artikel

9
Artikel  Penguatan Desentralisasi Asimetris Dalam Mendorong Peningkatan Efektivitas Otonomi Daerah Di Indonesia Oleh : Dr. H. Joni Dawud, DEA Kepala Bidang Pemetaan Kompetensi dan Kapasitas Aparatur PKP2A I LAN  Kebijakan Desentralisasi di Indonesia yang selama ini diterapkan semenjak kemerdekaan sampai dengan saat ini menunjukan nuansa homogenitas yang begitu kuat. Daerah diasumsikan dapat dikelola dengan format penyelenggaraan pemerintahan yang seragam. Walaupun demikian untuk daerah-daerah tertentu seperti Aceh, Papua, Jakarta dan Yogyakarta diberikan perlakukan tertentu yang berbeda dari Daerah yang lain dengan demikian konsepsi desentralisasi asimetris telah mulai diterapkan. Menjadi pertanyaan dapatkah konsepsi desentralisasi simetris dapat terus dikembangkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia sehingga dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan otonomi daerah ? A. Pendahuluan Kebijakan otonomi khusus yang diterapkan di Papua dewasa ini kembali dipersoalkan karena efektivitas kebijakan tidak memberikan dampak terhadap percepatan pembangunan dan  peningkatan kesejahteraan masyarakat di Papua. Sehingga menjadi pertanyaan publik apakah  persoalannya karena kesalahan kebijakan (Bad Policy) atau kesalahan implementasi Kebijakan (Bad Implementation) artinya kebijakannya tidak menjadi persoalan yang bermasalah adalah  pelaksanaan kebijakan. Terlepas dari pro dan kontra mempermasalahan kesalahan kebijakan atau kesalahan implementasi kebijakan, dalam khasan ah Administrasi Publik Otonomi khusus merupakan suatu bentuk upaya Desentralisasi dengan model asimetris. Kebijakan Desentralisasi di Indonesia yang saat ini digulirkan pemerintah berdasarkan UU 32 Tahun 2004 serta perundang-undangan pelaksanaannya menunjukkan nuansa homogenitas yang  begitu kuat. Walaupun demikian untuk Daerah-daerah tertentu seperti Aceh dan Papua yang lebih dilatarbelakangi aspek politis, DKI Jakarta dengan pertimbangan Ma najemen Perkotaan dan Ibu Kota Negara, serta DI Yog yakarta (yang saat ini masih dibahas) yang lebih cenderung alasan historis diberi perlakuan khusus terhadap format otonomi daerahn ya. Perlakuan-perlakuan khusus yang diterima daerah-daerah tersebut terkadang menimbulkan kecemburuan dari Daerah- daerah lain yang merasa mereka memiliki karakteristik tersendiri yang juga mengharapkan  perlakuan khusus, beberapa wacana tutuntan perlakuan khusus seperti Bali, Banten, Maluku dan daerah-daerah lainnya mengemuka beberapa saat yang lalu. Dengan adanya wacana tersebut menjadi pertanyaan besar dalam konteks berpemerintahan, apakah format otonomi Daerah (sistem Pemerintahan Daerah) untuk sebuah negara harus seragam atau bisa menggunakan format beragam (heterogen) dalam artian pemberlakuan otonomi di setiap daerah tidak perlu seragam tapi menyesuaikan dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Pewacanaan Desentralisasi asimetris mendapatkan respon baik dari kalangan akademis maupun praktisi. CSOs Forum memberikan pernyataan tentang hal tersebut dengan menyatakan bahwa Gagasan Desentralisasi Asimetris pada dasarnya ada dalam spirit konstitusi dasar kita yang menunjukkan  bentuk transformasi format pemerintahan untuk menjawab masalah konkrit. Pendetailan secara substantif akan memandu proses implementasi substantif kewenangan kabupaten/kota . Sebagai  pendekatan yang sesuai dengan nafas konstitusi, ada tiga basis kategori yang dipakai : politik, karakteristik keberagaman dan governability. Dalam spirit desentralisasi asimetris menawarkan

