asuhan keperawatan pada pasien dengan tbc ariwie bener
TRANSCRIPT
Asuhan Keperawatan pada Pasien
dengan Tuberculosis ( TBC )
A. Konsep Dasar Penyakit
1. Pengertian
Tuberculosis (TB) adalah penyakit akibat kuman mycobakterium tuberkulosis
sistemis sehingga dapat mengenai semua organ tubuh dengan lokasi terbanyak di
paru paru yang biasanya merupakan lokasi infeksi primer (Arif Mansjoer, 2000)
Tuberculosis (TB) adalah penyakit infeksius yang terutama menyerang
parenkim paru. Tuberculosis dapat juga ditularkan ke bagian tubuh lainnya, terutama
meninges, ginjal, tulang, dan nodus limfe (Suzanne dan Brenda, 2001)
2. Epidemiologi
Survei prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi di Indonesia pada
tahun 1983-1993 menunjukkan bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara
0,2 -0,65%. Sedangkan menurut laporan Penanggulangan TBC Global yang
dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka insidensi TBC pada tahun 2002
mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk), dan 46% diantaranya
diperkirakan merupakan kasus baru.
Pada dari data tahun 1997-2004 [Attachment: Tabel Identifikasi Kasus 1997-
2004 dan Tingkat Pelaporan 1995- 2000] terlihat adanya peningkatan pelaporan
kasus sejak tahun 1996. Yang paling dramatis terjadi pada tahun 2001, yaitu tingkat
pelaporan kasus TBC meningkat dari 43 menjadi 81 per 100.000 penduduk, dan
pelaporan kasus BTA positif meningkat dari 25 menjadi 42 per 100.000 penduduk.
Sedangkan berdasarkan umur, terlihat angka insidensi TBC secara perlahan bergerak
ke arah kelompok umur tua (dengan puncak pada 55-64 tahun), meskipun saat ini
sebagian besar kasus masih terjadi pada kelompok umur 15-64 tahun. [Attachment :
Age Specific Notification Rate 2004].
1
Pada negara dengan infeksi HIV endemik, tuberculosis merupakan penyebab
tunggal morbiditas dan mortalitas yang terpenting pada pasien AIDS. Perkiraan yang
beralasan tentang besarnya angka tuberculosis di dunia adalah sepertiga populasi
dunia terinfeksi dengan M. tuberculosis, bahwa 30 juta kasus tuberculosis aktif di
dunia, dengan 10 juta kasus baru terjadi setiap tahun, dan bahwa 3 juta orang
meninggal akibat tuberculosis setiap tahun . Tuberculosis mungkin menyebabkan 6
% dari seluruh kematian di seluruh dunia.
3. Etiologi
Agens infeksius utama, mycobakterium tuberkulosis adalah batang aerobik
tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitif terhadap panas dan sinar ultra
violet, dengan ukuran panjang 1-4 /um dan tebal 0,3 – 0,6/um. Yang tergolong
kuman mycobakterium tuberkulosis kompleks adalah:
Mycobakterium tuberculosis
Varian asian
Varian african I
Varian asfrican II
Mycobakterium bovis
Kelompok kuman mycobakterium tuberkulosis dan mycobakterial othetan Tb
(mott, atipyeal) adalah :
Mycobacterium cansasli
Mycobacterium avium
Mycobacterium intra celulase
Mycobacterium scrofulaceum
Mycobacterium malma cerse
Mycobacterium xenopi
2
4. Faktor Presdiposisi
Tubercolosis ditularkan dari orang ke orang oleh transmisi melalui udara.
Individu terinsfeksi melalui berbicara, batuk, bersin, tertawa atau bernyanyi,
melepaskan droplet besar ( lebih besar dari 100u ) dan kecil ( 1 sampai 5 u ). Droplet
yang besar menetap, sementara droplet yang kecil tertahan diudara dan tertiup oleh
individu yang rentan. Individu yang beresiko tinggi untuk tertular tuberculosis adalah
sebagai berikut:
Mereka yang kontak dekat dengan seseorang yang mempunyai TB aktif.
Individu imunosupresif ( Termasuk lansia, pasien dengan kanker, mereka yang
dalam terapi kortikosteroid atau mereka yang terinfeksi dengan HIV ).
Pengguna obat-obatan IV dan alkoholik.
Setiap individu tanpa perawatan kesehatan yang adekuat ( tunawisma,tahanan,
etnik dan ras minoritas terutama anak-anak dibawah usia 15 tahun atau dewasa
muda antara yang berusia 15-44 tahun ).
Setiap individu dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya ( misalny
diabetes, gagal ginjal kronis, silikosis, penyimpangan gizi, bypass gasterektomi
yeyunoileal ).
Imigran dari negara dengan insiden TB yang tinggi ( Asia tenggara, Afrika,
Amerika latin, karibia ).
