artikel 5

Download Artikel 5

If you can't read please download the document

Upload: veronicayulianipalayukanmassora

Post on 05-Aug-2015

32 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

TANGGUNG JAWAB DIREKSI TERHADAP PERSEROAN PAILIT AKIBAT KELALAIAN DAN KESALAHANNYA Endryl, Dr. Kurniawarman, SH, MHum dan Tasman, SH, MH Jurusan Hukum Perdata, Program Studi Ilmu Hukum Pasca Sarjana UNAND Email: [email protected] ABSTRACT Company Limited (the Company) as a legal entity has the responsibility of restrictive. As subjects of law, the Company is considered competent to be responsible for all activities included in the event of loss. Accountability so often used by businesses of the Company, in which case the directors with the Company for personal use and not for the continuity of the Company. According to Law Number 40 Year 2007 regarding Limited Liability Company, the directors are required beriktikad both in care of the Company, so it is a violation of the Company's negligence and errors that must be accounted for in person. But on good faith by the board of directors is not met further explanation. Erroneous interpretation of t he goodwill resulting from the escape of directors of the Company's liability for damages caused by it (bankruptcy). When the directors said to be one that result ed in the Company declared bankruptcy? And how board responsibility for the mistakes that resulted in the Company's bankruptcy? This was a juridical normative, that is by collecting the materials of law through legislation, jurisprudence and literature relating to the title of this thesis. Normatively, this study will be based on legislation and principles in the law f irm. So it is known that the directors did not say one that resulted in the Company's di rectors beriktikad bankrupt along well with the reference duty of care, duty of loyalty and implement appropriate management of the authority given to him (intra vires) whi ch can be found on the corporate law system. If proven otherwise resulting in the Company's bankruptcy, the directors may be held liable jointly and severally thr ough bankruptcy proceedings in court Commerce. This is done in order to meet creditor payments receivable can be implemented in a fair and balanced. Keywords: Liability of Directors, Errors, Negligence, and the Company Bankruptcy1. Pendahuluan Keberadaan Perseroan Terbatas (Perseroan) di Indonesia sekarang ini tunduk pada ketentuan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut UUPT. Selain itu juga Perseroan tunduk pada peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan keberadaan dan jalannya Perseroan, termasuk Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) dan Kitab Undangundang Hukum Dagang (KUHD), sepanjang tidak dicabut atau ditentukan lain dalam UUPT. Diakuinya Perseroan sebagai institusi berbadan hukum dalam Undangundang, telah menempatkan Perseroan sebagai subyek hukum sehingga dianggap cakap (bekwaam) untuk melakukan perbuatan hukum dan dapat bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dibuatnya.1 Dengan kata lain para pemegang saham yang menyertakan modalnya dalam bentuk perseroan hanya bertanggung jawab sebatas modal yang disertakan yang menjadi harta Perseroan, bilamana terja di gugatan atau tuntutan dari pihak ketiga terhadap Perseroan (limited liability). UUPT Pasal 97 mengatur bahwa kepengurusan mana yang dipercayakan kepada Direksi harus dilaksanakan dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab, maka Direksi mana terbukti salah atau lalai dalam menjalankan kepengurusannya (beriktikad tidak baik) mengakibatkan perseroan rugi, pemegang saham Perseroan sesuai ketentuan yang ada berhak menggugat direksi bersangkutan untuk dimintai pertanggung jawaban secara penuh, sampai dengan harta pribadinya. Setiap anggota Direksi bertanggung jawab atas kelalaian dan kesalahannya yang mengakibatkan Perseroan rugi, dalam hal ini pailit. Namun pada kenyataannya, penerapan pasal tersebut tidak semudah yang tertera. Pada praktiknya dikaitkan dengan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan 1 I.G.Ray Widjaya, Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-undang di Bidang Hu kum Perusahaan, Pemakaian Nama PT, Tata Cara Mendirikan PT, Tata Cara Pendaftaran Pe rusahaan, TDUP & SIUP, cet. 3, (Jakarta : Kesaint Blanc, 2003), hlm. 140.Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-undang Kepailitan), mengenai pembuktian unsur-unsur kesalahan-kelalaian Direksi serta pembuktian unsur-unsur kepailitann ya sendiri sering menemui kesulitan, belum lagi tidak ada pengaturan yang jelas ten tang bagaimana prosedur pertanggung-jawaban tersebut dimintakan dengan adanya pertanggung jawaban Direksi sampai harta pribadi. -undang Kepailitan), mengenai pembuktian unsur-unsur kesalahan-kelalaian Direksi serta pembuktian unsur-unsur kepailitann ya sendiri sering menemui kesulitan, belum lagi tidak ada pengaturan yang jelas ten tang bagaimana prosedur pertanggung-jawaban tersebut dimintakan dengan adanya pertanggung jawaban Direksi sampai harta pribadi. Telah diundangkannya peraturan perundangan yang baru dalam bidang kepailitan, pengajuan permohonan pailit dan juga pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang telah menjadi hal yang sangat lumrah dilingkungan pengadilan niaga sehari-harinya. Salah satu kasus Kepailitan yang juga turut dia jukan dilingkungan Pengadilan Niaga Jakarta barat tersebut adalah kasus kepailitan yan g terjadi antara PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk, selaku pemohon pailit ya ng diajukan terhadap PT. Indah Raya Widya Plywood Industries, selaku Termohon Pailit. Dari pengajuan Permohonan Pailit tersebut, telah dijatuhkan putusan dengan putusan Nomor : OS/PKPU/2006/PN.Niaga, Jkt.Pst.Jo Nomor : 13/Pailit/2006/PN. Niaga. Jkt.Pst. Dari putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut telah menjatuhkan bahwa Termohon Pailit (PT. Indah Raya Widya Plywood Industries) pailit dengan segala akibat hukumnya. 2. Rumusan Masalah Kapan Direksi dikatakan lalai atau salah yang mengakibatkan Perseroan dinyatakan pailit dan Bagaimana tanggung jawab Direksi atas kesalahan yang mengakibatkan Perseroan pailit? 