asam sunti
DESCRIPTION
asTRANSCRIPT
-
Penanggung Jawab :
Yusya Abubakar (Unsyiah, Banda Aceh)
Eti Indarti (Unsyiah, Banda Aceh)
Editor :
Juanda (Unsyiah, Banda Aceh)
Ikhsan Sulaiman (Unsyiah, Banda Aceh)
Penyunting dan Layout :
Juanda (Unsyiah, Banda Aceh)
Martunis (Unsyiah, Banda Aceh)
Reviewer:
Budiyanto (Universitas Bengkulu, Bengkulu)
Erika Pardede (Nomensen, Medan)
Hasanuddin (Unsyiah, Banda Aceh)
M. Dani Supardan (Unsyiah, Banda Aceh)
Meika Alisyahbana (IPB, Bogor)
Penerbit :
Jurusan Teknologi Hasil Pertanian
Alamat Redaksi:
Redaktur Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia. Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas Pertanian, Unsyiah, Darussalam, Banda Aceh. 23111. Indonesia. Telepon: +62651-7411250 atau +628126989591. Email: [email protected]; cc: [email protected]
Kata Pengantar
Masuknya begitu banyak artikel penelitian ke redaksi membuktikan bahwa telah tumbuhnya semangat menulis dari rekan-rekan sekalian. Kami berharap agar suasana yang menggembirakan ini dapat berkesinambungan.
Terima kasih atas kerja keras para penulis dan pengurus jurnal, serta semua pihak yang berkontribusi atas terbitnya jurnal edisi kali ini Semoga dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Banda Aceh, 15 October 2011
Juanda, S.TP, MSc.Editor
Journal
Teknologi dan IndustriPertanian Indonesia
Pengaruh Jenis Bahan Baku, Konsentrasi Gula dan Konsentrasi Amonium Sulfat (Za) dalam Perbanyakan Starter Nata (Acetobacter Xylinum) terhadap Kualitas Nata De Soya (The Effect of Raw Material Type, Sugar Concentration, and Ammonium Sulfate (Za) Concentration in the Multiplication of Nata Starter (Acetobacter xylinum) on the Quality of Nata de Soya)(Anshar Patria, Murna Muzaifa, dan Fadlan Hidayat)
1
Penggunaan Pasta Labu Kuning sebagai Bahan Biofortifikasi Vitamin A pada Roti Tawar (Use of Pumpkin Paste as Vitamin A Biofortification Material on Fresh Bread)(Rasdiansyah dan Zalniati Fonna Rozali)
7
Pengaruh Konsentrasi Ekstrak Kasar Enzim Fisin (Crude Ficin) dan Lama Fermentasi terhadap Rendemen dan Kualitas Minyak Kelapa(The Effect of Crude Ficin Enzyme Concentration and Fermentation Time on Coconut Oil Yield and Quality)(Novi Safriani, Rini Ariani Basyamfar, dan Bakhtiar)
12
Isolasi dan Identifikasi Bakteri Asam Laktat pada Tahap Fermentasi Awal Asam Sunti (Belimbing Wuluh Fermentasi Khas Aceh)(Isolation and Identification of Lactic Acid Bacteria on the Early Stage Fermentation of Asam Sunti (Traditional Fermented Belimbing of Aceh))(Murna Muzaifa)
20
Pendugaan Umur Simpan Jamur Tiram Putih (Pleurotus Ostreatus) Segar dalam Kemasan Plastik Polipropilen Estimation of Shelf Life White Oyster Mushrooms (Pleurotus Ostreatus) Fresh in Plastic Polypropylene Packaging(Andriani Lubis, Yusmanizar, dan Rositha Octaviana)
25
Daftar Isi
ISSN: 2085-4927
-
Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011 1
PENGARUH JENIS BAHAN BAKU, KONSENTRASI GULA DAN KONSENTRASI AMONIUM SULFAT (ZA) DALAM PERBANYAKAN STARTER NATA (ACETOBACTER XYLINUM)
TERHADAP KUALITAS NATA DE SOYA
THE EFFECT OF RAW MATERIAL TYPE, SUGAR CONCENTRATION AND AMMONIUM SULFATE (ZA) CONCENTRATION IN THE MULTIPLICATION OF NATA STARTER
(Acetobacter xylinum) ON THE QUALITY OF NATA DE SOYA
Anshar Patria1*), Murna Muzaifa1, Fadlan Hidayat2 1) Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 23111 2)Alumni Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 23111
ABSTRACT
The aimed of this research was to study the effect of raw material type, sugar concentration and the ammonium sulfate (ZA) concentration in the multiplication of nata starter (Acetobacter xylinum) on the quality of nata de soya. This research used a complete randomized design with 3 factors: the type of raw material (liquid waste of coconut and liquid waste of tofu), sugar concentration (10 % and 15 %), and ZA concentration (0.4 %, 0.6 % and 0.8 %). Thus, there are 12 combinations of treatment with 3 repetition, or 36 sets of trial. Parameter analyzed on nata de soya were yield, thickness, pH value, texture and organoleptic. The best result with characteristics 1,07 cm thickness, 2,73 pH value and 85,28 texture was obtained used liquid waste of coconut combined with 10% sugar concentration and 0,6% ZA concentration.
Keywords: Starter, Acetobacter xylinum, Nata de soya.
PENDAHULUAN
Nata merupakan produk fermentasi dari bakteri
Acetobacter xylinum berupa lembaran selulosa. Dalam
sehari-hari, nata dikonsumsi sebagai campuran koktail
sebagai pengganti kolang-kaling dan dikemas dalam
larutan gula atau sirup yang siap untuk disajikan.
Umumnya, nata yang beredar di pasaran saat ini diolah
dari air kelapa. Meskipun demikian, produk nata juga
dapat dari aneka buah, seperti nenas, tomat,
kedondong, pepaya atau jenis buah-buahan lain, yang
penting bahan baku tersebut mengandung gula yang
cukup.
Di Provinsi Aceh pemanfaatan limbah air kelapa
sebagai bahan baku pembuatan nata masih sangat
terbatas. Selain limbah air kelapa, bahan baku nata
yang belum dimanfaatkan penggunaannya yaitu limbah
air tahu yang dihasilkan dari proses pembuatan tahu.
Limbah tahu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku
pembuatan nata yang disebut dengan nata de soya.
Dalam pembuatan nata, diperlukan sejumlah
mikroba untuk memecah komponen gula dan
membentuk selulosa ekstraseluler. Mikroba yang siap
diinokulasikan ke dalam media fermentasi disebut
starter. Starter dibuat dengan tujuan memperbanyak
jumlah bakteri Acetobacter xylinum sehingga enzim
yang dihasilkan lebih banyak dan reaksi pembentukan
nata dapat berjalan lebih lancar. Tujuan lainnya adalah
agar bakteri asing dapat terhambat pertumbuhannya
karena jumlah Acetobacter xylinum lebih dominan.
Selain itu pembuatan starter dapat mempercepat
penyesuaian diri Acetobacter xylinum dari media padat
ke media cair (Suryani dkk, 2005).
Stater nata memerlukan sumber nutrisi C, H, O,
dan N serta mineral untuk tumbuh dan berkembang.
Biasanya ditambahkan urea/ZA, asam asetat glasial,
selain itu perlu dilakukan pengontrolan selama proses
perbanyakannya (Mashudi, 1993).
Berdasarkan uraian diatas maka perlu dilakukan
penelitian untuk mengkaji jenis bahan baku serta nutrisi
yang digunakan dalam media untuk perbanyakan starter
nata dan aplikasinya dalam pembuatan nata de soya.
METODE PENELITIAN
Bahan-bahan yang akan digunakan dalam
pembuatan starter nata adalah limbah air kelapa yang
diperoleh dari penjual kelapa di Pasar Lamnyong,
Banda Aceh, limbah air tahu diperoleh dari industri
rumah tangga produk tahu yang ada di Batoh, Banda
Aceh, kultur bakteri Acetobacter xylinum diperoleh dari
Bogor, gula pasir, ZA dan asam asetat glasial
(CH3COOH).
Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu
botol kaca, gelas ukur, erlenmeyer, kain saring,
timbangan analitik, kertas koran, kompor, pengadukan,
pH meter lamotte, tekstur analyzer, wadah plastik, panci
stainless steel, pisau, kertas tissue, karet pengikat,
-
2 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011
oven, telenan, desikator, jangka sorong, kertas saring,
dan spatula.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL), yang terdiri atas 3 faktor yaitu jenis
bahan baku (J), konsentrasi gula (K), dan konsentrasi
ZA (L). Jenis bahan baku yang digunakan terdiri atas 2
taraf: J1 = limbah air kelapa, J2 = limbah air tahu.
Konsentrasi gula yang digunakan terdiri atas 2 taraf: K1
= 10 %, K2 = 15 %. Konsentrasi ZA yang digunakan
terdiri atas 3 taraf: L1 = 0,4 %, L2 = 0,6 %, L3 = 0,8 %.
Dari rancangan tersebut diperoleh 23 kombinasi
perlakuan, setiap perlakuan dilakukan ulangan
sebanyak 3 kali sehingga total diperoleh 36 unit
percobaan.
Prosedur kerja
1. Pembuatan Starter (Modifikasi Solechan, 2011).
a. Air kelapa dan air tahu disaring masing-masing
sebanyak 500 ml, untuk satuan unit percobaan.
b. Ditambahkan gula pasir sesuai perlakuan (10 %
dan 15 % b/v,) dan ZA (0,4 %, 0,6 % dan 0,8 % b/
v) ke dalamnya, untuk setiap unit percobaan.
c. Lalu dipanaskan pada suhu 100 0C selama 30
menit sambil diaduk hingga larut.
d. Dalam keadaan panas, media dituangkan ke
dalam botol kaca yang telah disterilkan dan
ditutup dengan kertas koran.
e. Setelah media dingin, ditambahkan 50 ml
suspensi Axetobacter xylinum kedalam masing-
masing botol kaca.
f. Kemudian difermentasi pada suhu kamar selama
4 - 7 hari sampai terlihat padatan memutih.
2. Pembuatan Nata de Soya (Modifikasi Emma,
2010).
a. Air tahu disaring sebanyak 1 liter.
b. Larutan yang sudah tersedia dipanaskan pada
suhu 100 0C selama 15 menit sambil diaduk
hingga larut.
c. Ditambahkan gula sebanyak 20% (200 g) dan ZA
sebanyak 1 % (10 g) dan ditambahkan asam
asetat CH3COOH 25 % sebanyak 2 % (20 ml) per
liter.
d. Dalam keadaan mendidih, media dituangkan ke
dalam wadah fermentasi yang telah disterilkan dan
ditutup dengan kertas koran, lalu diikat.
e. Setelah media dingin, ditambahkan 20 % (200 ml)
starter Acetobacter xylinum ke dalam wadah.
Kemudian ditutup dengan kertas koran dan diikat
dengan karet.
f. Difermentasi pada suhu kamar selama 14 hari.
g. Nata yang telah terbentuk siap untuk analisis.
Analisis Produk
Parameter yang di analisis meliputi rendemen,
ketebalan, nilai pH, tekstur dan analisis organoleptik
(warna dan kekenyalan). Sebelumnya dilakukan
penghitungan persentase nata de soya yang terbentuk.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengukuran atau pengamatan dilakukan
terhadap persentase keberhasilan atau kegagalan
terbentuknya lapisan nata.
