bab 2 landasan teori 2.1 konsep dan karakteristik zen...7 bab 2 landasan teori 2.1 konsep dan...
TRANSCRIPT
7
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Konsep dan Karakteristik Zen
Zen (禅 ) berasal dari kata Cina yakni ‘Ch’an’ yang diambil dari kata
Sansekerta disebut dhyana. Ch’an atau Zen diajarkan pertama kali oleh
Bodhidharma yang berasal dari India (Purser, 2013: 36). Bodhidharma
membawa Ch’an atau Zen ke Cina dan berkembang untuk beberapa abad,
kemudian perkembangan Zen berlanjut di Jepang, yang dikenal dengan Buddha
Zen. Biksu Buddha bernama Eisai membawa Zen ke Jepang dan mendirikan
sekolah Zen Rinzai. Selain Rinzai, ada sekolah Zen lainnya di Jepang, yaitu
sekolah Soto yang didirikan oleh Dogen. Kedua sekolah Zen tersebut memiliki
perbedaan, yaitu sekolah Rinzai menekankan pada inspirasi spontan yang
dicapai melalui penggunaan koan (cerita atau dialog yang menggambarkan
interaksi antara ahli Zen dengan muridnya), sedangkan sekolah Soto
menekankan pada pencapaian akan pencerahan secara bertahap yang dicapai
melalui meditasi. Zen didapat dari pengalaman sehingga diperlukan pemahaman
praktek agar dapat memahami Zen itu sendiri. Zen melatih kepekaan panca
indera, meningkatkan pandangan tentang estetika, dan melatih pikiran untuk
melebihi pikiran yang diskriminatif.
Menurut Engel dalam Antariksa (2002: 54), Zen telah mempengaruhi segala
aspek kehidupan orang Jepang, tidak hanya berhubungan dengan seni, lembaga
sosial, pemerintahan, namun juga berhubungan dengan arsitektur dan seni
pertamanan. Seni klasik Zen seperti lukisan, kaligrafi, upacara minum teh, puisi,
serta taman Jepang dipandang sebagai ekspresi dan cara untuk menerangkan
pikiran agar bebas dari hambatan dan ikatan. Banyak ahli Zen yang juga terkenal
sebagai penulis kaligrafi, penulis puisi, pelukis, maupun pemusik (Purser, 2013:
37-38).
Terdapat tujuh karakteristik dalam Zen menurut Hisamatsu dalam Zhao
(2009: 13), di antaranya adalah fukinsei (asimetris), kanso (kesederhanaan),
shizen (kealamian), dan datsuzoku (bebas dari ikatan). Urutan dalam
karakteristik ini tidak menunjukkan tingkat kepentingan dari karakteristik
tersebut, melainkan masing-masing karakteristik memiliki makna yang sama
8
pentingnya. Karakteristik tersebut merupakan cara untuk mengekspresikan
pengenalan akan ‘diri yang tak berbentuk’ atau ‘kekosongan’. Pengenalan ini
disebut satori, yaitu penerangan atau kesadaran akan diri sendiri. Pada sub bab
di bawah ini penulis akan menjelaskan mengenai makna karakteristik tersebut.
2.1.1 Fukinsei (不均不均不均不均斉斉斉斉))))atau Asimetris Fukinsei (不均斉) berarti asimetris. Menurut Hisamatsu dalam Zhao
(2009: 14), asimetris berarti tidak teratur, tidak rata, atau tidak seimbang.
Dalam bentuk, bentuk simetris dinyatakan dengan lingkaran. Namun ada
bentuk lingkaran yang sisinya tidak rata dan tidak seimbang. Bentuk
lainnya adalah bentuk segi empat yang panjang sisinya tidak sama. Bentuk
yang sisinya tidak sama atau tidak seimbang dapat dikatakan asimetris.