Setiap individu yang tinggal di institusi ( misalnya fasilitas perawatan jangka
panjang, institusi psikiatrik, penjara ).
Indivudi yang tinggal didaerah perumahan substandart kumuh.
Petugas kesehatan
5. Patofisiologi
3
Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibersinkan atau dibatukkan
keluar menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam
udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi
yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan
selama berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh
orang sehat akan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Partikel dapat masuk ke
alveolar bila ukurannya kurang dari 5 mikromilimeter.
Tuberculosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon imunitas
perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag sedangkan limfosit ( biasanya sel T )
adalah imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini basanya lokal, melibatkan
makrofag yang diaktifkan ditempat infeksi oleh limposit dan limfokinnya. Raspon ini
desebut sebagai reaksi hipersensitifitas (lambat).
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai
unit yang terdiri dari 1-3 basil. Gumpalan basil yang besar cendrung tertahan
dihidung dan cabang bronkus dan tidak menyebabkan penyakit ( Dannenberg 1981 ).
Setelah berada diruang alveolus biasanya dibagian bawah lobus atas paru-paru atau
dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi peradangan.
Leukosit polimorfonuklear tampak didaerah tersebut dan memfagosit bakteria namun
tidak membunuh organisme ini. Sesudah hari-hari pertama leukosit akan digantikan
oleh makrofag . Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi dan timbul
gejala pneumonia akut. Pneumonia seluler akan sembuh dengan sendirinya, sehingga
tidak ada sisa atau proses akan berjalan terus dan bakteri akan terus difagosit atau
berkembang biak didalam sel. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju
kelenjar getah bening regional. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih
panjang dan sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang
dikelilingi oleh limposit. Reaksi ini butuh waktu 10-20 hari.
4
Nekrosis pada bagian sentral menimbulkan gambangan seperti keju yang biasa
disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang terjadi nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi
disekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan respon yang
berbeda.Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang
akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru dinamakn fokus ghon dan gabungan terserangnya kelenjar
getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks ghon. Respon lain yang
dapat terjadi didaerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair lepas kedalam
bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkel yang dilepaskan dari dinding
kavitas akan masuk kedalan percabangan trakeobronkhial. Proses ini dapat terulang
lagi kebagian paru lain atau terbawa kebagian laring, telinga tengah atau usus.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan
meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen brokus dapat
menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapt dekat dengan perbatasan
bronkus rongga. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat mengalir
melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh dengan bahan perkejuan dan lesi
mirip dengan lesi kapsul yang terlepas. Keadaan ini dapat dengan tanpa gejala dalam
waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan brokus sehingge menjadi
peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh darah.
Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran darah dalam
jumlah kecil, kadang dapat menimbulkan lesi pada oragan lain. Jenis penyeban ini
disebut limfohematogen yang biasabya sembuh sendiri. Penyebaran hematogen
biasanya merupakan fenomena akut yang dapat menyebabkan tuberkulosis milier.Ini
terjadi apabila fokus nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme
yang masuk kedalam sistem vaskuler dan tersebar keorgan-organ lainnya.
5
6
7
6. Klasifikasi
a. Pembagian secara patologis :
Tuberkulosis primer ( Child hood tuberculosis ).
Tuberkulosis post primer ( Adult tuberculosis ).
b. Berdasarkan pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi menjadi 2 yaitu :
Tuberkulosis Paru BTA positif.
Tuberkulosis Paru BTA negative
c. Pembagian secara aktifitas radiologis :
Tuberkulosis paru ( Koch pulmonal ) aktif.
Tuberkulosis non aktif .
Tuberkulosis quiesent ( batuk aktif yang mulai sembuh ).
d. Pembagian secara radiologis ( Luas lesi )
Tuberculosis minimal, yaitu terdapatnya sebagian kecil infiltrat non kapitas
pada satu paru maupun kedua paru, tapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus
paru.
Moderateli advanced tuberculosis, yaitu, adanya kapitas dengan diameter
tidak lebih dari 4 cm, jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu
bagian paru. Bila bayangannya kasar tidak lebih dari satu pertiga bagian satu
paru.
For advanced tuberculosis, yaitu terdapatnya infiltrat dan kapitas yang
melebihi keadaan pada moderateli advanced tuberculosis.
e. Berdasarkan aspek kesehatan masyarakat pada tahun 1974 American Thorasic
Society memberikan klasifikasi baru:
Karegori O, yaitu tidak pernah terpajan dan tidak terinfeksi, riwayat kontak
tidak pernah, tes tuberculin negatif.
Kategori I, yaitu terpajan tuberculosis tetapi tidak tebukti adanya infeksi,
disini riwayat kontak positif, tes tuberkulin negatif.
Kategori II, yaitu terinfeksi tuberculosis tapi tidak sakit.
Kategori III, yaitu terinfeksi tuberculosis dan sakit.
