asites pada anjing dan kucing
TRANSCRIPT
ASITES
PADA ANJING DAN KUCING
Oleh:
Anak Agung Sagung Kendran
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2017
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Ida Sanghyang Widhi Wasa, yang
telahmelimpahkan rahmat, berkah dan karunia-Nya sehingga tulisan yang berjudul “
Mendiagnosa Ascites pada Anjing dan Kucing” dapat diselesaikan dengan lancar. Adapun
maksud dan tujuantulisan ini agar para mahasiswa dan praktisi veteriner dapat lebih mudah
mendiagnosa apakah yang menjadi penyebab Asites terutama pada anjing dan kucing, dan pada
gilirannya tercapainya pengobatan yang tepat.
Namun demikian kami menyadari bahwa penulisan ini masih ada kekurangannya, oleh
karena itu dengan semangat continuous improvement diharapkan kesempurnaan akan tercapai.
Denpasar, Juni 2017
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………….…………………………............ii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………………1
BAB II PENYEBAB ASITES…………………………………………………………………….4
2.1 Hipoalbuminemia…………………………………………………………………….4
2.2 Hipertensi Portal ……………………………………………………………………..8
2.3 Retensi Cairan ………………………………………………………………………10
BAB III PATOFISIOLOGI ASITES…………………………………………………………….14
BAB IV EPIDEMIOLOGI ASITES……………………………………………………………..16
BAB V PROGNOSA, DIAGNOSA DAN PENGOBATAN ASITES..…………………………19
5.1 Prognosa…………………………………………………………………………….19
5.2 Diagnosa Berdasarkan Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium ……………………...20
5.3 Diagnosa Banding…………………………………………………………………..24
5.4 Pengobatan dan pembedahan ……………………………………………………….25
BAB VI PENATALAKSANAAN ASITES………………………………………………..……27
6.1 Perawatan dan Monitoring Asites………………………………………………...…27
6.2 Istirahat………………………………………………………………………….......28
BAB VII SIMPULAN………………………………………………………………...…………31
SUMBER BACAAN……………………………………………..………………………..…….32
1
BAB I
PENDAHULUAN
Anjing dan kucing merupakan hewan yang banyak dipelihara sebagai hewan kesayangan.
Kedua hewan kesayangan ini memiliki sifat penyayang dan setia terhadap pemiliknya. Selain itu
anjing dan kucing ada berbagai jenis atau ras dengan berbagai karakter atau keunikan yang
dimilikinya. Keunikan inilah yang membuat pencinta anjing dan kucing tidak akan pernah bosen
dan tidak pernah lalai untuk memperhatikannya, baik dalam memelihara maupun menjaga
kesehatannya. Seiring dengan ini popolasi anjing dan kucing pun akan meningkat. Peningkatan
populasi akan dapat pula meningkatnya permasalahan kesehatannya. Kesehatan terganggu bisa
diakibatkan oleh berbagai hal seperti: infeksi oleh virus, bakteri, jamur, parasit, malnutrisi,
keracunan, dan kecelakaan, serta penyakit metabolik. Terjadinya gangguan fungsi tubuh ini akan
menampakkan perbedaan yang disebut dengan tanda-tanda klinis, salah satu diantaranya adalah
asites.
2
Asites adalah suatu kondisi medis dimana terjadi akumulasi cairan dalam rongga perut.
Pada anjing penderita penyakit hati, kondisi ini disebabkan karena kadar protein serum yang
rendah dan meningkatnya tekanan pembuluh darah vena yang mensuplai hati. Debaran dalam
perut akan menghasilkan suara. Asites bisa dikaitkan dengan edema. Edema adalah
pembengkakan yang disebabkan oleh pengumpulan cairan di dalam jaringan tubuh seperti di
sekitar mata, wajah, dan terutama anggota tubuh bagian bawah. Hewan penderita ascites akan
menampakkan klinis berupa : perut yang menonjol, terkadang juga terjadi hernia umbilikalis
(pusar menonjol), kulit pada perut yang menonjol terlihat tegang dan mengkilap, urat yang
menonjol dibawah kulit perut, kenaikan berat badan yang pesat tidak sesuai dengan pertumbuhan
normal, sesak napas dan nafsu makan berkurang. Pendarahan spontan terjadi pada anjing yang
mengalami penyakit hati tingkat lanjut. Umumnya lokasi pendarahan terjadi di perut, usus, dan
saluran urin. Darah dapat terlihat pada muntahan, feses atau urin anjing. Bercak-bercak
pendarahan (sebesar kepala peniti) bisa dilihat pada gusi. Memar bisa muncul di bawah bibir dan
kulit. Kehilangan banyak darah dari pendarahan spontan relatif jarang terjadi, tetapi pendarahan
yang tidak terkendali dapat menjadi masalah serius jika anjing tersebut terluka atau
membutuhkanoperasi.
Diagnosa asites dilakukan untuk menegakkan penyebabnya berdasarkan pemeriksaan
fisik dengan melakukan palpasi dan inspeksi di daerah abdomen, dan dapat diyakini dengan
pemeriksaan sinar x, diperkuat dengan menganalisis hasil pemeriksaan darah dan cairan
abdomen . Setelah itu pemeriksaan fungsi organ seperti hati, ginjal, jantung, paru-paru yang
dilanjutkan dengan mengambilan sample untuk identifikasi penyebab sangatlah perlu. Sambil
menelusuri penyebab, penanganan secara simtomatis harus dilakukan misanya, pengeluaran
cairan dengan menggunakan obat diuritika, lakukan pembedahan, berikan obat antibiotik dan
3
anti radang. Jika terjadi hipoalbunemia, pemberian putih telor sangatlah membantu. Untuk lebih
jelasnya cara mendiagnosa, mengetahui patofisiologisnya, penyebab, penanganan dan
pengobatan asites terutama pada anjing dan kucing akan dipaparkan berikut dibawah ini,
nantinya diharapkan tulisan ini dapat membatu pembaca dalam menanganin kasus asites.
4
BAB II
PENYEBAB ASITES
2.1 Hipoalbuminemia
Hipoalbuminemia adalah suatu simtoma rendahnya kadar albumin di dalam serum darah
akibat abnormalitas. Oleh karena albumin merupakan protein, maka hipoalbuminemia
merupakan salah satu bentuk hipoproteinemia. Albumin adalah protein utama dengan rasio
plasma sekitar 60%. Banyak hormon, obat dan molekul lain, terikat dengan albumin di dalam
sirkulasi darah sebelum terlepas dengan menjadi aktif. Penurunan produksi albumin (protein)
yang dibuat oleh hati. Fungsi albumin adalah membantu menjaga bagian cair dari darah di dalam
pembuluh darah. Jika kadar albumin rendah, cairan akan bocor keluar dari pembuluh darah dan
mengumpul di dalam rongga dan jaringan tubuh misalnya perut yang disebut asites dan antara
paru – paru dan dinding dada disebut pleural effusion.
