asas persamaan perlakuan di depan hukum dalam pendirian
TRANSCRIPT
34
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
Dalam Bab ini, sesuai dengan judul di atas, diisi Penulis dengan suatu
gambaran tentang hasil penelitian dan analisis. Adapun pemaparan gambaran hasil
penelitian dan analisis tersebut Penulis lakukan dalam rangka untuk menjawab
rumusan masalah dalam penelitian dan penulisan karya tulis ilmiah ini, seperti
telah dikemukakan di dalam Bab I skripsi ini.
Bab ini terdiri dari tiga sub bab, yaitu: dalam Sub Bab pertama, Penulis
uraikan isi dari PBM. Dalam Sub Bab kedua, Penulis isi dengan Putusan No.41
serta Putusan No.127. Bab ini diakhiri dengan Sub Bab ketiga, yaitu suatu analisis
tentang bagaimana keberadaan prinsip persamaan perlakuan di depan hukum yang
telah diproyeksikan secara teoritis dalam Bab Tinjauan Kepustakaan
mengejawantah di dalam hasil penelitian yang telah dikemukakan dalam sub-sub
bab sebelumnya.
3.1. Kaedah dan Asas dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM)
Perlu Penulis kemukakan bahwa PBM diawali dengan suatu uraian tentang
pengertian-pengertian mengenai konsep-konsep hukum yang dipergunakan di
35
dalamnya1. Dalam PBM itu, dimaksudkan dengan kerukunan umat beragama
adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling
pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran
agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik tahun 19452. Sementara itu, PBM
juga mengartikan apa yang disebut dengan pemeliharaan kerukunan umat
beragama. Menurut PBM tersebut, pemeliharaan kerukunan umat beragama
adalah upaya bersama umat beragama dan Pemerintah di bidang pelayanan,
pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama.
Dalam kaitan dengan apa yang baru saja dikemukakan di atas tersebut,
Rumah Ibadat, menurut PBM adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu
yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi para pemeluk masing-masing
agama secara permanen, tidak termasuk tempat ibadat keluarga.
Mengenai Ormas Keagamaan, dalam PBM itu juga diuraikan organisasi
kemasyarakatan keagamaan (OK), adalah organisasi nonpemerintah. Menurut
PBM itu, OK bervisi kebangsaan, dibentuk berdasarkan kesamaan agama, oleh
warga negara RI secara sukarela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di
pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik.
Berhubungan dengan itu, PBM tersebut juga mendefinisikan Pemuka Agama
(PA), yang menunjuk kepada tokoh komunitas umat beragama baik yang
memimpin OK maupun yang tidak memimpin OK yang diakui dan atau dihormati
1 Adapun konsep-konsep hukum yang dimaksud dipaparkan mulai Pasal 1 Ayat (1) sampai (8),
PBM.
2 Seperti telah Penulis kemukakan di Bab-bab sebelumnya pada Skripsi ini, penyebutan UUD 1945
sebaiknya bukan lagi UUD 1945, namun Ketetapan MPR RI tentang Perubahan UUD 1945, atau
Konstitusi saja.
36
oleh masyarakat setempat sebagai panutan. Berkaitan dengan itu, dalam PBM
juga dicantumkan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), suatu forum yang
dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam rangka
membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan
dan kesejahteraan.
Sedangkan yang berhubungan dengan pembangunan rumah ibadat, PBM
juga mengakui suatu Panitia Pembangunan Rumah Ibadat atau Panitia, dibentuk
oleh umat beragama, OK atau pengurus rumah ibadat.
PBM juga rupanya mengaitkan pembangunan rumah ibadat dengan sistem
perijinan. Menurut PBM, Ijin Mendirikan Bangunan Rumah Ibadat (IMB-RI) itu
ijin yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota untuk pembangunan rumah ibadat.
3.1.1. Kewajiban Kepala Daerah dalam PBM
Kaedah yang mengatur tugas Kepala Daerah, sebagai satu dari sekian
pihak (party to contract) dalam PBM, terutama yang berkaitan erat dengan isu
skripsi dan penelitian ini, yaitu persamaan perlakuan di depan hukum bagi mereka
yang hendak mengekspresikan kebebasan memeluk, beragama dan beribadat
menurut agama dan kepercayaan mereka masing-masing yang juga penting
Penulis kemukakan di sini sebagai temuan atau hasil penelitian adalah
pemeliharaan kerukunan umat beragama3. Kewenangan Kepala Daerah tersebut
kemudian dirinci lebih jauh, yaitu, bahwa Kepala Daerah harus memastikan
bahwa pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama
umat beragama, pemerintahan daerah dan Pemerintah.
3 Perhatikan kaedah hukum positif tersebut di dalam BAB II, mulai Pasal 2 sampai dengan Pasal 7
PBM.
37
Rincian mengenai hal di atas itu, yaitu, pemeliharaan kerukunan umat
beragama di provinsi menjadi tugas dan kewajiban gubernur. Pelaksanaan tugas
dan kewajiban gubernur tersebut4, dibantu oleh kepala kantor wilayah departemen
agama provinsi. Perlu Penulis tambahkan di sini, bahwa Kepala Kantor
Departemen Agama (KKDA) adalah unsur dari Pemerintah Pusat, atau Presiden.
Sehingga, tugas untuk memelihara kerukunan beragama, termasuk memastikan
bahwa persamaan perlakuan mengenai hal itu dinikmati oleh seluruh rakyat
Indonesia, bukan hanya menjadi tanggung jawab kepala daerah, yaitu Gubenur
dan Bupati atau Walikota, namun juga menjadi suatu kontrak, atau tanggung
jawab dan tugas (contractual), karena dirumuskan di dalam peraturan perundang-
udangan, sebagaimana dikemukakan di atas adalah merupakan tanggung jawab
Negara Republik Indonesia yang dikepalai Presiden5.
Pemeliharaan kerukunan umat beragama di Kabupaten/Kota menjadi tugas
dan kewajiban Bupati/Walikota. Perundangan (PBM) yang menjadi satuan amatan
penelitian ini juga menegaskan bahwa pelaksanaan tugas dan kewajiban
Bupati/Walikota di atas dibantu oleh Kepala Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota. Sedangkan, dalam kaitan dengan itu, rincian tugas dan
kewajiban Gubernur6 meliputi: pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban
masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat beragama di
provinsi; pengkoordinasian kegiatan instansi vertikal di provinsi dalam
pemeliharaan kerukunan umat beragama; menumbuhkembangkan keharmonisan,
saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat
4 Dapat dilihat pengaturannya di dalam Pasal 3 Ayat (1) PBM.
5 Lihat Analisis di hlm., 87, Bab ini, infra.
6 Lihat Pasal 3 PBM.
38
beragama; dan membina serta mengoordinasikan Bupati/Wakil Bupati dan
Walikota/Wakil Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang
ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan beragama. Pelaksanaan
tugas itu dapat didelegasikan kepada Wakil Gubernur.
Tugas dan kewajiban Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud7 meliputi:
memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi
terwujudnya kerukunan umat beragama di Kabupaten/Kota; mengoordinasikan
kegiatan instansi vertikal di Kabupaten/Kota dalam pemeliharaan kerukunan umat
beragama; menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling
menghormati, dan saling percaya di antara umat beragama; membina dan
mengoordinasikan camat, lurah, atau kepala desa dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah di bidang ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam
kehidupan beragama; menerbitkan IMB-RI.
Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksudkan di atas dapat didelegasikan
kepada Wakil Bupati/Wakil Walikota. Apabila tugas-tugas berlangsung di
wilayah kecamatan, maka hal itu dilimpahkan kepada camat dan di wilayah
kelurahan/desa dilimpahkan kepada lurah/kepala desa melalui camat8 meliputi:
pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi
terwujudnya kerukunan umat beragama di wilayah kecamatan;
menumbuhkembangkan keharmonisan, saling pengertian, saling menghormati,
dan saling percaya di antara umat beragama; dan membina dan mengoordinasikan
lurah dan kepala desa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di bidang
ketenteraman dan ketertiban masyarakat dalam kehidupan keagamaan.
7 Pasal 4 PBM.
8 Pasal 6 Ayat (3) PBM.
39
Kaitan dengan apa yang baru saja dikemukakan di atas, maka tugas dan
kewajiban lurah/kepala desa9 adalah meliputi: pemeliharaan ketenteraman dan
ketertiban masyarakat termasuk memfasilitasi terwujudnya kerukunan umat
beragama di wilayah kelurahan/desa; dan menumbuhkembangkan keharmonisan,
saling pengertian, saling menghormati, dan saling percaya di antara umat
beragama.
Sampai pada uraian tentang tugas-tugas pihak-pihak (the parties to contract)
sebagaimana dikemukakan di atas, maka menurut Penulis, perlu dikemukakan
bahwa pada prinsipnya, apabila diperhatikan dengan seksama, tugas-tugas pihak-
pihak di atas hakikatnya adalah sama, tidak jauh berbeda antara tugas satu pihak
dan tugas pihak lainnya, sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas; satu
diantaranya adalah memastikan persamaan perlakuan di depan hukum.
3.1.2. Pihak Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)
Masih dalam kerangka struktur Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum10
,
yang di dalam setiap analisis tidak boleh melupakan identifikasi terhadap pihak-
pihak atau subyek hukum (the parties to contract), atau dalam bahasa yang lebih
teknis yuridis yaitu orang (rechtpersoon), baik itu manusia maupun badan hukum
yang mengemban hak-hak dan kewajiban, terutama dalam konteks penulisan dan
penelitian ini adalah kewajiban kontraktual untuk memelihara kerukunan
beragama yang perlakuannya harus taat asas atau kaedah hukum sama di hadapan
9 Ibid.
10
Gambaran tentang apa itu Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, dapat dibaca di dalam Buku
yang ditulis oleh Jeferson Kameo, SH., LL.M., Ph.D, Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
40
hukum adalah, masih ada satu pihak lagi yang tidak dapat ditinggalkan memegang
tugas kontraktual dalam PBM di atas, yaitu pihak yang disebut dengan FKUB11
.
Menurut PBM, FKUB dibentuk di provinsi dan Kabupaten/Kota dan
dilakukan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah daerah. Sifat hubungan
antara pihak-pihak tersebut adalah konsultatif. Pihak yang disebut dengan FKUB
provinsi, melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat;
menampung aspirasi OK dan aspirasi masyarakat; menyalurkan aspirasi ormas
keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan
gubernur; dan melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan
kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama
dan pemberdayaan masyarakat. Sedangkan FKUB Kabupaten/Kota12
bertugas:
melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; menampung
aspirasi OK dan aspirasi masyarakat; menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan
masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan Bupati/Walikota;
melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang
keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan
masyarakat; dan memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian
rumah ibadat.
3.1.3. Para Pihak dalam Struktur Kepengurusan FKUB menurut PBM
Dalam temuan Penulis, dalam struktur FKUB itu dapat dilihat siapa saja
pihak-pihak atau unsur-unsur yang merupakan keanggotaan lembaga atau subyek
hukum tersebut, yaitu pemuka-pemuka agama setempat. Jumlah anggota FKUB
11
Lihat, rumusan mengenai pihak itu di dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 12 PBM.
12 Lihat Pasal 9 Ayat (2) PBM.
41
Provinsi paling banyak 21 orang. Sedangkan jumlah anggota FKUB,
Kabupaten/Kota paling banyak 17 orang. Komposisi keanggotaan FKUB Provinsi
dan Kabupaten/Kota ditetapkan berdasarkan perbandingan jumlah pemeluk agama
setempat dengan keterwakilan minimal satu orang dari setiap agama yang ada di
Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Adapun, struktur kepengurusan FKUB, dimulai dengan kepemimpinan
lembaga yaitu, yang dilakukan oleh satu orang ketua, dua orang wakil ketua, satu
orang sekretaris, satu orang wakil sekretaris, yang dipilih secara musyawarah oleh
anggota. Dalam memberdayakan FKUB, dibentuk Dewan Penasihat FKUB di
Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dewan Penasihat FKUB itu bertugas: membantu
Kepala Daerah dalam merumuskan kebijakan pemeliharaan kerukunan umat
beragama; dan memfasilitasi hubungan kerja FKUB dengan pemerintah daerah
dan hubungan antar sesama instansi pemerintah di daerah dalam pemeliharaan
kerukunan umat beragama. Keanggotaan Dewan Penasehat FKUB Provinsi
sebagaimana ditetapkan oleh Gubernur dengan susunan keanggotaan yang terdiri
dari Ketua: Wakil Gubernur; sedangkan Wakil Ketuanya adalah Kepala Kantor
Wilayah Departemen Agama Provinsi; Sekretaris: Kepala Badan Kesatuan
Bangsa dan Politik Provinsi; Anggota: pimpinan instansi terkait. Sedangkan
Dewan Penasehat FKUB Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota
dengan susunan keanggotaan yang terdiri dari Ketua yaitu Wakil Bupati/Wakil
Walikota; Wakil Ketua adalah Kepala Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota, sedangkan Sekretaris adalah Kepala Badan Kesatuan Bangsa
dan Politik Kabupaten/Kota dan Anggota merupakan pimpinan instansi terkait.
Gubernur, lebih lanjut mengatur melalui Peraturan Gubernur mengenai FKUB dan
Dewan Penasihat FKUB Provinsi Dan Kabupaten/Kota.
42
3.1.4. Pengaturan tentang Pendirian Rumah Ibadat
Berikut, gambaran public policy Indonesia mengenai Pendirian Rumah
Ibadat, suatu aspek yang menjadi konsen dari penelitian dan penulisan karya tulis
kesarjanaan ini13
. Menurut perumus PBM, yang juga hal ini sudah barang tentu
harus dilihat sebagai keinginan (political will) dari pembuat policy tersebut, dalam
hal ini pihak Pemerintah Republik Indonesia adalah bahwa pendirian rumah
ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh, berdasarkan
komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di
wilayah kelurahan/desa. Pendirian rumah ibadat yang demikian itu dilakukan
dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu
ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-
undangan. Pembuat PBM juga menyatakan bahwa dalam hal keperluan nyata bagi
pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa tidak terpenuhi,
pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah Kecamatan
atau Kabupaten/ Kota atau Provinsi.
Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan
persyaratan teknis bangunan gedung, dan memenuhi persyaratan khusus yang
meliputi: daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling
sedikit sembilan puluh orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan
tingkat batas wilayah; dukungan masyarakat setempat paling sedikit enam puluh
orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; rekomendasi tertulis Kepala Kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota; dan rekomendasi tertulis FKUB
13
Pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Bab IV Pasal 13 sampai Pasal 17 PBM.