8
f. Berdasarkan terapi WHO membagi tuberculosis menjadi 4 kategori :
Kategori I : ditujukan terhadap kasus baru dengan sputum positif dan kasus
baru dengan batuk TB berat.
Kategori II : ditujukan terhadap kasus kambuh dan kasus gagal dengan
sputum BTA positf.
Kategori III : ditujukan terhadap kasus BTA negatif dengan kelainan paru
yang tidak luas dan kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam
kategori I.
Kategori IV : ditujukan terhadap TB kronik.
7. Manifestasi Klinis
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu
khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa
secara klinik.
Gejala sistemik/umum, antara lain sebagai berikut:
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
Penurunan nafsu makan dan berat badan.
Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah).
Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
Gejala khusus, antara lain sebagai berikut:
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara "mengi",
suara nafas melemah yang disertai sesak.
Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai
dengan keluhan sakit dada.
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di
atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
9
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam
tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
8. Pemeriksaan Diagnostik
Sputum Culture : Positif untuk mycobacterium tuberkulosa pada stadium aktif.
Ziehl Neelsen (Acid-fast Staind applied to smear of body fluid) : positif untuk
BTA.
Skin Test (PPD, Mantoux, Tine, Vollmer Patch) : reaksi positif (area indurasi 10
mm atau lebih, timbul 48 – 72 jam setelah injeksi antigen intradermal)
mengindikasikan infeksi lama dan adanya antibodi tetapi tidak mengindikasikan
penyakit sedang aktif.
Chest X-Ray : dapat memperlihatkan infiltrasi kecil pada lesi awal di bagian
paru-paru bagian atas, deposit kalsium pada lesi primer yang membaik atau
cairan pada effusi. Perubahan mengindikasikanTB yang lebih berat dapat
mencakup area berlubang dan fibrous.
Histologi atau Culture jaringan (termasuk kumbah lambung, urine dan CSF,
biopsi kulit) : positif untu mycobacterium tuberkulosa.
Needle Biopsi of Lung Tissue : positif untuk granuloma TB, adanya sel-sel besar
yang mengindikasikan nekrosis.
Elektrolit : mungkin abnormal tergantung dari lokasi dan beratnya infeksi;
misalnya hiponatremia mengakibatkan retensi air, mungkin ditemukan pada TB
paru kronik lanjut.
ABGs : mungkin abnormal, tergantung lokasi, berat dan sisa kerusakan paru.
Bronchografi : merupakan pemeriksaan khusus untuk melihat kerusakan
bronchus atau kerusakan paru karena TB.
Darah : lekositosis, LED meningkat.
Test Fungsi Paru : VC menurun, Dead Space meningkat, TLC meningkat dan
menurunnya saturasi oksigen yang merupakan gejala sekunder dari
fibrosis/infiltrasi parenchim paru dan penyakit pleura.
9. Prognosis
10
Jika berobat teratur sembuh total (95%).
Jika dalam 2 tahun penyakit tidak aktif, hanya sekitar 1 % yang mungkin relaps.
10. Therapy
Terdapat 2 macam sifat/aktivitas obat terhadap tuberculosis , yaitu sebagai berikut:
Aktivitas bakterisid
Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang sedang tumbuh
(metabolismenya masih aktif). Aktivitas bakteriosid biasanya diukur dengan
kecepataan obat tersebut membunuh atau melenyapkan kuman sehingga pada
pembiakan akan didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan
pengobatan).
Aktivitas sterilisasi
Disini obat bersifat membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat
(metabolismenya kurang aktif). Aktivitas sterilisasi diukur dari angka
kekambuhan setelah pengobatan dihentikan.
Pengobatan penyakit Tuberculosis dahulu hanya dipakai satu macam obat saja.
Kenyataan dengan pemakaian obat tunggal ini banyak terjadi resistensi. Untuk
mencegah terjadinya resistensi ini, terapi tuberculosis dilskukan dengan memakai
perpaduan obat, sedikitnya diberikan 2 macam obat yang bersifat bakterisid.
Dengan memakai perpaduan obat ini, kemungkinan resistensi awal dapat
diabaikan karena jarang ditemukan resistensi terhadap 2 macam obat atau lebih
serta pola resistensi yang terbanyak ditemukan ialah INH
Adapun jenis obat yang dipakai adalah sebagai berikut :
- Obat Primer - Obat Sekunder
1. Isoniazid (H) 1. Ekonamid
2. Rifampisin (R) 2. Protionamid
3. Pirazinamid (Z) 3. Sikloserin
4. Streptomisin 4. Kanamisin
5. Etambutol (E) 5. PAS (Para Amino Saliciclyc Acid)
6. Tiasetazon
7. Viomisin
8. Kapreomisin
Pengobatan TB ada 2 tahap menurut DEPKES.2000 yaitu :
11
Tahap INTENSIF
Penderita mendapat obat setiap hari dan diawasi langsung untuk mencegah
terjadinya kekebalan terhadap rifampisin. Bila saat tahab intensif tersebut diberikan
secara tepat, penderita menular menjadi tidak tidak menular dalam kurun waktu 2
minggu. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi negatif (konversi) pada
akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahab intensif sangat penting
untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.
