anestesi
TRANSCRIPT
JOURNAL READING
Pre-Incisional Intravenous Low-Dose Ketamine Does Not Cause Pre- Emptive Analgesic Effect Following
Caesarean Section under Spinal Anaesthesia
Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Ilmu Anestesi RSUD Panembahan Senopati Bantul
Disusun Oleh:
FEBRIANA PUTRI NARAHESWARI/ 20070310134
Diajukan Kepada Yth:
dr. Kurnianto Trubus Pranowo, Sp.An. M.Kes
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU ANESTESI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UMY
RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
2012
Halaman Pengesahan
Telah diajukan dan disahkan, journal reading dengan judul
Pre-Incisional Intravenous Low-Dose Ketamine Does Not Cause Pre- Emptive Analgesic Effect Following
Caesarean Section under Spinal Anaesthesia
Disusun Oleh:
Nama : FEBRIANA PUTRI NARAHESWARI
NIM : 20070310134
Telah diajukan
Hari/ Tanggal : 24November 2012
Disahkan Oleh:
Dosen Pembimbing,
dr. Kurnianto Trubus Pranowo Sp. An. M.Kes
BAB I
PENDAHULUAN
ANESTESI SPINAL
Sejak anestesi spinal / Sub-arachnoid block (SAB) diperkenalkan
oleh August Bier (1898) pada praktis klinis, tehnik ini telah
digunakan dengan luas untuk menyediakan anestesi, terutama
untuk operasi pada daerah bawah umbilicus. Kelebihan utama
tehnik ini adalah kemudahan dalam tindakan, peralatan yang
minimal, memiliki efek minimal pada biokimia darah, menjaga level
optimal dari analisa gas darah, pasien tetap sadar selama operasi
dan menjaga jalan nafas, serta membutuhkan penanganan post
operatif dan analgesia yang minimal.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ketamin
Ketamin telah dikenal lebih dari 30 tahun, namun baru dalam
beberapa tahun belakangan dapat diterima secara luas dalam praktek
anastesi. Ketamin ditemukan oleh Steven dari Detroid dan dicobakan
pada sukarelawan di penjara Michican pada tahun 1964. Ketamin
mulai digunakan untuk anastesi pada tahun 1965 oleh Domino dan
Corssen. Ketamin atau 2-0-chlorophenyl-2-
metylaminocyclohexanonehydrochloride adalah derivat phencyclidine,
yang menimbulkan “dissociative anesthesia,” yang ditandai oleh bukti
pada electroencephalogram (EEG) tentang dissosiasi antara
thalamocortical dan sistem limbic. Dissociative anesthesia menyerupai
suatu keadaan kataleptik di mana mata membuka dengan suatu
tatapan nystagmus lambat, pasien tidak komunikatif, walaupun
nampak seperti sadar, terjadi berbagai derajat gerakan otot skelet
hipertonus yang sering terjadi tanpa tergantung dari stimulasi bedah
dan pasien tersebut mengalami amnesia
serta analgesi yang kuat.
Ketamin telah terbukti dapat dipakai pada berbagai kasus gawat
darurat dan dianjurkan untuk pasien dengan sepsis atau pasien
dengan sakit parah, hal ini karena efek stimulasi ketamin terhadap
kardiovaskuler. Ketamin akan meningkatkan cardiac output dan
systemic vascular resistance lewat stimulasi pada system saraf
simpatis akibat pelapasan dari katekolamin. Penggunaan ketamin
dalam anesthesia sangat bervariasi. Ketamin dapat diunakan untuk
premedikasi, sedasi, induksi dan rumatan anestesi umum. Selain itu
penderita dengan resiko tinggi gangguan respirasi dan hemodinamik
merupakan indikasi penggunaan ketamin. Hal ini oleh karena beberapa
sifat ketamin seperti indeks terapeutik yang tinggi, mempertahankan
fungsi kardiovaskuler, kecukupan ventilasi spontan dan tetap utuhnya
reflek-reflek laryngeal dan faringeal.
