argumen qur’ani tentang...
TRANSCRIPT
ARGUMEN QUR’ANI TENTANG PERSOALAN
EUTANASIA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh
Indah Wardatul Maula
1113034000168
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
i
ABSTRAK
Indah Wardatul Maula
Argumen Qur’ani Tentang Persoalan Eutanasia
Ada banyak jenis penyakit yang dialami manusia, ada penyakit yang bisa
disembuhkan, dan ada penyakit yang tidak bisa di sembuhkan. Penyakit yang
parah dan sudah tidak ada harapan lagi untuk sembuh membuat pasien meminta
kepada dokter untuk melakukan tindakan euthanasia terhadap dirinya, atau pasien
yang tidak sadarkan diri selama berbulan-bulan membuat pihak keluarga tidak
tega melihat penderitaan yang dialami oleh pasien tersebut sehingga keluarga
meminta kepada dokter untuk melakukan tindakan euthanasia. Hal ini
menimbulkan dilema bagi para petugas medis khususnya dokter, karena belum
adanya ketetapan hukum. Masalah eutanasia yang merupakan kematian atas
pertolongan dokter ini telah menjadi topik pembicaraan yang diperdebatkan, tidak
saja bagi kalangan ahli medis, tetapi juga para pakar Islam. Oleh karena itu,
berangkat dari problematika tersebut, penulis mendiskusikannya melalui
pandangan para ulama berbasis al-Qur’an.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan
menggunakan metode deskriptif analisis yaitu menguraikan secara teratur seluruh
konsep yang akan dikaji, kemudian mengklarifikasi sesuai permasalahan, dengan
maksud untuk memperoleh data yang sebenarnya. Temuan yang didapat dalam
penelitian ini bahwa melakukan tindakan eutanasia aktif pada dasarnya sama
dengan melakukan pembunuhan karena tindakan aktif dokter telah menghilangkan
nyawa seseorang dengan sengaja.
Berdasarkan penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa seseorang yang
melakukan tindakan eutanasia berdasarkan al-Qur’an surah Yusuf ayat 87, pada
hakikatnya telah berputus asa dari rahmat Allah karena seorang mu’min tidak
akan putus asa akan rahmat Allah kecuali orang kafir. Kedua, berdasarkan al-
Qur’an surah Yunus ayat 49, seseorang tidak berhak memajukan atau
memundurkan ajal seseorang, hanya Allah yang berhak akan hal tersebut. Ketiga,
berdasarkan al-Qur’an surah al-Mâidah ayat 32, membunuh satu jiwa sama
seperti membunuh seluruh jiwa, itu merupakan bukti bahwa Islam sangat
menghargai jiwa, terlebih jiwa manusia.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillhirrahmânirrahîm
Assalâmualaikum Warahmatulâlhi Wabarakâtuh
Terima kasih kepada Allah, Tuhan semesta alam yang telah memberikan
kenikmatan jasmani dan rohani, serta rahmat dan hidayah-Nya, dan kemudahan
serta kesabaran dalam menghadapi berbagai kesulitan sehingga saya bisa
menyelesaikan skripsi ini berkat pertolongan-Nya. Sholawat dan salam saya
haturkan kepada pahlawan revolusi Islam se-dunia yakni Nabi Muhammad Saw,
beliaulah Nabi akhir zaman yang telah memberikan cahaya dan tuntunan petunjuk
jalan yang lurus kepada umat Islam untuk mendapatkan kebahagiaan di Dunia dan
di Akhirat, serta do’a untuk keluarganya, sahabatnya, dan para pengikutnya
hingga akhir zaman.
Skripsi ini merupakan salah satu tugas akhir yang harus saya selesaikan
untuk menamatkan kuliah dan mendapatkan gelar sarjana Strata-1 pada Jurusan
Ilmu al-Qur’ân dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulisan skripsi ini tidak akan bisa tuntas tanpa bantuan, bimbingan,
arahan, dukungan dan kontribusi dari banyak pihak. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini saya ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-
tingginya kepada semua pihak yang telah membantu menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
Terlebih dahulu saya sembahkan bakti do’a dan rasa terima kasih kepada
kedua orang tua saya, Husaini Anis, S.Ag dan Yani Nurhayani, S.Ag, yang selalu
saya rindukan, yang telah bersabar dalam mengasuh dan mendidik saya,
memberikan kasih sayang dan selalu ikhlas mendo’akan yang terbaik untuk
iii
anaknya, dan selalu memotivasi saya untuk menjadi manusia yang lebih baik dan
bermanfaat bagi orang lain. Semoga Allah Swt senantiasa mengampuni dan
memaafkan segala khilaf dan menempatkan derajat keduanya pada derajat yang
tinggi. Âmîn
Selanjutnya saya menyampaikan terima kasih yang setinggi-tingginya
kepada:
1. Bapak Prof. Dr Dede Rosyada, MA Selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA selaku ketua Jurusan Ilmu Al-Qur’an
dan Tafsir Fakultas Ushuluddin dan Ibu Dra. Banun Binaningrum, M.Pd,
selaku sekertaris Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Serta seluruh dosen
dan staf akademik Fakultas Ushuluddin, khususnya Jurusan Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir yang telah membagikan waktu, tenaga dan ilmu
pengetahuan juga pengalaman berharga kepada penulis. Semoga amal
kebaikannya dibalas dengan pahala dan rahmat dari Allah Swt. Âmîn
4. Bapak Dr. Abd. Moqsith Ghazali, MA selaku dosen pembimbing yang
telah memberikan arahan, saran dan dukungan kepada penulis, sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan. Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika
selama proses bimbingan penulis banyak merepotkan. Semoga bapak
senantiasa sehat dan diberikan kelancaran dalam segala urusannya. Âmîn
5. Bapak Dr. Ahsin Sakho M. Asyrofuddin, MA selaku dosen penguji I dan
bapak Eva Nugraha, MA selaku dosen penguji II, yang telah memberikan
iv
saran-saran kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan
baik.
6. Suami saya, H. Zukroni Said, S.Pd.i yang selalu menyemangati dan
banyak membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Semoga kasih
sayangnya dibalas oleh Allah Swt. Âmîn
7. Teman-teman seperjuangan, kepada seluruh teman Jurusan Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir angkatan 2013, yang tidak bisa saya sebutkan satu per
satu, semoga kita semua tetap dalam ikatan silaturahmi dan jalinan
persahabatan yang indah. Terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya
selama ini.
8. Sahabat yang selalu menjadi sahabat terbaik dari masa-masa awal masuk
perkuliahan hingga saat ini yang tanpa henti memberikan semangat, serta
selalu memberikan warna terindah dalam kehidupanku. Terima kasih,
semoga Allah Swt membalas kebaikan kalian semua. Âmîn
9. Teman-teman The Gibahers, Winda, Nay, Farhah, Lala, Syarah, Elya,
Syifa, terima kasih selalu menghibur penulis disaat semangat penulis
sedang menurun sehingga membangkitkan kembali semangat penulis
untuk menyelesaikan skripsi ini, semoga persahabatan kita selalu terjaga.
10. Teman-teman KKN Otista terima kasih atas kebersamaan dan warna baru
dalam perjalanan kuliah serta pengabdian di masyarakat, semoga selama
kita KKN dapat menjadi jembatan ukhuwah antara kita di masa yang akan
datang.
11. Teman-teman organisasi FORSILA BPC Jakarta Raya, KALAM UIN
Jakarta, DUTA UIN Jakarta, KORPS Diplomatik UIN Jakarta, terima
v
kasih atas pengalaman yang begitu luar biasa, dan terimakasih sudah
memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga tali
silaturrahmi kita selalu terjaga.
12. Serta masih banyak lagi pihak-pihak yang sangat berpengaruh dalam
proses penyelesaian skripsi yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Semoga Allah Swt senantiasa membalas semua kebaikan yang telah diberikan.
Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan
umunya bagi para pembaca agar selalu berpegang pada ajaran-ajaran Rasulullah
SAW. Âmîn
Wassalâmuʻalaikum Wr.Wb.
Ciputat, April 2018
Indah Wardatul Maula
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ......................................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... vi
PEMOMAN TRANSLITERASI ..................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 6
E. Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 7
F. Metodologi Penelitian ................................................................................. 7
G. Sistematika Penulisan .................................................................................. 8
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG EUTANASIA
A. Pengertian Eutanasia .................................................................................... 11
B. Sejarah Eutanasia ......................................................................................... 13
C. Klasifikasi Eutanasia ................................................................................... 17
D. Eutanasia Dalam Kedokteran ...................................................................... 20
BAB III ULAMA DAN ARGUMEN EUTANASIA
A. Ulama Indonesia .......................................................................................... 25
B. Ulama Non Indonesia .................................................................................. 30
C. Klasifikasi Ayat Terkait Eutanasia .............................................................. 35
BAB IV EUTANASIA PERSPEKTIF MUFASIR KONTEMPORER
A. Penjelasan Tafsîr al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an .......................................... 38
B. Penjelasan Tafsîr al-Qur’an al-Adzîm .......................................................... 47
C. Persamaan dan Perbedaan Argumen Ayat ................................................... 57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................. 60
B. Saran ............................................................................................................ 61
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 62
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman
pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013/2014.
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ث
Ts Te dan es ث
J Je ج
H h dengan garis bawah ح
Kh Ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan ye ش
S Es dengan garis di bawah ص
Ḏ De dengan garis di bawah ض
Ṯ Te dengan garis di bawah ط
viii
Ẕ Zet dengan garis di bawah ظ
Koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
Gh Ge dan ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ` ء
Y Ye ي
2. Vokal Tunggal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U ḏammah و
ix
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
Ai a dan i ي
Au a dan u و
3. Vokal panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan
â a dengan topi di atas ا
I dengan topi di atas ي
u dengan topi di atas و
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu alif dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl.
5. Tasydîd
Dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda tasydîd itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerika tanda tasydîd itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf syamsiyyah. Misalnya, kata السنت tidak ditulis
as-sunah melainkan al-sunnah.
x
6. Ta marbûṯah
Jika ta marbûṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf
tersebut dialih-aksarakan menjadi huruf /h/, seperti أبو هريرة = Abû Hurairah.
Hal sama juga berlaku jika ta marbûṯah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’at).
Namun, jika huruf ta marbûṯah tersebut diikuti kata benda (ism), maka huruf
tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/.
7. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam
Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang,
maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut,
bukan huruf awal atau kata sandangnya, seperti البخاري = al-Bukhâri.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketika memikirkan kehidupan sendiri, manusia sering kali dihadapkan
pada situasi dan kondisi yang cukup kompleks, perkembangan dunia semakin
maju, sehingga peradaban manusia juga tampil gemilang sebagai refleksi dari
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tantangan-tantangan serta masalah-
masalah yang harus mereka hadapi demi kelangsungan hidupnya, berusaha untuk
dijawab sebaik mungkin, usaha tersebut yang kemudian disebut sebagai
peradaban manusia.1
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat pada
akhir akhir ini mengakibatkan perubahan-perubahan yang demikian cepat dalam
kehidupan sosial budaya umat manusia. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya
penemuan-penemuan teknologi modern, yang tentunya bertujuan untuk
kemanfaatan kehidupan dan kepentingan umat manusia dengan segala
konsekuensinya. Di antara penemuan-penemuan yang tidak kalah penting dan
juga demikian pesatnya adalah penemuan dalam bidang kedokteran. Dengan
adanya perkembangan di bidang teknologi kedokteran ini, maka diagnosa
mengenai suatu penyakit dapat dilakukan dengan lebih sempurna dan akurat,
sehingga pengobatannya pun dapat dilakukan secara efektif.2
Namun dalam kenyataannya, meskipun teknologi di bidang kedokteran
demikian maju, masih ada penyakit-penyakit tertentu yang sulit disembuhkan dan
1 Petrus Yoyo Karyadi, Eutanasia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia (Yogyakarta:
Media Press Indo), 2001, h. 1 2 Ahmad Wardi Muslih, Eutanasia Menurut Pandangan Hukum Positif dan Hukum Islam
(Jakarta: Raja Grafindo Persada), 2014, h.1
2
pasien dalam keadaan koma yang berkepanjangan. Keadaan ini tentu saja
merupakan penderitaan bagi si pasien dan menimbulkan rasa kasihan bagi orang
lain terutama keluarganya. Kondisi yang demikan kadang-kadang mendorong
keluarga untuk berfikir apakah tidak sebaiknya si pasien dibantu dengan suntikan
untuk mempercepat kematiannya. Atau dengan kata lain apakah tidak sebaiknya
dilakukan tindakan “eutanasia” terhadap si pasien, agar ia cepat terlepas dari
penderitaannya.3
Masalah eutanasia telah lama di pertimbangkan oleh kalangan kedokteran
dan para praktisi hukum di negara-negara Barat. Di Indonesia masalah ini juga
pernah dibicarakan, seperti yang dilakukan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dalam
seminarnya tahun 1985, yang melibatkan para ahli kedokteran dan ahlli hukum
positif dan hukum Islam. Pro dan kontra terhadap eutanasia itu masih
berlangsung, terutama ketika masalahnya dikaitkan dengan pertanyaan bahwa
menentukan mati itu hak siapa, dan dari sudut mana ia harus di lihat.4
Eutanasia makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena
semakin banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat
terutama setelah ditemukannya tindakan di dalam dunia pengobatan dengan
mempergunakan teknologi canggih dalam menghadapi keadaan-keadaan gawat.
Salah satu kasus mengenai eutanasia sebagaimana dikutip oleh Imron Halimi
dalam bukunya, eutanasia pernah dilaksanakan terhadap pasien rumah sakit di
Belanda, yang menderita penyakit kanker ganas. Tindakan eutanasia ini dilakukan
atas permintaan anak si pasien yang juga seorang dokter wanita, kepada direktur
3 Ahmad Wardi Muslih, Eutanasia Menurut Pandangan Hukum Positif dan Hukum
Islam, h. 4. 4 Chuzaimah T. Yanggo, dan Hafidz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer
(Jakarta: PT Pustaka Firdaus), jilid ke- 4, 1995, h. 50.
3
rumah sakit. Ia bahkan mengajak semua dokter untuk bersama-sama menolong
pasien dengan memberikan suntikan “mercy killing” atau eutanasia.5
Tindakan tersebut terjadi atas dasar kemanusiaan, yakni karena pihak
keluarga merasa kasihan terhadap penderitaan pasien yang berkepanjangan yang
secara medis sulit untuk disembuhkan. Dengan demikian, dokter mengabulkan
permintaan pihak keluarga penderita yang tidak sampai hati melihat keluarganya
terbaring berlama-lama dirumah sakit.6
Masalah yang dihadapi dokter dalam mengobati pasien, seperti halnya
kasus di atas, yaitu pasien yang tidak mungkin lagi diharapkan kesembuhannya
sehingga pasien merasakan sakit yang terus menerus, dalam hal ini dokter merasa
dilema, apakah dokter harus menghilangkan nyawa pasien atau eutanasia dengan
teknik yang ada atau membiarkan pasien begitu saja. Menyadari hal itu kewajiban
dokter adalah menghormati dan melindungi setiap insan dengan menjalankan
tugasnya semata-mata hanya untuk menyembuhkan dan mengurangi penderitaan
pasien dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan berdasarkan sumpah
jabatan dan kode etik kedokteran.7
Eutanasia telah menjadi topik pembicaraan yang diperdebatkan, tidak
hanya di kalangan ahli medis, tetapi juga di kalangan para pakar Islam.8 Menurut
ajaran Islam, hak hidup manusia dijungjung tinggi. Hidup merupakan pemberian
Allah kepada manusia yang harus dijaga dan dipelihara. Di samping itu, Syariah
Islam tidak mengakui adanya hak untuk mati, hidup dan mati merupakan
5 Imron Halimi, Eutanasia: Cara Mati Terhormat Orang Modern (Solo: Ramadhani),
1990, h. 31. 6 Kartono Muhammad, Eutanasia Dipandang dari Etika Kedokteran (Jakarta: Sinar
Harapan), 1984, h.6 7 M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan (Jakarta:
EGC), 1997, h.13 8 Ismail, Tinjauan Islam Terhadap Eutanasia (Jakarta: PBB UIN dan KAS), 2003, h.22.