Dari hasil penelitian dengan sampel sebanyak
36 wadah fermentasi, persentase kegagalan
pembentukan nata mencapai 11,1 %. Kegagalan
diartikan sebagai ketebalan nata yang terbentuk kurang
dari 3 mm dan pada permukaan bagian bawah banyak
berlubang (tidak kompak), atau tidak terbentuk nata
sama sekali, bahkan terdapat kontaminan berupa jamur
dan kapang. Dari 88,9 % yang berhasil ketebalan
lapisan nata yang terbentuk berkisar 0,70 1,07 cm
dengan rata-rata 0,91 cm.
1. Rendemen
Hasil analisis menunjukkan bahwa rendemen
nata pada berbagai perlakuan berkisar antara 11.62 % -
13.37% dengan rata-rata 12.53 %. Hasil sidik ragam
menunjukkan bahwa jenis bahan baku (J), konsentrasi
gula (K), konsentrasi amonium sulfat (ZA) (L), interaksi
antara jenis bahan baku dan gula (JK), interaksi antara
jenis bahan baku dan konsentrasi amonium sulfat (ZA)
(JL), interaksi antara konsentrasi amonium sulfat (ZA)
dan gula (KL) dan interaksi seluruh perlakuan (JKL)
berpengaruh tidak nyata (P>0.05) antar perlakuan
starter yang diaplikasikan terhadap rendemen nata de
soya yang di hasilkan.
2. Ketebalan
Hasil analisis menunjukkan bahwa ketebalan
nata yang diperoleh berkisar antara 0.70-1.07 cm
dengan rata-rata 0.91 cm. Hasil sidik ragam ketebalan
nata menunjukkan bahwa jenis bahan baku (J) dan
konsentrasi ZA (L) berpengaruh nyata (P
-
Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011 3
bahan baku dan gula (JK), interaksi antara jenis bahan
baku dan konsentrasi ZA (JL), interaksi antara
konsentrasi ZA dan gula (KL) dan interaksi seluruh
perlakuan (JKL) berpengaruh sangat nyata (P0.05) terhadap ketebalan nata de soya
Uji BNT0.01 menunjukkan bahwa interaksi jenis
bahan baku, konsentrasi gula dan konsentrasi ZA dalam
perbanyakan starter yang diaplikasikan terhadap nata
de soya berbeda sangat nyata terhadap ketebalan nata
de soya yang dihasilkan.
Secara keseluruhan ketebalan nata yang
diperoleh penelitian ini tidak berbeda nyata, kecuali
perlakuan dengan jenis bahan baku air kelapa,
konsentrasi gula 15 % dan konsentrasi ZA 0,6 %
(J1K2L2) yang memperoleh ketebalan nata terendah,
yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan (J2K1L1),
(J2K1L2) dan (J2K1L3).
Ketebalan rata-rata nata dalam penelitian ini
mencapai 0,91 cm lebih rendah dibandingkan beberapa
penelitian lainnya. Nata yang dihasilkan oleh Manoi
(2007) mempunyai ketebalan nata yang dihasilkan 1,84
cm sedangkan pada penelitian Arviyanti dan Yulimartini
(2009) ketebalan nata yang dihasilkan mencapai 1,20
cm. Hal ini diduga karena kondisi pertumbuhan nata
dalam penelitian ini belum optimal, walaupun terlihat
adanya pembentukan nata. Menurut wahyudi (2003),
keberhasilan pembuatan nata dipengaruhi oleh viabilitas
(kemampuan hidup) bakteri, kandungan nutrisi media
pertumbuhan dan lingkungannya. Salah satunya adalah
kondisi pH.
3. Nilai pH
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis
bahan baku (J) dan konsentrasi amonium sulfat (ZA) (L)
berpengaruh tidak nyata (P>0.05) sedangkan
konsentrasi gula (K), interaksi antara jenis bahan baku
dan konsentrasi amonium sulfat (ZA) (JL), interaksi
antara konsentrasi amonium sulfat (ZA) dan gula (KL)
dan interaksi seluruh perlakuan (JKL) berpengaruh
nyata (P
-
4 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011
Nilai rata-rata pH yang diperoleh pada
penelitian ini 2,5 lebih rendah dibandingkan pH optimum
untuk pertumbuhan Acetobacter xylinum yaitu 3-4.
Menurut (Warisno, 2004), bakteri Acetobacter xylinum
tumbuh baik dalam media yang memiliki pH 3-4. Jika pH
lebih dari empat atau kurang dari tiga, proses fermentasi
tidak akan bisa berjalan sempurna.
Menurut Suryati (1979), kelebihan gula dalam
media akan mengganggu aktivitas bakteri Acetobacter
xylinum karena diubahnya gula menjadi asam yang
menyebabkan penurunan pH media menjadi 3-2,5
dibawah pH optimum pertumbuhannya. Dengan
demikian, kondisi pH dalam penelitian ini memberikan
kontribusi terhadap rendahnya ketebalan nata yang
dihasilkan.
4. Tekstur
Hasil analisis menunjukkan nilai tekstur nata
berkisar antara 30,11-85,28 g/cm2 dengan rata-rata
58,25 g/cm2. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa
jenis bahan baku (J), interaksi antara jenis bahan baku
dan konsentrasi gula (JK), interaksi antara jenis bahan
baku dan konsentrasi ZA (JL), interaksi antara
konsentrasi ZA dan gula (KL) dan interaksi seluruh
perlakuan (JKL) berpengaruh sangat nyata (P0,05) terhadap kekerasan
de soya.
Uji BNT0.01 menunjukkan bahwa interaksi jenis
bahan baku, konsentrasi gula dan konsentrasi ZA dalam
perbanyakan starter yang diaplikasikan terhadap nata
de soya berbeda sangat nyata terhadap tekstur nata de
Gambar 2. Pengaruh interaksi seluruh perlakuan terhadap nilai pH nata de soya
(nilai yang diikuti huruf yang sama menunjukkan perbedaan tidak
nyata, BNT0.05 = 0.42, KK = 10,01 %).
Gambar 3. Pengaruh interaksi seluruh perlakuan terhadap tekstur nata de soya (nilai
yang diikuti huruf yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata,
BNT0.05 = 8,50, KK = 8,91 %).
-
Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011 5
soya yang dihasilkan. Pengaruh interaksi antara semua
perlakuan terhadap tekstur nata de soya dapat dilihat
pada Gambar 3.
Gambar 3 memperlihatkan bahwa tekstur nata
paling tinggi diperoleh pada jenis bahan baku air kelapa,
konsentrasi gula 10 % dan konsentrasi ZA 0. 6 %
(J1K1L2) yaitu 85.28 gr yang berbeda nyata dengan
seluruh perlakuan lainnya. Kekerasan nata dipengaruhi
oleh faktor yang sama dengan kekenyalan nata, yaitu
komposisi penyusun bahan baku.
Menurut Susanto et al. (2000) kekenyalan nata
dipengaruhi oleh banyak sedikitnya serat. Semakin
banyak kandungan seratnya semakin kenyal tekstur
nata tersebut. Menurut Nurhayati (2006), kadar serat
yang tinggi dalam ketebalan yang sama menyebabkan
kadar air yang rendah sehingga tekstur akan lebih liat
atau keras yang ditunjukkan dengan nilai tekstur yang
tinggi. Kadar serat yang tinggi menunjukkan aktivitas
pertumbuhan Acetobacter xylinum yang tinggi pula.
5. Uji Organoleptik Nata de Soya
Nilai organoleptik merupakan faktor yang
penting untuk menguji penerimaan konsumen terhadap
produk makanan. Uji organoleptik yang dilakukan
adalah uji hedonik atau uji kesukaan. Penilaian uji
organoleptik yang dilakukan terhadap nata de soya
meliputi uji hedonik terhadap warna dan kekenyalan.
a. Warna
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis
bahan baku (J), konsentrasi gula (K), konsentrasi ZA
(L), interaksi antara jenis bahan baku dan gula (JK),
interaksi antara jenis bahan baku dan konsentrasi ZA
(JL), interaksi antara konsentrasi ZA dan gula (KL) dan
interaksi seluruh perlakuan (JKL) berpengaruh tidak
nyata (P>0.05) antar perlakuan starter yang
diaplikasikan terhadap warna nata de soya yang di
hasilkan.
b. Kekenyalan
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis
bahan baku (J), konsentrasi gula (K), konsentrasi ZA
(L), interaksi antara jenis bahan baku dan gula (JK),
interaksi antara jenis bahan baku dan konsentrasi ZA
(JL), interaksi antara konsentrasi ZA dan gula (KL) dan
interaksi seluruh perlakuan (JKL) berpengaruh tidak
nyata (P>0.05) antar perlakuan starter yang
diaplikasikan terhadap warna nata de soya yang di
hasilkan.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Jenis bahan baku, konsentrasi gula dan
berpengaruh tidak nyata terhadap rendemen dan nilai
organoleptik nata de soya. Tekstur, ketebalan dan pH
nata de soya dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut.
Hasil terbaik diperoleh dengan menggunakan bahan
baku air kelapa, konsentrasi gula 10% dan konsentrasi
ZA 0,6% yang menghasilkan tekstur 85,28 g/cm,
ketebalan diperoleh 1,07 cm dan nilai pH 2, 73.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
memperbaiki ketebalan nata de soya, mengingat nata
yang dihasilkan relatif lebih tipis dibandingkan nata yang
dihasilkan dari beberapa penelitian lainnya maupun nata
komersial.
DAFTAR PUSTAKA
Emma, S., S. 2010. Pengaruh Media Starter antara Air
Kelapa dengan Air Nira Aren terhadap Kualitas
Nata De Arenga. Skripsi. Fakultas Matematika
dan Ilmu Sains, Universitas Sumatera Utara.
Medan.
Manoi, F. 2007. Penambahan Ekstrak Ampas Nenas
sebagai Medium Campuran pada Pembuatan
Nata De Cashew. Buletin Littro. XVIII (1) : 107-
116.
Masaoka, C., Ohe, T., & Sakato, N., 1993. Production of
Cellulose from Glucose by Acetobacter
xylinum. J. Ferment. Bioeng. 75: 18-22.
Mashudi. 1993. Mempelajari Pengaruh Penambahan
Amonium Sulfat dan Waktu Penundaan Bahan
Baku Air Kelapa terhadap Laju Pertumbuhan
dan Struktur Gel Nata De Coco. Skripsi.
Jurusan Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
Rahman, T.A. 1992. Teknologi Fermentasi. Area, Bogor.
Solechan. 2011. Pemanfaatan Air Kelapa. Paket
Teknologi Tepat Guna. Bogor.
Suryani, A., E. Hambali, dan P. Suryadarma. 2005.
Membuat Aneka Nata. Penebar Swadaya.
Jakarta (Hal. 46-50).
-
6 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011
Suryati, A. H., 1979. Pengolahan Air Kelapa. Bulettin
Perhimpunana Ahli Teknologi Pangan
Indonesia. (Vol. 2 (1). 104 hal).
Susanto, Rangga, Adhitia dan Yuniata, 2000.
Pembuatan Nata dari Kulit Nenas Kajian dari
Sumber Karbon dan Pengenceran Medium
Fermentasi. Jurnal Teknologi Pertanian (Vol. 1
(2), hal. 50 56).
Wahyudi, A., E. Hambali dan A. Suryadarma. 2003.
Membuat Aneka Nata. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Winarno, F. G. 1992. Pangan Gizi, Teknologi dan
Konsumen. PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta.