Mekanisme kerja
Ketamin adalah suatu obat penghilang sakit kuat pada
konsentrasi plasma subanestetik, dan efek anestetik dan analgesia
mungkin diperantarai oleh mekanisme yang berbeda. Yang secara
rinci, analgesia mungkin dalam kaitan dengan suatu interaksi antara
ketamin dan opioid reseptor di dalam sistem saraf pusat. Ketamin dan
campuran seperti phencyclidin telah memperlihatkan blok
nonkompetitif eksitansi neural induksi dengan asam amin N-methyl-D-
aspartate (NMDA). Ketamin dapat menyebabkan peningkatan tekanan
darah sistolik dan diastolik yang ringan. Efek terhadap kardiovaskuler
adalah peningkatan tekanan darah arteri paru dan sistemik, laju
jantung dan kebutuhan oksigen jantung. Ketamin dapat pula
meningkatkan isi semenit jantung pada menit ke 5 – 15 sejak induksi.
Cardiac index (CI) akan meningkat dari 3,1 liter/menit/m2 menjadi
3,5liter/menit/m2. Ketamin tidak menyebabkan pengeluaran histamin.
Ketamin dilaporkan berinteraksi dengan mu (μ), delta (δ) dan kappa
(κ) reseptor dari opioid. Interaksi dengan opioid reseptor ini pada
berbagai studi NH – O menduga bahwa ketamin sebagai antagonis
pada μ reseptor dan agonis pada kreseptor. N-methyl-D-aspartate
adalah suatu asam amino yang bekerja sebagai reseptor dan
merupakan subgrup dari opioid reseptor. Ketamin bekerja sebagai
suatu antagonist reseptor untuk memblok spinal nociceptive refleks6.
Toleransi silang antara ketamin dan opioids suatu reseptor umum
untuk induksi analgesia ketamin. Suatu opioid reseptor teori akan lebih
lanjut didukung oleh pembalikan efek ketamin dengan naloxone.
Sampai saat ini, pembahasan efek naloxone atau respon ketamin
belum selesai. Dalam klinik dilaporkan ketamin tidak hanya digunakan
dalam general anestesi tetapi juga regional anestesi. Neuronal system
mungkin melibatkan kerja antinosiseptif dari ketamin, blokade
norepinefrin dan serotonin reseptor merupakan kerja ketamin sebagai
analgesia. Dari berbagai data menduga bahwa aksi antinosiseptif dari
ketamin mungkin menghambat jalur monoaminergik pain. Ketamin
juga saling berhubungan dengan reseptor kolinergik muskarinik dalam
sistem saraf pusat, yang berpusat pada kerja agen antikolinesterase
seperti physostigmine mungkin menjelaskan anestesi dari ketamin.
Farmakokinetik
Farmakokinetik ketamin menyerupai tiopental dalam onset yang
cepat, durasi yang singkat, dan daya larut tinggi dalam
lemak .Ketamin mempunyai suatu pKa 7,5 pada pH fisiologis.
Konsentrasi plasma puncak ketamin terjadi dalam 1 menit pada
pemberian IV dan dalam 5 menit pada suntikan IM. Ketamin tidaklah
harus signifikan menempel ke protein plasma dan meninggalkan darah
dengan cepat dan didistribusikan ke dalam jaringan. Pada awalnya,
ketamin didistribusikan ke jaringan yang perfusinya tinggi seperti otak,
di mana puncak konsentrasi mungkin empat sampai lima kali di dalam
plasma. Daya larut ketamin dalam lemak (5 – 10 kali dari tiopental)
memastikan perpindahan yang cepat dalam sawar darah otak.
Lagipula, induksi ketamin dapat meningkatkan tekanan darah cerebral
bisa memudahkan penyerapan obat dan dengan demikian
meningkatkan kecepatan tercapainya konsentrasi yang tinggi dalam
otak. Sesudah itu, ketamin didistribusikan lagi dari otak dan jaringan
lain yang perfusinya tinggi ke lebih sedikit jaringan yang perfusinya
baik. Waktu paruh ketamin adalah 1 – 2jam. Kegagalan fungsi ginjal
atau enzim tidak mengubah durasi dari dosis tunggal ketamin yang
mempengaruhi distribusi kembali obat dari otak ke lokasi jaringan non-
aktip. Metabolisme hepar, seperti halnya dengan tiopental, adalah
penting untuk bersihan ketamin dari tubuh. Ketamin tersimpan dalam
jaringan dimana dapat berperan pada efek kumulatif obat dengan
pengulangan atau pemakaian yang kontinyu.
Metabolisme
Metabolisme ketamin secara ekstensif oleh microsomal enzim
hepatic. Suatu jalur metabolisme yang penting adalah demethylation
ketamin oleh sitokrom P-450. Enzim dapat membentuk norketamin
(gambar 2)3. Pada binatang percobaan, norketamin adalah seperlima
sampai sepertiga sama kuat seperti ketamin. Metabolit yang aktif ini
dapat berperan untuk ketamin yang diperpanjang. Norketamin adalah
hydroxylated dan kemudian menghubungkan ke glucuronide metabolit
yang non-aktif dan dapat larut dalam air. Pada pemberian secara intra
vena (IV), kurang dari 4% dosis ketamin dapat ditemukan dalam air
seni tanpa perubahan. Fecal kotoran badan meliputi kurang dari 5%
dari dosis ketamin injeksi. Halotan atau diazepam memperlambat
metabolisme dari ketamin dan memperpanjang efek obat tersebut.
Dikutip dari Stoelting, Hiller.
Penggunaan klinis ketamin
Ketamin adalah suatu obat yang unik yang menimbulkan
analgesia kuat pada dosis subanestetik dan memproduksi induksi
anesthesia yang cepat melalui intra vena pada dosis lebih tinggi.
Pemberian dari suatu antisialogogue dalam pengobatan preoperatif
sering direkomendasikan untuk menghindari batuk dan laryngospasme
oleh karena ketamin berhubungan dengan pengeluaran ludah.
Glikopirolat mungkin lebih baik, seperti atropin atau skopolamin bisa
secara teoritis meningkatkan timbulnya kegawatan delirium. Analgesia
kuat dapat dicapai dengan dosis ketamin subanestetik, 0,2 sampai 0,5
mg kg-l IV. Analgesia ditujukan lebih baik untuk nyeri somatic
dibanding untuk nyeri viseral. Analgesia dapat dilakukan selama
kehamilan tanpa berhubungan dengan depresi Neonatal. Neonatal
neurobehavioral score bayi yang dilahirkan lewat pervaginal dengan
ketamin analgesia adalah lebih rendah dari pada bayi mereka yang
lahir dengan epidural atau spinal anesthesia, tetapi lebih tinggi
dibanding skor bayi dengan tiopental-nitrous oksida. Ketamin
digunakan sebagai induksi anestesi dengan dosis, 1 – 2 mg kg-l IV atau
5 – 10 mg kg-l IM. Suntikan ketamin melalui intra vena tidak
menimbulkan nyeri atau iritasi pembuluh darah. Kebutuhan untuk
intramuscular dengan dosis besar mencerminkan suatu efek
metabolisme di hepar yang signifikan untuk ketamin. Kesadaran hilang
30 sampai 60 detik setelah penggunaan intravena dan 2 sampai 4
menit setelah suntikan intramuscular. Kesadaran hilang dihubungkan
dengan pemeliharaan normal atau hanya reflex berkenaan dengan
depresi faringeal dan laringeal. Kembalinya kesadaran pada umumnya
terjadi 10 sampai 15 menit yang mengikuti suatu dosis induksi
ketamin intravena, tetapi kesadaran yang komplit dapat tertunda
lama. Amnesia dapat menetap untuk sekitar 1 jam setelah kembalinya
kesadaran, tetapi ketamin tidak menyebabkan amnesia retrograd.
BUPIVACAINESebuah anastesi lokal yang long-acting yang sering digunakan untuk blok
saraf, persalinan,anestesi epidural dan anastesi subdural.Bupivakain (Rinn) adalah
obat bius lokal milik kelompok amino amida. Bupivakain adalah anestesi lokal yang
menghambat generasi dan konduksi impuls saraf. Hal ini umumnya digunakan untuk
analgesia oleh infiltrasi sayatan bedah. Penggunaan preemptive analgesik (termasuk
anestesi lokal digunakan untuk mengontrol nyeri pasca operasi) yaitu sebelum
cedera jaringan, disarankan untuk memblokir sensitisasi sentral, sehingga mencegah
rasa sakit atau nyeri membuat lebih mudah untuk mengontrol.
Indikasi dan Penggunaan untuk Bupivakain
Bupivakain diindikasikan untuk anestesi lokal termasuk infiltrasi, blok
saraf, epidural, dan intratekal anestesi. Bupivakain sering diberikan melalui
suntikan epidural sebelum artroplasti pinggul Obat tersebut juga biasa digunakan
untuk luka bekas operasi untuk mengurangi rasa nyeri dengan efek obat
mencapai 20 jam setelah operasi. Bupivacaine dapat diberikan bersamaan
dengan obat lain untuk memperpanjangdurasi efek obat seperti misalnya
epinefrin, glukosa, dan fentanil untuk analgesi epidural
Kontra Indikasi
Pada pasien dengan alergi terhadap obat golongan amino-amida dan
anestesi regional IV (IVRA) karena potensi risiko untuk kegagalan tourniket dan
adanya absorpsi sistemik dari obat tersebut,hati-hati terhadap pasien degan
gangguan hati,jantung,ginjal,hipovolemik Hipotensi,dan pasien usia lanjut
Farmakodinamik
Bupivacaine adalah agent anastesi local yang sering digunakan,sering
digunakan untuk injeksi spinal pada tulang belakang untuk anatesi total bagian
pinggul kebawah. Bupivacaine bekerja dengan cara berikatan secara intaselular
dengan natrium dan memblok influk natrium kedalam inti sel sehingga mencegah
terjadinya depolarisasi. Dikarenakan serabut saraf yang menghantarkan rasa nyeri
mempunyai serabut yang lebih tipis dan tidak memiliki selubung mielin, maka
bupivacaine dapat berdifusi dengan cepat ke dalam serabut saraf nyeri
dibandingkan dengan serabut saraf penghantar rasa proprioseptif yang mempunyai
selubung mielin dan ukuran serabut saraf lebih tebal.Bupivacaine mempunyai
lama kerja obat yang lebih lama dibandingkan dengan obat anastesi local yang
lain. Pada pemberian dosis yang berlebihan dapat menyebabkan toxic pada jantung
dan system saraf pusat .pada jantung dapat menekan konduksi jantung dan
rangsangan, yang dapat menyebabkan blok atrioventrikular, aritmia ventrikel dan
henti jantung, dan dapat menyebabkan kematian. Selain itu, kontraktilitas
miokard dan depresi vasodilatasi perifer terjadi, menyebabkan penurunan curah
jantung dan tekanan darah arteri. Efek pada SSP mungkin termasuk eksitasi SSP
(gugup, kesemutan di sekitar mulut, tinitus, tremor, pusing, penglihatan kabur,
kejang) diikuti oleh dmengantuk, hilangnya kesadaran, depresi pernafasan dan
apnea)
Farmakokinetik
Digunakan secara injeksi epidural dan bersifat lipofilik dimana 95% terikat
protein plasma, bupivacaine dari ruang subarachnoid relatif lambat,
yaitu 0,4 mg/ml pada setiap 100 mg yang diinjeksikan sehingga
konsentrasi maksimal di plasma sulit dicapai. Setelah disuntikkan
di ruang subarachnoid dosis maksimal (20 mg) akan menghasilkan
konsentrasi plasma < 0,1 mg/ml (Anonim, 1999). Bupivacaine
dimetabolisir oleh hepar menjadi 2,6 pipecolylxylidine serta
derivetnya, hanya 6% yang diekskresikan dalam bentuk yang tak
berubah (Aninom, 1999).Bupivacaine dapat menembus plasenta.
Karena ikatan protein pada fetus kurang dibandingkan ibu, maka
konsentrasi total plasma akan lebih tinggi pada ibu, walaupun
konsentrasi obat bebas plasma sama (Anonim, 1999).
Mula Kerja Obat
Anestesi lokal seperti bupivakain memblok generasi dan konduksi impuls
saraf, mungkin dengan meningkatkan ambang eksitasi untuk listrik pada saraf,
dengan memperlambat penyebaran impuls saraf, dan dengan mengurangi laju
kenaikan dari potensial aksi. Bupivakain mengikat bagian saluran intraseluler
natrium dan memblok masuknya natrium ke dalam sel saraf, sehingga mencegah
depolarisasi.
Lama kerja obat
6-8 jam Durasi tindakan dipengaruhi oleh konsentrasi volume suntikan
bupivacaine yang diggunakan.
Dosis dan penggunaan
Bentuk sediaan: 0,25%, 0,5%, 0,75% inj
anestesi lokal
Max: 2 mg / kg atau 175 mg / dosis, 400 mg/24h; Info: onset 2-10min, puncak
30-45min, durasi 3-6h, beberapa konsentrasi pengawet-bebas; conc semua.
tersedia w / epinefrin
1:200.000
Anastesi regional
Max: 2 mg / kg atau 175 mg / dosis, 400 mg/24h; Info: untuk blok saraf perifer
dan simpatik dan blok epidural; onset 2-10min, puncak 30-45min, durasi 3-6h,
beberapa konsentrasi pengawet bebas; conc semua. tersedia w / epinefrin
1:200.000
anestesi spinal
Info: onset <1min, 15min puncak, durasi 3-6h, beberapa konsentrasi pengawet-
bebas; conc semua. tersedia w / epinefrin 1:200
Efek Samping dan toksisitas
Bupivacaine mempunyai ikatan dengan protein tinggi dan
kelarutan dalam lemak yang tinggi, menyebabkan tingginya
durasi dan potensi kardiotoksisitasnya (Rathmell et al., 2004).
Pada konsentrasi tinggi obat anestesi local akan
menghambat respirasi mitokondria pada sel yang mempunyai
metabolisme cepat, sehingga akan menurunkan
pembentukan ATP, efek ini tergantung pada lipofilisitas obat
anestasi local, dan bupivacaine mempunyai lipofilisitas yang
tinggi, hal inilah yang menyebabkan kardiotoksisitasnya tinggi
(Rathmell et al., 2004).
Ikatan bupivacaine pada chanel Na pada sistem konduksi
jantung 100% lebih lama dibandingkan dengan lidokain, hal ini
karena bupivacaine bersifat fast-in, slow-out terhadap chanel Na
sedangkan lidokain bersifat fast-in, fast-out. Hal ini menyebabkan
bupivacaine 9 kali lebih kardiotoksik dibandingkan lidokain
(Rathmell et al., 2004). Pada saat bupivacaine masuk ke sistemik,
bupivacaine akan berikatan dengan protein. Tetapi bila tempat
pengikatan protein sudah jenuh terikat 6dengan bupivacaine,
penambahan dosis bupivacaine secara cepat akan menimbulkan
toksisitas. Sehingga toksisitas bupivacaine sering muncul sebagai
neurotoksisitas stimulaneus (kejang) terlebih dahulu sebelum
akhirnya muncul kardiotoksisitas. Kardiotoksisitas yang muncul
berupa fibrilasi ventrikel dan high-grade conduction block.
Resusitasi sangat sulit untuk berhasil (sekitar 70% mortalitas,
separuh dari yang selamat dengan disabilitas jangka panjang)
(Rathmell et al., 2004).
Efek samping pada kardiovaskuler dapat berupa efek toksik
konsentrasi bupivacaine plasma yang tinggi, sehingga
menyebabkan efek pada jantung, berupa hipotensi kerena
relaksasi otot polos arteriol dan depresi langsung pada miokard,
sehingga menurunkan resistensi vaskuler sistemik dan cardiac
output (Barash et al., 1997)
• kecemasan, gelisah
• penglihatan kabur
• kesulitan bernapas
• pusing, mengantuk
• detak jantung tidak teratur (palpitasi)
• mual, muntah
• kejang (konvulsi)
• ruam kulit, gatal-gatal (gatal-gatal)
• pembengkakan pada wajah atau mulut
• tremor
BAB III
PEMBAHASAN
Terapi Multimodal untuk mengontrol rasa sakit pasca operasi kini banyak
dipraktekkan karena keuntungan itu menyediakan dalam memblokir jalur nyeri
beberapa meminimalkan efek samping dari setiap obat sakit individu. Karya
penelitian mempelajari pengaruh ketamin dosis rendah intravena sebagai analgesik
pre-emptive pada pasien yang menjalani operasi caesar di bawah anestesi spinal. Pre-
emptive analgesia adalah pengobatan yang dimulai sebelum dan operasional selama
prosedur pembedahan untuk mengurangi konsekuensi fisiologis transmisi nociceptive
diprovokasi oleh prosedur tersebut.
Meskipun literatur tentang pengaruh ketamin pada analgesia preemptive
bertentangan, namun beberapa pengamatan dilakukan dari hasil studi ini. Pertama,
tercatat bahwa waktu untuk permintaan pertama untuk analgesik pasca operasi (TFA)
secara signifikan tertunda pada kelompok ketamin daripada kelompok kontrol.
Perbedaan waktu untuk permintaan pertama dari analgesik adalah sekitar 53 menit.
Temuan ini menguatkan dengan yang Amanor-Boadu et al di mana ketamin
berkepanjangan yang TFA. Ini telah dibuktikan dalam penelitian lain yang ketamin
menunda permintaan pertama untuk analgesia oleh sekitar 10-30 menit dibandingkan
dengan kelompok kontrol
Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi efek ketamin yang
digunakan bisa menjadi suntikan dosis. Sedangkan dalam penelitian ini, 0,25 mg / kg
ketamin digunakan, Amanor-Boadu et al dalam studi mereka menggunakan dosis
yang relatif lebih tinggi (0.5mg/kg) dari agen sehingga menghasilkan TFA
berkepanjangan juga diamati dalam studi mereka. Kemanjuran ketamin sering
dikaitkan dengan aktivasi reseptor NMDA dari tanduk dorsal sumsum tulang
belakang. Dalam kasus analgesia perioperatif yang memadai, reseptor NMDA
aktivasi kemungkinan akan ditekan dan administrasi ketamin tidak berguna. Dalam
penelitian lain yang telah mendokumentasikan efek preemptive ketamin analgesia
opioid perioperatif dipertanyakan dan cenderung memiliki diinduksi aktivasi
intraoperatif dari reseptor NMDA. Dalam penelitian ini, tidak ada analgesik intravena
lain yang diberikan yang dapat mempengaruhi aktivasi dari reseptor NMDA.
Bukti menunjukkan bahwa nyeri pasca operasi merupakan produk sensitisasi
baik perifer dan pusat. Setelah stimulasi ujung saraf bebas dengan insisi, pemotongan
dan traksi, kimia mediator nyeri seperti bradykinnin dan prostaglandin
mempertahankan rasa sakit lebih lama dengan hiperalgesia primer yang dihasilkan.
Pengembangan hiperalgesia sekunder difasilitasi saat serabut saraf A-alpha dan A-
beta, yang biasanya tidak memediasi nyeri, begitu diinduksi ketika sensitisasi perifer
occurs. Untuk mencapai analgesia preemptive berkelanjutan, rasa sakit dari cedera
awal harus diblokir dan sejak mediator kimia terus akan dirilis selama lebih dari
penghinaan awal, efek mereka harus dicegah untuk waktu yang lebih lama dari durasi
tindakan dari dosis tunggal diberikan analgesia . Sayangnya, penelitian kami tidak
bisa menunjukkan efek preemptive berkelanjutan dianggap dipamerkan oleh ketamin
pada dosis yang digunakan. Studi ini menunjukkan bahwa TFA itu lebih signifikan
berkepanjangan dalam kelompok yang memiliki ketamin dosis rendah.
Telah menyatakan bahwa analgesia preemptive mungkin sulit untuk
menunjukkan karena beberapa alasan lain seperti efek dari agen anestesi lain yang
digunakan selama anestesi dan operasi. Dalam penelitian kami meskipun polos
bupivacaine / fentanil anestesi spinal dilakukan untuk semua pasien, tidak ada pasien
yang berpartisipasi menerima bentuk lain dari analgesik selama dan setelah anestesi.
Setiap analgesik lain yang dikelola adalah pada saat pertama pasien diminta untuk itu.
