bab 1 pendahuluan a. latar belakang masalah filebab 1 pendahuluan a. latar belakang masalah...
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan institusi yang agung dalam agama islam,
keberadaannya sangat dihormati, di dalamnya ada hak dan kewajiban antara
suami dan istri yang bertujuan untuk mendapat keridhaan dari Allah. Selain
itu pernikahan adalah sebuah institusi yang didalamnya tercakup tujuan-
tujuan syariat (maqâshid as-syari‟ah) yang merupakan perkara sangat utama
(ad-dharûriyât).1 yaitu memelihara agama (ad-dîn), memelihara keturunan
(an-nasl) disamping memelihara harta (al-mâl ) memelihara jiwa (an-nafs),
dan untuk melindungi akal (al-„aql).2 Pernikahan juga memiliki syarat, rukun
dan tujuan-tujuan yang akan dicapai untuk mendapatkan kebahagiaan
keluarga dunia dan akherat.
Anak dalam keluarga merupakan anugerah Allah yang diberikan kepada
pasangan suami istri, ia adalah perhiasan dalam hidup sebagai buah dari
pernikahan suci dalam bingkai cinta dan kasih sayang. Kehadiran anak
didalam keluarga menambah kehangatan dan kebahagian keluarga. Anak
adalah titipan sekaligus amanah dari Allah. Sebuah keniscayaan saat keluarga
merindukan kehadiran seorang anak, tempat mencurahkan kasih sayang,
perhatian dan kepedulian.3
Seorang anak yang terlahir dari keluarga yang utuh, sah baik secara
agama dan hukum ia akan berkembang menjadi generasi masa depan dengan
penuh optimisme. Karena memiliki kejelasan status dan kedudukan dalam
hukum. Namun jika seorang anak terlahir dari status yang tanpa kejelasan
baik secara hukum maupun secara agama, ia akan menjadi objek
permasalahan karena efek dari pihak lain. Sehingga sangat sulit untuk maju
dan berkembang layaknya anak-anak yang terlahir dari keluarga normal.
Bahkan nyaris menimbulkan konflik antar keluarga dan ini sangat tidak baik
dari sisi psikologis. Karena tak bisa dipungkiri, dalam diri anak mengalami
masa-masa perkembangan secara fisik, emosional maupun sosial hingga ia
tumbuh dewasa.4
1Muhammad Abdul „Athi Muhammad „Ali, al-Maqâshid as-Syari‟ah wa Atsaruhâ
fî al-Fikh al-Islami, (Kairo: Dâr al Hadits, 1428 H) h. 161.
2Ibrahîm bin Musabin Muhammad al-Lakhmi al-Gharnathi as-Syâtibi,
al-Muwâfaqât, Juz II (Mesir: Dar Ibnu Affan,1417H) h. 18-19 3Abdullâh Nâsih „Ulwan, Tarbiyatul Aulâd fi al-Islam,( Cairo: Dar As Salam Li at
Tiba‟ah wa Nasyr wa Tauzi‟e, 1412 H) Juz I h. 50
4Miftah Farid, Rumahku Syurgaku,Romantika dan Solusi Rumah
Tangga,(Depok:Gema Insani, 2006 M) h. 245
2
Hukum Islam yang mengatur keluarga (al-ahwâl as-syakhsiyah)
bertujuan untuk memuliakan manusia sesuai dengan naluri insani,
menghadirkan ketenangan dan kesempurnaan dalam hidup.5 Al-Qur‟an
dengan jelas menggambarkan bahwa kita dilarang meninggalkan anak
keturunan dalam kondisi lemah.
وليخش الذين لو ت ركوا من خلفهم ذرية ضعافا خافوا عليهم ف لي ت قوا الل ولي قولوا ( ۹ ]:٤ [)سورة النساء: ق ول سديدا
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya
mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang
mereka khawatirkan terhadap (kesejahteraan) nya. Oleh sebab itu,
hendaklah mereka bertakwa kepada Allah. Dan hendaklah mereka
berbicara dengan tutur kata yang benar.” (Q.S. An Nisâ‟ [4]:9)
Imam At Thabari dalam tafsirnya memberi komentar terkait ayat diatas:
ال ي وا ع ون ك ي ، ف ال م ي غ م ب ه ك ت ن ي أ اف ع ض د ل و و ل و ات ا م ذ إ م ك د ح أ ه ر ك ي يس ل أ 6اس؟ ى الن ل ع
“Bukankah tidak disukai, jika ada diantara kalian yang meninggal
dunia, sedang ia memiliki anak yang ditinggalkan tanpa harta, lalu
mereka menjadi beban dikalangan manusia?”
Anak yang terlahir dalam pernikahan yang sah baik secara hukum dan
agama Islam akan mendapat hak yang sesuai untuk pemenuhannya, akan
tetapi anak yang terlahir akibat dari pernikahan yang cacat, baik secara
hukum maupun agama, biasanya banyak menuai konflik dan permasalahan di
kemudian hari, baik terkait harta warisan, perwalian, nasab dan hak-hak
sebagai warga negara. Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan
atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah,
jugahanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu,
namun tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya.7
Menurut Andy Hartanto: “Apabila suatu perkawinan tidak dilaksanakan
menurut hukum, maka dapatlah dikatakan bahwa perkawinan tersebut tidak
sah menurut hukum, sehingga akibat dari perkawinan tersebut adalah tidak
5Abdul Wahâb Khalâf, Ahkâm al-Ahwâl as-Syakhsiyah Fi as-Syarî‟ah al-Islamiyah,
(Kuwait: Dar al-Kalam, 1410 H) h. 15.