43
Kabupaten/Kota. Dalam hal persyaratan di atas14
terpenuhi sedangkan persyaratan
huruf (b) belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi
tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat. Rekomendasi FKUB15
merupakan
hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk
tertulis.
Permohonan pendirian rumah ibadat diajukan oleh panitia pembangunan
rumah ibadat kepada Bupati/Walikota untuk memperoleh IMB-RI dari
Bupati/Walikota dan keputusan diberikan paling lambat 90 hari sejak permohonan
diajukan. Pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan
gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang dipindahkan karena
perubahan rencana tata ruang wilayah.
3.1.5. Aspek Perijinan Pemanfaatan Bangunan Gedung Menurut PBM
Mengenai perijinan, dalam hal ini perijinan berupa ijin Sementara
Pemanfaatan Bangunan Gedung16
, di dalam PBM dirumuskan bahwa
pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat sebagai rumah ibadat
sementara harus mendapat surat keterangan pemberian ijin sementara dari
Bupati/Walikota dengan memenuhi persyaratan: laik fungsi; dan pemeliharaan
kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban masyarakat.
Persyaratan laik fungsi mengacu pada peraturan perundang-undangan tentang
bangunan gedung.
14
Ayat (2) huruf (a) PBM. 15
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Ayat (2) huruf (d) PBM.
16
Lihat Pasal 18 sampai dengan Pasal 20 PBM.
44
Persyaratan pemeliharaan kerukunan umat beragama serta ketenteraman
dan ketertiban masyarakat itu meliputi: Ijin tertulis pemilik bangunan;
rekomendasi tertulis lurah/kepala desa; pelaporan tertulis kepada FKUB
Kabupaten/Kota; dan pelaporan tertulis kepada Kepala Kantor Departemen
Agama Kabupaten/Kota.
Surat keterangan pemberian ijin sementara pemanfaatan bangunan-gedung
bukan rumah ibadat oleh Bupati/Walikota dimaksud diterbitkan setelah
mempertimbangkan pendapat tertulis Kepala Kantor Departemen Agama
Kabupaten/Kota dan FKUB Kabupaten/Kota. Surat keterangan pemberian ijin
sementara pemanfaatan bangunan gedung bukan rumah ibadat dimaksud berlaku
paling lama dua tahun. Penerbitan surat keterangan pemberian ijin sementara
dapat dilimpahkan kepada camat. Penerbitan surat keterangan pemberian ijin
sementara dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat tertulis Kepala Kantor
Departemen Agama Kabupaten/Kota dan FKUB Kabupaten/Kota.
3.1.6. Penyelesaian Perselisihan Menurut PBM
Mengenai penyelesaian perselisihan17
akibat pendirian rumah ibadat
diselesaikan secara musyawarah oleh masyarakat setempat. Dalam hal
musyawarah tidak dicapai, penyelesaian perselisihan dilakukan oleh
Bupati/Walikota dibantu Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota
melalui musyawarah yang dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan
mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB Kabupaten/Kota. Apabila
penyelesaian perselisihan musyawarah pada tahap kedua itu tidak dicapai, maka
17
Diatur dalam Pasal 21 sampai dengan Pasal 22 PBM.
45
penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan setempat. Gubernur
melaksanakan pembinaan terhadap Bupati/Walikota serta instansi terkait di daerah
dalam menyelesaikan perselisihan.
Dalam kaitan dengan itu, mengenai pengawasan dan penolakan, Gubernur
dibantu Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi melakukan
pengawasan terhadap Bupati/Walikota serta instansi terkait di daerah atas
pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum
kerukunan umat beragama dan pendirian rumah ibadat. Bupati/Walikota dibantu
Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota melakukan pengawasan
terhadap Camat dan Lurah/Kepala Desa serta instansi terkait di daerah atas
pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum
kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat.
Gubernur melaporkan pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat
beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pengaturan
pendirian rumah ibadat di provinsi kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri
Agama dengan tembusan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan,
dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Bupati/Walikota melaporkan
pelaksanaan pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum
kerukunan umat beragama, dan pengaturan pendirian rumah ibadat di
kabupaten/kota kepada gubernur dengan tembusan Menteri Dalam Negeri dan
Menteri Agama. Laporan disampaikan setiap enam bulan pada bulan Januari dan
Juli, atau sewaktu-waktu jika dipandang perlu.
Mengenai belanja pembinaan dan pengawasan yaitu sebagai terhadap
pemeliharaan kerukunan umat beragama serta pemberdayaan FKUB secara
nasional didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
46
Belanja pelaksanaan kewajiban menjaga kerukunan nasional dan memelihara
ketenteraman dan ketertiban masyarakat di bidang pemeliharaan kerukunan umat
beragama, pemberdayaan FKUB dan pengaturan pendirian rumah ibadat di
Provinsi didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Provinsi. Belanja pelaksanaan kewajiban menjaga kerukunan nasional dan
memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat di bidang pemeliharaan
kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pengaturan pendirian
rumah ibadat di Kabupaten/Kota didanai dari dan atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam bagian Penutup, di dalam PBM dicantumkan pengaturan bahwa
FKUB dan Dewan Penasehat FKUB di Provinsi dan Kabupaten/Kota dibentuk
paling lambat satu tahun sejak Peraturan Bersama ini ditetapkan. FKUB atau
forum sejenis yang sudah dibentuk di Provinsi dan Kabupaten/Kota disesuaikan
paling lambat satu tahun sejak Peraturan Bersama ini ditetapkan.
Menyangkut ijin bangunan gedung untuk rumah ibadat yang dikeluarkan
oleh pemerintah daerah sebelum berlakunya Peraturan Bersama, dinyatakan sah
dan tetap berlaku. Renovasi bangunan gedung rumah ibadat yang telah
mempunyai IMB untuk rumah ibadat, diproses sesuai dengan ketentuan IMB
sepanjang tidak terjadi pemindahan lokasi. Dalam hal bangunan gedung rumah
ibadat yang telah digunakan secara permanen dan/atau merniliki nilai sejarah yang
belum memiliki IMB untuk rumah ibadat sebelum berlakunya Peraturan Bersama,
Bupati/Walikota membantu memfasilitasi penerbitan IMB untuk rumah ibadat
dimaksud.18
18
Suatu Prinsip hukum mengatur Public Policy bahwa sesuatu yang telah ada sebelumnya namun
belum ada IMB, dibantu pemerintah supaya “dipulihkan” diberikan IMB. Aturan yang datang
47
Peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintahan
daerah wajib disesuaikan dengan Peraturan Bersama itu paling lambat dalam
jangka waktu dua tahun. Pada saat berlakunya Peraturan Bersama, ketentuan yang
mengatur pendirian rumah ibadat dalam Keputusan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Dalam Negeri No. 01/BER/MDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas
Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan
Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku. PBM mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
3.2. Pendirian Rumah Ibadat dalam Putusan Pengadilan
Menyusul gambaran hasil penelitian tentang PBM sebagaimana telah
dikemukakan di atas, berikut di bawah ini secara berturut-turut dikemukakan
gambaran hasil penelitian tentang putusan pengadilan, yang terdiri dari Putusan
No.41/G/2008/PTUN-BDG19
dan Putusan No.127 PK/TUN/200920
. Putusan 41
adalah Putusan dimana gambaran tentang bagaimana persamaan perlakuan di
depan hukum, khususnya perlakuan terhadap golongan minoritas dalam
mendirikan rumah ibadat di Negara Hukum Kesatuan Republik Indonesia
sedangkan uraian selanjutnya tentang putusan pengadilan adalah Putusan 127
berisi upaya Kasasi ke MA, dimana aspek perlakuan yang sama di hadapan
hukum juga dapat dilihat gambarannya secara langsung.
belakangan tidak serta-merta diinterpretasi membongkar bangunan yang belum berijin
sebelumnya.
19
Untuk selanjutnya disingkat dengan Putusan 41.
20
Selanjutnya disingkat dengan Putusan 127.
48
3.2.1. Pihak-Pihak dalam Putusan 41
Pada Putusan 41, terlibat dua pihak yang bersengketa, yaitu antara Kepala
Dinas Tata Kota dan Pertamanan Kota Bogor21
sebagai Tergugat melawan Umat
Beragama di Rumah Ibadat A Quo22
sebagai Penggugat. Kedua belah pihak itu
bersengketa mengenai (obyek) berupa Surat Kepala Dinas Tata Kota dan
Pertamanan Kota Bogor Nomor 503/208-DTKP Perihal Pembekuan Ijin
tertanggal 14 Pebruari 200823
. Ijin yang dibekukan adalah surat Ijin mendirikan
bangunan kepada Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo oleh Walikota yaitu
dengan diterbitkannya Surat Keputusan Walikota Bogor No.645.8-372 tahun 2006
13 Juli 2006 tentang Ijin Mendirikan Bangunan.
Pembekuan Ijin itu Obyek gugatan,24
Sebab sebagaimana dijelaskan;
“Keputusan Tata Usaha negara adalah suatu penetapan tertulis
yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, bersifat Konkret,
individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau Badan Hukum Perdata”.
Pembekuan Ijin memenuhi syarat obyek gugatan yaitu sebagai suatu
penetapan tertulis yang diberikan dari Kepala Dinas kepada Umat Beragama di
21
Selanjutnya, dalam skripsi ini pihak tersebut namanya disingkat seperti mulai disingkat dalam
Bab 1 skripsi ini, yaitu Kepala Dinas, Lihat catatan kaki No.27 pada BAB I, Supra.
22
Selanjutnya Pihak Penggugat itu dalam skripsi ini disingkat dengan Umat Beragama di Rumah
Ibadat A Quo, menyesuaikan dengan hlm.,12, skripsi ini, Supra.
23
Selanjutnya disingkat dengan Pembekuan Ijin.
24
Sesuai Pasal 1 Angka (3) UU No.5 tahun 1986 jo. UU No.9 tahun 2004, selanjutnya disingkat
dengan UU TUN.
49
Rumah Ibadat A Quo; dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara25
yang
memiliki kewenangan dan jabatannya, berisi tindakan hukum yang dalam hal ini
adalah tindakan membekukan IMB-RI. Disamping itu, obyek gugatan bersifat
konkret, individual, dan final, yaitu yang tertuang dalam bentuk surat,26
diberikan
tidak kepada umum, tetapi kepada subyek hukum tertentu, yaitu Umat Beragama
di Rumah Ibadat A Quo. Pembekuan Ijin itu telah definitif, telah menimbulkan
akibat hukum berupa hak dan kewajiban para pihak yang bersangkutan. Obyek
gugatan juga bersifat konkret, mengingat obyek yang diatur dalam Keputusan
Tata Usaha Negara27
. Obyek juga bersifat individual mengingat KTUN itu
ditujukan kepada Penggugat. Obyek bersifat final, sebab KTUN itu telah berlaku
definitif yaitu Pembekuan Ijin mendirikan bangunan Rumah Ibadat A Quo,
menimbulkan akibat hukum.
3.2.2. Dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo
Menurut Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, dengan dikeluakannya
Pembekuan Ijin itu, pembangunan tempat ibadat yang dibutuhkan untuk
menjalankan ibadat menurut keyakinan Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo
menjadi terhenti sama sekali. Sehingga, menurut Umat Beragama di Rumah
Ibadat A Quo, kepentingan Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, sangat
dirugikan. Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo juga mendalilkan bahwa
mereka telah melakukan banyak persiapan untuk mengadakan pembangunan
Rumah Ibadat A Quo. Maksudnya, mereka telah mengadakan beberapa perjanjian
25
Selanjutnya disingkat Pejabat TUN.
26
No. 503/208-DTKP perihal Pembekuan Ijin tertanggal 14 Pebruari 2008.
27
Selanjutnya disingkat dengan KTUN.
50
kerjasama dengan pihak ketiga yang akan melakukan pembangunan, membeli
material/bahan-bahan bangunan yang dibutuhkan dalam pembangunan. Itulah
sebabnya, menurut Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo Pembekuan Ijin
merugikan mereka. Karena, Kepala Dinas mengeluarkan obyek sengketa secara
tiba-tiba tanpa pemberitahuan terlebih dahulu, padahal Kepala Dinas seharusnya
konsisten mempertahankan dan melaksanakan Surat Keputusan Walikota Bogor
No. 645.8-372 tahun 2006, 13 Juli 2006 tentang Ijin Mendirikan Bangunan, bukan
malah membekukannya, demikian dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo.
Mengenai tenggang waktu pengajuan gugatan, Umat Beragama di Rumah
Ibadat A Quo berdalil bahwa berdasarkan UU TUN28
telah dinyatakan “Gugatan
dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak
saat diterimanya atau diumumkannya keputusan Badan atau Pejabat TUN”.
Mereka telah menerima Pembekuan Ijin 14 Pebruari 2008, sehingga gugatan itu
menurut Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo masih berada dalam tenggang
waktu yang ditentukan.
Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo sempat mengajukan permohonan
kepada Pengadilan, yaitu mengingat adanya keadaan yang sangat mendesak, agar
dapat dilakukan pembangunan dan kebutuhan mendesak tempat ibadat serta untuk
mencegah mereka semakin dirugikan, maka berdasarkan Pasal 67 Ayat (2) UU
No. 5 tahun 1986 juncto UU No. 9 tahun 2004 yang menyatakan: “Para
Penggugat dapat mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan TUN itu
ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berlangsung sampai ada
Putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap”. Umat Beragama di
28
Pasal 55 UU No. 5 tahun 1989 j.o. UU No. 9 tahun 2004.
51
Rumah Ibadat A Quo memohon kepada Majelis Hakim PTUN Bandung untuk
menunda pelaksanaan obyek gugatan.
Sementara itu, dalam pokok sengketa, Umat Beragama di Rumah Ibadat A
Quo berdalil bahwa Bangunan Rumah Ibadat A Quo telah memperoleh Surat
Keputusan Walikota Bogor No. 645.8-372 tahun 2006 13 Juli 2006 tentang Ijin
Mendirikan Bangunan. Namun, menurut unsur Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo, mereka telah menerima surat Kepala Dinas perihal Pembekuan Ijin dan
telah menanggapi diterbitkannya surat Kepala Dinas tersebut, Umat Beragama di
Rumah Ibadat A Quo telah mengirim surat kepada Walikota, perihal keberatan
dan penolakan atas Pembekuan Ijin yang diterbitkan Kepala Dinas, Kepala Badan
Pengawasan Daerah Kota Bogor, Kepala Bagian Hukum Setdakot Bogor, Kepala
Kantor Sat. Pol P.P. Kota Bogor dan Forum PA dan Ormas Agama tertentu se
kota setempat.
