bab 2
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Rasa Takut Siswa Terhadap Guru BK
1. Pengertian Rasa Takut
Rasa takut merupakan reaksi manusiawi yang secara biologis
merupakan mekanisme perlindungan seseorang saat menghadapi bahaya.
Rasa takut adalah emosi yang muncul pada saat orang menghadapi suatu
ancaman. Ketakutan biasa disebut dengan tanda peringatan terhadap
hidup, aba-aba agar berhenti, melihat atau mendengarkan (Mulia,
2009:31).
Sedangkan menurut El-Quussy (1975:115) takut adalah keadaan
emosi yang wajar dalam diri, biasa dirasakan orang dalam beberapa
keadaan dan ia biasanya melakukan tindakan yang menjauhkannya dari
sumber bahaya itu.
Menurut Whitehead (dalam Soelasmono 2011:15) rasa takut adalah
sesuatu yang agak kompleks, di dalamnya terdapat suatu perasaan
emosional dan sejumlah perasaan jasmaniah.
Dari berbagai pendapat di atas maka diambil kesimpulan bahwa
rasa takut adalah emosi yang muncul pada saat orang menghadapi bahaya
atau ancaman yang dirasakan orang dalam beberapa keadaan yang disertai
suatu perasaan emosional dan sejumlah perasaan jasmaniah.
Selain itu, takut berhubungan dengan suatu perilaku spesifik untuk
melarikan diri. Rasa takut selalu terkait dengan peristiwa di masa datang,
seperti memburuknya suatu kondisi, atau terus terjadinya suatu keadaan
yang tidak dapat diterima.
2. Ciri-ciri Orang yang Merasa Takut
Secara spesifik, ciri-ciri orang yang merasa takut ditunjukkan oleh
ha-hal berikut, hal antara lain :
1. Nafas memburu
2. Meningkatnya debar jantung
3. Muka pucat
8
9
4. Mulut dan tenggorokan kering
5. Berkeringat
6. Meningkatnya suhu tubuh
7. Gagap bicara
8. Nyeri pada perut
9. Frekwensi buang air kecil dan buang air besar meningkat
10. Tekanan darah meninggi
Semua ciri-ciri fisik yang disebutkan di atas timbul karena sekresi
adrenalin yang meningkat dalam darah. Orang mengembangkan rasa
takut yang spesifik sebagai hasil belajar. Dalam dunia nyata, rasa takut
dapat diperoleh oleh sebuah kecelakaan truma menakutkan, atau dari
pengalaman orang lain. Dalam kasus ini rasa takut yang dialami siswa
adalah hasil dari pengalaman orang lain.
3. Jenis-Jenis Rasa Takut
Sedangkan dalam Mulia (2009: 35) studi psikologi abad ke-19, rasa takut
dibedakan menjadi dua sub-kategori :
1. Rational fear, adalah rasa takut yang diperlukan dalam kehidupan
manusia sehari-hari sebagai fungsi mekanisme proteksi diri.
Ketakutan ini mucul dari insting manusia untuk melindungi diri.
2. Irrational fear, adalah rasa takut abnormal, terjadi secara intensif
atau situasi/ keadaan, benda, atau orang. Ini ditandai dengan
adanya suatu keinginan yang tidak masuk akal untuk menghindari
subjek yg ditakuti tersebut, juga ditandai oleh berbagai macam
pemikiran tidak rasional dan serangan panik ketika menghadapi
subjek ketakutan tersebut.
4. Aspek-Aspek (Unsur-Unsur) Rasa Takut
Aspek-aspek rasa takut menurut Laming (2004: 25) antara lain :
1. Aspek Emosi atau Perasaan, anggapan subjek terhadap bahaya yang
muncul dari dalam diri sendiri.
