bab 1 pendahuluan a.etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76004/potongan/s1-2014... · tujuan dari...

21
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan dari penulisan karya ini adalah untuk mengetahui dan mengelaborasi lebih dalam strategi yang ditempuh Lingkar Ganja Nusantara dalam memperjuangkan visi dan misinya. Isu ganja di tanah air sendiri sudah sering terdengar beberapa tahun terakhir, pemerintah dan beberapa kelompok masyarakat banyak mengkampanyekan gerakan anti-narkotika untuk memberantas dan meminimalisir akibat peredaran narkotika. Namun disini menarik, ketika ramai orang mengkampanyekan anti-narkotika, di satu sisi muncul sebuah gerakan sosial yang anti- mainstream yang membawa isu untuk melegalkan salah satu anggota dari golongan narkotika. Indonesia sebagai negara berkembang memang mengalami masalah yang tidak jauh berbeda dengan negara-negara lain di dunia dalam mengatasi peredaran gelap narkotika, dalam kasus ini yaitu ganja. Masalah perdagangan gelap ganja sudah lama berlangsung sejak pelarangan ganja resmi dicanangkan pada Konvensi Tunggal PBB tahun 1961. Banyak oknum yang mecari keuntungan yang sangat luar biasa dari peredaran gelap ganja. Di Indonesia sendiri, besarnya barang bukti penangkapan ganja disetiap operasi yang dilakukan oleh Kepolisian menunjukkan betapa tingginya demand akan tanaman ini di masyarakat. Pengguna ganja di Indonesia sangat banyak jumlahnya, dan dari seluruh kalangan. Pengguna ganja tidak memiliki ciri atau penampilan tertentu, sehingga bisa tampak seperti orang biasa yang tidak mengkonsumsi ganja. Karena hukumannya yang relatif berat, peredaran ganja banyak dilakukan oleh pasar gelap, karena hanya orang yang berani mengambil resiko yang bisa menjadi penjual atau pengedar ganja.

Upload: duongthuy

Post on 08-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan dari penulisan karya ini adalah untuk mengetahui dan mengelaborasi lebih dalam

strategi yang ditempuh Lingkar Ganja Nusantara dalam memperjuangkan visi dan misinya. Isu

ganja di tanah air sendiri sudah sering terdengar beberapa tahun terakhir, pemerintah dan

beberapa kelompok masyarakat banyak mengkampanyekan gerakan anti-narkotika untuk

memberantas dan meminimalisir akibat peredaran narkotika. Namun disini menarik, ketika ramai

orang mengkampanyekan anti-narkotika, di satu sisi muncul sebuah gerakan sosial yang anti-

mainstream yang membawa isu untuk melegalkan salah satu anggota dari golongan narkotika.

Indonesia sebagai negara berkembang memang mengalami masalah yang tidak jauh

berbeda dengan negara-negara lain di dunia dalam mengatasi peredaran gelap narkotika, dalam

kasus ini yaitu ganja. Masalah perdagangan gelap ganja sudah lama berlangsung sejak

pelarangan ganja resmi dicanangkan pada Konvensi Tunggal PBB tahun 1961. Banyak oknum

yang mecari keuntungan yang sangat luar biasa dari peredaran gelap ganja. Di Indonesia sendiri,

besarnya barang bukti penangkapan ganja disetiap operasi yang dilakukan oleh Kepolisian

menunjukkan betapa tingginya demand akan tanaman ini di masyarakat.

Pengguna ganja di Indonesia sangat banyak jumlahnya, dan dari seluruh kalangan.

Pengguna ganja tidak memiliki ciri atau penampilan tertentu, sehingga bisa tampak seperti orang

biasa yang tidak mengkonsumsi ganja. Karena hukumannya yang relatif berat, peredaran ganja

banyak dilakukan oleh pasar gelap, karena hanya orang yang berani mengambil resiko yang bisa

menjadi penjual atau pengedar ganja.

Berbicara tentang ganja masih dianggap sangat tabu oleh sebagian kalangan masyarakat

Indonesia. Tidak heran jika kemudian topik tentang ganja selalu menimbulkan perdebatan dan

bahkan kontroversi. Tak terkecuali tentang isu legalisasi ganja yang diusung oleh Lingkar Ganja

Nusantara, yang menuai banyak tanggapan dari masyarakat dan media massa, baik yang pro

maupun yang kontra. Lingkar Ganja Nusantara, sebagai pihak yang mengangkat isu legalisasi

ganja, berpedoman pada pandangan bahwa tanaman ganja memiliki manfaat yang sangat

potensial yang dapat dioptimalkan pemanfaatannya, baik manfaat di bidang kesehatan maupun

manfaat di bidang industri.

