aplikasi teknik konservasi tanan dan air sederhana
TRANSCRIPT
1
APLIKASI TEKNIK KONSERVASI TANAH DAN AIR SEDERHANA UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIFITAS LAHAN
Oleh :
Heru Setiawan
ABSTRAK
Terjadinya degradasi kualitas lahan secara bertahap berakibat menurunnya produktifitas lahan garapan yang berdampak pada semakin menurunnya pendapatan petani. Untuk mencegah kerusakan tanah yang berkelanjutan dan mengembalikan kualitas lahan serta meningkatkan produktifitas lahan diperlukan teknik konservasi tanah dan air sederhana yang secara teknis mudah diterapkan karena sesuai dengan kondisi ekologis setempat (technically applicable), secara sosial budaya dapat diterima masyarakat setempat (socially acceptable), ramah terhadap lingkungan, murah dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (economically feasible). Beberapa teknik konservasi tanah dan air sederhana yang dapat diterapkan diantaranya pembuatan teras, saluran pembuangan air, rorak/parit buntu, penanaman dalam strip, pembuatan jalur rumput, pemakaian mulsa dan penanaman tanaman penutup tanah. Berdasarkan penelitian, aplikasi teknik konservasi tanah dan air sederhana terbukti mampu memperbaiki kualitas lahan berdampak pada semakin meningkatkan produktifitas lahan.
Kata kunci : degradasi lahan, teknik KTA sederhana, produktifitas lahan
I. PENDAHULUAN
Peningkatan jumlah penduduk baik di desa maupun di kota berdampak pada semakin
meningkatnya kebutuhan hidup. Peningkatan jumlah penduduk di pedesaan yang
mayoritas penduduknya bermatapencaharian sebagai petani mengakibatkan semakin
luasnya kebutuhan terhadap lahan pertanian. Keterbatasan lahan untuk bercocok tanam
memicu terjadinya konversi lahan. Masyarakat sekitar hutan melakukan konversi hutan
primer maupun sekunder menjadi areal pertanian. Areal lahan dengan kemiringan tinggi
yang seharusanya tidak sesuai digunakan untuk lahan pertanian tetap dibuka untuk
bercocok tanam. Sistem pengolahan lahan yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi
berpeluang menciptakan lahan-lahan kritis dan meningkatkan erosi tanah yang pada
akhirnya akan menimbulkan dampak degradasi lahan. Degradasi lahan ini ditandai dengan
meningkatnya ancaman bahaya erosi, sedimentasi, berkurangnya debit sungai pada
musim kemarau dan banjir pada musim hujan, terjadinya pendangkalan sungai, waduk
dan danau yang terjadi di berbagai wilayah.
Degradasi lahan yang terus menerus mengakibatkan menurunya produktifitas lahan
yang biasanya dirasakan langsung oleh petani. Untuk mempertahankan produktifitas
2
lahan, diperlukan upaya-upaya dengan melakukan pengelolaan lahan yang sesuai dengan
kaidah konservasi. Pada dasarnya penurunan produktifitas lahan merupakan akibat dari
adanya erosi yang mengikis lapisan tanah permukaan (top soil) yang memiliki tingkat
kesuburan tinggi. Beberapa prinsip utama dalam pengendalian erosi tanah adalah
memperbesar resistensi permukaan tanah sehingga lapisan permukaan tanah tahan
terhadap pengaruh tumbukan butir-butir air hujan, memperbesar kapasitas infiltrasi tanah
sehingga laju aliran permukaan dapat berkurang, mengurangi laju aliran permukaan agar
daya kikisnya terhadap tanah dapat diperkecil, memperbesar resistensi tanah sehingga
daya rusak dan daya hanyut aliran permukaan terhadap partikel-partikel tanah dapat
diperkecil.
