artikel erri gunrahti
TRANSCRIPT
1
A. Latar Belakang Masalah
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah secara
normatif menggariskan bahwa Kecamatan dan kelurahan adalah merupakan
bagian dari perangkat pemerintah daerah Kabupaten/Kota. Urusan yang dapat
dilakukan oleh tingkat Kecamatan atau kelurahan, tidak perlu ”berduyun-duyun”
ke tingkat Kabupaten/Kota. Lokasi kantor Kecamatan yang tepat adalah yang
mudah dijaungkau oleh seluruh warga masyarakat desa atau kelurahan setempat,
memberi dampak efektif dan efisien bagi masyarakat, dan tentu saja dapat
memotong birokrasi yang berbelit-belit. Asumsi yang dibangun di atas, sebuah
Kecamatan yang terlalu gemuk dengan jumlah desa/kelurahan yang banyak tidak
lagi efektif dan efisien. Semangat dari studi ini adalah dengan penempatan lokasi
pelayanan publik yang tepat, diharapkan secara bertahap dapat membangun
wilayah secara lebih merata dan meningkatkan pelayanan publik.
Pemekaran wilayah khususnya Kecamatan sangat jarang sekali dibahas,
karena pada umumnya pemekaran dilakukan untuk menimbulkan Kabupaten Baru
atau memunculkan Provinsi baru yang otonom maka kiranya perlu adanya suatu
kajian pemekaran Kecamatan untuk memperjelas dan mendapatkan ilmu
pengetahuan baru yang berguna bagi pengembangan hukum pemerintahan daerah.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul : “TINJAUAN YURIDIS
PEMEKARAN KECAMATAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG 32
TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka dapat dirumuskan
masalah yaitu bagaimanakah syarat dan mekanisme pemekaran Kecamatan
berdasarkan Undang-undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ?
2
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui syarat dan mekanisme pemekaran
Kecamatan berdasarkan Undang-undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah.
D. Kegunaan Penelitian
1. Keguanaan teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi perkembangan Hukum
pemerintahan daerah khususnya syarat dan mekanisme pemekaran Kecamatan
berdasarkan Undang-undang 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
2. Kegunaan Praktis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi
pembaca, bagi instansi yang terkait dengan syarat dan mekanisme
pemekaran Kecamatan berdasarkan Undang-undang 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah.
E. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan : Yuridis normatif
2. Spesifikasi Penelitian : Deskriptif
3. Sumber data : Data sekunder
4. Metode Pengumpulan
Data
: Studi kepustakaan atau studi
dokumen.
5. Teknik Penyajian Data : Teks naratif.
6. Analisa Data : Kualitatif.
F. Hasil dan Pembahasan
1. Hasil Penelitian
a. Pembentukan Kecamatan
1) Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 Tentang
Kecamatan menyatakan bahwa, Pembentukan Kecamatan dapat
3
berupa :
1) Pemekaran satu Kecamatan menjadi dua Kecamatan ataulebih;
2) Dan/atau penyatuan wilayah desa dan/atau kelurahan daribeberapa Kecamatan.
2) Pasal 3 menyatakan bahwa, pembentukan Kecamatan harus
memenuhi syarat :
1) Administratif2) Teknis, dan3) Fisik kewilayahan.
b. Syarat Administratif Pembentukan Kecamatan
Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008
Tentang Kecamatan, menyatakan bahwa, syarat administratif pembentukan
Kecamatan meliputi:
1) Batas usia penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 (lima)tahun;
2) Batas usia penyelenggaraan pemerintahan desa dan/ataukelurahan yang akan dibentuk menjadi Kecamatan minimal 5(lima) tahun;
3) Keputusan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau nama lainuntuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lainuntuk kelurahan di seluruh wilayah kecamata baik yang menjadicalon cakupan wilayah Kecamatan baru maupun Kecamataninduk tentang persetujuan pembentukan Kecamatan;
4) Keputusan Kepala Desa atau nama lain untuk desa danKeputusan Lurah atau nama lain untuk kelurahan di seluruhwilayah Kecamatan baik yang akan menjadi cakupan wilayahKecamatan baru maupun Kecamatan induk tentang persetujuanpembentukan Kecamatan;
5) Rekomendasi Gubernur.
c. Syarat Fisik Kewilayahan
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 Tentang
Kecamatan menyatakan bahwa, syarat fisik kewilayahan meliputi cakupan
wilayah, lokasi calon ibuKota, sarana dan prasarana pemerintahan. Cakupan
wilayah sebuah Kecamatan untuk daerah Kabupaten paling sedikit terdiri
atas 10 (sepuluh) desa/kelurahan dan untuk daerah Kota paling sedikit
4
terdiri atas 5 (lima) desa/kelurahan. (Pasal 6 ayat 1). Lokasi calon ibuKota
memperhatikan aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi
dan letak geografis, kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial
budaya. (Pasal 6 ayat 2). Sarana dan prasarana pemerintahan meliputi
bangunan dan lahan untuk kantor camat yang dapat digunakan untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
d. Persyaratan Teknis Pembentukan Kecamatan
1) Persyaratan teknis meliputi :
a) Jumlah penduduk;b) Luas wilayah;c) Rentang kendali penyelenggaraan pelayanan
pemerintahan;d) Aktivitas perekonomian;e) Ketersediaan sarana dan prasarana. (Pasal 7 ayat 1
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 TentangKecamatan).