6Muhammad bin Jarîr at-Thabari, Jâmi‟ul Bayan Fî Ta‟wil Ay Al-Qur‟an, Jilid VI
(tt.p: Muassasah ar-Risalah, 1420 H) h.19
7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 43 ayat (1)
3
dilindungi oleh hukum yang berlaku, baik pihak suami-isteri yang terikat
perkawinan maupun anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut”.8
Oleh karena itu keputusan untuk melangsungkan pernikahan adalah
keputusan yang sudah berdasarkan pemikiran yang matang, karena
pernikahan bukan hanya menyatukan dua sejoli dalam ikatan yang kuat
(mitsâqan ghalîzha). Seperti tersebut dalam firman Allah:
(۱۲] : ٤[) سورة النساء ...وأخذن منكم ميثاقا غليظا“…Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil perjanjian yang kuat
dari kamu”(QS. An Nisâ‟[4]:21) Syekh an Nawawi al Bantâni dalam tafsirnya menyebutkan:
ت ح يو ف غ ول ب ن ك ل هللا و ى ة يق ق ح د ه ع ل ذ ل خ ال ن ل ي و أ ات ل ذ الخ ن ه ن أ ك ل ع 9ن ه ب ب س ب هد الع م يك ل ع هللا ذ خ أ د ق و
“Karena pihak yang mengambil perjanjian hakikatnya adalah Allah,
akan tetapi sampai taraf seolah pihak yang mengambil
perjanjianadalah para istri, sungguh Allah telah mengambil perjanjian
atasmu sebab mereka.”
Dengan kata lain pernikahan adalah perbuatan hukum yang akan
berimplikasi kepada hukum juga. Baik hukum sah atau tidaknya pernikahan
atau hukum turunannya berupa hukum anak hasil pernikahan, warisan,
pemberian nafkah dan perwalian.10
Dalam konteks kekinian sahnya perkawinan bukan hanya sah secara
hukum agama saja, akan tetapi harus sah juga secara hukum negara. Karena
jika hanya sah secara hukum agama, bisa jadi kedepan akan ada celah
merugikan pada salah satu pihak baik suami atau istri, namun kebanyakan
adalah istri dan anak. Oleh karena itu, pemerintah ikut serta dalam
pengaturan perkawinan tak lain agar proses perkawinan serta pihak-pihak
yang terkait dapat mencapai tujuan-tujuan mulia sebuah pernikahan.
Keikut-sertaan ini dalam hal menyangkut proses administratif, di mana
perkawinan harus dicatatkan:
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku11
8Andy Hartanto, Kedudukan Hukum dan Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut
Burgerlijk Wetboek,(Yogyakarta: Laksbang Press, 2008 M) h. 1.
9Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi al Bantani, Marâh Labîd Li Kasyf Ma‟na al
Qur‟an al Mâjîd, Juz I (Beirut: Dar al Kutûb al Ilmiyah, 1417 H) h. 190
10
Ali Uraidi, Perkawinan Sirri dan Akibat Hukum ditinjau dari Undang-Undang
Perkawinan no. 1 tahun 1974”, dalam Jurnal Ilmiah Fenomena, Vol. X, Nomor 2, November
2011, h.: 982
11Undang-Undang Nomor 1 tentang Perkawinan Tahun 1974,Pasal 2 ayat (2)
4
Dengan adanya pencatatan ini juga akan memberikan perlindungan bagi
suami istri dan anak-anaknya termasuk untuk kepentingan harta kekayaan
yang terdapat dalam perkawinan tersebut. Pencatatan perkawinan bagi yang
beragama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Nikah, talak dan rujuk
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954. Bagi
mereka yang beragama selain Islam pencatatan dilakukan di Kantor Catatan
Sipil. Pencatatan tersebut tidak menentukan sahnya suatu peristiwa hukum
suatu perkawinan, tetapi hanya memberikan pembuktian bahwa peristiwa
hukum itu telah terjadi dan dilakukan, sehingga hanya bersifat administratif,
karena sahnya perkawinan itu sendiri ditentukan oleh masing-masing agama
dan kepercayaannya. Dengan kata lain sebenarnya Undang-Undang
Perkawinan tidak mengatur secara tegas permasalahan terkait wali dalam
pernikahan. Sebagaimana tertera dalam Undang-Undang Perkawinan yang
berbunyi:”Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu.”12
Ketika tidak ditemukan aturan yang tegas terkait hukum wali nikah dalam
Undang-Undang Perkawinan tersebut diatas maka akan terjadi kasus terkait
misalnya nikah siri dan sebagainya.
Di Indonesia terdapat beberapa institusi hukum yang mengatur
kedudukan anak, yakni Hukum Perdata Barat (Burgerlijk Wetboek), Hukum
Islam, Hukum adat dan Hukum Nasional produk pemerintah Indonesia
berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Yurispruden Mahkamah
Agung termasuk Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia13
.
Adapun ketentuan dalam bidang hukum perkawinan yang diaur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, sepanjang telah diatur dalam Undang-
Undang Perkawinan maka dengan sendirinya tidak berlaku lagi, hal ini
berdasarkan ketentuan pasal 66 Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi:
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-
undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen (Howelijks, Ordonnantie Christen Indonesiers S. 1933 No.74 ),
Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S.
1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak
berlaku”14
Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 46/PUU-VIII/2010, tanggal 17
Februari 2012 yang berkaitan dengan permohonan uji materi (Judicial
12Undang-Undang Nomor 1 tentang Perkawinan Tahun 1974,Pasal 2 ayat (1)
13
M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum
Nasional, (Bandung: CV. Mandar Maju,2014), Cet 1 h. 1
14
Undang-Undang Nomor 1 tentang Perkawinan Tahun 1974, bab XIV Pasal 66
5
review) terhadap ketentuan Pasal 43 ayat(1) Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, mengenai status anak luar kawin terhadap pasal
28B ayat(2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang diajukan oleh seorang perempuan berinisial Mcc, putusan tersebut
menyatakan: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki
sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan
darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”15
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengundang banyak kontroversi
maupun reaksi dari beberapa kalangan baik agamis maupun praktisi hukum,
artinya dengan putusan MK tersebut maka terjadilah perubahan besar dalam
sistem hukum perdata di Indonesia. Misalnya hukum waris, sejak adanya
putusan MK tersebut banyak kalangan berasumsi bahwa anak diluar kawin
sah (secara hukum negara) memiliki kedudukan yang sama dengan anak sah
sehingga bapak biologisnya mempunyai hubungan nasab, nafkah,
pendidikan, perawatan, perwalian dan sebagainya.