3. Hasil Pembahasan A. Kesalahan Direksi Yang Mengakibatkan Perseroan Dinyatakan Pailit Tugas dan kewajiban direksi adalah sebagai pengurus perseroan. Melaksanakan lalu lintas hukum perseroan dalam rangka maksud dan tujuanperseroan dipercayakan oleh perseroan terhadapnya, termasuk dalam hal berhubungan dengan pihak ketiga, sebagaimana telah dijelaskan. erseroan dipercayakan oleh perseroan terhadapnya, termasuk dalam hal berhubungan dengan pihak ketiga, sebagaimana telah dijelaskan. Tolak ukur terhadap ada tidaknya unsur kesalahan atau kelalaian direksi yang mengakibatkan perseroan pailit, menggunakan dasar itikad baik. Hanya saja mengenai itikad baik tersebut, UUPT tidak merumuskannya lebih lanjut. Disinilah sangat mungkin terjadinya pengembangan-pengembangan penafsiran oleh pengadilan dengan mengacu pada doktrin-doktrin hukum modern corporate law seperti telah dikemukakan sebelumnya. Telah diundangkannya peraturan perundangan yang baru dalam bidang kepailitan, pengajuan permohonan pailit dan juga pengajuan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang telah menjadi hal yang sangat lumrah dilingkungan pengadilan niaga sehari-harinya. Salah satu kasus Kepailitan yang juga turut dia jukan dilingkungan Pengadilan Niaga Jakarta Barat tersebut adalah kasus kepailitan yan g terjadi antara PT. Bank Negara Indonesia (persero) Tbk, selaku pemohon pailit ya ng diajukan terhadap PT. Indah Raya Widya Plywood Industries, selaku Termohon Pailit. Dari pengajuan Permohonan Pailit tersebut, telah dijatuhkan putusan dengan putusan Nomor : OS/PKPU/2006/PN.Niaga, Jkt.Pst.Jo Nomor : 13/Pailit/2006/PN. Niaga. Jkt.Pst. Dari putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tersebut telah menjatuhkan bahwa Termohon Pailit (PT. Indah Raya Widya Plywood Industries) pailit dengan segala akibat hukumnya. Penjatuhan putusan pailit itu sendiri terhadap Termohon Pailit telah sesuai dengan Pasal 289 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, dimana didalam Pasal tersebut menyatukan bahwa apabila Rencana Perdamaian ditolak oleh kreditor, maka pengadilan harus menyatakan debitur Pailit. Dilihat dari bunyi pertimbangan huku m majelis didalam putusannya tersebut, menurut pendapat penulis, penjatuhan putusa n dengan berdasar pasal diatas telah sesuai dengan peraturan perundangan tentang kepailitan.1. Posisi Kasus Telah diungkapkan sebelumnya bahwa terhadap pengajuan permohonan pailit terhadap termohon pailit telah dikabulkan oleh Majelis Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang memeriksa, menangani, dan memutus perkara tersebut. Dari putusan Pengadilan Niaga tersebut, dapat diketahui posisi kasus para pihak yang bersengk eta. Permasalahan ini dimulai ketika PT. Indah Raya Widya Plywood Industries mengajukan permohonan kredit kepada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk pengajuan permohonan kredit tersebut itupun disetujui oleh PT. BNI (persero) Tbk , dimana bentuk pinjaman kredit terbagi dalam 2 bentuk mata uang, yaitu hutang dal am bentuk rupiah dan US Dollar. Perjanjian kredit dalam bentuk rupiah pertama kali dibuat pada tanggal 3 Februari 1994 dengan fasilitas pinjaman maksimal sebesar Rp. 2.300.000.000,-dan telah diubah dalam perjanjian kredit terakhir yaitu pada tanggal 28 Juli 2000. Perjanjian kredit dalam bentuk US Dollar dilakukan pada tanggal 24 Desember 1987 dengan fasilitas pinjaman maksimum sebesar Rp. 4.200.000.000,dan terakhir diubah didalam perjanjian kredit tanggal 5 April 1993. Perjanjian ini kemudian diswitching (dialihkan) menjadi fasilitas offshore loan dalam mata uang US Dollah yang kemudian dituangkan kedalam perjanjian kredit tanggal 12 Oktober 1993 dengan fasilitas pinjaman maksimum sebesar US $ 1.990.000,00 dan terakhir diubah dalam perjanjian kredit tanggal 25 Maret 1998. Kemudian berdasar Surat Bank BNI No. KPS/3/117/R tertanggal 13 Maret 1998, diputuskan melakukan perubahan cabang penyelenggara rekening yang semula ada pada PT. BNI (Persero) Tbk Kantor Cabang Singapore menjadi PT BNI (Persero) Tbk Kantor Cabang Grand Cayma Island. Oleh karenanya perjanjian kredit dalam bentuk US Dollar tersebut didudukan lagi dalam perjanjian yang terakhir diubah dalam perjanjian kredit tertanggal 28 Juli 2000. Berdasarkan pada perjanjian tersebut di atas, jatuh tempo utang PT. Indah Raya Plywood Industries terhadap PT. BNI (Persero) Tbk jatuh pada tanggal 29 Desember 2000, dan termohon tidak juga melunasi hutangnya tersebut. Untukmenjaga kelangsungan usaha pemohon, dengan iktikad baik pemohon melakukan beberapa kali negoisasi, namun hal ini tidak ditanggapi oleh pihak termohon. Sam pai dengan tanggal 31 Oktober 2005, utang termohon menjadi sebesar : beberapa kali negoisasi, namun hal ini tidak ditanggapi oleh pihak termohon. Sam pai dengan tanggal 31 Oktober 2005, utang termohon menjadi sebesar : a. Hutang dalam bentuk rupiah 1) Hutang pokok = Rp. 2.270.000.000 2) Bunga = Rp. 118.512.149 3) Denda = Rp. 500.089 Total hutang = Rp. 2.389.012.238 b. Hutang dalam bentuk US Dollar 1) Hutang Pokok = US $ 1,979,612,85 2) Bunga = US $ 301.674,82 3) IBP = US $ 251.823,45 Total Hutang = US $ 2,533,111,12 Oleh karena sampai dengan tanggal di atas, termohon belum membayar lunas hutangnya, maka diajukan permohonan pailit yang didaftarkan tanggal 29/3/06. Dar i pengajuan permohonan pailit tersebut, pihak termohon pailit mengajukan permohonan PKPU tertanggal 28 April 2006 di kepaniteraan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Atas permohonan tersebut, dikabulkan PKPU sementara tertanggal 4 Mei 2006. Bahwa setelah dikabulkan PKPU sementara termohon maka pada tanggal 17 Mei 2006 dilaksanakan rapat kreditor pertama, dan pada tanggal 24 Mei 2006 dilaksanakan verifikasi utang piutang yang menghasilkan Daftar Kreditan Sementar a. Dari rapat tersebut, pihak termohon melakukan bantahan terhadap PT. BNI (Persero ) Tbk Mengenai jumlah piutang yang masih ada perselisihan, serta penentuan keikutsertaan PT. BNI (Persero) Tbk didalam menentukan batasan jumlah suara, sehingga menuntut pihak termohon, pelaksanaan rapat pembahasan atas rencana perdamaian tersebut dianggap tidak sah dan cacat hukum. Untuk mengetahui sah atau tidaknya rapat rencana perdamaian tersebut, maka untuk selanjutnya akan dibahas suara lebih detail pada bahasan berikutnya.2. Analisa Kasus Dari definisi mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang, maka apabila kita melihat posisi kasus pada para pihak yang bersengketa, maka pengajuan permohonan pailit yang diajukan Pemohon Pailit Kreditor. Dalam hal ini adalah PT. BNI (Persero) Tbk adalah sudah terpenuhi syarat-syaratnya. Di dalam pengajuan permohonan pailit yang diajukan pemohon pailit tersebut, dapat diketahui bahwa termohon pailit memiliki dua kreditor atau lebih (Cansursu s Creditorum), yaitu diantaranya : a. Koperasi Karyawan Bumi Jaya, yang beralamat di Palembang b. Utang terhadap karyawan, yang dalam hal ini diwakili oleh MR. Soki, SH,Cs Dari adanya beberapa kreditur, jelas terdapat satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih yaitu utang pihak Termohon pailit terhadap Pemohon Paili t yang jatuh tempo pada tanggal 29 Desember 2000. Syarat terhadap pengajuan Permohonan Pailit itupun juga terpenuhi dikarenakan syarat pemohon pailit diajuk an oleh PT. BNI (Persero) Tbk yang berkedudukan sebagai kreditor dari Termohon Pailit. Dengan melihat pada putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengenai sengketa ini, dapat diketahui didalam pertimbangan Pemohon Pailit, bahwa pihak pemohon selaku kreditur justru memiliki iktikad baik terhadap Termohon Pailit dengan melakukan beberapa kali negoisasi untuk tetap menjamin terlaksananya/berjalannya operasional usaha Termohon Pailit. Berkenaan dengan adanya pengajuan penundaan kewajiban pembayaran utang yang kemudian dikabulkan menjadi penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara memang seharusnya dikabulkan meskipun telah diajukan permohonan pailit. Dikabulkannya permohonan PKPU ditengah-tengah permohonan pailit disebabkan hal tersebut untuk menjamin keberlangsungan kegiatan usaha debitor (Termohon Pailit). Di dalam PKPU sementara ini, jangka waktunya berlangsung sejak putusan PKPU sementara diucapkan dan sampai dengan tanggal sidang yang akandiselenggarakan mengenai Rencana Perdamaian yang dihadiri oleh Hakim Pengawas, Pengurus, Debitur, dan Kreditur. Pengurus, Debitur, dan Kreditur. Mengacu pada putusan permasalahan ini, sebelum dilakukannya rapat mengenai Rencana Perdamaian, telah rapat kreditor dan rapat mengenai Rencana Verifikasi utang piutang. Di dalam Rapat Verifikasi utang piutang tersebut masih terdapat sengketa diantara termohon pailit dan pemohon pailit dikarenakan masih adanya selisih besaran utang. Oleh karenanya menurut pihak termohon pailit, pelaksanaan voting terhadap rencana perdamaian tidak dapat dianggap sah. Akan tetapi dengan mengacu pada pasal 280 Undang-Undang Kepailitan, Hakim Pengawas menentukan kreditor-kreditor mana sajakah yang tagihannya dapat dibantah dan iku t serta dalam pemungutan suara. Di dalam Rapat Rencana Perdamaian tersebut Hakim Pengawas telah menentukan bahwa PT. BNI (Persero) Tbk selaku pemohon pailit telah ditetapkan hak suaranya selaku kreditor, dan di dalam berita acara rapat tersebut, masing-m asing pihak telah menyetujui, berarti sesungguhnya dalam hal ini voting adalah sah kar ena pihak debitor juga menyetujui berita acara rapat tersebut. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Sementara ini, selanjutnya diubah menjadi PKPU tetap untuk menghindari dijatuhkannya putusan pailit. Adapun untuk pemberian PKPU tetap, maka harus mendapatkan persetujuan dari para kreditor, dengan ketentuan sebagai berikut : a. Persetujuan lebih dari jumlah kreditor kankuren yang haknya diakui atau sementara diakui yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau yang sementara diakui dari kreditor kankuren atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut, dan apabila timbul perselisihan antar a pengurus dan kreditor kankuren tentang hak suara kreditor, maka perselisihan tersebut diputuskan oleh Hakim Pengawas; b. Persetujuan lebih dari jumlah kreditor yang piutangnya dijamin dengan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas keberadaanlainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan kreditor atau kuasanya yang hadir dalam sidang tersebut. Melihat pada laporan diketahui bahwa pada Debitor (dalam PKPU) bahwa semua kreditor Hakim Pengawas tertanggal 16 Juni 2006, dapat saat Rapat Pemungutan Suara/Voting atas Rencana Perdamaian yang diselenggarakan tanggal 14 Juni 2006, diperoleh hasil yang hadir di dalam rapat tersebut, 100% menyatakan menolakrencana perdamaian yang diajukan oleh debitor. Hak inipun juga turut diamini ole h pihak pengurus melalui pertimbangan hukumnya. Dengan merujuk pada Pasal 289 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, maka hakim pengawas wajib segera melaporkan pada pengadilan yang memeriksa, menangani dan memutus perkara ini. Pada pasal tersebut dapat dibaca dan diketahu i bahwa apabila rencana perdamaian ditolak maka dalam hal demikian. Pengadilan harus menyatakan debitor pailit setelah pengadilan menerima pemberitahuan penolakan dari Hakim Pengawas. Hal ini pula dianggap telah sesuai dengan Pasal 230 (1) Undang-undang Kepailitan dikarenakan didalam Pasal tersebut menjelaskan bahwa kreditor yang tidak menyetujui pemberian PKPU tetap atau perpanjangan sudah diberikan tetapi sampai batas waktu belum tercapai rencana perdamaian, maka pengurus wajib memberitahu hal ini melalui hakim pengawas kepada pengadilan yang harus menyatakan debitor pailit paling lambat pada hari berikutnya. Jadi disini penulis bisa melihat kapan direksi dikatakan salah yang mengakibatkan Perseroan dinyatakan pailit, yaitu tidak adanya iktikad baik oleh direksi untuk melunasi utang kepada PT. BNI (Persero) dan kreditur lainnya. Dire ksi lalai melaksanakan pembayaran utang kepada para kreditor yang telah diberikan PKPU dan Rapat Rencana Perdamaian. Maka pengadilan Niaga berhak menangani kasus ini.B. Pertanggung jawaban Direksi Atas Kesalahan Yang Mengakibatkan Perseroan Pailit Kepailitan Perseroan Terbatas baik secara langsung ataupun tidak langsung akan menimbulkan akibat hukum bagi para pengurusnya terutama bagi direksi perseroan. Ada banyak persoalan tentang akibat hukum yang timbul dari putusan mengenai kepailitan perseroan terbatas salah satunya adalah mengenai sejauh mana pertanggungjawaban terhadap adanya kepailitan perseroan terbatas, apakah badan hukum itu sendiri yang akan memikul tanggung jawab ataukah organ perseroan dalam hal ini direksi yang akan bertanggung jawab secara pribadi. Adapun kriteria tanggung jawab direksi adalah sebagai berikut: 1. Tanggung jawab itu timbul jika perusahaan itu melalui prosedur kepailitan. 2. Harus ada kesalahan atau kelalaian. 3. Tanggung jawab itu bersifat residual, artinya tanggung jawab itu timbul jika nanti ternyata asset perusahaan yang diambil itu tidak cukup. 4. Tanggung jawab itu secara renteng artinya walaupun hanya seorang kreditor yang bersalah,direktur lain dianggap turut bertanggung jawab. 5. Presumsi bersalah dengan pembuktian terbalik. Penerimaan pembukuan tahunan biasanya membebaskan komisaris dari tanggung jawab mereka kepada perseroan dalam pelaksanaan tugas pengawasan mereka selama tahun keuangan yang bersangkutan. 