Rendahnya kadar albumin dapat menjadi indikasi gangguan pada hati atau sindrom pada
ginjal atau pudarnya tekanan onkotik. Albumin disintesis oleh hati dan memberikan 75 - 80%
tekanan onkotik koloid plasma, yang mempertahankan volume vaskular dengan mencegah
pergerakan cairan dari ruang intravaskular ke ekstravaskular. Albumin serum rendah sering
dikaitkan dengan kehilangan protein kronis akibat penyakit yang mendasari yang mengakibatkan
hilangnya protein dari usus, urin atau pendarahan. Hypoalbumineia klinis mungkin tidak
spesifik, namun pada kasus yang parah, edema abdomen perut dan ekstremitas perifer, asites dan
dyspnea akibat efusi pleura mungkin tampak jelas. Keadaan hipoalbumin mengurangi tekanan
onkotik intravaskuler menyebabkan cairan merembes keluar sehingga menyebabkan edema.
Koreksi albumin pada pasien dilakukan untuk mengurangi terjadinya edema akibat keadaan
5
hipoalbuminemia, namun terapi ini merupakan terapi simptomatis yang dapat dilakukan selagi
mencari sumber penyebab menurunnya albumin serum. Terapi tersebut, dengan memberikan
putih telur sebanyak 3 buah/harinya untuk menambah kadar albumin serum. Putih telur
mengandung protein dan tidak mengandung kolesterol. Sebuah putih telur dengan berat 33 gram
memiliki 3.6 gra protein, 0.24 gram karbohidrat dan 55 mg Natrium, 17 kalori dan tidak
mengandung kolesterol. 54% protein yang terkandung dalam putih telur merupakan ovalbumin.
Adapun penyebab hipoalbuminemia meliputi:
1. Penyakit hati yaitu: Hepatitis kronis, karsinoma hepatik, karsinoma saluran empedu
2. Penyakit ginjal kronis: sindrom nefrotik, amyloidosis ginjal
3. Malnutrisi
4. Enteropati yang kehilangan protein karena parasit enterik, kolitis ulserativa, gastritis,
karsinoma lambung atau limfoma.
5. Parasit: Leishmania infantum
6. Anjing parvovirus
7. Peritonitis
8. Kekurangan adhesi leukosit.
Pengobatan spesifik tergantung pada kondisi penyakit yang mendasarinya, namun plasma
dapat digunakan untuk mengganti albumin dan meningkatkan tekanan osmotik.
Furosemide dapat diindikasikan pada kasus dengan edema paru.
Anjing yang menderita penyakit hepatitis dan leptospirosis secara langsung berdampak
pada hati yang kemudian menjadi penyakit hati. Hati juga seringkali terlibat dengan penyakit
6
seperti heartworm, Cushing‟s syndrome, dan diabetes mellitus. Tumor primer dan metastatik
adalah penyebab utama gagal hati pada anjing.
Bahan kimia yang diketahui dapat menyebabkan keracunan hati meliputi karbon
tetraklorida, insektisida, dan timah hitam, fosfor, selenium, arsenik dan zat besi. Obat-obatan
yang bisa merusak hati termasuk gas anestesi, antibiotik, antijamur, obat cacing, diuretik,
analgesik (termasuk NSAID), antikejang, testosteron (obat tetes), dan kortikosteroid. Sebagian
besar reaksi obat berhubungan dengan dosis yang berlebihan dan/atau penggunaan jangka
panjang. Beberapa tanaman dan tumbuh-tumbuhan juga bisa menyebabkan gagal hati termasuk
ragwort, jamur tertentu, dan ganggang biru-hijau. Jamur seperti aflatoxin, yang tumbuh pada
jagung dan bisa mengkontaminasi makanan, bisa menyebabkan kerusakan hati yang parah.
Penyumbatan saluran empedu oleh batu empedu, cacing hati, atau pankreatitis jarang terjadi,
tetapi bisa menjadi kemungkinan yang dipertimbangkan ketika anjing mengalami penyakit
kuning yang tidak diketahui jelas.
7
Gambar 1. Skema langkah – langkah mendiagnosa asites yang ditandai dengan hipoalbuminemia
Hewan yang setelah dilakukan pemeriksaan klinis, diketahui adanya edema dengan
asites, dan setelah dilakukan pemeriksaan darah untuk menentukan kadar albumin, ternyata hasil
pemeriksaan laboratoriumnya didiagnosa “hipoalbuminemia” atau kadar albumin darahnya
dibawah normal. Untuk selanjutnya kita harus mencari tau apakah yang mengakibatkan kadar
albumin darahnya turun atau dibawah normal. Pertama kita curiga adanya gangguan fungsi hati
dan kedua dispepsia. Jika diakibatkan oleh gangguan fungsi hati, kita harus melakukan
pemeriksaan fungsi hati itu sendiri, salah satunya diindikasikan oleh hasil pemeriksaan dengan
adanya peningkatan enzim transaminase. Diikuti oleh adanya keadaan hiperkoagulasi. Begitu
8
pula karena hati merupakan pusat metabolisme yaitu untuk pengadaan bahan baku sel, maka
akan ditandai dengan anemia. Anemia ini diketahui dari hasil pemeriksaan darah, dimana kadar
Hb dan atau total eritrosit dibawah normal. Anemia ini juga bisa diakibatkan karena penyakit
parasit, parvovirus, dan karena asupan protein yang kurang, hewan mengalami malnutrisi.
Terjadinya malnutrisi bisa diakibatkan oleh penyakit TB, dimana penyakit ini akan
mengakibatkan okisigen darah berkurang, sel akan kekurangan oksigen, selanjutkan metabolism
terganggu, sehingga tubuh kekurangan nutrisi. Apabila diakibatkan oleh infeksi, maka hasil
pemeriksaan total leukosit akan meningkat yang disebut leukositosis, dan sampai terjadinya
sepsis. Begitu pula tanda efusi pleura akan mengikuti TB. Jika sudah terjadi sepsis karena TB
maka akan menimbulkan dyspepsia yang dilanjutkan hewan mengalami malnutria dan akan
mengakibatkan anemia dan hipoalbuminemia.
