bab 1 pendahuluan a.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76004/potongan/s1-2014... · tujuan dari...
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan dari penulisan karya ini adalah untuk mengetahui dan mengelaborasi lebih dalam
strategi yang ditempuh Lingkar Ganja Nusantara dalam memperjuangkan visi dan misinya. Isu
ganja di tanah air sendiri sudah sering terdengar beberapa tahun terakhir, pemerintah dan
beberapa kelompok masyarakat banyak mengkampanyekan gerakan anti-narkotika untuk
memberantas dan meminimalisir akibat peredaran narkotika. Namun disini menarik, ketika ramai
orang mengkampanyekan anti-narkotika, di satu sisi muncul sebuah gerakan sosial yang anti-
mainstream yang membawa isu untuk melegalkan salah satu anggota dari golongan narkotika.
Indonesia sebagai negara berkembang memang mengalami masalah yang tidak jauh
berbeda dengan negara-negara lain di dunia dalam mengatasi peredaran gelap narkotika, dalam
kasus ini yaitu ganja. Masalah perdagangan gelap ganja sudah lama berlangsung sejak
pelarangan ganja resmi dicanangkan pada Konvensi Tunggal PBB tahun 1961. Banyak oknum
yang mecari keuntungan yang sangat luar biasa dari peredaran gelap ganja. Di Indonesia sendiri,
besarnya barang bukti penangkapan ganja disetiap operasi yang dilakukan oleh Kepolisian
menunjukkan betapa tingginya demand akan tanaman ini di masyarakat.
Pengguna ganja di Indonesia sangat banyak jumlahnya, dan dari seluruh kalangan.
Pengguna ganja tidak memiliki ciri atau penampilan tertentu, sehingga bisa tampak seperti orang
biasa yang tidak mengkonsumsi ganja. Karena hukumannya yang relatif berat, peredaran ganja
banyak dilakukan oleh pasar gelap, karena hanya orang yang berani mengambil resiko yang bisa
menjadi penjual atau pengedar ganja.
Berbicara tentang ganja masih dianggap sangat tabu oleh sebagian kalangan masyarakat
Indonesia. Tidak heran jika kemudian topik tentang ganja selalu menimbulkan perdebatan dan
bahkan kontroversi. Tak terkecuali tentang isu legalisasi ganja yang diusung oleh Lingkar Ganja
Nusantara, yang menuai banyak tanggapan dari masyarakat dan media massa, baik yang pro
maupun yang kontra. Lingkar Ganja Nusantara, sebagai pihak yang mengangkat isu legalisasi
ganja, berpedoman pada pandangan bahwa tanaman ganja memiliki manfaat yang sangat
potensial yang dapat dioptimalkan pemanfaatannya, baik manfaat di bidang kesehatan maupun
manfaat di bidang industri.
Pihak lain yang memandang segi positif tanaman ganja juga menyatakan bahwa ganja
selama ini lekat dengan nilai negatif karena memang selama ini tidak ada upaya untuk
mengembangkannya ke arah positif. Selama ini, sesuai dengan kriminalisasi penggunanya, ganja
selalu berkonotasi buruk. Menurut mereka, ganja harus dilihat secara proporsional, tidak begitu
saja dibasmi. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 yaitu:
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis
maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan,
yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang
ini”
Kenyataan menunjukan bahwa ganja memiliki status sebagai narkotika golongan 1,
walaupun tidak didukung oleh data ilmiah yang masih belum jelas kebenarannya. Di sinilah akar
permasalahan mengapa ganja dinilai sebagai sesuatu yang buruk terbentuk. Oleh karena itu,
Lingkar Ganja Nusantara muncul sebagai ujung tombak pergerakan dalam membuat perubahan
dalam hal ini, mengeluarkan ganja dari narkotika golongan 1. Dengan statusnya sebagai
narkotika golongan 1, ganja mendapat citra buruk di mata masyarakat Indonesia. Sebagian besar
masyarakat di Indonesia saat ini memiliki pendapat bahwa ganja adalah tanaman yang berbahaya
yang bisa menjerumuskan manusia ke hidup penuh dosa, penyakit, dan kecanduan
(Narayanaet.al, 2011: 1). Ganja juga dikenal sebagai tanaman yang hanya diburu oleh
pemakainya demi kesenangan yang sifatnya sesaat. Tujuan utama dari diberlakukannya undang-
undang tentang narkotika adalah menyelamatkan kesehatan masyarakat Indonesia. Namun,
Lingkar Ganja Nusantara melihat bahwa undang-undang narkotika ini memberi cap buruk
terhadap ganja, karena masyarakat di Indonesia kurang mendapat informasi yang jelas dari
pemerintah tentang bahaya ganja, pemerintah hanya memberitahu bahwa menurut penelitian
ganja adalah narkotika golongan 1 yang sama berbahayanya dengan cocaine dan heroin,
sedangkan penelitian tersebut sampai sekarang masih diperdebatkan dan belum dapat dibuktikan
kebenarannya.
