apokaliptik - stft) jakarta · 2020-02-06 · bencana kosmis (transformasi dunia secara radikal)...
TRANSCRIPT
APOKALIPTIK
Kumpulan Karangan Simposium
Ikatan Sarjana Biblika Indonesia 2006
Suplemen Forum BiblikazyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBA
Y.M. Seto Marsunu (Editor)
LEMBAGA ALKITAB INDONESIA
JAKARTA 2007
Katalag dalam terbitan (KDT)zyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBA
Y.M. Seto Marsunu (ed.)
- Apokaliptik: Kumpulan Karangan Simposium Ikatan Sarjana Biblika
Indonesia 2006. Suplemen Forum Biblika / oleh Yonky Karman,
E. Gerrit Singgih ... [et.al.]; editor, YM. Seto Marsunu. - Cet, 1 - Jakarta:
Lembaga Alkitab Indonesia, 2007.
viii, 150 hlrn.: 15 x 22 em. Indeks
ISBNutsonmlkjihgdaYWUKJIECBA(13) 978-979-463-942-9
ISBN (10) 979-463-942-7
IBS 70;INDO;760P;2M-2007;HVS 70
1. Alkitab
II. YM. Seto Marsunu
I. Yonky Karman
220.046
Dilarang menggandakan tulisan ini dengan eara apa pun dan untuk keper-
luan apa pun, dalam bentuk eetak maupun elektronik, tanpa izin tertulis dari
Lembaga Alkitab Indonesia.
APOKALIPTIK
Lembaga Alkitab Indonesia
Anggota IKAPI No. 067/OKI/97
JI. Salemba Raya 12, Jakarta 10430
Tel. (021) 3142890, Fax. (021) 3101061
E-mail: info@alkitab or.id htlp://www.alkitab.or.id
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Desain Sampul: Maryudha
Ta ta Letak: Maryudha
Korektor: Dorothea S. Maringka
Dieetak oleh
Pereetakan Lembaga Alkitab Indonesia
IIutsrponmlkjihgedbaYWUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
DAFTAR lSI
Sekapur Sirih ··········· vi
Daftar Singkatan vii
Penulis viii
Bab 1SASTRA APOKALIPTIK 1
Y.M. Seta Marsunu1. Latar Belakang 1
1. Iman dalam diam dan iman dalam perjuangan 2
2. Daniel dan Makabe 2
2. Jenis Sastra 3
1. Penyataan Allah dalam bahasa lambang .4
2. Bahasa rakyat 4
3. Apokaliptisisme Masa Kini 5
1. Bukan ramalan 5
2. Iman apokaliptik 5
4. Penutup 6
Bab 2
BEBERAPA PENDEKATAN ASAL-USUL APOKALIPTISME
PERJANJIAN lAMA 7
Yanky Karman
1. Pendekatan Genre Sastra 7
2. Pendekatan Genetis 10
1. Tradisi kenabian 10
2. Tradisi hikmat 12
3. Mite-mite agama lain 14
4. Tradisi keagamaan masyarakat bawah 15
3. Penutup 17
Bab3
DARI "GODZILLA" KE "BANDOT"; FUNGSI PENGLIHATAN
MEN GENAl BINATANG-BINATANGBA 01 DANIEL 7-8 DALAM
~AGIAN KEDUA KITAB DANIEL 20
mmanuel Gerrit Singgih
;. ~en~ahuluan 20
3' 't an.s Besar t-:Jarasi Daniel 7-12 : 21
. afsiran Daniel pasal 7:1-28, Penghhatan mengenai Kembalinya
4 ~aos, Kehaneuran Khaos dan Kege1isahan Daniel 27
. asa18:1-27, Penglihatan mengenai Kerajaan-kerajaan Media-PersiafVTOJCB
5. ~:u~;~~.~~~..~~.~~~.~~~.~.~.~~.~~~~!~~.~~.~.:::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::~~iii
Bab4KONTEKS HISTORIS TEOLOGIS SASTRA BAIT SUCIzyxwvutsrqponmlkjihgfedcbaZYXWVUTSRQPONMLKJIHGFEDCBAKEDUA .45yxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWTSRPOMLKJIHGFEDCBA
Berthold Anton Pare ira, a. Carm.utsonmlkjihgdaYWUKJIECBA
;: ~:~:~~~~~~i;::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::::!;3. Bahasa-bahasa 48
4. Sumber-sumber 48
5. Sastra: Tema dan Fungsi 50
6. Periode Yunani-Romawi (322 -70 M) 52
7. Allah, Dunia, dan Urnat Allah 53
8. Kelompok, Aliran, dan Kecenderungan 55
Bab5KITAB WAHYU SEBAGAI NARASI 57
Martin Harun, aFM1. Pendekatan Naratif terhadap Kitab Wahyu 57
1.1. Cerita gulungan kitab yang dibuka Anak Domba (Garrow) 58
1.2. Tiga cerita berdampingan (David Barr) 60
1.2.1. Bentuk cerita apokaliptis 60
1.2.2. Alur cerita (plot) 61
1.2.3. Tokoh-tokoh 63
1.2.4. Setting: Waktu dan tempat.. 64
2. Cerita Surat-Surat (1:1 - 3:22) 65
2.1. Satu bingkai untuk ketiga cerita 65
2.2. Penampakan Yesus yang mendiktekan tujuh surat... 66
2.2.1. Sudut pandang 66
2.2.2. Alur cerita 67
2.2.3. Penokohan 68
3. Cerita Ibadat Surgawi 69
3.1. Apa yang Diceritakan? 70
3.2. Bagaimana Diceritakan? 70
3.2.1. Latar 70
3.2.2. Penokohan 71
3.2.3. Alur cerita 73
3.3. Waktu Cerita 75
4. Cerita Perang dan Kemenangan 75
4.1. Apa yang Diceritakan? 76
4.2. Bagaimana Diceritakan? 77
4.2.1. Jenis sastra 77
4.2.2. Penokohan 77
4.2.3. Latar 82
4.2.4. Alur cerita 84
5. Penutup 85
iv
Bab 6KITAB WAHYU: SEBUAH KAJIAN SOSIAL. 88
Tertius Yunias Lantigimo
1. Pendahuluan 88
2. Latar Belakang Kondisi Sosial Asia Kecil.. 89
2.1.Konflik dengan Umat Yahudi 89
2.2. Konflik dengan Paganisme 90
2.2.1. Penyembahan berhala 90
2.2.2. Penyembahan kaisar ("the Imperial Cult") 93
2.2.3 Dampak penyembahan kaisar pada kondisi sosial 96
3. Dampak pada Komunitas Kristen 98
4. Reaksi Yohanes 99
5. Kesimpulan 101
Bab7
APOKALIPTIK KONTEMPORER 110
Christian Gossweiler
1. Pendahuluan 110
1.1. Penegasan istilah 110
1.1.1. Apokaliptik 110
1.1.2. Eskatologi 111
1.1.3. Khiliasme, Milenialisme/Milenarianisme,
Postmilenialisme, Pramilenialisme 112
1.2. Perumusan masalah 113
2. Sekilas Apokaliptik dalam Sejarah Teologi Kristiani 114
3. Apokaliptik Pasca-PD II 119
3.1. Apokaliptik sekuler 119
3.2. Apokaliptik dan Eskatologi dalam Teologi Protestan 121
3.3. Apokaliptik Pentakosta, Kharismatik, dan Evangelikal 124
3.4. Tradisi apokaliptik di Tanah Jawa 126
3.4.1. Akhir Zaman Orde Baru sebagai "Zaman Edan" 126
3.4.2. Dari Ratu Adil ke Satria Piningit... 128
3.4.3. Pengharapan Ratu Adil dan Satrio Piningit
Pasca-Soeharto 129
3.4.4. Tradisi "Ratu Adil" sebagai titik berangkat
Kristologi Jawa 132
4. Kesimpulan Umum: Beberapa Catatan bagi Teologi Apokaliptik
yang Relevan untuk Konteks Indonesia 135
Lampiran 138
Indeks 143
v
APOKALIPTIK
apokaliptik akan memberikan penjelasan yang dapat ctipertanggungjawabkan
tidak ~embawa kesesatan. Keyakinan akan keterlibatan Allah dalam pengala ~
manusia yang sedang mengalami penderitaan bertahan sepanjang zaman. Seba aimllIartutsonmlkjihgdaYWUKJIECBA
aJn k ki .. I di . . g anaaw ya, eya man 1IU muncu i antara jemaat-jemaat yang merasa diri tertin
M k tk diri b . . dasere a menempa an ~n se agar jernaat yang sedang dianiaya dan menempa~
para perundasnya sebagar musuh yang akan dihancurkan oleh Tuhan. Dalam hal: .