2. Aspek Sistem Saraf, yaitu aktivasi sistem saraf simpatik yang
menyebabkan gejala psikologis dari rasa takut yang meningkatkan
denyut, detak jantung, otot yang gemetar, berkeringat terutama di
10
telapak tangan dan kaki, muka pucat, melebarnya pupil, meningkatnya
tekanan darah, mulut kering, sesak nafas, perasaan tersedak, nafas
cepat, pencernaan yang terganggu, sering kencing dan BAB.
3. Aspek Kognisi atau Pikiran, yaitu pikiran dari rasa takut antara lain
takut pada ular, laba-laba, kucing, burung, ketinggian dan takut jatuh,
terbang, kegelapan, kilat-badai, suara-suara tertentu, ruangan sempit,
keluar rumah, darah dsb.
4. Aspek Situasi atau Kondisi, yaitu usaha untuk melepaskan diri dari hal
yang menakutkan contohnya berdiam diri di rumah, meninggalkan
liburan.
5. Faktor Penyebab Rasa Takut
Faktor penyebab rasa takut disebabkan oleh :
1. Cara berpikir
Dalam Why be Afraid (dalam Soelasmono 2011:36)
psikolog mengatakan bahwa rasa takut disebabkan karena cara kita
berpikir mengenai peristiwa-peristiwa yang kita saksikan atau yang
kita alami dan bergantung pada cara kita menanggapinya. Dalam
buku yang sama, Doktor Paul Hauck menulis bahwa gangguan
emosional sebenarnya berasal dari diri sendiri mengenai persoalan
kita, bukan dari persoalan yang bersangkutan itu sendiri. Kita tidak
pernah dibuat depresif, marah, atau takut oleh apa yang terjadi
pada diri kita, melainkan hanya oleh cara kita berpikir mengenai
persoalan itu.
2. Sering mencemaskan masalah
Penyebab timbulnya rasa takut yang lain adalah karena kita
sering mencemaskan masalah. Masalah yang kecil cenderung kita
pikirkan segi negatifnya. Hauck menulis bahwa pada umumnya
makin banyak kita mencemaskan sesuatu, maka makin
memperburuk pula sesuatu itu.
3. Pengaruh tetap
Maksudnya adalah keadaan emosional ini berpindah dari
satu orang kepada orang lain melalui pengaruh yang dilakukan
11
terus menerus. Pengaruh ini bisa didapatkan dari pengalaman
kehidupan sehari-hari.
4. Pemikiran negatif
Rasa takut bukan hanya karena keadaan fisik atau tentang
masalah-masalah yang membahayakan saja. Tapi ditimbulkan juga
oleh pikiran-pikiran kita yang selalu merasa khawatir tentang
keadaan mendatang dan lain sebagainya.
B. Strategi Reframing
1. Pengertian Strategi Reframing
Menurut Cormier (1985 : 417) “reframing also (sometimes also
called relabeling) is an approach that modifies and structure a client’s
perception or views of a problem or a behavior.” Yang artinya adalah
reframing yang juga disebut pelabelan ulang adalah suatu pendekatan yang
mengubah atau menyusun kembali persepsi konseli atau cara pandang
terhadap masalah atau tingkah laku.
Menurut Watzlawick, Weakland and Fisch (1974)
Describe the ‘gentle art of reframing’ thus: To reframe,
then means to change the conceptual and/ or emotional setting or
viewpoint in relation to which a situation is experience and to
place it in another frame which fits the “facts” of the same
concrete situation equally well or even better, and thereby
changing its entire meaning.
Mendeskripsikan ‘seni yang lembut dari reframing’ jadi:
reframing dimaksudkan untuk mengubah konsepsi dan/ atau
pengaturan emosi atau sudut pandang dalam hubungannya
terhadap situasi yang sudah pernah dialami dan meletakannya di
bingkai lain yang sesuai dengan ‘fakta-fakta’ dari situasi konkrit
yang sama baik atau lebih baik, dan dengan demikian merubah
artinya secara keseluruhan.
