anemia defisiensi besi1

Upload: wiza-erlanda

Post on 14-Jul-2015

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Anemia Defisiensi Besi

Oleh Suci Maulidia 1110312016

Abstrak Artikel ini membahas anemia defisiensi besi dengan metode tinjauan kepustakaan. Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang lazim terjadi di Indonesia. Aspek-aspek yang dibahas mengenai anemia defisiensi besi di antaranya meliputi: (1) siklus dan metabolisme besi dalam tubuh, (2) penyebab anemia defisiensi besi, (3) gejala klinis anemia defisiensi besi, (4) patogenesis anemia defisiensi besi, dan (5) tindakan pencegahan yang dapat dilakukan dalam mencegah anemia defisiensi besi.

Kata kunci Anemia, defisiensi, besi, metabolisme, etiologi, gejala, patogenesis, pencegahan

1. Pendahuluan

1.1

Latar Belakang Anemia adalah penyakit yang ditandai oleh rendahnya kadar hemoglobin

dalam darah. Akibatnya, fungsi dari hemoglobin untuk membawa oksigen ke seluruh tubuh tidak berjalan dengan baik. Hal ini dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan kerja bagi orang dewasa dan gangguan dalam perkembangan mental dan motorik pada anak dan balita. Di Indonesia, kasus anemia umumnya terjadi karena kekurangan zat besi. Anemia ini dikenal dengan anemia defisiensi besi. Seperti pernah dikatakan Prof Dr dr Sutaryo dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar pada Fakultas

Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, tahun 2005 persoalan zat besi masih menjadi persoalan serius bagi Indonesia. Bahkan, kekurangan zat besi memainkan andil besar terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. Anemia bisa menyerang laki-laki dan wanita dari berbagai kelompok umur (mulai dari bayi sampai lansia). Namun, dibanding pria, anemia lebih banyak diderita kaum wanita. Anemia defisiensi besi merupakan defisiensi nutrisi yang paling sering terjadi di dunia. Anemia ini tidak hanya disebabkan oleh konsumsi makanan yang sedikit mengandung zat besi, tetapi juga dapat disebabkan oleh perdarahan yang berlangsung lama dalam tubuh.

1.2

Rumusan Masalah Adapun masalah-masalah yang akan dibahas dalam artikel ini dirumuskan

sebagai berikut: 1. Bagaimana siklus dan metabolisme besi dalam tubuh? 2. Apa yang dapat menyebabkan anemia defisiensi besi? 3. Bagaimana gejala klinis anemia defisiensi besi? 4. Bagaimana patogenesis atau perjalanan anemia defisiensi besi? 5. Bagaimana tindakan pencegahan anemia defisiensi besi?

1.3

Tujuan Penulisan Artikel ini bertujuan untuk memahami definisi, etiologi, gejala klinis,

patogenesis, dan tindakan pencegahan anemia defisiensi besi.

1.4

Manfaat Penulisan Artikel ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat khususnya bagi

dokter sebagai tenaga praktisi kesehatan untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi, gejala klinis, perjalanan anemia defisiensi besi, dan tindakan pencegahannya.

1.5

Kerangka Teori Anemia adalah penyakit yang ditandai oleh rendahnya kadar hemoglobin

dalam darah. Akibatnya, fungsi dari hemoglobin untuk membawa oksigen ke seluruh tubuh tidak berjalan dengan baik. Secara fungsional anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Menurut WHO, seseorang dikatakan anemia apabila kadar hemoglobinnya < 13 gr% bagi pria dewasa, < 12 gr% bagi wanita dewasa, dan < 11 gr% bagi wanita hamil. Defisiensi besi didefinisikan sebagai penurunan kadar besi total tubuh. Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropopoesis, karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang.

1.6

Metode Penulisan Metode yang dipakai pada penulisan artikel ini adalah tinjauan

kepustakaan yang merujuk kepada berbagai literatur ilmiah

2. Pembahasan

2.1

Siklus dan Metabolisme Besi dalam Tubuh Besi merupakan trace element yang terbanyak pada tubuh manusia dan

merupakan salah satu elemen yang terbanyak di alam ini. Rata-rata kandungan besi pada manusia dewasa yang sehat berkisar antara 4-5 gram (40-50 mg Fe/kg berat badan). Enam puluh lima persen besi tubuh terkandung pada eritrosit