Upload: apriyandi

Post on 15-Oct-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Artikel

Penguatan Desentralisasi Asimetris Dalam Mendorong Peningkatan Efektivitas Otonomi Daerah Di IndonesiaOleh : Dr. H. Joni Dawud, DEAKepala Bidang Pemetaan Kompetensi dan Kapasitas Aparatur PKP2A I LAN

Kebijakan Desentralisasi di Indonesia yang selama ini diterapkan semenjak kemerdekaan sampai dengan saat ini menunjukan nuansa homogenitas yang begitu kuat. Daerah diasumsikan dapat dikelola dengan format penyelenggaraan pemerintahan yang seragam. Walaupun demikian untuk daerah-daerah tertentu seperti Aceh, Papua, Jakarta dan Yogyakarta diberikan perlakukan tertentu yang berbeda dari Daerah yang lain dengan demikian konsepsi desentralisasi asimetris telah mulai diterapkan. Menjadi pertanyaan dapatkah konsepsi desentralisasi simetris dapat terus dikembangkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia sehingga dapat meningkatkan efektivitas pelaksanaan otonomi daerah ? A. PendahuluanKebijakan otonomi khusus yang diterapkan di Papua dewasa ini kembali dipersoalkan karena efektivitas kebijakan tidak memberikan dampak terhadap percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di Papua. Sehingga menjadi pertanyaan publik apakah persoalannya karena kesalahan kebijakan (Bad Policy) atau kesalahan implementasi Kebijakan (Bad Implementation) artinya kebijakannya tidak menjadi persoalan yang bermasalah adalah pelaksanaan kebijakan. Terlepas dari pro dan kontra mempermasalahan kesalahan kebijakan atau kesalahan implementasi kebijakan, dalam khasanah Administrasi Publik Otonomi khusus merupakan suatu bentuk upaya Desentralisasi dengan model asimetris.Kebijakan Desentralisasi di Indonesia yang saat ini digulirkan pemerintah berdasarkan UU 32 Tahun 2004 serta perundang-undangan pelaksanaannya menunjukkan nuansa homogenitas yang begitu kuat. Walaupun demikian untuk Daerah-daerah tertentu seperti Aceh dan Papua yang lebih dilatarbelakangi aspek politis, DKI Jakarta dengan pertimbangan Manajemen Perkotaan dan Ibu Kota Negara, serta DI Yogyakarta (yang saat ini masih dibahas) yang lebih cenderung alasan historis diberi perlakuan khusus terhadap format otonomi daerahnya. Perlakuan-perlakuan khusus yang diterima daerah-daerah tersebut terkadang menimbulkan kecemburuan dari Daerah-daerah lain yang merasa mereka memiliki karakteristik tersendiri yang juga mengharapkan perlakuan khusus, beberapa wacana tutuntan perlakuan khusus seperti Bali, Banten, Maluku dan daerah-daerah lainnya mengemuka beberapa saat yang lalu. Dengan adanya wacana tersebut menjadi pertanyaan besar dalam konteks berpemerintahan, apakah format otonomi Daerah (sistem Pemerintahan Daerah) untuk sebuah negara harus seragam atau bisa menggunakan format beragam (heterogen) dalam artian pemberlakuan otonomi di setiap daerah tidak perlu seragam tapi menyesuaikan dengan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Pewacanaan Desentralisasi asimetris mendapatkan respon baik dari kalangan akademis maupun praktisi. CSOs Forum memberikan pernyataan tentang hal tersebut dengan menyatakan bahwa Gagasan Desentralisasi Asimetris pada dasarnya ada dalam spirit konstitusi dasar kita yang menunjukkan bentuk transformasi format pemerintahan untuk menjawab masalah konkrit. Pendetailan secara substantif akan memandu proses implementasi substantif kewenangan kabupaten/kota. Sebagai pendekatan yang sesuai dengan nafas konstitusi, ada tiga basis kategori yang dipakai : politik, karakteristik keberagaman dan governability. Dalam spirit desentralisasi asimetris menawarkan corak