Penggunaan intraoperatif dari setiap analgesik lain dapat memberikan suatu efek
preemptive parsial, suatu situasi yang dapat mengubah hasilnya. Dermot et al
mengusulkan bahwa efek pencegahan berkelanjutan harus mencakup blok neuraxial
sebelum stimulasi bedah berbahaya dan kelanjutan dari analgesia selama periode
intraoperatif untuk memblokir masukan nociceptive. Single-shot dosis ketamine
rendah yang digunakan dalam studi ini namun mungkin telah mengurangi rasa sakit
dan menunda terjadinya sensitisasi sentral. Sensitisasi sentral menjadi fenomena
dimana stimulus yang menyakitkan berulang menyebabkan persepsi nyeri lebih parah
dari waktu ke waktu meskipun ada perubahan dalam intensitas stimulus yang
menyakitkan.
Kedua, itu juga mengamati bahwa konsumsi analgesik pasca operasi secara
signifikan lebih rendah pada kelompok ketamin pada awalnya 24 jam dibandingkan
dengan kelompok lainnya. Hasil ini sebanding dengan penelitian lain yang
menunjukkan bahwa dosis kecil dari ketamin mengurangi kebutuhan opioid untuk
nyeri pasca operasi. Meskipun ini pengaruh ketamin mungkin karena antagonisme
tulang belakang situs reseptor NMDA, dapat bertindak pada sistem reseptor beberapa
seperti opioidergic dan kolinergik .
Ketamin juga mengaktifkan jalur penghambatan monoaminergic menurun di
situs supraspinal mengakibatkan antinociception. Meskipun dalam pekerjaan
penelitian, tidak ada perbedaan yang jelas dalam persyaratan opioid antara kedua
kelompok, namun kelompok ketamin menunjukkan dosis rendah jelas kebutuhan
opioid dalam 24 jam. Telah menunjukkan bahwa ketamin dapat menyebabkan
penurunan intensitas nyeri yang konsisten dan secara statistik signifikan pada saat
istirahat dibandingkan dengan kontrol dan penundaan waktu untuk permintaan
pertama dari analgesik penyelamatan. Namun penelitian ini tidak bisa menunjukkan
bukti hubungan antara dosis kemanjuran ketamin dan analgesik .
N-methyl-D-aspartate (NMDA) reseptor-antagonisme adalah mekanisme
neuro-farmakologis yang paling penting bagi efek analgesik ketamin. Mekanisme
yang sama mungkin terlibat dalam potensi neuro-protektif seharusnya substansi. Efek
pada reseptor opiat dapat berkontribusi untuk negara analgesik serta reaksi dysphoric.
Sifat simpatomimetik yang dimediasi oleh peningkatan pusat dan perifer mono-
aminergic transmisi. Permintaan perempuan untuk analgesia dipantau dengan VAS
selama 24 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor VAS rata-rata pada
kelompok plasebo meningkat menjadi 3 pada periode pasca operasi 90 menit. Pada
120 menit, kelompok plasebo telah menerima dosis pentazocine pada pencapaian skor
VAS rata-rata 4 atau lebih. Tapi ini tidak terjadi dengan kelompok ketamin yang
mengalami keterlambatan waktu untuk meminta analgesik. Temuan ini semakin
memperkuat manfaat ketamin sebagai analgesik yang kuat bahkan dalam dosis
rendah. Pemberian agen anestesi lokal ke dalam ruang subarachnoid telah dikaitkan
dengan perubahan hemodinamik. Salah satu perubahan hemodinamik yang diamati
selama penelitian ini adalah hipotensi. Hal ini umumnya terkait dengan anestesi
spinal baik karena penyebaran cephalad dari agen anestesi atau aliran balik vena yang
buruk sebagai akibat dari berat rahim gravid pada vena cava terutama karena wanita
hamil mengasumsikan posisi terlentang untuk operasi. Beberapa kasus hipotensi
diamati dalam studi ini mungkin karena perawatan yang optimal - memastikan tilt
lateral yang tepat kiri rahim gravid, pemberian cairan intravena dan efedrin intravena.
Langkah-langkah lain yang dapat digunakan untuk mencegah hipotensi akibat
anestesi spinal termasuk penggunaan stoking kompresi, administrasi profilaksis
vasopressors, dan administrasi dari koloid. Kejadian hipotensi pada kelompok
ketamin kurang mungkin karena efek simpatomimetik dari agen. Tetapi pasien yang
hipotensi dikembangkan diobati dengan pemberian cairan yang cepat dan penggunaan
efedrin.
