan merupakan fungsi dari
kinerja dan harapan. Jika kinerja berada di bawah harapan, pelanggan tidak puas. Jika
kinerja memenuhi harapan, pelanggan puas. Jika kinerja melebihi harapan, pelanggan amat
puas atau senang.
40
Menurut Durianto, Sugiarto, Budiman (2004, p19), kepuasan adalah pengukuran
secara langsung bagaimana konsumen tetap loyal kepada suatu merek. Kepuasan terutama
menjadi pengukuran di bisnis jasa (seperti perusahaan penyewaan mobil, hotel, atau bank).
2.12.2 Pengukuran Kepuasan Konsumen
Menurut Supranto (2006, p3-4), ada dua jenis pengukuran kepuasan konsumen yaitu
pengukuran halus (soft measure) dan pengukuran keras (hard measure).
Pengukuran halus atau lunak merupakan suatu pengukuran yang subjektif, yang berfokus
pada persepsi dan sikap (perception and attitudes) daripada hal-hal yang konkret yang
disebut kriteria objektif seperti misalnya besarnya barang, luasnya kamar hotel, dan
sebagainya.
Pengukuran lunak ini menggunakan indeks subjektif atau pendapat pribadi seseorang
terhadap suatu objek. Hal ini dinilai lebih sesuai dan lebih penting dalam memperkirakan
mutu jasa/pelayanan daripada bila menggunakan indeks objektif, dan pimpinan bisnis hanya
tertatrik di dalam memperoleh pengertian/pemahaman secara komprehensif mengenai
persepsi pelanggannya. Pengukuran lunak ini meliputi kuesioner kepuasan pelanggan untuk
menentukan persepsi dan sikap pelanggan mengenai mutu barang atau jasa yang mereka
beli.
Pengukuran keras (hard measure) biasanya dilakukan di perusahaan manufaktur,
karena sifat dari pengukuran keras ini adalah bersifat objektif, sesuai dengan aspek fisik dari
produk misalnya berat sebuah telepon genggam, tampilan warna baju, dan lain-lain. Hal ini
tidak dapat diterapkan dalam sektor jasa, karena bila diterapkan dalam sektor jasa, maka
pengukuran ini tidak dapat menggambarkan mutu jasa yang sebenarnya sebab persepsi
setiap orang berbeda-beda terhadap karakteristik suatu produk.
Untuk dapat mengukur kepuasan, maka perusahaan harus mengetahui kebutuhan dan
harapan pelanggan terhadap suatu produk baik barang maupun jasa melalui persepsi dan
41
sikap. Pengetahuan persepsi dan sikap pelanggan tentang organisasi bisnis akan
meningkatkan peluangnya untuk membuat keputusan bisnis lebih baik.
Salah satu cara untuk mengukur sikap dan persepsi pelanggan adalah dengan
menggunakan kuesioner. Agar pengukuran dapat akurat, maka perusahaan harus
mengidetifikasi kebutuhan-kebutuhan konsumen akan mutu produk baik mutu pelayanan
ataupun mutu dari barang yang dijual. Menurut Supranto (2006, p2), tingkat kepuasan
pelanggan sangat tergantung pada mutu atau kualitas suatu produk (barang atau
jasa).Montgomery dalam Supranto (2006, p2) menjelaskan definisi dari mutu, yaitu:
”Quality is the extent to which produscts meet the requirements of people who use
them.”
2.12.3 Peranan Pengukuran Kepuasan Konsumen
Pengukuran kepuasan sangat penting dilakukan oleh semua industri, barang ataupun
jasa. Menurut Supranto (2006, p3) pengukuran kepuasan konsumen bermanfaat bagi
pimpinan bisnis seperti:
1. Mengetahui dengan baik bagaimana jalannya atau bekerjanya proses bisnis.
2. Mengetahui di mana harus melakukan perubahan dalam upaya melakukan perbaikan
secara terus menerus untuk memuaskan pelanggan, terutama untuk hal-hal yang
dianggap penting oleh para pelanggan.
3. Mengetahui apakah perubahan yang dilakukan mengarah ke perbaikan.
2.12.4 Tahap Pengukuran Kepuasan Konsumen
42
Penjelasan dari model di atas adalah sebagai berikut:
1. Langkah Pertama
Di dalam proses mengidentifikasi (mengenali) kebutuhan pelanggan (customer’s
requirements) atau dimensi mutu (=quality dimensions), karakteristik/ atribut yang
penting dari produk berupa barang atau jasa. Kebutuhan pelanggan atau dimensi
mutu akan menentukan mutu produk anda. Pengetahuan kebutuhan pelanggan
sangat penting ditinjau dari alasan berikut:
Pertama: Pengetahuan ini akan memberikan suatu pemahaman yang lebih
baik mengenai cara pelanggan anda mengartikan mutu barang atau
jasa yang anda jual.