Jika merujuk hukum-hukum yang berlaku di Indonesia akan muncul
istilah-istilah tentang anak sebagai buah dari perkawinan, yaitu: anak sah,
anak luar kawin, anak zina, anak sumbang (incest), anak angkat dan anak tiri.
Dalam pranata hukum di Indonesia, istilah-istilah tersebut mempunyai
konotasi yang berbeda sehingga berpengaruh pula terhadap kedudukan anak
dalam perspektif hukum.16
Terkait istilah anak sah dan tidak sah, di dalam
Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa anak yang sah adalah:
(a). Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah; (b). Hasil
pembuahan suami istri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh istri
tersebut.17
Pengesahan anak yang dilakukan seorang ayah terhadap anak
biologisnya sesuai dengan ketentuan Burgerlijk Wetboek (BW) hanya dapat
dilakukan apabila laki laki tersebut menikahi Ibu dari anak yang
bersangkutan dengan dibuktikan dengan Kutipan Akta Nikah (Akta
Perkawinan), hal mana tidak dapat dilakukan apabila yang bersangkutan
tidak dapat melaksanakan pencatatan pernikahannya. Pengesahan sebagai
anak kandung ini dilakukan sebagai rasa pengakuan yang bersangkutan dan
tanggung jawab yang bersangkutan bahwa anak yang lahir dari istri/calon
istrinya adalah benar anak biologis dari laki laki tersebut, sehingga dengan
adanya pengesahan anak ini menurut Burgerlijk Wetboek (BW), laki laki
15Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII tahun 2010
16
M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum
Nasional, h.1
17
Kompilasi Hukum Islam, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Islam Ditjen
Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, 2001
6
tersebut mempunyai tanggung jawab yang sama dengan anak kandung yang
dilahirkan setelah terjadinya pernikahan.
Dalam konteks hukum indonesia kita mengenal ada tiga konsep asas
hukum, yaitu hukum harus memiliki tiga unsur asas pokok yaitu asas
keadilan hukum, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.18
Artinya hukum
yang diputuskan oleh lembaga hukum atau lembaga peradilan harus
mencakup tiga asas tersebut. Manakala sebuah putusan hukum tidak
mencakup ketiga unsur asas diatas maka kenyamanan publik atas putusan
hukum tersebut. Sehingga implikasinya adalah keresahan masyarakat sebagai
objek hukum tersebut.
Mahkamah konstitusi dalam hal ini mengeluarkan putusan terhadap
status anak diluar kawin yang memiliki hubungan perdata dengan ayahnya
menuai kontroversi ditengah masyarakat. Pokok permasalahan dalam perkara
tersebut bukan saja mengenai status anak luar kawin, namun perkawinan
tersebut telah memenuhi norma agama namun tidak memenuhi norma
hukum. Tentang status perkawinannya pemohon Mcc berdalil dengan
diberlakukannya Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang perkawinan yang
berbunyi:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”19
Berdasarkan pasal diatas, maka hak-hak konstitusional pemohon sebagai
warga Negara Indonesia yang dijamin oleh pasal 28 B ayat (1) dan ayat ( 2)
telah dirugikan, yang bunyi pasalnya adalah:
Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah. Ayat (2) Hak anak untuk kelangsungan hidup,
tumbuh, dan berkembang serta hak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi”20
Tentang status perkawinan Mcc dengan alm. Md. Dalam pertimbangan
Mahkamah Konstitusi, pencatatan itu merupakan kewajiban administrasi
sebagaimana diatur dalam penjelasan angka 4 huruf b Undang-Undang
perkawinan yang berbunyi:
“Dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya.itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam
18Tata Wijayanta, Asas Kepastian Hukum Keadilan dan Kemanfaatan dalam Kaitan
dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga dalam Jurnal Dinamika Hukum, Vol 14. No.
2Mei tahun 2014, h 219
19
Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 2
20
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 28 B ayat 1 dan 2
7
Surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam
pencatatan.21
Adapun tujuan negara dalam hal ini adalah memberikan perlindungan
hak-hak asasi manusia, sebab sebuah perkawinan yang dibangun pada
dasarnya berimplikasi hukum yang sangat luas, yang dikemudian hari hanya
dapat dibuktikan dengan bukti otentik perkawinan, sehingga hak-hak yang
timbul dapat terpenuhi dengan baik. Meskipun selama ini negara telah
mewajibkan pencatatan perkawinan demi tertib administrasi, namun ternyata
pada praktiknya masih banyak orang yang melakukan perkawinan tanpa
dicatatkan dengan berbagai alasan. Terkadang persyaratan yang berbelit-belit
termasuk aspek finansial terkesan masih dirasa membebani sebagian orang
untuk melakukan pencatatan.
Fenomena pernikahan yang tidak dicatatkan sering dikenal dengan nikah
yang dirahasiakan (sirri), meski dengan beragam makna. Secara etimologi
sirri artinya rahasia seperti disebutkan oleh Ibnu Manzûr:
: من السر ر : ما أخفيت ار الس ر 22الت تكتم. والس
”Kata as Sirru berasal dari asrar yaitu sesuatu yang disembunyikan,
dan sesuatu yang kau sembunyikan”.