Dalam angka, asimetris ditunjukkan dengan angka ganjil, sedangkan angka
genap merupakan simetris. Angka dua, empat, enam, delapan, dan sepuluh
dapat dibagi dengan angka dua, hal tersebut dapat dikatakan sebagai
simetris. Namun angka satu, tiga, lima, tujuh, dan sembilan merupakan
angka ganjil dan dikatakan sebagai asimetris. Di dalam seni ikebana dan
kaligrafi terdapat tiga gaya, yaitu formal, semi formal, dan informal.
Asimetris dapat dikatakan informal, sedangkan simetris digambarkan
dengan gaya formal.
2.1.2 Kanso (簡簡簡簡素素素素) atau Kesederhanaan
Kanso ( 簡 素 ) merupakan karakteristik kedua yang berarti
kesederhanaan. Menurut Hisamatsu dalam Zhao (2009: 14),
kesederhanaan merupakan sesuatu yang tidak menyolok. Kesederhanaan
dalam warna berarti warna tersebut tidak menyolok dan tidak terlihat
adanya perbedaan warna. Sebagai contoh, dalam lukisan, tinta yang
digunakan adalah tinta hitam Cina. Lukisan tersebut hanya mengandalkan
tinta hitam yang bertujuan untuk memperlihatkan isi dari lukisan tersebut,
dan tidak menyolok serta berwarna-warni.
9
2.1.3 Shizen (自然自然自然自然) atau Kealamian
Menurut pendapat Hisamatsu dalam Zhao (2009: 15), shizen (自然)
berarti sesuatu yang alami, wajar, natural, atau bukan buatan. Kealamian
tersebut sama dengan tidak adanya paksaan atau tidak ada maksud tertentu.
Kealamian yang sesungguhnya adalah tanpa pikiran atau tanpa tujuan yang
muncul dari penyangkalan yang polos atau kealamian yang terjadi secara
kebetulan dan niat yang biasa. Seperti pada mangkuk teh yang bentuknya
asimetris secara alami, bentuknya yang tidak beraturan dan asimetris
merupakan kealamian yang wajar dan tidak dipaksakan, serta lebih
menarik dibandingkan dengan mangkuk teh yang bentuknya simetris.
2.1.4 Datsuzoku (脱俗脱俗脱俗脱俗) atau Bebas dari Ikatan
Menurut Hisamatsu dalam Zhao (2009: 16), datsuzoku (脱俗) secara
singkat berarti bebas dari kebiasaan, adat, rumus, peraturan, atau tidak
terikat dengan sesuatu. Hal ini termasuk kebebasan atau tidak adanya
batasan dalam berpikir dan bertindak. Bebas dari keterikatan juga berarti
tidak mematuhi atau menaati peraturan, baik tidak mematuhi peraturan
yang telah ada maupun tidak mematuhi peraturan yang akan ada. Berbagai
macam peraturan akan menjadi penghalang aktifitas dan kreatifitas.
Karakteristik ini berhubungan dengan asimetris yang meninggalkan aturan
dan kesempurnaan, serta berhubungan dengan kreatifitas seniman dalam
mengekspresikan pemahamannya terhadap alam ke suatu karya seni.
2.2 Konsep Rumah Jepang Kontemporer
Jepang merupakan masyarakat yang kuno dan tradisional, namun juga
merupakan masyarakat modern yang mengalami industrialisasi dan urbanisasi
yang sangat pesat pada masa Meiji dan juga pada masa sesudah Perang Dunia II.
Pada masa modern, Jepang dihadapkan dengan desakan akan kebutuhan tempat
tinggal dan harga lahan tempat tinggal yang mahal sehingga Jepang
bereksperimen dengan cara baru untuk menyediakan tempat tinggal yang aman
dan nyaman bagi masyarakatnya sendiri. Pada awal Jepang modern, mayoritas
orang Jepang tinggal di daerah pedesaan. Rumah di pedesaan sangat luas
sehingga keluarga yang tinggal di dalamnya adalah keluarga besar. Proses
10
urbanisasi yang telah ada sebelumnya berlanjut, dan kebanyakan orang pindah
ke daerah perkotaan untuk mencari pekerjaan dan mendapatkan kehidupan yang
lebih mudah. Walaupun banyak orang yang kembali sementara ke daerah
pedesaan selama dan setelah Perang Dunia II untuk mencari makan dan keluar
dari kehancuran yang sangat besar di kota, proses urbanisasi segera pulih seiring
dengan pembangunan kembali dan modernisasi yang sangat pesat. Pada masa
modern, mayoritas orang Jepang tinggal di daerah perkotaan dan sangatlah
mahal apabila memiliki rumah pribadi. Pada umumnya rumah di perkotaan
memiliki ukuran 2LDK (2 Bedrooms, Living room, Dining room, Kitchen), yaitu
dua kamar tidur (satu untuk orang tua dan satu lagi untuk anak), ruang keluarga,
ruang makan, dan dapur. Dengan kata lain, rata-rata keluarga Jepang pada masa
modern adalah keluarga inti. (Young, 2007: 166).
