anestesia pada operasi laparoscopy

Download Anestesia Pada Operasi Laparoscopy

If you can't read please download the document

Upload: putu-wardani

Post on 05-Jul-2015

698 views

Category:

Documents


14 download

TRANSCRIPT

Anestesia pada operasi laparoscopy

Pendahuluan Prosedur bedah telah semakin maju dan modern untuk membantu pasien dalam mengurangi trauma, morbiditas, mortalitas, dan lama rawat inap di rumah sakit. Semua itu dengan hasil akhir berupa menurunnya biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh pasien. Seiring dengan meningkatnya pengetahuan tentang anatomi dan patofisiologi, telah mengantarkan berkembangnya suatu teknik endoscopy untuk prosedur diagnostik dan pembedahan. Diawali pada awal tahun 1970, beberapa kasus ginekologi didiagnosa dan diterapi dengan menggunakan teknik laparoscopy. Pendekatan endoscopy tersebut kemudian berkembang untuk cholecystectomy pada tahun 1980. Sejak diperkenalkan pertamakali untuk prosedur laparoscopy cholecystectomy, teknik laparoscopy telah semakin luas penggunaannya di seluruh dunia. Teknik tersebut telah terbukti memiliki beberapa keuntungan bila dibandingkan dengan prosedur biasa dengan insisi luka terbuka. Terjadinya ruang pneumoperitonium dan perubahan posisi pasien pada prosedur laparoscopy menimbulkan perubahan patofisiologi pada pasien yang akan memerlukan majemen anestesia yang khusus. Durasi prosedur laparoscopy, resiko terjadinya cedera organ viscera, dan kesulitan mengevaluasi perdarahan yang terjadi selama operasi menyebabkan anestesia pada operasi laparoscopy memiliki potensi beresiko tinggi. Pemahaman tentang patofisiologi akibat peningkatan tekanan intraabdominal sangat penting bagi anesthesiologist sehingga dapat mencegah perubahan tidak menguntungkan bagi pasien dan memberikan respon yang tepat terhadap segala hal yang dapat merugikan pasien yang menjalani prosedur laparoscopy. Perubahan pada sistem saraf pusat Otak sensitif terhadap perubahan PCO2. Peningkatan kadar CO2 mempunyai efek depresi korteks serebri, dengan kadar CO2 tinggi (20-30 % diatas nilai normal) dapat menstimulasi pusat hipotalamus subkortikal yang berakibat meningkatnya eksitabilitas korteks dan kejang. Keadaan hipereksitabilitas ini diperberat dengan pelepasan hormon dari korteks dan medula adrenal akibat sekunder dari stimulasi hiperkarbia pada hipotalamus.

1

CO2 dapat melewati sawar darah otak dan membran sel otak sehingga dapat mempengaruhi metabolisme sel otak. Perubahan PCO2 akan menyebabkan perubahan yang cepat pada PH cairan serebrospinal. CO2 merupakan faktor penting dalam regulasi aliran darah otak (CBF). Hubungan antara PCO2 dengan CBF akan tetap linea pada PCO2 20-100 mmHg, vasodilatasi pembuluh darah serebral akan terjadi secara maksimal pada PCO 2 120 mmHg. CBF normal berkisar 20 % dari cardiac output atau 50 ml/100 gr/menit. Setiap peningkatan PCO2 1 mmHg pada PCO2 antara 25-100 mmHg akan meningkatkan CBF sebesar 2-4 %. Hiperkarbia akan menurunkan tahanan vaskular serebral, mengakibatkan CBF meningkat. Keadaan hiperkarbia menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial, hal ini kemungkinan dari efek sekunder vasodilatasi pembuluh darah otak. Bila pasien diposisikan trendelenburg akan terjadi kongesti vena pada kepala dan leher. Hal tersebut diperparah dengan adanya peningkatan tekanan intraabdominal dan intrathorax.