Menurut Penggugat, dalam rangka memperoleh Surat Keputusan Walikota
tahun 2006 13 Juli 2006 tentang Ijin Mendirikan Bangunan, mereka telah
menempuh proses yang cukup lama dan bertahap serta telah memenuhi
persyaratan administratif sebagaimana diatur dalam SKB29
. Pada 10 Maret 2002,
penduduk di sekitar tanah milik Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, seluas
1.721 yang terletak di Taman Yasmin Sektor III Kavling 31 Jalan Ring Road,
Kelurahan Curug Mekar, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, telah
menandatangani Surat Pernyataan yang pada intinya sebanyak 170 orang tidak
keberatan jika di atas sebidang tanah tersebut dibangun sebuah Rumah Ibadat A
Quo. Penggugat juga mendalilkan bahwa 1 Maret 2003 telah berlangsung
musyawarah yang dihadiri 127 orang pemuda Curug Mekar dengan Panitia
29
Tentang isi SKB lihat hlm., 34-47, Supra.
52
Pembangunan Rumah Ibadat A Quo dan dari unsur Umat Beragama di Rumah
Ibadat A Quo. Hasil musyawarah tersebut dituliskan dalam bentuk berita acara
yang ditandatangani Ketua Forum Pemuda Curug Mekar dan Penasehat Forum
Pemuda Curug Mekar yang pada intinya menyatakan tidak keberatan di atas
sebidang tanah tersebut dibangun Rumah Ibadat A Quo. Pada 8 Januari 2006
sebanyak 42 warga masyarakat Curug Mekar menandatangani Surat Pernyataan
yang pada intinya menyatakan tidak keberatan di atas sebidang tanah tersebut
dibangun Rumah Ibadat A Quo. Pada 12 Januari 2006 juga telah berlangsung
sosialisasi rencana pembangunan gedung Rumah Ibadat A Quo yang dihadiri oleh
71 orang penduduk setempat atas nama masyarakat RW. I, II, III, IV dan VI
kelurahan Curug Mekar yang terdiri dari para ketua RW, Ketua RT, Pengurus
DKM dan Tokoh Masyarakat. Setelah mendengarkan penjelasan yang
disampaikan oleh Panitia Pembangunan gedung Rumah Ibadat A Quo, mereka
menyatakan telah memahami isi penjelasan tersebut dan menyatakan tidak
keberatan dengan rencana tersebut dan mereka siap menciptakan kerukunan hidup
beragama secara berdampingan dan menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinan
masing-masing, serta meminta dalam pelaksanaan pembangunan dan
operasionalnya agar menyerap tenaga kerja yang ada di wilayah kelurahan Curug
Mekar. Surat Pernyataan itu diberikan kepada tergugat. Surat pernyataan itu juga
diketahui oleh Ketua LPM Kelurahan Curug Mekar dan Lurah Curug Mekar. Pada
14 Januari 2006, setelah mendengarkan penjelasan yang disampaikan oleh Kepala
Kelurahan dan ketua LPM Kelurahan Curug Mekar tentang adanya rencana
pembangunan Rumah Ibadat A Quo di atas tanah tersebut sebanyak 25 orang
Tokoh Masyarakat kelurahan Curug Mekar telah menandatangani Surat
Keterangan yang pada intinya mereka memaklumi dan tidak keberatan akan
53
rencana tersebut dan mereka siap menciptakan kerukunan hidup beragama secara
berdampingan dan menjalankan ibadat sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Surat pernyataan juga ditandatangani oleh ketua LPM dan Lurah Curug Mekar.
Pada 15 Januari 2006, juga telah berlangsung sosialisasi rencana pembangunan
Rumah Ibadat A Quo yang dihadiri oleh 40 orang warga masyarakat Perumahan
Taman Yasmin Sektor III RW.VIII Kelurahan Curug Mekar. Setelah
mendengarkan penjelasan yang disampaikan oleh Panitia Pembangunan Rumah
Ibadat A Quo, mereka menyatakan telah memahami isi penjelasan tersebut dan
menyatakan tidak keberatan dengan rencana tersebut dan mereka siap
menciptakan kerukunan hidup beragama secara berdampingan dan menjalankan
ibadat sesuai dengan keyakinan masing-masing. Surat Pernyataan itu diketahui
oleh Ketua RW. VIII, Ketua dan Lurah Curug Mekar. Pada 3 Maret 2006, Dinas
Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Bogor juga telah menerbitkan Saran
Teknis Nomor 660.1/144/DLHK a.n. Umat Beragama dalam rumpun Agama yang
sama dengan Umat Rumah Ibadat A Quo Jabar, Jalan Pengadilan No.35 Bogor
sehubungan dengan rencana pembangunan Rumah Ibadat A Quo tersebut di atas.
Pada 14 Maret 2006, Kantor Pertanahan Kota Bogor juga telah menerbitkan
Pertimbangan Teknis Penatagunaan Tanah dalam Rangka Perubahan Penggunaan
Tanah No. 460/20/PTPGT-SP/2006 atas nama Perkumpulan Umat Beragama
yang sama dengan Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo Jabar sehubungan
dengan rencana pembangunan tersebut di atas. Pada 15 Maret 2006, Dinas Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan Kota Bogor juga telah menerbitkan Penilaian Saran
Teknis Lalu Lintas No. 503/262-DLLAJ kepada Pihak atas nama Rumah Ibadat A
Quo sehubungan dengan rencana pembangunan tersebut di atas. Pada 12 April
2006, Dinas Binamarga dan Pengairan Kota Bogor juga telah menerbitkan Surat
54
Ijin Pembuatan Jalan Masuk No. 503/238/018-BINA kepada Pihak atas nama
Perkumpulan Umat Beragama yang serumpun dengan umat beragama di Rumah
Ibadat A Quo sehubungan dengan rencana pembangunan tersebut di atas. Pada 17
April 2006, Kepala Dinas Bina Marga juga telah menerbitkan Surat No.
610/319/018-BIMA perihal saran teknis sehubungan dengan rencana
pembangunan tersebut di atas. Pada 30 Mei 2006, Dinas Tata Kota dan
Pertamanan Kota Bogor juga telah menerbitkan Pengesahan Site Plan
Pembangunan tersebut di atas No. 645.8/705-DTKP kepada GKI Jabar Jalan
Pengadilan No. 35 Bogor sehubungan dengan rencana pembangunan Rumah
Ibadat A Quo.
Penggugat juga mendalilkan bahwa setelah memeriksa seluruh persyaratan
tersebut di atas, Walikota Bogor memutuskan untuk memberikan IMB yang
dimohonkan dengan menerbitkan Surat Keputusan Walikota Bogor No. 645.8-372
tahun 2006 13 Juli 2006. Surat keputusan tersebut atas nama Walikota,
ditandatangani oleh Kepala Dinas. Kemudian, Penggugat juga mendalilkan,
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan PBM dimana seperti telah dikemukaan
dalam uraian hasil penelitian yang pertama di atas.30
PBM tersebut, menurut dalil
Penggugat, dengan jelas ditegaskan bahwa “peraturan perundang-undangan yang
telah ditetapkan oleh pemerintah Daerah Wajib disesuaikan dengan PBM paling
lambat dalam jangka waktu dua tahun”.
Menurut Penggugat, ketentuan tersebut menegaskan bahwa PBM
tergolong sebagai lex specialis. Oleh karena itu, ketentuan31
tentang Bangunan
30
Pasal 29 PBM.
31
Pasal 15 Ayat (1) Perda No.7 tahun 2006.
55
Gedung yang dirujuk Kepala Dinas dalam menerbitkan Surat Pembekuan IMB-RI
A Quo harus dikesampingkan. Hal ini ditegaskan dengan berpedoman pada asas
hukum bahwa lex specialis derogat legi generalis dan lex superior derogat legi
inferior. Dengan demikian, maka Surat Kepala Dinas perihal Pembekuan Ijin
tergolong sebagai batal demi hukum (van rechtswege nietig) dan/atau dapat
dibatalkan (vernietig verklaard).
Penggugat juga berdalil bahwa karena dalam satu konsideran “mengingat”
PBM diatur rujukan kepada UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
maka penerapan PBM harus pula sesuai (comply) dengan norma-norma hukum
Hak Asasi Manusia pada tingkat Nasional maupun Internasional bahwa32
“Perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia
adalah tanggung jawab Negara, terutama Pemerintah”. Hak Asasi Manusia, yaitu
hak beragama, menurut Penggugat, termasuk hak untuk mendirikan rumah ibadat,
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sebagaimana yang juga ditegaskan
dalam konsideran “menimbang” PBM. Pemerintah Indonesia, termasuk
Pemerintah Daerah Kota Bogor, terikat untuk melindungi, memajukan,
menegakkan, dan memenuhinya, oleh karena Pemerintah Indonesia telah
mengesahkan/meratifikasi International Convenant on Civil and Political
Rights33
. Dengan diterbitkannya obyek gugatan tersebut, maka Penggugat merasa
telah terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia. Untuk itu, Penggugat telah
mengadukan secara langsung perihal ini kepada Komnas HAM di Jakarta pada 10
Maret 2008, sebagai respons terhadap materi pengaduan tersebut, Komnas HAM
32
Pasal 8 UU No.39 tahun 1999.
33
Tahun 1966 dengan UU No.12 tahun 2005.
56
telah mengirim surat kepada Menteri Agama Republik Indonesia No.
592/K/PMT/IV/08 perihal Penolakan Pembekuan Ijin. Pada intinya Komnas
HAM meminta klarifikasi dan perkembangan mengenai permasalahan itu kepada
Menteri Agama dalam waktu yang tidak terlalu lama. Surat Komnas HAM
tersebut juga ditembuskan antara lain kepada Mendagri, Walikota Bogor dan
Kepala Dinas.
Menurut Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, dalam PBM juga diatur
perihal penyelesaian perselisihan.
“Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan
secara musyawarah oleh masyarakat setempat34
, Selanjutnya
menurut dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, dalam
PBM disebutkan, jika musyawarah tidak dicapai, penyelesaian
perselisihan dilakukan oleh Bupati/Walikota dibantu Kepala
Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota melalui musyawarah
yang dilakukan secara adil dan tidak memihak dengan
mempertimbangkan pendapat atau saran FKUB Kabupaten/Kota35
,
Dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud di
atas tidak dicapai menurut dalil Penggugat, penyelesaian
perselisihan dilakukan melalui pengadilan setempat36
.
Menunjuk ketentuan di atas menurut dalil Umat Beragama di Rumah
Ibadat A Quo, jelas bahwa bila ada pihak ketiga yang keberatan dengan
diterbitkannya IMB-RI di atas, maka langkah pertama yang harus ditempuh
34
Dalam Pasal 21 Ayat (1) PBM. Lihat Uraiannya di hlm.,44, sub-judul 3.1.6. Bab III Skripsi ini,
Supra.
35
Ibid., Ayat (2).
36
Ibid., Ayat (3).
57
adalah bermusyawarah, langkah kedua adalah musyawarah dengan difasilitasi
Walikota, dan langkah ketiga adalah mereka menempuh upaya hukum ke
Pengadilan. Tegasnya, bila musyawarah tidak berhasil, maka pihak ketiga yang
tidak setuju dengan diterbitkannya IMB-RI seharusnya disarankan oleh tergugat
untuk menempuh upaya hukum ke Pengadilan, agar Pengadilan memutuskannya,
tidak dengan cara-cara lain di luar proses hukum.
Didalilkan juga oleh Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo bahwa
menurut PBM surat kepada Walikota Bogor Nomor 82/MJ-GKI Bgr/III/2008,
perihal Tindak Lanjut Pertemuan dengan Walikota Bogor 28 Pebruari 2008,
Penggugat memohon agar Walikota Bogor dapat menyelenggarakan musyawarah
antara Pengurus Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo dan pihak ketiga yang
keberatan diterbitkannya IMB-RI tersebut di atas. Permohonan tersebut merujuk
pada hasil pertemuan sebelumnya, 28 Pebruari 2008 di Rumah Dinas Walikota
Bogor antara Walikota Bogor dan yang bersangkutan. Menurut Penggugat, dalam
PBM37
itu ada wewenang untuk menerbitkan IMB-RI, dan tidak diatur wewenang
mencabut dan/atau membekukan IMB-RI, apalagi Kepala Dinas yang
melakukannya yang nota bene bukan atas nama Walikota (dalam kasus
pembekuan IMB-RI tersebut di atas). Hal ini cukup jelas, bukan saja karena
bentuk hukum “Pembekuan Ijin” tidak dikenal dalam PBM tersebut, tetapi juga
satu-satunya proses hukum yang dapat ditempuh oleh pihak maupun untuk
membatalkan IMB-RI tersebut di atas hanyalah melalui pengadilan. Pembatalan,
pencabutan, pembekuan, dan/atau perbuatan hukum sejenis yang dilakukan di luar
proses peradilan dapat digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum, demikian
dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo.
37
Pasal 6 Ayat (1).
58
Oleh karena Pembekuan Ijin IMB-RI tersebut di atas dilakukan oleh
pejabat dan/atau instansi yang tidak berwenang, dalam hal ini adalah Kepala
Dinas, maka Surat Pembekuan Ijin tersebut batal demi hukum dan/atau dapat
dibatalkan. Penggugat merujuk hukum administrasi bahwa Surat Pembekuaan
IMB tidak memenuhi syarat formil struktur Surat Keputusan seorang Pejabat
TUN. Tidak seperti halnya Surat Keputusan Walikota Bogor No. 645.8-372 tahun
2006 tersebut di atas yang dilengkapi dengan konsideran Menimbang, Mengingat,
Memutuskan dan Menetapkan, Surat Pembekuan IMB-RI tersebut sama sekali
tidak dilengkapi dengan Konsideran apa pun, kata Penggugat.
Selanjutnya, dalam dalil yang diajukan Penggugat di Pengadilan,
Pembekuan Ijin melanggar AAUPB, yang dapat dijadikan sebagai suatu alas
Gugatan yang kuat dan sah ke Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam UU
TUN38
. Mengutip buku, Penggugat berdalil, bahwa AAUPB yang telah dilanggar
oleh Kepala Dinas itu adalah39
asas kecermatan formal. Asas ini pada intinya
menegaskan bahwa dalam mempersiapkan penerbitan Surat Pembekuan IMB-RI
tersebut harus dilakukan dengan sikap jujur dari instansi yang mengeluarkan
Keputusan tersebut. Pada waktu mempersiapkan Surat Pembekuan IMB-RI itu,
instansi yang bersangkutan harus sudah memperoleh gambaran yang jelas
mengenai semua fakta-fakta yang relevan maupun semua kepentingan yang
tersangkut, utamanya kepentingan perlindungan, pemajuan, penegakan dan
pemenuhan hak asasi manusia. Asas lainya yang juga dilanggar adalah asas fair
play. Asas ini pada intinya menegaskan bahwa instansi yang mengeluarkan Surat
38
Pasal 53 Ayat (2) huruf (b) UU No. 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 tahun 1986
tentang PTUN.