Lingkar Ganja Nusantara beranggapan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya tidak
mengetahui dengan pasti apa sebenarnya akibat yang ditimbulkan dari penggunaan ganja.
Masyarakat tidak pernah mendapatkan informasi yang valid dan jujur mengenai efek dari zat
yang terkandung dalam ganja. Informasi yang selalu diperoleh umumnya bersumber dari suatu
penelitian ilmiah yang tidak lengkap dan cenderung sepihak. Banyak informasi yang keliru yang
bisa ditemukan dari hasil penelitian tersebut.
Isu legalisasi ganja di Indonesia, seperti juga halnya di negara-negara lain, selalu
menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat. Ada yang mendukung dan adapula yang tegas
menolak dan menentangnya. Meski demikian, Lingkar Ganja Nusantara tetap dalam usahanya
memperjuangkan legalisasi ganja di Indonesia. Lingkar Ganja Nusantara berpandangan dan
berkeyakinan bahwa tanaman ganja memiliki manfaat yang dapat dimaksimalkan untuk
kepentingan yang positif dan legal. Manfaat ganja dari segi medis, industri dan dekriminalisasi
pengguna ganja menjadi landasan perjuangan mereka dalam mengibarkan bendera legalisasi
ganja di Indonesia, bukan dalam rangka melegalkan ganja untuk dikonsumsi demi kepentingan
rekreasional saja, yang sejauh ini telah terbukti banyak disalahgunakan sehingga menciptakan
persepsi negatif dari masyarakat terhadap tanaman ganja.
Perjalanan panjang tanaman ganja di Indonesia telah menghantarkannya sekali lagi ke
dalam kesadaran publik. Pemakai dan pemakaian ganja yang terus bertambah dari hari ke hari
dan dari tahun ke tahun tidak pernah terlihat berkurang sedikitpun. Pemerintah Indonesia disini
melihat fenomena ganja sebagai „penyakit‟ dalam masyarakat dan terjebak dalam perangkap
propaganda yang diatur oleh kekuatan politik sebagai „perang terhadap narkotika‟. Memerangi
narkotika sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya adalah sebuah usaha yang sama sekali
tidak menemui keberhasilan. Lingkar Ganja Nusantara beranggapan bahwa dalih moral,
ketertiban sosial, dan norma agama telah dipakai berulang-ulang oleh pihak yang berkepentingan
untuk mempertahankan persepsi masyarakat terhadap kriminalisasi pemakaian dan pemakai
ganja. Lingkar Ganja Nusantara juga menarik kesimpulan bahwa pihak yang berkepentingan
seperti para pembuat kebijakan, praktisi hukum, dan para ilmuwan yang ada telah melihat
dampak sosial yang tak tertanggungkan yang muncul dari „perang‟ terhadap ganja. Seperti yang
sudah dipaparkan sebelumnya, ganja memiliki dampak negatif sosial dan kesehatan yang lebih
rendah daripada narkotika golongan lainnya, atau bahkan tembakau. Satu hal yang diyakini oleh
Lingkar Ganja Nusantara untuk tetap memperjuangkan ganja untuk dilegalkan karena ganja
sudah tidak layak lagi dikambing-hitamkan sebagai sebuah sumber penyakit dalam masyarakat,
karena sudah saatnya masyarakat memiliki kesadaran untuk bertanggung jawab terhadap dirinya
sendiri dan tidak lagi menyalahkan atau bergantung secara pasif kepada modifikasi kesadaran
dari hal lain diluar dirinya.
Legalisasi ganja sebagai suatu isu yang masih kontroversial, di satu sisi memang
menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, namun di sisi lain, adanya kontroversi terkait
isu tersebut tidak dapat dipungkiri, secara langsung maupun tidak juga dapat sedikit banyak
membantu Lingkar Ganja Nusantara dalam membangun dan meningkatkan kesadaran
masyarakat luas terhadap keberadaan isu tersebut di Indonesia. Hal tersebut pada saatnya akan
berpengaruh terhadap berbagai strategi dan usaha dalam sosialisasi maupun kampanye legalisasi
ganja di Indonesia.
Kesadaran masyarakat akan isu legalisasi ganja menjadi penting karena untuk dapat
mempengaruhi masyarakat akan sesuatu yang sudah dianggap sebagai sebuah kebenaran,
haruslah diawali dari membangun sebuah isu menjadi sesuatu yang dipahami secara luas. Jika isu
legalisasi ganja ini menjadi isu yang mainstream di Indonesia, maka untuk
mengimplementasikan wacana ini menjadi lebih mudah. Oleh karenanya, penelitian ini berfokus
pada strategi advokasi yang dilakukan Lingkar Ganja Nusantara dalam mengkampanyekan isu
legalisasi ganja di Indonesia. Hal ini sekali lagi mengingat bahwa isu legalisasi ganja di
Indonesia yang masih dianggap kontroversial, sehingga strategi advokasi yang dilakukan sangat
menarik untuk dilihat.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah:
Bagaimana strategi Lingkar Ganja Nusantara dalam melakukan advokasi untuk legalisasi ganja
di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan penelitian yang mengangkat bagaimana Lingkar Ganja Nusantara
memperjuangkan visi dan misinya dalam proses legalisasi ganja di Indonesia, penelitian ini
memiliki tujuan utama yaitu mengetahui dan mengelaborasi cara Lingkar Ganja Nusantara
melakukan strategi advokasi dalam usaha mencapai visi dan misinya.