4
ketentuan Allah, Allah yang mengatur semua makhluk menurut apa yang
dikehendaki-Nya, Allah maha kuasa atas segala sesuatu, Dia yang menciptakan
makhluk, maka Dia pula yang berhak mematikannya. Dalam surah al-Mulk ayat 1
dan 2 Allah berfirman:
سك ٱىريحب يلبد ٱى قدس ء ش مو عيى ٱىري ثخيق ٱى
ة ٱىح لا ع أحع أن م ٢ٱىغفزٱىعصصىبي“Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya-lah segala kerajaan, dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu”.{1} “Yang menjadikan mati dan hidup,
supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.
Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. {2}.
Dan Allah juga berfirman dalam surah al-Hajj ayat 66 sebagai berikut:
ٱىري إ حن ث خن ث أحام ع ىنفزٱل66. “Dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian
mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi), sesungguhnya
manusia itu, benar-benar sangat mengingkari nikmat.”
Hidup adalah anugerah Allah, oleh karena itu setiap individu wajib
menjaga, memelihara, menghargai, dan membela kehidupan, baik kehidupan diri
sendiri maupun kehidupan orang lain. Meskipun manusia dianugerahi kebebasan
untuk bertindak dan berbuat, namun kebebasan tersebut tidak lantas digunakan
tanpa melihat norma-norma yang ada. Secara kodrati manusia adalah makhluk
yang berakal budi, mempunyai kemampuan untuk bertindak. Dengan kehendak
serta akal budinya, manusia dituntut pertanggungjawaban secara moral dalam
setiap tindakan serta perbuatannya.
Dengan maraknya perbuatan eutanasia, banyak sekali perbedaan
pandangan dalam masyarakat. Ada masyarakat yang mengesahkan eutanasia
dalam kehidupan mereka dan banyak sekali juga masyarakat yang belum bisa
menerima eutanasia. Di kalangan para ulama pun terjadi perdebatan dan
perbedaan pendapat mengenai eutanasia, di antara mereka ada yang setuju dengan
5
tindakan eutanasia atas dasar belas kasihan tetapi tidak sedikit pula yang dengan
tegas melarang tindakan eutanasia karena tindakan tersebut telah menghilangkan
nyawa orang lain.
Apabila dilihat secara sepintas, tindakan eutanasia yang menghilangkan
nyawa orang lain tanpa hak termasuk tindakan pembunuhan,9 tetapi jika dilihat
alasannya, yaitu adanya permintaan dari keluarga pasien dan dilakukan karena
belas kasihan, maka apakah tindakan tersebut termasuk tindak pidana
pembunuhan?
Kondisi inilah yang mendorong penulis tertarik untuk membahas lebih
jauh lagi masalah eutanasia, Oleh karena itu, eutanasia masih sangat penting untuk
diteliti karena melalui penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan suatu
pandangan yang komprehensif mengenai eutanasia dalam Islam.
Penulis memilih meneliti pandangan para ulama dengan menyandarkan
pandangannya terhadap ayat al-Qur‟an karena pada dasarnya argumen qur‟ani
para ulama ini sangat penting bagi mereka yang masih ragu mengenai persoalan
eutanasia, pandangan para ulama ini dirasa sangat perlu untuk melengkapi data
penegasan eutanasia. Sehingga dalam penelitian ini penulis memberi judul
“Argumen Qur’ani Tentang Persoalan Eutanasia”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembahasan mengenai eutanasia itu berbagai macam, seperti eutanasia
dalam pandangan Hak Asasi Manusia, eutanasia dalam pandangan hukum
jinayah, eutanasia dalam pandangan hukum positif, dan lain sebagainya, agar
9 Ahmad Wardi Muslih, Eutanasia Menurut Pandangan Hukum Positif dan Hukum Islam,
h.4
6
pembahasan pada skripsi ini terarah, maka penulis membatasi permasalahan
pada pembahasan tentang eutanasia dalam pandangan para ulama berbasis al-
Qur‟an. Meskipun sudah banyak artikel-artikel atau tulisan yang membahas
eutanasia dalam pandangan Islam, di sini penulis lebih mengarah kepada al-
Qur‟an beserta tafsirnya. Eutanasia di dalam al-Qur‟an memang tidak
disebutkan secara khusus tetapi terdapat ayat ayat yang berkaitan dengan
masalah eutanasia ini maka penulis akan membahasnya melalui kitab tafsir
ahkam.
2. Perumusan Masalah
Studi ini akan berfokus pada masalah bagaimana kesesuaian argumen
para ulama berbasis al-Qur‟an tentang eutanasia dengan kitab tafsir ahkam.
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini yaitu untuk
mengetahui argumen para ulama yang di sertai dengan dalil al-Qur‟an tentang
persoalan eutanasia.
Tulisan ini juga bertujuan untuk mengetahui kesesuaian argumen qur‟ani para
ulama dengan kitab tafsir ahkam tentang eutanasia.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang berjudul “Argumen Qur‟ani Tentang Eutanasia” ini dapat
memberikan manfaat dalam perkuliahan yaitu dapat mengetahui eutanasia
menurut para ulama sehingga bisa menjadi bahan rujukan dalam mempelajari
salah satu matakuliah jurusan Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir yaitu matakuliah tafsir
ahkam.
E. Tinjauan Pustaka
7
Untuk menghindari plagiarisme perlu adanya kejujuran dalam penulisan
baik itu dari sumber-sumber ataupun penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
Dalam penelitian ini sebelumnya pernah ditulis oleh Ahmad Zaelani, mahasiswa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah, dalam skripsinya yang
berjudul “Eutanasia dalam Pandangan Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam”
yang disahkan pada tahun 2008. Di dalam skripsinya, ia membahas eutanasia
menurut Hak Asasi Manusia dan hukum Islam yang di dalamnya lebih
memfokuskan tentang hak hidup seseorang dalam Hak Asasi Manusia dan dalam
hukum Islam dan kaitannya dengan eutanasia, berbeda dengan yang akan penulis
teliti yaitu lebih mengarah kepada argumen para ulama berbasis al-Qur‟an.
Selain itu penulis menemukan beberapa literatur yang berhubungan
dengan permasalahan yang dibahas sehingga dapat dijadikan sumber rujukan
dalam skripsi ini, yaitu buku buku dari para ulama yang membahas mengenai
eutanasia, seperti buku berjudul “Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab: Wawasan
Agama Islam”, karya M. Quraish Shihab. Ataupun dari sumber lain yang di
dalamnya terdapat pendapat para ulama berbasis al-Qur‟an di dalamnya, seperti
jurnal berjudul “Eutanasia dalam Perspektif Hukum Islam”, karya Rada Arifin.
Studi yang akan penulis teliti tentu berbeda dengan studi-studi sebelumnya
yang memaparkan eutanasia dari berbagai perspektif, disini penulis lebih
mengarah kepada perspektif ulama berbasis al-Qur‟an di mana studi penelitian ini
belum di bahas pada studi-studi sebelumnya.
F. Metodologi Penelitian
1. Metode Pengumpulan Data
8
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kepustakaan (library research), yaitu semua data-data yang diambil dari
bahan tertulis yang berkaitan dengan eutanasia. Data diambil dari dua sumber
yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Adapun sumber primer yang
diambil penulis ialah menggunakan kitab-kitab Tafsir Ahkam, sedangkan
sumber sekunder menggunakan buku-buku yang berkaitan dengan
permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini.
2. Metode Pembahasan
Dalam menjabarkan data-data, penulis memakai metode deskriptif10
-
analisis11
yaitu metode yang diarahkan untuk mengkaji dan mendeskripsikan
gagasan primer tentang eutanasia dalam pandangan para ulama berbasis al-
Qur‟an.
3. Metode Penulisan
Metode penulisan skripsi ini mengacu pada buku Pedoman Penulisan
Skripsi, Tesis, dan Disertasi yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2013/2014.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penyusunan skripsi ini, penulis melakukan pembagian
bahasan. Penulis akan menguraikannya ke dalam beberapa bab yang di dalamnya
memuat beberapa sub-bab. Adapun uraiannya ialah sebagai berikut:
10
Metode deskriptif adalah menuraikan secara teratur seluruh konsep yang akan dikaji.
Anton Bakker dan Achmad Chairis Zubair, Metode Penulisan Filsafat (Yogyakarta: Kanisius,
1994), h. 65. 11
Metode Analitik adalah metode yang digunakan untuk pemeriksaan secara konseptual
atas data-data yang ada, kemudian mengklarifikasi sesuai permasalahan, dengan maksud untuk
memeperoleh atas data yang sebenarnya. Lois O Katsoff, Pengantar Filsafat. Penerjemah Suyono
Sumargono (Yogyakarta: T.pn., 1992), h. 70.
9
Bab pertama; berisi tentang pendahuluan yang meliputi a) Latar Belakang
masalah, yang menjelaskan tentang pendahuluan dan kronologi permasalahan
sampai ke titik inti permasalahan, b) Pembatasan dan Perumusan Masalah, agar
pembahasan yang dikaji lebih fokus dan terarah, c) Tujuan Penelitian, tentang
tujuan penulis untuk mencapai target yang diinginkan, d) Kajian Pustaka, yaitu
bahan bahan pustaka yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas, e)
Metodologi Penelitian, yang menjelaskan metode-metode yang digunakan oleh
penulis dalam penelitian, dan f) Sistematika Penulisan, untuk menjelaskan
struktural dan target pembahasan agar lebih efektif dan efisien.
Bab kedua; Gambaran Umum Tentang Eutanasia, yang terdiri dari
beberapa sub-bab, yaitu: a) Pengertian eutanasia, b) Sejarah Eutanasia, b)
Klasifikasi Eutanasia, c) Eutanasia Dalam Kedokteran. Dalam bab ini
memaparkan mengenai eutanasia agar pembaca lebih mengetahui bagaimana
gambaran umum tentang eutanasia
Bab ketiga; Ulama dan Argumen Eutanasia, yang terdiri dari beberapa
sub-bab, yaitu: a) Ulama Indonesia, b) Ulama Non Indonesia, c) Klasifikasi Ayat.
Bab ini merupakan inti pembahasan yang memaparkan dengan rinci mengenai
argumen-argumen para ulama tentang eutanasia.
Bab keempat; Tafsir Ahkam dan Argumen Eutanasia, yang terdiri dari dua
sub-bab, yaitu: a) Penjelasan Tafsîr al-Jâmi‟ li Ahkâm al-Qur‟an, b) Penjelasan
Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm, c) Persamaan dan Perbedaan Argumen Ayat. Dalam
bab diharapkan pembaca lebih yakin mengenai dalil-dalil al-Qur‟an yang
berkaitan dengan eutanasia, dalil-dalil ini diambil berdasarkan pandangan para
ulama mengenai persoalan eutanasia.
10
Bab kelima; berisi tentang Penutup, yang meliputi; a) Kesimpulan, b)
Saran. Bab terakhir merupakan bab penutup sebagai kesimpulan yang harus
dilakukan untuk menemukan jawaban yang di ajukan pada penelitian ini dan juga
terdapat saran-saran dari penulis.
11
BAB II
GAMBARAN UMUM TENTANG EUTANASIA
A. Pengertian Eutanasia
Eutanasia berasal dari bahasa yunani, yaitu “EU-THANASIA”. Eu artinya
baik dan Thanathos artinya mati.1 Berdasarkan penggalan kata tersebut eutanasia
berarti kematian secara baik. Menurut Jhon Suryadi dan S. Koencoro
mengemukakan bahwa menurut arti bahasa eutanasia itu adalah obat untuk mati
dengan tenang.2 Sementara menurut dr.med. Ahmad Ramli dan K. St. Pamuncak,
eutanasia berarti mati suci derita.3
Eutanasia dalam Oxford English Dictionary dirumuskan sebagai
“kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan terutama dalam kasus penyakit
yang penuh penderitaan dan tak tersembuhkan.” Sementara itu menurut kamus
Kedokteran Dorland eutanasia mengandung dua pengertian. Pertama, suatu
kematian yang mudah tanpa rasa sakit. Kedua, pembunuhan dengan kemurahan
hati.
Eutanasia bisa disebut juga “kematian yang mudah” atau “kematian tanpa
rasa sakit”. Dalam bahasa Inggris eutanasia dikenal dengan mercy killing, dan
dalam bahasa Arab disebut dengan al-Qatl Rahîm atau Taysîr al-Mawt.4 Karena
pada dasarnya eutanasia merupakan tindakan pembunuhan atas dasar kasihan.
Tindakan ini dilakukan semata-mata agar seseorang meninggal lebih cepat,
dengan esensi: Pertama, tindakan menyebabkan kematian. Kedua, dilakukan pada
1 Ahmad Wardi Muslih, Eutanasia Menurut Pandangan Hukum Positif dan Hukum Islam,
h. 11. 2 John Suryadi dan S. Koencoro, Kamus Lengkap Populer (Jakarta: Indah), 1986, h. 112.
3 Ahmad Ramli dan K. St. Pamuncak, Kamus Kedokteran (Jakarta: Jambatan), 1986, h.
68. 4 Lilik Ummu Kaltsum dan Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam (Ciputat: UIN
Press), 2015, h. 150.
12
saat seseorang masih hidup. Ketiga, penyakitnya tidak ada harapan untuk sembuh.
Keempat, Motifnya belas kasihan karena penderitaan berkepanjangan dan
tujuannya mengakhiri penderitaan.5
Eutanasia bisa juga didefinisikan sebagai a good death atau mati dengan
tenang. Hal ini dapat terjadi karena pertolongan dokter atas permintaan pasien
ataupun keluarganya, karena penderitaan yang sangat hebat dan tiada akhir,
ataupun tindakan membiarkan saja oleh dokter kepada pasien yang sedang sakit
tanpa menentu tersebut, tanpa memberikan pertolongan pengobatan.6
Eutanasia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tindakan
mengakhiri dengan sengaja kehidupan makhluk yang sakit berat atau luka parah
dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar perikemanusiaan.7
“Eutanasia Studi Group” dari KMNG Hollland mendefinisikan bahwa
eutanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang
hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau
mengakhiri hidup seorang pasien dan semua ini dilakukan khusus untuk
kepentingan pasien itu sendiri.8
Dalam pengertian-pengertian eutanasia tersebut di atas, paling sedikit akan
terjadi tiga hal kemungkinan akibat sosial yang ditimbulkan, yaitu:
a. Membolehkan atau mengizinkan sseorang mati (allowing someone to
die)
b. Kematian karena belas kasihan (mercy death)
5 Cecep Triwibowo, Etika & Hukum Kesehatan (Yogyakarta: Nuha Medika), 2014, h.
201. 6 Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Eutanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum
Pidana (Jakarta: Ghalia Indonesia), 1984, h.55 7 Anton M. Meliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka), 1989, h.
237. 8 Imron Halimi, Eutanasia: Cara Mati Terhormat Orang Modern, h. 36
13
c. Mencabut nyawa seseorang karena kasihan (mercy killing)
Antara mercy death dan mercy killing terlihat mempunyai kesamaan dalam
hal kesengajaan perbuatan. Bedanya adalah bahwa mercy death dilakukan dengan
permintaan pasien, sedangkan pada mercy killing tanpa permintaan dan tanpa
izinnya.9
Jadi, dari beberapa pengertian di atas penulis mengambil kesimpulan
bahwa eutanasia adalah tindakan sengaja melakukan sesuatu atau tidak melakukan
suatu perbuatan secara tidak menyakitkan dengan tujuan untuk mengakhiri hidup
seorang pasien yang tidak tersembuhkan karena semata-mata demi mengakhiri
penderitaannya.