Kedua : Pengetahuan ini akan memudahkan pengembangan kuesioner
kepuasan pelanggan. Pertanyaan-pertanyaan harus dapat
menunjukkan kepuasan pelanggan yang mana tergantung setiap
dimensi mutu tertentu.
2. Langkah Kedua
Di dalam proses mengembangkan kuesioner, dalam langkah ini banyak
komponen khusus. Tujuan akhir dari langkah kedua ini ialah untuk mengembangkan
kuesioner yang memungkinkan untuk memulai informasi khusus tentang persepsi
pelanggan. Informasi khusus harus sesuai dengan yang mendasar kebutuhan
Menentukan Kebutuhan Pelanggan
Mengembangkan dan mengevaluasi kuesioner
Menggunakan kuesioner
Gambar 2.8 : Model Umum untuk Mengembangkan dan Menggunakan Kuesioner Kepuasan Pelanggan
Sumber : Supranto (2006, p9)
43
pelanggan, yang diidentifikasi di langkah pertama. Dalam langkah ini peneliti
memperoleh mengenai evaluasi kuesioner di mana di dalamnya akan dipilih butir-
buitr pertanyaan kepuasan terbaik yang harus dimasukkan dalam kuesioner. Begitu
kuesioner dikembangkan, langkah selanjutnya adalah menggunakan kuesioner
tersebut.
2.12.5 Cara Mengidentifikasi Kebutuhan Pelanggan
Ada dua metode untuk mengidentifikasikan kebutuhan pelanggan. Metode yang
pertama adalah pendekatan pengembangan dimensi mutu, yang kedua adalah pendekatan
insiden kritis (critical incident approach). (Supranto, 2006, p11-12)
Pendekatan pengembangan dimensi kualitas menghendaki pemberi jasa (provider)
membentuk dimensi mutu dari barang atau jasa. Pendekatan insiden kritis melibatkan
pelanggan di dalam menentukan dimensi mutu.
2.13 Persaingan Dalam Industri
Michael Porter telah mengidentifikasi lima kekuatan yang menentukan daya tarik
laba jangka panjang intrisnsik pasar atau segmen pasar tertentu. Lima kekuatan tersebut
adalah para pesaing industri, calon pendatang, substitusi, pembeli, dan pemasok. Lima
ancaman yang ditimbulkan kekuatan tersebut menurut Kotler (2005, pp266-267) adalah:
1. Persaingan antar perusahaan yang sejenis dalam industri
Segmen tertentu menjadi tidak menarik jika ia telah memiliki pesaing yang banyak,
kuat, atau agresif. Ia bahkan menajdi lebih tidak menarik jika segmen tersebut stabil
atau menurun, penambahan kapasitas pabrik dilakukan secara besar-besaran, biaya
tetap tinggi, hambatan untuk keluar besar, atau pesaing memiliki kepentingan yang
besar untuk tinggal di dalam segmen tersebut. Kondisi itu akan menyebabkan sering
44
terjadinya perang harga, perang iklan, atau pengenalan produk baru, sehingga akan
menjadi sangat mahal bagi perusahaan untuk bersaing.
2. Ancaman pendatang baru
Daya tarik segmen berbeda-beda menurut tingginya hambatan untuk masuk dan
keluarnya. Segmen yang paling menarik adalah segmen yang memiliki hambatan
untuk masuk yang tinggi dan hambatan untuk keluar yang rendah. Sedikit
perusahaan baru yang dapat memasuki industri, dan perusahaan yang berkinerja
buruk dapat dengan mudah keluar. Jika hambatan masuk dan hambatan untuk
keluar tinggi, potensi laba tinggi, namun perusahaan menghadapi risiko yang lebih
besar karena perusahaan yang berkinerja buruk tinggal dan berjuang keras di sana.
Jika hambatan untuk masuk dan keluar rendah, perusahaan dengan mudah dapat
masuk dan kelaur dari industri, serta tingkat pengembalian investasinya stabil dan
rendah. Kasus terburuk adalah jika hambatan untuk masuk rendah dan hambatan
untuk keluar tinggi: Di sini perusahaan-perusahaan akan masuk dalam situasi yang
menguntungkan namun sulit untuk keluar dari situasi yang buruk. Akibatnya adalah
terjadi kelebihan kapasitas yang kronis dan penurunan harga dan penghasilan bagi
semua pihak.