Tahap lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat obat jangka waktu lebih panjang dan jenis
obat lebih sedikit untuk mencegah terjadinya kekambuhan. Tahap lanjutan penting
untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan.
Paduan obat kategori 1 :
Tahap Lama (H) / day R day Z day F day Jumlah Hari X
Minum Obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 60
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 54
Paduan Obat kategori 2 :
Tahap Lama (H)
@300
mg
R
@450
mg
Z
@500
mg
E
@ 250
Mg
E
@500
mg
Strep.
Injeksi
Jumlah
Hari X
Minum Obat
Intensif 2 bulan
1 bulan
1
1
1
1
3
3
3
3
-
-
0,5 % 60
30
Lanjutan 5 bulan 2 1 3 2 - 66
Paduan Obat kategori 3 :
12
Tahap Lama H @ 300 mg R@450mg P@500mg Hari X Minum Obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 60
Lanjutan
3 x week
4 bulan 2 1 1 54
OAT sisipan (HRZE)
Tahap Lama H
@300mg
R
@450mg
Z
@500mg
E day
@250mg
Minum
obat X
Hari
Intensif
(dosis
harian)
1 bulan 1 1 3 3 30
11. Penatalaksaan
Penyuluhan.
Pencegahan
- Imunisasi BCG pada anak balita, Vaksin BCG sebaiknya diberikan sejak anak
masih kecil agar terhindar dari penyakit tersebut.
- Bila ada yang dicurigai sebagai penderita TBC maka harus segera diobati
sampai tuntas agar tidak menjadi penyakit yang lebih berat dan terjadi
penularan.
- Jangan minum susu sapi mentah dan harus dimasak
- Bagi penderita untuk tidak membuang ludah sembarangan.
- Pencegahan terhadap penyakit TBC dapat dilakukan dengan tidak melakukan
kontak udara dengan penderita, minum obat pencegah dengan dosis tinggi
dan hidup secara sehat. Terutama rumah harus baik ventilasi udaranya dimana
sinar matahari pagi masuk ke dalam rumah.
13
- Tutup mulut dengan sapu tangan bila batuk serta tidak
meludah/mengeluarkan dahak di sembarangan tempat dan menyediakan
tempat ludah yang diberi lisol atau bahan lain yang dianjurkan dokter dan
untuk mengurangi aktivitas kerja serta menenangkan pikiran.
Pemberian obat-obatan : OAT (Obat Anti Tuberkulosa), Bronchodilator,
Expectoran, OBH, dan Vitamin.
Fisioterapi dan rehabilitasi.
Konsultasi secara teratur.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Data dasar pengkajian pasien ( Doengoes, Marilynn E : 2000 ) adalah sebagai
berikut:
a. Pola aktivitas dan istirahat
Subjektif : Rasa lemah cepat lelah, aktivitas berat timbul. sesak (nafas pendek),
demam, menggigil.
Objektif : Takikardia, takipnea/dispnea saat kerja, irritable, sesak (tahap, lanjut;
infiltrasi radang sampai setengah paru), demam subfebris (40 -410C) hilang
timbul.
b. Pola nutrisi
Subjektif : Anoreksia, mual, tidak enak diperut, penurunan berat badan.
Objektif : Turgor kulit jelek, kulit kering/bersisik, kehilangan lemak sub kutan.
c. Respirasi
Subjektif : Batuk produktif/non produktif sesak napas, sakit dada.
Objektif : Mulai batuk kering sampai batuk dengan sputum hijau/purulent,
mukoid kuning atau bercak darah, pembengkakan kelenjar limfe, terdengar
bunyi ronkhi basah, kasar di daerah apeks paru, takipneu (penyakit luas atau
fibrosis parenkim paru dan pleural), sesak napas, pengembangan pernapasan
tidak simetris (effusi pleura.), perkusi pekak dan penurunan fremitus (cairan
pleural), deviasi trakeal (penyebaran bronkogenik).
d. Rasa nyaman/nyeri
Subjektif : Nyeri dada meningkat karena batuk berulang.
14
Obiektif : Berhati-hati pada area yang sakit, prilaku distraksi, gelisah, nyeri bisa
timbul bila infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga timbul pleuritis.
e. Integritas ego
Subjektif : Faktor stress lama, masalah keuangan, perasaan tak berdaya/tak ada
harapan.
Objektif : Menyangkal (selama tahap dini), ansietas, ketakutan, mudah
tersinggung.
f. Keamanan
Subyektif: adanya kondisi penekanan imun, contoh AIDS, kanker.