39
Buku yang dimaksud oleh Penggugat di atas, ditulis oleh Indroharto, Hukum Acara PTUN,
Sinar Harapan, Jakarta., 1993, hlm., 177-184.
59
Pembekuan IMB-RI itu harus bersikap tidak menghalang-halangi kesempatan
pihak yang menerima IMB-RI untuk melanjutkan pembangunan rumah ibadat
yang IMB-nya telah diterbitkan sebelumnya (13 Juli 2006). Disamping itu ada
pula, menurut Penggugat, asas selanjutnya yang juga dilanggar, yaitu asas
kepercayaan dan asas harapan-harapan yang telah ditimbulkan. Asas ini pada
intinya menegaskan bahwa apabila Badan atau Pejabat TUN telah menimbulkan
harapan-harapan dengan janji-janji, maka janji-janji semacam itu jangan diingkari
(baca:dibekukan)40
. Dalam asas ini ditegaskan pula bahwa kalau melakukan
penolakan atas suatu permohonan (dalam hal ini adalah pembekuan IMB-RI)
tersebut, bila hal tersebut dilakukan hanya sekedar dengan menunjuk saja pada
peraturan kebijakan yang telah dikeluarkan41
, maka hal itu tidak dapat dibenarkan
karena kurang kuat dasar hukumnya. Tak kalah penting, juga masih menurut dalil
Penggugat, terlanggarnya asas kecermatan materiil. Asas ini pada intinya
menghendaki agar kerugian yang ditimbulkan (sebagai akibat dari diterbitkannya
Surat Pembekuan Ijin) itu jangan sampai melampaui yang diperlukan untuk
melindungi suatu kepentingan yang harus dilakukan dengan cara mengeluarkan
keputusan yang bersangkutan. Jelas bahwa Surat Pembekuan IMB-RI yang
diterbitkan oleh Kepala Dinas, nyata-nyata telah menimbulkan pelanggaran hak
asasi manusia dan tergolong sebagai yang melampaui keperluan untuk melindungi
suatu kepentingan tertentu yang nota bene patut diduga sejauh ini tidak jelas
kepentingannya, demikian dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo.
40
Dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, Janji yang tidak dapat ditarik kembali itu disebut
dengan unconditional promise.
41
Dalam kasus ini adalah Pasal 15 Ayat (1) Perda No.7 tahun 2006 dan Rekomendasi No.
601/389-Pem tanggal 15 Pebruari 2006.
60
Berdasarkan dalil-dalil di atas, menurut Penggugat, terbukti dengan sah
dan meyakinkan bahwa obyek gugatan bukan saja bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku42
. Demikian, menurut Penggugat, alasan-
alasan untuk mengajukan gugatan sebagaimana diatur dalam UU TUN43
telah
terpenuhi. Berdasarkan dalil-dalil itu, mereka memohon kepada Majelis Hakim
PTUN yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut untuk memutuskan44
menunda pelaksanaan Pembekuan Ijin. Sedangkan dalam Pokok Sengketa,
dimohon agar Majelis Hakim mengabulkan gugatan Umat Beragama di Rumah
Ibadat A Quo untuk seluruhnya; menyatakan batal atau tidak sah Pembekuan Ijin;
memerintahkan Kepala Dinas untuk mencabut Pembekuan Ijin dan menghukum
Kepala Dinas untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara tersebut.
3.2.3. Jawaban Kepala Dinas
Dalam Eksepsi, Kepala Dinas telah mengajukan sejumlah sanggahan
kepada dalil-dalil yang diajukan pihak Penggugat, sebagaimana telah Penulis
kemukakan di atas. Menurut Kepala Dinas, ada disqualificatoir exceptie,
mengingat gugatan ditandatangani dan diajukan oleh pihak yang tidak mempunyai
wewenang (legitima persona in standi judicio) untuk bertindak sebagai kuasa para
penggugat. Menurut Kepala Dinas, dalam surat gugatan Penggugat tertanggal 7
Mei 2008, pada halaman pertama paragraf terakhir dinyatakan bahwa: “Para
Penggugat dengan ini memberikan surat kuasa khusus tanggal 6 Mei 2008 kepada
empat orang.” Menurut Kepala Dinas, dengan adanya pernyataan “memberikan
42
UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta PBM atau Peraturan Bersama Menteri
Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 tahun 2006/No. 8 tahun 2006.
43
Pasal 53 Ayat (2) huruf (a) dan (b) UU No. 9 tahun 2004.
44
Dalam Penundaan.
61
Surat Kuasa Khusus tanggal 6 Mei 2008” kepada empat orang yang
menandatangani surat gugatan tertanggal 7 Mei 2008 tersebut, maka jelaslah
bahwa yang diberikan oleh Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo kepada
empat orang tersebut adalah benda (zaak) berupa kertas45
, yaitu Surat Kuasa
tertanggal 6 Mei 2008, bukan kuasa/kewenangan (lastgeving) untuk bertindak.
Sehingga dengan demikian, menurut Kepala Dinas, antara Para Penggugat dan
empat orang tersebut tidaklah terjadi perbuatan hukum pemberian kuasa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1792 KUHPerdata diatur bahwa:
“Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana
seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang
menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu
urusan” .
Menurut Kepala Dinas, dalam rumusan ketentuan undang-undang46
di atas
itu jelas diatur bahwa Perjanjian Kuasa itu perbuatan pemberian Kuasa, bukan
pemberian benda berupa Surat Kuasa. Dengan kata lain, secara hukum pemberian
benda berupa kertas Surat Kuasa tidaklah berarti atau identik dengan pemberian
kuasa, melainkan hanya semata-mata pemberian Surat, bukan pemberian hak atau
wewenang.
Menurut Kepala Dinas, bahwa di dalam surat gugatan tertanggal 7 Mei
2008 pada halaman pertama paragraf terakhir dinyatakan “Para Penggugat
dengan ini memberikan Surat Kuasa Khusus tanggal 6 Mei 2008...”, tidak ada
45
Mungkin, apakah Kepala Dinas menganggap bahwa Kertas yang dimaksudkan itu hanya toilet
paper? Menerima kuasa di “Kepala” Kepala Dinas dan menerima kuasa di “kepala” para penerima
kuasa tidak ada persamaan perlakuan? Sikap para Hakim mengenai hal ini dapat dilihat pada hlm.,
76-77, infra.
46
Pasal 1792 KUHPerdata.
62
dalam bagian selanjutnya penjelasan kedudukan hukum empat orang yang
menandatangani Surat Gugatan tersebut, sebagai kuasa dari wakil Umat Beragama
di Rumah Ibadat A Quo dalam menandatangani dan mengajukan surat gugatan
tersebut. Dengan demikian, menurut Kepala Dinas, Surat Gugatan tersebut
semata-mata penuturan bahwa orang dengan nama tertentu hanyalah memberikan
Surat Kuasa Khusus tertanggal 6 Mei 2008 kepada empat orang lainnya yang
menandatangani Surat Gugatan tersebut, bukanlah menyatakan diwakili oleh
empat orang tersebut. Sekalipun Surat Kuasa Khusus tertanggal 6 Mei 2008
tersebut ada dan dilampirkan, Surat Kuasa tersebut tidaklah digunakan sebagai
dasar kewenangan bagi empat orang tersebut untuk bertindak atas nama dan
mewakili orang-orang, wakil dari Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo dalam
mengajukan dan menandatangani surat gugatan tersebut. Berdasarkan hal tersebut,
maka yang seharusnya menandatangani dan mengajukan surat gugatan tertanggal
7 Mei 2008 tersebut adalah wakil dari Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo
bukan empat orang di atas, karena dalam perkara itu yang terjadi adalah
pemberian benda47
in casu Surat Kuasa Khusus tertanggal 6 Mei 2008. Menurut
Kepala Dinas, Surat Kuasa tersebut telah tidak digunakan sebagai dasar
kewenangan bagi empat orang untuk menandatangani dan mengajukan Surat
Gugatan tertanggal 7 Mei 2008, yang seharusnya ditandatangani dan diajukan
oleh Wakil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo maka Surat Gugatan
tertanggal 7 Mei 2008 tersebut telah ditandatangani dan diajukan oleh orang-
orang yang tidak mempunyai kewenangan untuk itu, oleh karenanya, menurut
47
Menyedihkan, aparat Pertahanan Sipil, membangun suatu argumentasi yang cenderung
menyepelekan instrumen-instrumen catatan Sipil di atas kertas, kalau benar mereka sama-sekali
tidak mengerti ada kuasa di benda/kertas itu.
63
hukum gugatan tersebut haruslah dinyatakan tidak dapat diterima (Niet
Ontvankelijk Verklaard).
Menyangkut exceptie obscur libell, Kepala Dinas mengatakan bahwa
pihak yang mengajukan gugatan adalah tidak jelas. Menurut Kepala Dinas, dalam
surat gugatan tertanggal 7 Mei 2008 dinyatakan bahwa sejumlah Wakil Umat
Beragama di Rumah Ibadat A Quo adalah disebut Para Penggugat. Dengan
menyebutkan diri mereka sebagai „Para‟ Penggugat, bukan Penggugat, maka
pihak yang menggugat dalam perkara tersebut lebih dari satu subyek hukum yang
masing-masing berdiri sendiri. Dengan demikian oleh karena hal tersebut, surat
gugatan menjadi tidak jelas atau malah kontradiktif karena disebutkan bahwa Para
Penggugat mengajukan gugatan betindak dalam kedudukan dan jabatannya
masing-masing.
Hal ini berarti bahwa ada tiga orang mengajukan gugatan bertindak dalam
kapasitasnya selaku organ dari satu subyek hukum, yaitu Umat Beragama di
Rumah Ibadat A Quo. Akibatnya, gugatan tersebut sangat tidak jelas siapa
Penggugatnya, apakah tiga orang sebagai tiga subyek hukum yang masing-masing
berdiri sendiri di antara mereka yang bertindak secara bersamaan sehingga mereka
menyebutkan diri mereka sebagai Para Penggugat, ataukah Umat Beragama di
Rumah Ibadat A Quo sebagai satu subyek hukum yang diwakili oleh tiga orang
tersebut sebagai organ dari Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo. Dengan
tidak jelasnya siapa Penggugat dalam gugatan perkara tersebut, maka, menurut
Kepala Dinas, dalam perkara tersebut menjadi tidak jelas pula kepentingan pihak
mana yang dirugikan oleh Tergugat: Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo
ataukah Para Penggugat? Apabila tiga wakil yang mengajukan gugatan mewakili
Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo sebagai satu subyek hukum, mengapa
64
mereka menyebutkan diri mereka sebagai Para Penggugat? Oleh karena gugatan
tersebut diajukan oleh pihak yang subyek hukumnya tidak jelas (obscuur libel),
maka, menurut Kepala Dinas, menurut hukum gugatan tersebut haruslah
dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).
Sedangkan jawaban mengenai tidak ada kualifikasi perbuatan melawan
hukum yang dilakukan tergugat (onrechtmatige overheids daad), Kepala Dinas
menegaskan bahwa dalam surat gugatan tidak disebutkan kualifikasi tentang
perbuatan Kepala Dinas dalam menerbitkan objek gugatan.48
Obyek gugatan di
PTUN adalah Keputusan TUN yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan atau bertentangan dengan AAUPB, yang disebut
dengan Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa (onrechtmatige overheids
daad). Suatu Keputusan TUN yang dinyatakan batal atau tidak sah adalah sebagai
akibat hukum dari Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa (onrechtmatige
overheids daad) yang dilakukan Pejabat TUN yang mengeluarkan suatu
keputusan. Sementara, menurut Kepala Dinas, dalam surat gugatan tertanggal 7
Mei 2008 itu baik dalam posita maupun dalam petitum tidak tercantum kualifikasi
yang menyatakan Tergugat telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum
Penguasa (onrechtmatige overheids daad) sebagai dasar untuk menuntut obyek
gugatan dinyatakan batal atau tidak sah, oleh karenanya menurut hukum gugatan
tersebut haruslah dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).
Berdasarkan Eksepsi: disqualificatoir exceptie; exceptie obscuur libel; dan
tidak ada kualifikasi perbuatan melawan hukum yang dilakukan tergugat, maka
48
Sebagaimana diatur dalam Pasal 53 Ayat (2) UU No. 9 tahun 2004 juncto UU No. 5 tahun 1986
tentang PTUN.
65
menurut Kepala Dinas, adalah beralasan menurut hukum gugatan tersebut
haruslah dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).
Menanggapi dalil Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo dalam
Penundaan sebagaimana telah Penulis kemukakan di atas, Kepala Dinas
menegaskan bahwa permohonan penundaan tersebut haruslah ditolak oleh karena
gugatan ditandatangani dan diajukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai
kewenangan untuk bertindak. Tidak terdapat keadaan yang sangat mendesak
untuk dikabulkannya permohonan penundaan pelaksanaan Surat Tergugat Nomor
503/208-DTKP tertanggal 14 Pebruari 2008 perihal Pembekuan Ijin49
. Apabila
dikabulkan, menurut Kepala Dinas, maka dapat menimbulkan keresahan di
masyarakat sebagaimana disampaikan oleh warga RT 06, RT 08/RW 08 Curug
Mekar, Kecamatan Bogor Barat (Lokasi Pembangunan Rumah Ibadat A Quo) dan
Pihak Ketiga.
Sedangkan menjawab dalil lainnya dalam pokok perkara, Kepala Dinas
mengatakan bahwa seluruh dalil yang telah Tergugat kemukakan Dalam Eksepsi
mohon dianggap termuat dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
dengan bagian dalam Pokok Perkara. Kepala Dinas juga mengatakan bahwa ia
menolak seluruh dalil-dalil yang dikemukakan Para Penggugat dalam Gugatan
kecuali yang diakui secara tegas oleh Tergugat. Surat Tergugat No. 503/208-
DTKP tertanggal 14 Pebruari 2008 perihal Pembekuan Ijin telah diterbitkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku50
, yang berbunyi: “Ijin yang
49
Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) UU No.5 tahun 1986 juncto UU No. 9 tahun
2004 tentang PTUN.
50
Peraturan Daerah Kota Bogor (Perda) No. 7 tahun 2006 tentang Bangunan Gedung Pasal 15
Ayat (1).
66
telah diterbitkan dapat dibekukan apabila ternyata terdapat pengaduan pihak
ketiga, atau pelanggaran, atau kesalahan teknis dalam mendirikan bangunan”.