Dari kedua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa strategi
reframing adalah suatu strategi yang mengubah cara pandang suatu
12
masalah yang pernah dialami dan mengubah cara pandang tadi menjadi
cara pandang yang sesuai dengan fakta-fakta yang ada.
2. Jenis-Jenis Strategi Reframing
Cormier (1985 : 418) menyebutkan ada dua strategi reframing antara
lain :
a. Meaning reframes
Metode yang paling umum dalam reframing adalah
meaning reframes, meaning reframes adalah sebuah metode
untuk membingkai ulang arti dari situasi masalah atau tingkah
laku.
b. Context reframes
Context reframes adalah suatu metode yang membantu
konseli untuk mengembangkan dan memutuskan kapan,
dimana dan dengan tingkah laku masalah diberikan secara
berguna dan tepat.
3. Tahapan-tahapan Strategi Reframing
Cormier (1985 : 418) menyebutkan ada enam tahapan strategi
reframing antara lain :
a. Rasional
Rasional yang digunakan strategi reframing bertujuan untuk
meyakinkan konseli bahwa persepsi atau retribusi masalah dapat
menyebabkan tekanan emosi.
Tujuannya adalah agar konseli mengetahui alasan dan
gambaran singkat mengenai strategi reframing dan untuk
meyakinkan konseli bahwa cara pandang terhadap suatu masalah
dapat menyebabkan tekanan emosi.
Kegiatan :
1) Konselor berusaha lebih dekat lagi dalam mengenal
pribadi konseli sehingga muncul kepercayaan diantara
konselor dengan konseli.
2) Konselor menjelaskan rasionalisasi strategi reframing
13
3) Konselor memberikan langkah-langkah dalam
pelaksanaan strategi reframing
b. Identifikasi persepsi dan perasaan konseli dalam situasi masalah
Selanjutnya pada tahap ini bertujuan untuk membantu
konseli menjadi waspada pada apa yang mereka hadapi pada situasi
masalah. Konseli sering tidak memperhatikan detail-detail yang
mereka hadapi dan informasi tentang situasi yang mereka kodekan.
Tujuannya adalah membantu konseli mengidentifikasi
terhadap persepsi atau pikiran-pikiran konseli dalam situasi yang
menimbulkan rasa takut.
Kegiatan :
1) Konselor meminta masing-masing konseli untuk
menceritakan kondisi yang menimbulkan pikiran-pikiran
konseli dalam situasi yang menimbulkan rasa takut yang
dirasakan mengganggu diri konseli dan ingin mengubahnya.
2) Konselor memberikan umpan balik dari tanggapan
persoalan yang dialami konseli serta menjelaskan tentang
pikiran yang selama ini digunakan akan membuat konseli
takut.
c. Menguraikan peran dan fitur-fitur persepsi terpilih
Setelah konseli menyadari kehadiran otomatis mereka,
mereka diminta untuk memerankan situasi dan sengaja
menghadappi fitur-fitur terpilih yang telah mereka proses secara
otomatis.
Tujuannya adalah konseli dapat mengenali pikiran-pikiran
dalam situasi yang mengandung tekanan atau situasi yang
menimbulkan rasa takut yang dirasakan mengganggu diri konseli
dan mengganti pikiran-pikiran tersebut agar tidak menimbulkan
rasa takut.
Kegiatan :
14
Konselor meminta konseli untuk membayangkan situasi
yang mengandung tekanan atau situasi yang menimbulkan rasa
takut yang dirasakan mengganggu diri konseli.
d. Identifikasi persepsi alternatif
Konselor dapat membantu konseli mengubah fokus
perhatiannya dengan menyeleksi fitur-fitur lain dari situasi masalah
yang dihadapi.
Tujuannya adalah konseli mampu menyeleksi gambaran-
gambaran lain dari gangguan perilaku yang dihadapi.
Kegiatan :
1) Konselor membantu konseli mengubah fokus perhatiannya
dengan menyeleksi gambaran-gambaran lain rasa takut.