Obyektif: demam rendah atau sakit panas akut.
g. Interaksi Sosial
Subyektif: Perasaan isolasi/ penolakan karena penyakit menular, perubahan pola
biasa dalam tanggung jawab/ perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan
peran.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau sekret
darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan berkurangnya keefektifan
permukaan paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret yang
kental, edema bronchial.
c. Gangguan keseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
kelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dispnea, anoreksia,
penurunan kemampuan finansial.
d. Gangguan rasa nyaman ( nyeri akut ) berhubungan dengan inflamasi paru, batuk
menetap.
e. Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi aktif.
f. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen.
g. Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan
dengan tidak ada yang menerangkan, interpretasi yang salah, informasi yang
didapat tidak lengkap/tidak akurat, terbatasnya pengetahuan/kognitif
15
h. Risiko tinggi infeksi penyebaran / aktivitas ulang infeksi berhubungan dengan
pertahanan primer tidak adekuat, fungsi silia menurun/ statis sekret, kerusakan
jaringan akibat infeksi yang menyebar, malnutrisi, terkontaminasi oleh
lingkungan, kurang infeksi tentang infeksi kuman.
3. Perencanaan Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
Tujuan Intervensi Rasional
Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental atau sekret darah, kelemahan, upaya batuk buruk, edema trakeal/faringeal.
Setelah diberikan tindakan keperawatan kebersihan jalan napas efektif, dengan criteria hasil:
Mempertahankan jalan napas pasien.
Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas.
Berpartisipasi dalam program pengobatan sesuai kondisi.
Mengidentifikasi potensial komplikasi dan melakukan tindakan tepat.
a. Kaji ulang fungsi pernapasan: bunyi napas, kecepatan, irama, kedalaman dan penggunaan otot aksesori.
b. Catat kemampuan untuk mengeluarkan secret atau batuk efektif, catat karakter, jumlah sputum, adanya hemoptisis.
c. Berikan pasien posisi semi atau Fowler, Bantu/ajarkan batuk efektif dan latihan napas dalam.
d. Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, suction bila perlu.
e. Pertahankan intake cairan minimal 2500 ml/hari kecuali kontraindikasi.
f. Lembabkan udara/oksigen inspirasi.Kolaborasi:
g. Berikan obat: agen mukolitik, bronkodilator, kortikosteroid sesuai indikasi.
a. Penurunan bunyi napas indikasi atelektasis, ronki indikasi akumulasi secret/ketidakmampuan membersihkan jalan napas sehingga otot aksesori digunakan dan kerja pernapasan meningkat.
b. Pengeluaran sulit bila sekret tebal, sputum berdarah akibat kerusakan paru atau luka bronchial yang memerlukan evaluasi/intervensi lanjut .
c. Meningkatkan ekspansi paru, ventilasi maksimal membuka area atelektasis dan peningkatan gerakan sekret agar mudah dikeluarkan.
d. Mencegah obstruksi/aspirasi. Suction dilakukan bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.
e. Membantu mengencerkan
16
secret sehingga mudah dikeluarkan.
f. Mencegah pengeringan membran mukosa.
g. Menurunkan kekentalan sekret, lingkaran ukuran lumen trakeabronkial, berguna jika terjadi hipoksemia pada kavitas yang luas.
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan berkurangnya keefektifan permukaan paru, atelektasis, kerusakan membran alveolar kapiler, sekret yang kental, edema bronchial.
Setelah diberikan tindakan keperawatan pertukaran gas efektif, dengan kriteria hasil: Melaporkan tidak
terjadi dispnea. Menunjukkan
perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal.
Bebas dari gejala distress pernapasan.
a. Kaji dispnea, takipnea, bunyi pernapasan abnormal. Peningkatan upaya respirasi, keterbatasan ekspansi dada dan kelemahan.
b. Evaluasi perubahan-tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan perubahan warna kulit, membran mukosa, dan warna kuku.
c. Demonstrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan napas dengan bibir disiutkan, terutama pada pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim.
d. Anjurkan untuk bedrest, batasi dan bantu aktivitas sesuai kebutuhan.
e. Monitor GDA.
f. Kolaborasi: Berikan oksigen sesuai indikasi.
a. Tuberkulosis paru dapat rnenyebabkan meluasnya jangkauan dalam paru-pani yang berasal dari bronkopneumonia yang meluas menjadi inflamasi, nekrosis, pleural effusion dan meluasnya fibrosis dengan gejala-gejala respirasi distress.
b. Akumulasi secret dapat menggangp oksigenasi di organ vital dan jaringan.
c. Meningkatnya resistensi aliran udara untuk mencegah kolapsnya jalan napas.
d. Mengurangi konsumsi oksigen pada periode respirasi.
e. Menurunnya saturasi oksigen (PaO2) atau meningkatnya
17
PaC02 menunjukkan perlunya penanganan yang lebih. adekuat atau perubahan terapi.
f. Membantu mengoreksi hipoksemia yang terjadi sekunder hipoventilasi dan penurunan permukaan alveolar paru.