Menurut Ronald (2009: 564), walaupun ada perubahan pada bentuk rumah,
terdapat beberapa ciri yang tetap ada pada rumah Jepang yang nampak untuk
mempertahankan keaslian ruang. Hal yang paling jelas terlihat adalah genkan
yang menandakan peralihan area antara bagian dalam dan luar. Area tersebut
dipakai sebagai tempat untuk melepas sepatu dan mengganti dengan alas kaki
lainnya (Ozaki, 2002: 218). Hal ini merupakan suatu ciri yang menetap dan
dapat terlihat pada rumah Jepang. Rumah modern Jepang memiliki toilet dan
kamar mandi yang terpisah dengan adanya pembagian antara area membersihkan
badan dan berendam untuk mencegah kontaminasi. Mesin cuci terdapat pada
area kamar mandi atau beranda, dan tidak pernah diletakkan di dapur.
Kebersihan dari tiap ruangan dalam rumah dijaga dengan cara ketika memasuki
atau meninggalkan ruangan, perlu memakai atau melepas alas kaki yang berbeda.
Keberlangsungan interior Jepang ditunjukkan dengan bertahannya washitsu
(ruangan bergaya Jepang) yang di dalamnya terdapat tatami (alas lantai ruangan
gaya Jepang) dan shouji (pintu sorong model Jepang yang dilapisi oleh kertas).
Nakagawa dalam Ronald (2009: 564) menjelaskan bahwa pada masa modern,
chanoma (ruang keluarga) dan zashiki (ruang duduk ala Jepang untuk
menyambut tamu) digabung menjadi living room (ruang keluarga atau ruang
tamu). Namun, kamar tidur bergaya Jepang yang menggunakan tatami telah
digantikan dengan kamar tidur bergaya barat. Perubahan ini tidak hanya
tercermin pada kebiasaan baru dari penggunaan tempat tidur, tetapi juga berarti
bahwa kamar tersebut memiliki dinding yang kokoh dan pintu sebagai pembatas
11
(Ozaki, 2002: 220). Jumlah rumah yang memiliki kamar tidur bergaya barat
yang dibatasi dengan dinding kokoh dan pintu tersebut naik dari 17% pada tahun
1970-an menjadi 66% pada tahun 1990-an (Ozaki, 2002: 223). Meskipun
demikian, masih tetap ada ruangan yang menggunakan tatami dan terletak di
sebelah ruang tamu (living room) seperti yang ditunjukkan dengan angka tiga
dan angka dua (dapur, ruang makan, dan ruang tamu) pada gambar 2.1.
Gambar 2.1 Denah Rumah Jepang Kontemporer
Sumber: Housing as a Reflection of Culture : Privatised Living and Privacy in
England and Japan (2002)
Berikut ini merupakan keterangan dari gambar 2.1. Pada gambar tersebut
terdapat dua denah, yaitu sebelah kiri merupakan denah lantai satu (1F) dan
sebelah kanan merupakan denah lantai dua (2F). Untuk denah lantai satu, angka
satu (1) menunjukkan pintu/jalan masuk. Dapur, ruang makan, dan ruang tamu
ditunjukkan oleh angka dua (2). Pada sisi bawah angka dua (2), terdapat ruang
ala Jepang bertatami yang ditandai dengan angka tiga (3). Kemudian pada sisi
kanan atas terdapat angka empat (4) yang menunjukkan kamar mandi, angka
lima (5) menunjukkan ruang cuci, dan angka enam (6) adalah toilet. Sedangkan
pada denah lantai dua, kamar tidur ditunjukkan oleh angka tujuh (7). Kemudian
angka delapan (8) menunjukkan lemari, angka sembilan (9) merupakan beranda,
dan juga terdapat toilet yang ditunjukkan oleh angka enam (6).