1. Pertanggungjawaban Direksi Secara Perdata Terhadap Kepailitan Perseroan Sebagai suatu proyek hukum kepailitan perseroan berarti adalah kepailitan dirinya sendiri, akan tetapi apabila dapat dibuktikan bahwa kepailitan terjadi k arena adanya salah urus dan tidak dipenuhinya asas kehati-hatian oleh Direksi perseroa n maka dimungkinkan oleh Undang-undang bahwa Direksi dapat dimintai pertanggungjawaban atas terjadinya kepailitan perseroan. Hal ini dapat kita dapa ti pengaturannya di dalam Pasal 97 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas yang berbunyi:1) Pengurusan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab. 2) Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian Perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Pertanggungjawaban Direksi terhadap adanya kepailitan Perseroan dapat juga kita lihat di dalam ketentuan Pasal 104 Ayat (2) dan (4) Undang-Undang Perseroan Terbatas: Ayat (2) Dalam hal kepailitan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar sel uruh kewajiban Perseroan dalam kepailitan tersebut, setiap anggota Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi d ari harta pailit tersebut. Ayat (4) Anggota Direksi tidak bertanggung jawab atas kepailitan Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila dapat membuktikan: a. Kepailitan tersebut bukan karena kesalahan atau kelalainnya; b. Telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan; c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang dilakukan; dan d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah terjadinya kepailitan. Berdasarkan penjelasan dari dua Pasal yang telah disebutkan di atas ternyata Undang-Undang Perseroan Terbatas hanya menyebutkan istilah kesalahan atau kelalaian tanpa penjelasan yang lebih lanjut. Ketentuan Pasal 97 Ayat (2) menyebutkan bahwa tugas, wewenang dan tanggung jawab pengurusan Perseroan untuk kepentingan dan usaha perseroan dipercayakan dan dibebankan kepada setiap anggota Direksi tanpa kecuali, sehingga apabila terjadi kelalaian dan kesalahanseseorang atau lebih anggota Direksi berakibat bahwa seluruh Direksi, yaitu masi nggota Direksi berakibat bahwa seluruh Direksi, yaitu masingmasing anggota Direksi harus menanggung akibatnya. Mengenai tanggung jawab Direksi terhadap kepailitan Perseroan sebagaimana diatur dalam Pasal 104 Ayat (2 ) bahwa pada prinsipnya Perseroan tetap bertanggung jawab secara tanggung renteng dengan Direksi kepada pihak ketiga terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh Direksi dan telah terbukti bahwa perbuatan Direksi tersebut diluar kewenangan anggaran dasarnya. Dengan merujuk pada rumusan Pasal 97 Ayat (2) dan Pasal 104 Ayat (2) undang-Undang Perseroan Terbatas tampaknya Undang-undang memberikan kewajiban bahwa yang harus membuktikan adanya kepailitan yang telah terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi Perseroan adalah Pihak yang mendalilkannya. Apabila pihak dimaksud berhasil membuktikan hal tersebut, maka sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 Ayat (4) Undang-Undang Perseroan Terbatas beban pembuktian ada pada anggota Direksi tersebut. Menurut Jerry Joff, Kepailitan menjadi tanggung jawab pribadi dari direksi apabila dalam melaksanakan tugas kepengurusannya :2 1. Secara sengaja atau tidak hati-hati dalam melaksanakan tugas-tugas pokok pengurusan, seperti melakukan pembukuan yang layak dan pencatatan lainnya; 2. Tanpa persipan yang layak, melaksanakan keputusan yang akan mempunyai akibat keuangan yang luas; 3. Membiarkan para direktur yang jelas tidak mampu untuk mengikat perseroan tanpa batas jumlah keuangan; 4. Gagal untuk memberikan informasi kepada Komisaris, sehingga mencegah mereka untuk secara layak melakukan tugas-tugas pengawasan mereka; 5. Mengabaikan batas-batas kredit; 2 Jerry Hoff, Undang-Undang Kepailitan di Indonesia, penerjemah Kartini Mulyadi, PT. Tata Nusa, Jakarta, 2000, hlm. 161.6. Gagal mengambil tindakan pencegahan yanglayak dan pada waktunya terhadap resiko yang jelas dan dapat diduga; 7. Gagal untuk menyelidiki kemampuan keuangan mitra kontrak kepada siapa perseroan menyerahkan barang-barang atau jasa-jasa dengan kredit, atau memperpanjang kredit untuk suatu jangka waktu yang terlalu lama. Terhadap adanya tuntutan kepailitan terhadap Perseroan di dalam praktiknya banyak putusan yang menyatakan bahwa tuntutan kepailitan tidak dapat dikabulkan karena adanya unsur kelalaian yang dilakukan oleh jajaran Direksi Perseroan sehingga Direksi dalam kedudukannya sebagai pribadi bertanggung jawab secara tanggung renteng. Alasan dari adanya kelalaian yang dilakukan oleh Direksi diantaranya adalah tidak adanya persetujuan dari Dewan Komisaris sebagaimana ditentukan di dalam Anggaran Dasarnya Akibat hukum lainnya selain dari pertanggungjawaban secara pribadi apabila karena kelalaian Direksi perseroan menjadi pailit adalah bahwa sebagai seorang mantan anggota direksi yang perseroannya pailit dianggap seolah-olah kepailitan tersebut adalah kepailitan terhadap diri pribadinya sehingga dengan adanya kepai litan menjadikan hak-hak dia dibatasi. Hal ini dapat kita jumpai di dalam ketentuan Pa sal 93 Ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas yang mensyaratkan bahwa seseorang tidak dapat diangkat menjadi anggota Direksi apabila ia pernah dinyatakan pailit , mejadi anggota Direksi atau Dewan Komisaris Perseroan yang dinyatakan pailit, da n pernah dihukum melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan Negara. 2. Pertanggungjawaban Direksi Secara Pidana Terhadap Kepailitan Perseroan Dalam buku kedua kejahatan bab XXVI KUHP terdapat beberapa ketentuan yang secara khusus mengatur tanggung jawab pidana direksi berkenaan dengan perseroan. Adapun Pasal-pasal yang mengatur hal tersebut adalah : 1) Pasal 398 KUH Pidana Seseorang pengurus atau komisaris PT. Maskapai Andil Indonesia atau perkumpulan koperasi yang dinyatakan pailit atau yang penyelesaiannya olehpengadilan telah diperintahkan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan : satu tahun enam bulan : (1) Bila yang bersangkutan turut membantu atau mengijinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, yang menyebabkan seluruh atau sebagian besar dari kerugian yang diderita oleh perseroan, maskapai atau perkumpulan. (2) Bila yang bersangkutan dengan maksud untuk menangguhkan kepailitan atau penyelesaian perseroan, maskapai, atau perkumpulan, turut membantu atau mengijinkan peminjaman uang dengan syaratsyarat yang memberatkan, padahal ia tahu bahwa kepailitan atau penyelesaiannya tidak dapat dicegah lagi. (3) Bila yang bersangkutan dapat dipersalahkan tidak memenuhi kewajiban seperti tesebut dalam Pasal 6 alinea pertama KUHD dan Pasal 27 (1) Ordonansi tentang Maskapai Andil Indonesia, atau bahwa buku-buku dan surat-surat yang memuat catatan-catatan dan tulisantulisan yang disimpan menurut Pasal tadi dapat diperlihatkan dalam keadaan tak diubah 2) Pasal 399 KUH Pidana seseorang pengurus atau Komisaris PT. Maskapai Andil Indonesia atau perkumpulan koperasi yang dinyatakan pailit atau yang penyelesaiannya oleh pengadilan telah diperintahkan, diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun bila yang bersangkutan mengurangi secara curang hak-hak pemiutang pada perseroan, maskapai, atau perkumpulan untuk : (1) Membuat pengeluaran yang tidak ada atau tidak membukukan pendapatan atau menarik barang sesuatu dari budel. (2) Telah memindahtangankan (vervreemden) barang sesuatu dengan cuma-cuma atau jelas di bawah harganya.