anestesi hevi

53
BAB I PENDAHULUAN Appendisitis akut yang merupakan keadaan akut abdomen maka diperlukan tindakan yang segera maka kecepatan diagnosis sangat diperlukan. Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pengobatan untuk apendisitis akut adalah pembedahan, appendiktomi. Setiap pasien yang akan menjalani tindakan invasif, seperti tindakan bedah akan menjalani prosedur anestesi. Anestesi sendiri secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama anestesi total, yaitu hilangnya kesadaran secara total, anestesi lokal, yaitu hilangnya rasa pada daerah tertentu yang diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh), anestesi regional yaitu hilangnya rasa pada bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf yang berhubungan dengannya. Pembiusan lokal atau anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya melumpuhkan sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan kesadaran. Obat bius jenis ini bila digunakan dalam operasi pembedahan, maka setelah selesai operasi tidak membuat lama waktu penyembuhan operasi. 1

Upload: hevi-eka-tarsum

Post on 23-Dec-2015

39 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

anestesi

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Appendisitis akut yang merupakan keadaan akut abdomen maka diperlukan

tindakan yang segera maka kecepatan diagnosis sangat diperlukan. Diagnosis dapat

ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pengobatan

untuk apendisitis akut adalah pembedahan, appendiktomi.

Setiap pasien yang akan menjalani tindakan invasif, seperti tindakan bedah akan

menjalani prosedur anestesi. Anestesi sendiri secara umum berarti suatu tindakan

menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya

yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh.

Terdapat beberapa tipe anestesi, yang pertama anestesi total, yaitu hilangnya

kesadaran secara total, anestesi lokal, yaitu hilangnya rasa pada daerah tertentu yang

diinginkan (pada sebagian kecil daerah tubuh), anestesi regional yaitu hilangnya rasa pada

bagian yang lebih luas dari tubuh oleh blokade selektif pada jaringan spinal atau saraf

yang berhubungan dengannya.

Pembiusan lokal atau anestesi lokal adalah salah satu jenis anestesi yang hanya

melumpuhkan sebagian tubuh manusia dan tanpa menyebabkan manusia kehilangan

kesadaran. Obat bius jenis ini bila digunakan dalam operasi pembedahan, maka setelah

selesai operasi tidak membuat lama waktu penyembuhan operasi.

Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, maka tatalaksana anestesi

pada appendiktomi kasus apendisitis akut penting untuk dibahas dalam suatu kajian ilmiah

dalam bentuk laporan kasus.

1

BAB II

LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. J

Umur : 22 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Majalengka

Pekerjaan : Buruh

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Tanggal masuk : 29 Oktober 2014

B. ANAMNESIS

Pasien datang ke IGD RSUD Cilegon dengan keluhan nyeri perut di bagian

kanan bawah sejak 2 hari SMRS. Pasien mengaku nyeri tidak menjalar ke pinggang

dan dirasakan terus menerus dan bertambah sakit apabila bergerak atau berjalan

sehingga menggangu mobilitas pasien. Pasien mengeluh lemas, perut terasa mual dan

juga pasien mengaku sempat muntah 2 kali. Pasien mengaku kehilangan nafsu makan.

Keluhan lain seperti demam, batuk, dan pilek disangkal. BAB sulit sejak 2 hari tetapi

pasien mengaku masih bisa buang angin sedangkan BAK lancar tidak ada keluhan.

Pasien sudah berobat ke klinik terdekat namun nyeri tetap muncul sehingga pasien

memutuskan untuk berobat ke Rumah Sakit.

Pasien belum pernah melakukan riwayat anestesi ataupun tindakan operasi

sebelumnya. Pasien tidak memiliki riwayat alergi pada makanan maupun obat-obatan.

Pasien menyangkal memiliki riwayat penyakit sistemik seperti diabetes mellitus

ataupun hipertensi, riwayat asma, dan pengobatan paru 6 bulan. Pasien merokok tetapi

mengaku tidak mengonsumsi minuman beralkohol. Pasien sudah puasa sejak pukul

00.00 malam hari hingga waktu akan dioperasi pada pukul 10.00 (puasa 11 jam).

C. PEMERIKSAAN FISIK

a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang

b. Kesadaran : Compos Mentis

2

c. Tanda – tanda vital

Tekanan darah : 110/70mmHg

Nadi : 80 x/menit

Pernafasan : 20 x/menit

Suhu : 37,20 C

BB : 59 kg

d. Status Generalisata :

Kepala : normocephale

Mata :conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor,

reflek cahaya langsung (+/+), reflek cahaya tidak langsung

(+/+)

Hidung : pernafasan cuping hidung (-), mukosa hiperemis (-), sekret (-)

deviasi septum (-)

Telinga : normotia (+/+), nyeri tekan tragus (-/-), otore (-/-),serumen

(+/+)

Mulut : bibir sianosis (-), mukosa hiperemis (-), perdarahan gusi (-),

oral hygiene baik, lidah kotor (-), faring hiperemis (-), tonsil

T1-T1

Leher : Trakea terletak di tengah, KGB dan tiroid tidak teraba

membesar

Thorax : Simetris dalam keadaan statis dan dinamis

Jantung

Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : iktus kordis teraba disela iga ke-V sedikit medial LMCS, tidak

terdapat thrill

Perkusi :

Batas kanan jantung ICS IV LSD

Batas kiri jantung ICS V sedikit medial LMCS

Batas pinggang jantung ICS III LPSS

Auskultasi : Bunyi jantung I&II regular, tidak terdengar bunyi jantung

tambahan, murmur (-), gallop (-)

3

Paru

Inspeksi : Bentuk dan pergerakan pernafasan kanan-kiri simetris

Palpasi : Fremitus taktil simetris kanan-kiri

Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Suara nafas vesikuler pada seluruh lapangan paru, wheezing

(-/-),

ronkhi (-/-)

Abdomen :

Inspeksi : perut rata , tidak ada kelainan warna kulit, tidak tampak

pelebaran pembuluh darah, tidak terdapat jaringan sikatrik,

tidak tampak massa.

Auskultasi : bising usus (+) normal pada lapang abdomen

Perkusi : timpani pada lapang abdomen, batas hepar pada ICS VI

sampai subcostalis dektra.

Palpasi : teraba supel, nyeri tekan pada Mcburney (+), Rovsing sign (+),

Blumberg sign (+), defans muscular (-), psoas sign (+),

obturator sign (-), hepar dan lien tidak teraba massa,

ballotement ginjal (-) .

Ekstremitas

Superior : Sianosis (-), edema (-), ikterik (-)

Inferior : Sianosis (-), edema (-), ikterik (-)

Punggung : Tidak terdapat edema, tidak terdapat kelainan tulang vertebrae

seperti lordosis, skoliosis, dan kifosis.

e. Penilaian Fisik Untuk Intubasi Menurut Metode LEMON :

Inspeksi : Tampak trakea di tengah, tidak terdapat jejas

Gigi : Tidak ada pemakaian gigi palsu

Tindakan buka mulut : Jarak antara insisipus kurang lebih tiga jari

Jarak antara thyroid notch kurang lebih dua jari

Jarak antar ulang hyoid dan dagu kurang lebih tiga jari

Klasifikasi mallampati kelas II (tampak hanya palatum molle dan uvula)

Tidak terdapat adanya obstruksi jalan nafas

Pasien dapat menempelkan dagu ke dadanya dan dapat melakukan ekstensi

leher tanpa adanya kesulitan

4

D. STATUS FISIK

Pasien dengan penyakit sistemik ringan yang tidak membatasi aktivitasnya sehingga

dapat dikategorikan pasien memiliki status fisik ASA II.