2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai
berdasarkan hasil kajian yang dilakukan pemerintah Kabupaten
/Kota sesuai indikator sebagaimana tercantum dalam lampiran
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PP ini. (Pasal 7
ayat 2).
3) Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk Kecamatan di
wilayah yang mencakup satu atau lebih pulau, yang
persyaratannya dikecualikan dari persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 dengan pertimbangan untuk efektivitas
pelayanan dan pemberdayaan masyarakat di pulau-pulau
terpencil dan/atau terluar. (Pasal 8 ayat 1).
4) Pembentukan Kecamatan harus terlebih dahulu mendapat
persetujuan dari Gubernur sebagai wakil Pemerintah. (Pasal 8
ayat 2).
5) Pemerintah dapat menugaskan kepada pemerintah Kabupaten/
Kota tertentu melalui Gubernur selaku wakil Pemerintah untuk
5
membentuk Kecamatan dengan mengecualikan persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (Pasal 9 ayat 1).
6) Pembentukan Kecamatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 9
ayat (1), atas pertimbangan kepentingan nasional dan
penyelenggaraan tugas umum pemerintahan. (Pasal 9 ayat 2).
7) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pembentukan
Kecamatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) paling
sedikit memuat :
a. Nama Kecamatan;b. Nama ibuKota Kecamatan;c. Batas wilayah Kecamatan, dand. Nama desa dan/atau kelurahan. (Pasal 10 ayat 1).
8) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri
peta Kecamatan dengan batas wilayahnya sesuai kaidah teknis
dan memuat titik koordinat. (Pasal 10 ayat 2).
9) Perubahan nama dan/atau pemindahan ibuKota Kecamatan
ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. (Pasal
11).
10) Pasal 2 Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2000
Tentang Pedoman Pembentukan Kecamatan menyatakan bahwa,
Pembentukan Kecamatan ditetapkan dengan Peraturan Daerah
dan memperhatikan kemampuan Pemerintah Kabupaten/Kota.
Tata cara penilaian Pembentukan Kecamatan ditetapkan oleh
Bupati/Walikota.
11) Pasal 3 menyatakan bahwa, Pembentukan Kecamatan
sebagaimana dimaksud Pasal 2 harus memenuhi kriteria-kriteria:
a. Jumlah penduduk;b. Luas wilayah;c. Jumlah Desa/Kelurahan.
12) Pasal 4 menyatakan bahwa, jumlah penduduk sebagaimana
dimaksud Pasal 3 huruf a terdiri dari :
6
a. Wilayah Jawa dan Bali minimal 10.000 jiwa;b. wilayah Sumatera dan Sulawesi minimal 7.500 jiwa;c. wilayah Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya minimal 5.000jiwa.
13) Pasal 5 menyatakan bahwa, luas Wilayah Kecamatan
sebagaimana dimaksud Pasal 3 huruf b terdiri dari:
a. Wilayah Jawa Bali minimal 7,5 Km2;b. Wilayah Sumatera dan Sulawesi minimal 10 Km2 ;c. Wilayah Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Maluku dan Irian Jaya minimal 12,5Km2 ;
14) Pasal 6 menyatakan bahwa, jumlah Desa/Kelurahan
sebagaimana dimaksud Pasal 3 huruf c Wilayah Jawa, Bali,
Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timar, Maluku dan Irian Jaya minimal 4
Desa/Kelurahan.
e. Syarat-syarat dan Indikator Pembentukan suatu Daerah Baru
Pembentukan suatu daerah baru tidak terlepas dari persyaratan dan
indikator yang harus dicapai, maka dari itu syarat dan indikator dalam Bab
III PP RI No 129 Tahun 2000 terdiri dari:
1) Kemampuan ekonomi hal ini merupakan cerminan hasilkegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di suatu daerahProvinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan.
2) Potensi daerah merupakan cerminan tersedianya sumberdayayang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadappenerimaan daerah dan kesejahteraan msyarakat yang diukurdari:a) Sarana ekonomib) Sarana pendidikanc) Sarana kesehatand) Sarana transportasie) Sarana pariwisata
3) Sosial budaya merupakan cerminan yang berkaitan denganstruktur sosial dan pola budaya masyarakat, kondisi sosialbudaya masyarakat yang dapat diukur dari tempat peribadatandan sarana olah raga.
4) Jumlah penduduk yaitu jumlah tertentu penduduk dalam suatudaerah
7
5) Luas daerah yaitu nilai luas keseluruhan suatu daerah tertentu.6) Pertimbangan lain bagi terselenggaranya otonomi daerah dengan
berpatok pada: kemanan/ketertiban, ketersediaan saranaprasarana, rentang kendali dan lain-lain.
f. Penghapusan Dan Penggabungan Kecamatan
1) Kecamatan dihapus apabila :
a) jumlah penduduk berkurang 50% (lima puluh perseratus)b) atau lebih dari penduduk yang ada, dan/atauc) cakupan wilayah berkurang 50% (lima puluh perseratus)d) atau lebih dari jumlah desa/kelurahan yang ada. (Pasal 12
ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008Tentang Kecamatan).
