asp nkris - pglii.or.id filea pentecostalperspective jurnal teologi oktober 2018 e - in d - o a n i...
TRANSCRIPT
PERSPECTIVEA Pentecostal
JURNAL TEOLOGIOKTOBER 2018
- INDO - N A EI SS IE ANN O PD EN NI TK EI CT OA
SM TSI A
R L
A /CK/ H
A A
T RS ISO MK
AA TT
IN CE P S CA H
N O
A LJ AR RA SS I AS SA SI OS COS IAA TION-
KRISNEPSA
AS CPI -
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI .............................................................1
KATA SAMBUTAN ..................................................3
“DISCERNING THE SPIRIT (S)” DALAM KUASA
POLITIK: SEBUAH PERSPEKTIF TEOLOGI
PENTAKOSTAL
oleh Minggus M. Pranoto..........................................4
MENEMUKAN KEMBALI RELEVANSI AKTIVITAS
KEBANGUNAN ROHANI BAGI GEREJA PANTEKOSTA
MASA KINI
Oleh: Yohanes S. Praptowarso ................................ 31
RAHIM KONSEPTUAL GERAKAN KHARISMATIK:
KEMUNGKINAN & TANTANGANNYA
Oleh: Rhesa N. Sigarlaki ......................................... 61
SENJAKALA TEOLOGI PENTAKOSTA
Oleh: Sonny Ei Zaluchu .......................................... 91
TEOLOGI MISI PENTAKOSTAL IN THE MAKING
Oleh: Junifrius Gultom ......................................... 113
"Pentecostal Ressourcement" Menuju Ontologi
Sakramental Perjumpaan
Oleh: Pdt. Oyan Simatupang, Ph.D. (c) .................. 149
MENGHAYATI KARUNIA ROH KUDUS DI DALAM
SEMANGAT KEADILAN LABA
Oleh: Michael Krissusanto .................................... 168
2
VISI PENYEMBAHAN DAUD DALAM KITAB
TAWARIKH : SEBUAH PROPOSAL TEOLOGI
PENYEMBAHAN PENTAKOSTAL
Oleh : Hendrik Timadius ...................................... 198
3
KATA SAMBUTAN
ita patut bersyukur kepada Tuhan Yesus Kristus
dan kepada Roh Kudus yang telah
memungkinkan diselenggarakan Sarasehan
Perdana Asosiasi Sarjana Pentakostal/Karismatik
Indonesia (ASPENKRIS) pada tanggal 17-19 September
2018 yang lalu di Wujil Resort, Ungaran, Jawa Tengah.
Para peserta yang berjumlah lebih dari 30an
tersebut menjadi penanda penting dimulainya
konsolidasi para sarjana Pentakostal/Karismatik dalam
pengembangan diskursus teologi dan spiritualitas
pentakostal dan dialognya secara ekumenis.
Pada pertemuan perdana ini 9 paper
dipresentasikan oleh para sarjana Pentakostal/
Karismatik yang telah memunculkan diskusi hangat dan
memberi masukan diantara peserta. Diharapkan ini
akan menstimuli rekan-rekan di kalangan Pentakostal
/Karismatik untuk menulis, dan berbicara dalam kancah
yang lebih luas.
Paper-paper ini dibukukan agar dapat menjadi
berkat bagi banyak kalangan.
Jakarta, 30 Oktober 2018
Team Kepemimpinan ASPENKRIS
Yohanes S. Praptowarso, Ph.D - Junifrius Gultom, Ph.D
- Oyan Simatupang, Ph.D (cand.)
K
4
“DISCERNING THE SPIRIT (S)” DALAM KUASA
POLITIK:
SEBUAH PERSPEKTIF TEOLOGI PENTAKOSTAL
OLEH MINGGUS M. PRANOTO1
Abstract: tulisan ini menyampaikan sebuah pesan
bahwa pentingnya gereja-gereja pentakosta memiliki
‘Discerning’ terhadap spiritualitas dalam kehidupan politik
di Indonesia, hal tersebut dalam rangka menolak
penghayatan terhadap Roh Kudus yang cenderung
melahirkan sikap ramah dan jinak terhadap kuasa demonik
di dalam kehidupan berpolitik. Tulisan yang mendasarkan
pada pneumatologi dalam melihat dinamika politik ini
memberikan peran penting bagi gereja-gereja untuk
membangun sikap yang kritis terhadap kondisi politik, sesuai
dengan pimpinan dan kuasa Roh Kudus.
1Minggus Minarto Pranoto adalah Pendeta Gereja Isa
Almasih Weleri, Kendal Jateng, yang diutus menjadi dosen di STT
Abdiel sejak tahun 1997 sampai sekarang ini. Studi S1 di STT
Abdiel Ungaran 1991-1995; S2 di STT Bandung (M.Div) 1995-
1997 dan Asia Graduate School of Theology, Philippines (Th.M.)
2004-2006; dan studi S3 atau program doktoral di ATESEA/ATU &
STT Jakarta 2015-2018. Pernah menjadi ketua di STT Abdiel dari
tahun 2009-2015 dan terpilih lagi sebagai ketua STT Abdiel 2018-
2022; ketua Balitbang Sinode GIA tahun 2012-2016; dan Ketua
KKPD LAI Semarang tahun 2011-2018. Buku-buku yang diedit
adalah “Gerakan Pemuja Nama Yahwe”; “Spiritualitas dan
Kepemimpinan Kristiani”; dan “Melampaui Sekat: Pneumatologi
dan Dialog Agama-Agama”. Juga menulis artikel teologi di
beberapa jurnal teologi dan majalah Kristen. Bidang yang menjadi
minatnya adalah teologi Klasik/Patristik, teologi Pentakostal, dan
teologi Entrepreneurship.
5
Keywords: Pentakostal, Roh Kudus, Politik,
Gereja, Spirit
Pendahuluan
ejak beberapa dekade belakangan ini, pemikiran
teologi Pentakostal telah berkembang begitu
pesat. Isu-isu yang dibahas tidak saja terkait
dengan teologi karunia-karunia rohani, eskhatologi,
kesalehan atau kesucian hidup, pekabaran Injil atau
misi, tetapi telah berkembang sedemikian rupa tema-
tema berteologinya. Seperti misalnya teologi
Pentakostal telah dikembangkan dialognya terkait
dengan teologi Religionum atau agama-agama2, teologi
hospitalitas3, kajian ilmu pengetahuan (alam dan
sosial)4, filsafat, teologi Patristik5, isu-isu jender6, dan
2 Lihat Amos Yong, Discerning the Spirit (s): A Pentecostal-
Charismatic Contribution to Christian Theology of Religions, peny.
John Christopher Thomas, Rickie D. Moore, Steven J. Land
sheffield, England: Sheffield Academic Press, 2000). 3 Lihat Amos Yong, Hospitality and the Other: Pentecost,
Christian Practices, and the Neighbor (Maryknoll, NY: Orbis
Books, 2008). 4 Lihat James K.A. Smith, Pentecostal Contribution to
Christian Philosophy (Grand Rapids, MI & Cambridge, U.K.:
William B. Eerdmans, 2010), 5 Lihat Gregory W. Lee, “The Spirit’s Self Testimony:
Pneumatology in Basil of Caesarea and Augustine of Hippo”,
dalam Spirit of God: Christian Renewal in the Community of Faith
(Downer Grove, IL: IVP Academic, 2015) dan Minggus M.
Pranoto, “Doktrin Perikhoresis Sabda-Roh untuk Mendukung
Pandangan dan Praktik Kepemimpinan Feminis di dalam Konteks
S
6
sebagainya. Perkembangan ini menunjukkan bahwa
para teolog Pentakostal telah memiliki keberanian
untuk memiliki dignity dan identitasnya sendiri, yang
tidak saja sekadar mengikuti teologi Protestan,
khususnya teologi Calvinism.7 Metode berteologi
Pentakostal berangkat dari perspektif, yang disebut
Amos Yong sebagai foundational pneumatology,8 karya
dan Pribadi Roh Kudus, namun tidak terlepas dari dua
Pribadi Trinitas lainnya, yaitu Allah Bapa dan Sang
Sabda. Teologi ini disebut juga sebagai pneumatologi
Trinitaris.
Teologi Pentakostal menaruh perhatian juga
terhadap realitas kuasa politik dari perspektif
pneumatologis. Teologi Politik Pentakostal menegaskan
bahwa realitas kuasa politik adalah masalah etis
spiritualitas juga. Suatu anggapan yang keliru jika
realitas kuasa politik hanya dapat dianalisa dari
pendekatan metode sosial akademis saja. Hal ini
Gereja” (disertasi D.Th., Asia Theological Union & Sekolah Tinggi
Filsafat Theologi Jakarta, Mei 2018). 6 Lihat Annelin Eriksen, “Sarah’s Sinfulness Egalitarianism,
Denied Difference, and Gender in Pentecostal Christianity”,
Current Anthropology Volume 55, Supplement 10 (December
2014):5262-5270. 7 Lihat Walter J. Hollenweger, “Priorities in Pentecostal
Research: Historiography, Missiology,Hermeneutics and
Pneumatology”, dalam Experiences of the Spirit: Conference on
Pentecostal and Charismatic Research in Europe at Utrech
University (Frankfurt am Main, Bern, New York, & Paris: Peter
Lang, 1989), 16. 8 Lihat Amos Yong, Beyond Impasse: Toward A
Pneumatological Theology of Religions (Grand Rapids, MI: Baker
Academic, 2003)
7
karena pertanyaan-pertanyaan tentang keadilan,
penderitaan, ekspolitasi, pembebasan, kesetaraan juga
terbuka untuk dihubungkan dengan pertanyaan-
pertanyaan transenden.9
Teologi Pentakostal mempercayai bahwa bukan
hanya Roh Kudus saja yang dapat dikaitkan dengan
adanya realitas kuasa politik, namun ada kuasa-kuasa
lain yang berasal dari kuasa demonis di balik
kehidupan politik (Ef. 6:10-20). Ogbu U Kalu
menegaskan:
The events in human life are connected to events in
the spiritual or supranatural realm. The things that
are seen are made of things that are not seen. Some
may want to blame social structures for the suffering
of the vulnerable. Pentecostal image social structure
as being capable of being hijacked by demonic
forcess. People serve as tools of such forces. Thus,
certain leaders could be profiled as being
possessed.10
Tulisan ini membahas mengenai kuasa yang dinyatakan
oleh Roh Kudus terkait dengan kehidupan politik.
Bagaimana Gereja melakukan “discerning the Spirit (s)”
terhadap realitas kuasa yang bersifat demonis di dalam
kehidupan politik? Selanjutnya, penulis akan mencoba
9 Lihat Ruth Marshall, “The Sovereignty of Miracles:
Pentecostal Political Theology in Nigeria”, Constellation, Volume
17, No. 2 (2010):199. 10 Ogbu U. Kalu, “Faith and Politics in Africa: Emergent
Political Theology of Engagement in Nigeria”, paper yang
dipresentasikan di “the Paul B. Henry Lecture” (Grand Rapids,MI,
2003), 11.
8
memberikan refleksi kritis teologis tentang kuasa politik
dari perspektif teologi Pentakostal.
Pandangan Awal Teologi Pentakostal Tentang Realitas
Kuasa Politik
Irvin G Chetty mengatakan bahwa sejarah
Pentakostal awal merefleksikan “ a conspicuous
absence of socio-political engagement”.11 Hal ini
karena teologinya didasari oleh konsep eskhatologi
yang sudah dekat (imminent eschatology) dan filsafat
dualistik.12 Chetty menjelaskannya sebagai berikut:
An eschatology that focuses on an imminent parousia
leaves no room for dabbling with what has been been
deemed ‘non-essential’. The parousia is the sole
determinant that shapes ones existence. One has to be
prepared for this sudden rapture. Such a ‘heavenly’
orientation feeds the second frames of reference of a
dualistic separation of the secular from spiritual. Engaging
with social-political issues was tantamout to ‘soiling ones
hand’. True believers should only focus on the spiritual as
the ‘end is nigh’.13
Akibat pengaruh dari kedua pandangan pemikiran di
atas, umumnya respon gereja-gereja beraliran
Pentakostal terhadap realitas kuasa politik tidak
11 Irvin G. Chetty, “Pentecostals and Socio-political
Engagement: An Overview from Azusa Street to the New Kairos
Movement”, Journal of Theology for Southern Africa 143 (July
2012):23(-47). 12 Ibid. 13 Ibid.
9
memiliki telaah dasar mengenai nilai-nilai etis
spiritualitas sebagai respon kritis dan aktif terhadap
kuasa politik yang riil dan kongkrit yang dihadapinya.
Allan Anderson membenarkan pendapat ini saat
menguraikan respon para penginjil Pentakostal awal
terhadap realitas kuasa politik yang dihadapi oleh
mereka di ladang misi. Mereka sering berpihak kepada
para penguasa atau penjajah (kolonial), yang dipercaya
sebagai bagian ketentuan rencana Allah14, yang
memberikan mereka perlindungan dan kebebasan
dalam memberitakan Injil tanpa perlu memperhatikan
penindasan yang dialami oleh orang-orang di bawah
rejim penjajahan tersebut. Anderson mengatakan,
“Pentecostals generally tried to stay out of political
affairs, but this approach lay them open to the charge
that they were “pie-in-the sky’ preachers who were not
really concerned about the oppression under which the
people they professed to love were suffering”.15
Dalam konteks Indonesia sesudah masa
kolonialisme, beberapa kasus tentang hal ini dapat
ditunjukkan melalui contoh keberpihakan gereja
beraliran Pentakostal tertentu untuk merapat kepada
rejim Orde Baru namun tanpa sikap kritis terhadap
rejim yang korup dan yang menekankan pendekatan
militerisme serta mengabaikan hak-hak azazi manusia.
Di pemilu tahun 2014, beberapa gereja beraliran
Pentakostal berpihak kepada calon presiden dan wakil
14 Allan Anderson, Spreading Fires: The Missionary Nature
of Early Pentecostalism (London: SCM Press, 2007), 247. 15 Ibid., 249.
10
presiden tertentu. Bahkan para pemimpin gereja
tersebut mengklaim tentang kemenangan pemilu oleh
calon presiden dan wakil presiden tertentu dalam suatu
ibadah bersama. Klaim kemenangan tersebut ternyata
salah dan tidak menjadi kenyataan. Saat pemilihan
gubernur DKI Jakarta 2017, komunitas gereja
interdenominasi Pentakostal tertentu mendukung salah
satu kandidat calon gubernur dan wakil gubernur saat
itu yang didukung juga oleh kelompok Islam radikal.16
Latarbelakang keberpihakan gereja-gereja
beraliran Pentakostal untuk mendukung suatu rejim
politik tertentu tanpa sikap kritis umumnya dengan
tujuan untuk memohon perlindungan terutama terkait
dengan pembangunan dan izin mengadakan kegiatan
gereja yang dirasakan oleh mereka semakin dipersulit.17
Memang tidak semua gereja beraliran Pentakostal di
Indonesia bersikap pragmatis dan pro status quo. Hal
ini karena gereja-gereja beraliran Pentakostal di
Indonesia terfragementasi pandangannya baik itu dalam
soal keterlibatan dalam berpolitik maupun pilihan atau
preferensi politiknya. Benarlah pendapat Paul Freston
16 Lihat
https://www.youtube.com/watch?v=jAVMS9aT4t8;https://www.yo
utube.com/results?search_query=pgpi+and+prabowo 17 Bnd. Karl-Wilhelm Westmeier, “Themes of Pentecostal
Expansion in Latin America”, International Bulletin of Missionary
Research (April 1993):72.
11
bahwa, “Pentecostals are often unable to develop a
more universalist reflection on public life”.18
Pada umumnya, pandangan awal teologi
Pentakostal cenderung memahami realitas kuasa
demonis hanya dalam dimensi spiritual saja. Realitas
kuasa demonis umumnya dipahami dalam konteks
peperangan rohani, terutama ada di ladang pekabaran
Injil dan terkait dengan pertumbuhan rohani orang-
orang percaya. Realitas kuasa ini tidak terkait dengan
perkara-perkara dalam suatu struktur politik atau sosial
ekonomi lainnya. Perspektif teologis ini memahami
realitas kuasa demonis hanya mengganggu kehidupan
rohani orang-orang percaya secara pribadi dan misi
pekabaran Injil gereja.
Pandangan teologis tentang realitas kuasa
demonis dalam konteks kehidupan politik belum
terefleksi secara gamblang dalam pemikiran awal
teologi Pentakostal. Dan oleh karena itu munculah
kecenderungan dari gereja-gereja beraliran Pentakostal
untuk melakukan ketaatan total kepada pemerintah
yang dianggap sebagai wakil Allah untuk menjalankan
pemerintahannya di bumi ini. Keyakinan teologis ini
umumnya tanpa didukung studi eksegesi yang
mendalam terhadap beberapa teks seperti di Kitab
18 Paul fresteon, “Pentecostals and Politics in Latin
America”, paper presented in Conference “Pentecostalism and
Politics” Conference, held October 6th 2006. Dikutip dalam Natalia
Vlas dan Simona Sav, “Pentecostalism and Politics”, Journal for the
Study of Religions and Ideologies, vol. 13, issue 37 (Spring
2014)148-177.
12
Roma 13:4 dan 1 Timotius 1:1-4. Mereka melupakan
bahwa di Kitab Wahyu 13 ada teks-teks yang berbicara
mengenai suatu pemerintah yang memiliki kuasa politik
dari Iblis dan bertindak secara otoriter dan kejam dalam
menyatakan kuasa politiknya.19 Dari perspektif awal
teologi Pentakostal, pembaruan yang paling penting
bukanlah pembaruan struktural tetapi pembaruan
spiritual. Pemahaman teologis ini menjadikan teologi
Pentakostal tidak menyadari pentingnya untuk memiliki
“discernment” terhadap adanya kuasa demonis dalam
realitas kehidupan politik.
Kuasa Roh Kudus dan Kuasa Demonis dalam konteks
Kehidupan Politik
Secara umum, arti realitas kuasa adalah
berbicara mengenai kemampuan atau kesanggupan
untuk melakukan sesuatu yang baik maupun sesuatu
yang jahat. Realitas kuasa terkait dengan siapa yang
memegangnya dan kepada siapa kuasa dinyatakan serta
apa karakteristik mode-mode kuasa yang
diaktualisasikan. Dengan memiliki kuasa, suatu tujuan
dapat dicapai dan hasil yang diinginkan dapat
diaktualisasikan. Christopher J. H. Wright mengatakan
bahwa realitas kuasa pada dasarnya adalah netral, itu
19 Lihat Helmut Thielicke, Theological Ethics Volume 2:
Politics, peny. William H. Lazareth (Grand Rapids, MI: William B.
Eerdmans), 53-70.
13
dibutuhkan saat kita ingin melakukan hal-hal yang baik
atau sebaliknya.20
Dalam perspektif teologi Kristen, semua realitas
kuasa berasal dari Allah dan oleh karena itu mengapa
Allah disebut sebagai Mahakuasa atau sanggup
memberikan kuasa kepada ciptaan-Nya (bnd. Kej. 1:28;
Hak. 14:9, 15:4; 1 Sam. 10:6-10, 16:3, 18:10, 19;9;
Mark. 5:20; Why. 16:14 dsb.). Dalam ketidaktaatan dan
pemberontakan, baik roh-roh jahat maupun manusia
menggunakan kuasa yang bertentangan dengan
kehendak Allah.
Sumber kuasa Roh Kudus, sebagaimana juga
sumber kuasa dari Yesus Kristus, selalu terkait dengan
Allah Bapa. Allah Bapa adalah fons divinitatis (the font
of divinity) atau sumber Roh Kudus (juga Sang Anak).21
Allah Bapa adalah sumber kuasa dari aktivitas-aktivitas
Roh Kudus (Kis. 2:17-18). Karya-karya Roh Kudus
selalu terkait dengan munculnya karakteristik mode-
mode kuasa yang memberikan kehidupan, pembaruan,
keselamatan, keadilan, kebaikan, kebenaran,
keteraturan, dan yang paling utama adalah kasih (1Kor.
13).
Dalam konteks Perjanjian Lama, Roh Kudus
bersama dengan dua Pribadi Trinitas lainnya
20 Christopher J.H. Wright, Knowing the Holy Spirit
through the Old Testament (Oxford, UK: Monarch Books,
2006),35. 21 Catherine Mowry LaCugna, God for Us: The Trinity and
Christian Life (New York: HarperSanFrancisco, 1993), 215.
14
menyatakan kuasa penciptaan yang menghasilkan
karya-karya yang baik dan amat baik (Kej. 1:9,31). Roh
Kudus menyatakan kuasa yang memberi kehidupan
(Ayb. 34:14-15; Mzm. 104:27-30). Roh Kudus juga
memberikan kuasa untuk memberdayakan orang-orang
percaya dalam konteks kehidupan politik (Kel.35:30-
36:1;Hak. 3:10, 6:34,11:29,13:24,25,14:6,19,15:14-
15). Roh Kudus memberi kuasa kepada nabi-nabi untuk
bernubuat, menyatakan kebenaran, keadilan, hukuman,
janji-janji, dan berita keselamatan (Mi. 3:8; Neh. 9:20;
Zak. 7:7-12, Yes. 11:2, 28:6, 42:1, 48:16, 61:1 dst.).
Dalam konteks politik di Perjanjian Lama, Roh Kudus
memberikan kuasa kepada para nabi supaya mereka
menyatakan kebenaran hukum Allah yang berisi
keadilan kepada umat Israel (Zak. 7:7-12). Kebenaran
dan keadilan yang dinyatakan oleh Roh Kudus
merupakan esensi utama karakter dari Allah. Wright
berkata:
The prophetic Spirit of truth is also the Spirit of justice.
Truth and justice are of the very essence of the character
of the God of the Bible (Isaiah 5:16). His Spirit inevitable
highlights truth and justice whenever he speaks. He could
not be the Spirit of the Lord and not speak of what the lord
God delights in and longs for. So any person who claims
to speak in the name of the Lord, but whose message lacks
truth or is unconcerned for justice, is not speaking by the
LORD’s Spirit.22
Kitab Mikha 3:8 menegaskan bahwa kuasa Roh Allah
dalam diri nabi Mikha memampukan dia untuk
22 Wright, Knowing the Holy Spirit, 82.
15
menyatakan kebenaran dan keadilan dalam hal
membela orang-orang miskin dan tereksploitasi di
bangsa Israel waktu itu. Roh Allah memberikan
kekuatan dari dalam (power within) kepada para nabi
supaya mereka dapat menyatakan kuasa (power to)
demi munculnya pembaruan kehidupan sosial politik.
Roh Allah juga memberikan kekuatan kepada umat-
Nya untuk menyatakan pembaruan dalam kehidupan
mereka sebagai bangsa (Yeh. 37:114). Saat nabi-nabi
menerima kuasa Roh Allah, mereka diminta untuk
menghadirkan pemerintahan Allah yang menyatakan
keadilan, kebenaran, kebaikan, ketertiban atau
keteraturan, dalam kehidupan sosial politik bangsa
Israel waktu itu. Frank D. Machica berkata:
The Old Testament connects the coming of God to
redeem the world and to establish God’s reign as Lord
with a final outpouring of the divine breath on all flesh
(Joel 2:28). God states that the Spirit will one day reveal
God’s presence to Israel: “I will no longer hide my face
from them, for I will pour out my Spirit on the house of
Israel” (Ezek. 39:29). God will cleanse Israel and give
them the divine Spirit so that they can follow the law
(36:25– 27). The lordship of God will be revealed as the
Spirit grants new life like the coming up out of the grave of
despair: “Then you, my people, will know that I am the
LORD, when I open your graves and bring you up from
them. I will put my Spirit within you and you will live”
(37:13–14a). This divine breath is said to rest on God’s
chosen messenger (Isa. 61:1–3), a promise that takes on
16
messianic significance.23
Di Perjanjian Baru, Roh Kudus memenuhi dan
memimpin Yesus Kristus untuk melayani dan
melakukan jus talionis (the administration of justice).24
Kehadiran Roh Kudus di dalam diri Yesus Kristus
menjadikan Ia dapat menyatakan kuasa dan otoritas
pembebasan Kerajaan Allah: “Tetapi jika Aku mengusir
Setan dengan kuasa Roh Allah, maka sesungguhnya
Kerajaan Allah sudah datang kepadamu” (Mat. 12:28;
bnd. Luk. 4:18-19). Leonardo Boff berkata:
. . . it is Jesus’ actions and his liberating practice that the
Holy Spirit is revealed . . . The very incarnation of the Son
is presented as the work of the Spirit (Luke 1:35; Matt.
1:20), so Jesus is full of the Holy Spirit from the start. The
Spirit comes down on him when he is baptised by John in
the Jordan (Mark 1;9-11; Luke 3:21-22; John 1:32-33); he
launches his messianic programme with the quote “the
Spirit of the Lord has been given to me” (Luke 4:1, 14).25
Senada dengan kutipan di atas, dapat dilihat juga
dalam pendapat Yong yang mengatakan:
The the Spirit descends on the Son at his baptism in the
Jordan (Luke 3:22) so that he can be filled with the Spirit
for his public ministry, which is launched by his spiritual
23 Frank D. Machica, Baptized in the Spirit: A Global
Pentecostal Theology (Grand Rapids, MI: Zondervan, 2006),135-
136. 24 Archie Penner, The Christian, The State, and the New
Testament (Scottdale, Pennsylvania, 1959), 39. 25 Leonardo Boff, Trinity and Society, transl. Paul Burns
(Maryknoll, NY: Orbis Books, 1988), 32-33.
17
confrontation with the demonic powers of the world (Luke
4;1,14). Hence, Jesus announces that his mission is that of
the Spirit: “The Spirit of the Lord is upon me, because he
has anointed me to bring good news to the poor. He has
sent me to proclaim release to the captives and recovery
of sight to the blind, to let the oppressed go free, to
proclaim the year of the Lord’s favour” (Luke 4;18-19).
The rest of his public ministry unfolds this agenda
according to the power of the Holy Spirit (Act 10:38).26
Berbeda dengan karakteristik manifestasi kuasa yang
dinyatakan oleh Roh Kudus, pada arah yang sebaliknya
kuasa demonis dalam kehidupan politik bersifat
destruktif karena manifestasinya berlawanan dengan
nilai-nilai keadilan, kebenaran, kebaikan, ketertiban
atau keteraturan, dalam suatu realitas sosial politik.
Bagaimana memiliki “discernment” terhadap realitas
kuasa demonis dalam suatu konteks politik?
Realitas kuasa demonis memiliki banyak wajah.
Realitas kuasa demonis tidak dapat dilepaskan
manifestasinya dalam bentuk yang kongkrit, baik itu
bisa mewujud dalam “diri seseorang, sebuah peristiwa,
sebuah lembaga, sebuah organisasi, sebuah simbol,
sebuah ritual, atau sebuah fakta alamiah atau materi”.27
Amos Yong memberikan dasar teologis tentang
kesatuan antara kuasa demonis dalam bentuk yang
kongkrit, atau yang diistilahkan dengan kesatuan antara
26 Amos Yong, “Primed for the Spirit: Creation,
Redemption and the Missio Spiritus”, International Review of
Mission, volume 100 Number 2 (November, 2011): 360. 27 Yong, Beyond the Impasse, 134.
18
“concrete form dan inner spirit”.28 Oleh karena itu,
menurut Yong, kuasa demonis adalah “nothing if not
personally incarnate in demoniacs and is irrelevant if
not manifest concretely in space and time”. Pemikiran
Yong ini diambil dari konsep Irenaeus mengenai “the
two hands of God”, yaitu kesatuan Sang Sabda (Logos),
yang disebut concreteness and dynamism of all things
dan Roh Kudus (pneuma) menunjuk kepada “an effort
to articulate a fully public account of spiritual reality in
general and of the Holy Spirit in particular” yang
mewujud dalam “the thing’s inner habits, tendencies,
and laws”.29
Tentu saja, tidak seperti kesatuan “dipolarity”30
dari “the two hands of God” yang harmonis yang selalu
menyatakan kehendak Allah Bapa, sebaliknya
manifestasi demonis dalam bentuk yang kongkrit itu
menunjukkan sesuatu yang berlawanan dengan
kebenaran Allah. Yong mengatakan bahwa kriteria
mengenai adanya kehadiran yang Ilahi dan demonis
ditandai dengan adanya hal-hal seperti:
truth, goodness, beauty, and holiness that characterize the
reality of God, that of divine absence registers the
destructive, false, evil, ugly, and profane existence of the
fallen and demonic world. The symbol of divine activity is
thus dynamic and mediational, calling attention to the fact
that things move continously either to or away from their
divinely instituted reason for being”.31
28 Ibid. 29 Ibid., 130-133. 30 Ibid. 31 Ibid., 165.
19
Manifestasi demonis selalu mewujud dalam bentuk
kongkrit serta menunjukkan dinamika destruksinya
sendiri. Yang penting bagi Gereja adalah mengetahui
kebiasaan, kecenderungan, dan hukum-hukumnya saat
suatu realitas kuasa demonis dinyatakan dalam bidang
politik.
Kuasa demonis dalam realitas kehidupan politik
memanifestasi melalui misuse of power yang
menciptakan pemujaan kepada kekuasaan manusia
(otoriterisme) dan juga kepada kuasa kegelapan (Mat.
4:1-10); pemberhalaan atas uang atau materi
(mamonisme, Mat. 6:24; Lk. 16:13) yang mewujud
dalam tingkah laku korupsi; proganda melalui strategi
dan aksi yang licik untuk menciptakan kekacauan dan
keonaran (1 Taw 21:1-17; bnd.Yoh. 8:44); penggunaan
kekerasan yang memunculkan ketidakadilan dan
penderitaan (Why. 13:1-8); dan seterusnya. Ini adalah
karakteristik mode-mode tindakan demonis yang nyata
terjadi dalam kehidupan manusia. Kebiasaan,
kecenderungan, dan hukum-hukum kuasa demonis
menimbulkan ketakutan, teror, kebencian, kekacauan,
kekerasan, kejahatan, penderitaan, dan seterusnya.
Cara-cara untuk menarik orang-orang melakukan hal-
hal di atas dapat melalui pembenaran-pembenaran
yang dibuat atas nama agama dan kebenaran ideologi
radikal tertentu yang ditafsir menurut versi sendiri atau
kelompoknya. Wajah demonis dalam realitas
kehidupan politik dapat dilihat dari misuse of power
20
dan karakteristik mode-mode tindakan destruktif yang
muncul. Daniel Day Williams berkata:
We can recognize the reality of demonic modes of
experience and forms of power without committing
ourselves to belief in demons as supranatural beings flying
about the world at the command of arch-fiend, one of
whose names is Satan. Rather, we are seeking to
understand demonic as an experienced mode of action; it
enters our human history with describable effects.32
Misuse of power dan karakteristik mode-mode tindakan
destruktif terkait dengan kuasa demonis mungkin
selaras dengan analisa yang dijabarkan oleh William
melalui perspektif pendekatan fenomenalogikal
(phenomenological approach) mengenai beberapa
karakteristik struktur demonis.33 Ia mengatakan bahwa
karakteristik pertama dari kuasa demonis dapat
dideteksi melalui mempelajari struktur cara kerjanya
yang memberikan daya tarik (fascination). “The
demonic possesses a mode of fascination that casts a
spell over our attention, releases our passionate
energies, and drives us beyond our will under the guise
32 Daniel Day William, The Demonic and the Divine,
peny. Stacy A. Evans (Minneapolis: Fortress Press, 1990), 3. 33 Meskipun perlu diberikan catatan di sini bahwa William
tidak menjelaskan realitas demonis atau Setan sebagai “a person”.
Ia setuju dengan konsep dari filsuf Ernst Bloch dan menjelaskan
bahwa “Satan, therefore, is not a person. We personalize him as
we participate in the demonic powers. He is the mask of the
plunge toward annihilation” (Ibid., 5). Namun demikian cara kerja
struktur demonis dalam pendekatannya dapat didialogkan dengan
cara kerjanya kuasa demonis sebagaimana dipaparkan di Alkitab
(lihat ayat-ayat Alkitab yang dipaparkan).
21
of fulfilling our freedom”.34 Karakteristik kedua dari
kuasa demonis memunculkan distorsi persepsi (the
distortion of perception), artinya bahwa “the demonic
gains its power to shape, exploit, and ultimately destroy
our personal being by causing us to see falsely. . .This
aspect of the confusion of our perception is critical for
our analysis”.35 Dua karateristik yang pertama ini
mungkin dapat dipadankan referensinya dengan kisah
pencobaan Tuhan Yesus di padang gurun saat Yesus
ditawari dan dibujuk oleh Iblis untuk memiliki kuasa
atas kerajaan dunia dan kemegahannya (bnd. Mat. 4:1-
10).36 Karakteristik ketiga disebut aggrandizement,37
yang diterjemahkan oleh Webster dictionary sebagai
“1: to make great or greater : increase, enlarge
aggrandize an estate; 2 : to make appear great or
greater : praise highly; 3: to enhance the power, wealth,
position, or reputation of exploited the situation to
aggrandize himself”.38 Karakteristik ini dapat
dicontohkan dengan kisah Raja Daud yang dibujuk
34 Ibid., 7. Untuk masing-masing karakteristik ini, William
memberi contoh dari kajian filsafat, psikologi, ilustrasi olah raga
khususnya sepak bola, dan antropologi. Penulis berpendapat
bahwa masing-masing karakteristik ini dapat diaplikasikan juga
dalam dunia politik (lihat penjelasan detailnya di hl. 6-14). 35 Ibid., 8. 36 Kasus Korupsi tidak ada habis-habisnya di Indonesia
dan yang paling mengagetkan kejadian baru-baru ini di bulan
Sepetember 2018 mengenai 41 anggota DPRD kota Malang yang
tertangkap dalam kasus korupsi anggaran daerah. 37 Ibid., 9. 38 Lihat https://www.merriam-
webster.com/dictionary/aggrandizement. Diakses 5
Septermber2018.
22
oleh Iblis untuk membanggakan dirinya atas kekuatan
politik dan militer Israel waktu itu (lihat 1 Taw 21:1-
17). William berkata “the demonic ecstasy feeds upon
itself and demands more and more. This is partly
because the demonic structure is swollen with the lust
for power. Its craving is insatiable because it feeds upon
its power of dominion”.39 Arogansi negara-negara
adidaya atas kekuatan senjata nuklir mereka mungkin
dapat dikatakan sebagai manifestasi dari karakteristik
kuasa demonis ini. Karakteristik yang keempat adalah
inersia sistem kontrol yang dibangun tetapi tidak
beroperasi dengan baik dan akibatnya membawa
kehancuran pribadi-pribadi.40 William menekankan
bahwa: “What we should say is that when the inertial
character takes hold, it tends to corrupt the spirit. When
we accept it without resistance, the demonic power is
winning. It uses these inertial tendencies to gratify our
craving for power and to exploit our fear of
annihilation” (bnd. Wahyu 13:1-8).41 Karakteristik
demonis ini mungkin contohnya seperti kekacauan
yang terjadi di Indonesia saat turunnya Presiden
Soeharto, kerusuhan Mei 1998. Aparat militer di Jakarta
tidak bekerja sama sekali untuk menjaga Jakarta
ataupun mereka beroperasi sangat terlambat sekali
setelah kehancuran terjadi; dan akibatnya kerusuhan
serta pertumpahan darah terjadi yang menimpa
kelompok etnis Tionghoa. Karakteristik yang terakhir
disebut “ontological depth”, yang menurut William
39 Williams, The Demonic, 9. 40 Ibid., 11. 41 Ibid., 11.
23
terhubung dengan karakteristik struktur kuasa demonis
sebelumnya yaitu “fascination”.42 Hal ini karena
struktur kuasa ini dapat memunculkan “creative power”
(dalam arah destruktif) yang memunculkan pesona
tertentu namun sebenarnya berisi campuran “both
horror and with the frenzy and ecstasy of the
destructive impulse. We see more clearly why the
demons are fascinating. They reach the roots of our
being. They fuse life and death in the heat of
consuming passion”.43 Untuk menjelaskan karakteristik
struktur kuasa demonis ini, Williams memakai teori
Paul Tillich tentang tiga relasi mendasar yang tidak
terpisahkan antara “love, power, and justice” yang
terkait dengan semua keberadaan, termasuk di dalam
kehidupan manusia.44 Kuasa demonis terus berusaha
untuk memisahkan tiga relasi yang mendasar itu
sebagai bagian ontologi kehidupan manusia. Williams
berkata:
The demonic powers try to pull love, power, and justice
apart from each other. Power without justice and charity is
oppression and violence. Love without power or justice is
sentimentality . . . Justice without love lacks the most
important ingredient of justice itself, compassionate
openness toward the other”.
Jika kita memiliki kesatuan dari tiga relasi tersebut
maka, menurut Williams, “It is the test of victory over
demonic corruption”.45
42 Ibid., 13. 43 Ibid., 13. 44 Ibid., 13. 45 Ibid.
24
Kuasa Politik dalam Perspektif Teologi Pentakostal
Teologi Pentakostal mempercayai bahwa Roh
Kudus berkarya dalam kehidupan politik juga. Roh
Kudus menyediakan kuasa untuk Gereja, yang adalah
bait-Nya dan persekutuan-Nya, untuk melakukan
karya-karya pembaruan yang tidak dibatasi dalam
lingkup gereja saja. Kuasa Roh kudus tidak saja dibatasi
dalam konteks ekklesia yang berfokus pada operasional
karunia-karunia di dalam konteks Gereja saja, tetapi
Roh kudus berkarya secara luas di dalam kehidupan
dunia ini yang terbuka untuk intervensi-Nya, termasuk
di dalam bidang politik. Yong berkata tujuan karya Roh
Kudus bukan hanya terkait dengan charismata—
manifestasi karunia-karunia di dalam Gereja—tetapi
juga menyatakan kebenaran, kedamaian, dan keadilan
sebagaimana ditulis dalam Yesaya15-17.46
Gereja tidak dapat membatasi gerak karya Roh
Kudus atau mendomestikan kehadiran dan akitivitas
Roh Kudus dalam konteks pelayanan gereja saja.
Karena jika Gereja bersikap demikian maka Gereja
menjadikan dirinya sendiri terjebak dalam sikap yang
egois dan sektarian. Hal ini seperti yang dikatakan oleh
Serene Jones sebagai berikut:
The church is the temple of the Spirit and a holy
priesthood when the gift of authority given to the entire
community is exercised authentically and received in
46 Yong, Beyond the Impasse, 41.
25
various ways by all the members of the church. But the
church as temple and priesthood, become corrupt when
either the charismatic gifts of the faithful or the gifts of
leadership and office are not ordered to the good of the
community but are turned into the goods of the individual
or selected groups within the community. The graces of
the charism and leadership become problematic when the
authority of one is pitted against the authority of the other.
The power associated with charismatic gifts and office can
be corrupted by egoism and sectarianism as well as by the
tyranny of the mob or the majority.47
Kuasa Roh Kudus diberikan kepada Gereja-Nya untuk
melayani di wilayah publik juga. Teologi Pentakostal
mendasari refleksi kritisnya tentang teologi Politik
dengan keyakinan, sebagaimana Yong katakan, bahwa
“. . . the Spirit is already at work in the publik, social,
and economic spheres of human life, thereby enabling
the redemption and transfiguration of these dimensions
of human existence consistent with the gospel”.48
Di konteks Asia, sebagaimana dikatakan oleh
Simon Chan seorang teolog Pentakostal dari Singapura,
Gereja sering diperhadapkan dengan suatu pemerintah
atau negara yang sering mengklaim dan mengekang
aspek-aspek kehidupan anggota masyarakatnya. Gereja
perlu memikirkan bentuk aksi dan partisipasinya dalam
konteks masyarakat atau negara di mana Gereja berada
47 Serene Jones, Constructive Theology: A Contemporary
Approach to Classic Themes: A Project of The Workgroup on
Constructive Christian Theology, peny. Paul Lakeland
(Minneapolis: Fortress Press, 2005), 205 48 Yong, “Primed for the Spirit”, 365.
26
sebagai implikasi praksis dari teologi politiknya. Chan
berpendapat, sebagaimana disarikan oleh Christopher
A. Stephenson, bahwa: “discusion of the kind of
political theology required in Asian contexts, namely,
one that envisions the church as an alternatif
community that bear witness to the radical message of
the gospel against the state’s totalizing claims over its
citizens”.49
Dalam perspektif teologi Pentakostal, Gereja
menjadi sebuah komunitas alternatif berarti Gereja
menyerahkan dirinya untuk diperbarui, dipimpin, dan
diberi kuasa oleh Roh Kudus. Karya Roh Kudus
berimplikasi bagi kehidupan Gereja untuk melakukan
perjuangan sosial politik dalam kehidupannya.
Kekudusan Gereja tidak sekadar mewujud dalam
kehidupan pietis pribadi saja, namun manifestasi
kekudusannya harus juga menjadi tanda-tanda luar
yang kelihatan (outward signs of holiness) dalam
berbagai konteks kehidupan, termasuk kehidupan
politik. Dengan demikian prinsip etis spiritualitas
Pentakostal menjadi komprehensif yang mencakup
nilai-nilai imanen-transenden, natural-supranatural,
kehidupan dan kesalehan personal-sosial, bersifat
presentis-futuris, dan seterusnya yang dinyatakan dalam
berbagai area kehidupan. Tidak ada lagi pemikiran
dualisme dikotomi dalam teologi Pentakostal karena
49 Lihat Steven J. Land and Simon K.H. Chan, “Sistematic
Theology and Christian Spirituality”, dalam Types of Pentecotal
Theology: Method, System, Spirit, peny. Christopher A.Stephenson
(Oxford, New York: Oxford University Press, 2013), 54-55.
27
Roh Kudus berkarya mencakup keseluruhan kehidupan
ini.
Jürgen Moltmann, yang pemikiran teologianya
banyak diacu oleh para teolog Pentakostal,
menghubungkan karya Roh Kudus sebagai Sang
Pembebas melalui karya-Nya yang membebaskan iman
dan mengokohkan orang-orang percaya sebagai subjek
dan bukan sekadar objek atau tawanan bagi yang
lain.50 Oleh kuasa Roh Kudus, Gereja menjadi sebuah
komunitas alternatif yang dapat memunculkan
perlawanan publik (public resistence) terhadap
kekuatan-kekuatan demonis yang ada dalam kehidupan
politik. Gereja harus berani melawan kuasa-kuasa
demonis yang mewujud melalui orang-orang atau
kelompok yang menyalahgunakan kekuasaan dan
mempraktikan mode-mode tindakan destruktif dalam
kehidupan politik. Roh Kudus membaptis orang-orang
percaya untuk diberi kuasa, hikmat akal budi, keahlian,
dan strategi untuk berpraksis dalam kehidupan politik.