2) Konselor memberikan contoh alternatif-alternatif atau
gambaran-gambaran lain dari rasa takut yang dihadapi.
3) Konselor meminta konseli untuk membayangkan gambaran-
gambaran lain dari rasa takut yang dihadapi.
e. Modifikasi dari persepsi dalam situasi masalah
Konselor dapat melalui drama. Dimana konselor
mengarahkan konseli pada titik perhatian lain dari situasi masalah
selama drama berlangsung.
Tujuannya adalah konseli dapat menciptakan respon dan
pengamatan baru yang didesain untuk memecahkan perumusan
model lama dan meletakkan draf untuk perumusan model baru
yang lebih efektif. Beralih dari pikiran-pikiran konseli dalam
situasi yang mengandung tekanan atau situasi yang menimbulkan
rasa takut yang dirasa mengganggu diri konseli ke pikiran yang
tidak menimbulkan rasa takut.
Kegiatan :
1) Konselor meminta konseli membayangkan situasi yang
mengandung tekanan atau situasi yang menimbulkan rasa
takut secara cermat.
15
2) Konselor memberikan intruksi kepada konseli untuk
memberitahukan ketika dia mendapatkan serangan pikiran-
pikiran yang menimbulkan rasa takut.
3) Kemudian konseli diperintahkan untuk menghentikan
pikirannya dengan mengganti pikiran yang lebih
meningkatkan diri atau pikiran yang tidak membuat takut.
f. Pekerjaan rumah dan penyelesaian
Konselor dapat menyarankan yang diikuti konseli selama
situasi ini format yang sama dengan yang digunakan dalam terapi.
Konseli diintruksikan menjadi lebih waspada akan fitur-fitur
terkode yang penting dari situasi profoaktif dan penuh tekanan,
untuk menghubungkan perasaan yang tidak nyaman, untuk
melakukan uraian peranaan atau kegiatan praktik dan mencoba
membuat pergantian perseptual selama situasi-situasi ini ke fitur-
fitur lain dari situasi yang dulu diabaikan.
Tujuannya adalah konseli mengetahui perkembangan dan
kemajuan selama strategi ini berlangsung serta bisa menggunakan
pikiran-pikiran dalam situasi yang tidak mengandung tekanan
dalam situasi masalah yang nyata.
Kegiatan :
Konselor memberikan kesempatan konseli untuk
mempraktikkan keterampilan yang diperoleh dalam menggunakan
pikiran-pikiran dalam situasi yang tidak mengandung tekanan
dalam situasi masalah yang sebenarnya.
4. Kegunaan Strategi Reframing
Cormier (1985: 417, 418) menyebutkan kegunaan strategi
reframing antara lain :
a) Dalam terapi keluarga, reframing digunakan sebagai cara untuk
mengubah cara keluarga dalam mengkodekan sebuah masalah atau
konflik.
b) Bagi konseling secara individu, reframing memiliki sejumlah
kegunaan antara lain :
16
1) Dengan mengubah atau menata pengkodean dan perasaan konseli,
dapat mengurangi pembelaan dan memobilisasi sumber-sumber
konseli dan dorongan untuk berubah.
2) Dapat mengalihkan fokus dari atribusi tingkah laku yang terlalu
dipermudah dan ingin dibuat konseli (aku malas atau aku tidak
tegas), pada analisis situasional dan kontekstual penting yang
berhubungan dengan tingkah laku (Alexander dan Parson, 1982)
3) Dapat menjadi strategi yang berguna dalam menangani konseli
yang keras kepala.
5. Fokus dan Tujuan Strategi Reframing
Menurut Cormier (1985: 417), fokus dari strategi reframing
terletak pada alasan yang salah dan keyakinan serta kesimpulan yang tidak
logis. Tujuannya adalah untuk membedakan keyakinan irasional atau
pernyataan diri negatif.