2) Kajian penghapusan dan/atau penggabungan Kecamatan
dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dengan melibatkan
perguruan tinggi terdekat yang ada di Kabupaten/Kota atau
provinsi yang bersangkutan.
3) Penghapusan dan penggabungan Kecamatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ditetapkan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota. (Pasal 13).
2. Pembahasan
Pemekaran wilayah merupakan salah satu bentuk usaha memaksimalkan
pemerataan pembangunan daerah dan pengembangan wilayah. Undang-undang
No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengatur beberapa prasyarat
bagi adanya pemekaran wilayah. Syarat tersebut antara lain syarat teknis, fisik
kewilayahan, dan administratif. Tujuan dari pemekaran wilayah adalah dalam
rangka peningkatan pelayanan kepada masyarakat, percepatan pertumbuhan
kehidupan demokrasi, percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian
daerah, percepatan pengelolaan potensi daerah, peningkatan keamanan dan
ketertiban, serta peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
mengatur ketentuan mengenai pembentukan daerah dalam Bab II tentang
Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus. Pemekaran wilayah dapat
dianalogikan juga termasuk dalam ruang lingkup pembentukan daerah. Undang-
8
undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah menentukan bahwa
pembentukan suatu daerah harus ditetapkan dengan Undang-undang tersendiri.
Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 4 ayat (1). Kemudian, ayat (2) Pasal yang
sama menyebutkan,
“Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud padaayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wailayah, batas, ibuKota,kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabatkepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian,pendanaan, peralatan, dokumen, serta perangkat daerah.”
Kebijakan otonomi daerah dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, secara eksplisit memberikan otonomi yang luas
kepada pemerintah daerah untuk mengurus dan mengelola berbagai kepentingan
dan kesejahteraan masyarakat daerah. Pemerintah Daerah harus mengoptimalkan
pembangunan daerah yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Melalui
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, pemerintah daerah dan masyarakat di
daerah lebih diberdayakan sekaligus diberi tanggung jawab yang lebih besar untuk
mempercepat laju pembangunan daerah.
Sejalan dengan hal tersebut, maka implementasi kebijakan otonomi daerah
telah mendorong terjadinya perubahan, baik secara struktural, fungsional maupun
kultural dalam tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu
perubahan yang sangat esensial yaitu menyangkut kedudukan, tugas pokok dan
fungsi Kecamatan yang sebelumnya merupakan perangkat wilayah dalam
kerangka asas dekonsentrasi, berubah statusnya menjadi perangkat daerah dalam
kerangka asas desentralisasi.
Dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, terbuka
kemungkinan untuk membentuk Kecamatan baru. Pada masa UU Nomor 5 Tahun
1974, pembentukan Kecamatan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah
melewati tahap persiapan dalam bentuk Perwakilan Kecamatan. Karena
pembentukannya melalui PP, rnaka jumlah Kecamatan dapat dikendatikan sesuai
prinsip efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Pada masa UU
Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU Nomor 32 Tahun 2004, pembentukan
Kecamatan baru dapat dilakukan secara iangsung tanpa melIalui tahap persiapan
9
oleh Kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerahnya masing-masing. Pembentukan
Kecamatan baru seringkali juga didasarkan pada pertimbangan politis untuk bahan
pembentukan Kabupaten/Kota baru.
Terdapat tiga konsep pemekaran Kecamatan yang pernah berlaku di
Indonesia antara lain menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, menurut UU Nomor 22
Tahun 1999, dan menurut UU Nomor 32 Tahun 2004. Pada saat berlakunya UU
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah, dikenal istilah Kemantrenan.
Kemantren yang sudah dikenal oleh masyarakat di tanah Jawa. Kemantren pada
dasarnya adalah suatu wilayah tertentu yang memperoieh dan menjadi binaan
khusus seorang Mantri Polisi (dahulu disebut Mantri Pagar Praja). Pembinaan
khusus tersebut dilakukan dalam rangka membantu tugas Camat membina
wilayah secara keseluruhan. Pembinaan khusus tersebut dilakukan kemungkinan
karena wilayahnya berjauhan clengan kantor Camat sehingga sulit dalam
pengendaliannya ataupun karena jurnlah desa di lingkungan suatu Kecamatan
terlalu banyak sehingga diperlukan pembagian tugas.1
Keberadaan kemantren diatur secara formal menurut Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 138-210 Tahun 1982 tentang Tata Cara Pembentukkan
Kecamatan dan Perwakilan Kecamatan. Istilah Kemantren dibakukan menjadi
Perwakilan Kecamatan. Secara garis besar, Peraturan Menteri Dalam Negeri
tersebut mengatur mengenai proses pembentukan Kecamatan baru melalui
pembentukan perwakilan Kecamatan terlebih dahulu. Adapun persyaratan
pembentukan Kecamatan baru antara lain:
1. Untuk Daerah Jawa dan Bali, jumlah penduduk minimal adalah 2.500Kepala Keluarga atau 12.500 jiwa;
2. Untuk Daerah luar Jawa dan Bali, jumlah penduduk minimal 1.500Kepala Keluarga atau l.k. 7.500 jiwa;
3. Wilayah bawahan minimal terdiri dari 4 Desa/Kelurahan:4. Kecuali bagi wilayah yang penduduknya lebih dari 4.000 Kepala
Keluarga atau 20.000 jiwa, wilayah bawahan dapat terdiri dad 3Desa/Kelurahan. (Pasal 4 ayat 1 Permendagri Nomor 138-210 Tahun1982).2
1 Sadu Setiono, Ismail Nurdin dan M. Fahrurozi, Perkembangan Organisasi KecamatanDari Masa Ke Masa, Fokusmedia, Bandung, 2009, hal. 9