sebagai besi yang terikat hemoglobin. Pada mioglobin, beberapa enzim dan sel-sel lainnya sebesar 5% sebagai besi yang aktif. Sebesar 0,1 % dalam bentuk transferin pada plasma darah dan 15 hingga 30% disimpan pada sistem retikuloendotelial dan sel parenkim hati terutama dalam bentuk feritin. Metabolisme besi adalah siklus yang kompleks antara penyimpanan, penggunaan, transpor, penghancuran, dan penggunaan dalam kandung kembali. Hati empedu dan

mengeluarkan sejumlah apotransferin ke

kemudian mengalir ke duodenum. Pada usus halus ini apotransferin terikat pada besi bebas dalam makanan membentuk transferin. Transferin kemudian terikat pada reseptor transferin pada membran sel epitel pada usus. transferin ini diabsorpsi ke dalam sel epitel dan dilepaskan ke dalam plasma darah dalam bentuk transferin plasma. Penyerapan besi pada usus halus dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah asiditas lambung dan makanan. Bentuk besi yang dapat diabsorbpi adalah bentuk Fe2+, yang harus diubah dahulu oleh duodenal cytochrome b (Dcytb) sebelum diterima oleh divalent metal transporter 1 (DMT

1). Pada daerah basolateral besi ini dikeluarkan dari sel melalui ferroportin dalam bentuk Fe2+ dan diubah ke bentuk Fe3+ oleh Hephaestin. Besi ini

kemudian berikatan dengan transferin dan kemudian melekat pada reseptor transferin yang terdapat pada sel. Besi di dalam sel kemudian dibawa ke mitokondria atau disimpan dalam bentuk feritin. Kelebihan besi dalam darah dideposit pada semua sel tubuh tetapi terutama pada sel-sel hati dan lebih sedikit pada retikuloendotelial sumsum tulang. Pada sitoplasma sel, besi ini terikat terutama pada apoferitin membentuk feritin. Sejumlah kecil besi tersimpan dalam bentuk hemosiderin, hal ini terjadi bila total jumlah besi yang terdapat dalam tubuh melebihi kapasitas yang dapat ditampung apoferitin. Jika jumlah besi dalam plasma turun, besi dilepaskan dari feritin dengan mudah dan kemudian diangkut dalam bentuk transferin dalam plasma dan dibawa ke bagian tubuh yang memerlukan. Dua jenis diet besi yaitu besi heme dan non-heme. Besi heme adalah bagian dari hemoglobin dan mioglobin dan terdapat pada daging dan ikan.

Bioavailabilitasnya sedikit dipengaruhi oleh komposisi makanan tersebut. Besi non-heme merupakan sumber yang lebih penting, ditemukan dalam semua tumbuhan. Bioavailabilitasnya bergantung pada

makanan yang berasal dari

adanya faktor yang memperkuat dan menghalangi yang dimakan bersama-sama dengan makanan tersebut. Daging, ikan, dan vitamin C memperkuat

penyerapan sedangkan phytates, oxalates, dan polyphenoles (termasuk tanin) termasuk inhibitor dari terserapnya besi. Phytate terdapat pada gandum dan sereal lainya, walaupun dalam jumlah yang sedikit menghalangi penyerapan.

Oxalates terdapat pada nasi. Tanin terdapat pada teh dan kopi, adalah inhibitor absorpsi yang kuat.

2.2

Etiologi

2.2.1 Faktor nutrisi (diet) Akibat kurangnya jumlah zat besi total dalam makanan, atau kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat, rendah vitamin C, dan rendah daging). Daging menyediakan sumber zat besi heme, dimana diabsorbsi lebih baik daripada besi nonheme yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau suplemen makanan. Vitamin C membantu meningkatkan penyerapan zat besi. 2.2.2 Perdarahan Pendarahan karena alasan apapun menghasilkan deplesi besi. Jika terjadi kehilangan darah yang cukup dan menahun, anemia defisiensi besi dapat terjadi kemudian hari. Perdarahan menahun yang dapat menimbulkan anemia defisiensi besi adalah: a. Perdarahan saluran cerna: tukak peptic, pemakaian salisilat atau OAINS, kanker lambung, kolon, divertikulosis, hemoroid, dan infeksi cacing tambang. b. Saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau metrorhagia. c. Saluran kemih: hematuria d. Saluran nafas: hemoptoe 2.2.3 Kebutuhan besi meningkat Karena pertumbuhan yang pesat, bayi dan balita membutuhkan besi yang lebih banyak daripada anak yang lebih besar. Ada kalanya kebutuhan besi ini sulit

dipenuhi dengan diet normal. Wanita hamil membutuhkan kadar besi yang lebih besar. Untuk memenuhi kecukupannya, kebanyakan wanita harus mengambil suplemen besi yang direkomendasikan oleh tenaga kesehatan. Ketika seseorang kehilangan darah, mereka juga kehilangan besi. Mereka membutuhkan ekstra besi untuk mengganti kehilangannya. Peningkatan

kehilangan darah dapat terjadi karena periode menstruasi yang berlebihan, donor darah yang berlebihan, dan kondisi gastrointestinal (sensitive terhadap makanan tertentu atau adanya cacing tambang).