2.2 Hipertensi Portal
Hipertensi Portal adalah tekanan darah tinggi di dalam vena porta (vena besar yang
membawa darah dari usus ke hati). Vena porta menerima darah dari seluruh usus, limpa,
pankreas serta kandung empedu. Setelah masuk ke hati, darah mengalir ke dalam saluran-
saluran kecil yang melewati hati. Pada saat meninggalkan hati, darah dari saluran kecil ini masuk
kembali ke dalam sirkulasi besar melalui vena hepatica.
Dua faktor yang bisa menyebabkan naiknya tekanan darah dalam pembuluh darah porta, yaitu:
1. Volume darah yang mengalir di dalam pembuluh darah
2. Meningkatnya tahanan terhadap aliran darah yang melewati hati.
9
Penyebab paling sering dari hipertensi portal adalah meningkatnya tahanan aliran darah akibat
sirosis. Hipertensi portal menyebabkan terbentuknya pembuluh darah venosa (pembuluh
kolateral), yang menghubungkan sistem portal dengan sirkulasi besar, sehingga melompati hati
(membentuk bypass). Dengan adanya pembuluh kolateral ini, maka zat-zat yang dalam keadaan
normal dibuang dari dalam darah oleh hati, akan masuk ke dalam sirkulasi besar. Hipertensi
portal dapat meningkatkan tekanan pada pembuluh darah yang ada di sekitar organ – organ
perut. Hal ini memicu kebocoran cairan ke dalam perut.
Pembuluh kolateral terbentuk di tempat-tempat tertentu, yang paling penting adalah yang
terbentuk di ujung bawah kerongkongan. Di daerah ini, pembuluh akan tersumbat dan meliuk-
liuk, membentuk vena varikosa (varises esofagealis). Varises ini rapuh dan mudah mengalami
perdarahan. Pembuluh kolateral lainnya bisa terbentuk di sekitar pusar dan pada rektum.
Hipertensi portal sering menyebabkan pembesaran limpa. Cairan bisa merembes dari hati dan
masuk ke rongga perut, menyebabkan asites. Vena varikosa di bagian bawah kerongkongan dan
di lapisan lambung, bisa mengalami perdarahan. Vena varikosa di rektum juga bisa mengalami
perdarahan, meskipun sangat jarang terjadi.
Pembesaran limpa biasanya bisa dirasakan/diraba melalui dinding perut. Cairan di perut
bisa diketahui dari adanya pembengkakan perut dan pemeriksaan perkusi perut memberikan hasil
suara yang tumpul. USG dilakukan untuk memeriksa aliran darah di dalam pembuluh darah
portal dan bisa menunjukkan adanya pengumpulan carian di perut. CT scan juga bisa digunakan
untuk memeriksa pelebaran pembuluh vena. Tekanan dalam sistem portal bisa diukur secara
langsung dengan memasukkan jarum melalui dinding perut ke dalam hati atau limpa.
Untuk mengurangi resiko perdarahan karena varises esofageal, diusahakan untuk
10
menurunkan tekanan di dalam vena porta, yaitu dengan pemberian propanolol, obat yang
digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi. Perdarahan pada varises esofageal merupakan
keadaan darurat. Vasopresin atau octreotide bisa diberikan secara intravena (melalui pembuluh
darah) untuk mengkerutkan vena yang berdarah. Transfusi darah dilakukan untuk menggantikan
darah yang hilang. Biasanya dilakukan pemeriksaan endoskopik untuk memastikan bahwa
perdarahan berasal dari varises esofageal. Selama prosedur ini dilakukan penyumbatan dengan
tali karet atau penyuntikan bahan kimia. Jika perdarahan berlanjut, dimasukkan kateter dengan
balon di ujungnya, melalui hidung menuju ke kerongkongan. Pemompaan balon akan menekan
vena varikosa dan biasanya bisa menghentikan perdarahan. Jika perdarahan berlanjut atau
berulang, dilakukan pembedahan untuk membuat jalan pintas (shunt), diantara sistem vena portal
dengan sistem vena besar. Hal ini akan menurunkan tekanan di dalam vena porta, karena tekanan
di dalam sistem vena besar lebih rendah. Pembedahan shunt biasanya berhasil menghentikan
perdarahan, tetapi relatif berbahaya. Pembedahan ini juga meningkatkan resiko terjadinya
kelainan fungsi otak karena kegagalan hati (ensefalopati hepatikum).
2.3 Retensi Cairan
Faktor lain yang berkontribusi terhadap terjadinya asites adalah adanya retensi garam dan
air. Garam yang tersimpan dalam tubuh akan dapat memberi kontribusi terhadap terjadinya
penumpukan cairan di jaringan dan rongga tubuh. Volume darah yang beredar dapat dianggap
rendah oleh sensor pada ginjal sehingga terjadilah pembentukan ascites yang dapat menguras
beberapa Volume cairan dari darah. Sinyal ginjal ini adalah untuk menyerap kembali lebih
banyak garam dan air untuk mengkompensasi hilangnya volume cairan tubuh. Beberapa
11
penyebab lain dari asites berhubungan dengan peningkatan gradien tekanan dari gagal jantung
kongestif dan gagal ginjal lanjut karena retensi umum cairan dalam tubuh.
Cairan teratur merembes ke jaringan tubuh dari darah. Sistem limfatik adalah jaringan
tabung di sepanjang tubuhnya yang mengalirkan cairan ini (disebut getah bening) dari jaringan
dan bermuara kembali ke dalam aliran darah. Retensi cairan (edema) terjadi ketika cairan yang
tidak dikeluarkan dari jaringan. Dua kategori besar retensi cairan termasuk edema umum, ketika
pembengkakan terjadi di seluruh tubuh, dan edema lokal ketika bagian-bagian tertentu dari tubuh
yang terpengaruh. Beragam penyebab termasuk reaksi tubuh terhadap cuaca panas, asupan
garam yang tinggi, dan hormon yang terkait dengan siklus menstruasi, dapat juga merupakan
gejala dari kondisi medis serius seperti jantung, ginjal atau penyakit hati.
Beberapa dari banyak penyebab umum dari retensi cairan meliputi:
Gravitasi – berdiri untuk jangka waktu yang lama memungkinkan terjadi „kolam‟ cairan
di jaringan kaki bagian bawah.
Cuaca panas – tubuh cenderung kurang efisien dalam menghilangkan cairan dari jaringan
selama musim panas.
Luka bakar – termasuk kulit terbakar. Kulit mempertahankan cairan dan membengkak
dalam menanggapi luka bakar.