D. Kerangka Teori
Tujuan dari penulisan karya ini adalah untuk mengetahui dan mengelaborasi lebih dalam
strategi advokasi yang ditempuh Lingkar Ganja Nusantara dalam memperjuangkan visi dan
misinya. Untuk membahas pentingnya strategi suatu organisasi dalam melaksanakan sebuah
gerakan advokasi, terlebih dahulu diperlukan pemahaman tentang advokasi. Advokasi muncul
akibat dari proses kebijakan publik yang tidak selalu mulus dan hanya sampai pada tahap
evaluasi kebijakan, tetapi juga memungkinkan hadirnya pertentangan dari pihak lain terhadap
kebijakan pemerintah. Dampak dari suatu kebijakan itu tidak sama bagi setiap orang sehingga
muncul perlawanan dari kelompok masyarakat yang sifatnya mengadvokasi kepentingan
masyarakat. Advokasi terhadap kebijakan hadir sebagai alternatif kebijakan yang mendorong
pada arah perubahan yang lebih baik.
D.1 Advokasi
Pengertian tentang advokasi, dewasa ini sangatlah beragam. Namun dalam praktiknya, baik
yang dilakukan oleh praktisi (advokat, pendamping korban), maupun kalangan akademisi
mempunyai pandangan yang sama tentang kegiatan advokasi adalah sebuah pembelaan bagi
korban baik individu maupun kelompok/masyarakat. Konsepsi advokasi menurut pengertian
dalam kamus (Macquarie Dictionary) mengatakan bahwa asal kata advokasi berasal dari kata
advocate yaitu, kegiatan-kegiatan untuk membela dengan aksi bersimpati, aksi menggalang
bantuan dan pertolongan, berupa dukungan argumentasi yang dapat diterima oleh publik dari
seorang yang membela, yang menjadi korban, atau dari orang-orang atau dari pihak lain yang
mendukung alasan-alasan kasus, termasuk dari pihak pengacara atau advokat (Wahyudi et.al,
2008: 24).
Advokasi diartikan sebagai upaya pendekatan (approaches) terhadap orang lain yang
dianggap mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan suatu program atau kegiatan yang
dilaksanakan (Dunn, 1999: 406). Oleh karena itu, yang menjadi sasaran atau target advokasi
adalah para pemimpin suatu organisasi atau institusi kerja, baik di lingkungan pemerintah
maupun swasta, serta organisasi kemasyarakatan. Advokasi sebagai tindakan atau proses untuk
membela atau memberi dukungan. Advokasi dapat pula diterjemahkan sebagai tindakan
mempengaruhi atau mendukung sesuatu atau seseorang.
Secara sederhana, advokasi dapat dipahami sebagai: Pertama, serangkaian tindakan yang
diarahkan terhadap para pembuat kebijakan untuk mendukung isu kebijakan tertentu
(Topatimasang et.al, 2005; viii). Kedua, suatu usaha yang sistematis dan terorganisir untuk
mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap
maju (incremental) (Topatimasang et.al, 2005; viii). Advokasi pada hakekatnya suatu pembelaan
terhadap hak dan kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi, sebab yang diperjuangkan
dalam advokasi tersebut adalah hak dan kepentingan kelompok masyarakat (public interest)
(Parson, 2006: 70). Maka yang dimaksud advokasi disini adalah advokasi kebijakan, yaitu
tindakan-tindakan yang dirancang untuk merubah kebijakan-kebijakan publik tertentu meliputi
hukum, perundang-undangan, peraturan, dan putusan pengadilan.
Kegiatan advokasi dapat dilaksanakan oleh kelompok masyarakat yang menjadi korban
dengan dukungan pihak lain yang tidak hanya dari seorang pengacara atau advokat melainkan
dukungan masyarakat di semua lapisan. Namun, idealnya, advokasi tetap dilaksanakan dengan
berbasis perjuangan dari kelompok masyarakat yang menderita dampak atas hak (asasi atau
hukum) baik secara laten maupun manifes. Intinya, kegiatan advokasi adalah untuk menggalang
dukungan sebanyak-banyaknya dan mengumpulkan kekuatan untuk suatu tujuan tertentu dalam
jangka waktu yang tidak terbatas. Advokasi dapat juga dikatakan sebuah seni, karena dalam
praktiknya dibutuhkan daya kreatifitas dan kecerdasan pelakunya untuk membuat aksi strategis
dan terpadu untuk memasukkan masalah ke dalam agenda kebijakan dan mengontrol para
pembuat kebijakan untuk mencari solusi dari masalah tersebut.
Pada dasarnya, tujuan dari advokasi adalah untuk mendapatkan komitmen pembelaan dan
pendampingan untuk menjamin hak-hak konstitusional warga negara secara demokratis dan adil.
