bab 1 pendahuluan 1.1 latar belakangrepository.unissula.ac.id/7161/4/bab i_1.pdf · kalangan...
TRANSCRIPT
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
FILM “3” adalah film laga futuristik pertama di Indonesia. Film ini
menceritakan tentang persahabatan, persaudaraan dan drama keluarga. Dan jika
dilihat dari berbagai macam genre film di Indonesia, film 3 ini mampu
menggabungkan 3 genre film sekaligus yaitu; action, drama dan religi. Film ini
disutradarai oleh Anggi Umbara dan dan Fajar Umbara sebagai penulis naskah
skenarionya. (http://www.kompasiana.com/mahesojenar12/review-film-alim-lam-
mim-3-dakwah-anggy-umbara-melalui-film-alif-lam-
mim_561aa83f357b61370d8b4569, 07/01/16: 20:15).
Film merupakan media yang digunakan sineas dalam menyampaikan
gagasan-gagasannya. Sebagai media, film menjadi jembatan yang
menghubungkan pikiran-pikiran yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Di
satu pihak, sebagaimana media massa pada umumnya, film merupakan cermin
(refleksi) atau jendela masyarakat di mana media massa itu berada. Nilai, norma,
dan gaya hidup yang berlaku di masyarakat akan disajikan dalam film yang
diproduksi. Akan tetapi di pihak lain, film juga berkuasa menetapkan nilai-nilai
budaya yang “penting” dan “perlu” dianut oleh masyarakat.
Begitu juga dengan film 3 Alif, Lam, Mim, film ini menjadikan Indonesia
khususnya konflik-konflik seperti radikalisme, terorisme atau bahkan Liberalisme,
yang telah menjadi perdebatan panjang di beberapa kalangan di Indonesia sebagai
2
latar dan tema yang diangkat dalam film ini. Salah satu objek yang menonjol
dalam film ini, adalah tentang isu terorisme yang sempat menghiasi headline
berita di berbagai media di Indonesia, serta bagaimana peran media dalam
mengemas fakta bahwa kaum muslim khususnya kalangan pesantren, menjadi
ikon besar yang berada dibalik gerakan terorisme. Perkara ini seakan sedang
menyindir atau bahkan memaparkan tentang bagaimana peran dan fungsi media,
khususnya di Indonesia dalam memanipulasi berbagai pesan yang
disampaikannya.
Film “3” Alif, Lam, Mim menjadikan Alif, Herlam dan Mimbo sebagai
tokoh utama dalam film ini. Mereka adalah tiga bersahabat yang tumbuh dan
belajar bersama di sebuah padepokan silat bernama Al-ikhlas. Lebih tepatnya
Pondok Pesantren Al-Ikhlas yang dipimpin oleh kyai Mukhlis. Walaupun sangat
akrab, ketiganya memiliki cita-cita yang berbeda. Alif, bertekad untuk menjadi
seorang aparat Negara yang dapat menegakkan hukum yang benar. Sedangkan,
Herlam (Lam) memilih untuk menyampaikan kebenaran lewat tulisan yaitu
dengan menjadi Jurnalis. Adapun Mimbo (Mim), memutuskan untuk
mengabdikan kehidupannya sebagai seorang pengajar di Pondok Pesantren Al-
Ikhlas, menyebarkan kebaikan melalui agama dan mati Khusnul Khatimah.
Setelah beberapa lama akhirnya Alif, Lam, dan Mim dapat mewujudkan
cita-citanya masing-masing. Alif menjadi penegak Hukum dan tergabung dalam
pasukan elit Datasemen 38: 80-83, Lam menjadi Jurnalis di Libernesia dan Mim
menjadi Ustadz di Pondok Pesantren Al-Ikhlas.
3
Film ini secara resmi dirilis di seluruh bioskop Indonesia pada 01 Oktober
2015. Selain bercerita tentang persahabatan, film yang mengambil lokasi di
Jakarta ini juga menceritakan dan menggambarkan keadaan Jakarta di tahun 2036,
yang sudah begitu banyak mengalami perubahan. Negara sudah kembali damai
dan sejahtera sejak perang saudara dan pembantaian kaum radikal berakhir di
Revolusi tahun 2026. Indonesia saat itu dikisahkan telah menjadi negara Liberal
yang sangat menjunjung tinggi HAM (Hak Asasi manusia), sehingga ketika
revolusi berakhir pada tahun 2026, ditetapkanlah kesepakatan bahwa Aparat
negara hanya diizinkan menggunakan peluru karet dalam memberantas
kriminalitas dan pada saat inilah kemampuan bela diri dibutuhkan, para penegak
hukum dan penjahat mempelajari seni ini untuk bertahan hidup.
Konflik berawal dari adanya peristiwa pemboman di sebuah kafe, dari
peristiwa ini selanjutnya akan menggambarkan bagaimana peran media dalam
mengarahkan opini publik untuk mengkambing hitamkan sebuah golongan
tertentu untuk dijadikan tersangka dalam praktek pemboman tersebut. Selanjutnya
Lam yang berprofesi sebagai Jurnalis yang berusaha untuk mengungkapkan fakta,
berikut kejanggalan-kejanggalan di balik isu pengeboman tersebut, pada akhirnya
disingkirkan dan diperintahkan untuk bungkam oleh atasannya. Alif yang
merupakan seorang aparat negara harus mengalami perang batin yaitu, antara
membela saudaranya dari pondok Al-Ikhlas ataukah berpihak pada Aparat.
Namun pada akhirnya, Alif memutuskan untuk memperjuangkan agamanya
beserta orang-orang dari pondok Al-Ikhlas setelah mendapai fakta bahwa ada
4
oknum aparat yang justru berada di balik semua isu bohong itu. Adapun Mim, dan
Kyai Mukhlis dalam film ini harus ikhlas dituduh sebagai teroris.
Kolonel Mason beserta Tamtama dalam film ini digambarkan sebagai
tokoh yang berusaha menciptakan perdamaian dan perubahan dengan
menghalalkan segala cara untuk mewujudkannya, termasuk dengan cara
meminggirkan agama dari kehidupan sosial dan politik. Dalam film “3” Alif, Lam
Mim usaha ini diwujudkan dengan menuduh kaum muslim khusunya dari
kalangan pesantren Al-Ikhlas sebagai sarang teroris. Hal ini dilakukan sebab
menurut mereka, masyarakat yang terlalu mununjukkan atribut keagamaan dan
membawa unsur agama dalam setiap aspek kehidupan adalah golongan orang-
orang yang meresahkan masyarakat untuk itu perlu dibasmi. Akhir cerita film ini
akan terkesan menggantung, karena tidak ada kepastian cerita yang
menggambarkan apakah kejahatan berhasil dibasmi atau tidak. Namun, satu yang
pasti bahwa, perdamaian yang diraih cengan cara-cara ingin meminggirkan agama
pada akhirnya hanya akan menjadi konflik yang berkepanjangan dan perdamaian
semu.
Melalui potret tersebut, film ini juga dibuat untuk menghubungkan isu
terorisme dengan paham Liberalisme yang dikemas dengan modernisme dan
berujung pada sekularisme. Indonesia, seperti yang telah disebutkan, telah
menjadi negara yang Liberal dan Hak Asasi manusia menjadi harga mati.
Konsep-konsep memarginalkan agama dari kehidupan sosial dan politik,
merupakan sebuah nilai utama dalam paham Liberalisme baik dari aspek sosial,
politik maupun intelektual (pemikiran). Kaum liberal lebih cenderung permesif,
5
alias bersahabat dengan semua sekte dan kemungkaran . Mereka rela mendukung
kesesatan demi persatuan (union). Padahal, Persatuan (kebebasan dan kesalahan)
yang dimaksud liberal itu justru akan berakhir dengan kekacauan. (Hamid Fahmi
Zarkasyi, 2012: 125)
Hal ini pulalah yang terjadi dalam film “3”Alif, Lam, Mim, usaha-usaha
untuk memanggirkan agama demi dalih persatuan, perdamaian, dan menjaga
kestabilan dunia hanya akan berujung pada konflik, adanya pihak yang tersakiti
ataupun tertindas.
Setiap film yang dibuat pasti mempunyai cara tersendiri untuk
menyampaikan pesan kepada para penontonnya, begitu pula dengan film 3 Alif,
Lam , Mim ini. Film ini menarik untuk diteliti karena selain mengandung edukasi,
film ini juga mengandung informasi yang sekaligus menjadi peringatan bagi
seluruh masyarakat Indonesia tentang bahaya praktik liberalisme. Untuk itu,
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana nilai Liberalisme dalam
film 3 Alif, Lam, Mim. Dengan menggunakan paradigma kritis liberalisme tidak
dipandang sebagai kebebasan murni namun kebebasan yang berpihak. Oleh
karena keberpihakan inilah yang membuat adanya golongan yang tertindas atau
dirugikan.
Penelitian ini masuk dalam kategori Komunikasi Massa, dimana film
ditujukan untuk orang banyak. Film yang dianggap oleh banyak orang hanya
sebagai media hiburan, sebenarnya adalah salah satu media yang juga digunakan
untuk menyampaikan informasi kepada khalayak luas
6
Film memiliki potensial untuk mempengaruhi khalayaknya. Dalam banyak
penelitian tentang dampak film terhadap masyarakat. Hubungan antara film dan
masyarakat selalu dipahami linier. Film selalu mempengaruhi dan membentuk
masyarakat berdasarkan muatan pesan (message). Tapi kritik yang muncul
terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret dari
masyarakat dimana film dibuat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Dan kemudian memproyeksikan ke atas layar.
Perkembangan seni film di Indonesia mempunyai sisi kemajuan yang
sangat pesat dan saat ini perfilman di Indonesia sudah mampu menunjukkan
keberhasilannya untuk menampilkan film yang lebih dekat dengan budaya bangsa
Indonesia. Sama dengan film”3” Alif, Lam, Mim ini, cerita yang diangkat terasa
memiliki keterikatan khusus dengan situasi masyarakat Indonesia sekarang ini.
