asnawi ali

2
HALAMAN 22 BUNGONG JAROE KONTRAS NO. 331 TAHUN VIII 27 APRIL - 3 MEI 2006 Asnawi Ali Dari Jualan Kontras ke Pengasingan Skandinavia Terobsesi untuk mengubah nasib menjadi lebih baik, Asnawi Ali, (28) memilih hijrah dari Aceh. Awalnya mantan loper koran ini menuju Malaysia, lalu menda- pat suaka politik di Norwegia. Dari negara di Semenanjung Skandinavia itu, mantan pe- mandu (guide) wartawan man- canegara itu hijrah lagi ke Swe- dia dan menikah dengan wanita Aceh di sana. Besar di masa konflik berke- camuk di Aceh, Asnawi merekam dengan jeli perjalanan konflik bersenjata di Aceh, sejak Aceh Merde- ka dideklarasikan Tgk Hasan Tiro. Saat ini, Asnawi yang mahir bahasa Norwe- gia, sedang mempersiapkan novel tentang kisah perjalanan konflik Aceh ber- bahasa Inggris. Perusahaan pencetaknya dia harapkan dari Amerika Serikat. “Saya sengaja membidik pangsa pasar Amerika, karena alur cerita novel terse- but berkenaan dengan kisah dan peranan fiktif Amerika di Aceh,” tulis Asnawi dalam surel (surat elektronik) yang dia kirimkan ke Redaksi Kontras, Senin lalu. Atas permintaan Said Kamaruzzaman dari Kontras, Asnawi menukilkan pe- ngalamannya sejak meninggalkan dan kembali lagi ke Aceh setelah tsunami, peristiwa yang merenggut nyawa ayah dan ibunya di Banda Aceh. Asnawi juga mengisahkan sisi lain kehidupan komunitas Aceh di Swedia yang tidak melulu terkonsentrasi pada perjuangan politik “memerdekakan” Aceh. Ternyata, tak jauh dari pusat Kota Stockholm, terdapat meunasah Aceh untuk menampung aktivitas sosial dan keagamaan sekitar 100-an warga Aceh di sana. Berikut penuturan Asnawi untuk publik yang ia cintai di Aceh. Asnawi Ali S AYA dilahirkan di kampung kecil Meunasah Beureuleung, Grong-Grong, Pidie, tahun 1978, persis dua tahun “Aceh Merde- ka” dideklarasikan oleh Tgk Hasan Tiro dan huru-hara peperangan pun terjadi. Saya dibesarkan dalam suasa- na perkampungan yang nyaris tak ber- singgungan dengan fasilitas modern. Tak ada listrik di rumah kami kala itu, kecuali lampu teplok. Namun, jiwa untuk merantau sudah tertanam pada jiwa saya sejak dini, se- bagaimana masyarakat Pidie umum- nya yang gemar merantau. Masih dalam usia kecil, saya diboyong ayah dan ibu pindah ke Banda Aceh. Ayah ingin berwirausaha di ibu kota Provin- si Aceh tersebut. Taman Kanak-Kanak, SD, SMP, saya tuntaskan di Banda Aceh. Lalu, kembali lagi ke Pidie untuk masuk SMA sekali- gus “nyantri” di Pesantren Darus- sa’dah, Teupin Raya selama tiga tahun. Setelah itu, saya kembali lagi ke Banda Aceh, kuliah di Universitas Syiah Kua- la. Ketika krisis moneter melanda Nu- santara pada medio 1997 yang disusul dengan lengsernya Soeharto dari tahta kekuasaanya pada bulan Mei 1998, Aceh yang masih bergolak oleh kon- flik, semakin terbuka bagi dunia luar. Pada saat itu saya sering ikut demo de- ngan teman-teman mahasiswa, teruta- ma menuntut dicabutnya status Dae- rah Operasi Militer (DOM) dan adili para penjahat HAM. Pada tahun 1998 saya berkenalan dengan sejumlah wartawan dari ber- bagai negara. Mereka sering memakai jasa saya sebagai guide untuk pelipu- tan berita di Pidie, daerah yang oleh GAM diklaim sebagai komando pusat. Menjadi guide seperti itu amat menye- nangkan hati saya. Pertama, bisa berke- nalan dengan banyak wartawan asing, kedua honorarium yang saya peroleh cukup untuk uang jajan kuliah saya. Selain menjadi guide wartawan, saya juga menjajakan Tabloid Kontras di kios koran kaki lima di Kampung Baru, Ban- da Aceh. Awal maraknya kasus Aceh Setelah status DOM dicabut pada 7 Agustus 1998, seiring dengan itu di- namika politik Aceh semakin me- manas. Rakyat semakin sadar untuk bangkit atas nama nasionalisme Aceh- nya. Tugas saya sebagai guide bagi wartawan asing pun beralih memba- wa wartawan mancanegara ke luar- masuk Pidie untuk meliput aktivitas GAM. Beritanya disebarkan sebagai bagian dari kampanye Aceh Merdeka di luar negeri. Akibat seringnya menjadi kurir war- tawan asing yang ingin meliput kasus Aceh, hingga pada suatu hari terde- ngar kabar bahwa saya menjadi target TNI untuk ditangkap. Sejak saat itu hidup tak lagi saya rasa aman, sehingga saya hijrah ke Malaysia. Akibatnya, saya ter- paksa nonaktif kuliah tahun 2000. Menjelang pergi itulah untuk ter- akhir kali saya lihat wajah kedua orang tua saya yang kemudian mening- gal saat tsunami menerjang Aceh pada 26 Desember 2004. Ketika hijrah dari Aceh, Pulau Pinang di Malaysia, adalah tanah Melayu per- tama yang saya injak, lalu pindah ke Kuala Lumpur. Dua tahun lamanya saya bemukim di ibu kota Malaysia tersebut. Karena