2 Ibid.
10
Dilatarbelakangi karena pembentukan Kecamatan baru harus terlebih dahulu
melalui pembentukan Perwakilan Kecamatan, maka dapat dikatakan bahwa
perwakilan Kecamatan merupakan bentuk embrional dari Kecamatan. Perwakilan
Kecamatan dibentuk dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I
setelah mendapat persetujuan dart Menteri Dalam Negeri. Dalam hal ini, inisiatif
pembentukannya berasal dart Daerah Tingkat I dan atau Daerah Tingkat II.
Konsekuensi logis dart hal tersebut maka seluruh fasilitas. sarana dan pembiayaan
perwakilan Kecamatan menjadi beban APBD Tingkat I dan APBD Tingkat II
(Pasal 8 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 138-210 Tahun 1982).
Meskipun perwakilan Kecamatan pada dasarnya adalah bagian dart wilayah Ad-
ministratif Kecamatan yang menjalankan tugas dekonsentrasi.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 memang mengenal perbedaan antara
desentralisasi, dekonsentrasi maupun tugas pembantuan tetapi tidak secara tegas
memisahkan pelaksanaannya, sehingga tidak tertutup kemungkinan perangkat
Wilayah Administratif diberi tugas membantu melaksanakan tugas-tugas
desentralisasi.3
Pada Pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 138-210 Tahun 1982,
dikemukakan bahwa selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak dibentuknya
perwakilan Kecamatan, harus sudah diusulkan menjadi Kecamatan dengan
memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Bab II. Hal-hal pokok yang perlu
diperhatikan untuk pengusulan perwakilan Kecamatan menjadi Kecamatan adalah
:
1. Jumlah penduduk dan tingkat perkembangannya, yang merupakanfaktor penting berkaitan dengan keberadaan Kecamatan itu sendiriserta dengan pelayanan kepada masyarakat;
2. Jumlah pegawai, prasarana dan sarana pemerintahan yang tersedia,berkaitan pula dengan pelayanan kepada masyarakat;
3. Instansi-instansi Vertikal dan Dinas yang telah ada yang diperlukandalam rangka koordinasi;
4. Fasilitas-fasilitas umum (public utilities) yang tersedia;5. Jaringan-jaringan jalan yang telah tersedia.4
3 Ibid., hal. 104 Ibid.
11
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 138-210 Tahun 1982,
meskipun sebuah perwakilan Kecamatan sudah berusia 3 (tiga) tahun atau lebih
dan sudah diusulkan menjadi Kecamatan definitif, tetapi usulan tersebut belum
tentu disetujui. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang diketuai oleh
Menteri Dalam Negeri akan mengkaji usulan dari Daerah dengan memperhatikan
pula kemampuan keuangan negara untuk menggaji pegawai, menyediakan sarana
dan prasarana perkantoran. Tetapi yang sexing menjadi penyebab ialah bahwa
jumlah Instansi Vertikal dan Dinas yang ada diperwakilan Kecamatan tersebut
belum cukup memadai. Hal ini dapat dimengerti karena pandangan kepentingan
suatu Departemen atau daerah Otonom terhadap suatu wilayah akan berbeda-
beda. Masing-masing pihak memiliki tolok ukurnya sendiri-sendiri. Ditinjau dari
sudut pandangan manajemen pemerintahan, keberadaan perwakilan Kecamatan
pada dasarnya adalah untuk memperkecil rentang kendali Camat terhadap
desa/kelurahan bawahan dan masyarakat.
Pada masa UU Nomor 5 Tahun 1974, pembentukan Kecamatan ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah setelah melewati tahap persiapan dalam bentuk
Perwakilan Kecamatan. Karena pembentukannya melalui PP maka jumlah
Kecamatan dapat dikendalikan sesuai prinsip efektivitas dan efisiensi
penyelenggaraan pemerintahan. Pada masa UU Nornor 22 Tahun 1999 maupun
UU Nomor 32 Tahun 2004, pembentukan Kecamatan baru dapat dilakukan secara
langsung tanpa melalui tahap persiapan oleh kabupaten/Kota dengan Peraturan
Daerahnya masing-masing. Pembentukan Kecamatan baru seringkali juga
didasarkan pada pertimbangan politis untuk bahan pembentukan kabupaten/Kota
baru.5
Pembentukan Kecamatan baru seharusnya dilakukan dengan alasan
mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, meningkatkan ketentraman dan
ketertiban, serta mempercepat pengembangan potensi wilayah. Intinya ditujukan
untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu
5 Ibid., hal. 37
12
kebijakan pembentukan terhadap Kecamatan tersebut didasarkan luas wilayah,
jumlah penduduk, dan potensi yang dimiliki.6
Hasil survey potensi wilayah pada beberapa provinsi, kabupaten dan Kota
menggambarkan bahwa pembangunan pada unit organisasi pemerintahan terutama
Kecamatan belum merata terutama pada bagian wilayah tertentu yang memiliki
orbitasi relatif jauh clan kantor Kecamatan. Pelayanan pemerintahan belum
menyentuh masyarakat sampai ke pelosok wilayah kerja pemerintahan
Kecamatan, serta masih banyaknya potensi yang belum tersentuh atau belum
dikelola secara optimal sehingga terjadi kesenjangan pelayanan masyarakat dan
pembangunan pada bagian-bagian tertentu dalam wilayah kerja pemerintahan
Kecamatan.