Berdasarkan pemaparam diatas, maka dalam penelitian ini Peneliti
menggunakan pendekatan analisis naratif. Sebab Film merupakan bagian dari
kajian analisis naratif, hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Drs. Alex
Sobur, M.Si dalam bukunya Komunikasi Naratif, yaitu bahwa “teks-teks yang
paling sering menjadi sasaran penelitian naratif dalam bidang kita, bidang
komunikasi adalah film, dan program televisi”. (Alex Sobur, 2014: 235)
Selain itu, analisis naratif membantu kita untuk mengerti keberpihakan dan
ideologi dari pembuat cerita. Lewat susunan peristiwa, karakter, dan unsur-unsur
narasi kita bisa memahami makna yang ingin dikemukakan. (Eriyanto, 2013: 11)
Analisis naratif mempunyai sejumlah kelebihan, pertama, analisis naratif
membantu kita memahami bagaimana pengetahuan, makna, dan nilai diproduksi
7
dan disebarkan dalam masyaratakat. Kedua, memahami bagaimana dunia sosial
dan politik diceritakan dalam pandangan tertentu yang dapat membantu kita
mengetahui kekuatan dan nilai sosial yang dominan dalam masyarakat. Ketiga,
analisis naratif memungkinkan kita menyelidiki hal-hal yang tersembunyi dan
laten dari suatu teks media. Keempat, analisis naratif merefleksikan kontinuitas
dan perubahan komunikasi. Cerita yang sama mungkin diceritakan beberapa kali
dengan cara dan narasi yang berbeda dari satu waktu ke waktu yang lain.
Penelitian hanya dibatasi pada klasifikasi narasi menurut Vladimir Porpp.
Propp mengatakan bahwa suatu cerita memiliki karakter, dan karakter-karakter
tersebut menempati fungsi dalam cerita. Penelitian ini ingin mengkaji makna
bagaimana realitas kehidupan dalam film tersebut dikhususkan pada 31 fungsi dan
7 karakter narasi yang mengandung unsur liberalisme dengan konsep dan nilai-
nilai yang terkandung di dalamya, yang ditampilkan oleh aktor pemeran dalam
film tersebut. Namun secara sepintas teori Todorov akan digunakan untuk
mengidentifikasi alur dan struktur narasi dalam Film “3” Alif, Lam, Mim.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan pokok
permasalahan dalam penelitian ini adalah:
a. Bagaimana aspek naratif tentang nilai Liberalisme dalam film “3” Alif,
Lam, Mim?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah:
8
a. Untuk mengetahui bagaimana aspek naratif nilai Liberalisme dalam film
“3” Alif, Lam, Mim
1.4 Manfaat/ Signifikasi penelitian
Penelitian diharapkan dapatbermanfaat untuk kepentingan teoritis, praktis, dan
sosial.
1. Signifikasi Teoritis:
Penulis berharap penelitian ini dapat memperkaya bidang studi Ilmu
Komunikasi berkaitan dengan pembelajaran mengenai analisis narasi
dalam sebuah film, khususnya bagi mahasiswa Ilmu Komunikasi
UNISSULA. Serta menjadi referensi untuk penelitian lain untuk
melakukan penelitian yang berkaitan dengan analisis naratif.
2. Signifikasi Praktis
Secara praktis, penelitian diharapkan dapat menambah pengetahuan baik
kepada masyarakat maupun mahasiswa tentang bagaimana cara membedah
unsur-unsur narasi dalam sebuah film dan memahami makna yang
terkandung di dalamnya
3. Signifikasi sosial
Diharapkan dalam penelitian ini dapat memberikan gambaran serta
sumbangan pemikiran terhadap ilmu pengetahuan pada umumnya dan
mengembangkan pengetahuan pemikiran yang bermanfaat di seluruh
tataran bidang ilmu Komunikasi . selain itu diharapkan juga masyarakat
dapat menangkap dan memahami makna-makna yang dinarasikan suatu
film, khususnya dalam film “3”
9
1.5 Kerangka Penelitian
1.5.1 Paradigma Penelitian
Paradigma berfungsi untuk merumuskan tentang apa yang akan dipelajari,
persoalan-persoalan apa yang mesti dijawab, bagaimana seharusnya menjawab
persoalan, dan aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi
yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut (Andi
Prastowo: 2012).
Paradigma dalam bahasa inggris disebut paradig dan dalam bahasa prancis
disebut paradig, istilah tersebut berasal dari bahasa latin yaitu para dan deigme.
Secara epitemologis para berati di samping atau di sebelah dan deigma berarti
memperlihatkan, yang berarti, model, contoh, arketipe, ideal.
Baker (1992) dalam “paradigms, The bussines of discovering the futura”
mendefinisikan paradigma sebagai seperangkat aturan (tertulis atau tidak tertulis)
yang melakukan dua hal. Pertama, Hal itu membangun dan mendefinisikan batas-
batas. Kedua, Hal itu menceritakan pada anda bagaimana seharusnya melakukan
sesuatu di dalam batas-batas itu agar bisa berhasil (Lexy. J. Moleong, 2010: 49).
Terkait dengan penelitian ini, maka peradigma yang digunakan adalah
paradigma kritis, paradigma ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang
terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Lebih jauh lagi Dezim dan
Guba (2001) menyebutkan dilihat dari segi ontologis, paham perpektif ini sama
dengan pos-positivisme yang menilai objek atau realitas secara kritis (critical
realism), yang tidak dapat dilihat secara benar oleh pengamatan manusia. Karena
10
itu, untuk mengatasi masalah ini, secara metodologis paham ini mengajukan
metode dialog dengan trasformasi untuk menemukan kebenaran realitas yang
hakiki. Secara epistemologis hubungan antara pengamat dengan realitas yang
menjadi objek merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan. Karena itu, aliran
ini lebih menekankan pada konsep subjektivitas dalam menemukan suatu ilmu
pegetahuan, karena nilai-nilai yang dianut oleh subjek atau pengamat ikut campur
dalam menentukan kebenaran tentang suatu hal. (Elvinaro Ardianto, 2007:168)
Perspektif kritis melihat realitas dengan cara yang berbeda. Realitas
diciptakan bukan oleh alam (nature), tetapi oleh orang (people). Selain itu
perspektif ini melihat masyarakat sebagai suatu sistem kelas. Masyarakat
dipandang sebagai suatu sistem dominasi, dan media adalah salah satu bagian dari
sistem dominasi tersebut. Masyarakatpun bukanlah kelompok yang saling bebas,
melainkan didominasi oleh kelompok elit tertentu. Media dianggap sebagai alat
kelompok dominan untuk memanipulasi dan mengukuhkan kehadirannya sembari
memarjinalkan kelompok yang dominan. Jadi pada perspektif kritis terdapat
ideologi yang tersembunyi. Ideologi adalah praktik yang menyiratkan adanya
penopengan, penyimpangan, dan penyembunyian realitas tertentu, disini ideologi
menjadi alat untuk menyembunyikan realitas yang sebenarnya. Dengan cara ini,
kelas dominan merasa aman, dan kelas tertindas tidak merasa tertindas.
Penyertaan analisis pembongkaran ideologi merupakan khas perspektif teori kritis
(Elvinaro Ardianto, 2007: 175-177).
Paradigma kritis melihat bahwa dalam media massa sarat akan
kepentingan kaum pemilik modal, negara atau kelompok yang menindas lainnya.
11
Ini berarti media massa menjadi alat dominasi dan hegemoni masyarakat.
Konsekuensi logisnya adalah realitas yang dihasilkan oleh media terdistorsi.
Sebagai sebuah industri, maka terdapat pertentangan antara pemilik modal dan
buruh (Irwanto. 2013. Media Massa dalam Tinjauan Paradigma Kritis. Jurnal).
1.5.2 State Of The Art
Pada penelitian ini Peneliti juga menggunakan skripsi yang memiliki
beberapa persamaa dengan penelitian ini . Adapun beberapa judul penelitian yang
peneliti dapatkan adalah sebagai berikut.
Pertama “Analisis Narasi Film My Name Is Khan” Dalam Perspektif
Komunikasi Antar Budaya Dan Agama” oleh Mega Nur fitriana tahun 2014,
Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Jakarta. Skripsi tersebut memiliki
kesamaan dengan penelitian ini dalam hal metode dan pendekatan penelitian yaitu
sama-sama menggunakan pendekatan analisis naratif. Namun memiliki perbedaan
dalam objek penelitian dan juga teori yang digunakan.
Kedua, “analisis Naratif film animasi Frozen dengan Model Vlamidir
Propp” oleh Arga Arkhadia Yusuf tahun 2015,Universitas Telkom Bandung.
Skripsi tersebut memiliki kesamaan dan juga perbedaan dengan penelitian ini.
Penelitian tersebut dan penelitian ini sama-sama meneliti film dengan
menggunakan metode Analisis naratif. Namun film yang diteliti berbeda, bila
skripsi Arga Arkadhia Yusus meneliti Film animasi frozen, penelitian ini memilih
Film “3” alif lam mim sebagai objek penelitiannya. Selain itu tujuan penelitian
keduanya juga berbeda.
12
Ketiga, Penokohan kyai Dalam film Sang Pencerah dan Sang kyai
(analisis naratif Struktural terhadap struktur naratif dalam film Sang Pencerah dan
Sang kyai) Baharuddin Rabbani tahun 2016 Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah
Mada (UGM). Persamaan skirpsi tersebut dengan penelitian ini terletak pada
pendekatan yang digunakan yaitu kualitatif dengan metode analisis naratif.
Namun perbedaan tersebut terdapat pada objek penelitian dan batasan penelitian,
yaitu pada skripsi tersebut menjadikan Film Sang Pencerah dan Sang kyai sebagai
objek penelitian maka pada Penelitian ini memilih Film “3” sebagai objek
penelitian, dan bila skripsi Baharuddin rabbani tersebut bertujan untuk
mengetahui Penokohan sang kyai dalam kedua film tersebut, maka pada
penelitian ini bertujuan ingin mengetahui tentang nilai Liberlisme dalam narasi
film “3” Alif, Lam, Mim.