-
Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011 7
PENGGUNAAN PASTA LABU KUNING SEBAGAI BAHAN BIOFORTIFIKASI VITAMIN A PADA ROTI TAWAR
USE OF PUMPKIN PASTE AS VITAMIN A BIOFORTIFICATION MATERIAL
ON FRESH BREAD
Rasdiansyah1), Zalniati Fonna Rozali 1*) 1) Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 23111
*) email: [email protected]
ABSTRACT Problem of vitamin A deficiency are still common in our country. Fortification is a way to improve the
nutritional content of a component of food products. Pumpkin rich of beta-carotene can be a material bio-fortification in fresh bread with partial substitution wheat flour with pumpkin paste. The study aims to know the effect ratio of wheat flour and pumpkin paste and emulsifier concentration of the beta-carotene concentration and some characteristic of pumpkin bread. The result shows that the ratio of wheat flour and pumpkin paste having effect only on the beta-carotene concentration. Emulsifier concentration having effect on texture and over all sensory analysis. Interaction between both treatment no effect to all test. The best bread in this study is the bread with ratio of flour and pumpkin paste 60:40 and emulsifier concentration of 0.1%.
Keywords: wheat flour, pumpkin paste, bio-fortification, beta-carotene concentration
PENDAHULUAN
Masalah defisiensi (kekurangan) vitamin A
merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering
terjadi di negara kita. Defisiensi vitamin A dapat terjadi
pada siapa saja, dan biasanya terjadi pada anak-anak.
Vitamin A sangat penting untuk menjaga kesehatan
organ penglihatan, mencegah penyakit kulit serta
membantu proses pertumbuhan, sehingga suplai
vitamin A pada makanan penting untuk diperhatikan.
Fortifikasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan
kandungan suatu komponen gizi produk pangan, yang
dapat dilakukan dengan menambahkan secara
langsung komponen gizi yang ingin ditingkatkan
ataupun dengan menambahkan bahan yang kaya akan
komponen gizi tersebut pada produk pangan. Labu
kuning yang kaya betakaroten dapat menjadi bahan
biofortifikasi, karena di dalam tubuh 1 senyawa
betakaroten dapat dipecah menjadi 2 senyawa retinol
(vitamin A). Fortifikasi dapat dilakukan dengan
menggunakan labu kuning segar atau olahannya seperti
pasta segar dengan men-substitusi sebagian terigu
pada pembuatan roti.
Saat ini, pemakaian ingredient bakery dalam
memproduksi roti telah umum dilakukan. Tujuan
penggunaannya adalah untuk meningkatkan mutu dan
penerimaan dari roti yang dihasilkan. Salah satu
ingredient yang sering digunakan adalah emulsifier,
yang berperan sebagai pelembut roti yang dihasilkan.
Berapa banyak emulsifier yang cocok digunakan pada
roti pasta labu kuning belum diketahui, untuk itulah
diperlukan juga kajian mengenai konsentrasi yang
sesuai.
Berdasarkan permasalahan diatas maka diperlukan
suatu penelitian mengenai ratio tepung terigu dan pasta
labu kuning (sebagai bahan fortifikasi vitamin A) dan
konsentrasi emulsifier untuk mengetahui kadar
betakaroten dan beberapa karakteristik roti tawar yang
dihasilkan.
TINJAUAN PUSTAKA
Labu kuning
Buah labu kuning merupakan bahan yang sangat
baik untuk diolah menjadi makanan karena
mengandung nutrisi yang diperlukan tubuh seperti
karbohidrat, vitamin A dan C, dan mineral seperti Ca,
Fe, dan Na serta mengandung sedikit lemak dan
protein. Selain itu, buah ini juga mengandung inulin dan
serat pangan yang dibutuhkan untuk pemeliharaan
kesehatan, khususnya saluran pencernaan (Hendrasty,
2003). Buah ini juga kaya akan senyawa-senyawa
karotenoid yang berperan memberikan warna kuning
kemerahan pada buah tersebut. Salah satu senyawa
karotenoid yang banyak terkandung dalam labu kuning
adalah betakaroten yaitu sekitar 79% dari total
karotenoid (Seo et al, 2005). Di dalam tubuh senyawa
karotenoid, terutama senyawa betakaroten berperan
sebagai prekursor vitamin A. Vitamin A berfungsi
melindungi mata dari beberapa penyakit mata, dan
dapat memperhalus kulit. Senyawa-senyawa karotenoid
juga berperan sebagai antioksidan untuk melindungi diri
dari serangan kanker, jantung, diabetes mellitus, proses
penuaan dini, dan gangguan respon imun (Hathcock,
2004). Kandungan betakaroten labu segar adalah
1187.23 g/g sedangkan dalam bentuk tepung adalah
sekitar 222.81 g/g (Hendrasty, 2003).
-
8 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011
Roti Tawar
Roti tawar dibuat dengan bahan baku tepung
terigu, yang difermentasi menggunakan ragi roti dan
dilanjutkan dengan proses pemanggangan. Bahan
tambahan roti tawar yaitu air, gula, ragi, margarin, dan
bread improver. Bahan-bahan tersebut dicampur secara
merata dan setelah itu dilakukan proses mixing,
moulding, proving, dan baking (Setyo dan Yanti, 2004).
Menurut Trisnowati et al. (2008), mutu roti pada industri
roti umumnya dipengaruhi oleh formulasi bahan (resep),
pengendalian bahan baku, pemeliharaan peralatan dan
mesin, dan pelaksanaan tahapan-tahapan proses
produksi.
Emulsifier
Emulsifier merupakan suatu senyawa yang terdiri
dari bagian hidrofilik (suka air) dan hidrofobik (suka
minyak). Adanya dua bagian yang berbeda dalam
senyawa ini menyebabkan emulsifier stabil dalam suatu
dispersi minyak dalam air. Pencampuran kedua
senyawa yang tidak bisa bercampur tersebut dapat
dilakukan dengan bantuan pengemulsi (emulsifier).
Emulsifier dapat berinteraksi dengan bahan lainnya,
membantu memperbaiki sifat fungsional seperti aerasi
atau menghambat terjadinya kristalisasi pada roti. Roti
yang tidak menggunakan emulsifier umumnya lebih
kering, volumenya rendah dan lebih cepat bantat atau
keras dibandingkan roti yang diberi emulsifier. Sehingga
emulsifier juga mempengaruhi masa simpan, mouthfell,
kualitas dan penerimaan produk (Turner, 2008).
METODOLOGI
Bahan
Bahan yang digunakan untuk membuat roti yaitu
labu kuning (Cucurbita moschata) varietas bokor,
tepung terigu cakra kembar, mentega, yeast, gula pasir,
garam, air, susu bubuk, dan emulsifier. Bahan yang
digunakan untuk analisis kimia yaitu aquades dan
larutan aseton-heksan.
Prosedur Penelitian
Tahapan awal yang dilakukan dalam penelitian ini
yaitu pembuatan pasta labu kuning dengan cara labu
kuning yang telah bersih dari kulit dipotong dadu dan
dicuci sampai bersih, selanjutnya dikukus selama 30
menit dan didinginkan. Lalu dihancurkan hingga menjadi
pasta atau bubur. Tahapan berikutnya adalah
pembuatan roti tawar (Astawan, 2006, yang
dimodifikasi). Seluruh bahan yang telah disiapkan
dicampur yaitu: tepung terigu ditimbang awal 500 g
(pengurangan sesuai substitusi pasta), pasta labu
kuning ditambahkan sesuai perlakuan (10%, 20%, 30%
dan 40%), emulsifier sesuai perlakuan (0.05% dan
0.1%), gula 50 gram, susu skim 20 gram, ragi roti 15
gram, bread improver 45 gram dicampur sambil diaduk
selama 5 menit setelah itu air 620 gram dimasukkan dan
diaduk kembali sampai menyatu, lalu shortening putih
40 gram dan garam 17 gram dimasukkan dan diaduk
sampai kalis (tidak lengket ditangan). Setelah kalis
adonan difermentasi selama 10 menit. Kemudian
adonan dibagi menjadi dua bagian lalu dibulatkan.
Setelah itu difermentasi kembali selama 10 menit.
Adonan yang sudah mulai mengembang dibuang
gasnya dengan cara diulen kembali, lalu digulung dan
dimasukkan ke dalam cetakan roti tawar yang telah
diolesi shortening putih. Kemudian dilanjutkan dengan
fermentasi kembali selama 90 menit di dalam proofer
hingga adonan mengembang. Selanjutnya dilakukan
pemanggangan dengan oven pada suhu 180OC selama
50 menit. Setelah roti dikeluarkan dari oven, roti
didinginkan pada suhu ruang untuk kemudian dilakukan
pengemasan. Analisis produk roti meliputi kadar
betakaroten, kadar air, kadar abu, tingkat
pengembangan roti dan organoleptik tekstur dan
organoleptik tingkat kesukaan terhadap roti yang
dihasilkan.
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) pola faktorial yang terdiri atas 2 (dua)
faktor. Faktor pertama adalah rasio tepung terigu dan
pasta labu kuning (R), yang terdiri atas 4 (tiga) taraf
yaitu R1 = 90:10, R2 = 80:20, R3 = 70:30 dan R4=
60:40. Faktor kedua adalah konsentrasi emulsifier (E),
yang terdiri dari 2 (dua) taraf yaitu E1 = 0.05% dan E2 =
0.1%. Kombinasi perlakuan dalam penelitian ini adalah
4x2 = 8 (delapan) kombinasi perlakuan dan
menggunakan 3 (tiga) kali ulangan, sehingga diperoleh
24 satuan percobaan.
Pengumpulan data dilakukan dengan analisis di
Laboratorium. Untuk menguji pengaruh dari setiap
perlakuan terhadap parameter analisis, dilakukan
analisis statistik dengan menggunakan ANOVA
(Analysis of variance). Apabila perlakuan menunjukkan
pengaruh terhadap parameter yang diuji, maka
dilakukan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT).
-
Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011 9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Betakaroten
Kadar betakaroten roti tawar yang dihasilkan
berkisar antara 419.03 939.98 g/100 gr bahan
dengan rata-rata 628.54 g/100 gr bahan. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa rasio tepung terigu dan
pasta labu kuning berpengaruh sangat nyata terhadap
kadar betakaroten roti tawar yang dihasilkan.
Sedangkan perlakuan konsentrasi emulsifier serta
interaksinya tidak berpengaruh nyata terhadap kadar
betakaroten roti tawar.
Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa kadar
betakaroten roti tawar tertinggi dihasilkan pada roti
tawar yang menggunakan pasta labu kuning 40% yang
berbeda sangat nyata dengan perlakuan lainnya.
Gambar 1. Pengaruh ratio tepung terigu dan pasta labu
kuning terhadap kadar betakaroten roti
tawar pasta labu kuning
Pada Gambar 1 terlihat bahwa semakin tinggi
penggunaan pasta labu kuning semakin tinggi pula
kandungan betakaroten roti tawar yang dihasilkan. Hal
ini disebabkan karena labu kuning mengandung
betakaroten yang cukup tinggi, sedangkan tepung terigu
yang digantikan sama sekali tidak mengandung
betakaroten (Fang, 2008) sehingga jelas setiap
peningkatan jumlah penggunaan pasta labu kuning
akan meningkat pula secara signifikan kandungan
betakarotennya.
Berdasarkan hasil analisis diatas diketahui bahwa
roti tawar yang dihasilkan mengandung betakaroten
dalam jumlah relatif besar. Hal ini menjadikan roti tawar
yang dihasilkan mempunyai keunggulan dibandingkan
roti tawar biasa. Khususnya sebagai sumber
betakaroten yang merupakan prekursor vitamin A (pro-
vitamin A).