(3) Dengan suatu cara menguntungkan salah seorang pemiutang pada waktu kepailitan atau penyelesaian, ataupun pada saat dia tahu bahwa kepailitan atau penyelesaian tadi tidak dapat dicegah lagi. (4) Tidak memenuhi kewajibannya untuk membuat catatan menurut Pasal 6 alinea pertama KUHD dan Pasal 27 (1) Ordonansi tentang Maskapai Andil Indonesia, dan tentang menyimpan dan memperlihatkan bukubuku, surat-surat dan tulisan-tulisan menurut pasal-pasal itu. 3) Pasal 400 KUH Pidana Dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan, dihukum barangsiapa yang mengurangi dengan penipuan terhadap hak orang yang mengutangkan : 1.e Dalam hal menyerahkan harta bendanya menurut hukum, dalam hal jatuh pailit atau dalam hal penyelesaian urusan perniagaan atau jika dapat disangka lebih dulu salah satu hal itu akan terjadi dan kemudian hari betul penyerahan harta benda, jatuh (pailit) atau penyelesaian urusan perniagaan itu terjadi, maka ia melarikan sesuatu barang dari harta benda itu, atau menerima bayaran, baik dari piutang, yang belum dapat ditagih maupun dari utang yang sudah dapat ditagih, dalam hal tersebut kemudian, jika diketahuinya bahwa jatuhnya pailit atau penyelesaian urusan perniagaan orang yang menguntungkan telah dituntut, atau oleh sebab mufakat oleh orang yang berutang itu; 2.e Pada waktu pemeriksaan piutang dalam hal menyerahkan harta benda menurut hukum, jatuh pailit atau urusan penyelesaian perniagaan, menerangkan dengan dusta sesuatu penagihan yang sebenarnya tidak ada, atau membesar-besarkan jumlah piutang yang betul ada. (KUHP 35, 43, 397-1e, 399-1e, 405, 486) 4) Pasal 401 KUHP (1) Penagihan utang yang suka menerima pemufakatan pengadilan yang ditawarkan karena ia telah mengadakan perjanjian dengan orang yangberutang atau dengan orang lain, dengan dituntutnya keuntungan yang luar biasa, dihukum, kalau persetujuan itu diterima, dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan; g lain, dengan dituntutnya keuntungan yang luar biasa, dihukum, kalau persetujuan itu diterima, dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan; (2) Dalam hal demikian, maka hukuman yang serupa itu juga dijatuhkan kepada orang yang berutang atau, jika yang berutang itu perseroan, maskapai, perkumpulan atau yayasan, pada pengurusannya atau pembantunya yang membuat perjanjian itu. (KUHP 43, 405) 5) Pasal 402 KUHP Barang siapa yang dinyatakan tidak mampu akan membayar utangnya atau kalau ia bukan pedagang ia akan dinyatakan pailit, atau barang siapa yang dijinkan menyerahkan harta benda menurut keputusan pengadilan, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan, jika ia untuk mengurangi dengan tipu hak orang yang menghutangkan padanya dengan dusta mengarang utang, atau menyembunyikan keuntungan atau melarikan suatu barang dari harta bendanya, atau memindahkan sesuatu barang dengan percuma atau dengan nyata di bawah harga, atau pada waktu ia dinyatakan tidak mampu, menyerahkan harta bendanya atau dinyatakan dinyatakan jatuh pailit atau pada ketika itu ia tahu, bahwa salah satu dari hal ikhwal itu, tidak dapat dicegah lagi, menguntungkan salah seorang yang berpiutang padanya dengan memakai jalan apapun juga. 6) Dengan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan, dihukum : 1.e Barangsiapa yang sudah mendapat pertangguhan dengan pembayaran utangnya dengan kekuasaan sendiri melakukan perbuatan sedang untuk itu menurut undang-undang umum harus dilakukan dengan perantaraan pengurus harta benda. 2.e Pengurus atau komisaris perseroan, maskapai, perkumpulan atau badan yang sudah mendapat pertangguhan pembayaran utangnya, yang dengan kekuasaan sendiri melakukan perbuatan, sedang untuk itumenurut undang-undang hukum harus dilakukan dengan perantaraan -undang hukum har us dilakukan dengan perantaraan pengurus harta benda.. Dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa baik anggota direksi maupun komisaris PT dapat dituntut secara pidana bila mereka telah menyebabkan kerugian pada kreditur PT dan dapat dikenakan pidana penjara paling lama 1 (satu) dan 4 (empat) bulan jka mereka : (1) Turut serta dalam atau memberi persetujuan atas perbuatan-perbuatan yang melanggar anggaran dasar PT dan perbuatan-perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian berat sehingga PT jatuh pailit. (2) Turut serta dalam atau memberi persetujuan atas pinjaman dengan persyaratan yang memberikan dengan maksud menunda kepailitan atau (3) Lalai dalam mengadakan pembukuan sebagaimana diwajibkan oleh UUPT dan anggran dasar PT. Selanjutnya baik anggota direksi maupun komisaris PT yang telah dinyatakan dalam keadaan pailit dapat dituntut secara pidana dan dikenakan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun bila merekayasa pengeluaran/utang dengan maksud mengurangi secara curang hak-hak para kreditur PT atau mengalihkan kekayaan PT dengan cuma-cuma atau dengan harga jauh di bawah pasaran. Pasal 97 Ayat (3), Ayat (4), dan Ayat (5) mengatur tentang tanggung jawab anggota Direksi atas kerugian perseroan yang timbul dari kelalaian menjalankan tugas pengurusan perseroan, yang dapat diklasifikasikan sebagai: 1) Anggota Direksi Bertanggung Jawab Penuh Secara Pribadi Anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi (persoonlijk aansprakelijk, personally liable) atas kerugian yang dialami perseroan apabila: a) Bersalah (schuld, guilt or wrongful act); dan b) Lalai (culpoos, negligence) menjalankan tugasnya melaksanakan pengurusan perseroan.Seperti yang sudah dijelaskan, dalam melaksanakan pengurusan perseroan, anggota Direksi wajib melakukannya dengan itikad baik (good faith) yang meliputi aspek: anggota Direksi wajib melakukannya dengan itikad baik (good faith) yang meliputi aspek:3 a) Wajib dipercaya (fiduciary duty) yakni selamanya dapat dipercaya dan selamanya harus jujur; b) Wajib melaksanakan pengurusan perseroan untuk tujuan yang wajar dan tujuan yang layak; c) Wajib menaati peraturan perundang-undangan; d) Wajib loyal terhadap perseroan, tidak menggunakan dana dan aset perseroan untuk