diskriminasi yang positif untuk menjawab bagaimana membantu pemerintah pusat menjalankan fungsi distribusi (Delivery political goods). Diskriminasi positif adalah bentuk pengakuan terhadap keberagaman atau keistimewaan tiap daerah sehingga rasional antara kelembagaan pusat dan propinsi serta desa mampu memberi ruang bagi provinsi/ kabupaten/kota untuk menetapkan kewenangannya sesuai dengan "kapasitas lokal" (CSOs Forum - Oktober 2008). Keberagaman Daerah di Indonesia merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri baik keberagaman karena faktor geografis maupun karena faktor budaya tapi juga karena kecepatan/percepatan pembangunan. Dengan adanya perbedaan tersebut maka kebutuhan setiap daerah akan berbeda satu sama lain dan untuk pemenuhan kebutuhan yang berbeda membutuhkan perlakuan (treatment) yang berbeda pula yang tercermin dari sistem yang berbeda, dalam konteks pembicaraan ini adalah sistem desentralisasi/otonomi daerah yang diterapkan. Format desentralisasi yang saat ini diterapkan pada umumnya menggunakan format yang sama kecuali daerah-daerah khusus tersebut di atas. Format otonomi daerah/ desentralisasi yang homogen dalam pelaksanaan di lapangan sering menimbulkan persoalan-persoalan sebagai berikut : 1. Inefisiensi Jalannya Pemerintahan; pola jenjang pemerintahan yang seragam dimana setiap daerah memiliki pola yang sama yaitu Setiap Provinsi terbagi kedalam Daerah Otonom (Kabupaten dan Kota), setiap Kabupaten/Kota terbagi dalam Kecamatan, Setiap Kecamatan terbagi dalam kelurahan atau Desa. Untuk hal-hal tertentu menjadi tidak efisien karena dengan Tingkatan yang dipatok seperti itu menimbulkan birokratisme jalannya pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. 2. Eselonisasi Pejabat Birokrasi di daerah menimbulkan ketimpangan beban kerja tetapi mendapatkan kompensasi yang sama. Semua Dinas/Badan Kabupaten/Kota memiliki Eselonisasi IIb, padahal beban kerja antara Dinas/Badan di satu Kabupaten/Kota memiliki keragaman apalagi kalau diperbandingkan antar Daerah misalnya Kepala Dinas Perhubungan Kota Bandung dengan Kepala Dinas Perhubungan Kota Banjar, beban pekerjaannya pasti jauh berbeda akan tetapi kompensasi (Tunjangan jabatan) yang diperoleh sama karena Eselonisasi yang sama. 3. Pola Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) yang seragam dengan pola Lini dan Staf untuk setiap jenis pekerjaan/Organisasi padahal untuk Pekerjaan seperti Penelitian, Perencanaan, Perumusan Kebijakan membutuhkan pola organisasi yang tidak Lini dan Staf misalnya Organisasi Matrik. Setiap Organisasi harus selalu berjenjang Eselon II terbagi kedalam Eselon III, Eselon III terbagi ke dalam Eselon IV, bahkan Eselon IV terbagi kedalam Eselon V. Pola OPD yang lebih mengarahkan Jabatan Struktural menyebabkan OPD dibentuk untuk pemenuhan kebutuhan Jabatan Struktural, dampak lanjutannya Daerah berupaya keras untuk membentuk OPD sebanyak mungkin sesuai dengan aturan yang berlaku bukan sesuai kebutuhan yang ada.Persoalan-persoalan tersebut menjadi lebih complicated ketika penyelenggara pemerintahan memanfaatkan kelemahan sistem untuk pemenuhan kebutuhan/kepentingan individu/kelompok yang menambah inefisiensi dan inefektivitas jalannya pemerintahan. Dengan adanya persoalan format desentralisasi / otonomi daerah yang homogen tersebut, menjadi pertanyaan besar penulis : Mungkinkah Desentralisasi yang tidak seragam atau desentralisasi Heterogen atau Desentralisasi Asimetris dapat diterapkan di kemudian hari? Hal-hal atau aspek-aspek apa yang perlu diheterogenkan atau diberi peluang untuk bisa heterogen ?