Penurunan produktifitas lahan ditandai dengan semakin kecilnya hasil panen. Agar
hasil panen tetap bagus, dilakukan penambahan jumlah pupuk yang berakibat semakin
tingginya biaya produksi. Biaya untuk mengembalikan produktifitas lahan dengan
penambahan konsumsi pupuk ini apabila dihitung akan jauh lebih mahal dibandingkan
dengan biaya untuk upaya pencegahan. Hasil penelitian yang dilakukan di Sub DAS
Jeneberang menunjukkan bahwa perkiraan kerugian ekonomis akibat erosi pada
usahatani hortikultura untuk tingkat kemiringan 8-15% sebesar Rp 488.000,-/ha/th dan
pada kemiringan 15-35% sebesar 1.420.000,-/ha/th (Nugroho, 2002). Usaha yang dapat
dilakukan untuk mengurangi degradasi lahan ini adalah dengan penerapan berbagai
bentuk teknik konservasi tanah dan air sederhana yang secara teknis mudah diterapkan
karena sesuai dengan kondisi ekologis setempat (technically applicable), secara sosial
budaya dapat diterima masyarakat setempat (socially acceptable), ramah terhadap
lingkungan, murah dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat (economically
feasible).
II. KONSERVASI TANAH DAN AIR
Konservasi Tanah dan Air (KTA) adalah penempatan sebidang tanah pada cara
penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya
sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan (Arsyad, 1989).
Tujuan dilakukannya konservasi tanah dan air adalah untuk mencegah kerusakan tanah
oleh erosi dan aliran permukaan, memperbaiki tanah yang rusak atau kritis, menjaga
produktifitas tanah agar tercapai hasil produksi yang tinggi dalam kurun waktu yang tidak
terbatas dan meningkatkan produktifitas lahan. Secara garis besar teknik konservasi
tanah dan air dapat dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu teknik konservasi vegetatif,
teknik konservasi mekanik (sipil teknis) dan teknik konservasi kimia. Untuk mencapai hasil
3
yang maksimal dalam mengendalikan erosi dan aliran permukaan, aplikasi dari metode ini
harus dilakukan secara bersama-sama. Sebagai contoh, teras bangku yang tergolong
dalam teknik konservasi mekanik akan dapat berfungsi maksimal jika ditambahkan
dengan tanaman penguat teras yang termasuk dalam teknik konservasi vegetatif.
Penjelasan secara umum dari ketiga metode teknik konservasi tanah dan air adalah
sebagai berikut :
A. Metode Vegetatif
Teknik konservasi tanah dan air secara vegetatif adalah semua tindakan konservasi
tanah dan air yang menggunakan tumbuh-tumbuhan (vegetasi), baik tanaman legume
yang menjalar, semak, perdu, pohon atau rumput-rumputan dan tumbuhan lainnya, serta
sisa-sisa tanaman yang ditujukan untuk mengendalikan erosi dan aliran permukaan.
Penggunaan vegetasi dalam konservasi tanah dan air berfungsi untuk melindungi tanah
dari kerusakan akibat pukulan butiran air hujan, melindungi lapisan tanah atas dari daya
perusak aliran permukaan dan memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah dan daya simpan air
yang berpengaruh terhadap besarnya aliran permukaan. Manfaat lain dari metode
vegetatif ini adalah dapat mendukung sistem pengelolaan bahan organik karena semua
tindakan konservasi vegetatif dapat berperan sebagai penghasil bahan organik. Daun
tanaman yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak tidak mengubah fungsinya sebagai
penghasil bahan organik jika pupuk kandang yang dihasilkan ternak dikembalikan lagi ke
lahan. Beberapa contoh kegiatan yang termasuk dalam metode konservasi tanah dan air
secara vegetatif diantaranya adalah penanaman tanaman penutup tanah, penanaman
dalam jalur, pergiliran tanaman, sistem agroforestry, pemanfaatan sisa-sisa tanaman
(mulsa) dan penanaman saluran air dengan rumput.
B. Metode Mekanik
Teknik konservasi tanah dan air secara mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanis
yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran
permukaan dan erosi serta meningkatkan kelas kemampuan tanah. Metode mekanik
dalam konservasi tanah berfungsi untuk memperlambat aliran permukaan, menampung
dan menyalurkan aliran permukaan dengan kekuatan yang tidak merusak, memperbaiki
atau memperbesar infiltrasi kedalam tanah dan memperbaiki aerasi tanah serta
menyediakan air bagi tanaman. Beberapa contoh metode konservasi mekanik ini adalah
berbagai macam teras (teras bangku, teras gulud), rorak, pembuatan saluran
pembuangan air, drainase, dam pengendali dan tanggul.