Sedangkan, tujuan akhir advokasi adalah terjadinya perubahan peraturan atau kebijakan (policy
reform). Dengan kata lain, advokasi sebenarnya merupakan upaya untuk memperbaiki atau
mengubah suatu kebijakan publik sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka yang
mendesakkan terjadinya perbaikan atau perubahan tersebut.
Secara lebih spesifik, dalam praktiknya kegiatan advokasi banyak diarahkan pada sasaran
tembak yaitu kebijakan publik yang dibuat oleh para penguasa. Kebijakan publik merupakan
beberapa regulasi yang dibuat berdasarkan kompromi para penguasa (eksekutif, legislatif, dan
yudikatif) dengan mewajibkan warganya untuk mematuhi peraturan yang telah dibuat. Setiap
kebijakan yang akan disahkan untuk menjadi peraturan perlu dan harus dikawal serta diawasi
agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif bagi warganya. Hal ini dikarenakan
pemerintah ataupun penguasa tidak mungkin mewakili secara luas, sementara kekuasaannya
cenderung sentralistik dan mereka selalu memainkan peranan dalam proses kebijakan.
Uraian diatas menunjukan bahwa advokasi mempunyai dimensi yang sangat luas dan
komprehensif sekali. Advokasi bukan sekedar melakukan lobi-lobi politik, tetapi mencakup
kegiatan persuasif, memberikan semangat, dan bahkan sampai memberikan tekanan kepada para
pimpinan institusi. Advokasi tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi juga oleh
kelompok/organisasi, maupun masyarakat. Tujuan utama advokasi adalah to encourage public
policies that are supportive to people (Dunn, 1999: 404). Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa advokasi adalah kombinasi antara pendekatan atau kegiatan individu dan kelompok,
untuk memperoleh komitmen politik, dukungan kebijakan, dan adanya sistem yang mendukung
terhadap suatu program atau kegiatan. Tujuan advokasi dapat diwujudkan dengan berbagai
kegiatan atau pendekatan, dan untuk melakukan kegiatan advokasi yang efektif memerlukan
argumen yang kuat.
Secara rinci Wahyudi (2008: 27) menjelaskan beberapa tujuan advokasi, yaitu:
Perbaikan substansi kebijakan
Advokasi terhadap kebijakan dilakukan untuk mendesakkan perubahan atas nilai, ukuran
dan kualitas beijakan agara berpihak pada masyarakat sebagai objek kebijakan.
Perbaikan proses penyusunan dan keputusan kebijakan
Sebagai prasyarat agar kualitas kebijakan diatas, berpihak pada rakyat, maka harus
didesakkan perubahan atas proses penyusunan dan pengambilan keputusan kebijakan
yang melibatkan partisipasi masyarakat secara terbuka.
Perbaikan pelaksanaan dan pertanggung jawaban kebijakan
Penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan dapat menyebabkan kerugian akan
ditanggung oleh masyarakat. Oleh karena itu, memantau pelaksanaan dan
pertanggungjawaban kebijakan penting dilakukan sebagai bagian dari advokasi terhadap
kebijakan.
Perubahan persepsi dan sikap masyarakat
Perubahan persepsi, pemahaman, penafsiran, reaksi dan tindakan masyarakat yang
melihat bahwa kebijakan adalah miliki para pejabat publik dan elit politik atau
masyarakat saja. Pada dasarnya kebijakan adalah milik publik, sehingga masyarakat
berhak untuk tahu dan berpartisipasi didalamnya.
Peningkatan transparansi dan akuntabilitas pemerintah
Perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan sangatlah rawan dengan banyaknya
berbagai kepentingan yang masuk didalamnya. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi
masyarakat untuk terlibat dalam monitoring proses perumusan, pelaksanaan dan evaluasi
kebijakan.
Dari beberapa poin di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan advokasi terhadap suatu
kasus atau isu bertujuan untuk membangun dukungan terhadap kasus atau isu tertentu,
mempengaruhi orang lain untuk mendukungnya dan berusaha mempengaruhi atau mengubah
peraturan perundang-undangan yang mempengaruhi. Untuk mencapai tujuan advokasi, tidak
dapat dilakukan oleh segelintir kelompok masyarakat saja, tetapi dibutuhkan dukungan dari
seluruh lapisan masyarakat. Hal ini guna menekan pemerintah agar dapat mempengaruhi
kebijakan yang diskriminatif. Untuk itu, dalam melakukan kegiatan advokasi diperlukan strategi
yang tepat agar mampu mempengaruhi persepsi masyarakat secara luas guna mendukung
kegiatan advokasi yang dilakukan.
D.2 Strategi Advokasi Kebijakan
Penyusunan strategi dalam melakukan advokasi berangkat dari asumsi bahwa sebuah tujuan
mustahil tercapai apabila tidak ada upaya untuk mencapainya, dan kalaupun tercapai tidak lebih
dari sebuah keberuntungan semata yang kita tidak tahu kapan itu akan datang (Pamungkas, 2010:
59). Jadi dapat dikatakan bahwa melakukan perencanaan strategi sama dengan mengusahakan
separuh dari keberhasilan kegiatan advokasi, begitupun sebaliknya, tanpa melakukan
perencanaan strategi sama dengan merencanakan setengah kegagalan dalam kegiatan advokasi.