Bradikardia bisa menjadi komplikasi anestesi spinal untuk operasi caesar
setelah blokade saraf dari serat akselerator dari T2 ke T4 yang mensuplai jantung.
Ketika diblokir, penurunan kontraktilitas jantung dan karenanya bradycardia
mengikuti karena aktivitas vagal dilawan. Sebuah blok setinggi T1 sepenuhnya
menghilangkan kemampuan tubuh untuk mengkompensasi perubahan peredaran
darah di samping memproduksi vasodilatasi umum - fenomena tulang belakang total.
Namun dalam penelitian ini, hanya 5,13% dari perempuan pada kelompok plasebo
mengembangkan beberapa bradycardia dan tidak ada pada kelompok ketamin.
Ketamin dikenal menyebabkan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung karena
aktivitas simpatomimetik nya. Ini bisa menjadi alasan untuk kejadian kurang dari
bradycardia diamati pada kelompok yang menerima ketamin dosis rendah.
Menggigil Postspinal adalah komplikasi yang menonjol di antara kelompok
plasebo. Tak satu pun dari wanita dalam kelompok ketamin dikembangkan
menggigil. Ketamin, antagonis reseptor NMDA yang kompetitif, juga menghambat
menggigil pasca operasi. Kemungkinan bahwa antagonis reseptor NMDA
memodulasi termoregulasi di sejumlah tingkatan. Pada tikus, neuron dalam
hipotalamus preoptic-anterior telah terbukti untuk meningkatkan tingkat menembak
mereka dengan aplikasi NMDA. Selanjutnya, reseptor NMDA memodulasi neuron
noradrenergik dan serotoninergic di coeruleus lokus. Dalam nukleus raphe dorsal,
serotonin bertindak sebagai neuromodulator untuk meningkatkan efek dari reseptor
NMDA. Akhirnya, reseptor NMDA di tanduk dorsal sumsum tulang belakang
memodulasi naik transmisi nociceptive. Selain menjadi antagonis reseptor NMDA
yang kompetitif, ketamin memiliki beberapa properti farmakologi lainnya, ini
termasuk menjadi suatu agonis opioid κ, menghalangi penyerapan amina dalam
penghambatan jalur nyeri menurun monoaminergic, memiliki tindakan anestesi lokal
dan berinteraksi dengan reseptor muscarinic. Oleh karena itu mungkin mengontrol
menggigil dengan nonshivering thermogenesis baik oleh tindakan pada hipotalamus
atau dengan efek β-adrenergik norepinefrin.
Kejadian PDPH dalam penelitian ini adalah 7,31% pada kelompok ketamin
dan 5,13%% pada kelompok plasebo. Pasca tusuk kepala dural terjadi setelah anestesi
spinal untuk operasi caesar telah berkurang karena perkembangan desain bevel baru
dan jarum gauge yang lebih kecil. Fyneface-Ogan et al, [26] menemukan bahwa
kejadian PDPH adalah 6% dengan jarum 25G Whitacre tapi 0% dengan jarum 26G.
Dalam penelitian kami, tingkat kejadian yang diamati hampir sama meskipun ukuran
25 jarum Whitacre digunakan. Manajemen PDPH pada pasien dalam penelitian kami
termasuk istirahat di tempat tidur, pemberian cairan liberal dan analgesik.
Penggunaan patch darah epidural juga sering digunakan sebagai pengobatan definitif
BAB IV
KESIMPULAN
1. Studi ini menunjukkan bahwa pemerintahan pra-insisional ketamin dosis
rendah intravena menunda waktu untuk permintaan analgesik pertama pada
wanita yang memiliki operasi caesar di bawah bupivakain / fentanil anestesi
spinal.
2. Studi ini tidak bisa secara substansial menunjukkan properti analgesik
preemptive ketamin.
3. Kegagalan studi ini dengan jelas menunjukkan efek yang diinginkan ketamin
dapat meningkatkan kontroversi yang sedang berlangsung mengenai konsep
preemptive analgesia dianggap dipamerkan oleh ketamin.
4. Kekurangan dari study ini adalah tidak menunjukkan parameter dari efek
analgesic yg di lakukan ketamin
5. Kekurangan study ini tidak secara lungas menerangkan apa yg dimaksud
dengan pre-emptive treatment