Jawaban lain dari Kepala Dinas adalah, sebelum menerbitkan objek
gugatan, Tergugat telah beberapa kali menerima pengaduan dari warga RT.06,
RT.08 RW.08 Curug Mekar Kecamatan Bogor Barat (Lokasi Pembangunan
Rumah Ibadat A Quo), dan Forum PA serta Ormas Agama tertentu se-Kota Bogor
yang menyampaikan bahwa pembangunan Rumah Ibadat A Quo yang terletak di
Jl.K.H. Abdullah bin Nuh No. 31 Bogor telah menimbulkan keresahan
masyarakat. Menurut Kepala Dinas secara resmi warga RT.06, RT.08 RW.08
Curug Mekar Kecamatan Bogor Barat (Lokasi Pembangunan Rumah Ibadat A
Quo), dan Forum PA serta Ormas Agama tertentu se-Kota Bogor tersebut
menyampaikan pengaduannya melalui Surat tertanggal 1 Oktober 2006.
Berdasarkan ketentuan 51
dengan adanya pengaduan dari masyarakat, dalam hal
ini warga RT. 06 RT.08 RW.08 Curug Mekar Kecamatan Bogor Barat (Lokasi
Pembangunan Rumah Ibadat A Quo) dan Forum PA serta Ormas Agama tertentu
se-Kota Bogor, Tergugat menerbitkan objek gugatan untuk membekukan IMB-RI
A Quo. Dengan demikian, objek gugatan tersebut adalah sah karena telah
diterbitkan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Kepala Dinas menolak dalil Para Penggugat yang menyatakan bahwa
PBM hanyalah bersifat pedoman bagi pembangunan rumah ibadat. Namun dalam
pelaksanaannya, tetaplah bagi Tergugat yang menjadi dasar hukum adalah Perda52
tersebut untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap semua bangunan yang
berada di wilayah Kota Bogor demi ketertiban umum masyarakat, dengan
51
Perda No. 7 tahun 2006 Pasal 15 Ayat (1).
52
No. 7 tahun 2006.
67
demikian, objek gugatan tersebut adalah sah karena telah diterbitkan sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku53
. Berdasarkan Perda tersebut, maka
tindakan untuk „membekukan‟ suatu Ijin Mendirikan Bangunan masih tetap valid
dan berlaku untuk kepentingan masyarakat di wilayah Kota Bogor. Oleh
karenanya, menurut Kepala Dinas dalil Para Penggugat yang menyatakan bahwa
Walikota tidak lagi berwenang untuk membekukan suatu Ijin Mendirikan
Bangunan adalah dalil yang keliru dan harus ditolak. Berdasarkan hal-hal tersebut
di atas Kepala Dinas mohon kepada Majelis Hakim yang mengadili perkara
tersebut agar kiranya berkenan menjatuhkan putusan, dalam eksepsi untuk
mengabulkan Eksepsi Tergugat untuk seluruhnya; menyatakan Gugatan Para
Penggugat tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard). Sedangkan dalam
penundaan, Kepala Dinas menolak permohonan penundaan pelaksanaan objek
sengketa Surat Tergugat No.503/208 – DTKP tertanggal 14 Pebruari 2008 perihal
Pembekuan Ijin. Dalam pokok perkara, primair, Kepala Dinas memohon kepada
Majelis Hakim untuk menolak Gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
menghukum Para Penggugat untuk membayar biaya perkara. Sedangkan di dalam
subsidair, Kepala Dinas memohon kepada Majelis Hakim untuk Putusan yang
seadil-adilnya (ex Aequo et Bono).
3.2.4. Replik-Duplik dan Pembuktian Para Pihak
Atas jawaban Kepala Dinas tersebut, Umat Beragama di Rumah Ibadat A
Quo mengajukan Replik pada tanggal 3 Juli 2008. Dan atas Replik, Kepala Dinas
mengajukan Duplik, 10 Juli 2008 yang selengkapnya termuat dalam Berita Acara
Persidangan. Dalam pembuktian, Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo
53
Perda No. 7 tahun 2006.
68
menguatkan dalil gugatan dengan bukti-bukti tertulis54
berupa foto copy yang
telah ditempeli materai cukup. Tiga orang saksi yang memberikan kesaksian
mereka pada tanggal 17 Juli 2008 dan tanggal 24 Juli 2008, dibawah sumpah
antara lain menerangkan bahwa mereka adalah anggota Umat Beragama di
Rumah Ibadat A Quo yang diberi tugas untuk mencari solusi karena penuhnya
Rumah Ibadat A Quo sehingga perlu didirikan Rumah Ibadat A Quo untuk
menampung sekitar 200 KK umat yang ada di Rumah Ibadat A Quo sehingga
perlu didirikan Rumah Ibadat A Quo. Inisiatif datangnya dari kedua belah pihak,
baik dari umat maupun pengurus Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo ada
kesepakatan, karena adanya kebutuhan, dimana apabila umat sedang melakukan
ibadat di Rumah Ibadat A Quo, Rumah Ibadat A Quo sangat padat sehingga
meluber, mengganggu lalu lintas. Disaksikan juga, bahwa saksi sendiri mencari
lokasi untuk mendirikan Rumah Ibadat A Quo, kemudian ada lokasi yang dapat
digunakan untuk tempat ibadat. Kapling di lokasi milik developer dibeli pada
tahun 2001 oleh pihak Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo. Setelah dibeli
maka ada sosialisasi pembangunan Rumah Ibadat A Quo dengan pemerintah dan
masyarakat. Sosialisasi dilakukan sejak tahun 2002 sampai dengan juli 2006 yaitu
keluarnya IMB. IMB keluar setelah 5 bulan. Pembangunan Rumah Ibadat A Quo
dilakukan setelah keluar Ijin, baru dibangun yaitu dengan melakukan peletakan
batu pertama pendirian Rumah Ibadat A Quo yang dihadiri oleh Pemerintah Kota
Bogor termasuk Walikota dan tokoh masyarakat. Tanggal 7 Januari 2007
dilakukan peletakan batu pertama, dan pemancangan tiang yang diborongkan
kepada Pemborong. Menurut saksi, ada tiga kali penghentian sementara
54
Diberi tanda P-1 sampai P-25. P adalah singkatan dari kata Penggugat (Umat Beragama di
Rumah Ibadat A Quo).
69
pembangunan. Pemborong hanya mengerjakan pondasi (sistem jet file). Yang
memborong pengerjaan pembangunan dilakukan oleh pihak Umat Beragama di
Rumah Ibadat A Quo sendiri dengan tidak melakukan tender, walaupun
sebelumya diadakan tender, karena ada anggota umat yang mampu melakukan
pekerjaan pembangunan. Setelah ada pembekuan IMB, maka pengerjaan
pembangunan Rumah Ibadat A Quo berhenti. Yang menerima surat pembekuan
IMB adalah Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo. Ada pertemuan sehari
sebelum peletakan batu pertama atas undangan pihak Umat Beragama di Rumah
Ibadat A Quo. Yang hadir dalam pertemuan adalah unsur-unsur pemerintah
setempat, Kepala Keamanan Desa, ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
(LPM), tokoh masyarakat di lingkungan lain dari lingkungan di luar lingkungan di
mana Rumah Ibadat A Quo didirikan. Tidak ada penolakan dari yang hadir dalam
pertemuan. Dengan adanya pembangunan Rumah Ibadat A Quo situasi
masyarakat biasa-biasa saja. Ada pemberitaan di media setempat selama tiga hari
berturut-turut tentang pendirian Rumah Ibadat A Quo yang tidak punya Ijin. Berita
tersebut tidak ditanggapi oleh pihak Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo
karena tidak ada konfirmasi. Tidak ada surat keberatan dari masyarakat mengenai
pembangunan Rumah Ibadat A Quo. Pembangunan Rumah Ibadat A Quo tidak
mengganggu lalu lintas dan menimbulkan kebisingan. Dengan adanya surat
pembekuan IMB menimbulkan kerugian materiil dan immaterial. Target awal
penyelesaian pembangunan Rumah Ibadat A Quo adalah akhir tahun 2007,
kemudian rencana selanjutnya adalah september 2009. Sudah 15 % penyelesaian
pembangunan Rumah Ibadat A Quo . Sosialisasi resminya telah dilakukan 3 kali,
yang hadir pada bulan Maret 2013 sebanyak 170 orang. Ada juga Pemuda Curug
Mekar. Pengajuan pembuatan IMB sejak bulan Maret 2006. IMB keluar bulan Juli
70
2006. Sebelum keluarnya IMB ada pertemuan di kantor Kesbang yang dihadiri
oleh pemerintah yang menyepakati keluarnya IMB. Ada 70 orang yang hadir
dalam sosialisasi kedua dengan 1 orang yang menyatakan keberatan. Tidak ada
hambatan selama proses pembuatan IMB. Setelah keluar IMB tidak ada
penolakan atau demonstrasi. Disaksikan bahwa saksi tidak tahu dalam Perda
Pemkot punya wewenang untuk membekukan IMB. Di lokasi pembangunan
dipasang papan plang IMB. Pada saat sosialisasi ada pernyataan tidak keberatan
dari warga. Lokasi pembangunan Rumah Ibadat A Quo di Perumahan Taman
Yasmin di RW.08 Kelurahan Curug Mekar. Lokasi tanah bukan diperuntukkan
untuk perumahan tetapi masih wilayah perumahan. Lokasi tanah pembangunan
Rumah Ibadat A Quo kemudian diterangkan batas-batasnya oleh saksi. Tidak ada
keberatan dari Pihak yang berbatasan. Sesuai satu bukti di atas, warga tidak
keberatan pembangunan Rumah Ibadat A Quo. Keterangan saksi selanjutnya,
yang isi selengkapnya sebagaimana tercantum dalam Berita Acara Persidangan
tanggal 17 Juli 2008 dan guna menyingkat uraian Putusan tersebut, dianggap telah
termasuk dalam Putusan.
Sementara itu, disaksikan pula keterangan Ketua LPM Kelurahan setempat
bahwa saat sosialisasi hadir 70 orang warga. Dari 70 orang tersebut 69 orang tidak
keberatan dan 1 orang keberatan terhadap pendirian Rumah Ibadat A Quo yaitu
Ketua DKM. Ketua DKM menyatakan keberatan atas pendirian Rumah Ibadat A
Quo, akan tetapi apabila pendiriannya telah sesuai dengan prosedur maka tidak
keberatan. Lokasi pembangunan Rumah Ibadat A Quo juga disaksikan dan
katanya di tempat sosialisasi di aula Kelurahan Curug Mekar, diundang Lurah
Curug Mekar. Disaksikan pertemuan di Kesbang Kota yang bersangkutan
sebelum peletakan batu pertama, dihadiri aparat dan Walikota diwakili. Ada
71
komitmen dari pihak Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo bahwa setelah
berdiri maka Rumah Ibadat yang sama harus ditutup. Ada dari Forum PA yang
mendemo dimana pesertanya di luar masyarakat Curug Mekar dan sebagian warga
Curug Mekar. Dua bulan jarak waktu antara demo, keluar pembekuan IMB. Pada
tanggal 19 Agustus 2006 dilakukan peletakan batu pertama. Tanggal 18 Agustus
2006, di Kecamatan ada acara sosialisasi pembangunan Rumah Ibadat A Quo
yang dihadiri Ketua dan Sekretaris Umat Beragama yang serumpun dengan Umat
Beragama di Rumah Ibadat A Quo Kota setempat, PA dan warga masyarakat
Curug Mekar. Tidak ada yang keberatan dalam sosialisasi tersebut dan ada 13
poin kesepakatan. Diantaranya, kesepakatan untuk membina kerukunan umat
beragama di lingkungan masyarakat Curug Mekar, tidak mempengaruhi
keyakinan orang lain, apabila Rumah Ibadat A Quo sudah berdiri maka Rumah
Ibadat yang sama atau tempat-tempat yang dijadikan tempat ibadat harus ditutup.
Selain Rumah Ibadat A Quo yang didemo adalah Pihak di batas-batas Rumah
Ibadat A Quo, tetapi yang dibekukan ijinnya hanya Rumah Ibadat A Quo. Saksi
heran dengan tidak adanya pembicaraan sebelum keluarnya pembekuan IMB.
Yang diundang saat sosialisasi adalah para ketua lingkungan dan tokoh
masyarakat Curug Mekar. Ada 3 sampai 4 kali demo. Yang menegur untuk
menghentikan pekerjaan pembangunan adalah pihak kelurahan. Hadir dalam
pertemuan Kesbang, Pemerintah Kota yang diwakili Asisten Daerah I Kanwil
Depag. Benar sesuai bukti adalah tanda tangan peserta sosialisasi. Setelah
peletakan batu pertama pembangunan Rumah Ibadat A Quo baru 6 bulan
kemudian ada demo. Yang melakukan demo dari kader-kader partai politik
tertentu. Sesuai bukti, ada warga yang menolak pendirian Rumah Ibadat A Quo.
Dari warga yang menolak, Saksi mengenal. Saksi hadir pada pertemuan di
72
Kesbang yang dihadiri Lurah, Kesbang. Warga tanda tangan untuk mengetahui
adanya sosialisasi bukan menyetujui pendirian Rumah Ibadat A Quo. LPM tidak,
bereaksi dengan adanya surat Pembekuan Ijin. Saksi ikut tanda tangan saat
sosialisasi. Ada kader Parol tertentu yang demo. Keberatan warga tidak diajukan
kepada LPM. Keberatan warga disampaikan kepada Lurah. Saksi belum pernah
menerima tembusan surat keberatan warga. Saksi tinggal di lingkungan setempat
sejak tahun 1991. Jarak antara rumah Saksi dengan Rumah Ibadat A Quo adalah
800 meter, berbatasan langsung dengan Rumah Ibadat A Quo di Jalan yang
diberikan pemerintah. Jalan tersebut adalah jalan raya propinsi. Saksi melarang
kepada warga untuk menjadi koordinator pembangunan Rumah Ibadat A Quo
tetapi untuk menjadi pekerja (kuli) dipersilahkan, warga yang bekerja lingkungan
Kampung Cijahe. Ada Ketua Keamanan, dulunya Ketua lingkungan. Barangkali
ada keterkaitan dengan pemilihan Walikota Bogor. Warga yang demo adalah
kader dari partai politik. Keterangan Saksi selanjutnya, yang isi selengkapnya
sebagaimana tercantum dalam berita Acara Persidangan tanggal 24 Juli 2008 dan
guna menyingkat uraian putusan tersebut, dianggap telah termasuk dalam putusan.