Kadar Air
Kadar air roti tawar yang dihasilkan berkisar
antara 17.7% - 31.4% dengan rata-rata 25.19%. Hasil
analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ratio
tepung terigu dan pasta labu kuning berpengaruh tidak
nyata terhadap kadar air roti tawar, demikian juga
konsentrasi emulsifier dan interaksi antara ratio tepung
terigu dan pasta labu kuning dan konsentrasi emulsifier
berpengaruh tidak nyata terhadap kadar air roti tawar
yang dihasilkan.
Kadar air roti tawar yang dihasilkan dari kedua
perlakuan tersebut telah memenuhi standar SNI roti
tawar yaitu maksimal 40%. Kadar air roti tawar yang
dihasilkan dalam penelitian ini lebih rendah
dibandingkan penelitian See et al. (2007) yang men-
substitusi sebagian tepung terigu dengan tepung labu
kuning dengan kadar air yang dihasilkan berkisar antara
32 - 35%.
Kadar Abu
Kadar abu roti tawar yang dihasilkan berkisar
antara 0.47% - 6.81% dengan rata-rata 2.28%. Hasil
analisis ragam menunjukkan bahwa ratio tepung terigu
dan pasta labu kuning, konsentrasi emulsifier serta
interaksi keduanya berpengaruh tidak nyata terhadap
kadar abu roti tawar yang dihasilkan.
Tingkat Pengembangan Roti
Tingkat pengembangan roti erat kaitannya
dengan kemampuan adonan dalam membentuk dan
menahan gas yang dihasilkan selama fermentasi.
Komponen terigu yang terpenting adalah gluten, yaitu
massa yang terdiri atas gliadin dan globulin, yang
berpengaruh terhadap daya elastisitas dalam adonan
serta kekenyalan makanan atau menghasilkan sifat
viskoelastis, sehingga adonan terigu dapat
mengembang. Elastisitas gluten dapat menahan gas
dan menyebabkan pengembangan yang diinginkan.
Tingkat pengembangan roti tawar yang dihasilkan
berkisar antara 220.96% - 369.44% dengan rata-rata
276.70%. Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan
ratio tepung terigu dan pasta labu kuning, konsentrasi
emulsifier serta interaksi keduanya berpengaruh tidak
nyata terhadap tingkat pengembangan roti tawar yang
dihasilkan. Hal ini mungkin disebabkan karena
perbedaan atau selang antara taraf ratio labu kuning
yang digunakan tidak terlalu besar yaitu hanya 10% dan
fortifikasi labu kuning dilakukan dalam bentuk pasta
sehingga pengaruh pengurangan tepung terigu tidak
terlalu signifikan terhadap pengembangan roti tawar.
Demikian juga dengan perbedaan konsentrasi emulsifier
yang digunakan, yang perbedaannya hanya 0.05%
sehingga tidak terlalu signifikan terhadap
-
10 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011
pengembangan roti tawar yang dihasilkan.
Organoleptik Tekstur
Tekstur roti tawar dinilai dengan indera peraba.
Tekstur yang baik pada roti tawar adalah lunak, lembut
dan tidak meremah. Hasil analisis organoleptik tekstur
roti berkisar antara 1.9 (agak tidak suka) 4.2 (suka)
dengan rata-rata 3.4 (netral). Analisis sidik ragam
organoleptik tekstur menunjukkan bahwa perlakuan ratio
tepung terigu dan pasta labu kuning dan interaksi kedua
perlakuan memberikan pengaruh tidak nyata (p > 0.05)
terhadap nilai organoleptik tekstur, sedangkan
perlakuan konsentrasi emulsifier berpengaruh sangat
nyata (p 0.01) terhadap tekstur roti tawar.
Gambar 2. Pengaruh konsentrasi emulsifier terhadap
nilai kesukaan tekstur roti tawar pasta labu
kuning
Gambar 2 memperlihatkan bahwa nilai tekstur roti
yang menggunakan emulsifier dengan konsentrasi 0.1%
(E2) lebih disukai dibandingkan nilai tekstur roti yang
menggunakan emulsifier dengan konsentrasi 0.05%
(E1). Diduga hal ini berkaitan dengan makin
meningkatnya kemampuan emulsifier tersebut untuk
melapisi dan membentuk ikatan silang dengan protein
gluten pada roti yang dihasilkan sehingga menghasilkan
tekstur yang lebih lembut.
Organoleptik Keseluruhan
Hasil analisis terhadap nilai organoleptik
keseluruhan berkisar antara 2.2 (agak tidak suka) 4.1
(suka) dengan rata-rata 3.3 (netral). Analisis sidik ragam
organoleptik keseluruhan menunjukkan bahwa
perlakuan konsentrasi emulsifier berpengaruh sangat
nyata (p 0.01) terhadap nilai organoleptik keseluruhan,
sedangkan perlakuan ratio ratio tepung terigu dan pasta
labu kuning dan interaksi kedua perlakuan memberikan
pengaruh tidak nyata (p > 0.05).
Gambar 3 memperlihatkan bahwa nilai tingkat
kesukaan panelis secara keseluruhan terhadap roti yang
menggunakan emulsifier dengan konsentrasi 0.1% (E2)
lebih disukai dibandingkan roti yang menggunakan
emulsifier dengan konsentrasi 0.05% (E1). Diduga hal
ini berkaitan dengan makin meningkatnya kemampuan
emulsifier tersebut untuk melapisi dan membentuk
ikatan silang dengan protein gluten pada roti yang
dihasilkan sehingga secara keseluruhan penerimaan
panelis terhadap roti makin meningkat.
Gambar 3. Pengaruh konsentrasi emulsifier terhadap
nilai tingkat kesukaan secara keseluruhan
roti tawar pasta labu kuning
Berdasarkan hasil analisa beberapa parameter
diatas maka roti tawar terbaik dipilih berdasarkan
kandungan betakaroten tertinggi dan hasil organoleptik
dengan penerimaan yang paling besar. Yaitu perlakuan
ratio tepung terigu dan pasta labu kuning 60:40 dan
konsentrasi emulsifier 0.1% (R4S2), dengan
karakteristik seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Roti Tawar Labu Kuning Terbaik
KESIMPULAN
1. Ratio penggunaan pasta labu kuning berpengaruh
terhadap kadar beta karoten roti tawar yang
dihasilkan, tetapi berpengaruh nyata terhadap kadar
air dan kadar abu, tingkat pengembangan roti, nilai
organoleptik tekstur dan nilai organoleptik
keseluruhan.
No Parameter Uji Jumlah /
nilai
1 Betakaroten (g/100 gr roti) 856.93
2 Kadar air (%) 24.23
3 Kadar abu (%) 2.39
4 Tingkat pengembangan roti (%) 302.57
5 Organoleptik rasa 3.37
6 Organoleptik keseluruhan 3.32
-
Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011
2. Ratio penggunaan pasta labu kuning 40%
mempunyai kadar beta karoten tertinggi yakni 853.93
g/100 gr roti
3. Konsentrasi emulsifier mempengaruhi nilai
organoleptik tekstur dan keseluruhan, tetapi
berpengaruh tidak nyata terhadap parameter uji
lainnya.
4. Roti tawar yang menggunakan emulsifier 0.1% lebih
disukai dibandingkan 0.05%.
5. Roti tawar terbaik yaitu perlakuan ratio tepung terigu
dan pasta labu kuning 60:40 dan konsentrasi
emulsifier 0.1 % (R4S2).
DAFTAR PUSTAKA
Astawan, M. 2006. Talk About Bread. http://
www.ayahbunda-online.com/
Fang, SE. 2008. Physico-chemical and organoleptic
evaluations of wheat bread substituted with
different percentage of pumpkin flour
(cucurbita moschata). University Sains
Malaysia.
Hathcock J N, 2004. Beta-carotene. Vitamin and Mineral
Safety 2nd Edition. CRN
Hendrasty, H. K. 2003. Pembuatan Tepung Labu
Kuning, Pembuatan dan Pemanfaatannya.
Kanisius, Yogyakarta.
Hernanda R. 2010. Alternatif Pengolahan Labu Kuning
Menjadi Saos Tomat-Labu Kuning. Ekonomi
Bisnis Indonesia
See, E.F., Wan Nadiah, W.A. and Noor Aziah, A.A.
Physico-Chemical and Sensory Evaluation of
Breads Supplemented with Pumpkin Flour.
ASEAN Food Journal 14(2): 123-13.
Seo JS, Betty J B, Zhejiu Q, Terry R N, Extraction and
chromatography of carotenoids from
pumpkin, Journal of Chromatography A
Setyo, M. E. Dan L. N. Yanti. 2004. Membuat Aneka
Roti. Penebar Swadaya, Jakarta
Turner J. 2008. Emulsifiers' versatility grows. Baking
Management. A Panton Publication. http://
baking-management.com/ingredients.
-
12 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011
PENDAHULUAN
Minyak kelapa merupakan salah satu dari minyak
yang banyak dikonsumsi masyarakat, baik untuk
memasak maupun sebagai ramuan obat tradisional.
Ekstraksi minyak dari daging kelapa dapat dilakukan
dengan beberapa cara, diantaranya cara basah, cara
kering, dan ekstraksi menggunakan pelarut. Proses
tradisional cara basah dilakukan dengan membuat
santan dari daging kelapa dan dipanaskan untuk
memisahkan minyak dari bagian yang mengemulsinya
(Yurnaliza, 2007). Proses tradisional melalui cara basah
menghasilkan minyak dengan kualitas rendah karena
kandungan airnya tinggi dan menyebabkan ketengikan
(Che-Man et al., 1996), serta rendemen yang dihasilkan
rendah (sekitar 13,61%) (Arief, 1991).
Salah satu upaya mendapatkan minyak kelapa
bermutu dan mempunyai rendemen yang tinggi adalah
dengan mengekstraksi minyak kelapa cara basah
menggunakan enzim, seperti cellulase,
polygalacturonase, protease (enzim papain, bromelin
dan fisin), dan -amylase (Che-Man et al., 1996; Chen
and Diosady, 2003; Rosenthal, et al., 1996; Tano-
Debrah and Ohta, 1997; SantAnna et al., 2003; Susanto
dan Saneto, 1994). Enzim tersebut akan menghidrolisis
dan mendegradasi dinding sel tanaman sehingga
minyak dapat keluar. Penggunaan enzim bertujuan
untuk menghindari pemanasan yang berlebihan,
rendemen minyak yang diperoleh lebih besar, hemat
energi dan bahan bakar, tingkat ketengikan minyak yang
dihasilkan rendah dengan daya simpan lebih lama,
aroma lebih harum, dan bebas senyawa penginduksi
kolesterol (Soeka et al., 2008, Rosenthal et al., 1996;
Muchtadi dan Utari, 1990).
Enzim yang digunakan dalam penelitian ini adalah
ekstrak kasar enzim fisin dari daun ara (Ficus hispida
L.). Fisin termasuk ke dalam protease sulfhidril yaitu
enzim yang mempunyai gugus sulfhidril (S-H) pada
bagian aktifnya. Protease sulfhidril ini disebut juga thiol
protease dan keaktifannya sangat tinggi (Winarno,
1983). Beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas
enzim, diantaranya konsentrasi substrat, konsentrasi
enzim, pH, suhu, dan lamanya reaksi enzimatis
(Fennema, 1996; Pelczar dan Chan, 1986).