kitab-kitab apokaliptik dibaca dan ctitafsirkan ulang sesuai dengan situasi nyata Illi,
sedang dihadapi. Untuk dapat memahami nilai-nilai yang terkandung dalam ~ang
kitab apokaliptik, orang perlu memahami situasi yang melatarbelakangi terben~b-
~tab-kitab a~kaliptik. Melalui pendekatan ini, orang akan memahami bagaimana te~
itu berfungsi dalam komunitasnya,yxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWTSRPOMLKJIHGFEDCBAsocial setting, dan budaya zamannya.
Dari pengalaman orang beriman yang tertindas, sebagaimana terungkap dal
~tab-kitab apokaliptik, orang beriman di zaman sekarang dapat belajar bahwa Alia;tidak pemah membiarkan kejahatan menguasai manusia. Allah berkuasa atas se ala
yang terjadi di duma ini, walaupun pengalaman penderitaan dapat membuat oran
~dak m~pu mylihat keku~saan Allah. Allah adalah Allah yang adil dan bertanggun:
jawab. Ia tidak akan rnembiarkan orang yang beriman pada-Nya ctitindas, tetapi akan
memberikan kehidupan sejati bagi orang-orang yang menderita dan mati karena
percaya pada-Nya. Walaupun demikian, orang beriman perlu menempatkan imannya
dalam rangka kehidupan abadi. Kehidupan manusia tidak terbatas pada dunia
sehingga keadilanAllah pun tidak perlu dilihat dalam batas-batas duma.
4. Penutup
Ketidaktahuan akan konteks munculnya kitab-kitab apokaliptik dapat memicu
penyalahgunaan terhadapnya. Untuk menghindari hal ini dan untuk mendapatkan
pemahaman yang memadai mengenai kitab-kitab tersebut, diperlukan studi kritis
baik yang menyangkut konteks maupun yang menyangkut sastranya. Ada berbagai
macam penafsiran dan pendekatan yang dapat dipakai untuk memahami kitab-
kitab apokaliptik. Aneka ragam penafsiran dan pendekatan itu sangat bermanfaat
karena masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri.
Pemikiran inilah yang melatari pelaksanaan simposium ISBI (Ikatan Sarjana
B~blika Indonesia) 24-27 Juli 2006 di Cipanas dengan Sekolah Tinggi Teologi
Cipanas dan Fakultas Teologi Universitas Parahyangan sebagai penyelenggara.
Simposium ini menghadirkan 6 (enam) pembicara: Yonky Karman, B.A. Pareira,
O.Carm., E.G. Singgih, Martin Harun, OFM, Tertius Y. Lantigimo, dan Christian
Gossweiler. Keenam makalah tersebut membahas apokaliptik dari berbagai kitab,
termasuk apokaliptik masa kini dari masyarakat sekuler. Refleksi para akadernisi
yang sekarang dibukukan ini diharapkan dapat memberi arah pada semangat
yang terlalu berlebihan dalam menafsirkan kitab-kitab apokaliptik.
Y.M. Seto Marsunu
6BA
BAB2utsrponmlkjihgedbaYWUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
BEBERAP A PENDEKA TAN ASAL-USUL
APOKALIPTISME PERJANJIAN LAMA
Yonky Karman
Apokaliptisme berperan penting pada tahap-tahap awal terbentuknya agama
Kristen. Diktum Kasernann bahwa "apocalyptic was the mother of all Christian
theology" bukanlah tanpa dasar (Kasernann, 1969: 40). Kemudian, apokaliptisme
ternyata hanya menerima perhatian sporadis, diabaikan, atau bahkan dihindari.
amun, ada pemimpin-pemimpin sekte Kristen yang menekankan kiamat
(doomsday religion) sehingga senang mengeksploitasi tema-tema apokaliptik.
Sejak abad ke-19, para ahli Biblika telah berdebat ten tang definisi dan karakteristik
utama apokaliptisme PL. Hingga kim, belum tercapai kesepakatan batas luar (bagian)
kitab yang dapat ctiberi label apqkaliptik, namun setidaknya telah ada konsensus untuk
Daniel 7-12 dan Kitab Wahyu (selain itu, 1 Henokh, 4 Ezra 3-14, dan 2 Barukh).
Tentang asal-usul apokaliptisme PL, biasanya berlaku dua pendekatan. Pendekatan
genre sastra dan pendekatan genetis. Pendekatan genre mengasalkan apokaliptisme
kepada genre sastra apokalips dalam Alkitab. Pendekatan gene tis menyangkut sumber
tradisi keagamaan yang menjadi awal pertumbuhan apokaliptisme PL.
1. Pendekatan Genre Sastra
~iasanya apokaliptisme PL diasalkan pada genre apokalips (Yun. apokalypsis
wahyu," "penyingkapan").1 Dalam Alkitab, kata apokalypsis pertama kali dipakai
d~lam Kitab Wahyu (1:1 "inilah wahyu Yesus Kristus"), sekaligus menjadi nama
krtab itu.