Disaksikan juga adanya sosialisasi pembangunan Rumah Ibadat di
lingkungan, yang mengundang para ketua lingkungan. Khusus RT tersangkut
diundang seluruh warga untuk mengikuti sosialisasi. Saksi tahu ada peletakan
batu pertama pendirian Rumah Ibadat A Quo tidak menyaksikan langsung. Saksi
tahu adanya surat pembekuan Ijin. Bukti memerlihatkan tanda tangan Saksi. Saat
sosialisasi tanggal 16 Januari 2006 ada tanda tangan warga yang menyatakan
tidak keberatan pembangunan Rumah Ibadat A Quo. Maksud tanda tangan Saksi
dalam surat keberatan adalah untuk membenarkan tanda tangan dan foto copy
KTP warga setempat. Saksi tahu adanya pengumpulan tanda tangan warga yang
73
keberatan atas pendirian Rumah Ibadat A Quo. Yang mengumpulkan tanda tangan
berganti-ganti mengunjungi rumah warga satu persatu sehingga menimbulkan
keresahan. Ada tanda tangan surat tanggal 14 Pebruari 2006 setelah ada yang
datang kerumah Saksi jam 9 malam untuk minta tanda tangan, tidak membaca
surat yang ditandatangani, surat berisi tanda tangan keesokan harinya tanpa
konfirmasi lagi terhadap tanda tangan tersebut. Diketahui ada surat pembekuan
Ijin pendirian Rumah Ibadat A Quo esok hari setelah mengetahui isi surat
keberatan warga. Saksi tinggal di lingkungan itu Kelurahan Curug Mekar, Rumah
dibelakang Rumah Ibadat A Quo tidak ada suara bising dan komplain dari warga
yang ditimbulkan dari pembangunan. Saksi tinggal di Curug Mekar sejak tahun
1995. Banyak warga baru yang menetap di daerah Saksi. Keterangan Saksi
selanjutnya, yang isi selengkapnya sebagaimana tercantum dalam Berita
Persidangan tanggal 24 Juli 2008 dan guna menyingkat uraian Putusan tersebut,
dianggap telah termasuk dalam Putusan.
Di pihak yang lain, Kepala Dinas menguatkan dalil sangkalannya
mengajukan alat bukti tertulis berupa foto copy surat-surat55
yang telah ditempeli
materai cukup. Tajuk suatu koran.
Untuk menguatkan dalil-dalil Jawabannya, selain bukti surat, Kepala
Dinas juga telah mengajukan 2 (dua) orang Saksi pada tanggal 31 Juli 2008.
Memberikan keterangan dibawah sumpah antara lain bahwa ada anggota Dewan
melakukan sidak 1 bulan setelah Saksi mengadukan penolakan warga ke DPRD
Bogor. Setelah pernyataan lisan Anggota Dewan yang menetapkan status quo
maka kegiatan pembangunan Rumah Ibadat A Quo berhenti, tetapi kemudian
bulan April ada kegiatan pembangunan lagi. Setelah ada kegiatan pembangunan
55
Diberi tanda T-1 s/d T-15. T adalah singkatan Tergugat (Kepala Dinas).
74
lagi maka Saksi menulis surat ke Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo untuk
menghentikan kegiatan. Setelah ada surat dari Saksi kegiatan pembangunan
berhenti, tetapi kemudian dilanjutkan lagi kegiatan pembangunan. Sebelum ada
pendirian Rumah Ibadat A Quo, tidak ada rumah ibadat disekitar rumah warga.
Ada tempat peribadatan di suatu Ruko kerena sudah ada persetujuan dari warga
sekitar. Jarak dari rumah Saksi ke Ruko tempat peribadatan sekitar 1 kilometer.
RT.08 tidak ada Rumah Ibadat A Quo. Saksi membuat surat penolakan dan
mengadukan ke DPRD Bogor karena IMB tersebut tidak fair, maka Saksi datang
ke DPRD untuk mempertanyakan mengapa IMB bisa keluar sedangkan ada warga
yang keberatan. Saksi tidak menandatangani surat-surat yang disodorkan panitia
pembangunan rumah ibadat. Atas saran Anggota Dewan saksi mengajukan surat
penolakan warga ke Dinas Tata Kota Bogor, dan pegawai Dinas Tata Kota bogor
mengatakan bahwa surat penolakan warga harus dilegalisasi oleh RT., RW.,
Kelurahan dan Kecamatan setempat. Kemudian Saksi melegalisasinya diserahkan
ke Dinas Tata Kota Bogor. Yang menandatangani surat pengantar penolakan
warga adalah perwakilan warga Curug Mekar. Saksi tidak diberitahu mengenai
upaya pembatalan IMB melalui pengadilan. Saksi tidak datang ke rumah-rumah
warga meminta tanda tangan. Saksi menjelaskan bahwa tanda tangan dan foto
copy KTP warga untuk diserahkan ke Dinas Tata Kota dan DPRD Bogor. Lokasi
Rumah Ibadat A Quo di luar komplek Perumahan tetapi masih di wilayah RT.
Saksi. Keresahan warga karena tidak nyaman merasa terganggu karena suara dan
mayoritas warga beragama tidak sama dengan umat yang mendirikan rumah
ibadat yang pendiriannya ditentang, serta resah berdasarkan akidah Saksi.
Keresahan akidah menurut Saksi adalah sesuai kitab suci agama Saksi yaitu
bahwa Saksi tidak boleh ikut menyetujui melecehkan ayat-ayat suci kitab sucinya
75
Saksi. Pengumpulan tanda tangan dan foto copy KTP warga atas inisiatif Saksi
sendiri. Warga membuat tanda tangan penolakan pendirian Rumah Ibadat A Quo
sebelum acara sosialisasi tanggal 15 Januari 2006. Tidak ada pertemuan untuk
mengumpulkan tanda tangan warga. Saksi tidak tahu jumlah seluruh warga Curug
Mekar. Situasi cukup kondusif di RT. 08 setelah keluar IMB. Saksi tidak
diberitahu oleh developer mengenai lokasi yang diperuntukan tempat ibadat. Saksi
pernah dihubungi Keluarga Umat beragama tertentu yaitu (KMB). Tembok
pembatasan 2,5 meter di belakang Rumah Ibadat A Quo sudah ada sebelum
pendirian Rumah Ibadat A Quo. Sesuai tata Wilayah Kelurahan maka lokasi
Rumah Ibadat A Quo berada di RT Saksi. Keterangan Saksi selanjutnya, yang isi
selengkapnya sebagaimana tercantum dalam Berita Acara Persidangan tanggal 31
Juli 2008 dan guna menyingkat uraian Putusan tersebut, dianggap telah terrnasuk
dalam Putusan.
Saksi kedua memberikan keterangan di bawah sumpah antara lain bahwa
tidak setuju pendirian Rumah Ibadat A Quo sekitar 50%. Dalam silaturahmi warga
yang menyampaikan kepada Saksi tentang penolakan terhadap pembangunan
Rumah Ibadat A Quo. Adanya surat pernyataan penolakan puas dengan
penghentian pembangunan Rumah Ibadat A Quo. Saksi merasa terganggu
kenyamanan beraktifitas karena adanya Rumah Ibadat A Quo di dalam komunitas
agama yang berbeda dengan umat yang beribadat di Rumah Ibadat A Quo. Tidak
tahu dan tidak diundang mengenai sosialisasi pembangunan Rumah Ibadat A Quo.
Saksi menyerahkan tanda tangan warga yang tidak setuju pendirian Rumah Ibadat
A Quo kepada yang merupakan sesepuh yang dipercaya oleh Saksi, rumah saksi
dengan rumah yang bersangkutan sekitar 150 meter. Saksi sering bertemu, tidak
ikut ke DPRD dan Dinas Tata Kota Bogor. Saksi tidak tahu peraturan perundang-
76
undangan pembekuan IMB. Tidak ada paksaan untuk menyerahkan tanda tangan
warga yang menolak pendirian Rumah Ibadat A Quo. Keterangan Saksi
selanjutnya, yang isi selengkapnya sebagaimana tercantum dalam Berita Acara
Persidangan tanggal 31 Juli 2008 dan guna menyingkat uraian Putusan tersebut,
dianggap telah termasuk dalam Putusan.
3.2.5. Kesimpulan Pihak Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo
Selanjutnya Para Penggugat telah mengajukan Kesimpulan tertanggal 21
Agustus 2008 dan Kepala Dinas telah mengajukan Kesimpulan tertanggal 11
Agustus 2008, yang selengkapnya adalah sebagaimana termuat dalam Berita
Acara Persidangan tertanggal 21 Agustus 2008. Untuk menyingkat uraian di
dalam Putusan tersebut, maka segala sesuatu yang terjadi di persidangan dan telah
termuat dalam Berita Acara Pemeriksaan Persidangan adalah merupakan bagian
tak terpisahkan dari Putusan tersebut.
3.2.6. Eksepsi Kepala Dinas & Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo
Terhadap gugatan Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, Kepala Dinas
dalam Jawabannya tertanggal 28 Juni 2008, telah mengajukan Eksepsi-eksepsi
yang pada pokoknya adalah bahwa surat gugatan ditandatangani dan diajukan
oleh pihak yang tidak mempunyai wewenang untuk bertindak sebagai Kuasa Para
Penggugat (Legitime Persona In Standi Judicio). Pihak yang mengajukan gugatan
adalah tidak jelas (Obscur Libel). Tidak ada kualifikasi perbuatan melanggar
hukum yang dilakukan Tergugat (Onrechtmatige Overheids Daad). Namun,
terhadap Eksepsi-eksepsi itu Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo telah
membantah dalam Repliknya tertanggal 3 Juli 2008.
77
3.2.7. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim
Baik terhadap Eksepsi-eksepsi Kepala Dinas maupun bantahan dari Umat
Beragama di Rumah Ibadat A Quo, Majelis Hakim PTUN yang memeriksa dan
mengadili sengketa itu memberikan dengan pertimbangan hukum berikut di
bawah ini.
Pertama, menurut Majelis Hakim, mengenai eksepsi Legitime Persona In
Standi Judicio dalam Acara Sidang Pemeriksaan Persiapan tanggal 22 Mei 2008,
Majelis Hakim telah menerima Surat Kuasa Khusus tercantum Umat Beragama di
Rumah Ibadat A Quo sebagai Pemberi Kuasa56
, memberikan Kuasa kepada
Penerima Kuasa, sejumlah Advokat.
Dalam Surat Kuasa Khusus tersebut menjelaskan bahwa, Penerima Kuasa
bertindak untuk dan atas nama Prinsipal, membela kepentingan hukum Prinsipal
dalam melakukan gugatan terhadap Kepala Dinas sehubungan dengan
diterbitkannya Surat Pembekuan Ijin. Penerima Kuasa57
, adalah sah untuk
bertindak mewakili kepentingan hukum Prinsipal untuk beracara di PTUN
Bandung, demikian Majelis Hakim.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka menurut Majelis
Hakim Surat Gugatan dalam Sengketa TUN dengan Register Perkara, telah
ditandatangani dan diajukan oleh pihak yang mempunyai wewenang untuk
bertindak sebagai mandataris dalam hal ini mewakili kepentingan hukum
Prinsipal.
56
Di sini Penulis singkat Prinsipal sesuai prinsip dalam Kontrak Sebagai Nama Ilmu Hukum, yaitu
Kaedah dan Prinsip tentang Keagenan. Lihat Buku Jeferson Kameo, SH., LL.M., Ph.D, Kontrak
Sebagai Nama Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Bagian
tersebut masih dalam proses perampungan, ketika tulisan ini disusun oleh Penulis.
57
Berdasarkan UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat.
78
Menurut Majelis Hakim, tentang eksepsi mengenai Obscuur Libel, dalam
Sidang Pemeriksaan Persiapan para otoritas itu telah menerima dan mempelajari
Surat Gugatan tertanggal 7 Mei 2008 dan telah diperbaiki serta diserahkan kepada
Majelis Hakim pada tanggal 29 Mei 2008, tertera sejumlah nama tertentu yaitu
Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo atau Prinsipal. Kedudukan Umat
Beragama di Rumah Ibadat A Quo sebagai subyek hukum dalam sengketa TUN
diperoleh berdasarkan ketentuan Suatu Persekutuan Agama di Indonesia yang
menyatakan bahwa: “Ketua, Sekretaris dan Bendahara dari Umat Beragama itu
atau Badan Perkara dari umat beragama itu bertindak sebagai Wakil pengurus
Umat Beragama dalam masalah-masalah hukum baik di dalam maupun di luar
Pengadilan58
. Sedangkan, sesuai Keputusan Persidangan Pengurus Umat
Beragama di Pusat Rumah Ibadat A Quo 30 Maret 200859
adalah Ketua I,
Sekretaris, dan Bendahara.
Menurut Majelis Hakim, berdasarkan ketentuan Badan Pekerja
sebagaimana dimaksud di atas dan Keputusan Persidangan Para Umat Beragama
di Rumah Ibadat A Quo berhak untuk mewakili kepentingan hukum untuk
beracara di PTUN Bandung. Selanjutnya Prinsipal berdasarkan Surat Kuasa
Khusus tertanggal 6 Mei 2008 telah memberikan Kuasa di atas yang menurut
Majelis Hakim, pihak yang mengajukan gugatan dalam sengketa TUN adalah
telah jelas Subjek Hukumnya.
Mengenai eksepsi Onrechtmatige Overheids Daad, Majelis Hakim
berpendapat hukum bahwa terhadap Eksepsi mengenai tidak ada kualifikasi
perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh Kepala Dinas, Majelis Hakim
58
Bukti Surat P-3.
59
Bukti Surat P-4.
79
berpendapat bahwa, Eksepsi tersebut sudah mengenai materi sengketa. Dan oleh
karenanya, Eksepsi tersebut akan dipertimbangkan dalam Pokok Sengketa.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, Majelis Hakim berpendapat,
Eksepsi-eksepsi yang diajukan oleh Kepala Dinas tidak beralasan hukum dan
dinyatakan ditolak.
Sedangkan mengenai pokok perkara, Majelis Hakim memberikan
pertimbangan hukum dalam eksepsi yang diuraikan di atas juga merupakan suatu
kesatuan yang tidak terpisahkan dari pertimbangan dalam pokok sengketa
tersebut. Obyek sengketa Pembekuan Ijin, intinya membekukan Keputusan
Walikota Bogor Nomor: 645.8-372 tahun 2006 tentang Ijin Mendirikan Rumah
Ibadat A Quo tanggal 13 Juli 2006.
Mengutip kembali argumen Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo,
Majelis Hakim memaparkan bahwa, dengan diterbitkannya obyek sengketa
tersebut oleh Kepala Dinas maka pembangunan tempat ibadat A Quo yang
dibutuhkan untuk menjalankan ibadat Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo
menjadi terhenti sama sekali sehingga kepentingan Prinsipal sangat dirugikan,
padahal prinsipal telah melakukan banyak persiapan untuk mengadakan
pembangunan Rumah Ibadat A Quo. Selanjutnya, mengutip Prinsipal, obyek
sengketa tersebut penerbitannya bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku60
. Prinsipal juga mendalilkan bahwa Kepala Dinas dalam
menerbitkan obyek sengketa a quo telah melanggar AAUPB yaitu asas
kecermatan formal; asas fairplay; asas kepercayaan atau asas harapan-harapan
yang telah ditimbulkan; asas kecermatan materiil. Berdasarkan hal tersebut
60
UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta PBM.