Para ulama klasik dari kalangan mazâhib al arba‟ah memiliki pengertian
yang berbeda-beda tentang nikah sirri namun sering dikenal sebagai nikah di
bawah tangan. Dikalangan Mâlikiyah melarang nikah sirri, karena nikah
tersebut bertentangan dengan ajaran Nabi yang menyuruh untuk
mengumumkan nikah, sabda Nabi:
« علوه ف ال د، واضربوا عليو بلدفوف أعلنوا ىذا النكاح، وا 23سا
“Umumkanlah nikah, lakukanlah di masjid dan pukullah duff ( sejenis
rebana)
Kalangan Malikiyah memiliki pendapat yang paling keras dibanding
mazhab yang lain, Menurut Ibnu Rusyd , orang yang melakukan nikah sirri
terkena hukuman pidana rajam, karena tujuan syariat tidak tercapai dalam hal
ini menghindari fitnah zina dalam masyarakat.24
Sementara dikalangan
Hanabilah memakruhkan pernikahan sirri, sedangkan kalangan Syafi‟iyah
21Penjelasan UU Nomor 1 Tahun 1974 dan PP Nomor 9 Tahun 1975
22
Muhammad bin Mukarram bin Ali Abu Fadl Jamaluddîn Ibnu Manzur Al-
Anshari, Lisanul „Arab, Jilid 4 ( Beirut: Dar As Shadir, 1414 H) h. 356
23
Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa bin Dhahaq at-Tirmizi, Sunan at-
Tirmizi, Jilid III ( Mesir: Maktabah Musthafa al-Halbi, 1395 H) h.309 no. hadits. 1089
24
Abu al Walîd Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd al
Qurthubi al Hafîd, Bidâyatul Mujtahid, jilid III ( Kairo: Dar al Hadits, 1425) h. 44
8
dan Hanafiyah membolehkan, dengan alasan bahwa merahasiakan
pernikahan tidaklah terkait dengan sah atau tidaknya sebuah pernikahan.25
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwa nomor 10 tahun 2008
tentang pernikahan dibawah tangan menyebutkan:
Nikah Di Bawah Tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah Pernikahan
yang terpenuhi semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum
Islam) namun tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan.26
Namun demikian Majelis Ulama Indonesia memandang bahwa sahnya
hukum pernikahan dibawah tangan tersebut tidaklah berhenti sampai disitu.
Sahnya hukum tersebut menjadi haram manakala terdapat mudharat. Bahkan
menganjurkan untuk dicatatkan sebagai bentuk langkah preventif ( saddan
lidz dzari‟ah)27
. hal tersebut didasari dengan berbagai pertimbangan salah
satunya adalah kaidah fikih:
28حال ص م ال ب ل ن م ول أ د اس الف ء ر د “Mencegah mafsadah (kerusakan) lebih didahulukan daripada menarik
kemaslahatan.”
Untuk mencegah kerusakan dalam tatanan kemasyarakatan terkait dengan
pernikahan ini maka pemerintah dalam hal ini menurut Undang-Undang
Pernikahan tahun 1974 berfungsi sebagai pembuat kebijakan yang sesuai
dengan kemaslahatan masyarakat pada umumnya.
Hal ini sesuai dengan kaidah fikih: مام على الرعية منوط بلمصلحة 29 تصرف ال
”Kebijakan pemimpin kepada rakyatnya sesuai dengan pertimbangan
kemaslahatan”
Ketaatan kepada pemimpin, dalam hal ini pemerintah, sesuai dengan Al
Qur‟an yang menyuruh manusia untuk taat kepada pemimpin, seperti
tercantum dalam ayat Al Qur‟an:
25Tim redaksi Tanwirul Afkar Ma‟had Ali PP. Salafiyah Sukerejo SituBondo,
Fikih Rakyat Pertautan Fikih dengan Kekuasaan, Cet. 1 ( Yoryakarta: LKIS, 2000 M) h.287
26
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 10 Tahun 2008h. 531
27
Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 h. 531
28
Muhammad Sidqi bin Ahmad bin Muhammad al-Burnu, al Wajiz Fî Idhah
Qawaid al fikh al Kuliyyah, ( Beirut: Muasasah ar Risalah, 1422 H) h. 265
29
Jalaluddin as Suyuthi, al Asybah wa an Nadzair, (Cairo: Dar al Kutub, 1411 H) h.
121
9
وأطيعوا الرسول وأول المر منكم فإن ت نازعتم ي أي ها الذين آمنوا أطيعوا اللتم ت ؤمنون بلل والي وم الخر ذل ف شيء ف ردوىإل الل والرسول إن كن
ر وأحسن تويل )٥۹: ]٥[)النساء خي
“Wahai orang-orang beriman , taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Muhammad) dan ulil amri (pemegang kekuasaan) diantara kamu,
kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalilah kepada Allah (Al Qur‟an) dan Rasul-Nya (Sunnah-nya) jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian yang demikian lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An Nisa[4]:59)
Dalam menafsirkan ayat ini, Syekh Mutawalli as-Sya‟râwi menyebutkan:
ة اع ط هللا و ة اع ن ط ط ب ن م ت ن كا ن إ ة م ز ل م ر م ال ل و ة اع ط ن ى أ ل ع ل د ي 30ان ي ال ع م ت ج لم ل ة م ص ع ل ذ ف و، و ول س ر
“Menunjukkan atas perintah kepada waliyul amri (pemangku
kekuasaan) merupakan keharusan (mulzim) jika bersumber dari
ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, itulah perlindungan Allah untuk
masyarakat beriman.”