Teologi Pentakosta menekankan pentingnya
mempunyai “discernment” untuk mengklarifikasi dan
mengoreksi kehidupan politik dengan landasan
wawasan-wawasan (insights) yang mendalam
berdasarkan kebenaran Allah; dan selanjutnya
mengambil tindakan-tindakan yang berhikmat dan
berani untuk membuat pembaruan dalam kehidupan
politik. Orang-orang percaya dibaptis dalam kuasa Roh
Kudus agar memiliki keberanian iman untuk
50 Jürgen Moltmann, The Spirit of Life (London: SCM Press,
1992), 114
28
menyatakan kuasa Kerajaan Allah, yang lebih superior
atau unggul dari kuasa-kuasa demonis.
Roh Kudus menuntun orang-orang percaya
untuk mengikuti teladan hidup dan pelayanan Yesus
Kristus yang menang atas kuasa demonis. Pelayanan
Yesus Kristus yang disertai Roh Kudus itu memiliki
implikasi adanya pembaruan politis dalam konteks
kehidupan agama Yahudi dan kuasa pemerintah
Romawi waktu itu (Luk. 13:32; 22:25; Mat. 9:10;
18:17; 21:31).51 Yesus Kristus yang dipimpin oleh Roh
Kudus menyatakan suara kenabian kepada pemerintah
Romawi waktu itu. Yesus kristus tidak pernah
menganggap suatu pemerintah dalam pengertian
sebagai “a final, divine institution”.52 Artinya suatu
pemerintah dapat salah dan menyimpang karena
ditunggangi oleh kuasa demonis untuk misuse of power
dan menyatakan karakteristik mode-mode tindakan
demonis yang destruktif. Pada ada arah sebaliknya
Yesus Kristus juga menolak segala usaha yang mencoba
untuk menggulingkan suatu pemerintah dengan aksi
revolusi atau kekerasan53 (sekalipun pemerintah
tersebut menyatakan karakteristik mode-mode tindakan
demonis yang destruktif). Praksis teologi politik
Pentakosta mengikuti teladan praksis hidup dan
pelayanan nir-kekerasan dari Yesus Kristus.Teologi
51 Lihat Oscar Cullmann, The State in the New Testament
(New York: Charles Scribner’s Sons, 1956), 8-23. 52 Ibid. 53 Ibid., 18.
29
Pentakosta tidak setuju dengan praksis teologi
Pembebasan sebagaimana muncul di Amerika Latin.
Memang selama ini teologi Pentakostal telah
dikritik karena pneumatologinya terkait dengan
kristologi yang penekanannya hanya sebatas “the
fivefold gospel”,54 yang tidak terhubung dengan
pergumulan Gereja dalam kehidupan politik. Akibatnya
pneumatologi pentakostal, menggunakan istilah T.
David Beck, cenderung terlalu ramah dan jinak, dan
menjadikan pribadi Roh Kudus, yang terpisah dari
kristologi yang komprehensif, sebagai a vanilla third
Person. . . a caricature in which the Spirit—becomes
overly friendly and benign. The danger is that the
Comforter can become too comfortable”.55 Hasilnya,
pneumatologi pentakostal cenderung memunculkan
pesan dan praksis pelayanan yang tidak terkait dengan
konteks politik. Moltmann memberikan kritik sebagai
berikut:
54 Pengajaran ini juga disebut sebagai Full Gospel, yang
menekankan Yesus Kristus sebagai Juruselamat, Sang Pengudus,
Pembaptis dalam Roh Kudus, Sang Penyembuh, dan Raja yang
akan datang. Bnd. Donald W. Dayton, “Theological Roots of
Pentecostalism,”Pneuma: the Journal of the Society for Pentecostal
Studies (Spring, 1980):4. Jesus saves us according to John 3:16. He
baptizes us with the Holy Spirit according to Acts 2:4. He heals
our bodies according to James 5:15-15. And Jesus is coming again
to receive us unto Himself according to I Thessalonians 4:16-17". 55 T. David Beck, “The Divine Dis-Comforter: The Holy
Spirit's Role in Transformative Suffering”, Journal of Spiritual
Formation & Soul Care vol. 2 no. 2 (2009): 200.
30
But we have to put a critical question to the ‘charismatic
movement’: what about the neglect of charismata? Where
are the charismata of the ‘charismatics’ in the everyday
world, in the peace movement, in the movement for
liberation, in the ecology movement? If charismata are not
given to us so that we can flee from this world into a
world of religious dream, but if they are intended to
witness to the liberating lordship of Christ in this world’s
conflicts, then the charismatic movement must not
become a non-political religion, let alone a de-politicized
one.56
Kesimpulan
Teologi Pentakostal harus memiliki “discerning
the Spirit (s)” dalam konteks kehidupan politik. Teologi
Pentakostal bertanya secara mendalam, “Apakah suatu
kuasa politik sedang benar-benar dijalankan sesuai
pimpinan Roh Kudus atau sebaliknya?” Gereja-gereja
beraliran Pentakosta di Indonesia acapkali bersikap
baik itu apolitik maupun bersikap pragmatis dan tanpa
sikap kritis kepada kelompok atau partai politik
tertentu. Sikap yang demikian adalah sikap yang tidak
sesuai dengan pelayanan yang dinyatakan oleh Yesus
Kristus, yang dipimpin dan diberi kuasa oleh Roh
Kudus.
56Moltmann, The Spirit of Life, 186.
31
MENEMUKAN KEMBALI RELEVANSI AKTIVITAS
KEBANGUNAN ROHANI BAGI GEREJA PANTEKOSTA
MASA KINI
OLEH: YOHANES S. PRAPTOWARSO
Abstrak: Kebangunan Rohani adalah kata
familiar bagi kita semua. Penulisan ini untuk
mengingatkan kembali praktek dan ‘roh’ yang
menghidupkan kebangunan rohani di lingkungan
gereja Pantekosta. Kebangunan rohani adalah aktivitas
yang muncul secara natural dari proses rohani yang
cukup Panjang dan berkesinambungan, bukan sekedar
event yang tidak berdampak pada kehidupan nyata.
Bahkan Kebangunan rohani menjadi bagian penting
dalam membangun hermeneutik Pantekosta yang dapat
memberi arti theologi yang segar bagi eksegesa Alkitab.
Sehingga gereja Pantekosta semakin diperbaiki dalam
meng-expresikan Kerajaan Allah yang di sini dan
sekarang.
Keywords: Kebangunan Rohani, Gereja,
Pantekosta.
Pendahuluan
ebagunan Rohani adalah Bahasa gereja yang
diterima oleh lintas denominasi dengan persepsi
masing-masing. sehingga hampir tidak ada
satupun institusi gerejawi yang menolak kebangunan
rohani baik secara konsep maupun praktis. Meskipun
praktek kebangunan rohani itu terjadi pertama kali di
Amerika Serikat secara massive, dalam puluhan
K
32
dekade, tetapi puncak dari gerakan kebangunan rohani
ini adalah lahirnya gerakan Pantekosta di Asuza Street
312, LA. Sejak saat itu pertumbuhan gerakan
Pantekosta tidak dapat dipisahkan dengan terjadinya
kebangunan rohani di seluruh dunia. Warna ini masih
dominan dalam gerakan Pantekosta mengawali
millennium ke tiga.
Dengan masing-masing Lembaga dan institusi,
denominasi dan asosiasi memahami persepsi yang
berbeda sehubungan dengan kebangunan rohani, maka
presentasi ini berusaha untuk mencari ‘jalan tengah’
sebagai standard bersama-sama maksud yang
dikandung di dalamnya serta korelasinya dengan
kehidupan bergereja saat ini. Penulis melihat bahwa
urgensi kebangunan rohani bukan lagi menjadi
kebutuhan utama gereja sehingga doing a church
without revivals adalah menjadi normal dalam
kehidupan gereja Tuhan. Lebih dalam lagi adalah
situasi ini bukan saja terjadi pada gereja-gereja non-
Pantekosta namun juga terjadi di dalam gereja-gereja
yang menamakan diri gereja Pantekosta dan
Kharismatik. Beberapa usaha dilakukan supaya
kebangunan rohani tampak terjadi di dalam gereja
dengan memprogramkan pertemuan-pertemuan ibadah
khusus yang sering disebut ‘Kebaktian Kebangunan
Rohani’ atau KKR, event-event khusus yang
berkesinambungan sehubungan dengan hari-hari
tertentu yang special dalam jemaat local, pembicara-
pembicara yang dianggap dapat mendatangkan
kebangunan rohani di beri kesempatan untuk
menyampaikan pesan-pesan yang membangkitkan
33
spiritualitas, namun kehidupan gereja kembali kepada
business as usual.
Inikah usaha maksimal gereja yang dapat
dilakukan untuk terjadinya kebangunan rohani? Apakah
yang disebut dengan sebuah gereja sedang mengalami
kebangunan rohani? Apakah ada standard khusus
sebuah jemaat local atau denominasi sedang
mengalami kebangunan rohani? Dan apakah
kebangunan rohani adalah kehidupan gereja yang
sesungguhnya harus dijalani ataukah sebuah opsi? Ada
banyak pertanyaan dibenak kita yang harus kita jawab
dan kita gumuli bersama dalam hal ini. Presentasi ini
tidak dapat menjawab semua yang kita perlukan, tetapi
memberikan pandangan kepada kita semua supaya
memiliki persepsi yang lebih dalam untuk memahami
kebangunan rohani dan mempraktekkannya di dalam
gereja kita. Karena kita semua yakin bahwa jika
kebagunan rohani terjadi diantara kita akan lebih baik
dari yang sebaliknya. Kebangunan rohani yang sehat
mulai menggerakkan sebagaian anggota masyarakat
yaitu gereja yang kemudian akan berdampak pada
masyarakat pada umumnya.
Memberi Usulan Arti Kebangunan Rohani
Kebangunan rohani adalah suatu atmosfir
spiritual yang terjadi pada sebuah atau sekelompok
gereja yang mengalami “ Suatu periode dimana
ketertarikan terhadap kehidupan rohani bertambah
besar … terutama membawa pemurnian juga
34
merevitalisasi kehidupan gereja yang bersangkutan.”57
Dua elemen penting dimulainya kebangunan rohani
adalah doa yang berkualitas dan Firman semakin yang
dicintai. Kebangunan rohani selalu terjadi karena
kegiatan doa dan pengenalan Firman Tuhan. Kegiatan
doa ini tidak sekedar formalitas tetapi “ doa dengan
intensitas tinggi, sering dilakukan dalam waktu yang
lama dan terus menerus, sampai kemudian terjadilah
kebangunan rohani…”58 Mengapa kebangunan rohani
bisa terjadi dimulai dengan doa. Karena “doa adalah
yang dikehendaki oleh Tuhan untuk dipersembahkan
kepada-Nya. ‘ mintalah maka akan diberikan
kepadamu, carilah maka kamu akan mendapat,
ketuklah maka pintu akan dibukakan bagimu.’ .”59
Kebangunan rohani di Eropa, Korea dan Amerika selalu
dimulai dengan “Tahun-tahun yang Panjang dilalui
dengan membaca Firman Tuhan dengan teliti di rumah-
rumah dan di gereja-gereja … menemukan bahwa
Tuhan itu sumber segala kebenaran dan kasih,
menekuni doa untuk kebangunan rohani, etika
kehidupan mencapai tingkat yang tinggi bagi yang
terbagun imannya, ketertarikan yang dalam tentang
sharing keselamatan, menikmati kenyataan Roh Kudus,
dan banyak lagi aspek kebangunan rohani Kristen yang
tidak akan muncul dan terjadi tanpa pengertian
Firman.”60 Meskipun kebanguan rohani secara global
57 Donald A. McGavran, ed. By C. Peter Wagner,
Understanding Church Growth (Grand Rapids, Michigan:
William B. Eerdmans Publishing Company, 1990), 133. 58 Ibid, 134. 59 Ibid, 135. 60 Ibid 136.
35
terjadi dua ribu tahun yang lampau dan diulangi seratus
tahun yang lalu, namun pentingnya bagi kehidupan
bergereja tidak pernah pudar. Robeck bahkan dengan
tegas mengatakan: “Sampai pada jaman era post-
modern, orang-orang masih tetap lapar dengan
pengalaman hidup yang diubahkan melalui
perjumpaan dengan Tuhan Yang Hidup.”61 Jaman
boleh berubah, namun kebutuhan gereja tentang
kebangunan rohani tetap tidak dapat tergantikan.
Kebangunan Rohani Antara Otoritas Tuhan dan Respon
Manusia
Mari kita melihat dari dekat gerakan
kebangunan rohani yang terjadi pada abad yang telah
lalu. Inkubasi terjadinya kebangunan rohani di abad ke
duapuluh, melalui Tuhan mempersiapkan pribadi-
pribadi seperti Charles F. Parham, Agnes N. Ozman
dan Joseph W. Seymour untuk memulainya sebagai
tonggak gerakan Pantekosta di akhir millennium ke
dua. Peristiwa ini sesungguhnya tidak terpisahkan
dengan terjadinya kebangunan-kebangunan rohani di
seluruh dunia yang juga menjadi alat Tuhan untuk
proses peristiwa di Los Angeles ini dapat terlaksana.
Bahkan Kebangunan rohani abad ke duapuluh sudah
dimulai dari saat Roh Tuhan yang telah bekerja selama
belasan dekade lamanya mendahului peristiwa Los
Angeles seperti pernyataan Jeon: “ Gerakan Pantekosta
61 Cecil M. Robeck, Jr., The Azusa Street Mission and
Revival (Nashville, TN: Nelson Reference & Electronic, 2006),
p.16.
36
berakar sangat dalam kepada Kebangunan Rohani di
Amerika, yang telah mendominasi kehidupan bergereja
di disana selama hampir dua ratus tahun.”62 Tokoh-
tokoh yang sering disebut revivalist, seperti John
Wesley, Jonathan Edward, D. L. Moody, Charles
Finney, dan R. a. Torrey adalah sebagian kecil nama-
nama para pioneer revivalist yang berperan besar pada
masa rentang waktu tersebut. Masa yang dinamakan
periode kebangunan rohani ini terakulminasi pada
dekade di awal abad ke duapuluh dengan kegerakan
Kebangunan Rohani yang dimulai dari Australia 1903,
dan di tahun yang sama juga terjadi di Wonsan, Korea,
kemudian disusul dengan kebangunan rohani di India
dan Welsh di tahun 1905, dan di Keswick Inggris di
tahun yang sama, serta diikuti Pyongyang dan seluruh
Korea, Manchuria dan China 1907. Namun eskalasi
terbesar terjadi di Los Angeles 1906-1909. (Hal 29,
Spreading fires).
Di Amerika kita tidak dapat melewatkan sejarah
yang mencatat bahwa Roh Kudus bekerja dengan cara
Pantekosta melalui Charles Fox Parham dan para murid
Sekolah Alkitab yang dipimpinnya di Houston Texas.
Pengalaman Agnes N. Osman yang lebih dahulu
dibaptis dengan Roh Kudus, dan diiukuti Cahrles F.
Parham sendiri, dan juga para murid dan staff Sekolah
Alkitab tersebut menjadi breeding ground yang di
kemudian hari terhubung dengan Kebangunan Rohani
62 Yongnan Jeon Ahn, Interpretation of Tongues and
Prophecy in 1 Corinthians 12-14 (Dorset, UK: Deo Publishing,
2013), p.11.
37
terbesar Pantekosta abad ke duapuluh. Sebagai
kelengkpannya, Tuhan yang sama juga menemukan
seorang yang meresponi rencana Tuhan dengan
kehidupan yang lapar dan haus akan Tuhan paling
tidak selama satu dekade dalam hidupnya, ia dipilih
untuk menjadi pemimpin yang mendorong terjadinya
gerakan terbesar di abad ke duapuluh di kota Los
Angeles, yaitu William Joseph Seymour.63
Tuhan juga bekerja dengan kuasa-Nya sehingga
membuat sebuah Kota siap bagi Kebangunan Rohani
dengan menciptakan atmosfir yang kondusif bagi
sebuah kegerakan yang besar. “Sejak 1904 banyak
orang Kristen di Los Angeles mendengar tentang
kebangunan rohani yang besar di Wales. Sementara itu
banyak kelompok-kelompok orang Kristen yang
mendoakan supaya kebangunan rohani terjadi juga di
63 William Joseph Seymour dilahirkan pada tanggal 2 Mei
1870 di Centerville, Lousiana.
Dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga budak dan
lingkungan religious Katholik. Seymour bergabung dengan Bathel
Methodist Church di Indiana. Tetapi dikemudian hari ia lebih
aktif di gerakan Holiness karena persesuaian doktrin yang ia
yakini. Selama satu dekade ia mengalami proses yang semakin
hari semakin mengalami keintiman dengan Tuhan, sejak
berpindah ke Cincinnati, Ohio. Seymour percaya pada special
revelation seperti mimpi dan visi yang datang dari Tuhan, yang
tidak diakomodasi di Methodist. “selama dua setengah tahun ia
berdoa lima jam sehari karena lapar dan haus akan Tuhan.”
Sampai ia tiba di Houston, Texas dan selanjutnya melayani di Los
Angeles. Cecil M. Robeck, JR. The Azusa Street Mission and
Revival (Nashville, Tenesse: Nelson Reference and Electronic,
2006), 17-35.
38
Los Angeles.”64 Di saat berbarengan dengan gairah
rohani yang sedang tumbuh seorang tokoh rohani di
kota itu, Joseph Smale menggerakkan jemaat dan para
pendengarnya untuk bertindak secara rohani dengan
iman untuk sebuah lawatan Tuhan yang lebih. “Orang-
orang didorong untuk bertindak dan berdoa secara
spontan sesuai dengan pimpinan Roh Kudus. Smale
mendorong jemaatnya supaya mengaku dosa di depan
umum, dan saling menjangkau satu dengan yang
lainnya untuk memulihkan perpecahan.”65 Terutama
perpecahan dan pemisahan inter-rasial pada masa
pelayanannya adalah persoalan yang akut dalam
kehidupan social kota dan masyarakat yang tinggal di
dalamnya. “Smale memutuskan bahwa First Baptist
Church harus memimpin Los Angeles untuk merasakan
Kebangunan rohani, dan mereka melakukannya dengan
doa.”66 Sasaran Smale yang jelasa adalah jika
kebangunan rohani terjadi di First Baptist Church, maka
masyarakat di kota itu akan menerima dampak
berkatnya.
Apa yang dilakukan oleh First Baptist Church
bukanlah satu-satunya usaha untuk mengaktifkan Kuasa
Tuhan lebih besar lagi bekerja bagi gereja-gereja Los
Angeles. “Ditempat lain di kota Los Angeles, …orang-
orang muda di gereja First Methodist church
mengadakan doa sepanjang malam.’… ini
menggambarkan betapa dengan sangat dalam
64 Robeck, Jr. The Azusa Street Mission, 57. 65 Ibid, 58. 66 Ibid.
39
penduduk kota itu merasakan kerinduan yang besar
secara rohani. ‘Tuhan menaruh di hati orang-orang
tersebut untuk berdoa supaya ada pencurahan Roh
Kudus.”67 Komunitas Rusia yang disebut Molokan “
mereka melakukan apa yang sering disebut kebiasaan
ekstasi , melompat dan menari, jatuh ke lantai saat
mereka percaya sedang dikendalikan oleh Roh Kudus
…”68 Tidak terkecuali dengan beberapa komunitas-
komunitas yang responsive terhadap pekerjaan Roh
Kudus dari kalangan Hispanic, China dan etnis Asia
lainnya yang tinggal di kota Los Angeles. Sehingga
atmosfir rohani di kota itu benar-benar matang untuk
terjadinya sebuah kebangunan rohani sebelum William
J. Semour datang.
Hasil yang dicapai dari intervensi Tuhan dengan
menggerakkan institusi-institusi, pribadi – pribadi dan
juga masyarakat di sebuah kota adalah, sebuah
kebangunan rohani yang ekplosif dan juga reaktif bagi
pekerjaan misi. Saatnya tiba ketika tanggal 9 April
1906 di rumah Edward Lee seorang kulit hitam tukang
sapu, dimana Seymour menumpang berkata
kepadanya; bahwa dalam penglihatan para rasul datang
kepada Lee dan memberitahu bagaimana cara
menerima bahasa Roh. Karena sampai saat itu juga
Seymour dan saudara-saudara yang sehati itu belum
menerima Baptisan Roh Kudus. Namun malam itu
ketika persiapan ibadah di Bonnie Brae, dua orang itu
berdoa dan disertai dengan beberapa jemaat yang
67 Ibid, 60. 68 Ibid, 57.
40
sudah hadir, Bahasa Roh turun atas mereka dan salah
satu yang mengucapkannya adalah William Joseph
Seymour sendiri! Selanjutnya yang terjadi adalah
peristiwa kebangunan rohani terbesar di Azusa street
yang dimulai 18 April 1906 dan berakhir tiga setengah
tahun kemudian. Aktivitas ibadah berjalan tujuh kali
dalam seminggu, setiap kali ibadah dimulai dari pagi
hingga selesai pada malam hari. Orang-orang Meksiko,
orang-orang Jerman yang tidak sanggup berbahasa
Inggris, mereka dengan iman berdiri dan bersaksi,
semua telinga mendengar seperti dikampung
halamannya sendiri, karena Roh Kudus
menterjemahkan kepada setiap telinga, dan mereka
yang mendengar berkata amen!
Karena itu jelas bahwa Kebangunan Rohani
bukanlah usaha sebuah individu tanpa terkait dengan
komunitas Gereja Tuhan secara global. Tetapi sebuah
karya Tuhan yang komprehensif yang melibatkan
banyak elemen di dalam Tubuh Kristus sehingga tidak
ada seorangpun yang merasa ditinggalkan dan tidak
dilawat oleh Tuhan. Namun Tuhan selalu mendorong
orang-orang percaya yang rela untuk dipakai-Nya
memiliki gairah yang responsive dan reaktif terhadap
rencana Tuhan. Dari generasi ke generasi, selalu akan
ada orang-orang yang responsive terhadap Tuhan.
Namun hanya jika dalam satu gerenasi, lebih banyak
orang-orang yang demikian, maka kebangunan rohani
akan terjadi pada generasi itu. Kebangunan rohani
adalah memiliki nilai vital bagi gereja untuk bertumbuh
dalam segala hal, karena setiap aktivitas, program,
strategi dan system yang dibangun akan menjadi
41
berkualitas jika dikerjakan dan dihidupi oleh orang-
orang yang sedang mengalami kuasa kebangunan
rohani.
“Revival Outcomes”
“ Saat Tuhan memberikan kebangunan rohani
kepada umat-Nya, biasanya yang terjadi adalah;
kehidupan kudus bertambah-tambah, kuasa yang baru
dialami orang percaya, dan Injil diberitakan dengan
semangat yang baru. ”69 sehingga kehidupan yang
kudus dan semakin dikuduskan adalah impact yang
signifikan dari kebangunan rohani bagi gereja.
“karena kebangunan rohani bukan sekedar ranah
emosional. Tetapi pemulihan Kekristenan Perjanjian
Baru yang sesungguhnya. Kerendahan hati,
kehancuran hati dan rindu akan Tuhan Bapa Segala
kebenaran di Sorga, sehingga membawa pengakuan
dosa dan restitusi terhadap yang berdosa.”70 Charles
Finney seorang Revivalist bersaksi bagaimana proses
“perjuampaan muka dengan muka dengan Kristus dan
pengalaman yang ia sebut sebagai ‘a mighty baptism of
the Holy Spirit’. Ketika Roh turun atasnya, Finney
menyaksikannya sebagai berikut: ‘ Seperti gelombang
listrik mengalir dan mengalir ke seluruh tubuh. Tetapi
saat melanda benar-benar seperti gelombang-
gelombang cairan kasih … saya secara literal peristiwa
itu dapat dikatakan dari dalam dasar hati keluar
desahan yang tidak dapat terkatakan. … Ia (Charles
69 Ibid. 70 Ibid.
42
Finney) bukanlah pengkhotbah yang menawarkan
sesuatu yang mengambang di awan-awan, tetapi pesan-
pesan Firmannya membawa perubahan social yang
dalam.”71 Dapat disimpulkan bahwa pengalaman
kebangunan rohani yang dikerjakan oleh Roh Kudus
adalah sebuah peristiwa adikodrati yang terjadi dalam
hati manusia, termanifestasi dalam fenomena ilahi yang
menghasilkan sebuah kehidupan kuaitas Kerajaan
Allah.
Sebagai pekerja misi, “The Christian and
Missionary Alliance (CMA) mendorong para
misionarinya mengalami kebangunan rohani yang
biasanya disertai dengan karunia-karunia Roh Kudus
sebagai buktinya.”72 Tidak dapat dipisahkan antara
kebangunan rohani dan pekerjaan misi. “Kebangunan
rohani mendorong bertambahnya aktivitas misi. Bukan
hanya terjadi dari negara barat menuju ke belahan
bumi lainnya. Laporan-laporan kebangunan rohani
yang terjadi di India contohnya, disertai dengan berita-
berita bahwa dari kebangunan rohani itu gereja asli
India mendirikan badan-badan misi untuk
memberitakan injil baik ke India maupun ke luar negri
oleh orang-orang Kristen India sendiri.”73 Peter Wagner
merumuskan pola strategi gereja mendirikan badan-
badan misi ini dengan apa yang disebut hubungan
sodality dan modality. Inilah dua institusi penting yang
71 Allan Anderson, Spreading Fires (Maryknoll, New
York: Orbis Books, 2007), 23. 72 Anderson, Spreading, 25. 73 Anderson, Spreading, 26.
43
dibangun oleh Tuhan sehingga menjadi lembaga yang
handal dalam mengembangkan misi gereja. Di dalam
context gereja modality adalah sebuah jemaat local
atau sekumpulan jemaat local, dan sodality adalah
badan-badan misi. “Supaya dapat memenuhi misi
gereja, badan-badan sodality dan modality saling
membutuhkan dalam hubungan simbolik.”74 Yang
dimaksud dengan saling membutuhkan adalah bahwa
Modality tanpa Sodality akan kesulitan untuk
mengemban tugas bersaksi dan memenangkan dunia
bagi Kerajaan Allah, sementara itu Sodality tanpa
Modality akan sulit bekerja karena tidak adanya
support yang cukup baik secara financial maupun
tenaga pekerja misi itu sendiri untuk melakukan
tugasnya. Kebangunan rohani tidak hanya menjadikan
Modality membentuk Sodality, tetapi juga
menghidupinya dengan kuasa Roh Kudus sehingga
kualitas tugas yang diemban masing-masing institusi ini
lebih berhasil.
Bagi gereja local kebangunan rohani adalah
berkat tersendiri yang membawa gairah hidup dalam
bergereja yang dinyatakan dengan banyak hal.
Pertama selalu disertai dengan pertobatan dalam
jumlah yang cukup besar. “Kebangunan Rohani di
Wales (1904-5)-sebagai contoh, yang mirip dengan
kebangunan rohani dimana saja – pada waktu itu
Kebangunan Rohani terjadi diantara para pekerja
tambang yang berbahasa Wales, selama kebangunan
74 C. Peter Wagner. Leading Your Church to Growth,
(Ventura, California: Regal Books, 1984), 150.
44
rohani terjadi pertobatan 87.000 jiwa terbagi di dalam
empat gereja yang disiplin dengan kehidupan rohani di
seluruh negri.”75 Masih sehubungan dengan
kebangunan rohani di Wales, “saat kehadiran kuasa
Pantekosta dan kuasa Roh Kudus ditekankan, ibadah
berlangsung berjam-jam, spontan, sepertinya emosional
dan tidak teratur, dengan ‘nyanyi dalam roh’
menggunakan istilah-istilah Wales kuno, saat yang
bersamaan doa dinaikkan dengan suara keras,
pernyataan visi dan nubuat-nubuat, semua
menekankan kehadiran Tuhan secara langsung dalam
ibadah-ibadah. Pemimpin kebangunan rohani Evan
Roberts (1878-1951) mengajarkan pengalaman pribadi
dibaptis Roh Kudus mengawali terjadinya kebangunan
rohani.”76 Fenomena yang terjadi di Korea tidak jauh
berbeda dengan yang terjadi di Wales. “Khusus
dampak kebangunan rohani di Korea masih secara
karakteristik terjadi baik di gereja Pantekosta maupun
gereja protestan (non-Pantekosta) sampai hari ini: doa
pagi setiap hari, doa sepanjang malam, doa bersama
dengan suara yang keras dari masing-masing para
pendoa, belajar Alkitab yang intensif dan menekankan
kepada pemberitaan Injil dan misi.”77 Praktek iman
gereja lokal Korea yang positif adalah sebagian dari
warisan kebangunan rohani yang terjadi melalui proses
yang unik dan tipikal Korea. Donald McGavran dan
Peter Wagner menyaksikan:
75 Anderson, Spreading, 28. 76 Ibid. 77 Anderson, Spreading, 30.
45
“Ceritanya terjadi minggu pertama bulan januari 1907.
Semua merasakan bahwa Tuhan akan memberkati doa
mereka dalam minggu doa menyeluruh itu. Tetapi
sampai pada hari terakhir rangkaian doa itu tidak ada
tanda khusus adanya manifestasi kehadiran Tuhan.
Sekitar 1500 jemaat berkumpul pada minggu sore itu di
gereja central presbiterian. Namun langit di atas mereka
seperti tembaga. Tampaknya Tuhan akan menolak
permohonan mereka untuk terjadinya pencurahan kuasa
Tuhan. Sampai semunya dimulai dari tua-tua sidang yang
bernama Kil, pemimpin di gereja itu tiba-tiba berdiri dan
berkata dengan suara lantang: ‘Saya Akhan’ Tuhan tidak
dapat memberkati doa kita ini karena saya. Kira-kira satu
tahun yang lalu teman saya sakit parah, ia memanggil saya
ke rumahnya dan berkata: ‘pak penatua, saya akan segera
mati, tolong tangani bisnis saya; karena istriku tidak
sanggup. Lalu saya menjawab; tenangkan hatimu, saya
akan mengurusnya. Saya menangani pekerjaan ibu janda
itu, tetapi saya mencuri 100 $ untuk saya pakai sendiri.
Saya telah menjadi penghalang bagi Tuhan bekerja. Saya
akan mengembalikan uang itu kepada janda teman saya
besok pagi.’
Seketika itu juga, semua merasakan bahwa
penghalang spiritual itu telah gugur, dan Tuhan yang
Maha Kudus datang melawat. Suasana pengakuan dosa
melanda semua jemaat. Ibadah yang dimulai jam tujuh
malam itu belum juga selesai ketika jam sudah pukul dua
dini hari, karena selama ibadah itu belasan orang berdiri
sembari menangis, menunggu giliran untuk mengaku
dosanya dihadapan Tuhan. Hari demi hari orang terus
berkumpul, dan selalu ada pemurnian di bait Allah… dosa
menghalangi hadirat Tuhan jika tetap disimpan dan
46
disembunyikan, tetapi setelah dibuka di hadapan Tuhan,
kemuliaan Tuhan nyata; ”78
Kebangunan Rohani selalu membawa dampak positif
terhadap kehidupan bergereja. Kehidupan rohani yang
dinamis, pemurnian spiritual, semangat baru dalam
hidup kristen dan pekerjaan misi. Pantekosta adalah
identik dengan aktivitas kebangunan rohani yang
disertai dengan tanda-tanda ajaib, kesembuhan,
baptisan Roh Kudus dan aktivasi karunia-karunia
rohani. Kehidupan gereja yang dinamis dan aktif
adalah kehidupan religiusitas Pantekosta yang
sesungguhnya.
Kebangunan Rohani dan Pertumbuhan Gereja
Kerajaan Allah itu diberitakan oleh Yohanes
pembaptis, Yesus, Paulus dan rasul-rasul lainnya.
Kerajaan Allah ini terdiri dari present dan future.
Kepenuhannya adalah yang akan datang dimana tidak
akan ada lagi dosa, tidak ada lagi sakit, kerasukan
setan, air mata dan tekanan. Tetapi yang present saat
ini masih tercampur, karena kuasa kejahatan masih
aktif bekerja. Tanggungjawab bagi orang Kristen
adalah: membawa seseorang sebanyak mungkin
bergabung ke dalam Kerajaan Allah. Dengan melalui
Lahir baru (Yoh.1:12; Yoh.3:3; Rom.9:9-10). Mandat
ini bukan sebuah option bagi orang percaya. Jika
mandate ini yang sering disebut sebagai mandate
78 Donald A. McGavran rev. and ed. By C. Peter Wagner,
Understanding Church Growth (Grand Rapids, Michigan:
William B. Eerdmans Publishing Company, 1990) 136-137.
47
budaya dilaksanakan gereja Tuhan dengan setia dan
benar, maka Kerajaan Allah akan semakin dilebarkan
dan jumlah orang-orang yang menjadi percaya
bertambah jumlahnya maka inilah yang disebut
Pertumbuhan Gereja. Kebangunan rohani akan
mengubah kualitas gereja yang bertumbuh, karena
melawan kuasa dosa, sakit penyakit, kelemahan,
kelepasan bagi yang terikat, berkat bagi yang miskin
dan pembebasan bagi yang terpenjara sehingga kualitas
kehidupan terus bertambah di hadapan Tuhan.
Pantekosta dengan posisi theologi bahwa proses gereja
dimulai dengan lahir baru dan dilanjutkan dengan
penyucian hidup melalui pengalaman Bersama Roh
Kudus sejak menerima Baptisan Roh Kudus dan
mengaktifkan karunia-karunia Roh Kudus, akan
membentuk gereja berpotensi mengalami kebangunan
rohani.
Saya sangat setuju dengan McGavran dan Peter
Wagner yang berpendapt bahwa Pertumbuhan Gereja
tidak dapat dipisahkan dengan Kebangunan Rohani.
Karena segala system yang dibangun, strategi yang
diterapkan dan prinsip-prinsip yang dipakai dalam
pertumbuhan gereja tidak akan pernah berhasil tanpa
potensi rohani yang hidup. “Saat Tuhan
membangkitkan kebangunan rohani kepada umat-Nya
maka, biasanya yang terjadi adalah kehidupan yang
kudus bertambah-tambah, kuasa yang segar dialami,
48
dan Injil diberitakan dengan semangat yang besar.”79
Mereka menegaskan bahwa:
Kebangunan Rohani membuat gereja memiliki jemaat
yang berpotensi untuk tumbuh.
Kebangunan Rohani membawa terang baru bagi
kehidupan Kristen
Kebangunan Rohani membawa jemaat lebih terbuka
bagi Firman dan pemahamannya, serta doa yang lebih
bertekun.
Kebangunan Rohani membawa jemaat mengaku dosa
di hadapan Tuhan dan manusia serta menerima restitusi
dosa.
Kebangunan Rohani menyediakan Kuasa rohani kepada
jemaat untuk bersaksi dengan orang yang terhubung
dengan mereka.
Berita tentang Kebangunan Rohani mengaktifkan para
pemimpin Kristen lainnya untuk hal yang sama terjadi
di context pelayanannya.
Kebangunan Rohani akan membuat panen jiwa
berkesinambungan bagi gereja yang sedang bertumbuh
dan terbuka.
Kebangunan Rohani yang terjadi bersama-sama pada
gereja-gereja di sebuah kota, akan memberikan
79 Ibid.
49
pertumbuhan yang lebih signifikan bagi Kerajaan
Allah.80
“Kebangunan Rohani adalah sumber energi dari sebuah
mesin. Tanpa sumber energi tersebut sebuah mesin
akan tidak dapat bergerak. Namun dengan Sumber
tenaga itu dapat menggerakkan, piston, air, minyak,
jadwal perjalanan, pengendali jalannya mesin, dan
elemen yang lain, sehingga mesin itu dapat bergerak
kemanapun dengan cepat. Pertumbuhan Gereja yang
besar terjadi saat Kebangunan Rohani terjadi pada
kondisi yang tepat.”81 Elmer Town menambahkan:
“Langkah awal menjadikan gereja menembus rintangan
untuk bertumbuh adalah mengambil keuntungan dari
dinamisasi rohani yang terjadi pada setiap jemaat.”82
Kebangunan rohani dapat mengaktivasi semua potensi
dynamic spiritual yang dimiliki gereja. Berita sedihnya
adalah bahwa kebangunan rohani yang sesungguhnya
sebagai mana terjadi pada abad pertama di Yerusalem
maupun awal abad ke duapuluh di Los Angeles adalah
80 Ibid, 138-142. Theologi Peter Wagner tentang
Pertumbuhan gereja jelas: Tidak semua gereja punya potensi
bertumbuh; tidak semua gembala menghendaki gerjanya
bertumbuh, karena ingin melayani secara personal kepada
jemaatnya. Ada yang Karena area yang tidak memungkinkan
untuk bertumbuh, gereja di dalam camp militer, atau kota tempat
pelajar juga tidak mudah bertumbuh dalam jumlah. “Tetapi ada
banyak ribuan gembala yang gerejanya tidak bertumbuh, tetapi
memiliki potensi untuk bertumbuh. Penghalang-penghalang
pertumbuhan itu dapat diidentifikasi dan didisingkirkan.” 81 Ibid, 143. 82 Elmer Towns, et all, The Every Church Guide to Growth
(Nashville, Tennessee: Broadman & Holman Publishers, 1998), 5.
50
sebuah gerakan yang akan melawan status quo gereja.
“pada awalnya diperlukan untuk berenang melawan
arus tradisi agamawi.”83 Itulah sebabnya kebangunan
rohani akan mengubah masyarakat karena perubahan
status quo ini dengan memperkenalkan nilai-nilai
Kerajaan Allah. “Masyarakat akan mengalami
transformasi jika Kerajaan Allah bekerja aktif saat ini
dan disini.”84
Kebangunan Rohani Dan Hermeneutik Pantekosta
Gerakan Pantekosta berakar sangat dalam pada
Kebangunan Rohani di Amerika, yang telah
mendominasi kehidupan bergereja di Amerika selama
hampir dua ratus tahun.85 Setengah abad kemudian
setelah gerakan Pantekosta di Los Angeles terjadi,
Patekosta menjadi kekuatan kekristenan yang mulai
diperhitungkan. “Godaan” pernah datang saat
Pantekosta diterima sebagai bagian dari World Council
of Churches 1961. Sehingg dengan tanpa sadar
berusaha membangun theology dan menerangkan
fenomena pengalamannya sebagai gereja dengan
menjadi evangelical plus dan fundamentalist plus yang
berarti menggunakan methode kedua segmen
kekristenan tersebut sebagai alat hermeneutiknya.
83 C. Peter Wagner, Dominion. How Kingdom Action
Can Change the World (Grand Rapids, Michigan: Chosen Books,
2008), 98. 84 Ibid, 101. 85 Yongnan Jeon Ahn. Interpretation of Tongues and
Prophecy in 1 Corinthians 12-14 (Dorset, UK: Deo Publishing,
2013), 11.
51
“Dengan menggunakan pendekatan yang ketat prinsip-
prinsip tradisi hermeneutic evangelical atau
fundamentalis secara positif gerakan Pantekosta abad
ke duapuluh terkesan baik, tetapi tidak diperlukan:
penting tetapi tidak vital dalam kehidupan bergereja.
Justru efek negatifnya adalah mengakibatkan penolakan
total terhadap fenomena Pantekosta.”86 Situasi ini
membuat Pantekosta mulai kehilangan identitasnya.
Pantekosta adalah menggunakan akar yang sama
dengan gereja-gereja lainnya dalam hal otoritas Alkitab
sebagai Firman Tuhan dan juga menggunakan methode
exegesa yang tidak jauh berbeda. Tetapi keunikan
yang membedakan dengan Protestan lainnya dan juga
Katholik adalah bahwa dengan menekankan
‘pengalaman rohani’ yang terpisah dengan ‘pertobatan’.
Pantekosta focus pada transformasi kehidupan dalam
proses sanctification atau penyucian hidup melalui
baptisan dan kepenuhan Roh Kudus. “Karena itu
Krister Stendahl menamakannya ‘high-volt religion’
yang mengutamakan perlunya dinamisasi dan
pengalaman rohani yang penuh kuasa yang
menstimulasi pertumbuhan Kristen.”87 Sesungguhnya
Kebangunan rohani adalah manifestasi theologi
Pantekosta yaitu gereja melalui proses regenerasi yang
dilanjutkan dengan penyucian hidup sebagai prasyarat
untuk dibaptis dengan Roh kudus dan mempraktekkan
karunia-karunia Roh Kudus yang secara aktif bekerja
dalam kehidupan sehari-hari dan ibadah.
86 McLean, Mark D. “Toward a Pentecostal
Hermeneutic” Pneuma 6, no. 2 (1984), 37. 87 Ahn, Interpretation of Tongues,9.
52
Perbedaan selanjutnya yang menonjol adalah
seperti yang dikatakan oleh Archer: “narrative yang
berbeda-khususnya ketidaksamaan dalam sejarah
Kristen. Gerakan Pantekosta adalah kelangsungan dari
gerakan Holiness praxis yang berkonfrontasi dengan
cessationist fundamentalism dan experiential liberalism
sehingga menciptakan context yang subur cerita
autentik Pantekosta dapat muncul.”88 “Hermeneutik
Pantekosta pada tahap dasar intepretif adalah
keunikannya dalam cerita. … story itu telah
membentuk hermeneut-in-community dan pada
gilirannya dapat menghasilkan arti theologi.”89 Apa
yang dilakukan masyarakat Pantekosta adalah
pengulangan yang biasa dilakukan orang Yahudi pada
umumnya sejak jaman terbentuknya bangsa itu di
jaman Musa. Mereka menekankan story yang diajarkan
mulai dari masa kanak-kanak dan diberi arti untuk
menjalani kehidupan. Sebagaimana Cox menyatakan:
“Itulah sebabnya salah satu perintah yang utama jaman
itu – dan masih dilaksanakan – adalah menceritakan
story itu berluang-ulang. … tetapi perlu di revisi dan
diperbaharui dari waktu ke waktu. Karena jaman
berubah. … Bangsa Israel perlu mendengar cerita-cerita
lama dengan penuturan yang baru, untuk menjawab
tantangan jaman yang membingungkan yang sedang
88 Kenneth J. Archer, The Gospel Revisited. Toward a
Pentecostal Theology of Worship and Witness. (Eugene, OR:
Pickwick Publications, 2011),20. 89 Ibid.