kepentingan pribadi, wajib merahasiakan segala informasi; e) Wajib menghindari tejadinya benturan kepentingan pribadi dengan kepentingan perseroan, dilarang mempergunakan harta kekayaan perseroan, dilarang menggunakan informasi perseroan, tidak menggunakan posisi untuk kepentingan pribadi, tidak mengambil atau menahan sebahagian keuntungan perseroan untuk pribadi, tidak melakukan transaksi antara pribadi dengan perseroan, tidak melakukan persaingan dengan perseroan, juga wajib melaksanakan pengurusan perseroan dengan penuh tanggung jawab yang meliptui aspek: 1. Wajib seksama dan berhati-hati melakukan pengurusan yakni kehati-hatian yang biasa dilakukan orang dalam kondisi dan posisi yang demikian yang disertai dengan pertimbangan yang wajar; 2. Wajib melaksanakan pengurusan dengan tekun yakni secara terus-menerus secara wajar menumpahkan perhatian atas kejadian yang menimpa perseroan; dan 3. Ketekunan dan keuletan wajib disertai kecakapan dan keahlian sesuai dengan ilmu pengetahuan dan pengetahuan yang dimilikinya. 3 M. Yahya Harahap.,Ibid., hlm. 283-284.Demikian gambaran ruang lingkup aspek iktikad baik (good faith) dan tanggung jawab penuh dan wajib dilaksanakan anggota Direksi dalam mengurus perseroan. Jika anggota Direksi lalai melaksanakan kewajiban itu atau melanggar apa yang dilarang atas pengurusan itu, dan kelalaian atau pelanggaran itu menimbulka n kerugian terhadap perseroan, maka anggota Direksi itu, bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan tersebut. 2) Anggota Direksi Bertanggung Jawab Secara Tanggung Renteng Atas Kerugian ktikad baik (good faith) dan tanggung jawab penuh dan wajib dilaksanakan anggota Direksi dalam mengurus perseroan. Jika anggota Direksi lalai melaksanakan kewajiban itu atau melanggar apa yang dilarang atas pengurusan itu, dan kelalaian atau pelanggaran itu menimbulka n kerugian terhadap perseroan, maka anggota Direksi itu, bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan tersebut. 2) Anggota Direksi Bertanggung Jawab Secara Tanggung Renteng Atas Kerugian Perseroan Dalam hal anggota Direksi terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih, maka Pasal 97 Ayat (4) menegakkan prinsip penerapan tanggung jawab secara tanggung renteng. Ketentuan Pasal 97 Ayat (4) UUPT tersebut adalah, Dalam hal Direksi terdiri atas 2 (dua) anggota Direksi atau lebih, tanggung jawab sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (3) berlaku secara tanggung renteng bagi setiap anggota Direksi . Berdasarkan bunyi dari Pasal 97 Ayat (4) ini, dengan demikian, apabila anggota Direksi lalai atau melanggar kewajibannya mengurus perseroan secara itik ad baik dan penuh tanggung jawab sesuai dengan lingkup aspek-aspek iktikad baik dan pertanggungjawaban pengurusan yang disebut di atas, maka setiap anggota Direksi sama-sama ikut memikul tanggung jawab secara tanggung renteng terhadap kerugian yang dialami perseroan. Mengenai alasan pertimbangan penegakan prinsip tanggung jawab secara tanggung renteng ini, tidak dijelaskan dalam UUPT. Menurut penulis pertimbangannya bertujuan agar semua anggota Direksi saling ikut menekuni secara terus-menerus pengurusan perseroan secara solidaritas tanpa mempersoalkan bidang tugas yang diberikan kepadanya, sehingga para Direksi itu secara keseluruhan har us bersatu dan penuh tanggung jawab bekerjasama mengurus kepentingan perseroan. Para Direksi itu harus menghindari terjadinya friksi yang diakibatkan oleh separ ation of power yang diembannya. Direksi harus sadar, setiap saat tanggung jawab secara tanggung renteng selalu menanti, meskipun kesalahan, kelalaian atau pelanggaran itu dilakukan oleh anggota Direksi yang lain, dan meskipun itu terjadi di luar bidan gtugasnya serta hal itu terjadi di luar pengetahuannya atau walaupun seorang Dire ksi itu misalnya tidak ambil bagian sedikit pun atas peristiwa itu, tetap saja harus bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian yang dialami perseroan tersebut. itu misalnya tidak ambil bagian sedikit pun atas peristiwa itu, tetap saja harus bertanggung jawab secara tanggung renteng atas kerugian yang dialami perseroan tersebut. Penerapan tanggung jawab terhadap Direksi secara tanggung renteng di Indonesia baru dikenal setelah diberlakukannya UUPT 2007. Sebelumnya, baik dalam KUH Dagang dan UUPT 1995, yang ditegakkan adalah prinsip tanggung jawab pribadi yang digantungkan kepada faktor siapa pelaku yang melakukan kesalahan, kelalaian atau pelanggaran, maka tanggung jawab hukumnya hanya dipikulkan kepada anggota Direksi yang melakukan kesalahan itu. Tidak dilibatkan anggota Direksi yang lain secara tanggung renteng. 3) Pembebasan Anggota Direksi dari Tanggung Jawab Secara Tanggung Renteng Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa pad Pasal 97 Ayat (4) UUPT menganut prinsip penegakan tanggung jawab secara tanggung renteng terhadap setia p anggota Direksi atas kesalahan, dan kelalaian pengurusan yang dijalankan oleh anggota Direksi yang lain. Namun, penerapan prinsip itu dapat disingkirkan oleh anggota Direksi yang tidak ikut melakukan kesalahan dan kelalaian, apabila anggo ta Direksi yang bersangkutan dapat membuktikan hal-hal sebagai berikut:4 a) Kerugian perseroan tersebut bukan karena kelalaian atau kesalahan; b) Telah melakukan dan menjalankan pengurusan perseroan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan perseroan sesuai dengan maksud dan tujua perseroan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar. c) Tidak terdapat benturan kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian perseroan; dan 4 Ibid., hlm. 386. Menurut M. Yahya Harahap bahwa hal-hal yang disebutkan di ata s, merupakan pengecualian dari tanggung jawab bersifat tanggung renteng terhadap an ggota Direksi. Untuk itu, maka anggota Direksi harus bisa membuktikan hal-hal tersebut agar ter lepas dari prinsip tanggung jawab yang bersifat tanggung renteng tersebut. Lihat juga Pasal 97 Ayat (5) UUPT.d) Telah mengambil langkah sebagai tindakan untuk mencegah timbulnya Telah menga mbil langkah sebagai tindakan untuk mencegah timbulnya atau berlanjutnya kerugian tersebut. Hal ini sehubungan dengan bunyi Pasal 97 Ayat (5) huruf d UUPT yaitu, Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut . Yang dimaksud dengan mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian , termasuk juga langkah-langkah untuk memperoleh informasi mengenai tindakan pengurusan yang dapat mengakibatkan kerugian antara lain melalui forum rapat Direksi. Syarat-syarat pembebasan atau pelepasan dari tanggung jawab secara tanggung renteng yang dideskripsikan pada Pasal 97 Ayat (5) UUPT tersebut