4
C. Metode Kimia
Metode kimia dalam KTA adalah penggunaan preparat kimia sintetis atau alami.
Preparat-preparat kimia ini dipergunakan untuk pembentukan struktur tanah yang stabil.
Salah satu jenis yang populer adalah campuran dimethyl dichlorosilane, dan methyl-
trichlorosilane. Bahan kimia ini merupakan cairan yang mudah menguap, dimana gas
yang terbentuk bercampur dengan air tanah. Senyawa yang terbentuk membuat agregat
tanah menjadi stabil. Selain pemantapan agregat tanah, penggunaan senyawa kimia
berfungsi juga merubah sifat-sifat hidrophobic atau hidrophilic tanah, yang dengan
demikian merubah kurva penahanan air tanah. Pengaruh yang lain dari penggunaan
senyawa kimia tersebut adalah mengurangi atau meningkatkan Kapasitas Tukar Kation
(KTK) tanah, yang berarti mempengaruhi kemampuan tanah menahan unsur hara.
III. APLIKASI TEKNIK KTA SEDERHANA
Pada umumnya masyarakat lokal sekitar hutan yang bermukim di wilayah hulu sudah
menerapkan teknik konservasi tanah dan air secara sederhana yang dilakukan secara
turun temurun. Namun keterbatasan informasi dan penyuluhan kepada masyarakat
membuat sebagian masyarakat tidak mengetahui manfaat penerapan teknik KTA
tersebut. Berikut ini adalah beberapa macam teknik KTA sederhana yang biasa diterapkan
oleh masyarakat :
A. Pembuatan teras (sengkedan)
Teras atau sengkedan adalah merupakan teknik konservasi mekanik yang biasa
diterapkan di daerah hulu daerah aliran sungai terutama pada lahan-lahan dengan
kemiringan 0-50%, yang dibuat dengan tujuan untuk menekan terjadinya erosi dan
mempertahankan produktivitas lahan. Pada prinsipnya terasering adalah upaya manipulasi
kemiringan lahan atau memperpendek kemiringan lereng sehingga dapat meningkatkan
laju infiltrasi, memperkecil laju aliran permukaan dan atau aliran permukaan dapat
dialirkan dengan aman menuju saluran. Beberapa macam bentuk teras diantaranya
adalah :
1. Teras bangku
Teras bangku adalah teras yang biasa dibuat pada kemiringan lahan 10-30%. Pada
kondisi lahan dengan tingkat kestabilan lahan yang tinggi, pembuatan teras bangku bisa
dilakukan dengan persentase kemiringan mencapai 50%. Teras bangku merupakan
metode konservasi tanah mekanik yang telah banyak dilakukan oleh petani di Indonesia.
Metode ini sangat efektif dilakukan untuk mencegah erosi dan aliran permukaan.
Kelemahan metode ini adalah biayanya yang relatif mahal, tidak bisa diaplikasikan pada
5
lahan dengan solum tanah yang dangkal dan pada lahan dengan tekstur tanah pasir.
Pembuatan teras bangku pada tanah bertekstur pasir harus dihindari karena akan
mengakibatkan dampak yang merugikan pada waktu pelaksanaan pembuatan teras
(longsor atau erosi).
Beberapa penelitian tentang manfaat penerapan teras bangku pada lahan pertanian
diantaranya adalah yang dilakukan di Sub DAS Jeneberang Hulu dengan tipe iklim B
(curah hujan 2000-3000 mm/th), kemiringan lereng 23%, dan jenis tanah Latosol,
pembuatan teras bangku dengan penguat teras rumput setaria mampu menekan erosi
47,55%. Di dataran tinggi Malino dengan tipe iklim B (curah hujan 2000-3000 mm/th),
kemiringan lereng 15%, jenis tanah latosol coklat kekuningan, pembuatan teras bangku
dengan penguat teras rumput setaria mampu menekan erosi 60,62%. Di Majene dengan
tipe iklim D, kemiringan lereng 46%, jenis tanah Lithosol. Pembuatan teras bangku
dengan penguat teras rumput setaria mampu menekan erosi 92,95%. Di Kabupaten Barru
– Sulsel dengan tipe iklim C (curah hujan 1500-2000 mm/th), jenis tanah Latosol dan
kemiringan lereng 45 % telah diuji beberapa perlakuan pada teras bangku dengan
keefektifan menekan erosi berturut-turut sebagai berikut, kombinasi teras bangku,
mahoni, jagung dan ubi jalar mampu menekan erosi 58 %, perpaduan teras bangku, bitti,
jagung, kacang tanah mampu menekan erosi 88 %, perpaduan teras bangku, angsana,
jagung, kacang hijau mampu menekan erosi 68 %, perpaduan teras bangku, jati, jagung,
kacang hijau mampu menekan erosi 72 %, perpaduan teras bangku, gmelina, jagung, ubi
jalar, kacang tanah mampu menekan erosi 75 %. Pada perlakuan kombinasi perlakuan
teras bangku, mahoni, jagung dan kacang tanah mampu menekan erosi terbesar yaitu
mencapai 88% (Nugroho, 2002).