sudah terbiasa hidup mandiri, terlunta-lunta di Malaysia pun tak menjadi ganjalan. Saya tetap gigih menyambung hidup, sampai akhirnya sebuah keluarga Melayu di Malaysia bersimpati pada saya. Tem- pat tinggal sementara diberikan kepa- da saya, juga difasilitasi untuk bekerja. Keluarga Melayu tersebut sudah akrab dengan Aceh, karena sebelumnya pun juga mereka kerap membaca konflik Aceh melalui media di Malaysia. Saya pun menganggap keluarga “makcik” tersebut sebagai ibu angkat. Saat di Kuala Lumpur saya berusa- ha berasimilasi dengan komunitas Me- layu, menggunakan logat dialek mere- ka yang irama bahasanya terdengar agak jenaka, tapi lama-kelamaan mudah juga mengikutinya. Memohon suaka Medio April 2002 saya menerima tele- pon dari warga Aceh yang tinggal di Texas, USA. Dia sarankan agar saya segera memohon suaka ke Kantor UN- HCR (Komisi Tinggi PBB untuk Uru- san Pengungsi) Kuala Lumpur. Ala- sannya, pihak polis (polisi) dan imigre- sen (imigrasi) Malaysia sering merazia pendatang dari tanah seberang, teruta- ma dari Aceh. Selain alasan itu, bila saya mengan- tongi kartu keterangan dari UNHCR, minimal saya bisa tinggal sementara di Malaysia. Kala itu tak ada tempat bagi pendatang dari tanah seberang. Polis dan imigresen Malaysia sering merazia war- ga yang disyaki sebagai pendatang haram (illegal immigrant) dari Indonesia. Bagi yang tanpa dokumen lengkap, apalagi diketahui berasal dari Aceh, bermacam tuduhan dialamatkan, bah- kan terkesan dilebih-lebihkan. Mes- kipun sudah mengantongi kartu akuan terbitan dari UNHCR, aparat Malaysia sering mencari-cari alasan lain untuk menjustifikasi penangkapan warga asal Aceh. Saya yakin, pengaruh krisis ekonomi dan kebijakan politik di nega- ra tersebut yang membuat situasi jadi sedemikian, karena saya melihat Kua- la Lumpur dan Jakarta sejak dulu bagai- kan “adik abang”. Setelah mengurus administrasi, di- wawancarai staf UNHCR, dan menunggu proses hampir setahun, akhirnya diputuskan saya lulus dan ditetapkan sebagai refugee Aceh. Kemu- dian, pada Maret 2003 dapat kabar bah- wa saya beserta rombongan refugee asal Aceh lainnya akan “dibuang” ke Kota Stavanger, Norwegia. Belum pernah terpikir sebelumnya dan sangat asing di telinga saya salah satu negara Skandinavia tersebut. Na- mun, sebagai penerima suaka politik, saya tak boleh memilih ke negara mana akan diasingkan. Beda halnya jika saya punya sanak keluarga di sebuah negara tertentu, maka lebih mudah meminta un- tuk ditempatkan di sana. Tapi saya tak punya siapa-siapa di luar negeri. Tiba di Skandinavia Maret 2003 saya tiba di kota minyak Stavanger, Norwegia, yang kebetulan sedang musim semi. Kala itu suhu se- kitar 10 derajat Celcius. Rombongan refugee Aceh yang baru turun dari pe- sawat menggigil kedinginan. Meski- pun jaket telah membalut tubuh, namun dengan suhu demikian sejuk --itu per- tama kali saya rasakan-- membuat ham- pir semua refugee Aceh yang baru tiba terserang flu. Kesan pertama benar-benar asing. Bule yang berpostur tinggi untuk uku- ran Asia tampak di mana-mana, dita- mbah bahasa Norwegia yang tidak kami pahami sepatah kata pun. Mem- buat semuanya serbaasing. Meskipun orang Norwegia mayoritas memahami bahasa Inggris, tapi mereka tak akan menjawab dengan bahasa Inggris jika diajak bicara, kecuali kita perkenalkan diri sebagai turis. Sungguh, bahasa Norwegia itu asing sekali di telinga saya. Belum per- nah saya dengar sekalipun. Namun, grammar bahasa Norwe dengan Inggris ada sedikit kesamaan. Setiap penda- tang diwajibkan mempelajari bahasa Norwe. Pendidikannya gratis, di lem- baga institut bahasa Norwe. Sejak awal ketibaan, semua kebutuhan hidup kami diberikan gratis, berasal dari tun- jangan sosial dalam tempo terbatas hingga para refugee mendapatkan se- buah pekerjaan. Salju yang sebelumnya hanya saya lihat di televisi, kini justru ada di depan halaman rumah tempat saya tinggal. Pernah gelas minuman yang malam harinya lupa dibawa masuk ke dalam rumah, esok paginya sisa air di dalam gelas tersebut sudah membeku jadi es. Hidup sendirian tanpa sanak kelu- arga, ditambah iklim seperti di dalam kulkas, membuat penyakit rindu saya pada kampung halaman kambuh (home sick). Obatnya, tak lain adalah menele- pon ke Aceh, juga membaca berita ten- tang Aceh setiap hari melalui internet. Selain itu, saya biasanya memutar lagu- lagu dan film-film kocak tradisional Aceh seperti Apa Lahu, Apa Gense, Apa Lambak, dan Ma’e Pong yang dikirim saudara di Aceh. Lagu Aceh ternyata mudah didapat di internet secara gra- tis. Ini sangat menghibur saya.