Gangguan keseimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kelelahan, batuk yang sering, adanya produksi sputum, dispnea, anoreksia, penurunan kemampuan finansial.
Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan nutrisi adekuat, dengan kriteria hasil:
Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai laboratoriurn normal dan bebas tanda malnutrisi.
Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang tepat.
a. Catat status nutrisi paasien: turgor kulit, timbang berat badan, integritas mukosa mulut, kemampuan menelan, adanya bising usus, riwayat mual/rnuntah atau diare.
b. Kaji ulang pola diet pasien yang disukai/tidak disukai.
c. Monitor intake dan output secara periodik.
d. Catat adanya anoreksia, mual, muntah, dan tetapkan jika ada hubungannya dengan medikasi. Awasi frekuensi, volume, konsistensi Buang Air Besar (BAB).
e. Anjurkan bedrest.
f. Lakukan perawatan mulut sebelum dan sesudah tindakan pernapasan.
g. Anjurkan makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi
a. Berguna dalam mendefinisikan derajat masalah dan intervensi yang tepat
b. Membantu intervensi kebutuhan yang spesifik, meningkatkan intake diet pasien.
c. Mengukur keefektifan nutrisi dan cairan.
d. Dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan masalah untuk meningkatkan intake nutrisi.
e. Membantu menghemat energi khusus saat demam terjadi peningkatan metabolik.
f. Mengurangi rasa tidak enak dari sputum atau obat-obat yang digunakan yang
18
protein dan karbohidrat.Kolaborasi:
h. Rujuk ke ahli gizi untuk menentukan komposisi diet.
i. Awasi pemeriksaan laboratorium. (BUN, protein serum, dan albumin).
j. Berikan antipiretik tepat.
dapat merangsang muntah.
g. Memaksimalkan intake nutrisi dan menurunkan iritasi gaster.
h. Memberikan bantuan dalarn perencaaan diet dengan nutrisi adekuat unruk kebutuhan metabolik dan diet.
i. Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan perubahan program terapi.
j. Demam meningkatkan kebutuhan metabolik dan konsurnsi kalori.
Gangguan rasa nyaman ( nyeri akut ) berhubungan dengan inflamasi paru, batuk menetap
Setelah diberikan tindakan keperawatan rasa nyeridapat berkurang atau terkontrol, dengan KH:
Menyatakan nyeri berkurang atauterkontrol
Pasien tampak rileks
a. Observasi karakteristik nyeri, mis tajam, konstan , ditusuk. Selidiki perubahan karakter /lokasi/intensitas nyeri.
b. Pantau TTV
c. Berikan tindakan nyaman mis, pijatan punggung, perubahan posisi, musik tenang, relaksasi/latihan nafas
d. Tawarkan pembersihan mulut dengan sering..
e. Anjurkan dan bantu pasien dalam teknik menekan dada selama episode batukikasi.
a. Nyeri merupakan respon subjekstif yang dapat diukur.
b. Perubahan frekuensi jantung TD menunjukan bahwa pasien mengalami nyeri, khususnya bila alasan untuk perubahan tanda vital telah terlihat.
c. Tindakan non analgesik diberikan dengan sentuhan lembut dapat menghilangkan ketidaknyamanan dan memperbesar efek terapi analgesik.
d. Pernafasan mulut
19
f. Kolaborasi dalam pemberian analgesik sesuai ind
dan terapi oksigen dapat mengiritasi dan mengeringkan membran mukosa, potensial ketidaknyamanan umum.
e. Alat untuk mengontrol ketidaknyamanan dada sementara meningkatkan keefektifan upaya batuk.
f. Obat ini dapat digunakan untuk menekan batuk non produktif, meningkatkan kenyamanan
Hipertermi berhubungan dengan proses inflamasi aktif.
Setelah diberikan tindakan keperawatan diharapkan suhu tubuh kembali normal dengan KH :
Suhu tubuh 36°C-37°C
a. Kaji suhu tubuh pasien
b. Beri kompres air hangat
c. Berikan/anjurkan pasien untuk banyak minum 1500-2000 cc/hari (sesuai toleransi)
d. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang tipis dan mudah menyerap keringat
e. Observasi intake dan output, tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah) tiap 3 jam sekali atau sesuai indikasi
f. Kolaborasi : pemberian cairan intravena dan pemberian obat sesuai
a. Mengetahui peningkatan suhu tubuh, memudahkan intervensi
b. Mengurangi panas dengan pemindahan panas secara konduksi. Air hangat mengontrol pemindahan panas secara perlahan tanpa menyebabkan hipotermi atau menggigil.
c. Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang akibat evaporasi
d. Memberikan rasa nyaman dan pakaian yang tipis mudah menyerap keringat dan tidak merangsang peningkatan suhu tubuh.
e. Mendeteksi dini kekurangan cairan
20
program. serta mengetahui keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
f. Pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tubuh yang tinggi. Obat khususnya untuk menurunkan panas tubuh pasien.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen.