Untuk menjawab persoalan itu, alternatif pilihan kebijakan yang dapat
diambil adalah melakukan penguatan pada Kecamatan dan pembentukan
Kecamatan baru pada wilayah kerja pemerintahan Kecamatan dengan melihat
potensi pada Kecamatan yang ada. Melalui pembentukan Kecamatan, dapat
dipastikan rentang kendali pemerintah akan menjadi lebih kecil dan institusi
pelayanan menjadi lebih dekat dengan masyarakat. Terjadinya pembentukan
Kecamatan baru diharapkan akan berdampak terhadap peningkatan dan
pemerataan pembangunan jam pelayanan umum.
Kecamatan dibentuk di wilayah kabupaten/Kota dengan Peraturan Daerah
berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang
Kecamatan atas payung hukum UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Pembentukan Kecamatan dapat berupa pemekaran 1 (satu) Kecamatan
menjadi 2 (dua) Kecamatan atau lebih, dan/atau penyatuan wilayah desa dan/atau
kelurahan dari beberapa Kecamatan.
Pembentukan Kecamatan berdasarkan konsep Peraturan Pemerintah Nomor
19 Tahun 2008 tentang Kecamatan atas payung hukum UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah harus memenuhi syarat administratif, teknis,
dan fisik kewilayahan. Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk Kecamatan
di wilayah yang mencakup satu atau lebih pulau, yang persyaratannya
6 Ibid.
13
dikecualikan dari persyaratan dengan pertimbangan untuk efektifitas pelayanan
dan pemberdayaan masyarakat di pulau -pulau terpencil dan/ atau terluar.
Pembentukan Kecamatan harus terlebih dahulu mendapat persetujuan dari
gubernur sebagai wakil Pemerintah.
Pemerintah dalam hal ini dapat menugaskan kepada pemerintah
kabupaten/Kota tertentu melalui gubernur selaku wakil Pemerintah untuk
membentuk Kecamatan dengan mengecualikan persyaratan. Pembentukan
Kecamatan haruslah didasari atas pertimbangan kepentingan nasional dan
penyelenggaraan tugas umum pemerintahan.
Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan
menysyaratkan bahwa, pembentukan Kecamatan haruslahmelalui Peraturan
Daerah. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tentang Pembentukan Kecamatan
paling sedikit memuat:
a. Nama Kecamatan;b. Nama ibu Kota Kecamatan;c. Batas wilayah Kecamatan; dand. Nama desa dan /atau kelurahan.
Peraturan Daerah tersebut dilampiri peta Kecamatan dengan batas
wilayahnya sesuai kaidah teknis dan memuat titik koordinat. Konsep pemekaran
bukan hanya pembentukan baru tetapi juga akibat adanya perluasan, penyempitan
daerah Kecamatan yag mengakibatkan perubahan nama Kecamatan. Perubahan
nama dan/ atau pemindahan ibuKota Kecamatan harus pula ditetapkan dengan
Peraturan Daerah kabupaten/Kota.
Akibat logis dari adanya pemekaran yaitu penghapusan dan penggabungan
suatu Kecamatan. Kecamatan dihapus apabila:
a. Jumlah penduduk berkurang 50% (limapuluh perseratus) atau lebihdari penduduk yang ada; dan/atau
b. Cakupan wilayah berkurang 50% (limapuluh perseratus) atau lebihdari jumlah Desa/kelurahan yang ada.
Kecamatan yang dihapus, wilayahnya digabungkan dengan Kecamatan yang
bersandingan setelah dilakukan pengkajian. Penghapusan dan penggabungan
Kecamatan haruslah ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
14
Berdasarkan penjelasan mengenai pembentukan Kecamatan menurut UU Nomor
5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999 serta UU Nomor 32 Tahun 2004 dapat
dibuat perbandingan sebagai berikut:
(1) Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, pembentukan Kecamatanditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah melalui tahappembentukan perwakilan Kecamatan terlebih dahulu.
(2) Pada UU Nomor 22 Tahun 1999, sesuai dengan semangatdesentralisasi yang seluas-luasnya, pembentukan Kecamatansepenuhnya menjadi kewenangan daerah Kabupaten/Kota karenaKecamatan sudah merupakan perangkat daerah. Pembentukannyacukup melalui Peraturan Daerah Kabupaten/Kota bersangkutan,
(3) Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 juncto PP Nomor 19 Tahun 2008,pembentukan Kecamatan dilakukan dengan Peraturan Daerah setelahada rekomendasi dari Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat.Tujuannya adalah agar penambahan jumlah Kecamatan dapatdikendalikan sesuai prinsip efektivitas dan efisiensi serta kemampuankeuangan negara. Sebab pembentukan Kecamatan baru biasanyadisertai dengan pembentukan instansi vertikal tingkat Kecamatanseperti Koramil, Polsek, Mantri Statistik, KUA dan lain sebagainya.