Upload: milietofatha

Post on 25-Nov-2015

30 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

respiratory

TRANSCRIPT

  • HALAMAN 22 BUNGONG JAROE KONTRASNO. 331TAHUN VIII27 APRIL - 3 MEI 2006

    Asnawi Ali

    Dari Jualan Kontras

    ke Pengasingan SkandinaviaTerobsesi untuk mengubah

    nasib menjadi lebih baik, AsnawiAli, (28) memilih hijrah dari Aceh.Awalnya mantan loper koran inimenuju Malaysia, lalu menda-pat suaka politik di Norwegia.Dari negara di SemenanjungSkandinavia itu, mantan pe-mandu (guide) wartawan man-canegara itu hijrah lagi ke Swe-dia dan menikah dengan wanitaAceh di sana.

    Besar di masa konflik berke-camuk di Aceh, Asnawi

    merekam dengan jeli perjalanan konflik bersenjata di Aceh, sejak Aceh Merde-ka dideklarasikan Tgk Hasan Tiro. Saat ini, Asnawi yang mahir bahasa Norwe-gia, sedang mempersiapkan novel tentang kisah perjalanan konflik Aceh ber-bahasa Inggris. Perusahaan pencetaknya dia harapkan dari Amerika Serikat.Saya sengaja membidik pangsa pasar Amerika, karena alur cerita novel terse-but berkenaan dengan kisah dan peranan fiktif Amerika di Aceh, tulis Asnawidalam surel (surat elektronik) yang dia kirimkan ke Redaksi Kontras, Senin lalu.

    Atas permintaan Said Kamaruzzaman dari Kontras, Asnawi menukilkan pe-ngalamannya sejak meninggalkan dan kembali lagi ke Aceh setelah tsunami,peristiwa yang merenggut nyawa ayah dan ibunya di Banda Aceh.

    Asnawi juga mengisahkan sisi lain kehidupan komunitas Aceh di Swediayang tidak melulu terkonsentrasi pada perjuangan politik memerdekakan Aceh.Ternyata, tak jauh dari pusat Kota Stockholm, terdapat meunasah Aceh untukmenampung aktivitas sosial dan keagamaan sekitar 100-an warga Aceh di sana.

    Berikut penuturan Asnawi untuk publik yang ia cintai di Aceh.