Kehamilan – hormon mendorong tubuh untuk menahan kelebihan cairan.
Defisiensi diet – seperti protein atau vitamin B1 (tiamin) dalam makanan.
Obat – obat-obatan tertentu, termasuk obat tekanan darah tinggi (antihipertensi),
kortikosteroid dan obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) diketahui menyebabkan
retensi cairan.
12
Vena kronis insufisiensi – melemah katup dalam pembuluh darah kaki gagal untuk secara
efisien mengembalikan darah ke jantung. Penyatuan darah dapat menyebabkan varises.
Kondisi medis yang dapat menyebabkan retensi cairan
Retensi cairan mungkin merupakan gejala dari kondisi yang mendasari serius, termasuk:
Penyakit ginjal – seperti sindrom nefrotik dan glomerulonefritis akut
Gagal jantung – jika jantung tidak memompa secara efektif, tubuh mengkompensasi
dengan berbagai cara. Ia mulai menahan cairan dan meningkatkan volume darah. Hal ini
menyebabkan kemacetan dari pembuluh darah, pembesaran hati, dan akumulasi cairan
dalam rongga tubuh seperti rongga perut (ascites) dan dalam jaringan subkutan,
menyebabkan pembengkakan (edema) dari kaki
Penyakit kronis paru – seperti emfisema yang parah, yang menempatkan tekanan yang
berlebihan pada ventrikel kanan jantung, yang menyebabkan kegagalan
Penyakit hati – seperti sirosis parah yang memicu gagal hati
lymphoedema Ganas – tumor kanker yang menyumbat struktur dari sistem limfatik,
seperti kelenjar getah bening
Penyakit tiroid – seperti hipotiroidisme
Arthritis – sendi dipengaruhi oleh beberapa jenis arthritis cenderung membengkak
dengan cairan
Reaksi alergi – pada hewan yang rentan, tubuh cenderung membengkak dalam
menanggapi alergen tertentu, seperti gigitan serangga. Dalam beberapa kasus, reaksi
parah (anafilaksis) dan memerlukan perhatian medis yang mendesak. Pembengkakan ini
adalah berumur pendek daripada yang sedang berlangsung.
13
Untuk mendiagnosa penyebab yang mendasari retensi cairan harus ditemukan sebelum
pengobatan dimulai. Dengan demikian diperlukan beberapa pemeriksaan yaitu:
pemeriksaan fisik
Riwayat kesehatan
Pertanyaan rinci tentang retensi cairan, seperti ketika mulai, faktor-faktor yang
memperburuk pembengkakan dan apakah itu konstan atau intermiten
Tes darah
Tes urine
Tes fungsi hati
Tes fungsi ginjal
x-ray Dada
Tes fungsi hati, seperti elektrokardiogram (EKG).
14
BAB III
PATOFISIOLOGI ASITES
Akumulasi cairan asites mewakili keadaan natrium total-tubuh dan kelebihan air, namun
kejadian yang memicu ketidakseimbangan tidak jelas. Meskipun banyak proses patogenik telah
terlibat dalam pengembangan asites abdomen, sekitar 75% kemungkinan terjadi sebagai akibat
hipertensi portal dalam setting sirosis hati, dan sisanya karena kondisi infektif, inflamasi, dan
infiltrasi.
Tiga teori pembentukan asites telah diajukan:
1. Underfilling,
2. Overflow, dan
3. Vasodilatasi perifer.
1. Teori underfilling: menunjukkan bahwa kelainan primer adalah penyerapan cairan yang
tidak tepat karena hipertensi portal dan akibatnya menurunkan volume darah beredar
secara efektif. Ini mengaktifkan renin plasma, aldosteron, dan sistem saraf simpatis,
menghasilkan retensi natrium dan air ginjal.
2. Teori overflow: menunjukkan bahwa kelainan primer adalah retensi ginjal natrium dan
air yang tidak tepat jika tidak terjadi deplesi volume. Teori ini dikembangkan sesuai
dengan pengamatan bahwa pasien dengan sirosis memiliki hipervolemia intravaskular
daripada hipovolemia.
3. Teori terbaru, hipotesis vasodilatasi arterial perifer: mencakup komponen dari kedua
teori lainnya. Ini menunjukkan bahwa hipertensi portal menyebabkan vasodilatasi, yang
menyebabkan penurunan volume darah arteri efektif. Seiring kemajuan alami penyakit
15
ini, eksitasi neurohumoral meningkat, natrium ginjal lebih banyak dipertahankan, dan
volume plasma mengembang. Hal ini menyebabkan meluapnya cairan ke dalam rongga
peritoneum. Teori vasodilatasi mengusulkan bahwa underfilling beroperasi awal dan
melimpah bekerja lambat dalam sejarah alami sirosis.
Meskipun urutan peristiwa yang terjadi antara pengembangan hipertensi portal dan
retensi natrium ginjal tidak sepenuhnya jelas, hipertensi portal tampaknya menyebabkan
peningkatan kadar oksida nitrat. Nitrat oksida menengahi splanchnic dan vasodilatasi perifer.
Aktivitas sintesis nitrat oksida hepatik lebih besar pada pasien asites daripada pada mereka yang
tidak menderita asites.
Terlepas dari kejadian awal, sejumlah faktor berkontribusi terhadap akumulasi cairan di
rongga perut. Peningkatan kadar epinefrin dan norepinefrin adalah faktor yang terdokumentasi
dengan baik. Hipoalbuminemia dan mengurangi tekanan onkotik plasma mendukung
ekstravasasi cairan dari plasma ke cairan peritoneal, dan oleh karena itu, asites jarang terjadi
pada pasien dengan sirosis kecuali hipertensi portal dan hypoalbuminemia hadir.
16
BAB IV
EPIDEMIOLOGI ASITES
Asites merupakan komplikasi utama dari sirosis hepatis. Tanda klinis asites hamper
sebagian besar mengikuti serosis hepatis dan sisanya karena keganasa, gagal jantung,
pancreatitis, dan penyebab langka. Perkembangan asites penting dalam perjalanan alamiah
sirosis karena dikaitkan dengan angka mortalitas yang sangat tinggi. Serosis hepatik dapat
mengakibatkan hipoalbuminemia. Dimana salah satu fungsi dari albumin adalah untuk
mempertahankan intravaskular onkotik . Hukum Starling menjelaskan kekuatan yang
menentukan pergerakan aliran melintasi membran kapiler. Keseimbangan antara tekanan
padaset iap sis i membran kapiler berhubungan dengan tekanan hidrostat ik
mendorong aliran keluar dari beberapa kapiler dan tekanan osmotik menarik aliran
kembali kekapiler lainnya. Ada juga sejumlah aliran yang tidak mengikuti jalan ini tapi
kebocoran melalui dan dikembalikan dengan aliran limfatik. S e l a i n m e n j a g a t e k a n a n
o n k o t ik k o lo i d a l b u m i n j u g a m e m f a s i l i t a s i transportasi. Kehadiran banyak
kelompok permukaan bermuatan dan banyak situs pengikatan spesifik baik ionik dan hidrofobik
memungkinkan albumin untuk mengikat dan mengangkut sejumlah besar senyawa ini
termasuk bilirubin, logam, asam amino , hormone, asam lemak bebas, dan obat
obatan.