Abdurrahman Nâsir as Sa‟di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa syarat
ketaatan kepada ulil amri manakala mereka tidak menyuruh kepada
kemaksiatan.31
Oleh karena tidak ada ketaatan kepada makhluk untuk
bermaksiat kepada Al Khâliq (Allah).32
Perkawinan yang tidak dicatatkan berakibat tidak diperolehnya
perlindungan hukum (no legal protect) yang diberikan oleh negara meskipun
perkawinan dipandang sah karena dilakukan sesuai dengan agama dan
kepercayaannya. Sehingga saat salah satu dari kedua belah pihak melakukan
penyimpangan (wan prestasi), maka pihak yang merasa dirugikan akan
30Mutawwalli as-Sya‟râwi, Tafsir as Sya‟rawi,jilid IV (t.tp: Akhbar al-Yaum,1997)
h. 2360
31
Itulah rahasia mengapa kata kerja dalam ayat ini hanya pada kata athiullah wa
atiu Rasul, sedangkan pada kata ulil amri tidak disebutkan langsung, karena ketaatan kepada
pemimpin tetap dibingkai oleh ketaatan kepada perintah-Allah dan Rasul. Karena taidaklah
mungkin seorang Rasul memerintahkan kepada kesesatan.
32
Abdurrahman Nasir as-Sa‟di, Taisir al-Karim ar-Rahman fî Tafsir Kalam al-
Mannan, ( Beirut: Muasasah ar Risalah:1420 H) h. 183
10
kesulitan mengajukan gugatan karena tidak ada akta otentik untuk
membuktikan adanya ikatan perkawinan.33
Penetapan asal usul anak dalam perspektif hukum islam memiliki arti
yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui
hubungan mahram antara anak dan ayahnya. Meskipun demikian seorang
anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika
terlahir dari perkawinan yang sah. Sebaliknya anak yang terlahir dari diluar
pernikahan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak sah, biasa disebut
dengan anak zina, atau anak diluar perkawinan yang sah dan hanya memiliki
hubungan nasab dengan ibunya.34
Persoalan nasab sangatlah penting dalam
agama islam, ketika nabi Muhammad SAW mengangkat seorang anak
bernama Zaid bin Haritsah. Kemudian oleh orang-orang dinasabkan kepada
Nabi Muhammad dikemudian hari, ternyata dikemudian hari mendapat
teguran dari Allah di dalam Al Qur‟an:
ئي تظاىرون كم الل عل أزوا وفو وما ل من ق لب ي ف عل الل لر ما عل أدعياءكم أب ناءكم ذلكم ق ولكم بف واىكم والل هن أمهاتكم وما من
ادعوىم لبئهم ىو أقسط عند الل فإن ل . هدي السبيل ي قول الق وىو ي ناح فيما ت علموا آبءىم فإخوانكم ف الدين ومواليكم وليس عليكم
غفورا رحيما أخطأت بو ولكن ما ت عمدت ق لوبكم وكان الل ( ٥- ٤ :33] [)سورة الحزاب
Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya, dan
Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zihar35
itu sebagai
ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak angkatmu sebagai anak
kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu
33M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Nasional hal. 72
34
Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama
menurut Hukum Positif & Hukum Islam (Bandung: Refika Aditama, 2015) h. 16
35
Zihar adalah menyerupakan istri seperti ibu kandung sendiri, seperti perkataan
seorang suami kepada istrinya,” Punggungmu haram bagiku seperti punggung ibuku”.
Maksud dari perkataan ini adalah suami yang sudah tidak mau berumah tangga dengan
istrinya atau bermaksud menjatuhkan talak. Zihar pada masa jahiliyah digunakan oleh suami
unuk mengharamkan berhubungan dengan istrinya, sedangkan pada masa islam terkait
dengan peristiwa Khaulah binti Tsa‟labah yang dizihar oleh suaminya Aus bin Shamit,
hukumnya haram menggauli istri yang sudah di zihar. Dan kafaratnya adalah memerdekakan
budak, puasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin.
11
saja, Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan
yang lurus. Panggillah mereka (anak angkat itu) dengan (memakai)
nama bapak-bapak mereka, itulah yang adil di sisi Allah, dan jika
kamu tidak mengetahui bapak mereka maka (panggillah mereka
sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maula36
. Dan tidak
ada dosa atasmu jika kamu khilaf tentang itu, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang.(QS. Al Ahzâb [33]:4-5) Inspirasi dari ayat diatas adalah seseorang tidak dibolehkan menasabkan
dirinya kepada selain ayah kandungnya, karena hakekatnya bukan anak
kandung, inilah bukti betapa pentingnya nasab dan kejelasan asal-usul.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Penentuan status anak merupakan persoalan yang sangat krusial ditengah
masyarakat Indonesia yang nota bene mayoritas adalah muslim, apalagi
penduduk muslim Indonesia tergolong unik karena berasal dari kebhinekaan
kultur dan budaya suku daerah masing-masing. Perkawinan yang sah
melahirkan anak dengan status jelas baik secara hukum islam maupun hukum
nasional, artinya kedudukan anak tersebut didalam keluarga, hak-haknya
dilindungi secara hukum terjamin. Namun jika seorang anak terlahir dari
pernikahan yang hanya sah secara agama, tidak di catatkan sesuai dengan
ketentuan pencatatan dalam Undang-undang Nomer 1 tahun 1974 maka hak-
hak yang seharusnya di dapatkan oleh anak tersebut bisa terabaikan.
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tentang status anak yang diajukan oleh
perempuan berinisial Mcc terdapat dua hal yang berbeda37
, yang seharusnya
oleh MK dibedakan kriterianya terlebih dahulu sebelum menjatuhkan
putusan.
Pertama, anak yang dilahirkan dari perkawinan yang memenuhi norma
agama, namun tidak memenuhi norma hukum. Mengapa demikian? Karena
pernikahan yang dilakukan oleh perempuan berinisial Mcc. Telah memenuhi
syarat pernikahan secara agama yang dianut oleh Mcc dan Md. Hanya saja
pernikahan tersebut tidak dilakukan didepan petugas pencatat nikah tentu
dengan berbagai pertimbangan, dan tidak dicatatkan. Secara agama
pernikahan ini sah karena telah memenuhi Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan yang berbunyi,”
36 Hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seseorang yang menjadi anak
angkat, seperti panggilan kepada Salim yang merupakan anak angkat Huzaifah sering
dipanggil Salim Maula Huzaifah.