Syarat pembentukan Kecamatan yang hanya terdiri dari tiga variabel telah
mendorong daerah Kabupaten/Kota berlomba-lomba membentuk Kecamatan
baru. yang pada gilirannya membuat birokrasinya membengkak sehingga belanja
aparaturnya meningkat serta mengurangi belanja publik. Padahal tujuan utama
pembentukan Kecamatan baru adalah untuk meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat, tetapi variabel yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat malahan
tidak dijadikan syarat pembentukan.
Berdasarkan kajian tentang pembentukan Kecamatan di berbagai daerah.
Penulis mengkonstruksikan pengukuran potensi dengan menggunakan variabel
lain yang dapat mendukung persyaratan pembentukan Kecamatan seperti variabel
kesehatan masyarakat, pendidikan, perekonomian, demografi, aspek
pemerintahan, sarana komunikasi, sarana transportasi, penerangan umum,
ketenagakerjaan, pariwisata, sarana ibadah, sarana olah raga, politik dan aspirasi
masyarakat, kamtibmas, orbitasi, peternakan, perikanan (darat/laut), kondisi sosial
masyarakat dan pertanian. Berkaitan penjelasan di atas, kiranya perlu segera
dilakukan pengkajian potensi wilayah kerja pemerintahan Kecamatan dan
kelurahan dalam rangka mengukur dan mengevaluasi variabel atau kriteria potensi
15
wilayah yang realibel untuk mengetahui dapat atau tidaknya dilakukan
pembentukan baru pada sebuah Kecamatan.
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2000 sebagaimana
dikemukakan di atas kemudian tidak digunakan lagi karena sudah terbit PP
Nomor 19 Tahun 2008. Pada Pasal 3 PP tersebut dikemukakan bahwa pem-
bentukan Kecamatan harus memenuhi Syarat Administratif, Syarat Teknis Dan
Syarat Fisik Kewilayahan. Pada Pasal 4 PP Nomor 19 Tahun 2008 dikemukakan
mengenai syarat administratif pembentukan Kecamatan meliputi:
1. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 (lima) tahun;2. Batas usia penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan
yang akan dibentuk menjadi Kecamatan minimal 5 (lima) tahun;3. Keputusan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau nama lain untuk
Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untukkelurahan di seluruh wilayah kecamata balk yang menjadi caloncakupan wilayah Kecamatan bard maupun Kecamatan induk tentangpersetujuan pornbentukan Kecamatan;
4. Keputusan Kepala Desa atau nama lain untuk desa dan KeputusanLurah atau nama lain untuk kelurahan di seluruh wilayah Kecamatanbalk yang akan menjadi cakupan wilayah Kecamatan baru maupunKecamatan induk tentang persetujuan pembentukan Kecamatan;
5. Rekomendasi Gubernur.
Pasal 5 PP Nomor 19 Tahun 2008 dikemukakan mengenai syarat fisik
kewilayahan meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibu Kota, sarana dan
prasarana pemerintahan yang tersedia. Makna cakupan wilayah diatur secara lebih
rinci dalam Pasal 6 PP Nomor 19 Tahun 2008 yaitu sebagai berikut:
(1) Cakupan wilayah untuk daerah Kabupaten paling sedikit terdiri atas10 desa/kelurahan dan untuk daerah Kota paling sedikit terdiri atas 5desa/kelurahan.
(2) Lokasi calon Ibu Kota memperhatikan aspek tata ruang, ketersediaanfasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan,sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.
(3) Sarana dan prasarana pemerintahan meliputi bangunan dan lahanuntuk kantor camat yang dapat digunakan untuk memberikanpelayanan kepada masyarakat.
Persyaratan teknis yang dimaksud diatur secara rinci pada Pasal 7 ayat (1)
PP Nomor 19 Tahun 2008, yang meliputi:
(1) Jumlah penduduk;
16
(2) Luas wilayah;(3) Rentang kendali penyelenggaraan pelayanan pemerintahan;(4) Aktivitas perekonomian;(5) Ketersediaan sarana dan prasarana.
Pengembangan wilayah pada dasarnya mempunyai tujuan agar wilayah itu
berkembang menuju tingkat perkembangan yang diinginkan. Pengembangan
wilayah dilaksankan melalui optimasi pemanfaatan sumberdaya yang dimilikinya
secara harmonis, serasi dan terpadu melalui pendekatan yang bersifat
komperhensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosoial, budaya dan lingkungan
hidup utnuk pembangunan berkelanjutan. Prinsip ini juga sering disebut dengan
pembangunan berkelanjutan dengan basis pendekatan penataan ruang wilayah.