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari
proses ekstraksi minyak kelapa dari daging buah kelapa
dengan memanfaatkan kemampuan proteolitik ekstrak
kasar enzim fisin dari daun ara (Ficus hispida L.)
dengan variasi konsentrasi ekstrak kasar enzim fisin dan
lama fermentasi.
METODOLOGI
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kelapa varietas dalam yang diperoleh dari
perkebunan Lambaro Angan, Aceh Besar. Sebagai
sumber enzim fisin digunakan ekstrak daun ara yang di
peroleh dari Desa Lam Ceu, Aceh Besar. Sedangkan
PENGARUH KONSENTRASI EKSTRAK KASAR ENZIM FISIN (CRUDE FICIN) DAN LAMA
FERMENTASI TERHADAP RENDEMEN DAN KUALITAS MINYAK KELAPA
THE EFFECT OF CRUDE FICIN ENZYME CONCENTRATION AND FERMENTATION TIME ON
COCONUT OIL YIELD AND QUALITY
Novi Safriani1*), Rini Ariani Basyamfar1), Bakhtiar1) 1)Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 23111
*)email: [email protected]
ABSTRACT
This study was imed to extract coconut oil from coconut meat using crude ficin extracted from ara leaves
(Ficus hispida L.) to increase both oil yield and quality. The effects of crude ficin concentration (30%, 40% and 50%)
and fermentation time (8 hours, 16 hours and 24 hours) on extraction yield and quality of the coconut oil were
investigated. The results showed that crude ficin concentration of 30% and fermentation time of 8 hours represented
the most effective extraction condition with an oil yield of 26.01%, extractability of 77,86%. Quality characteristics of
the oil were moisture content, 0.39%; free fatty acid (FFA), 0.133%; peroxide value, 1.7 mg O2/g sample;
saponification value, 209.44; and panelist preferred the color and aroma of the oil than other treatments. The
resulted coconut oil has fulfilled standard quality of SNI 01-2902-1982.
Keywords: coconut oil extraction, oil yield, quality characteristics, crude ficin.
-
Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011
bahan yang digunakan untuk analisis yaitu aquadest,
khloroform, asam asetat glacial, kalium iodida, Natrium
thiosulfat 0,1 N, alkohol 95 %, KOH 0,1 N, HCL 0,5 N,
indikator amilum, dan indikator phenolphthalein.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial yang terdiri
dari 2 faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi ekstrak
kasar enzim fisin (K) yang terdiri dari tiga taraf yaitu K1=
30 % (v/b), K2=40 % (v/b), dan K3= 50 % (v/b) per
satuan berat daging kelapa. Faktor kedua adalah lama
fermentasi (L) yang terdiri dari 3 taraf, yaitu L1= 8 jam,
L2= 16 jam, dan L3= 24 jam. Kombinasi dari perlakuan
adalah 3x3, dengan menggunakan 3 kali ulangan (U)
sehingga terdapat 27 satuan percobaan. Data yang
diperoleh diolah dengan menggunakan analisis sidik
ragam (ANOVA), Bagi perlakuan yang berpengaruh
nyata dan sangat nyata, dilakukan uji lanjutan Beda
Nyata Terkecil (BNT) (Sugandi dan Sugiarto, 1994).
Proses ekstraksi enzim fisin dari daun ara
Daun ara dirajang dan ditambah air dengan
perbandingan 1 gram daun ara : 15 mL air. Campuran
tersebut diblender dan selanjutnya disaring untuk
memisahkan air yang mengandung enzim fisin dari
ampas daun ara sehingga diperoleh ekstrak daun ara
(Husna, 1998). Ekstrak daun ara tersebut ditambahkan
asam asetat glasial hingga pHnya menjadi 3,5 yang
dapat diukur dengan menggunakan pH meter.
Campuran tersebut dipanaskan sambil diaduk perlahan-
lahan hingga terbentuk gumpalan klorofil atau gumpalan
hijau. Gumpalan ini akan lebih padat dan lebih besar
bila suhu dinaikkan menjadi 35 oC. Gumpalan klorofil
disaring dengan kertas saring sehingga diperoleh
ekstrak kasar enzim fisin. Kemudian dianalisis aktivitas
proteolitik pada ekstrak kasar enzim fisin dari daun ara
tersebut menggunakan metode Milk Clotting Unit
(Muhidin, 2003).
Proses pembuatan minyak kelapa
Mula-mula dipilih buah kelapa yang relatif tua
(11 12 bulan), kemudian disimpan selama 2 minggu.
Setelah penyimpanan selama 2 minggu buah kelapa
tersebut dibelah dan dibuang airnya. Kemudian buah
kelapa diparut dengan parutan mekanis dan ditimbang
dengan menggunakan analytical balance untuk
mendapatkan daging kelapa segar. Sebelumnya
dilakukan analisis kadar air (Sudarmadji et al., 1996)
dan kadar lemak (Apriyantono et al., 1989). Pada daging
kelapa parut ditambahkan ekstrak kasar enzim fisin
sebesar 30 % (v/b), 40 % (v/b), dan 50 % (v/b) per
satuan berat daging kelapa. Campuran tersebut diaduk
hingga merata. Fermentasi dilakukan dalam plastik
ukuran 5 kg dan dimasukkan dalam stoples tupperware
tertutup selama 8 jam, 16 jam dan 24 jam pada suhu
ruang. Setelah fermentasi, daging kelapa parut
dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu
70oC dengan waktu pengeringan yaitu selama 7 jam.
Tiap 1 jam dilakukan pembalikan agar daging kelapa
parut kering secara merata. Daging kelapa parut yang
telah kering selanjutnya dibungkus dengan kain saring
dan dilakukan pengepresan menggunakan hydraulic
press hingga diperoleh minyak kelapa. Pengepresan
dilakukan selama 15 menit dengan cara mengepres
minyak selama 5 menit sebanyak 3 kali ulangan pada
tekanan 150 kgf/cm2 untuk mendapatkan hasil yang
terbaik. Minyak kelapa yang diperoleh selanjutnya
dianalisis yang meliputi uji rendemen dan
ekstraktibilitas, penentuan kadar air, kadar asam lemak
bebas (%FFA), bilangan peroksida, bilangan
penyabunan (Sudarmadji et al., 1996) dan uji
organoleptik (hedonik) berupa warna dan aroma
(Soekarto, 1985).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis kadar air dan kadar lemak daging
buah kelapa segar yang digunakan pada penelitian ini
adalah 43.30 % bb (berat basah) air dan 34 % lemak.
Sedangkan menurut Ketaren (1986), daging buah
kelapa tua mengandung 46,9 % bb air dan 34,7 %
lemak. Komposisi kimia daging kelapa dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu varietas, keadaan tempat tumbuh,
umur tanaman dan umur buah. Palungkun (1993)
menyatakan bahwa umur buah sangat mempengaruhi
komposisi kimia daging buah kelapa.
Hasil analisis terhadap aktivitas proteolitik enzim
fisin dengan menggunakan metode penggumpalan susu
atau Milk Clotting Units (MCU) pada ekstrak daun ara
(Ficus hispida L.) dalam penelitian ini adalah sebesar
400 MCU/gram. Nilai ini sedikit lebih rendah
dibandingkan dengan pernyataan Biochem Europe
(2008), yang menyatakan bahwa enzim fisin yang
berasal dari ekstrak daun ara (Ficus hispida L.) memiliki
aktivitas proteolitik sekitar 500 MCU/gram.
Rendemen
Rendemen minyak merupakan persentase
minyak kelapa yang dihasilkan per satuan berat daging
buah kelapa. Rendemen minyak kelapa yang dihasilkan
dalam penelitian ini berkisar antara 18,45% - 29,93%
dengan rata-rata 22,99%.
-
14 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
konsentrasi ekstrak kasar enzim fisin berpengaruh tidak
nyata (P>0.05), sedangkan lama fermentasi dan
interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh sangat
nyata (P0.01) terhadap rendemen minyak kelapa yang
dihasilkan. Pengaruh interaksi antara konsentrasi
ekstrak kasar enzim fisin dan lama fermentasi terhadap
rendemen minyak kelapa yang dihasilkan dapat dilihat
pada Gambar 1.
Gambar 1 menunjukkan bahwa rendemen
minyak yang tinggi diperoleh dari kombinasi perlakuan
K3L1. Nilai rendemen tersebut tidak berbeda nyata
dengan K1L1, K2L2 dan K2L3. Hal ini menunjukkan bahwa
lama fermentasi 8 jam dengan konsentrasi ekstrak kasar
enzim fisin sebesar 30% sudah cukup, karena
penambahan lama fermentasi dan konsentrasi ekstrak
kasar enzim fisin tidak menunjukkan peningkatan
rendemen yang berarti.
Peningkatan konsentrasi enzim fisin juga akan
memacu aktivitas enzim fisin dalam merusak emulsi
protein melalui reaksi hidrolisis sehingga minyak yang
dapat diekstrak menjadi semakin besar (Lehninger,
1982). Rosenthal et al. (1996) menyebutkan bahwa
secara umum semakin tinggi konsentrasi enzim dan
waktu reaksi maka semakin tinggi rendemen minyak
yang dihasilkan hingga mencapai batas tertentu,
selanjutnya rendemen minyak akan menurun meskipun
dengan penambahan enzim.
Ekstraksibilitas
Ekstraksibilitas merupakan perbandingan antara
jumlah minyak yang dapat diekstrak dari suatu bahan
dengan jumlah minyak yang terkandung dalam bahan
tersebut. Ekstraksibilitas yang dihasilkan dalam
penelitian ini berkisar antara 55,25% - 89,60% dengan
rata-rata 68,82%.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
konsentrasi ekstrak kasar enzim fisin berpengaruh tidak
nyata (P>0.05), sedangkan lama fermentasi dan
interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh sangat
nyata (P0.01) terhadap ekstraksibilitas minyak yang
dihasilkan. Pengaruh interaksi antara konsentrasi
ekstrak kasar enzim fisin dan lama fermentasi terhadap
ekstraksibilitas dapat dilihat pada Gambar 2.
Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa
ekstraksibilitas yang tinggi diperoleh dari kombinasi
perlakuan K3L1 (konsentrasi ekstrak kasar enzim fisin
sebesar 50% dan lama fermentasi selama 8 jam). Nilai
tersebut tidak berbeda nyata dengan K1L1, K2L2 dan
K2L3. Hal ini menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak
kasar enzim fisin 30% dan lama fermentasi 8 jam sudah
cukup, karena penambahan konsentrasi enzim fisin dan
lama fermentasi tidak menunjukkan peningkatan
ekstraksibilitas minyak kelapa yang signifikan.
Ekstraksibilitas yang dihasilkan dalam penelitian
ini lebih besar dari penelitian yang dilakukan oleh Jadri
(1986). Rata-rata ekstraksibilitas yang dihasilkan dalam
Gambar 1. Pengaruh interaksi antara konsentrasi ekstrak kasar enzim fisin dan lama fermentasi
terhadap rendemen minyak kelapa (nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan perbedaan tidak nyata, BNT0,05 = 3,12)
-
Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011
penelitian Jadri adalah 44,07 %. Sedangkan rata-rata
ekstraksibilitas yang dihasilkan dalam penelitian ini
adalah sebesar 68,82 %. Hal ini diduga karena jenis
enzim yang digunakan pada penelitian ini berbeda
dengan yang dilakukan oleh Jadri yang menggunakan
enzim papain. Begitu pula dengan rata-rata
ekstraksibilitas yang dihasilkan dengan menggunakan
enzim bromelin, yaitu sebesar 18,74 %. Rosenthal et al.