B. Desentralisasi Simetris menuju Desentralisasi AsimetrisPenerapan desentralisasi dewasa ini menjadi salah satu agenda utama reformasi di sektor publik, hal tersebut dilakukan didasarkan pada pengalaman selama ini. Sistem pemerintahan yang terlalu sentralistis menimbulkan persoalan baik dalam pembangunan maupun pelayanan khususnya di daerah. Dengan diterapkannya Desentralisasi diharapkan akan dapat mendorong terhadap pemberdayaan (empowering) dan penguatan (strengthening) daerah baik Pemerintah Daerah maupun masyarakat daerah (UNDP, 1996). Penerapan desentralisasi juga akan memberikan keuntungan-keuntungan sebagai berikut : 1) pemerintah daerah akan lebih memahami kebutuhan dan keinginan daerah / masyarakat daerah (better knowledge of local demands); 2) memungkinkan pemerintah lebih mampu merespon atau menjawab berbagai tantangan dan tuntutan dari masyarakat (ability to respond to local cost variations); 3) meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menentukan jalannya pemerintahan (increased scope for community participation); and 4) mendekatkan jarak antara masyarakat dan pemerintah sehingga masyarakat merasakan manfaat yang didapat dari biaya yang dikeluarkannya (closer correspondence between costs and benefits) (Hofman; 2000). Dengan dasar-dasar pertimbangan tersebutlah desentralisasi diterapkan di Negara-negara di dunia saat ini. Kondisi setiap daerah memiliki karakteristik yang berbeda-beda satu sama lain yang dalam derajat tertentu tidak bisa digeneralisasi sehingga hal tersebut berdampak terhadap format Desentralisasi yang dibangun suatu negara. Format desentralisasi yang terlalu mengeneralisasikan (Desentralisasi Homogen (Simetris)) sering menjadi pilihan suatu negara dalam menjalankan manajemen pemerintahan daerahnya karena mempermudah kontrol pemerintah pusat terhadap daerah, akan tetapi terkadang sering mendapatkan persoalan karena terlalu dipaksakan walaupun tidak sesuai kebutuhan, akhirnya inefisiensilah yang terjadi. Dengan adanya keterbatasan tersebut maka Format desentralisasi heterogen (asimentris) dijadikan alternatif kebijakan dalam mengatasi keterbatasan-keterbatasan tersebut.