53
mereka jalani dan mereka alami.”90 Story adalah tetap
menjadi pillar penting hermeneutic Pantekosta untuk
menemukan arti Firman bagi kehidupan.
Cerita dan pengalaman adalah bagian elemen
utama bagi Pantekosta dalam membangun eksegesa
Alkitab untuk menemukan arti theologi maupun
penerapannya. Paling tidak ada empat elemen utama
dalam Hermeneutik Pantekosta yaitu: “Narrative,
tradisi, nilai-nilai kebaikan, dan pengalaman.”91 Dari
empat elemen hermeneutik ini jelas pengalaman
menjadi salah satu bagian utama dalam membangun
hermeneutik Pantekosta Bersama dengan cerita, tradisi
dan arti nilai-nilai. William McDonald meyakinkan
kita bahwa “Cara Pantekosta klasik memberi
interpretasi kepada Firman adalah berdasarkan
kesaksian.”92 Scott A. Ellington menambahkan
“Pantekostalism secara explisit adalah bentuk
pengalaman biblical yang secara terus-menerus
terulang kembali saat mereka menerima pengalaman
Bersama Roh Kudus.”93 Dengan perkataan lain
“Kekuatan hermeneutik Pantekosta adalah bersumber
pada pengalaman aktivitas Tuhan sendiri yang sedang
dialami dalam kehidupan sekarang.”94 Disamping
dalam kehidupan spiritualitas sehari-hari, terlihat juga
90 Harvey Cox, When Jesus Came to Harvard (Boston,
New York: A Mariner Book Houghton Mifflin Company, 2004),
120. 91 Ibid, 22. 92 Ahn. Interpretation of Tongues, 34. 93 Ibid. 94 Ibid.
54
dalam expresi beribadah kepada Tuhan, Pantekosta
tidak terlepas dari pengalaman Bersama Roh kudus.
“pengalaman dalam komunitas yang menyembah
menyajikan sebuah hermeneutik yang tepat dalam
memahami kata-kata dalam firman.”95
Kebangunan rohani yang adalah pengalaman
utama Pantekosta menjadi begitu penting untuk tetap
exist bagi kestabilan hermeneutik Pantekosta untuk
tetap solid. Pengalaman kebangunan rohani dalam
gereja adalah pengalaman yang dimulai dari Penyucian
Hidup setelah Lahir Baru yang dilanjutkan dengan
Baptisan Roh Kudus, dipenuhi dan diperlengkapi oleh
Roh yang sama. Kehidupan yang diperlengkapi adalah
tidak terpisahkan dengan manifestasi karunia-karunia
Roh Kudus dalam praktek hidup Kristen. Sehingga,
cara hidup Kristen yang diurapi dan mempraktekkan
karunia-karunia Roh kudus ini menjadi dominan dalam
praktek hidup Kristen yang mempengaruhi seseorang
dalam membaca Alkitab. Tanpa pengalaman dengan
Tuhan dalam kehidupan sehari-hari dan ibadah,
Pantekosta akan memahani Firman dengan
hermeneutik yang menyimpang. Kehidupan
kebangunan rohani dalam gereja adalah manifestasi
pengalaman dengan Tuhan dan Roh Kudus. Jika kita
meninggalkannya, kita telah kehilangan salah satu pilar
hemeneutik Pantekosta kita. Karena pengalaman ini
termasuk di dalamnya baptisan Roh kudus,
kesembuhan, mengusir setan, mengaktifkan karunia-
karunia Roh kudus dan pelayanan kuasa lainnya, yang
95 Ibid, 35.
55
membangkitkan kebangunan rohani dalam gereja. Jika
pengalaman ini sudah tidak kita alami, maka eksegesa
kitapun akan semakin melenceng dari arti Alkitabiah
yang murni. Eksegesa yang dingin, kaku, tidak ada
kehidupan menjadikan gereja menuju kepada hal yang
sama.
Pantekosta Manifesto Kerajaan Allah
Pantekosta adalah gereja yang unik dalam
Tubuh Kristus. Secara theologis kita established
sebagai gereja Injil Sepenuh atau full gospel church
dengan ciri khusus memproklamasikan Yesus sebagai
Juru Selamat, Sanctifier, Pembaptis dengan Roh Kudus,
Penyembuh dan Raja Yang Akan Datang. Meskipun
tidak pernah secara sempurna semua tercakupi, tetapi
Pantekosta terus bergerak maju menuju manifestasi
Kerajaan Allah di bumi. Pantekosta adalah Gereja
Tuhan yang pertama. Namun bergulirnya sejarah telah
menentukan bahwa kehidupan gereja Pantekosta
ditemukan kembali pada awal abad ke duapuluh.
“Dari awal terjadinya kebangunan rohani di seluruh
dunia kita melihat manifestasi gerakan Kuasa Roh
Kudus menandai titik balik sejarah kehidupan gereja.
… Pantekosta dilahirkan kembali, terulang lagi dan
ditemukan kembali.”96 Gereja dibangun untuk
menyatakan Kerajaan Allah. Ditemukannya kembali
gereja dengan kegerakan Pantekosta, maka
pengharapan Kerajaan Allah semakin nyata. “Sebab
96 Wolfgang Vondey, Pentecostal Theology. Living The
Full Gospel (London, UK: T&T Clark, 2017), 225.
56
Kerajaan Allah bukanlah soal makan dan minum tetapi
kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh
Kudus.” (Roma 14:17). “Pantekosta dan Kerajaan Allah
adalah komplimentari akhir dari gereja sebagai gerakan
dalam sejarah menuju kepada kepenuhan keselamatan.
… sejak hari Pantekosta diikuti kenaikan Kristus sampai
Ia datang kembali adalah terbangunnya jembatan
sejarah gereja.”97 Sebagai gereja yang salah satu pilar
hermeneutiknya melibatkan sejarah maka, “Pantekosta
tidak membedakan antara gereja yang kelihatan dan
yang tidak kelihatan karena dapat dengan salah
membedakan antara spiritualitas dan historis gereja.”98
Dari pengalaman inilah kita dapat memahami
perkembangan “Perjalanan gereja melintasi sejarah
sebagai kegerakan apokaliptik dalam ekspresi dinamis
yang berkesinambungan mulai dari pengalaman
Pantekosta menjangkau dunia dan menuju kepenuhan
Kerajaan Allah.”99
Pendapat Vondey jelas, bahwa gereja yang
mulai dingin, formalitas, orthodox dan statis bukanlah
gereja yang diharapkan meng-expresikan Kerajaan
Allah dan kepenuhan-Nya. Alarm bagi kita semua
sebab tanda-tanda ini sudah mulai dialami oleh gereja-
gereja yang memiliki nama Pantekosta tetapi sudah
tidak mengalami kebangunan rohani di dalam hidup
bergereja. Sebab Kerajaan Allah adalah dinamis, selalu
bergerak, tidak terduga dan hangat dengan hadirat
97 Ibid, 249. 98 Ibid, 250. 99 Ibid, 251.
57
Tuhan. (Yoh.3:8; Wahyu 3:16). Kebangunan Rohani
adalah kehidupan bagi gereja Tuhan. Gereja yang
meninggalkan dan tidak mengalami kebangunan rohani
adalah bukan gereja yang menuju penyempurnaan
Kerajaan Allah. Mengupayakan kebangunan rohani
trjadi dengan kuasa Tuhan yang bekerja aktif dan besar
adalah jawaban bagi gereja Pantekosta masa kini.
Karena kebangunan rohani memerlukan bayaran
yang mahal; doa dan puasa yang berkesinambungan,
kehidupan kudus yang terus ditingkatkan, kesatuan hati
dan keterbukaan hidup di hadapan Tuhan dan
manusia. Ketika hal-hal itu tidak dapat dicapai dalam
realitas bergereja, maka gereja mulai mencari solusi
yang seolah-olah menciptakan kebangunan rohani.
Diadakan perkumpulan masa yang besar, music
dengan kualitas super canggih dan super modern,
fasilitas yang semakin dipernyaman dalam beribadah,
kemakmuran yang terus menjadi tujuan utama
kehidupan, untuk menggantikan ‘roh’ kebangunan
rohani yang sudah menjauh dari kehidupan bergereja,
beribadah dan kehidupan sehari-hari.
Situasi ini tidak hanya menjauhkan umat Tuhan
dari menikmati Tuhan, tetapi semakin meleset dalam
memahami Firman Tuhan, karena exsegesa Firman
yang dilakukannya, sudah tidak lagi dalam pengalaman
bersama Tuhan yang sudah tergantikan dengan
formalitas dan bangunan system yang mapan. Baptisan
Roh Kudus dan Bahasa Roh sudah hanya sekedar
fenomena, supaya masih terlihat ada Tuhan di tengah-
tengah ibadah. Untuk menciptakan kebangunan rohani
58
yang palsu. Ibadah-ibadah yang dinamakan
Kebangunan Rohani dipersiapkan oleh panitia, dengan
perhitungan biaya yang luar biasa, seting panggung
yang menawan, pengumpulan masa yang hiruk-pikuk,
namun tidak dipersiapkan dengan pengorbanan diri,
pemahaman Firman yang dalam, serta support doa
siang dan malam, hasilnya adalah perkumpulan dengan
sejumlah besar massa, namun tidak terjadi Kebangunan
Rohani seperti yang kita harapkan dan tidak masuk
dalam standard Tuhan. Karena hasil dari semua
aktivitas itu adalah hidup yang tidak berubah, gereja
kembali kepada ‘business as usual’, perpecahan,
kecurigaan, iri hati dan hidup berdosa terus masih tetap
berkuasa dalam kehidupan pribadi dan gereja dalam
komunitas. Namun menemukan kembali gambaran
jelas Kerajaan Allah adalah membangkitkan
kebangunan rohani yang berdampak nyata bagi
kehidupan, komunitas dan dunia.
Kesimpulan
Kebangunan rohani bukanlah sebuah event bagi
Gereja Pantekosta, tetapi adalah sebuah kehidupan
yang dipergumulkan setiap saat sehingga intensitasnya
semakin besar. Karena Tuhan bekerja melalui Kuasa
Roh Kudus dengan kapasitas yang terus semakin besar
bagi gereja yang sejati. Kebangunan rohani adalah
sebuah kebahagiaan, sukacita dan semangat kehidupan
Kristen dalam kekudusan yang adalah refleksi Kerajaan
Allah itu sendiri. Kehidupan gereja tanpa kebangunan
rohani adalah sedang mengalami demolisasi rohani.
Sebagaimana Wagner berkata “Karena gereja adalah
59
organism bukan organisasi. Sesuatu yang hidup! jika
gereja tidak bertumbuh, berarti dying.”100 Namun
kebangunan rohani yang dihidupi gereja akan menjadi
solusi akhir dari gereja Tuhan akhir jaman. Berita
baiknya adalah bahwa “kuasa supernatural tidak hanya
rutin terjadi pada gereja-gereja apostolic tetapi akan
terus meningkat kapasitasnya tersebar dalam gereja.
Tanda-tanda heran dan mujizat bukan lagi milik
superstar atau penginjil kesembuhan; tetapi akan
menjadi pengalaman yang dikerjalan oleh semua orang
kudus.”101 Jika implementasi hermeneutik Pantekosta
ini terjadi dalam gereja masa kini, jelas kebangunan
rohani dengan kapasitas yang lebih besar sedang akan
terjadi.
Daftar Pustaka
Anderson, Allan. Spreading Fires Maryknoll, New
York: Orbis Books, 2007.
Archer, Kenneth J. The Gospel Revisited. Toward a
Pentecostal Theology of Worship and Witness.
Eugene, OR: Pickwick Publications, 2011.
Cox. Harvey. When Jesus Came to Harvard Boston, New
York: A Mariner Book Houghton Mifflin Company,
2004.
100 Towns, et all., The Every Church Guide, 27. 101 Wagner, Dominion, 112.
60
Jeon, Yongnan Ahn. Interpretation of Tongues and
Prophecy in 1 Corinthians 12-14 Dorset, UK:
Deo Publishing, 2013.
D., McLean, Mark. “Toward a Pentecostal
Hermeneutic” Pneuma 6, no. 2, 1984.
McGavran, Donald A. and ed. By C. Peter Wagner.
Understanding Church Growth Grand Rapids,
Michigan: William B. Eerdmans Publishing
Company, 1990.
Robeck, Jr., Cecil M. The Azusa Street Mission and
Revival Nashville, TN: Nelson Reference &
Electronic, 2006.
Towns, Elmer and friends. The Every Church Guide to
Growth Nashville, Tennessee: Broadman &
Holman Publishers, 1998.
Wagner, C. Peter. Dominion. How Kingdom Action
Can Change the World Grand Rapids, Michigan:
Chosen Books, 2008.
Wagner, C. Peter. Leading Your Church to Growth
(Ventura, California: Regal Books, 1984
Vondey, Wolfgang. Pentecostal Theology. Living The
Full Gospel London, UK: T&T Clark, 2017.
61
RAHIM KONSEPTUAL GERAKAN KHARISMATIK:
KEMUNGKINAN & TANTANGANNYA
OLEH: RHESA N. SIGARLAKI
Abstract: tulisan ini merupakan upaya untuk
memetakan konteks budaya pragmatisme Amerika,
khususnya di dalam tradisi romatisme-liberal yang
menjadi ‘rahim’ bagi lahirnya Gerakan Kharismatik.
Tulisan ini juga memaparkan sisi multi dimensi dari
Gerakan Kharismatik (konseptual, kelembagaan,
kepemimpinan dan kejemaatan) sebagai implikasi fusi
dari superanturalisme dan pragmatisme serta tantangan
yang harus dihadapi Kekristenan (termasuk Gerakan
Kharismatik) dalam pasca sekularisme. Tulisan ini
berguna bagi kancah teologis-filosofis dalam melihat
keberagaman varietas di dalam kekristenan.
Key Words: Gerakan, Kharismatik, Pragmatisme,
tradisi, supernaturalisme
Pendahuluan: Profil Yang Ilahi
aya selalu menyimpan satu keheranan dan
kuriositas atas gerakan, atau lebih tepatnya
fenomena karismatik, khususnya bagaimana kaum
kharismatik membayangkan dan menggambarkan
Tuhan. Semua gambaran, hipotesis ataupun working
assumption tentang Tuhan pada gilirannya akan
mempengaruhi pola perilaku dan sikap penganutnya
secara ekstensif. Apa sebenarnya penggambaran khas
gerakan kharismatik [selanjutnya: “GK”] perihal Tuhan?
S
62
Hemat saya gambaran Tuhan dalam GK hadir
dalam dua dimensi: 1] Allah digambarkan sebagai
pribadi yang bukan manusia. Ia adalah the wholly other
yang maha kudus, bijaksana, dan maha kuasa, olehnya
mampu melakukan segala sesuatu. 2] Allah
digambarkan sebagai being yang “maha membawa
benefit”, khususnya bagi umatNya yang percaya dan
setia kepadaNya. Perihal “benefit” disini, GK memiliki
keyakinan yang cukup unik. Sementara gereja-gereja
mainstream memaknai welas asih Tuhan bagi umatNya
dalam terma-terma umum seperti providensi ilahi dan
gift of life, jangkauan benefit Ilahi bagi GK sendiri “ter-
radikalisasi” sampai ke dimensi yang sangat rinci,
konkret dan materiil, misalnya Allah akan memberikan
umatnya parking spot ketika mereka berdoa
memintanya sembari memasuki kawasan pusat
perbelanjaan.
Lazimnya wholly other yang ilahi digambarkan
oleh tradisi sebagai sosok yang terpencil dari urusan
sehari-hari dunia, bahkan Ia bisa saja bukan merupakan
pribadi, melainkan daya yang menjamin keteraturan
mekanisme kosmos, sebagaimana pandangan Spinoza
dan Einstein. Maka dalam formasi konseptual semacam
apa figur semacam ini lantas dapat menjadi being yang
maha membawa benefit dalam regularitas kehidupan
harian?. Teologi tradisional kerap digambarkan
mengandung tegangan transendensi dan imanensi,
adalah menarik untuk ditelusuri, kalau-kalau identitas
ganda Tuhan dalam penggambaran GK diatas juga
bermuara pada suatu tegangan sejenis atau justru
tidak?.
63
Maka bagi saya adalah penting untuk memiliki
pemahaman perihal penggambaran tersebut, karena
melaluinya bukan kita dapat memahami identitas GK
namun barangkali juga melaluinya kita dapat meraba
orientasi dan arah transformasinya ke masa depan.
Guna memahami penggambaran partikular atas Tuhan
tersebut beserta implikasi kekininannya, kita harus
menggali akar-akar historis filosofis dan kultural yang
melahirkannya.
Enigma Identitas Gerakan Kharismatik
Sebagaimana kita ketahui bahwa akar dari gerakan
Pentekosta yang menjadi cikal bakal GK, adalah
evangelikalisme, namun dalam perjalanannya gerakan
Pentekosta merambah jalur-jalur yang mandiri, walau
mereka tetap “bersenyawa”. MacCulloch mencatat
bahwa pada 1943, Assemblies of God di Amerika
bergabung dengan satu organisasi evangelikal
konservatif baru, yakni National Associations of
Evangelicals, yang salah satu tujuan utamanya adalah
melawan pengaruh protestanisme liberal dan gerakan
ekumenikal [MacCulloch. 2009:961].
Namun jika gerakan pentekosta dan kemudian GK
dikatakan dapat dibedakan dari gerakan injili
mainstream, apa yang membedakannya? Sesungguhnya
tak mudah menjawab pertanyaan ini, MacCulloch
sendiri mengaku “Indeed, it is difficult for outsiders to
keep track of movements which have generated a
bewildering array of names, acronyms and slogans. All
were intended to express their multiform identities and
64
zestful efforts to capture experieces life-transforming
but, by their very nature, often difficult to put into
words..” [MacCulloch, ibid. 959].
GK dalam banyak hal seperti gerakan tanpa
identitas yang jelas, mereka hadir secara masif,
sekaligus incognito. Jika Azusa Street dianggap secara
tradisional sebagai titik awal gerakan ini, maka baru
pada akhir 1950-an, masyarakat Amerika menjadi sadar
akan eksistensinya. [MacCulloch,loc it]. Sesuatu yang
barangkali tetap mengherankan banyak orang adalah
bahwa tampaknya sampai saat ini identitas GK, dengan
ragam gerejanya yang tersebar di seluruh dunia, tetap
merupakan sesuatu yang licin untuk dapat ditangkap
lalu di-klasifikasi secara rapi dan purna.
Paper ini merupakan upaya saya untuk
memetakan isi dari “rahim budaya” yang melahirkan
GK, yang pada gilirannya melahirkan gambaran
partikular-khas perihal Tuhan sebagaimana disinggung
diatas.
Pragmatisme: Enam Karakteristik Fundamental
Hemat saya GK dapat dan musti dihami dari
budaya yang melingkupi kemunculannya, dan bagi
saya ekosistem kultural yang melingkupi hal itu adalah
pragmatisme Amerika. Mengapa demikian? Saya hanya
mengetengahkan dua sebab singkat yang
membutuhkan eksplorasi lebih lanjut, yakni:
1] Waktu
65
Pragmatisme adalah filsafat yang bahkan kerap
disebut sebagai nilai Amerika itu sendiri, West
mengatakan bahwa ia dimulai dari pikiran Emerson
[1803-1882], sedang Riley menyatakan pragmatisme
primitif dimulai dari pikiran Charles Pierce pada 1878
[Riley. 1959:281]. Gerakan kharismatik sendiri sering
dikatakan bermula di Topeka, Kansas pada 1 Januari
1909 tatkala Agnes Ozman berbahasa roh di dalam
sebuah ibadah gereja yang dipimpin Charles Parham.
West berkata bahwa pada masa John Dewey [1859-
1952], pragmatisme Amerika mencapai tahap
kematangannya [West. 1989:6]. Maka dapat dikatakan
bahwa GK bermula pada tahap dimana pragmatisme
mengalami evolusinya. Pragmatisme adalah ekosistem
kultural dari kelahiran GK di Amerika.
2] Ajaran
Penekanan kepada kesuksesan dan kemakmuran,
seperti yang ditunjukkan Full Gospel Business Men’s
Fellowship International membuat MacCulloch berkata
bahwa pantekostalisme kharismatik merupakan bentuk
[lain] dari mimpi Amerika [MacCulloch. Ibid. 961]
Pragmatisme sendiri menurut Riley terbagi dalam
3 percabangan: 1] Logis. Yakni yang berisi metode cara
berpikir jernih sebagaimana diajarkan Charles Peirce,
2] Instrumental. Yang berisi seperangkat alat untuk
tindakan sebagaimana digagas John Dewey & 3]
Temperamental. Yakni suatu cara meraih kepuasan
pribadi sebagaimana diajar William James. [Riley. Ibid
:280]. Dan di masa modern kita meihat 4] Neo-
66
pragmatisme diskursif dari Richard Rorty dan 5]
Pragmatisme profetik dari Cornel West.
Sementara sejarah gerakan ini berada di luar
cakupan dan fokus paper ini, ada baiknya sejenak kita
tinjau kembali secara singkat enam karakteristik
fundamental pemikiran ini.
1] Praktikalitas
Pragmatisme bukanlah suatu aliran filsafat,
melainkan sejenis metode sistem pengecekan perihal
apakah suatu ide atau aktifitas itu berdaya guna, dalam
hal ini membuahkan hasil yang diinginkan. Riley
mengistilahkannya sebagai “a business philosophy
which demands results...whise prime criterion is
success” [Riley. ibid:279]
2] Individualisme
Pragmatisme menekankan kemandirian individual
sebagai lawan kepasrahan diri, oleh karenanya sikap
individual yang agresif mendapat pujian. [Riley, loc
cit]. Berkenaan dengan hal ini pragmatisme memuji
sikap-sikap yang berani mengambil resiko, karena
dalam situasi semacam ini, individualisme akan
menguat, bahkan menjadi heroik. Pragmatisme
memandang dunia, alih-alih “sudah terberi/ter-
kodratkan”, melainkan sebagai “yang sedang dijadikan”
oleh sang individu, [Riley, ibid. 282]. Di awal
kemerdekaan Amerika, pengalaman pribadi akan
keselamatan menjadi syarat mutlak keanggotaan gereja
67
[Bellah et al. 1986:233]. Thomas Jefferson berkata “I
am a sect myself”, sementara Thomas Paine berkata
“My mind is my church” [Bellah et al. Loc cit].
Cornel West pun mengawali paparannya perihal
pragmatisme dari Ralph Waldo Emerson, sang pemikir
Amerika yang mengedepankan gagasan individu
sebagai “the oversoul”, yang mengilhami gagasan
ubermensch dari Nietszche. Di masa modern, Richard
Rorty pernah menulis bait-bait pemujaan terhadap
individualisme yang menggemakan lirik Emerson, ia
berkata “the poet, in the general sense of the maker of
new words, the shaper of new languages, as the
vanguard of the species” [dalam West, ibid:204]. Juga
“What is really distinctive about us is that we can rise
above question of truth or falisty. We are the poetic
species, the one which can change itself...” [West, ibid.
269]
3] Non-Referensialisme
Pragmatisme menekankan bahwa kita
menghadapi dunia ini tanpa referensi apapun, baik itu
tradisi, dogma ataupun kebiasaan semua tidak berarti
dibandingkan dengan penemuan apa yang bermanfaat
dan berguna bagi diriku?. Itu sebabnya pragmatisme
adalah gerakan anti esensialisme. Maknanya bagi
kaum pragmatis kebenaran tidak memiliki sejenis
esensi tertentu, sesuatu yang “lebih dalam”. ia adalah,
dalam bahasa James “what is good in the way of
belief”. Rorty berkata bahwa kebenaran bukanlah
68
korespondensi dengan realita, ia adalah praktek yang
dianggap baik bagi penuturnya [Rorty, 1982: 162-163].
4] Empirisme Anti-Dualis
Pragmatisme tak mengenal pemilahan antara apa
yang ada [das sein] dan apa yang mustinya ada [das
sollen], antara fakta dan nilai, bahkan antara moralitas
dan science. Pragmatisme mencela proyek Plato untuk
mencari esensi dari kebaikan, atau Kant dalam mencari
prosedur tertentu bagi suatu tindakan moral yang
otentik. Bagi kaum pragmatis, mencari dasar dari
pertanyaaan “mengapa aku percaya sesuatu?” atau
“mengapa aku mengganggap sesuatu benar” diluar hal-
hal sehari-hari yang bersifat konkret, adalah sesuatu
yang tidak perlu. [Rorty, 1982:163-164].
Olehnya pragmatisme menekankan kejadian
kekinian. Riley berkata “according to pragmatism, truth
happens to an idea; it becomes true, it made true by
events. In fine, pragmatism as radical empiricism means
simply truth as you go along” [Riley, ibid. 330]
5] Fleksibilitas-Sinkretik
Bagi James semua yang baik itu berada di tengah,
dibawah ini ia memetakan dua jenis pikiran [West.
Ibid. 57]
69
The Tender-Minded The Tough-Minded
Rationalistic [going by
“principles”]
Empiricist [going by
“facts”]
Intellectualistic Sensationalistic
Idealistic Materialistic
Optimistic Pessimistic
Religious Irreligious
Free-Willist Fatalistic
Monistic Pluralistic
Dogmatical Sceptical
James hendak menghapus pemilahan ketat antara
keduanya, baginya pragmatisme adalah kombinasi
yang terbaik dari kedua jenis pikiran diatas, karena
moderasi, alih-alih ekstremisme adalah apa yang ia
unggulkan. Menurut James fungsi pragmatisme adalah
“a happy harmonizer...she has in fact no prejudices
whatever, no obstructive dogmas, no rigid canons of
what shall count as proof...she will entertain any
hypothesis, she will consider any evidence” [West loc
cit]
6] Komunitarianisme
Kaum pragmatis tidak percaya bahwa kebenaran
itu adalah sesuatu yang ditentukan oleh “hakekatnya”,
mekanisme pikiran kita ataupun kategori bahasa kita,
namun ia dibentuk oleh paradigma komunitas
70
pencarinya. Bagi Rorty satu-satunya sumber kebenaran
adalah berasal dari pembicaraan dengan sesama
manusia. Filsafat baginya mengambil langkah keluar
dari manusia. Plato mencarinya dalam ide-ide, orang
Kristen dalam “suara Tuhan”, Descartes dalam
pengosongan pikiran dan menanti apa yang tetap
tampak dan Kant dalam kategori apriori. Pragmatisme
menekankan prioritas pada masyarakat kita, tradisi
politik kita & warisan intelektual kita. [Rorty, 1982:165-
166]
Pragmatisme tentunya tak muncul dari ruang
hampa, ia merupakan “anak jamannya”, hal mana
berarti ia membawa DNA dari “rahim” yang
melahirkannya?, apa rahim tersebut?
Latar Belakang Filosofis Pragmatisme Amerika
Filsafat agama Amerika dalam banyak hal
merupakan kontinuitas, sekaligus modifikasi, dari
filsafat agama Eropa Kontinental. Wieman & Meland
mencatat terdapat 4 tradisi besar filsafat agama Eropa
yang lalu masuk ke daratan Amerika, yakni:
1] Tradisi Supernaturalisme
Tradisi ini berbentuk suatu cara pandang dunia
yang bersifat absolut, statis dan dirawat oleh
kelembagaan agama yang bersifat hirarkial, birokratis
dan otoriter. Pandangan dunia ini diandaikan bersifat
71
supra-human, karena sumber pengetahuannya berasal
dari wahyu. Maka peran akal disini disambut tatkala ia
merupakan bentuk turunan dari wahyu tersebut, namun
akal tak disambut jika ia digunakan untuk mencari
premis-premis baru. [Wieman & Meland. 1936:36]. Di
Amerika, tokoh-tokoh pandangan ini antara lain
Gresham Machen, Paul Tillich, Niebuhr bersaudara dll.
2] Tradisi Naturalisme
Tradisi ini mengedepankan ilmu pasti dan
observasi empiris guna korespondensi dengan realitas
sebagai metodologi dan kriterium kebenaran. Ajaran
yang awalnya absen dari unsur supernatural ini lantas
menjadi suatu paham yang direngkuh kaum deis, guna
menjembatani atesime dan theisme. Lantas tatkala ia
berubah menjadi sebuah teologi, coraknya adalah
penjembatanan ilmu pasti dan iman, misalnya dalam
kontroversi perihal evolusi. [Weiman & Meland. Ibid.
47-48]. Kolakowski bahkan mengatakan bahwa yang
disebut teologi natural itu tak berbeda dengan filsafat
agama [Kolakowski: 1982:13], yakni suatu ikhtiar untuk
menjelaskan pertanyaan-pertanyaan teologis dengan
bantuan nalar belaka, minus wahyu.
3] Tradisi Idealisme
Tradisi ini berupaya untuk menjaga ideal-ideal
filsafat klasik sembari menjembatani supernaturalisme
72
abad pertengahan dengan ilmu alam modern. Tradisi
ini walau menghargai masukan ilmu alam, namun
mereka sadar keseluruhan segala sesuatu tak dapat
hanya dilihat dari ilmu alam. Olehnya mereka
mengedepankan logika spekulatif. Dapat dikatakan
tradisi ini adalah semacam filsafat yang melayani
supernaturalisme. Di Amerika tokoh-tokohnya antara
lain Josiah Royce, William Hocking, Rufus Jones &
Charles A. Bennett. [Wieman & Meland. 1936:37-41].
4] Tradisi Romantisme-Liberal
Tradisi ini muncul sebagai bentuk koreksi atas
penekanan berlebih atas akal dalam beragama, alih-
alih logika, ia menekankan perasaan [seperti
Schleichermacher] dan pengalaman [seperti dalam
tulisan Albrecht Ritschl]. Coleridge mengingatkan
keterbatasan bahasa untuk mengungkapkan
pengalaman agama, Horace Bushnell menekankan
pentingnya pendekatan intuitif dalam beragama dan
William Clarke mengedepankan semangat pemahaman
simpatik dan semangat inklusif untuk merengkuh
kebenaran agama lain [Wieman & Meland. Ibid. 41-
44]. Tradisi romantis menjadi cikal bakal teologi liberal
karena alih-alih dogma, ia menekankan imajinasi dan
kreatifitas.
Romantisme memuja estetika, bukannya
sistematika. Bagi Wieman & Meland [ibid. 46], ada 2
73
percabangan romantisme: a] Tradisional. Yakni estetika
yang terpatri pada satu nilai tertentu & b] Progresif.
Yakni estetika yang menyambut realitas dan
kemungkinan baru.
Gerakan Kharismatik Sebagai Supernaturalisme
Pragmatis
Pertanyaan yang sekarang muncul adalah, dimana
kira-kira pengaruh 4 tradisi besar ini atas GK, pertama
tampaknya agak mudah untuk menilai bahwa tradisi
natural pasti bukan salah satunya, karena tradisi ini di-
identifikasikan bersifat empiris melulu, ia menolak
segala varian supranaturalisme. Pun juga tampaknya
dengan tradisi idealisme, karena GK tidak pernah
nampak memiliki misi untuk menjembatani filsafat
akademik dengan iman, GK dalam level gereja, bahkan
bisa dikatakan nyaris tanpa corak dan isi filsafat, orang
Russia menyebut hal ini sebagai bezideinye, yang
artinya “tanpa gagasan”.
Hemat saya GK secara alamiah muncul dari
gerakan romantis, hal ini karena beberapa ciri gerakan
romantis berikut ini:
1] Proksimitas dengan Teologi Kristen
Romantisme adalah aliran sastra dan budaya yang
walaupun bercorak semi-pagan, namun ia mengambil
banyak inspirasi dari kisah Alkitab ataupun doktin
74
Kristen. Eksponen romantisisme seperti William
Wordsworth, William Blake, Henry Crabb Robinson
dan John Milton mengakui betapa mereka terpengaruh
oleh semua itu [Abrams, 1973:32]. Abrams berkata
bahwa “...romantic philosophy and literature are a
displaced and reconstituted theology, or else a
secularized form of devotional experience” [Abrams,
ibid. 65]
2] Penekanan pada Inspirasi Personal
Lantaran lebih mengutamakan emosi,
temperamen dan pengalaman, ketimbang rasionalisme,
aliran romantisme mengagungkan momen-momen
inspiratif dalam penciptaan suatu karya, Wordsworth
mengistilahkan momen itu sebagai “prophetic spirit”,
dimana dalam momen itu sang artis menjadi “transitory
being” yang menerima “visi” [Abrams, ibid. 23 & 28].
Oleh karena itu aliran ini menekankan kreatifitas
personal, hal mana misalnya nampak dalam karya
worship John Newman di gereja Katolik [Wieman &
Meland. Ibid. 46].
3] Kaitan Konseptual dengan Pragmatisme
Romantisme mistik di Amerika menurut Wieman
& Meland digawangi oleh para Boston Brahmin, yakni
Emerson & Thoreau [Wieman & Meland. Ibid. 47].
75
Emerson seperti ditulis diatas, dalam kacamata West
adalah forerunner dari pragmatisme Amerika.
Penghadiran The Wholly Other dalam Imajinasi
Kharismatik
Jika romantisme itu memiliki tendensi liberal,
sedangkan pragmatisme terarah kepada empirisme dan
materialisme, maka darimana gambaran Allah sebagai
the wholly other dalam imajinasi kharismatik itu?. Bagi
saya ada 3 praktek GK dalam pokok ini:
1] Datumisasi Kesan
Berbicara mengenai “Yang Kudus”, salah satu
paparan atasnya yang telah menjadi klasik adalah buku
The Idea of the Holy [1917] karya Rudolf Otto. Disana
Otto menyebut Allah sebagai “the wholly other”
[Gooch: 2000:2]. Dengan istilah itu, Otto
mempertahankan transendensi ilahi, yakni bahwa sifat
mysterium dari numen [yang ilahi] adalah suatu misteri
tak tertembus apapun. Namun demikian misteri ini
dapat dirasakan dan hal itu terbit dalam kesadaran
manusia [Gooch, ibid. 113]. Baginya numen adalah
sesuatu yang dialami [erlebt] secara langsung disini
[praesens], olehnya wholly other adalah sesuatu yang
“alive in feeling” [lebendig im gefuhl]. [Gooch.
Ibid.143]. Hal ini mungkin karena roh manusia adalah
76
suatu finitum capax infiniti, keterbatasan yang mampu
mencandra apa yang tak terbatas.
Hemat saya, GK memiliki basis operasional yang
nyaris sama dengan zeitgeist ini, bahwa transendesi
Allah itu dialami, dan pengalaman itu lantas dijadikan
datum dan pengetahuan. Pengetahuan model GK
adalah pengetahuan kesaksian, bukan pengetahuan
sistematik, hal mana terkait dengan poin berikut.
2] Modifikasi Makna Wahyu
Bagi saya GK tak hanya menimba dari mata air
romantisisme, ia juga mengambil elemen-elemen dari
tradisi supernaturalisme, namun disini dapat dikatakan
bahwa GK adalah suatu gerakan subversif, lantaran ia
memisakan diri dari tradisi supernaturalisme abad
pertengahan, untuk lantas menciptakan pemahaman
baru perihal “wahyu” yang bersifat personal, arbitrer
dan kreatif, seturut ciri inspiratif dari romantisisme,
sebagaimana dilawankan dengan model wahyu yang
bersifat doktrinal dan historis.
Hal ini seturut penggambaran Karl Jaspers perihal
dua jenis iman atas pewahyuan: 1] Orthodox.
Pandangan ini meyakini bahwa wahyu itu bersifat tetap
dan permanen serta telah terjadi purna di masa lalu,
sesuatu yang membuatnya harus serta merta diterima,
tanpa ada perubahan dan pertanyaan, serta 2] Liberal.
77
Pewahyuan melibatkan perjumpaan misterius dengan
yang transenden, dan hal itu mengundang penyelidikan
lebih lanjut bagi penetrasi yang lebih dalam. [Dulles.
1992:276-277]
Wahyu personal berbasis perjumpaan ini
ditujukan untuk menembus misteri Allah yang selama
ini didekati oleh teologi, sekaligus merupa ruang kudus
dalam GK. Titik ekstrem dalam pokok ini adalah bahwa
para tokoh GK menjadi “perupa transendental”, artinya
mereka yang terus menghasilkan gambaran-gambaran
“baru perihal Allah. Disini kita harus menyadari bahwa
setiap karya seni dapat dibedakan dalam mutu, pertama
karya seni tinggi [fine art] dan kedua kitsch. Fine art
dihasilkan oleh seniman [artist], sedang kitsch dibuat
oleh tukang [handyman].
3] Strategi Mnemonik
Semua negara, kesatuan militer atau lembaga
menganggap penting narasi asal-usul [origin] mereka,
dari asal-usul itulah identitas tercipta, sekalian beserta
nilai-nilai tertentu yang menjadi kode budayanya. Asal-
usul ini kemudian akan dijadikan narasi agung, dan
dilakukan repetisi atasnya. Repetisi itu menciptakan
sejenis ikatan antara teks dengan komunitas
pengingatnya.
78
Hal inilah yang menurut Zerubavel diistilahkan
sebagai “tradisi mnemonik” [Zerubavel. 2003:4].
Pengingatan itu bukan sekedar aktifitas mental untuk
mereproduksi kejadian di masa silam, namun ia
difungsikan untuk menata kenangan tersebut lewat
seleksi mnemonik. Apa yang dipilih untuk diingat
memiliki signifikasi dengan peristiwa-peristiwa lainnya
[Zerubavel: ibid:108]. Hal mana menciptakan
“kepadatan mnemonik” dalam sejarah. Lewat
kepadatan ini, masing-masing anggota komunitas
pengingat melakukan peleburan kisah hidupnya
[Zerubavel. Ibid.3].
Dari sejak dahulu kala ada kaitan erat antara
pengingatan dan spiritualitas. Cara sufis terkenal asal
Persia Syekh ‘Abd Allah al-ansari al-Herat (1006-1089)
dalam mendekati keilahian adalah dengan metode
penghafalan ratusan aforisma, maksim dan ajaran suci
dengan ekspresi yang emosional [Sviri &
Farhadi.2003:70].
Sufis Persia lainnya ahl Ibn Abdullah Tustari
[w.869] memandang waktu sebagai sebuah busur yang
tertancap dalam keabadian di awal dan di akhirnya,
dan mencapai puncaknya dalam ingatan sang mistikus.
Sementara Bayazid Bistami [w.848] memandang
momen ekstatis serupa dengan jam pasir yang dua
ruang koniknya, waktu dan keabadian, terhubung pada
79
leher sempit. Leher itu adalah kesadaran sang mistikus.
[Bowering. 2003:33-35].
Kaum kharismatik selalu mengembalikan segala
kejadian kepada peristiwa pentakostal dalam KPR 2:3.
Dengan mengidentifiksasikan diri kepada kejadian ini,
mereka merasa sebagai bagian dari komunitas
Yerusalem tersebut, dan melaluinya mereka terhubung
dengan mysterium yang nyata secara historis, dapat
dialami dan membawa transformasi hidup sehari-hari.
Momen ekstase dalam ibadah baik personal maupun
korporat, makin mengafirmasi perasaan mnemonik-
transendental ini, sensus numinis dalam bahasa Otto.
Singkatnya hal ini adalah partisipasi ke dalam the
unknown yang ter-akses bukan melalui kognisi,
melainkan rekognisi.
Implikasi Fusi The Wholly Other dan Pragmatisme
Hemat saya secara ringkas terdapat 4 dimensi
implikasi fusi supernaturalisme dan pragmatisme dalam
GK, yakni:
1] Secara Konseptual. Terdapat hubungan checks and
balances. Segala isi “wahyu pribadi” yang di-klaim
diterima oleh tokoh GK, ataupun anggota GK, akan
diuji dalam dimensi kegunaan konkretnya di tingkat
jemaat. Maka hal ini akan mengendalikan segala
80
bentuk klaim bombastik-fantastik yang keluar dari
delusi dan subyektifisme absolut.
2] Secara Kelembagaan. Terdapat ketegangan antara
manajemen organisasi berbasis kehendak pribadi tokoh
GK dengan tuntutan yang makin kuat perihal
transparansi organisasi seturut regulasi nasional,
misalnya UU Yayasan atau juga Charity Law. Hemat
saya gereja kharismatik modern akan makin
memperkuat kredibilitasnya, apabila organisasinya
diatur, misalnya berbasis OECD Principles of Corporate
Governance khususnya yang berkaitan dengan keadaan
keuangan, kinerja serta tata pemerintahan organisasi.
3] Secara Kepemimpinan. Secara internal, tokoh GK
akan menjadi figur otoriter-tiranikal, karena “akses” ke
semesta mysterium-nya yang dihormati semua pihak,
namun demikian secara eksternal, ia justru menjadi
fleksibel, khususnya dalam konteks budaya setempat
maupun hubungannya dengan tokoh dalam lapangan
yang sama. Hal ini karena adaptasi dengan konteks
dapat membawa manfaat bagi organisasi/gereja yang
dipimpinnya.
4] Secara Kejemaatan. Jemaat hidup dalam “realisme
yang berpengharapan”, selain itu terdapat shared
identity yang cukup kuat, hal mana merupakan derivasi
dari “wahyu khusus” yang diterima sang pemimpin.
Namun sebaliknya dengan ter-ekspose nya ajaran
81
pemimpin GK ke dunia luar, maka publik dapat
memberi opini dan bahkan koreksi atas ujaran-
ujarannya. Feedback dari dunia luar, entah yang negatif
atau konstruktif, dapat menjadi sejenis check atas sense
of identity yang dimiliki jemaat.
Pasca-sekulerisme. Tantangan & Kemungkinan.
Secara ringkas pasca-sekulerisme adalah
fenomena sosial yang lahir dari kritik atas proses
modernisasi. Modernisasi dimaknai sebagai sekularisasi
yang bertumpu pada munculnya masyarakat birokratis
dan menempatkan agama sebagai musuh rasionalisme.