(1996) menyebutkan bahwa jenis enzim yang digunakan
dalam ekstraksi minyak kelapa akan mempengaruhi
jumlah minyak yang dapat diekstrak dari daging buah
kelapa.
Kadar Air
Kadar air minyak yang dihasilkan dalam
penelitian ini berkisar antara 0,19% - 0,4% dengan rata-
rata 0,33%. Kadar air yang dihasilkan pada penelitian ini
telah memenuhi syarat mutu minyak kelapa SNI 01-
2902-1982 yaitu maksimal 0,5%.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
konsentrasi ekstrak kasar enzim fisin berpengaruh nyata
Gambar 2. Pengaruh interaksi antara konsentrasi ekstrak kasar enzim fisin dan lama fermentasi
terhadap ekstraksibilitas minyak kelapa (nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama
menunjukkan perbedaan tidak nyata, BNT0,05 = 9,357).
Gambar 3. Pengaruh konsentrasi ekstrak kasar enzim fisin terhadap kadar air (nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata, BNT0,05 = 0,08)
-
16 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011
(P0.05), sedangkan lama fermentasi dan interaksi
antara konsentrasi ekstrak kasar enzim fisin dan lama
fermentasi berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap
kadar air minyak yang dihasilkan. Pengaruh konsentrasi
ekstrak kasar enzim fisin terhadap kadar air minyak
kelapa dapat dilihat pada Gambar 3.
Semakin tinggi konsentrasi ekstrak kasar enzim
fisin maka semakin tinggi pula kandungan air yang
terdapat dalam larutan ekstrak kasar enzim fisin. Hal ini
diduga menjadi penyebab meningkatnya kadar air pada
minyak kelapa yang dihasilkan. Semakin tinggi
konsentrasi ekstrak kasar enzim fisin yang ditambahkan,
maka kemampuan enzim fisin untuk bekerja merusak
emulsi protein juga semakin meningkat sehingga minyak
yang diekstrak menjadi semakin besar pula. Perusakan
emulsi ini akan disertai dengan keluarnya air dari
emulsi. Hal ini terjadi karena minyak yang terdapat
dalam daging kelapa merupakan suatu emulsi yang
bertipe minyak dalam air (o/w) (Suryani et al., 2002).
Asam Lemak Bebas (% FFA)
Asam lemak bebas minyak kelapa yang
dihasilkan berkisar antara 0,1% 0,3% dengan rata-rata
asam lemak bebas sebesar 0,228%. Asam lemak bebas
yang dihasilkan pada penelitian ini telah memenuhi
syarat mutu minyak kelapa berdasarkan SNI 01-2902-
1982 (Maksimal 5%).
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
konsentrasi ekstrak kasar enzim fisin berpengaruh
sangat nyata (P0.01) terhadap asam lemak bebas.
Sedangkan lama fermentasi dan interaksi antara
konsentrasi ekstrak kasar enzim fisin dan lama
fermentasi berpengaruh nyata (P0.05) terhadap asam
lemak bebas minyak kelapa yang dihasilkan. Pengaruh
interaksi antara kosentrasi ekstrak kasar enzim fisin dan
lama fermentasi terhadap asam lemak bebas dapat
dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 menunjukkan bahwa secara umum
semakin tinggi konsentrasi ekstrak kasar enzim fisin
yang ditambahkan dan semakin lama fermentasi maka
asam lemak bebas yang dihasilkan juga cenderung
semakin meningkat. Hal ini diduga dikarenakan adanya
penambahan air pada saat pembuatan ekstrak kasar
enzim fisin sehingga menyebabkan proses hidrolisis
yang terjadi juga bertambah besar dan asam lemak
yang dibebaskan juga semakin besar. Demikian juga
dengan semakin lama proses fermentasi maka semakin
lama terjadi kontak antara minyak dengan air yang
dapat memicu terjadinya proses hidrolisis. Menurut
Muchtadi dan Sugiyono (1992), reaksi hidrolisis ini dapat
mengakibatkan terjadinya peningkatan kandungan asam
lemak bebas dan gliserol. Hal ini menyebabkan semakin
lama proses fermentasi maka kandungan asam lemak
bebas yang dihasilkan dari reaksi hidrolisis ini juga akan
cenderung semakin tinggi.
Bilangan Peroksida
Bilangan peroksida yang dihasilkan dalam
Gambar 4. Pengaruh interaksi antara kosentrasi ekstrak kasar enzim fisin dan lama fermentasi terhadap asam lemak bebas (%FFA) (nilai-nilai yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata, BNT0,05 = 0,075).
-
Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011
penelitian ini berkisar antara 1 mg O2/g contoh - 2 mg
O2/g contoh dengan nilai rata-rata 1,8 mg O2/g contoh.
Jumlah bilangan peroksida ini telah memenuhi syarat
mutu minyak kelapa berdasarkan SNI 01-2902-1982
yaitu maksimal 5. Hasil analisis sidik ragam
menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak kasar enzim
fisin, lama fermentasi, serta interaksi antara kedua
perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0.05) terhadap
bilangan peroksida yang dihasilkan.
Peroksida terbentuk karena asam lemak tidak
jenuh mengikat oksigen pada ikatan rangkapnya
(Ketaren, 1986). Asam lemak yang menyusun minyak
kelapa terdiri dari 92% asam lemak jenuh dan 8% asam
lemak tidak jenuh. Hal ini menyebabkan minyak kelapa
lebih tahan terhadap kerusakan oksidasi (Sukartin dan
Sitanggang, 2005). Minyak yang mengandung asam
lemak tidak jenuh cenderung mudah teroksidasi.
Sedangkan minyak yang mengandung lebih banyak
asam lemak jenuh lebih mudah terhidrolisis (Syah,
2005).
Bilangan Penyabunan
Bilangan penyabunan yang dihasilkan dalam
penelitian ini berkisar antara 209,25 209,81 dengan
nilai rata-rata 209,48. Jumlah bilangan penyabunan ini
memenuhi syarat mutu minyak kelapa berdasarkan SNI
01-2902-1982 yaitu maksimal 255 - 265. Hasil analisis
sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi ekstrak
kasar enzim fisin, lama fermentasi, serta interaksi antara
kedua perlakuan berpengaruh tidak nyata (P>0.05)
terhadap bilangan penyabunan yang dihasilkan.
Angka penyabunan minyak kelapa tergolong
tinggi, hal ini disebabkan oleh karena minyak kelapa
tersusun dari asam laurat yang merupakan asam lemak
jenuh dengan berat molekul rendah. Menurut Sudarmaji
(1989) di dalam Andryi (2008), angka penyabunan di
pergunakan untuk menentukan berat molekul minyak
secara kasar. Minyak yang tersusun oleh asam lemak
rantai C pendek berarti mempunyai berat molekul relatif
kecil yang akan mempunyai angka penyabunan yang
besar. Sedangkan menurut Ketaren (1986), besarnya
bilangan penyabunan tergantung dari berat molekul.
Minyak yang memiliki berat molekul rendah akan
mempunyai bilangan penyabunan yang lebih tinggi dari
pada minyak yang mempunyai berat molekul tinggi.
Uji Organoleptik (Uji Hedonik)
Aroma
Nilai uji hedonik untuk aroma pada penelitian ini
berkisar antara 3,45 4,05 (suka) dengan nilai rata-rata
3,57 (suka). Hal ini menunjukkan bahwa rata-rata
panelis menyukai aroma minyak kelapa yang dihasilkan
dalam penelitian ini. Hal ini diduga karena minyak
kelapa yang dihasilkan dengan menggunakan ekstrak
kasar enzim fisin ini memiliki aroma khas minyak kelapa.
Senyawa yang menimbulkan aroma khas pada minyak
kelapa adalah nonyl methylketon (Ketaren, 1986).
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
konsentrasi ekstrak kasar enzim fisin, lama fermentasi,
dan interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh tidak
nyata (P>0.05) terhadap aroma minyak kelapa yang
dihasilkan.
Warna
Nilai uji hedonik parameter warna berkisar
antara 3,80 4,20 (suka), dengan nilai rata-rata 3,99
(suka) yang berarti rata-rata panelis memberikan
tanggapan suka terhadap warna minyak kelapa yang
dihasilkan. Minyak yang dihasilkan dalam penelitian ini
berwarna bening. Pada umumnya konsumen tidak
menginginkan adanya zat warna dalam minyak.
Kebanyakan warna yang diinginkan dalam minyak
adalah warna bening.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
konsentrasi ekstrak kasar enzim fisin, lama fermentasi,
dan interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh tidak
nyata (P>0.05) terhadap organoleptik warna minyak
kelapa yang dihasilkan.
Reaksi hidrolisis akan memecah lemak menjadi
gliserol dan asam lemak. Selanjutnya asam lemak ini
akan membentuk aldehid dan keton yang akan
menyebabkan minyak berwarna lebih gelap. Selain itu,
air juga berperan sebagai pereaksi dalam reaksi
kondensasi seperti yang terjadi dalam reaksi
pencoklatan nonenzimatis. Reaksi pencoklatan
nonenzimatis antara karbohidrat dan protein yang
terdapat dalam daging kelapa dapat menghasilkan
warna coklat pada minyak. Warna ini merupakan hasil
reaksi senyawa karbonil dari karbohidrat dengan asam
amino pada protein (Buckle et al., 1987).
KESIMPULAN
Minyak kelapa yang dihasilkan dengan cara
ekstraksi menggunakan ekstrak kasar enzim fisin dari
daun ara telah memenuhi syarat yang ditetapkan
Standar Nasional Indonesia dalam hal kadar air, asam
lemak bebas, bilangan peroksida, bilangan penyabunan
serta aroma dan warna. Perlakuan terbaik pada
penelitian ini diperoleh dari kombinasi perlakuan K1L1
(konsentrasi ekstrak kasar enzim fisin sebesar 30 % dan
-
18 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011
lama fermentasi selama 8 jam) yang menghasilkan
rendemen 26.01%, ekstraksibilitas 77.87%, kadar air
0.39%, asam lemak bebas 0.133%, bilangan peroksida
1.7 mg O2/g contoh, bilangan penyabunan 209.44, dan
panelis menyukai aroma dan warna minyak kelapa yang
dihasilkan.
Acknowledgment
Terima kasih yang sebesar-besarnya
disampaikan kepada Universitas Syiah Kuala,
Kementerian Pendidikan Nasional, yang telah
membiayai penelitian ini. Selain itu terima kasih juga
disampaikan kepada Dimas Ahmad Yudistira yang telah
membantu dalam pelaksanaan penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Andryi, 2008. Teknologi Lemak dan Minyak.
www.csribd.com . [14 Agustus 2008].
Apriantono, A., D. Fardiaz., N. L. Puspitasari.,
Sedarnawati dan S. Budijanto. 1989. Analisis
Pangan. PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
Arief, J. 1991. Mempelajari Efektifitas Penggunaan Bibit
Khamir Roti (Saccharomyces cerevisiae) secara
Berulang dalam Ekstraksi Minyak Kelapa
(Cocos nucifera L). Skripsi Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Biochem Europe. 2008. Refined Ficin Microgranulate.
http:///www.biochem-europe.com/data05-en.htm
[1 Maret 2008].
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M.
Wootton. 1987. Ilmu Pangan. UI-Press, Jakarta.
Che-Man, Y.B., Suhardiyono, A.B. Asbi, M.N. Azudin,
and L.S. Wei. 1996. Aqueous Enzymatic
Extraction of Coconut Oil. JAOCS. 73 (6): 683-
686.