Gambar 1 : Desentralisasi Symetris dan Asymetris

Konsep Desentralisasi Asimetris, yaitu memberikan kebebasan kepada Daerah untuk menentukan letak Otonomi, format pemerintahan atau hal-hal yang lain dalam Manajemen Pemerintahan-nya yang disesuaikan dengan kebutuhan Daerah yang bersangkutan. Itu artinya bahwa bentuknya tidak seragam (asimetris) antara Daerah yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini Pemerintah Pusat hanya sebagai fasilitator dan regulator kebijakan, khususnya menuangkan keinginan Daerah tersebut dalam Undang-Undang yang kemudian dijadikan landasan bagi Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahannya masing-masing.Di Indonesia UU Pemerintahan Daerah yang pernah berlaku selalu mengatur untuk memberlakukan desentralisasi yang simetris (seragam), hal tersebut timbul mungkin disebabkan pemerintah tidak memiliki desain desentralisasi asimetris untuk diterapkan di daerah. Kalaupun desain itu ada, lebih disebabkan oleh tuntutan dari daerah tertentu akibat munculnya berbagai permasalahan dan ancaman disintegrasi. Kebijakan otonomi khusus yang sekarang diterapkan yaitu Otonomi khusus untuk Papua berdasarkan UU 21 Tahun 2001, Otonomi Khusus untuk Aceh berdasarkan UU 18 Tahun 2001, DKI Jakarta berdasarkan UU 29 Tahun 2007 serta keistimewaan Daerah Istimewa Jogjakarta walaupun sampai saat ini keistimewaannya masih sedang dibahas kembali dalam RUU Daerah Istimewa Jogjakarta. Kebijakan-kebijakan tersebut menandakan sebenarnya sangatlah dimungkinkan Desentralisasi asimetris diterapkan di Indonesia, bukan hanya untuk daerah-daerah tertentu tapi untuk Daerah yang lainnya juga. Tuntutan dan kebutuhan desentralisasi asimetris cenderung akan semakin menguat pada masa-masa yang akan datang. Daerah semakin merasa bahwa kekhasan yang dimikinya membutuhkan perlakukan yang berbeda terhadap daerah yang lain. Saat ini kebutuhan Desentralisasi asimetris muncul walau masih menjadi wacana sekelompok masyarakat di daerah yang bersangkutan, salah satu yang santer diwacanakan yaitu Bali.Sebagian Masyarakat Bali mengharapkan Daerah Bali (Provinsi dan atau Kabupaten/Kota) diberikan kekhususan dalam melaksanakan urusan Kepariwisataan dan masalah keagamaan. Tuntutan seperti hal tersebut tidak tertutup kemungkinan akan terus bergulir dengan semakin membesar (Snow ball).