I Seb .agar contoh, Henk ten Napel( 1994: 35-6); William j. Dumbrell (1994: 131).
7
APOKALlPTIK
Secara historis maupun bentuk sastra, signifikansi Kitab Wahyu tak dapat
diabaikan (Hanson: 279).Secara historis, kitab itu amat mempengaruhi pemahaman
Barat tentang apokaliptisme. Kitab Wahyu mendemonstrasikan hampir semua
karakteristik penting sastra apokalips, kecualiyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWTSRPOMLKJIHGFEDCBApseudonimiias (pengarang apokalips
umumnya memakai nama samaran untuk menyembunyikan identitas dirinya).
Ketiga ayat pertama Kitab Wahyu memperlihatkan struktur naratif apokalips
secara singkat (1:1-3). Pertama, wahyu itu diterima manusia (Yohanes) dari Allah
lewat mediasi makhluk dari dunia lain (malaikat yang diutus Allah). Kedua,
narasi membingkai wahyu itu terkait penglihatan tentang apa yang harus segera
terjadi. Ketiga, sebagai Firman Allah, ada un sur dari wahyu itu yang merupakan
wejangan kenabian yang harus dituruti. Di luar ketiga ayat itu, Kitab Wahyu
secara keseluruhan menggambarkan karakteristik lain yang sering dijumpai
dalam apokalips, yaitu perasaan takjub sebagai respons penerima wahyu. Struktur
naratifnya kompleks, seperti; laporan rangkaian penglihatan yang diselang-
seling genre-g~nre lebih kecil, misalnya: Surat kiriman, doksologi, nyanyian
kemenangan, dan berkat. Dengan mengikuti sebuah panggilan dari surga (4:3
"naiklah kemari"), penerima wahyu mendapati diri berada di lingkungan takhta
surgawi. Sebuah contoh perjalanan ke surga yang juga sering ditemukan dalam
tulisan-tulisan apokaliptik, malah sering digambarkan dengan panjang lebar.
Apokalips sendiri dipakai untuk sebuah genre sastra Yahudi atau Kristiani
dari periode 200 sM-100 M, yang sarat dengan simbol-sirnbol apokaliptik dan
pengungkapan rahasia-rahasia ilahi, terutama mengenai tanda-tanda yang
mendahului akhir zaman yang sudah ditentukan sebelumnya. lsi sastra apokalips
menyingkapkan suatu realitas transenden, namun dalam konteks waktu (sejauh
membayangkan keselamatan eskatologis) dan ruang (sejauh melibatkan dunia
lain, dunia supernatural). Dari situ kemudian muncul terminologi apokaliptisme
yang menunjuk pada pengharapan apokaliptik, yaitu pengharapan datangnya
bencana kosmis (transformasi dunia secara radikal) dalam waktu yang sangat
dekat. Salah satu karakteristik penting apokaliptisme adalah kesadaran bahwa
duniautsonmlkjihgdaYWUKJIECBAini benar-benar buruk dan keyakinan bahwa peru bah an radikal akan terjadi
untuk memasuki dunia lain yang diimpikan. Pada saat itu Allah menghancurkan
semua kuasa jahat, orang mati dibangkitkan, dan semua orang diadili dalam
suatu pengadilan universal. Orang jahat dibangkitkan untuk dihukum, sedangkan
orang benar untuk hidup dalam Kerajaan Mesias. Sekaligus zaman ini berakhir
dan mulailah sebuah zaman baru (ten Napel, 1994:35-6). Demikianlah, apokalips
menunjuk pada genre sastra, apokaliptik pada perspektif yang tercermin dalam
genre itu, dan apokaliptisme pada ideologi sosial yang membuat genre sastra itu
memperoleh label apokalips.
Sebagai catatan, pendefinisian apokaliptisme dari pendekatan genre sastra
sangat dipengaruhi konsep eskatologi Kristiani. Eskatologi adalah sebuah
8
BEBERAPA PENDEKATAN ASAL-USUL ...
terminologi teologi Kristen yang mulai dipakai sejak abad ke-19, sebuah doktrin
tentang perkara-perkara akhir zaman (Yun. eschaton "akhir "), ten tang akhir zaman
ini, akhir dari waktu dan sejarah duma ini, sekaligus mulainya babak zaman barn,
zaman keselamatan abadi. Dengan demikian, dibedakan antara eskatologi individual
dan eskatologi umum. Eskatologi individual berbicara ten tang nasib akhir manusia
secara individual, yang tentangnya PL bicara sedikit sekali. Eskatologi umum yang
tentangnya PL banyak bicara adalah menyangkut nasib akhir Israel sebagai umat
pilihan (eskatologi nasional) atau nasib akhir seluruh dunia (eskatologi universal).
Sering kali eskatologi nasional disamakan dengan eskatologi universal.
Memang nubuat dalam PL bersifat eskatologis. Namun, eskatologi yang
dimaksud bukan daJam arti sempit sebagaimana dipahami dalam dogma Kristiani,
melainkan eskatologi dalam arti luas (E. [enni: 126). Donald E. Gowan (1986: 2)
menggarisbawahi bahwa eskatologi PL bicara tentang berakhimya dosa (Yer.33:8),
berakhirnya perang (Mi. 4:3), berakhirnya cacat fisik (Yes. 35:5-6a), berakhirnya
kelaparan (Yeh.36:30), berakhirnya perbuatan destruktif dan melukai (Yes.11:9a).
Kata eschaton ("akhir") dalam bahasa Ibrani adalah 'aharit. Dari sedikit ayat
Alkitab yang memakai kata 'aharit, hanya beberapa saja yang menunjuk pad a
masa yang akan datang secara eskatologis. Menurut Horst Seebass (mOT: 210-2),
keterangan waktu oe'ahari! hayyamim ("di kemudian hari") dalam PL tak harus
bersifat eskatologis, karena menunjuk pada waktu yang akan datang secara terbatas
(Kej.49:1;Bil. 24:14;VI. 4:30; 31:29; Yer.48:47,hilang dalam LXX;49:39). Termasuk
di sini be'ahari: hayyamim dalam Yeremia yang sempat diterjemahkan "pada hari-
hari yang terakhir" (Yer.23:20//30:24),namun dalam BIMK terjemahannya diubah
menjadi "di kemudian hari." Seebass menyebut enam ayat di mana masa yang
akan datang bersifat eskatologis dan karenanya be'ahari! hayyamim hanya berarti
"pada hari-hari yang terakhir" (Yes. 2:2//Mi. 4:1; Yeh. 38:16; Dan. 10:14), juga
dalam dua ayat lain (Hos. 3:5 "pada hari yang terkernudian": Dan. 2:28 "pad a
hari-ha-] yang akan datang," dalam bahasa Aram).