Perubahan pada sistem kardiovaskular Keadaan hiperkarbia mempunyai efek yang kompleks pada sistem sirkulasi dan kadang tampak kontradiktif. Pada tingkat seluler, hiperkarbia merupakan depresor langsung pada kontraktilitas dan laju denyut miokard, dan merupakan stimulan iritabilitas miokard serta aritmia. Secara umum hal tersebut dapat juga sebagai akibat dari menurunnya PH. Efek langsung hiperkarbia pada pembuluh darah yang denervasi adalah menghilangnya respon terhadapa katekolamin, vasodilatasi, terutama pada pembuluh darah vena berkibat venous pooling, menurunnya venous return, menurunnya cardiac output. Efek vasodilatasi hiperkarbia merupakan perkecualian pada pembuluh darah pulmonar, yang terjadi adalah vasokonstriksi. Terjadinya vasokonstriksi pada pembuluh darah pulmonar sebenarnya merupakan akibat dari asidosis karena resistensi pembuluh darah pulmonar tidak berubah walaupun pasien mengalami hiperkarbia selama PH masih dipertahankan konstan akibat kompensasi tubuh. Efek langsung atau lokal keadaan hiperkarbia pada pasien sering disamarkan oleh berbagai perubahan sistemik diantaranya sekunder dari stimulasi sistem saraf pusat dan sistem simpatoadrenal. Bila efek hiperkarbia sudah tampak, hasil akhirnya akan berupa peningkatan cardiac output, laju jantung, kontraktilitas miokard, tekanan darah, tekanan vena sentral, vasokonstriksi pembuluh darah pulmonar, dan menurunnya resistensi perifer. Meningkatnya cardiac output diatas 50 % tidak menaikkan tekanan darah lebih lanjut karena2

menurunnya resistensi pembuluh darah perifer dan meningkatnya aliran darah ke serebral dan sirkulasi koroner. Efek stimulasi dari hiperkarbia akan terjadi hingga PCO 2 90 mmHg, diatas nilai tersebut akan mengakibatkan respon yang depresi.

Pada manusia normal yang teranestesi bernafas dengan CO2 inspirasi 7-15 % akan terjadi perubahan sistemik berupa efek stimulasi akibat meningkatnya kadar epinephrine dan norepinephrine dalam plasma. Respon kardiovaskular terhadap inhalasi CO2 akan berupa hipotensi bila respon simpatoadrenal dihambat dengan blok subarachnoid, ganglioplegic, adrenergik bloker. Respom stimulasi juga akan dicegah dengan anestesia umum. Hiperkarbia dapat menyebabkan aritmia bila disertai dengan pemberian epinephrine atau halothane. Selain dua kondisi tersebut, hiperkarbia sendiri tidak aritmogenik kecuali sudah terjadi hipoksia. Efek secara menyeluruh dari hiperkarbia terhadap sistem kardiovaskular dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pasien sehat (ASA I) akan lebih jarang menunjukkan perubahan ekstrem akibat hiperkarbia dibandingkan dengan pasien ASA III. Hal lain berupa durasi operasi yang singkat, posisi head-up, tekanan intraabdominal rendah, dan prosedur intraperitoneal, akan membatasi respon fisiologis dan metabolik dalam rentang normal. Pada pasien dengan fungsi kardiovaskular terbatas, keadaan insuflasi peritoneal dapat mengakibatkan peningkatan signifikan pada kerja jantung. Pada situasi tersebut, dapat dilakukan monitor transesofageal ekokardiografi sehingga memberikan estimasi fungsi ventrikel kiri secara noninvasif. Keadaan aritmia seperti bradikardia, ritme nodal, bahkan asystole dapat terjadi saat distensi pertoneal secara cepat dan stimulasi vagal. Secara umum, tekanan darah, nadi,3

cardiac output, dan tekanan vena sentral akan meningkat seiring dengan peningkatan tekanan intraabdominal hingga 15 mmHg. Pada tekanan intraabdominal 20-30 mmHg, akan terjadi penurunan tekanan darah, cardiac output, dan tekanan vena sentral akibat penekanan pada vena kava inferior dan menurunnya venous return.

Perubahan pada sistem respirasi Penciptaan ruang pneumoperitonium dengan cara insuflasi CO2 ke ruang intraperitoneal akan mengakibatkan berbagai perubahan terhadap ventilasi dan respirasi pasien yang menjalani operasi laparoscopy. secara garis besar dapat terjadi 4 komplikasi terhadap respirasi; emfisema subkutan CO2, pneumothorax, intubasi endobronchial, emboli gas.

4

Pneumoperitonium akan menurunkan compliance thoracopulmonary. Compliance paru akan menurun sebesar 30 50 % pada pasien sehat, obese, dan pasien dengan status fisik ASA III IV, namun bentuk dari pressure volume loop tidak berubah. Setelah pneumoperitonium terbentuk dan konstan, maka compliance paru tidak terpengaruh oleh perubahan posisi pasien (yang masih dalam toleransi). Peningkatan ventilasi semenit untuk menghindari keadaan hipercapnia intraoperatif juga tidak mempengaruhi compliance paru pada kondisi pneumoperitonium yang telah terbentuk konstan. Hal lain yang dapat terjadi adalah menurunnya Functional Residual Capacity karena elevasi dari diafragma dan perubahan distribusi ventilasi/perfusi karena meningkatnya tekanan jalan nafas. Meningkatnya tekanan intraabdominal hingga 14 mmHg dengan posisi head down atau head up sebesar 10 20 derajat tidak merubah secara signifikan ruang rugi fisiologis atau pintasan fisiologis pada pasien yang sehat (tanpa masalah pada kardiovaskular).