Pihak lain yang memandang segi positif tanaman ganja juga menyatakan bahwa ganja

selama ini lekat dengan nilai negatif karena memang selama ini tidak ada upaya untuk

mengembangkannya ke arah positif. Selama ini, sesuai dengan kriminalisasi penggunanya, ganja

selalu berkonotasi buruk. Menurut mereka, ganja harus dilihat secara proporsional, tidak begitu

saja dibasmi. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 yaitu:

“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis

maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya

rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan,

yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang

ini”

Kenyataan menunjukan bahwa ganja memiliki status sebagai narkotika golongan 1,

walaupun tidak didukung oleh data ilmiah yang masih belum jelas kebenarannya. Di sinilah akar

permasalahan mengapa ganja dinilai sebagai sesuatu yang buruk terbentuk. Oleh karena itu,

Lingkar Ganja Nusantara muncul sebagai ujung tombak pergerakan dalam membuat perubahan

dalam hal ini, mengeluarkan ganja dari narkotika golongan 1. Dengan statusnya sebagai

narkotika golongan 1, ganja mendapat citra buruk di mata masyarakat Indonesia. Sebagian besar

masyarakat di Indonesia saat ini memiliki pendapat bahwa ganja adalah tanaman yang berbahaya

yang bisa menjerumuskan manusia ke hidup penuh dosa, penyakit, dan kecanduan

(Narayanaet.al, 2011: 1). Ganja juga dikenal sebagai tanaman yang hanya diburu oleh

pemakainya demi kesenangan yang sifatnya sesaat. Tujuan utama dari diberlakukannya undang-

undang tentang narkotika adalah menyelamatkan kesehatan masyarakat Indonesia. Namun,

Lingkar Ganja Nusantara melihat bahwa undang-undang narkotika ini memberi cap buruk

terhadap ganja, karena masyarakat di Indonesia kurang mendapat informasi yang jelas dari

pemerintah tentang bahaya ganja, pemerintah hanya memberitahu bahwa menurut penelitian

ganja adalah narkotika golongan 1 yang sama berbahayanya dengan cocaine dan heroin,

sedangkan penelitian tersebut sampai sekarang masih diperdebatkan dan belum dapat dibuktikan

kebenarannya.

Lingkar Ganja Nusantara beranggapan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya tidak

mengetahui dengan pasti apa sebenarnya akibat yang ditimbulkan dari penggunaan ganja.

Masyarakat tidak pernah mendapatkan informasi yang valid dan jujur mengenai efek dari zat

yang terkandung dalam ganja. Informasi yang selalu diperoleh umumnya bersumber dari suatu

penelitian ilmiah yang tidak lengkap dan cenderung sepihak. Banyak informasi yang keliru yang

bisa ditemukan dari hasil penelitian tersebut.

Isu legalisasi ganja di Indonesia, seperti juga halnya di negara-negara lain, selalu

menimbulkan pro dan kontra dari masyarakat. Ada yang mendukung dan adapula yang tegas

menolak dan menentangnya. Meski demikian, Lingkar Ganja Nusantara tetap dalam usahanya

memperjuangkan legalisasi ganja di Indonesia. Lingkar Ganja Nusantara berpandangan dan

berkeyakinan bahwa tanaman ganja memiliki manfaat yang dapat dimaksimalkan untuk

kepentingan yang positif dan legal. Manfaat ganja dari segi medis, industri dan dekriminalisasi

pengguna ganja menjadi landasan perjuangan mereka dalam mengibarkan bendera legalisasi

ganja di Indonesia, bukan dalam rangka melegalkan ganja untuk dikonsumsi demi kepentingan

rekreasional saja, yang sejauh ini telah terbukti banyak disalahgunakan sehingga menciptakan

persepsi negatif dari masyarakat terhadap tanaman ganja.

Perjalanan panjang tanaman ganja di Indonesia telah menghantarkannya sekali lagi ke

dalam kesadaran publik. Pemakai dan pemakaian ganja yang terus bertambah dari hari ke hari

dan dari tahun ke tahun tidak pernah terlihat berkurang sedikitpun. Pemerintah Indonesia disini

melihat fenomena ganja sebagai „penyakit‟ dalam masyarakat dan terjebak dalam perangkap

propaganda yang diatur oleh kekuatan politik sebagai „perang terhadap narkotika‟. Memerangi

narkotika sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya adalah sebuah usaha yang sama sekali

tidak menemui keberhasilan. Lingkar Ganja Nusantara beranggapan bahwa dalih moral,

ketertiban sosial, dan norma agama telah dipakai berulang-ulang oleh pihak yang berkepentingan

untuk mempertahankan persepsi masyarakat terhadap kriminalisasi pemakaian dan pemakai

ganja. Lingkar Ganja Nusantara juga menarik kesimpulan bahwa pihak yang berkepentingan

seperti para pembuat kebijakan, praktisi hukum, dan para ilmuwan yang ada telah melihat

dampak sosial yang tak tertanggungkan yang muncul dari „perang‟ terhadap ganja. Seperti yang

sudah dipaparkan sebelumnya, ganja memiliki dampak negatif sosial dan kesehatan yang lebih

rendah daripada narkotika golongan lainnya, atau bahkan tembakau. Satu hal yang diyakini oleh

Lingkar Ganja Nusantara untuk tetap memperjuangkan ganja untuk dilegalkan karena ganja

sudah tidak layak lagi dikambing-hitamkan sebagai sebuah sumber penyakit dalam masyarakat,

karena sudah saatnya masyarakat memiliki kesadaran untuk bertanggung jawab terhadap dirinya

sendiri dan tidak lagi menyalahkan atau bergantung secara pasif kepada modifikasi kesadaran

dari hal lain diluar dirinya.

Legalisasi ganja sebagai suatu isu yang masih kontroversial, di satu sisi memang

menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, namun di sisi lain, adanya kontroversi terkait

isu tersebut tidak dapat dipungkiri, secara langsung maupun tidak juga dapat sedikit banyak

membantu Lingkar Ganja Nusantara dalam membangun dan meningkatkan kesadaran

masyarakat luas terhadap keberadaan isu tersebut di Indonesia. Hal tersebut pada saatnya akan

berpengaruh terhadap berbagai strategi dan usaha dalam sosialisasi maupun kampanye legalisasi

ganja di Indonesia.