Chen, B.K., and L.L. Diosady. 2003. Enzymatic Aqueous
Processing of Coconuts. International Journal of
Applied Science and Engineering. 1 (1): 55-61.
Fennema, O.R. 1996. Food Chemistry. 3rd ed. Marcel
Dekker, Inc. New York.
Husna, H. 1998. Pembuatan Minyak Kelapa dari Santan
Kelapa Segar Menggunakan Ekstrak Kasar
Enzim Papain dan Ekstrak Kasar Enzim
Bromelin. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Jadri, A. 1986. Penggunaan Papain sebagai Pemecah
Emulsi dalam Produksi Minyak Kelapa. Skripsi
Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan
Lemak Pangan. UI-Press, Jakarta.
Lehninger, A. L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia Jilid 1.
Erlangga, Jakarta.
Muchtadi, D. dan N. Utari. 1990. Pengolahan Buah
Kelapa secara Enzimatis dan Evaluasi
Mutu Minyak serta Nilai Gizi Protein yang
Dihasilkan. Laporan Penelitian Fakultas
Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Muchtadi, T.R. dan Sugiyono. 1992. Petunjuk
Laboratorium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan.
PAU Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
Muhidin, D. 2003. Agroindustri Papain dan Pektin.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Palungkun, R. 1993. Aneka Produk Olahan Kelapa.
Penebar Swadaya, Jakarta.
Pelczar, M.J., and E.C.S. Chan. 1986. Dasar-Dasar
Mikrobiologi. Penerjemah Hadiutomo, R.S. UI-
Press, Jakarta.
Rosenthal, A., D.L. Pyle, and K. Niranjan. 1996.
Aqueous and enzymatic processes for edible oil
extraction. Enzyme and Microbial Technology.
19 (1): 402-420.
SantAnna, B.P.M., S.P. Freitas, and M.A.Z. Coelho.
2003. Enzymatic Aqueous Technology for
Simultaneous Coconut protein and Oil
Extraction. Grasas y Aceites. 54 (1): 77-80.
Soeka, Y.S., J. Sulistyo, dan E. Naiola. 2008. Analisis
Biokimia Minyak Kelapa Hasil Ekstraksi secara
Fermentasi. Biodiversitas. 9 (2): 91-95.
-
Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011
Soekarto, S.T. 1985. Penilaian Organoleptik. Bhratara
Karya Aksara, Surabaya.
Standar Nasional Indonesia No. 01-2902-1982. Minyak
Kelapa. Pusat Standarisasi Industri.
Departemen Perindustrian dan Perdagangan,
Jakarta.
Sudarmadji, S., H. Bambang, dan Suhardi. 1996.
Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. PT.
Liberti UGM, Yogyakarta.
Sugandi, E. dan Sugiarto. 1993. Rancangan Percobaan.
Andi Offset, Yogyakarta.
Sukartin, J.K. dan M. Sitanggang. 2005. Gempur
Penyakit dengan VCO. Agromedia pustaka,
Jakarta.
Suryani, A., I. Sailah, dan E. Hambali. 2002. Teknologi
Emulsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
Susanto, T. dan B. Saneto. 1994. Teknologi Pengolahan
Hasil Pertanian. PT Bina Ilmu, Surabaya.
Syah, A.N.A. 2005. Virgin Coconut Oil, Minyak Penakluk
Aneka Penyakit. PT Agromedia Pustaka,
Jakarta.
Tano-Debrah, K., and Y. Ohta. 1997. Aqueous
Extraction of Coconut Oil by an Enzyme-
Assisted Process. J Sci Food Agric. 74: 497-
502.
Winarno, F.G. 1983. Enzim Pangan. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
-
20 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011
ISOLASI DAN IDENTIFIKASI BAKTERI ASAM LAKTAT PADA TAHAP FERMENTASI AWAL ASAM SUNTI (BELIMBING WULUH FERMENTASI KHAS ACEH)
ISOLATION AND IDENTIFICATION OF LACTIC ACID BACTERIA ON THE EARLY STAGE
FERMENTATION OF ASAM SUNTI (TRADITIONAL FERMENTED BILIMBI OF ACEH)
Murna Muzaifa 1 1Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 23111
*) Email: [email protected]
ABSTRACT The objective of this study was to identify lactic acid bacteria involved on the first stage fermentation of asam
sunti. This study used explorative laboratory design. Asam sunti was produced in laboratory scale. 15 isolates were selected from laboratory-prepared asam sunti. Isolates were characterized by morphological, biochemical and their ability to ferment carbohydrates. Three species of lactic acid bacteria were identified on the early stage of asam sunti fermentation, i.e. Enterococcus faecalis, Lactobacillus brevis and Lactobacillus plantarum.
Keywords: belimbing, asam sunti, lactic acid bacteria, fermentation.
PENDAHULUAN
Asam sunti merupakan nama yang digunakan
oleh masyarakat Aceh untuk menyebut hasil fermentasi
belimbing wuluh yang berwarna coklat, berasa sangat
asam dan sedikit asin serta mempunyai tekstur agak
kenyal yang digunakan sebagai bumbu khususnya
pemberi rasa asam. Produk ini dibuat hanya pada saat
musim belimbing wuluh berbuah lebat, namun karena
ketahanan simpannya yang sangat baik (mencapai satu
tahun lebih) maka asam sunti tetap tersedia sepanjang
tahun.
Berdasarkan pengelompokan bahan pangan hasil
fermentasi di dalam Sahlin (1999) yang merujuk pada
pengelompokkan yang dilakukan Campbell-Platt (1987)
dan Yokotsuka (1982), asam sunti dapat dikategorikan
sebagai pikel atau produk fermentasi buah dan sayuran
yang hanya digunakan sebagai bumbu. Penggunaan
garam (dengan metode penggaraman kering) untuk
membuat asam sunti merupakan salah satu metode
yang diterapkan dalam pembuatan pikel (Brandt, 1996).
Secara garis besar, pembuatan asam sunti terdiri
dari pelayuan, penggaraman dan penjemuran berulang
(fermentasi awal) dan pemeraman (fermentasi lanjutan).
Pelayuan dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan
penjemuran langsung belimbing wuluh yang baru dipetik
selama 1-2 hari ataupun dengan perendaman terlebih
dahulu dalam air selama 1 malam baru dijemur dibawah
sinar matahari (cara ini lebih banyak dilakukan). Setelah
dilakukan pelayuan, belimbing wuluh diangkat kemudian
dilakukan proses penggaraman yang diikuti dengan
penjemuran berulang. Proses penggaraman dan
penjemuran ini biasanya berlangsung 3-4 kali
tergantung kondisi lingkungan hingga diperoleh
belimbing yang agak kering berwarna coklat dan kenyal.
Produk ini biasanya digunakan setelah diperam selama
2 minggu hingga 3 bulan.
Walaupun penggunaan asam sunti sebagai
bumbu masakan oleh masyarakat Aceh telah ada sejak
zaman dulu, pengkajian ilmiah tentang produk ini relatif
masih sangat terbatas. Sebagai produk fermentasi,
banyak faktor-faktor dalam pengolahan asam sunti
yang perlu dieksplorasi. Proses fermentasi melibatkan
mikroorganisme dan merubah karakteristik fisikokimia
dan mikrobiologis dari suatu bahan baku, demikian pula
pada asam sunti. Hasil penelitian pendahuluan Muzaifa
(2007) menunjukkan bahwa terjadi kenaikan total asam
laktat pada produk asam sunti. Diduga bakteri asam
laktat terlibat dalam fermentasi asam sunti sebagaimana
umumnya terjadi pada produk fermentasi sayur dan
buah lainnya yang diproses dengan penggaraman
(Steinkraus, 1983; Molin, 2003).
Identifikasi bakteri asam laktat dari asam sunti
merupakan upaya eksplorasi awal untuk menambah
koleksi dan keragamanan kultur bakteri asam laktat asli
Indonesia. Rahayu et al., 1996 telah melakukan isolasi
dan identifikasi bakteri asam laktat dari berbagai produk
tradisional yang tersebar di berbagai daerah Indonesia
namun tidak termasuk asam sunti.
Perubahan dan suksesi bakteri asam laktat dalam
berbagai produk fermentasi menunjukkan ciri tersendiri.
Dominasi dan komposisi bakteri asam laktat pada tahap
awal dan akhir fermentasi keju menunjukkan adanya
perbedaan. Demikian pula hanya pada fermentasi
yogurt, pikel, sauerkraut, dan produk fermentasi lainnya
(Steinkraus, 1983; Potter dan Hotckiss, 1995; Holzafel
et al., 2003; Molin, 2003). Komposisi bakteri asam laktat
pada tahap awal fermentasi akan sangat mempengaruhi
komposisi bakteri asam laktat pada tahap fermentasi
-
Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011
lanjutan (pemeraman) dan karakteristik produk
fermentasi yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentikasi bakteri asam laktat pada tahap
fermentasi awal asam sunti.
METODOLOGI
Bahan
Bahan-bahan yang digunakan untuk pembuatan
asam sunti adalah belimbing wuluh dan garum dapur.
Adapun bahan kimia yang digunakan untuk analisa
adalah akuades, NaOH, H2O2 3%, indikator phenol
red, safranin, media MRS (agar dan broth), media
glukosa cair, NaCl, kristal violet, amonium oksalat dan
iod. Bahan kimia yang digunakan berlabelkan pa (pro
analysis) Merck.
Alat
Alat yang digunakan adalah wadah plastik,
nampan bambu, peralatan analisis berupa alat-alat
gelas, timbangan elektrik AEL-200 Shimadzu, mixer
type 3700 Thermolyne, autoclave, lampu bunsen,
inkubator Heraus D6450 , cooling incubator MG-KT-2
Autonics, laminer air flow ESC, mikroskop Olympus
NEA, kit Microbact, aluminium foil, jarum ose,
mikropipet, dan colony counter Galaxy 230.
Metode
Rancangan penelitian berupa penelitian
laboratorium eksploratif. Asam sunti dibuat dalam skala
laboratorium. Analisis dilakukan pada asam sunti yang
telah difermentasi awal (setelah penggaraman dan
penjemuran berulang) tetapi tidak diperam (belum
mengalami fermentasi lanjutan).
Pembuatan Asam Sunti
Belimbing wuluh yang digunakan adalah yang
baru dipetik dan sudah cukup matang dengan berat 20-
35 g, panjang 6-9 cm, serta warna hijau kekuningan.
Belimbing wuluh yang baru dipetik dipisahkan dari
kotoran seperti daun, ranting, bunga dan buah cacat.
Prosedur pembuatan asam sunti dalam penelitian ini
mengacu pada prosedur pembuatan asam sunti yang
dilakukan oleh Djamaran dan Yuniar (1996) dan
Noviyanti (2004) dengan sedikit modifikasi. Belimbing
wuluh ditimbang sebanyak 3 kg kemudian dijemur
selama 2 hari (hingga mencapai 70% berat belimbing
wuluh awal), dipindahkan kedalam baskom dan
dilakukan penggaraman tahap 1 (garam yang
ditambahkan setiap tahap 4% dari berat belimbing
wuluh setelah penjemuran) kemudian dimasukkan
kedalam plastik hitam, ditutup dan didiamkan selama
semalam. Keesokan harinya dijemur hingga mencapai
40% berat belimbing wuluh awal, kemudian diangkat
dan dilakukan penggaraman tahap 2,didiamkan
semalam. Penjemuran dilanjutkan kembali hingga
diperoleh 25% berat belimbing wuluh awal kemudian
diangkat dan dilakukan penggaraman tahap 3.