    Asnawi Ali

    SAYA dilahirkan di kampungkecil Meunasah Beureuleung,Grong-Grong, Pidie, tahun1978, persis dua tahun Aceh Merde-ka dideklarasikan oleh Tgk HasanTiro dan huru-hara peperangan punterjadi. Saya dibesarkan dalam suasa-na perkampungan yang nyaris tak ber-singgungan dengan fasilitas modern.Tak ada listrik di rumah kami kala itu,kecuali lampu teplok.

    Namun, jiwa untuk merantau sudahtertanam pada jiwa saya sejak dini, se-bagaimana masyarakat Pidie umum-nya yang gemar merantau. Masihdalam usia kecil, saya diboyong ayahdan ibu pindah ke Banda Aceh. Ayahingin berwirausaha di ibu kota Provin-si Aceh tersebut.

    Taman Kanak-Kanak, SD, SMP, sayatuntaskan di Banda Aceh. Lalu, kembalilagi ke Pidie untuk masuk SMA sekali-gus nyantri di Pesantren Darus-sadah, Teupin Raya selama tiga tahun.Setelah itu, saya kembali lagi ke BandaAceh, kuliah di Universitas Syiah Kua-la. Ketika krisis moneter melanda Nu-santara pada medio 1997 yang disusuldengan lengsernya Soeharto dari tahtakekuasaanya pada bulan Mei 1998,Aceh yang masih bergolak oleh kon-flik, semakin terbuka bagi dunia luar.Pada saat itu saya sering ikut demo de-ngan teman-teman mahasiswa, teruta-

    ma menuntut dicabutnya status Dae-rah Operasi Militer (DOM) dan adilipara penjahat HAM.

    Pada tahun 1998 saya berkenalandengan sejumlah wartawan dari ber-bagai negara. Mereka sering memakaijasa saya sebagai guide untuk pelipu-tan berita di Pidie, daerah yang olehGAM diklaim sebagai komando pusat.

    Menjadi guide seperti itu amat menye-nangkan hati saya. Pertama, bisa berke-nalan dengan banyak wartawan asing,kedua honorarium yang saya perolehcukup untuk uang jajan kuliah saya.

    Selain menjadi guide wartawan, sayajuga menjajakan Tabloid Kontras di kioskoran kaki lima di Kampung Baru, Ban-da Aceh.

    Awal maraknya kasus AcehSetelah status DOM dicabut pada 7

    Agustus 1998, seiring dengan itu di-namika politik Aceh semakin me-manas. Rakyat semakin sadar untukbangkit atas nama nasionalisme Aceh-nya. Tugas saya sebagai guide bagiwartawan asing pun beralih memba-wa wartawan mancanegara ke luar-masuk Pidie untuk meliput aktivitasGAM. Beritanya disebarkan sebagaibagian dari kampanye Aceh Merdekadi luar negeri.

    Akibat seringnya menjadi kurir war-tawan asing yang ingin meliput kasusAceh, hingga pada suatu hari terde-

    ngar kabar bahwa saya menjadi targetTNI untuk ditangkap. Sejak saat itu hiduptak lagi saya rasa aman, sehingga sayahijrah ke Malaysia. Akibatnya, saya ter-paksa nonaktif kuliah tahun 2000.

    Menjelang pergi itulah untuk ter-akhir kali saya lihat wajah keduaorang tua saya yang kemudian mening-gal saat tsunami menerjang Aceh pada26 Desember 2004.

    Ketika hijrah dari Aceh, Pulau Pinangdi Malaysia, adalah tanah Melayu per-tama yang saya injak, lalu pindah keKuala Lumpur. Dua tahun lamanyasaya bemukim di ibu kota Malaysiatersebut. Karena sudah terbiasa hidupmandiri, terlunta-lunta di Malaysiapun tak menjadi ganjalan. Saya tetapgigih menyambung hidup, sampaiakhirnya sebuah keluarga Melayu diMalaysia bersimpati pada saya. Tem-pat tinggal sementara diberikan kepa-da saya, juga difasilitasi untuk bekerja.Keluarga Melayu tersebut sudah akrabdengan Aceh, karena sebelumnya punjuga mereka kerap membaca konflikAceh melalui media di Malaysia. Sayapun menganggap keluarga makciktersebut sebagai ibu angkat.

    Saat di Kuala Lumpur saya berusa-ha berasimilasi dengan komunitas Me-layu, menggunakan logat dialek mere-ka yang irama bahasanya terdengar agakjenaka, tapi lama-kelamaan mudah jugamengikutinya.

    Memohon suakaMedio April 2002 saya menerima tele-

    pon dari warga Aceh yang tinggal diTexas, USA. Dia sarankan agar sayasegera memohon suaka ke Kantor UN-HCR (Komisi Tinggi PBB untuk Uru-san Pengungsi) Kuala Lumpur. Ala-sannya, pihak polis (polisi) dan imigre-sen (imigrasi) Malaysia sering meraziapendatang dari tanah seberang, teruta-ma dari Aceh.

    Selain alasan itu, bila saya mengan-tongi kartu keterangan dari UNHCR,minimal saya bisa tinggal sementara diMalaysia. Kala itu tak ada tempat bagipendatang dari tanah seberang. Polis danimigresen Malaysia sering merazia war-ga yang disyaki sebagai pendatangharam (illegal immigrant) dari Indonesia.

    Bagi yang tanpa dokumen lengkap,apalagi diketahui berasal dari Aceh,bermacam tuduhan dialamatkan, bah-kan terkesan dilebih-lebihkan. Mes-kipun sudah mengantongi kartu akuanterbitan dari UNHCR, aparat Malaysiasering mencari-cari alasan lain untukmenjustifikasi penangkapan wargaasal Aceh. Saya yakin, pengaruh krisisekonomi dan kebijakan politik di nega-ra tersebut yang membuat situasi jadisedemikian, karena saya melihat Kua-la Lumpur dan Jakarta sejak dulu bagai-kan adik abang.

    Setelah mengurus administrasi, di-wawancarai staf UNHCR, danmenunggu proses hampir setahun,akhirnya diputuskan saya lulus dan

    ditetapkan sebagai refugee Aceh. Kemu-dian, pada Maret 2003 dapat kabar bah-wa saya beserta rombongan refugee asalAceh lainnya akan dibuang ke KotaStavanger, Norwegia.

    Belum pernah terpikir sebelumnyadan sangat asing di telinga saya salahsatu negara Skandinavia tersebut. Na-mun, sebagai penerima suaka politik,saya tak boleh memilih ke negara manaakan diasingkan. Beda halnya jika sayapunya sanak keluarga di sebuah negaratertentu, maka lebih mudah meminta un-tuk ditempatkan di sana. Tapi saya takpunya siapa-siapa di luar negeri.

    Tiba di SkandinaviaMaret 2003 saya tiba di kota minyak

    Stavanger, Norwegia, yang kebetulansedang musim semi. Kala itu suhu se-kitar 10 derajat Celcius. Rombonganrefugee Aceh yang baru turun dari pe-sawat menggigil kedinginan. Meski-pun jaket telah membalut tubuh, namundengan suhu demikian sejuk --itu per-tama kali saya rasakan-- membuat ham-pir semua refugee Aceh yang baru tibaterserang flu.

    Kesan pertama benar-benar asing.Bule yang berpostur tinggi untuk uku-ran Asia tampak di mana-mana, dita-mbah bahasa Norwegia yang tidakkami pahami sepatah kata pun. Mem-buat semuanya serbaasing. Meskipunorang Norwegia mayoritas memahamibahasa Inggris, tapi mereka tak akanmenjawab dengan bahasa Inggris jikadiajak bicara, kecuali kita perkenalkandiri sebagai turis.

    Sungguh, bahasa Norwegia ituasing sekali di telinga saya. Belum per-nah saya dengar sekalipun. Namun,grammar bahasa Norwe dengan Inggrisada sedikit kesamaan. Setiap penda-tang diwajibkan mempelajari bahasaNorwe. Pendidikannya gratis, di lem-baga institut bahasa Norwe. Sejak awalketibaan, semua kebutuhan hidupkami diberikan gratis, berasal dari tun-jangan sosial dalam tempo terbatashingga para refugee mendapatkan se-buah pekerjaan.

    Salju yang sebelumnya hanya sayalihat di televisi, kini justru ada di depanhalaman rumah tempat saya tinggal.Pernah gelas minuman yang malamharinya lupa dibawa masuk ke dalamrumah, esok paginya sisa air di dalamgelas tersebut sudah membeku jadi es.

    Hidup sendirian tanpa sanak kelu-arga, ditambah iklim seperti di dalamkulkas, membuat penyakit rindu sayapada kampung halaman kambuh (homesick). Obatnya, tak lain adalah menele-pon ke Aceh, juga membaca berita ten-tang Aceh setiap hari melalui internet.Selain itu, saya biasanya memutar lagu-lagu dan film-film kocak tradisionalAceh seperti Apa Lahu, Apa Gense, ApaLambak, dan Mae Pong yang dikirimsaudara di Aceh. Lagu Aceh ternyatamudah didapat di internet secara gra-tis. Ini sangat menghibur saya.

  • KONTRASNO. 331TAHUN VIII27 APRIL - 3 MEI 2006BUNGONG JAROE HALAMAN 23

    ALAU kita mendengar nama Swedia dan meng-hubungkannya dengan Aceh, pastilah asumsi yangterbayang di benak pembaca suasana kancah politik

    Aceh, mengingat Tgk Hasan Tiro Cs memilih bermukim diNorsborg, Swedia, dan mengendalikan GAM dari sana.

    Akan tetapi, dalam Rubrik Bungong Jaroe kali ini saya justruingin memaparkan hal yang sebaliknya.

    Sebagaimana biasanya hidup jauh dari kampung halaman,sebuah masyarakat perantau akan membentuk sebuahpaguyuban sosial. Begitu juga kami orang-orang Aceh yangbermukim di Swedia. Di sini terdapat sebuah meunasah Acehyang berada tidak jauh dari pusat Kota Stockholm. Berdiri se-jak tahun 1998 dengan nama Svensk Atjehnisika Frening (SAF)--Persatuan Orang Aceh-Swedia-- kini beranggotakan lebih-kurang 100 orang, termasuk kaum Hawa dan anak-anak kecilyang meliputi kota Stockholm, Hllefors, dan sekitarnya. Sep-erti halnya meunasah Aceh di kampung yang berfungsi sebagaiaktivitas sosial dan keagamaan, meunasah Aceh di Stockholmini juga merupakan wadah silaturahmi antarsesama peran-tau, tempat beribadah, berkumpul sekaligus bermusyawarah,termasuk memasak untuk kenduri keluarga, belajar pendidi-kan untuk semua golongan, dan tempat berolahraga.

    Khusus untuk olahraga, meunasah ini dapat menampungsebuah meja tenis di ruang tamu, karena arsitektur meunasahberbentuk sebuah rumah sederhana. Pemain tenis meja biasa-nya bermain di dalam meunasah, karena di luar tak mungkinmain, mengingat cuaca yang sangat dingin.

    Selain mencetak kader generasi baru Aceh, hal yang paling

    Musim panas Agustus 2004 sayamenikah dengan wanita Aceh di Swe-dia. Acara intat linto-nya sangat jauh.Rombongan mengendarai mobil melin-tasi perbatasan negara antara Norwe-gia dan Swedia. Proses melamarnyasejak awal, hingga proses pernikahanmerujuk pada adat Aceh. Rempah ma-kanan untuk kenduri, kami beli dariwarung Asia.

    Tamu undangan yang datang bera-sal dari warga Aceh yang bermukim diDenmark, Norwegia, dan Swedia.

    Ada kemudahan tersendiri bagi pen-duduk yang bermukim di tiga negaraSkandinavia (Denmark, Norwegia,Swedia) tersebut bahwa bisa ke luar-masuk ketiga negara tersebut tanpapaspor. Setiap orang ke luar-masuk se-suka hatinya kapan saja tanpa ada pe-meriksaan. Jika pun ada pemeriksaan,kita cukup memperlihatkan KTP sajayang berasal dari salah satu negara diSemenanjung Skandinavia tersebut.Karena jarak antara tiga negara seper-ti segitiga dibatasi daratan --kecualiDenmark-- jika mengendarai mobil dariNorwegia menuju Swedia pada per-batasan negara hanya ditabalkan pa-pan batas yang tertera Velkommen tillSverige (Selamat datang di Swedia)yang menunjukkan bagi pengendaramobil bahwa dia telah sampai di per-batasan Norwegia-Swedia.

    Persamaan antara tiga negara terse-buat adalah mengenai bahasa. Jika ke-

    Meunasah Aceh Stockholm

    tiga orang yang berasal dari negaratersebut berjumpa akan berbicara menu-rut bahasa masing-masing dan merekasama-sama paham. Perbedaan hanyapada beberapa kosakata, dialek, danintonasi. Kemudahan lainnya jika me-ngunjungi negara sesama Eropa ada-lah tidak diperlukan visa. Pernah suatukali, medio Desember 2004 (sebelumtsunami) saya berkunjung ke Belandaikut seminar tentang Aceh dan Papua.Saya bebas masuk hanya dengan mem-perlihatkan paspor suaka terbitan Nor-wegia. Pada pemeriksaan imigrasi diBandara Schipol, Belanda, petugas imi-grasi tidak menanyakan visa, melain-kan hanya memeriksa keaslian pasportersebut melalui scanner (pemindai)komputer. Ini karena antara sesamanegara Eropa bisa berkunjung selama60 hari tanpa memerlukan visa.