bersif at kumulatif, bukan alternatif, hal itu disimpulkan dari perumusannya. Antara syara tsyarat dalam Pasal 97 Ayat (5) huruf a, b, c, dan d , tidak terdapat kata atau yang mengandung makna yang berbeda. Walaupun ada kata atau akan tetapi maknanya sama saja menuju kepada satu jenis bukan dua jenis sehingga harus dipilih. Kemudian ditemukan pula kata dan antara huruf a, b, c, dan d. Bertitik tolak dari fakta perumusan yang disebut di atas, dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat ters ebut bersifat kumulatif. Akibat kerugian perseroan yang tidak dapat dibuktikan oleh Direksi seperti hal-hal yang telah disebutkan dalam Pasal 97 Ayat (5) itu, maka terhadap Direksi dapat diajukan gugatan perdata oleh para pemegang saham. Dalam Pasal 97 Ayat (6) UUPT adalah, Atas nama Perseroan, pemegang saham yang mewakili paling sedikit 1/10 (satu persepuluh) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri terhadap anggota Direksi yang karena kesalahan atau kelalaiannya menimbulkan kerugian pada Perseroan . Berdasarkan bunyi Pasal 97 Ayat (6) UUPT ini memberi hak kepada pemegang saham untuk mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri terhadap halhal berikut ini: a) Anggota Direksi yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan pelaksanaan pengurusan perseroan;b) Hak itu timbul, apabila kesalahan atau kelalaian itu menimbulkan kerugian Hak itu timbul, apabila kesalahan atau kelalaian itu menimbulkan kerugian pada perseroan; dan c) Gugatan diajukan oleh pemegang saham atas nama perseroan, bukan atas nama perseroan sendiri. Dalam hal ini UUPT sendiri memberi kedudukan (legal standing) atau legal persona standi in judicio menggugat anggota Direksi yang melakukan kesalahan atau kelalaian mewakili perseroan tanpa memerlukan Surat Kuasa Khusus dari perseroan atau RUPS maupun dari pemegang saham yang lain. Akibat Hukum Kepailitan Perseroan Terbatas Direksi Didalam UndangUndang Kepailitan Dengan adanya putusan pailit yang dijatuhkan oleh pengadilan kepada suatu perseroan terbatas maka tidak hanya akan berakibat bagi badan hukum perseroan it u sendiri melainkan bisa juga berakibat bagi diri pribadi para direksinya. Di dala m undang-undang kepailitan BAB II Bagian Keempat mengenai tindakan Setelah Pernyataan dan Tugas Kurator dapat kita jumpai pasal-pasal yang mengatur mengena i akibat hukum kepailitan perseroan terhadap diri pribadi direksi perseroan yaitu : Dapat kita jumpai di dalam Pasal 93 UUK dan PKPU yang berbunyi : Pengadilan dengan putusan pernyataan pailit atau setiap waktu setelah itu, atas u sul hakim pengawas, permintaan kurator atau atas permintaan seorang kreditor atau le bih dan setelah mendengar hakim pengawas dapat memerintahkan supaya debitor pailit ditahan, baik di Rumah Tahanan Negara maupun di rumahnya sendiri, di bawah pengawasan jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas (ayat1) . Penahanan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 tersebut dilaksanakan oleh jaksa yang ditunjuk oleh hakim pengawas (ayat 2) dan jangka waktu dari penahanan berlangsung maksimal selama 30 hari terhitung sejak penahanan dilakukan (ayat 3) dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 30 hari atas permintaan seorang kreditor atau lebih atau atas usul hakim pengawas (ayat 4). Penahanan terhadap debitur pailit diajukan apabila ada alasan-alasan seperti :1. Dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban untuk membantu kurator melaksanakan upaya mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat berharga dan dokumen penting lainnya. (Pasal 110 UUK & PKPU) 2. Dengan sengaja tidak bersedia dipanggil untuk memberikan keterangan oleh hakim pengawas, kurator atau panitia kreditur. (Pasal 110 UUK & PKPU) 3. Tidak tersedia memberikan keterangan mengenai sebab-sebab kepailitan dan keadaan harta pailit kepada Hakim pengawas demi kepentingan kreditor. (Pasal 121 ayat 1 dan 2 UUK & PKPU) Permintaan untuk menahan debitor pailit harus dikabulkan oleh pengadilan apabila permintaain itu didasarkan atas alasan sebagaimana tersebut di atas tadi . (Pasal 95 UUK & PKPU). Selain akibat hukum seperti yang tersebut di atas, dengan adanya kepailitan terhadap perseroan menyebabkan sempitnya ruang gerak bagi pengurus perseroan untuk melakukan aktvitasnya di dalam bidang bisnis karena adanya larangan untuk meninggalkan tempat domisili mereka tanpa adanya persetujuan dari hakim pengawas (Pasal 97 UUK & PKPU). 4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Direksi dalam menjalankan kedudukannya selaku pengurus perseroan, tidak dikatakan salah atau lalai sepanjang dia menjalankan pengurusannya dengan iktikad baik dan tanggung jawab serta untuk tujuan dan kepentingan perseroan. Penafsiran tentang iktikad baik yang menjadi tolak ukur adanya kesalahan dan kelalaian direksi, karena UUPT tidak memberikan penafsirannya maka diserahkan pengembangannya lebih jauh oleh pengadilan maupun doktrin-doktrin yang ada. Berdasarkan doktrin fiduciary duty direksi memiliki tugas yang terbit secara hukum (by the operation of law) sehingga direksi berkedudukan sebagai trustee, dan harus mempunyai kepedulian (duty of care), loyalitas (loyality) dan kejujura n terhadap perseroannya. Pengurusan direksi dalam rangka kepentingan dan tujuanperseroan, dalam fiduciary duty-nya direksi juga tidak diperkenankan memperluas dan mempersempit ruang lingkup geraknya sendiri atau dikenal dengan doctrine of ultra vires, dengan batasan bertindak sesuai maksud dan tujuan perseroan sert a ketentuan anggaran dasar yang mengatur kewenangan bertindak direksi, selain harus juga memperhatikan kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. fiduciary duty-nya direksi juga tidak diperkenankan memperluas dan mempersempit ruang lingkup geraknya sendiri atau dikenal dengan doctrine of ultra vires, dengan batasan bertindak sesuai maksud dan tujuan perseroan sert a ketentuan anggaran dasar yang mengatur kewenangan bertindak direksi, selain harus juga memperhatikan kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. UUPT secara tegas mengatur bahwa direksi dapat diminta untuk bertanggung jawab secara pribadi atas kesalahan dan kelalaiannya yang mengakibatkan perseroan rugi, lebih jauh mengakibatkan perseroan pailit. Dalam hal pailit, tanggung jawab sampai harta pribadi secara tanggung renteng ketika menutup kerugian yang tidak terbayar melalui harta budel pailit perseroan. Dengan tidak cukupnya harta budel pailit untuk menutup kerugian, ada kepentingan kreditor perseroan yang piutangnya tidak terbayar. Mengenai letak pembuktian kelalaian dan kesalahan direksi dalam tindakan