1.5.3 Teori
1.5.3.1 Teori Evolusi Sosial
Perubahan evolusi adalah perubahan sosial yang terjadi dalam proses yang
lambat, dalam waktu yang cukup lama, dan tanpa ada kehendak tertentu dari
masyarakat yang bersangkutan. Perubahan-perubahan ini berlangsung mengikuti
kondisi perkembangan masyarakat, yaitu sejalan dengan usaha-usaha masyarakat
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dengan kata lain bahwa
perubahan sosial itu terjadi oleh karena dorongan dari usaha-usaha masyarakat
dalam rangka menyesuaikan diri terhadap kebutuhan-kebutuhan hidupnya dengan
perkembangan masyarakat pada waktu tertentu.
13
Menurut Petrim A. Sorokin, bahwa masyarakat berkembang melalui
tahap-tahap yang masing-masing didasarkan pada suatu sistem kebenaran. Dalam
tahap pertama, dasarnya kepercayaan, tahap kedua dasarnya adalah indera
manusia, dan pada tahap ketiga dasarnya adalah kebenaran. Pada tahapan-tahapan
perubahan sebagaimana dinyatakan oleh Sorokin sebenarnya menunjukkan
adanya proses yang tidak berlangsung secara cepat, melainkan cenderung bersifat
evolusi. (Abdulsyani, 2007: 167)
Pada waktu muncul pola perilaku sosial baru dalam masyarakat, maka
pertama kali terjadi adalah peroses percaya, dimana proses penerimaan
masyarakat terhadap inovasi didasarkan pada kepercayaan terhadap manfaat yang
mungkin dapat dicapai. Tahap berikutnya, masyarakat mulai melihat realita sosial,
jika perubahan-perubahan itu pada umumnya lebih banyak memberikan
keberuntungan atau berguna dalam rangka usaha memenuhi berbagai aspek
kebutuhan hidupnya, maka secara perlahan masyarakat akan menerima
perkembangan masyarakat yang bersangkutan sebagai suatu kebenaran.
(Abdulsyani, 2007: 168)
Masyarakat yang mengalami evolusi, tentu akan berubah dari sistem yang
berdasarkan kriteria askripsi ke sistem yang berdasarkan prestasi. Yang berarti
bahwa kelompok-kelompok yang semula tidak mendapat peluang untuk
memberikan kontribusi kepada masyarakat, harus mendapatkan kebebasan
sebagai anggota penuh dalam masyarakat. Dengan begitu, sistem nilai masyarakat
sebagai satu kesatuan pasti mengalami perubahan serentak dengan perubahan
struktur dan fungsi sosial yang tumbuh semakin terdiferensiasi.
14
Menurut prinsip-prinsip teori yang diuraikan oleh Herbert Spencer yang
antara lain mengatakan bahwa kebudayaan manusia telah mengikuti suatu garis
evolusi. Masyarakat itu merupakan hasil perkembangan dari kelompok homogen
ke kelompok yang heterogen sifat dan susunannya. Perubahan semacam ini tidak
pasti arahnya, karena arus perubahannya sama sekali tidak diatur atau
terencanakan, mungkin perubahannya menuju pada bentuk kehidupan yang
sempurna, atau mungkin sebaliknya.
Dalam bukunya yang berjudul principles of sociology (1876-1896)
Herbert Spencer, seorang sosiolog Inggris yang banyak menggunakan bahan-
bahan etnografi secara luas dan sistematis mengemukakan tentang teori evolusi
sosial. Ia mengatakan bahwa masyarakat yang merupakan suatu organisme,
berevolusi menurut pertumbuhan manusia seperti tubuh yang hidup, masyarakat
bermula seperti kuman yang berasal dari massa yang dalam, segala hal dapat
dibandingkan dengan massa itu dan sebagian diantaranya akhirnya dapat didekati.
Pertumbuhan masyarakat tidak sekedar menyebabkan perbanyakan dan penyatuan
kelompok, tetapi juga meningkatkan kepadatan penduduk atau meningkatkan
solidaritas, bakan memajukan massa yang lebih akrab. (Dadang Supardan, 2009:
156)
Peningkatan kapitalispun menandai proses pertumbuhan masyarakat.
Organisasi-organisasi sosial yang mulanya masih samar-samar, pertumbuhannya
mulai mantap secara perlahan-lahan, kemudian adat menjadi hukum, hukum
menjadi semakin khusus dan institusi sosial semakin terpisah berbeda-beda. Jadi
dalam berbagai hal memenuhi formula evolusi. Ada kemajuan menuju ukuran,
15
ikatan, keanekaragaman bentuk, dan kepastian yang semakin besar.Selain itu
perkembangan pun ditandai oleh adanya pemisahan unsur-unsur religius dan
sekuler. (Dadang Supardan, 2009: 156-157)
Kemampuan agama untuk terus bertahan terhadap rasionalisme barat,
menunjukkan bahwa agama merupakan kekuatan dinamis yang besar dalam
masyarakat. Namun Para pengikut teori evolusi abad ke 19 percaya bahwa ilmu
pengetahuan akhirnya akan menghancurkan agama dengan menunjukkan bahwa
mitologi dan upacaranya tidak masuk akal (Dadang Kahmad, 2009:120).
Perkembanganpun juga terjadi pada sistem pemerintahan yang bertambah
kompleks, diferensiasipun timbul dalam organisasi sosial, termasuk tumbuhnya
kelas-kelas sosial dalam masyarakat yang ditandai oleh suatu pembagian kerja
(Ritzer, 2008: 253).
1.5.3.2 Teori Konflik
Dalam karya Dehrendrof, pendirian teori konflik dan teori fungsional
disejajarkan. Menurut para fungsionalis, masyarakat adalah statis atau masyarakat
berada dalam keadan berubah secara seimbang. Tetapi, menurut Dehrendrof dan
teoretisi konflik lainnya, setiap masyarakat setiap saat tunduk pada proses
perubahan, selain itu mereka juga melihat bahwa berbagai elemen
kemasyarakatan menyumbang terhadap disintegrasi dan perubahan. (Ritzer, 2008:
153)
Teoritisi konflik juga melihat bahwa apapun keteraturan yang terdapat
dalam masyarakat berasal dari pemaksaan terhadap anggotanya oleh mereka yang
berada di atas. Teori ini menekankan pada peran kekuasaan dalam
16
mempertahankan ketertiban dalam masyarakat (Ritzer, 2008: 153). Menurut
teoritisi konflik masyarakat disatukan oleh “ketidakbebasan yang dipaksakan”.
Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan
dan otoritas terhadap posisi yang lain, fakta kehidupan sosial ini mengarahkan
Dehrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi otoritas “selalu
menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis”. Inti tesisnya adalah
bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang
berbeda. Otoritas tidak terletak di dalam diri Individu, tetapi di dalam posisi.
(Ritzer, 2008: 154)
Otoritas bukanlah fenomena sosial yang umum, mereka yang tunduk pada
kontrol dan mereka yang dibebaskan dari kontrol, ditentukan di dalam
masyarakat. Terakhir, karena otoritas adalah absah, sanksi dapat dijatuhkan pada
pihak yang menentang.
Dehrendorf menyatakan bahwa masyarakat tersusun daru sejumlah unit
yang ia sebut sebagai asosiasi yang dikoordinasikan secara imperatif. Masyarakat
terlihat sebagai asosiasi individu yang dikontrol oleh hirearki posisi otoritas.
Ada dua kelompok konflik yang dapat terbentuk di dalam setiap asosiasi,
yaitu; kelompok yang memegang otoritas dan kelompok yang subordinat yang
mempunyai kepentingan tertentu dimana arah dan substansi kepentingan dari
kedua kelompok tersebut saling bertentangan. Berangkat dari konsep ini, maka
kunci lain dalam teori Dehrendorf yakni mengenai “kepentingan”. Kelompok
yang berada di atas dan yang berada di bawah didefinisikan berdasarkan
kepentingan bersama. (Ritzer, 2008: 155)
17
Di dalam setiap asosiasi, orang berada pada posisi dominan berupaya
mempertahankan status quo, sedangkan orang yang berada pada posisi subordinat
berupaya mengadakan perubahan. Aspek terakhir dari teori konflik Dehrendorf
adalah hubungan konflik dengan perubahan. Dalam hal ini Dehrendorf mengakui
pentingnya pemikiran Lewis Coser, yang memusatkan perhatian pada fungsi
konflik dalam mempertahankan status quo. Tetapi, Dehrendorf menganggap
fungsi konservatif dari konflik hanyalah satu bagian dari realitas sosial, konflik
juga menyebabkan perubahan dan perkembangan. (Ritzer, 2008: 156)
Singkatnya Dehrendorf menyatakan bahwa setelah segera kelompok
konflik muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan
dalam struktur sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah
radikal. Bila konflik disertai tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur
secara tiba-tiba.
Konflik sebagai agen untuk mempersatukan masyarakat adalah sebuah
pemikiran yang sejak lama diakui oleh tukang propoganda yang melalui konsep
ini mereka dapat menciptakan musuh yang sebenarnya tidak ada, atau mencoba
menghembuskan antagonisme terhadap lawannya yang tidak aktif (Ritzer, 2008:
156).
1.6 Operasionalisasi Konsep
1.6.1 Analisis Naratif
Narasi berasal dari kata latin Narr, yang artinya “membuat tahu” dengan
demikian narasi berkaitan dengan upaya untuk memberitahu sesuatu atau
18
peristiwa. Tetapi tidak semua informasi atau memberitahu peristiwa bisa
dikategorikan sebagai narasi.
Adapun narasi menurut para ahli adalah;
Girard Ganette: representation of events of more real of a sequence of events.
(representasi dari sebuah peristiwa atau rangkaian peristiwa-peristiwa)
Gerald Prince: the representation of one or more real od fivtive events
communicates by one, two, or several narator to one, two, or several narratees
(representasi dari satu atau lebih peristiwa nyata atau fiktif yang dikomunikasikan
oleh satu, dua atau beberapa narator untuk satu, dua atau beberapa narate)
Porter Abbott: representation of events, consisting of story and narrative
discourse, story is an events or sequence of events (the action) and narrative
discourse is those events as represented. (representasi dari peristiwa-peristiwa,
memasukkan cerita dan wacana naratif, dimana cerita adalah peristiwa-peristiwa
bagaimana ditampilkan
Dari definisi yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, maka dapat
disimpukan bahwa narasi adalah representasi dari peristiwa-peristiwa atau
rangkaian dari peristiwa-peristiwa. Dengan demikian sebuah teks baru bisa
disebut sebagai narasi apabila terdapat beberapa peristiwa atau rangkaian dari
peristiwa-peristiwa.