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 29 Oktober 2014)

- Hb: 13,6 g/dl (↓)

- Leukosit: 18.800 /uL

- Ht: 39,7 %

- Trombosit; 230.000 /uL

- LED: - mm/jam (↑)

- GDS: 110 mg/dl

- SGOT: 16 u/l

- SGPT: 13 u/l

- Ureum: 44 mg/dl

- Kreatinin: 1,0

- Anti HIV: non reaktif

- HbsAg: negatif

- Tes Kehamilan: negatif

- Masa Perdarahan: 1.30’

- Masa Pembekuan: 10’

- Golongan Darah: O Rh+

Pemeriksaan Urinalisa

- Warna : Kuning

- Kekeruhan : Jernih

- Berat Jenis : 1.030

- pH : 6,0

- Albumin : -

- Glukosa : -

- Keton : -

- Bilirubin : -

- Darah samar : -

- Nitrit : -

- Urobilinogen : -

- Leukosit : 2-3/LPB

- Eritrosit : 1/LPB

- Epitel : +

- Silinder jenis : -

- Kristal jenis : -

- Bakteri : -

- Jamur : -

- Lain – lain : -

5

F. KESAN ANESTESI

Pasien seorang laki-laki berusia 22 tahun appendisitis dengan klasifikasi ASA II.

6

G. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan kepada pasien meliputi :

a. Intravena fluid drip RL 1000 cc (selama puasa sampai dengan mulai tindakan)

b. Informed consent mengenai tindakan operasi Appendiktomi

c. Konsul ke bagian Anestesi

d. Informed consent pembiusan : dilakukan operasi pembedahan Appendiktomi

dengan regional Anestesi dengan klasifikasi ASA II.

H. KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, maka ;

Diagnosis pre operatif : Appendisitis Akut

Status operatif : ASA II

Jenis Operasi : Appendiktomi

Jenis Anestesi : Regional Anestesi (Spinal Anestesi)

7

BAB III

LAPORAN ANESTESI

A. Preoperatif

Informed Consent (+)

Puasa (+) kurang lebih 6-8 jam

Tidak terdapat gigi goyang dan pemakaian gigi palsu

IV line terpasang dengan infus RL 500 cc, mengalir lancar

Keadaan umum tampak sakit sedang

Kesadaran Compos Mentis

Tanda Vital:

o TD : 110/70 mmHg

o RR : 20 x/menit

o Nadi : 80 x/menit

o Suhu : 37,2 ˚C

B. Premedikasi Anestesi

Sebelum dilakukan tindakan anestesi diberikan Ondansentron 4 mg secara bolus IV.

C. Tindakan Anestesi

Pasien dalam posisi duduk, kepala menunduk, kemudian menentukan lokasi

penyuntikkan di L3-L4 yaitu di atas titik hasil perpotongan antara garis yang

menghubungkan crista iliaca dextra dan sinistra dengan garis vertical tulang vertebra

yang berpotongan di vertebra lumbal 4. Kemudian dilakukan tindakan asepsis dan

antisepsis dengan kassa steril dan povidone iodine. Lalu dilakukan penyuntikan di titik

L3-4 paramediana yang sudah ditandai sebelumnya dengan menggunakan jarum spinal

no. 27 GA, kemudian jarum spinal dilepaskan hingga tersisa kanulnya, lalu dipastikan

bahwa LCS yang berwarna jernih mengalir melalui kanul (ruang subarachnoid),

kemudian obat anestesi yaitu Bupivacaine 20 mg disuntikkan dengan terlebih dahulu

melakukan aspirasi untuk memastikan kanul spinal masih tetap di ruang subarachnoid,

setelah Bupivacaine disuntikkan setengahnya kembali dilakukan tindakan aspirasi LCS

untuk memastikan kanul tidak bergeser, lalu Bupivacaine disuntikkan semua.

8

Setelah itu menutup luka bekas suntikkan dengan kassa steril dan micropore.

Kemudian pasien kembali posisi berbaring di meja operasi dan pasien ditanya apakah

kedua tungkai mengalami parastesi dan sulit untuk digerakkan dan ditanyakan apa ada

keluhan mual-muntah, nyeri kepala, dan sesak.

D. Pemantauan Selama Tindakan Anestesi

Melakukan pemantauan keadaan pasien terhadap tindakan anestesi. Yang dipantau

adalah fungsi kardiovaskular dan fungsi respirasi, serta cairan.

Kardiovaskular : pemantauan terhadap tekanan darah dan frekuensi nadi setiap 5

menit.

Respirasi : Inspeksi pernapasan spontan kepada pasien dan saturasi oksigen

Cairan : monitoring input cairan infus.

Lampiran Monitoring Tindakan Operasi:

Jam Tindakan Tensi Nadi Saturasi

09.1

5

Pasien masuk kamar operasi, dibaringkan

di meja operasi kemudian dilakukan

pemasangan manset di lengan kiri atas dan

pulse oxymetri di ibu jari tangan kanan.

Diberikan ondansetron 4 mg secara bolus

dan dilakukan skin test untuk pemberian

antibiotik cefotaxim.

112/82 91 99

09.2

0

Dilakukan spinal anestesi. 121/78 88 98

09.3

0

Operasi dimulai 127/81 83 98

09.3

5

Diberikan Cefotaxime 1 gr bolus 120/79 74 98

09.4

0

112/72 82 99

09.4

5

110/69 90 100

09.5 109/70 82 99

9

0

09.5

5

Diberikan Tramadol 100 mg drip 110/67 88 99

10.0

0

108/67 82 99

10.0

5

Diberikan pronalgess supp I

Operasi selesai

102/64 80 99

Laporan Anestesi

1. Diagnosis Pra Bedah

Appendisitis akut

2. Diagnosis Pasca Bedah

Appendisitis akut

3. Penatalaksanaan Preoperasi

Infus RL 1000cc

4. Penatalaksanaan Anestesi

a. Jenis pembedahan : Appendiktomi

b. Jenis Anestesi : Regional Anestesi

c. Teknik Anestesi : Sub Arachnoid Block, L3-L4, LCS +, jarum spinal

no. 27 GA

d. Mulai Anestesi : pukul 09.20 WIB

e. Mulai Operasi : pukul 09.30 WIB

f. Premedikasi : Ondansentron 4 mg IV

g. Medikasi : Bupivacaine 20 mg

h. Medikasi tambahan : Cefotaxime 1 gr secara bolus.

i. Respirasi : Pernapasan spontan

j. Cairan durante operasi : RL 500 cc

k. Pemantauan tekanan darah dan HR : terlampir

l. Selesai operasi : pukul 10.05 WIB

5. Post Operatif

a. Pasien masuk ke dalam ruang pemulihan (Recovery Room) pukul 10.10 WIB.

Keluhan: mual (-), muntah (-), sesak (-), pusing (-), nyeri (-)

b. Observasi tanda-tanda vital dalam batas normal :

10

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Kesadaran : compos mentis

TD : 108/78 mmHg

Nadi : 77x/menit

Respirasi : 21x/menit

Saturasi oksigen : 100%

c. Pemeriksaan fisik:

Warna kulit kemerahan, airway paten, nafas spontan, akral hangat dan CRT

< 2 detik, terpasang kateter urine warna kuning jernih (+), produksi urin

100 cc.