Perubahan pada sistem neuroendokrin Tekanan intraabdominal yang meningkat berlebihan dan hiperkarbia dapat mengaktifkan aksis simpatoadrenal, yang mengakibatkan meningkatnya kadar epinephrine, norepinephrine, renin, kortisol, aldosteron, ADH, atrial natriuretic peptide. Pada pasien yang tidak terpengaruh anestesi umum dengan posisi trendelenburg, akan terjadi peningkatan sekresi atrial natriuretic peptide. Hal ini disebabkan respon terhadap peningkatan venous return dan peregangan atrial. Sedangkan pada pasien yang mengalami pneumoperitonium, sekresi atrial natriuretic peptide akan menurun karena gangguan pada venous return.

5

Perubahan pada sistem renal Pada beberapa penelitian tentang laparoscopy, didapatkan keadaan oliguria pada pasien yang menjalani operasi laparoscopy meskipun hidrasi cairan telah cukup. Hal tersebut dicurigai karena perubahan neurohormonal akibat sekunder dari hiperkarbia dan meningkatnya tekanan intraabdominal saat insuflasi. Namun faktor prerenal lainnya seperti ; hipovolemia, ventilasi tekanan positif, dan Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) tetap harus diperhatikan. Adanya stimulasi simpatis menyebabkan pelepasan katekolamin, yang berefek menurunnya aliran darah ke kortek ginjal dengan akibat lanjut berupa shunting ke medula adrenal, konstriksi arteriol aferen glomerular, dan meurunnya glomerular filtration rate (GFR). Didapatkan data bahwa pada tekanan intraabdominal lebih dari 15 mmHg, maka aliran darah ke kortek ginjal akan menurun sebesar 60 % dan terjadi penurunan produksi urine sebesar 50 % yang sifatnya reversibel. Pada gasless laparoscopy, tidak terjadi penurunan produksi urine dengan pengangkatan dinding abdominal dengan kekuatan penarikan 15 mmHg. Maka didapatkan bahwa adanya ruang pneumoperitonium dengan tekanan intaabdominal yang meningkat akan menyebabkan penurunan pada perfusi ginjal.

Perubahan pada sistem gastrointestinal Meningkatnya tekanan intraabdominal pada operasi laparoscopy menyebabkan menurunnya perfusi, meningkatnya Sistemic Vascular Resistence (SVR), dan dapat menyebabkan hipoksia usus pada tekanan intraabdominal yang tinggi. Pada saat pelepasan tekanan intraabdominal, residu CO2 akan menyebabkan vasodilatasi vaskular, menyebabkan masuknya CO2 tambahan ke aliran darah. Terjadinya PONV pada operasi laparoscopy disebabkan oleh efek gabungan dari meningkatnya tekanan intraabdominal dan regangan peritonium karena insuflasi. Aktivitas mioelektrik dan pemulihan ileus didapatkan lebih cepat pada operasi laparoscopy dibandingkan operasi terbuka konvensional.

Evaluasi preoperative dan premedikasi Keadaan pneumoperitonium dihindari pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial (tumor serebri, hidrosefalus, cedera kepala), hipovolemia, ventricular peritoneal shunt, dan peritoneojugular shunt. Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus

6

dievaluasi dengan menyeluruh untuk mengantisipasi perubahan hemodinamik akibat adanya pneumoperitonium dan perubahan posisi pasien, terutama pada pasien dengan fungsi ventrikel yang buruk. Pasien dengan gagal jantung kongestif dan insufisiensi katup terminal lebih sering menimbulkan komplikasi berat dibandingkan dengan pasien penyakit jantung iskemik yang menjalani prosedur laparoscopy. untuk pasien tersebut harus dievaluasi keuntungan postoperatif menjalani prosedur laparoscopy bila dibandingkan dengan laparotomy. Gasless laparoscopy merupakan alternatif yang baik bagi pasien dengan masalah pada jantung. Pasien dengan gagal ginjal memerlukan perhatian khusus untuk mengoptimalkan hemodinamik selama menjalani laparoscopy. hal ini disebabkan adanya efek samping peningkatan tekanan intraabdominal (pneumoperitonium) terhadap fungsi ginjal dan obat yang nefrotoksik harus dihindari. Prosedur laparoscopy lebih menguntungkan daripada laparotomy karena kejadian disfungsi respirasi postoperatif lebih rendah. Selain efek menguntungkan, tetap harus diperhatikan resiko terjadinya pneumothorax selama pneumoperitonium dan tidak adequatenya pertukaran gas akibat VA/Q mismatch. Premedikasi disesuaikan dengan kebutuhan, seperti durasi laparoscopy dan cepat pulih dari ruang pemulihan untuk kebutuhan outpatient. Pemberian NSAID preoperatif akan membantu mengurangi nyeri postoperatif dan mengurangi kebutuhan opioid. Pemberian clonidine dan dexmedetomidine preoperatif akan menurunkan stress response intraoperatif dan meningkatkan stabilitas hemodinamik.