Analisis naratif adalah analisis mengenai narasi, baik narasi fiksi
(novel,puisi, cerita rakyat, dongeng, film, komik, musik, dan sebagainya) ataupun
fakta seperti berita. Analisis ini melihat sebuah teks tak ubahnya sebuah cerita,
sebuah dongeng. Di dalam cerita ada struktur sebuah cerita, alur, plot, adegan,
19
tokoh, karakter, sudut penggambaran dan lain sebagainya secara berurutan. Teks-
teks yang paling sering menjadi sasaran Penelitian naratif dalam bidang
Komunikasi adalah film dan program televisi (Alex Sobur, 2014: 235).
Dengan menyajikan peristiwa ke dalam suatu narasi, maka peristiwa itu
lebih mudah diikuti oleh khalayak. Menggunakan analisis naratif berarti
menempatkan teks sebagai rangkaian peristiwa, logika, dan tata urutan peristiwa,
bagian dari peristiwa yang dipilih dan dibuang. Analisis naratif mempunyai
sejumlah kelebihan (Eriyanto, 2013: 9-11). Pertama, analisis naratif membantu
kita memahami bagaimana pengetahuan makna, nilai diproduksi dan disebarkan
dalam masyarakat.
Kedua, memahami bagaimana dunia sosial dan politik diceritakan dalam
pandangan tertentu yang dapat membantu kita mengetahui kekuatan dan nilai
sosial yang dominan dalam masyarakat
Ketiga, analisis naratif memungkinkan kita menyelidiki hal-hal yang tersembunyi
dan laten dari suatu teks media.analisis naratif membantu kita untuk mengerti
keberpihakan dan ideologi dari pembuat berita. Lewat susunan peristiwa, karakter,
dan unsur-unsur narasi kita bisa memahami makna yang ingin dikemukakan oleh
pembuat cerita
Keempat, analisis naratif merefleksikan kontinuitas dan perubahan komunikasi.
Lewat analisis ini kita bisa menganalisis perubahan narasi itu sebagai bentuk dari
perubahan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Melalui analisis naratif, tidak hanya diketahui pesan apa saja yang
terkandung dalam film “3” (Alif, Lam, Mim), tetapi bagaimana pesan itu dikemas
20
dan diatur sedemikian rupa dalam bentuk cerita. Melalui analisis narasi tidak
hanya mengetahui isi teks tetapi bagaimana juga pesan itu disampaikan lewat
cerita. Macam apa yang disampaikan, bagaimana fungsi narasi digunakan untuk
mengungkapkan struktur dan karekter dalam cerita. Analisis narasi lebih melihat
bagaimana isi pesan yang akan diteliti.
Adapun tahapan-tahapan alternatif yang bisa dipertimbangkan untuk
melakukan analisis naratif adalah sebagai berikut. (Alex Sobur, 2014: 242-243)
Pertama, memilih teks dengan cermat, riset atau analisis naratif melibatkan
pembacaan yang cermat, dan paling baik dilakukan pada teks dalam jumlah
terbatas untuk mengawalinya. Seperti memilih sebuah drama feature, episode
drama, atau liputan sebuah berita dalam koran tak lebih dari lima edisi
Kedua, Mengakrabi teks yang akan diteliti, dengan menonton, membaca atau
mendengarkan beberapa kali.
Ketiga, mendefinisikan hipotesis, meski dalam penelitain kualitatif lazimnya
tidak mengenal hipotesis, namun peneliti naratif sepenuhnya harus sadar terhadap
apa yang ingin dikatakan mengenai teks tersebut. Kemudian mencoba membuat
pertanyaan berkenaan dengan apa yang dimaksudkan untuk dibuktikan atau
dibuktikan kekeliruannya.
Keempat, menuliskan kerangka plot, seperti tergambar di dalam teks dengan
memberikan perhatian pada karakter-karakter atau urutan peristiwa ketika semua
itu disampaikan.
21
Kelima, menggunakan “ouline plot” dan menuangkan kisahnya sebagaimana
peristiwa itu terjadi secara kronologis. Selain itu diperlukan untuk
mengidentifikasi bagaimana plot berbeda dari urutan kronologi peristiwa
Keenam, mengidentifikasi “keseimbangan” pada awal dan akhir teks. Apakah
dunia mengalami perubahan sebelum dan sesudah teks. Jika terdapat perubahan
dalam keseimbangan, maka perlu diurutkan cara-cara dunia berubah sebelum dan
sesudah kisah
Ketujuh, mendefinisikan karakter sesuai dengan “fungsi” mereka di dalam plot.
Seorang karakter dapat berawal sebagai seorang hero dan berakhir sebagai
seorang penjahat.
Kedelapan, mengaitkan temuan-temuan dengan hipotesis. Apakah analisis
menguatkan atau sebaliknya, atau berkontradiksi dengan hipotesis di awal tadi.
Serta bukti apa yang terkumpul guna mendukung atau menentang gagasan di
awal.
1.6.1.1 Narasi Menurut Tzvetan Todorov
Tzvetan Todorov adalah seorang ahli sastra dan budaya asal Bulgaria. Ia
mengatakan bahwa semua cerita dimulai dari “keseimbangan” dimana beberapa
potensi pertentangan berusaha “diseimbangkan” pada suatu waktu. Teorinya
mengatakan bahwa cerita punya awal, pertengahan dan juga akhir. namun
keseimbangan menandai sebuah keadaan, dalam sebuah cara-cara.
Tzvetan Todorov mengajukan gagasan mengenai struktur dari suatu
narasi. Gagasan Todorov menarik karena ia melihat teks mempunyai susunan atau
struktur tertentu. Pembuat teks disadari atau tidak menyususn teks ke dalam
22
tahapan atau struktur tersebut, sebaliknya khalayak juga akan membaca narasi
berdasarkan tahapan atau struktur tersebut. Bagi Todorov narasi adalah apa yang
dikatakan, karena mempunyai urutan kronologis, motif, dan plot dan hubungan
sebab-akibat dari suatu peristiwa. Menurut Todorov, suatu narasi mempunyai
struktur dari awal hingga akhir. Narasi dimulai dari adanya keseimbangan yang
kemudian terganggu dengan adanya kekuatan jahat, narasi diakhiri oleh upaya
untuk menghentikan gangguan sehingga keseimbangan tercipta kembali.
(Eriyanto, 2013: 46)
Ada bagian yang mengawali narasi, ada bagian yang merupakan
perkembangan lebih lanjut dari situasi awal, dan ada bagian yang mengakhiri
narasi itu. Alurlah yang menandai kapan sebuah narasi mulai dan kapan berakhir.
Menurut Todorov pada bagian awal ada interaksi situasi dasar dan kemudian di
tengah menimbulkan konflik dan pada akhirnya biasanya akan berakhir bahagia.
Tentu saja itu melalui inversi dari produk yang akan dijual. Sebab bisa jadi
tindakan yang diambil di akhir merupakan awal dari persoalan berikutnya dan itu
merupakan alur bagi peristiwa berikutnya. Bagian akhir ini secara teknis disebut
juga peleraian. Tidak perlu dipersoalkan, bahwa akhir narasi masih menimbulkan
persoalan baru lagi. Alur ditandai oleh puncak atau klimaks dari perbuatan
dramatis dalam rentang laju narasi (Tony Thwaites, 2009: 184).
Secara sederhana skema pembagian tiga waktu alur secara sederhana,
skema pembagian tiga waktu alur cerita dalam narasi dapat digambarkan sebagai
berikut: (Eriyanto, 2013: 46)
23
Ekuilibrium ganguan ekuilibrium
(keseimbangan) (kekacauan) (keseimbangan)
1.6.1.2 Karakter Dalam Narasi (Vladimir Propp)
Narasi tidak hanya menggambarkan isi, tetapi juga di dalamnya terdapat
karakter-karakter. Dengan adanya karakter akan memudahkan bagi pembuat cerita
dalam mengungkapkan gagasannya. Agar pesan tersampaikan, pembuat cerita
membutuhkan karakter-karakter yang bisa mewakili isi pesan (Eriyanto, 2013: 65)
Vlamidir Propp seorang peneliti dongeng (foltake) asal Rusia menemukan
bahwa setiap cerita mempunyai karakter, dan karakter-karakter tersebut
menempati fungsi dalam cerita. Karena karakter menempati fungsi masing-
masing dalam suatu narasi, sehingga narasi menjadi utuh. Fungsi di sini dipahami
sebagai tindakan dari sebuah karakter, didefinisikan dari sudut pandang
signifikasinya sebagai bagian dari tindakannya dalam teks. Fungsi di sini
dikonseptualisasikan oleh Propp lewat dua aspek. Pertama, tindakan dari karakter
tersebut dalam narasi. Perbedaan antara tindakan dari satu karakter dengan
karakter lain. Bagaimana masing-masing dari karakter itu membentuk makna
tertentu yang ingin di sampaikan oleh pembuat cerita. Kedua, akibat dari tindakan
dalam cerita (narasi). Tindakan dari aktor atau karakter akan memengaruhi
karakter lain dalam cerita. Dalam setiap narasi setidaknya terdapat 31 fungsi
sebagai berikut: (Eriyanto, 2013: 65)
24
Tabel 1.1. Fungsi Narasi Propp
No Simbol Fungsi Deskripsi fungsi
α Situasi awal Anggota keluarga atau sosok pahlawan
diperkenalkan. Pahlawan seringkali
digambarkan sebagai orang biasa
1 β Ketidakhadiran
(absensi)
Salah seorang anggota keluarga tidak
berada di rumah. Dalam banyak cerita, ini
menjadi awal dari sebuah malapetaka.