Secara spesifik Pamungkas (2010: 60) menjelaskan bahwa dalam proses advokasi, menyusun
strategi merupakan hal yang urgen karena memberikan pelbagai manfaat, antara lain:
Perencanaan strategi memandu aktivitas advokasi lebih terarah.
Mengoptimalkan potensi positif serta mendayagunakan peluang dan meminimalisasi
resiko dan tantangan dalam proses advokasi.
Proses penyusunan strategi sangat perlu dilakukan untuk mencapai tujuan utama advokasi
yaitu memperoleh komitmen dan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat terlebih dari para
penentu kebijakan atau pembuat keputusan di segala tingkat. Hal terpenting dalam advokasi
kebijakan adalah membangun siasat yang tepat agar misi dari advokasi tercapai (Pamungkas,
2010: 76). Dapat dikatakan, berhasil atau tidaknya kegiatan advokasi dipengaruhi oleh kuat atau
tidaknya perencanaan strategi.
Setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan tersebut dengan
membangun kesadaran publik dan mendorong adanya perubahan kebijakan.
D.2.1 Membangun kesadaran publik
Dalam kegiatan advokasi, proses penyadaran publik merupakan aktivitas yang bertujuan
untuk mempengaruhi cara pikir masyarakat dan proses kebijakan. Proses penyadaran publik
ditempuh dengan upaya memberikan argumen rasional dengan harapan bahwa masyarakat dapat
ikut meyakini tujuan kegiatan advokasi yang dilakukan merupakan respon terhadap masalah
sosial. Strategi ini merupakan langkah untuk mengemas isu secara menarik dan meyakinkan.
Strategi ini berupa kegiatan advokasi yang dapat dilihat secara langsung dengan tujuan untuk
menarik perhatian para pembuat kebijakan dan masyarakat. Kegiatan ini juga dimaksudkan agar
masyarakat mendapat informasi yang lebih jelas dan dapat menilai sendiri tentang isu yang
diangkat dalam kegiatan advokasi.
Sebagai individu atau organisasi pelaku advokasi yang ingin membangun opini publik dalam
rangka mempengaruhi kebijakan publik, diharuskan memiliki kekuasaan berdasarkan isu yang
diangkat. Pelaku advokasi dapat mengubah kebijakan publik apabila mampu menawarkan alasan
yang masuk akal untuk menjustifikasi posisi atau kebenaran. Kondisi tersebut harus diselaraskan
dengan kepentingan publik, membangun hubungan yang efektif dan saling menguntungkan atau
meningkatkan kepentingan pelaku advokasi.
Para pihak yang terlibat dalam proses advokasi memainkan peran sebagai agenda-setter yang
berusaha untuk mempengaruhi opini publik agar sejalan dengan yang diinginkan sehingga proses
advokasi akan mendapatkan dukungan dari masyarakat secara lebih luas (Pamungkas, 2010: 79).
Dengan adanya dukungan dari masyarakat secara luas, ini merupakan “amunisi” yang sangat
berharga karena mengindikasikan adanya legitimasi sosial yang kuat atas isu yang diangkat oleh
pelaku advokasi. Pelibatan banyak orang dengan beragam kepentingan ke dalam satu isu
bersama dalam banyak hal bisa memberikan rasa aman terhadap proses advokasi dan bisa
memberi dasar dukungan politik (Pamungkas, 2010: 18).
Strategi untuk membangun kesadaran publik dapat ditempuh melalui media massa, social
media dan aksi turun ke jalan. Media massa dan social media memiliki peran penting dalam
proses advokasi. Melalui media cetak maupun media elektronik, permasalahan disajikan baik
dalam bentuk lisan, artikel, berita, diskusi, penyampaian pendapat, dan sebagainya (Nugroho,
2006: 168). Seperti kita ketahui bersama bahwa media massa mempunyai kemampuan yang kuat
untuk membentuk opini publik (public opinion), yang dapat mempengaruhi bahkan memberikan
tekanan (pressure) terhadap para pembuat kebijakan dan para pengambil keputusan (Nugroho,
2006: 169).
Strategi ini juga dapat dilakukan dengan menggelar aksi di jalanan sebagai bentuk
perlawanan kepada para pembuat kebijakan. Aksi yang dilakukan lebih secara aksi damai dalam
menyuarakan pendapat dengan tidak melakukan tindakan provokatif (bakar ban, bersitegang
dengan aparat pengamanan, bahasa yang tidak sopan), hal ini dilakukan guna menarik simpati
masyarakat bahwa aksi yang dilakukan adalah murni untuk menyuarakan pendapat dan guna
mengurangi resiko mendapatkan cap buruk dari pemerintah maupun masyarakat. Aksi ini sangat
membutuhkan kerjasama dengan pihak media massa untuk memberitakan adanya suatu kegiatan
advokasi yang isunya layak disoroti. Strategi ini diperlukan untuk mengangkat dan
menyebarluaskan isu kepada masyarakat agar isu yang diangkat dapat menjadi topik
perbincangan di masyarakat, pro-kontra yang tercipta akibat isu yang diangkat akan sangat
membantu proses advokasi karena hasil perdebatan baik dari pihak pendukung maupun dari
pihak yang menentang merupakan bahan pembelajaran penting dalam mempersiapkan strategi ke
depannya.