37
Kedudukan Anak Dalam Perspektif Islam dan Hukum Nasional, h. 74
12
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaanya itu,”38
.Berdasarkan pasal tersebut diatas,
perkawinan ini sah, namun tidak memiliki kekuatan hukum, karena tidak
memiliki bukti otentik.
Kedua, anak yang lahir dari luar perkawinan baik norma agama dan
diluar norma hukum (anak zina dan sejenisnya), selanjutnya disebut sebagai
anak luar kawin. Anak yang terlahir dari perbuatan ini tidak memiliki
hubungan nasab dengan ayahnya. namun dalam amar putusan Mahkamah
Konstitusi dijelaskan bahwa ketentuan pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan harus dibaca,” Anak yang dilahirkan diluar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunyadan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan dengan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum
mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya”.
Tentang istilah”mempunyai hubungan perdata” yang tercantum dalam
amar putusan tersebut mengandung makna yang umum.sehingga
mengundang multi penafsiran. Bisa dipahami hanya sebatas memberi nafkah,
biaya pendidikan, pengayoman dan sebagainya, namun bisa juga dipahami
memiliki hubungan nasab dengan ayahnya sebagai konsekuensinya
menimbulkan hubungan waris dan perwalian nikah. Istilah “mempunyai
hubungan perdata” dalam Pasal 280 KUH Perdata menghendaki hubungan
anak luar kawin dengan bapak biologisnya tdak hanya sebatas memberikan
pengayoman, nafkah, pendidikan, jaminan kebutuhan hidup saja namun juga
in clued hubungan nasab juga. Jika alur pasal ini diikuti maka Putusan
Mahkamah Konstitusi telah memposisikan anak luar kawin sama dengan
anak sah, akibatnya dalam kasus warisan misalnya bisa menggeser
keberadaan dan hak-hak anak sah.
2. Pembatasan Masalah
Oleh karena pembahasan tersebut diatas cukup luas maka penulis
membatasi permasalahan pada penelitian ini sebagai berikut:
a. Mengungkap jenis-jenis perkawinan yang berimplikasi kepada status
anak yang terlahir akibat perkawinan tersebut.
b. Melakukan kajian tentang status anak pasca putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 terkait anak yang terlahir di
bawah tangan di tinjau dari pendekatan keperdataan dan Fatwa Majelis
Ulama Indonesia.
38Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 ayat 1
13
3. Perumusan Masalah
Penulis merumuskan masalah dalam tesis ini kedalam pokok bahasan
sebagai berikut:
a. Bagaimanakah status anak yang terlahir dari pernikahan dibawah tangan
ditinjau dari sudut Putusan Mahkamah Konstitusi dan fatwa Majelis
Ulama Indonesia?
b. Apakah implikasi yuridis terhadap status anak dibawah tangan pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi dan sejauh mana kekuatan fatwa Majelis
Ulama Indonesia terkait permasalahan tersebut?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui status anak dari perkawinan
di bawah tangan serta problematikanya di Indonesia dengan pendekatan
tinjauan Putusan Mahkamah Konstitusi dan Fatwa Majelis Ulama
Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih secara teoritis
maupun praktis dalam sebagai berikut:
a. Teoritis, hasil dari penelitian ini semoga dapat memberikan kontribusi
positif dalam ilmu pengetahuan dan hukum terkait hukum terkait
keluarga dan anak.
b. Praktis, hasil dari penelitian ini semoga dapat bermanfaat bagi pihak-
pihak terkait seperti pemerintah khususnya dibidang hukum, agama,
ormas maupun masyarakat Indonesia secara umum.
D. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kepustakaan
(library research) yang bersifat yuridis normatif 39
, yang mengacu pada
norma-norma hukum positif Indonesia dan hukum Islam, dalam hal ini
adalah institusi Majelis Ulama Indonesia (MUI).
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif, dengan mengemukakan data-data yang terkait pembahasan
jenis-jenis pernikahan, implikasinya terutama terkait dengan status anak
yang terlahir dibawah tangan.
39Rony Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta:
Ghalia Indonesia,1988), h.9
14
3. Tekhnik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini bersifat penelitian kepustakaan,maka penulis
merujuk kepada sumber-sumber primer dan sekunder. Sumber-sumber
primer dalam penelitian kepustakaan bertujuan untuk mengkaji yang
diperoleh dari buku-buku terkait, seperti kitab al-Fikh al-Islami wa
Adillatuh karya Syeikh Wahbah Az-Zuhaily dan kitab-kitab fikih
lainnya. Selain itu juga penulis meneliti dan menelusuri data-data
sekunder berupa jurnal ilmiyah yang terkait dengan masalah, sumber
bahan primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, bahan sekunder
yaitu memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, dan bahan
hukum tertier yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.40
4. Tekhnik Analisi Data
Analisi data dilakukan secara kualitatif normative yakni analisis yang
dipakai tanpa menggunakan angka maupun rumusan Statistika dan
Matematika, disajikan dalam bentuk uraian, dimana hasil analisis
dipaparkan secara deskriptif dengan pertimbangan dapat
menggambarkan status anak dari perkawinan dibawah tangan serta
implikasi hukum didalamnya baik secara pandangan hukum islam yang
bersumber dari kitab-kitab klasik dan hukum nasional dalam hak ini
Mahkamah Konstitusi maupun institusi hukum lainnya, serta merujuk
kepada fatwa-fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI)
40Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta :UI Press, cetakan 3,
1998) ha.52
15
E. Kajian Pustaka
Kajian mengenai status hukum anak sudah sering muncul dalam
berbagai forum terutama hukum keluarga (al ahwâl as syakhsiyah)41
Namun meski sering dikaji dalam berbagai forum, istilah anak luar kawin dan
statusnya belumlah banyak yang memahami, apalagi dikalangan masyarakat
awam. Hukum-hukum dan norma yang terkait dengan keluarga sering
dilanggar baik secara sadar maupun tidak. Oleh karena itu menurut hemat
penulis pembahasan tentang problematika keluarga dan status hukum anak
dan perlindungan menurut hukum tetaplah menarik untuk dikaji dengan
beberapa pertimbangan diantaranya:
1. Hukum keluarga akan senantiasa berjalan sesuai dengan tingkat
pertambahan penduduk, karena siklus hidup manusia senantiasa berputar
dari dalam kandungan, lahir, anak-anak, remaja, dewasa dan berkeluarga,
oleh karena itu hukum-hukum terkait didalamnya senantiasa relevan
setiap zaman. Karena syariat Islam pada prinsipnya adalah menarik
kebenaran kepermukaan sehingga bisa dirasakan oleh manusia dan
menjauhi kerusakan (mafsadat).42
2. Status anak yang berasal secara dari pernikahan sah, hukum dan
implikasinya relatif tanpa permasalahan berarti, namun anak yang
terlahir dengan status yang “menggantung” sah secara hukum agama
namun tidak sah secara hukum negara banyak diantara mereka yang
praktis menjadi korban, nyaris minim sekali perlindungan hukumnya.