2.2.4 Gangguan absorbsi besi a. Akloridia berkepanjangan dapat menyebabkan kekurangan zat besi karena kondisi asam diperlukan untuk melepaskan besi ferri dari makanan. b. Mengkonsumsi zat tepung (kanji) yang berlebihan dapat menyebabkan malabsorpsi besi. c. Riwayat bedah pada saluran cerna seperti gastrektomi atau proksimal usus kecil. d. Penyakit kronis saluran cerna: tropikal sprue, kolitis kronis, dan sebagainya.

2.3

Patogenesis Bila bukan karena perdarahan, anemia defisiensi besi adalah hasil

akhir dari keseimbangan besi negatif dalam waktu yang lama. Bila total besi tubuh turun, terjadi beberapa kejadian yang mengikutinya. Pertama, simpanan besi pada hepatosit dan makrofag pada hati, limpa dan sumsum tulang berkurang.

Setelah simpanan besi habis, besi plasma menurun, sehingga suplai besi pada sumsum tulang untuk pembentukan hemoglobin menjadi tidak adekuat. Sebagai akibatnya jumlah eritrosit protoporfirin bebas meningkat. Terjadilah produksi eritrosit yang mikrositik dan nilai hemoglobin turun. Perjalanan defisiensi besi ini melalui tiga tahapan. Pada tahap awal simpanan besi berkurang, tetapi belum mengurangi besi serum. Tahap ini

diketahui dengan adanya nilai feritin yang rendah. Tahap kedua jika simpanan besi sudah habis tetapi nilai hemoglobin masih dalam batas normal. Terjadi penurunan saturasi transferin, peningkatan total iron binding capacity (TIBC) dan peningkatan protoporfirin eritrosit bebas. Nilai mean corpuscular volume (MCV) masih dalam batas normal, tetapi pada apus darah tepi sudah mulai

terlihat adanya sel-sel yang mikrositik. Banyak pasien yang mulai mengeluh cepat lelah walaupun mereka belum menderita anemia. Pada tahap ketiga nilai hemoglobin turun dan terjadilah anemia defisiensi besi.

2.4

Gejala Klinis Anemia Defisiensi Besi

2.4.1 Gejala Umum Gejala umum anemia atau sindrom anemia dijumpai pada ADB apabila kadar hemoglobin turun dibawah 8 g/dl. Gejalanya berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, dan mata berkunang-kunang. Kelelahan dan kemampuan konsentrasi berkurang untuk bekerja yang disebabkan kurangnya hemoglobin yang beredar, namun gejala tersebut kadang terjadi tidak sesuai dengan tingkat anemia. Pada pemeriksaan fisik dijumpai pasien yang pucat pada selaput lender, terutama pada konjungtiva dan jaringan di bawah kuku.

2.4.2 Gejala Khas Defisiensi Besi Gejala ini khas dijumpai pada anemia defisiensi besi dan tidak dijumpai pada anemia jenis lain, yaitu: a. Koilonikia: kuku sendok (spoon nail), kuku menjadi rapuh, bergaris-garis vertical dan menjadi cekung. b. Atrofi papil lidah: permukaan lidah menjadi licin dan mengkilap karena papil lidah menghilang. c. Stomatitis angularis: adanya radang pada sudut mulut sehingga tampak seperti bercak berwarna pucat keputihan. d. Disfagia: nyeri menelan karena kerusakan epitel hipofaring. e. Atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhlorodia. f. Pika, yaitu keinginan untuk memakan bahan yang tidak lazim seperti tanah liatdan lem. Dari gejala di atas terdapat sindrom Plummer Vinson atau sindrom Paterson Kelly yang merupakan kumpulan gejala yang terdiri dari anemia mikrositik hipokrom, atrofi papil lidah, dan disfagia. 2.4.3 Gejala Penyakit Dasar Gejala akibat penyakit cacing tambang, colitis, kanker colon, dan penyakit lain yang menyebabkan anemia defisiensi besi.