Penilaian respon motorik pasca anestesi dengan menggunakan skor

Bromage.

BROMAGE SKOR

11

Pasien memenuhi skor Bromage yaitu <2, maka pasien dapat dipindah ke

bangsal

12

BAB IV

ANALISA KASUS

Berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka

pasien dapat diklasifikasikan ke dalam ASA II, yaitu pasien dengan penyakit sistemik

ringan atau sedang yang tidak membatasi aktivitasnya. Persiapan yang dilakukan sebelum

operasi yaitu memastikan pasien dalam keadaan baik, memasang infus, dan pasien dalam

keadaan puasa selama 6-8 jam sebelum operasi untuk meminimalkan risiko aspirasi isi

lambung ke jalan nafas selama anestesi. Kebutuhan cairan maintenance normal, dihitung

berdasarkan rumus Morgan (2006), dapat diperkirakan dari pasien ini (berat badan 59 kg):

Berat Badan Jumlah Perhitungan untuk pasien ini

10kg pertama 4 mL/kg/jam 40 mL/jam

10kg berikutnya + 2 mL/kg/jam + 20 mL/jam

Tiap kg di atas

20kg

+ 1 mL/kg/jam + 39 mL/jam

Total kebutuhan cairan maintenance pasien ini: 99 mL/jam

Defisit bisa dihitung dengan mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan

waktu puasa. Pasien puasa selama 11 jam maka kebutuhan cairan untuk memenuhi defisit

cairan sebelum operasi: 11 x 99 ml/jam = 1089 ml. Pada pasien diberikan RL sebagai

cairan maintenance sebanyak 1000cc sampai dengan operasi.

Menjelang operasi pasien dalam keadaan tampak sakit ringan dan kesadaran

compos mentis. Jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu Regional Anestesi dengan teknik

Spinal Anestesi Subarachnoid Block Sit Position. Dari anamnesis didapatkan pasien

appendisitis tanpa riwayat operasi sebelumnya. Pasien direncanakan untuk operasi

appendiktomi elektif.

Sebelum operasi dimulai, pasien dipersiapkan terlebih dahulu yaitu memastikan

infus berjalan lancar, hal ini dimaksudkan karena pada saat operasi sebagian besar obat-

obatan diberikan melalui jalur intravena, kemudian pemasangan alat-alat tanda vital

seperti alat tensi dan alat saturasi yang bertujuan untuk melihat tekanan darah pasien

apakah pasien mengalami hipertensi atau hipotensi karena beberapa obat anestesi dapat

mempengaruhi perubahan tekanan darah, dan alat saturasi bertujuan untuk memantau

suplai oksigen pasien, kemudian memastikan pasien dalam keadaan tenang dan kooperatif.

13

Pasien diberikan obat premedikasi yaitu Ondansentron 4 mg yang diberikan secara

bolus IV. Hal ini bertujuan karena obat-obat anestesi dapat merangsang muntah pada

pasien. Ondansentron adalah suatu antagonis reseptor serotonin 5 – HT 3 selektif.

Serotonin 5-hydroxytriptamine (5HT3) merupakan zat yang akan dilepaskan jika terdapat

toksin dalam saluran cerna, berikatan dengan reseptornya dan akan merangsang saraf

vagus menyampaikan rangsangan ke CTZ (Chemoreseptor Trigger Zone) dan pusat

muntah dan kemudian terjadi mual dan muntah.

Kemudian dilakukan anestesi spinal kepada pasien dengan menggunakan

Bupivacaine 20 mg. Bupivacaine adalah obat anestesi lokal yang cara kerjanya memblok

generasi dan konduksi impuls saraf, dengan meningkatkan ambang eksitasi untuk listrik

pada saraf, dengan memperlambat penyebaran impuls saraf, dan dengan mengurangi laju

kenaikan dari potensial aksi. Bupivacaine mengikat bagian saluran intraseluler natrium

dan memblok masuknya natrium ke dalam sel saraf, sehingga mencegah depolarisasi,

sifatnya reversibel. Bupivacaine merupakan obat anestetik lokal yang memiliki masa kerja

panjang dan mula kerja pendek.

Pasien diberikan Cefotaxime 1 gr secara bolus yang merupakan antibiotik

perioperatif spektrum luas untuk menekan insiden infeksi luka postoperasi dan

pembentukan abses intraabdominal.

Terapi cairan durante operasi pada pasien ini dipilih menggunakan Ringer Laktat.

Ringer laktat merupakan cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan.

Jumlah cairan durante operasi dihitung berdasarkan:

- M (Maintanance) = 2 cc/kgBB = 2 x 59 = 118 cc

- PP (Pengganti puasa sebelum operasi) = Lama puasa x M = 11 x 118 = 1.298 cc

- SO (stres operasi), dimana 6-8 ml/kgBB untuk bedah besar, 4-6 ml/kgBB untuk bedah

sedang, 2-4 ml/kgBB untuk bedah kecil. Appendiktomi termasuk bedah kecil, maka

SO = 4 x 59 =236 cc.

Karena pasien telah terpasang infus maka pengganti puasa, untuk jam I akan diberikan

50% , jadi rumus terapi cairan durante operasi : M + 50% PP + SO = 118 + (50% x 1.298)

+ 236 = 1.002 cc. Lama operasi hanya 35 menit sehingga pemberian cairan durante

operasi hanya diberikan 500 cc dan dilanjutkan pemberian cairan di ruangan.

Setelah operasi selesai, pemantauan dilanjutkan di ruangan RR (Recovery Room).

Tampak kondisi pasien stabil, sadar penuh, tanda-tanda vital dalam batas normal, tidak

tampak adanya tanda syok, dan penilaian respon motorik pasca anestesi dengan

14

menggunakan skor Bromage didapatkan skor <2, setelah itu pasien dibawa kembali ke

ruangan.

15

BAB V

TINJAUAN PUSTAKA

5.1. ANESTESI REGIONAL

Definisi

Anestesi regional adalah tindakan yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat

anestetika lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi regio tertentu, yang

menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer. Fungsi motorik

dapat terpengaruh sebagian atau seluruhnya tetapi pasien tetap sadar.

Pembagian anestesi regional

1. Blok sentral (blok neuroaksial), meliputi blok spinal, epidural dan kaudal

2. Blok perifer (blok saraf) misalnya blok saraf, blok pleksus brakialis, anestesi topikal,

infiltrasi lokal, blok lapangan, dan regional intravena

Persiapan Anestesia Regional

Persiapan anestesi regional sama dengan persiapan GA karena untuk mengantisipasi

terjadinya toksik sistemik reaction yg bisa berakibat fatal, perlu persiapan resusitasi.

Misalnya: obat anestesi spinal/epidural masuk ke pembuluh darah → kolaps

kardiovaskular sampai cardiac arrest. Juga untuk mengantisipasi terjadinya kegagalan,

sehingga operasi bisa dilanjutkan dengan anestesi umum.

Keuntungan Anestesia Regional

1. Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih murah.

2. Relatif aman untung pasien yg tidak puasa (operasi emergency, lambung penuh)

karena penderita sadar.

3. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.

4. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.

5. Perawatan post operasi lebih ringan.

Kerugian Anestesia Regional

1. Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.

2. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.

3. Sulit diterapkan pada anak-anak.

4. Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.

16

5. Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.

5.1.1. BLOK SENTRAL

Blok neuroaksial akan menyebabkan blok simpatis, analgesia sensoris dan blok motoris

(tergantung dari dosis, konsentrasi dan volume obat anestesi lokal).

Efek Fisiologis Blok Neuroaksial

1. Efek Kardiovaskuler

- Akibat dari blok simpatis, akan terjadi penurunan tekanan darah (hipotensi). Efek

simpatektomi tergantung dari tinggi blok. Pada spinal, 2-6 dermatom diatas level

blok sensoris, sedangkan pada epidural, terjadi blok pada level yang sama.

Hipotensi dapat dicegah dengan pemberian cairan (pre-loading) untuk mengurangi

hipovolemia relatif akibat vasodilatasi sebelum dilakukan spinal/epidural anestesi,

dan apabila telah terjadi hipotensi, dapat diterapi dengan pemberian cairan dan

vasopressor seperti efedrin.

- Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok pada cardioaccelerator fiber di T1-

T4), dapat menyebabkan bardikardi sampai cardiac arrest.

2. Efek Respirasi

- Bila terjadi spinal tinggi atau high spinal (blok lebih dari dermatom T5)

mengakibatkan hipoperfusi dari pusat nafas di batang otak dan menyebabkan

terjadinya respiratory arrest.

- Bisa juga terjadi blok pada nervus phrenicus sehingga menmyebabkan gangguan

gerakan diafragma dan otot perut yg dibutuhkan untuk inspirasi dan ekspirasi.

3. Efek Gastrointestinal

- Mual muntah akibat blok neuroaksial sebesar 20%, sehingga menyebabkan

hiperperistaltik gastrointestinal akibat aktivitas parasimpatis dikarenakan oleh

simpatis yg terblok. Hal ini menguntungkan pada operasi abdomen karena

kontraksi usus dapat menyebabkan kondisi operasi maksimal.

- Mual muntah juga bisa akibat hipotensi, dikarenakan oleh hipoksia otak yg

merangsang pusat muntah di CTZ (dasar ventrikel ke IV)

17

5.1.1.1. Anestesi Spinal

Sejak anestesi spinal / Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan oleh August Bier

(1898) pada praktis klinis, teknik ini telah digunakan dengan luas untuk menyediakan

anestesi, terutama untuk operasi pada daerah bawah umbilikus. Kelebihan utama teknik ini

adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang minimal, memiliki efek minimal pada

biokimia darah, menjaga level optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama

operasi dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post operatif dan

analgesia yang minimal.

Anestesi spinal ialah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang

subarackhnoid. Untuk mencapai cairan serebrospinal, maka jarum suntik akan menembus

kutis subkutis lig. Supraspinosum lig. Interspinosum lig. Flavum ruang

epidural durameter ruang subarachnoid.

Gambar 1. Anestesi Spinal

Medulla spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan

serebrospinal, dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada

dewasa berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. Terjadi blok saraf yang

reversibel pada radix anterior dan posterior, radix ganglion posterior dan sebagian medula

spinalis yang akan menyebabkan hilangnya aktivitas sensoris, motoris dan otonom.

Indikasi/Kontraindikasi/

KomplikasiKeterangan

Indikasi Transurethral prostatectomy (blok pada T10

diperlukan karena terdapat inervasi pada buli

buli kencing)

Hysterectomy

Caesarean section (T6)

18

Evakuasi alat KB yang tertinggal

Semua prosedur yang melibatkan ekstrimitas

bagian bawah seperti arthroplasty

Prosedur yang melibatkan pelvis dan perianal

Indikasi Kontra Absolut

Pasien menolak

Deformitas pada lokasi injeksi

Hipovolemia berat

Sedang dalam terapi antikoagulan

Cardiac ouput yang terbatas; seperti stenosis

aorta

Peningkatan tekanan intrakranial.

Indikasi Kontra Relatif

Infeksi sistemik (sepsis, bakteremia)

Infeksi sekitar tempat penyuntikan

Kelainan neurologis

Kelainan psikis

Penyakit jantung

Hipovolemia ringan

Nyeri punggung kronis

Komplikasi Tindakan

Hipotensi berat

Bradikardia

Hipoventilasi

Trauma pembuluh darah

Trauma saraf

Mual muntah

Gangguan pendengaran

Blok spinal tinggi, atau spinal total

Komplikasi Pasca Tindakan

Nyeri tempat suntikan

Nyeri punggung

Nyeri kepala karena kebocoran likuor

Retensio urine

Meningitis

Tabel 1. Indikasi, Kontraindikasi, dan Komplikasi Analgesia Spinal

19

Persiapan untuk anestesi spinal pada dasarnya sama dengan persiapan pada

anestesi umum. Adapun yang perlu diperhatikan adalah adanya informed consent dari

pasien, pemeriksaan fisik (lebih diperhatikan terhadap kemungkinan kelainan spesifik

seperti kelainan tulang belakang, kondisi pasien yang gemuk sehingga sulit identifikasi

prosesus spinosus, dan lainnya), serta pemeriksaan laboratorium anjuran seperti

hemoglobin, hematokrit, PT, dan PTT.

Peralatan yang diperlukan dalam anestesi spinal ini terdiri atas peralatan monitor

seperti tekanan darah, nadi, pulse oxymetri, dan EKG; peralatan resusitasi/anestesi umum;

serta jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bamboo runcing, Quincke-Babcock) atau

jarum spinal dengan ujung pensil (pencil point, Whitecare).

Gambar 2. Jarum Spinal

Teknik anestesi spinal dimulai dengan memposisikan pasien duduk atau posisi

tidur lateral. Posisi ini adalah yang paling sering dikerjakan. Perubahan posisi berlebihan

dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. Berikut teknik anesthesia

spinal dengan blok subarachnoid:

1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalnya dalam posisi dekubitus lateral. Beri bantal

kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang spinosus mudah teraba. Posisi lain

adalah duduk.

2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang

punggung ialah L4 atau L4-5. Tentukan tempat tusukannya, misalnya L2-3, L3-4, atau

L4-5. Tusukan pada L1-2 atau di atasnya berisiko trauma medulla spinalis.

3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadin atau alkohol.

20

Gambar 3. Posisi anestesi spinal

4. Beri anestetik lokal pada tempat tusukan, misalnya dengan lidokain 1-2% 2-3 ml.

5. Cara tusukan median atau paramedian. Untuk jarum spinal sebesar 22 G, 23 G atau 25

G dapat langsung digunakan. Sedangkan untuk yang kecil 27 G atau 29 G, dianjurkan

menggunakan introducer (penuntun jarum), yaitu jarum suntik biasa semprit 10cc.

Tusukkan introduser sedalam kira-kira 2 cm agak sedikit ke arah sefal, kemudian

masukkan jarum spinal berikut mandrinnya ke lubang jarum tersebut. Setelah

resistensi menghilang, mandrin jarum spinal dicabut dan keluar likuor, pasang semprit

berisi obat dan obat dapat dimasukkan pelan-pelan (0,5 ml/detik) diselingi aspirasi

sedikit, hanya utuk meyakinkan posisi jarum tetap baik.

Gambar 4. Tusukan Jarum pada Anestesi Spinal

21

Anestetik Lokal untuk Anestesi Spinal

Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37ºC adalah 1,003-1,008.