Dunia yang teratur tiba-tiba terlihat akan
menjadi kacau
2 γ Pelarangan
(penghalangan)
Larangan yang ditujukan kepada
pahlawan. Pahlawan diperingatkan agar
tidak melakukan suatu tindakan (jangan ke
sana, jangan melakukan ini itu dan
sebagainya)
3 Ϭ Kekerasan Larangan di langgar. Pahlawan
melaanggar larangan. Ini umumnya
menjadi pintu masuk hadirnya penjahat ke
dalam cerita, meskipun tidak selalu
menghadapi pahlawan. Mungkin mereka
menyerang keluarga sementara pahlawan
sedang pergi
25
4 E Pengintaian Penjahat melakukan usaha pengintaian.
Penjahat membuat sebuah upaya
pengintaian (misalnya mencoba untuk
menemukan anak-anak/ permata dll).
Penjahat kerap kali menyamar, sebagai
cara mencari informasi yang berharga atau
mencoba untuk secara aktif menangkap
seseorang. Mereka dapat berbicara dengan
anggota keluarga yang lugu agar
membuka rahasia
5 Ζ Pengiriman Penjahat menerima informasi mengenai
korban. Para penjahat memperoleh
beberapa bentuk informasi, misalnya
mengenai pahlawan atau korban.
Informasi lain juga diperoleh, misalnya
tentang peta atau informasi harta karun.
6 η
Tipu daya Penjahat berusaha menipu korbannya.
Penjahat mencoba menipu korban untuk
menguasai korban atau barang-barang
korban (tipu daya, penjahat menyamar,
mencoba untuk memenangkan
kepercayaan dari korban). Para penjahat
menggunakan berbagai cara untuk menipu
26
pahlawan atau korban. Misalnya,
menyamar, menangkap korban, menculik
dan sebagainya.
7 Θ Keterlibatan Korban tertipu, tanpa disadari, membantu
musuhnya. Korban tertipu oleh penipuan,
tanpa disadari membantu musuh. Tipu
daya dari penjahat bekerja dan pahlawan
atau korban masuk dalam perangkap yang
dibuat oleh penjahat. Dalam banyak cerita
ini bisa berupa memberikan penjahat suatu
informasi penting (peta, tempat rahasia,
gua tersembunyi, senjata magis).
8 A Kejahatan atau
kekurangan
Penjahat melukai anggota keluarga
pahlawan. Tindakan penjahat
menyebabkan kerugian/ cidera pada
anggota keluarga (dengan penculikan,
pencurian, menyebabkan hilangnya
seseorang, melakukan pembunuhan,
memenjarakan/menahan seseorang,
mengancam, perkawinan paksa,
melakukan siksaan). Atau seorang anggota
keluarga tidak memiliki sesuatu atau
menginginkan sesuatu (ramuan magis dll).
27
Ada dua pilihan untuk fungsi ini, salah
satu atau kedua mungkin muncul dalam
cerita. Pada pilihan pertama, penjahat
menyebabkan beberapa jenis bahaya,
misalnya membawa pergi korban atau
benda magis tertentu yang menjadi
penyebab suatu bencana besar. Pada
pilihan kedua, keluarga berada dalam
situasi bahaya atau kekurangan, yang
apabila tidak ditolong bisa menyebabkan
kematian
9 B Mediasi Terjadi keadaan yang malang, pahlawan
dikirim untuk mengejar dan menumpas
penjahat. Pahlawan menemukan kondisi
yang mengenaskan (misalnya menemukan
anggota keluarga yang dibawa lari
penjahat, orang tidak berdosa terbunuh
dsb)
10 C Tindakan balasan Seseorang setuju untuk melakukan aksi
balasan. Pahlawan bertekad untuk
menghentikan pejahat. Pahlawan
memutuskan untuk bertindak untuk
mengatasi kekacauan, misalnya
28
menemukan benda magis, menyelamatkan
mereka yang ditangkap atau mengalahkan
penjahat. Ini adalah saat yang menentukan
karena keputusan yang diambil akan
menentukan masa depan. Biasanya dalam
bagian ini kerap ada pertentengan apakah
menyerah ataukah memutuskan untuk
melakukan balasan kepada penjahat
11 Keberangkatan Pahlawan meninggalkan rumah. Pahlawan
memutuskan untuk mengejar penjahat dan
menghentikan kekacauan
12 D Fungsi pertama
seorang penolong
Pahlawan mendapat ujian dan menerima
pertolongan dari orang pintar
(dukun/paranormal). Pahlawan pertama
kali kalah (menerima serangan, terluka,
tidak bisa menemukan kelemahan
penjahat, terluka). Pahlawan bertemu
dengan orang pintar yang memberi benda-
benda magis agar bisa mengalahkan
penjahat
13 E Reaksi dari
pahlawan
Penolong bereaksi terhadap penolong
masa depannya. Pahlawan bereaksi
terhadap bantuan dari penolong seperti
29
membebaskan tawanan, mendamaikan
pihak yang berselisih, menggunakan
kekuatan musuh terhadap dirinya dan
sebagainya
14 F Resep dari
Dukun/
paranormal
Pahlawan belajar menggunakan magis
(kekuatan suprantural) yang bisa
menghindari dari kesulitan besar.
Pahlawan mendapat kekuatan magis dari
paranormal. Kekuatan itu bisa didapat
dengan makan/minum ramuan tertentu,
bertapa, menggunakan alat tertentu
(cincin, pedang, dan sebagainya)
15 G Pemindahan
ruangan
Pahlawan mengarah pada objek yang
diselidiki. Pahlawan dikirmkan ke lokasi
di mana objek berada, tempat di mana
tawanan ditahan
16 H Perjuangan Pahlawan dan penjahat bertarung secara
langsung. Pahlawan bertemu dengan
penjahat, bertarung secara langsung, hidup
dan mati
17 J Cap Pahlawan mulai dikenali
kepahlawanannya. Pahlawan
menunjukkan kepahlawanannya,
30
menggunakan cincin atau pedang yang
menentukan kemenangan. Atau naik
naga/kuda, dimana hanya orang tertentu
yang bisa mengendalikan binatang
tersebut
18 I Kemenangan Pejahat dikalahkan, pahlawan berhasil
mengalahkan penjahat. Penjahat terbunuh,
menyerah
19 K Pembubaran Kemalangan dan kesulitan berhasil
dihilangkan. Kemenangan membawa awal
baru yang baik. Tawanan bisa dibebaskan,
orang yang terbunuh bisa dihidupkan
kembali
20 Kembali Pahlawan kembali dari tugas. Pahlawan
kembali dari peperangan, bersiap untuk
kembali ke rumah
21 Pr Pengejaran Penjahat melakukan pembalasan,
pahlawan dikejar. Penjahat atau pengikut
penjahat tidak terima dengan kekalahan.
Melakukan pengejaran terhadap pahlawan,
merusak nama baik pahlawan
22 Rs Pertolongan Pahlawan ditolong dari pengejaran,
pahlawan diselamatkan oleh seseorang
31
dari pengejaran, disembunyikan,
diselamatkan nyawanya
23 O Kedatangan tidak
dikenal
Pahlawan tidak dikenal, pulang ke rumah
atau ke negara lain yang tidak dikenal.
Pahlawan tidak dikenali kehadiranya. Tiba
di rumah atau di negara lain
24 L Tidak bisa
mengklaim
Pahlawan palsu hadir tanpa mendapatkan
kepahlawanannya. Muncul pahlawan
palsu, mengaku mengalahkan penjahat
25 M Tugas Berat Tugas berat ditawarkan kepada pahlawan.
Pahlawan diberikan ujian untuk
membuktikan dirinya asli, misalnya
dengan uji kekuatan, pertarungan hidup
mati dengan pahlawan palsu.
26 N Solusi Tugas diselesaikan, pahlawan asli dikenali
dengan tanda yang melekat pada dirinya
(tanda-tanda tubuh, keterampilan khusus
yang hanya dipunyai orang tertentu)
28 Ex Pemaparan Kedok terbuka: penjahat dan pahlawan
palsu. Kedok pahlawan palsu terbuka.
Pahlawan palsu menampilkan dirinya
sebagai sosok yang jahat
29 T Perubahan rupa Pahlawan mendapat penampilan baru.
32
Pahlawan tampil dengan wajah baru,
pakaian baru, dibebaskan dari mantra atau
kutukan, menjadi pangeran yang tanpan
atau putri yang cantik
30 U Hukuman Penjahat dihukum, penjahat mengalami
depresi, gila, berubah menjadi jelek
31 W Pernikahan Pahlawan menikah dan memperoleh tahta.
Pahlawan menikah dengan putri raja, naik
tahta (menjadi raja baru, mendapat posisi
baru di kerajaan, seperti menjadi panglima
perang atau penasehat kerajaan)
31 fungsi di atas yang dikemukakan Propp adalah cerita yang sempurna. Sering
kali terjadi, dalam cerita (narasi) tidak semua karakter dan fungsi ada. Dalam
analisis naratif, peneliti tidak perlu membuktikan atau menemukan ke-31 fungsi
tersebut. Bisa jadi dalam sebuah narasi hanya ditemukan beberapa fungsi saja
(Eriyanto, 2013: 71).
Dari 31 fungsi tersebut, ada 7 karater dalam suatu narasi, tergambar dalam tabel
berikut:
Tabel 1.2. Karakter dalam Narasi
Karakter Simbol Fungsi Deskripsi
Penjahat A,H,Pr Melawan pahlawan
Donor (penderma) D,F Menolong pahlawan dengan kekuatan
33
magic (supranatural)
Penolong G,K, Rs, N, T Membantu pahlawan menyelesaikan
tugas berat
Putri
Ayah sang putri
M, J, Ex, U, W Mencari calon suami
memberikan tugas berat
Pengirim B Mengirim pahlawan menjalankan misi
Pahlawan C, E, W Mencari sesuatu dan menjalankan misi
Pahlawan palsu C, E, L Mengklaim sebagai pahlawan, tetapi
kedok terbuka
Adapun deskripsi ketujuh karater tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, penjahat (villain). Karakter ini adalah orang atau sosok yang
membentuk komplikasi atau konflik dalam narasi. Situasi yang normal berubah
menjadi tidak normal dan berujung pada terjadinya konflik dengan hadirnya
penjahat.