Eutanasia merupakan upaya yang mana dilakukan untuk dapat membantu
seseorang dalam mempercepat kematiannya secara mudah akibat
ketidakmampuan menanggung derita yang panjang dan tidak ada harapan lagi
untuk hidup atau disembuhkan. 10
Hal tersebut memunculkan kontroversi yang
menyangkut isu etika eutanasia yaitu prilaku sengaja dan sadar mengakhiri hayat
seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan, yang santer
didiskusikan di dunia medis maupun di kalangan para ulama Islam –dalam hal ini
akan penulis bahas dalam bab selanjutnya-
B. Sejarah Eutanasia
Eutanasia sebenarnya bukan masalah baru. Perbuatan ini sebenarnya sudah
lama dikenal orang, bahkan udah sering dilakasanakan sejak zaman dahulu kala.
Pada zaman Romawi dan Mesir Kuno eutanasia ini pernah dilakukan oleh dokter
Olympus terhadap diri Ratu Cleopatra dari Mesir, atas permintaan sang Ratu,
9 Imron Halimi, Eutanasia: Cara Mati Terhormat Orang Modern, h. 37
10 Rada, Arifin, “Eutanasia dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Perspektif, vol.
XVIII, no. 2, Mei 2013, h. 110
14
walaupun sebenarnya ia tidak sakit tetapi karena ia gagal meraih kemenangan
dalam pertempuran, karena ia dikalahkan oleh lawannya. Cleopatra yang merasa
kecewa dan putus asa, karena ambisi dan impiannya tidak terwujud, akhirnya
meminta kepada dokter Olympus untuk melakukan eutanasia terhadap dirinya.
Dengan patukan ular beracun yang disiapkan oleh dokter Olympus, cleopatra
akhirnya meninggal dunia pada usia 38 tahun.11
Pada zaman dahulu kala tokoh-tokoh besar dalam sejarah mendukung
tindakan eutanasia, misalnya Plato yang telah mendukung tindakan bunuh diri
yang dilakukan oleh orang-orang pada masa itu, untuk mengakhiri penderitaan
yang dialaminya. Demikian pula Aristoteles telah membenarkan tindakan
“infanticide” yaitu membunuh anak yang berpenyakitan sejak lahir dan mereka
tidak bisa hidup menjadi manusia yang perkasa. Tokoh lain yaitu Phytagoras juga
telah mendukung tindakan pembunuhan terhadap orang-orang yang mengalami
lemah mental dan moral.12
Dalam yurisprudensi di Negeri Belanda, kasus eutanasia yang pertama
kalinya pada tahun 1952 ketika pengadilan di Utrecht dalam keputusannya tanggal
11 Maret menjatuhkan hukuman dengan waktu percobaan satu tahun penjara
kepada seorang dokter, yang atas permintaan dengan jalan suntikan mengakhiri
hidup kakaknya yang sangat menderita karena penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
Kasus lain di Belanda yang sangat terkenal yaitu pada tahun 1973, dalam
kasus ini Nyonya Postma van Boven, seorang dokter di Osterwolde mengakhiri
hidup ibunya dengan jalan suntikan morfin atas permintaan ibunya sendiri karena
11
Ilyas Efendi, Eutanasia Ratu Cleopatra Dua puluh Abad Lalu, dalam Majalah Kartini,
no.369, Edisi 9 s.d 22 Januari 1989. 12
Imron Halimi, Eutanasia: Cara Mati Terhormat Orang Modern, h. 39
15
ia menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Ibunya itu sudah tidak mau
makan lagi dan pernah menjatuhkan diri dengan sengaja dari tempat tidurnya
dengan membenturkan kepalanya di atas ubin dengan harapan akan dapat
mengakhiri hidupnya. Nyonya Postma dan suaminya yang juga dokter, kedua-
duanya memberitahukan kepada ibunya bahwa permintaan itu tidak dapat
dikabulkan. Akibatnya, ibunya memberontak dan tidak mau bicara lagi dengan
anak-anaknya. Akhirnya, Nyonya Postma tidak dapat menolak desakan ibunya
lagi dan memberikan suntikan.13
Oleh pengadilan Leeuwarder dalam keputusannya pada 21 Februari 1973,
ia di jatuhi hukuman dengan waktu percobaan satu tahun. Yang paling menarik di
kasus ini bahwa pengadilan menerima dan menyetujui beberapa pertimbangan
yang dikemukakan oleh inspektur Kesehatan Rakyat yang diajukan sebagai saksi
ahli. Dan kemudian setelah tahun 1986, pertimbangan kesaksian itu menjadi inti
rancangan Undang-Undang Eutanasia di Negeri Belanda. Yang berisi sebagai
berikut:
1. Persoalan di sini menyangkut orang yang menderita penyakit yang
tidak dapat disembuhkan,
2. Penderitaannya sedemikian hebat, sehingga perasaan sakit tak tertahan
lagi,
3. Pasien sendiri sudah berkali-kali mengajukan permintaan dengan
sangat untuk mengakhiri hidupnya,
4. Pasien sudah masuk periode akhir hidup,
5. Pelakunya dokter yang mengobati,
13
Ninik Maryanti, Malpraktek Kedokteran dari segi hukum pidana dan perdata (Jakarta:
Bina Aksara) 1988, h. 30
16
6. Harus ada konsultasi dengan dokter yang namanya dicantumkan pada
daftar yang dibuat kementrian Kesehatan Belanda.
Kemudian menurut literatur Belanda, maka pengadilan Belanda pada
tahun 1987 mulai mempertimbangkan bukan dasar pembenaran, tetapi dasar
menghilangkan culpa, jadi ada kejahatan tetapi tidak dapat dibuktikan
“overmacth” (daya paksa) dan apabila hakim dapat menerima overmacth maka
tidak dapat dihukum.14
Kasus lain pada akhir-akhir ini, sekitar tahun 1989, masalah eutanasia ini
mencurat lagi ke permukaan, sejak tersiarnya berita pembunuhan para pasien di
rumah sakit Lainz, Wina, Australia. Sebanyak 49 pasien rumah sakit terbesar di
kota Wina tersebut telah dibunuh oleh tiga orang perawat dengan alasan karena
kasihan karena pasien-pasien itu menderita sakit parah.15
Pada tahun 2004, di Indonesia sendiri pernah terjadi kasus seorang suami
bernama Hassan Kusuma, mengajukan suntik mati terhadap istrinya, Agian Isna
Nauli, yang dirawat di bagian stroke RSCM, Jakarta, setelah berbulan-bulan tidak
sadarkan diri pascamelahirkan. Karena ketiadaan ongkos, suaminya meminta
RSCM menyuntik mati istrinya. Tetapi, pihak rumah sakit menolaknya, karena
secara kedokteran tidak bisa dikatakan koma meskipun ia tidak bisa melakukan
kontak. Dalam istilah kedokteran, pasien mengalami gangguan komplikasi,
digolongkan sebagai stroke, sehingga tidak ada alasan untuk eutanasia.16
14
Cecep Triwibowo, Etika & Hukum Kesehatan (Yogyakarta: Nuha Medika), 2014,
h.204 15
Ahmad Wardi Muslih, Eutanasia Menurut Pandangan Hukum Positif dan Hukum
Islam, h. 11. 16
Detik News, “Kasus Ny Agian, RS Telah Lakukan Eutanasia Pasif,” artikel diakses
pada 8 Maret 2018 dari https://m.detik.com/news/berita/225608/kasus-ny-agian-rs-telah-lakukan-
euthanasia-pasif
17
C. Klasifikasi Eutanasia
a. Eutanasia Ditinjau dari Cara Pelaksanaannya
Dilihat dari cara pelaksanaannya, eutanasia dapat dibedakan menjadi dua
bagian, yakni:
1. Eutanasia aktif (al-Mawt al-Fa‟al),
Eutanasia aktif yaitu melakukan suatu tindakan dengan tujuan untuk
memperpendek atau tidak memperpanjang usia pasien. Baik dengan memberikan
suntikan ataupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti melepaskan
saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan sebagainya.17
Jenis seperti ini ada tiga: (1) tanpa permintaan atau persetujuan pasien; (2)
tanpa permintaan tim medis; (3) atas permintaan tim medis.
Menurut dr. Kartono Muhammad eutanasia aktif pernah dilakukan di
Indonesia, yaitu ketika seorang dokter harus memilih antara menyelamatkan
seorang ibu atau bayinya yang akan lahir, pada saat diketahui bahwa proses
kelahiran bayi itu bisa mengakibatkan hilangnya nyawa si ibu. Biasanya dalam hal
ini yang dipilih adalah menyelamatkan nyawa si ibu dengan mematikan nyawa
bayinya.
2. Eutanasia Pasif (al-Mawt al-Munfâil),
Eutanasia pasif yaitu tindakan tidak mengobati atau membiarkan pasien
terminal meninggal karena penyakit yang di deritanya.18
Dan berdasarkan medis
sudah tidak ada harapan untuk sembuh misalnya karena salah satu organ
17
Fauzi Aseri, “Eutanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum pidana, dan
Hukum Islam” dalam Chuzaimah T. Yanggo, dan Hafidz Anshary, Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h. 51. 18
Lilik Ummu Kaltsum dan Abd. Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, h. 151.
18
pentingnya sudah rusak atau lemah, seperti bocornya pembuluh darah yang
menghubungkan ke otak akibat tekanan darah yang terlalu tinggi.19
Eutanasia pasif dapat juga di katagorikan sebagai tindakan negatif yang
tidak menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri
kehidupan seorang pasien. Eutanasia pasif dilakukan dengan memberhentikan
pemberian bantuan medis. Beberapa contohnya adalah dengan tidak memberikan
bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan,
meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna memperpanjang
hidup pasien, ataupun pemberian obat penghilang rasa sakit seperti morfin yang
disadari justru akan mengakibatkan kematian. Tindakan eutanasia pasif seringkali
dilakukan secara terselubung oleh kebanyakan rumah sakit. Eutanasia pasif
banyak dilakukan di Indonesia, atas permintaan keluarga setelah mendengar
penjelasan dan pertimbangan dari dokter, bahwa pasien yang bersangkutan sudah
sangat tidak mungkin disembuhkan. Biasanya keluarga memilih untuk membawa
pulang pasien tersebut dengan harapan ia meninggal dengan tenang di lingkungan
keluarganya. 20
Menurut Dr. Veronica komalawati, ahli hukum kedokteran dalam artikel
pikiran rakyat mengatakan bahwa eutanasia dapat di bedakan menjadi tiga jenis,
yaitu: eutanasia aktif, eutanasia pasif dan autoeutanasia. Autoeutanasia yaitu
seorang pasien menolak secara tegas, dilakukan dengan keadaan sadar untuk
diobati atau menolak untuk menerima segala perawatan medis terhadap dirinya,
dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek hidupnya atau akan berdampak
19
Fauzi Aseri, “Eutanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum pidana, dan
Hukum Islam” dalam Chuzaimah T. Yanggo, dan Hafidz Anshary, Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h. 51. 20
Ahmad Wardi Muslih, Eutanasia Menurut Pandangan Hukum Positif dan Hukum
Islam, h. 20.
19
pada kematiannya. Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil
(pernyataan tertulis tangan). 21
b. Eutanasia Ditinjau dari Permintaan
Bagi pasien yang sudah sampai kepada tahap terminal, tetapi pasien
tersebut mengalami penderitaan yang berkepanjangan, maka seorang pasien dapat
mengajukan permintaan kepada petugas medis untuk mengakhiri hidupnya.
Berdasarkan kondisi ini, maka eutanasia dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Eutanasia Voluntir,
Eutanasia voluntir yaitu jika yang membuat keputusan adalah orang yang
sakit atas kemauan sendiri, atau bisa disebut juga eutanasia yang dilakukan oleh
petugas medis berdasarkan permintaan dari pasien sendiri.
Permintaan dari pasien ini dilakukan dalam kondisi sadar atau dengan kata
lain permintaan pasien secara sadar dan tanpa tekanan dari siapa pun juga.
Biasanya karena menderita penyakit yang menimbulkan nyeri tak tertahankan,dan
penyakit itu sendiri tidak dapat disembuhkan. Individu-individu tersebut
munghkin merasa bunuh diri itu sulit atau bahkan tidak mungkin karena alasan-
alasan tertentu.22
2. Eutanasia Involuntir
Jika keputusan dibuat oleh orang lain seperti pihak keluarga atau dokter
karena pasien mengalami koma medis, maka hal ini disebut eutanasia involuntir.
Dengan kata lain, eutanasia dilakukan oleh petugas medis kepada pasien yang
sudah tidak sadar. Permintaan biasanya dilakukan oleh keluarga pasien dengan
21
Cecep Triwibowo, Etika & Hukum Kesehatan, h.205 22
Danny Wiradharma, Etika Profesi Medis (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti), 1999,
hlm183
20
berbagai alasan, antara lain: biaya perawatan, kasihan kepada pasien, dan
sebagainya.23
Menurut dr. Rully Roesli terdapat pula bentuk eutanasia yang lain, yaitu
euthanasi sikon di mana seorang pasien masih ingin dan besar harapannya untuk
hidup, dan dokter masih mampu untuk mengupayakan pengobatan, tetapi
berhubung kondisi ekonomi dan keuangan keluarga pasien yang tidak mampu
membiayai pengobatannya, maka upaya pengobatan tersebut terpaksa dihentikan.
Dan mengakibatkan si itu pasien meninggal.24
Eutanasia ini sekilas mirip dengan eutanasia involuntir, Namun
perbedaannya adalah bahwa dalam eutanasia involuntir pasien dalam keadaan
tidak sadar. Akan tetapi, dalam eutanasia sikon, pasien dalam keadaan sadar. Dan
terdapat pula persamaannya yaitu sama sama masih ingin melanjutkan
pengobatan, hanya saja karena ketiadaan biaya, maka pengobatan terpaksa
dihentikan.
D. Eutanasia Dalam Kedokteran
Tugas profesional dokter begitu mulia dalam pengabdiannya kepada
sesama manusia dan tanggung jawab dokter makin tambah berat akibat kemajuan-
kemajuan yang dicapai oleh ilmu kedokteran. Para dokter beserta semua pejabat
dalam bidang kesehatan, harus memenuhi segala syarat keahlian di bidang ilmu
23
Soekidjo Notoatmodjo, Etika dan Hukum Kesehatan (Jakarta: PT Rineka Cipta), 2010,
h. 146 24
Dr. Rully Roesli, Eutanasia Sikon, kompas edisi 6 Mei 1989, dalam Ahmad Wardi
Muslih, Eutanasia Menurut Pandangan Hukum Positif dan Hukum Islam, h. 21
21
dan teknik, sehingga dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya jika dalam
praktiknya disertai oleh norma-norma etik dan moral.25
Dalam praktik kedokteran baik di rumah sakit, puskesmas, klinik, maupun
praktik pribadi, petugas kesehatan utamanya dokter dihadapkan pada dua masalah
sekaligus, yakni masalah etik dan masalah hukum. Dokter di dalam menjalankan
tugasnya dan melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan acuan atau
standar profesinya akan memperoleh sanksi etik profesi dari organisasi
profesinya, dan juga dapat melanggar hukum Undang-Undang maupun Peraturan
Pemerintah dan akan memperoleh sanksi berupa hukuman melalui prosedur
hukum yang berlaku. 26
Prinsip umum Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang
berkaitan dengan masalah jiwa manusia adalah memberikan perlindungan,
sehingga hak untuk hidup secara wajar sebagaimana harkat kemanusiaannya
menjadi terjamin. oleh karena itu, KUHP yang berlaku sekarang di Indonesia
memuat pasal-pasal yang mengancam dengan hukuman bagi orang yang
menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-
hati.27
Di dalam pasal 344 KUHP dinyatakan: “Barangsiapa menghilangkan jiwa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata
dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama dua belas tahun.”28
Berdasarkan
pasal ini, seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum, apabila ia melakukan
25
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Isu-isu Kontemporer I (Jakarta:
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an), 2012, h. 376 26
Soekidjo Notoatmodjo, Etika dan Hukum Kesehatan, h. 143 27
Fauzi Aseri, “Eutanasia Suatu Tinjauan dari Segi Kedokteran, Hukum pidana, dan
Hukum Islam” dalam Chuzaimah T. Yanggo, dan Hafidz Anshary, Problematika Hukum Islam
Kontemporer, h. 54 28
Rudi T. Erwin, dkk. Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan Hukum
Pidana (Jakarta: Aksara Baru) 1979.