Anestetik lokal dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik. Anestetik lokal

dengan berat jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anestetik lokal dengan berat

jenis lebih kecil dari CSS disebut hipobarik. Anestetik lokal yang sering digunakan adalah

jenis hiperbarik diperoleh dengan mencampur anestetik lokal dengan dekstrosa. Untuk

jenis hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air

injeksi. Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi blokade saraf pada pemberian

anestesi spinal. Faktor tersebut antara lain barisitas (berat jenis), posisi pasien selama dan

sesaat setelah injeksi, serta dosis obat. Pada umumnya makin tinggi dosis dan posisi

injeksi, maka level anestesi akan semakin tinggi. Oleh karena itu pada posisi supine head

down, cairan hiperbarik akan menyebar ke arah kepala dan cairan hipobarik menyebar ke

kaudal dan sebaliknya pada posisi head up. Sementara pada posisi lateral, cairan spinal

hiperbarik akan berefek pada bagian yang lebih rendah dan cairan hipobarik akan

mencapai daerah yang lebih tinggi.

Obat yang sering digunakan pada anestesi spinal ini adalah Bupivacaine hiperbarik

dan tetrakain. Toksisitas Bupivacaine lebih rendah dibandingkan lidocain. Walaupun onset

kerja Bupivacaine lebih lama (10-15 menit) dibandingkan lidocain (5-10 menit) tetapi

durasi kerjanya lebih lama yaitu sekitar (1,5-8 jam) dibandingkan lidocain (1-2 jam).

Penggunaan lidocain harus diperhatikan karena seringkali menyebabkan transient

neurological symptoms (TNS) dan cauda equine sindrom. Namun ada ahli yang

menyatakan penggunaan lidokain ini aman pada anestesi spinal dengan dosis terbatas 60

mg dan diencerkan 2.5%. Oleh karena itu penggunaan Bupivacaine lebih aman dan lebih

efektif.

5.1.1.2. Anestesi Epidural

Blokade saraf dengan menempatkan obat di ruang epidural. Ruang ini berada

diantara ligamentum flavum dan duramater. Kedalaman ruang ini rata-rata 5mm dan di

bagian posterior kedalaman maksimal pada daerah lumbal. Obat anestetik lokal di ruang

epidural bekerja langsung pada akar saraf spinal yang terletak di lateral. Awal kerja

anestesi epidural lebih lambat dibanding anestesi spinal, sedangkan kualitas blokade

sensorik-motorik juga lebih lemah.

22

Gambar 5. Anestesi Epidural

Terdapat perbedaan fisiologis dan farmakologis bermakna antara anestesi spinal dan

epidural.

Tabel 2. Perbedaan Anestesi Spinal dan Epidural

Indikasi analgesia epidural:

1. Pembedahan dan penanggualangan nyeri pasca bedah.

2. Tatalaksana nyeri saat persalinan.

3. Penuruan tekanan darah saat pembedahan supaya tidak banyak berdarahan.

4. Tambahan pada anestesia umum ringan karena penyakit tertentu pasien.

Ada beberapa situasi di mana resiko epidural lebih tinggi dari biasanya :

1. Kelainan anatomis, seperti spina bifida, meningomyelocele, atau skoliosis

2. Operasi tulang belakang sebelumnya (di mana jaringan parut dapat menghambat

penyebaran obat)

3. Beberapa masalah sistem saraf pusat, termasuk multiple sclerosis

4. Beberapa masalah katup jantung (seperti stenosis aorta, di mana vasodilatasi yang

diinduksi oleh obat bius dapat mengganggu suplai darah ke jantung)

23

Penyebaran obat pada anestesi epidural bergantung :

1. Volume obat yg disuntikan

2. Usia pasien (tua minimal, 19 tahun maksimal)

3. Kecepatan suntikan

4. Besarnya dosis

5. Ketinggian tempat suntikan

6. Posisi pasien

7. Panjang kolumna vetebralis

Suntikan 10-15 ml obat akan menyebar ke kedua sisi sebanyak 5 segmen.

Komplikasi:

1. Blok tidak merata

2. Depresi kardiovaskuler (hipotensi)

3. Hipoventilasi (hati-hati keracunan obat)

4. Mual-muntah

Teknik anestesia epidural :

Pengenalan ruang epidural lebih sulit dibanding dengan ruang subarakhnoid.

1. Posisi pasien saat tusukan seperti pada analgesia spinal.

2. Tusukan jarum epidural biasanya dilakukan pada ketinggian L3-4.

3. Jarum yang digunakan ada 2 macam, yaitu:

a. jarum ujung tajam (Crawford)

b. jarum ujung khusus (Tuohy)

Gambar 6. Jarum Anestesi Epidural

24

4. Untuk mengenal ruang epidural digunakan banyak teknik. Namun yang paling populer

adalah teknik hilangnya resistensi dan teknik tetes tergantung.

a. Teknik hilangnya resistensi (loss of resistance)

Teknik ini menggunakan semprit kaca atau semprit plastik rendah resistensi yang

diisi oleh udara atau NaCl sebanyak ± 3ml. Setelah diberikan anestetik lokal pada

tempat suntikan, jarum epidural ditusuk sedalam 1-2 cm. Kemudian udara atau

NaCl disuntikkan perlahan dan terputus-putus. Sembari mendorong jarum epidural

sampai terasa menembus jaringan keras (ligamentum flavum) yang disusul

hilangnya resistensi. Setelah yakin ujung jarum berada dalam ruang epidural,

lakukan uji dosis (test dose)

b. Teknik tetes tergantung (hanging drop)

Persiapan sama seperti teknik hilangnya resistensi, tetapi pada teknik ini

menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai terlihat ada tetes Nacl yang

menggantung. Dengan mendorong jarum epidural perlahan secara lembut sampai

terasa menembus jaringan keras yang kemudian disusul oleh tersedotnya tetes

NaCl ke ruang epidural. Setelah yakin, lakukan uji dosis (test dose)

5. Uji dosis (test dose)

Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis tunggal dilakukan setelah ujung jarum

diyakini berada dalam ruang epidural dan untuk dosis berulang (kontinyu) melalui

kateter. Masukkan anestetik lokal 3 ml yang sudah bercampur adrenalin 1:200.000.

Tak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak jarum sudah benar

Terjadi blokade spinal, menunjukkan obat sudah masuk ke ruang subarakhnoid

karena terlalu dalam.

Terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30%, kemungkinan obat masuk vena

epidural.

6. Cara penyuntikan: setelah yakin posisi jarum atau kateter benar, suntikkan anestetik

lokal secara bertahap setiap 3-5 menit sampai tercapai dosis total. Suntikan terlalu

cepat menyebabkan tekanan dalam ruang epidural mendadak tinggi, sehingga

menimbulkan peninggian tekanan intrakranial, nyeri kepala dan gangguan sirkulasi

pembuluh darah epidural.

7. Dosis maksimal dewasa muda sehat 1,6 ml/segmen yang tentunya bergantung pada

konsentrasi obat. Pada manula dan neonatus dosis dikurangi sampai 50% dan pada

25

wanita hamil dikurangi sampai 30% akibat pengaruh hormon dan mengecilnya ruang

epidural akibat ramainya vaskularisasi darah dalam ruang epidural.