Namun demikian ternyata modernisme sedemikian
dapat menicptakan implikasi-implikasi yang tak
dikehendaki, dan disana masyarakat sadar bahwa
agama memiliki peran sebagai pembimbing moral dan
pemandu etis, dan peran itu tak bisa ditinggalkan.
Filsuf ateis Inggris Simon Critchley bertanya “Can
politics become effective as a way of shaping,
motivating, and mobilizing a people...without some
sort of dimension-if not foundation-that is religious...?”,
untuknya ia menjawab “I do not think so” [Critchley.
2012:24]. Jurgen Habermas mengakui bahwa “the
political community officially recognizes that religious
utterance can make a meaningful contribution to
clarifying controversial questions of principle”
[Habermas: 2010:22].
82
Masuknya kembali agama dalam modernisme
mewajibkan mereka menampilkan “nilai tambah
korektif-komunikatif” atas masyarakat sekuler, dan hal
ini serta merta menjadi sekaligus tantangan bagi GK
untuk berada dalam tataran yang sama. Menurut saya
pasca-sekulerisme menampilkan 3 tantangan, yakni:
1] Tantangan Islam
Modernisme yang bertumpu pada antinomi
kehidupan privat-kehidupan publik dan rasio-wahyu
[seperti yang selalu ditulis Rorty], dibantah oleh
pemikir Islam Eric Walberg. Ia berkata revolusi Iran
menciptakan persenyawaan politik dan agama secara
apik, sesuatu yang juga dipuji oleh Michel Foucault
dengan meyakini efeknya sebagai “much stronger than
the effect of giving [revolution] a Marxist, Leninist, or
Maoist character”[Weiner. 2013324]. Islam lanjut
Weiner “recognizes no demarcation between the
spiritual and the temporal realms” [Weiner, ibid. 321]
Jika GK adalah sebentuk “supernaturalisme
pragmatis”, maka justru inilah yang dapat menantang
tauhidisme Islam. Banyak tokoh GK adalah profesional
di marketplace, dan walau hal ini banyak dikritik dari
sisi wawasan teologi, namun bersenyawanya yang
sekuler dan yang spiritual dalam GK membawa
alternatif yang seimbang dengan tauhidisme Islam.
83
Fitur terkuat Islam dalam masa pasca-sekulerisme
adalah sifatnya yang anti-imperialis [sehingga ia dapat
bersanding dengan gerakan kiri sekuler], dan anti-
kapitalisme yang diyakini menjadi akar dari krisis
finansiil global lantaran kapitalisme bertumpu pada
eksploitasi [Weiner. Ibid. 331]. Disini GK dengan
organisasi kaum awamnya seperti FGBMFI dapat
menjadi wahana terciptanya pengusaha-pengusaha etis
yang menghargai kehidupan. Adalah tantangan bagi
GK untuk secara konkret melahirkan pengusaha
sedemikian.
2] Tantangan Buddhisme
Menurut Dollimore budaya barat terhilang dalam
dialektika nafsu dan kematian [desire and death], kedua
hal ini saling mengandaikan. Apa yang
menghubungkan nafsu dan kematian adalah kefanaan
[mutability]. W.B. Yeats berkata “Man is in love, and
loves what vanishes” [Dollimore. 1998:xiii]. Dilain sisi
nafsu adalah suatu pergerakan, dan lantaran ia selalu
bergerak, maka ia sendiri yang menghalangi
pemenuhannya. Maka dalam Sonnet 177, Shakespeare
berkata “desire is death” [Dollimore. Ibid. xvii]
Disinilah Buddhisme memiliki daya tariknya,
dalam keadaan letihnya manusia modern terjebak
dalam dialektika desire/death, sang Buddha
menawarkan cara agar manusia bisa terlepas dari
84
kemelekatan [upadana] yang ditengerainya sebagai
akar segala dukkha. Dengan mendasarkan emansipasi
tidak pada sosok ilahi, melainkan kepada manusia itu
sendiri, Buddhisme dianggap sangat humanis dan
relevan.
Saya melihat ciri pietisme GK yang tidak
mengandalkan akal, namun hanya kepercayaan akan
welas asih dari the wholly other yang diyakini memiliki
dampak konkret bagi individu, hal itu dapat menjadi
alternatif dari fitur yang sangat menarik dari Zen &
Buddhisme. Namun tepat di titik ini terdapat pula
tantangan yang sangat sehat dari Buddhisme, yakni
bilamana gaya hidup tokoh-tokoh GK mencerminkan
pengendalian diri, bahkan upadana?
Teolog protestan liberal asal Prancis, Auguste
Sabatier berkata “the object of the revelation of God
can only be God Himself, and if a definition must be
given of it, it may be said to consist of the creation, the
purification, and the progressive clearness of the
consciousness of God in man” [Dulles. Ibid. 72]. Jika
tokoh GK meng-klaim memiliki akses ke surga dan
menerima “wahyu khusus”, maka mustinya hidupnya
nampak mengalami transformasi konkret berkelanjutan
[baca: integritas moral].
3] Tantangan Sekuler
85
Dalam esai terkenalnya “Religion as
Conversation-stopper” [1994], Rorty mendalilkan
bahwa komunitas demokratis-politis tak bisa hidup jika
penganut agama tidak menyimpan keyakinannya bagi
dirinya sendiri, dan tak membawanya ke ruang publik.
Hal ini terjadi lantaran agama adalah “conversation
stopper” [1999:171]. Komunitas demokratis
menyelenggarakan hidupnya lewat pembuatan
kebijakan publik, dan bahasa serta logika agama tak
memiliki relevansi disana.
Namun bagi saya hal ini mereduksi totalitas
kehidupan masyarakat, tidak semua aspek kehidupan
bersangkut dengan proses regulasi, namun juga
apresiasi. Kekaguman atas alam merupakan sesuatu
yang selalu ada sejak purbakala. Paul Davies adalah
seorang astrofisikawan yang membuka ruang bagi
adanya “allah” dalam bentuk “timeless-something
outside of time, indeed space, altogether...something
like that which underpins or guarantees this
mathematical law-like order in nature” [Davies.
1996:146 & 150]. Sedang Ursula Goodman, seorang
cell biologist dalam bukunya The Sacred Depth of
Nature berkata bahwa ia merayakan “covenant with
mystery” yang bersangkut dengan asal mula kehidupan
[Grigg. 2006:40]. GK dengan kreatifitas worship-nya
dapat memfasilitasi kehausan manusia modern atas the
wonder of mystery. Tantangan bagi GK adalah
86
mengartikulasikan kekaguman dalam nalar dan batin
manusia modern dalam puji-pujiannya.
Penutup
Senja adalah garis batas antara siang dan malam,
ia merupakan transisi yang menghadirkan segalanya,
berkas cahaya siang hari, dan permulaan bintang di
langit, di dalamnya hadir sisa matahari dan awal
kelahiran bulan, olehnya senja adalah oikos kosmos, ia
bukan hanya mediasi dua dimensi waktu, melainkan
juga wadah benda-benda langit penanda waktu. Ia
bagaikan simulakrum ruang-waktu, miniatur dari
keserentakan keduanya dalam big bang. Maka tak
heran ada sesuatu tentang senja yang tak pernah habis
menggugah hati dan pikiran manusia, rahasianya tak
pernah terkuras. Singkatnya senja adalah regularitas
yang selalu hadir dalam natalitas/kebaruan.
Fenomena kharismatik adalah fenomena multi-
dimensi, namun utamanya ia adalah kesaksian atas
pengalaman akan yang transenden, ia selalu
merupakan data pengalaman yang mendahului segala
perenungan. Pengalaman ini menjadi suatu fenomena
unik, lantaran ia bukan kejadian acak, melainkan ia
merupakan sesuatu yang diyakini, dinanti dan dihidupi.
Ia adalah kejadian iman yang tak pernah berhenti.
87
Sementara sejarah teologi seringkali
mempertentangan dua hal ini, tradisi dan keterarahan
batin, akal dan gairah, iman dan bukti, siang dan
malam. Fenomena kharismatik adalah periode senja
dalam sejarah ke-Kristenan, ia berdiri diantara dua
kemungkinan; pertama terang pagi dari nalar analitis,
serta kedua malam pekat dari emosionalisme dan
subyektifitas. GK harus menjadi senja yang
menampilkan di horizon baik matahari dan bulan. GK
musti menjadi etalase segala kekayaaan ke-Kristenan,
segala benda langit itu, walau dalam penampang
penuh bayang senja.
88
DAFTAR PUSTAKA:
Abrams, M.H. Natural Supernaturalism. Tradition and
Revolution in Romantic Literature. W.W. Norton &
Company. New York. 1973.
Bellah, Robert N, Richard Madsen, William M. Sullivan, Ann
Swidler & Steven M. Tipton. Habit of the Heart.
Individualism and Commitment in American Life.
Perrenial Library. New York. 1986.
Bowering, Gerhard. Sufisme Persia dan Gagasan Tentang
Waktu. Pustaka Sufi. Yogyakarta. 2003
Critchley, Simon. The Faith of the Faithless. Experiments in
Political Theology. Verso. London. 2012.
Davies, Paul. The Big Questions. In Conversation with
Phillip Adams. Penguin Books. Victoria. 1996
Dollimore, Jonathan. Death, Desire and Loss In Western
Culture. Penguin Books. London. 1999.
Dulles, Avery. Models of Revelation. Orbis Books. New
York. 1992
Gooch, Todd A. Numinous and Modernity. An Interpretation
of Rudolf Otto’s Philosophy of Religion. Walter de
Gruyter. Berlin. 2000.
Grigg, Richard. Gods After God. An Introduction to
Contemporary Radical Theologies. State University of
New York Press. Albany. 2006.
89
Habermas, Jurgen et al. An Awareness of What Is Missing.
Polity. Cambridge. 2010.
Kolakowski, Leszek. Religion. Fontana Paperbacks.
Glasgow. 1982.
MacCulloch, Diarmaid. Christianity. The First Three
Thousand Years. Penguin Books. New York. 2009.
OECD Principles of Corporate Governance. OECD, Paris.
2004.
Rorty, Richard. Pragmatism, Relativism, and Irrationalism.
Dalam Richard Rorty. Consequences of Pragmatism.
University of Minnesota Press. Minneapolis. 1982.
Rorty, Richard. Religious Faith, Intellectual Responsibility
and Romance. Dalam Richard Rorty. Philosophy and
Social Hope. Penguin Books. London. 1999.
Rorty, Richard. Religion As Conversation-Stopper. Dalam
Richard Rorty. Philosophy and Social Hope. Penguin
Books. London. 1999.
Riley, Woodbridge. American Thought. From Puritanism to
Pragmatism and Beyond. Peter Smith.Massachussets.
1959.
Sviri, Sara & A.G. Ravan Farhadi. Tirmizi dan Ansari: Kajian
Atas Malamati dan Tafsir Mnemonik. Pustaka Sufi.
Yogyakarta. 2003.
90
Weiman, Henry Nelson & Bernard Eugene Meland.
American Philosophies of Religion. Willett, Clark &
Company. Chicago. 1936.
Walberg, Eric. From Postmodernism to Postsecularism. Re-
emerging Islamic Civilization. Clarity Press. Atlanta.
2013.
West, Cornel. The American Evasion of Philosophy. A
Genealogy of Pragmatism. The University of
Wisconsin Press. Wisconsin. 1989.
Zerubavel, Eviatar. Time Maps. Collective Memory and the
Social Shape of the Past. The University of Chicago
Press. Chicago. 2003.
91
SENJAKALA TEOLOGI PENTAKOSTA
OLEH: SONNY EI ZALUCHU
Abstrak: di dalam tulisan hendak meyakinkan
bahwa di dalam masa transisi antara era modern dan
postmodern, teologi memiliki kesempatan untuk
mengartikulasikan cara-cara baru dan keyakinan
Kristen dari realitas Allah yang transenden-imanen.
Penulis artikel ini menawarkan theology platform based
yaitu sebuah strategi yang dapat dimanfaatkan teologi
Pentakosta dalam menghadapi karakter great shifting
yaitu melalui menjunjung tinggi kuasa dan kehadiran
Roh Kudus di dalam keterbukaannya dalam cara
penghayatan dan merespon isu-isu yang progresif dan
mutatif. Tulisan ini dapat dijadikan trigger bagi
pencaharian geliat berteologi pentakosta.
Kata-kata kunci: Teologi, Teologi Pentakosta,
Pentacostalism, Platform
Pendahuluan
alah satu diantara sekian banyak aliran teologi
yang mengalami krisis di dalam bertindak dan
meresponi perubahan zaman adalah Teologi
Pentakosta. Mengapa demikian? Pendapat berikut ini
dapat menjadi sebuah jawaban menarik. Menurut
Archer, problem di dalam eksistensi Teologi Pentakosta
atau Pentakostalisme adalah tampilan sajian dalam
bentuk primitif dan dianggap hanya sebagai gerakan
kebangunan rohani yang berada di dalam jalur
S
92
apokaliptik. Menurutnya, sebagai sebuah gerakan
keagamaan, Pentakostalisme kuat secara spiritualitas
tetapi tidak memiliki kemampuan intelektual dan
kecanggihan akademik yang diperlukan untuk
membuatnya dapat diterima di dalam lingkup teologi
yang lebih luas.102
Salah satu contohnya adalah minimnya peran
teologis Pentakostalisme di dalam meresponi isu-isu
humanitas yang sekarang menglobal di dunia. Ramalan
Kant, sewaktu menggabungkan kerjasama rasionalisme
dan empirisme dalam membentuk pengetahuan,
berdampak di dalam penyusunan konstruksi teologis
pada umumnya dan khususnya Pentakostalisme.
Rasionalisme dan empirisme dicurigai sebagai serangan
terhadap bangun teologi tradisi sebagaimana selama ini
dikenali sebagai jatidiri Pentakostalisme.103
Braaten and Jenson dengan tegas mengatakan
bahwa realitas bagi teologi adalah menggunakan
humanitas sebagai pintu masuk untuk membangun
Kerajaan Allah dan manusia memiliki hak untuk
bertindak bebas dalam mewujudkan maksud
102 Kenneth J. Archer, “A Pentecostal Way of Doing
Theology: Method and Manner,” International Journal of
Systematic Theology 9, no. 3 (2007): 301–14,
https://doi.org/10.1111/j.1468-2400.2006.00244.x. 103 D. Lyle Dabney, “Saul’s Armor: The Problem and the
Promise of Pentecostal Theology Today,” Pneuma 23, no. 1–2
(2001): 115–46, https://doi.org/10.1163/157007401X00113.
93
tersebut.104 Pentakostalisme ditantang untuk melakukan
hal yang sama, membangun kerajaan Allah di bumi.
Kenyataannya, para pemain yang terlihat dari tanggap
kemanusiaan adalah politik, politisi, para pemimpin
negara dan pekerja kemanusiaan dan kelompok ini
justru tidak pernah bersinggungan dengan pemahaman
teologis. Gereja, dan para teolog, bahkan hampir tidak
terdengar melakukan sesuatu menghadapi krisis
kemanusiaan yang semakin menjadi fenomena global.
Teologi seolah tidak berdaya melakukan sesuatu dan
seperti terkunci di dalam dinding tinggi keangkuhan
bersama Tuhan. Aquinas pernah mengatakan bahwa
teologi diajar oleh Tuhan, mengajarkan tentang Tuhan
dan membawa kepada Tuhan.105 Jika kenyataannya
teologi tidak melakukan apapun di dalam humanitas
dan menghadirkan Tuhan didalamnya, maka pendapat
Aquinas tersebut patut didefinisikan ulang, khususnya
dalam mengaplikasikan kerangka ‘Kerajaan Allah’ di
dunia ini di tengah-tengah umat manusia.
Sesungguhnya, Matius dengan gamblang telah
memberitahu siapa kita dengan mengutip perkataan
Yesus sendiri. “Kamu adalah garam dunia. Jika garam
itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak
ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak
orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di
104 Carl E. Braaten and Robert W. Jenson, eds., A Map of
Twentieth Century Theology, 1st ed. (Minneapolis: Fortress Press,
1995), 16. 105 Sinclair B. Ferguson, David F. Wright, and J.I Packer,
eds., New Dictionary of Theology, 1st ed. (Malang: Literatur SAAT,
2015), 265.
94
atas gunung tidak mungkin tersembunyi” (Matius 5:13-
14). Disitu Matius sengaja menggunakan kata kerja
aktif-sekarang (present active) este) yang menjelaskan
eksistensi kita di tengah dunia, yang hadir sebagai
garam dan terang. Garam membawa rasa dan terang
menghadirkan cahaya. Untuk bisa dirasakan maka
garam perlu disebar, sementara itu, cahaya harus
berada di tempat yang tinggi supaya menerangi
sekitarnya. Persoalannya hakikat tersebut tidak
menyentuh dunia. Nordlander mengatakan bahwa
Pentakostalisme tradisional tidak pernah berpikir
tentang hal-hal praktis.106 Disitu masalahnya.
Ketidakpedulian teologis terhadap humanitas dan isu-
isu dunia lainnya memberitahu batasan dari Teologi
Pentakostalisme itu sendiri. Ada tiga penyebabnya.
Pertama, Pentakostalisme memang tidak memiliki
kepedulian kecuali segala hal yang bersifat rohani dan
berurusan dengan Tuhan semata. Pandangan ini
tergolong dalam transendensi radikal. Teologi
mengambil jarak dengan dunia, dan hanya
membangun kerajaan Allah di lingkungan yang
dianggapnya rohani secara eksklusif. Berdoa dan
mempelajari firman, mengkhotbahkannya, dianggap
jauh lebih penting daripada tindakan di tengah
masyarakat. Kedua, Pentakostalisme gagal memahami
aktualisasi ketuhanan secara sosial, politik dalam
mensosialisasikan diri sebagai terang dan garam dunia.
Pandangan ini terjadi karena kuatnya fundamentalisme
106 Andreas Nordlander, “Pentecostal Theology: A Theology
of Encounter,” Reviews in Religion and Theology 17, no. 4 (2010):
614–17.
95
mencengkeram paradigma para teolog sehingga gagal
menyesuaikan diri terhadap perubahan zaman yang
terus terjadi. Kedua poin ini pada akhirnya bertumpu
pada kesimpulan akhir: Gereja telah semakin berjarak
dari dunia yang seharusnya menjadi tanggung-
jawabnya untuk digarami dan diterangi. Jarak ini
semakin membentang luas, ketika doa berbahasa roh
dianggap cukup sebagai tanggap sosial perubahan
zaman. Dalam pandangan antropologi agama, hal
semacam itu dianggap sebagai praktek rumit
bermeditasi untuk membuat Tuhan hadir dan bertindak,
padahal sebetulnya Dia sangat dekat.107
Fundamentalisme dan Rasionalitas Universal
Persoalan yang paling utama dalam
Pentakostalisme adalah sikap fundamental. Hal ini
menjadi semacam tali yang mengikat tangan dan kaki
para teolog sehingga tidak bebas berkarya untuk
membangun ‘Kerajaan Allah’ di dalam dunia nyata atau
di dalam melakukan tanggap sosial atas problem
kemanusiaan. Paham ini tidak dapat dilepaskan dari
sejarah munculnya Pentakostalisme itu sendiri.
Pentakosta muncul sebagai hasil perjumpaan
dengan kuasa dengan Allah melalui karya Roh
107 Joel Robbins, “Keeping God’s Distance: Sacrifice,
Possession, and the Problem of Religious Mediation,” American
Ethnologist 44, no. 3 (2017): 464–75,
https://doi.org/10.1111/amet.12522.
96
Kudus.108 Hal ini membentuk nilai-nilai dan sikap hidup
beragama yang baru karena sebagai hasil pertobatan.
Secara normatif Pentakostalisme kembali kepada iman
Kristen Alkitabiah yang ditandai dengan baptisan Roh
Kudus sebagai titik awal pertobatan dan hadirnya
kemampuan berbahasa lidah secara supernatural.109
Sebagaimana kehidupan kristen di zaman para rasul,
Talumewo mengatakan bahwa tanda berbahasa roh ini,
bukanlah sesuatu yang baru di tengah tata cara
beragama yang sarat liturgis sehingga tidak boleh
dipandang sebagai inovasi agama yang membuatnya
eksklusif. Fenomena yang sama telah dialami oleh
komunitas mula-mula di zaman para rasul di
Yerusalem.110
Di dalam bukunya A Handbook of Contemporary
Theology, Smith memaparkan bagaimana gerakan ini
dipelopori oleh Charles Parham di awal tahun 1900an
di Topeka Kansas, yang kemudian diteruskan oleh
muridnya dari sebuah kelompok yang sebetulnya
menentang bahasa lidah sebagai berkat kedua,
Holiness Black, yang bernama William J. Seymour.
108 Adam Dodds, “The Mission of the Spirit and the Mission
of the Church: Towards a Trinitarian Missiology.,” Evangelical
Review of Theology 35, no. 3 (2011): 209–26,
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=afh&AN=6
4152211&site=ehost-live&scope=site. 109 Allan Anderson, “The Origins of Pentecostalism and Its
Global Spread in the Early Twentieth Century,” Transformation: An
International Journal of Holistic Mission Studies 22, no. 3 (2005):
175–85, https://doi.org/10.1177/026537880502200307. 110 Steven Talumewo, Sejarah Gerakan Pentakosta
(Yogyakarta: Andi Offset, 2008), 18.
97
Setelah terusir dari kelompok itu, Seymour
melaksanakan ibadahnya di sebuah gudang tua di
Azusa 312 Los Angeles111 dan gerakan ini kemudian
mendunia setelah terlebih dahulu membawa
kebangunan rohani di Amerika Utara. 112 Catatan
tentang pertemuan di Azusa adalah sebagai berikut:
setan-setan diusir, orang sakit disembuhkan, orang-
orang mengalami pertobatan dan keselamatan,
dipulihkan dan dibaptis dalam Roh Kudus dan
kuasaNya, terbaring di dalam hadirat Tuhan dan
lawatan demi lawatan terjadi.113
Persoalan yang kemudian terjadi setelah gerakan
ini eksis di seluruh dunia adalah sikap fundamentalisme
skeptik. Ada dua ironi yang terjadi. Ironi pertama,
Pentakostalisme mencurigai setiap gerakan baru
kebangunan rohani dan menganggapnya sebagai
sebuah kesesatan, baik dari segi tata cara terlebih
dalam hal doktrin. Hal inilah yang menjadi katalis
berkembangnya gerakan karismatik di dunia dan
menggeser supremasi Teologi Pentakosta hingga
dewasa ini. Kedua, terjadi kesenjangan di dalam
gerakan Pentakosta di generasi kedua dan ketiga.
Sementara generasi pertama terbiasa dengan
pengalaman bersama Roh Kudus, zaman yang telah
111 Edith Blumhofer, “Azusa Street Revival,” The Christian
Century 123, no. 5 (2006): 20–22,
http://search.proquest.com/docview/217241012?accountid=13678
1. 112 David L. Smith, A Handbook of Contemporary Theology
(Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 2000), 41–44. 113 Smith, 43.
98
berubah menghadirkan banyak sekali tantangan-
tantangan baru, sehingga generasi berikutnya dari
Pentakostalisme, tidak mampu melakukan penyesuaian
doktrin dan ajaran, dan mulai keluar dari cengkraman
sektarian. ‘Bapa mencurigai anak’ telah terjadi di dalam
gerakan ini. Wagner menguatkan kesimpulan ini
melalui penelitiannya, bahwa pentakosta generasi
kedua dan ketiga telah menjadi terbiasa untuk melihat
gerakan mereka sebagai sebuah gerakan restorasionis-
sektarian. Identitas ini berakar pada awal
Pentakostalisme dan menciptakan rasa diskontinuitas
antara Pentakosta awal dan Kristen dalam tradisi arus
utama. Pandangan sektarian dan restorasi dari identitas
dan pengalaman Pentakosta menyulitkan Pentakosta
untuk menerima hadirnya gerakan lain dan agenda
yang berbeda dari mereka.114
Jebakan fundamentalisme adalah kebenaran diri
sendiri dan keengganan untuk melakukan percakapan
interdisipliner kepada mahzab teologi lainnya.115
Termasuk di dalamnya sikap tidak mau menerima
114 Benjamin A Wagner, “‘Pentecost Outside Pentecost’:
Classical Pentecostal Responses to the Charismatic Renewal
Movement in the United States, 1960--1982,” ProQuest
Dissertations and Theses 2009,
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004. 115 Michael O. Emerson and David Hartman, “The Rise of
Religious Fundamentalism,” Annual Review of Sociology 32, no. 1
(2006): 127–44,
https://doi.org/10.1146/annurev.soc.32.061604.123141.
99
perubahan dan mencurigai modernisme.116 Pentakosta
memandang dirinya sebagai pemilik kebenaran satu-
satunya, yang mendasar, yang universal dan tidak
menerima kebenaran perspektif (platform).
Pentakostalisme dan ajarannya, meminjam istilah
Müller, telah terjebak di dalam paham rasionalitas
universal. Paham ini berkembang dari pemahaman
fundamental tentang realitas, yang mengambil posisi
bahwa 'pandangan mata Tuhan' telah tersedia (artinya
tidak ada lagi yang baru) dan hanya terdapat satu
kebenaran teoretis yang eksis di dalamnya. Jika tesis
Müller ini diterapkan maka percakapan interdisipliner
di dalam dialog teologis yang bertujuan mencari
kesepahaman, menjadi sangat sulit dan bahkan tidak
mungkin dilakukan, karena pandangan diri sendiri
diterima begitu saja dan dianggap sebagai kebenaran.117
Great Shifting
Harapan Menzies terhadap kelangsungan hidup
Pentakosta patut dipikirkan. Dia berkata orang-orang
Pentakosta perlu menyerukan dan melakukan reformasi
baru, baik secara teologis maupun di dalam
mengkomunikasikan warisan teologis itu kepada
116 Peter Herriot, Religious Fundamentalism: Global, Local
and Personal, Religious Fundamentalism: Global, Local and
Personal, 2008, https://doi.org/10.4324/9780203929872. 117 Julian C. Müller, “Practical Theology as Part of the
Landscape of Social Sciences and Humanities – A Transversal
Perspective,” HTS Teologiese Studies / Theological Studies 69, no.
2 (2013), https://doi.org/10.4102/hts.v69i2.1299.
100
gereja-gereja dan generasi.118 Hal ini hanya dapat
dilakukan dengan dua langkah praktis, membuka diri
dan melakukan pembaharuan. Kalau tidak, maka yang
terjadi adalah melawan perubahan zaman dengan cara
yang keras. Pilihannya adalah bertahan sekuat-kuatnya
atau mati.
Merosotnya perkembangan kekristenan di Eropa
dapat dijadikan studi kasus. Benua ini sedang
memperlihatkan transformasi. Dari kantong terbesar
kekristenan dunia, kini memperlihatkan tanda-tanda
kematian kekristenan. Lahan gereja beralih fungsi
menjadi tempat ibadah agama lain atau tempat bisnis.
Pertumbuhan orang Kristen yang melambat (rendahnya
kelahiran dan naiknya ateisme) dibarengi dengan
serbuan imigran dari Timur Tengah, membuat Eropa
berpotensi mengalami metamorfosis sosial, politik,
budaya dan terlebih sistem religi. Belum lagi faktor
katalis berupa krisis ekonomi dan ketidakstabilan
politik. Tudingan Lingga beralasan, mayoritas
penduduk Eropa mengubah kesenangan beribadah
dengan beribadah kepada kesenangan, yang dikontrol
kuat oleh budaya hedonisme, materialisme dan
sekularisme.119 Pentakostalisme mau tidak mau harus
118 Robert P. Menzies, Teologi Pentakosta - Pentecost This
Story Is Our Story (Malang: Gandum Mas, 2015). 119 Hotben Lingga, “Eropa Perlu Gerakan Reformasi Jilid II
Dan Kebangunan Rohani Baru,” Gramedia Post 22/2, 2015,
http://www.gramediapost.com/2015/02/22/eropa-perlu-gerakan-
reformasi-jilid-ii-dan-kebangunan-rohani-baru/.
101
berhadapan muka dengan globalisasi dan segala aliran
yang mengikutinya.120
Kemunduran seperti ini diidentifikasi oleh Kasali
sebagai kegagalan untuk mengalami perpindahan
(dimengerti sebagai sebuah migrasi satu arah). Dunia
berubah dan kita berada di dalam dunia yang berubah
tersebut. Keseimbangan baru di dunia, sedang
terbentuk di dalam wajah yang sama sekali berbeda
dari keseimbangan sebelumnya. Yang bisa dilakukan
adalah bergeser atau berdiam di tempat. Berubah atau
punah. Kasali mengamati bahwa orang, atau badan
atau bisnis atau apapun, yang mau belajar dan
berubah, akan mengalami evolusi untuk bertahan
hidup hingga tiba pada bentuknya platform yang
baru.121 Apabila teori Great Shifting ini diterapkan pada
perkembangan teologi Kristen umumnya dan
Pentakostalisme khususnya, maka dengan segera akan
terlihat adanya titik kelembaman yang menjelaskan
keengganan untuk berubah. Kekristenan di Eropa
adalah indikator awal dari gagalnya Teologi Kristen
bertahan di dalam gempuran kuat sekularisme,
individualisme dan kapitalisme. Demikian hanya yang
akan terjadi jika platform baru dunia yang sedang
terbentuk, ketika gagal ditanggapi secara arif, maka
120 Michael Wilkinson, “What’s ‘Global’ about Global
Pentecostalism?,” Journal of Pentecostal Theology, 2008,
https://doi.org/10.1163/174552508X331998. 121 Rhenald Kasali, The Great Shifting - Lebih Baik Pegang
Kendali Daripada Dikuasai (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2018), xxix–xxxii.
102
kepunahan itu akan datang tanpa bisa ditunda lagi. Saat
disadari, semuanya sudah menjadi terlambat
Sesungguhnya, kekristenan adalah sebuah potensi
dunia saat ini. Sangat disayangkan jika potensi itu
punah karena kelembaman. Pew Research Center’s
melaporkan bahwa pada tahun 2010, terdapat 2,2
miliar orang Kristen di seluruh dunia, atau sekitar satu-
dari-tiga (31%) penduduk dunia. Ini menjadikan agama
Kristen sebagai agama terbesar di dunia. Sekitar
seperempat dari populasi Kristen global pada 2010
berada di Eropa (26%), seperempat di Amerika Latin
dan Karibia (25%) dan seperempat di sub-Sahara Afrika
(24%). Jumlah orang Kristen yang signifikan juga tinggal
di Asia dan Pasifik (13%) dan Amerika Utara (12%).
Kurang dari 1% tinggal di wilayah Timur Tengah-Afrika
Utara, di mana agama Kristen dimulai. 122
Donald Miller, Professor of Religion, dan Direktur
the School of Religion, University of Southern
California mengutip World Christian Encyclopedia
mengatakan saat ini (tahun 2016) terdapat peningkatan
eksponensial orang Pentakosta di seluruh dunia.
Dibandingkan 30 tahun lalu yang jumahnya hanya 6
persen dari jumlah penduduk dunia, saat ini terdapat
sebesar 500 juta atau 25% orang Pentakosta dari
penduduk dunia. Hal ini terjadi karena menurutnya,
Pentakostalisme merupakan gerakan Kristen yang
122 “Christian Population by Country,” Pew Research Center,
2018, http://www.globalreligiousfutures.org/religions/christians.
103
tumbuh paling cepat di dunia dan menempati urutan
kedua setelah katolik.123
Angka-angka statistik itu memang terlihat fantastis
sebagai hasil dari usaha pertumbuhan dan evangelisasi
di masa lalu. Kasali memperingatkan, segala hal yang
dibangun di masa lalu dan menjadi besar, dapat
tumbuh menjadi sebuah perangkap jika (dalam hal ini
Pentakostalisme) tidak siap mengarungi pergeseran
platform dan hanya bernostalgia pada keberhasilan
yang pernah dicapai.124 Success Trap adalah istilah
yang dipakai Kasali untuk menggambarkan bagaimana
keberhasilan itu membuat kita memiliki paradigma
bahwa keberhasilan pertumbuhan dengan metode
tertentu di masa lalu adalah jaminan sukses masa
depan.125 Prediksi yang dipaparkan oleh Pew Research
Center’s menuntut kewaspadaan kita bersama.
Distribusi Kristen regional diperkirakan akan berubah
secara signifikan pada tahun 2050. Eropa tidak lagi
diproyeksikan memiliki pluralitas umat Kristen dunia;
faktanya, hanya sekitar 16% orang Kristen dunia yang
123 Donald Miller and Erin O’Connell, “The New Face of
Global Christianity: The Emergence of ‘Progressive
Pentecostalism,’” Pew Research Center, 2006,
http://www.pewforum.org/2006/04/12/the-new-face-of-global-
christianity-the-emergence-of-progressive-pentecostalism/. 124 Kasali, The Great Shifting - Lebih Baik Pegang Kendali
Daripada Dikuasai, xliii. 125 Kasali, xlv.
104
diharapkan tinggal di Eropa pada 2050.126 Dan
Pentakostalisme menjadi bagian dari prediksi tersebut.
Roh Kudus Sebagai Theology Platform-Based
Theological Platform-Based adalah salah satu
strategi untuk menjadi relevan di dalam perubahan
dunia. Salah satu kunci di dalam usaha menjadi relevan
dengan dunia yang berubah adalah bagaimana
Pentakostalisme hadir menjadi sebuah institusi teologis
yang tidak lagi memiliki batas-batas pemisah
(boundaryless) dengan dunia, hanya karena doktrin dan
azas kepercayaan. Sikap eksklusifisme dan
sektarianisme yang secara tradisional memberi ciri bagi
gerakan Pentakosta klasik, sesungguhnya tidak mampu
bertahan menjadi trend yang relevan, di tengah zaman,
dimana informasi menjadi pusat segalanya. Kasali
mengatakan bahwa dunia baru yang kini terbentang di
depan kita adalah dunia digital dimana semua berjalan
dalam sebuah networking yang punya banyak wajah
(multisided).127 Daripada berjarak dengan gerakan
karismatik (dan aliran teologi lainnya) dan
menjadikannya kompetitor, lebih baik berkolaborasi
dalam sebuah networking untuk membangun kerajaan
Allah di bumi. Ini saatnya produk teologi yang
mempertahankan doktrin sebagai kebenaran universal
digeser ke dalam platform baru, bagaimana
menggunakan semua azas kepercayaan itu
126 “Christian Population by Country.” 127 Kasali, The Great Shifting - Lebih Baik Pegang Kendali
Daripada Dikuasai, 33.
105
berkolaborasi dengan azas kepercayaan aliran teologi
lainnya untuk tujuan memperkokoh dan memperluas
kerajaan Allah. Bukan lagi terfokus pada tujuan dan
kebenaran denominasional. Dengan cara seperti ini,
kekristenan dapat dipertahankan di tengah mainstream
dunia.
Teologi Pentakosta harus mulai memikirkan
strategi baru menghadapi perubahan dunia yang makin
mengglobal di dalam segala aspek. Mengapa? Itu yang
disebutkan penyesuaian. Generasi Pentakostal pertama,
tidak sama dengan generasi kedua dan ketiga. Apalagi
sekarang telah muncul istilah generasi milenial. Auch
mengatakan, apa yang menjadi keharusan bagi generasi
pertama, dapat menyenangkan bagi generasi kedua.
Tetapi, menjadi omong kosong bagi generasi ketiga,
terlebih mereka yang menjadi angkatan milenial.128
Generasi pertama berkutat dengan pengalaman tempo
dulu, sementara generasi milenial menuntut cara-cara
baru untuk beradaptasi di zaman baru. Orang tua sibuk
bernostalgia dan anak-anak muda sibuk mencari-cari
konsep baru yang dengan mudah ditangkap oleh aliran
lain. Kesenjangan generasi makin lebar dan dalam.
Kritik yang dilontarkan oleh Lane harus disikapi dengan
serius. Menurut Lane, orang-orang Pentakostal
(bersama-sama karismatik), hanya terlihat menonjol di
dalam aktifitas dan kegiatan mereka (perilaku ibadah)
128 Ron Auch, Gerakan Pantekosta Mengalami Krisis
(Malang: Gandum Mas, 1996), 33.
106
tetapi tidak di dalam karya teologi.129 Kritik Lane ini
beralasan dan didukung oleh Hill. Menurut
pengamatannya, teologi Pentakostalisme hanya
membawa pengaruh kecil akibat – meminjam istilah
Hill – dogmatic vagueness (ketidakjelasan dogmatis).130
Pentakostalisme akhirnya terjebak mempertahankan
‘produk’ yang ketinggalan zaman. Sementara, di sisi
lain, gereja-gereja dengan basis teologi non Pentakostal
sudah mulai melakukan pembenahan dan tidak lagi
berorietasi pada produk tetapi platform. Karena berada
di dalam platform yang sama, maka dengan mudah,
generasi baru Pentakostal melakukan shifting dan
mengikuti apa yang menurut mereka lebih tepat, lebih
sesuai dan lebih relevan. Bahayanya adalah jika,
teologi Pentakosta tidak memiliki jembatan untuk
menjelaskan azas kepercayaannya kepada generasi
baru, angkatan milenial ini akan menganggap agama
menjadi usang dan terjebak di dalam arus
sekularisasi.131 Auch dengan jujur mengakui,
menghadapi situasi perubahan seperti ini, Pentakosta
tidak memiliki apa-apa untuk ditawarkan kepada orang
lain kecuali teologi yang kosong.132
129 Tony Lane, Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 219. 130 Jonathan Hill, The History of Christian Thought (Oxford,
England: Lion Hudson plc, 2003), 308. 131 Sonny Eli Zaluchu, “Mengkritisi Teologi Sekularisasi,”
KURIOS 4, no. 1 (2018): 26–38, http://www.sttpb.ac.id/e-
journal/index.php/kurios. 132 Auch, Gerakan Pantekosta Mengalami Krisis, 37.
107
Akhirnya, seperti apakah theologyplatform-based
itu? Teologi Pentakosta menjunjung tinggi kuasa dan
kehadiran Roh Kudus di dalam seluruh aspek
kehidupan. Ini kekuatan besar yang tak tertandingi dan
tak tergantikan hingga sekarang, bahkan sampai kiamat,
karena hal itu adalah karya Allah. Para teolog
Pentakosta harus memikirkan ulang, apakah platform
seperti ini yang akan dibawah di tengah generasi
milenial atau yang lain. Sebab, yang terjadi sekarang
justru sebaliknya. Identitas Pentakostal lebih banyak
menyangkut khotbah yang menyenangkan daripada
menyerang dosa. Lebih parah lagi, Pentakostalisme
justru terlalu banyak bicara dan percaya manifestasi
adikodrati kuasa Tuhan, tetapi manifestasi itu sendiri
justru jarang terlihat di dalam ibadah-ibadah.133 Gereja-
gereja karismatik justru lebih banyak manifestasinya.
Sinergi terhadap kegerakan yang berada di dalam
platform yang sama adalah sebuah keputusan strategis.
Pentakostalisme tidak boleh menutup diri dan
mencurigai cara Roh Kudus bekerja di tempat lain.
Sikap menuding cara kerja Allah di gereja lain sebagai
sebuah kesesatan, hanya karena kita sebagai orang-
orang Pentakosta punya pemahaman sendiri, adalah
tidak relevan dan seperti katak di dalam tempurung.
Kuasa Tuhan di zaman akhir ini, bekerja di semua
gereja. Bukan hanya di gereja-gereja aliran Pentakosta !
Pada mulanya, platform adalah istilah yang
digunakan secara teknis untuk teknologi informasi.
133 Auch, 11.
108
Kemudian berkembang menjadi cetak biru – Kasali
menyebutnya sebagai sebuah orkestra antara jalan,
taman, bangunan dan orang-orang yang terlibat di
dalam sebuah proyek yang akhirnya memberkati
seluruh kegiatan tersebut.134 Meminjam pengertian
tersebut, maka yang disebut Theology Platform-Based
adalah cetak biru teologi pentakosta yang melibatkan
Roh Kudus sebagai pemberi hidup dan kuasa adikodrati
Tuhan. Cetak biru ini terbuka untuk membangun
jejaring bagi siapapun yang berada di dalam platform
yang sama sekalipun aliran teologi itu semula adalah
pesaing. Justru melalui platform, mereka menjadi mitra
untuk kerajaan Allah. Menutup diri sebagaimana
dilakukan selama ini hanya akan membawa gerakan
Pentakostalisme bertahan untuk kemudian mati.
Penjelasan Macchia memberikan kesejukan. Walaupun
terjadi perbedaan di dalam gaya ibadah, bentuk
organisasi gereja maupun afiliasi denominasi, sebuah
keyakinan dasar kesatuan di dalam Kristus terletak pada
inti kebersamaan.135 Dan kebersamaan itu hanya bisa
berlangsung saat semuanya berada di dalam platform
yang sama.
Konklusi
Senjakala sebuah teologi dapat diukur melalui
indikator yang terlihat saat dia menghadapi perubahan
134 Kasali, The Great Shifting - Lebih Baik Pegang Kendali
Daripada Dikuasai, 22. 135 Stephen A. Macchia, Becoming A Healthy Church, ed.
Sri Setyawati, 1st ed. (Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel,
2016), 248.
109
dan berada di dalam masa transisi perubahan besar.
Grenz dan Olson mengatakan, pada transisi antara era
modern dan postmodern, teologi memiliki kesempatan
untuk mengartikulasikan cara-cara baru dan keyakinan
Kristen dari realitas Allah yang transenden-imanen.136
Tanpa artikulasi cara-cara baru dan rumusan keyakinan
Kristen, maka yang terjadi adalah bangku-bangku
gereja yang kosong lebih banyak terlihat daripada yang
diduduki. Yang beribadah di dalam gereja, adalah
orang-orang tua ‘angkatan pertama’. Khotbah yang
disampaikan di mimbar, kering dan hanya bicara
keberhasilan masa lalu. Manifestasi kuasa Allah
sebagaimana dicirikan oleh kelahiran gerakan
Pentakosta di Topeka, hanya wacana dan tidak pernah
terjadi di dalam gereja. Pekerjaan dan manifestasi Roh
Kudus (kegerakan) di denominasi lain, dicurigai sebagai
penyesatan. Parkir menjadi kosong. Gereja menjadi
sebuah monumen. Itulah saat, dimana senjakala sebuah
teologi telah memasuki masa akhirnya. Semoga Teologi
Pentakosta tidak mengalaminya.