22
eutanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang bersangkutan,
karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melanggar hukum.
Sejak permulaan sejarah kedokteran, seluruh umat manusia mengakui serta
mengetahui akan adanya beberapa sifat fundamental yang melekat secara mutlak
pada diri seorang dokter yang baik dan bijaksana, yaitu kemurnian niat,
kesungguhan dalam bekerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah dan sosial
yang tidak diragukan. Oleh karena itu, para dokter di seluruh dunia mendasarkan
tradisi dan disiplin kedokteran tersebut dalam suatu etik profesional yang dikenal
dengan kode etik kedokteran.29
Di Indonesia, kode etika kedokteran berlandaskan etik dan norma-norma
yang mengatur hubungan antara umat manusia serta memiliki akar-akarnya dalam
filsafat masyarakat yang diterima dan dikembangkan dalam masyarakat itu yang
asas-asasnya berlandaskan pada falsafah pancasila sebagai landasan UUD 1945.
Kode Etik Kedokteran Indonesia yang dikenal dengan KODEKI terdiri atas empat
bab. Bab I mengenai kewajiban umum, Bab II mengenai kewajiban dokter
terhadap pasien, Bab III mengenai kewajiban dokter tehadap teman sejawat, dan
Bab IV mengenai kewajiban dokter terhadap diri sendiri.
Praktik kedokteran atau tindakan-tindakan dokter yang sering berhadapan
dengan etika kedokteran maupun hukum adalah yang berkaitan dengan pelayanan
atau penanganan pasien yang mengalami masalah kesehatan yang berat. Masalah-
masalah ini menyangkut masalah eutanasia.
Dalam Bab II pasal 10 tentang kewajiban dokter terhadap pasien,
dinyatakan bahwa: “Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
29
Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Eutanasia Hak Asasi Manusia dan
Hukum Pidana, h. 79
23
melindungi hidup insani”. Dari pasal tersebut dapat dipahami setiap dokter di
mana pun ia berada berkewajiban untuk mempertahankan dan memelihara
kehidupan manusia. Ini berarti bahwa bagaimana pun kondisi dan gawat seorang
pasien, setiap dokter harus melindungi dan mempertahankan hidup seorang
pasien. Meskipun dalam keadaan demikian si pasien sebenarnya sudah tidak dapat
disembuhkan lagi, namun seorang dokter tidak boleh melepaskan diri dari
kewajjiban untuk selalu melindungi hidup pasien, terkadang ia terpaksa
melakukan suatu tindakan medis yang sangat membahayakan tetapi hal itu
dilakukan setalah dipertimbangkan secara mendalam, tidak ada jalan lain untuk
menyelamatkan pasien dari ancaman maut.30
Dalam kamus kedokteran dinyatakan bahwa eutanasia mengakhiri dengan
sengaja kehidupan seseorang dengan cara kematian atau menghilangkan nyawa
secara tenang dan mudah untuk menamatkan penderitaan. Pengertian ini
memandang bahwa eutanasia merupakan tindakan pencegahan atas penderitaan
yang lebih parah dari seseorang mengalami musibah atau terjangkit suatu
penyakit. Jalan ini diambil, mengingat tidak ada cara lain yang bisa menolong
seseorang untuk terlepas dari penderitaan yang luar biasa.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan eutanasia dalam tiga arti:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan,
untuk yang beriman dengan menyebut nama tuhan di bibirnya.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan
memberi obat penenang
30
Ahmad Wardi Muslih, Eutanasia Menurut Pandangan Hukum Positif dan Hukum
Islam, h. 25.
24
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja
atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. 31
Dalam menjalankan profesinya seorang dokter tidak hanya harus
mempertahankan standar profesi akan tetapi sikap dan tingkah lakunya harus
didasarkan pada agama, moral dn hati nuraninya. Seorang dokter juga harus
terlibat tidak hanya sebagai seorang profesional, akan tetapi ia harus mampu
memberi nasihat sebagai seorang sosiolog, psikiater, seorang ahli medis dan
kadang-kadang juga sebagai teman si penderita.32
31
Cecep Triwibowo, Etika & Hukum Kesehatan, h. 201 32
Mahar Mardjono “Pandangan Moral dan etik dalam Perkembangan Ilmu Teknologi
Kedokteran serta Praktek Profesi Kedokteran di Indonesia” dalam Ahmad Watik Pratikya dan
Abdul Salam M. Sofro, Islam Etika dan Kesehatan: Sumbangan Islam dalam menghadapi
Problema Kesehatan Indonesia Tahun 2000-an (Jakarta: Rajawali) 1986, h.32
25
BAB III
ULAMA DAN ARGUMEN EUTANASIA
Eutanasia merupakan fenomena baru, tidak pernah terjadi di zaman klasik.
Jika pada zaman dahulu membunuh disertai kemarahan, sekarang ini membunuh
dengan alasan kasihan. Karena al-Qur‟an tidak bicara mengenai eutanasia secara
langsung, maka para ulama menjadikan ayat-ayat pembunuhan sebagai rujukan
untuk memberikan respons hukum terhadap fenomena eutanasia. Tetapi, apakah
eutanasia termasuk pembunuhan atau bukan? Di bawah ini akan di uraikan
pendapat para ulama terkait dengan eutanasia dengan merujuk kepada ayat-ayat
pembunuhan yang lazim dipakai untuk menentukan hukum eutanasia di dalam
Islam.
A. Ulama Indonesia
Tabel 3.1: Argumen Ulama Indonesia
No. Nama Ulama Argumen
1. Quraish Shihab
Mengakhiri hidup seseorang walaupun dengan
alasan kemanusiaan, pada hakikatnya telah
berputus asa dari rahmat Allah. Al-Qur‟an
secara tegas menyatakan dalam sûrah Yusuf
ayat 87.
2. Hasan Basri
Pelaksanaan eutanasia aktif bertentangan, baik
dari sudut pandang agama, undang-undang,
maupun etik kedokteran. Persoalan hidup mati
sepenuhnya hak Allah. Seperti yang dikutip
dalam al-Qur‟an Sûrah Yunus ayat 49
3. Ibrahim Hosen
Eutanasia boleh dilakukan apalagi terhadap
penderita penyakit menular, karena ia
merupakan pilihan dari dua hal yang buruk.
Pertama, pasien mengalami penderitaan
berkepanjangan dan tidak bisa disembuhkan.
Kedua, penyakit yang diderita berbahaya bagi
orang lain.
4. Ali Yafie
Ali Yafie tidak menyetujui penerapan
euthanasia, ia lebih mengutamakan
pengobatan bagi si penderita, karena hal itu
menganggap semua orang berhak mengakhiri
hidupnya.
26
Salah satu ulama kontemporer Indonesia, Quraish Shihab,
mengungkapkan bahwa eutanasia adalah tindakan mengakhiri dengan sengaja
kehidupan makhluk yang sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang
dan mudah atas dasar kemanusiaan.1
Ada beberapa faktor atau alasan seseorang di eutanasia, salah satunya
yaitu belas kasihan karena penyakit yang diderita pasien sangat kronis dan tak
kunjung sembuh. 2
Quraish Shihab mengatakan mengakhiri hidup seseorang
walaupun dengan alasan kemanusiaan, pada hakikatnya telah berputus asa dari
rahmat Allah.3
Sementara ini secara tegas al-Qur‟an menyatakan dalam surah yusuf ayat
87:
لحا ز هع ٱلل لاۥإ ز ط ٱلل إل ٱىق فس ٧٨ٱىن“jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir”
Ini berarti bahwa keputusasaan identik dengan kekufuran yang besar.
Seseorang yang kekufurannya belum mencapai peringkat itu biasanya dia
kehilangan harapan. Sebaliknya, semakin mantap keimanan seseorang, semakin
besar pula harapannya. Keputusasaan hanya layak dari manusia durhaka karena
mereka menduga bahwa kenikmatan yang hilang tidak akan kembali lagi.
Padahal, sesungguhnya kenikmatan yang diperoleh sebelumnya adalah berkat
1 M. Quraish Shihab, Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab: Seputar Wawasan Agama
(Bandung: Mizan), 1999, h. 207 2 Lilik Ummu Kaltsum dan Abd. Moqsith Ghazalî, Tafsir Ayat-Ayat Ahkâm (Ciputat: UIN
Press), 2015, h. 153. 3 M. Quraish Shihab, Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab: Seputar Wawasan Agama, h. 208
27
anugerah Allah. Allah dapat menghadirkan kembali apa yang telah lenyap, bahkan
menambahnya sehingga tidak ada tempat bagi keputusasaan bagi yang beriman.4
Dalam pandangan Islam, hidup adalah anugrah Allah. Allah yang
menganugrahkannya maka Allah pula yang berhak mencabutnya, atau yang
berhak memerintahkan untuk mencabutnya. Jangankan membunuh orang lain,
membunuh diri sendiri pun dilarang dan diancam oleh-Nya dengan sanksi yang
amat berat. 5
“Aku didahului oleh hamba-Ku sendiri, ku haramkan untuknya
surga.” Begitu firman Allah dalam sebuah hadis qudsi yang diriwayatkan oleh al-
Bukhari, menyangkut seseorang yang terluka parah dan membunuh dirinya.
Hingga kini, misalnya masih ditemukan dokter angkat tangan menyangkut
kesembuhan seorang pasien, namun terbukti setelah sekian lama mereka segar
bugar. Memang rahmat Allah kepada makhluk tidak pernah terputus, dan pintu-
Nya untuk mengabulkan permohonan masih terbuka lebar.6
Mendambakan kematian juga merupakan salah satu bentuk keputusasaan,
sedang tidak wajar seorang Muslim berputus asa dari rahmat Allah, betapapun
besar penderitaannya. Kalaupun terpaksa akibat penderitaan yang tidak terpikul
lagi, maka hendaklah berdo‟a: “Ya Allah hidupkan aku jika kehidupan ini baik
untukku, dan matikan aku, jika kematian baik bagiku” (HR. Bukhâri Muslim). 7
Sementara itu, Hasan Basri berpendapat bahwa pelaksanaan eutanasia aktif
bertentangan, baik dari sudut pandang agama, undang-undang, maupun etik
kedokteran. Dan lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa persoalan hidup mati
4 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbâh: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an Jilid
ke-6, h. 165 5 M. Quraish Shihab, Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab: Seputar Wawasan Agama, h. 207
6 M. Quraish Shihab, Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab: Seputar Wawasan Agama, h.
208. 7 M. Quraish Shihab, Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT (Jakarta:
Lentera Hati), 2002, h. 40
28
sepenuhnya hak Allah. Manusia tidak bisa mengambil hak Allah, betapa pun
parahnya penyakit, pengobatan tidak boleh dihentikan. Seperti yang dikutip dalam
al-Qur‟an Surah Yunus ayat 49:
إذ تأجو أ ىنو اشا ءٱلل لفعاإل يلىفعضسا قول أ جا ءأجي
فلعخ لعخقد ظاعتا ٤رخس“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak
(pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki
Allah". Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka,
maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak
(pula) mendahulukan(nya).”
Bagi Hasan Basri manusia tidak berhak memundurkan atau juga
memajukan ajal seseorang bila waktu ajalnya telah tiba. Karena ajal itu di tangan
Tuhan seseuai dengan kehendak-Nya. Dengan kata lain, K.H. Hasan Basri sangat
menentang eutanasia dalam bentuk apapun baik pasif maupun aktif, dan dengan
alasan apapun eutanasia tersebut dilakukan.8
Adapula ulama yang ikut berargumen mengenai eutanasia tetapi tidak
didasarkan kepada dalil al-Qur‟an, Ibrahim Hossen misalnya, mengatakan
eutanasia boleh dilakukan apalagi terhadap penderita penyakit menular, seperti
penderita penyakit AIDS, karena ia merupakan pilihan dari dua hal yang buruk.
Pertama, pasien mengalami penderitaan berkepanjangan dan tidak bisa
disembuhkan. Kedua, penyakit yang diderita berbahaya bagi orang lain,
mengingat daya tularnya yang mengerikan. Bukan hanya eutanasia pasif yang
boleh dilakukan pada penderita, Ibrahim Hosen juga menganjurkan eutanasia aktif
harus dilakukan berdasarkan keputusan dokter dengan izin dari keluarga pasien.9
8 Majalah Panji Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari 1996, h.60
9 Luthfi Assyaukanie, Politik, HAM dan Isu-isu Teknologi Dalam Fikih Kontemporer
(Bandung: Pustaka Hidayah) 1998, h. 180
29
Ibrahim Hossen pun berkomentar dalam Muzakarah (diskusi) Nasional
Ulama tentang penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS, di Bandung, akhir
tahun 1995 lalu, komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengusulkan
suntik mati bagi penderita AIDS untuk mencegah penyakit yang menakutkan itu.
Sebab, menurut Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa MUI pada saat itu, ada
anggapan AIDS adalah penyakit sangat berbahaya dan mudah menular.10
Menurut Ali Yafie, mantan Wakil Rais Am Nahdhatul Ulama, tidak
menyetujui penerapan euthanasia, ia lebih mengutamakan pengobatan bagi si
penderita. Sebab, menurut Ali Yafie, itu merupakan pandangan duniawi yang
menganggap semua orang berhak mengakhiri hidupnya. Ali Yafie lebih
cenderung mengkarantinakan penderita AIDS sebagai alternatif mengatasi
penularan penyakit berbahaya tersebut.11
Dalam Muzakarah tersebut akhirnya diputuskan bahwa eutanasia tidak
dibenarkan atas penderita AIDS, baik eutanasia aktif maupun pasif. Sejumlah
alasan diajukan oleh MUI, berdasarkan nash al-Qur‟an, Hadis, dan Menolak
diterapkannya argumen maslahah dalam kasus ini. Sesuai dengan ayat al-Qur‟an
bahwa hidup dan mati adalah di tangan Allah (Surah Al-Mulk ayat 2), larangan
bunuh diri (Surah an-Nisâ ayat 29), Larangan membunuh orang lain kecuali
dengan hak (Surah al-An‟âm ayat 151), larangan putus asa (Surah Yûsuf ayat 87),
perintah agar sabar dan tawakkal menghadapi musibah (Surah Luqman ayat 17),
perintah perintah banyak istigfar dan berdo‟a (dan Ali Imrân ayat 135). Menurut
10
Majalah Gatra, “Kalau Ulama Memerangi AIDS” artikel diakses pada 13 Maret 2018
dari http://arsip.gatra.com/1995-12-11/majalah/artikel.php?pil=23&id=58998. 11
Majalah Gatra, “Kalau Ulama Memerangi AIDS”
30
MUI dalil maslahah bagi penderita tidak dapat diterapkan di sini karena
bertentangan dengan nash.12
Dalam Bahstul Masail Munas NU di NTB pada tahun 1998 juga di
tetapkan bahwa hukum eutanasia atau tindakan mengakhiri hidup ialah haram.