C. Bentuk Desentralisasi AsimetrisDesentralisasi Asimetris memiliki bentuk atau model yang beragam dalam memperlakukan daerah, biasanya penerapan keberagaman tersebut didasarkan pada berbagai pertimbangan, baik aspek politis, ekonomi, manajemen pemerintahan, sejarah, dan lain-lain. Perbedaan perlakuan dilakukan karena Daerah memiliki keberagaman apalagi seperti di Indonesia yang sangat beragam yang akan tidak efektif kalau disikapi dengan kebijakan yang simetris (homogen). Desentralisasi asimetris hakikatnya menjadi dasar pemikiran lahirnya konsep otonomi daerah, daerah memiliki kemandirian untuk mengelola daerahnya sesuai dengan kebutuhan dan situasi kondisi di daerah yang bersangkutan. Bentuk Desentralisasi Asimetris bisa beraneka ragam sesuai dengan kebutuhan dari Daerah dan atau Negara yang bersangkutan. Dalam khasanah akademik dan praktis keberagaaman dalam mengelola pemerintahan di daerah dapat berbentuk sebagai berikut: 1. Asimetris dalam Kewenangan/urusan Daerah Urusan / kewenangan daerah dapat beragam untuk setiap daerah walaupun memiliki leveling yang sama. Pelaksanaan kewenangan akan sangat dipengaruhi setidaknya oleh 3 hal yaitu : a. Kemampuan atau kapasitas dari SDM di Daerah tersebut, semakin banyak SDM yang berkualitas di Daerah yang bersangkutan akan semakin banyak pula kewenangan yang akan mampu dijalankan tetapi sebaliknya semakin sedikit maka akan sedikit pula yang mampu dilaksanakannya. Penyederhanaan dengan merngasumsikan setiap daerah memiliki kemampuan yang sama menimbulkan persoalan kualitas pelaksanaan kewenangan yang berbeda sehingga masyarakatlah yang akhirnya dirugikan. b. Kompleksitas Daerah, setiap daerah memiliki kompleksitas yang beragam daerah perkotaan (Kota) biasanya memiliki tingkat kompleksitas jauh lebih rumit dibandingkan daerah Pedesaan (Kabupaten). Dengan demikian kewenangan atau urusan yang dimilikinya pun akan menyesuaikan dengan kompleksitas tersebut. c. Tingkat perkembangan, perkembangan setiap daerah akan sangat beragam. Daerah yang baru dibentuk "DOB" berbeda dengan daerah yang sudah lama dibentuk. Konsep UU 5 Tahun 1974 dimana mengatur salah satunya tentang kewenangan pangkal dan kewenangan tambahan mencerminkan upaya memberikan urusan/kewenangan yang menyesuaikan dengan perkembangan daerah yang bersangkutan.Dengan desentralisasi asimetris, kewenangan setiap daerah akan berbeda satu sama lain. Untuk itu peran pemerintah pusat sebagai pemilik kewenangan harus selalu memantau perkembangan daerah-daerah tersebut, tidak tertutup kemungkinan kewenangan akan mengalami pasang surut (penambahan dan pengurangan), tergantung situasi dan kondisi yang terjadi di lapangan. 2. Model Pemerintahan Model pemerintahan yang diterapkan saat ini dengan bentuk yang seragam yakni NKRI terdiri dari Provinsi dan setiap provinsi terbagi dalam Kabupaten dan Kota, kecuali DKI Jakarta yang setingkat Provinsi tapi tidak memiliki Daerah Otonom. a. Mengingat perkembangan yang saat ini terus berkembang Model Pemerintahan Daerah seperti DKI Jakarta bisa pula diterapkan untuk wilayah-wilayah Metropolitan lainnya di Indonesia seperti Surabaya, Bandung, Semarang, Medan dan Makasar. Pengelolaan kawasan-kawasan Metropolitan seperti kota-kota tersebut membutuhkan manajemen perkotaan yang terpadu dimana saat ini wilayah Metropolitan-metropolitan tersebut terbagi-bagi ke dalam Kota/ Kabupaten Otonom, yang sering kali pembangunannya tidak terintegrasi karena setiap Kabupaten/Kota memiliki prioritas pembangunan sendiri-sendiri. b. Diberikan keleluasaan untuk memunculkan kawasan-kawasan khusus (otorita) yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, bukan hanya untuk level nasional tapi untuk di level daerah baik daerah provinsi maupun kabupaten/kota dimungkinkan untuk dikembangkan dimasa yang akan datang.3. Jenjang PemerintahanDalam konsep Desentralisasi simetris menunjukkan adanya jenjang pemerintahan 7 jenjang pada Undang-undang No 5 tahun 1974 dan 5 jenjang pada UU 22 Tahun 1999 dan UU 32 Tahun 2004. UU 22 Tahun 1999 membuat terobosan berani yang berani menyederhanakan jenjang pemerintahan menjadi hanya 5 jenjang dan tidak tertutup kemudian penyederhanaan dilakukan kembali. Pola keseragaman seperti ini di berbagai daerah di Indonesia diberlakukan termasuk di DKI Jakarta, walau ada sedikit Perbedaan Kota/Kabupatennya bukan daerah otonom.

Tabel 1 : Perbandingan Jenjang Pemerintahan

Asimestris dalam jenjang pemerintahan ini dimungkinkan dengan bentuk : a) jenjang pemerintahan dengan status daerahnya yang berbeda (Daerah administratif atau daerah otonom) seperti halnya DKI Jakarta b) Banyaknya Jenjang Pemerintahan yang berbeda, ada yang menerapkan 5 Jenjang atau kurang dari itu, misalnya di Kawasan Perkotaan dimana sebagian akademisi mempersoalkan antara kelurahan dan kecamatan yang mengindikasikan terjadinya birokratisme pelayanan kepada masyarakat sehingga mengusulkan penghapusan salah satu jenjang pemerintahan tersebut.