C. Guru Bimbingan Konseling
Dalam Peraturan Pemerintah No 27 tahun 2008 pasal 1 ayat 2
menyatakan, konselor adalah tenaga pendidik profesional yang telah
menyelesaikan pendidikan akademik strata satu (S-1) program studi Bimbingan
dan Konseling dan program Pendidikan Profesi Konselor dari perguruan tinggi
penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.
Dalam penelitian ini yang dimaksud adalah guru BK SMPN 20 Surabaya.
D. Penelitian yang Relevan
1. Penelitian tentang strategi reframing pernah dilakukan oleh Nursita Indah
Pratiwi (2005) yang berjudul “Penerapan Strategi Reframing Dalam
Bimbingan dan Konseling Untuk Mengurangi Kecemasan Menghadapi
Kelas Matematika Pada Siswa Kelas IX Akuntansi di SMK PGRI 7
Surabaya”, dapat diambil kesimpulan bahwa strategi reframing dapat
mengatasi kecemasan menghadapi kelasmatematika pada siswa kelas IX
Akuntansi SMK PGRI 7 Surabaya. Pada penelitian ini ditemukan ada 6
siswa yang memiliki skor kecemasan yang tinggi. Siswa diajak melakukan
17
strategi reframing, sehingga siswa yang memiliki skor kecemasan yang
tinggi dapat menjadi rendah. Artinya strategi reframing dapat digunakan
untuk mengatasi kecemasan pada siswa agar siswa agar tidak cemas saat
menghadapi kelas matematika.
2. Sedangkan menurut Dian Oktaviani (2005) penelitian yang berjudul
“Penggunaan Strategi Reframing Untuk Membantu Siswa Mengurangi
Perasaan Cemas Ketika Bertanya di Kelas VII.1 MTs Nurul Abror
Kraksaan Probolinggo” dapat diambil kesimpulan bahwa strategi
reframing dapat mengurangi perasaan cemas ketika bertanya pada siswa
kelas VII.1 MTs Nurul Abror Kraksaan Probolinggo. Pada penelitian ini
ditemukan 6 orang siswa yang memiliki skor kecemasan tinggi ketika
bertanya di kelas. Siswa diajak untuk melaksanakan strategi reframing,
sehingga siswa yang memiliki skor kecemasan yang tinggi dapat menjadi
rendah. Artinya strategi reframing dapat digunakan untuk mengurangi
kecemasan pada siswa agar siswa tidak cemas saat bertanya di depan
kelas.
3. Dan menurut penelitian Ci’ut Nurfitria (2006) yang berjudul “Penggunaan
Strategi Reframing Untuk Mengatasi Kecemasan Berbicara di Depan
Kelas Pada Siswa Kelas VII di SMP Negeri 1 Rengel Tuban” dapat
diambil kesimpulan bahwa strategi reframing dapat mengatasi kecemasan
berbicara di depan kelas pada siswa kelas VII di SMP Negeri 1 Rengel
Tuban. Pada penelitian ini ditemukan ada 6 siswa yang memiliki skor
kecemasan yang tinggi saat berbicara di depan kelas. Siswa diajak
melakukan strategi reframing, sehingga siswa yang memiliki skor
kecemasan berbicara di depan kelas yang tinggi dapat menjadi rendah.
Artinya strategi reframing dapat digunakan untuk mengatasi kecemasan
berbicara di depan kelas.
E. Kerangka Berpikir
Banyak siswa yang mengalami rasa takut saat dipanggil ke ruang BK.
Kebanyakan dari mereka takut dan mempunyai anggapan salah terhadap guru
BK yang mereka anggap menakutkan. Hal ini dikarenakan guru BK yang
masih lekat dengan polisi sekolah. Sosok guru yang sering menghukum siswa-
18
siswi dan setiap ada siswa yang dipanggil ke ruang BK pasti mereka
beranggapan bahwa siswa tersebut adalah anak nakal dan bermasalah. Cara
pandang yang salah membuat mereka merasa takut kalau-kalau dipanggil oleh
guru BK ke ruangannya dan jangan-jangan mereka berbuat salah atau
melanggar peraturan sekolah dan lain sebagainya.