136 Stanley J. Grenz and Roger E. Olson, 20th Century
Theology - God and the World in a Transitional Age, 3rd ed.
(Downers Grove, Illionis: InterVarsity Press, 1996), 314.
110
Daftar Pustaka
Anderson, Allan. “The Origins of Pentecostalism and Its Global
Spread in the Early Twentieth Century.” Transformation: An
International Journal of Holistic Mission Studies 22, no. 3
(2005): 175–85.
https://doi.org/10.1177/026537880502200307.
Archer, Kenneth J. “A Pentecostal Way of Doing Theology: Method
and Manner.” International Journal of Systematic Theology 9,
no. 3 (2007): 301–14. https://doi.org/10.1111/j.1468-
2400.2006.00244.x.
Auch, Ron. Gerakan Pantekosta Mengalami Krisis. Malang:
Gandum Mas, 1996.
Blumhofer, Edith. “Azusa Street Revival.” The Christian Century
123, no. 5 (2006): 20–22.
http://search.proquest.com/docview/217241012?accountid=1
36781.
Braaten, Carl E., and Robert W. Jenson, eds. A Map of Twentieth
Century Theology. 1st ed. Minneapolis: Fortress Press, 1995.
“Christian Population by Country.” Pew Research Center, 2018.
http://www.globalreligiousfutures.org/religions/christians.
Dabney, D. Lyle. “Saul’s Armor: The Problem and the Promise of
Pentecostal Theology Today.” Pneuma 23, no. 1–2 (2001):
115–46. https://doi.org/10.1163/157007401X00113.
Dodds, Adam. “The Mission of the Spirit and the Mission of the
Church: Towards a Trinitarian Missiology.” Evangelical
Review of Theology 35, no. 3 (2011): 209–26.
http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=afh&
AN=64152211&site=ehost-live&scope=site.
Emerson, Michael O., and David Hartman. “The Rise of Religious
Fundamentalism.” Annual Review of Sociology 32, no. 1
(2006): 127–44.
https://doi.org/10.1146/annurev.soc.32.061604.123141.
Ferguson, Sinclair B., David F. Wright, and J.I Packer, eds. New
Dictionary of Theology. 1st ed. Malang: Literatur SAAT,
2015.
Grenz, Stanley J., and Roger E. Olson. 20th Century Theology -
God and the World in a Transitional Age. 3rd ed. Downers
111
Grove, Illionis: InterVarsity Press, 1996.
Herriot, Peter. Religious Fundamentalism: Global, Local and
Personal. Religious Fundamentalism: Global, Local and
Personal, 2008. https://doi.org/10.4324/9780203929872.
Hill, Jonathan. The History of Christian Thought. Oxford, England:
Lion Hudson plc, 2003.
Kasali, Rhenald. The Great Shifting - Lebih Baik Pegang Kendali
Daripada Dikuasai. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2018.
Lane, Tony. Runtut Pijar Sejarah Pemikiran Kristiani. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2005.
Lingga, Hotben. “Eropa Perlu Gerakan Reformasi Jilid II Dan
Kebangunan Rohani Baru.” Gramedia Post 22/2, 2015.
http://www.gramediapost.com/2015/02/22/eropa-perlu-
gerakan-reformasi-jilid-ii-dan-kebangunan-rohani-baru/.
Macchia, Stephen A. Becoming A Healthy Church. Edited by Sri
Setyawati. 1st ed. Jakarta: Yayasan Pekabaran Injil Immanuel,
2016.
Menzies, Robert P. Teologi Pentakosta - Pentecost This Story Is
Our Story. Malang: Gandum Mas, 2015.
Miller, Donald, and Erin O’Connell. “The New Face of Global
Christianity: The Emergence of ‘Progressive Pentecostalism.’”
Pew Research Center, 2006.
http://www.pewforum.org/2006/04/12/the-new-face-of-
global-christianity-the-emergence-of-progressive-
pentecostalism/.
Müller, Julian C. “Practical Theology as Part of the Landscape of
Social Sciences and Humanities – A Transversal Perspective.”
HTS Teologiese Studies / Theological Studies 69, no. 2
(2013). https://doi.org/10.4102/hts.v69i2.1299.
Nordlander, Andreas. “Pentecostal Theology: A Theology of
Encounter.” Reviews in Religion and Theology 17, no. 4
(2010): 614–17.
Robbins, Joel. “Keeping God’s Distance: Sacrifice, Possession, and
the Problem of Religious Mediation.” American Ethnologist
44, no. 3 (2017): 464–75.
https://doi.org/10.1111/amet.12522.
Smith, David L. A Handbook of Contemporary Theology. Grand
112
Rapids, Michigan: Baker Books, 2000.
Talumewo, Steven. Sejarah Gerakan Pentakosta. Yogyakarta: Andi
Offset, 2008.
Wagner, Benjamin A. “‘Pentecost Outside Pentecost’: Classical
Pentecostal Responses to the Charismatic Renewal
Movement in the United States, 1960--1982.” ProQuest
Dissertations and Theses, 2009.
https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004.
Wilkinson, Michael. “What’s ‘Global’ about Global
Pentecostalism?” Journal of Pentecostal Theology, 2008.
https://doi.org/10.1163/174552508X331998.
Zaluchu, Sonny Eli. “Mengkritisi Teologi Sekularisasi.” KURIOS 4,
no. 1 (2018): 26–38. http://www.sttpb.ac.id/e-
journal/index.php/kurios.
113
TEOLOGI MISI PENTAKOSTAL IN THE MAKING137
OLEH: JUNIFRIUS GULTOM138
“Now, do not go from this meeting and talk about
tongues, but try to get people saved.” –William
Seymour
Abstract: hal-hal yang perlu menjadi perhatian
di dalam proses ‘menjadi’ dari teologi misi pentakostal
merupakan konsentrasi di dalam tulisan ini. Penulis
melukiskan nuansa misiologis pentakostal yang
memiliki percakapan dengan evangelikal (Narasi dan
Yesus) serta dengan Ekumenikal dalam membangun
teologi misinya di dalam dunia postmodern
(Pneumatologi,Pengalaman, church view). Untuk itu
penulis juga menyodorkan misiologi pneumatologis
dari V M. Karkkainen, A Yong dan Andrew Lord dapat
menjadi modal untuk mengembangkan teologi misi
pentakostal ke depan.
Keywords: Misi, Pentakostal,teologi, gereja,
pneumatologi, postmodern.
Pendahuluan
137 Tulisan ini sepenuhnya diambil dari buku saya, Teologi Misi
Pentakostal (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), dengan beberapa modifikasi dan sedikit tambahan.
138 Junifrius Gultom adalah Direktur dan Dosen Pascasarjana STT
Bethel Indonesia, Jakarta. Menyelesaikan program doktoral di Presbyterian University and Theological Seminary (PUTS), Korea Selatan. Selain pendidikan teologi, lulusan S-2 (Master Psikologi Terapan), Universitas Indonesia.
115
mempunyai kemampuan untuk merumuskan teologi
misi yang akan terus mendapat tanggapan, kritik dan
menjanjikan pada masa depan, sebagaimana semua
teologi. Itu sebabnya, istilah yang saya pergunakan di
sini in the making untuk menunjukkan sebuah keadaan
berproses terus untuk dirumuskan. Kita mempunyai
dasar yang kuat mengapa teologi pentakostal begitu
urgen, bukan hanya tempat partikularitas kini
mengemuka, tetapi ketiadaan center pada diskursus
apapun mengakibatkan teologi pentakostal menjadi
partner dialog diskursif yang perlu diperhitungkan.
Apalagi kini gerakan pentakostal menjadi kekuatan
ketiga dalam kekristenan di dunia.
Kaum Pentakostal di Antar Dua Kutub: Teologi Injili dan
Teologi Ekumenis
Bagaimanapun kaum pentakostal lahir dari keluarga
besar kekristenan universal yang dalam hal ini
protestanisme yang kepadanya berhutang kepada teologi
ekumenikal dan teologi injili. Tetapi konstruksi bangunan
Teologi Misi dari perspektif pentakostal menjadi satu hal
yang patut dicermati dan terus diusahakan namun—
seperti yang diungkapkan di atas, menjanjikan dan
dinamis. Dalam International Dictionary of Pentecostal
116
Charismatic Movement 141 menjelaskan bahwa dua tradisi
telah membentuk pandangan misi pentakostal yaitu suatu
agenda konservatif injili yang diwarisi dan etos gerakan
kesucian (holiness movement), dan gerakan-gerakan
kebangunan yang lain pada abad awal. Bagi kaum
pentakostal agaknya lebih cocok dengan kaum injili
terkait dengan agenda misi (meskipun beberapa prejudice
dari orang-orang injili), karena gerakan ekumenikal
dianggap terlalu liberal secara teologis dan dalam agenda
misinya, dan penekanan yang terlalu sosial/politik.
Teologi Misi konservatif injili telah mempunyai pengaruh
yang kuat, dimulai dengan buku klasik dari Roland Allen,
Missionary Methods: St. Paul’s or Ours? (1912).
Kemudian pengaruh kehadiran yang kuat dari
pentakostal pada gerakan Lausanne turut membentuk
pandangan misi pentakostal. Baik pentakostal maupun
injili sama-sama menerima pandangan konservatif
berkenaan dengan inspirasi dan otoritas Alkitab,
keterhilangan manusia berdosa tanpa Kristus, dan
dibenarkan karena iman, sebagaimana juga suatu
prioritas pada penginjilan ketimbang aksi sosial. Dari
kaum injili konservatif, pentakostal juga mewarisi
penegasan pentingnya pertobatan dan tekanan pada
pengalaman keselamatan individu. Pentakostal akibatnya
menekankan pentingnya pengalaman “krisis” ketimbang
141
Stanley M. Burges & Van Der Mass, Inetrnational Dictionary of Pentecotsal Charismatic Movement (Grand Rapids, MI: Zondervan, 2003), 878-883.
117
pengalaman “pertumbuhan” di dalam pertobatan.
Sekarang keunikan Teologi Misi pentakostal yang
bukan diwarisi dari kesamaan dengan injili konservatif
maupun kalangan ekumenikal adalah sebagai berikut:
Pertama, berakar pada gerakan kesucian pada abad
kesembilan belas, tampaknya turut membentuk
eskatologi, dan atmosfir premillennial pentakostal.
Kedua, yang paling unik, dan yang paling sering
diperdebatan adalah doktrin dan pengalaman baptisan
Roh Kudus, yang dikombinasikan dengan keyakinan
eskatologi yang kuat, yang menjadi pemelihara misi
pentakostal.
Ketiga, terkait dengan pengalaman berbahasa lidah
sebagai tanda awal dari penerimaan baptisan Roh Kudus.
Keyakinan ini dikaitkan dengan misi dunia. Pada tahun-
tahun pertama gerakan ini, suatu optimisme yang tak
beralasan dimana berbicara dalam bahasa lidah
(xenolalia), suatu bentuk glossolalia dalam mana bahasa
manusia yang sebelumnya tidak dikenal kepada penutur,
ia dapat berbicara bahasa tersebut, akan diberikan oleh
Roh Kudus untuk menolong di dalam penyelesaian
penginjilan dunia sebelum kedatangan Yesus yang kedua
kali. Tentu, teori ini kemudian tidak benar dan kemudian
ditinggalkan. Keyakinan bahwa baptisan Roh Kudus
memperlengkapi orang percaya untuk pelayanan
memunculkan pengaruh besar dari pentakostalisme
119
(2) Roh Kudus—suatu pendekatan kosmologis: Roh Kudus
memperbaharui ciptaan dan memberikan kepenuhan
hidup yang terdiri dari kesembuhan fisik dan kesembuhan
hubungan sosial juga; (3) Roh Kudus—suatu pendekatan
sakramental: Roh Kudus dimediasi melalui pertobatan
peribadi, baptisan, konfirmasi, dan ordinasi sebagaimana
teologi-teologi sakramental memperbaharui fokus mereka
pada Roh Kudus.
Kelima, yang perlu dicatat Teologi Misi pentakostal
berkembang lewat pengembangan teologi Roh Kudus ini
dalam kaitannya dengan misi. Adalah Misiolog Reformed
Belanda, J.A.B. Jongeneel, yang datang dari latarbelakang
pentakostal telah secara besar-besar meneliti peran Roh
Kudus di dalam misi. Ia menyebut suatu “Pneumatologi
misionaris,” yang dipengaruhi oleh Roland Allen. Buku-
buku Allen, Pentecost and the World: The Revelation of
the Holy Spirit in the “Acts of the Apostles (1917) dan
Mission Activities Considered in Relation to the
Manifestation of the Spirit (1930), telah memberikan
informasi lainnya mengenai Roh Kudus. Jongeel
menunjukkan bahwa asal-usul misi adalah di dalam
gerakan Roh Kudus sebagaimana Roh Kudus mengutus
gereja ke dalam dunia. Gerakan yang sama
memperlengkapi gereja untuk menyelesaikan misi.
Jongeneel menggarisbawahi peran buah Roh Kudus
bersama dengan karunia Roh Kudus. Ia juga melihat
peran kritikal dari pengalaman Roh Kudus, baptisan Roh
120
Kudus, meskipun dibutuhkan keseimbangan.
Sementara itu ahli misi Anglikan Karismatik,
Andrew Lord mengutarakan suatu gagasan Misi
Eschatology: A Framework for Mission in Spirit (1997)
dengan maksud suatu pendekatan terhadap misi yang
bersifat holistik dan penuh pengharapan. Mengikuti
teolog Perjanjian Baru, O. Culliman dan yang lainnya,
Lord menyatakan bahwa “pekerjaan misionaris dari
gereja adalah mencicipi eskatologis dari Kerajaan Allah.
Ia menyarankan tujuh dimensi dari agenda misi
karismatik yang bersifat holistik: ke-Tuhan-an Yesus,
kesembuhan, keadilan, kesatuan dari keberagaman umat
Allah, kebebasan ciptaan, pujian dan penyembahan, dan
persekutuan. Bagi suatu misi holistik, tidak ada opisisi
antara penginjilan dan perhatian sosial.
Karismatik telah mengikuti orang-orang pentakostal
dalam penekanannya pada tanda-tanda dan mujizat-
mujizat. Bahkan, sebagian karismatik, secara khusus yang
disebut gelombang ketiga oleh Peter G. Wagner, telah
memperhatikan peran kesembuhan ilahi dan pengusiran
setan dalam cara yang lebih jelas. Di antaranya ada buku
John Wimber berjudul Power Evangelism (1986) dan
buku-buku Peter Wagner mengenai peperangan rohani,
secara khusus mengenai ‘roh-roh teritorial,” telah
menyebarluaskan ide-ide seluruh gerakan karismatik.
Ide-ide ini telah menerima penyambutan yang antusias,
secara khusus pada konteks anismisme (Asia, Afrika)
121
dan di Amerika Latin, tetapi banyak juga yang
mengkritiknya. Teologi yang dikatakan mengenai
Kerajaan Allah telah digarisbawahi sebagai suatu
kerangka kerja bagi mayoritas tulisan-tulisan ini.
Apa perbedaan dan tekanan yang berbeda di dalam
hubungannya dengan pentakostal klasik? Pertama,
Karismatik arus utama telah lebih terbuka kepada
tantangan keadilan sosial, barangkali karena mayoritas
gereja-gereja mereka telah ada di sana. Kedua, penafsiran
mereka akan Kitab Suci kurang fundamentalistik, maka
lebih memiliki fleksibilitas untuk kontekstualisasi kepada
konteks-konteks khusus. Ketiga, karena mayoritas
karismatik hidup di dalam gereja-gereja sakramental,
mereka mampu mengintegrasikan penginjilan kepada
sakramen, bahkan jika mereka tidak sepenuhnya bisa
mengatasi dilema itu.
Tentu kita dapat menambahkan lagi diskursus
Teologi Misi sesuai dengan isu-isu seperti sosial dan
politik. Saya membatasi pembahasan untuk tidak
menyinggung dua isu di atas. Namun, saya mengangkat
satu isu penting terkait dengan hubungan dengan agama-
agama lain. Teologi Misi pentakostal dalam hal hubungan
dengan agama-agama lain tidak berada pada opsi
mendasar tentang isu ini yang selama ini dianut yaitu
eksklusivisme (tidak ada keselamatan di luar gereja dan
tidak banyak dasar bersama (pandangan tradisional);
kedua, pandangan inklusivisme (keselamatan dapat
122
ditemukan di agama-agama lain juga (pandangan liberal);
ketiga, suatu posisi mediatif: meskipun agama-agama lain
mempunyai elemen-elemen keselamatan, adalah hanya
di dalam Yesus Kristus kepenuhan keselamatan dapat
ditemukan. Pada dialog Pentakostal dengan Katolik tahun
1972 mayoritas orang-orang Pentakostal menentang ide
dari elemen keselamatan di luar gereja, meskipun
keyakinan di dalam pekerjaan yang bersifat preparatory
(mempersiapkan) dari Roh Kudus di dalam hati manusia
untuk mendengar injil sama-sama diakui.
Baru-baru ini, seorang teolog karismatik injili Clark
H. Pinnock menyarankan bahwa seseorang dapat
mengharapkan orang-orang pentakostal untuk
mengembangkan suatu Teologi Misi yang berorientasi
Roh Kudus dan agama-agama dunia karena keterbukaan
mereka kepada pengalaman agama, sensitivitas mereka
kepada orang-orang tertindas di Dunia Dua Pertiga
dimana mereka telah mengalami banyak pertumbuhan
mereka, dan kesadaran mereka akan cara-cara Roh Kudus
dan dogma.
Teologi Misi Pentakostal pada Masa Posmodern
Pertanyaan kita sekarang adalah dimana tempat
Teologi Misi pentakostal di dalam diskursus
postmodernisme? Di titik mana Teologi Misi pentakostal
menemukan shape-nya? Bagi saya, teologi pentakostal,
123
menemukan titik arsir untuk beberapa hal dengan
kelompok evangelikal, dan beberapa hal dengan
postmodernisme (yang juga Teologi Misi kelompok
“liberal”).
Pertama-tama harus ditegaskan bahwa sebagai
suatu teologi, maka Teologi Misi bersifat progres dan
dinamis. Teologi adalah suatu refleksi intelektual dan
iman terhadap Allah dan penyataan-penyataannya.
Sebagaimana teologi merupakan hasil “ramuan” dari
pemahaman Alkitab, tradisi, rasio, pengalaman, dan
interaksi komunitas orang beriman sebagai hermeneutik
yang hidup, maka Teologi Misi selalu berada di
“persimpangan jalan.” Ada dua hal yang penting untuk
disebutkan di sini. Teologi Misi sendiri—sebagaimana
sudah diuraikan di atas—mengalami dinamika. Tentu
tidak pada tempatnya di sini untuk menguraikan sejarah
panjang pergulatan Teologi Misi khususnya pada masa
modern. Ada harapan akan keseimbangan, dan ada
harapan untuk pengembangan pada masa depan seperti
yang diungkapkan oleh J. A. Scherer:
Satu dari masalah misiologikal krusial dari paruhan kedua abad
keduapuluh adalah bagaimana menyelesaikan transisi yang
sukses dari suatu Teologi Misi yang berpusat pada gereja pada
tahun-tahun awal ke Teologi Misi yang berpusat kepada
Kerajaan Allah tanpa kehilangan visi misionaris atau
menghianati isi Alkitab. Adalah susah disangkal bahwa kita
hidup di tengah-tengah transisi seperti itu. Hal yang sama juga
jelas bahwa kita belum menggenggam secara penuh makna
125
utama untuk misi bukanlah Markus 16 dan Matius 28,
tetapi kitab Kisah Para Rasul yang dianggap masih
memiliki relevansi yang hidup dan dapat diterapkan bagi
konteks masa kini. Kisah para rasul adalah kisah mereka
juga. Namun tidaklah mudah untuk datang kepada
kesimpulan di dalam membangun Teologi Misi yang
mumpuni.
Maka dapat disebut bahwa Teologi Misi pentakostal
masih di dalam proses “menjadi” (in the making), seperti
yang diungkapkan oleh Stanley M. Burges:
Diakui bahwa Pentakostal/Karismatik belum mempunyai
Teologi Misi yang mumpuni. Mereka lebih dikategorikan
sebagai “doers” ketimbang “thinkers” di dalam bidang misi.
Mereka memberikan suatu tempat yang istimewa bagi
pengalaman, bukan sekedar di dalam misiologi tetapi juga di
dalam spiritualitas dan di dalam pendekatan terhadap
penafsiran Kitab Suci. Oleh karena itu Teologi Misi yang
khas Pentakostal dapat disebut masih in the making.144
Walaupun dapat dikatakan bahwa Teologi Misi
pentakostal masih di dalam proses menjadi (in the
making), namun dalam usaha menuju “menjadi” nya, ada
beberapa clue yang dapat dijadikan acuan untuk dalam
kontruksi Teologi Misi.
Tidaklah berlebihan jika tren dan pemahaman
postmodernisme, begitu cocok terhadap konteks kaum
pentakostal, walau isu identitas bersama dengan orang-
orang Kristen sepanjang abad, juga perlu menjadi
catatan. Daya lentur yang sangat panjang dari ekspresi-
144
Stanley M. Burgess; assoc. ed. Eduard M. van der Maas, The New International Dictionary of Pentecostal and Charismatic Movements, revised and expanded edition. (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2002), 878.
126
ekspresi Pentakostal/Karismatik ini membuat lebih
mudah bagi mereka untuk berdialog dengan kalangan
“liberal” ketimbang kepada kelompok evangelikal yang
terbebani oleh mandat sola scriptura dan hermeneutik
ketat, yang menempatkan sifat Alkitab yang harus
menghakimi semua kepercayaan-kepercayaan.
Sebut saja, kritik Craig Ott kepada pendekatan
pneumatologi Amos Yong.145 Sebagai seorang sarjana
terkemuka Pentakostal, Amos Yong telah dikritik karena
keberaniannya membangun dialog dengan
kepercayaan-kepercayaan lain sebagai yang dianggap
tidak sesuai dengan Teologi Misi evangelikal. Yong
mengajukan kriteria tiga rangkap (kehadiran ilahi,
absen ilahi, dan aktifitas ilahi) yang dapat
memampukan gereja untuk menguji kehadiran Allah
dan pekerjaannya atau menolak yang mana demonik
dan konstruktif. Craig Ott dari perspektif teologi
evangelikal menyatakan tiga hal kelemahan proposal
Yong. Pertama, ia tidak memadai secara kristo-sentris.
Menurut Ott, proposal Yong dalam pengembangannya
dalam teologi agama-agama, tidak pernah secara
penuh kembali kepada sentralitas Kristologi dan
soteriologi. Kedua, proposalnya tidak memberikan cara
untuk beranjak melampaui dialog antara tradisi-tradisi
dan struktur keagamaan yang lebih ril. Ketiga, proposal
Yong, tidak memadai diperhitungkan terkait cara-cara
yang berbeda yang dipahami pluralisme agama dan
dialami di dalam gereja global. Namun Yong
berketetapan untuk menemukan suatu teologi agama-
agama “yang baru,” yang akan memampukan orang-
145
Ott, Encountering Theology of Mission, 308-09.
129
Dimension dikaitkan dengan pengetahuannya akan
agama-agama Timur bersama dengan kuasa-kuasa
adikrotinya, sebagaimana pada Buddhisme, yoga, agama-
agama Jepang seperti Soka Gakkai. Ia merujuk “evil spirit
world” dalam buku itu dimana berada di bawah kuasa
dan otoritas Allah Yang Mahakuasa.
Maka, isu kontekstualisasi bagi pentakostal tidak
semuanya mengikuti agenda kontekstualisasi kritikal
Paul G. Hiebert yang sudah dijelaskan di atas. Namun,
lebih kepada daya adaptatif yang berisi ketegangan
kreatif dan pneumatis.
Positioning
Pada kesempatan ini, saya mengangkat tiga tokoh
penting untuk proposal dalam melakukan
pembangunan Teologi pentakostal kontemporer dan
prospektif. Alasannya, karena ketiganya melakukan
pendekatan misiologi pneumatologi yang layak untuk
dikembangkan di kemudian hari. Bagian ini disadur
dari Veli-Matti Karkkainen, Toward Pneumatological
Theology. Pentecostal and Ecumenical Perspective on
Ecclesiology, Soteriology, and Theology of Mission.150
Veli-Matti Karkkainen
Selain isu kontekstualisasi, tampaknya kita perlu
melihat konstruksi Teologi Misi pentakostal yang
150
Ed by Amos Yong. Lanham (New York & Oxford: University Press of America, Inc, 2002).
130
diajukan oleh Veli-Matti Karkkainen.151 Ia menyebut
bahwa Teologi Misi pentakotal itu, bahkan meskipun
tidak dapat diartikulasikan di dalam istilah-istilah
teologi, memunculkan sangat ekstrim secara teologis
tentang relasi integral antara misi, Roh Kudus, dan
eskatologi. Karkkainen menyebut ini sebagai Misiologi
Pneumatologis. Dalam kerangka Misiologi
Pneumatologis ini ada tiga tema penting yang dibahas
oleh Karkainnen dalam mengkonstruksi Teologi Misi
pentakostal.152 Skema ini layak dipertimbangkan untuk
pengembangan Teologi Misi pentakostal masa
mendatang. Beberapa isu yang diangkat oleh
Karkkainen sebagai berikut:
Roh, Penciptaan, dan Eskaton
Teologi Misi telah sering mengabaikan hubungan
antara pekerjaan soteriologis Roh Kudus dalam diri
orang percaya, dan aktifitasnya baik sebagai Pencipta
dari semua yang hidup dan, secara eskatologi, sebagai
efektor dari ciptaan baru dan penggenapannya.
Perbedaan mendasar dari pekerjaan Roh di dalam diri
orang percaya dan Gereja dan sebaliknya aktifitas
kreatifNya di dalam melahirkan hidup secara umum—
suatu karunia eskatologi yang diberikan kepada semua
orang percaya—pada beberapa ukuran dinamika Roh
Kudus mengimpartasi dirinya sendiri juga kepada apa
yang dibawa (dilahirkan), yang merupakan di luar
151
Karkkainen, Toward Pneumatological Theology. Pentecostal and Ecumenical Perspective on Ecclesiology, Soteriology, and Theology of Mission, 219-25.
152 Karkkainen, Toward Pneumatological Theology, 220-22.
131
eksistensi Roh Kudus. Artinya bahwa satu dari peran
Roh Kudus adalah untuk mempermuliakan ciptaan
Allah. Roh yang sama yang melahirkan kehidupan pada
ciptaan Allah, membangkitkan AnakNya dari kematian,
tinggal di dalam diri orang percaya dan akhirnya
memuliakan ciptaan Allah. Tugas dari Roh Kudus yang
eskatologis bukan hanya memuliakan ciptaan Allah
tetapi juga melayani sebagai agen dari penghakiman
dan transfigurasi. Akhirnya Allah akan dimuliakan di
dalam semuanya ini. Dapat dikatakan bahwa
kedatangan kembali Kristus dan pendirian KerajaanNya
tidak lain kecuali penyelesaian pekerjaan Roh Kudus
yang telah dimulai di dalam inkarnasi dan dengan
kebangkitan Yesus Kristus.
Konverjensi Roh Kudus dan Eskaton di dalam
“Pengalaman Transendens”
Lokus dari pneumatologi di dalam dogmatik
klasik, secara khusus di Barat, telah berupa
pertimbangan Trinitarian atau di dalam doktrin
keselamatan. Apa yang telah diabaikan adalah peran
Roh Kudus di dalam penciptaan dan eskatologi,
meskipun kedua loci ini mempunyai atestasi Alkitab
yang kuat. Ada sebuah konsensus di antara sarjana
Perjanjian Lama bahwa setiap kata ruah dihubungkan
dengan suatu pencurahan, ia selalu bersifat eskatologi
dalam naturnya. Dalam Perjanjian Baru juga, Roh
digambarkan sebagai karunia eskatologis (Ef. 1:14).
Satu dari segi khusus yang utama yang lazim bagi
pemahaman Kristen primitif tentang Roh Kudus adalah
132
bahwa karunia pneuma merupakan suatu karunia
eskatologis, dan pekerjaannya di dalam komunitas
bersifat peristiwa eskatologis.
Hubungan Roh Kudus dan eskatologi mengikat
antara ciptaan dan Kerajaan Allah, saat penggenapan
ciptaan terjadi. Dan kemudian ia memperluas
pendekatan yang sempit terhadap diskursus
pneumatologi, yang merupakan karakteristik pada
tulisan-tulisan awal dalam Alkitab.
Roh Kudus dan Penggenapan Akhir
Teologi Misi pentakostal, menurut Karkainnen,
juga berporos pada diskursus Roh dan Penggenapan
Akhir (Konsumasi). Mengutip dari teologi Pannenberg,
Karkainnen menyatakan bahwa hubungan integral
antara pneumatiologi dan eskatologi dipertegas oleh
fakta bahwa adalah dari Roh Yesus Kristus orang
Kristen mengharapkan penggenapan eskatologi.
Pekerjaan Roh Kudus mengkaitkan masa depan kepada
masa kini oleh Roh masa depan eskatologis yang sudah
hadir di hati orang-orang percaya. Pneumatologi dan
eskatologi saling memiliki karena penggenapan
eskatologis sendiri diatribusikan kepada Roh Kudus,
yang merupakan suatu karunia akhir zaman yang sudah
memerintah lewat kehadiran historis dari orang
percaya.
Pandangan pekerjaan penggenapan dari Roh
Kudus ini memiliki beberapa konsekuensi penting yang
terkait dengan misi melalui doktrin Tritunggal dan
gereja. Terkait dengan Tritunggal, kita harus
133
menjelaskan hubungan antara pneumatologi dan
eskatologi, tidak sekedar bersifat Kristologis, tetapi juga
di dalam istilah-istilah doktrin Tritunggal. Karena kita
harus memikirkan penggenapan dari dunia dan
kemanusiaan sebagaimana didasarkan di dalam Allah
sendiri.
Gereja Yesus Kristus hidup di dalam Roh Kudus
dan ada di dalam dirinya sendiri permulaan dan
kegigihan dari masa depan dari ciptaan baru. Sebagai
komunitas Kristus yang historis, gereja adalah ciptaan
Roh yang bersifat eskatologis. Gereja merupakan pos
perjumpaan dari pneumatologi dan eskatologi, di
tengah-tengah “pengalaman transendens,” sejauh ia
berjalan pada isi ciptaan baru Allah ini. Tensi antara
“sudah” dan “belum” begitu terlihat dan tak
terhindarkan. Terkait dengan gereja, seseorang harus
menambahkan bahwa tidak hanya eskatologi tetapi
juga sejarah yang diikutkan di dalam pneumatologi. Ia
adalah “komunitas di dalam proses Roh Kudus” pada
perjalanan ke eskaton, kuasa-kuasa dengan mana ia
telah dirasakan dalam perjalanan gereja tersebut.
Implikasi
Karkkainen selanjutnya menjelaskan apa implikasi
dari isu-isu di atas terhadap misiologi pneumatologis?153
Pertama, fokus pada suatu pneumatologi komprehensif
menolong misi untuk mendapatkan suatu gambaran yang
jelas akan pekerjaan Allah di dalam dunia. Penciptaan
dan ciptaan merupakan pekerjaan Allah yang dibawa
153 Karkkainen, Toward Pneumatological Theology, 226-27.
134
oleh Roh Kudus, sumber kehidupan dan gerakan. Sejarah
Yesus Kristus, isi dari pemberitaan Kerajaan Allah, bersifat
pneumatologis. Ia bukan hanya pemberi Roh Kudus,
tetapi juga penatang Roh Kudus, Seorang yang juga telah
dibangkitkan oleh Roh yang sama. Gereja Kristus
dilembagakan oleh Roh Kudus dan dipanggil untuk
pelayanan misionaris kepada bangsa-bangsa. Roh akan
mendatangkan penggenapan pekerjaan keselamatan
Allah terhadap ciptaan dan kemanusiaan, ditebus oleh
Anak, untuk kemuliaan Bapa.
Kedua, misi pentakostal, sebagaimana sudah
dijelaskan, telah digenggam oleh pengalaman intensif,
sesuatu yang sangat krusial tentang misi: sentralitas Roh
Kudus dan urgensi eskatologi.
Ketiga, bagi kebanyakan kalangan Pentakostal, dan
pada tingkat yang lebih rendah bagi kalangan Karismatik,
peran Roh Kudus di dalam misi kurang memadai.
Meskipun tidak ada penyangkalan pentingnya “kuasa”
(Kis. 1:8), atestasi Alkitab kepada Roh Kudus jauh lebih
komprehensif. Karkkainen memaksudkan bukan hanya
memberikan kredit kepada pekerjaan lain dari Roh seperti
buah Roh Kudus, tetapi juga usaha untuk memupuk
pemahaman yang lebih besar akan pekerjaan Roh di
dalam komunitas, di dalam dunia, dan di dalam ciptaan.
Dengan kata lain, mari biarkan suatu apresiasi yang lebih
besar akan pekerjaan-pekerjaan dahsyat Allah yang
dilihat di dalam penciptaan, ciptaan, komunitas-
komunitas, karakter, dan karisma-karisma.
135
Amos Yong
Salah satu terobosan sekaligus keberanian yang
dilakukan oleh Yong dalam pemikirannya adalah terkait
dengan dialog agama-agama dari perspektif
pneumatologi, selain dialognya dengan sains. Yong
melihat bahwa diskursus misi sangat terkait dengan
diskursus teologi agama-agama. Baginya, sebuah teologi
agama-agama perspektif Kristen adalah juga Teologi Misi
Kristen. Maka suatu teologi agama-agama perspektif
Kristen yang kuat sangat diperlukan dengan tepat arena
misi Kristen dalam suatu dunia post-kolonial, post-
fondasional, dan postmodern harus dipikirkan ulang,
barangkali dari tingkat bawah (mendasar).154
Pendekatan Yong lebih bersifat dialogis ketimbang
apologetik. Mengapa saya katakan demikian?, karena
selama ini orang-orang pentakosta tak pernah tertarik
untuk mengkaitkan pneumatologi dengan diskursus
teologi agama-agama, tetapi kepada pendekatan
konservatif yang melulu berkutat pada percakapan-
percapakan pekerjaan “anugerah kedua” yang disebut
baptisan Roh Kudus dan manifestasi-manifestasi Roh
Kudus di dalam konteks gereja lokal dan kaitannya
dengan spiritualitas privat dan individualistik.
154
Yong, Beyond the Impasse. Toward a Pneumatological Theology of Religions. (Grand Rapids, MI: Baker Book & Carlisle, Cumbria: Paternoster Press, 2003), 19.
137
Dalam pendekatannya, Yong melihat bahwa mem-
frame teologi agama-agama sebagai suatu subset dari
doktrin Allah secara generik merupakan sesuatu yang
over optimistik. Demikian pula, mem-framenya dengan
kategori-kategori kristologi secara defensif memang bisa
saja membungkamkan klaim-klaim agama-agama lain,
tetapi sedikit efektif dalam keterlibatan yang lebih ofensif
yang mengakui segi partikularitas inkarnasional Allah
(Yoh. 1:14) dan, keseimbangannya akan aspek
universalitas dari Roh yang dicurahkan kepada semua
manusia (baca: flesh, Kis. 2:17).156
Yong mengkiritik absennya diskursus Roh di dalam
teologi Barat, yang berpengaruh pada kecurigaan kepada
spirits pada agama-agama lain. Yong kemudian
mempercayai bahwa Roh sebenarnya bisa saja telah
memperluas kehadiran dan aktifitas Allah di dalam
agama-agama non Kristen. Namun, untuk tidak
mengaburkannya dengan roh-roh yang destruktif dan
demonik, maka Yong mencoba untuk menawarkan tiga
kriteria-seperti yang disebutkan di atas-yaitu divine
presence, divine absence dan divine activity yang dapat
memampukan gereja untuk discern kehadiran dan
pekerjaan Allah atau menolak yang demonik atau
destruktif itu. Yong juga menekankan bahwa Roh Kudus
foundational-pneumatology-and-theology-of-discernment-from-latino-
Pentecostal-perspectives. Diakses pada 10 Maret 2014.
156 Ott, Encountering Theology of Mission, 308-09.
138
akan memampukan orang-orang Kristen
menginternalisasi “the hospitality of God” dengan
menolong kita untuk berinteraksi secara positif sebagai
host dalam dunia yang pluralis secara agama.
Aktivitas ilahi dijelaskan sebagai force fields iman,
pengharapan dan kasih yang diciptakan Roh Kudus yang
memampukan umat manusia beranjak dari hubungan-
hubungan yang teralienasi, terluka dan destruktif menuju
hubungan yang rekonsiliatif, saling membangun,
menyembuhkan dan menyelamatkan. Oleh karenanya
aktifitas universal dari Roh adalah untuk
mengintegrasikan sesuatu kepada lingkungannya dalam
suatu cara sedemikian rupa sehingga ia dapat menjadi
autentik bagi dirinya sendiri dan menjadi pelayanan
dalam hubungan-hubungannya dengan orang lain.
Namun, Yong menyadari bahwa ideal semacam itu
bersifat eskatologi walau di sela oleh Roh Kudus, maka
ciptaan menghadapi divine absence dan belum dapat
terwujud di sini dan sekarang karena penolakan manusia
kepada tujuan-tujuan ilahi mereka, yang
mengekspresikan kebebasannya yang destruktif,
ketidakadilan-ketidakadilan, alianasi, dan penindasan-
penindasan. Ini yang kemudian disebutnya sebagai wujud
dari pekerjaan demonic spirits.
Yang menarik Yong kemudian mengemukakan
proses tiga rangkap-semacam screening-yang dapat
mendiscern apakah Roh Allah sungguh-sungguh ada
139
hadir di dalam agama-agama, termasuk kekristenan yaitu
pertama, kriteria eksperiensial-fenomenologi. Kedua,
kriteria etis-moral; ketiga, soteriologikal teologis. Kriteria
yang pertama merujuk kepada bentuk-bentuk aestetik
berupa simbol-simbol, dan ritual-ritual. Kriteria
pengalaman-pengalaman rohani yang fenomenal itu akan
dilihat sejauhmana ia melahirkan suatu bentuk-bentuk
tindakan-tindakan etis yang holistik, hubungan-hubungan
komunal yang terpelihara dan diperkuat, maka untuk
sementara dapat dikatakan bahwa Roh Allah yang
universal itu memang sungguh hadir di agama tersebut.
Namun, menjadi titik krusial pada kriteria ketiga,
menyangkut aspek soteriologi. Yong meyakini bahwa
agama tersebut dapat diakui sebagai yang memberitakan
berita keselamatan ketika ia terbukti membawa tanda-
tanda yang bersifat praksis yaitu keadilan, kasih,
keberpihakan kepada kaum marjinal dan tindakan-
tindakan lainnya yang bersifat liberatif. Bila tidak, Yong
menyebutnya, situasi itu sebagai divine absence. Dan
dalam situasi ini, maka agama itu sesungguhnya sedang
bersekutu dengan roh-roh yang demonik, walaupun
kelihatannya menampilkan kehebatan bersifat fenomenal.
Dengan pemahaman seperti ini, maka bukan tidak
mungkin orang-orang Pentakostal/Karismatik yang
mengklaim penuh Roh Kudus itu, sesungguhnya
bersekutu dengan roh yang denomik dan destruktif-
karena Yesus telah mengatakan, “dari buahnyalah kamu
140
mengenal mereka”-bila tidak menunjukkan tanda-tanda
praksis seperti di atas, dan dengan sendirinya menjadi
tidak relevan untuk membicarakan peran soteriologisnya.
Sementara diskursus misi dalam kaitannya dengan
Spirit/spirits pada konteks Asia telah lama disadari karena
memang Asia (dan juga Afrika) adalah negara-negara
dimana hidup kepercayaan-kepercayaan dan budaya
besar yang inheren dengan dunia roh. Namun,
tampaknya orang-orang Injili sendiri lebih memilih untuk
memasukkannya di dalam bingkai “Bible in the Context,”
karena kekuatiran mereka akan “roh yang lain,” yang
bukan dimaksudkan oleh Alkitab.157 Namun, paling tidak
pemikiran Yong dapat melakukan dialog dengan
postmodernisme. Yong sendiri menyadari bahwa dulu
pada waktu ia berada pada posisi Injili konservatif, ia
melihat kurang memadainya sumber-sumber yang
tersedia untuk membangun suatu teologi agama-agama,
sampai ia terinspirasi oleh tulisan-tulisan Clark Pinnock
(dan teolog-teolog Injili lainnya) pada tahun 1994.158
Pneumatologi Yong ini masih sulit diterima oleh orang-
orang Injili karena dianggap suatu proyek ambisius yang
dapat men-domestifikasi (meminjam istilah Lesslie
Newbigin) Injil, men-sinkretisme-kan kekristenan dan
resiko depersonalisasikan Roh Kudus. Bagi saya,
pendekatan pneumatologi bagi pembangunan teologi
157
Lihat Bong Rin Ro, Bible in Asia Context, 1982; Paul G. Hiebert, Anthropological Insights for Missionaries, 1985
158 Yong, Beyond the Impasse, 32-33.
142
(g) karakter Kristen dan hubungan-hubungan.160 Tujuh
indikator inilah yang disebut sebagai misi bersifat holistik
yang harus secara seimbang dijalankan dan dihidupi.
Lebih jauh Lord mengemukakan bahwa Roh Kudus yang
mengerjakan banyak aspek-aspek dilihat sebagai
pekerjaan Roh Kudus yang bukan hanya bersifat
partikular (gereja) tetapi juga universal (penciptaan).