Demikianlah, pendekatan genre untuk mendekati asal-usul apokaliptisme
PL tampaknya mempersempit pemahaman yang sebenarnya. Menurut Paul D.
Hanson (1987:25-6),mengasalkan apokaliptisme dari apokalips tidak mengizinkan
masuk banyak teks yang memiliki cara memandang realitas secara apokaliptik
(apocalyptic view of reality). Horst Dietrich Preuss (1996: 279) melihat apokaliptisme
lebih luas dari apokalips; apokaliptisme tidak hanya menunjuk pada sebuah
g~nre sastra tentang akhir zaman tetapi juga sebuah gerakan intelektual dalam
seJarah yang tak terbatas hanya terjadi di Pales tina atau Israel.' Maka, pendekatan
genre sastra untuk menguak asal-usul apokaliptisme PL perlu diperluas denganpendekatan genetis.
2 Bnd. John J. CoUins (1998: 2).
9
APOKALIPTIK
2.utsrponmlkjihgedbaYWUTSRPONMLKJIHGFEDCBAPendekatan Genetis
Mengingat periode genre apokalips dibatasi antara 200 sM-I00 M, maka untuk
melacak asal-usul apokaliptisme PL secara fenomenologis perlu dicari konsep
keagamaan apa saja yang berpengaruh selama abad ke-3 sM sampai ke-2 sM.
SejauhutsonmlkjihgdaYWUKJIECBAini ada beberapa penjelasan tentang sumber apokaliptisme dalam PL, yakni
dari tradisi kenabian, tradisi hikmat, mite-mite agama lain, dan tradisi keagamaan
masyarakat bawah (Albertz, 1994: 563-97).
2.1. Tradisi kenabian
Umumnya para sarjana Alkitab mengasumsikan apokaliptisme sebagai
perkembangan nubuat. H. H. Rowley, misalnya, menegaskan, apokaliphsme
adalah perkembangan nubuat; jika dalam nubuat, penghukuman sudah dekat dan
zaman keemasan masih jauh, maka dalam apokaliptisme, zaman keemasan itu
juga sama dekatnya dengan penghukuman yang akan datang (Rowley, 1961: 180).
Isu penting dalam studi apokaliptisme PL adalah hubungan antara eskatologi dan
apokaliptisme (Oswalt, 1981: 289-301).
Mowinckel (2005: 125-54) membedakan antara pengharapan untuk mas a yang
akan datangyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWTSRPOMLKJIHGFEDCBA(future hope) dan eskatologi. Oalam Yudaisme awal, pengharapan
yang dimaksud terkait dengan pembangunan kembali Kerajaan Israel pada masa
yang akan datang. Maka, pengharapan itu bersifat nasional, historis, dan dapat
ditelusuri sebab-musababnya dalam sejarah, tetapi tak mesti bersifat eskatologis.
Namun, Kitab Daniel dari Yudaisme belakangan berciri eskatologis dengan
konsep sejarah yang dualistis. Segala sesuatu dari tatanan dunia ini tiba-tiba
berakhir secara drama tis, universal (kosmis), lalu diganti dunia lain yang total
berbeda, yaitu dengan awal yang benar-benar baru, tanpa cacat kerusakan dunia
pertama. Transformasi yang bersifat katastrofis itu semata-mata karya Allah,
tanpa intervensi manusia, hukum sejarah, proses imanen, atau proses evolusi
sejarah. Kehendak Allah untuk dunia digenapi. Menurut Mowinckel, tak ada
eskatologi dalam arti itu pada masa Yudaisme awal yang para nabinya berbicara
tentang kepentingan nasional. Mereka bukan juru ramal yang berurusan dengan
kepentingan individual. Masa depan yang muncul dengan segera berasal dari
realitas konkret yang ada. Agama Israel pada awalnya tak memiliki eskatologi
dalarn arti itu dan berorientasi kehidupan dunia ini, kalaupun ada, paling-paling
eskatologi populer sebagaimana dianut kebanyakan orang. Karena itu, Mowinckel
memandang eskatologi dalam kitab nabi-nabi sebagai produk Yudaisme pasca-
pembuangan di mana pemulihan Israel setelah katastrofe 587 sM diandaikan
sudah terjadi, bukan sebagai nubuat yang akan terjadi.
Namun, mengasalkan apokaliptisme PL dari eskatologi kenabian tetap terlalu
luas. Ada kontras antara sastra nubuat dan apokalips. Secara eskatologis, nubuat
10
BEBERAPA PENDEKATAN ASAL-USUL ...
Ibrani berciri monistis sedangkan apokaliptisme berciri dualistis. Obyek pengharapan
dalam nubuat adalah berakhirnya dunia ini; dalam apokalips, dunia ini diakhiri
dengan kehadiran sebuah dunia yang lain. Oalam nubuat, penghukuman masih
dapat berubah jika orang bertobat; dalam apokalips, penghukuman itu merupakan
peristiwa terakhir yang waktu kejadiannya sudah ditentukan sebelumnya.
Karena itu, W. Sibley Towner memberi definisi yang lebih sempit (working
definition) dan memandang apokaliptisme PL sebagai sebuah subtipe eskatologi,
yang dibedakan dari eskatologi realistis (Towner, 1984: 10-2). Ada dua karakteristik
apokaliptisme PL yang terpenting. Pertama, apokaliptisme langsung diturunkan
dari eskatologi para nabi sebelumnya. Kedua, aspek-aspek kosmis dan ontologis
dari visi apokaliptik terkait teologi penciptaan dan mite-mite.
Menuru t Towner, semua nabi PL, mulai dari Amos, mempunyai visi tentang
peristiwa yang menentukan yang terjadi pada akhir zaman. Amos, misalnya,
memahami Hari TUHAN dalarn pengalaman sejarah Israel. Eskatologi para nabi itu
disebut eskatologi realistis. Berbeda dari eskatologi realistis, eskatologi apokaliptik
secara dramatis diperjelas mengarah ke dunia ini.
Yesaya 65:17-25 mulai dengan sebuah visi besar ten tang dunia lain yang sarna
sekali baru, "Sebab sesungguhnya, Aku menciptakan langit yang baru dan bumi yang
baru; hal-hal yang dahulu tidak akan diingat lagi, dan tidak akan timbullagi dalarn
hati" (ay. 17). Narnun, kemudian Yesaya beralih kepada hal-hal yang ada di dunia ini,
"Mereka akan mendirikan rumah-rumah dan mendiaminya juga; mereka akan menanami kebun-keoun
anggur dan memakan buahllya juga. Mereka lidak akan mendirikan sesuatu, supaya orang lain mendi-
aminya, dan mereka tidak akan menanam sesuaiu, supaya orang lain memakan buahnya; sebab IImur
umai-Ku akan sepanjang umur pohon, dan orang-orang pilihan-Ku akan menikmati pekerjaan tangan
mereka" (ay. 21-22).