2. Teras gulud
Teras gulud merupakan upaya konservasi tanah yang sederhana dan murah sehingga
sangat cocok diterapkan oleh petani. Umumnya dibuat pada lahan dengan kemiringan
10-15%. Teras gulud dibuat dengan membuat gundukan tanah memanjang sejajar kontur
dan dilengkapi dengan saluran air yang bertujuan untuk mengurangi kecepatan air yang
mengalir pada waktu hujan sehingga erosi dapat dicegah dan penyerapan air dapat
diperbesar. Untuk memperkuat guludan dapat ditanami dengan tanaman penguat teras
yang berupa jenis rumput pakan ternak dimana selain berfungsi sebagai penguat guludan
juga bisa menghasilkan bahan pakan ternak. Aliran permukaan yang tertahan di badan
gulud akan terinfiltrasi ke dalam tanah. Disamping itu sedimen yang tertumpuk di badan
gulud, secara perlahan dalam beberapa waktu akan membentuk teras bangku secara
alami.
6
Beberapa penelitian tentang manfaat penerapan teras gulud pada lahan usahatani
konservasi hortikultura di Sub-sub DAS Jeneberang hulu dengan tipe iklim B (curah hujan
2000-3000 mm/th), kemiringan lereng 23%, jenis tanah Latosol, pembuatan teras gulud
dengan penguat teras rumput setaria mampu menekan erosi 35,58%. Pada penelitian
usahatani konservasi hortikultura di dataran tinggi Malino dengan tipe iklim B (curah
hujan 2000-3000 mm/th), kemiringan lereng 15%, jenis tanah Latosol coklat kekuningan,
pembuatan teras gulud dengan penguat teras rumput setaria mampu menekan erosi
38,17 %.
B. Saluran Pembuangan Air (SPA)
Saluran pembuangan air merupakan suatu saluran drainase yang pembuatannya
dilakukan dengan memotong garis kontur dengan maksud menampung sisa air aliran
permukaan untuk selanjutnya disalurkan menuruni lereng. Saluran ini biasanya diperkuat
dengan penanaman rumput di kanan kiri dinding saluran dan permukaan saluran. Saluran
ini biasanya dilengkapi dengan bangunan terjunan yang berfungsi untuk memperlambat
kecepatan aliran. Bangunan terjunan ini dapat dibuat dari bambu atau batu kali. Dibawah
terjunan dibuat lubang sebagai tempat penampungan sedimen yang terbawa oleh aliran
air. Sedimen yang terbawa adalah lapisan tanah atas (top soil) yang mempunyai
kandungan bahan organik yang tinggi dengan tingkat kesuburan yang tinggi pula. Sisa-
sisa sedimen yang tertampung selanjutnya dikembalikan lagi ke areal pertanian sehingga
dapat menghemat penggunaan pupuk.
C. Pembuatan rorak
Rorak merupakan suatu bangunan KTA yang berupa lubang galian dalam tanah
sejajar kontur dan berfungsi sebagai peresapan aliran permukaan dan penampung
sedimen. Dengan adanya rorak laju aliran permukaan yang membawa sedimen dapat
tertahan. Pada umumnya rorak dibuat pada kemiringan di bawah 15 % dengan lebar 30
– 50 cm, dalam 50 – 60 cm dan panjang 2 meter. Barisan rorak dibuat sejajar kontur
dengan jarak antar baris tergantung pada kemiringan lereng. Semakin miring maka jarak
antar rorak semakin pendek. Pada umumnya jarak antar barisan rorak adalah 10 meter
dengan jarak antar rorak sejajar kontur 2 meter.