2.5

Pencegahan Mengingat tingginya prevalensi anemia defisiensi besi di masyarakat,

maka diperlukan suatu tindakan pencegahan yang terpadu. Tindakan pencegahan dapat berupa:

a.

Pendidikan kesehatan Kesehatan lingkungan, misalnya tentang pemakaian jamban,

perbaikan lingkungan kerja, misalnya pemakaian alas kaki sehingga dapat mencegah penyakit cacing tambang. Penyuluhan gizi untuk mendorong konsumsi makanan yang membantu absorbsi besi. b. Pemberantasan infeksi cacing tambang sebagai sumber perdarahan

kronik yang paling sering dijumpai di negara tropic. Pengobatan missal dengan pemberian anthelmentik danperbaikan sanitasi dapat membantu mengatasi masalah ini. c. Suplementasi besi yaitu pemberian besi secara profilaksis pada

segmen penduduk yang rentan seperti ibu hamildan anak balita. d. Fortifikasi bahan makanan dengan besi, yaitu mencampurkan besi

pada bahan makanan. Di negara barat dilakukan dengan mencampur besi dengan tepung roti atau bubuk susu dengan besi.

3. Penutup

3.1

Kesimpulan 1. Anemia adalah penyakit yang ditandai oleh rendahnya kadar hemoglobin dalam darah. Sedangkan anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat berkurangnya penyediaan besi untuk eritropopoesis, karena cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan hemoglobin berkurang. 2. Di Indonesia, kasus anemia umumnya terjadi karena kekurangan zat besi.

3. Kekurangan zat besi memainkan andil besar terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia. 4. Enam puluh lima persen besi tubuh terkandung pada eritrosit

sebagai besi yang terikat hemoglobin. 5. Metabolisme besi adalah siklus yang kompleks antara penyimpanan, penggunaan, transpor, penghancuran, dan penggunaan kembali. 6. Banyak yang mempengaruhi terjadinya anemia defisiensi besi yaitu faktor nutrisi, perdarahan kronik, kebutuhan besi yang meningkat, dan adanya gangguan absorpsi besi. 7. Ada tiga gejala klinis anemia defisiensi besi, yaitu gejala umum, gejala khas defisiensi besi, dan gejala penyakit dasar. 8. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah anemia defisiensi besi adalah dengan memberikan pendidikan kesehatan, pemberantasan cacing tambang, pemberian suplemen besi, dan fortifikasi bahan makanan dengan besi.

3.2

Saran Anemia defisiensi besi merupakan suatu keadaan yang dapat dicegah

dengan pemenuhan nutrisi yang mengandung sumber besi heme. Hal ini menjadi tanggung jawab seorang dokter sebagai tenaga praktisi kesehatan dalam mengedukasi masyarakat tentang kepentingan gizi dalam mengantisipasi anemia.

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmatNya, penulis dapat menyelesaikan artikel ini. Penyusunan artikel ini dilakukan dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan artikel ini. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ba pa k R oni di n, s e l a ku do s e n Ba ha s a I n do n es i a ya n g t el a h me n ye di a k a n w a kt u , t e na ga , dan pikiran di dalam mengarahkan penulis dalam penyusunan artikel ini. 2. S a uda r a s a ya ya ng t e l a h me m b er i ka n ba nt ua n du ku n ga n ma t er ia l maupun moril. A k hi r ka t a , p enu l i s b er ha r a p T u ha n Ya n g M a ha Esa

b er ke na n me mb a la s s e ga l a kebaikan saudara-saudara semua. Semoga artikel ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Padang, Januari 2012 Penulis

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Adamson, John W. 2005. Harrisons Principles of Internal Medicine Volume I 16th Ed. United States of America: the McGraw-Hill Companies.

Bakta, I Made. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: FKUI. Conrad, Marcel E. Iron Deficiency Anemia dalam

http://emedicine.medscape.com. Diakses, 5 Januari 2012. Depkes. Jangan Kalah oleh Kurang Darah dalam

http://www.litbang.depkes.go.id. Diakses, 5 Januari 2012. Killip, Shersten et al. 2007. Iron Deficiency anemia dalam American Family Physician Volume 75, Number 5. March 2007. Wibowo, Noroyono dan Regina Tatiana Purba. 2006. Anemia Defisiensi Besi dalam kehamilan dalam Dexamedia Jurnal Kedokteran dan Farmasi No. 1 Vol. 19. Januari-Maret 2006.