Kedua, penderma (donor) karakter ini memberikan sesuatu kepada pahlawan, bisa
berupa benda (pedang/alat/keris), informasi atau nasihat, kekuatan supranatural,
dimana pertolongan atau pemberian tersebut bisa membantu pahlawan dalam
menyelesaikan masalah dalam narasi
Ketiga, penolong (helper), karater ini membantu secara langsung pahlawan dalam
mengalahkan penjahat dan mengembalikan situasi kembali kepada situasi normal
Keempat, puri (princess), ayah (father). Karakter putri adalah orang yaang
mengalami perlakuan buruk secara langsung dari penjahat. Semantara ayah
34
(father) adalah raja yang berduka atas nasib putri yang diperlakukan buruk oleh
penjahat
Kelima, pengirim (dispatcher). Karakter ini digambarkan sebagai orang yang
mengirim pahlawan untuk menyelesaikan tugas dan melawan penjahat
Keenam, pahlawan (hero) karakter ini dalam narasi adalah orang yang
mengembalikan situasi kacau akibat kehadiran penjahat menjadi normal
Ketujuh, pahlawan palsu (false hero). Antara karakter pahlawan dan penjahat,
terdapat sosok “abu-abu” yakni pahlawan palsu. Tokoh yang pada awalnya
digambarkan baik dan membantu pahlawan, tetapi di akhir cerita terbuka
kedoknya bahwa dia ternyata seorang penjahat.
Karakter-karakter dalam narasi yang sudah dipaparkan di atas bisa
diterapkan pada semua narasi (cerita), baik cerita tradisional (dongeng, kisah
rakyat) ataupun cerita modern.
1.6.2 Liberalisme
1.6.2.1 Nilai Liberalisme
Nilai atau Value berasal bahasa latin valare atau bahasa prancis kuno
valoir yang sebatas arti denotatifnya dapat dimaknai sebagai harga. Hal ini selaras
dengan definisi nilai menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1994:690) yang
diartikan sebagai harga (dalam arti taksiran harga). Adapun menurut Spranger,
nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk
menimbang dan memilih keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dengan
demikian, nilai merupakan sesuatu yang diyakini kebenarannya dan mendorong
orang untuk mewujudkannya. Nilai merupakan sesuatu yang memungkinkan
35
individu atau kelompok sosial membuat keputusan mengenai apa yang dibutuhkan
atau sebagai suatu yang ingin dicapai (Horrocks, 1976. Dalam Mohammad Ali
dan Mohammad Asrori: 134).
Secara dinamis, nilai dipelajari dari produk sosial dan secara perlahan
diinternalisasikan oleh individu serta diterima sebagai milik bersama dengan
kelompoknya. Nilai ialah standar konseptual yang realatif stabil, dimana
secaraeksplisit maupun implisit membimbing individu dalam menentukan tujuan
yang ingin dicapai serta aktivitas dalam rangka memenuhi kebutuhan
psikologisnya. (Mohammad Ali dan Mohammad Asrori: 134-135)
Kata-kata Liberal diambil dari bahasa Latin liber artinya bebas dan bukan
budak atau suatu keadaan dimana seseorang itu bebas dari kepemilikan orang lain.
Maka bebas kemudian menjadi sebuah sikap kelas masyarakat terpelajar di Barat
yang membuka pintu kebebasan berfikir (the old liberalism). Dari makna
kebebasan berfikir inilah kata liberal berkembang sehingga mempunyai berbagai
macam makna.
Secara politis liberalisme adalah ideologi politik yang berpusat pada
inividu dianggap sebagai memiliki hak dalam pemerintahan, termasuk
pemahaman hak dihormati, hak berekspresi dan bertindak serta bebas dari ikatan-
ikatan agama dan ideologi (Simon Blackburn, oxford dictionary of philosophy).
(Hamid Fahmi Zarkasyi, 2012: 105)
Dalam konteks sosial, Liberalisme diartikan sebagai suatu etika sosial
yang membela kebebasan (liberty), dan persamaan (equality) secara umum
(Coady, C.A.J Diztributive Justice). Menurut Alonzo L. Hamby, PhD, Profesor
36
sejarah di Universitas Ohio, Liberalisme adalah paham ekonomi dan politik yang
menekankan pada kebebasan (Opportunity) (Brinkley, Alan Liberalism and Its
Discontents) (Hamid Fahmi Zarkasyi, 2012: 105).
Adapun dalam kontek intelektual berarti independen secara intelektual,
berfikir luas, terus terang, dan terbuka. Kebebasan intelektual adalah aspek yang
paling mendasar dari liberalisme sosial dan politik atau dapat pula disebut sisi lain
dari liberalisme sosial dan politik. (Hamid Fahmi Zarkasyi, 2012: 108)
Dapat dikatakan bahwa nilai Liberalisme Adalah suatu tatanan atau
panduan untuk mengambil keputusan dalam rangka mewujudkan tujuan yang
ingin dicapai yaitu kebebasan dalam segala bidang baik sosial, politik, ekonomi
maupun kebebasan pemikiran (intelektual) yang termasuk di dalamnya pemikiran
keagamaan.
Paham Liberalisme ini berasal dari Yunani kuno, salah satu elemen
terpenting peradaban Barat. Namun perkembangan awalnya terjadi sekitar tahun
1215, ketika Raja John di Inggris mengeluarkan Magna Charta, dokumen yang
mencatat beberapa hak yang diberikan raja kepada bangsawan bawahan. Charta
ini secara otomatis telah membatasi kekuasaan Raja John sendiri dan dianggap
sebagai bentuk Liberalisme awal (early Liberalism). Sekitar abad ke-20 setelah
berakhirnya perang dunia pertama pada tahun 1918, beberapa negara Eropa
menerapkan prinsip pemerintahan demokrasi. Hak kaum perempuan untuk
menyampaikan pendapat dan aspirasi di dalam pemerintahan akhirnya diberikan.
37
Menjelang tahun 1930-an, liberalisme mulai berkembang tidak hanya
meliputi kebebasan berpolitik saja, tetapi juga mencakup kebebasan-kebebasan di
bidang lainnya, misalnya ekonomi, sosial, dan lain sebagainya.
Jika demokrasi sebelumnya mulai dicanangkan pada abad ke-20 setelah
berakhirnya perang dunia pertama tahun 1918. Kebebasan intelektual yang
menjadi hal yang paling mendasar dalam liberalisme sosial dan politik lahir dan
mulai berkembang di Barat pada abad ke 18, namun akar-akarnya dapat dilacak
seabad sebelum nya (abad ke 17). Di saat itu dunia Barat terobsesi untuk
membebaskan diri mereka dalam bidang moral, spiritual, dan bahkan Tuhan.
Konsekuensinya adalah penghapusan hak-hak Tuhan dan segala otoritas
yang diperoleh dari Tuhan, penyingkiran agama dari kehidupan publik dan
menjadikannya bersifat individual.
Ciri liberalisme pemikiran termasuk di dalamnya liberalisme keagamaan
yang paling menonjol adalah pengingkaran terhadap semua otoritas yang
sesungguhnya, sebab otoritas dalam pandangan liberal menunjukkan adanya
kekuatan di luar dan di atas manusia yang mengikatnya secara moral. Liberalisme
intelektual ini memang pada mulanya muncul dan mencoba untuk bebas dari
agama dan dari Tuhan.
Paham Liberalisme yang lahir dan berkembang di Barat sangat
dipengaruhi oleh cara berfikir manusia Barat yang sekuler. Nicholas F. Gier dari
University of Idaho, Moscow, menyimpulkan karakteristik pemikiran tokoh-tokoh
liberal Amerika Serikat adalah sebagai berikut:
38
Pertama, percaya pada Tuhan, tapi bukan dalam kepercayaan Kristen
ortodok
Kedua, memisahkan antara doktrin kristen dan etika kristen
Ketiga, tidak percaya pada doktrin Kristen Orthodok. Menolak sebagian
atau keseluruhan doktrin-doktrin Trinitas, Ketuhanan Yesus, Perawan yang
melahirkan, bibel sebagai kata-kata Tuhan secara literal, takdir, neraka, setan, dan
penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo).
Keempat, menerima secara mutlak pemisahan agama dan negara. Para
pendiri negara Amerika menyadari akibat dari pemerintahan negara-negara Eropa
yang memaksakan doktrin suatu agama dan menekan agama yang lain. Maka dari
itu kata-kata “Tuhan” dan “Kristen” tidak terdapat dalam undang-undang
Kelima, percaya penuh pada kebebasan dan toleransi bergama. Kebebasan
beragama sepenuhya berarti bukan hanya kebebasan dalam beragama, tapi bebas
dari agama juga.
Jadi sejatinya liberalisme dalam bidang sosial dan politik dalam peradaban
Barat telah memarginalkan agama atau memisahkan agama dari urusan sosial dan
politik secara perlahan-lahan. Agama tidak diberi tempat di atas kepentingan
sosial dan politk. (Hamid Fahmi Zarkasyi, 2012: 112)
Maka dari itu liberlisme pemikiran keagamaan masalah yang pertama kali
dipersoalkan adalah konsep Tuhan (teologi) kemudian doktrin atau dogma agama.
Setelah itu, mempersoalkan dan kemudian memisahkan hubungan agama dengan
politik (sekularisme).
39
Dalam Symposium yang diadakan Japan International Institute of
International Affair (JIIA), Dr. Syed Ali Tawfik al-Arras (perwakilan Malaysia)
mengungkapkan bahwa sekularisme adalah produk worldview Barat yang tidak
cocok dengan Islam sama sekali. Sebab Worldview Barat dan Islam memang
kenyataannya berbeda. Menurut Sohail, sekularisme di Barat digunakan untuk
memisahkan negara dengan otoritas agama. Tujuannya agar kedamaian dapat
dipertahankan dalam masyarakat plural. Dengan menganut sekularisme juga,
kewarganegaraan tidak ditentukan oleh agama dan kepercayaan, tapi tergantung
kepada hak dan kewajiban masing-masing warga negara. Tamimi juga melihat
sekularisme sebagai pembebasan Politik dari otoritas agama. Selain itu Yasar
menambahkan jika suatu masyarakat dipimpim oleh pemuka agama, maka
sekularisme dan demokrasi sulit dilaksanakan, karena ada perbedaan tajam antara
nilai-nilai modern dan ajaran agama. Perbedaan tajam itu katanya, karena wahyu
dalam Islam tidak relevan lagi untuk dunia modern sehingga syariat (hukum
Islam) perlu disesuaikan dengan nilai-nilai modern.