3. Anak merupakan anugerah dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa,
didalamnya ada harkat dan martabat yang harus dijunjung tinggi, dan
setiap mereka memiliki hak yang sama. Prinsip-prinsip umum
perlindungan anak adalah non diskriminasi, kebutuhan hidup,
kelangsungan hidup, partisipasi dan lingkungan yang nyaman untuk
menggapai cita-citanya.43
Berikut ini penulis akan mengetengahkan kajian pustaka terlebih dahulu
untuk memperoleh gambaran lebih spesifik tentang kajian-kajian yang sudah
pernah dilakukan.Dalam literratur klasik hukum-hukum tentang anak terkait
langsung dalam bab munâkahat (pernikahan) atau kitab nikah. Imam An
Nawawi dalam kitabnya Al Majmu‟ Syarh Muhazab, menukil bab yang ada
41 Al-Ahwâl As-Syakhsiyah adalah hukum dan perundang-undangan yang secara
spesifik membahas tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan hukum keluarga, dari
penikahan, perceraian, waris, wasiat, status anak, anak angkat dan sebagainya. Dalam kajian
fikih klasik tidaklah dikenal istilah al ahwâl as syakhsiyah, namun fikih-fikih yang terkait
dengan keluarga yang tersebar dalam kitab-kitab fikih mazhab.
42
Izzuddin Abdu as-Salâm, Qawâidul Ahkâm Fi Mashâlih al-Anâm, Juz 1( Cairo:
Maktabah al-Kuliyat al-Azhariyah, 1414H) h.11
43
Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2015) h. 1
16
korelasinya dengan pembahasan ini, yaitu bab mula‟anah atau bab li‟an.
Bahkan menyebutkan sebuah bab yang berjudul:
44ز و ي ا ل م و ن ا علل و ب ي ف ن وز ا ي م و ق لح ي ا ل م و ب س ن الن م ق لح بب ما ي “Bab tentang pengakuan nasab dan bukan, serta pengakuan atau
tidaknya dengan li‟an”
Dalam bab ini beliau hanya menyebut tentang pengakuan anak yang
bersumber dari pernikahan yang jelas dan kemungkinan hamil pada proses
pernihakan dalam waktu yang bisa perkirakan. Sedangkan sisi lain beliau
membahas tentang perkiraan usia pernikahan terkait kemungkinan dengan
pengakuan status anak.45
Kitab fikih klasik lain yang terkait dengan
pembahasan penulis adalah Kitab Bidâyat al Mujtahid wa Nihâyat al
Muqtashid karya Ibnu Rusyd. Dalam kitab ini beliau menyinggung tentang
permasalahan dalam pembahasan terkait pengakuan anak beliau secara
komprehensip membahasnya dalam limam bab terstruktur, mulai dari jenis-
jenis tuduhan dan syarat-syaratnya, sifat-sifat pihak-pihak yang melakukakn
li‟an, sifat li‟an itu sendiri, jika salahsatu dari kedua belah pihak rujuk‟ dan
hukum sempurnannya sebuah li‟an. Semua dijelaskan dengan gambling,
namun masih sebatas teori-teori dalam fikih islam46
. Sementara itu Syekh
Wahbah az Zuhaili dalam kitabnya Al Fikhul Islâmi wa Adillatuhu
menyebutkan bab khusus tentang Al Ahwâl As Syakhsiyah, yang terbagi
menjadi tiga bagian besar yaitu: bab tentang perwalian, bab tentang keluarga
secara umum yang terdiri dari hukum keluarga, perceraian, mahar, nafkah
dan lain-lain. Serta bab ketiga tentang hukum harta keluarga berupa warisan
dan wasiat47
. Adapun menurut Sayid Sabiq dalam kitab Fikih Sunnah, beliau
mengatakan bahwa lia‟an adalah proses pengingkaran anak, karena tuduhan
dari pihak suami yang menuduh istinya berzina, sehingga anak yang
dikandungnya bukan merupakan anak hasil pernikahan mereka. Sehinga anak
yang terlahir dari pengingkaran sang suami dihukumi al walad al firasy.48
Sedangkan Imam As Syaukani dalam kitab Nailul Authar mengatakan bahwa
anak yang terlahir dari sebab li‟an maka nasabnya kepada ibunya:
44 Imam An-Nawawi, al- Majmu‟ Syarh Muhazzab, Juz XVII ( Mesir: Dar al Fikr,
tt) h. 399
45
Imam An-Nawawi, al-Majmu‟ Syarh Muhazzab, hal. 399
46
Ibnu Rusyd al-Hafid, Bidayatul Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid, jilid 3(Cairo:
Darul Hadits, 1425H)h. 133
47
Wahbah Az-Zuhaili, al-Fikh al-Islami wa Adillatuhu, jilid IX ( Damaskus: Dar al-
Fikr, tt) h.6487
48
Sayid Sabiq, Fikh Sunnah, jilid II ( Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1397 H) h. 317
17
و ق الولد ل أ » ث اه عن الزوج فل ت وار صي ره لا وحدىا ون ف أي « : بمن هما 49ب ي
Anak dinasabkan dengan ibunya, maksudnya adalah ikatan nasab
dengan ibunya seorang diri dan meniadakan nasab suaminya, dan tak
ada saling mewarisi diantara keduanya”.