Dalam Yeremia 31 juga dikatakan ten tang sebuah zaman di mana umat pilihan
dan Allah tak terpisah, sesuatu yang tak akan terjadi di dunia ini, "Beginilah
perjanjian yang Kuadakan dengan kaum Israel sesudah waktu itu, demikianlah
firman TUHAN: Aku akan menaruh Taurat-Ku dalam batin mereka dan
menuliskannya dalam hati mereka; maka Aku akan menjadi Allah mereka dan
mereka akan menjadi umat-Ku" (ay. 33). Rekonsiliasi seperti itu tak pernah
terjadi sebelumnya, bahkan tak akan terjadi sebuah dunia terbaik dari semua
kemungkinan dunia yang dapat dipikirkan (the best of all possible world). Kendati
demikian, yang dibicarakan adalah dunia ini, tentang TUHAN memilih Israel
dan ten tang perjanjian yang ditulis dalam hati mereka.
Di bawah pengaruh tema-tema mite yang berasal dari teoJogi penciptaan,
pandangan nabi ten tang Hari TUHAN adalah ten tang sebuah kehancurandUnia dih' 1 masa yang akan datang. Kemenangan TUHAN pada hari itu adalah
aSll pertarungan kosmis maupun dunia, di mana di balik hari itu, sebuah dunia
11
APOKALIPTIK
datang menyerupai sebuah Taman Eden yang baru atau sebuah dunia yang
dikuasai Adam yang baru. Jika tekanan eskatologi realistis adalah pengaruh
mite, tekanan eskatologi apokaliptik adalah mite ten tang konflik, penghukuman,
keselamatan, dan zaman keemasan. Dengan definisi itu, batasan teks PL yang
tergolong apokaliptik diperluas (Yes. 24-27; Za. 9-14; Yl. 2:28-3:21; Dan. 7-12).
2.2utsrponmlkjihgedbaYWUTSRPONMLKJIHGFEDCBATradisi hikmat
Gerhard von Rad memandang penjelasan sumber apokaliptisme dari nubuat tidak
memuaskan dan mengasumsikan hikmat sebagai sumber apokaliptisme, sebuah
gagasan yang pemah muncul pada abad ke-19 (Von Rad, 1974: 271-83). Dengan
mengasalkan apokaliptisme kepada tradisi hikrnat, von Rad memandang tradisi
hikmat sebagai pra-apokaliptik. Itu tidak berarti Sirakh seorang apokaliptisi,
tetapi seorang apokaliptisi pasti seorang bijak.
Dalam pandangan von Rad, apokalips tergolong genre sastra "ringkasan
sejarah," tepamya, sebuah penafsiran sejarah yang sifatnya deterrninistis.' Semua
peristiwa itu diarahkan Allah dan ditentukan sepenuhnya oleh kehendak Sang
Penguasa Sejarah, sebagaimana telah dinubuatkan dengan detail. Sejarah menuju
akhirnya saat di mana keselamatan merekah bagi mereka yang terpilih sejak
awal. Menurut von Rad, gaga san penentuan waktu itu sepenuhnya konstitutif
bagi apokalips. Sebagaimana dalam tradisi hikmat, terutama Sirakh, ditegaskan
bahwa Allah tahu sebelumnya tentang semua yang diciptakan-Nya. Allah juga
menentukan masa-masa bagi segala sesuatu. Allah membiarkan segala sesuatu
berlangsung sesuai penentuan sebelumnya itu. Menurut von Rad, eskatologi
bukan unsur konstitutif apokaliptisme.
Von Rad (1965: 301-8) melihat apokaliptisme Yahudi sebagai sebuah fenomena
kesusastraan sekaligus teologis. Sebagai sebuah fenomena kesusastraan, apokalips
meliputi Kitab Daniel sampai 4 Ezra, yang dipandang sebagai berasal dari masa
Yudaisme belakangan. Menurut von Rad, apokalips muncul setelah fenomena
kenabian berhenti namun Israel tetap ingin membicarakan peristiwa-peristiwa
eskatologis. Pengharapan ten tang masa depan itu diungkapkan dengan meminjarn
bahasa yang dipakai dalam sastra kenabian, sekaligus di situlah kontinuitas
apokalips dengan sastra kenabian. Dari sudut ketertarikan pada hal-hal akhir zaman
dan signifikansi penglihatan serta mimpi, apokalips dapat dikatakan sebagai anak
nubuat. Kendati demikian, apokalips tidak menyebut diri sebagai nubuat. Apokalips
menginformasikan cara Allah menyelesaikan sejarah dunia dalam bentuk yang
sama sekali baru, sekaligus itulah diskontinuitasnya dengan sastra kenabian.
) Determinisme adalah paham yang menganggap setiap kejadian atau tindakan, baik menyangkut
jasmani maupun rohani, merupakan konsekuensi dari kejadian-kejadian sebelumnya dan berada
di luar kemauan aktor-aktor manusia yang terlibat. Sejarah yang dimaksud adalah peristiwa-peris-
tiwa Allah berurusan dengan Israel.
12
BEBERAPA PENDEKATAN ASAL-USUL '"
Sebagai sebuah fenomena teologis, von Rad melihat apokaliptisme dari
konteks gerakan intelektual yang melahirkannya. Mengacu kepada temuan-
temuan di Qumran, von Rad mendefinisikan dualisme eskatologis sebagai
karakteristik apokaliptisme. Dibedakan antara zaman yang mewakili zaman ini
dan zaman yang akan datang (bnd. 2Esd. 7:50). Keselamatan yang dihadirkan
zaman yang akan datang sudah ada di dunia lain dan itu akan turun ke dunia ini.
Terjadi transendentalisme zaman yang akan datang (bnd. Dan. 7:13).
Penyelamatan yang terjadi di akhir zaman ditentukan jauh sebelum momen
menentukan ketika kedua zaman itu bertemu. Pengetahuan ten tang peristiwa
kosmis-historis di akhir zaman itu secara rinei diwahyukan kepada orang-orang
tertentu namun mereka tidak memakai pengetahuan itu untuk memberi peringatan
kepada atau menghibur orang-orang sezaman. Mereka tetap merahasiakannya
sebab mereka sendiri tak benar-benar mengerti maksud penglihatan mereka (bnd.
Dan. 8:27 "dan aku tercengang-cengang tentang penglihatan itu, tetapi tidak
memahaminya"). Hal itu dapat dimengerti sebab realisasi penglihatan jauh di
depart (bnd. Dan. 8:26 "sernua itu akan terjadi di masa depan yang masih jauh";
12:9 "firrnan ini akan tinggal tersembunyi dan termeterai sarnpai akhir zaman").
Itu sebabnya tulisan-tulisan apokalips biasanya pseudonim sekaligus bersifat
esoterik, seperti dalam gnostisisme. Hal-hal rahasia itu terbatas diketahui anggota-
anggota suatu komunitas yang mengerti cara memecahkan sandi ramalan-ramalan
tentang akhir zaman.