Derajat Asites dapat ditentukan secara semikuantitatif sebagai berikut ;
Tingkatan 1 ; bila terdeteksi dengan pemeriksaan fisik yang sangat teliti.
Tingkatan 2 ; mudah diketahui dengan pemeriksaan fisik biasa tetapi dalam
jumlah cairan yang minimal.
17
Tingkatan 3 ; dapat dilihat tanpa pemeriksaan fisik khusus akan tetapi permukaan
abdomen tidak tegang. Tingkatan 4 ; asites permagna.
Klasifikasi asites berdasarkan penyebabnya;
Asites Tanpa Komplikasi
Asites yang t idak ter infeksi dan yang t idak terkait dengan pengembangan sindrom
hepatorenal. Asites dapat dinilai sebagai berikut;
Grade 1 (mil), asites hanya terdeteksi oleh USG pemeriksaan.
G r a d e 2 ( m o d e r a t , asit es yang menyebabkan distensi perut simetr is
moderat.
Grade 3 (large), Asites ditandai distensi abdomen.
Asites Refrakter
Asites yang t idak dapat dimobi lisasi atau yang kambuh lebih awal ( yaitu
setelah terapi paracentesis) yang tidak dapat dicegah dengan terapi medis. Asites ini
termasuk dua subkelompok yang berbeda.
Diuretic resistant ascites -- asites refrakter terhadap retriksi diet sodium
dan pengobatan diuretic.
Diuretic intracable ascites -- a s i t e s r e f r a k t e r t e r h a d a p t e r a p i
k a r e n a perkembangan komplikasi yang diinduksi diuretik yang
menghalangi penggunaan diuretik dosis efektif.
Adapun tujuan dari pembagian seperti ini adalah untuk membantu
mengidentifikasi penyebab asites. Pada keganasan secara klasik menyebabkan asites
eksudat if dan sirosis menyebabkan asites t ransud at . Namun ada
banyak kesalah pahaman di praktek klinis. Misalnya sering dianggap bahw a
18
asites jantung adalah transudat meskipun kasusnya jarang terjadi. Konsentrasi albumin
serum, konsentrasi albumin cairan asites dan amilase asites tinggi adalah diagnostik
untuk asites pancreas, amylase cairan asites harus ditentukan dalam pasien
dimana ada kecur igaan klinis penyakit pankreas.
Sitologi cairan asites hanya 2% dar i sito log i cairan asit es posit if, pemer iksaan
sito logi memiliki akurasi 0-60% dalam diagnosis asites keganasan, terutama
ketika beberapa ratus mililiter cairan yang diuji dan teknik konsentrasi yangdigunakan.
Dokter harus beker ja sama dengan departemen sito logi lokal mereka untuk
mendiskusikan kebutuhan cairan sebelum parasentesis. Tetapi investigasi sitologi cairan
asites bukan merupakan pilihan untuk diagnosis karsinoma hepatoseluler primer.
19
BAB V
PROGNOSA, DIAGNOSA DAN PENGOBATAN ASITES
5.1 Prognosa
Pada pasien asites akibat penyakit hati tergantung pada penyakit yang mendasarinya,
derajat kerusakan dan respon terhadap pengobatan.
Aspek utama yang perlu diperhatikan adalah menentukan kapan terapi dikatakan gagal
dan kapan pasien berobat ke dokter. Sayangnya kebanyakan kasus kegagalan hati
mempunyai prognosis yang buruk. Semua pasien harus diberatahu mengenai komplikasi
yang fatal, gejala dan tanda-tanda awal.
Penyebab paling sering asites adalah penyakit hati. Terjadi peningkatan cairan abdomen
dalam waktu singkat. Pasien dengan asites harus dinyatakan terdapatnya faktor resiko penyakit
hati, meliputi ;
Hepatitis virus kronik / iterus
Penggunaan obat-obatan i.v
Transfusi darah
Tatoo
Berada pada daerah endemik hepatitis
Pasien dengan riwayat sirosis yang lama dan stabil dan terdapat asites mempunyai kemungkinan
terkena karsinoma hepatoseluler.
20
Obesitas, hiperkolesterolemia, sekarang dinyatakan sebagai penyebab steato hepatitis
dapat mengakibatkan sirosis.
Pasien dengan riwayat keganasan terutama kanker gastrointestinal memilki resiko
terjadinya asites maligna. Asites yang berhubungan dengan keganasan umumnya
menimbulkan rasa nyeri, sementara asites akibat sirosis biasanya tidak nyeri.
Asites yang terdapat pada pasien dengan riwayat diabetes atau sindrom nefrotik dapat
disebut asites nefrotik.
4.2 Diagnosa Berdasarkan Pemeriksaan Fisik dan Laboratorium.
Pemeriksaan fisik difokuskan pada tanda-tanda penyakit hati kronik. Cairan peritoneal
harus diperiksa untuk dihitung jumlah sel, kultur, total protein, pewarnaan gram, dan sitologi
untuk jenis asites yang tidak diketahui penyebabnya. Indikasi : kebanyakan cairan asites
transparan dan kuning minimal 10000 sel darah merah / microliter memeberikan warna cairan
asites warna pink dan jaringan terdapat 20000 sel darah merah / microliter diperkirakan berwarna
merah seperti darah. Hal ini mungkin berhubungan dengan traumatik pungsi atau keganasan.
Caira kemerahan yang berasal dari traumatik pungsi berupa darah dan cairan akan membentuk
bekuan. Cairan yang non traumatik berwarna kemerahan dan tidak membentuk bekuan karena
cairan tersebut lisis. Jumlah neutrofil > 50000 sel/microliter memberikan gambar purulent dan
menunjukan infeksi.
Pemeriksaan fisik yang ditemukan pada penyakit hati meliputi ikterik, kekurusan atau
malnutrisi.