D.2.2 Mendorong perubahan kebijakan
Advokasi merupakan bentuk penguatan strategi “otak” dengan melakukan kajian ilmiah
melalui berbagai metode dalam riset, dengan tujuan untuk meyakinkan para pembuat kebijakan
maupun masyarakat luas bahwa isu advokasi yang diusung merupakan isu publik yang
sesungguhnya (Pamungkas, 2010: 77). Pelaku advokasi pun dituntut untuk memberikan tawaran
solusi yang tepat berdasarkan riset.
Kemampuan untuk mempengaruhi pembuat kebijakan agar mendukung ide-ide pelaku
advokasi sesungguhnya suatu seni yang memerlukan pengetahuan dan pemahaman yang bersifat
multidisipliner (Dahl, 1991 : 42). Keberhasilan mempengaruhi ini akan sulit apabila aktor-aktor
pembuat kebijakan juga mempunyai kepentingan sendiri dengan argumentasi masing-masing.
Asumsi dasar yang harus dipegang dalam melakukan advokasi kepada pembuat kebijakan adalah
sebuah paradigma bahwa mereka adalah “bukan bawahan kita”. Jadi, apa yang dapat dilakukan
hanyalah sebatas mempengaruhi mereka untuk memahami kepentingan masyarakat. Dalam
mempengaruhi ini, pelaku advokasi harus menggunakan taktik dan strategi yang tepat. Agar isu
atau pilihan kebijakan yang diangkat mendapatkan komitmen politik dan dukungan kebijakan.
Dalam upaya mempengaruhi pembuat kebijakan, disini pelaku advokasi seringkali
melakukan lobi kepada pihak terkait. Proses lobi akan efektif apabila dapat memahami siapa
lawan dan juga didukung dengan persiapan yang matang. Pelaku advokasi perlu memahami
siapa lawan mulai dari latar belakang lawan, kesukaan lawan, hingga kepentingan lawan itu
sendiri (Dahl, 1991 : 46). Persiapan yang baik akan meningkatkan daya tawar dalam negosiasi.
Hal yang perlu disiapkan adalah data. Data perlu menggunakan data yang valid guna
meningkatkan daya tawar.
Dalam proses kegiatan advokasi sangat dibutuhkan kejelian untuk melihat siapa sasaran
utama advokasi, dalam hal ini terutama adalah orang yang berpengaruh dalam kebijakan. Mereka
bisa saja para politisi, birokrasi, staf ahli, penasihat, dan staf dari orang-orang yang terlibat dalam
proses kebijakan (Pamungkas, 2010: 17). Proses ini juga memerlukan kejelian dalam memilih
hal apa yang akan disampaikan kepada siapa. Menyampaikan persoalan kepada politisi dan
pemerintah agar merespon isu tertentu pasti akan berbeda dengan menyampaikan pesan kepada
media massa ataupun LSM (Pamungkas, 2010: 18). Pilihan kata, isi dan mekanisme
penyampaian pesan perlu diperhatikan dengan seksama agar mereka yang kita target bisa
dimanfaatkan untuk menyelesaikan isu yang hendak diadvokasi (Pamungkas, 2010: 18).
Dalam kegiatan ini, pihak-pihak yang terlibat saling menyampaikan informasi, data, fakta,
pemikiran, gagasan dan pendapat, serta saling berusaha mempertimbangkan, memahami, dan
menerima. Tidak ada monopoli pembicaraan dan kebenaran, namun berbagi dan bertukar
informasi dan gagasan. Dari kegiatan ini diharapkan terbentuk rasa saling pengertian dan
pemahaman bersama yang lebih luas dan mendalam tentang hal yang menjadi substansi
advokasi. Sangat diperlukan kesadaran bahwa pihak yang terlibat belum lengkap, belum penuh
dan belum sempurna dalam pengetahuan dan penghayatan tentang sesuatu. Tujuannya yaitu
kegiatan dijadikan sarana untuk saling memahami, menerima dan bekerja sama antar kelompok
masyarakat dan pembuat kebijakan yang berbeda latar belakang.
Dalam proses mendorong kebijakan, pelaku advokasi juga dapat menempuh jalur hukum
dalam melakukan kegiatannya dengan melakukan judicial review. Judicial review (hak uji
materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku
produk-produk hukum yang dihasilkan oleh ekesekutif, legislatif maupun yudikatif di hadapan
konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif dan
cabang kekuasaan eksekutif adalah konsekuensi dari dianutnya prinsip checks and balances
berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) (Soemantri, 1997: 6). Karena
itu kewenangan untuk melakukan judicial review itu melekat pada fungsi hakim sebagai
subjeknya, bukan pada pejabat lain. Jika pengujian tidak dilakukan oleh hakim, tetapi oleh
lembaga parlemen, maka pengujian seperti itu tidak dapat disebut sebagai judicial review,
melainkan legislative review.