Dasarnya dalam kitab Mughni al-Muhtâj. Karena ada unsur kesengajaan sehingga
membuatnya mati atau menghancurkan diri sendiri.13
Pada tahun 1989 di
Yogyakarta juga pernah diadakan Bahstul Masail Muktamar dan Munas NU
mengenai masalah keagamaan yang juga membahas mengenai eutanasia. Dalam
Bahstul Masail tersebut, hasil keputusan mengenai eutanasia yaitu tindakan medis
terhadap pasien yang dinilai sudah sulit diharapkan hidupnya, dengan tujuan atau
berakibat meninggalnya pasien secara perlahan-lahan hukumnya haram.14
B. Ulama Non Indonesia
Tabel 3.2: Argumen Ulama Non Indonesia
12
MUI, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majlis Ulama Indonesia (Jakarta: MUI), 1997,
h. 173 13
Tim Lajnah Ta‟lif Wa Nasyr (LTN) PBNU, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam
Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 (Surabaya: Khalista),
2011, h. 539-541 14
A. Aziz Masyhuri, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul
Ulama (Surabaya: Dinamika Press), 1998, h. 352.
No. Nama Ulama Argumen
1. Yûsuf Qordhowî
Eutanasia yang dilakukan secara aktif tidak
lepas dari katagori pembunuhan, karena
dokter telah melakukan tindakan aktif dengan
tujuan menghilangkan nyawa pasien dan
mempercepat kematiannya melalui
pemberian obat atau yang lainnya.
2. Alî aṣ-Ṣâbûnî
Tindakan menghilangkan jiwa milik orang
lain adalah perbuatan melawan hukum Allah.
Orang yang menghilangkan nyawa orang lain
tanpa alasan yang dibenarkan agama, sama
halnya dengan merusak tatanan kehidupan
masyarakat seluruhnya. Hal ini dinyatakan
dalam Sûrah al-Maidah ayat 32
3. Wahbah Az-Zuhailî Menghentikan pengobatan dengan mencabut
alat-alat bantu pada pasien setelah mati atau
rusaknya organ otak hukumnya boleh (jâiz).
31
Eutanasia sekarang ini belum di terima di Indonesia, Meskipun eutanasia
dilakukan demi kemanusiaan, yakni membebaskan orang yang hidup dari
penderitaan yang dialaminya, padahal sudah tidak ada harapan lagi untuk hidup.15
Selain ulama Indonesia, adapula ulama non Indonesia yang beragumen
mengenai eutanasia, di antaranya yaitu Yûsuf Qordhowî, mengatakan bahwa
eutanasia adalah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa
merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan meringankan
penderitaan pasien baik dengan cara aktif maupun pasif.16
Menurut Yûsuf Qordhowî, eutanasia yang dilakukan secara aktif atau
memudahkan proses kematian secara aktif tidak diperkenankan. Karena dokter
telah melakukan tindakan aktif dengan tujuan menghilangkan nyawa pasien dan
mempercepat kematiannya melalui pemberian obat atau yang lainnya. Perbuatan
demikian itu tidak lepas dari katagori pembunuhan meskipun yang mendorongnya
itu rasa kasihan kepada pasien untuk meringankan penderitaannya. 17
Ada pula Alî aṣ-Ṣâbûnî yang mengatakan tindakan menghilangkan jiwa
milik orang lain adalah perbuatan melawan hukum Allah. Tindakan
menghilangkan jiwa hanya diberikan kepada lembaga peradilan (pemerintahan
Islam) sesuai dengan aturan pidana Islam. Ini pun dilakukan dalam rangka
memelihara dan melindungi jiwa manusia secara keseluruhan. Orang yang
15
Mahar Mardjono “Pandangan Moral dan etik dalam Perkembangan Ilmu Teknologi
Kedokteran serta Praktek Profesi Kedokteran di Indonesia” dalam Ahmad Watik Pratikya dan
Abdul Salam M. Sofro, Islam Etika dan Kesehatan: Sumbangan Islam dalam menghadapi
Problema Kesehatan Indonesia Tahun 2000-an (Jakarta: Rajawali) 1986, h. 32 16
Yûsuf al-Qardhowî, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid ke- 2 (Jakarta: Gema Insani
Press), 1995, h. 749. 17
Yûsuf al-Qardhowî, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid ke- 2, h. 751
32
menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan yang dibenarkan agama, sama
halnya dengan merusak tatanan kehidupan masyarakat seluruhnya. 18
Hal ini dinyatakan Allah dalam Surah al-Mâ‟idah ayat 32:
أ ءو إظس ب عيى مخبا ىل ذ ۥأجو أ فط س بغ ا فع قخو
ف ٱلزضفعاد قخو ا أحاٱىاضفنأ ا فنأ أحاا ا عا ج
زظيٱىاض ىقدجا ءح ا عا جباج ىلفٱىب بعدذ مثسا إ ث
ٱلزض عسف ىArtinya : “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia bukan karena
orang itu membunuh orang lain (karena qishash), atau bukan karena
membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh
manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan
manusia seluruhnya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka
rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas,
kemudian banyak di antara mereka sesudah itu bersungguh-sungguh
melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.”
Barangsiapa di antara mereka membunuh seorang manusia secara zhalim,
maka dia berhak menerima qishash, atau tanpa membuat kerusakan di muka bumi,
maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia. Dalam hal ini Alî aṣ-
Ṣâbûnî dalam kitabnya mengutip penafsiran al-Baidhowi yakni “Hal itu
disebabkan karena ia telah melanggar keharaman darah dan melakukan tindak
pembunuhan”. Yang dimaksud penggalan ayat ini adalah menganggap kejahatan
besar orang yang membunuh manusia dan menghidupkannya dalam hati manusia
untuk menakuti orang supaya tidak melakukan perbuatan yang serupa karena amat
besar dosa dan tanggungannya.19
18
Alî aṣ-Ṣâbûnî, Rawa‟i al-Bayân: Tafsir Ayat al-Ahkâm min Al-Qur‟an Juz 1 (T.tp.: Dar
al-Fikr), t.t., h. 182. 19
Ali ash-Shobuni, Shafwatut Tafasîr Jilid ke-2, terj. KH. Yasin (Jakarta: Pustaka
Kautsar), 2011, h. 40.
33
Begitu besarnya penghargaan Islam terhadap jiwa, sehingga segala
perbuatan yang merusak atau menghilangkan jiwa manusia, diancam dengan
hukuman yang setimpal (qishash atau diyat). Dampak dari kerusakan sosial
sebagai akibat dari pembunuhan seperti digambarkan oleh ayat di atas, menurut
para ahli tafsir tidak hanya berlaku bagi Bani Israil saja, tetapi juga manusia
seluruhnya.20
Adapun menghentikan pengobatan secara pasif atau atau tidak
memberikan pengobatan didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan
yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada
pasien. Para ulama bahkan berbeda pendapat mengenai mana yang paling utama,
berobat atau bersabar? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa bersabar
(tidak berobat) itu lebih utama, berdasarkan hadis Ibnu „Abbâs yang diriwayatkan
dalam kitab shahih dari seorang wanita yang tertimpa penyakit epilepsi.
Perempuan itu meminta kepada Nabi agar mendo‟akannya, lalu beliau menjawab:
بب تإن أن أح بب تإن وولكال جنة،تص بري تاللوأح أدعو بل ف قالت .فيكش ين فاد عاللوأتكشفنىولك،أص بر كشفتالأت أفدعالهاالأتكشف،ألي
Jika mau sabar, bagimu surga. Jika engkau mau, aku akan berdo‟a pada
Allah supaya menyembuhkanmu.” Wanita itu pun berkata, “Aku memilih
bersabar.” Lalu ia berkata pula, “Auratku biasa tersingkap (kala aku
terkena ayan). Berdo‟alah pada Allah supaya auratku tidak terbuka.”
Nabi muhammad pun berdo‟a pada Allah untuk wanita tersebut.21
Dalam hal ini, Yûsuf Qordhowî sependapat dengan golongan yang
mewajibkan berobat apabila sakitnya parah, dan masih ada harapan untuk
20
Ulama Jumhur mengatakan bahwa Allah memberlakukan qishash itu justeru untuk
melindungi kehormatan jiwa manusia lainnya. Lihat Ali ash-Shabuni, Rawa‟i al-Bayân: Tafsir
Ayat al-Ahkâm min Al-Qur‟an (T.tp.: Dar al-Fikr) Juz ke-1, t.t., h. 182. 21
Diriwayatkan oleh Bukhâri dalam “Kitab Al-Marḏa” dan Muslim dalam “Kitâb al-Birr
waṣ-Ṣillah”, hadis nomor 2265.
34
sembuh. Sedangkan jika sudah tidak ada harapan sembuh maka tidak ada
seorangpun yang mengatakan wajib berobat. Apabila pasien diberi berbagai
macam pengobatan dalam waktu yang cukup lama, tetapi penyakitnya tetap saja
tidak ada perubahan, maka melajutkan pengobatan itu tidak wajib. Jika demikian,
tindakan pasif ini adalah jaiz dan dibenarkan oleh syara‟, apabila keluarga
mengizinkannya, dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan pasien
dan keluarganya.22
Wahbah Az-Zuhailî pun mengatakan demikian, menghentikan pengobatan
dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien setelah mati atau rusaknya organ
otak hukumnya boleh (jâiz).23
Oleh karena itu mempercepat kematiannya tidak
dianggap sebagai pembunuhan. Fazlur Rahman menegaskan bahwa
memperpanjang hidup dengan menggunakan bantuan peralatan buatan tidak
diperkenankan.24
Artinya, kematian bisa ditunda dengan bantuan peralatan
canggih sehingga pasien tidak cepat mati.
Menanggapi masalah ini, Syekh Sulaiman al-Bujairimi menegaskan:
التداوي يسن و في قال . ال هرم ر غي داوء لو االجعل داء يضع لم اهلل ان لخبرراهالمري ضعلي و رهاك ت ركالتداويت وكالعلىاهللف هوأف ضلويك مو عفان ال مج
“Orang yang sedang sakit, disunahkan untuk berobat, karena ada
hadis, “Sesungguhnya Allah tidak menciptakan penyakit tanpa
menyertakan dengan obat, kecuali (penyakit) tua renta. Imam al-Nawawi
berkomentar dalam kitabnya al-Majmu‟, jika seorang yang sakit tidak mau
berobat semata-mata karena tawakal kepada Allah SWT. Maka hal itu
lebih utama. Malah makruh hukumnya memaksa dia untuk berobat.25
22
Yûsuf al-Qardhowî, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid ke- 2, h. 754. 23
Wahbah az-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhû Juz 9 (Damaskus: Darul Fikr)
1996, h. 500. 24
Fazlur Rahman, Etika pengobatan Islam: Penjelajahan Seorang Neomodernis, h. 149. 25
Sulaiman Al-Bujairimi, Bujairimi „ala al-Khaṯib Juz 2 (Beirut: Dârul al-Kutub al-
„Ilmiyah), 1996, h. 270.
35
Jika mengikuti alur ini, menjadi boleh kemudian membiarkan kondisi -
tanpa harus diobati-pasien yang sudah pasrah total pada Allah.
Demikianlah pendapat para ulama mengenai eutanasia. Masalah eutanasia
memang cukup pelik, mereka yang tidak setuju dengan tindakan eutanasia percaya
bahwa yang berhak menentukan kematian hanyalah Allah, tugas manusia hanya
berikhtiar, tetapi mereka yang menyetujui praktik eutanasia lebih melihat pada sisi
maslahat dan keadaan yang menuntut.26
C. Klasifikasi Ayat Terkait Eutanasia
Secara keseluruhan terdapat delapan ayat yang telah disebutkan oleh para
ulama mengenai persoalan eutanasia. Dari delapan ayat tersebut dapat
diklasifikasi ke dalam beberapa kelompok, yaitu:
1. Larangan membunuh
Terdapat 2 ayat, yaitu al-Qur‟an surah al-Mâ‟idah ayat 32
اقخو سفع فطبغ اٱلزضففعادأ اٱىاضقخوفنأ عا ج
ا أحاا اٱىاضأحافنأ عا ىقدج جبازظيجا ءح ٱىب ث مثسا إ
ىلبعدٱلزضفذ عسف ى
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu
membunuh orang lain (karena qishash), atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
seluruhnya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul
Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak di antara mereka sesudah itu, sungguh-sungguh melampaui batas
dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”
Dan al-Qur‟an surah al-An‟âm ayat 151
ب حشسم أل ه ن عي زبن احس أحو ب اشۦ۞قوحعاى ٱاه ىد ى اه ا إحع
حقسب ل ه إا سشقن ح ق ي إ دم ى أ حقخي ل حشٱ اىف
26
Luthfi Assyaukanie, Politik, HAM dan Isu-isu Teknologi Dalam Fikih Kontemporer
(Bandung: Pustaka Hidayah) 1998, h. 181.
36
لحقخي اظس ه ابط ىخٱىفطٱ ٱحس بلل نىحقٱإل ى ص ىن ذ
ۦب حعقي ىعين“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi
rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun
yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar".
Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya).”
2. Bunuh diri
Terdapat 1 ayat, yaitu al-Qur‟an surah an-Nisâ ayat 29
ا ٱ أ بىر ن ب ىن أ حأمي ل طوٱء عىب سة حج حن أ إل
إ أفعن لحقخي ن ٱحس ض الل ا زح بن ٤ما“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”
3. Larangan putus asa
Terdapat 1 ayat, yaitu al-Qur‟an surah Yûsuf ayat 87
ل ع حا هز ٱلل ط الۥإ ز ٱلل إل ٱىق فس ٧٨ٱىن
“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.”
4. Hidup dan mati di tangan Allah
Terdapat 2 ayat, yaitu al-Qur‟an surah al-mulk ayat 2
ثٱخيقىريٱ ةٱى ىح لا ع أحع ن أ م ىغفزٱىعصصٱىبي“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.”
Dan al-Qur‟an surah Yûnus ayat 49
37
قو يلل لضسا ىفعأ فعا اإل شا ء تىنوٱلل جا ءإذ أجوأ أجي
عخفل لظاعتارخس ٤عخقد
“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak
(pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki
Allah". Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka,
maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak
(pula) mendahulukan(nya).”
5. Perintah berdo‟a dan bersabar
Terdapat 2 ayat, yaitu al-Qur‟an surah Luqman ayat 17
ب ةٱأق ي سبىص أ عسفٱ ٱى نسٱع صبسٱى ا أصابله عيى
عص ىل ذ زٱإ ٨ل“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”
Dan al-Qur‟an surah Ali Imrân ayat 135
ٱ ذمس ىر أفع ظي حشتأ ٱإذ فعي ف ظخغفس ٱفلل ىرب
بٱغفس ىر ٱإل لل عي افعي عيى صس ى “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa
selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya
itu, sedang mereka mengetahui.”
38
BAB IV
TAFSIR AHKAM DAN ARGUMEN EUTANASIA
A. Penjelasan Tafsîr al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an
1. Al-Qur‟an Surah al-Mâ‟idah Ayat 32
a. Redaksi Ayat
اقخو سفع فطبغ اٱلزضففعادأ اٱىاضقخوفنأ عا ج
ا أحاا اٱىاضأحافنأ عا ىقدج جبازظيجا ءح ٱىب ث مثسا إ
ىلبعدٱلزضفذ عسف ى
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu
membunuh orang lain (karena qishash), atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
seluruhnya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul
Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak di antara mereka sesudah itu, sungguh-sungguh melampaui batas
dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”
b. Penafsiran Ayat
Firman Allah اقخو سفع فطبغ “Barangsiapa yang membunuh seorang
manusia bukan karena orang itu membunuh orang lain (karena qishash)”
maksudnya adalah pembunuhan merupakan pengrusakan yang paling hebat.