Rorak sangat efektif dalam mencegah erosi dan aliran permukaan. Rorak yang dibuat
sebanyak 200 buah/ha dengan volume rata-rata 1 m3 diperkirakan akan dapat
menampung/menghambat aliran permukaan sebanyak ± 200 m3/ha, atau setara dengan
20 mm air hujan. Rorak yang dikombinasikan dengan mulsa vertikal mampu mengurangi
erosi sampai 94% dari erosi pada lahan tanpa teknik konservasi tanah. Teknik tersebut
7
juga merupakan suatu cara pemanenan air yang tergolong efektif. Khusus pada lahan
agak curam (10-25%), slaah satu diantaranya dicerminkan oleh kemampuannya dalam
pemeliharaan lengas tanah (Noeralam, 2002).
D. Penanaman dalam strip (Strip plantation)
Penanaman dalam strip adalah suatu sistim bercocok tanam dengan cara menanam
beberapa jenis tanaman dalam strip-strip berselang-seling pada sebidang tanah dan
disusun memotong lereng atau searah kontur. Teknik ini bisa diterapkan pada kemiringan
sampai 6 %. Pada daerah-daerah yang tidak dimungkinkan dibangun teknik lain seperti
teras bangku (kedalaman tanah efektif yang rendah), maka penanaman tanaman tahunan
dalam strip merupakan alternatif yang sesuai. Sistem ini bisa digunakan untuk
melindungi suatu hamparan areal yang luas dengan lereng panjang yang telah diolah
menjadi areal luas yang terbuka dan rawan erosi. Strip tanaman bisa menggunakan
tanaman pangan atau tanaman semusim yang ditanam secara berselang-seling dengan
tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah yang ditanam secara rapat.
E. Jalur rumput (Grass barrier)
Jalur rumput adalah jalur tanaman rumput yang ditanam sejajar kontur yang
berfungsi menahan laju limpasan dan sedimen untuk diendapkan dan diresapkan ke
dalam tanah. Meskipun dari segi efektivitas masih berada di bawah teras bangku, tetapi
dari segi biaya, tenaga, maupun teknik jalur rumput ini bisa digunakan sebagai pilihan.
Disamping itu manfaat lain yang bisa diperoleh adalah hasil panenan rumput dapat
digunakan sebagai sumber pakan ternak. Teknik ini cocok diterapkan pada daerah
beriklim kering (curah hujan < 1500 mm/tahun) maupun daerah beriklim basah. Jenis
rumput yang digunakan mempunyai penyebaran perakaran vertikal yang dalam sehingga
daya saingnya terhadap tanaman utama menjadi rendah. Teknik ini tidak sesuai untuk
diterapkan di daerah yang kemiringan lerengnya tidak seragam, yang mengandung
batuan pada permukaannya, dan terdapat banyak parit. Untuk fungsi yang sama jalur
rumput ini bisa diganti dengan jalur tanaman penambat nitrogen (gamal, lamtoro, turi).
Jalur ini juga dapat difungsikan sebagai pagar hidup, penahan angin, sumber pakan
ternak, dan sumber kayu bakar.
Selain fungsi-fungsi di atas, dengan adanya jalur rumput atau tanaman penambat
nitrogen sejajar kontur ini diharapkan akan dapat terbentuk teras-teras alamiah sebagai
hasil dari pengendapan sedimen yang tertahan di bagian bawah jalur gamal. Dengan ini
juga diharapkan air hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah dapat meningkat. Dari hasil
penelitian yang dilakukan di daerah semi arid yaitu di Lembah Palu Sulawesi Tengah,
8
dengan adanya jalur gamal erosi dapat ditekan sampai 55 % dibandingkan kondisi awal
dan kemiringan lereng dapat diturunkan sampai 10 % dari lereng semula. Disamping itu
melalui pemangkasan secara periodik dapat dihasilkan hijauan rata-rata sebanyak 6
ton/ha/th (Nugroho, 2002).