Ada enam sumber utama hambatan masuk:
Skala Ekonomis
Skala ekonomis menghalangi masuknya pendatang baru ke suatu industri karena
memaksa pendatang baru ini untuk masuk dengan skala besar atau harus
memikul biaya tinggi (cost disadvantage).
Diferensiasi Produk
Identifikasi merek menimbulkan hambatan karena memaksa pendatang baru
untuk mengeluarkan biaya besar guna merebut kesetiaan pelanggan.
45
Kebutuhan Modal
Keharusan menanamkan sumber daya keuangan yang besar agar dapat bersaing
menimbulkan hambatan masuk, khususnya modal dibutuhkan bukan hanya
untuk fasilitas tetap, melainkan juga untuk kredit pelanggan, sediaan, dan
penutup kerugian awal.
Hambatan Biaya Bukan Karena Skala
Perusahaan-perusahaan yang sudah ada mungkin memiliki keunggulan biaya
yang tidak dimiliki calon pendatang baru, terlepas dari ukuran dan skala
ekonomis yang dapat mereka capai. Adakalanya keunggulan biaya diperoleh dari
jalan hukum, seperti melalui hak paten.
Akses Ke Saluran Distribusi
Pendatang baru, tentu saja harus mengamankan distribusi produk atau jasa
mereka. Makin terbatas saluran pedagang besar dan pengecer yang ada dan
makin erat ikatan perusahaan yang sudah ada dengan saluran ini, jelas makin
sukar usaha masuk ke dalam suatu industri.
Kebijakan Pemerintah
Pemerintah dapat membatasi atau bahkan melarang masuknya pendatang baru
ke dalam industri, melalui tindakan-tindakan seperti keharusan adanya ijin dan
pembatasan akses ke bahan baku.
3. Ancaman produk substitusi
Segmen tertentu menjadi tidak menarik jika terdapat substitusi produk yang aktual
atau potensial. Substitusi membatasi harga dan laba. Perusahaan harus memantau
secara dekat tren harga produk substitusi. Jika kemajuan teknologi atau persaingan
meningkat di industri substitusi tersebut, harga dan laba dalam segmen tersebut
cenderung akan menurun.
46
4. Ancaman peningkatan kekuatan posisi tawar pembeli
Segmen tertentu menjadi tidak menarik jika pembeli memiliki kekuatan posisi tawar
(bargaining power) yang kuat atau semakin meningkat. Kekuatan posisi tawar para
pembeli berkembang jika mereka menjadi lebih terkonsentrasi atau terorganisasi,
produk tersebut merupakan bagian yang signifikan dari biaya pembeli, produk
tersebut tidak terdiferensiasi, biaya perpindahan ke pemasok/ produk lain rendah,
pembeli peka terhadap harga karena laba yang rendah, atau pembeli dapat
melakukan integrasi ke hulu. Untuk melindungi diri mereka, para penjual dapat
memilih pembeli yang memiliki kekuatan posisi tawar yang paling rendah atau yang
sulit mengganti pemasok. Pertahanan yang lebih baik adalah mengembangkan
tawaran unggul yang tidak dapat ditolak oleh para pembeli yang kuat.
5. Ancaman peningkatan kekuatan posisi tawar pemasok
Segmen tertentu menjadi tidak menarik jika para pemasok perusahaan mampu
menaikkan harga atau mengurangi kuantitas yang mereka pasok. Para pemasok
cenderung menjadi kuat jika mereka terkonsentrasi atau terorganisasi, terdapat
sedikit substitusi, produk yang dipasok merupakan input yang penting, biaya
berpindah pemasok tinggi, dan pemasok dapat melakukan integrasi ke hilir.
Pertahanan terbaik adalah membangun hubungan menang-menang dengan para
pemasok atau memakai berbagai sumber pasokan.
47
Berikut ini adalah gambaran dari 5 (lima) elemen kekuatan persaingan dalam
industri:
Ancaman Pendatang Baru
Ancaman Produk Pengganti
Ancaman Daya Tawar Pembeli
Ancaman Daya Tawar Pemasok
Pesaing-pesaing industri
Gambar 2.9 : Elemen Kekuatan Persaingan Porter
Sumber: Kotler (2004, p248)
48
2.14 Kerangka Pemikiran
Industry Competitiveness
Brand Equity Customer Satisfaction
Competitive Advantages
Winning The Competition
Gambar 2.10 Kerangka Pemikiran