pengurusan, apakah harus pada perkara tersendiri atau pada perkara kepailitan perseroan atau dengan cara lain karena tidak adanya aturan mengenai hal tersebut, melalui putusan perkara kepailitan yang dipaparkan sebelumnya diketahui dapat dilakukan pada forum yang sama dengan permohonan pertanggung jawaban direksi, dalam hal ini pada Pengadilan Niaga dengan permohonan pailit terhadap direksi. Permintaan pertanggung jawaban direksi sendiri dapat dimintakan, karena direksi dianggap sebagai debito r perseroan dari utang yang lahir karena Undang-undang yaitu karena perbuatan kesalahan dan kelalaian direksi. Saran 1. Sebagai Badan Hukum perseroan terbatas adalah merupakan subyek hukum yang bertanggung jawab secara mandiri terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya terlepas walau perbuatan itu dikuasakan kepada pengurus dalam hal ini direksi perseroan. Oleh karena itu apa yang dilakukan oleh perseroan terbata s harus dapat dipertanggungjawabkan di muka hukum. Mengenai hal ini perlu kiranya ditegaskan dalam Undang-Undang mengenai perbuatan perbuatan hukumyang dapat dimintakan pertanggungjawaban kepada direksi apabila terjadi kepailitan perseroan terbatas. Dengan demikian nantinya dapat secara jelas ditentukan mana yang menjadi tanggung jawab perseroan tebatas dan mana yang menjadi tanggung jawab direksi perseroan. mintakan pertanggungjawaban kepada direksi apabila terjadi kepailitan perseroan terbatas. Dengan demikian nantinya dapat secara jelas ditentukan mana yang menjadi tanggung jawab perseroan tebatas dan mana yang menjadi tanggung jawab direksi perseroan. 2. Agar tidak terjadi kerancuan hukum, perlu adanya pembedaan subyek hukum dalam kepailitan (debitur pailit) dengan segala akibat hukumnya, yaitu adanya pengaturan mengenai kelanjutan atau eksistensi dari subyek hukum badan hukum yang dinyatakan pailit, sehingga dapat dibedakan hak dan kewajiban antara kepailitan individu perorangan sebagai subyek hukum pribadi dengan kepailitan suatu badan hukum. DAFTAR PUSTAKA Buku A. Abdurrachman. 1982. Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan dan Perdagangan. Jakarta: Pradnya Paramita. Abdulkadir Muhammad. 1992Hukum Acara Perdata. Bandung: Citra Aditya Bakti. Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja. 1999. Perseroan Terbatas. Jakarta: Rajawali Pers. Ali Rido. 1986. Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf. Bandung : Alumni. Aria Suyudi, Eryanto Nugroho dan Herni Sri Nubayani. 2004. Analisis Hukum Kepailitan Indonesia, Kepailitan di Negeri Pailit, cet. Ke-2. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia. C. Asser r. 1991. Pengajian Hukum Perdata Belanda Jilid III-Hukum Perikatan, Bagian Pertama Perikatan. Jakarta: Dian Rakyat.Chidir Ali 1999. Badan Hukum. Bandung : PT. Alumni. 1999. Badan Hukum. Bandung : PT. Alumni. Detlev F. Vagts. 1989. Basic Coorporation Law Material-aftd cases, the foundatio n New York: Press Inc. Denis Keenan & Josephine Bisacre, Smith & Keenan s. 1999. Company Law For Students. Financial Times Pitman Publising. Fred BG Tumbuan. 2002 Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris serta Kedudukan RUPS Perseroan Terbatas menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1995 , makalah kuliah S2 Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Gatot Supramono. 2004. Hukum Perseroan Terbatas Yang Baru (Edisi Revisi 2004). Jakarta: Djambatan. Gunawan Widjaja. 2003. Seri Hukum Bisnis: Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Gunawan Widjaja. 2004. Seri Aspek Hukum dalam Bisnis, Persekutuan Perdata Persekutuan Firma dan Persekutuan Komanditer. Jakarta: Prenada Media. H.M.N Purwosutjipto. 1982. Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 2. Jakarta: Djambatan I.G.Ray Widjaja. 2002. Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, cet.4. Jakarta: Kesaint Blanc. _____. 2003. Berbagai Peraturan dan Pelaksanaan Undang-undang di Bidang Hukum Perusahaan, Pemakaian Nama PT, Tata Cara Mendirikan PT, Tata Cara Pendaftaran Perusahaan, TDUP & SIUP, cet. 3. Jakarta: Kesaint Blanc. Indonesia, Undang-undang Tentang Kepalitan dan Penundaan Pembayaran Utang, UU No. 37 LN No. 131 tahun 2004, TLN No. 4443, TLN No. 4443.Jerry Hoff. 2000. Undang-undang Kepailitan di Indonesia, diterjemahkan oleh Kartini Muljadi. Jakarta: PT. Tata Nusa. Undang-undang Kepailitan di Indonesia, diterjemahkan oleh Kartini Muljadi. Jakarta: PT. Tata Nusa. Jhony Ibrahim. 2006. Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif. Cet II. Malang: Bayumedia Publising _____. 2002. Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Munir Fuady, 2003, Perseroan Terbatas Paradigma Baru (Bandung: Citra Aditya Bakti, Paul L.Davies. 1997. Gower s Priciples of Modern Company Law. London : Sweet Maxwell. Rachmadi Usman. 2004. Dasar Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas. Bandung : PT. Alumni. Ridwan Khairandy et.al. 2000. Pengantar Hukum Dagang Indonesia I, Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta : Gamma Media. Ridwan Khairandy. 2003. Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ridwan khairandy dan Siti Anisah. 2003. Hukum Kepailitan. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Sentosa Sembiring, 2006. Hukum Perusahaan Tentang Perseroan Terbatas. Bandung : CV. Nuansa Aulia. Sri Rejeki Hartono. 1999. Hukum Perdata sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern, artikel pada Jurnal Hukum Bisnis Vol. 7. Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis.Subekti dan R. Tjitrosudibio. 2001. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), terjemahan, cet. Ke 28. Jakarta: Pradnya Paramita. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), terjemahan, cet. Ke 28. Jakarta: Pradnya Paramita. Suharnoko. 2004. Hukum Perjanjian (Teori dan Analisis Kasus). Jakarta: Prenada Media. Sutan Remi Sjahdeini. 2002. Hukum Kepailitan Memahami Faillessementsverordening juncto Undang-undang No. 4 Tahun 1998. Jakarta: Grafiti Press. Artikel dan Jurnal Freddy Harris, Asas dan Dasar Hukum Kepailitan , Materi kuliah.Luhut Panggaribuan MP, Pengadilan Niaga Sebagai Upaya Terakhir Dalam Penyelesaian Utang Swasta (Suatu Catatan Deskriptif) , Pengembangan Perbankan Desember 1998 Ridwan Khairandy, Beberapa Kelemahan Mendasar Undang-undang Kepailitan Indonesia ,Jurnal Magister Hukum Vol. 2 No. 1. Februari, 2000 Tanggung Jawab Korporasi dalam Hal Mengalami Kerugian Kepailitan atau Likuidasi, http://www.nakertrans.go.id/majalah buletin/info hukum/vol12 v ii 2005, 28 Oktober 2010. Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana) Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)