Kesadaran masyarakat akan isu legalisasi ganja menjadi penting karena untuk dapat

mempengaruhi masyarakat akan sesuatu yang sudah dianggap sebagai sebuah kebenaran,

haruslah diawali dari membangun sebuah isu menjadi sesuatu yang dipahami secara luas. Jika isu

legalisasi ganja ini menjadi isu yang mainstream di Indonesia, maka untuk

mengimplementasikan wacana ini menjadi lebih mudah. Oleh karenanya, penelitian ini berfokus

pada strategi advokasi yang dilakukan Lingkar Ganja Nusantara dalam mengkampanyekan isu

legalisasi ganja di Indonesia. Hal ini sekali lagi mengingat bahwa isu legalisasi ganja di

Indonesia yang masih dianggap kontroversial, sehingga strategi advokasi yang dilakukan sangat

menarik untuk dilihat.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang masalah di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah:

Bagaimana strategi Lingkar Ganja Nusantara dalam melakukan advokasi untuk legalisasi ganja

di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan penelitian yang mengangkat bagaimana Lingkar Ganja Nusantara

memperjuangkan visi dan misinya dalam proses legalisasi ganja di Indonesia, penelitian ini

memiliki tujuan utama yaitu mengetahui dan mengelaborasi cara Lingkar Ganja Nusantara

melakukan strategi advokasi dalam usaha mencapai visi dan misinya.

D. Kerangka Teori

Tujuan dari penulisan karya ini adalah untuk mengetahui dan mengelaborasi lebih dalam

strategi advokasi yang ditempuh Lingkar Ganja Nusantara dalam memperjuangkan visi dan

misinya. Untuk membahas pentingnya strategi suatu organisasi dalam melaksanakan sebuah

gerakan advokasi, terlebih dahulu diperlukan pemahaman tentang advokasi. Advokasi muncul

akibat dari proses kebijakan publik yang tidak selalu mulus dan hanya sampai pada tahap

evaluasi kebijakan, tetapi juga memungkinkan hadirnya pertentangan dari pihak lain terhadap

kebijakan pemerintah. Dampak dari suatu kebijakan itu tidak sama bagi setiap orang sehingga

muncul perlawanan dari kelompok masyarakat yang sifatnya mengadvokasi kepentingan

masyarakat. Advokasi terhadap kebijakan hadir sebagai alternatif kebijakan yang mendorong

pada arah perubahan yang lebih baik.

D.1 Advokasi

Pengertian tentang advokasi, dewasa ini sangatlah beragam. Namun dalam praktiknya, baik

yang dilakukan oleh praktisi (advokat, pendamping korban), maupun kalangan akademisi

mempunyai pandangan yang sama tentang kegiatan advokasi adalah sebuah pembelaan bagi

korban baik individu maupun kelompok/masyarakat. Konsepsi advokasi menurut pengertian

dalam kamus (Macquarie Dictionary) mengatakan bahwa asal kata advokasi berasal dari kata

advocate yaitu, kegiatan-kegiatan untuk membela dengan aksi bersimpati, aksi menggalang

bantuan dan pertolongan, berupa dukungan argumentasi yang dapat diterima oleh publik dari

seorang yang membela, yang menjadi korban, atau dari orang-orang atau dari pihak lain yang

mendukung alasan-alasan kasus, termasuk dari pihak pengacara atau advokat (Wahyudi et.al,

2008: 24).

Advokasi diartikan sebagai upaya pendekatan (approaches) terhadap orang lain yang

dianggap mempunyai pengaruh terhadap keberhasilan suatu program atau kegiatan yang

dilaksanakan (Dunn, 1999: 406). Oleh karena itu, yang menjadi sasaran atau target advokasi

adalah para pemimpin suatu organisasi atau institusi kerja, baik di lingkungan pemerintah

maupun swasta, serta organisasi kemasyarakatan. Advokasi sebagai tindakan atau proses untuk

membela atau memberi dukungan. Advokasi dapat pula diterjemahkan sebagai tindakan

mempengaruhi atau mendukung sesuatu atau seseorang.

Secara sederhana, advokasi dapat dipahami sebagai: Pertama, serangkaian tindakan yang

diarahkan terhadap para pembuat kebijakan untuk mendukung isu kebijakan tertentu

(Topatimasang et.al, 2005; viii). Kedua, suatu usaha yang sistematis dan terorganisir untuk

mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap

maju (incremental) (Topatimasang et.al, 2005; viii). Advokasi pada hakekatnya suatu pembelaan

terhadap hak dan kepentingan publik, bukan kepentingan pribadi, sebab yang diperjuangkan

dalam advokasi tersebut adalah hak dan kepentingan kelompok masyarakat (public interest)

(Parson, 2006: 70). Maka yang dimaksud advokasi disini adalah advokasi kebijakan, yaitu

tindakan-tindakan yang dirancang untuk merubah kebijakan-kebijakan publik tertentu meliputi

hukum, perundang-undangan, peraturan, dan putusan pengadilan.