Penjemuran diteruskan selama 2 hari hingga diperoleh
produk dengan berat 16% dari belimbing wuluh awal.
Asam sunti ini dipindahkan kedalam wadah plastik siap
untuk dianalisis.
Isolasi dan Identifikasi Bakteri Asam Laktat
Sampel berupa belimbing wuluh atau asam sunti
dipotong-potong ditimbang sebanyak 10 g dan
dimasukkan kedalam 90 ml akuades steril. Selanjutnya
dilakukan homogenisasi dengan divortek selama 10
menit. Suspensi yang diperoleh diencerkan dengan
pengenceran berseri hingga 10-3 kemudian secara
aseptik diambil dengan pipet 1 ml aliquot dan
dimasukkan kedalam cawan petri yang telah ditandai
seri pengencerannya. Selanjutnya dituangi MRS agar
yang masih cair, dibiarkan memadat kemudian
diinkubasi didalam inkubator dengan suhu 37oC selama
72 jam. Selanjutnya secara acak dipilih 2-5 koloni
tunggal dari setiap cawan , dimurnikan dengan metode
streaking pada media yang sama dan diinkubasi 37oC
selama 72 jam. Selanjutnya kultur murni tersebut
ditanam kembali didalam media agar miring hingga siap
untuk diidentifikasi (Modifikasi Fardiaz, 1997).
Identifikasi bakteri asam laktat didasarkan pada
sifat morfologi, fisiologi, dan biokimia dari bakteri. Uji
sifat morfologi meliputi pewarnaan Gram dan
pengamatan bentuk sel dengan mikroskop. Uji fisiologi
dan biokimia meliputi uji katalase (Koneman, et al.
1988), uji kemampuan menghasilkan gas (Cappucino
and Sherman, 1987), uji kemampuan tumbuh pada
temperatur 10oC dan 45oC (Leveu, et al. 1995), uji
kemampuan tumbuh pada NaCl 6,5% (Savadogo, et al.
2004) dan uji kemampuan bakteri dalam memfermentasi
karbohidrat (Microbact, Oxoid).
Hanya isolat yang menunjukkan Gram positif (+)
dan katalase negatif (-) yang akan diidentifikasi lebih
lanjut karena kedua hasil uji tersebut merupakan sifat
umum bakteri asam laktat (Sharpe, 1979). Penentuan
genera bakteri asam laktat dilakukan dengan melihat
bentuk sel, kemampuan menghasilkan gas, kemampuan
untuk tumbuh pada suhu 10oC, 45oC dan garam 6,5%
(Rahayu, 2004). Selanjutnya dilakukan uji fermentasi
karbohidrat menggunakan kit yang mengandung
-
22 Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011
beberapa jenis karbohidrat (Microbact, Oxoid), terdiri
atas glukosa, manitol, xilosa, inositol, sorbitol, ramnosa,
sukrosa, laktosa, arabinosa, adonitol, rafinosa dan
salisin.
Seluruh hasil pengujian tersebut dicocokkan
dengan Bergeys manual dan pustaka pendukung yang
memuat karakteristik bakteri asam laktat yang
ditemukan (Elliot and Facklam , 1995; Holt, et al.,
1994; Lucke and Schillinger, 1987).
Analisis data
Data hasil identifikasi bakteri asam laktat
dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Bakteri Asam Laktat
Batas pengelompokan bakteri asam laktat hingga
saat ini masih diperdebatkan. Sebelumnya klasifikasi
bakteri asam laktat serta karakterisasinya yang umum
digunakan terdapat dalam Bergeys Manual Systematic
Bacteriology Vol II. Anggotanya terdiri dari dua famili
yaitu Streptococcuceae dan Lactobacillaceae. Famili
Streptococcuceae terdiri dari bentuk kokus atau bulat
telur dari genus Streptococcus, Leuconostoc, dan
Pediococcus sedangkan famili Lactobacillaceae
merupakan bentuk batang yang anggotanya terdiri dari
satu genus yaitu Lactobacillus (Wibowo, 1989).
Keempat genera tersebut merupakan dasar klasifikasi
dari bakteri asam laktat dan meskipun saat ini masih
bertahan namun beberapa genera telah mengalami
beberapa perubahan membentuk genera baru.
Terjadinya perubahan-perubahan dalam
klasifikasi bakteri asam laktat yang menghasilkan
beberapa genera baru disebabkan oleh semakin
majunya teknologi di bidang biokimia, fisiologi, sitologi,
dan genetika mikroorganisme. Walaupun demikian,
kelompok bakteri asam laktat yang paling mendapat
perhatian dalam industri pangan terdiri atas 6 genera
yaitu Lactobacillus, Lactococcus, Leuconostoc,
Streptococcus, Enterococcus dan Pediococcus
(Axelsson, 1998; Moir, et al., 2001).
Pada penelitian ini didapatkan sebanyak 15 isolat.
Isolat tersebut dikelompokkan menjadi 3 grup (A, B,
dan C) berdasarkan perbedaan hasil karakterisasi
morfologi, fisiologi dan biokimia sebagaimana disajikan
pada Tabel 1.
Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa seluruh isolat
menunjukkan Gram positif dan katalase negatif yang
membuktikan bahwa isolat yang diperoleh adalah
kelompok bakteri asam laktat. Sharpe (1979)
menyebutkan bahwa kedua sifat tersebut merupakan
sifat umum bakteri asam laktat.
Tabel 1. Hasil karakterisasi morfologi, fisiologi dan
biokimia bakteri asam laktat yang diisolasi pada tahap
awal fermentasi asam sunti.
Hasil uji Gram positif ditunjukkan oleh
kemampuan bakteri mempertahankan warna utama
yang dipengaruhi oleh struktur dinding selnya. Dinding
sel bakteri Gram positif mempunyai lapisan
peptidoglikan yang tebal dan juga mengandung asam
teikoat yang dapat menjaga permiabilitas eksternalnya
sedangkan bakteri Gram negatif lapisan
peptidoglikannya tipis serta mengandung lapisan
lipopolisakarida (Alexandre et al., 2001). Hasil uji
katalase negatif menunjukkan bakteri tersebut tidak
mempunyai enzim katalase. Bakteri asam laktat
menggunakan enzim peroksidase untuk mengubah
hidrogen peroksida, bukan dengan enzim katalase
(Buckle, et al., 1985; Jay, 1992).
Grup A terdiri dari 1 isolat, mempunyai bentuk
kokus, Gram positif, katalase negatif, tidak
menghasilkan gas, mampu memfermentasi glukosa,
manitol, sorbitol, sukrosa, laktosa, salisin, mampu
Karakteristik Grup Bakteri Asam Laktat (n = 15)
A
n = 1 B
n = 4 C
n = 10
Bentuk
Gram
Katalase
Produksi gas
Glukosa
Manitol
Xilosa
Inositol
Sorbitol
Ramnosa
Sukrosa
Laktosa
Arabinosa
Adonitol
Rafinosa
Salisin
Suhu10 oC
Suhu 45oC
NaCl 6,5 %
kokus
+
-
-
+
+
-
-
+
-
+
+
-
-
-
+
+
+
+
batang
+
-
+
+
-
+
-
-
-
+
+
+
-
-
-
+
+
td
batang
+
-
-
+
+
-
-
+
-
+
+
-
-
+
+
+
+
td
Bakteri asam
laktat yang diduga E. faecalis L. brevis L. plantarum
a Keterangan : n= jumlah isolat , + = reaksi positif,
- = reaksi negatif, td= tidak dilakukan
-
Jurnal Teknologi dan Industri Pertanian Indonesia Vol. (3) No.3, 2011
tumbuh pada suhu 10oC, 45oC dan NaCl 6,5%.
Penentuan genus berdasarkan bentuk sel kokus, tidak
menghasilkan gas dari glukosa, mampu tumbuh pada
suhu 10oC, 45oC, dan 6,5% NaCl. Sedangkan kunci
determinasi spesiesnya adalah kemampuan
menghasilkan asam dari sorbitol dan ketidakmampuan
memfermentasi rafinosa. Berdasarkan hasil tersebut
diduga grup A identik dengan Enterococcus faecalis.
Grup B terdiri dari 4 isolat mempunyai bentuk
kokus, Gram positif, katalase negatif, menghasilkan gas,
mampu memfermentasi glukosa, xilosa, sukrosa,
laktosa, tumbuh pada suhu 10oC dan 45oC.
Berdasarkan hasil tersebut diduga grup B identik
dengan Lactobacillus brevis. Genusnya ditentukan
berdasarkan bentuk sel batang, sedangkan spesiesnya
ditentukan berdasarkan kemampuan menghasilkan gas
dan memfermentasi xilosa. Adanya kemampuan
menghasilkan gas menunjukkan bahwa strain ini
merupakan kelompok heterofermentatif. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan
Lactobacillus brevis pada suhu 45oC bervariasi, namun
dalam penelitian ini semua isolat Lactobacillus brevis
menunjukkan pertumbuhan yang baik pada suhu 45oC.
Grup C terdiri dari 10 isolat, mempunyai bentuk batang,
Gram positif, katalase negatif, tidak menghasilkan gas,
mampu memfermentasi glukosa, manitol, sukrosa,
laktosa, sorbitol, rafinosa, salisin, tumbuh pada suhu
10oC dan suhu 45oC. Berdasarkan hasil tersebut diduga
grup C identik dengan Lactobacillus plantarum.
Genusnya ditentukan berdasarkan bentuk sel batang
sedangkan kunci identifikasi Lactobacillus plantarum
dari anggota kelompoknya adalah mampu menghasilkan
asam dari rafinosa yang jarang dimiliki oleh
Lactobacilleae lainnya serta mampu memfermentasi
sorbitol. Lactobacillus plantarum merupakan spesies
yang paling tahan asam dan paling besar menghasilkan
asam dibandingkan bakteri asam laktat yang lain
sehingga sampai tahap akhir fermentasi, spesies ini
sering ditemukan (Steinkraus, 1983; Molin, 2003;
Anonim, 2004).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Bakteri asam laktat ditemukan pada tahap fermentasi
awal asam sunti. Tiga spesies bakteri asam laktat yang
teridentifikasi yaitu Enterococcus faecalis, Lactobacillus
brevis dan Lactobacillus plantarum.
Saran
Perlu dilakukan metode isolasi dan identifikasi yang
berbeda untuk mengkonfirmasi spesies bakteri asam
laktat yang ditemukan..
DAFTAR PUSTAKA
Alexandre, S.K and D. Strete. 2001. Microbiology A
Photographic Atlas for The Laboratory. An
Imprint of Addison Wesley Longman Inc, New
York.
Anonim. 2004. Standard of ASEAN Herbal Medicines
Vol II. Penerbit ASEAN Countries, Jakarta,
Brandt, L.1996. Pickle to Perfection. http://
www.foodproductdesign.com/cms Tanggal
akses : 20 September 2006.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G. H Fleet and M. Wooten.
1987. Ilmu Pangan. Terjemahan Hari Purnomo
dan Adiono. Universitas Indonesia press,
Jakarta.
Cappucino, J.G. and N. Sherman.1987. Microbiology :
A Laboratory Manual. 2nd Edition. The
Benyamin/Cummings Publ.Co.Inc, New York.
Djamaran, I dan Yuniar, 1996. Kajian Pemberian Nilai
Tambah serta pendirian industri Belimbing
Wuluh (Averrhoa bilimbi L). Jurnal Teknologi
Industri Pertanian, 6 (2): 87-94.
El Soda, M., N. Ahmed., N. Omran., G. Osman