Rumah pada umumnya memiliki bentuk dasar. Sugiyama (2001: 31)
mengungkapkan pendapat bahwa bentuk dasar sebuah rumah adalah bentuk
persegi empat seperti berikut:
12
まっすぐの壁があると、その端は直角に曲がり、またまっすぐの壁があって直角に曲がる…。すなわち四角の箱形が、すべての家の基本にあると考えてしまいがちなのです。
Terjemahan:
Begitu ada dinding lurus, pada ujungnya membelok secara
tegak lurus, kemudian ada dinding lurus lagi dan membelok
secara tegak lurus. Bentuk tersebut adalah bentuk kotak
persegi yang merupakan bentuk dasar pada semua rumah.
Selain bentuk rumah, atap rumah juga memiliki bentuk dasar. Sumino
(2011: 132) mengungkapkan bahwa ada empat bentuk dasar atap rumah seperti
yang terlihat pada gambar 2.2, yaitu kirizumayane (切妻屋根), hougyouyane
(方形屋根), yosemuneyane (寄棟屋根), dan irimoyayane (入母屋屋根).
Gambar 2.2 Bentuk Atap (1)
Sumber: Wakariyasui Zugaku to Seizu (2011)
Berikut ini adalah keterangan dari gambar 2.2. Kirizumayane ditunjukkan oleh
nomor satu (1), yaitu atap yang pada kiri dan kanannya memiliki kemiringan
pada umumnya dan juga merupakan bentuk dasar atap rumah. Sedangkan
hougyouyane ditunjukkan oleh nomor dua (2), yaitu atap yang memiliki bentuk
seperti piramida. Yosemuneyane ditunjukkan oleh nomor tiga (3), yaitu bentuk
atap yang banyak digunakan di rumah pada umumnya dan memiliki kemiringan
pada empat sisinya. Dan terakhir adalah irimoyayane yang ditunjukkan oleh
13
nomor empat (4), yaitu bentuk atap yang dimiliki oleh bangunan gaya Jepang
yang ada sejak dulu.
Selain empat bentuk atap tersebut, ada bentuk atap lainnya seperti yang
terlihat pada gambar 2.3, yaitu katanagareyane (片流れ屋根), rokuyane atau
rikuyane (陸屋根), manekiyane (招き屋根) atau sashikakeyane (差しかけ屋根), hakamakoshiyane (はかま腰屋根).
Gambar 2.3 Bentuk Atap (2)
Sumber: Yane no Katachi (2014)
Berikut ini adalah keterangan dari gambar 2.3. Katanagareyane (5), yaitu
bentuk atap yang belakangan ini sedang populer dan banyak digunakan di
rumah terutama yang berlokasi sempit. Rokuyane atau rikuyane (6), yaitu
bentuk atap yang horisontal/mendatar. Manekiyane atau sashikakeyane (7),
yaitu bentuk atap yang sekarang ini dikatakan sebagai bentuk paling cocok.
Hakamakoshiyane (8), yaitu bentuk atap seperti kirizumayane, namun ada
bagian yang terpotong (Koyoo: 2014).
2.3 Konsep Arsitektur Minimalis dan Zen
Ketika orang Amerika terbuka terhadap praktik Jepang, budaya timur dan
barat mulai saling berkomunikasi. Hasilnya adalah perkembangan dari Gerakan
Minimalis setelah Perang Dunia II. Gerakan ini adalah tergabungnya seni
tradisional Jepang ke dalam seni utama di dunia barat. Selama berabad-abad,
arsitektur Zen merupakan praktik sejarah yang digunakan dalam perkembangan
kuil Zen yang sederhana. Namun seiring dengan mulainya orang Amerika
merefleksikan budaya Jepang, mereka mulai meniru kesederhanaan, minimal,
14
gaya seni yang timbul melalui pengamatan mereka. Dan akhirnya setelah
berabad-abad tidak tersentuh, arsitektur Zen mulai mengalami pembaharuan.