Posisi pasien dan pemantauan selama laparoscopy Pasien harus diposisikan dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya cedera saraf; bantalan dapat digunakan untuk mencegah terjadinya penekanan serat saraf, bantalan bahu juga sebaiknya diperhatikan. Perubahan posisi pasien sebaiknya perlahan, progresif, dan tidak melebihi 15 hingga 20 derajat untuk mengurangi perubahan hemodinamik dan respirasi yang mendadak. Posisi dari pipa endotrakeal harus dievaluasi setiap merubah posisi pasien. Induksi dan pelepasan gas untuk menciptakan ruang pneumoperitonium harus perlahan dan progresif. Ventilasi positif melalui masker wajah sebelum intubasi dapat mengisi lambung dengan gas, sehingga nasogastrik tube sebaiknya dipasang untuk menghindari resiko7

terjadinya perforasi gaster saat insersi trocar terutama pada operasi laparoscopy abdomen bagian atas. Hal yang sama juga dilakukan pada kandung kencing saat operasi laparoscopy daerah pelvis dan pada prosedur laparoscopy yang lama. Selama laparoscopy memerlukan pemantauan khusus seperti tekanan darah arterial, laju jantung, EKG, capnometry, dan pulse oxymetry. Semua instrumen tersebut memberikan informasi yang penting untuk deteksi dini terjadinya aritmia, emboli gas, emfisema subkutan CO2, dan pneumothorax. Namun semua itu hanya mendeteksi tanda tidak langsung dari perubahan hemodinamik akibat pneumoperitonium. Pada pasien dengan penyakit jantung memerlukan monitor invasif namun interpretasi monitor invasif seperti central venous pressure dan pulmonary artery pressure dapat mengalami kesulitan karena adanya peningkatan tekanan intrathorax. Bila memungkinkan dapat ditunjang dengan pemeriksaan transesophageal echocardiography.

Tehnik anestesia Anestesia umum, lokal, dan regional dapat dilakukan dan aman untuk laparoscopy

Anestesia umum Tehnik anestesi umum dengan intubasi endotrakeal dan ventilasi kendali merupakan tehnik yang paling aman serta direkomendasikan untuk pasien rawat inap dan prosedur laparoscopy yang lama. Selama ada pneumoperitonium, ventilasi kendali harus disesuaikan untuk mempertahankan PETCO2 sekitar 35 mmHg. Pada studi klinis, hal ini dapat dicapai dengan meningkatkan ventilasi semenit sebesar 15 25 %, hal ini menjadi perkecualian bila terjadi emfisema subkutan. Peningkatan laju respirasi lebih dipilih daripada peningkatan volume tidal pada pasien dengan COPD dan pada pasien dengan riwayat spontaneus pneumothorax atau bullous emfisema untuk menghindari pengembangan alveolar dan resiko terjadinya pneumothorax. Pemberian obat vasodilator seperti nicardipine, 2-adrenergik agonist, dan fentanil dapat mengurangi perubahan hemodinamik akibat pneumoperitonium dan dapat membantu pada majemen pasien dengan penyakit jantung. Pemilihan obat induksi tidak terdapat kontraindikasi mutlak, namun penggunaan propofol telah terbukti memberikan efek samping postoperatif yang lebih minimal. Tekanan intraabdominal dipantau setiap saat,