Pada palpasi hati sulit teraba jika terdapat asites dalam jumlah yang banyak, tapi
umumnya hati membesar. Gambara gelombang cairan biasanya tidak akurat.
21
Peningkatan cairan v.jugularis menunjukan penyebab utamanya dari jantung. Nodul
kenyal pada daerah umbilikus yang disebut sister mary joseph nodul, jarang ditemukan
tetapi umumnya menggambarkan adanya Ca peritoneal juga berasal dari keganasan pada
gaster, pankreas, atau keganasan hati primer.
Nodul patologis supraclavicula sebelah kiri (virchow nodul) menunjukan adanya
keganasan pada daerah abdominal bagian atas.
Pasien dengan penyakit jantung atau SN menunjukan anasarka.
Hasil pemeriksaan kimia darah berupa Hipoalbuminemia
Adanya peningkatan total lekosit menandakan terjadinya infeksi yang mengakibatkan
asites (hepatitis, pancreatitis, nefritis, peritonitis, tuberkolosis peritonitis, eosinofilik
peritonitis, granulomatus peritonitis)
Kondisi keganasan atau metastase kanker (hepatoselluler karsinoma.
Kultur atau pewarnaan gram:
Sensitifitas kultur darah kira-kira 92 % dalam mendeteksi pertumbuhan bakteri pada
cairan asites. Pewarnaan gram sensitifitasnya hanya 10% dalam memberikan gambaran
bakteri pada peritonitis bakterial spontan. Kira-kira diperlukan 10000 bakteri/ml agar
dapat terlihat pada pewarnaan gram. Pada peritonitis bakteri spontan nilai konsentrasi
rata-rata bakteri 1 organisme/ml.
Sitologi , pemeriksaan sitologi sensitifitasnya hanya 58-75 % dalam mendeteksi asites
maligna.
Foto thorax dan abdomen
22
Kenaikan diafragma dengan atau tanpa efusi pleura simphatetik (hepatic hydrothorax)
terlihat pada asites masif. Tanda-tanda beberapa tanda asites nonspesifik seperti gambar
abdomen buram, penonjolan panggul, batas PSOAS kabur, ketajaman gambar
intraabdomen berkurang. Peningkatan kepadatan pada foto tegak, terpisahnya gambar
lengkung usus halus, dan terkumpulnya gas di usus halus. Tanda-tanda berikut lebih
spesifik dan dapat dipercaya. Pada 80% pasien asites, tepi lateral hati diganti oleh dinding
thorax abdomen (Hellmer sign).
Real-time sonografi adalah pemeriksaan cairan asites yang paling mudah dan spesifik.
Volume sebesar 5-10 ml dapat dapat terlihat. Asites yang sederhana terlihat
sepertigambar yang homogen, mudah berpindah, anechoic di dalam rongga peritoneal
yang akan menyebabkan terjadinya peningkatan akustik. Cairan asites tidak akan
menggeser organ, tetapi cairan akan berada diantara organ-organ tersebut. Akan terlihat
jelas batas organ, dan terbentuk sudut pada perbatasan antara cairan dan organ-organ
tersebut. Jumlah cairan minimal akan terkumpul pada kantung morison dan mengelilingi
hsti membentuk gsmbar karakteristik polisiklik, ”lollipop” atau arcuate appearance di
karenakan cairan tersebut tersusn secara vertikal pada sisi mesenterium.
Gambar sonographic tertentu menunjukan adanya asites yang terinfeksi, inflamasi, atau
adanya keganasan. Gambar tersebut meliputi echoes internal kasar (darah), echoes
internal halus (chyle), septal multiple (peritonitis tuberkulosa, pseudomyxoma, peritonei),
distribusi cairan terlokalisir atau atipik, gumpalan lengkung usus, dan penebalan batas
antara cairan dan organ yang berdekatan.
23
Pada asites maligna lengkung usus tidak dapat mengapung secara bebas, tetapi tertambat
pada dinding posterior abdomen, melekat pada hati atau oargan lainnya atau lengkung
usus tersebut dikelilingi oleh cairan yang terlokalisir.
Kebanyakan pasien (95%) dengan keganasan peritonotis mempunyai ketebalan dinding
empedu kurang dari 3mm. Penebalan kantung empedu berhubungan dengan asites jinak
pada 82 % kasus. Penebalan kantung empedu secara umum akibat sirosis dan HT portal.
CT-Scan, asites terlihat jelas dengan pemeriksaan CT-Scan. Sedikit cairan asites terdapat
pada ruang periheoatik kanan, ruang subhepatik posterior (kantung morison), dan
kantung douglas. Bebarapa gambar pada CT-Scan menunjukkan adanya neoplasia,
hepatik, adrenal, splenik, atau lesi kelenjar limfe berhubungan dengan adanya massa
yang berasal dari usus, ovarium, atau pankreas, yang menunjukkan adanya asites
maligna. Pada pasien dengan asites maligna kumpulan cairan terdapat pada ruang yang
lebih besar dan lebih kecil, sementara pada pasien dengan asites benign cairan terutama
terdapat pada ruang yang lebih besar dan tidak pada bursa omental yang lebih kecil.
Pemeriksaan Lain
o Laparoskopi dilakukan jika terdapat asites maligna. Pemeriksaan ini penting
untuk mendiagnosa adanya mesothelioma maligna.
o Parasentesis abdomen, Parasentesis abdomen adalah pemeriksaan yang paling
cepat dan efektif untuk mendiagnosa penyebab asites. Parasentesis terapetik
dilakukan untuk asites masif atau sulit disembuhkan. Pengeluaran 5 liter cairan
merupakan parasentesis dalam jumlah besar. Parasentesis total, atau pengeluaran
semua cairan asites (di atas 20 liter) dapat di lakukan secara aman. Penelitian
24
terakhir menunjukkan bahwa pemberian albumin 5 g/l pada parasentesis diatas 5
liter dapat menurukan komplikasi parasentesis seperti gangguan keseimbangan
elektrolit dan peningkatan serum kreatinin akibat pertukaran cairan intravaskuler.
o Transjugular intrahepatik portacaval shunt (TIPS), metode ini dilakukan dengan
cara memasang paracarval shunt dari sisi kesisi melalui radiologis dibawah
anestesi lokal. Metode ini sering digunakan untuk asites yang berulang.
o Derajat asites secara Semikuantitatif
Derajat 1+ terdeteksi hanya pada pemeriksaan yang secara seksama.
Derajat 2+ dapat mudah terlihat tetapi dengan volume relatif sedikit.