Pengujian judicial itu sendiri dapat bersifat formil atau materil. Pengujian formil biasanya
terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang
membuatnya (Soemantri, 1997: 6). Hakim dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan
dengan tidak mengikuti aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan. Hakim
juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh lembaga yang memang
memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.
Sedangkan pengujian materil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu
peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan
yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum (Soemantri,
1997: 7). Misalnya, suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan tetap berlaku oleh
hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi peraturan yang bersifat umum. Sebaliknya,
suatu peraturan dapat pula dinyatakan tidak berlaku jikalau materi yang terdapat di dalamnya
dinilai oleh hakim nyata-nyata bertentangan dengan norma aturan yang lebih tinggi.
Pengujian atau review oleh hakim itu dapat dilakukan secara institusional atau formal dan
dapat pula dilakukan secara prosedural atau substansial. Suatu peraturan sebagai institusi dapat
dimohonkan pengujian kepada hakim, dan hakim dapat menyidangkan perkara judicial review
itu dalam persidangan yang tersendiri. Dalam hal demikian, dapat dikatakan bahwa pengujian
materil itu dilakukan secara institusional, dimana peraturan yang bersangkutan secara
keseluruhan dapat dinyatakan tidak berlaku lagi secara hukum. Tetapi, pengujian juga dapat
dilakukan oleh hakim secara tidak langsung dalam setiap proses acara di pengadilan.
E. Definisi Konseptual
1. Advokasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dirancang untuk merubah kebijakan-
kebijakan publik tertentu, meliputi hukum, perundang-undangan, peraturan, dan putusan
pengadilan.
2. Strategi advokasi kebijakan adalah perencanaan dan penyusunan langkah-langkah efektif
dalam kegiatan advokasi untuk memperoleh dukungan dari berbagai lapisan masyarakat
sebagai kekuatan untuk mendorong pemerintah melakukan kajian ulang terhadap
kebijakan yang ada.
F. Definisi Operasional
Advokasi dalam organisasi Lingkar Ganja Nusantara dapat diukur dari indikator sebagai berikut:
1. Advokasi Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.
2. Advokasi hak asasi warga negara pengguna ganja.
Strategi advokasi dalam organisasi Lingkar Ganja Nusantara dapat diukur dari indikator sebagai
berikut:
1. Kampanye:
a. Membuat karya ilmiah.
b. Melakukan bedah buku.
c. Mengubah stigma buruk ganja.
2. Mendorong perubahan kebijakan:
a. Melakukan kajian/penelitian tentang ganja.
b. Melakukan dialog dengan pembuat kebijakan dan pihak terkait.
c. Melakukan judicial review.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yang lebih menitik beratkan
untuk memahami dan menjelaskan situasi tertentu, bukan hanya mencari sebab akibat yang di
teliti. Tujuan penulisan biasanya menjadi alasan dari pelaksanaan penelitian. Penelitian kualitatif
pada umumnya dilakukan pada penelitian sosial, dimana data yang dikumpulkan dinyatakan
dalam bentuk nilai relatif dan hasilnya bersifat obyektif serta berlaku sasaat dan setempat
(Suklandarrumidi, 2002: 117). Winarno Surachmad mengatakan bahwa, ciri-ciri yang terdapat
pada penelitian deskriptif ialah: Pertama , memusatkan pada pemecahan, masalah-masalah yang
ada pada masa sekarang atau masalah-masalah aktual. Kedua, data-data yang dikumpulkan
pertama-tama disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa (Surachmad, 1982: 132).
Penelitian yang akan dilakukan masuk kedalam jenis penelitian kualitatif karena
kompleksitas dan interkoneksi dalam proses penyelidikannya (Denzinet.al, 1993: 4). Pertama,
peneliti dan kasus yang diteliti tidak memiliki jarak. Sebab peneliti langsung terjun kelapangan
dan berhadapan langsung dengan narasumber. Kedua, peneliti tidak bebas nilai dalam artian
peneliti memposisikan diri dalam proses penginterpretasian data namun dalam dalam prosesnya
peneliti tetap menjunjung objektivitas agar dikelajutan proses tidak menghadirkan bias-bias hasil
penelitian.
Metode studi kasus dipilih karena memiliki signifikansi untuk menjawab langkah strategi
advokasi yang dilakukan oleh Lingkar Ganja Nusantara dalam proses legalisasi ganja di
Indonesia. Menurut Yin, studi kasus adalah sebuah cerita yang unik, spesial atau menarik . Cerita
kasus ini dapat berfokus pada suatu individu, organisasi, proses, lingkungan sekitar, institusi atau
kejadian disekitar (Yin, 2003: 12). Kajian yang dilakukan melalui desain studi kasus adalah
penjelasan mengapa sesuatu yang menarik itu bisa terjadi, bagaimana implementasinya dan apa
yang dihasilkan dari sesuatu yang menarik itu. Pertama, studi kasus dianggap relevan karena
sifatnya mampu menjawab pertanyaan “bagaimana”. Dalam hal ini berkaitan dengan langkah
strategi advokasi yang dilakukan oleh Lingkar Ganja Nusantara dalam proses legalisasi ganja di
Indonesia adalah studi kasus dengan unit analisis tunggal.