Pembangunan berkelanjutan dengan prinsi seperti ini harus dijadikan tujuan utama
bagi pembuat keputusan kebijakan publi untuk setiap tingkatan pemerintahan
yang memang berbeda tipenya.7
Tujuan penataan ruang antara lain adalah tercapainya pemanfaatan ruang
yang berkualitas untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas berbudi luhur
dan sejahtera, mewujudkan keterpaduan pemanfaatan sumberdaya, meningkatkan
sumberdaya alam secara efisien dan efektif bagi manusia, dan mewujudkan bagi
perlindungan fungsi ruang dan mencegah kerusakan lingkungan. Hal yang sama
dinyatakan oleh Sitorus, bahwa pembangunan wilayah berkelanjutan erat
kaitannya dengan rencana pemanfaatan lahan (ruang) dan dapat diwujudkan
melalui keterkaitan pengelolaan yang tepat antara sumberdaya alam, dengan aspek
social-ekonomi, dan budaya (kultur).8
Dalam pengembangan wilayah, terlebih dahulu dilakukan perencanaan
penggunaan lahan yang strategis yang dapat memberikan keuntungan ekonomi
wilayah (strategic landuse development planning). Menurut Sitours perencanaan
penggunaan lahan yang strategis bagi pembangunan merupakan salah satu
kegiatan dari upaya pengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya lahan. Hal ini
penting untuk mengetahui potensi pengembangan wilayah, daya dukung dan
7 Djakapermana, Pengembangan Wilayah Melalui Pendekatan Kesisteman, IPB Press,Bogor, 2005, hal. 10
8 S.R.P. Sitorus, Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan, IPB Press, Bogor,2004, hal.10.
17
manfaat ruang wilayh melalui proses inventarisais dan penilaian keadaan/kondisi
lahan, potensi, dan pembatasan-pembatasan suatu daerah tertentu.9
Ketersediaan sumberdaya alam dan lingkungan serta kegiatan pengolahan
hasil ekstraksi sumberdaya alam tersebut juga akan berinteraksi dengan penduduk
setempat, permukiman atau lokasi-lokasi pasar (outlet-Kota/pelabuhan). Interaksi
yang baik, aman, lancar, murah dan tidak mengganggu lingkungan alam yang
serasi merupakan kebutuhan untuk dapat memperlancar pemasaran hasil produksi
pemanfaatan sumberdaya alam, dan sekaligus akan memberikan dampak
timbulnya berbagai kegiatan pemanfaatan ruang lainnya yang berpotensi bagi
pengembangan wilayah dimasa yang akan datang.10
Berdasarkan beberapa pandangan tersbut, terlihat suatu keterkaitan antara
upaya pemanfaatan ruang wilayah dengan faktor optimasi pemnafaatan
sumberdaya alam, lingkungan dan pengembangan prasarana transportasi wilayah.
Upaya untuk mengembangkan wilayah harus sesuai dengan tujuan pokok
pengembangan wilayah yang ada dalam rencana tata ruang yang telah disepakati
sebelumnya. Tujuan ini selanjutnya dituangkan dalam rencana struktur dan pola
ruang serta berbagai indikasi program. Perwujudan rencana tata ruang dan
indikasi program tersebut masih memerlukan alat penjabarannya dalam bentuk
arahan kebijakan strategis.
Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
pengertian wilayah adalah “ruang” yang merupakan satu kesatuan geografis
beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan
aspek administrasi dan atau aspek fungsional. Sementara itu, pengertian ruang
menurut Undang-undang yang sama adalah wadah yang meliputi ruang darat,
ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan
wilayah, tempat manusia dan mahluk hidup lain, melakukan kegiatan dan
memelihara kelangsungan hidupnya. Dengan pengertian ruang tersebut, maka ada
ruang untuk kegiatan manusia melakukan kegiatannya (budidaya) dan ada ruang
untuk kelangsungan mahluk hidup lainnya yang harus dipelihara, dijaga, dan
9Ibid., hal.1210 Djakapermana, Op cit., hal. 14
18
bahkan dlindungi agar kehidupannya bisa tetap berlangsung (ruang yang harus
dilindungi).
Berdasarkan pengertian Undang-undang tersebut, ada dua aspek yang harus
diperhatikan dalam konsep wilayah yaitu:
1. Di dalam wilayah ada unsur-unsur yang saling terkait yaitu ruangyang berfungsi lindung yang harus selalu dijaga keberadaannya danruang yang berfungsi budidaya sebagai tempat manusia melakukankegiatannya untuk kelangsungan hidupnnya, yang pada dasarnya,keduanya tidak biasa hidup dan berkembang serta survive(berkelanjutan) secara sendiri-sendiri.
2. Adanya pengertian deliniasi fungsi berdasarkan kooridnasi geografis(batas berdasarkan titik-titik kooridnat) yang deliniasinya bisa wilayahadmnisitrasi (pemerintahan) dan wilayah fungsi tertentu lainnya.Pengertian wilayah ini menurut Rustiadi et al akan selalu terkait aspekkepentingan sosial, ekonomi, budaya, politik, keamanan maupunpertahanan. Secara umum pengertian wilayah ini dapat dikelompokansebagai berikut:1) Ruang wilayah ekologis adalah deliniasi fungsi kesatuan
ekosistem berbagai kehidupan alam dan buatan yangmembentuk pola ruang ekotipe dan struktur hubungan yanghierarkis antara ekotipe, misalnya daerah aliran sungai (DAS)dengan sub DAS-nya, wilayah hutan tropis dengan strukturbagian hutan tropisnnya.
2) Ruang wilayah ekonomi adalah deliniasi wilayah yangberorientasi menggambarkan maksud fungsi (manfaat-manfaat)ekonomi, seperti wilayah produksi, konsusmi, perdagangan,aliran barang dan jasa.