Lafadz س فطبغ “Bukan karena orang itu membunuh orang lain.” adalah bukan
karena orang itu membunuh orang lain, sehingga orang itu berhak untuk dibunuh.
Dalam hal ini, Allah telah mengharamkan pembunuhan pada semua syari‟at,
kecuali karena tiga faktor, yaitu kafir setelah beriman, berzina setelah menikah,
dan menghilangkan nyawa seseorang secara zhalim dan melampaui batas. 1
Maksud firman Allah ٱلزضففعادأ “Atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi.” yakni kemusyrikan. Menurut satu pendapat,
1 Al-Qurthubȋ, al-Jâmi‟ lil Ahkâm Al-Qur‟an jilid ke-6, terj. Ahmad Rijali Kadir (Jakarta:
Pustaka Azzam), 2008, h. 350
39
perampokan/pembegalan. Diriwayatkan dari Ibn „Abbâs bahwa dia berkata,
“Barangsiapa yang membunuh satu orang dan melanggar keharamannya, maka
dia itu seperti orang yang membunuh manusia seluruhnya. Barangsiapa yang
tidak membunuh seorangpun, menjaga keharamannya, dan memelihara
kehidupannya karena takut kepada Allah, maka dia itu seperti orang yang
memelihara kehidupan manusia seluruhnya.” Menurut pendapat lain, makna
firman Allah tersebut adalah barangsiapa yang menganggap halal darah
seseorang, maka sesungguhnya dia telah menganggap halal darah semua orang.
Sebab dia telah mengingkari syari‟at.2
Firman Allah ا أحاا اٱىاضأحافنأ عا ج “Dan barang siapa yang
memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara
kehidupan manusia seluruhnya.” terdapat majaz dalam ayat ini, sebab firman
Allah itu merupakan sebuah ibarat untuk tidak membunuh dan tidak
membinasakan seseorang, jika tidak demikian, maka kehidupan yang
sesungguhnya adalah milik Allah.3
2. Al-Qur‟an Surah al-An‟âm Ayat 151
a. Redaksi Ayat
ب حشسم أل ه ن عي زبن احس أحو ب اشۦ۞قوحعاى ىدٱاه ى اه ا إحع
حقسب ل ه إا سشقن ح ق ي إ دم ى أ حقخي ل حشٱ اىف لحقخي اظس ه ابط ىخٱىفطٱ ٱحس بلل نىحقٱإل ى ص ىن ذ
ۦب حعقي ىعين “Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
dan berbuat baiklah terhadap ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh
anak-anak kamu karena kemiskinan, Kami akan memberi rezeki kepadamu
dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan
yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan
2 Al-Qurthubȋ, al-Jâmi‟ lil Ahkâm Al-Qur‟an jilid ke-6, terj. Ahmad Rijali Kadir, h. 350
3 Al-Qurthubȋ, al-Jâmi‟ lil Ahkâm Al-Qur‟an jilid ke-6, terj. Ahmad Rijali Kadir, h. 352
40
janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang
diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”
b. Penafsiran Ayat
Firman Allah أحو حعاى Katakanlah: “Marilah kubacakan.” maksudnya“ قو
adalah maju dan bacalah dengan benar dan yakin, sebagaimana Allah telah
mewahyukan kepada Nabi Muhammad. Karena al-Qur‟an bukan sebuah perkiraan
ataupun kedustaan. Ayat ini merupakan perintah Allah kepada Nabi Muhammad
untuk menyerukan seluruh makhluk agar mendengarkan apa saja yang
diharamkan Allah. Oleh karena itu demikian pula halnya bagi para ulama yang
hidup setelah Rasûlullah, di wajibkan untuk menyerukan seluruh umat manusia
dan menjelaskan kepada mereka apa saja yang diharamkan kepada mereka.4
Firman Allah حشسم Janganlah kamu mempersekutukan.” maksudnya“ أل
adalah aku bacakan kepada kalian, akan haramnya perbuatan syirik. Lafazh
اه ا إحع ىد بٱى “Dan berbuat baiklah terhadap ibu bapa.” maksudnya adalah
berbuat baik kepada kedua orang tua, menjaga, memelihara, melaksanakan
perintah keduanya, tidak memperbudak mereka, dan tidak merasa berkuasa atas
mereka.5
Firman Allah ق ي إ دم ى أ لحقخي “Dan janganlah kamu membunuh anak-
anak kamu karena kemiskinan.” lafazh ق ي artinya adalah kefakiran atau إ
kemiskinan. Maksudnya adalah janganlah kalian mengubur anak kalian karena
takut terhadap kefakiran atau kemiskinan. Sesungguhnya Allah adalah pemberi
rezeki kepada kalian dan anak-anak kalian. Di antara mereka ada yang melakukan
4 Al-Qurthubȋ, al-Jâmi‟ lil Ahkâm Al-Qur‟an jilid ke-7, terj. Ahmad Rijali Kadir, h.321
5 Al-Qurthubȋ, al-Jâmi‟ lil Ahkâm Al-Qur‟an jilid ke-7, terj. Ahmad Rijali Kadir, h.324
41
hal tersebut karena takut terhadap kemiskinan, sebagaimana terlihat jelas pada
teks ayat tersebut.6
Firman Allah بط ا ا ظس ا حش ٱىف حقسب ل “Dan janganlah kamu
mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya
maupun yang tersembunyi.” lafazh ظس adalah larangan melakukan seluruh jenis
perbuatan keji, yaitu perbuatan maksiat. Sedangkan lafazh ا بط adalah yang
terdetik dalam hati berupa niat untuk melakukan perbuatan yang melanggar
syari‟at. Zahir dan batin adalah dua keadaan yang menyebabkan terjadinya segala
sesuatu.7
Firman Allah بٱىحق إل ٱلل حس ٱىخ ٱىفط حقخي ل “Dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan
sesuatu (sebab) yang benar.” ayat tersebut adalah larangan untuk membunuh jiwa
yang diharamkan, baik seorang muslim maupun orang yang mendapat
perlindungan umat Islam. Kecuali dengan cara yang benar yang Allah wajibkan
untuk membunuhnya.8
3. Al-Qur‟an Surah an-Nisâ Ayat 29
a. Redaksi Ayat
ا ٱ أ بىر ن ب ىن أ حأمي ل طوٱء عىب سة حج حن أ إل
إ أفعن لحقخي ن ٱحس ض الل ا زح بن ٤ما“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”
b. Penafsiran Ayat
6 Al-Qurthubȋ, al-Jâmi‟ lil Ahkâm Al-Qur‟an jilid ke-7, terj. Ahmad Rijali Kadir, h. 326
7 Al-Qurthubȋ, al-Jâmi‟ lil Ahkâm Al-Qur‟an jilid ke-7, terj. Ahmad Rijali Kadir, h. 327
8 Al-Qurthubȋ, al-Jâmi‟ lil Ahkâm Al-Qur‟an jilid ke-7, terj. Ahmad Rijali Kadir, h. 330
42
Dalam ayat ini, penulis lebih fokus terhadap penafsiran pada lafazh لحقخي
Firman Allah .أفعن أفعن لحقخي “Dan janganlah kamu membunuh dirimu.” para
ahli tafsir sepakat bahwa yang dimaksud dengan ayat ini adalah melarang
sebagian manusia membunuh sebagian lain, kemudian lafazh ayat ini mencakup
orang yang membunuh karena rakus terhadap dunia dan bertujuan mencari harta
dengan tujuan membawa dirinya kepada bahaya yang menimbulkan kepada
kebinasaan. Dan bisa saja dikatakan أفعن حقخي ل pada kondisi jengkel atau
marah, ini semua termasuk dilarang.9
4. Al-Qur‟an Surah Yûsuf Ayat 87
a. Redaksi Ayat
ل ع حا هز ٱلل ط الۥإ ز ٱلل إل ٱىق فس ٧٨ٱىن
“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.”
b. Penafsiran Ayat
Firman Allah ل ع حا هز ٱلل “Dan jangan kamu berputus asa dari
rahmat Allah.” Maksudnya adalah, jangan berputus harapan dari kelapangan yang
akan diberikan Allah. Seseorang yang beriman itu selalu mengharapkan solusi
dari Allah atas segala kesulitan yang menimpanya. Sedangkan orang-orang kafir
mudah berputus asa dalam kesempitan. Firman Allah ۥ ط الإ ز ٱلل إل ٱىق
فس Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum“ ٱىن
yang kafir.” Merupakan dalil yang menjelaskan bahwa putus asa adalah termasuk
dosa besar. 10
5. Al-Qur‟an Surah al-Mulk Ayat 2
a. Redaksi Ayat
9 Al-Qurthubȋ, al-Jâmi‟ lil Ahkâm Al-Qur‟an jilid ke-4, terj. Ahmad Rijali Kadir, h.364.
10 Al-Qurthubȋ, al-Jâmi‟ lil Ahkâm Al-Qur‟an jilid ke-9, terj. Ahmad Rijali Kadir, h. 581
43
ثٱخيقىريٱ ةٱى ىح لا ع أحع ن أ م ىغفزٱىعصصٱىبي“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.”
b. Penafsiran Ayat
Firman Allah ة ٱىح ث ٱى خيق ”.Yang menjadikan mati dan hidup“ ٱىري
maknanya adalah Allah menciptakan kalian untuk kematian dan kehidupan,
maksudnya, untuk kematian di alam dunia dan kehidupan di alam akhirat. Allah
lebih dahulu menyebutkan kematian karena kematian itu memang lebih dulu.
Sebab segala sesuatu itu pada mulanya berada dalam hukum kematian, seperti
sperma, tanah dan yang lainnya.11
Firman Allah ة ٱىح ث Mati dan hidup.” Allah mendahulukan“ ٱى
kematian daripada kehidupan, sebab manusia yang paling hebat untuk menyeru
beramal adalah orang yang kematian sudah berada di pelupuk matanya. Oleh
karena itulah kematian lebih didahulukan, karena tujuan dari pengemukaan ayat
tersebut merupakan hal yang sangat penting. Ulama berkata, “Kematian itu bukan
sekedar ketiadaan semata atau kefanaan. Sesungguhnya kematian adalah terputus
dan terpisahnya hubungan roh dengan tubuh, sekat antara roh dan tubuh,
perubahan kondisi dan perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain.
Sementara kehidupan sebaliknya.”12
Menurut al-Qurthubî, dalam al-Qur‟an dinyatakan:
يل ن فى خ ثٱ۞قو ىريٱى حسجع زبن إىى ث بن و م “Katakanlah: "Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu
akan mematikanmu, kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan
dikembalikan"
11
Al-Qurthubȋ, al-Jâmi‟ lil Ahkâm Al-Qur‟an jilid ke-19, terj. Ahmad Rijali Kadir, h. 6 12
Al-Qurthubȋ, al-Jâmi‟ lil Ahkâm Al-Qur‟an jilid ke-19, terj. Ahmad Rijali Kadir, h. 8
44
Para perantara atau pencabut nyawa itu adalah para malaikat yang
dimuliakan Allah, sedangkan yang mematikan sesungguhnya adalah Allah.
Makna firman Allah لا ع أحع أن م Supaya Dia menguji kamu, siapa“ ىبي
di antara kamu yang lebih baik amalnya.” Adalah supaya Allah dapat menguji
seorang hamba dengan kematian orang yang disayanginya, dimana tujuannya
adalah agar kesabarannya terlihat jelas, dan juga dengan kehidupan orang yang
disayanginya, dimana tujuannya adalah agar syukurnya terlihat jelas. Firman
Allah ٱىغفز ٱىعصص “Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” Allah
maha perkasa dalam menjatuhkan hukuman terhadap orang yang maksiat
terhadap-Nya. Dan Allah maha pengampun terhadap orang yang bertobat.13
6. Al-Qur‟an Surah Yûnus Ayat 49
a. Redaksi Ayat
قو يلل لضسا ىفعأ فعا اإل شا ء تىنوٱلل جا ءإذ أجوأ أجي
عخفل لظاعتارخس ٤عخقد
“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak
(pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki
Allah". Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka,
maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak
(pula) mendahulukan(nya).”
b. Penafsiran Ayat
Firman Allah قو يلل لضسا ىفعأ فعا . “Katakanlah: “Aku tidak berkuasa
mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada diriku.”
maksudnya Adalah tatkala mereka meminta Rasulullah untuk menyegerakan
datangnya ajal, Allah berkata kepada beliau, katakanlah kepada mereka wahai
Muhammad, Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula)
13
Al-Qurthubȋ, al-Jâmi‟ lil Ahkâm Al-Qur‟an jilid ke-19, terj. Ahmad Rijali Kadir, h. 11
45
kemanfaatan kepada diriku, tidak ada yang bisa melakukannya, baik diriku
maupun orang lain.14
Firman Allah اإل شا ء ٱلل “Kecuali atas kehendak Allah.” maka aku bisa
memiliki dan mampu melakukannya. Aku juga tidak dapat memenuhi
permintaanmu untuk menyegerakan ajal itu, oleh karena itu jangan minta hal itu
disegerakan. Lafadz تىنو أجوأ “Tiap-tiap umat mempunyai ajal.” maksudnya
adalah, setiap umat memiliki ajalnya, atau untuk kehancuran dan adzab bagi
mereka yang ingkar sudah ditetapkan waktunya masing-masing oleh Allah.
Kemudian ketika ajal mereka telah tiba, pada saat itu tidak ada kemungkinan
untuk mengakhirkan ajal mereka walau sesaatpun, dan tidak juga
memajukannya.15
7. Al-Qur‟an Surah Luqman Ayat 17
a. Redaksi Ayat
ب ةٱأق ي سبىص أ عسفٱ ٱى نسٱع صبسٱى ا أصابله عيى
عص ىل ذ زٱإ ٨ل“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”
b. Penafsiran Ayat
Firman Allah نس ٱى ع ٱ عسف بٱى س أ ة ي ٱىص أق ب “Hai anakku,
dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah
(mereka) dari perbuatan yang mungkar.” Luqman berwasiat kepada anaknya
dengan ketaatan-ketaatan paling besar, yaitu shalat, menyuruh kepada yang
14
Al-Qurthubȋ, al-Jâmi‟ lil Ahkâm Al-Qur‟an jilid ke-8, terj. Ahmad Rijali Kadir, h. 850 15
Al-Qurthubȋ, al-Jâmi‟ lil Ahkâm Al-Qur‟an jilid ke-8, terj. Ahmad Rijali Kadir, h. 850
46
ma‟ruf dan melarang dari yang mungkar. Tentu setelah ia sendiri
melaksanakannya. Inilah ketaatan dan keutamaan paling utama. 16
Firman Allah أصابل ا عيى ٱصبس “Dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu.” Mengandung anjuran untuk merubah kemungkaran sekalipun
mendapatkan kemudharatan. Ini mengisyaratkan bahwa orang yang merubah
terkadang akan disakiti. Ini semua hanya sebatas kemampuan, dan kekuatan
sempurna hanya milik Allah. Ada yang berpendapat bahwa Luqman
memerintahkan anaknya untuk bersabar atas segala kesusahan dunia, seperti
penyakit dan lainnya. Serta takut kepada Allah dan tidak berani melakukan
maksiat terhadap Allah. Lafazh ز ٱل عص ىل ذ Sesungguhnya yang demikian“ إ
itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” Ibn „Abbâs berkata “Di antara
hakikat keimanan adalah bersabar atas segala yang tidak diinginkan.”17
8. Al-Qur‟an Surah Ali Imrân Ayat 135
a. Redaksi Ayat
ٱ ذمس ىر أفع ظي حشتأ ٱإذ فعي ف ظخغفس ٱفلل ىرب
بٱغفس ىر ٱإل لل عي افعي عيى صس ى “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa
selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya
itu, sedang mereka mengetahui.”
b. Penafsiran Ayat
Firman Allah ظي أ حشت ف فعي إذ ٱىر أفع “Dan (juga) orang-orang
yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri.” dalam
ayat ini, Allah menyebutkan bahwa kelompok ini adalah orang-orang yang
bertaubat. Kata حشت digunakan pada setiap kemaksiatan. Namun kebanyakan ف
16
Al-Qurthubȋ, al-Jâmi‟ lil Ahkâm Al-Qur‟an jilid ke-14, terj. Ahmad Rijali Kadir, h. 163 17
Al-Qurthubȋ, al-Jâmi‟ lil Ahkâm Al-Qur‟an jilid ke-14, terj. Ahmad Rijali Kadir, h. 163
47
dikhususkan pada perbuatan zina. Kata أ ada yang mengatakan bermakna waw
(dan). Maksudnya dosa di bawah dosa besar. Firman Allah ٱلل Mereka“ ذمس
ingat akan Allah.” maknanya adalah takut terhadap siksaan-Nya dan malu
kepada-Nya. Maksudnya adalah mereka ingat akan pemaparan terbesar di
hadapan Allah. Ada lagi yang mengatakan bahwa maksudnya adalah mereka
memikirkan diri mereka bahwa Allah akan bertanya kepada mereka tentang
perbuatan tersebut.18
Firman Allah ىرب Lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa“ فٱظخغفس
mereka.” maksudnya adalah memohon ampunan terhadap dosa-dosa mereka.