Untuk membantu mengurangi rasa takut siswa terhadap guru BK, maka
digunakan strategi reframing untuk mengubah cara pandang yang salah
mengenai guru BK yang mempunyai dampak terhadap tugas perkembangan
siswa. Dalam Cormier (1985) reframing disebut juga pelabelan ulang adalah
suatu pendekatan yang mengubah atau menyusun kembali persepsi konseli
atau cara pandang terhadap masalah atau tingkah laku. Dalam memberikan
perlakuan strategi reframing digunakan langkah dijelaskan tiap tahapan
reframing : (1)Rasional; menjelaskan maksud dan gambaran dari prosedur
pelaksanaan strategi reframing. (2)Identifikasi persepsi dan perasaan konseli
dalam situasi masalah’ yaitu konseli diminta bercerita kepada konselor kondisi
yang membuat mereka takut saat dipanggil dan menghadap guru BK;
(3)Menguraikan peran-peran dan fitur-fitur terpilih, yaitu konseli
membayangkan situasi saat ia dipanggil ke ruang BK yang mengandung
tekanan dan menimbulkan perasaan takut itu muncul; (4)Identifikasi persepsi
alternatif yaitu, konselor membantu konseli memberikan alternatif-alternatif
pikiran yang baik dan yang seharusnya dilakukan; (5)Modifikasi dan persepsi
dalam situasi masalah yaitu konseli diminta membayangkan situasi dimana
rasa takut itu muncul lalu menghentikannya dan menggantinya dengan tingkah
laku alternatif tadi; (6) Pekerjaan rumah dan penyelesaian yaitu siswa diberi
kesempatan melatih strategi ini dalam kondisi yang sebenarnya saat ia
dipanggil oleh guru BK.
Siswa akan melaksanakan proses konseling dalam beberapa kali
pertemuan. Dalam proses ini siswa akan dibimbing untuk melaksanakan
langkah-langkah yang sudah ditentukan agar siswa menjadi terbiasa dan tidak
selalu bergatung dengan bantuan konselor.
Setelah diberikan strategi reframing, maka cara pandang siswa terhdap
guru BK bisa berubah menjadi lebih positif. Sesuai penjelasan singkat di atas,
19
penerapan strategi reframing diharapkan dapat mengurangi rasa takut siswa
ketika dipanggil oleh guru BK. Untuk lebih jelasnya, dapat digambarkan
dalam kerangka berpikir sebagai berikut :
F. Hipotesis Penelitian
Keefektifan strategi reframing bisa digunakan untuk mengurangi rasa
takut siswa terhadap guru BK di SMP Negeri 20 Surabaya. Secara umum
dapat dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut : “strategi reframing
efektif untuk mengatasi rasa takut siswa terhadapa guru BK. Secara khusus
hipotesis penelitian ini adalah ada perbedaan skor yang signifikan pada rasa
takut siswa terhadap guru BK antara kelompok siswa yang diberikan
perlakuan strategi reframing dengan kelompok siswa yang diberikan
perlakuan dengan metode konvensional”.
Rasa takut siswa berkurang terhadap guru BK
1. Siswa tidak menghindar saat dipanggil
2. Bertegur sapa saat berpapasan di jalan.
Rasa takut terhadap guru BK :1. Menghindar saat dipanggil guru BK2. Menunduk saat berpapasan
Strategi Reframing :1. Rasional2. Identifikasi persepsi dan perasaan konseli dalam
suatu masalah3. Menguraikan peran dan fitur-fitur terpilih4. Identifikasi persepsi alternatif5. Modifikasi dari persepsi dalam situasi masalah6. Pekerjaan rumah dan penyelesaian.