8

bila memungkinkan dipertahankan tekanan intraabdominal serendah mungkin dan tidak melebihi 20 mmHg untuk mengurangi perubahan pada hemodinamik dan respirasi. Peningkatan tekanan intraabdominal dapat dihindari dengan menjaga kedalaman anestesia yang memadai. Penggunaan pelumpuh otot bukan merupakan suatu kewajiban. Operasi laparoscopy memiliki potensi yang tinggi akan terjadinya reflek vagal, sehingga atropin harus segera tersedia untuk mengatasinya. Penggunaan Laryngeal Mask Airway (LMA) merupakan alternatif yang menarik untuk manajemen anestesia umun pada operasi laparoscopy selain dengan intubasi endotrakea dengan keuntungan berupa trauma jalan nafas yang lebih minimal. Walaupun LMA tidak melindungi jalan nafas dari aspirasi asam lambung, LMA dapat memberikan ventilasi kendali dan pemantauan PETCO2 yang akurat. Namun LMA tidak menjamin kedapnya jalan nafas pada tekanan jalan nafas lebih dari 20 mmHg akibat menurunnya compliance thoracopulmonary saat adanya pneumoperitonium. Hal tersebut membatasi penggunaan LMA untuk ventilasi kendali pada pasien ASA I-II dan tidak obese. Anestesia umum pada pasien dengan nafas spontan tanpa intubasi endotrakeal dapat dilakukan dengan aman dan keuntungan berupa tidak iritasi terhadap trakea, tanpa pemberian obat pelumpuh otot. Namun laporan dari Centre for Disease Control and Prevention menyatakan bahwa 1/3 dari kasus kematian saat operasi laparoscopy merupakan komplikasi anestesia akibat anestesia umum tanpa intubasi endotrakeal. Sehingga tehnik tersebut harus dibatasi pada prosedur laparoscopy yang singkat, menggunakan tekanan intraabdominal yang rendah, dan perubahan posisi yang minimal. Pada kasus tersebut penggunaan LMA lebih direkomendasikan untuk operasi laparoscopy dengan anestesia umum nafas spontan.

Lokal dan regional anestesia Lokal anestesia memberikan beberapa keuntungan; pulih yang lebih cepat, rendahnya mual muntah postoperasi (PONV), diagnosis dini bila terjadi komplikasi, dan perubahan hemodinamik yang minimal. Namun tehnik ini memerlukan kemampuan bedah yang memadai dan dapat berakibat kecemasan, nyeri, dan tidak nyaman saat manipulasi organ abdomen atau pelvis. Sering tehnik lokal anestesia disuplementasi dengan sedasi intravena. Kombinasi dari efek sedasi dan adanya pneumoperitonium berakibat hipoventilasi dan desaturasi oksigen arterial. Keberhasilan operasi laparoscopy dengan lokal anestesia

9

memerlukan kerjasama dan relaksasi dari pasien, staff ruang operasi, dan kemampuan ahli bedah yang memadai. Tekanan intraabdominal sebaiknya dipertahankan serendah mungkin untuk mengurangi nyeri dan gangguan ventilasi. Anestesia regional seperti tehnik epidural dan spinal anestesia dapat digunakan pada operasi laparoscopy ginekologi tanpa gangguan berarti pada ventilasi. Laparoscopy cholecystectomy telah berhasil dilakukan pada pasien dengan COPD dengan tehnik epidural anestesia. Secara umum lokal anestesia dan epidural anestesia memiliki keuntungan dan kerugian yang hampir sama. Regional anestesia memberikan keuntungan berupa meminimalkan penggunaan sedatif dan narkotik, relaksasi otot yang adequate, dan dapat dilakukan pada operasi laparoscopy selain steril (ligasi tuba). Nyeri transfer pada bahu akibat iritasi diafragma dan rasa tidak nyaman akibat distensi abdomen masih dapat timbul pada penggunaan tehnik epidural anestesia murni akibat blokade yang tidak memadai. Blokade sensorik yang luas (T4 L5) diperlukan untuk operasi laparoscopy yang memadai. Penambahan adjuvan opioid dan clonidine dapat memberikan analgesia yang lebih adequate. Efek hemodinamik dari pneumoperitonium pada operasi laparoscopy dengan epidural anestesia masih belum dipelajari dengan jelas. Secara teori adanya blokade simpatis akan memfasilitasi timbulnya reflek vagal, vasodilatasi dan tanpa ventilasi positif dapat mengurangi perubahan hemodinamik selama adanya pneumoperitonium. Adanya kerjasama dari pasien, kemampuan ahli bedah yang memadai, rendahnya tekanan intraabdominal, dan perubahan posisi pasien yang minimal; semua itu akan membantu suksesnya operasi laparoscopy dengan epidural anestesia. Regional anestesia dapat memberikan analgesia yang adequate pada gasless laparoscopy, sehingga menghindari segala efek samping pneumoperitonium CO2.