Derajat 3+ asites jelas tetapi belum masif.
Derajat 4+ asites masif.
4.3 Diagnosa Banding.
Acute liver failure
Billiary disease
Cardiomyopathy dilated
Cardiomyopathy restrictive
Cirrhosis
Hepatitis viral
Hepatocellular adenoma
Hepatorenal syndrome
Nephrotic syndrome
25
Portal hypertension
Primary billiary cirrhosis
Protein-losing enteropathy
4.4 Pengobatan dan Pembedahan
Pengobatan penyakit hati pada anjing, tes darah termasuk uji keasaman empedu, USG
dan CT scan, memberikan informasi yang berguna, tetapi satu-satunya tes yang lebih
meyakinkan adalah dengan biopsi hati. Prognosis untuk kesembuhannya tergantung pada berapa
lama anjing terkena penyakit ini, seberapa parah kerusakan hati, dan apakah hati bisa
disembuhkan melalui bedah atau cukup dikontrol dengan obat-obatan. Pengobatan tergantung
pada penyebab yang mendasarinya. Obat-obatan dan racun kebanyakan memberi efek sementara
yang dapat dihilangkan ketika paparannya dihentikan. Penyumbatan saluran empedu dan
beberapa tumor primer hati dapat diobati dengan operasi. Selain mengobati penyakit hati,
penting juga untuk mengontrol dan mencegah komplikasi, terutama hepatic encephalopathy dan
pendarahan. Hal ini termasuk memberikan diet khusus yang rendah protein, menurunkan kadar
amonia darah, menjaga faktor pembekuan darah, mencegah kejang, memperbaiki kelainan
elektrolit, dan pemberian antacid untuk mencegah duodenal ulcer (luka pada usus) dan
stomachulcer (luka pada lambung).
Pembatasan pemberian Na dan diuretik merupakan terapi standar untuk asites dan efektif pada
95% pasien.
Pembatasan cairan dilakukan jika terdapat hiponatremi.
26
Parasentesis terapetik harus dipersiapkan pada pasien yang menunjukkan adanya asites
masif.
TIPS adalah metode radiologis yang dapat menurunkan tekanan portal dan merupakan
tindakan yang paling efektif pada pasien asites yang resisten terhadap pemberian diuretik.
Metode ini dilakukan dengan cara memasukkan jarum panjang dari V.Jugularis kanan ke
V.Hepatik. ini merupakan terapi standar pada pasien asites berulang.
Obat – obatan
Pasien yang mengalami insufisiensi hati atau CHF, batasi konsumsi garam dan berikan
kombinasi diuretik hydrochlorothiazide (2–4 mg/kg bb PO) dan spironolactone (1–2
mg/kg bb PO); atau furosemide (1–2 mg/kg bbPO). Konsentrasi potasium harus dipantau
untuk menghindari ketidakseimbangan potasium.
1. Pasien yang mengalami hypoproteinemia, nephrotic syndrome dan akumulasi cairan
dapat diberi tambahan hetastarch (6% hetastarch dalam 0.9% NaCl); rute IV bolus (dogs,
20 mL/kg; cats, 10–15 mL/kg) perlahan kira-kira selama 1 jam; hetastarch dapat
meningkatkan tekanan onkotik plasma dan mendorong cairan kedalam intravaskular.
2. Antibiotik sistemik dapat diberikan untuk mengeliminir bakteri pada pasien yang
mengalami septik eksudatif ascites.
Pembedahan
Peritoneovenous shunt merupakan tindakan alternatif pada pasien asites yang resisten
terhadap pemberian obat-obatan. Penggunaan megalymphatik shunt yang berfungsi untuk
mengembalikan cairan asites ke vena. Efek positif pemasangan shunt ini meliputi peningkatan
CO, aliran darah ginjal, FGR, volume urin, eksresi Na, dan penurunan aktivitas renin plasma dan
27
konsentrasi aldosteron plasma. Belum ditemukan bukti yang menunjukkan bahwa pemasangan
shunt ini dapat meningkatkan kemampuan untuk bertahan hidup. Dengan adanya prosedur TIPS,
metode ini sudah tidak terpakai.
BAB VI
PENATALAKSANAAN ASITES
6.1 Perawatan dan Monitoring
Perawatan lebih lanjut pasien rawat inap meliputi:
Pantau keadaan asites jika pemakaian Na
Pengukuran Na urin 24 jam berguna pada pasien dengan asites yang berhubungan dengan
HT portal sehingga dinilai kadar Na, respon terhadap diuretik , dan menilai kepatuhan
diet.
Untuk pasien asites derajat 3 dan 4 parasentesis terapi dilakukan secara intermiten.
Perawatan lebih lanjut pasien rawat jalan meliputi:
Metode untuk menilai keberhasilan terapi diuretik dilakukan dengan cara memantau berat
badan dan kadar Na urin.
Apabila asites mulai menghilang pemberian diuretik harus di atur untuk menjaga pasien
bebas asites.
28
Monitoring Pasien
1. Periksa kadar sodium, potasium, BUN, kreatinin dan fluktuasi berat badan dalam masa
terapi diuretik. Kemungkinan Komplikasi
2. Pemberian diuretik jangka panjang dapat menyebabkan hipokalemia yang dapat berakibat
terjadinya metabolik alkalosis dan memperparah hepatic encephalopathy.
6.2 Istirahat.
Pada pasien dengan sirosis, dimana mengalami postur tegak, ini dikaitkan dengan
aktivasi rennin, angiotensin, aldosteron dan sistem saraf simpatik, pengurangan filtrasi
glomerulus dan ekskresi natrium, serta respon menurun terhadapdiuret ik. Efek ini
bahkan lebih menco lok dalam hubungan dengan lat ihan fis ik moderat. Data ini
sangat menyarankan bahwa pasien harus diobati dengan diuretik saat ist irahat . Namun
belum ada studi klinis yang menunjukkan keberhasilan peningkatan diuresis dengan
istirahat atau durasi penurunan rawat inap. Berbaring dapat menyebabkan atrofi otot dan
komplikasi lainnya serta memperpanjang lama t ing ga l d i r u ma h sak it , be r bar in g
u mu mn ya t idak d ir eko me nd as ika n u n t uk manajemen pasien dengan asites tanpa
komplikasi.