Setiap do‟a untuk memohon ampunan yang disebut istighfar. ٱىر غفس ٱلل بإل
“Dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah?”
maksudnya tidak ada seorangpun yang dapat mengampuni kemaksiatan dan
menghapus siksaannya kecuali Allah. فعي ا عيى صس ى “Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu.” maksud صس adalah berniat di hati atas suatu
perkara dan tidak akan melepaskannya. Firman Allah عي “Sedang mereka
mengetahui.” ada beberapa pendapat seputar maksud kalimat ini. Ada yang
mengatakan bahwa maksudnya adalah mereka mengingat dosa-dosa mereka, lalu
mereka bertaubat dari dosa-dosa itu. Adapula yang mengatakan bahwa maksud
عي adalah bahwa Allah akan menyiksa orang-orang yang terus melakukan
dosa.19
B. Penjelasan Tafsîr al-Qur’an al-Adzîm
1. Al-Qur‟an Surah al-Mâ‟idah Ayat 32
a. Redaksi Ayat
18
Al-Qurthubȋ, al-Jâmi‟ lil Ahkâm Al-Qur‟an jilid ke-4, terj. Ahmad Rijali Kadir, h. 521 19
Al-Qurthubȋ, al-Jâmi‟ lil Ahkâm Al-Qur‟an jilid ke-4, terj. Ahmad Rijali Kadir, h. 526
48
اقخو سفع فطبغ اٱلزضففعادأ اٱىاضقخوفنأ عا ج
ا أحاا اٱىاضأحافنأ عا ىقدج جبازظيجا ءح ٱىب ث مثسا إ
ىلبعدٱلزضفذ عسف ى
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu
membunuh orang lain (karena qishash), atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia
seluruhnya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul
Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian
banyak di antara mereka sesudah itu, sungguh-sungguh melampaui batas
dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”
b. Penafsiran Ayat
Firman Allah اقخو سفع فطبغ اٱلزضففعادأ اٱىاضقخوفنأ عا ج
“Barangsiapa yang membunuh seorang manusia bukan karena orang itu
membunuh orang lain (karena qishash), atau bukan karena membuat kerusakan
di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.”
maksudnya adalah barangsiapa yang membunuh satu jiwa tidak dengan qishash
atau karena membuat satu kerusakan di muka bumi, dan dia menghalalkan untuk
membunuhnya, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya,
karena dia tidak membedakan mana jiwa yang boleh membunuh, dan mana yang
tidak boleh dibunuh. 20
Firman Allah أحاا “Dan barang siapa yang memelihara kehidupan
seorang manusia.” maksudnya barangsiapa yang mengharamkan dirinya
membunuh manusia dan ia meyakini hal tersebut, maka seluruh manusia telah
selamat darinya. Oleh karena itu Allah berfirman ا اٱىاضأحافنأ عا ج “Maka
seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.”21
20
Al-Hafidz Abî Fidâ Ismâil bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm Juz 2 (Riyadh:
Maktabah Dârussalâm), 1994, h. 65 21
Al-Hafidz Abî Fidâ Ismâil bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm Juz 2, h. 66
49
Firman Allah ىقد جزظياجا ءح بٱىب “Dan sesungguhnya telah datang
kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan
yang jelas.” yaitu dengan argumen, keterangan, dan dalil-dalil yang jelas. Firman
Allah ث مثسا إ ىلبعد ٱلزضفذ عسف ى “Kemudian banyak di antara mereka
sesudah itu, sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka
bumi.” Ini adalah teguran keras dan celaan untuk mereka yang melakukan
perbuatan-perbuatan haram setelah mereka mengetahui hukumnya.22
2. Al-Qur‟an Surah al-An‟âm Ayat 151
a. Redaksi Ayat
ه ن عي زبن احس أحو ۞قوحعاى حشسم ب ب اشۦأل ٱاه ىد ى اه ا إحع
حقسب ل ه إا سشقن ح ق ي إ دم ى أ حقخي ل حشٱ اىف لحقخي اظس ه ابط ىخٱىفطٱ ٱحس بلل نىحقٱإل ى ص ىن ذ
ۦب حعقي ىعين“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh
Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan, Kami akan memberi
rezeki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun
yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar".
Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu
memahami(nya).”
b. Penafsiran Ayat
Allah berfirman kepada Nabi Muhammad, “Katakanlah wahai
Muhammad, kepada mereka orang orang musyrik, yaitu yang menyembah selain
Allah, yang mengharamkan apa yang Allah rezekikan, yang membunuh anak-anak
mereka, semuanya itu mereka lakukan atas dasar akal pikira mereka dan
penguasaan setan terhadap mereka.” Lafadz قو “Katakanlah.” kepada mereka,
22
Al-Hafidz Abî Fidâ Ismâil bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm Juz 2, h. 66
50
ه ن عي زبن احس أحو Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh“حعاى
Tuhanmu.” artinya kemarilah dan terimalah, aku ceritakan atas kalian dan aku
kabarkan kepada kalian dengan apa yang telah diharamkan Tuhan kalian dengan
benar tidak main-main, dan tidak sekedar prasangka, tapi wahyu dari-Nya dan
perintah dari sisi-Nya, yaitu ش بۦ حشسم اه األ “Janganlah kamu mempersekutukan
sesuatu dengan Dia.” 23
Firman Allah ا ا إحع ىد بٱى “Berbuat baiklah terhadap kedua orang tua.”
artinya Allah memerintahkan kalian agar berbuat baik terhadap kedua orang tua,
seperti dalam firman Allah:
ب إل إا حعبد زبلأل قضى ٱ۞ ىد اإى حع“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya..”(QS. al-Isrâ: 23)
Firman Allah ح ق ي إ دم ى أ حقخي ل إا سشقن “Dan janganlah kamu
membunuh anak-anak kamu karena kemiskinan, Kami akan memberi rezeki
kepadamu dan kepada mereka.” ketika Allah memerintahkan untuk berbuat baik
kepada orang tua, lalu dilanjutkan dengan berbuat baik kepada anak-anak. Lafadz
دم ى أ لحقخي “Dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu.” hal ini karena
membunuh anak-anak mereka sebagaimana setan telah membujuk orang-orang
jahiliyah, mereka mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan karena takut aib,
dan barangkali mereka membunuh anak laki-laki karena takut miskin.24
Firman Allah ق ي إ “Karena kemiskinan.” Ibn Abbâs, Qatâdah, As-Sûddî
berkata al-Imlaq adalah kemiskinan artinya dan janganlah kamu membunuh
mereka karena kemiskinan. Firman Allah dalam surah lain,
23
Al-Hafidz Abî Fidâ Ismâil bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm Juz 2, h. 251 24
Al-Hafidz Abî Fidâ Ismâil bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm Juz 2, h, 252
51
ل قه ي خشتإ دم ى أ حقخي“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan.”
Artinya takut akan terjadi kemiskinan untuk waktu yang akan datang,
karena itu disebutkan setelahnya,
خط ما قخي إ إام سشق امبسا اح“Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”
Disebutkan bahwa Allah memberikan rezeki kepada mereka terlebih dulu
agar dapat dijadikan perhatian dengan mereka. Artinya janganlah kalian takut
akan kemiskinan lantaran mereka bersama kalian, karena rezeki mereka ada pada
Allah. Adapun ayat yang sedang dibahas ini menyebutkan tentang kemiskinan yag
sedang dialami seseorang, maka Allah berfirman إا سشقن Kami akan“ ح
memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka.” karena yang paling penting di
sini bahwa Allah akan memberi rezeki kepada mereka.25
Firman Allah ه بط ا ا ظس ا حش ٱىف حقسب ل “Dan janganlah kamu
mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya
maupun yang tersembunyi.” sama seperti firman Allah,
قو زب حس ا حشٱإ ىف بط ا ا ظس ا ٱ ث ٱل سىبغ بغ
بىحقٱ حشسم أ ٱ لل ب ه ص ى ا ۦ عيى حقى أ ا ا ٱظيط للل ا حعي
“Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan)
mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah
apa yang tidak kamu ketahui.”
Firman Allah بٱىحق إل ٱلل حس ٱىخ ٱىفط حقخي ل “Dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan
25
Al-Hafidz Abî Fidâ Ismâil bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm Juz 2, h. 253
52
sesuatu (sebab) yang benar.” larangan ini termasuk yang disebutkan oleh Allah
sebagai penguat. Jika tidak maka hal ini masuk ke dalam larangan dari perbuatan
keji yang terlihat dan tersembunyi. Firman Allah حعقي ىعين بۦ ن ى ص ىن ذ
“Demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya)”
Artinya ini yang termasuk diperintahkan kepada kalian, agar kalian memahami
tentang perintah dan larangan Allah. 26
3. Al-Qur‟an Surah an-Nisâ Ayat 29
a. Redaksi Ayat
ا ٱ أ بىر ن ب ىن أ حأمي ل طوٱء عىب سة حج حن أ إل
إ أفعن لحقخي ن ٱحس ض الل ا زح بن ٤ما“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.”
b. Penafsiran Ayat
Firman Allah أفعن حقخي ل “Dan janganlah kamu membunuh dirimu.”
yaitu dalam perkara-perkara yang Allah perintahkan dan larang kepada kalian.
Oleh karena itu Allah berfirman,
ىلعيى ذ ما ازا فصي افع ا ظي ا ا عد ىل ٱفعوذ عس لل
“Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya,
maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian
itu adalah mudah bagi Allah.”
Barangsiapa yang melakukan hal-hal yang telah Allah larang dengan
melanggar hak dan zalim dalam melakukannya, yaitu mengetahui akan
pengharaman hal tersebut dan tetap berani melanggarnya. Ayat ini merupakan
peringatan dan ancaman yang sangat keras dari Allah, maka setiap orang yang
26
Al-Hafidz Abî Fidâ Ismâil bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm Juz 2, h. 253
53
memiliki akal yang sehat dan hati yang bersih dari kalangan orang-orang yang
memeiliki pendengaran dan menyaksikan hendaknya selalu bersikap waspada.27
4. Al-Qur‟an Surah Yûsuf Ayat 87
a. Redaksi Ayat
ل ع حا هز ٱلل ط الۥإ ز ٱلل إل ٱىق فس ٧٨ٱىن
“Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada
berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.”
b. Penafsiran Ayat
Allah berfirman mengabarkan tentang Ya‟qûb, bahwa dia memerintahkan
anak-anaknya agar pergi ke negeri Mesir untuk mencari tahu kabar berita tentang
Yûsuf dan saudaranya, Bunyamin. Ya‟qûb memberi semangat dan berita gembira
kepada mereka, dan memerintahkan mereka agar tidak berputus asa dari rahmat
Allah, yaitu agar mereka tidak memutus harapan dan cita-cita mereka dari Allah
dalam meraih dan mencapai apa yang sedang mereka cari, karena tidak ada yang
memutus harapan dan asa dari Allah melainkan orang-orang kafir.28
5. Al-Qur‟an Surah al-Mulk Ayat 2
a. Redaksi Ayat
ثٱخيقىريٱ ةٱى ىح لا ع أحع ن أ م ىغفزٱىعصصٱىبي“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di
antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha
Pengampun.”
b. Penafsiran Ayat
Allah berfirman ة ٱىح ث ٱى ”.Yang menjadikan mati dan hidup“ ٱىريخيق
maksudnya Allah telah mengadakan ciptaan-Nya dari yang sebelumnya tidak ada,
27
Al-Hafidz Abî Fidâ Ismâil bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm Juz 1, h. 637 28
Al-Hafidz Abî Fidâ Ismâil bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm Juz 2, h. 641
54
untuk menguji mereka, siapakah di antara mereka yang lebih baik amalnya.
Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 28 :
ف بم ٱحنفس حسجعلل إى ث حن ث خن ث ه ن افأح حا أ مخ ٧
“Mengapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu
Allah menghidupkan kamu, kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-
Nya kembali, kemudian kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”
Allah menamakan keadaan yang pertama yaitu tidak ada dengan sebutan
kematian, dan menamakan pertumbuhan selanjutnya dengan sebutan kehidupan.
Firman Allah Allah لا ع أحع أن م Supaya Dia menguji kamu, siapa di“ ىبي
antara kamu yang lebih baik amalnya.” maksudnya yang lebih bagus amal
perbuatannya, sebagaimana yang dikatakan Muhammad bin Ajlan bahwa Allah
tidak mengatakan “Yang paling banyak amalnya”. Firman-Nya ٱىغفز ٱىعصص
“Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,” maksudnya Dia Maha Perkasa,
Maha Agung, Maha Kuat, dan Maha Mulia. Namun bersamaan dengan itu Dia
Maha Pengampun kepada orang-orang yang mau bertaubat dan kembali kepada-
Nya. Jadi meskipun Allah Maha Perkasa, namun Dia mudah mengampuni,
menyayangi, memaafkan dan membebaskan.29
6. Al-Qur‟an Surah Yûnus Ayat 49
a. Redaksi Ayat
قو يلل لضسا ىفعأ فعا اإل شا ء تىنوٱلل جا ءإذ أجوأ أجي
عخفل لظاعتارخس ٤عخقد
“Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak
(pula) kemanfaatan kepada diriku, melainkan apa yang dikehendaki
Allah". Tiap-tiap umat mempunyai ajal. Apabila telah datang ajal mereka,
maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak
(pula) mendahulukan(nya).”
29
Al-Hafidz Abî Fidâ Ismâil bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm Juz 4, h. 510
55
b. Penafsiran Ayat
Firman Allah قو يلل لضسا ىفعأ فعا اإل شا ء ٱلل “Katakanlah: "Aku tidak
berkuasa mendatangkan kemudharatan dan tidak (pula) kemanfaatan kepada
diriku, melainkan apa yang dikehendaki Allah.” yaitu Nabi Muhammad tidak
akan mengatakan apapun kecuali apa yang telah Allah ajarkan, dan tidak mampu
melakukan suatu apapun yang disembunyikan kecuali jika Allah
memperlihatkannya kepadaku. Jadi, Nabi Muhammad hanyalah seorang hamba
dan Rasul yang diutus kepada kalian, dan Nabi telah mengabarkan kepada kalian
tentang kedatangan hari kiamat dan sesungguhnya itu benar-benar terjadi, namun
Allag tidak memberitahukan kepadaku tentang waktu kejadiannya. Akan tetapi
Allah berfirman تىنو أجوأ “Tiap-tiap umat mempunyai ajal.” yaitu masing-
masing generasi memiliki masa usia yang telah ditetapkan. Apabila ajal mereka
telah selesai, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sekalipun.