Tabel 2 : Pembedaan Jenjang Pemerintahan Antara Kota dan Kabupaten

4. Organisasi PemerintahanBrickley dkk (2003: 1) pada awal tulisannya mengemukakan mengapa disain organisasi menjadi permasalahan yang menarik karena "... a poor design can lead to lost profits and even result in the failure of institution ..". Adapun Simmons (2005: vii) dalam kata pengantarnya mengemukakan bahwa "The organization design is the most important determinant of success for implementing strategy in a large organization". Dari kedua pendapat tersebut tercermin bahwa disain organisasi adalah salah satu aspek dalam organisasi yang perlu mendapat perhatian. Disain organisasi tidak lagi bersifat statis tetapi harus dinamis menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Simmon (2005: 1) berikut :As we begin the twenty-first century, the force affecting organizations have changed significantly from those of earlier generations. New technologies have increased productive capacity, markets have become global, the pace of competition has quickened, work has become more complex, and the capabilities of workers have been enhanced. Information technology, outsourcing, and alliances have changed the traditional boundaries of the firm. Dari pandangan-pandangan tersebut di atas terlihat bahwa Disain Organisasi merupakan salah satu aspek yang penting terhadap keberlangsungan suatu organisasi artinya organisasi akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan apabila disain organisasi yang ada tepat (fit) sesuai dengan kebutuhan. Tetapi sebaliknya bila desain organisasi tidak sesuai dengan kebutuhan maka jalannya organisasi selanjutnya tidak akan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian maka Disain Organisasi perlu mendapatkan perhatian bagi setiap organisasi baik di sektor swasta maupun sektor pemerintah dalam membangun atau menentukan desain organisasi yang akan digunakannya. Ditegaskan pula dari pandangan tersebut bahwa Disain organisasi harus bersifat dinamis yaitu harus menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi di sekitarnya. Daerah di Indonesia memiliki perkembangan yang berbeda satu sama lain baik karena resourcesnya (SDM, Keuangan dan sumber daya lainnya) yang berbeda sehingga kebutuhan antara satu daerah dengan daerah yang lain akan berbeda satu sama lain. Dengan demikian desain organisasi Pemerintahannya pun bisa berbeda satu sama lain menyesuaikan dengan kebutuhan masing-masing daerah. Bentuk perbedaan Desain organisasi Pemerintah Daerah antara lain dalam hal-hal sebagai berikut: . Jumlah besaran Organisasi, PP 8 tahun 2003 dan PP 41 Tahun 2007 telah mengamanahkan bahwa Besaran organisasi Pemerintah Daerah tidak harus sama sesuai dengan kebutuhan daerah, PP tersebut menawarkan pola tertentu untuk menghitung besaran organisasi Pemerintah Daerah. . Jenjang Organisasi bisa berbeda antara satu organisasi dengan organisasi yang lain disesuaikan dengan jenis pekerjaan yang ada. Saat ini masih cenderung homogen dengan jenjang Piramidal dimana Eselon 2 terdiri dari eselon 3 dengan jumlah maksimal yang ditentukan dan eselon 3 terdiri dari eselon 4 dengan jumlah maksimal yang ditentukan pula. Gambar 2 : Piramidal Jenjang Organisasi Birokrasi di Indonesia

Dengan pendekatan asimetris tidak semua jenjang organisasi berbentuk piramidal seperti ini, apalagi dengan dukungan teknologi memungkinkan tidak lagi piramidal dan perlu melakukan pembatasan jumlah karena alasan span of control. . Struktur organisasiStruktur organisasi pemerintahan yang diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah lebih banyak menggunakan konsepsi Organisasi Lini dan Staf. Organisasi Lini dan Staf selalu menerapkan organisasi secara hierarkis dan piramidal. Penentuan desain organisasi lebih banyak ditentukan oleh jenis pekerjaan yang dilakukan dan strategi organisasi yang digunakan. Organisasi Lini dan Staf tepat untuk organisasi kemiliteran, sedangkan organisasi penyelenggaraan pemerintahan semestinya memiliki variasi yang disesuaikan dengan situasi dan kebutuhan yang berkembang di lapangan.Gambar 3 : Organisasi Lini dan Staf