Kegiatan advokasi dapat dilaksanakan oleh kelompok masyarakat yang menjadi korban

dengan dukungan pihak lain yang tidak hanya dari seorang pengacara atau advokat melainkan

dukungan masyarakat di semua lapisan. Namun, idealnya, advokasi tetap dilaksanakan dengan

berbasis perjuangan dari kelompok masyarakat yang menderita dampak atas hak (asasi atau

hukum) baik secara laten maupun manifes. Intinya, kegiatan advokasi adalah untuk menggalang

dukungan sebanyak-banyaknya dan mengumpulkan kekuatan untuk suatu tujuan tertentu dalam

jangka waktu yang tidak terbatas. Advokasi dapat juga dikatakan sebuah seni, karena dalam

praktiknya dibutuhkan daya kreatifitas dan kecerdasan pelakunya untuk membuat aksi strategis

dan terpadu untuk memasukkan masalah ke dalam agenda kebijakan dan mengontrol para

pembuat kebijakan untuk mencari solusi dari masalah tersebut.

Pada dasarnya, tujuan dari advokasi adalah untuk mendapatkan komitmen pembelaan dan

pendampingan untuk menjamin hak-hak konstitusional warga negara secara demokratis dan adil.

Sedangkan, tujuan akhir advokasi adalah terjadinya perubahan peraturan atau kebijakan (policy

reform). Dengan kata lain, advokasi sebenarnya merupakan upaya untuk memperbaiki atau

mengubah suatu kebijakan publik sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka yang

mendesakkan terjadinya perbaikan atau perubahan tersebut.

Secara lebih spesifik, dalam praktiknya kegiatan advokasi banyak diarahkan pada sasaran

tembak yaitu kebijakan publik yang dibuat oleh para penguasa. Kebijakan publik merupakan

beberapa regulasi yang dibuat berdasarkan kompromi para penguasa (eksekutif, legislatif, dan

yudikatif) dengan mewajibkan warganya untuk mematuhi peraturan yang telah dibuat. Setiap

kebijakan yang akan disahkan untuk menjadi peraturan perlu dan harus dikawal serta diawasi

agar kebijakan tersebut tidak menimbulkan dampak negatif bagi warganya. Hal ini dikarenakan

pemerintah ataupun penguasa tidak mungkin mewakili secara luas, sementara kekuasaannya

cenderung sentralistik dan mereka selalu memainkan peranan dalam proses kebijakan.

Uraian diatas menunjukan bahwa advokasi mempunyai dimensi yang sangat luas dan

komprehensif sekali. Advokasi bukan sekedar melakukan lobi-lobi politik, tetapi mencakup

kegiatan persuasif, memberikan semangat, dan bahkan sampai memberikan tekanan kepada para

pimpinan institusi. Advokasi tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi juga oleh

kelompok/organisasi, maupun masyarakat. Tujuan utama advokasi adalah to encourage public

policies that are supportive to people (Dunn, 1999: 404). Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa advokasi adalah kombinasi antara pendekatan atau kegiatan individu dan kelompok,

untuk memperoleh komitmen politik, dukungan kebijakan, dan adanya sistem yang mendukung

terhadap suatu program atau kegiatan. Tujuan advokasi dapat diwujudkan dengan berbagai

kegiatan atau pendekatan, dan untuk melakukan kegiatan advokasi yang efektif memerlukan

argumen yang kuat.

Secara rinci Wahyudi (2008: 27) menjelaskan beberapa tujuan advokasi, yaitu:

Perbaikan substansi kebijakan

Advokasi terhadap kebijakan dilakukan untuk mendesakkan perubahan atas nilai, ukuran

dan kualitas beijakan agara berpihak pada masyarakat sebagai objek kebijakan.

Perbaikan proses penyusunan dan keputusan kebijakan

Sebagai prasyarat agar kualitas kebijakan diatas, berpihak pada rakyat, maka harus

didesakkan perubahan atas proses penyusunan dan pengambilan keputusan kebijakan

yang melibatkan partisipasi masyarakat secara terbuka.

Perbaikan pelaksanaan dan pertanggung jawaban kebijakan

Penyimpangan dalam pelaksanaan kebijakan dapat menyebabkan kerugian akan

ditanggung oleh masyarakat. Oleh karena itu, memantau pelaksanaan dan

pertanggungjawaban kebijakan penting dilakukan sebagai bagian dari advokasi terhadap

kebijakan.

Perubahan persepsi dan sikap masyarakat

Perubahan persepsi, pemahaman, penafsiran, reaksi dan tindakan masyarakat yang

melihat bahwa kebijakan adalah miliki para pejabat publik dan elit politik atau

masyarakat saja. Pada dasarnya kebijakan adalah milik publik, sehingga masyarakat

berhak untuk tahu dan berpartisipasi didalamnya.

Peningkatan transparansi dan akuntabilitas pemerintah

Perumusan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan sangatlah rawan dengan banyaknya

berbagai kepentingan yang masuk didalamnya. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi

masyarakat untuk terlibat dalam monitoring proses perumusan, pelaksanaan dan evaluasi

kebijakan.