F. Mulsa (Mulching)
Mulsa adalah penutupan lapisan tanah dengan berbagai substansi seperti tanaman
atau bahan kering organik yang bertujuan untuk mencegah penguapan kelembaban,
mengatur suhu dan mengendalikan gulma. Mulsa merupakan salah satu teknik konservasi
sederhana yang cukup efektif untuk lahan dengan kemiringan landai. Bahan mulsa yang
baik adalah bahan yang sukar melapuk. Jenis mulsa yang biasa digunakan antara lain
adalah jerami, batang rumput kering limbah pembersihan lahan, sisa batang jagung, dll.
Dengan menghamparkan bahan-bahan secara merata pada bidang olah, energi kinetik
hujan bisa diredam sehingga erosi bisa dikendalikan. Disamping itu dengan adanya mulsa
ini laju aliran dapat dikendalikan sementara laju infiltrasi meningkat. Penggunaan mulsa
vegetatif memiliki beberapa keuntungan diantaranya melindungi tanah dari pukulan air
hujan, mengurangi penguapan sehingga dapat mempertahankan kelembaban udara dan
suhu dalam tanah, menciptakan kondisi lingkungan yang baik bagi aktifitas
mikroorganisme tanah, setelah pulsa melapuk akan meningkatkan bahan organik tanah,
memperlambat aliran permukaan sehingga erosi tanah bisa ditekan (Rachman et al.,
2004). Hasil penelitian menunjukkan dengan adanya mulsa pada kedalaman tanah 5 cm
suhu maksimum tanah turun 6° C sampai 12° C dan pada kedalaman 10 cm turun 4° C
sampai 6° C, sedangkan suhu minimum naik rata-rata 1° C. Mulsa mampu
mempertahankan aerasi tanah lebih baik yaitu dengan jumlah pori makro sekitar 20
sampai 25% dibandingkan dengan kemerosotan jumlah pori makro tanah tanpa mulsa
setelah 6 bulan menjadi 8 sampai 11% (Arsyad, 1989)
G. Penanaman Tanaman Penutup Tanah (Cover Crop)
Tanaman penutup tanah berfungsi untuk mencegah erosi, menambah bahan organik
tanah dan memperbesar kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air hujan yang
jatuh. Ada empat jenis tanaman penutup tanah yang biasa digunakan, yaitu : Jenis
merambat, contohnya Centrosoma sp., Ageratum conizoides, Pueraria sp., jenis
perdu/semak contohnya Crotalaria sp., Acasia vilosa, jenis pohon contohnya Leucaena
leucephala, Leucaena glauca, Ablizia falcataria dan jenis kacang-kacangan contohnya
Vigna sinensis, Mucuna bracteata.
Salah satu jenis tanaman penutup tanah dari kelompok kacang-kacangan yang
sangat menjanjikan untuk meningkatkan produktifitas tanah dan mengurangi gulma
9
adalah Mucuna bracteata. Menurut Morton et al., (2002) tanaman jenis ini toleran
terhadap kondisi abiotik yang ekstrem antara lain kondisi kekeringan, kesuburan tanah
yang rendah, dan kemasaman tanah yang tinggi. Mucuna bracteata merupakan salah satu
jenis penutup tanah yang merambat dan bersifat tahunan, sudah ditanam secara luas
sebagai tanaman penutup tanah di perkebunan karet di Kerala, India Selatan. Keunggulan
tanaman penutup tanah ini adalah pertumbuhannya cepat, produksi biomassa tinggi,
tahan terhadap naungan, tahan terhadap kekeringan, menekan pertumbuhan gulma, dan
tidak disukai ternak. Produksi hijauan Mucuna bracteata dapat menghasilkan 9,9 ton/ha
(berat kering) dan produksi seresah dengan berat kering mencapai 7,3 ton/ha (Matthews,
1999)
IV. HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN TEKNIK KTA
Meskipun secara nyata sudah jelas keuntungan yang didapat dari penerapan teknik
KTA namun dalam kenyataannya sering ditemui hambatan-hambatan yang ditemui.