Setelah diberikan tindakan keperawatan pasien diharapkan mampu melakukan aktivitas dalam batas yang ditoleransi dengan kriteria hasil:
Melaporkan atau menunjukan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur dengan adanya dispnea, kelemahan berlebihan, dan tanda vital dalam rentan normal.
a. Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas. Catat laporan dispnea, peningkatan kelemahan atau kelelahan.
b. Berikan lingkungan tenang dan batasi pengunjung selama fase akut sesuai indikasi.
c. Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatandan perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat.
d. Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat.
e. Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan. Berikan kemajuan peningkatan aktivitas selama fase penyembuhan.
a. Menetapkan kemampuan atau kebutuhan pasien memudahkan pemilihan intervensi.
b. Menurunkan stress dan rangsanagn berlebihan, meningkatkan istirahat.
c. Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk menurunkan kebutuhan metabolic, menghemat energy untuk penyembuhan.
d. Pasien mungkin nyaman dengan kepala tinggi, tidur di kursi atau menunduk ke depan meja atau bantal.
e. Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbanagnsuplai dan kebutuhan
21
oksigen.
Kurang pengetahuan tentang kondisi, pengobatan, pencegahan berhubungan dengan tidak ada yang menerangkan, interpretasi yang salah, informasi yang didapat tidak lengkap/tidak akurat, terbatasnya pengetahuan/kognitif
Setelah diberikan tindakan keperawatan tingkat pengetahuan pasien meningkat, dengan kriteria hasil: Menyatakan
pemahaman proses penyakit/prognosisdan kebutuhan pengobatan.
Melakukan perubahan prilaku dan pola hidup unruk memperbaiki kesehatan umurn dan menurunkan resiko pengaktifan ulang luberkulosis paru.
Mengidentifikasi gejala yang mernerlukan evaluasi/intervensi.
Menerima perawatan kesehatan adekuat
a. Kaji ulang kemampuan belajar pasien misalnya: perhatian, kelelahan, tingkat partisipasi, lingkungan belajar, tingkat pengetahuan, media, orang dipercaya.
b. Berikan Informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya: jadwal minum obat.
c. Jelaskan penatalaksanaan obat: dosis, frekuensi, tindakan dan perlunya terapi dalam jangka waktu lama. Ulangi penyuluhan tentang interaksi obat Tuberkulosis dengan obat lain.
d. Jelaskan tentang efek samping obat: mulut kering, konstipasi, gangguan penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan darah.
e. Anjurkan pasien untuk tidak minurn alkohol jika sedang terapi INH.
f. Rujuk perneriksaan mata saat mulai dan menjalani terapi etambutol.
g. Berikan gambaran tentang pekerjaan yang berisiko terhadap penyakitnya misalnya: bekerja di pengecoran logam, pertambangan, pengecatan.
a. Kemampuan belajar berkaitan dengan keadaan emosi dan kesiapan fisik. Keberhasilan tergantung pada kemarnpuan pasien.
b. Informasi tertulis dapat membantu mengingatkan pasien.
c. Meningkatkan partisipasi pasien mematuhi aturan terapi dan mencegah putus obat.
d. Mencegah keraguan terhadap pengobatan sehingga mampu menjalani terapi.
e. Kebiasaan minurn alkohol berkaitan dengan terjadinya hepatitis
f. Efek samping etambutol: menurunkan visus, kurang mampu melihat warna hijau.
g. Debu silikon beresiko keracunan silikon yang mengganggu fungsi paru/bronkus.
h. Pengetahuan yang cukup dapat mengurangi resiko penularan/ kambuh kembali. Komplikasi Tuberkulosis: formasi abses, empisema,
22
h. Review tentang cara penularan Tuberkulosis dan resiko kambuh lagi.
pneumotorak, fibrosis, efusi pleura, empierna, bronkiektasis, hernoptisis, u1serasi Gastro, Instestinal (GD, fistula bronkopleural, Tuberkulosis laring, dan penularan kuman.
Risiko tinggi infeksi penyebaran / aktivitas ulang infeksi berhubungan dengan pertahanan primer tidak adekuat, fungsi silia menurun/ statis sekret, malnutrisi, terkontaminasi oleh lingkungan, kurang informasi tentang infeksi kuman.
Setelah diberikan tindakan keperawatan tidak terjadi penyebaran/ aktivitas ulang infeksi, dengan kriteria hasil:
Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko penyebaran infeksi.
Menunjukkan/melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang. aman.