Dari beberapa poin di atas, dapat disimpulkan bahwa kegiatan advokasi terhadap suatu

kasus atau isu bertujuan untuk membangun dukungan terhadap kasus atau isu tertentu,

mempengaruhi orang lain untuk mendukungnya dan berusaha mempengaruhi atau mengubah

peraturan perundang-undangan yang mempengaruhi. Untuk mencapai tujuan advokasi, tidak

dapat dilakukan oleh segelintir kelompok masyarakat saja, tetapi dibutuhkan dukungan dari

seluruh lapisan masyarakat. Hal ini guna menekan pemerintah agar dapat mempengaruhi

kebijakan yang diskriminatif. Untuk itu, dalam melakukan kegiatan advokasi diperlukan strategi

yang tepat agar mampu mempengaruhi persepsi masyarakat secara luas guna mendukung

kegiatan advokasi yang dilakukan.

D.2 Strategi Advokasi Kebijakan

Penyusunan strategi dalam melakukan advokasi berangkat dari asumsi bahwa sebuah tujuan

mustahil tercapai apabila tidak ada upaya untuk mencapainya, dan kalaupun tercapai tidak lebih

dari sebuah keberuntungan semata yang kita tidak tahu kapan itu akan datang (Pamungkas, 2010:

59). Jadi dapat dikatakan bahwa melakukan perencanaan strategi sama dengan mengusahakan

separuh dari keberhasilan kegiatan advokasi, begitupun sebaliknya, tanpa melakukan

perencanaan strategi sama dengan merencanakan setengah kegagalan dalam kegiatan advokasi.

Secara spesifik Pamungkas (2010: 60) menjelaskan bahwa dalam proses advokasi, menyusun

strategi merupakan hal yang urgen karena memberikan pelbagai manfaat, antara lain:

Perencanaan strategi memandu aktivitas advokasi lebih terarah.

Mengoptimalkan potensi positif serta mendayagunakan peluang dan meminimalisasi

resiko dan tantangan dalam proses advokasi.

Proses penyusunan strategi sangat perlu dilakukan untuk mencapai tujuan utama advokasi

yaitu memperoleh komitmen dan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat terlebih dari para

penentu kebijakan atau pembuat keputusan di segala tingkat. Hal terpenting dalam advokasi

kebijakan adalah membangun siasat yang tepat agar misi dari advokasi tercapai (Pamungkas,

2010: 76). Dapat dikatakan, berhasil atau tidaknya kegiatan advokasi dipengaruhi oleh kuat atau

tidaknya perencanaan strategi.

Setidaknya ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk mencapai tujuan tersebut dengan

membangun kesadaran publik dan mendorong adanya perubahan kebijakan.

D.2.1 Membangun kesadaran publik

Dalam kegiatan advokasi, proses penyadaran publik merupakan aktivitas yang bertujuan

untuk mempengaruhi cara pikir masyarakat dan proses kebijakan. Proses penyadaran publik

ditempuh dengan upaya memberikan argumen rasional dengan harapan bahwa masyarakat dapat

ikut meyakini tujuan kegiatan advokasi yang dilakukan merupakan respon terhadap masalah

sosial. Strategi ini merupakan langkah untuk mengemas isu secara menarik dan meyakinkan.

Strategi ini berupa kegiatan advokasi yang dapat dilihat secara langsung dengan tujuan untuk

menarik perhatian para pembuat kebijakan dan masyarakat. Kegiatan ini juga dimaksudkan agar

masyarakat mendapat informasi yang lebih jelas dan dapat menilai sendiri tentang isu yang

diangkat dalam kegiatan advokasi.

Sebagai individu atau organisasi pelaku advokasi yang ingin membangun opini publik dalam

rangka mempengaruhi kebijakan publik, diharuskan memiliki kekuasaan berdasarkan isu yang

diangkat. Pelaku advokasi dapat mengubah kebijakan publik apabila mampu menawarkan alasan

yang masuk akal untuk menjustifikasi posisi atau kebenaran. Kondisi tersebut harus diselaraskan

dengan kepentingan publik, membangun hubungan yang efektif dan saling menguntungkan atau

meningkatkan kepentingan pelaku advokasi.

Para pihak yang terlibat dalam proses advokasi memainkan peran sebagai agenda-setter yang

berusaha untuk mempengaruhi opini publik agar sejalan dengan yang diinginkan sehingga proses

advokasi akan mendapatkan dukungan dari masyarakat secara lebih luas (Pamungkas, 2010: 79).

Dengan adanya dukungan dari masyarakat secara luas, ini merupakan “amunisi” yang sangat

berharga karena mengindikasikan adanya legitimasi sosial yang kuat atas isu yang diangkat oleh

pelaku advokasi. Pelibatan banyak orang dengan beragam kepentingan ke dalam satu isu

bersama dalam banyak hal bisa memberikan rasa aman terhadap proses advokasi dan bisa

memberi dasar dukungan politik (Pamungkas, 2010: 18).

Strategi untuk membangun kesadaran publik dapat ditempuh melalui media massa, social

media dan aksi turun ke jalan. Media massa dan social media memiliki peran penting dalam

proses advokasi. Melalui media cetak maupun media elektronik, permasalahan disajikan baik

dalam bentuk lisan, artikel, berita, diskusi, penyampaian pendapat, dan sebagainya (Nugroho,

2006: 168). Seperti kita ketahui bersama bahwa media massa mempunyai kemampuan yang kuat

untuk membentuk opini publik (public opinion), yang dapat mempengaruhi bahkan memberikan

tekanan (pressure) terhadap para pembuat kebijakan dan para pengambil keputusan (Nugroho,

2006: 169).