Pemulihan dan pemantauan postoperatif Pemantauan hemodinamik harus terus dilakukan hingga pasien tiba di ruang pulih karena perubahan hemodinamik akibat pneumoperitonium terutama terjadinya peningkatan tahanan vaskular sistemik akan bertahan lebih lama daripada pelepasan / hilangnya pneumoperitonium. Keadaan hiperdinamik setelah operasi laparoscopy dapat menyebabkan terjadinya keadaan yang mengancam jiwa pada pasien dengan penyakit jantung. Meskipun kejadian disfungsi pulmonar postoperatif laparoscopy lebih rendah daripada operasi standar, PaO2 akan tetap menurun setelah laparoscopy cholecystectomy. Sehingga peningkatan10

kebutuhan O2 akan terjadi setelah operasi laparoscopy. walaupun operasi laparoscopy dianggap sebagai operasi minor, pemberian O2 postoperatif harus tetap dilakukan pada semua pasien. Pada periode awal postoperatif akan didapatkan laju respirasi dan PETCO 2 pasien dengan bernafas spontan lebih tinggi pada pasien setelah laparoscopy dibandingkan dengan operasi biasa. Pencegahan dan terapi terhadap mual, muntah, nyeri postoperatif sangat penting untuk dilakukan, terutama pada pasien rawat jalan setelah operasi laparoscopy. Pemeriksaan foto thorax sebaiknya dilakukan segera setelah operasi bila ditemukan distress pernafasan, emfisema subkutan, curiga terjadi pneumothorax, operasi yang lama, lokasi operasi retroperitoneal, pasien oliguria, tekanan intraabdominal lebih besar dari 15 mmHg, dan pada pasien dengan riwayat penyakit jantung atau penyakit paru. Bila dipasang arterial line, tetap dipertahankan hingga pasien stabil dan didapatkan nilai analisa gas darah yang normal. Dilakukan pemantauan produksi urine hingga pasien stabil dengan produksi urine normal (1 ml/kgBB/jam), dan diperiksa kemampuan pasien buang air kecil setelah kateter dilepas.

Komplikasi laparoscopy Cedera akibat instrumen laparoscopy Pemasangan jarum Veress atau trocar yang salah dapat menyebabkan perdarahan dinding abdomen, robekan pembuluh darah besar, robekan organ viscera, emfisema subkutan, peritonitis, infeksi, herniasi. Cedera thermal dapat terjadi pada penggunaan kauter atau laser. Staples dan clip dapat menjepit serat saraf.

Komplikasi akibat pneumoperitonium Peningkatan tekanan intraabdominal dapat mengakibatkan iskemia usus, omentum, herniasi usus, regurgitasi gaster, penekanan pada vena cava, menurunnya venous return, stasis pada vena di ekstremitas bawah, hipotensi, meningkatnya tekanan intrathorax, emfisema mediastinum dan emfisema subkutan, pneumothorax, barotrauma, emboli gas CO2, atelektasis, mual dan muntah, bradiaritmia, nyeri bahu dari retensi CO2.

11

Efek absorpsi sistemik CO2 Terdapat berbagai efek sistemik akibat dari absorpsi CO2, diantaranya ; hiperkarbia, asidosis, meningkatnya stimulasi simpatoadrenal, hipertensi, takikardia, meningkatnya tekanan intrakranial. Aritmia dapat terjadi akibat hiperkarbia, hipoksia, dan juga akibat kombinasi dengan halothane.

Posisi Trendelenburg Komplikasi akibat posisi trendelenburg, diantaranya ; kongesti vena di kepala dan leher, peningkatan tekanan vena sentral, peningkatan tekanan intrakranial, perdarahan retina, retinal detachment, peningkatan tekanan intraokular, glaukoma, intubasi endobronkial dan hipoksemia, ventilasi-perfusi mismatch, neuropati, edema konjungtiva, edema jalan nafas, cedera saraf.

Komplikasi lanjut Berbagai komplikasi lanjut dapat terjadi akibat laparoscopy, antara lain ; obstruksi usus akibat cedera, herniasi usus dan omentum melalui tempat tusukan trocar, deep vein thrombosis, cedera saraf, metastase karsinoma dari tempat tusukan trocar.

12

Manajemen Nyeri Pada operasi laparoscopy didapatkan intensitas nyeri lebih ringan dan lama nyeri lebih singkat bila dibandingkan dengan operasi terbuka konvensional. Namun nyeri tersebut dapat diklasifikasikan dalam nyeri berat terutama pada periode awal pasca operasi. Nyeri yang didapat lebih merupakan nyeri visceral, dengan tambahan dapat berupa nyeri pada bahu yang merupakan efek sekunder dari iritasi diafragma. Nyeri pada bahu tersebut lebih sering terjadi pada operasi laparoscopy dan dapat berlangsung hingga 4 hari pasca operasi. Terdapat korelasi antara intensitas nyeri bahu dengan volume gas residu subdiafragmatika. Dengan alasan tersebut, penting untuk diperhatikan segala usaha untuk menghilangkan sebanyak mungkin CO2 residu pada akhir operasi laparoscopy. Keparahan nyeri juga berkorelasi dengan durasi operasi laparoscopy.