Studi kasus dengan unit analisa tunggal dipilih karena mampu menjelaskan corak
pandang Lingkar Ganja Nusantara dalam melakukan perjuangan legalisasi ganja di Indonesia.
Kedua, proses kontrol analisa peneliti nantinya akan minim. Sebab nantinya peneliti tidak dapat
menghilangkan kenyataan yang ada dilapangan terkait isu legalisasi ganja yang diangkat oleh
Lingkar Ganja Nusantara. Peneliti nantinya hanya meneliti bagaimana strategi advokasi yang
dilakukan Lingkar Ganja Nusantara dengan menggunakan triangulasi bukti seperti dokumen,
arsip, observasi, wawancara, dan perangkat fisik (Moleong, 1994: 3).
H. Unit Analisa Penelitian
Kantor pusat Lingkar Ganja Nusantara (LGN) di Cirendeu, Kecamatan Ciputat,
Kabupaten Tangerang dipiilih menjadi unit analisis sehubungan dengan tema yang diangkat
dalam penelitian ini. Pertama, Lingkar Ganja Nusantara yang berpusat di Tangerang dianggap
paling kompeten dan memiliki sumber data dalam melaksanakan fungsinya sebagai organisasi
ganja di Indonesia. Hal tersebut menjadi alasan mengapa kantor pusat LGN dianggap kredibel
untuk memperoleh data bagi proses analisa penelitian. Kedua, akses untuk memperoleh data ke
LGN di kantor pusat dianggap mudah karena peneliti selaku anggota Lingkar Ganja Nusantara
yang terdaftar di pusat. Para pengurus dan para aktivis juga sangat ramah dan siap membantu
dalam memberikan dan menjelaskan analisa mereka terkait isu legalisasi ganja. Hal ini terbukti
dari berbagai kesempatan yang dilakukan oleh peneliti sejak awal menjadi anggota dan
melakukan perjuangan bersama para pengurus LGN pusat. Peneliti akan lebih memfokuskan
analisa pada kantor pusat, walaupun di regional Yogyakarta sendiri sudah memiliki basis
gerakan dan anggota, namun kantor pusat yang dianggap peneliti mampu memberikan data valid
terkait tema yang diangkat.
I. Pengumpulan data
Proses perolehan data di lapangan akan menggunakan triangulasi bukti. Wawancara
dengan Ketua Umum LGN dan Kepala Divisi Advokasi yang memahami perjuangan Lingkar
Ganja Nusantara. Peneliti menggantungkan sebagian besar data dari hasil wawancara dengan
informan. Objektivitas dalam wawancara dilakukan dengan mengambil informan yang memiliki
kesamaan sudut pandang mengenai advokasi yang dilakukan Lingkar Ganja Nusantara.
Wawancara dilakukan secara open-ended yaitu informan berhak menunjuk informan lain untuk
ikut menyumbangkan data. Pada akhirnya, peneliti yang menentukan apakah informan baru
memiliki kapasitas dan relevansi dengan tema yang diangkat. Proses wawancara dilakukan
secara informal namun terfokus, panduan wawancara hanya digunakan untuk menjadi pemandu
agar peneliti tidak keluar dari alur pertanyaan yang harusnya diajukan. Peneliti akan menggukan
dokumen, arsip, artikel media massa cetak maupun elektronik bekaitan dengan penelitian.
J. Teknik analisa data
Setelah data-data dari lapangan baik primer (wawancara) dan sekunder (buku, jurnal, media)
diperoleh, selanjutnya akan dilakukan analisis. Dimulai dengan pemilahan data dengan tujuan
memfokuskan data yang diperoleh. Proses memilah data bukanlah suatu hal yang terpisah dari
analisis, proses tersebut juga merupakan bagian dari proses analisis. Pilihan-pilihan peneliti
tentang bagian data mana yang diperlukan, mana yang tidak akan dipakai, dan informasi di
media yang sedang berkembang, semuanya itu merupakan pilihan-pilihan analitis. Reduksi data
merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang
yang tidak perlu, dan mengorganisasi data secara sedemikian rupa hingga kesimpulan finalnya
dapat ditarik dan diverifikasi (Zed, 2004: 19). Pada proses pembuatan kesimpulan peneliti akan
bergantung pada temuan saat proses pengumpulan data sesuai dengan kebutuhan untuk
menjawab rumusan masalah dan bagaimana maksud kerangka berfikir dibuat untuk menjelaskan
analisa terhadap strategi advokasi yang dilakukan Lingkar Ganja Nusantara terkait isu legalisasi
ganja di Indonesia.