Strategi ini juga dapat dilakukan dengan menggelar aksi di jalanan sebagai bentuk

perlawanan kepada para pembuat kebijakan. Aksi yang dilakukan lebih secara aksi damai dalam

menyuarakan pendapat dengan tidak melakukan tindakan provokatif (bakar ban, bersitegang

dengan aparat pengamanan, bahasa yang tidak sopan), hal ini dilakukan guna menarik simpati

masyarakat bahwa aksi yang dilakukan adalah murni untuk menyuarakan pendapat dan guna

mengurangi resiko mendapatkan cap buruk dari pemerintah maupun masyarakat. Aksi ini sangat

membutuhkan kerjasama dengan pihak media massa untuk memberitakan adanya suatu kegiatan

advokasi yang isunya layak disoroti. Strategi ini diperlukan untuk mengangkat dan

menyebarluaskan isu kepada masyarakat agar isu yang diangkat dapat menjadi topik

perbincangan di masyarakat, pro-kontra yang tercipta akibat isu yang diangkat akan sangat

membantu proses advokasi karena hasil perdebatan baik dari pihak pendukung maupun dari

pihak yang menentang merupakan bahan pembelajaran penting dalam mempersiapkan strategi ke

depannya.

D.2.2 Mendorong perubahan kebijakan

Advokasi merupakan bentuk penguatan strategi “otak” dengan melakukan kajian ilmiah

melalui berbagai metode dalam riset, dengan tujuan untuk meyakinkan para pembuat kebijakan

maupun masyarakat luas bahwa isu advokasi yang diusung merupakan isu publik yang

sesungguhnya (Pamungkas, 2010: 77). Pelaku advokasi pun dituntut untuk memberikan tawaran

solusi yang tepat berdasarkan riset.

Kemampuan untuk mempengaruhi pembuat kebijakan agar mendukung ide-ide pelaku

advokasi sesungguhnya suatu seni yang memerlukan pengetahuan dan pemahaman yang bersifat

multidisipliner (Dahl, 1991 : 42). Keberhasilan mempengaruhi ini akan sulit apabila aktor-aktor

pembuat kebijakan juga mempunyai kepentingan sendiri dengan argumentasi masing-masing.

Asumsi dasar yang harus dipegang dalam melakukan advokasi kepada pembuat kebijakan adalah

sebuah paradigma bahwa mereka adalah “bukan bawahan kita”. Jadi, apa yang dapat dilakukan

hanyalah sebatas mempengaruhi mereka untuk memahami kepentingan masyarakat. Dalam

mempengaruhi ini, pelaku advokasi harus menggunakan taktik dan strategi yang tepat. Agar isu

atau pilihan kebijakan yang diangkat mendapatkan komitmen politik dan dukungan kebijakan.

Dalam upaya mempengaruhi pembuat kebijakan, disini pelaku advokasi seringkali

melakukan lobi kepada pihak terkait. Proses lobi akan efektif apabila dapat memahami siapa

lawan dan juga didukung dengan persiapan yang matang. Pelaku advokasi perlu memahami

siapa lawan mulai dari latar belakang lawan, kesukaan lawan, hingga kepentingan lawan itu

sendiri (Dahl, 1991 : 46). Persiapan yang baik akan meningkatkan daya tawar dalam negosiasi.

Hal yang perlu disiapkan adalah data. Data perlu menggunakan data yang valid guna

meningkatkan daya tawar.

Dalam proses kegiatan advokasi sangat dibutuhkan kejelian untuk melihat siapa sasaran

utama advokasi, dalam hal ini terutama adalah orang yang berpengaruh dalam kebijakan. Mereka

bisa saja para politisi, birokrasi, staf ahli, penasihat, dan staf dari orang-orang yang terlibat dalam

proses kebijakan (Pamungkas, 2010: 17). Proses ini juga memerlukan kejelian dalam memilih

hal apa yang akan disampaikan kepada siapa. Menyampaikan persoalan kepada politisi dan

pemerintah agar merespon isu tertentu pasti akan berbeda dengan menyampaikan pesan kepada

media massa ataupun LSM (Pamungkas, 2010: 18). Pilihan kata, isi dan mekanisme

penyampaian pesan perlu diperhatikan dengan seksama agar mereka yang kita target bisa

dimanfaatkan untuk menyelesaikan isu yang hendak diadvokasi (Pamungkas, 2010: 18).

Dalam kegiatan ini, pihak-pihak yang terlibat saling menyampaikan informasi, data, fakta,

pemikiran, gagasan dan pendapat, serta saling berusaha mempertimbangkan, memahami, dan

menerima. Tidak ada monopoli pembicaraan dan kebenaran, namun berbagi dan bertukar

informasi dan gagasan. Dari kegiatan ini diharapkan terbentuk rasa saling pengertian dan

pemahaman bersama yang lebih luas dan mendalam tentang hal yang menjadi substansi

advokasi. Sangat diperlukan kesadaran bahwa pihak yang terlibat belum lengkap, belum penuh

dan belum sempurna dalam pengetahuan dan penghayatan tentang sesuatu. Tujuannya yaitu

kegiatan dijadikan sarana untuk saling memahami, menerima dan bekerja sama antar kelompok

masyarakat dan pembuat kebijakan yang berbeda latar belakang.