Yang sangat membedakan apokaliptisme dari nubuat adalah pandangan tentang
sejarah. Nubuat berakar pada sejarah penyelamatan, yakni tradisi-tradisi Israel
sebagai umat pilihan. Dalam panorama sejarah dunia dalam dua penglihatan Daniel
yang penting, tidak disebut-sebut sejarah Israel. Allah berurusan dengan kerajaan-
kerajaan besar di dunia. Bahkan, figur eskatologis Anak Manusia tak dikatakan
berasal dari Israel, rnelainkan "datang dengan awan-awan dari langit" (Dan. 7:13).
Tentang Israel, dikatakan bahwa bangsa itu akan mengalami kesusahan besar. Dapat
dikatakan, sejarah dalam apokalips tanpa muatan teologis. Peristiwa penyelamatan
itu seluruhnya bersifat eskatologis terjadi di rnasa yang akan datang.
Hipotesis von Rad sedikit penganutnya sebab faktanya eskatologi
rnerupakan kerangka konseptual bagi teks-teks apokalips. Preuss (1996: 277-
83) rnenolak hipotesis von Rad dan menegaskan apokaliptisrne PL terutama
s.ebagai perkembangan nubuat. Juga menurutnya, eskatologi tak dikenal dalam
hteratur hikrnat PL. Preuss berpendapat, teks-teks apokalips awal ditemukan
sebagai tambahan-tambahan dan redaksi-redaksi dari tulisan-tulisan kenabian,sep ti
er garnbaran tentang perang (Mi. 4:11-13), nubuat tentang Gog dan Magog
~Yeh. 38-39), tambahan kepada Trito-Yesaya (Yes. 19-20; 65:17-25; 66:20, 22-24), dan
eberapa mazmur (Mzrn. 22:28-32; 69:31-37). Fenomena seperti itu tak dijumpai
dalam literatur hikrnat. Apokaliptisme mulai rnengambil bentuk dalam tambahan-
13
APOKALIPTIK
tambahan dan redaksi-redaksi (Trito-Yesaya dan Za. 9-14). Kemudian, apokaliphsme
lebih mengambil bentuk koleksi-koleksi kecil teks (Yes. 24-27; Kitab Yoel) yang
dalam perkembangan selanjutnya menuju sastra apokalips.
2.3. Mite-mite agama lain
Fakta bahwa banyak penulis apokalips memakai motif mite asing memunculkan
hipotesis yang cukup populer bahwa apokaliptisme PL bukan asli tradisi Ibrani
melainkan hasil pengaruh suatu mite agama kuno di luar agama Israel yang
dipakai untuk menyatakan keyakinan-keyakinan Israel tentang akhir zaman.
Mite berusaha menjelaskan realitas kebenaran lewat cerita-cerita yang tak benar-
benar terjadi, yang hanya merefleksikan kerinduan pada sesuatu yang langgeng
dan tak berubah. Fokusnya adalah sejarah pada perubahan-perubahan dan
kemajuan yang terjadi di dunia sini. Konsep waktu dalam mite dan sejarah
berbeda. Waktu dalam mite berbentuk siklus, sedangkan dalam sejarah
berbentuk linier.
Dengan memandang apokaliptisme sebagai produk mite asing, ia dianggap
tak ada hubungan dengan Yahwisme yang dianut nabi-nabi PL. Tak ada
kontinuitas antara nubuat dan apokaliptisme. Diskontinuitas itu dipertegas
dengan kesimpulan Wellhausen bahwa apokaliptisme merupakan perkembangan
dari Yudaisme belakangan, yang menandai kemorosotannya secara teologis.
Karena itu, apokaliptisme tak memiliki bobot teologis yang berarti dan mutunya
jauh lebih rendah dari nubuat. Sejak paruh kedua abad ke-19 hingga kini, hipotesis
itu masih dianut.
Biasanya mite asing yang dimaksud adalah dualisme agama Persia kuno
(Zoroastrianisme) (Rist, IDB: 57-61). Mendukung hipotesisnya bahwa sumber
utama apokaliptisme Yahudi adalah tradisi hikmat, von Rad menyatakan
sumber hikmat yang dimaksud adalah dualisme Persia yang datang terutama
lewat pengaruh Helenisme akhir. Dualisme yang dimaksud tak bersifat filosofis
(pertentangan antara roh yang baikyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWTSRPOMLKJIHGFEDCBAvs materi yang jahat) melainkan kosmis. Dalam
dualisme kosmis, dua personifikasi kekuatan saling berlawanan di alam semesta
menjadi kekuatan baik dan kekuatan jahat. Dalam hal ini, Ahriman mewakili
dewa kebaikan dan Ormazd dewa kejahatan. Keduanya setara namun berlawanan
seperti terang dan gelap.
Ada beberapa keberatan untuk hipotesis itu yang membuat pendukungnya
kini kian berkurang. Pertama, memang Yudaisme pernah bersentuhan dengan
agama Persia selama periode Bait Allah Kedua (pasca-pembuangan). Namun, studi
ten tang sumber-sumber dari Persia yang menjadi dasar hipotesis itu menunjukkan
sumber-sumber yang dimaksud ditulis lebih dari 500 tahun sesudah masa dugaan
pengaruh itu terjadi. Kedua, dualisme seperti itu tak dikenal dalam monoteisme
Yudaisme tradisional. Ketiga, hipotesis itu tak memperhitungkan peran sentral
14
BEBERAPA PENDEKATAN ASAL-USUl. ...
eskatologi dalam kebanyakan tulisan apokalips. Namun, dan ini yang keempat,
untuk mengatakan keselamatan eskatologis merupakan sebuah perkembangan
tradisi hikmat juga sulit.
Mestinya sentralitas eskatologi tak mengabaikan fakta menonjolnya unsur-
unsur spekulatif dalam tulisan-tulisan apokalips, seperti unsur-unsur terkait
fenomena cuaca dan sistem perbintangan. Tampaknya sulit menyangkal sarna
sekali pengaruh mite-mite asing. Di sini barangkali pendapat Preuss (1996: 256)
perlu dipertimbangkan. Menurutnya, pengaruh agama Persia bukan faktor
penentu dalam memecahkan problem asal-usul apokaliptisme PL dan Yudaisme
awal, melainkan hanya membantu upaya pemecahan problem itu. Dalam
agama-agama asing di Timur Dekat kuno jarang ditemui pola urutan bencana
disusul keselamatan, juga eskatologi; bahkan, teks-teks Ugarit dan agama-agama
Mesopotamia tak mengenal eskatologi.