8. Uji keberhasilan epidural

Keberhasilan analgesia epidural :

a. Tentang blok simpatis diketahui dari perubahan suhu.

b. Tentang blok sensorik dari uji tusuk jarum.

c. Tentang blok motorik dari skala bromage

Melipat Lutut Melipat Jari

Blok tak ada ++ ++

Blok parsial + ++

Blok hampir lengkap - +

Blok lengkap - -

Tabel 3. Skala bromage untuk Blok Motorik

Anestetik lokal yang digunakan untuk epidural

1. Lidokain (Xylokain, Lidonest)

Umumnya digunakan 1-2%, dengan mula kerja 10 menit dan relaksasi otot baik.

0.8% blokade sensorik baik tanpa blokade motorik.

1.5% lazim digunakan untuk pembedahan.

2% untuk relaksasi pasien berotot.

2. Bupivakain (Markain)

Konsentrasi 0.5% tanpa adrenalin, analgesianya sampai 8 jam. Volum yang

digunakan <20ml.

Tabel 4. Obat Anestesi Epidural

26

5.1.1.3. Anestesia Kaudal

Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena kanalis kaudalis

adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan di ruang kaudal melalui

hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutup oleh ligamentum sakrokoksigeal tanpa tulang yang

analog dengan gabungan antara ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum,

dan ligamentum flavum. Ruang kaudal berisi saraf sakral, pleksus venosus, felum

terminale dan kantong dura.

Indikasi : Bedah daerah sekitar perineum, anorektal misalnya hemoroid, fistula paraanal.

Kontra indikasi : Seperti analgesia spinal dan analgesia epidural.

Teknik anestesia kaudal :

1. Posisi pasien terlungkup dengan simfisis diganjal (tungkai dan kepala lebih rendah dari

bokong) atau dekubitus lateral, terutama wanita hamil.

2. Dapat menggunakan jarum suntik biasa atau jarum dengan kateter vena ukuran 20-22

pada pasien dewasa.

3. Untuk dewasa biasa digunakan volum 12-15 ml (1-2 ml/ segmen)

4. Identifikasi hiatus sakralis dengan menemukan kornu sakralis kanan dan kiri dan spina

iliaka superior posterior. Dengan menghubungkan ketiga tonjolan tersebut diperoleh

hiatus sakralis.

5. Setelah dilakukan tindakan a dan antisepsis pada daerah hiatus sakralis, tusukkan jarum

mula-mula 90o terhadap kulit. Setelah diyakini masuk kanalis sakralis, ubah jarum jadi

450-600 dan jarum didorong sedalam 1-2 cm. Kemudian suntikan NaCl sebanyak 5 ml

secara agak cepat sambil meraba apakah ada pembengkakan di kulit untuk menguji

apakah cairan masuk dengan benar di kanalis kaudalis.

Gambar 7. Anestesi Kaudal

27

5.1.1.4. Anestesi Spinal Total

Anestesi spinal total ialah anestesi spinal intratekal atau epidural yang naik sampai

di atas daerah servikal. Anestesi ini biasanya tidak disengaja, pasien batuk-batuk, dosis

obat berlebihan, terutama pada analgesia epidural dengan posisi pasien yang tidak

menguntungkan.

Tanda-tanda klinis:

1. tangan kesemutan

2. lidah kesemutan

3. napas berat

4. mengantuk kemudian tidak sadar

5. bradikardi dan hipotensi berat

6. henti napas

7. pupil midriasi.

Walaupun saraf phrenikus mungkin terkena blokade namun henti napas lebih

disebabkan oleh hipoperfusi pusat kendali napas. Kejadian ini timbul segera setelah

tindakan atau setelah 30-45 menit kemudian. Kejadian ini bersifat sementara namun

apabila tidak ditanggulangi dapat mengakibatkan henti jantung yang dapat merenggut

nyawa pasien. Pengenalan dini anestesia spinal total ini amat penting agar pertolongan

dapat segera dilakukan.

Tindakan terhadap anestesi spinal total ini adalah dengan menaikkan curah jantung,

infus cairan koloid 2-3 L, menaikkan kedua tungkai, kendalikan pernapasan dengan O2

100% kalau perlu dengan intubasi dan intubasi ini dapat dilakukan dengan mudah karena

telah terjadi relaksasi otot maksimal, beri atropin untuk melawan bradikardi dan beri

efedrin untuk melawan hipotensi.

5.1.2. BLOK PERIFER

Anestesi atau analgesia lokal adalah anestesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan

obat anestetika lokal pada daerah atau sekitar lokasi pembedahan yang menyebabkan

hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.

Jenis-jenis

1. Blok Saraf

Tindakan analgesia regional dengan cara menyuntikkan obat anestetik lokal di daerah

perjalanan urat saraf yang melayani daerah yang akan dieksplorasi. Cara ini diakukan

28

untuk tindakan operasi di daerah ekstremitas dan untuk area yang diinervasi saraf

tertentu.

2. Blok Pleksus Brakhialis

Tindakan analgesia regional dengan cara menyuntikkan obat anestetik lokal di daerah

perjalanan pleksus brakhialis yang melayanin ekstremitas superior.

3. Analgesia Regional Intravena

Penyuntikan larutan analgetik lokal intravena. Ekstremitas dieksanguinasi dan diisolasi

bagian proksimalnya dengan torniket pneumatik dari sirkulasi sistemik.

4. Infiltrasi Lokal

Penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan sekitar tempat lesi

5. Blok Lapangan (Field Block)

Infiltrasi sekitar lapangan operasi (contoh, untuk ekstirpasi tumor kecil)

6. Analgesia Permukaan (Topikal)

Obat analgetika lokal dioles atau disemprot di atas selaput mukosa

Komplikasi lokal

Terjadi ditempat suntikan berupa edema, abses, nekrosis dan gangrene.

Komplikasi infeksi hampir selalu disebabkan kelainan tindakan asepsis dan antisepsis.

Iskemia jaringan dan nekrosis karena penambahan vasokonstriktor yang disuntikkan

pada daerah dengan arteri buntu.

Komplikasi sistemik

Manifestasi klinis umumnya berupa reaksi neurologis dan kardiovaskuler.

Pengaruh pada korteks serebri dan pusat yang lebih tinggi adalah berupa perangsangan

sedangkan pengaruh pada pons dan batang otak berupa depresi.

Pengaruh kardiovaskuler adalah berupa penurunan tekanan darah dan depresi

miokardium serta gangguan hantaran listrik jantung.

5.2. ANESTETIK LOKAL

Definisi

Anestetik lokal ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade lorong

natrium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi sepanjang saraf,

jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik lokal setelah keluar dari saraf

29

diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan lengkap tanpa diikuti oleh

kerusakan struktur saraf.

Persyaratan obat yang boleh digunakan sebagai anestetik lokal:

1. Tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen

2. Batas keamanan harus lebar

3. Efektif dengan pemberian secara injeksi atau penggunaan setempat pada membran

mukosa

4. Mulai kerjanya harus sesingkat mungkin dan bertahan untuk jangka waktu yang yang

cukup lama

5. Dapat larut air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga stabil terhadap pemanasan.

Golongan obat

Secara kimia, anestetik lokal dibagi menjadi dua golongkan sebagai berikut :

1. Golongan ester (-COOC-)

Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada degradasi dan

inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut akan dihidrolisis. Karena itu golongan ester

umumnya kurang stabil dan mudah mengalami metabolisme dibandingkan golongan

amida. Contohnya: tetrakain, benzokain, kokain, prokain dengan prokain sebagai

prototip.