Seorang arsitek yang memainkan peran utama dalam perubahan tersebut adalah
Frank Lloyd Wright, yaitu salah satu arsitek paling terkenal sepanjang masa.
Wright menghargai kehalusan yang ada pada arsitektur Zen. Ia melihat bentuk
sederhana bukan sebagai rasa yang hambar, namun sebagai cara untuk
menciptakan ruang yang futuristik dan menyegarkan untuk dirasakan. Arsitektur
minimalis nampak ketika unsur yang sangat sedikit dipakai dalam menciptakan
bangunan yang sederhana, misalnya menggunakan beton, kaca, dan baja sebagai
satu-satunya sumber untuk menciptakan bangunan kotak (Morales, 2015: 27).
Dua karakteristik utama dari gaya dan desain Zen adalah mengekspresikan
kesederhanaan dan ketenangan. Pencarian akan kedamaian dan ketenangan telah
membawa para perancang dan dekorator untuk melihat ke budaya timur dan
keharmonisan serta keseimbangan yang alami dari rumah Asia untuk
kesederhanaan dalam kesenian dan desain. Dengan meningkatnya intensitas
dalam kehidupan sehari-hari dan bertambahnya tekanan di sekolah, kantor,
maupun di rumah, budaya barat telah beralih ke desain interior sebagai
pendekatan untuk mencari hiburan dan ketenangan. Desain Zen semakin menjadi
popular di dunia saat ini mulai dari praktik perubahan hidup dalam mental dan
spiritual diri, hingga perubahan secara fisik dari kehidupan seseorang dan
kondisi kerja. Desain Zen mendukung keyakinan bahwa rasa senang dapat
ditemukan pada kejadian paling sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Ruang
Zen tidak berfokus pada kemewahan yang tidak berguna di dalam suatu ruangan,
melainkan dirancang untuk mencegah gangguan agar meningkatkan fokus pada
pikiran dan ketenangan (Gorel, 2015: 75-76).
2.4 Konsep Kyoushou Juutaku
Dalam 150 tahun terakhir, telah banyak tertulis di barat mengenai arsitektur
Jepang, terutama rumah Jepang. Sejak Perang Dunia II, perubahan terbesar
terjadi di perumahan Jepang. Banyak rumah tradisional Jepang yang kebanyakan
kegiatan sehari-harinya dilakukan di dalam satu ruangan, telah tergantikan oleh
rumah bergaya barat dan bertingkat yang memiliki ruangan dibatasi oleh dinding.
Fenomena perumahan baru muncul dalam 20 tahun terakhir ini, yaitu kyoushou
juutaku, yang juga disebut dengan rumah mikro. Beberapa rumah mikro ini
15
dibangun pada lokasi yang seukuran dengan satu tempat parkir, dan beberapa
rumah berukuran sekecil 28 m² (Neuliep, 2015: 147).