Dalam proses mendorong kebijakan, pelaku advokasi juga dapat menempuh jalur hukum

dalam melakukan kegiatannya dengan melakukan judicial review. Judicial review (hak uji

materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan untuk menguji kesahihan dan daya laku

produk-produk hukum yang dihasilkan oleh ekesekutif, legislatif maupun yudikatif di hadapan

konstitusi yang berlaku. Pengujian oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif dan

cabang kekuasaan eksekutif adalah konsekuensi dari dianutnya prinsip checks and balances

berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) (Soemantri, 1997: 6). Karena

itu kewenangan untuk melakukan judicial review itu melekat pada fungsi hakim sebagai

subjeknya, bukan pada pejabat lain. Jika pengujian tidak dilakukan oleh hakim, tetapi oleh

lembaga parlemen, maka pengujian seperti itu tidak dapat disebut sebagai judicial review,

melainkan legislative review.

Pengujian judicial itu sendiri dapat bersifat formil atau materil. Pengujian formil biasanya

terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang

membuatnya (Soemantri, 1997: 6). Hakim dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan

dengan tidak mengikuti aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan. Hakim

juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh lembaga yang memang

memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.

Sedangkan pengujian materil berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi suatu

peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut kekhususan-kekhususan

yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-norma yang berlaku umum (Soemantri,

1997: 7). Misalnya, suatu peraturan yang bersifat khusus dapat dinyatakan tetap berlaku oleh

hakim, meskipun isinya bertentangan dengan materi peraturan yang bersifat umum. Sebaliknya,

suatu peraturan dapat pula dinyatakan tidak berlaku jikalau materi yang terdapat di dalamnya

dinilai oleh hakim nyata-nyata bertentangan dengan norma aturan yang lebih tinggi.

Pengujian atau review oleh hakim itu dapat dilakukan secara institusional atau formal dan

dapat pula dilakukan secara prosedural atau substansial. Suatu peraturan sebagai institusi dapat

dimohonkan pengujian kepada hakim, dan hakim dapat menyidangkan perkara judicial review

itu dalam persidangan yang tersendiri. Dalam hal demikian, dapat dikatakan bahwa pengujian

materil itu dilakukan secara institusional, dimana peraturan yang bersangkutan secara

keseluruhan dapat dinyatakan tidak berlaku lagi secara hukum. Tetapi, pengujian juga dapat

dilakukan oleh hakim secara tidak langsung dalam setiap proses acara di pengadilan.

E. Definisi Konseptual

1. Advokasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dirancang untuk merubah kebijakan-

kebijakan publik tertentu, meliputi hukum, perundang-undangan, peraturan, dan putusan

pengadilan.

2. Strategi advokasi kebijakan adalah perencanaan dan penyusunan langkah-langkah efektif

dalam kegiatan advokasi untuk memperoleh dukungan dari berbagai lapisan masyarakat

sebagai kekuatan untuk mendorong pemerintah melakukan kajian ulang terhadap

kebijakan yang ada.

F. Definisi Operasional

Advokasi dalam organisasi Lingkar Ganja Nusantara dapat diukur dari indikator sebagai berikut:

1. Advokasi Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang narkotika.

2. Advokasi hak asasi warga negara pengguna ganja.

Strategi advokasi dalam organisasi Lingkar Ganja Nusantara dapat diukur dari indikator sebagai

berikut:

1. Kampanye:

a. Membuat karya ilmiah.

b. Melakukan bedah buku.

c. Mengubah stigma buruk ganja.

2. Mendorong perubahan kebijakan:

a. Melakukan kajian/penelitian tentang ganja.

b. Melakukan dialog dengan pembuat kebijakan dan pihak terkait.

c. Melakukan judicial review.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yang lebih menitik beratkan

untuk memahami dan menjelaskan situasi tertentu, bukan hanya mencari sebab akibat yang di

teliti. Tujuan penulisan biasanya menjadi alasan dari pelaksanaan penelitian. Penelitian kualitatif

pada umumnya dilakukan pada penelitian sosial, dimana data yang dikumpulkan dinyatakan

dalam bentuk nilai relatif dan hasilnya bersifat obyektif serta berlaku sasaat dan setempat

(Suklandarrumidi, 2002: 117). Winarno Surachmad mengatakan bahwa, ciri-ciri yang terdapat

pada penelitian deskriptif ialah: Pertama , memusatkan pada pemecahan, masalah-masalah yang

ada pada masa sekarang atau masalah-masalah aktual. Kedua, data-data yang dikumpulkan

pertama-tama disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa (Surachmad, 1982: 132).

Penelitian yang akan dilakukan masuk kedalam jenis penelitian kualitatif karena

kompleksitas dan interkoneksi dalam proses penyelidikannya (Denzinet.al, 1993: 4). Pertama,

peneliti dan kasus yang diteliti tidak memiliki jarak. Sebab peneliti langsung terjun kelapangan

dan berhadapan langsung dengan narasumber. Kedua, peneliti tidak bebas nilai dalam artian

peneliti memposisikan diri dalam proses penginterpretasian data namun dalam dalam prosesnya

peneliti tetap menjunjung objektivitas agar dikelajutan proses tidak menghadirkan bias-bias hasil

penelitian.