Diantara hambatan tersebut adalah :
A. Hambatan fisik
Hambatan fisik berupa kondisi lahan yang tidak memungkinkan atau sulit
diterapkannya teknik KTA. Kondisi lahan dengan tingkat kemiringan yang tinggi dan
curam sangat sulit untuk diterapkan teknik KTA sederhana. Pilihan aplikasi teknik KTA
pada kondisi lahan yang curam biasanya membutuhkan biaya yang tinggi. Dengan biaya
yang tinggi tersebut, tanpa didukung bantuan pemerintah petani tidak akan mampu
menerapkan teknik KTA tersebut
B. Luasan lahan
Luasan lahan yang sempit dan tersebar di berbagai lokasi merupakan salah satu
penghambat penerapan teknik KTA. Petani pada umumnya mempunyai luasan lahan
garapan yang sempit (dibawah 0,5 Ha) sehingga untuk mengaplikasikan teknik KTA (teras
bangku/teras gulud) perlu kerjasama dengan petani lain yang lahannya berbatasan
langsung. Tanpa kesadaran yang tinggi antar petani satu dan yang lain untuk dapat
bekerjasama aplikasi pada areal lahan garapan yang sempit sulit untuk diwujudkan.
C. Kendala ekonomi
Keterbatasan ekonomi juga merupakan salah satu hambatan dalam pelaksanaan KTA.
Dengan keterbatasan ekonomi maka petani dengan areal kepemilikan lahan yang sempit
akan berusaha untuk memperluas lahan garapan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah
konservasi. Pemanfaatan sempadan sungai dan areal dengan tingkat kemiringan lereng
10
yang tinggi untuk areal pertanian dapat menyebabkan kerusakan tanah (erosi,
sedimentasi dan longsor).
D. Kebiasaan pola bercocok tanam
Kebiasaan pola bercocok tanam yang salah dan sudah dilakukan secara turun
menurun merupakan salah satu hambatan pelaksanaan teknik KTA. Pada daerah hulu
secara umum kebiasaan dalam bertani sangat berpengaruh terhadap motivasi petani
dalam melaksanakan kegiatan KTA. Petani yang biasa menanam dalam baris tegak lurus
kontur (terutama untuk tanaman hortikultur seperti kentang maupun jenis umbi-umbian
lain) memerlukan waktu dan upaya penyadaran agar mau dan bersedia merubah pola
tanamnya menjadi sejajar kontur.
E. Keterbatasan informasi
Keterbatasan informasi dan kurangnya penyuluhan kepada para petani terutama petani
di daerah hulu dengan akses yang sulit merupakan salah satu hambatan pelaksaaan KTA.
Dengan kurangnya penyuluhan maka kesadaran petani terutama petani di daerah hulu
tentang pentingnya konservasi tanah sangat rendah. Petani lebih mengupayakan
lahannya dengan target untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek. Dengan demikian
pertimbangan-pertimbangan yang berkaitan dengan perlunya melestarikan produktivitas
lahan sangat minim.
F. Kelembagaan
Belum adanya lembaga khusus yang menangani konservasi sumberdaya di setiap
daerah merupakan salah satu kendala dalam pelaksanaan KTA. Pelaksanaan konservasi
tanah dan air ini harus dilakukan secara terpadu oleh institusi yang dimiliki oleh negara
agar ada arah kebijakan yang jelas. Pelaksanaan kegiatan pengendalian dan pencegahan
banjir apabila tidak dilakukan koordinasi dengan baik antar daerah dikuatirkan akan sia-
sia karena tidak adanya keterpaduan baik dalam tataran konsep maupun pelaksanaan.
Oleh karena itu pembentukan lembaga lintas daerah yang menjembatani kepentingan
antar daerah dalam pengelolaan daerah aliran sungai menjadi sangat penting untuk
dilakukan.
V. PENUTUP
Terjadinya degradasi kualitas lahan secara perlahan menyebabkan semakin
menurunnya produktivitas lahan. Teknik konservasi tanah dan air sederhana merupakan
salah satu teknik konservasi tanah dan air yang dapat menjadi alternatif dalam menjaga
kualitas lahan agar tetap produktif. Penerapan teknik konservasi tanah dan air sederhana
yang biayanya murah, mudah dalam pengerjaan dan secara efektif dapat
11
mencegah/menghambat terjadinya degradasi lahan diharapkan mampu memberikan
kontribusi terhadap peningkatan pendapatan petani dan membuat kegiatan konservasi
tanah menjadi lebih menarik minat bagi petani untuk diterapkan pada lahan garapan.