Kyoushou juutaku diartikan sebagai micro house atau rumah mikro, yaitu
rumah yang didirikan di lahan yang sempit. Sawa (2007: 11) mengungkapkan
pendapat mengenai kyoushou juutaku sebagai berikut:
家づくり雑誌などですっかり定着してきた「狭小住宅」という言葉、明確な定義がありそうでなさそうだが、手っ取り早く言えば、「狭い土地に建てたこだわりの家」。勝手に定義すれば、「おおむね二〇坪以下の狭い土地で、日当たりが悪い、変形地など悪条件の土地の上に建て主のこだわりや思いを詰め込んで、建築家などの専門家の知識と経験を頼りに建てた小さな住宅」の総称といったところか。
Terjemahan:
Istilah ‘kyoushou juutaku’ yang telah melekat pada majalah
mengenai bangunan rumah, dan tidak memiliki definisi yang
jelas, namun secara singkat didefinisikan sebagai ‘Rumah
yang dibangun di tanah yang sempit.’ Jika didefinisikan
secara umum, ‘Rumah kecil yang pada umumnya dibangun
di atas tanah sempit yang berukuran kurang dari 66 m²,
memiliki pencahayaan sinar matahari yang kurang, dibangun
di atas tanah yang memiliki kondisi tidak menguntungkan,
dan dibangun dengan mengandalkan pengetahuan serta
pengalaman dari para ahli seperti arsitek.’ Selain pendapat di atas, Gaja, Suzuki, dan Ikegawa (2002: 29) juga
menjelaskan pendapat mengenai kyoushou juutaku seperti di bawah ini:
ここ数年ブームといえるほど、建築家によって設計され た狭小住宅と呼ばれる敷地の小さな家(建坪平均約15 坪)が数多く建築されている。今日の狭小住宅においては、 敷地が狭小かつ変形であるにもかかわらず、居住者は吹 抜け空間を用いて採光、通 風、室内空間の広がりなどの要素を取り入れることで、居住空間の快適性に向上させ たいと考えるようになってきた。
16
Terjemahan:
Rumah yang banyak dibangun pada lokasi berukuran kecil
yang disebut kyoushou juutaku dan dirancang oleh arsitek
(rata-rata luas dari bangunan sekitar 50 m²) dapat dikatakan
laku pada beberapa tahun ini. Pada kyoushou juutaku
sekarang ini, walaupun lokasinya sempit dan juga ada
perubahan bentuk, penghuni rumah ingin meningkatkan
kenyamanan ruang hunian dengan memasukkan elemen
seperti perluasan interior, ventilasi, dan penerangan.
Teknik perancangan bangunan rumah untuk mengatasi lokasi yang sempit
dapat dilihat dari perumahan masa kini, terutama bangunan rumah penduduk
yang ada di kota. Ada kalanya rumah dibangun pada lokasi yang bentuknya
tidak masuk akal. Ada yang dibangun dengan lokasi yang sempit dan
memanjang. Seharusnya dapat diperoleh perumahan dengan kondisi lingkungan
yang sehat dan nyaman, namun terdapat berbagai kendala seperti kekurangan
sinar matahari, pertukaran udara (ventilasi), dan ruang (Manabe, 2004: 5).
Gambar 2.4 Contoh Lokasi Kyoushou Juutaku
Sumber: Sumai to Denka (2004)
Menurut Manabe (2004: 6), ada beberapa kendala dari perumahan yang
dibangun di lahan yang sempit, antara lain:
1. Ruang Kosong (空間)
Ruang kosong tidak cukup dan kemungkinan bentuk dari lokasi yang
tersedia tidak wajar, penggunaan ruang kosong juga menjadi hal yang lebih
sulit dilakukan. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu adanya berbagai macam
upaya dalam penghematan ruang untuk ruang bagian dalam pada rumah
17
seperti ruang kegiatan sehari-hari, ruang penyimpanan, ruang bergerak, dan
untuk ruang bagian luar pada rumah seperti tempat parkir, tempat berlalu-
lalang, jalur evakuasi, tempat jemuran, dan sebagainya. Ada beberapa cara
untuk menghemat ruang pada lokasi yang sempit seperti memanfaatkan ruang
di atas langit-langit rumah, ruang bawah tanah, atau ruang di bawah tangga.
2. Sinar Matahari (太陽光)
Pencahayaan sinar matahari merupakan persyaratan dasar dari rumah
yang dikategorikan sehat, namun sinar matahari terhalang karena bangunan
saling berdekatan. Untuk menghadapi permasalahan tersebut, ada peraturan
secara hukum mengenai batas ketinggian dan kemiringan bangunan sehingga
tidak menghalangi bangunan lainnya. Cara agar dapat memasukkan cahaya
matahari ke dalam rumah adalah dengan adanya lubang cahaya pada atap
rumah atau dengan pengadaan ruang terbuka seperti taman dalam rumah.