Organisasi Fungsional atau organisasi matrik dapat pula diterapkan dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk pekerjaan perencaan, pengawasan, penelitian, pendidikan, penyuluhan dan yang lainnya yang sejenis. Jenis pekerjaan seperti ini menuntut profesionalisme fungsional, independensi pengerjaan yang tidak terlalu tergantung kepada pejabat strukturalnya.Gambar 4 : Organisasi Fungsional/ Matrix

Pemilihan Kepala DaerahPemilihan kepala daerah secara langsung ataupun melalui Perwakilan (DPRD) memiliki tujuan yang sama yaitu menghasilkan pimpinan yang berkualitas sehingga jalannya organisasi akan semakin baik dan daerah akan cepat berkembang dalam mencapai tujuan otonomi daerah yaitu meningkatkan pelayanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hasil Pemilihan Kepala Daerah secara langsung atau melalui perwakilan (DPRD) sangat ditentukan oleh situasi dan kondisi yang ada di daerah yang bersangkutan khususnya terkait dengan kondisi masyarakat yaitu tingkat kesadaran dan tingkat rasionalitas masyarakatnya. Masyarakat yang primordial dan tingkat rasionalitasnya masih rendah karena tingkat pendidikannya masih rendah, akan sangat sulit mewujudkan sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu perlakuan terhadap Daerah bisa dibedakan, ada yang lebih efektif dengan pemilihan langsung tapi ada juga yang masih menerapkan pemilihan secara tidak langsung

D. KesimpulanDengan berdasarkan hal-hal yang telah dijelaskan di atas Disentralisasi asimetris memiliki peluang untuk diterapkan dalam jalannya pemerintahan di Indonesi. Desentralisasi Asimetris pada dasarnya sejalan dengan UUD 1945 beserta amandemennya. Desentralisasi asimetris menawarkan model penyelenggaraan pemerintahan yang beragam karena lebih mengedepankan pada upaya menyesuaikan dengan keberagaman atau keistimewaan tiap daerah. Namun demikian perlu diwaspadai juga desentralisasi asimetris akan memberikan perlakukan yang berbeda (diskriminasi) sehingga disamping memberikan kepuasan pada sebagian darerah tapi tidak tertutup kemungkinan menimbulkan ketidakpuasan sebagian daerah yang merasa dibedakan dari daerah yang lain.Penerapan Desentralisasi Asimetris harus tetap dalam rambu-rambu Negara Kesatuan Republik Indonesia yakni :1. Daerah adalah bawahan dari Pemerintah Pusat2. Kewenangan bisa ditarik kembali oleh Pemerintah Pusat3. Kewenangan tertentu yang tidak bisa dilimpahkan sama sekali ke Daerah

Daftar BacaanBrickley James A, Smith Clifford W Jr. Zimmerman Jerold L, Willett Janice, 2003, Designing Organizations to Create Value from Structure to Strategy, New York : Mc Graw-Hill

Bryant Coralie and White Louise G, 1987, Manajemen Pembangunan untuk Negara Berkembang, Jakarta : LP3ES

Cheema G. Shabbir and Rondinelli Dennis A, 1983, Decentralization and Development Policy Implementation in Developping Countries, London : SAGE Publications

CSOs Forum, Monthly Program Reporting, September 2008 Effendi Elfian, 2001, Tuntutan itu masih menyala, Delapan Indikasi Kuat Otonomi Daerah terancam Gagal, Jakarta: FE UI

Simmon Robert, 2005, Levers of Organization Design, How Managers use Accountability System for Greater Performance and Comitment, Boston - Massachusetts : Harvard Business School Press

UNDP, 1996, Local Governance Report of the United Nations Global Forum on Innovative Policies and Practices in Local Governance Gothenburg, Sweden: 23-27 September 1996