    Pulang pascatsunamiBanyak jalan menuju Roma, begitu

    juga banyak jalan menuju Aceh. Ketikatusnami terjadi pada 26 Desember 2004saya gundah dan merasa seperti durha-ka jika tidak dapat menjenguk keluar-ga di Aceh. Selain berperang melawanBelanda, musibah tsunami ini adalahperistiwa terbanyak merenggut nyawayang pernah terjadi dalam sejarah Aceh.Di saat orang lain belum berani pulangdengan status sebagai penerima suaka,saya sendiri persis setahun lalu mem-beranikan diri pulang ke Aceh. Sayamenyamar dengan dalih ingin men-gunjungi Nias dan Aceh untuk riset ten-tang tsunami.

    Adalah Imigrasi Norwegia yangmemberikan passport non-asylum danbantuan tiket gratis dari IOM CabangOslo untuk memfasilitasi keluarga kor-ban tsunami yang ingin berziarah keAceh atau Sri Lanka yang juga dihan-tam tsunami. Fasilitas gratis tersebutlangsung saja saya manfaatkan.

    Perjalanan pesawat sambung-me-nyambung dari Stavanger-Oslo-Wina-Singapura-Medan, semuanya lebihdari 12 jam. Seluruh tubuh letih rasa-nya. Namun, dengan perasaan percaya

    diri dan sedikit berlagak bak turis, sayamasuki gerbang kedatangan di Ban-dara Polonia, Medan. Uniknya, hanyasaya seorang diri yang berbaris bersa-ma turis-turis bule di pintu kedatanganluar negeri.

    Menjelang hendak dipanggil petu-gas imigrasi, saya bertingkah sepertibule yang selalu berbicara pakai bahasaInggris dengan para turis bule yang sea-kan-akan kami sudah kenal akrab.Padahal, baru pertama itu kami berjum-pa. Ketika tiba giliran saya dipanggil,saya perlihatkan Alien Passport Norwe-gia. Dengan santai pula saya menjawabbahwa saya telah lama tinggal di Nor-wegia dan ke Nias serta Aceh untukriset tentang tsunami.

    Karena Norwegia termasuk salah satudaftar negara Eropa penerima visa keda-tangan VoA (Visa on Arrival), saya hanyamembayar 25 US dolar sebagai visa turisselama sebulan, 1-30 April 2005.

    Semalam di Medan kemudian esokharinya saya menyambung perjalananke Banda Aceh. Sengaja saya pilih naikpesawat, tidak melalui jalan darat, agartidak di-sweeping seperti dulunya keti-ka kita naik bus.

    Setiba di Banda Aceh saya sangatterkejut, karena di sana-sini bangunanhancur berantakan. Tak jauh beda de-ngan dampak yang diakibatkan bomatom di Nagasaki dan Hiroshima.

    Rumah orang tua saya di BandaAceh, tempat saya dibesarkan sejakusia TK, hanya berbekas tangga dibagian belakang. Bagian atasnyahancur berkeping-keping dan bagianbawah hanya tinggal tapak bekasluas rumah. Ayah dan ibu saya, me-ninggal dalam bencana alam yangmahadahsyat tersebut. Begitu jugaadik saya yang saat itu sedang mem-buat skripsi. Rumah dan bekas tokohanya tersisa dalam bentuk tanah se-bagai warisan keluarga.

    Sebulan di Banda Aceh serasa takcukup untuk menyusuri seluruh kotayang porak-poranda dan berjumpa de-ngan sanak keluarga yang selamat.

    Kembali ke SkandinaviaSetelah sebulan di Banda Aceh, saya

    kembali ke Norwegia untuk berkemasmerencanakan pindah bersama istriyang saat itu tinggal di Swedia. Juni2005, merupakan bulan terakhir sayatinggal di Kota Stavanger, lalu pindahke Swedia. Sebelumnya saya tinggaldua tahun di salah satu negara terkayaEropa tersebut.

    Di Swedia yang berpenduduk 9 jutajiwa itu tak ada kesulitan dalam berko-munikasi, karena saya sudah mengua-sai bahasa Norwe, sehingga dalam em-pat bulan saja saya telah mengantongiijazah sertifikat SFI (Svenska Fr Invadrare),semacam TOEFL-nya bahasa Swedia.

    Daratan Eropa yang jika diukur daritimur ke barat sama luasnya seperti dariSabang-Merauke, setiap negara mem-punyai bahasa masing-masing.Khusus bagi imigran yang ingin ting-gal harus mempelajari bahasa tersebutuntuk berintergrasi dan berkerja, tidakcukup dan sangat sulit bila hanya me-ngandalkan bahasa Inggris saja.