80
Prinsipal mohon agar Pengadilan menunda Pelaksanaan Obyek Sengketa A Quo
dan menyatakan batal atau tidak sah obyek sengketa A Quo. Gugatan Prinsipal
telah dibantah oleh Kepala Dinas dalam Jawabannya tertanggal 26 Juni 2008.
Untuk menguatkan dalil gugatannya Para Penggugat telah mengajukan bukti61
,
demikian kata Majelis Hakim.
Majelis Hakim dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa
TUN ini berpedoman pada ketentuan62
yang menyebutkan Hakim menentukan
apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan
untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti
berdasarkan keyakinan Hakim.
Atas dalil-dalil gugatan Prinsipal dan permohonan Prinsipal agar
Pengadilan menunda pelaksanaan Pembekuan Ijin dan dalam pokok sengketa
menyatakan batal atau tidak sah Pembekuan Ijin itu serta dalil bantahan Kepala
Dinas, Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa Permohonan Penundaan
Pelaksanaan obyek sengketa A Quo tersebut tidak memenuhi kriteria63
terdapat
keadaan yang sangat mendesak sehingga permohonan penundaan tersebut tidak
dapat dikabulkan.
Terhadap dalil gugatan Prinsipal yang menyebutkan bahwa obyek
sengketa A Quo bertentangan dengan Perundang-undangan yang berlaku Majelis
Hakim mempertimbangkan bahwa Latar belakang diterbitkannya Pembekuan Ijin
adalah adanya Surat Pengaduan dari Forum PA dan Ormas Keagamaan se-Kota
61
Lihat uraian di atas., hlm., 67-68, supra.
62
Pasal 107 UU No.5 tahun 1986. 63
Pasal 67 ayat (4) huruf a UU No.5 tahun 1986.
81
Bogor Nomor Istimewa tanggal 1 Oktober 2006 Permohonan Pembatalan
Pembangunan Rumah Ibadat A Quo di Kecamatan Bogor Barat yang diterima
Kepala Dinas 8 Pebruari 2008 yang berisi alasan bahwa64
Ijin yang telah
diterbitkan dapat dibekukan apabila ternyata terdapat pengaduan pihak ketiga,
atau kesalahan teknis dalam mendirikan bangunan gedung. Berdasarkan
Rekomendasi No. 601/389 – Pem 15 Pebruari 2006 pada poin dua belas apabila
permohonan tidak memenuhi segala ketentuan yang telah ditetapkan dan apabila
dalam pelaksanaan pembangunan dan kegiatan Umat Beragama di Rumah Ibadat
A Quo seluas 1.720 , menimbulkan keresahan masyarakat, maka rekomendasi
itu batal dengan sendirinya atau tidak berlaku lagi, segala resiko dari hal tersebut
menjadi tanggung jawab pemohon. Berdasarkan PBM, yang harus menjadi acuan
dalam pendirian Rumah Ibadat yang direalisasikan melalui surat keberatan warga
terdekat terhadap Pembangunan Rumah Ibadat A Quo. Berdasarkan bukti yang
telah dicermati Majelis Hakim dengan seksama65
, ijin yang telah ditebitkan dapat
dibekukan apabila ternyata terdapat pengaduan pihak ketiga, atau pelanggaran,
atau kesalahan teknis dalam mendirikan bangunan gedung66
. Keputusan
Pembekuan Ijin diberitahukan secara tertulis kepada pemegang ijin dengan
disertai alasan yang jelas dan wajar, setelah pemegang Ijin diberikan kesempatan
untuk memberikan penjelasan67
. Ketentuan yang berkenaan dengan tata cara dan
64
Pasal 15 Ayat (1) Peraturan Daerah No. 7 tahun 2006 tentang Bangunan Gedung.
65
Pasal 15 Peraturan Daerah No.7 tahun 2006 tentang Bangunan Gedung tersebut terdiri dari 3
(tiga) ayat.
66
Ayat 1.
67
Ayat 2.
82
prosedur pengajuan keberatan dan/atau pengaduan harus memperhatikan Asas
Keadilan, Kepastian Hukum, Keterbukaan dan Perlindungan Hukum68
.
Menurut Majelis Hakim, dalam obyek sengketa A Quo Kepala Dinas
hanya mencantumkan alasan69
yang berdasarkan fakta hukum yang terungkap di
persidangan ternyata Prinsipal tidak diberikan kesempatan memberikan
penjelasan sebelum terbitnya obyek sengketa A Quo. Setelah Majelis Hakim
mencermati lebih lanjut ketentuan itu70
Majelis Hakim menemukan kejanggalan
Pembekuan Ijin yaitu mengenai surat Pengaduan dari Forum PA dan Ormas
Keagamaan tertentu se-Kota Bogor di atas71
yang diterima Tergugat 8 Pebruari
2008 (dalam kurun waktu 1 tahun 4 bulan). Kemudian tergugat menerbitkan
obyek sengketa A Quo 14 Pebruari 2008.
Berdasarkan bukti di atas Majelis Hakim memperoleh fakta bahwa sebelum
diterbitkannya Obyek sengketa A Quo memang ada pernyataan keberatan yang
diajukan Forum PA tertentu dan Ormas-ormas Keagamaan tertentu se-Bogor
tentang Pembubaran aliran agama tertentu dan Penolakan Pembangunan Rumah
Ibadat A Quo72
. Permohonan Audiensi dari Forum Umat Beragama tertentu Kota
Bogor73
, Pernyataan Penolakan dari warga74
, setelah Majelis Hakim mencermati
surat-surat tersebut tidak dijadikan alasan untuk membekukan ijin (obyek
68
Ayat 3.
69
Pasal 15 Ayat (1) Perda No.7 tahun 2006. Pasal 15 Ayat (2) dan (3) mengatur lebih lanjut
mengenai Tata Cara dan Prosedur Pengajuan Keberatan dan atau Pengaduan.
70
Pasal 15 Ayat (1) Perda No.7 tahun 2006 dihubungkan dengan ketentuan Pasal 15 Ayat (3)
Perda No.7 tahun 2006.
71
Bukti T-2.
72
Bukti T-3.
73
Bukti T-4.
74
Bukti T-6 sampai dengan bukti T-10.
83
sengketa). Menurut Majelis Hakim terungkap pula dari bukti, fakta hukum,
Prinsipal telah melakukan upaya untuk melengkapi persyaratan pengajuan
permohonan IMB RI A Quo dan persyaratan tersebut telah dapat dipenuhi oleh
Prinsipal, dengan bukti diterbitkan IMB. Ternyata kemudian dalam tahap
pembangunan Rumah Ibadat A Quo yang pada pokoknya karena ada keresahan
masyarakat, ada penolakan atas pembangunan Rumah Ibadat A Quo tersebut
akhirnya diterbitkanlah oleh Tergugat Pembekuan Ijin (obyek sengketa).
Berdasarkan uraian pertimbangan di atas Majelis Hakim berpendapat bahwa
obyek sengketa A Quo penerbitannya bertentangan dengan ketentuan75
, dengan
pertimbangan bahwa Prinsipal tidak pernah didengar keterangannya atau diberi
Kesempatan untuk memberikan penjelasan sebelum diterbitkannya objek sengketa
A Quo (Asas Audi et Alteram partem)76
.
Selanjutnya Majelis Hakim berpendapat bahwa dalam menyikapi Surat
Pengaduan dari Forum PA dan Ormas Agama tertentu se-Kota Bogor di atas
Tergugat seharusnya memperhatikan ketentuan PBM77
yaitu :
Perselisihan akibat pendirian rumah ibadat diselesaikan
secara musyawarah oleh masyarakat setempat;78
Dalam hal
musyawarah sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak dicapai,
penyelesaian perselisihan dilakukan oleh Bupati/Walikota
dibantu Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten /Kota
melalui musyawarah yang dilakukan secara adil dan tidak
75
Pasal 15 Ayat (2) Perda No.7 tahun 2006 tentang Bangunan. 76 Vide Pasal 15 Ayat (2) Perda No.7 tahun 2006.
77 Pasal 21.
78
Ayat 1.
84
memihak dengan mempertimbangkan saran Forum Kerukunan
Umat Beragama Kabupaten/Kota;79
Dalam hal penyelesaian
perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dicapai,
penyelesaian perselisihan dilakukan melalui Pengadilan
setempat80
.
Berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan berupa
keterangan Para Pihak, Bukti Surat dan Keterangan Saksi ketentuan81
tersebut
belum pernah dilaksanakan, walaupun pernah dilaksanakan Audiensi82
, tetapi
tidak mengikutsertakan Prinsipal. Berdasarkan83
para penggugat pernah minta
bantuan Forum Komunikasi Umat Beragama Kota Bogor untuk menyelesaikan
permasalahan Pembekuan IMB-RI A Quo, namun permohonan diajukan setelah
terbit objek sengketa A Quo dan diajukan sendiri oleh Prinsipal tanpa melalui
musyawarah untuk menyelesaikan perselisihan yang dilakukan oleh Walikota
dibantu Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota.
Menurut Majelis Hakim, Kepala Dinas dalam penerbitan objek sengketa A
Quo mengacu kepada Peraturan84
, maka Kepala Dinas harus memperhatikan dan
mempertimbangkan secara komprehensif mengenai prosedur dan tata cara
penyelesaian perselisihan akibat pendirian rumah ibadat dan tata cara dan
prosedur Pembekuan Ijin, demi tercapainya kerukunan umat beragama
sebagaimana di amanatkan oleh Ideologi Negara dan Konstitusi. Berdasarkan
79
Ayat 2.
80
Ayat 3.
81
Pasal 21.
82
Lihat bukti T-4.
83
Bukti P-23.
84
Peraturan Daerah Kota Bogor No.7 tahun 2006 dan PBM No.9 tahun 2006/No.8 tahun 2006.
85
uraian pertimbangan di atas dalil gugatan Prinsipal yang menyebutkan tindakan
Kepala Dinas dalam menerbitkan objek sengketa A Quo bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku terbukti kebenarannya
oleh karena itu gugatan Prinsipal haruslah dikabulkan dan Pembekuan Ijin harus
dinyatakan batal.
Kepala Dinas dihukum membayar biaya perkara yang jumlahnya
ditentukan dalam Amar Putusan tersebut.85
Bukti-bukti yang tidak relevan tidak
dipertimbangkan namun tetap dimasukkan ke dalam berkas perkara dalam
putusan tersebut.
Majelis Hakim merujuk Undang-Undang86
sebagai dasar hukum. Atas
dasar itu, Majelis Hakim yang memeriksa perkara itu mengadili dengan amar
putusan: dalam eksepsi Majelis Hakim menyatakan menolak eksepsi Kepala
Dinas. Dalam Penundaan menyatakan menolak Permohonan penundaan
Pembekuan Ijin A Quo. Dalam Pokok Sengketa Mengabulkan gugatan Prinsipal
untuk seluruhnya. Menyatakan batal Pembekuan Ijin. Memerintahan kepada
Kepala Dinas untuk mencabut Pembekuan Ijin. Menghukum Pihak Kepala Dinas
untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam perkara itu sebesar lima puluh
sembilan ribu rupiah. Amar Putusan diputuskan dalam rapat permusyawaratan
Majelis Hakim PTUN Bandung pada Selasa 2 September 2008.
Kepala Dinas melakukan Banding, dan pengajuan Peninjauan Kembali
(PK). Mahkamah Agung memeriksa dan memutus Perkara TUN
mempertimbangkan bahwa perihal obyek gugatan adalah sama dengan apa yang
85
Berdasarkan Pasal 110 jo. Pasal 112 UU No. 5 tahun 1986.
86
UU No. 5 tahun 1986 tentang PTUN sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 tahun 2004
tentang Perubahan Atas UU No. 5 tahun 1989 tentang PTUN dan Peraturan Daerah Kota Bogor
No. 7 tahun 2006 tentang Bangunan dan Peraturan lain yang berkaitan dengan sengketa.
86
telah dikemukakan dalam uraian kasus di atas. Sedangkan pertimbangan
mengenai kewenangan mengadili juga pada prinsipnya sama dengan apa yang
telah Penulis kemukakan di atas87
, ketika hal yang sama dikemukakan di tingkat
PTUN. Di tingkat PK, kembali dinyatakan hal yang sama antara lain bahwa obyek
gugatan menyebabkan Pembangunan Rumah Ibadat yang dibutuhkan oleh
Prinsipal untuk menjalankan ibadat menurut keyakinan mereka menjadi terhenti
sama sekali, sehingga kepentingan mereka sangat dirugikan.
Atas dasar itu, Mahkamah Agung memutus dengan amar PK yaitu,
Mahkamah Agung yang telah mempertimbangkan dan memperhatikan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan dengan perkara tersebut
sebagaimana telah diuraikan di atas menyatakan permohonan PK dari Kepala
Dinas tidak dapat diterima, menghukum Kepala Dinas membayar biaya perkara
dalam pemeriksaaan peninjauan kembali. Putusan tersebut diputuskan dalam rapat
permusyawaratan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada Kamis 9 Desember
2010.
3.3. Analisis Persamaan Perlakuan di Depan Hukum
Dalam Bab Tinjauan Kepustakaan, analisis atau break down atas unsur-
unsur yang ada di dalam satuan amatan sebagaimana telah secara rinci
dikemukakan di atas dilakukan menurut struktur kontrak. Hal itu dilakukan
demikian mengingat, seperti telah terlebih dahulu dikemukakan di dalam Bab
Studi Pustaka, pada hakikatnya, asas perlakuan yang sama di hadapan hukum itu
adalah suatu kontrak. Oleh sebab itu, sebagaimana analisis kontraktual pada
umumnya, maka berikut ini analisis dimulai dengan pertanyaan pihak-pihak
87
Lihat hlm., 48 sampai dengan hlm., 49, Bab ini, supra.
87
dalam kontrak (the parties to contract), atau pihak-pihak (subyek hukum) yang
mengemban hak-hak dan kewajiban sebagaimana memanifestasi dalam PBM,
maupun Putusan-putusan di atas.
Pihak yang pertama88
, pengemban kewajiban kontraktual untuk memastikan
adanya perlakuan yang sama di depan hukum adalah Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berpuncak kepada Presiden sebagai Kepala Negara. Hal ini dapat
dilihat dalam uraian atas PBM89
, dalam halaman 37, di sana dikatakan bahwa:
“tanggung jawab dan tugas (contractual), karena dirumuskan di dalam peraturan
perundang-udangan, sebagaimana dikemukakan di atas adalah merupakan
tanggung jawab Negara Republik Indonesia yang dikepalai Presiden”. Sedangkan
kedua, pihak-pihak lainnya yang juga mengemban tugas kontraktual untuk
memastikan ada persamaan perlakuan di depan hukum dalam PBM, secara tidak
langsung telah diuraikan cukup detail di atas90
.