Gerakan Roh Kudus antara keduanya yang membentuk
misi. Misi Roh ini meliputi gereja mensharingkan Kristus
dengan segenap ciptaan dan orang-orang dibawa ke
gereja. Ia juga termasuk pergerakan yang membawa
pengalaman-pengalaman Kerajaan Allah eskatologis dari
keadilan dan perdamian, kesembuhan, sukacita, kepada
dunia masa kini dan bergerak oleh gereja untuk terlibat di
dalam agenda politik dunia. Gerakan semacam itu
menggambarkan misi Roh dimana orang-orang terlibat
dan dalam melakukan hal demikian ia ada di dalam
missio Dei.161
Kesimpulan
Teologi Misi pentakostal dapat disebut sebagai
masih menuju “menjadi” (in the making). Adalah urgen
untuk menggumuli Teologi Misi ini sesuai dengan
kemajuan zaman dan tuntutan konteks. Dan tidak
160
Andrew Lord, Spirit-Shaped Mission. A Holistic Charismatic Missiology (Milton Keynes: Paternoster, 2005), 63
161 Lord, Spirit-Shaped Mission. A Holistic Charismatic Missiology, 87.
143
diragukan lagi abad-21 telah menciptakan suatu lanskap
yang sangat berbeda dalam mana Pentakostalisme harus
melakukan navigasi.162
Ada beberapa titik arsir (share some things in
common) dengan kelompok evangelikal—dan ada yang
tidak kompatibel juga karena karakteristik pentakostal
yang unik. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bahwa
dua hal yang berkembang di dalam pengembangan
Teologi Misi pada kelompok evangelikal menjadi hal
yang dapat disepakati oleh kelompok pentakostal.
Pertama, di dalam membangun teologi yang kontekstual
kepada komunitas posmodern, misalnya, teologi berbasis
narasi menjadi hal yang dapat dikembangkan.
Sebagaimana postmodernisme sebagai sebuah fenomena
budaya dan filsafat yang meletakkan narasi pada tempat
yang penting, maka kelompok pentakostal menemukan
afirmasinya sebab sudah lama kaum pentakostal
meletakkan narasi sebagai sebuah bagian dari
membangun teologi. Kisah Para Rasul misalnya, dapat
dianggap kisah yang dapat dijadikan acuan di dalam
membangun Teologi Misi dan teologi Roh Kudus.
Titik arsir yang kedua dimana kelompok pentakostal
ada di dalam kesamaan dengan evangelikal adalah grand
narasi: Yesus Kristus adalah Juruselamat dunia. Dengan
berlandaskan teologi empat rangkap (Yesus Kristus
sebagai Penyelamat, Yesus Kristus sebagai Pembaptis,
Yesus Kristus sebagai Raja Yang Akan Datang). Namun,
selain titik arsis tersebut, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan sebagai yang tipikal atau karakteristik
162
Klaus, Reflection, 136.
145
Yang terakhir, dalam proses “menjadi” (in the
making) dari Teologi Misi pentakostal, harus dikatakan
bahwa kelompok pentakostal tampaknya masih akan
dibangun di atas church-view mission, ketimbang
kingdom-view church. Sebagaimana pentakostal sangat
terkenal dengan penanaman gereja yang ekspansif, maka
tempat ecclesiastic missiology masih mendapat tempat
yang penting. Kaum pentakostal tidak terlalu tertarik
dengan ide missio Dei. Namun, bukan berarti tidak
mengakui Allah sebagai Allah yang misionaris. Tetapi
diskursus mission Dei dibangun di atas teologi kedaulatan
Allah, sementara pentakostal melihat bahwa gereja
adalah agen penting bagi pelaksanaan misi. Ini dapat
menjadi sekaligus titik kelemahan yang membutuhkan
koreksi. Mengapa karena church-view mission telah
menjadikan Teologi Misi pentakostal membangun teologi
pertumbuhan gereja, bukan pertumbuhan Kerajaan Allah.
Teologi Pertumbuhan Gereja ini telah banyak dikritik
sebagai yang mensimplifikasi cara kerja Allah di dalam
dunia, dan telah menjadikan ukuran-ukuran kuantitas
sebagai kunci dari “keberhasilan” misi.
146
Daftar Pustaka Acuan
Anderson, Allan H., “Contextual Pentecostal Theology of David Yonggi Cho,”
dalam Asia Journal of Pentecostal Studies 7:1 (2004).
Bosh, David J., Transforming Mission: Paradigm Shifts in Theology of Mission.
Maryknoll: Orbis, 1991.
Brownson, James V., “Speaking the Truth in Love: Elements of a Missional
Hermeneutic,” dalam George R. Hunsberger and Craig Van Gelder,
eds., The Church Between Gospel and Culture. Grand Rapids:
Eedmans, 1996.
Burgess, Stanley M.; assoc. ed. Eduard M. van der Maas, The New
International Dictionary of Pentecostal and Charismatic Movements,
revised and expanded edition. Grand Rapids, Michigan: Zondervan,
2002.
Calson, Charles, How Now Shall We Live. Wheaton, IL: Tyndale, 1999.
Corrie, John, ed., Dictionary of Mission Theology. Nottingham: IVP Academic,
2007.
Davis, Joe, “Engaging Amos Yong’s Foundational Pneumatology and Theology
of Discernment from Latino Pentecostal Perspectives.” dalam,
http://love2justice. wordpress.com/2013/05/26/engaging-amos-yongs-
foundational-pneumatology-and-theology-of-discernment-from-latino-
Pentecostal-perspectives. Diakses pada 10 Maret 2014.
Darmaputera, Eka, “Konteks Berteologi di Indonesia,” dalam Konteks
Beteologi di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.
Demster, Murray W., “Paradigm Shifts and Hermeneutics: Confronting Issues
Old and New,” dalam Pneuma 15, 2 (1993).
Engen, Charles van, “”Mission” Defined and Descried,” dalam David J.
Hesselgrave & Ed Stetzer, eds., Missionshift. A Global Mission Issues in
the Third Millenium. Nashville, TN.: B&H Publishing Group, 2010.
Hiebert, Paul G., “Critical Contextualization,” dalam International Bulletin of
Missionary Research 11.3, July, 1987.
Hollenweger, Walter J., “Introduction.” In A. Bittlinger, ed. The Church is
Charismatic: The World Council of Churches and the Charismatic
Renewal, 1981
147
Kirk, J. Andrew, Apa itu Misi? Suatu Penelusuran Teologis. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2000
Klaus, Byron D., “Reflection on Pentecostal Mission for the Twenty-First
Century,” dalam Vinson Synan, Gen. Ed., Spirit-Empowered
Christianity in the 21st Century, (Lake Mary, Fl.: Charisma House,
2011.
Karkkainen, Veli-Matti Toward Pneumatological Theology. Pentecostal and
Ecumenical Perspective on Ecclesiology, Soteriology, and Theology of
Mission. Ed by Amos Yong. Lanham, New York & Oxford: University
Press of America, Inc, 2002.
Lord, Andrew, Spirit-Shaped Mission. A Holistic Charismatic Missiology.
Milton Keynes: Paternoster, 2005.
McGrath, Alister, A Passion for Truth. Downers Grove, IL: IVP, 1996.
Newbigin, Lesslie, the Gospel in a Pluralistic. Grand Rapids, MI: Wm.
Eerdman Publishing Co, 1989.
Nissen, Johannes, New Testament and Mission. Historical and Hermeneutical
Perspective, 2nd Edition. Frankfrut: Peter Lang, 1990.
Osborne, Grant R., the Hermeneutical Spiral. A Comprehensive Introduction
to Biblical Interpretation. Second Edition. Rivised and Expanded.
Downers Grove, IL: InterVarsity, 2006.
Ott, Craig, Stephen J. Strauss, Encountering Theology of Mission, Grand
Rapids, MI: Baker Books, 2010.
Scherer, J.A., “Church, Kingdom, and Missio Dei: Lutheran and Orthodox
Correctives to Recent Ecumenical Mission Theology,” 82-88 dalam C.
Van Engen, D.S. Gilliand, and P. Pierson eds.,The Good News of the
Kingdom: Mission Theology for the Third Millenniu. Maryknoll: Orbis,
1993.
Strondstrad, Roger, “Pentecostalism, Experiential Presuppositions, and
Hermeneutics” at the 20th Annual Meeting of the Society of
Pentecostal Studies, Dallas, Texas, November 8–10, 1990.
Sugirtharajah, R.S., Postcolonial Criticism and Biblical Interpretation.
Oxford: Oxford University Press, 2002.
Sutadi, Laurensius, “Postmodern Hermeneutik dan Teologi” (Pemikiran Lemah
Gianni Vattimo dan Hermeneutika Paul Ricoeur) dalam Studia
Philosophica et Theologica, Vol. 4 No. 2, Oktober 2004.
148
Vanhoozer, Kevin J., “Theology and the Condition of Postmodernity: a Report
on Knowledge (of God),” dalam the Cambidge Companion to
Theology, Kevin J. Vanhoozer, ed. Cambridge: Cambridge University
Press, 2003
Yung, Hwa, Mangoes or Bananas?: The Quest for an Authentic Asian Christian
Theology. Oxford, UK: Regnum Studies in Mission.
Weston, Paul, 'Lesslie Newbigin: A Postmodern Missiologist?' dalam
http://www.martynmission.
cam.ac.uk/media/documents/Archive%20Seminar%20Papers%20199
9-2002/-Lesslie%20Newbigin %20A%20 Postmodern%
20Missiologist. pdf. Diakses 11 Oktober 2014
Wright, Christopher J. H., the Mission of God. Unlocking the Bible’s Grand
Narrative. Downers Grove, IL.: IVP, 2006.
WCC, “You are the Light of the World” Statements on Mission by World
Council of Churches 1980-2005
149
"PENTECOSTAL RESSOURCEMENT"
MENUJU ONTOLOGI SAKRAMENTAL PERJUMPAAN
OLEH: PDT. OYAN SIMATUPANG, PH.D. (C)164
Abstract: Di dalam tulisan ini penulis meyakini bahwa
ontologi sakramental sangat ideal untuk menjadi dasar
pengembangan teologi pentakostal yang memungkinkan untuk
gerakan pentakosta mengembangkan intelektual dan spiritual
kedepannya. Tulisan ini menjelaskan apa yang terhilangkan
dalam Gereja Katolik Roma di saat yang bersamaan dengan
pemaparan proyek ressourcement, dan di bagian akhir penulis
menunjukkan pentingnya mendengarkan apa yang disampaikan
nouvelle théologie bagi perkembangan teologi pentakostal.
Tulisan ini menegaskan bahwa perlunya sebuah usaha
membangun ressourcement khas Pentakostal yang nantinya akan
164. Pdt. Oyan Simatupang (Oyan adalah panggilan akrab
nama Florian) adalah pendeta di GSJA International English Service,
di Jakarta, yang sebelumnya menggeluti dunia profesi selama +/- 15
tahun. Tahun 2009-2012 mengenyam pendidikan teologi di Regent
College, Vancouver, Canada dan mendapatkan gelar MDiv. Saat ini
sedang menyelesaikan disertasinya untuk gelar Ph.D. dalam bidang
teologi gereja (ecclesiology) di Regent University, Virginia, USA,
secara khusus meneliti tentang sakramen perjamuan kudus. Email:
[email protected]. Makalah ini disampaikan di acara Sarasehan
Perdana Sarjana Pentakostal di Ungaran, 17-18 September 2018.
150
membantu gerakan ini memperjelas pemahaman dan pemaparan
teologis Pentakostal yang bersifat sakramental.
Keywords: pentakostal, ressourcement, ontologi
sakramental, gereja.
oleh dikatakan terdapat sebuah konsensus yang
menyatakan bahwa teologi Pentakostal adalah
tentang perjumpaan dengan misteri yang dimediasi
oleh pengalaman dengan Roh Kudus.165
Hal ini, menurut saya,
memberikan peluang besar bagi teolog Pentakostal untuk bisa
berkontribusi dalam pembicaraan teologis ekumenis baik di
gereja maupun di dunia akademis. Namun, sebagai pendatang
baru dalam pembicaraan yang sudah berlangsung lama ini, saya
rasa penting bagi teolog Pentakostal untuk juga memperhatikan
dan mengetahui isi pembicaraan yang sudah terjadi sebelum-
sebelumnya; bukan itu saja, bahkan seorang teolog Pentakostal
telah mengusulkan bahwa postur mendengarkan-sebelum-
berbicara ini adalah bagian penting yang dibutuhkan untuk
165. Mark J. Cartledge, Encountering the Spirit: The
Charismatic Tradition (Maryknoll, N.Y: Orbis Books, 2007), 16; Keith
Warrington, Pentecostal Theology: A Theology of Encounter, 1st
edition (London; New York: Bloomsbury T&T Clark, 2008), 20.
B
152
memulai sebuah proyek teologis yang dikenal sebagai
ressourcement. Pada waktu itu banyak orang di dalam Gereja
Katolik Roma yang melihat bahwa gereja telah kehilangan indera
misterinya, dan tujuan dari proyek ressourcement ini adalah
untuk memulihkan indera tersebut dengan menggali kembali
pemahaman sintesis Kristen-Platonis dari para Bapa Gereja.168
Dalam pandangan saya , penemuan kembali indera misteri ini
penting bagi teologi Pentakostal. Pergerakan Pentakostal adalah
sebuah perggerakan yang menarik garis silsilahnya dari garis
Kekristenan Barat melalui Reformasi Protestan, dan hal ini
secara tidak sengaja telah membuat pergerakan ini 'kehilangan'
indera misteri ini. Dalam pandangan saya proyek ressourcement
ini dapat menawarkan satu tuntunan atau panduan dalam
memulihkan apa yang tanpa disadari telah hilang dari kosakata
Pentakostal. Oleh karena itu, yang menjadi tesis makalah adalah
pendapat yang mengatakan bahwa mendengarkan apa yang
ressourcement. Lihat Henri de Lubac, The Mystery of the Supernatural,
(New York: The Crossroad Publishing Company, 1998), xxi-xxii.
168. Membahas subyek ini dengan dalam tidak mungkin untuk
lingkup makalah ini tetapi perlu untuk saya tegaskan dari permulaan
bahwa para teolog kontemporer yang mendukung pandangan sintesis
Platonis-Kristen Patristik akan mengatakan bahwa para Bapa Gereja
telah menggunakan unsur-unsur pemikiran Platonik dengan tepat
sambil menolak hal-hal yang tidak kompatibel dengan pemikiran
Kristen.
153
disampaikan nouvelle théologie memberikan hal-hal yang
berpotensi memberi manfaat besar bagi pengembangan metode
teologi Pantekostal yang merangkul misteri dengan penuh
keakraban bahkan kemesraan.
Tesis ini akan dipaparkan dengan cara membagi
makalah ini menjadi tiga bagian: Pertama saya akan memberikan
sketsa tentang apa yang terhilang dari kita sebagai salah satu
keturunan Reformasi Protestan. Untuk perbandingan saya juga
akan memberikan sketsa apa yang terhilangkan dalam Gereja
Katolik Roma di saat yang bersamaan. Kedua, saya akan
memaparkan apa yang ditemukan kembali oleh proyek
ressourcement. Ketiga, saya akan mencoba menunjukkan
mengapa penting bagi perkembangan teologi Pentakostal untuk
mendengarkan apa yang disampaikan nouvelle théologie, dan
kemudian menyimpulkan dengan beberapa gagasan untuk ke
depan. Saya mulai dengan bagian pertama.
Meskipun orang-orang Pentakostal mengatakan bahwa
teologi mereka bersifat eksperiensial, cara mereka berteologi
masih sangat dipengaruhi oleh metode Reformasi Protestan,
paling tidak dengan hal yang berkenaan denan pemahanan ketiga
157
menolak gagasan bahwa Tuhan jauh dari ciptaannya; namun
pada umumnya orang-orang Pentakostal belum merasa perlu
melihat ke Tradisi Agung para Bapa Gereja sebagai titik acuan,
karena postur anti-tradisi mereka yang cenderung
menganggapnya kontradiktif dengan "karya Roh yang spontan
dan baru."178
Postur anti-tradisi ini sebenarnya bukan hanya didapati
dalam aliran Pentakostal; sebab ternyata sebagai keturunan
Protestan, kita 'di-tradisikan' untuk melakukan hal tersebut.
Harus diakui bahwa Gerakan Reformasi Protestan telah
menyumbangkan banyak hal yang baik dan penting: misalnya
membawa kembali sentralitas Firman yang disampaikan melalui
khotbah, pentingnya pembelajaran atau penelaahan Alkitab demi
berkembangnya iman orang percaya, dan keterlibatan pelayanan
dari orang-orang awam. Tetapi ini tidak berarti bahwa Reformasi
Protestan tidak lepas dari permasalahannya sendiri. Sebagai
contoh kita ambil doktrin Sola Scriptura yang sering
diekspresikan dengan mengorbankan atau membuang apa yang
dikenal dengan tradisi hidup (living tradition), dan menganggap
178. Chan, Pentecostal Theology and the Christian Spiritual
Tradition, 22.
158
seolah-olah gereja tidak memiliki peran sama sekali dalam
menetapkan batas-batas yang tepat dalam menafsirkan teks-teks
Kitab Suci.179
Yang menarik adalah tindakan mempertentangkan
Kitab Suci kepada tradisi ini juga terjadi dalam gerakan Kontra
Reformasi Katolik yang, dalam reaksinya terhadap Reformasi
Protestan, menegaskan bahwa otoritas tertinggi hanya didapatkan
atau ditemukan dalam dan melalui Gereja.180
Persamaan, atau
paling tidak kemiripan, yang didapati di Katolik Roma dan
Kristen Protestan, menurut nouvelle théologie, terjadi akibat dari
kedua belah pihak yang telah menanggalkan sintesis Platonis-
Kristen dari Tradisi Agung para Bapa Gereja.181
Ini membawa
kita ke bagian kedua.
Yang menjadi perhatian dan keinginan utama proyek
ressourcement adalah mengembalikan teologi Katolik Roman
kepada asalnya dengan menggali kembali sumber-sumber
patristik dan teologi abad pertengahan (medieval), dan hal ini
bertujuan untuk bisa memberikan jawaban atas pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan oleh gejolak modernitas kepada
179. Boersma, Heavenly Participation, 88.
180. Boersma, 62.
181. Boersma, 67.
160
dan oleh karenanya ciptaan memiliki otonomi sendiri;184
satu hal
yang akhirnya nanti memberikan jalan bagi tumbuhnya
sekularisme dengan subur.185
Para teolog ressourcement mempertanyakan keabsahan
asumsi-asumsi yang dipegang oleh pemahaman Neo-Skolastik,
dan mereka berupaya memulihkan pemikiran para Bapa Gereja
dan teolog abad pertengahan ke dalam gereja sebagai cara untuk
gereja bisa kembali ke pemahaman Alkitab-dan-tradisi dengan
tujuan agar tidak ada lagi dikotomi antara iman dan teologi, dan
sebagai hasilnya kedua hal tersebut dapat kembali menjadi
relevan dalam kehidupan orang-orang banyak.186
Agar hal ini
bisa terjadi maka diperlukanlah cara memandang dan memahami
realita yang kembali sakramental dan sekaligus berpusat pada
Kristus.187
Selain mengatakan bahwa Tuhan telah menciptakan
dunia dan menyatakannya baik, dan memandang bahwa dunia
menunjuk kepada Tuhan sebagai sumber keberadaannya,
184. Boersma, 78.
185. James K. A. Smith, Introducing Radical Orthodoxy:
Mapping a Post-Secular Theology (Grand Rapids, Mich: Baker
Academic, 2004), 99.
186. Boersma, Heavenly Participation, 15.
187. Boersma, 20.
168
MENGHAYATI KARUNIA ROH KUDUS DI DALAM
SEMANGAT KEADILAN LABA
OLEH: MICHAEL KRISSUSANTO Abstract: Penulis menawarkan untuk melepaskan
penghayatan-penghayatan karunia-karunia Roh Kudus di
dalam kerangka spiritual melulu, dan melihat fenomena
penghayatan karunia Roh Kudus yang kaya di dalam dunia
ekonomi di dalam tataran praktis kehidupan kegerejaan
pentakostal. Berangkat dari penghayatan tersebut dapat
menghasilkan sebuah dinamika “keadilan-laba” yang di
dalam penatalayanan gereja pentakostal.
Keywords :Karunia, Roh Kudus, ekonomi, laba,
gereja, keadilan, pentakostal
Pada pengertian yang subtansif, laba adalah: daya yang
masuk lebih besar dari daya yang keluar – felix Rohatyn
Life...There are only two ways to living: Increase income and
decrease costs – Fred DeLuca
anusia yang sangat individualistis tak dapat
memisahkan diri dari sesamanya, sehingga ia harus
berada di dalam ruang dan waktu yang sama
secara bersama-sama. Ketika sebuah kehidupan
sosial selalu tersusun atas berbagai indivdu,
kehidupan sosial akan selalu merupakan tempat bertemunya
berbagai keberadaan yang di dalamnya terdapat berbagai
kepentingan juga. Magnis Suseno mayakini bahwa kondisi
seperti itulah yang membuat manusia harus terus
berkompetisi dengan sesamanya, sekaligus menyesuaikan
dengan keberadaan sesamanya (Suseno 1989, 21-22).
M
169
Untuk membangun sebuah dinamika kepentingan yang baik,
maka perlu diregulasikan sistem yang mengatur kepentingan
pribadi dan kepentingan sosial. Dalam konteks sosial
dinamika kepentingan pribadi yang paralel dengan
kepentingan sosial ini adalah nilai sebuah keadilan (Ryan
1996, 53-54).
Keadilan sendiri adalah sebuah bahasan filsafat yang
paling sering dikaji oleh banyak orang. Berbagai perspektif
dan teori-teori hukum alam yang mengutamakan
pencaharian keadilan, dari Socrates hingga Francois Geny
tetap menjadikan pembahasan keadilan sebagai kegiatan
utama di dalam dunia penelitian hukum (Huijbers 1995,
196). Meskipun bukan menjadi satu-satunya prasyarat
kehidupan sosial yang sehat, tetapi keadilan memiliki peran
yang fundamental bagi masalah kehidupan sosial, baik
koordinasi, stabilitas maupun efisiensi. Masalah keadilan
selalu menarik untuk dibahas di dalam keterkaitannya
dengan moral, kehidupan bernegara, dan bermasyarakat. Di
dalam kekristenan sendiri selalu ada wilayah yang dapat
disentuh oleh nilai keadilan. Wahyu yang diyakini tertuang
di dalam Alkitab juga sarat dengan prinsip-prinsip
pembentuk bangunan keadilan, sehingga dari situlah
kekristenan berusaha membentuk wajah agama yang
menegakkan keadilan dan mengembangkan etika keadilan
dalam ranah kehidupan yang begitu luas dan kompleks. Dari
sini harus diakui bahwa pembicaraan keadilan adalah
sebuah pembicaraan dengan cakupan dimensi yang sangat
luas di dalam kehidupan individual seseorang, Hal tersebut
yang membuat rumitnya upaya penyusunan teori-teori
keadilan ketika teori-teori tersebut hendak diterapkan di
dalam realitas kehidupan manusia.
Keadilan dapat dianggap sebagai sebuah gagasan
dan realitas yang dihasilkan dari serangkaian proses filosofis
170
yang rumit, tetapi juga ada anggapan bahwa keadilan
hanyalah sebuah hasil telaah agama dan filsafat mengenai
kehidupan sosial. Tidak heran kita melihat bahwa diskursus
mengenai keadilan telah panjang terbentang di dalam
runutan sejarah. Oleh karena itu, bab ini memuat dua
pendekatan etis dan teologis yang diharapkan menjadi
sebuah dinamika perbandingan yang semakin memperjelas
bentuk prinsip keadilan yang baik dan tepat.
Melepaskan karunia Roh Kudus dari batasan ministerial
kepada dunia yang lebih luas (ekonomi)
Richard K . Taylor mengatakan bahwa Masalah
ekonomi bukanlah masalah yang bersifat mistik yang
mustahil untuk diselesaikan sehingga mengharuskan
manusia untuk menyesuaikan dengan masalah ekonomi
tersebut (Taylor, 1973, 5). Masalah ekonomi bukanlah
sesuatu yang mengatur pola kehidupan manusia, masalah
ekonomi harus menjadi tantangan bagi manusia sehingga
dapat diatasi dan diatur demi menciptakan kehidupan yang
lebih baik. Masalah ekonomi bukanlah sebuah batasan bagi
nilai-nilai etis, tetapi merupakan tantangan bagi umat
manusia, khususnya bagi manusia yang beragama,
merupakan tugas yang terus harus dikerjakan untuk
mewujud-nyatakan bentuk-bentuk keyakinannya dalam
sebuah kebaikan bagi banyak orang.
Gerakan pentakostal adalah kegerakan yang
menekankan peran dan karunia-karunia Roh Kudus di dalam
kehidupan jemaat, di dalam kehidupan sehari-hari simbol
dan makna pesan-pesan mimbar gerejawi menekankan
bahwa ada pekerjaan dan karya Roh Kudus di dalam
kehidupan orang percaya. Karunia itu sendiri dipahami
sebagai kekuatan yang diberikan Roh Kudus kepada siapa
saja yang percaya dan taat kepada pribadi ketiga dari Allah
171
yaitu Roh Kudus. Pengajaran mengenai Roh Kudus seringkali
ditarik ke dalam kehidupan praktis, karya Roh Kudus di
dalam memberikan karunia-karunia Roh Kudus kepada
setiap orang percaya adalah sebuah wujud nyata kasih Allah
dan bentuk yang lebih praktis dari peran Roh Kudus sebagai
Penolong bagi orang percaya.
Gereja bernuansa Pentakosta memaknai Roh Kudus
sebagai Penolong tidak hanya di dalam kerangka rohani atau
kehidupan bergereja saja, namun penolong dimaknai
sebagai karya nyata Roh Kudus yang turut ambil bagian
secara langsung di dalam setiap segi kehidupan praktis
orang percaya, termasuk di dalamnya adalah kehidupan
ekonomi dan pekerjaan setiap orang percaya. Karunia Roh
Kudus seringkali diwujudkan ke dalam kekuatan mistis dan
kematangan karakter yang akan membuat kehidupan
ekonomi praktis seseorang akan semakin baik. Dan cara
pemaknaan terhadap karunia Roh Kudus yang demikian
inilah yang juga mewarnai model korelasi Allah dan
kehidupan ekonomi di dalam penatalayanan pentakostal.
Karunia-karunia rohani dan nilai-nilali ekonomis
yang seringkali sulit untuk ditemukan dinamikanya, namun
di dalam dinamika bergereja Pentakostal dengan unik
namun juga cenderung pragmatis memiliki dua sisi tersebut
sebagai nuansa yang pekat mewarnai mekanisme kehidupan
bergereja dan kehidupan pastoral. Gerakan Pentakostal di
satu sisi adalah gerakan yang menekankan karunia-karunia
Roh Kudus baik di dalam kehidupan ibadah tapi di sisi lain
juga memberi ruang besar terhadap nilai-nilai bisnis dan
ekonomi untuk dikombinasikan di dalam teologi
bergerejanya. Penulis mengalami kesulitan untuk
mengetahui persentase pasti dari jumlah pejabat gereja yang
melakukan bisnis aktif, karena memang belum ada
172
penelitian yang mendapatkan angka pasti dari regulasi
kategori tersebut.
Karunia Roh Kudus dan ekonomi.
Norman Pittenger melandaskan konsep karunia Roh
Kudus dengan selalu menghubungkannya dengan pekerjaan
Roh Kudus di dalam ruang dan waktu di dalam kosmik dan
aktivitas sejarah. Sehingga karunia-karunia Roh Kudus tidak
dipenjarakan di dalam dunia kegerejaan saja (Pittenger
1974, 66). Dualisme yang salam ini memisahkan antara
yang sakral dari secular, menjadikan karunia Roh Kudus
dimaknai sebagai pekerjaan Roh Kudus di dalam dunia
rohani saja sedangkan dunia sekular dipandang sebagai
dunia yang terpisah dari karya Roh Kudus. Oleh karena itu
menjadi hal yang sangat berharga jika karunia Roh Kudus
dapat dibicarakan dalam sudut pandang ekonomi.
Bonar Sidjabat mengusulkan bahwa konsep Karunia
Roh Kudus harus benar-benar terhindar dari pengertian roh
yang justru bertentangan dengan Roh Kudus itu sendiri. Di
antaranya adalah pertama, uniomystica di mana karunia Roh
Kudus dimanifestasikan dari hasil penyamaan roh manusia
dan Roh Kudus itu sendiri dengan demikian ‘ego’
ditonjolkan seolah-olah adalah Roh Kudus itu sendiri.
Sehingga batasan antara manifestasi roh manusia dan Roh
Kudus telah dikaburkan. Kedua, Spiritual Hybris kepemilikan
karunia Roh Kudus menjadikan diri sendiri lebih saleh dan
kudus daripada yang lain. Spiritual Hybris pada dasarnya
adalah sebuah bentuk yang halus sekali dari pikiran manusia
(=roh manusia) yang mengatakan, bahwa dengan prestasinya
yang sedemikian hebat dalam bidang batiniah dan rohaniah
ia akan mencapai keselamatan. Ketiga, Spiritism yang
membentuk karunia-karunia Roh Kudus karena hasil dari
kerasukan Roh Kudus layaknya kerasukan roh-roh manusia
173
yang sudah mati. Keempat, karunia-karunia Roh Kudus harus
terhindar dari sifat-sifat roh zaman yang negatif, dalam
pengertian sebagai suasana zaman yang dibina oleh faktor
budaya, agama, lingkungan, politik, ekonomi, militer dan
ideologi yang mempengaruhinya. Karunia Roh Kudus
diperuntukkan untuk memenuhi rencana besar Allah bagi
dunia, bukan bagi individual, atau sekelompok orang, bukan
juga bagi gereja dan bangsa bahkan bukan juga untuk
kepentingan umat manusia sendiri, tetapi bagi seluruh
ciptaan Allah di dunia secara universal (Bonar 1978, 21-33).
Ada beberapa usulan konsep karunia Roh Kudus
yang akan dibahas di bawah ini: Karunia Roh Kudus untuk
memberdayakan pola pikir, karunia rohani tidak menggeser
peran pikiran dan akal sehat, sehingga karunia Roh Kudus
membentuk pola pikir seseorang untuk sadar bahwa sistem
ekonomi adalah anugerah Allah bagi kesejahteraan umat
manusia. Dalam hal ini tentu pola pikir yang selalu
meromantisasi kemiskinan sebagai yang suci harus ditinjau
kembali. Pola pikir yang menyerah dengan keadaan
sehingga menghalangi orang untuk secara kreatif
memberdayakan kemampuan ekonominya harus dikikis oleh
hikmat yang bersumber dari Roh Kudus. Roh Kudus adalah
Allah yang memberdayakan manusia melalui pola pikir
seseorang, sehingga seseorang memiliki kesadaran bahwa
kemiskinan bukanlah sebuah kutuk melainkan sebuah hasil
dari pola pikir yang salah.
Karunia Roh Kudus untuk memberdayakan Iman,
Adam Smith dengan teori “Invisible Hands” yang
mengendalikan system ekonomi dunia, merupakan sebuah
ruang yang dapat diisi oleh faktor Ilahi, sehingga bukanlah
hal yang tabu jika iman memiliki peranan di dalamnya
(Taylor 1973. 11). Roh Kudus dan karunia-karunia yang
diberikannya slogan yang terkenal dalam dunia bisnis dan
174
ekonomi adalah “tanggalkan imanmu ketika memasuki
ruangan bisnis”, ini merupakan pemahaman yang sangat
dikotomis. Karunia Roh Kudus bersifat memberdayakan
iman seseorang. Iman yang kuat yang tidak tergoyahkan oleh
sebuah prinsip-prinsip ekonomi dunia. Iman yang
berdasarkan pertimbangan pola pikir yang sehat dan
penghayatan akan Firman Allah diperlukan untuk mewarnai
dunia ekonomi dan bisnis. Ekonomi dan bisnis menjadi
sarana untuk memuliakan Tuhan dan mendewasakan iman.
Karunia Roh Kudus untuk memberdayakan mental .
Roh Kudus adalah Allah yang membangun mental seseorang
sehingga menjadi kuat menghadapi kenyataan kehidupan
yang tidak selalu mulus. Di dalam dunia bisnis dan
ekonomi, kegagalan dan kebangkrutan merupakan fakta
yang harus dihadapi. Roh Kudus mengaruniai seseorang
yang hidup mengandalkanNya untuk membangun
mentalnya menjadi unggul dan tangguh sehingga tidak
gampang menyerah dan terus berjuang dengan sekuat
tenaga serta berani menghadapi kegagalan demi kegagalan
sampai memperoleh sesuatu yang diharapkan. Dalam dunia
bisnis dan ekonomi diperlukan mental yang kuat untuk
mengambil sebuah sikap yang berani mengambil resiko atas
sebuah keputusan yang sudah dibuat. Josia Abdisaputera
menggambarkan karunia Roh Kudus kepada kehidupan
Petrus sehingga Petrus menjadi orang yang memilki mental
yang tangguh. Petrus adalah seorang murid Yesus yang
sering mengalami kegagalan. Pengakuannya tentang Anak
Allah yag hidup (Matius 16:6) mendapat pujian dari Yesus
sendiri, tapi di kemudian waktu justru dia sendiri yang
berniat akan menghalangi Yesus untuk pergi ke Yerusalem,
mati dan disalibkan di sana (Matius 16:23). Petrus yang
dengan berani memotong telinga hamba imam besar sampai
putus, tetapi Petrus yang sama juga menyangkal Gurunya
175
sendiri sebanyak tiga kali. Tuhan mengizinkan seseorang
gagal agar seseorang tersebut bangkit kembali (Josia 2011,
72-73). Di dalam dunia bisnis dan ekonomi kegagalan pasti
terjadi tetapi mental yang tangguh untuk tidak menyerah
adalah faktor yang penting.
Karunia Roh Kudus yang memberdayakan karakter
dan kebiasaan. Karunia Roh Kudus di dalam dunia memang
seringkali mengakibatkan Roh Kudus dimaknai hanya
sekedar fungsi dan aspek rohani di dalam pengalaman
manusia. Namun harus tetap diakui bahwa karya-karya Roh
Kudus memiliki dampak bagi kehidupan manusia secara
dinamis di dalam pengalaman hidup manusia itu sendiri.
Dan dampak tersebut harus dapat dilihat melalui karakter
yang semakin matang. Karunia Roh Kudus tidak hanya
bersifat mistik, sehingga tidak menimbulkan Hybris rohani
(spiritual hybris) yaitu kecongkakan, kepongahan dan
perasaan di atas segala-galanya. Hybris rohani ini
menganggap pelaksanaan ritual-ritual rohani membuat diri
seseorang lebih baik dan lebih suci dari yang lain (Sidjabat
1978, 23).
Di dalam etika kepemilikan, dapat dipahami bahwa
manusia bukanlah pemilik tetapi sebagai individu yang
dipercayakan Allah untuk mengelola kekayaan yang ada.
Oleh karena itu sebagai pengelola harta kekayaan yang baik
diperlukan juga karakter yang baik, sehingga dari karakter
yang baik seseorang dapat memiliki integritas yang baik
dalam mengatur keuangan dan ekonomi. (Josia 2011,163-
164). Karunia Roh Kudus juga berperan memberdayakan
sikap dan kebiasaan. Josia berpendapat bahwa seseorang
yang dipenuhi Roh Kudus maka Roh Kudus mendorong
seseorang untuk membangun sikap dan kebiasaan sehingga
hal tersebut akan membangun pula kehidupan ekonominya.
Menurut Josia ada beberapa sikap yang perlu dibangun:
176
Optimis, membuat seseorang untuk dapat melihat
kesempatan di balik setiap masalah. Berani, membuat
seseorang untuk siap menanggung resiko atas tindakan yag
dilakukan bila harus mengalami kerugian. Rajin, kemiskinan
dan kekurangan adalah buah dan akibat dari memiliki sikap
dan kebiasaan yang malas. Sehingga rajin menjadi faktor
penting dalam kehidupan ekonomi seseorang. Melakukan
yang terbaik, mengerahkan segala kemampuan untuk
menghasilkan dan mengerjakan yang terbaik akan
menjadikan seseorang sebagai professional di bidangnya.
Profesionalisme membuat pekerjaan, pelayanan maupun
bisnis semakin berkembang dan semakin membawa dampak
positif bagi dirinya sendiri dan bagi banyak orang. Tekun
dan konsisten, membuat seseorang menyelesaikan semua
pekerjaan dengan baik dan tuntas. Sikap dan kebiasaan di
atas adalah karunia Roh Kudus yang diberikan kepada
orang-orang yang membuka diri bagi Roh Kudus itu sendiri
(Josia 2011, 93-99).
Karunia Roh Kudus untuk mengembangkan
kecerdasan finansial. Roh Kudus sebagai kuasa yang kreatif
dan aktif di dalam hidup seseorang, memberdayakan
kecerdasan seseorang di dalam mengusahakan terciptanya
kehidupan yang berkualitas, baik secara rohani dan
ekonomi. Roh Kudus bekerja membangun kreatifitas dan
kepekaan dalam diri seseorang dalam untuk menciptakan
kehidupan yang dinamis sehingga membangun kecerdasan
finansial di dalam kehidupan individu tersebut. Kecerdasan
finansial tidak dimaknai sebagai kecerdasan yang bersifat
ekonomis tetapi sebagai kemampuan untuk memaknai nilai-
nilai finansial yang juga berintegrasi dengan nilai-nilai
rohani sehingga menciptakan kebahagiaan dari hasil sebuah
pertimbangan yang panjang terhadap nilai ekonomi dan
Rohani.
177
Josia memaknai kecerdasan finansial sebagai
kecerdasan dalam bidang keuangan adalah segala sesuatu
yang berhubungan dengan kemampuan kita untuk
memahami bagaimana mengatur keuangan dan
mengembangkan keuangan, khususnya bagi diri sendiri
sebagai tahap awal (Josia 2011, 134). Tujuan utama
memiliki kecerdasan finansial adalah memiliki pemahaman
yang benar tentang pengelolaan keuangan dan prinsip
berinvestasi. Kemampuan seperti inilah yang harus disadari
sebagai karunia Roh Kudus di dalam diri seseorang. Setiap
orang yang menerima Roh Kudus menerima karunia untuk
mengembangkan kemampuannya dalam mengatur
keuangan.
Yesus memberikan perumpamaan tentang
pentingnya melakukan investasi untuk mendapatkan hasil
yang berlipat ganda pada perumpamaan tentang talenta di
Matius 25:14-30. Berinvestasi adalah menanamkan sesuatu
untuk mendapatkan hasil yang lebih besar dan berlipat
ganda pada masa-masa mendatang. Allah menuntut sikap
yang bertanggung jawab terhadap kekayaan yang sudah
dipercayakan kepada seseorang. Dan pelipat gandaan
diartikan sebagai bukti sebuah tanggung jawab. Tanggung
jawab seseorang terhadap kekayaan yang dipercayakan
Allah kepadanya dapat dijadian salah satu indikator kualitas
kesetiaan seseorang kepada Allahnya.
Penilaian etis terhadap karunia Roh kudus yang
ekonomis
Bill Hybels mengatakan bahwa prinsip dagang dan
prinsip pelayanan sama-sama setuju bahwa jangan mencari
keuntungan di dalam kegiatan sosial (Hybels 1994, 8).
Pemahaman ini yang juga berkembang di dalam kaum
pendeta dan aktifis kegerejaan pentakosta, untuk memenuhi
178
kebutuhan finansial pribadi dan keluarga mereka
mengupayakan dengan bisnis sehingga tidak lagi
mengharapkan keuntungan finansial dari pelayanan
kegerejaan mereka. Sehingga muncul slogan yang cukup
terkenal di dalam komunitas pentakostal (khususnya GBI)
bahwa menjadi seorang pendeta tidak harus full time tetapi
full heart.
Keadaan di atas yang membentuk konteks pelayanan
gereja pentakosta yang menekankan karunia Roh Kudus
sekaligus nilai-nilai ekonomi dan bisnis. Contoh: Pendeta
Gereja Bethel Indonesia diposisikan sebagai pemberita
utama kepada jemaat mengenai karunia-karunia Roh Kudus
tetapi sekaligus menjadi manager utama di dalam ekonomi
rumah tangga gereja, sesuai dengan tata gereja GBI Pasal 90
– pasal 91 (gembala sidang sebagai pengelola keuangan dan
aset gereja). Konteks di mana konsep Roh Kudus dan konsep
ekonomi saling mewarnai serta saling mempengaruhi satu
dengan yang lain.
Namun yang perlu disadari dan diwaspadai disini
adalah ketika muncul kecenderungan satu konsep
mengkanibal konsep yang lain sehingga gejala praktis yang
muncul bukan dari hasil suatu hubungan dialogis yang
dinamis tetapi hasil dari dominasi salah satu konsep
terhadap konsep yang lain. Sehingga muncul stigma pada
pentakosta Indonesia sebagai pelaku ‘bisnis Yesus’ karena
konsep pelayanan yang sudah mengalami sekularisasi oleh
konsep bisnis. Karunia Roh Kudus menjadi komoditi untuk
menarik warga jemaat, sebagai contoh ada pemahaman
bahwa di mana ada karunia Roh Kudus untuk
menyembuhkan orang-orang sakit , maka gereja akan ramai
dikunjungi jemaat dan ketika gereja ramai dikunjungi oleh
jemaat maka dengan sendirinya pendapatan gereja akan
meningkat. Sehingga dari situ muncul sindiran-sindiran
179
negatif dari banyak pihak baik secara langsung maupun
tidak langsung bahwa di dalam gereja pentakosta terdapat
praktik di mana karunia Roh Kudus tidak lagi sebagai
pemberdaya jemaat secara komunal tetapi untuk keuntungan
beberapa orang tertentu saja. Karunia Roh Kudus sebagai
asset untuk dijual kepada warga jemaat.
Memang sangat tidak mudah untuk menyimpulkan
konsep bisnis yang mempengaruhi konsep Karunia Roh
Kudus atau sebaliknya di dalam Gereja Bethel Indonesia.
Tetapi yang pasti kecenderungan dominasi harus terus
direduksi dari praktek penatalayanan Gereja Bethel
Indonesia. Konsep Roh Kudus sebagai pemimpin ekspansi
dalam sebuah peperangan harus mengalami rekonstruksi,
sehingga tidak menimbulkan ekses dominasi oleh salah satu
pihak (Pendeta maupun aktivis gereja). Dominasi tersebut
juga yang menimbulkan timpangnya tingkat ekonomi antara
pendeta dan jemaat di dalam beberapa gereja pentakosta
lokal. Pemaknaan terhadap karunia Roh Kudus harus dapat
dimanifestasikan dalam bentuk program nyata yang mampu
memberdayakan ekonomi umat baik secara komunal
maupun individual.
Laba dalam perspektif Golden Rules
Hukum penawaran dan permintaan dapat menjadi
hukum natural bagi batasan laba di dalam dunia ekonomi.