13

LAPORAN KASUS

I. EVALUASI PRA ANESTHESIA a. Identitas Pasien Nama Umur Jenis Kelamin Suku Agama Alamat No CM Diagnosis Tindakan MRS : Faranita Wijaya : 29 tahun : Wanita : Jawa : Kristen : Renon Denpasar : 01215172 : Cholelithiasis : Laparoscopy Cholecystectomy : 23-7-2008

b. Anamnesis (tgl 23/ 07/2008) Pasien mengeluh nyeri pada perut kanan atas, nyeri dirasakan seperti tertusuk, nyeri dirasakan menjalar seperti terasa tembus ke punggung. Keluhan nyeri tersebut dirasakan mulai timbul sejak 2 minggu. Riwayat penyakit sistemik lainnya disangkal, riwayat alergi disangkal. Penderita tidak minum alkohol, merokok dan atau kebiasaan menggunakan obat-obatan.

c.

Status Present Kesadaran Respirasi Tekanan Darah Nadi Suhu aksila : Komposmentis : 14 x / menit : 120/70 mmhg : 78 x / menit : 36,6 celcius 14

Berat Badan Tinggi Badan

: 65 kg : 160 cm

d. Pemeriksaan Fisik atas Normal Ginjal Metabolik Hematologi Otot rangka : Normal : Normal : Normal : Mallampati I, Fleksi Defleksi Sistem saraf pusat Sirkulasi Respirasi Saluran cerna Hepatobilier : Normal : Normal : Normal : Normal : Nyeri (+) pada perut kanan

e. Pemeriksaan Penunjang Sistem Hematologi Wbc Hgb Hct Plt BT CT PT : 16,0 10 / L : 13,1 g/dl : 38,8 % : 513 10 / L : 100 : 830 : 10,6

APPT : 37,5 INR : 0,9

Sistem Hepatobilier ALB AST ALT : 3,7 g/dl : 16 IU/L : 35 IU/L

15

TBil DBil

: 0,54 : 0,06

IndirectBil : 0,48

Sistem Metabolik Na K Cl : 136,2 mmol/L : 4,6 mmol/L : 107,1 mmol/L

Sistem renal Bun Crea Ureum : 8,9 mg/dl : 0,83 mg/dl, CCT 60,25 ml/menit : 19,0 mg/dl

USG Abdomen : tampak batu multiple dengan diameter 2,2 cm kesan : kolelitiasis multiple dan kolesistisis

II. PERSIAPAN PRA ANESTHESIA a. Persiapan di Ruang Perawatan Persiapan Psikis Memberikan penjelasan kepada penderita dan keluarganya

tentang pelaksanaan anestesi, mulai dari persiapan di ruang perawatan, ruang operasi hingga kembali ke ruang perawatan Persiapan fisik Mengevaluasi vena untuk pemasangan iv line. Merencanakan pemasangan IV line dan pemberian cairan

pengganti puasa sesaat mulai puasa.

Lain-lain Memeriksa surat persetujuan operasi

16

Persiapan pakaian dan alat-alat khusus disposable telah disediakan

di ruang operasi IBS.

b.

Persiapan di Kamar Operasi darah Mempersiapkan obat dan alat anestesia Menyiapkan obat resusitasi Penderita diberikan premedikasi midazolam 2 mg IV, Memakai pakaian, sarung tangan, masker, sepatu khusus Menyiapkan mesin anestesi dan sirkuit nafas Menyiapkan alat pantau EKG, Pulse Oksimetri dan tekanan

petidin 25 mg, ondansetron 4 mg di ruangan persiapan, langsung menuju kamar operasi. Memasang monitor dan IV line sudah terpasang di ruang Mengatur posisi penderita dan meja operasi. Mengevaluasi ulang dan memastikan semua sesuai rencana perawatan, berikan cairan pengganti.

III. PENGELOLAAN ANESTHESIA Jenis Anesthesia : Anesthesia umum

Teknik Anesthesia : Anesthesi dengan pemasangan Oro-trakhea-Tube, nafas kendali Penderita posisi telentang Preoksigenisasi selama 5 menit Induksi dengan propofol 200 mg Fasilitas intubasi dengan atracurium 30 mg Laryngoskopi, dan intubasi dengan pipa endotrakhea-tube no. 7,0 Pemeliharaan dengan O2 ; N2O; Isoflurane (2 ; 2 ; 1,2 Vol %) Pasang packing Operasi dimulai pukul 08.45 WITA Operasi selesai pukul 10.30 WITA