Untuk itu dalam symposium tersebut Dr. Azzam Tamimi (perwakilan
muslim Inggris), Prof. Abdelmajid Bedoui (perwakilan Tunis) dan Wan Mohd
Nor Wan Daud (perwakilan Malaysia) menganggap masalah campur tangan AS
ke negara-negara Islam sebagai sesuatu yang negatif. Persoalan campur tangan AS
bukan hanya masalah politik tapi sudah masuk dalam masalah pemikiran,
khususnya dalam memahami konsep-konsep penting dalam bidang sosial, politik,
dan bahkan keagamaan. Hanya karena mendukung prinsip demokrasi, kata Wan
Daus, Muslim didorong untuk mengakui kebenaran agama lain.
40
Akhirnya liberalisme pemikiran keagamaan menjadi berarti sekularisme
dan dipicu oleh gelombang pemikiran post modernisme yang menjunjung tinggi
pluralisme, persatuan, (equality), dan relativisme.
Kini paham-paham liberalisme di bidang politik, ekonomi dan keagamaan
yang merupakan sistem final kehidupan sosial di Barat di ekspor ke negara-negara
dunia ketiga termasuk ke dalam dunia Islam.
Mungkin alasan mereka karena konsep masyarakat sipil seperti di Barat
yang sekuler dan liberal itu tidak terdapat dalam Islam, sedangkan Islam harus
ikut berpartisipasi dalam wacana kontemporer itu. Maka upaya mudah yang
mereka lakukan adalah mem-Barat-kan Islam, mensekular-kan Islam atau me-
liberal-kan Islam (Hamid Fahmi Zarkasyi, 2012: 118-119).
Liberalisme Menurut Judson Taylor
Judson Taylor, tokoh besar Misionaris.menulis artikel dalam sebuah situs
Katholik di Amerika yang berjudul “The Evil Of Liberalism”. Artikel tersebut
ditulis pada awal abad ke 19 (1850an). Makalah itu dimulai dengan pernyataan
tegas “liberalisme telah menggantikan persecution”. Persecution artinya
penganiayaan atau pembunuhan. Dalam tradisi kristen penganiayaan terjadi
karena adanya keyakinan yang menyimpang dalam teologi. (Hamid Fahmi
Zarkasyi, 2012: 124)
Hanya saja, lanjutnya jika persecution membunuh orang tapi
menyuburkan penyebabnya, maka liberalisme membunuh sebabnya dan
menyuburkan pikiran orang. Dalam artian, liberalisme memenangkan akal
manusia dari pada firman atau ajaran Tuhan. Inilah yang menjadi dasar lahirnya
41
kompromi kebenaran versi liberal yang berujung pada paham mereka adalah
kebenaran itu relatif. Dalam paham Judson, kaum Liberal lebih cenderung
permesif alias bersahabat dengan semua sekte dan kemungkaran. Blunder yang
terbesar di zaman ini, kata Judson, adalah mengakui liberalisme yang mendukung
kesesatan demi persatuan (union). Padahal persatuan (kebenaran dan kesalahan)
yang dimaksud liberal itu justru akan berakhir dengan kekacauan. Selan itu, cara
berfikir liberal yang konon netral dan rasional itu ternyata memihak juga. (Hamid
Fahmi Zarkasyi, 2012: 124)
Selanjutnya slogan tentang kebenaran yang disuaran kaum Liberal berasal
dari pemikiran bahwa “semua adalah Relatif” (all is relative) yang merupakan
slogan generasi zaman postmodern di Barat. Artinya tergantung pada siapa yang
menilainya. Slogan relativisme ini lahir dari kebencian, kebencian pemikiran
Barat Modern terhadap agama. Benci terhadap suatu yang mutlak dan mengikat.
Tidak puas dengan sekedar membenci, selanjutnya postmodernisme ingin
menguasai agama-agama. Inilah kemudian menjadi masuknya liberalisme dalam
hal pemikiran termasuk pemikiran keagamaan. Orang yang befikir liberal
umumnya hanya ingin menghargai pemikiran bebas. Bebas dari kepercayaan yang
dianggap membelenggu. Aroma humanisme yang begitu menonjol. Sebab
manusia menjadi ukuran segala sesuatu (man is a measure of everything). (Hamid
Fahmi Zarkasyi, 2012: 126)
Dari pemaparan di atas maka jika berbicara tentang liberalisme selain
merujuk pada kebebasan maka akan berkaitan juga pada konsep-konsep,
sekularisme yang dipicu gelombang pemikiran posmodernisme Barat yang
42
menjunjung tinggi pluralisme, persamaan, dan relativisme. Dan karena pemikiran
ini tumbuh dan berkembang di Barat maka gerakan ini banyak dipengaruhi oleh
cara berfikir manusia Barat Sekuler, untuk itu dapat dikatakan bahwa cara berfikir
liberal yang konon netral, rasional dan bebas itu ternyata memihak juga.
1.6.3 Konsep Tentang Film
1.6.3.1 FILM
Film merupakan karya seni yang produksi secara kreatif, dan
mengandung suatu nilai baik positif maupun negatif, sehingga mengandung suatu
makna yang sempurna. Namun makna yang terkandung dalam film tersebut
kurang disadari oleh para penonton pada umumnya (Tony Thwaites, 2009: 184)
Film merupakan salah satu media massa yang digunakan sebagai sarana
hiburan. Selain itu film berperan sebagai sarana modern yang digunakan untuk
menyebar informasi kepada masyarakat. Film menjadi salah satu media massa
yang cukup efektif dalam menyampaikan suatu informasi. Gambar bergerak (film)
adalah bentuk dominan dari komunikasi massa visual di belahan dunia ini. Lebih
dari ratusan juta orang menonton film di bioskop, film televisis dan film laser
setiap minggunya. Sehingga film menjadi media yang sangat berpengaruh,
melebihi media-media yang lain, karena secara audio dan visual dia bekerja sama
dengan baik dalam membuat penontonnya tidak bosan dan lebih mudah
mengingat karena formatnya yang menarik (Arthur:2005, pada Skripsi
Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN (Syarif Hidayatullah) Analisis Narasi Film
“My Name Is Khan” Dalam Perpektif Komunikasi antar Agama dan Budaya,
Oleh Mega Nur Fitriana, tahun 2014)
43
Unsur-unsur pembentuk film pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua
yaitu fornal dan sistem gaya (stylistic). Sistem formal mencakup film dalam
sistem naratif (cerita) dan non natarif (noncerita). Film naratif merupakan kategori
film yang memiliki rangkaian suatu sebab akibat yang terjadi dalam sewaktu-
waktu. Kemudian, film non naratif sebaliknya, merupakan ketegori film yang
tidak memiliki susunan cerita tertentu seperti film dokumentasi, film
eksperimental dan sebagainya. Namun peneliti tidak menggunakan unsur sistem
non naratif ini., karena film yang diteliti ini adalah masuk kategori naratif.
Adapun Sistem gaya (stylistic) atau bisa disebut dengan unsur sinematis terdiri
atas empat macam sistem sinematis pembangun film yakni misenscene,
cinematography, editing, dan sound.
Namun dalam penelitian ini peneliti juga tidak menggunakan sistem gaya
(stylistic) sebagai alat analisis. Hal ini dikarenakan penelitian ini lebih kepada
aspek narasi pada Film “3” Alif, Lam, Mim.
1.6.3.2 Jenis-Jenis FILM
Secara umum pembagian film didasarkan atas cara bertuturnya, yakni
naratif (cerita) seperti film fiksi dan non naratif (non cerita) seperti film
dokumenter, dan film ekperimental. Berikut penjelasan jenis-jenis film:
(Himawan, 2008: 4-8)
1. Film dokumenter adalah film dengan penyajian fakta berhubungan dengan
orang-orang, tokoh, peristiwa, dan lokasi yang nyata. Film dokumenter
dapat digunakan untuk berbagai macam maksud dan tujuan seperti berita
44
atau informasi, biografi, pengetahuan, pendidikan, sosial, politik
(propaganda) dan lain-lain.
2. Film fiksi, adalah film yang menggunakan cerita rekaan diluar kejadian
nyata, terkait oleh plot, dan memiliki konsep pengadegan yang telah
dirancang sejak awal. Struktur cerita film juga terkait hukum kuasalitas.
Cerita fiksi sering kali diangkat dari kejadian nyata dengan beberapa
cuplikan rekaman gambar dari peristiwa aslinya.
3. Film eksperimental adalah film bersusun naum tidak memiliki plot. Film
ini tidak bercerita tentang apapun (anti naratif) dan semua adegannya
menentang logika sebab akibat
Selanjutnya klasifikasi film menurut Genre, yaitu kalsifikasi dari
sekelompok film yang memiliki karakter atau pola yang sama sebagai berikut:
1. Drama.
Drama merupakan tema yang mengetengahkan aspek-aspek Human
interest sehingga yang dituju adalah perasaan penonton untuk dapat
meresapi setiap kejadian yang menimpa tokoh dalam adegan tersebut.
Tema ini pula bisa dikaitkan dengan latar belakang kejadiannya. Jika
kejadiannya tersebut di sekitar keluarga, maka disebut drama keluarga.
2. Action
Action seringkali berkaitan dengan adegan berkelahi, bertengkar dan
tembak-menembak. Sehingga tema ini bisa dikatakan sebagai film
yang berisi “pertarungan” atau “perkelahian” fisik yang dilakukan oleh
peran protagonis dengan antagonis.
45
3. Komedi
Komedi ini merupakan tema yang sebaiknya bisa dibedakan dengan
lawakan. Dalam komedi itu tidak dilakonkan oleh pelawak, melainkan
pemain film biasa saja. Inti dari tema komedi selalu menawarkan
sesuatu yang membuat penontonnya tersenyum bahkan tertawa
terbahak-bahak.