Metode studi kasus dipilih karena memiliki signifikansi untuk menjawab langkah strategi

advokasi yang dilakukan oleh Lingkar Ganja Nusantara dalam proses legalisasi ganja di

Indonesia. Menurut Yin, studi kasus adalah sebuah cerita yang unik, spesial atau menarik . Cerita

kasus ini dapat berfokus pada suatu individu, organisasi, proses, lingkungan sekitar, institusi atau

kejadian disekitar (Yin, 2003: 12). Kajian yang dilakukan melalui desain studi kasus adalah

penjelasan mengapa sesuatu yang menarik itu bisa terjadi, bagaimana implementasinya dan apa

yang dihasilkan dari sesuatu yang menarik itu. Pertama, studi kasus dianggap relevan karena

sifatnya mampu menjawab pertanyaan “bagaimana”. Dalam hal ini berkaitan dengan langkah

strategi advokasi yang dilakukan oleh Lingkar Ganja Nusantara dalam proses legalisasi ganja di

Indonesia adalah studi kasus dengan unit analisis tunggal.

Studi kasus dengan unit analisa tunggal dipilih karena mampu menjelaskan corak

pandang Lingkar Ganja Nusantara dalam melakukan perjuangan legalisasi ganja di Indonesia.

Kedua, proses kontrol analisa peneliti nantinya akan minim. Sebab nantinya peneliti tidak dapat

menghilangkan kenyataan yang ada dilapangan terkait isu legalisasi ganja yang diangkat oleh

Lingkar Ganja Nusantara. Peneliti nantinya hanya meneliti bagaimana strategi advokasi yang

dilakukan Lingkar Ganja Nusantara dengan menggunakan triangulasi bukti seperti dokumen,

arsip, observasi, wawancara, dan perangkat fisik (Moleong, 1994: 3).

H. Unit Analisa Penelitian

Kantor pusat Lingkar Ganja Nusantara (LGN) di Cirendeu, Kecamatan Ciputat,

Kabupaten Tangerang dipiilih menjadi unit analisis sehubungan dengan tema yang diangkat

dalam penelitian ini. Pertama, Lingkar Ganja Nusantara yang berpusat di Tangerang dianggap

paling kompeten dan memiliki sumber data dalam melaksanakan fungsinya sebagai organisasi

ganja di Indonesia. Hal tersebut menjadi alasan mengapa kantor pusat LGN dianggap kredibel

untuk memperoleh data bagi proses analisa penelitian. Kedua, akses untuk memperoleh data ke

LGN di kantor pusat dianggap mudah karena peneliti selaku anggota Lingkar Ganja Nusantara

yang terdaftar di pusat. Para pengurus dan para aktivis juga sangat ramah dan siap membantu

dalam memberikan dan menjelaskan analisa mereka terkait isu legalisasi ganja. Hal ini terbukti

dari berbagai kesempatan yang dilakukan oleh peneliti sejak awal menjadi anggota dan

melakukan perjuangan bersama para pengurus LGN pusat. Peneliti akan lebih memfokuskan

analisa pada kantor pusat, walaupun di regional Yogyakarta sendiri sudah memiliki basis

gerakan dan anggota, namun kantor pusat yang dianggap peneliti mampu memberikan data valid

terkait tema yang diangkat.

I. Pengumpulan data

Proses perolehan data di lapangan akan menggunakan triangulasi bukti. Wawancara

dengan Ketua Umum LGN dan Kepala Divisi Advokasi yang memahami perjuangan Lingkar

Ganja Nusantara. Peneliti menggantungkan sebagian besar data dari hasil wawancara dengan

informan. Objektivitas dalam wawancara dilakukan dengan mengambil informan yang memiliki

kesamaan sudut pandang mengenai advokasi yang dilakukan Lingkar Ganja Nusantara.

Wawancara dilakukan secara open-ended yaitu informan berhak menunjuk informan lain untuk

ikut menyumbangkan data. Pada akhirnya, peneliti yang menentukan apakah informan baru

memiliki kapasitas dan relevansi dengan tema yang diangkat. Proses wawancara dilakukan

secara informal namun terfokus, panduan wawancara hanya digunakan untuk menjadi pemandu

agar peneliti tidak keluar dari alur pertanyaan yang harusnya diajukan. Peneliti akan menggukan

dokumen, arsip, artikel media massa cetak maupun elektronik bekaitan dengan penelitian.

J. Teknik analisa data

Setelah data-data dari lapangan baik primer (wawancara) dan sekunder (buku, jurnal, media)

diperoleh, selanjutnya akan dilakukan analisis. Dimulai dengan pemilahan data dengan tujuan

memfokuskan data yang diperoleh. Proses memilah data bukanlah suatu hal yang terpisah dari

analisis, proses tersebut juga merupakan bagian dari proses analisis. Pilihan-pilihan peneliti

tentang bagian data mana yang diperlukan, mana yang tidak akan dipakai, dan informasi di

media yang sedang berkembang, semuanya itu merupakan pilihan-pilihan analitis. Reduksi data

merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang

yang tidak perlu, dan mengorganisasi data secara sedemikian rupa hingga kesimpulan finalnya

dapat ditarik dan diverifikasi (Zed, 2004: 19). Pada proses pembuatan kesimpulan peneliti akan

bergantung pada temuan saat proses pengumpulan data sesuai dengan kebutuhan untuk

menjawab rumusan masalah dan bagaimana maksud kerangka berfikir dibuat untuk menjelaskan

analisa terhadap strategi advokasi yang dilakukan Lingkar Ganja Nusantara terkait isu legalisasi

ganja di Indonesia.