2. Golongan amida (-NHCO-)

Mempengaruhi semua sel tubuh, dengan predileksi khusus memblokir hantaran saraf

sensorik. Kecepatan detoksikasi tergantung jenis obat berlangsung dengan

pertolongan enzim dalam darah dan hati. Sebagian dikeluarkan dalam bentuk bahan-

bahan degradasi dan sebagian dalam bentuk asal melalui ginjal (urin). Contohnya

senyawa amida adalah dibukain, lidokain, mepivakain dan prilokain.

Anestetik lokal sering kali digunakan secara parenteral (injeksi) pada pembedahan kecil

dimana anestesi umum tidak perlu atau tidak diinginkan. Di Indonesia, yang paling banyak

digunakan adalah lidokain dan bupivakain.

Mekanisme kerja

Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium (sodium channel), mencegah

peningkatan permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium sehingga terjadi

depolarisasi pada selaput saraf dan hasilnya, tidak terjadi konduksi saraf. Potensi

dipengaruhi oleh kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten. Ikatan dengan protein

30

(protein binding) mempengaruhi lama kerja dan konstanta dissosiasi (pKa) menentukan

awal kerja.

Konsentrasi minimal anestetika lokal (analog dengan MAC, minimum alveolar

concentration) dipengaruhi oleh:

1. Ukuran, jenis dan mielinisasi saraf

2. pH (asidosis menghambat blokade saraf)

3. Frekuensi stimulasi saraf

Awal bekerja bergantung beberapa factor, yaitu:

1. pKa mendekati pH fisiologis sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi meningkat

dan dapat menembus membrane sel saraf sehingga menghasilkan mula kerja cepat

2. Alkalinisasi anestetika lokal membuat awal kerja cepat

3. Konsentrasi obat anestetika lokal

Lama kerja dipengaruhi oleh:

1. Ikatan dengan protein plasma karena reseptor anestetika lokal adalah protein

2. Dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi

3. Dipengaruhi oleh banyaknya pembuluh darah perifer di daerah pemberian

Farmakokinetik

1. Absorpsi sistemik dipengaruhi oleh:

a. Tempat suntikan

- Kecepatan absorpsi sistemik sebanding dengan banyaknya vaskularisasi

tempat suntikan : absorpsi intravena > trakeal > interkostal > kaudal >

paraservikal > epidural > plexus brakial > skiatik > subkutan

b. Penambahan vasokonstriktor

- Adrenalin 5 µg/ml atau 1:200 000 membuat vasokonstriksi pembuluh darah

pada tempat suntikan sehingga dapat memperlambat absorpsi sampai 50%

- Untuk daerah yang diperdarahi oleh end artery seperti jari dan penis dilarang

menambah vasokonstriktor. Penambahan vasokonstriktor hanya dilakukan

untuk daerah tanpa end artery

c. Karakteristik obat anestetik lokal

- Obat anestetik lokal terikat kuat pada jaringan sehingga dapat diabsorpsi

secara lambat

31

2. Distribusi dipengaruhi oleh ambilan organ (organ uptake) dan ditentukan oleh faktor-

faktor:

a. Perfusi jaringan

b. Koefisen partisi jaringan/darah

- Ikatan kuat dengan protein plasma obat lebih lama di darah

- Kelarutan dalam lemak tinggi meningkatkan ambilan jaringan

c. Massa jaringan

- Otot merupakan tempat reservoir bagi anestetika lokal

3. Metabolisme dan ekskresi

a. Golongan ester

- Metabolisme oleh enzim pseudo-kolinesterase (kolinesterase plasma).

Hidrolisa ester sangat cepat dan kemudian metabolit diekskresi melalui urin

b. Golongan amida

- Metabolisme terutama oleh enzim mikrosomal di hati. Kecepatan metabolisme

tergantung kepada spesifikasi obat anestetik lokal. Metabolisme nya lebih

lamabat dari hidrolisa ester. Metabolit lewat urin dan sebagian diekskresi

dalam bentuk utuh.

Komplikasi obat anestesi lokal

Obat anestesi lokal, melewati dosis tertentu merupakan zat toksik, sehingga untuk tiap

jenis obat anestesi lokal dicantumkan dosis maksimalnya. Komplikasi dapat bersifat lokal

atau sistemik

Efek samping terhadap sistem tubuh

Sistem kardiovaskular

o Depresi automatisasi miokard

o Depresi kontraktilitas miokard

o Dilatasi arteriolar

o Dosis besar dapat menyebabkan disritmia/kolaps sirkulasi

Sistem pernafasan

o Relaksasi otot polos bronkus

o Henti nafas akibat paralisis saraf frenikus

o Paralisis interkostal

o Depresi langsung pusat pengaturan nafas

32

Sistem saraf pusat

o Parestesia lidah

o Pusing

o Tinnitus

o Pandangan kabur

o Agitasi

o Depresi pernafasan

o Tidak sadar

o Konvulsi

o Koma

Imunologi

o Reaksi alergi

Sistem musculoskeletal

o Miotoksik (bupivakain > lidokain > prokain)

Beberapa anastetik lokal yag sering digunakan

1. Kokain dalam bentuk topikal semprot 4% untuk mukosa jalan nafas atas. Lama

kerja 2-30 menit.

2. Prokain untuk infiltrasi larutan: 0,25-0,5%, blok saraf: 1-2%, dosis 15mg/kgBB dan

lama kerja 30-60 menit.

3. Lidokain konsentrasi efektf minimal 0,25%, infiltrasi, mula kerja 10 menit,

relaksasi otot cukup baik. Kerja sekitar 1-1,5 jam tergantung konsentrasi larutan.

4. Bupivakain konsentrasi efektif minimal 0,125%, mula kerja lebih lambat dibanding

lidokain, tetapi lama kerja sampai 8 jam.

BUPIVACAINE

Bupivacaine (Marcain) merupakan obat anestetik lokal kelompok amida, dengan

rumus bangun sebagai berikut : 1-butyl-N-(2,6-dimethylphenyl)-piperidecarboxamide

hydrochloride.

Bupivacaine adalah derivat butil dari mepivacain yang kurang lebih tiga kali

lebih kuat daripada asalnya. Obat ini termasuk golongan obat anestesi long acting.

Secara kimia dan farmakologis mirip lidokain. Toksisitas setaraf dengan tetrakain.

Secara komersial Bupivacaine tersedia dalam 5 mg/ml solutions. Dengan

kecenderungan yang lebih menghambat sensoris daripada motoris, menyebabkan obat

33

ini sering digunakan untuk analgesia selama persalinan dan pasca bedah.

Farmakologi

Bupivacaine adalah obat anestetik lokal yang memiliki masa kerja panjang dan

mula kerja yang pendek. Seperti halnya anestetik lokal lainnya, Bupivacaine

menghasilkan blokade konduksi atau blokade lorong natrium pada dinding saraf yang

bersifat reversibel, jika digunakan pada saraf sentral atau perifer. Anestetik lokal

setelah keluar dari saraf diikuti oleh pulihnya konduksi saraf secara spontan dan

lengkap tanpa diikuti oleh kerusakan struktur saraf.