Sebagai contoh ketika penawaran jauh lebih besar daripada
permintaan, maka dengan sendirinya harga akan turun dan
laba secara otomatis akan semakin kecil pula. Sebaliknya
jika permintaan atau kebutuhan suatu barang lebih besar
dari jumlah persediaan barang maka dengan sendirinya
harga akan naik dan keuntungan akan semakin besar. Inilah
yang dipakai oleh Adam Smith di dalam teori “Invisible
hands” – nya. Hukum ekonomi akan mengatur dirinya
180
sendiri, dengan demikian tidak ada batasan etis bagi laba
atau keuntungan. Pengendalian laba dapat dilakukan
dengan cara mengatur tingkat produksi suatu barang.
Namun menurut Eka Darmaputera, persoalannya
tidak se-sederhana yang diungkapkan di atas. Menurut Eka
hukum penawaran dan permintaan ternyata dapat
dimanipulasi. Praktik manipulasi terhadap hukum
penawaran dan permintaan biasa disebut dengan dumping,
pihak yang memiliki kekuatan finansial yang besar dapat
dengan sengaja melempar barang dengan harga yang murah
dan dengan jumlah yang banyak demi untuk mematikan
para pesaing mereka. Dumping ini sepintas memang sangat
menguntungkan konsumen, tetapi secara etis hal ini
memiliki dimensi etis yang tidak sehat karena persaingan
yang tidak sehat. Konsumen pun sebenarnya diarahkan
untuk menikmati barang dengan kualitas yang rendah dan
terkesan sembarangan. (Darmaputera, 2009, 114). Dumping
juga akan mengakibatkan dunia pasar akan dikuasai oleh
pihak yang kuat, sehingga pemerataan ekonomi sulit untuk
diwujudkan. Pihak yang kuat akan semakin kuat dan dengan
sendirinya akan menindas pihak yang lemah. Kesempatan
berkembang bagi pihak yang lemah akan semakin kecil.
Sebenarnya manipulasi dan monopoli tidak
sepenuhnya salah, karena pihak-pihak yang bertangung
jawab dapat memonopoli dan memanipulasi demi untuk
kepentingan orang banyak. Misalkan saja pemerintah atau
badan swasta yang memang bergerak di dalam stabilisasi
ekonomi suatu negara dengan cara memberikan subsidi bagi
kebutuhan pokok masyarakat, dan kepada sektor-sektor
ekonomi yang vital yang jikalau tidak sehat dapat
membahayakan stabilitas kehidupan bangsa. Melalui
praktek ini dapat juga mencegah terjadinya monopoli oleh
181
sekelompok pengusaha atas kebutuhan-kebutuhan pokok
rakyat kecil dan masyarakat pada umumnya.
Dan yang menjadi isu pokok sebenarnya adalah
bagaimana sebuah pengaturan dan sistem ekonomi tidak
hanya dapat berkembang tetapi juga merata. Menurut
pendekatan Utilitarian, perilaku ekonomi yang adil adalah
perilaku ekonomi yang berhasil menyediakan kebaikan dan
keuntungan terbesar bagi kelompok masyarakat terbesar.
Batasan etis bagi sebuah tindakan ekonomi adalah seberapa
besar keuntungan yang dapat dihasilkkan bagi kelompok
masyarakat yang terbesar pula. Keuntungan atau laba dalam
suatu tindakan ekonomi dapat dibenarkan sebatas
kemampuan untuk memberikan keuntungan bagi sejumlah
orang terbanyak. Besaran laba dikatakan memenuhi batasan
etis ketika mampu untuk memberikan keuntungan terbesar
bagi kelompok terbesar juga.
Prinsip etika “Peraturan emas” atau “golden rules”
sebenarnya memiliki masalah yang sangat mendasar yaitu
bagaimana mendistribusikan sebuah keuntungan, siapa yang
berhak menerima keuntungan, sehingga dapat disebut
sebagai sebuah tindakan ekonomi yang adil. John Maxwell
meyakini bahwa peraturan emas (Golden Rules) sebenarnya
bukanlah sebuah pendekatan yang mudah untuk ditempuh,
Golden Rules bukanlah sebuah sarana untuk menutupi
kemalasan atau karakter mediocre, Golden rules menuntut
sebuah persaingan tetapi bersamaan dengan itu juga tidak
menjadikan orang lain bulan-bulanan. Peraturan emas
(Golden Rules) merupakan sebuah solusi yang memberi
keuntungan terhadap semua pihak atau dikenal dengan win
– win solution (baik itu karyawan, pelanggan, dan juga
investor) (Maxwell 2011, 28-29).
182
Golden Rules berangkat dari sebuah keyakinan
terhadap adanya kebudayaan universal untuk tidak
memperlakukan orang lain dengan perlakuan yang tidak
ingin diperbuat orang lain kepada diri kita sendiri. Seperti
yang dipaparkan oleh Maxwell bahwa secara individual
Golden Rules berhubungan dengan terpenuhinya
kebutuhan dasar manusia, yaitu Pertama, kebutuhan untuk
diperhitungkan. Golden Rules menekankan untuk
memperhitungkan sesama manusia bukan dari apa yang
mereka hasilkan tetapi semata-mata karena mereka manusia.
sebagai contoh yang nyata adalah sebuah perusahaan di
Irvine, California, Amerika Serikat yang bernama Mission
Controls. Sebenarnya perusahaan tersebut sama seperti
perusahaan yang lainnya yaitu memakai sistem kontrak
dengan para pekerjanya, sehingga perusahaan inipun juga
mengalami masa-masa pasang surut hingga hampir tanpa
pekerjaan. Namun para pemimpin dan pendiri perusahaan
ini (Craig Nelson, Neal Vaoifi dan Scott Young) memutuskan
untuk secara pribadi tidak menerima bayaran daripada harus
memecat salah satu karyawan mereka. Dan hal tersebut
mereka buktikan ketika perusahaan mereka mengalami masa
kering mereka memutuskan untuk tidak menerima gaji
selama delapan bulan, demi untuk mempertahankan gaji
dan tunjangan para karyawan mereka. Para pendiri tersebut
menyadari bahwa perusahaan harus tetap mendapatkan laba
namun dengan tidak mengorbankan orang lain, mereka
menyadari bahawa mereka memperlakukan karyawan
dengan cara mereka ingin diperlakukan oleh orang lain
(Maxwell 2011, 33). Kedua, kebutuhan untuk dihargai,
dalam sebuah usaha seseorang harus mendapat
penghargaan atasnya. Seseorang sangat perlu untuk dibantu
untuk meningkatkan harga diri mereka melalui pujian dan
apresiasi dalam banyak bentuk yang sesuai dengan
peraturan yang ada.
183
Ketiga, kebutuhan untuk dipercaya, kepercayaan
adalah dasar kepemimpinan yang akan menstimulasi
hubungan yang terbuka dan jujur. Manchester Inc, sebuah
perusahaan konsultan di Philadelphia, membuat survey
terhadap 200 perusahaan untuk menemukan cara yang baik
untuk membangun kepercayaan terhadap karyawan,
diantaranya adalah mempertahankan integritas, dan
memberi perhatian pada tujuan bersama dan bukan agenda
pribadi, menunjukkan sikap hormat kepada karyawan
sebagai mitra kerja yang setara, menunjukkan perasaan
simpati, dan mendengarkan aspirasi dengan pikiran yang
terbuka (Caggiano 2002, 74). Keempat, kebutuhan untuk
dihormati martabat kemanusiaannya, penghormatan
terhadap seseorang memberikan sebuah martabat dan
kepercayaan diri. Penghormatan terhadap mertabat sebagai
manusia dapat diekspresikan melalui membangun rasa tidak
dimanfaatkan, rasa dipahami. Menjaga kesenjangan antara
pemimpin dan karyawan adalah sangat baik juga untuk
menstimulasi penghormatan terhadap harkat dan martabat
karyawan. Sehingga para CEO dalam perusahaan tetap
menyadari bahwa mereka bukanlah faktor terpenting di
dalam perusahaan tetapi karyawan juga memainkan peranan
kerja yang cukup besar. (Maxwell 2002, 19-30).
Amitai Etzioni memiliki perspektif yang lain dalam
melihat Golden Rules di dalam dunia ekonomi dan laba.
Etzioni melihat dari sudut pandang yang lebih meluas yaitu
memaknai peraturan emas sebagai sebuah semangat untuk
memerangi filsafat individualistic dengan mengedepankan
keuntungan yang ramah terhadap keutuhan suatu komunitas
masyarakat yang terbesar. Kebaikan sosial bagi seluruh
komunitas yang besar adalah sesuatu peraturan bagi
pencapaian keuntungan bagi seseorang maupun perusahaan
dagang. Menurut Amitai salah satu penyebab terpuruknya
184
suatu negara karena nilai-nilai filsafat individualistik telah
memainkan peranan besar di dalam sistem ekonomi negara
itu sendiri (Etzioni 1996, 85-89). Secara garis besar Etzioni
dalam perspektif Golden rules merumuskan 3 (tiga) batasan
di dalam pencapaian laba (Etzioni 1996, 119-189).
Pertama, Batasan Keuntungan dalam perspektif ini
adalah ketika menghasilkan sebuah kebaikan massal yang
memperhatikan suara-suara moral. suara-suara moral di sini
berfungsi sebagai nilai-nilai yang membentuk sebuah
kebiasaan baik dari sebuah masyarakat. Suara-suara moral
didapatkan dari sebuah dialog yang dinamis antara suara
moral secara personal dan suara moral secara komunal. Dari
proses dialog inilah yang akan membentuk good behavior
dari individu maupun komunitas untuk tidak hanya
berorientasi pada pencapaian laba dari sebuah usaha tetapi
juga memperhatikan bagaimana cara dan proses
mendapatkan laba tersebut.
Kedua, memperhatikan martabat hidup orang
banyak, ketika berbicara mengenai martabat hidup orang
banyak maka hal yang perlu diperhatikan adalah
infrastruktur sosial yang memanusiakan masyarakat itu
sendiri. Infrastruktur yang terus memperhatikan nilai-nilai
moralitas yang memberikan kenyamanan dan keuntungan
bagi empat elemen dasar dari formasi sosial yaitu keluarga,
sekolah, komunitas dan kumpulan besar dari beberapa
komunitas. Melalui perspektif golden rules ini Etzioni ingin
membangun batasan terhadap laba dengan membatasi
keuntungan yang memusat pada segelintir kelompok orang
dengan kebaikan dan keuntungan yang menyebar kepada
massa yang meluas.
Ketiga, usaha pencapaian laba adalah usaha
mewujudkan kesatuan dari sebuah pluralitas yang ada di
185
dalam masyarakat. Kekuatan ekonomi dibangun atas dasar
sebuah usaha untuk mengharmonisasikan antara aturan
dasar dari sebuah komunitas dan otonomi dari komunitas itu
sendiri. Aturan dasar menjadi acuan bersama dari beberapa
komunitas yang ada, sedangkan otonomi sebagai ruang yang
disediakan oleh pemerintah utama bagi masing-masing
komunitas untuk mengembangkan menurut kondisi dan
situasi masing-masing. Kesatuan bagi masyarakat atau
komunitas yang plural menjadi batasan bagi pencapaian
laba oleh individual maupun institusi ekonomi.
Oleh karenanya setiap usaha untuk mendapatkan
laba, maka kebutuhan dasar manusia inilah yang menjadi
batasannya. Kebutuhan dasar manusia tersebutlah yang
menjadi sebuah peraturan bagi investor, karyawan, maupun
konsumen untuk tetap saling menghormati dan menjaga
hubungan simbiosis mutualisme – nya. Pencapaian laba
yang memenuhi standar adil dalam sudut pandang ini
adalah laba yang diperoleh dari sebuah proses dan usaha
untuk terpenuhinya kebutuhan dasar antara seluruh pelaku
ekonomi. Dengan melihat perlunya pemenuhan kebutuhan
dasar manusia di atas mendorong setiap individu yang
menduduki segala posisi di dalam suatu kinerja ekonomi
untuk tetap mempertahankan budaya perusahaan dan
standar etis kepemimpinan.
Belajar dari John Rawls tentang Keadilan adalah Sebuah
Hukum Kepatutan atau Kewajaran.
Rawls mengusulkan sebuah teori yang menghindari
kelemahan-kelemahan yang dimiliki oleh utilitarianisme.
Bersamaan dengan itu, ia mendemonstrasikan kekuatan-
kekuatan yang dimiliki oleh Utilitarianisme. Rawls
bermaksud untuk membangun sebuah teori yang sangat
menghargai hak personal namun tetap melindungi
186
gangguan-gangguan terhadap kebaikan orang lain yang
disebabkan oleh hak orang lain, sehingga dari teori tersebut
Rawls memiliki metode konkret untuk membuat keputusan
dasar perihal ke mana keadilan tersebut akan disalurkan.
Rawls meyakini bahwa untuk menegakkan keadilan
diperlukan sebuah jaminan hak yang sama terhadap hak
dasar dan harus diberlakukan untuk semua, yaitu hak yang
dapat terwujud di dalam kebebasan bagi semua orang untuk
menyampaikan pendapat, berpikir, berpolitik, berserikat,
dan kebebasan di dalam hal hukum. Inilah yang harus
menjadi dasar bagi sebuah sistem sosial oleh Rawls.
Metode yang Digunakan John Rawls
John Rawls membangun teorinya dengan mengambil
beberapa pandangan filsafat dari ketiga tokoh besar yang
merupakan gurunya, yaitu John Locke, J.J Rousseau dan
Immanuel Kant. Hal tersebut dia katakan di bagaian awal
bukunya:
My aim is to present conception of justice which generalizes
and carries to higher level of abstraction th familiar theroy of the
social contracts as found, say, in Locke, Rousseau, and Kant. In
order to do this we are not to think of the origina; conrtractas one
to enter a particular society or to set up a perticular form of
government. Rather, the guiding ide is that the principles of
justice for basic structure of society are the object of the original
agreement. (Rawls 1972, 10)
Rawls berusaha mewarisi teori moral dari Locke yang
menekankan hak-hak asasi dan hukum alamiah yaitu
dengan meyakini bahwa hak asasi manusia harus berhenti
pada diri sendiri. Penghargaan terhadap hak asasi manusia
akan meniadakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia
yang lain atau sesama. Mengenai Rousseau, Rawls mengutip
187
tentang kontrak sosialnya, dan dari Immanuel Kant, Rawls
membangun ulang konsep moral dengan melakukan kontrak
sosial dan kategori imperatif yang juga dikembangkan oleh
Kant.
Rawls menggambarkan sekelompok orang yang
disepakati bersama memilih dan menentukan prinsip
keadilan untuk membentuk sistem keadilan sebagai struktur
dasar dari kehidupan sosial itu sendiri. Sebuah prinsip yang
tepat adalah prinsip yang terpilih bersama di dalam suatu
situasi dan kondisi tertentu yang dirasakan adil menurut
kondisi mereka yang sepatutnya. Jadi seseorang atau pihak
tertentu tidak boleh mendominasi pilihan-pilihan tersebut
dan menerima keuntungan yang tidak adil. Misalnya, tidak
boleh pihak tertentu mendominasi kesempatan tertentu
dalam menerima bantuan umum atau jabatan sosial. Oleh
sebab itu prinsip keadilan seharusnya akan menghasilkan
sebuah pilihan yang adil bagi seluruh anggota masyarakat
sosial. Pilihan yang adil tersebut haruslah hasil dari sebuah
posisi asli yang seharusnya dimiliki oleh seluruh individu di
dalam masyarakat.
Meskipun ide dasarnya sangat sederhana,
pengaplikasian teori ini masih sangat rumit. Rawls ingin
menggunakan pergulatan sosial untuk memberikan sebuah
interpretasi yang prosedural bagi interpretasi Immanuel Kant
tentang otonomi sebuah pilihan sebagai dasar prinsip etis
(Lebaqz 1986, 33-35). Rawls berusaha untuk menegaskan
ide penuntun untuk membangun sebuah prinsip keadilan
sosial yang berangkat dari persetujuan bersama yang
mendasar. Prinsip-prisip yang bersifat bebas dan rasional
bagi seseorang secara natural memang memiliki fokus
kepada keinginan diri sendiri, namun keinginan diri sendiri
yang harus dapat diterima di dalam kondisi dan posisi dasar
yang sama (Rawls 1972, 11).
188
Di dalam metode yang ditempuh oleh Rawls,
masyarakat menjadi subyek yang menentukan keadaan dari
sebuah prinsip keadilan. Artinya pergumulan dan juga
kerjasama (tentu kerjasama yang memungkinkan untuk
menghasilkan keuntungan) dari masyarakat tersebutlah yang
akan membentuk karakter sebuah keadilan. Prinsip-prinsip
keadilan akan terus dipertajam dengan dinamika keinginan
dari masyarakat baik intensitas maupun konflik keinginan di
dalam masyarakat itu sendiri.
Keadilan sebagai fairness
Keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan sosial inilah yang disebut oleh Rawls sebagai
proporsional atau fairness. Dengan demikian “Justice as
fairness” yang dibangun Rawls dengan sangat deontologis
ini selalu bertujuan untuk terciptanya gerak sosial yang
kooperatif yang terwujud di dalam dinamika antara hak dan
kewajiban individu. Ketika hak dan kewajiban dapat
berjalan dengan dinamis maka keuntungan eksistensial atau
individual dapat berkesinambungan dengan keuntungan
sosial.
Rawls dengan konsisten menekankan perlunya
kesempatan yang sama bagi seluruh pihak dengan tujuan
agar teori keadilan yang dia bangun tidak terjebak dalam
ekstrim kapitalisme di satu sisi dan sosialisme di sisi yang
lain. Baginya keadilan harus bersifat fairness dalam arti tidak
hanya mereka yang memiliki bakat dan kemampuan lebih
yang dapat merasakan keuntungan dan kebaikan sosial.
Karena Justice as Fairness harus mampu menyediakan
kesempatan yang sama bagi mereka dengan bakat dan
kemampuan yang rendah untuk dapat meningkatkan kualitas
dan kuantitas kebaikan sosial di mana kesempatan yang
sama dapat diraih juga dengan individu yang memiliki bakat
189
dan kemampuan lebih. Berkenaan dengan hal tersebut,
keuntungan lebih yang didapat oleh seseorang dengan
kemampuan dan bakat lebih harus disikapi dalam rangka
kepentingan dan kebaikan anggota kelompok sosial mereka
yang kurang beruntung.
Different principles tidak menuntut kesamaan
keuntungan (equal benefits) bagi semua orang tetapi lebih
kepada keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal
benefits). Dalam hal ini, Robert Paul Wolff memberikan
contoh dengan menggambarkan sebuah pabrik sepatu
dengan lima karyawan yang masing-masing mendapat upah
$10,000 per tahun. Salah satu pegawai mendapat bagian
atau tugas yang lebih berat dari yang lainnya sehingga ia
membutuhkan waktu pengerjaan yang lebih lama daripada
keempat temannya untuk menyelesaikan tugas tersebut serta
untuk memenuhi tuntutan produksi. Hal tersebut
menyebabkan pekerja tersebut untuk bekerja lebih cepat
dan lebih keras untuk menyesuaikan dengan ritme industri.
Dengan demikian, sepatutnyalah pekerja tersebut mendapat
upah lebih tinggi dari teman yang lainnya yaitu $13,000 per
tahun (jumlah tersebut haruslah jumlah yang layak dan
sepatutnya untuk seorang pekerja dengan kemampuan dan
bakat yang lebih). Pola tersebut memenuhi tuntutan
produksi, sehingga perusahaan sepatu mendapat untung
bersih sebanyak $60,000 pertahun, akibatnya perusahaan
tersebut mendapat surplus sebesar $7000 per tahun. Jika
hendak menerapkan prinsip Rawls, maka $7000 tersebut
haruslah dibagi kepada keempat pengerja dengan kinerja
yang lebih rendah dari satu orang pegawai yang bekerja
lebih tadi (sehingga terdapat empat orang yang menerima
$11,750 pertahun dan satu orang menerima $13,000
pertahun dengan tugas dan kemampuan yang lebih (Wolff
1977, 30).
190
Justice as fairness sangat menekankan nilai-nilai
timbal balik (reciprocal benefits) dan harus ditempuh dengan
jalan yang rumit, sehingga distribusi keuntungan dan
kekayaan di dalam masyarakat tidak melihat perbedaan yang
obyektif di antara masyarakat sosial. Oleh sebab itu, untuk
menjamin sistem distribusi yang obyektif, maka diperlukan
keadilan yang dapat diterima sebagai fairness. Rawls
menyebut konsep keadilan tersebut dengan pure procedural
justice, yaitu keadilan sebagai fairness harus berproses dan
direfleksikan di dalam sebuah prosedur yang adil sehingga
akan membuahkan hasil yang adil pula.
Oleh karena itu, Rawls juga membahas tentang
pengecualian prinsip-prinsip keadilan untuk diterapkan di
dalam kondisi khusus. Sebenarnya prinsip ini justru
bertentangan dengan utilitarianisme, di mana dalam kondisi
pendistribusian yang tidak sama, konsep umum yang harus
digunakan adalah dengan menerapkan ketidaksamaan
tersebut seluas mungkin demi untuk keuntungan tiap orang,
sehingga setiap orang mendapat keuntungan yang sama dari
ketidaksamaan tersebut (Rawls 1972, 62). Hal terpenting
yang perlu dilihat dari teori dan prinsip keadilan Rawls
adalah ketika utilitarianisme mencoba menguburkan nilai
individu, demi untuk keuntungan terbesar dan bagi jumlah
terbesar, John Rawls justru melindungi individu dengan
membangun sistem sosial yang tidak mengizinkan
keuntungan individu dengan cara mengurangi keuntungan
sesamanya.
191
Kesimpulan dan saran etis terhadap realitas laba di
dalam penatalayanan keuangan gereja.
Kesimpulan - Timothy L Fort berpendapat bahwa
pendeta seharusnya tidak hanya berhenti menjalankan
perannya sampai tahap sebagai rasul di dalam kehidupan
gerejawi dan spiritualitas saja, tetapi bagaimana spiritualitas
gerejawi tersebut menjadi nyata di dalam kehidupan
ekonomi dengan segala pergumulannya yang begitu rumit
dan semakin membelit jemaat (Timothy 2008, 87-96). Peran
kerasulan itu harus juga dapat dirasakan di dalam kehidupan
ekonomis jemaat. Sehingga dari sekian lama pergumulan
dan juga pengaruh dari banyak pihak, munculah wajah
Gereja pentakosta yang tak lagi canggung dan tabu untuk
menghadirkan simbol-simbol bisnis dan ekonomi di dalam
kehidupan bergereja. Pergumulannya dengan dunia bisnis
dan ekonomis menghasilkan spiritualitas yang unik di dalam
Gereja pentakosta. Nilai-nilai ekonomi dan bisnis sebegitu
rupa dihayati secara dinamis bersama dengan kehidupan
bergereja.
Di dalam praktiknya tidak semudah yang
dirumuskan di dalam teorinya, dan sebenarnya tidak hanya
di dalam gereja pentakosta sendiri, penghayatan-
pengahayatan dinamika bisnis dan gerejawi yang excessive
secara progresif juga turut berproses di dalam gereja-gereja
Tuhan, tak heran Thomas Aquinas pernah melontarkan
sebuah penilaian bahwa teologi gereja Katolik pun pernah
mencoba untuk memakai dasar – dasar hukum pertukaran
pasar di dalam kehidupan spiritualitasnya. Dan itu juga yang
ditegaskan oleh Fusfeld bahwa setiap orang harus terus ingat
bahwa di dalam penebusan dosa pun tak bisa dilepaskan
dari konsep bisnis yang jelas (Fusfeld, 9). Oleh karenanya
sudah saatnya gereja merespon paradigma ekonomi yang
pengaruhnya semakin meluas di seluruh dimensi kehidupan
192
manusia, dan mulai memahami dinamika nilai ekonomi di
dalam kehidupan bergereja sebagai pertaruhan etis juga
teologis di mana karakter dan integritas seorang pemimpin di
dalam menghayati peran ekonomis dan nilai-nilai bisnis di
dalam gereja akan menjadi cermin spiritualitas yang besar
serta jelas dimana setiap umat dan organisasi gerejawi yang
lain dapat berkaca dan belajar daripadanya.
Integritas di dalam kehidupan ekonomi dapat di
tunjukkan dan dibuktikan seorang pemimpin gereja melalui
membangun sikap yang baik terhadap kebutuhan dasar
manusia untuk mendapat keuntungan. Dalam sudut
pandang psikologi pasar kebutuhan dasar tersebut mewujud
sebagai kebiasaan alami dari manusia yaitu profit
motivation. Integritas seorang pemimpin akan terlihat
bagaimana menanggapi hubungan ekonomis yang
mendasari relasi manusia dengan sesamanya di mana
kepentingan harga, income, dan kebutuhan hidup semakin
kental mewarnai pola interaksi antar organisme kehidupan.
Pemimpin gereja diharapkan mampu menyadari dan
menyikapi bertemunya profit motivation dari setiap orang
dan golongan ketika mulai mewujud sebagai komunitas
sosial yang disebut gereja yang berada di dalam dunia yang
bercirikan kompetensi etis dan spiritual.
Salah satu persoalan etis di dalam dimensi ekonomi
adalah batasan yang baik bagi besaran keuntungan yang
dapat diambil oleh money doers. Darmaputera mengutip
pandangan Adam Smith dengan teori “Invisible hands” yang
meyakini bahwa mengenai laba adalah sesuatu yang bersifat
naluriah, tidak perlu ditekan karena akan menjadi usaha
yang sia-sia belaka, karena hukum-hukum ekonomi sendiri
yang secara alamiah akan mengaturnya (Darmaputera
2009,113). Namun teori Adam Smith dirasa masih memiliki
kekurangan di banyak segi, karena ternyata hukum
193
penawaran dan permintaan yang begitu mendasar di dalam
dunia ekonomi sangat mudah di permainkan dengan sistem
monopoli (dumping, dll) oleh pihak-pihak yang memiliki
dana yang besar. Misalkan saja gereja besar akan cepat
membuka pelayanan atau cabang baru dengan speed
peningkatan jumlah jemaat yang relatif cepat, sedangkan
gereja yang tidak memiliki kemampuan finansial yang besar
justru mati-matian untuk mengembangkan kuantitas
pelayanannya. Namun Darmaputera meyakini akan timbul 3
bahaya di dalamnya: Pertama, praktek ekonomi yang
berlawanan dengan hukum dan mekanisme ekonomi
alamiah, tidak akan menghasilkan suatu kehidupan ekonomi
yang sehat. Sehingga dalam jangka waktu yang panjang
sistem ekonomi yang sakit tersebut akan merugikan orang
banyak (baca: jemaat) pada akhirnya.Kedua, monopoli yang
dilakukan oleh sang pemerintah (baca: pemimpin) biasanya
memang dapat memenuhkan kebutuhan pokok orang
banyak tetapi tanpa disertai dengan aturan harga dan nilai
memadai antara sosial dan finansial. Orang banyak
menerimanya karena terpaksa dan tidak ada pilihan. Ketiga,
ketika kekuasaan jabatan (menghasilkan kebijakan-
kebijakan) dan kekuasaan finansial seorang pemimpin
berbaur, seharusnya kekuasaan jabatan yang seharusnya
mengendalikan kekuasaan finansial demi melindungi
kepentingan orang banyak akan menjadi sulit dilaksanakan,
karena kekuasaan jabatan itu sendiri telah menjadi
kekuasaan finansial.
Saran - Di dalam konteks bangsa Indonesia, sistem
ekonomi yang dibutuhkan oleh setiap individu maupun
institusi adalah sistem ekonomi yang luwes, dinamis, dan
terbuka terhadap kepentingan orang banyak (umat). Dan
ciri-ciri tersebut hanya ditemui di dalam sistem ekonomi
Pancasila. Karena sistem ekonomi Pancasila adalah sistem
194
ekonmi yang menjamin berlangsungnya secara leluasa
hukum-hukum dan mekanisme ekonomi yang alamiah.
Kemudian kebebasan terwujudnya hukum dan mekanisme
ekonomi alamiah terebut bergerak di dalam kerangka
perwujudan dan pengamalan kelima sila dan nilai Pancasila.
Untuk menjalankan pendistribusian kebaikan di
dalam area kehidupan sosial sebagai tempat bertemunya
berbagai kebutuhan akan keuntungan tersebut gereja dan
seluruh pemimpinnya memerlukan sebuah dasar bersama
yaitu nilai keadilan ekonomi. Rawls memiliki dua prinsip
yang dapat digunakan acuan untuk menyusun konsep
keadilan laba di dalam komunitas gereja (Rawls 1972, 267):
pertama, kepemilikan. Prinsip kepemilikan perlu diinventaris
dan dipahami secara sepatutnya di dalam gereja. I Korintus
6:19 “ …atau tidak tahukah kamu, bahwa tubuhmu adalah
bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu, Roh Kudus yang
kamu peroleh dari Allah, dan bahwa kamu bukan milik
kamu sendiri?..” dari sudut tertentu ayat ini terlihat sebagai
prinsip kepemilikan yang dwitunggal. Di mana ada di gereja
terdapat kepemilikan tunggal maupun kolektif, tetapi hanya
satu pemilik saja yang sejati yaitu Tuhan yang menjadi
pemilik dari segala sesuatu. Sehingga tidak ada alasan untuk
pendeta atau pemilik tunggal maupun kolektif yang
berusaha mencekau kepemilikan orang lain karena semua
organisme gereja pemilik sejatinya adalah Tuhan mereka
sendiri. Kedua, sumber daya sosial. Keadilan di dalam
sebuah lingkungan sosial adalah berbicara mengenai analisa
dan pendistribusian sumber daya yang dimiliki secara
kolektif untuk kebaikan yang merata secara kolektif juga.
Tidak sepatutnya jika kebaikan milik bersama hanya
dirasakan secara tidak bersama sehingga hanya sebagian
orang saja yang menikmatinya sehingga terjadi kesenjangan
di dalam penerimaan kebaikan bersama tersebut. Demikian
195
pula tidak seharusnya jemaat yang memiliki tanggung jawab
rohani dan finansial kepada gereja tetapi hanya hak
pelayanan rohani saja yang terpenuhi sedangkan
kesempatan bagi orang-orang yang kurang beruntung untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik tidak mendapat
perhatian dari pemimpin gereja. Lebih lanjut dalam hal ini
juga dapat dikembangkan keadilan yang menghasilkan
tanggung jawab dan kepedulian terhadap ekologi yang
menopang kehidupan gereja dan umat itu sendiri.
Aliran pentakosta dengan realistis mengakui bahwa
keuntungan finansial tak dapat dihindari dalam kehidupan
pelayananannya, dan tak perlu untuk lalu menjadi naif dan
tidak mengakui bahwa gereja secara alamiah tidak
bersentuhan dengan motif serta usaha mencari keuntungan.
Namun segala usaha tersebut seharusnya tidak boleh dan
tidak bisa lolos dari penilaian moral sehingga sangat perlu
bagi pemimpin pentakosta untuk menumbuhkan sense of
justice di dalam pola kepemimpinannya. Kepekaan di dalam
mendatangkan keadilan tersebut yang akan membimbing
pemimpin jemaat untuk bertindak sebagai pengelola sisi
ekonomis dari gereja dengan benar, baik dan tepat di dalam
asas kepemimipinan Kristen. Sehingga gereja yang
dipimpinnya tersebut diharapkan berhasil menemukan
identitas sejatinya sebagai gereja pentakostal yaitu gereja
yang membuka ruang besar bagi karya-karya Roh Kudus
yang kreatif dan nyata di dalam sega dimensi kehidupan
vital umat manusia dan paling tidak terlihat dari nuansa
penatalayanan keuangan yang peduli terhadap kepantasan
dalam mendistribusikan daya finansial gereja bagi jemaat
dan bagi pelayan gereja.
196
Don’t be seduced into thinking that which does not make profit is
without value – Arthur Miler
DAFTAR ACUAN
Abdisaputera, Josia. 2011. Get Wealth Soon: 7 Prinsip
Kehidupan Yang Membangun Kehidupan Yang
Makmur dan Berkelimpahan. Jakarta: Metanoia
Publishing
Bayles, Michael D. 1981. Professional Ethics. California:
Wadsworth
Bell, Duncan. 2010-Vo 38. John Stuart Mill On Colonies.
Missouri: University of Missouri Press
Bellah, Robert 1985. Habits of heart. London: Yale
University Press
BPH GBI. 2008. Tata Gereja Bethel Indonesia. Jakarta:
BPH Gereja Bethel Indonesia
Darmaputera, Eka. 2009. Etika Sederhana Untuk
Semua: Bisnis, Ekonmi Dan Penatalayanan.
Jakarta: BPK Gunung Mulia
Etzioni, Amitai. 1996. The New Golden Rule:
Community and Morality In A Democratic
Society. New York: Basic Book
Fort, L Timothy 2008. Prophets, Profits, And Peace: The
positive Role Business In Promoting Religious
Tolerance. London: Yale University Press
Fusfeld, Daniel R. 1999. The Age Of The Economist . USA:
Wesley Educational Publisher
197
Hybels, Bill. 1994. Christian In The Marketplace: Practical
Help For The Workaday Christian In A Materialistic
Society. USA: Victor Books
Lebacqz, Karen 1986.Six Theories of Justice. Minneapolis:
Augsburg Publishing House
Magnis Suseno, Frans 1989. Etika Dasar: Masalah-masalah
pokok filsafat Moral. Yogayakarta: Kanisius
Pittenger, Norman. 1974. The Holy Spirit. Philadelphia: A
Pilgrim Press Book
Rawls, John 1971. A Theory Of Justice. New York: Oxford
University Press
Ryan, John A 1996. Economic Justice: Selectios from
distibutive justice and a living wage.Kentucky:
Westminster John Knox Press.
Sidjabat, Bonar. 1978. Karangan-karangan Theologia
Sekolah Tinggi Theologia. Jakarta: STT Jakarta.
Wollf, Rober Paul 1977. Understanding Rawls: s
reconstruction a critique of theory of justice. New
Jersey: Princetown University Press.
198
VISI PENYEMBAHAN DAUD DALAM KITAB
TAWARIKH : SEBUAH PROPOSAL TEOLOGI
PENYEMBAHAN PENTAKOSTAL
OLEH : HENDRIK TIMADIUS
Abstract: di dalam tulisan berikut, penulis
menawarkan sebuah teologi penyembahan pentakostal
yang dihasilkan dari titik temu antara beberapa elemen
penyembahan Mazmur versi Martin dengan
karakteristik penyembahan Tawarikh versi Kleinig.
Penulis memberikan sebuah jalan melalui metode
Theological Interpretation of Scripture (TIS) untuk
menjadikan Visi penyembahan Daud yang imamati
sebagai sebuah alat bantu untuk mengembangkan
teologi penyembahan pentakostal yang selalu dekat
dengan emosi, inspirasi, dan energize”.
Keywords: Penyembahan, Daud, Tawarikh,
Pentakostal, Pondok Daud
“Pentecostalism is challenging the dreariness of
a ‘flat’, Enlightenment worldview that separates mind
and body. Pentecostal worship is vibrant, connects with
the emotions, inspires, and energizes.” (Donald Miller)
“For worship to be as glorious as it should be,
for it to lift people out of their mundane cares and fill
them with adoration and praise, for it to be the life-
changing and life-defining experience it was designed
199
to be, it must be inspired by a vision so great and so
glorious that what we call worship will be transformed
from a routine gathering into a transcendent meeting
with the living God.” (Allen P Ross)
Pengantar
ejatinya, kegerakan Pentakosta adalah sebuah
dinamika yang cair, terus-menerus mengambil
wujud yang sesuai dengan wadah jaman. Ironis
kah apabila gerakan Pentakosta dikatakan ada dalam
kondisi yang always reforming (terus memperbaharui
formasi) meminjam istilah dari kegerakan reformed
yang sering menjadi mitra kritis dalam dialektika?196
Hakikat ini membuat banyak praksis bergereja dalam
bingkai Pentakosta seolah tidak pernah mencapai posisi
yang ajek. Insan Pentakosta sangat suka “mengalir
bersama Roh Kudus”. Dalam konteks inilah, Sarasehan
Perdana Sarjana Pentakosta Indonesia yang mengambil
tema “Doing Church. A Pentacostal Perspective.”
menjadi milestone yang relevan “justru untuk saat yang
seperti ini”.197
Penyembahan adalah jantung dari praksis
bergereja kaum Pentakosta. Secara lebih berani bahkan
Donald E Miller dan Tetsunao Yamamori menyatakan :
196 Roger E. Olson, Reformed and Always Reforming : The
Postconservative Approach to Evangelical Theology (Grand
Rapids, MI: Baker Academic, 2007) 197 Ester 4:14
S
200
“The engine of Pentecostalism is its worship. .., the
heart of Pentecostalism is the music.”198 Karena posisi
yang sangat penting tersebut, sangat mendesak bagi
praksis penyembahan untuk mendapatkan formulasi
teologis yang layak dari sudut pandang Pentakosta.
Baru dalam beberapa tahun terakhir ini muncul karya
tulis yang komprehensif membahas penyembahan
Pentakostal secara scholarly.199 Dari semua tulisan
tersebut belum ada yang secara khusus membahas
penyembahan Pentakostal yang dikaitkan dengan
penyembahan Daud. Padahal dalam praksis bergereja
dan ranah tulisan populer di kalangan Pentakosta
banyak sekali diperbincangkan “Pondok Daud” sebagai
model penyembahan. Untuk menutupi lakuna yang ada
itulah maka tulisan singkat ini dibuat.
Penyusunan konsep penyembahan yang
berbasiskan sosok Daud akan menemukan tantangan
tersendiri. Fokus pada sejarah yang telah mendominasi
studi biblika selama beberapa dekade terakhir
memberikan gambaran yang sinis, atas nama
198 Miller & Yamamori, Global Pentecostalism : The New
Face of Christian Social Engagement , 23-24 199 Lihat misalnya : Lee Roy Martin, ed., Toward a
Pentecostal Theology of Worship (Cleveland, TN: CPT Press,
2016); Steven Félix-Jäger, Spirit of the Arts: Towards a
Pneumatological Aesthetics of Renewal, Christianity and Renewal -
Interdisciplinary Studies (New York, NY: Palgrave Macmillan,
2017); Monique M. Ingalls and Amos Yong, eds., The Spirit of
Praise: Music and Worship in Global Pentecostal-Charismatic
Christianity (University Park, PA: The Pennsylvania State University
Press, 2016).
201
objektifitas, tentang penggambaran Daud di kitab
sejarah :
See what Chronicles has made out of David! The founder
of the kingdom has become the founder of the temple and
the public worship, the king and hero at the head of his
companions in arms has become the singer and master of
ceremonies at the head of a swarm of priests and Levites;
his clearly cut figure has become a feeble holy picture,
seen through a cloud of incense.200
Tantangan lainnya datang dari pendekatan teologi
biblika Perjanjian Baru yang cenderung memberikan
guratan diskontinuitas, dimana praktek-praktek
Perjanjian Lama dipandang tidak lagi relevan seiring
dengan bergeraknya redemptive history ke arah
penggenapan dalam Perjanjian Baru. Regulative
Principle of Worship yang dianut oleh sebagian
kalangan Reformed adalah salah satu contoh tantangan
yang dimaksud.
Dalam konteks tantangan di atas, penulis
memilih terminologi “Visi Penyembahan Daud”
sebagai label dari konsep peyembahan Daud. Istilah
“Visi” dalam construct biblika diperkenalkan oleh Leo
G. Perdue dalam karyanya The Collapse of History:
Reconstructing Old Testament Theology. Bagian
penyimpul dari buku tersebut yang bertajuk “From
History to Imagination: Between Memory and Vision”
200 Julius Wellhausen, Prolegomena to the History of
Ancient Israel, trans. Allan Menzies and J. Sutherland Black
(Cleveland: Meridian Books, 1957) 182
202
menggambarkan terjadinya pergeseran di ranah
penafsiran Alkitab, dari paradigma tradisional sejarah
ke paradigma baru yang mendorong reimajinasi dan
revisualisasi arti dari teks kuno bagi dunia
kontemporer.201 Dalam konteks studi tentang
penyembahan, terminologi “Visi” in kemudian dipakai
oleh Samuel H. Balentine dalam karyanya The Torah’s
Vision of Worship.
Tujuan Penulisan dan Struktur Naratif Kitab Tawarikh
Baik di ranah akademis, maupun di ranah
eklesial, Kitab Tawarikh cukup lama berada dalam
posisi yang kurang mendapatkan perhatian. Baru dalam
beberapa dekade terakhir kitab Tawarikh dapat keluar
dari bayang-bayang Kitab Samuel dan Kitab Raja-Raja,
dan diakui keunikannya. Para sarjana yang
mengkhususkan diri dalam studi Post-Exile, Second
Temple Era, seperti H.G.M. Williamson, Sara Japhet,
Garry N. Knoppers, Ralph W. Klein, Louis C. Jonker,
dan Mark J Boda202, berhasil memposisikan Kitab
Tawarikh sebagai tulisan yang unik dari sudut pandang
sejarah, susastra, teologi, maupun sosiologi.
201 Samuel H. Balentine, The Torah’s Vision of Worship,
Overtures to Biblical Theology (Minneapolis, MN: Fortress Press,
1999), New Interpretive Context for the Study of Worship, Kindle. 202 Boda diidentifikasikan sebagai seorang ahli Perjanjian
Lama yang berhaluan Pentakosta oleh Craig S. Keener dalam
bukunya ‘Spririt Hermeneutics : Reading Scripture in Light of
Pentecost’
203
Penulisan Kitab Tawarikh secara umum
ditujukan bagi komunitas yang hidup di era pasca
pembuangan. Komunitas ini, sekembalinya dari
pembuangan di Babilonia, berusaha untuk menata
ulang kehidupannya di kota Yerusalem dalam kondisi
sosio-religius yang jauh berbeda dengan komunitas
Yerusalem di era Daud dan Salomo. Segala kondisi
yang menciptakan lingkungan kultus Israel, seperti Bait
Allah, sistem korban, personel Bait Allah (para Imam
dan orang Lewi), secara praktis harus dimulai kembali
dari nol. Kondisi ini diperburuk dengan kondisi sosio
politik, dimana Yehuda berada dalam kendali otoritas
pemerintahan Persia; tidak ada lagi raja Israel yang
memerintah. Jurang lebar yang tercipta karena kondisi
di atas memupuk rasa keterpisahan (diskontinuitas)
dengan masa lalu. Dalam situasi yang seperti ini,
sangatlah lumrah ketika orang-orang dalam komunitas
ini kehilangan identitas religiusnya. Kultus
penyembahan kepada Yahweh menjadi hal yang asing
dan tidak lagi relevan bagi mereka.