Sebagai catatan, lazim dibedakan antara eskatologi kenabian (prophetic eschatology)
berorientasi historis dan eskatologi apokaliptik (apocalyptic eschatologtj) yang berorientasi
mite. JobutsonmlkjihgdaYWUKJIECBAY. Jindo (2005: 412-5) merevisi distingsi itu. Eskatologi kenabian menjelaskan
peristiwa-peristiwa historis dengan memakai bahasa mite. Eskatologi apokaliptik
adalah sebuah cara pandang yang kerangka mitenya diyakini terungkap dalam
peristiwa-peristiwa historis. Mengambil contoh dari Kitab Daniel, pasal2 menubuatkan
pemunculan empat kerajaan dunia berturut-turut sekaligus kejatuhan mereka. Namun,
itu bukan sejarah sebagaimana adanya melainkan pemerintahan Allah atau akhir
sejarah dunia yang sebelumnya sudah ditentukan. Tampak Daniel tak tertarik pada
identitas masing-masing kerajaan dunia dari keempat kerajaan pagan yang disimbolkan
tetapi sejarah dunia dilihat secara sinkronis, seolah-olah semua terjadi pada waktu
yang sama (2:35 kahada "sekaligus"). Sejarah dilihat sebagai sebuah arena peperangan
terus-menerus antara yang baik dan yang jahat namun kemenangan akhir sudah
ditentukan. Sebagai manifestasi primordial dunia ini, takdir empat kerajaan dunia itu
adalah dikalahkan Allah. Pasal 7 merupakan elaborasi pasal 2. Empat binatang yang
melarnbangkan keempat kerajaan dunia digambarkan muncul dari laut. Juga ada sosok
makhluk seperti "seorang anak rnanusia" mengendarai awan di langit. Kias itu berasal
dari peperangan Allah dan monster laut (bnd. Yes.27:1; 51:9-10). Dalam prototipe mite
Kanaan, Dewa Baal yang mengalahkan laut digarnbarkan sebagai "penunggang awan."
Kias mitologis ini penting sekali bagi makna penglihatan Daniel.
2.4. Tradisi keagamaan masyarakat bawah
Rainer Albertz menyangkal hipotesis bahwa apokaliptisme PL berasal dari krisis
Makabe (175 sM). Ia mendasarkan hipotesisnya pad a penelitian sejarah tradisi
atas dua karya apokalips paling awal: Bagian tertua Kitab Henokh dari Qumran
(abad ke-3 sM, mungkin akhir abad ke-4 sM) dan terjemah bahasa Aram Kitab
Daniel (akhir abad ke-3 sM) yang merupakan sebuah kitab apokaliptik.
15
APOKALlPTIK
Albertz mengingatkan, kanon kitab nabi-nabi ditutup menjelang akhir abad
ke-3 sM. Implikasinya, secara kronologis, tradisi apokaliptik tak dapat dilihat
sebagai kelanjutan tradisi kenabian belakangan dari periode Helenisme. Ada
perbedaan isi dan tumpang tindih kronologi antara apokaliptisme awal dan
tradisi kenabian belakangan yang ken tal dengan ciri eskatologisnya. Fase awal
pembentukan tradisi apokaliptik memperlihatkan perbedaan isi maupun bentuk
apokaliptisme yang sangat berbeda dari tradisi kenabian belakangan.
Menurut Albertz, semasa pembuangan, banyak sekali pemberitaan nubuat
keselamatan dan diterima luas dalam masyarakat Israel. Akan tetapi, terbukti
nubuat Hagai dan Zakharia gagal. Maka, nubuat keselamatan akhimya masuk ke
kelompok-kelompok masyarakat bawah namun sudah semakin bersifat eskatologis.
Terbentuklah tradisi kenabian di kalangan masyarakat bawah sebagaimana
terlihat dari konflik sosial pada masa akhir dominasi Persia (pertengahan abad ke-
5 sM). Mungkin bagian-bagian pokok dari nubuat pasca-pembuangan, terutama
yang fokusnya.penghukuman orang jahat dan pembebasan orang miskin (Za.
9-14; Yes. 24-26), merupakan produk masyarakat bawah itu. Tradisi kenabian
belakangan melahirkan teologi perlawanan. Maka, apokaliptisme diasalkan
sebagai perkembangan agama dari kelompok miskin (bawah) yang tak lagi mampu
mengharapkan kesalehan Taurat sebagai solusi ketidakadilan yang mereka alami.
Mereka mengharapkan intervensi Allah dalam sejarah lewat datangnya sebuah
zaman yang baru yang akan menyingkirkan struktur-struktur ketidakadilan.
Persis tema konflik sosial sarna sekali tak hadir dalam tulisan-tulisan apokalips
sampai fase pentingnya yang kedua (160sM). Karena itu, sulit dikatakan apokalips
merupakan kelanjutan sastra kenabian belakangan. Tradisi apokaliptik berkembang
sendiri dan mulanya paralel dengan tradisi kenabian belakangan dalam hal
kemiripan isi dengan eskatologi kenabian. Perbedaan itu sekaligus mencerminkan
bahwa konteks sosial pembawa apokaliptisme awal berbeda dari pembawa
tradisi kenabian belakangan. Keduanya tidak satu kelompok. Sebagai sebuah
te?logi perlawanan sosial, apokaliptisme tersebar luas dalam Yudaisme awal di
kalangan penduduk miskin. Horizon gagasan-gagasan eskatologis (kebangkitan,
penghukuman sesudah mati) dari apokaliptisme menciptakan sebuah bentuk
kesalehan baru yang mengandung kekuatan pendorong revolusi sosial. Bahwa
akhimya apokaliptisme dari kalangan terpelajar memasukkan tema-tema sosial
bukan suatu kebetulan dalam sejarah sebuah agama yang awalnya dulu dimulai
dengan sebuah pengalaman pembebasan dari tindasan perbudakan.
Kendati menarik, studi-studi mutakhir berpendapat bahwa gerakan milinearis
dan apokaliptisme tak mesti terjadi hanya di antara kaum miskin atau bawah tetapi
juga dapat terjadi di antara unsur-unsur pemegang kekuasaan seperti para imam
dan ahli Taurat. Itu sebabnya Patrick D. Miller (2000: 101-2) cukup menempatkan
apokaliptisme sebagai produk agama sernasa pasca-pembuangan, namun tak mau
16
BEBERAPA PENDEKATAN ASAL-USUL ...
lebih [auh lagi berbicara tentang peran apokalips dalam komunitas keagamaanutsonmlkjihgdaYWUKJIECBA
[tu.
3.utsrponmlkjihgedbaYWUTSRPONMLKJIHGFEDCBAPenutup
Mengingat kompleksitas apokaliptisme PL, untuk menentukan asal-usulnya
dibutuhkan gabungan pendekatan genre dan genetis (Hanson, 1987: 25-6).
[ohn ]. Collins (1998: 20-1) menengarai asumsi teologis di balik wacana asal-usul
apokali ptisme.