Komplikasi
Komplikasi asites yang paling umum adalah terjadinya peritonitis (cairan asites
mengandung lekosit PMN > 250 mikrolliter).
o Pemeriksaan fisik berulang dan pemantauan terhadap kekenyalan abdomen
merupakan cara efektif untuk memantau adanya komplikasi, tetapi tidak ada
29
pemeriksaan fisik atau hasil laboratorium yang spesifik yang dapat membedakan
kasus peritonitis bakterial dengan kasus yang lain.
o Setiap pasien dengan asites dan demaam harus dilakukan parasentesis dan kultur
darah serta hitung jenis sel. Pasien dengan kadar protein < 1 g/dl dalam cairan
asites memiliki resiko tinggi menjadi peritonitis bakterial. Antibiotik Profilaksis
dengan quinolon disarankan.
Komplikasi parasentesis meliputi infeksi, gangguan keseimbangan elektrolit, perdarahan,
dan perforasi usus. Adanya perforasi usus harus diperkirakan pada pasien yang dilakukan
parasentesis menunjukan gejala demam atau nyeri abdomen. Semua pasien asites yang
berdiri lama memiliki resiko hernia umbilikalis. Parasentesis dalam jumlah besar dapat
menyebabkan pergeseran cairan dalam jumlah besar. Hal ini dapat dihindari dengan
penggantian albumin.
Retriksi dan diet garam.
Dengan menerapkan pola makan tidak tambah garam dan menghindari bahan makanan
yang telah disiapkan, misalnya kue- kue. Bmbingan ahli diet dan informasi leaflet
akanmembantu dalam mendidik tentang retrriksi garam. Obat tertentu terutama dalam
bentuk tablet efferlescent memiliki kandungan natrium yang tinggi. Antibiotik
intravena umumnya mengandung natrium, meskipun secara umum lebih baik
untuk menghindari infus cairan yang mengandung garam pada pasien dengan asites
ada peluang seperti berkembang menjadi sindroma hepatorenal atau gangguan ginjal
dengan hiponatremia berat, jika sesuai dan diindikasikan untuk memberikan ekspansi
30
volume dengan kristaloid atau koloid. Untuk pasien sindrom hepatorenal
direkomendasikan infus garam normal.
Peran retriksi air, tidak ada studi tentang manfaat atau bahaya pembatasan air
pada reso lus iasites. Kebanyakan ahli setuju bahwa tidak ada peran pembatasan air
pada pasien dengan asites tampa komplikasi. Namun pembatasan air untuk pasien
dengan asites dan hiponatremia telah menjadi standar praktek klinis.
31
BAB VII
SIMPULAN
Pasien asites dengan keluhan muntah bercampur darah berwarna merah kehitaman .
Sebelum muntah darah diawali dengan rasa mual. Buang air besar berwarna hitam. Badan terasa
lemas, nafsu makan menurun, berat badan merasa menurun. Dari pemeriksaan fisik ditemukan
pasien tampak lemas. P a s ie n t a mpa k le ma s de ng a nkonjung tiva anemis dan abdomen
distended. Perkembangan asites merupakan tonggak penting dalam perjalanan alamiah sirosis.
Pengelolaan asites memadai penting tidak hanya karena meningkatkan kualitas hidup pasien
dengan sirosis, tetapi juga mencegah komplikasi. Namun pengobatan asites tidak secara
signifikan meningkatkan kelangsungan hidup. Oleh karena itu, perkembangan asites harus
dipertimbangkan sebagai indikasi untuk transplantasi. Transplantasi hati merupakan pengobatan
utama asites dan komplikasinya. Kebanyakan hepatologis mengobati pasien
dengan pembatasan air yang parah. Namun berdasarkan pemahaman kita tentang pathogenesis
hiponatremia pengobatan ini mungkin tidak logis dan dapat memperburuk tingkat
keparahan pusat hipovolemia efektif yang mendorong sekresi non osmotik hormone
antidiuretik (ADH). Hal ini dapat mengakibatkan peningkatan ADH sirkulasi lebih
lanjut dan penurunan fungsi ginjal lebih lanjut. Gangguan klirens air bebas
diamati pada asites akibat sirosis dan banyak berkembang menjadi hiponatremia spontan. Oleh
karena itu, beberapa hepatologist menganjurkan ekspansi plasma lebih lanjut untuk
menormalkan dan menghambat rangsangan pelepasan ADH. Studi diper lukan untuk
menentukan pendekatan terbaik. Terdapat data yang muncul mendukung bahwa penggunaan
antagonis reseptor vasopresin tertentu dalam pengobatan dilusi hiponatremia, tetapi apakah ini
meningkatkan morbiditas dan mortalit as secara kese luruhan belumdiketahui. Hal
32
ini penting untuk menghindari hiponatremia berat pada pasien yang menunggu
transplantasi hati karena dapat meningkatkan risiko mielinolisis pontine pusat selama
resusitasi cairan dalam operasi.
SUMBER BACAAN
1. Tilley LP. dan Smith FWK. 1997. The 5 Minute Veterinary Consult : Canine and Feline.
Williams and Wilkins. USA.
2. Segev G. 2012 . Ginjal amiloidosis pada anjing: sebuah studi retrospektif terhadap 91 kasus
dengan perbandingan penyakit antara anjing Shar-Pei dan non-Shar-Pei. J Vet Intern
Med 26 (2): 259-268
3. Pointer E. 2013. Kelaparan dan kelainan klinisopatologis yang terkait dengan kelaparan:
tinjauan terhadap 152 kasus. J Am Anim Hosp Assoc 49 (2): 101-107
4. Procoli F. 2013. Perbandingan Temuan Histopatologis pada Biopsi Endoskopi Duodenal
dan Ileal pada Anjing dengan Enteropati Usus Kecil Kronik. J Vet Intern Med 9 Feb
5. Lecoindre P. 2012. Karsinoma gaster yang terkait dengan penyakit Menetrier seperti di
dataran tinggi Highland Barat. J Small Anim Pract 53 (12): 714-718
6. Geisweid K. 2012. Prognostik analit pada anjing dengan infeksi Leishmania infantum yang
tinggal di daerah non-endemik. Vet Rec 171 (16): 399
7. Schoeman JP. 2013. Biomarker di canine parvovirus enteritis. N Z Vet J 15 Feb
8. Kerajinan EM, Powell LL. 2012. Penggunaan albumin khusus anjing pada anjing dengan
peritonitis septik. J Vet Emerg Crit Care (San Antonio) 22 (6): 631-639
9. Zimmerman KL. 2013 Leukocyte adhesi defisiensi tipe I pada anjing jenis campuran. J Vet
Diagn Invest 15 Feb
10. Szklo MM , Nieto FJ .2002. "Epidemiology: beyond the basics", Aspen Publishers, Inc.