Bahan-bahan tersebut menjadi acuan bagi penulis sebagai pembanding antara
hukum klasik dan hukum modern.
Menurut M. Anshary, dalam bukunya yang berjudul “Kedudukan Anak
Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Nasional, membahas secara
umum tentang berbagai istilah anak, namun kajiannya masih bersifat umum
dan terlalu”kental” dengan paradigma hukum nasionalnya dibanding hukum
islam, beliau sedikit sekali mencantumkan literature yang bersumber dari Al
Qur‟an dan Sunnah yang merupakan rujukan utama hukum islam, sebab
judulnya menyebutkan perspektif hukum islam. Sehingga penulis tidak
melihat bagaimana pandangan islam terutama fikih terkait masalah anak.
Terkait hukum anak yang terlahir diluar pernikahan sah, beliau mengutip
fatwa Majelis Ulama Indonesia yang terkait dengan anak zina, padahal anak
zina berbeda hukumnya dengan anak yang terlahir dari pernikahan yang tidak
dicatatkan.50
Literatur lain yang terkait dengan pembahasan adalah karya J. Andi
Hartanto dalam bukunya berjudul” Hukum Waris Anak Luar Kawin menurut
Burgerlijk WetBoek” namun dalam buku ini hanya membahas tentang hak-
hak waris anak saja tanpa membahas status hukum anak yang terlahir dari
pernikahan bawah tangan secara spesifik.51
. Kemudian literatur yang
menyangkut pembahasan penulis adalah sebuah buku yang ditulis oleh Siska
Lis Sulistiani dengan judul “Kedudukan Hukum Anak Hasil Pernikahan
Beda Agama menurut Hukum Positif dan Hukum Islam”. Namun buku ini
khusus membahas tentang kedudukan anak hasil pernikahan beda agama
meski didalam nya disebutkan beberapa bab yang terkait dengan materi
penulis, namun belumlah lengkap, bahkan pembahasan dalam buku ini
mengelompokkan anak luar kawin dalam tiga kelompok yaitu: anak zina,
49 Imam As Syaukani, Nail al- Authar,jilid VI ( Mesir: Dar Al Hadits, 1413H) h.
318
50
M. Anshary, Kedudukan Anak Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum
Nasional, ( Bandung: Mandar Maju, 2014) h. 78
51
J. Andy Hartanto, Hukum Waris, Kedudukan dan Hak Waris Anak Luar Kawin
menurut Burgerlijk Wetboek Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi,(Surabaya: LaksBang
Justitia,2015) h. 30
18
anak hasil hubungan sedarah (incest) dan anak luar nikah lainnya.52
Untuk
itu dalam tesis ini penulis akan mengungkap dan mengulas kajian-kajian serta
pendekatan teoritis secara komprehensif lagi sebagai langkah strategis terkait
status anak dari pernikahan di bawah tangan dalam tinjauan hukum islam,
hukum nasional dan fatwa Majelis Ulama Indonesia.
F. Sistematika Penulisan
Penulis akan membahas tesis ini dalam beberapa bab yang terkait dengan
judul yang penulis ketengahkan diantara pembahasan itu adalah:
BAB I berisi pendahuluan yang akan membahas tentang latar belakang
masalah, perumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
kajian pustaka serta metode penelitian serta sistematika pembahasan.
BAB II penulis akan membahas tentang tinjauan pernikahan dari sudut
pengertian, jenis-jenisnya, rukun, syarat dan tujuan pernikahan. Selain itu
penulis juga akan membahas tentang nikah siri, mut‟ah dan nikah dibawah
tangan serta perbedaan diantaranya, penulis akan membahas tentang
pengertian dan kedudukan anak didalam keluarga, istilah-istilah anak yang
sering dijumpai, anak zina, anak dibawah tangan dan seterusnya, juga akan
membahas tentang kedudukan anak dalam Al Qur‟an, hadits serta hukum
nasional. Juga akan membahas tentang urgensi pencatatan pernikahan.
BAB III pada bab ini penulis akan mengetengahkan kajian tentang
pengakuan anak dari pernikahan dibawah tangan, terkait asas hukum,
kedudukan dan akibat hukum serta pengakuan anak tersebut, dikaitkan
dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia.
BAB IV penulis akan membahas tentang implikasi yuridis dari putusan
Mahkamah Konstitusi terkait anak dibawah tangan, menyangkut sah atau
tidaknya, perlindungan hukum terhadap anak tersebut dan tindak lanjut pasca
putusan Mahkamah Konstitusi dikorelasikan dengan fatwa Majelis Ulama
Indonesia terkait putusan tersebut.
BAB V pada bab ini penulis akan menyebutkan kesimpulan-kesimpulan
terkait pembahasan, rekomendasi pada pihak terkait serta masukan-masukan
positif terkait pembahasan masalah diatas.
52Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama
menurut Hukum Positif dan Hukum Islam ( Bandung: Refika Aditama, 2015) h.21-22
19