Lewat karyanya, Penulis Tawarikh (The
Chronicler)203 berusaha membangun kembali
kontinuitas dengan masa lalu yang sangat dibutuhkan.
Para pembaca Kitab Tawarikh (original readers),
komunitas pasca pembuangan, didorong untuk menarik
pelajaran dari sejarah Israel dan melihatnya dengan
perspektif yang baru, dalam setting di mana mereka
203 Konsensus akademis masa kini sebagian besar
menerima bahwa penulis Kitab Tawarikh tidak diketahui secara
pasti dan disebut sebagai The Chronicler.
204
hidup saat itu. Keberanian untuk menafsirkan ulang
peristiwa masa lalu dibutuhkan untuk kepentingan
masa kini.204 Mereka perlu kembali hidup dalam
kepercayaan kepada Yahweh yang mengendalikan
sejarah. Pembuangan ke Babilonia bahkan adalah
rancangan Yahweh untuk kebaikan Israel. Komunitas
yang ada pada masa itu adalah kelanjutan dari
komunitas “seluruh Israel” (“all Israel”)205 – komunitas
yang bernaung dalam Davidic covenant, sebuah
komunitas yang menyembah Yahweh dengan ‘cara’
Daud.
Struktur penulisan Kitab Tawarikh, karenanya,
didesain untuk mengingatkan kembali identitas
komunitas yang terhubung dengan Daud dan
penyembahan Yahweh dalam tradisi Daud. Beberapa
contoh bukti akan keberadaan desain ini dikemukan
oleh Mark A. Throntveit, Peter J. Leithart dan James M.
Street.
Mark A. Throntveit menunjukkan keberadaan
struktur chiastic dalam genealogi dari Adam sampai ke
204 Louis C. Jonker, 1 & 2 Chronicles, Understanding the
Bible Commentary Series (Grand Rapids, MI: Baker Books, 2013),
Introduction – The Message of Chronicles, Olive Tree. 205 Ungkapan “seluruh Israel” atau “all Israel” adalah ciri
khas dari Penulis Tawarikh. Sebagai sampel, lihat misalnya : 1 Taw
9:1; 11:1,4,10; 12:38; 13:5,6,8. Hal ini menunjukkan keberadaan
identitas kesatuan (Yehuda dan Israel) seperti pada jaman Daud
yang coba diterapkan ulang atas komunitas pasca pembuangan
yang pada kenyataannya tidak lagi menampilkan secara pasti
keberadaan orang-orang Utara (Israel).
205
Saul (1 Taw 1:1-9:44).206 Keberadaan Suku Lewi
menjadi sentra dari struktur chiastic menunjukkan
penekanan akan Suku-Suku Selatan yang setia kepada
Dinasti Daud ketika Suku-Suku Utara memisahkan diri
pada tahun 922 SM. Adapun kedua bagian Suku-Suku
Utara, di Timur (5:1-26) dan di Barat (7:1-40), mengapit
perikop Suku Selatan, yang menunjukkan penekanan
Penulis Tawarikh akan keterlibatan “seluruh Israel” :
A SukuYehuda, suku rajani Daud (2:3–4:43)
B Suku-Suku Utara di Timur Yordan (5:1–26)
C Suku Imamat Lewi (6:1–81)
B Suku-Suku Utara di Barat Yordan (7:1–40)
A Suku Benyamin, suku rajani Saul (8:1–40)207
Peter J. Leithart, merinci lebih lanjut perikop
Suku Lewi (1 Taw 6:1-81) ke dalam struktur chiastic
yang memberikan penekanan khusus kepada suku Lewi
sebagai pelayan musik 208 :
206 Mark A. Throntveit, “Was the Chronicler a Spin
Doctor? David in the Books of Chronicles,” Word & World 23, no.
4 (Fall 2003): 374–81, 376. 207 Pola chiastic yang sama, yang menekankan sentralitas
Suku Lewi, juga diidentifikasi oleh James B. Jordan, seperti dikutip
dalam Peter J. Leithart, From Silence to Song: The Davidic
Liturgical Revolution (Moscow: Canon Press, 2003), 29, footnote. 208 Peter J. Leithart, From Silence to Song: The Davidic
Liturgical Revolution (Moscow: Canon Press, 2003), 29.
206
A Imam (6:1–16)
B Lewi (6:17–30)
C Pelayan Musik Lewi (6:31–47)
B Pelayanan Lewi secara umum (6:48)
A Keturunan Imam (6:49–53)
Lewat struktur ini, Penulis Tawarikh mulai menggaris-
bawahi bahwa pelayanan di rumah Tuhan yang
terutama adalah menaikkan nyanyian, lebih dari
pelayanan imam, maupun pelayanan Lewi secara
umum. Dan Daud lah yang menjadi inisiator dari kultus
ini, seperti tertulis : “Inilah orang-orang yang
ditugaskan oleh Daud memimpin nyanyian di rumah
TUHAN sejak tabut itu mendapat tempat perhentian.”
(1 Taw 6:31, TB LAI).
Sentralitas Daud dikaitkan dengan
penyembahan tercermin dalam perikop 1 Tawarikh 13-
16, yang sering disebut sebagai “Narasi tentang Tabut”
(The Ark Narrative).209 James M. Street berhasil
membangun argumen bahwa Narasi tentang Tabut
adalah fondasi yang dipakai oleh Penulis Tawarikh
untuk menyusun struktur keseluruhan kitab210 dan
209 James M. Street, The Significance of the Ark Narrative :
Literary Formation and Artistry in the Book of Chronicles (New
York : Peter Lang, 2009), 31. 210 Street, 31
207
membuat tema penyembahan menjadi concern yang
terutama.211
Narasi Tabut juga memposisikan Daud sebagai
pencetus kultus yang memerintahkan para penerusnya
untuk menjaga kelanjutan kultus tersebut.212 Kisah
reorganisasi yang dilakukan oleh raja-raja seperti
Hizkia dan Yosia menunjukkan keberadaan pola
kontinuitas dari penyembahan yang diinisiasi oleh
Daud.213 Narasi mengenai pemerintahan Hizkia sejak
awal menggambarkan perbuatannya yang “benar di
mata TUHAN, tepat seperti yang dilakukan Daud, bapa
leluhurnya.” (2 Taw 29:2). Secara spesifik, dipaparkan
bahwa apa yang “tepat seperti yang dilakukan Daud”
adalah dalam hal reorganisasi orang-orang Lewi untuk
melayani penyembahan dengan alat-alat musik di
rumah TUHAN (2 Taw 29:25-26). Pola yang identik
juga dapat dijumpai dalam kisah Yosia : “hidup seperti
Daud” (2 Taw 34:2), dan mengangkat kembali “semua
orang Lewi yang pandai memainkan alat-alat musik” (2
Taw 34:12).
Narasi Tabut lebih jauh memberikan preskripsi
tentang model penyembahan Daud. Dalam terminologi
Street, model ini disebut sebagai “proper worship”
(penyembahan yang selayaknya).214 Dalam upayanya
yang kedua untuk memindahkan Tabut, setelah
kegagalan upaya yang pertama dalam 1 Taw 13, Daud
211 Street, 32 212 Street, 73 213 Street, 72 214 Street, 138
208
menjelaskan penyebab bangkitnya murka Tuhan saat
upaya yang pertama adalah karena “kita tidak meminta
petunjuk-Nya seperti seharusnya” (1 Taw 15:13), atau
dalam versi ESV : “we did not seek him according to
the rule”. Interpretasi ESV menjadikan Yahweh sebagai
subjek dari kultus, alih-alih Tabut.215 Ayat-ayat
selanjutnya memberikan penjelasan mengenai makna
“according to the rule”. Segera setelah cara
mengangkut Tabut diperbaiki (ayat 14-15), Daud
mengorganisasikan model pelayanan yang melibatkan
penyanyi yang memainkan alat musik (ayat 16), disertai
dengan lompatan dan tarian (ayat 29). Street
mengimpulkan sebagai berikut : “True worship is joyful
and while some ritual elements are fixed and solemn,
other elements are open and fluid and filled with praise
and thanksgiving.”216
Dapat disimpulkan bahwa bagi Penulis
Tawarikh : (1) Suku Lewi adalah suku yang menjadi
apex dari genealogi umat pilihan; (2) Pelayanan
nyanyian adalah pelayanan sentral dari Suku Lewi,
yang diinisiasi oleh Daud; (3) Pola penyembahan
seperti yang dipreskripsikan oleh Daud adalah proper
worship harus diteruskan oleh komunitas pasca
pembuangan.
215 Lihat juga versi NASB : “we did not seek Him
according to the ordinance”. Kontra : NRSV “we did not give it
proper care”. 216 Street, 138
209
Karakteristik Penyembahan dalam Kitab Tawarikh
John W. Kleinig menjelaskan karakteristik dari
penyembahan (sacred song) dari Kitab Tawarikh
sebagai berikut217 :
1. Dengan memuji TUHAN, para penyanyi
memproklamasikan nama-Nya dan
mendeklarasikan karya-Nya.
a. Mereka memperkenalkan TUHAN kepada umat-
Nya dan mengumumkan kehadiran-Nya di
tengah mereka
b. Mereka menyingkapkan karakter-Nya yang
penuh belas kasih dan kebaikan-Nya bagi umat-
Nya
c. Mereka mengajak jemaat untuk mengingat ikat
janji mereka TUHAN dan melandaskan segala
permohonan atas dasar janji-Nya
d. Mereka mengundang seluruh umat pilihan dan
segenap bangsa-bangsa di muka bumi untuk
mencari hadirat-Nya dan mendapatkan kekuatan
di dalam penyembahan kepada-Nya
2. Dengan memuji TUHAN, para penyanyi bertindak
sebagai nabi-nabi dan bernubuat dalam nama-Nya.
a. Mereka berdiri di hadapan hadirat-Nya menjadi
perantara antara TUHAN dengan umat-Nya
dengan menyampaikan perkataan TUHAN
kepada umat-Nya lewat lagu
217 John W. Kleinig, The Lord’s Song : The Basis, Function
and Significance of Choral Music in Chronicles, Journal for the
Study of the Old Testament Supplement Series (Sheffield, England:
JSOT Press, 1993), 190-191.
210
b. Mereka memproklamasikan penghakiman
TUHAN atas musuh-musuh-Nya dan
keselamatan kepada umat-Nya
c. Mereka mengkomunikasikan penerimaan
TUHAN atas mereka dalam persetujuan-Nya
atas korban mereka dan menghadirkan
pertolongan-Nya atas mereka dalam proklamasi
nama-Nya
d. Melalui mereka, TUHAN mendeklarasikan
keselamatan atas umat-Nya
3. Dengan memuji TUHAN, para penyanyi memanggil
hadirat-Nya yang mulia turun atas bait di Yerusalem
dan merespon kepada manifestasi kehadiran-Nya.
a. Dengan memproklamasikan nama TUHAN, para
penyanyi memanggil kemuliaan TUHAN,
tersembunyi dalam awan di dalam bait, dan
menyingkapkan hadirat-Nya yang terselubung
secara verbal kepada umat-Nya lewat lagu
pujian.
b. Mereka memimpin umat dalam meresponi
TUHAN dengan kegentaran, ucapan syukur dan
sorak suka cita untuk penerimaan TUHAN atas
mereka dan korban yang mereka persembahkan
4. Dengan memuji TUHAN, para penyanyi melakukan
peperangan rohani (supernatural warfare) melawan
musuh-musuhnya TUHAN.
a. Mereka mengingat kemenangan TUHAN atas
musuh-musuh dan merayakan kuasa-Nya ketika
mengalahkan musuh dengan sedikit atau tanpa
bantuan kekuatan militer dari umat pilihan-Nya
b. Mereka mempertahankan umat TUHAN dan
mengamankan pembebasan umat-Nya lewat
211
proklamasi atas TUHAN dan keselamatan-Nya
dalam pujian penyembahan
c. Mereka memproklamasikan tindakan
pembebasan-Nya di masa datang dan
kemenangan-Nya yang universal atas semua
kuasa jahat, sesuai dengan janji-Nya melalui
nabi-nabi-Nya
d. Dengan memberi kesaksian tentang kuasa
TUHAN dalam menaklukkan dewa-dewa
terbesar kepunyaan bangsa asing dan tentang
kekuatan militer-Nya dalam membela umat-
Nya, para penyanyi mengintimidasi musuh-
musuh mereka dan mempengaruhi para musuh
untuk tunduk kepada pemerintahan-Nya
5. Bangsa-bangsa di seluruh bumi mengalami
keuntungan atau kerugian tergantung dari
bagaimana umat pilihan menaikkan lagu TUHAN.
a. Seperti Israel, mereka adalah ahli waris dari
kemurahan rajani-Nya dan dengan demikian
terikat untuk mengakui Dia sebagai Allah
mereka
b. Lewat institusi dan penampilan pujian
penyembahan (sacred song), para raja dari Tahta
Daud mengantisipasi pewahyuan tentang
TUHAN sebagai raja atas seluruh ciptaan,
memproklamasikan nama TUHAN kepada
bangsa-bangsa, dan memanggil bangsa-bangsa
untuk mengakui Dia dalam korban, sujud-
sembah, dan pujian
c. Pujian penyembahan yang dinaikkan adalah
proklamasi kebaikan TUHAN atas bangsa-
bangsa dan sekaligus juga pernyataan
212
penghakiman-Nya atas mereka dan para dewa
mereka
d. Bangsa-bangsa memiliki pilihan untuk menjadi
rekan kerja umat pilihan dalam memuji nama-
Nya yang kudus, atau mengalami kekalahan di
tangan-Nya ketika mereka menolak nama-Nya
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa para
pemuji penyembah Tuhan dalam Kitab Tawarikh,
termasuk Daud, menampilkan karakter yang imamat
(dalam mengundang hadirat-Nya) , yang nabiah (dalam
nubuatan), dan yang rajani (dalam peperangan rohani).
Karakter-karakter ini berpadanan dengan nilai-nilai
Pentakosta yang memandang Yesus sebagai sanctifier
(imamat), sebagai Spirit baptizer dan healer (nabiah),
dan sebagai soon-coming King (rajani).
Narasi Sebagai Hermeneutika Pentakostal
Bagaimana insan Pentakosta seharusnya
menafsirkan Alkitab secara bertanggung jawab? Seperti
apakah sesungguhnya bentuk hermeneutika yang
berhaluan Pentakosta (Pentecostal Hermeneutics)?
Sampai hari ini, berbagai pola hermeneutika
Pentakostal telah ditawarkan oleh berbagai pihak.
Beberapa model hermeneutika tidak jauh berbeda
dengan hermeneutika injili, seperti yang diusung oleh
Gordon D. Fee dan Robert P. Menzies. Model yang
bersifat eklektik : berakar biblikal kuat, namun
memasukkan unsur the Spirit behind the law,
213
ditawarkan oleh Craig S. Keener. Sebagian
merumuskan model yang bersifat teologi naratif yang
diolah dalam sebuah holy community,yang
menghidupi pengalaman dari Roh Kudus, seperti yang
digagas oleh Kenneth J. Archer, Melissa Archer, dan
Jacqueline Grey. Mengingat dinamika perubahan yang
terjadi, pembaca dianjurkan untuk merunut kepada
tulisan bunga rampai terkini untuk melihat kategori
hermeneutika Pentakostal.218
Penulis makalah ini akan meminjam model
hermeneutika Pentakostal yang ditawarkan oleh Joel B.
Green, seorang Wesleyan. Secara sederhana, bagi
Green, hermeneutika Pentakostal adalah turunan dari
sebuah gerakan hermeneutika yang lebih besar, yaitu
Theological Interpretation of Scripture (TIS).219
Dalam karyanya terdahulu, Practicing
Theological Interpretation : Engaging Biblical Text for
Faith and Formation, Green memberikan gambaran
bagaimana melakukan TIS dengan mengambil Surat
Yakobus sebagai kasus. Pertama-tama, Green
merumuskan ulang siapa yang menjadi pembaca Surat
218 Lihat misalnya : Kenneth J. Archer and L. William
Oliverio, Jr., eds., Constructive Pneumatological Hermeneutics in
Pentecostal Christianity, Christianity and Renewal -
Interdisciplinary Studies (New York, NY: Palgrave Macmillan,
2016). 219 Joel B. Green, “Pentecostal Hermeneutics: A Wesleyan
Perspective”, in Kenneth J. Archer and L. William Oliverio, Jr.,
eds., Constructive Pneumatological Hermeneutics in Pentecostal
Christianity, Christianity and Renewal - Interdisciplinary Studies
(New York, NY: Palgrave Macmillan, 2016), 159.
214
Yakobus; siapakah yang menjadi “kamu” (dimulai dari
Yak 1:2) dalam surat ini? Presumsi dasar studi modern
biblika kritikal adalah bahwa “kamu” dalam Surat
Yakobus adalah pembaca yang hidup pada abad
pertama, yang kehidupannya adalah bukan kehidupan
pembaca modern pada masa kini.220 Secara teologis,
hal ini merupakan kontradiksi dari konsep gereja yang
Am. Untuk itu, Green mengagas konsep model reader,
meminjam Umberto Eco, dimana dengan konsep ini,
pembaca Surat Yakobus pada masa kini tidak membaca
sebagai pengamat asing, melainkan mengambil persona
sebagai pembaca pertama (direct reader) yang menjadi
objek dari surat tersebut. Dengan demikian, pembaca
masa kini siap dibentuk oleh teks yang sama yang
ditujukan untuk membentuk pembaca pertama.221
Dengan mengacu kepada petunjuk dalam teks :
“kepada kedua belas suku di perantauan” (Yak 1:1),
dimana “kedua belas suku” menggambarkan umat
eskatologis yang direstorasi oleh Tuhan dan “di
perantauan” mendeskripsikan kehidupan dalam
pembuangan, Green mengkonsepsi model reader
dalam bentuk paradox, yaitu “umat Tuhan yang
dipulihkan yang sedang menantikan pemulihan”.222
Model reader yang dimaksud mengarungi sebuah
narasi kehidupan seperti yang digambarkan dalam
220 Joel B. Green, Practicing Theological Interpretation :
Engaging Biblical Texts for Faith and Formation, Theological
Explorations for the Church Catholic (Grand Rapids, MI: Baker
Academic, 2011), 15. 221 Green, Practicing, 20. 222 Green, Practicing, 21
215
Surat Yakobus. Narasi tersebut merupakan bagian dari
grand narrative : Penciptaan Kehidupan
Sekarang/Kehidupan dalam Pembuangan Ciptaan
Baru, dimana Surat Yakobus memfokuskan diri pada
babakan Kehidupan dalam Pembuangan.223 Kehidupan
ini ditandai dengan : “berbagai pencobaan” (1:2);
“dalam keadaan yang rendah” (1:9); ketekunan “dalam
pencobaan” (1:12); perbuatan yang menyempurnakan
iman (1:22).
Konsep TIS di atas juga sejalan dengan
hermeneutika Pentakostal yang dipraktekkan oleh para
pendahulu gerakan Pentakosta di awal abad ke-20,
yang memakai narasi Pentakosta sebagai filter
hermeneutika. Narasi Pentakosta yang diadopsi oleh
gerakan awal Pentakosta banyak dibentuk oleh motif
tematik Hujan Akhir (Latter Rain).224 Motif ini dipakai
sebagai filter untuk menafsirkan Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru menurut pola janji-penggenapan. Pola
tersebut memberikan dasar bagi insan Pentakosta untuk
mengambil bagian atas janji Hujan Akhir kepada
komunitas umat pilihan di masa lalu. Kontinuitas janji
Hujan Akhir ini kemudian melahirkan ekspektasi
pencurahan Roh Kudus yang lebih besar daripada
pencurahan dalam Kisah Para Rasul 2.225 Dengan kata
223 Green, Practicing, 30 224 D. William Faupel, The Everlasting Gospel: The
Significance of Eschatology in the Development of Pentecostal
Thought (Dorset, UK: Sheffield Academic Press, 1996), 19-43. 225 Kenneth J. Archer, A Pentecostal Hermeneutic: Spirit,
Scripture And Community (Cleveland, TN: CPT Press, 2009), 137-
138.
216
lain, meminjam terminologi Green, komunitas
Pentakosta awal abad ke-20 mengasosiasikan diri
sebagai model reader, yaitu umat yang menantikan
Janji Bapa (Kis 1:4).
Membaca Kitab Tawarikh Sebagai Insan Pentakosta
Berpadanan dengan konsep model reader dalam
bingkai TIS, kecenderungan insan Pentakosta untuk
menerima kitab-kitab narasi tidaklah mengherankan.
Insan Pentakosta sangat suka mengidentifikasikan
dirinya dengan tokoh dan plot dalam narasi, serta
menarik aplikasi dari narasi secara langsung. Bagi
orang Pentakosta, “cerita ini adalah cerita kita juga”,
meminjam terminologi Robert P. Menzies dalam
konteks tulisan Lukas.226 Dalam upaya menjadikan
“cerita ini adalah cerita kita juga”, orang Pentakosta
sesungguhnya sedang membangun penafsiran secara
teologis atas sebuah narasi sejarah. Sejarah tidaklah
berhenti di masa lalu, akan tetapi berulang dalam
wadah masa kini. Hal yang sama dikemukakan oleh
Louis C. Jonker tentang penulisan Kitab Tawarikh : “..
the Chronicler shows that the believers do not
subscribe to the contingency of history. History, and
therefore also the continuation of the past into the
226 Meminjam istilah dari judul : Robert P. Menzies,
Pentecost: This Story Is Our Story (Springfield, MO: Gospel
Publishing House, 2013).
217
present and future, can and should be interpreted
theologically.”227
Dengan berpijak pada pembahasan di bagian
sebelumnya, dapat diidentifikasi beberapa karakteristik
model reader. Komunitas pasca pembuangan adalah
orang-orang yang hidup dalam penantian akan
berulangnya sejarah. TUHAN yang mereka sembah
adalah Allah yang berdaulat atas sejarah. Seburuk
apapun kondisi yang menimpa mereka, TUHAN adalah
“God of new beginnings”228, yang sanggup untuk
membuka lembaran sejarah yang baru buat umat-Nya.
Atas dasar inilah mereka menaruh pengharapan akan
sesuatu yang baik terjadi seperti yang pernah TUHAN
kerjakan dahulu. Karena itu mereka melihat kembali
bagaimana pola retributif berulang dalam kehidupan
Daud dan keturunan Daud. Mereka
mengidentifikasikan diri mereka sebagai umat di bawah
otoritas Daud dan keturunannya. Pola kehidupan Daud
yang berpusat pada penyembahan menjadi sebuah
preskripsi untuk cara hidup komunitas. Sosok Daud
yang dijadikan aspirasi komunitas bukan lagi sosok
Daud sebagai Raja, melainkan juga sosoknya sebagai
founder dari ritual yang karismatik.
Komunitas Pentakosta kontemporer pada
dasarnya menjalani hidup dengan nilai dan aspirasi
yang hampir identik dengan model reader Kitab
227 Jonker, Introduction – The Message of Chronicles,
Olive Tree. Lihat juga : Street, 11. 228 Jonker, Introduction – Theology of Chronicles, Olive
Tree.
218
Tawarikh. Mereka percaya akan sejarah pencurahan
Roh Kudus yang berulang dan menantikannya dalam
harap. Penantian ini tidalah bersifat pasif, melainkan
sebuah rangkaian tindakan yang dilakukan berdasarkan
preskripsi dari Sang Tunas Daud. Mereka hidup di
bawah otoritas-Nya sebagai penyelamat, penyembuh,
pembaptis Roh Kudus dan Raja yang akan datang.
Sama halnya seperti ketika insan Pentakosta
berkata, meminjam frase Menzies : “This (Lukan) story
is our story”, demikian juga tanpa kesulitan mereka
dapat berkata : “This (Chronistic) story is our story”.
Pondok Daud sebagai Representasi Visi Penyembahan
Daud
Satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari proper
worship yang diwariskan Daud adalah terminologi
Pondok Daud (PD). Apakah PD ini identik atau terkait
dengan visi penyembahan Daud? Frase “Pondok Daud
(sukkat dawid)” dalam Kitab Amos sendiri adalah
sebuah hapax legomenon (satu-satunya kemunculan
dalam Alkitab). Karenanya tidaklah mengherankan
apabila berbagai versi alkitab memiliki kata yang
berbeda untuk “pondok” : booth (ESV, NRSV, NASB,
HCSB), shelter (NIV), hut (NET, MEV, NABRE), tent
(GW), house (NLT, MSG), kingdom (GNB), tabernacle
(KJV, NKJV, AMP), sukkah, sukkat (TLV, OJB). Dari
berbagai terjemahan yang berbeda dapat diambil
kesimpulan awal bahwa :
219
1. Sebagian besar versi menerjemahkan secara
literal tanpa penafsiran teologis (booth, shelter,
hut, tent). Seluruh kata ini (booth, shelter, hut,
tent) memiliki pengertian yang serupa yaitu
sebuah bangunan sederhana yang non
permanen.
2. Sebagian versi (dari aliran thought-for-thought)
menerjemahkan dengan pengertian teologis
yang bermakna kerajaan (house, kingdom)
3. Sebagian versi (dari kelompok klasik “King
James”) menerjemahkan dengan pengertian
teologis yang bermakna religius (tabernacle)
4. Versi Yahudi mesianik meneruskan kata asli ke
dalam terjemahan (sukkah, sukkat)
Keberagaman dari berbagai versi Alkitab di atas
memberikan indikasi awal adanya perbedaan
penafsiran dari makna Restorasi Pondok Daud.
1. Pondok Daud sebagai Lambang dari
Dinasti/Kerajaan Daud
Penting untuk melihat dari sudut pandang
Yahudi. Menurut The Jewish Study Bible, Rabbinic
sources berpendapat bahwa pendirian “Pondok Daud
yang telah roboh” mengacu pada era mesianik.
Beberapa penafsir Yahudi abad pertengahan,
mengartikan “pondok” sebagai Bait Allah, namun
sebagian besar penafsir pada masa itu mengartikannya
sebagai Kerajaan Daud. Sebagian besar ilmuwan masa
220
kini, mengasosiasikan “Pondok Daud yang telah roboh”
dengan kejatuhan Kerajaan Yehuda dan
pembuangannya (exile).229
Menurut pengusung pandangan ini, arti dari
“Pondok Daud yang telah roboh” (Amos 9;11) harus
dilihat dari konteks ayat 1-10 dan ayat 13-15, sebagai
berikut :
229 Adele Berlin, Marc Zvi Brettler, and Michael Fishbane,
eds., The Jewish Study Bible: Featuring The Jewish Publication
Society TANAKH Translation (Oxford, NY: Oxford University
Press, 2004), Amos 9:11, Olive Tree.
Amos 9:8
“Penghakiman”
Amos 9:11 “Pada hari itu
(Sesudah penghakiman)”
Amos 9:14 “Pemulihan”
Sesungguhnya,
TUHAN Allah sudah
mengamat-amati
kerajaan yang
berdosa ini (*): Aku
akan
memunahkannya (*)
dari muka bumi!
Tetapi Aku tidak akan
memunahkan
keturunan Yakub
sama sekali, (^)"
demikianlah firman
TUHAN.
(Amo 9:8)
"Pada hari itu Aku akan
mendirikan kembali
pondok Daud yang telah
roboh (*); Aku akan
menutup pecahan
dindingnya, dan akan
mendirikan kembali
reruntuhannya; Aku
akan membangunnya
kembali (^) seperti di
zaman dahulu kala,
(Amo 9:11)
Aku akan memulihkan
kembali umat-Ku Israel: (^)
mereka akan membangun
kota-kota yang licin tandas
dan mendiaminya; mereka
akan menanami kebun-kebun
anggur dan minum
anggurnya; mereka akan
membuat kebun-kebun buah-
buahan dan makan buahnya.
(Amo 9:14)
221
Disimpulkan bahwa Restorasi Pondok Daud
berbicara tentang pemulihan kerajaan atau otoritas
pemerintahan di bawah Daud secara fisik dan
dampaknya yang mencakup bangsa-bangsa. Secara
tegas, Avner Boskey, seorang messianic Jews,
menyimpulkan230 : “Amos 9:11 is not prophesying
about 24-hour intercessory prayer meetings and
inspired worship. Though inspired worship will flourish
under Davidic rule, that is not what Amos’ prophecy is
addressing.”
Atas hipotesis Boskey, dapat diberi tanggapan
bahwa konteks yang diambil hanya dari Amos pasal 9
adalah terlalu sempit sehingga tidak membuka peluang
untuk melihat kemungkinan sudut penafsiran yang
berbeda. Kesimpulan Boskey tidak dapat diterima
sepenuhnya.
Dari sudut pandang yang lain, beberapa
penafsir, melihat “pondok” Daud sebagai penurunan
kualitas dari “rumah” Daud (house of David, keturunan
Daud). Walter C. Kaiser menyatakan231 : “The subject
of Amos 9:11 is the present condition of David’s house
or dynasty, which Amos describes as a “booth”, “tent”,
or “hut” (sukkah) that is currently in a state of
230 Avner Boskey, “A Messianic Perpective on the
Restoration of David’s Tabernacle” 2011, 11. 231 Walter C. Kaiser Jr., Darrell L. Bock, and Peter Enns,
Three Views on the New Testament Use of the Old Testament
(Grand Rapids, MI: Zondervan, 2008), 66.
222
dilapidation, i.e., it is “falling down” (hannopelet).”
Jadi, “apa yang awalnya dirancang sebagai the house of
David (2 Sam 7:11, NIV) - atau keturunan Daud - yaitu
dinasti Daud, dengan segala janji berkat yang mulia,
telah berada dalam kondisi sedang roboh dan tampak
seperti pondok sementara yang biasa terlihat di hari
raya Pondok Daun”. Pada akhirnya Kaiser
menyimpulkan232 : “There is no need to take “David’s
fallen tent” to mean “the tabernacle of David” and then
to make that into a type of the Christian church”.
Restorasi Pondok Daud secara langsung hanya
mengacu kepada ikat janji Tuhan kepada Daud dalam
2 Sam 7 dan 1 Taw 17. Kesimpulan seperti ini dianut
oleh mayoritas penafsir kalangan injili.
Keberatan dapat diajukan atas kesimpulan di
atas. Secara gramatikal, kondisi “yang telah roboh”
dalam Amos 9:11 mengacu secara langsung kepada
“pondok Daud” (sukkah) dan bukan “keturunan (house,
NIV) Daud” (baiyt). Tindakan mengasosiasikan
“pondok” sebagai “keturunan yang roboh” adalah
sesuatu yang dipaksakan dan berlawanan dengan
konteks natural dari teks Amos 9:11.
232 Kaiser, 71.
223
2. Pondok Daud sebagai Tabernakel Pujian dan
Penyembahan
Telah dibahas bahwa sebagian besar kalangan
injili melihat Pondok Daud sebagai dinasti atau
keturunan Daud. Selanjutnya, akan dibangun
argumentasi secara alkitabiah bahwa Pondok Daud
berbicara secara kuat sebagai tabernakel pujian dan
penyembahan di Bukit Zion. Meminjam kerangka
berpikir Peter J. Leithart, beberapa argumen yang
menopang Pondok Daud sebagai kemah yang didirikan
Daud di Bukit Zion adalah sebagai berikut : (i)
penggunaan kata “pondok” (booth); dan (ii) konteks
dari Amos 9.233
Argumen pertama mengacu kepada Mazmur 76,
yang ditulis oleh Asaf, pemazmur yang sejaman dengan
Daud.
Allah terkenal di Yehuda, nama-Nya masyhur di
Israel! Di Salem sudah ada pondok-Nya,(sukkah)
dan kediaman-Nya di Sion! Di sanalah
dipatahkan-Nya panah yang berkilat, perisai dan
pedang dan alat perang. Sela
(Mazmur 76:2-4)
233 Peter J. Leithart, From Silence to Song: The Davidic
Liturgical Revolution (Moscow: Canon Press, 2003), 78.
224
Perhatikan pola sejajar (paralelisme) dengan pola A-B-
B-A dalam ayat-ayat di atas234 :
Di Salem sudah ada (A)
pondok-Nya (B)
dan kediaman-Nya (B)
di Sion (A)
Di dalam mazmur ini disebutkan lokasi dari
“pondok-Nya”, yaitu di Salem (Yerusalem), dan secara
khusus di bukit Sion (yang ada di Yerusalem). Lebih
lanjut, bagian tengah dari pola sejajar di atas (“pondok-
Nya dan kediaman-Nya”) menunjukkan bahwa pondok
di Sion adalah tempat kediaman Tuhan. Jelaslah bahwa
“Pondok” yang dimaksud adalah kemah yang Daud
dirikan untuk menampung tabut di Yerusalem
(tabernakel). Dengan demikian, Amos menubuatkan
sebuah restorasi dari sebuah tempat penyembahan
yang menampung tabut Allah, atau lazim disebut
Tabernakel Daud. Ternyata versi alkitab dari golongan
King James (KJV, NKJV) adalah yang paling tepat
menerjemahkan dan menafsirkan sukkah sebagai
tabernacle.
Argumen kedua mengacu kepada kemiripan dan
pembalikan pola antara Amos 9:1-6:14 dan Amos 9:1-
15. Untuk itu, lihat tabel di bawah ini235 :
234 Leithart, 82.
225
Amos 5:1 - 6:14 Amos 9:1-15
Sifat Perikop Perkataan final (final oracle) Penglihatan final (final vision)
Pembalikan
(reversal)
5:2 "Telah rebah (nafal),
tidak akan bangkit-bangkit
(qum) lagi anak dara Israel,
terkapar di atas tanahnya,
tidak ada yang
membangkitkannya (qum)."
9:1 Pada hari itu Aku akan mendirikan
kembali (qum) pondok Daud yang
telah roboh (nafal); Aku akan menutup
pecahan dindingnya, dan akan
mendirikan kembali (qum)
reruntuhannya
Kesamaan
kedaulatan
5:8-9 Tuhan berdaulat atas
ciptaan
9:5-6 Tuhan berdaulat atas ciptaan
Pembalikan
(reversal)
5:11 membuat kebun
anggur, tidak minum
anggurnya
9:14 menanami kebun dan minum
anggurnya
Pembalikan
(reversal)
5:18-19 “hari” TUHAN,
kegelapan
9:11, “hari” restorasi;
9:13, “waktu” kelimpahan
Kesamaan
hukuman
5:19 ular (nahash) memagut
(nashak) sebagai hukuman
9:3 ular (nahash) memagut (nashak)
sebagai hukuman
Kesamaan
hukuman
5:27 pembuangan jauh ke
seberang Damsyik
9:4 Berjalan di depan musuh sebagai
orang tawanan
Kesamaan
sebutan Allah
5:27, 6:14 TUHAN, yang
nama-Nya Allah semesta
alam
9:5 Tuhan ALLAH semesta alam
Pembalikan
(reversal)
6:8 Tuhan akan
menyerahkan kota serta
isinya
9:14 Tuhan memulihkan umat-Nya
untuk membangun kota yang licin
tandas
Kemiripan
konsonan
5:26 Sakut (sikkuth), rajamu 9:11 pondok (sukkah)
Tema sentral perikop Amos 5:1-6:14 adalah
penyelewengan penyembahan Israel dan penolakan
Tuhan terhadap penyembahan tersebut. Menarik untuk
diamati perkataan Tuhan terhadap Israel : “Jauhkanlah
dari pada-Ku keramaian nyanyian-nyanyianmu, lagu
235 Leithart, 85-87.
226
gambusmu tidak mau Aku dengar.” (Amos 5:23).
Contoh lain : "Celaka atas orang-orang yang merasa
aman di Sion” (6:1), “yang bernyanyi-nyanyi
mendengar bunyi gambus, dan seperti Daud
menciptakan bunyi-bunyian bagi dirinya;” (6:5). Frase
“menciptakan bunyi-bunyian” memiliki padanan dalam
alkitab NIV : improvise on musical instrument, atau
dalam NASB : composed songs.
Dengan melihat dua fakta, yaitu adanya pola
pembalikan antara 5:1-6:14 dan 9:1-15, dan gambaran
Daud sebagai pemusik dan pemyembah di dalam kitab
Amos, maka menjadi jelaslah Tuhan membalikkan
kondisi penyembahan Israel di 9:1-15. Pondok Daud
berbicara tentang penyembahan Israel dan Restorasi
Pondok Daud adalah restorasi dalam hal
penyembahan. Dengan demikian, Pondok Daud dapat
dijadikan representasi dari visi penyembahan Daud.
The Road Ahead
Visi penyembahan Daud yang digambarkan
dalam Kitab Tawarikh kemungkinan memiliki relasi
dengan Kitab Mazmur, terutama yang memiliki
inskripsi nama Daud. Mengingat rentang penulisan
Mazmur yang sangat panjang, bentuk relasi itu sendiri
perlu diselidiki lebih lanjut, bagaimana beberapa Kitab
Mazmur mempengaruhi (kemungkinan besar) atau
beberapa dipengaruhi oleh Kitab Tawarikh
(kemungkinan yang lebih kecil). Sebagai contoh,
227
segmen 1 Taw 16:7-36 dipengaruhi oleh beberapa
Mazmur yang telah ditulis sebelum penulisan
Tawarikh.236
Kitab Mazmur sendiri, tanpa dikaitkan dengan
Kitab Tawarikh, telah banyak menjadi model
penyembahan injili. Dari kalangan Pentakosta, Lee
Roy Martin telah memulai upaya menyusun teologi
penyembahan Pentakostal yang berlandaskan Kitab
Mazmur. Martin mengamati bahwa banyak elemen
penyembahan dalam Mazmur yang muncul d alam
penyembahan kalangan Pentakosta, baik early
Pentecostalism, maupun majority world masa kini.237
Perbandingan antara beberapa elemen penyembahan
Mazmur versi Martin dengan karakteristik
penyembahan Tawarikh versi Kleinig menunjukkan
banyak titik temu.
Meminjam istilah Miller pada kutipan
pembukaan, insan Pentakosta memiliki teologi
penyembahan yang kaya warna untuk memberi makna
kepada penyembahan Pentakostal yang ”vibrant,
connects with the emotions, inspires, and energizes”.
236 Street, 24. 237 Lee Roy Martin, ed., Toward a Pentecostal Theology of
Worship (Cleveland, TN: CPT Press, 2016), 88.
228
DAFTAR PUSTAKA
Archer, Kenneth J. A Pentecostal Hermeneutic: Spirit,
Scripture And Community. Cleveland, TN: CPT Press,
2009.
Archer, Kenneth J., and L. William Oliverio, Jr., eds.
Constructive Pneumatological Hermeneutics in
Pentecostal Christianity. Christianity and Renewal -
Interdisciplinary Studies. New York, NY: Palgrave
Macmillan, 2016.
Balentine, Samuel H. The Torah’s Vision of Worship.
Overtures to Biblical Theology. Minneapolis, MN:
Fortress Press, 1999.
Berlin, Adele, Marc Zvi Brettler, and Michael Fishbane, eds.
The Jewish Study Bible: Featuring The Jewish
Publication Society TANAKH Translation. Oxford, NY:
Oxford University Press, 2004.
Boda, Mark J. After God’s Own Heart: The Gospel
According to David. The Gospel According to The Old
Testament. Phillipsburg, N.J: P & R Publishing, 2007.
Boskey, Avner. “A Messianic Perpective on the Restoration
of David’s Tabernacle,” 2011.
Brueggemann, Walter. The Message of the Psalms.
Minneapolis, MN: Augsburg, 1984.
Faupel, D. William. The Everlasting Gospel: The Significance
of Eschatology in the Development of Pentecostal
Thought. Dorset, UK: Sheffield Academic Press, 1996.
Feinberg, John S., ed. Continuity and Discontinuity (Essays in
Honor of S. Lewis Johnson, Jr.): Perspectives on the
229
Relationship Between the Old and New Testaments.
Westchester, IL: Crossway, 1988.
Félix-Jäger, Steven. Spirit of the Arts: Towards a
Pneumatological Aesthetics of Renewal. Christianity
and Renewal - Interdisciplinary Studies. New York, NY:
Palgrave Macmillan, 2017.
Green, Joel B. Practicing Theological Interpretation :
Engaging Biblical Texts for Faith and Formation.
Theological Explorations for the Church Catholic.
Grand Rapids, MI: Baker Academic, 2011.
Ingalls, Monique M., and Amos Yong, eds. The Spirit of
Praise: Music and Worship in Global Pentecostal-
Charismatic Christianity. University Park, PA: The
Pennsylvania State University Press, 2016.
Jonker, Louis C. 1 & 2 Chronicles. Understanding the Bible
Commentary Series. Grand Rapids, MI: Baker Books,
2013.
Kaiser Jr., Walter C., Darrell L. Bock, and Peter Enns. Three
Views on the New Testament Use of the Old Testament.
Grand Rapids, MI: Zondervan, 2008.
Keener, Craig S. Spirit Hermeneutics: Reading Scripture in
Light of Pentecost. Grand Rapids, Michigan: Eerdmans,
2016.
Kleinig, John W. The Lord’s Song : The Basis, Function and
Significance of Choral Music in Chronicles. Journal for
the Study of the Old Testament Supplement Series.
Sheffield, England: JSOT Press, 1993.
Leithart, Peter J. From Silence to Song: The Davidic Liturgical
Revolution. Moscow: Canon Press, 2003.
Martin, Lee Roy, ed. Toward a Pentecostal Theology of
Worship. Cleveland, TN: CPT Press, 2016.
230
Menzies, Robert P. Pentecost: This Story Is Our Story.
Springfield, MO: Gospel Publishing House, 2013.
Street, James M. The Significance of the Ark Narrative:
Literary Formation and Artistry in the Book of
Chronicles. Studies in Biblical Literature 129. New
York, NY: Peter Lang Publishing, Inc., 2009.
Throntveit, Mark A. “Was the Chronicler a Spin Doctor?
David in the Books of Chronicles.” Word & World 23,
no. 4 (Fall 2003): 374–81.