    Soal makanan, alhamdulillah, sam-pai saat ini tak ada masalah. Di sam-ping banyaknya kedai Asia (wargaArab) yang menjual makanan halal,banyak juga makanan Eropa yang halaluntuk dikonsumsi.

    Sejak tinggal di Swedia --di negaradekat dengan kutub utara ini-- setiaphari saya memantau perkembanganyang terjadi di Aceh. Internet adalahsolusinya. Apalagi ada sarana chatingonline Yahoo Messenger dan Skype yangdi dalamnya termasuk kemudahan tele-pon gratis antarbenua.

    Letak Swedia tidak lebih dari 1.000kilmeter lagi dengan ujung kutub utaradunia. Jika memasuki musim dingin,otomatis waktu malamnya lebih lamadaripada siang hari. Begitu juga seba-liknya. Kawan-kawan muslim peran-tauan lainnya mengatakan amat berun-tung jika bulan Ramadan jatuh padamusim dingin dan agak kesulitan jikajatuh pada musim panas.

    Integrasi dengan warga setempat bi-asanya tak banyak terhadang masalahserius, meskipun pada 2001 terjadi in-siden 11 Sepetember di New York. Tigaadikuasa dunia --Amerika, United King-dom, dan Uni Eropa-- berbeda-bedamenginterpretasikan tentang Islam dandi waktu bersamaan pula komunitasIslam di negara tersebut kerap memberipenjelasan tentang Islam yang sesung-guhnya kepada pejabat pemerintahandi masing-masing negara.

    Untuk saat ini, selain menuntut ilmusambil bekerja, saya sedang berkonsen-trasi mempersiapkan sebuah novel ten-tang kisah perjalanan konflik Acehdalam bahasa Inggris yang kebetulanmanuskrip naskah aslinya telah sele-sai. Saya sedang mencari perusahaanpencetak buku di Amerika. Pertimban-gan saya membidik pangsa pasarAmerika, karena alur cerita novel terse-but berkenaan dengan kisah dan per-anan fiktif Amerika di Aceh.

    Terakhir, saya teringat pada firmanAllah dalam Surah Ar Rad ayat 11,Sesungguhnya Allah tidak akan me-ngubah nasib sesuatu kaum, sampaikaum itu sendiri mengubah nasibnya.Kepada rakyat Aceh tetaplah berjuanguntuk mendapatkan hak hakikinyayang sejati, sehingga dapat mengubahdan menentukan nasib sendiri kedepan yang lebih adil, bermartabat, danberdemokrasi.

    dititikberatkan di dalam meunasah ini adalah pendidikan aga-ma untuk anak-anak yang lahir dan dibesarkan di negara yangnon-Islam dan sekuler seperti Swedia. Kewajiban moral orangtua untuk pendidikan agama dan bahasa Aceh kepada anak-anaknya adalah yang paling ditekankan supaya mereka tidakhilang identitasnya sebagai orang Aceh, kendati lahir dan dibe-sarkan di luar negeri.

    Hampir seharian penuh pada setiap hari Sabtu diadakanpengajian Alquran dan pendidikan bahasa Aceh kepada anak-anak. Di hari lain, meunasah tersebut digunakan kaum Hawaserta orang tua untuk belajar bahasa Swedia dan Inggris.

    Di antara kegiatan keagamaan yang sering dilakukan dimeunasah Aceh ini adalah sembahyang tarawih, salat Idul Fitridan Idul Adha, memperingati maulid Nabi Muhammad, dankenduri-kenduri adat seperti yang sering dilakukan di Aceh.Aneka kegiatan yang bersifat religius atau tradisional ini kamianggap penting sekali. Terutama bagi anak Aceh yang lahir dandibesarkan di Swedia. Cara ini akan memperkenalkan mereka ter-hadap identitasnya sebagai orang Islam dan anak Aceh.

    Orang-orang dewasa menggunakan meunasah ini untukrapat-rapat intern yang berkenaan dengan situasi di Aceh, jugauntuk menerima tamu-tamu lokal dan luar yang ingin menda-patkan first hand info dari native tentang keadaan di NanggroAceh.

    Para wanita pun memanfaatkan meunasah ini untuk anekakegiatan khas wanita, seperti masak-memasak dan jahit-men-jahit yang sering dilakukan pada hari libur, Sabtu dan Ming-gu. (Asnawi Ali)

    K

    Saat melangsungkan pernikahan di Swedia.