Farmakodinamik

Obat bekerja pada reseptor spesifik pada saluran natrium, mencegah peningkatan

permeabilitas sel saraf terhadap ion natrium dan kalium, sehingga terjadi depolarisasi

pada selaput saraf dan hasilnya tak terjadi konduksi saraf. Potensi dipengaruhi oleh

kelarutan dalam lemak, makin larut makin poten. Ikatan dengan protein mempengaruhi

lama kerja dan konstanta dissosiasi (pKa) menentukan awal kerja. Konsentrasi

minimal anestetik lokal dipengaruhi oleh : ukuran, jenis dan mielinisasi saraf; pH

(asidosis menghambat blokade saraf), frekuensi stimulasi saraf.

Mula kerja bergantung beberapa faktor, yaitu: pKa mendekati pH fisiologis

sehingga konsentrasi bagian tak terionisasi meningkat dan dapat menembus membran

sel saraf sehingga menghasilkan mula kerja cepat, alkalinisasi anestetik lokal membuat

mula kerja cepat, konsentrasi obat anestetika lokal. Lama kerja dipengaruhi oleh :

ikatan dengan protein plasma, karena reseptor anestetika lokal adalah protein;

dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi; dipengaruhi oleh ramainya pembuluh darah

perifer di daerah pemberian.

Indikasi

1. Anestesi Intratekal (sub-arachnoid, spinal) untuk pembedahan

2. Pembedahan di daerah abdomen selama 45 - 60 menit (termasuk operasi Caesar)

3. Pembedahan di bidang urologi dan anggota gerak bawah selama 2- 3 jam

Kontraindikasi

1. Hipersensitif terhadap anestetik lokal jenis amida

2. Penyakit akut dan aktif pada sistem saraf, seperti meningitis, poliomyelitis,

perdarahan intrakranial, dan demyelinisasi, peningkatan tekanan intrakranial,

adanya tumor otak atau di daerah spinal

3. Stenosis spinal dan penyakit aktif (spondilitis) atau trauma (fraktur) baru pada

34

tulang belakang.

4. TBC tulang belakang

5. Infeksi pada daerah penyuntikan

6. Septikemia

7. Anemia pernisiosa dengan degenerasi kombinasi sub-akut pada medula spinalis

8. Gangguan pembekuan darah atau sedang mendapat terapi antikoagulan secara

berkesinambungan

9. Hipertensi tidak terkontrol

10. Syok kardiogenik atau hipovolemi

Dosis

Anestesi spinal pada orang dewasa 7,5 - 20 mg. Penyebaran anestesi tergantung

pada beberapa faktor, termasuk di dalamnya volume larutan dan posisi pasien selama

dan setelah penyuntikan ke rongga sub-arachnoid. Harus dipahami bahwa tingkat

anestesi spinal yang dicapai oleh anestetik lokal tidak dapat diperkirakan pada pasien.

Injeksi spinal hanya boleh diberikan jika ruang subarachnoid sudah

teridentifikasi secara jelas dengan ditandai keluar dan menetesnya cairan serebrospinal

yang jernih, atau terdeteksi oleh aspirasi cairan serebrospinal. Larutan harus segera

digunakan setelah ampul terbuka dan sisanya harus dibuang.

Efek Samping

1. Sistem saraf pusat (SSP)

SSP rentan terhadap toksisitas anestetik lokal, dengan tanda-tanda awal parestesi

lidah gelisah, nyeri kepala, pusing, penglihatan kabur, tinitus, mual, muntah,

tremor, gerakan koreatosis, rasa logam di mulut, inkoherensia, kejang koma.

2. Sistem Pernafasan

Relaksasi otot polos bronkus. Henti nafas akibat paralisis nervus phrenikus,

paralise interkostal atau depresi langsung, pernafasan dalam dan kemudian tak

teratur, sesak nafas hingga apneu, hipersekresi dan bronkospasme.

3. Sistem kardiovaskuler : vasodilatasi, hipotensi, bradikardi, nadi kecil dan syok.

4. Reaksi hipersensitivitas (urtikaria, dermatitis, edema angioneurotik, bronkospasme,

status asmatikus, sinkop dan apneu)

Interaksi Obat

Bupivacaine harus digunakan secara hati-hati bila diberikan pada penderita yang

menerima obat-obat aritmia dengan aktivitas anestetik lokal, karena efek toksiknya

35

dapat bersifat adiktif. Toksisitasnya meningkat bila diberikan bersama propanolol.

BAB VI

KESIMPULAN

Pasien adalah perempuan usia 20 tahun dengan apendisitis akut, yang dilakukan

operasi appendiktomi pada tanggal 17 Juni 2014. Dari anamnesis pasien tidak ada keluhan

dan tidak memiliki penyakit sistemik seperti hipertensi, diabetes mellitus, asma. Pasien

juga tidak memakai gigi palsu dan tidak mempunyai gigi goyang. Pasien tidak demam

maupun batuk. Dari pemeriksaan fisik tidak terdapat kelainan pada pasien namun pada

pemeriksaan penunjang didapatkan kadar hemoglobin yang sedikit menurun dan LED

yang meningkat. Berdasarkan American Society of Anesthesiology digolongankan dalam

ASA II. Tindakan anestesi yang dilakukan adalah anestesi regional dengan blok

subarachnoid. Hal ini dipilih karena keadaan pasien sesuai dengan indikasi anestesi

regional.

Evaluasi pre operasi pada pasien dalam batas normal. Tidak ditemukan kelainan

lain yang menjadi kontraindikasi dilakukannya anestesi regional. Pasien diberikan

premedikasi berupa ondansetron dan dilakukan regional anestesi dengan teknik

subarchnoid block pada L3-L4 dengan menggunakan spinal needle dengan ukuran 27

kemudian dimasukkan obat Bupivacaine 20 mg. Pasien juga diberikan sedacum 2,5 mg

secara bolus IV dan oksigen 3 liter per menit. Saat operasi diberikan Cefotaxime 1 gr

secara bolus. IV. Selama durante operasi, tidak terjadi komplikasi. Kondisi pasien relatif

stabil sampai operasi selesai.

Evaluasi post operatif dilakukan pemantauan terhadap pasien, dan tidak didapatkan

keluhan dan tanda-tanda syok. Selama di ruang Recovery Room pasien cukup stabil

dengan penilaian respon motorik pasca anestesi yaitu skor Bromage bernilai <2, sehingga

pasien dapat dipindahkan ke ruang rawat.

36

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta:

Indeks. 2010

2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi: Edisi Kedua.

Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2009

3. Muhiman M, M Thaib R, Sunatrio S, Dahlan R. Anestesiologi. Jakarta: Bagian

Anestesiologi dan terapi Intensif FKUI

4. Werth, M. Pokok-pokok Anestesi. Jakarta: EGC. 2010

5. Boulton TB, Blogg CE. Anestesiologi, Edisi 10. Jakarta : EGC. 1994

6. Gmyrek R, Dahdah M. Regional Anaesthesia, Updated: Jun 3, 2013. Diakses pada

tanggal 22 Juni 2014 melalui http://emedicine.medscape.com/article/1831870-

overview#showall

7. Miller RD. Anesthesia, 5th ed. Philadelphia : Churchill Livingstone. 2000

8. Mulroy MF. Regional Anesthesia, An Illustrated Procedural Guide. 2nd ed. Boston :

Little, Brown and Company. 1996

9. Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. Clinical Anesthesiology. 4th Edition.

USA: McGraw-Hill Companies, Inc. 2006

37