-
a. Review patologi penyakit fase aktif/tidak aktif, penyebaran infeksi melalui bronkus pada jaringan sekitarnya atau aliran darah atau sistem limfe dan resiko infeksi melalui batuk, bersin, meludah, tertawa., ciuman atau menyanyi.
b. Identifikasi orang-orang yang beresiko terkena infeksi seperti anggota keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan.
c. Anjurkan pasien menutup mulut dan membuang dahak di tempat penampungan yang tertutup jika batuk.
d. Gunakan masker setiap melakukan tindakan.
e. Monitor temperatur.f. Identifikasi individu
yang berisiko tinggi untuk terinfeksi ulang Tuberkulosis paru, seperti: alkoholisme, malnutrisi, operasi
a. Membantu pasien agar mau mengerti dan menerima terapi yang diberikan untuk mencegah komplikasi.
b. Orang-orang yang beresiko perlu program terapi obat untuk mencegah penyebaran infeksi.
c. Kebiasaan ini untuk mencegah terjadinya penularan infeksi.
d. Mengurangi risilio penyebaran infeksi.
e. Febris merupakan indikasi terjadinya infeksi.
f. Pengetahuan tentang faktor-faktor ini membantu pasien untuk mengubah gaya hidup dan menghindari/mengurangi keadaan yang lebih buruk.
g. Periode menular dapat terjadi hanya 2-3 hari setelah permulaan
23
bypass intestinal, menggunakan obat penekan imun/ kortikosteroid, adanya diabetes melitus, kanker.
g. Tekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani.Kolaborasi:
h. Pemberian terapi INH, etambutol, Rifampisin.
i. Pemberian terapi Pyrazinamid (PZA)/Aldinamide, para-amino salisik (PAS), sikloserin, streptomisin.
j. Monitor sputum BTA.
kemoterapi jika sudah terjadi kavitas, resiko, penyebaran infeksi dapat berlanjut sampai 3 bulan.
h. INH adalah obat pilihan bagi penyakit Tuberkulosis primer dikombinasikan dengan obat-obat lainnya. Pengobatan jangka pendek INH dan Rifampisin selama 9 bulan dan Etambutol untuk 2 bulan pertama.
i. Obat-obat sekunder diberikan jika obat-obat primer sudah resisten
j. Untuk mengawasi keefektifan obat dan efeknya serta respon pasien terhadap terapi
4. Evaluasi
Dx 1:Kebersihan jalan napas efektif, dengan kriteria evaluasi:
Mempertahankan jalan napas pasien.
Mengeluarkan sekret tanpa bantuan.
Menunjukkan prilaku untuk memperbaiki bersihan jalan napas.
Berpartisipasi dalam program pengobatan sesuai kondisi.
Mengidentifikasi potensial komplikasi dan melakukan tindakan tepat.
Dx 2: Pertukaran gas efektif, dengan kriteria evaluasi:
Melaporkan tidak terjadi dispnea.
Menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam
rentang normal.
24
Bebas dari gejala distress pernapasan.
Dx 3: Kebutuhan nutrisi adekuat, dengan kriteria evaluasi:
Menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan dengan nilai laboratoriurn normal
dan bebas tanda malnutrisi.
Melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat badan
yang tepat.
Dx 4: Nyeridapat berkurang atau terkontrol, dengan kriteria evaluasi:
Menyatakan nyeri berkurang atauterkontrol Pasien tampak rileks
DX 5 : Suhu tubuh kembali normal dengan kriteria evaluasi : Suhu tubuh 36°C-37°C.
DX 6 : Pasien mampu melakukan aktivitas dalam batas yang ditoleransi dengan kriteria
evaluasi :
Melaporkan atau menunjukan peningkatan toleransi terhadap aktivitas yang dapat diukur
dengan adanya dispnea, kelemahan berlebihan, dan tanda vital dalam rentan normal.
DX 7 : Tingkat pengetahuan pasien meningkat, dengan kriteria evaluasi:
Menyatakan pemahaman proses penyakit/prognosisdan kebutuhan pengobatan.
Melakukan perubahan prilaku dan pola hidup unruk memperbaiki kesehatan umurn dan
menurunkan resiko pengaktifan ulang luberkulosis paru.
Mengidentifikasi gejala yang mernerlukan evaluasi/intervensi.
Menerima perawatan kesehatan adekuat.
DX 8 :Tidak terjadi penyebaran/ aktivitas ulang infeksi, dengan kriteria evaluasi:
Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko penyebaran infeksi.
Menunjukkan/melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang.
aman.
25
Daftar pustaka
………………..Epidemiologi TB Paru di Indonesia, (http://www.tbindonesia.or.id), diunduh tanggal 9 Maret 2010
Doengoes, Marilynn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif ,dkk. 1999. Kapita Selekta Kedokteran Edisi II. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI Media Aescullapius.
Price, Sylvia Anderson.2005.Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit , Edisi 6.Jakarta:EGC
Smeltzer, Suzanne. C dan Bare, Brenda. G. 2001. Buku ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth Volume 1. Jakarta: EGC
Underwood, J.C.E.1999.Patologi Umum dan Sistematik Volume 2.Jakarta: EGC
26