17

Respirasi Posisi Durante Operasi

: Kendali : Telentang : Nadi berkisar antara 60 - 100 x / menit, Saturasi O2 98 100 % Tekanan darah sistolik antara 100 - 140 mmhg Tekanan darah diastolik antara 70 - 90 mmhg Tekanan intraabdominal antara 12-15 mmHg Produksi urine 400 cc

Lama Operasi

: 1 jam, 45 menit

Akhir pembedahan : TD 110/60 mmhg Nadi 68 x/menit RR 16 x/menit PONV - , Shivering Analgetik post operasi : drip analgetik petidin 150 mg : ketorolac 60 mg, 20 tetes mikro/menit Rekapitulas : Jumlah cairan kristaloid masuk RL 1300 ml Perdarahan 200 ml Kebutuhan cairan tiap jam 83,33 ml Puasa 8 jam 666,64 ml Aldrette skor :9

IV. PASCA OPERASI Di Ruang Pemulihan Aldrette skor : 10

(TD 110/70 mmhg, Nadi 70 x/menit)

18

Pukul 11.30 memindahkan penderita ke ruang perawatan Hangsoka 3.

19

Pembahasan Pada kasus diatas yaitu Cholelithiasis yang akan dilakukan Laparoscopy Cholecystectomy dilkelola dengan anestesia umum inhalasi dengan pemasangan pipa endotrakea nafas kendali. Komponen anestesia yang diperlukan yaitu ; hipnotik, analgesia, dan relaksasi. Komponen relaksasi maksimal diperlukan untuk visualisasi lapangan operasi yang optimal karena menggunakan insuflasi pneumoperitonium dengan gas CO2. Pada kasus ini diberikan kombinasi N2O : O2 yaitu 2L : 2L dengan pertimbangan penggunaan gas CO2 sebagai gas untuk membuat ruang pneumoperitonium, sehingga oksigenasi perlu diperhatikan yang cukup tinggi untuk mencegah terjadinya hiperkarbia. Ventilasi pasien diperhatikan agar normoventilasi dengan memperhatikan perubahan perubahan yang dapat timbul pada sistem respirasi selama operasi laparoscopy. Monitoring yang digunakan adalah monitor tekanan darah non-invasif, pulse oksimeter, EKG, suhu, dan kateter urine. Perkiraan kehilangan darah dilakukan dengan mengukur volume dalam tabung penghisap dan visualisasi langsung pada lapangan operasi melalui kamera laparoscopy. Pasca operasi pasien diekstubasi sadar dan diberikan O2 konsentrasi tinggi 6 8 L/menit dengan sungkup muka. Pemberian O2 sungkup muka tetap dilanjutkan hingga di ruang pemulihan dan pasien siap dipindahkan ke ruangan. Di ruang pulih tetap dilakukan pemntauan tanda vital dengan mengukur tekanan darah non-invasif, laju nadi, laju nafas, kesadaran, dan produksi urine melalui kateter. Setelah didapatkan pemantauan di ruang pulih dalam keadaan normal, pasien dipindahkan ke ruang perawatan. Di ruang perawatan pasien sadar baik dengan tanda tanda vital normal tanpa keluhan mual muntah pasca operasi. Pasien menjalani rawat inap 2 hari pasca operasi dan diperbolehkan pulang pada hari ke-3.

20

DAFTAR PUSTAKA

1. Morgan GE. Clinical Anesthesiology. 4th ed. McGraw-Hill 2006 2. Miller R.D., Anesthesia, 6th ed, Churchchill Livingstone, Philadelphia. 2005 3. Stoelting RK. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice. 4th ed. Lippincot

Williams & Wilkins. Philadelphia 20064. Katzung BG. Basic & Clinical Pharmacology. 9th ed. McGraw-Hill. Boston 2004 5. Guyton AC, John EH. Textbook of Medical Physiology. 9th ed. W.B Saunders

Company. 19966. Ganong WF. Review of Medical Physiology. Lange. 17th ed. Appleton Inc. 1995 7. Yao & Artusio. Anesthesiology : Problem-Oriented Patient Management. 5th ed.

Lippincott Williams & Wilkins. Philadelphia. 20038. Duke J. Anesthesia Secrets. 3rd ed. Mosby Elsevier. Philadelphia. 2006 9. Girish P. Joshi MB. Anesthesia for Laparoscopic Surgery. Can J Anaesth 2002; 49: 1-

5 10. Vaghadia H, Collins L, Sun H. Selective Spinal Anesthesia for Outpatient Laparoscopy. Can J Anaesth 2001; 48: 273-278 11. Rajiv R, Axelsson H, Oberg A, Jansson E. Diaphragmatic Activity after Laparoscopic Cholecystectomy. Anesthesiology 1999; 91: 406-13

21

22