3. Udara (空気)
Ventilasi merupakan persyaratan dasar yang harus ada di sebuah rumah,
namun jika bangunan rumah terlalu padat dan berdekatan, pertukaran udara
pun menjadi tidak baik. Salah satu cara untuk mengatasi pertukaran udara
yang buruk adalah dengan adanya ruang terbuka seperti taman dalam rumah
sehingga dapat terjadi pertukaran udara.
18
2.5 Makna Warna
Berikut ini penulis akan memaparkan tentang makna warna pada warna
putih dan warna coklat.
Tabel 2.1 Makna Warna Putih
Sumber Makna
Haller (2012: 565) 1. bersih, steril
2. kejelasan
3. kesucian
4. kesederhanaan
5. efisiensi
Stone, Adams, Morioka (2008: 30) 1. kesempurnaan
2. pernikahan
3. kebersihan
4. kebaikan, kesucian
5. penerangan
6. kehalusan
7. kesederhanaan
8. kebenaran
Skinner (2001: 37) 1. potensi yang tak terbatas
2. kesatuan
3. penyelesaian
4. kebenaran
5. kebersihan
6. kesegaran
7. kesederhanaan
8. kesucian
Seperti yang terlihat pada tabel 2.1, Haller (2012: 565) mengungkapkan
bahwa warna putih memiliki makna, yaitu bersih, steril, kejelasan, kesucian,
kesederhanaan, dan efisiensi. Sedangkan Stone, Adams, dan Morioka (2008: 30)
berpendapat bahwa warna putih bermakna kesempurnaan, pernikahan,
kebersihan, kebaikan, kesucian, penerangan, kehalusan, kesederhanaan, dan
kebenaran. Skinner (2001: 37) juga menjelaskan bahwa warna putih memiliki
makna potensi yang tak terbatas, kesatuan, penyelesaian, kebenaran, kebersihan,
kesegaran, kesederhanaan, dan kesucian.
19
Tabel 2.2 Makna Warna Coklat
Sumber Makna
Uematsu (2013: 117) 1. ketenangan
2. sederhana
3. anggun
Haller (2012: 564) 1. kehangatan
2. alami, membumi
3. keselamatan
4. dapat diandalkan
5. kesungguhan
6. pendukung
Skinner (2001: 49)
1. warna tanah
2. kealamian
3. kepadatan
4. kesederhanaan
Seperti yang terlihat pada tabel 2.2, Uematsu (2013: 117) mengungkapkan
bahwa warna coklat memiliki makna ketenangan, sederhana, dan anggun. Selain
itu, warna coklat memiliki berbagai makna sesuai pendapat Haller (2012: 564),
yaitu kehangatan, alami, membumi, keselamatan, dapat diandalkan,
kesungguhan, dan pendukung. Sedangkan menurut Skinner (2001: 49), warna
coklat memiliki makna warna tanah, kealamian, kepadatan, dan kesederhanaan.
Warna yang dimiliki Jepang secara tradisi mendukung warna alami dari
permukaan kayu yang tidak dicat. Hal ini sesuai dengan nilai-nilai
kesederhanaan, kerendahan hati, dan pengendalian yang dipandang sebagai
contoh yang sempurna dari estetika atau keindahan budaya Jepang, dan telah
menemukan pengungkapan dari berbagai seni dan adat budaya asli (Cavallaro,
2013: 34-35).
Warna yang memiliki makna kesederhanaan bukan merupakan warna terang
atau cerah yang termasuk ke dalam warna menyolok seperti warna merah, jingga,
dan kuning. Sugiyama (2001: 37) mengungkapkan pendapat mengenai warna
menyolok seperti berikut ini:
赤や黄色、水色といった派手な色使いの壁、ベランダの手すりなどには凝ったデザイン。
20
Terjemahan:
Penggunaan warna menyolok seperti warna merah, kuning,
dan biru muda pada dinding, pagar pengaman pada beranda
dan sebagainya merupakan desain yang memperhatikan
sampai yang sekecil-kecilnya.