Yaitu sama seperti firman Allah,30
ى س ٱؤخ لل ٱفعاإذ جا ءأجيا لل ي احع ب خبس
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang
apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa
yang kamu kerjakan.”
7. Al-Qur‟an Surah Luqman Ayat 17
a. Redaksi Ayat
ب ةٱأق ي سبىص أ عسفٱ ٱى نسٱع صبسٱى ا أصابله عيى
عص ىل ذ زٱإ ٨ل“Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang
baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan
30
Al-Hafidz Abî Fidâ Ismâil bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm Juz 2, h. 552
56
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”
b. Penafsiran Ayat
Allah berfirman ة ي ٱىص أق ب “Hai anakku, dirikanlah shalat.” yaitu sesuai
dengan ketentuannya, fardhunya, dan waktunya. نس ٱى ع ٱ عسف بٱى س أ “Dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari
perbuatan yang mungkar.” yaitu sesuai dengan kemampuan dan kesanggupanmu.
أصابل ا عيى ٱصبس “Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.” Dia
tahu bahwa orang yang memerintahkan kepada kebaikan dan orang yang
mencegah dari kemungkaran pasti akan mendapat gangguan dari orang-orang.
Oleh karena itu Allah memerintahkan agar tetap bersabar. ز ٱل عص ىل ذ إ
“Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah)” yaitu bahwa bersabar terhadap gangguan orang-orang termasuk di antara
perkara-perkara yang diwajibkan oleh Allah.31
8. Al-Qur‟an Surah Ali Imrân Ayat 135
a. Redaksi Ayat
ٱ ذمس ىر أفع ظي حشتأ ٱإذ فعي ف ظخغفس ٱفلل ىرب
بٱغفس ىر ٱإل لل عي افعي عيى صس ى “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau
menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun
terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa
selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya
itu, sedang mereka mengetahui.”
b. Penafsiran Ayat
Firman Allah أ ظي أ حشت ف فعي إذ ٱىر ىرب فٱظخغفس ٱلل ذمس فع “Dan
(juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya
diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa
31
Al-Hafidz Abî Fidâ Ismâil bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm Juz 3, h. 588.
57
mereka.” artinya jika muncul dosa dari mereka, maka mereka iringi dengan taubat
dan istigfar. Firman Allah ٱلل إل ب ٱىر غفس “Dan siapa lagi yang dapat
mengampuni dosa selain dari pada Allah.” artinya tidak ada yang
mengampuninya seorangpun selain Dia, sebagaimana Imam Ahmad
meriwayatkan dari Aswâd bin Sari‟ bahwasanya Nabi Muhammad didatangkan
kepadanya seorang tawanan, lalu dia berkata, “Ya Allah sesungguhnya aku
bertaubat kepada Engkau dan tidak bertaubat kepada Muhammad.” Maka Nabi
bersabda, “Dia mengetahui kebenaran kepada pemiliknya.” 32
Firman Allah عي فعي ا عيى صس ى “Dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” artinya mereka
bertaubat dari dosa-dosa mereka, dan mereka kembalinkepada Allah dalam waktu
dekat, tidak terus menerus melakukan kemaksiatan dan meneruskan perbuatannya
tidak melepaskan diri darinya, meskipun terulang-ulang dosa itu dari mereka,
mereka tetap bertaubat dari-Nya. Barangsiapa yang bertaubat, maka Allah akan
mengampuninya, begitu juga dengan firman Allah,33
أى أ للٱعي قبو بتٱ عبادىخ ۦع أخر جٱ دق ىص أ للٱ
بٱ ٱىخ ح ىس“Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari
hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha
Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”
C. Persamaan dan Perbedaan Argumen Ayat
Tabel 4.1: Persamaan dan Perbedaan Argumen Ayat
No. Nama Surah Tafsir Argumen
1. Al-Mâ‟idah Ayat 32
Barangsiapa yang
membunuh satu jiwa
tidak dengan qishash
atau karena membuat
satu kerusakan di muka
bumi, dan dia
Tindakan
menghilangkan jiwa
milik orang lain
adalah perbuatan
melawan hukum
Allah. Tindakan
32
Al-Hafidz Abî Fidâ Ismâil bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm Juz 1, h. 539. 33
Al-Hafidz Abî Fidâ Ismâil bin Katsîr, Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm Juz 1, h. 540.
58
menghalalkan untuk
membunuhnya, maka
seakan-akan dia telah
membunuh manusia
seluruhnya, karena dia
tidak membedakan mana
jiwa yang boleh
membunuh, dan mana
yang tidak boleh
dibunuh.
menghilangkan jiwa
hanya diberikan
kepada lembaga
peradilan sesuai
dengan aturan pidana
Islam. Ini pun
dilakukan dalam
rangka memelihara
dan melindungi jiwa
manusia secara
keseluruhan. Orang
yang menghilangkan
nyawa orang lain
tanpa alasan yang
dibenarkan agama,
sama halnya dengan
merusak tatanan
kehidupan
masyarakat
seluruhnya
2. Al-An‟âm Ayat 151
Larangan ini termasuk
yang disebutkan oleh
Allah sebagai penguat.
Jika tidak maka hal ini
masuk ke dalam larangan
dari perbuatan keji yang
terlihat dan tersembunyi
Ayat ini merupakan
larangan membunuh
orang lain kecuali
dengan hak
3. An-Nisâ Ayat 29
. Ayat ini merupakan
peringatan dan ancaman
yang sangat keras dari
Allah, maka setiap orang
yang memiliki akal yang
sehat dan hati yang
bersih dari kalangan
orang-orang yang
memiliki pendengaran
dan menyaksikan
hendaknya selalu
bersikap waspada
Larangan membunuh
dirinya sendiri seperti
pasien yang sedang
mengalami sakit
yanng
berkepanjangan
meminta kepada
dokter untuk
mengakhiri hidupnya
4. Yûsuf Ayat 87
Allah memerintahkan
agar tidak berputus asa
dari rahmat Allah, yaitu
agar tidak memutus
harapan dan cita-cita dari
Allah dalam meraih dan
mencapai apa yang
sedang dicari, karena
tidak ada yang memutus
Mengakhiri hidup
seseorang walaupun
dengan alasan
kemanusiaan, pada
hakikatnya telah
berputus asa dari
rahmat Allah
59
harapan dan asa dari
Allah melainkan orang-
orang kafir
5. Al-Mulk Ayat 2
Allah telah mengadakan
ciptaan-Nya dari yang
sebelumnya tidak ada,
untuk menguji mereka,
siapakah di antara
mereka yang lebih baik
amalnya
hidup dan mati adalah
di tangan Allah, jadi
hanya Allahlah yang
berhak menentukan
hidup dan mati
seseorang, bukan
keluarga, dokter
maupun pasien.
6. Yûnus Ayat 49
masing-masing generasi
memiliki masa usia yang
telah ditetapkan. Apabila
ajal mereka telah selesai,
mereka tidak dapat
meminta penundaan atau
percepatan sekalipun.
Pelaksanaan eutanasia
aktif bertentangan,
baik dari sudut
pandang agama,
undang-undang,
maupun etik
kedokteran. Persoalan
hidup mati
sepenuhnya hak
Allah. Manusia tidak
bisa mengambil hak
Allah, betapa pun
parahnya penyakit,
pengobatan tidak
boleh dihentikan.
7. Luqman Ayat 17
Luqman memerintahkan
anaknya untuk bersabar
atas segala kesusahan
dunia, seperti penyakit
dan lainnya. Serta takut
kepada Allah
Perintah agar sabar
dan tawakkal
menghadapi musibah
yang sedang dialami
8. Ali Imrân Ayat 135
jika muncul dosa dari
mereka, maka mereka
iringi dengan taubat dan
istigfar.tidak ada yang
mengampuninya
seorangpun selain Dia,
Perintah perintah
banyak istigfar dan
berdo‟a, karena Allah
maha memberi
kemudahan
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa di antara ulama Indonesia yang tidak menyetujui melakukan eutanasia aktif
yaitu Quraish shihab, berdasarkan pandangannya pada ayat al-Qur‟an surah Yusuf
ayat 87 yang menyatakan bahwa seorang muslim tidak berputus asa akan
pertolongan Allah, kecuali orang-orang kafir. Karena mengakhiri hidup seseorang
walaupun dengan alasan kemanusiaan, pada hakikatnya ia telah berputus asa dari
rahmat Allah.
Sementara itu, adapula ulama non Indonesia yang beragumen mengenai
eutanasia namun pandangannya tidak didasarkan pada al-Qur‟an, yaitu Yûsuf
Qordhowî, menurutnya eutanasia yang dilakukan secara aktif atau memudahkan
proses kematian secara aktif pada dasarnya dokter telah melakukan tindak
pembunuhan, karena dokter telah melakukan tindakan aktif dengan tujuan
menghilangkan nyawa pasien dan mempercepat kematiannya melalui pemberian
obat atau yang lainnya.
Berdasarkan penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa melakukan
tindakan eutanasia dalam bentuk apapun tidak dapat dibenarkan, tentu dengan
berbagai alasan, yaitu pertama, berdasarkan al-Qur‟an surah Yusuf ayat 87,
menghilangkan nyawa dengan cara eutanasia pada hakikatnya telah berputus asa
dari rahmat Allah. Kedua, berdasarkan al-Qur‟an surah Yunus ayat 49, karena
hidup adalah anugerah Allah maka Allah pula yang berhak mencabutnya. Ketiga,
61
berdasarkan al-Qur‟an surah al-Mâ‟idah ayat 32, karena Islam sangat menghargai
jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia.
B. Saran
Studi ini hanya berfokus pada perspektif para ulama saja, padahal
eutanasia cukup penting sehingga perlu pembahasan yang lebih luas. Oleh karena
itu, penelitian ini perlu dilanjutkan dengan perspektif keilmuan lain.
Dokter harus hati-hati dalam mengambil keputusan karena kerelaan pasien
tidak bisa dijadikan sebagai dalil bolehnya melakukan eutanasia. Dokter juga
diharapkan tetap berpegang pada kode etik kedokteran sehingga tindakan yang
mengarah kepada percepatan proses kematian bisa dihindari.
Pasien hendaknya bersabar dan tawakal dalam menerima cobaan berupa
penyakit yang ia derita. Pasien harus percaya bahwa musibah itu pasti datang
beserta solusinya. Karena Allah tidak akan memberikan cobaan di luar batas
kemampuan hambanya.
62
DAFTAR PUSTAKA
Assyaukanie, Luthfi, Politik, HAM dan Isu-isu Teknologi Dalam Fikih
Kontemporer. Bandung: Pustaka Hidayah, 1998.
Bakker, Anton, dan Achmad Chairis Zubair Zubair. Metode Penulisan Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius, 1994.
Bujairimi, Sulaiman Al-, Bujairimi „ala al-Khaṯib, Beirut: Dârul al-Kutub al-
„Ilmiyah, Jilid ke-2, 1996.
Departemen Agama RI, Mukadimah Al-Qur‟an dan Tafsirnya, Jakarta:
Departemen Agama RI, 2009.
Erwin, Rudi T., dkk. Himpunan Undang-undang dan Peraturan-peraturan
Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1979.
Halimi, Imron, Eutanasia: Cara Mati Terhormat Orang Modern, Solo:
Ramadhan, 1990.
Hanafiah, M. Jusuf dan Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan,
Jakarta: EGC, 1997.
Ismail, Tinjauan Islam Terhadap Eutanasia, Jakarta: PBB UIN dan KAS, 2003.
Kaltsum, Lilik Ummu dan Abdul Moqsith Ghazali, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam,
Ciputat : UIN Press, 2015.
Karyadi, Petrus Yoyo, Eutanasia dalam Perspektif Hak Asasi Manusia,
Yogyakarta: Media Press Indo, 2001.
Kasdi, Abdurrahman, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014.
Katsîr, al-Hafidz Abî Fidâ Ismâil bin, Tafsîr al-Qur‟an al-Adzîm, Riyadh:
Maktabah Dârussalâm, 1994
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, Al-Qur‟an dan Isu-isu Kontemporer I,
Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2012.
Majalah Panji Masyarakat, No. 846, 01-15 Januari 1996.
Marâgi, Ahmad Muṣṭafâ al-, Tafsîr al-Marâgi, Beirut: Dârul Fikr, 2001.
Maryanti, Ninik, Malpraktek Kedokteran dari segi hukum pidana dan perdata,
Jakarta: Bina Aksara, 1988.
63
Masyhuri, A. Aziz, Masalah Keagamaan Hasil Muktamar dan Munas Ulama
Nahdlatul Ulama, Surabaya: Dinamika Press, 1998.
Muhammad, Kartono, Eutanasia Dipandang dari Etika Kedokteran, Jakarta:
Sinar Harapan, 1984.
MUI, Himpunan Keputusan dan Fatwa Majlis Ulama Indonesia, Jakarta: MUI, 1997.
Muslih, Ahmad Wardi, Eutanasia Menurut Pandangan Hukum Positif dan Hukum
Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014.
, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Notoatmodjo, Soekidjo, Etika dan Hukum Kesehatan, Jakarta: PT Rineka Cipta,
2010.
O Katsoff, Lois. Pengantar Filsafat. Dialihbahasakan oleh Suyono Sumargono.
Yogyakarta, 1992.
Prakoso, Djoko dan Djaman Andhi Nirwanto, Eutanasia Hak Asasi Manusia dan
Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984.
PT. Cipta Adi Pustaka, Ensiklopedi Nasional Indonesia, cet I, 1989.
Qordhowî, Yûsuf, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Qurthubî, Al-, Al Jâmi‟ lil Ahkâm AlQur‟an, terj. Ahmad Rijali Kadir, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008.
Rahman, Fazlur, Etika pengobatan Islam: Penjelajahan Seorang Neomodernis
Bandung: Mizan, 1999.
Rada, Arifin, “Eutanasia dalam Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Perspektif, vol.
XVIII, no. 2, Mei 2013.
Rahmat, “Eutanasia dalam Perspektif Islam” Jurnal Tribakti, vol. 19, no.2, 1 Juli
2008.
Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung: Asy Syaamil Press &
Grafika, 2000.
Shihab, M. Quraish, Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab: Wawasan Agama Islam,
Bandung: Mizan, 1999.
, Kaidah Tafsir, Jakarta: Lentera Hati, 2013.
, Menjemput Maut: Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT, Jakarta: Lentera
Hati, 2002.
64
, Membumikan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1997.
Ṣâbûnî, Alî Aṣ-, Rawa‟i al-Bayan: Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur‟an, T.tp.:
Dar al-Fikr, t.t., h. 182.
, Alî Aṣ-, Shafwatut Tafasir, terj. KH. Yasin, Jakarta: Pustaka Kautsar,
2011.
Suma, Amin Muhammad, Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek dan
Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Sutarno, Hukum Kesehatan: Eutanasia, Keadilan dan Hukum Positif di Indonesia,
Jakarta: Setara Press, 2014.
Syakir, Syaikh Ahmad, Mukhtasar Tafsir Ibnu Katsir, Jakarta: Darussunah, 2014.
Tim Lajnah Ta‟lif Wa Nasyr (LTN) PBNU, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam
Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010),
Surabaya: Khalista, 2011.
Triwibowo, Cecep, Etika & Hukum Kesehatan, Yogyakarta: Nuha Medika, 2014.
Wiradharma, Danny, Etika Profesi Medis, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti,
1999.
Yanggo, T. Chuzaimah dan Hafidz Anshary, Problematika Hukum Islam
Kontemporer, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995.
Yusuf, Kadar M., Tafsir Ayat Ahkam, Jakarta: Amzah, 2013.
Zuhailî, Wahbah az-, Al-Fiqh Al-Islâmî wa Adilatuhû, Damaskus: Dar al-Fikr,
1989.