Mempersoalkan sumber apokaliptisme Yahudi sering membuat orang
memandang apokaliptisme sebagai sebuah fenomena derivatif, produk dari
sesuatu yang lain. Kecenderungan itu merupakan warisan asumsi teologis
Wellhausenian yang memandang para penulis apokalips (dan Yudaisme pasca-
pembuangan pada umumnya) sebagai inferior terhadap sastra nubuat. Wacana
asal-usul apokaliptisme juga sering dipakai secara terselubung untuk melakukan
penilaian teologis. Jika apokaliptisme anak nubuat, ia sah. Jika maknanya
dikaitkan dengan kultur Persia, apokaliptisme bukan asli Alkitab. Cara berpikir
seperti itu terlalu menyederhanakan masalah. Sumber-surnber dari mana
gagasan apokaliptik dalam PL berkembang tak membuat gaga san itu kehilangan
orisinalitasnya. Produk baru lebih dari sekadar totalitas sumber-sumbernya.
Karena itu, Collins memandang apokaliptisme PL sebagai kombinasi sirnbol-
simbol yang berasal dari pelbagai sumber yang kemudian diolah menjadi sesuatu
yang baru dan khas Israel. Sebagai contoh, secara bentuk penglihatan, Kitab Daniel
memiliki kontinuitas dengan tradisi kenabian, terutama nubuat Yeremia. Namun,
ada sirnbol-simbol berlatar kultur Kanaan yang berperan penting di dalamnya
(Dan. 7). Skema empat kerajaan dunia dipinjam dari propaganda politik Timur
Dekat serna sa Helenisme. Karena itu, Collins menyimpulkan, "Ultimately the
meaning any given work is constituted not by the sources from which it draws
but by the way in which they are combined."
Sebagai kesimpulan, mungkin dapat dikatakan bahwa keempat tradisi
keagamaan di atas dengan cara masing-masing memberi kontribusi kepada
pembentukan sastra apokalips. Kontribusi mite-mite asing adalah simbolisme dan
cerita-cerita yang bersifat kosmis. Kontribusi nubuat adalah komunikasi dari dunia
ilah] ke dunia manusia, sekaligus memberi pengharapan untuk intervensi Allah.
Kontribusi hikmat adalah konsep retribusi dalam kerangka kesalehan berdasarkan
Taurat. Tradisi kenabian dan tradisi hikmat dimungkinkan bersatu dalam sastra
apokalips karena kedua tradisi itu berakar dalam kesalehan berdasarkan Taurat.
Taurat sendiri berdasarkan teologi penciptaan. Maka, wajarlah jika dalam
sastra apokalips kerap dibicarakan ciptaan baru sebagai ganti ciptaan pertama.
Kemudian, kontribusi tradisi keagamaan masyarakat bawah adalah konteks
sosial realitas hidup yang menyesakkan dan, mungkin juga, sedikit intervensi
17
APOKALIPTIK
Tuhan yang dialami di sana sini. Banyaknya orang saleh yang mati tanpa pahala
sebagaimana dijanjikan dalam tradisi kesalehan berdasarkan Taurat membuat
gaga san kebangkitan orang mati berkembang dalam sastra apokalips selama masa
intertestamental dan mencapai puncaknya dalam tulisan-tulisan PB. Mungkin
gagasan-gagasan apokaliptik kemudian direfleksikan dan dikembangkan lebih
jauh oleh kaum intelektual Yahudi yang berakar dalam tradisi hikmat.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sastra apokalips memiliki fungsi
pastoral dalam rangka "mengakali kenyataan hidup yang serba menyesakkan
bukan dengan cara menyingkir dari atau menyingkirkan kehidupan tetapi dengan
cara mendekonstruksi kehidupan," meminjam ungkapan Robert Setio dalarnyxwvutsrponmlkjihgfedcbaYWTSRPOMLKJIHGFEDCBA
Presidential Address simposium ISBI 2006. Teks-teks apokalips memberi harapan
sekaligus mendorong umat tetap setia dalam situasi sulit. Kalaupun sebagai ideologi
perjuangan, perlawanan itu tanpa kekerasan dan tidak revolusioner (nirkekerasan).utsrponmlkjihgedbaYWUTSRPONMLKJIHGFEDCBA
Kepustakaan
Albertz, Rainer.'
1994 A History of Israelite Religion in the Old Testament Period: From the
Exile to the Maccabees. Vol. 2. Terj. J. Bowden. OTL. Louisville:
Westminster John Knox.
Collins, John J.
1998 The Apocalyptic Imagination: An Introduction to Jewish Apocalyptic
Literature. Ed. 2. The Biblical Resource Series. Grand Rapids:
Eerdmans.
Dumbrell, William J.
1994 The Search for Order: Biblical Eschatology in Focus. Grand Rapids: Baker.
Gowan, Donald E.
1986 Eschatology in the Old Testament. Philadelphia: Fortress.
Hanson, Paul D.
1979 The Dawn of Apocalyptic: The Historical and Sociological Roots of
Jewish Apocalyptic Eschatology. Rev. Philadelphia: Fortress.
1987 Old Testament Apocalyptic. Interpreting Biblical Texts. Nashville:
Abingdon.
"Apocalypses and Apocalypticism." ABO I: 279-82.
[enni,utsonmlkjihgdaYWUKJIECBAE.
"Eschatology." [BD II: 126-33.
[indo, Job Y.
2005 "On Myth and History in Prophetic and Apocalyptic Eschatology."fVTOJCB
VT 55: 412-5.
Kasemann, Ernst
1969 "The Beginnings of Christian Theology." fTC 6: 17-46.
18
BEBERAPA PENDEKATAN ASAL-USUL ...
Miller, Patrick D.
2000 The Religion of Ancient Israel. Library of Ancient Israel. Louisville:
Westminster John Knox.
Mowinckel, Sigmund.
2005 [1956] He That Cometh: The Messiah Concept in the Old Testament and
Later Judaism. The Biblical Resource Series. Terj. G. W. Anderson.
Grand Rapids: Eerdmans.
Oswalt, John N.
1980 "Recent Studies in Old Testament Eschatology and Apocalyptic."
JES 24: 289-301.
PreusS, Horst Dietrich.
1995 Old Testament Theology. 2 vols. Terj. Leo G. OTL. Perdue; Louisville:
Westminster John Knox.
von Rad, Gerhard.
1992 [1970] Wisdom in Israel. Terj. J. D. Martin. London: SCM.
1965 Old Testament Theology: 771eTheology of Israel's Prophetic Traditions.
Vol. 2. Terj. W. G. Stalker. New York: Harper & Row.
Rist, Martin.
"Apocalypticism." JOB I.157-61.
Rowley, H. H.
1961 The Faith of Israel: Aspects of Old Testament Thoughts. London: SCM
Press.
Seebass, Horst.
n~'m~.TDOTI: 207-12.
Towner, W. Sibley.
1984 Daniel. Interpretation. Atlanta: John Knox.
19