4. Horor
Tema ini menawarkan suasana yang menakutkan, meyeramkan dan
membuat penontonnya merinding. Suasana dalam film horor itu bisa
dibuat dengan cara animasi, special effect atau bisa langsung
diperankan oleh tokoh-tokoh dalam film tersebut.
5. Tragedi
Pada tema ini, tragedi menitikberatkan pada nasib manusia, jika
sebuah film dengan akhir cerita sang tokoh selamat dari kekerasan,
perampokan, atau bencana alam dan lainnya. Bisa disebut tragedi
6. Action drama
Tema ini merupakan gabungan dari dua tema, yaitu; darama dan
action. Pada tema drama action ini biasanya menyuguhkan suasana
drama dan juga adegan-adegan berupa “pertengkaran fisik”. Untuk
menandainya dapat dilihat dengan cara melihat alur cerita film.
Biasanya film dimulai dengan suasana drama, lalu setelah itu alur
meluncur dengan menyuguhkan suasana tegang, biasanya berupa
pertengkaran-pertengkaran.
46
7. Komedi tragis
Suasana komedi biasanya ditonjolkan terlebih dahulu. Kemudian
menyusul dengan adegan-adegan tragis. Suasana yang dibangun
memang getir sehingga penonton terbawa dengan emosinya dalam
suasana tragis. Akan tetapi terbungkus dalam suasana komedi.
8. Komedi horor
Komedi horor sama dengan seperti komedi tragis. Suasana komedi
horor juga merupakan gabungan antara tema komedi dan horor.
Biasanya film dengan tema ini menampilkan film horor yang
berkembang.kemudian diplesetkan menjadi komedi.
9. Parodi
Tema parodi ini merupakan duplikasi dari tema film tertentu. tetapi
diplesetkan, sehingga ketika film parodi ditayangkan, para penonton
akan melihat satu adegan film tersebut dengan tersenyum dan tertawa.
Penonton berbuat demikian tidak sekedar karena film yang
ditayangkan itu lucu, tetapi karena adegan yang ditonton pernah
muncul di film-film sebelumnya. Jadi, tema parodi itu berdimensi
duplikasi film yang sudah ada kemudian dikomedikan.
1.6.3.3 Film 3 (Alif, Lam, Mim)
Jika dilihat dari pembagian genre Film maka Film 3 Alif, Lam, Mim ini
merupakan film yang menggabungkan tiga genre film sekaligus yaitu action,
drama dan religi. Film yang tayang serentak di seluruh bioskop Indonesia pada
tangga l 1 Oktober 2015 ini bercerita tantang persahabatan tokoh Alif, Herlam dan
47
Mimbo. Ketiganya tumbuh dan belajar bersama di sebuah padepokan silat
bernama Al-Ikhlas. Lebih tepatnya Pondok Pesantren Al-Ikhlas yang dipimpin
oleh Kyai Mukhlis. Selain memberikan pelajaran tentang Nilai-nilai Islam, di
Pondok Al-Ikhlas juga mengajarkan tentang seni bela diri silat.
Film “3” Alif, Lam, Mim garapan sutradara Anggi Umbara ini tidak
berasal dari sebuah buku atau karya tulisan lainnya. Namun film ini murni berasal
dari ide sang sutradara yaitu Anggi umbara sendiri, yang menurut penuturannya di
salah satu wawancara ia mengaku bahwa ide film ini berasal dari sebuah mimpi.
“Alif Lam, Mim itu saya dapat waktu saya mimpi. Saya sering mimpi. Salah
satunya itu dan saya tulis. Kalau artinya sebenarnya itu multi tafsir. Terserah
interpretasi orang-orang yang melihat, ujar Anggi Umbara. Dari hal ini ia ingin
menunjukkan bahwa film tersebut bukan untuk menyebarkan sebuah ajaran atau
justru ingin menyinggung suatu paham atau ajaran tertentu
(http://www.bintang.com/celeb/read/2328724/5-fakta-menarik-dibalik-
pembuatan-film-3, 07/01/16: 20:30).
Film yang merupakan salah satu media massa merupakan media yang
mampu mengemas informasi sekaligus pesan yang ingin disampaikannya dengan
konsep yang menarik, yaitu dengan tampilan audio visual yang bekerja sama
dengan baik dalam membuat penontonnya tidak bosan. Seiring dengan
perkembangannya film bukan saja sebagai media hiburan, namun juga memiliki
potensial untuk mempengaruhi khalayaknya. Untuk itu sebagian film tentu dibuat
bukan tanpa maksud dan tujuan. Begitu juga dengan Film 3 Alif, Lam, Mim. Film
yang menggambarkan dan mengkonsepkan Indonesia di massa depan dengan
48
sistem pemerintahan yang lebih menjuru kepada Liberal, berikut problematika
yang terjadi dalam film tersebut, tentu dikemas dan dibuat bukan tanpa maksud,
pasti ada pesan berikut ideologi yang mempengaruhi terbentuknya pesan-pesan
yang ingin disampaikan lewat film tersebut.
1.7 Metode Penelitian
1.7.1 Desain Penelitian
Dalam peneltian ini, penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif
kualitatif, dengan menggunakan metode analisis naratif. Studi kasus deskriptif
yaitu studi tentang struktur pesan atau telaah mengenai aneka fungsi bahasa
(pragmatic). Yang bertujuan untuk menggambarkan suatu gejala, fakta, atau
realita. Pengertian penelitian kualitatif sendiri menurut Straus dan Corbin bahwa
qualitative research merupakan jenis penelitian yang menghasilkan penemuan-
penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur statistik atau
cara kuantifikasi lainnya (Andi Prastowo, 2012).
Penelitian ini bersifat deskriptif karena memaparkan dan membuat
penggambaran tentang nilai Liberalisme yang terjadi dalam Film “3” Alif, Lam,
Mim dengan unsur-unsur naratif sebagai pembentuk cerita.
1.7.2 Subjek Dan Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah film “3” Alif, Lam, Mim. Sedangkan subjek
penelitiannya adalah potongan adegan visual ataupun narasi dialog dalam film “3
Alif, Lam, Mim” yang berkaitan dengan unsur liberlisme yang tergambarkan
dalam Film 3 Alif, Lam, Mim.
49
1.7.3 Jenis Data
Jenis data dalam penelitian ini terdiri dari data visual berupa potongan
adegan dan narasi dari Film “3” Alif, Lam, Mim yang berkaitan dengan Nilai
Liberalisme dalam Film tersebut.
1.7.4 Sumber Data
Data primer, berupa data yang diperoleh dari rekaman video Film “3” Alif,
Lam, Mim. Rekaman yang berasal dari youtube ini kemudian dipilih atau
difokuskan pada adegan-adegan serta narasi yang sesuai rumusan masalah, yaitu
yang mengandung nilai liberalisme.
Data sekunder, adalah data yang diperoleh dari dokumen atau literatur-
literatur yang mendukung data primer, artikel, catatan kuliah, kamus, internet,
buku-buku, karya ilmiah, dan lain sebagainya yang membahas tentang film secara
umum atau khusus film ini, tentang liberalisme atau tentang narasi itu sendiri.
1.7.5 Tehnik Pengumpulan Data
Pertama, Observasi, pengamatan secara langsung dan bebas terhadap
objek penelitian dan unit analisis. Ini dilakukan dengan cara menonton dan
mengamati adegan-adegan dan dialog dalam film 3 Alif, Lam, Mim. Kemudian
penulis memilih dan menganalisis sesuai dengan model penelitian yang
diinginkan. Selanjutnya, hal ini dikaitkan dengan penggambaran unsur liberalisme
yang terdapat dalam film 3 Alif, Lam, Mim
Kedua, studi dokumentasi yang yaitu mengumpulkan data-data melalui
telaah dan mengkaji berbagai literatur yang sesuai atau ada hubungannya dengan
50
film ini, yang kemudian dijadikan sebagai bahan argumentasi, seperti buku-buku,
artikel, arsip, karya ilmiah, internet dan sebagainya.
1.7.6 Tehnik Pengolahan Data
Setelah seluruh data diperoleh, peneliti akan memilih data-data yang
diperlukan saja atau melakukan proses reduksi data. Setelah data direduksi
langkah selanjutnya adalah menyajikan data dalam bentuk uraian singkat, bagan
atau sejenisnya. Setelah data dirasa cukup dan memenuhi tujuan penelitian, maka
selanjutnya akan dilanjutkan dengan proses analisis data dan kesimpulan.
1.7.7 Tehnik Analisis Data
Tehnik analisis data dalam penelitian ini menggunakan tehnik analisis
naratif menurut Tzvetan Todorov untuk meneliti alur serta struktur cerita,
Todorov membagi struktur narasi menjadi tiga (Eriyanto, 2013:46): ekuilibrum
(keseimbangan), gangguan, dan ekuilibrum (keseimbangan). Dan analisis naratif
menurut Vladimir Propp yaitu untuk meneliti karakter tokoh dan fungsinya dalam
narasi, Todorov membaginya ke dalam 31 fungsi dan tujuh karakter dalam narasi.
1.7.8 Kualitas Data Penelitian
Denzin dan Lincoln (2011) mengemukakan kriteria kualitas penelitian
dalam tujuan paradigma kritis. Jika pada paradigma positivistik (klasik) dikenal
kriteria validitas internal dan eksternal, maka pada paradigma kritis, kriteria
kualitas penelitian yang dikembangkan oleh para pakar kualitatif adalah historical
situatedness.
Penelitian pada tradisi kritis menilai kualitas suatu penelitian dari sejauh
mana sebuah studi itu memiliki kejelasan historical situatedness, yaitu tidak
51
mengabaikan konteks lingkungan sosial, politik-ekonomi, dan sejarah yang
menjadi latar belakang sebuah fenomena terjadi.
Penelitian ini tidak bertujuan memperoleh externalvalidity atau
generalisasi data, melainkan lebih bertujuan untuk memberikan gambaran tentang
pesan Liberalisme dalam Film”3” Alif, Lam, Mim, dengan tidak mengabaikan
konteks historis, politik-ekonomi dan sosial budaya yang melatarbelakangi
fenomena yang diteliti.