Disebutkannya subyek hukum Kepala Negara di atas memiliki arti penting,
terutama apabila analisis diperluas terhadap pihak yang harus melaksanakan
Putusan Mahkamah Agung dalam kasus Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo.
Maksudnya, dalam judicial review di Indonesia, yaitu upaya hukum melalui
PTUN, apabila Kepala Dinas di Bogor menolak untuk melaksanakan putusan
PTUN, sebab pada dasarnya dalam sistem hukum acara judicial review Indonesia
melalui PTUN, Pejabat TUN lah yang mempunyai kewenangan untuk
88
Adapun pihak-pihak lainnya dalam PBM yaitu Kepala Daerah yang meliputi Gubenur, Bupati
atau Walikota, OK, PA, FKUB dan Dewan Penasehat FKUB, Panitia Pembangunan Rumah
Ibadat, Lembaga pengadilan. Sementara pihak-pihak di dalam putusan-putusan tersebut di atas
yaitu Walikota Bogor, Kepala Dinas, Panitia Pembangunan Rumah Ibadat A Quo, Masyarakat
sekitar Rumah Ibadat A Quo, PTUN Bandung, PTTUN Jakarta, dan Mahkamah Agung.
89
Lihat hlm., 37, Bab ini, supra.
90
Teliti kembali, uraian pihak-pihak itu mulai hlm., 36 Bab ini, supra.
88
melaksanakan Putusan PTUN tanpa upaya paksa. Upaya Paksa bergantung kepada
Pejabat TUN yang bersangkutan dan atasannya, dalam hal ini di Indonesia
berpuncak di Presiden sebagai Kepala Pemerintahan Eksekutif.
Pihak-pihak lainnya yang dimaksud di atas perlu Penulis uraikan kembali di
sini untuk mengetahui bagaimana peran mereka dalam memastikan ada persamaan
perlakuan di depan hukum. Pihak tersebut yaitu Gubenur yang mempunyai tugas
dan kewajiban memelihara kerukunan umat beragama di Provinsi.91
Menanggapi
Kasus Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo Gubenur seharusnya dapat
membina Walikota dan Kepala Dinas untuk tidak bertindak sewenang-wenang.
Dan dalam hal kasus tersebut sudah mendapat Putusan yang berkekuatan hukum
tetap maka Gubenur dapat memersuasi Kepala Dinas dan Walikota Bogor untuk
melaksanakan Putusan tersebut. Itulah makna persamaan perlakuan di depan
hukum, equality before the law.
Berkaitan dengan tugas Bupati/Walikota untuk menerbitkan IMB-RI.
Bupati/Walikota harus mempertimbangkan berbagai hal seperti peraturan
perundang-undangan dan kepentingan pihak-pihak yang terkait Sebelum
menerbitkan IMB-RI. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari dirugikannya
pihak lain oleh karena penerbitan IMB-RI, mengingat juga fungsi perijinan yaitu
untuk pengendalian maka, dalam membuat keputusan diberikan atau tidaknya ijin
itu Bupati/Walikota harus bertindak hati-hati. Pedoman yang digunakan
Bupati/Walikota dalam menerbitkan IMB-RI bagi Umat Beragama yang
mengajukan permohonan IMB-RI haruslah sama. Dengan demikian
Bupati/Walikota dapat menuruti asas persamaan perlakuan di depan hukum.
Dalam kasus Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo Walikota Bogor telah
91
Dapat dilihat kembali dalam hlm., 37 dan 38, Bab ini, supra.
89
menerbitkan IMB-RI. IMB-RI dapat diterbitkan karena Rumah Ibadat A Quo telah
memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan tentunya dengan pertimbangan-
pertimbangan Walikota Bogor. Dengan adanya Pembekuan Ijin maka terlihat
bahwa Walikota Bogor tidak dapat secara konsisten mempertanggungjawabkan
keputusannya yang telah memberikan ijin.
Sementara itu ada Kepala Dinas yang melaksanakan tugas dibawah
Walikota dan bertanggung jawab kepada Walikota. Seharusnya Kepala Dinas
tidak berwenang membekukan ijin yang di keluarkan Walikota. Sebagai Pejabat
TUN Kepala Dinas harus pula menaati peraturan perundang-undangan dan tidak
bertindak sewenang-wenang dengan mengeluarkan Pembekuan Ijin. Karena hal
tersebut merugikan Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo, yang seharusnya
dilindungi kepentingannya. Selain itu Kepala Dinas harus tunduk pada Putusan
PTUN, sebab kedudukannya yang sama di depan hukum dengan rakyat biasa.
Pihak lainnya yang juga berperan dalam menjamin persamaan perlakuan di
depan hukum selain Kepala Negara dan Kepala Daerah yaitu OK, dalam PBM
dijelaskan bahwa OK bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan
agama oleh warga negara republik Indonesia.92
Walaupun OK Tidak seperti
Kepala Negara dan Kepala Daerah yang memiliki tugas dan kewajiban
sebagaimana diamanatkan dalam PBM, OK tetap saja juga memiliki kewajiban
memelihara kerukunan umat beragama, dengan cara bahwa OK harus menyadari
bahwa masing-masing umat beragama juga memiliki hak yang sama dengan
mereka. Umat Beragama dapat menjalankan ibadat secara berdampingan tanpa
merugikan hak yang lain. Apabila ada OK yang merasa keberatan dengan
diterbitkannya IMB-RI A Quo mereka harus menyampaikan hal tersebut pada
92
Lihat hlm., 35, Bab ini, supra.
90
pihak yang bertugas untuk itu dalam hal ini yaitu FKUB Kabupaten/Kota. Dan
harus pula disertai dengan alasan yang sebenarnya.
Demikian pula PA sebagai panutan yang dihormati masyarakat sudah
selayaknya memberikan contoh yang baik, memberikan arahan-arahan serta
pengertian kepada masyarakat, untuk memelihara kerukunan hidup beragama.
Dengan sikap saling merhargai dan menghormati hak-hak umat beragama. Dan
apabila merasa dirugikan oleh karena diterbitkannya IMB-RI A Quo harus pula
menempuh jalur yang telah ditetapkan dalam PBM.
Pihak yang tidak kalah penting yaitu FKUB yang dibentuk di Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Pada dasarnya FKUB Provinsi dan FKUB Kabupaten/Kota
memiliki tugas 93
yang sama hanya saja FKUB Kabupaten/Kota juga mempunyai
tugas untuk memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah
ibadat. Apabila dikaitkan dengan kasus Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo
seharusnya FKUB Kabupaten/Kota yang menampung aspirasi OK, PA dan
masyarakat yang merasa keberatan dengan diterbitkannya IMB-RI A Quo. Dan
baru kemudian FKUB Kabupaten/Kota menyalurkan aspirasi tersebut kepada
Walikota. FKUB juga seharusnya dapat berinisiatif memfasilitasi mereka untuk
melakukan musyawarah.
Pihak selanjutnya adalah pihak yang bertugas untuk mengajukan
permohonan pendirian rumah ibadat yaitu panitia pembangunan rumah ibadat.
Dalam putusan satuan amatan Penulis Panitia Pembangunan Rumah Ibadat A
Quo, telah memenuhi syarat-syarat permohonan pendirian rumah ibadat
sebagaimana diatur dalam PBM, sehingga IMB-RI A Quo diterbitkan oleh
Walikota. Hal ini berarti bahwa Panitia Pembangunan Rumah Ibadat A Quo telah
93
Lihat hlm., 40, Bab ini, Supra.
91
memenuhi kewajibannya. Dengan demikian pembangunan Rumah Ibadat A Quo
dapat dilaksanakan, tanpa adanya gangguan dari pihak lain. Selain itu Panitia
Pembangunan Rumah Ibadat A Quo dan Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo
juga harus memastikan bahwa pembangunan tersebut tidak menimbulkan
gangguan bagi pihak lain.
Lembaga Pengadilan adalah pihak yang berperan dalam hal penyelesaian
perselisihan (at the last resort) yang terjadi akibat pendirian rumah ibadat apabila
penyelesaian perselisihan secara musyawarah dan musyawarah dengan
didampingi Bupati/Walikota dibantu KKDA Kabupaten/Kota tidak tercapai.
Pihak-Pihak di atas yang merasa dirugikan dapat menuntut haknya di Pengadilan.
Pengadilan berperan penting dalam memperjuangkan asas persamaan perlakuan di
depan hukum. PTUN Bandung telah menyelesaikan Kasus Umat Beragama di
Rumah Ibadat A Quo, memperhatikan dengan seksama bahwa tindakan Kepala
Dinas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, demikian pula dalam
Upaya Banding dan Permohonan PK oleh Kepala Dinas di Mahkamah Agung
dinyatakan ditolak. Demikian analisis mengenai pihak-pihak yang mengemban
kewajiban untuk memastikan ada persamaan perlakuan di depan hukum.
Analisis Penulis lanjutkan dengan unsur kontrak lainnya sesuai pengertian
kontrak yang telah Penulis kemukakan pada Bab II94
, unsur selanjutnya yaitu
adanya Prestasi atau kewajiban para pihak. Bahwa Pihak-Pihak tersebut dalam
PBM akan memberikan, berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang dalam hal ini
adalah diberikannya tugas kepada pihak-pihak tersebut di atas oleh pembuat PBM
untuk memelihara kerukunan umat beragama. Pihak-Pihak di dalam PBM harus
94
Lihat hlm., 22, Bab II, Supra.
92
melaksanakan kewajibannya sebagaimana diatur dalam PBM95
menuruti asas
persamaan perlakuan di depan hukum. Walaupun pada prinsipnya tugas dan
kewajiban yang diemban Pihak-Pihak dalam PBM adalah sama, namun tidak
dapat tercapai tujuannya apabila salah satu pihak tidak melakukan tugasnya, lalai
atau bahkan mengingkarinya.
Baik pemerintah maupun rakyat sama-sama melaksanakan perintah dalam
PBM. Disini antara pemerintah dan rakyat mempunyai kedudukan yang sama,
hanya saja yang berbeda adalah fungsinya bahwa pemerintah mengatur dan rakyat
diatur.96
PBM memberikan tugas kepada Pemerintah untuk mengatur umat
beragama di Negara Republik Indonesia dengan taat kepada perlakuan yang sama
di depan hukum. Sedangkan rakyat diminta untuk menaati aturan dalam PBM atau
pemerintah yang menjalankan tugas menurut PBM demi terpeliharanya kerukunan
umat beragama, dan menuntut hak tersebut ke PTUN melalui judicial review
apabila mereka dirugikan oleh perbuatan TUN.
Dalam hal pendirian rumah ibadat yang diatur dalam PBM pihak yang
hendak mendirikan rumah ibadat (umat beragama) harus memenuhi syarat-syarat
dalam PBM97
di sana dikatakan bahwa selain memenuhi persyaratan administratif
dan persyaratan teknis bangunan gedung pendirian rumah ibadat harus memenuhi
persyaratan khusus98
. Syarat khusus tersebut adalah bahwa pengguna rumah
ibadat paling sedikit sembilan puluh orang, adanya dukungan masyarakat
setempat paling sedikit enam puluh orang, rekomendasi tertulis KKDA
95
Periksa Kembali, hlm., 35-40, Bab ini, Supra.
96
Lihat hlm., 24, Bab II, Supra.
97
Lihat hlm., 42-43, Bab ini, Supra.
98
PBM Pasal 14 Ayat (1), (2), dan (3).
93
Kabupaten/Kota dan rekomendasi tertulis FKUB Kabupaten/Kota. Menurut
Penulis hal ini justru akan meniadakan prinsip persamaan perlakuan di depan
hukum. Apabila ada kelompok minoritas agama hendak mendirikan rumah ibadat
yang mayoritas masyarakatnya beragama lain, mereka akan mengalami kesulitan
seperti halnya terjadi pada kasus Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo dalam
Putusan satuan amatan Penelitian ini yang telah Penulis kemukakan di atas.
Bahwa Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo harus meminta persetujuan dari
masyarakat sekitar Rumah Ibadat A Quo, bahkan setelah mendapat persetujuan
masih ada saja masyarakat yang menyakatan tidak memberikan persetujuan dan
menjadi alasan diterbitkannya Pembekuan Ijin oleh Kepala Dinas. Padahal disitu
ada pula rekomendasi tertulis dari KKDA dan FKUB Kabupaten/Kota yang sudah
jelas kewenangan. Ini berarti hahwa boleh tidaknya mendirikan rumah ibadat
ditentukan oleh pendapat masyarakat mayoritas. Hal ini menunjukkan bahwa
kurang dihormatinya persamaan perlakuan di depan hukum. Maka menurut
Penulis sebaiknya tidak perlu ada ketentuan mengenai syarat khusus tersebut,
yang justru akan berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia yaitu terjadi
diskriminasi terhadap kelompok minoritas agama. Di samping itu keputusan yang
dibuat oleh Kepala Dinas adalah tidak benar. Penulis sependapat dengan
pertimbangan hakim dalam Putusan 4199
yang diantaranya menyatakan bahwa
penerbitan objek sengketa A Quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 15 Ayat
(2) Perda No.7 tahun 2006 dan bahwa Kepala Dinas seharusnya memperhatikan
Pasal 21 PBM, mengenai penyelesaian perselisihan pendirian rumah ibadat.
Menurut Penulis hakim dalam Putusan 41 maupun dalam Putusan 127 Mahkamah
agung dalam sengketa TUN antara Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo
99
Lihat hlm., 83-85, Bab ini, Supra.
94
dengan Kepala Dinas telah memanifestasi prinsip persamaan perlakuan di depan
hukum dengan memperhatikan kepentingan Umat Beragama di Rumah Ibadat A
Quo yang dirugikan oleh Pejabat TUN dalam hal ini Kepala Dinas, bahwa
seharusnya Kepala Dinas tidak hanya mendengar keterangan dari pihak yang
berkeberatan dengan diterbitkannya IMB-RI tetapi juga mendengar keterangan
dari Umat Beragama di Rumah Ibadat A Quo dan memberi kesempatan kepada
mereka untuk memberikan penjelasan sebelum diterbitkannya objek sengketa A
Quo.
Selanjutnya, bagi pihak yang tidak melaksanakan kewajibannya seperti
dikemukakan di atas, ada suatu mekanisme bagi pihak yang dirugikan untuk
menuntut haknya yaitu melalui pengadilan yang berdasarkan hukum.