3) Ruang wilayah sosial budaya adalah deliniasi wilayah yangtekait dengan budaya adat dan berbagai prilaku masyarakat,misalnya wilayah adat/marga, suku maupun wilayah pengaruhkerajaan.11
Menurut Rustiadi et al wilayah politik yaitu dimensi wilayah yang terkait
dengan batas administrasi, yaitu batasan ruang kewenangan kepala pemerintahan
yang mengatur dan mengelola berbagai sumber daya alam dan manffatnya untuk
kepentingan pengembangan wilayah yang akan diatur dan yang menjadi
kewenangan politiknya selaku penguasa wilayah.12
11 Ibid., hal.2812 Ibid., hal.29
19
Kondisi sosial ekonomi merupakan suatu keadaan atau tingkat sosial dan
ekonomi masyarakat yang mempengaruhi atau menjadi indikator pemekaran
Kecamatan. Untuk melihat suatu keadaan tersebut, dapat dilihat dari beberapa
indikator seperti dibawah ini :
a. Pendidikanb. Kesehatanc. Transportasid. Mata pencahariane. Tingkat pendapatan
Metode rata -rata adalah metode yang membandingkan besaran/nilai tiap
calon Kecamatan dan Kecamatan induk terhadap besaran/nilai rata-rata
keseluruhan Kecamatan di Kabupaten/Kota. Dalam hal terdapat Kecamatan yang
memiliki besaran/nilai indikator yang sangat berbeda (di atas 5 kali dari
besaran/nilai terendah), maka besaran/nilai tersebut tidak diperhitungkan.
Metode Kuota adalah metode yang menggunakan angka tertentu sebagai
kuota penentuan skoring baik terhadap calon Kecamatan maupun Kecamatan
induk. Untuk daerah Kabupaten, kuota jumlah penduduk Kecamatan untuk
pembentukan Kecamatan adalah 10 (sepuluh) kali rata-rata jumlah penduduk
desa/kelurahan seluruh Kecamatan di Kabupaten yang bersangkutan. Untuk
daerah Kota, kuota jumlah penduduk Kecamatan untuk pembentukan Kecamatan
adalah 5 (lima) kali rata-rata jumlah penduduk desa/kelurahan seluruh Kecamatan
di Kota yang bersangkutan.
Semakin besar perolehan besaran/nilai calon Kecamatan dan Kecamatan
induk (apabila dimekarkan) terhadap kuota pembentukan Kecamatan, maka
semakin besar skornya. Setiap indikator mempunyai skor dengan skala 1-5,
dimana skor 5 masuk dalam kategori sangat mampu, skor 4 kategori mampu, skor
3 kategori kurang mampu, skor 2 kategori tidak mampu dan skor 1 kategori sangat
tidak mampu. Pemberian skor 5 apabila besaran/nilai indikator lebih besar atau
sama dengan 80% besaran/nilai rata -rata, pemberian skor 4 apabila besaran/nilai
indikator lebih besar atau sama dengan 60% besaran/nilai rata-rata, pemberian
skor 3 apabila besaran/nilai indikator lebih besar atau sama dengan 40%
besaran/nilai rata-rata, pemberian skor 2 apabila besaran/nilai indikator lebih
20
besar atau sama dengan 20% besaran/nilai rata -rata, pemberian skor 1 apabila
besaran/nilai indikator kurang dari 20% besaran/nilai rata -rata. Setiap faktor dan
indikator mempunyai bobot yang berbeda-beda sesuai dengan perannya dalam
pembentukan Kecamatan.
G. Simpulan dan Saran
1. Simpulan
Pembentukan atau Pemekaran Kecamatan berdasarkan UU Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah dilakukan dengan memenuhi syarat
administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Syarat administratif yang
dimaksudkan ialah batas usia penyelenggaraan pemerintahan minimal 5 (lima)
tahun, batas usia penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan yang
akan dibentuk menjadi Kecamatan minimal 5 (lima) tahun, Keputusan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD), Keputusan Kepala Desa, dan Rekomendasi
Gubernur. Syarat fisik kewilayahan meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibu
Kota, sarana dan prasarana pemerintahan yang tersedia. Kemudian Persyaratan
teknis yang dimaksud ialah jumlah penduduk, luas wilayah, rentang kendali
penyelenggaraan pelayanan pemerintahan, aktivitas perekonomian, Ketersediaan
sarana dan prasarana.
2. Saran
Pemekaran Kecamatan haruslah didasarkan atas kebutuhan pembangunan
dan pelayanan masyarakat semata dan bukanlah unsur politis, sehingga ketentuan
dengan mengikut sertakan akademisi dan perguruan tinggi dalam penilaian
indikator. Sehingga diperlukan pengaturan yang lebih rinci mengenai teknis
penilaian dan kriteria seorang penilai dalam suatu Peraturan Pemerintah.
21
DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Djakapermana. 2005. Pengembangan Wilayah Melalui PendekatanKesisteman. IPB Press. Bogor.
Setiono, Sadu, Ismail Nurdin dan M. Fahrurozi. 2009. PerkembanganOrganisasi Kecamatan Dari Masa Ke Masa. Fokusmedia. Bandung.
Sitorus, S.R.P. 2004. Pengembangan Sumberdaya Lahan Berkelanjutan.IPB Press. Bogor.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
PP Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat.
PP RI Nomor 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan danKriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
PPNomor 78 tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan KriteriaPemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah.