analisis yuridis peraturan daerah kota bekasi nomor …
TRANSCRIPT
1
ANALISIS YURIDIS PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 15
TAHUN 2012 TENTANG RERTIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
DAN PERATURAN DAERAH NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG
RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA BEKASI DIKAITKAN
DENGAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI KAWASAN TEMPAT
PEMBUANGAN SAMPAH TERPADU BANTAR GEBANG KOTA
BEKASI
Diajukan Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian
Studi Sarjana Hukum
DISUSUN DAN DIAJUKANOLEH :
BAGUS AKBAR FEBRIANTO
017201405019
FAKULTAS HUMANORIA
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
UNIVERSITAS PRESIDENT
CIKARANG
2018
2
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “ANALISIS YURIDIS PERATURAN DAERAH KOTA
BEKASI NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG RERTIBUSI IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN DAN PERATURAN DAERAH NOMOR 11
TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA
BEKASI DIKAITKAN DENGAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI
KAWASAN TEMPAT PEMBUANGAN SAMPAH TERPADU BANTAR
GEBANG KOTA BEKASI” disiapkan dan diajukan oleh Bagus Akbar
Febrianto dalam memenuhi persyaratan untuk gelar S1 program studi Ilmu
Hukum. Skripsi ini telah direview oleh dosen pembimbing sebagai persyaratan
untuk sidang skripsi.
Menyetujui,
Mahayoni, S.H., M.H
Pembimbing I
Dr. Maria Francisca Mulyadi, S.H., S.E., M.Kn
Pembimbing II
3
DEKLARASI SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “ANALISIS YURIDIS PERATURAN DAERAH KOTA
BEKASI NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG RERTIBUSI IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN DAN PERATURAN DAERAH NOMOR 11
TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA
BEKASI DIKAITKAN DENGAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI
KAWASAN TEMPAT PEMBUANGAN SAMPAH TERPADU BANTAR
GEBANG KOTA BEKASI” adalah judul dan isi terbaik dan kepercayaan saya
sendiri. Skripsi ini merupakan karya asli yang belum diajukan sebagian atau
seluruhnya ke Universitas lain untuk mendapat gelar S1 program Studi Ilmu
Hukum.
Cikarang, 24 Mei 2018
Bagus Akbar Febrianto
4
LEMBAR PERSETUJUAN DAN PEMBIMBING
Skripsi yang berjudul “ANALISIS YURIDIS PERATURAN DAERAH KOTA
BEKASI NOMOR 15 TAHUN 2012 TENTANG RERTIBUSI IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN DAN PERATURAN DAERAH NOMOR 11
TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KOTA
BEKASI DIKAITKAN DENGAN IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DI
KAWASAN TEMPAT PEMBUANGAN SAMPAH TERPADU BANTAR
GEBANG KOTA BEKASI”telah selesai disusun dan diajukan oleh Bagus
Akbar Febrianto jurusan Hukum Fakultas Humaniora telah dinilai dan disetujui
untuk lulus ujian secara lisan pada tanggal 24 Mei 2018.
Gratianus Prikasetya Putra, S.H., M.H
Pembimbing II
Mahayoni, S.H., M.H
Pembimbing I
Dr. Maria Francisca Mulyadi, S.H., S.E., M.Kn
Pembimbing II
5
ABSTRAK
Pertambahan penduduk di kota terjadi karena pertumbuhan penduduk yang alami
dan penduduk yang ber migrasi. Tempat Pembuangan Terpadu Bantar Gebang
yang terletak di Kota Bekasi telah memberikan kesempatan kerja bagi pendatang.
Sehingga Meningkatnya kebutuhan ruang dalam pelaksanaan pembangunan
berimplikasi terhadap penggunaan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu
mengkaji tentang kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan model
penataan ruang permukiman kumuh Bantar Gebang dan menyandarkan pada
penulusuran dokumen-dokumen hukum (doktrinal). Dokumen hukum tersebut
dapat berupa bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Selain itu
perhatian dalam penelitian ini lebih spesifik digunakan pendekatan kualitatif
dengan inventarisasi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
permukiman kumuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Implementasi Rencana Tata Ruang Kota Bekasi
dalam penegakan hukum belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini
disebabkan pemanfaatan tata ruang seperti kawasan-kawasan yang ada selama masih
tumpang tindih dengan arah kebijakan yang diambil Pemerintah Kota. Permasalahan
terkait penataan tata ruang Izin Mendirikan Bangunan yang di harapkan mampu
menjawab setiap permasalahan terkait Tata Ruang di Kota Bekasi serta
permasalahan serupa terkait IMB di daerah TPST Bantar Gebang harus
mendapatkan solusi yang tepat dan komprehensif.
Kata Kunci : Rencana Tata Ruang Wilayah, Implementasi, Penegakan Hukum
Izin Mendirikan Bangunan
6
ABSTRACT
The population growth in the city is due to the growth of the natural population
and the migration population. The Bantar Gebang Integrated Disposal Site located
in Kota Bekasi has provided employment opportunities for migrants. So that the
increasing of space requirement in the implementation of development has
implication to the use of space which is not in accordance with the spatial plan.
The research method used in this research is normative juridical that is to examine
the rules of law related to the model of settlement space settlement of Bantar
Gebang slum and relies on the sanction of legal documents (doctrinal). Such legal
documents may be primary legal materials as well as secondary legal materials. In
addition, the attention in this research is more specific to use qualitative approach
with inventory of legislation related to slum settlement.
The results show that Implementation of Bekasi City Spatial Planning in law
enforcement has not been implemented properly. This is due to the spatial use of
such areas as they overlap with the policy directions taken by the City
Government. Problems related to spatial arrangement of Building Permit which is
expected to be able to answer every problem related to Spatial Planning in Bekasi
City and similar problems related to IMB in TPST Bantar Gebang area must get
the right and comprehensive solution.
Keywords: Spatial Plan, Implementation, Law Enforcement Permit Building
7
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah
memberikan semangat, bimbingan, kemampuan, serta kekuatan bagi penulis
dalam menyelesaikan penulisan hukum yang berjudul “ANALISIS YURIDIS
PERATURAN DAERAH KOTA BEKASI NOMOR 15 TAHUN 2012
TENTANG RERTIBUSI IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DAN
PERATURAN DAERAH NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA
TATA RUANG WILAYAH KOTA BEKASI DIKAITKAN DENGAN IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN DI KAWASAN TEMPAT PEMBUANGAN
SAMPAH TERPADU BANTAR GEBANG KOTA BEKASI”. Penulis skripsi
ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas President. Suka duka telah menyertai Penulis
didalam menyelesaikan penulisan ini. Tidak terasa dengan berbagai upaya, cara,
dan usaha Penulis dapat menyelesaikannya. Tetapi karena Penulis hanya seorang
manusia biasa yang tidak lepas dari kesalahan dan dengan segala keterbatasan
kemampuasn, waktu, pengetahuan, serta pengalaman, maka dengan ini Penulis
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan yang telah diberikan oleh berbagai
pihak. Oleh karena itu penulis ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada :
1. Ibu Dra. Fennieka Kristianto, S.H., M.A., M.H., M.KN.selaku Kaprodi
Fakultas Hukum Universitas President yang banyak meluangkan waktu,
perhatian, serta memberikan banyak arahan dan sudah menyetujui proses
penyelesaian penyusunan skripsi ini.
2. Bapak Gratianus Prikasetya Putra, S.H., M.H selaku dosen Penguji skripsi
yang membantu dan memberikan motivasi hingga selesai tugas akhir
skripsi ini.
3. Bapak Mahayoni, S.H., M.H. selaku pembimbing I yang telah meluangkan
waktu disela kesibukannya untuk memberikan dukungan moril, masukan
8
dan petunjuk, serta bantuan yang sangat besar baik secara teknis maupun
non teknis kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu Dr. Maria Francisca Mulyadi, S.H., S.E., M.Kn selaku pembimbing II
yang telah memberikan dan menyempatkan waktu luang untuk membantu
dalam proses penyelesaian skripsi ini.
5. Seluruh Bapak dan Ibu dosen program S1 Reguler Malam Program Studi
Hukum President University yang telah mendidik serta membekali Ilmu
Pengetahuan.
6. Kedua orangtua Bapak Edy Subagyo dan Ibu Dwi Atnurwati yang sudah
memberikan dukungan dan nasehat serta mendoakan sehingga dapat
menyelesaikan studi S1 Fakultas Hukum.
7. Sahabat saya Arnold Arnando Sitompul yang telah memberikan akses
internet gratis di rumah tercinta di Bekasi Timur Regensi Blok O 7 No 26
dan selalu mensuport sertra membantu saya dalam menyelesaikan skripsi
ini.
8. Teman-teman seperjuangan Fakultas Hukum University angkatan 2014
yang saling memberikan dukungan dan saling bertukar pikiran dalam hal
pembelajaran.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada banyak pihak yang tidak
dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu hingga penulisan skripsi ini
selesai, mudah mudahan Allah SWT sekiranya membalas kebaikan kalian semua.
Penulis juga menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak luput dari kekurangan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
penyempurnaan skripsi ini. Dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi banyak
pihak. Aamiin.
Cikarang 24 Mei
Bagus Akbar Febrianto
9
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Rencana Tata Ruang Wilayah dapat menjadi fungsi koordinasi dan
pengendalian dengan munculnya pemahaman bersama mengenai orientasi dan
paradigma pembangunan perkotaan masa depan.. Penataan Ruang ditujukan untuk
menyerasikan peraturan penataan ruang dengan peraturan lain yang terkait,
harmonisasi pembangunan antar wilayah, mengendalikan pemanfaatan ruang yang
efektif, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengendalian pemanfaatan
ruang dan mewujudkan sistem kelembagaan penataan ruang1. Lebih lanjut,
penataan ruang memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan pembangunan
demi terwujudnya pembangunan berkelanjutan yaitu dalam bentuk memberikan
kontribusi yang nyata dalam pengembangan wilayah dan kota yang berkelanjutan,
sehingga keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia dapat tercapai.
Kebijakan pembangunan tersebut diantaranya adalah menerapkan konsep
pembangunan berkelanjutan, mempertahankan dan mendorong peningkatan
presentase Ruang Terbuka Hijau (RTH) terhadap kawasan budidaya lainnya,
mempertahankan kawasan konservasi terutama di kawasan perkotaan. Salah satu
pembangunan yang mempunyai kedudukan penting dalam pembangunan nasional
di Indonesia adalah pembangunan penataan ruang dan lingkungan hidup. Hal ini
disebabkan aspek penataan ruang serta lingkungan hidup terkait dengan hampir
semua kegiatan dalam kehidupan manusia. Untuk upaya dalam pelaksanaan
pembangunan selalu dikaitkan dengan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan
hidup dan pengembangan tata ruang.2
1Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
2 Uniarso Ridwan, Hukum Tata Ruang, Nuansa, Bandung 2008. Hlm 23
10
Pengembangan hukum tata ruang Indonesia secara konstitusional dapat
ditelusuri melalui pembukaan Undang-undang Dasar 19453, alinea IV yang
memuat tentang tujuan Negara . Prinsip dasar ini secara konkret dirumuskan
dalam Pasal 33 UUD 1945, yang menyebutkan “ bumi, air dan ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.4
Pembangunan pada hakikatnya adalah pemanfaatan sumber daya yang
dimiliki untuk maksud dan tujuan tertentu. Ketersediaan sumber daya sangat
terbatas sehingga diperlukan strategi pengelolaan yang tepat bagi pelestarian
lingkungan hidup agar kemampuan serasi dan seimbang untuk mendukung
keberlanjutan hidup manusia. Memajukan kesejahteraan generasi sekarang
melalui pembangunan berkelanjutan dilakukan berdasarkan kebijakan terpadu dan
menyeluruh tanpa mengabaikan kebutuhan generasi mendatang. Strategi
pengelolaan yang dimaksud yaitu upaya sadar, terencana, dan terpadu dalam
pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, dan pemulihan,
secara bijaksana untuk meningkatkan kualitas hidup. Kesadaran bahwa setiap
kegiatan selalu berdampak terhadap lingkungan hidup merupakan pemikiran awal
yang penting untuk membuat manusia untuk berfikir lebih lanjut mengenai apa
dan bagaimana wujud dampak tersebut, sehingga sedini mungkin dilakukan
langkah penanggulangan dampak negative dan mengembangkan dampak positif.5
Kebijakan pembangunan berkelanjutan tentu tidak bisa dilepaskan dari
instrument hukum tata ruang. Melalui instrument tata ruang berbagai kepentingan
pembangunan baik antara pusat dan daerah, antardaerah, antarsektor maupun
antarpemangku kepentingan dapat dilakukan dengan selaras, serasi, seimbang,
dan terpadu. Meningkatnya kebutuhan ruang dalam pelaksanaan pembangunan
berimplikasi terhadap penggunaan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata
ruang. Padahal baik pada tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota telah
3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, dalam
www.hukumonline.com/uupengelolaansampah, diakses 15 Maret 2016 pukul 21.55 WIB. 4 M.daud silalahi, Hukum lingkungan, dalam sistem penegakan hukum lingkungan Indonesia,
alumni bandung, 2001, hlm. 88 5 Muhammad Akib,Charles Jackson, agus triono, marlia eka P, Hukum penataan ruang, PKKPUU
FH UNILA Bandar Lampung, 2013, hlm. 2
11
disusun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Melalui RTRW ini penggunaan
ruang telah dikelompokkan berdasarkan struktur dan fungsi ruang. Struktur dan
fungsi ruang inilah yang seharusnya menjadi dasar dalam penggunaan ruang.
Menurut Pasal 19 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang6 ditegaskan bahwa struktur ruang memuat susunan pusat-pusat
permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai
pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hirarki memiliki
hubungan fungsional. Sementara itu pola ruang memuat distribusi peruntukan
ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung
dan peruntukan ruang untuk fungsi budidaya.
Kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan peruntukan ruang
sebagaimana ditetapkan dalam RTRW menimbulkan berbagai permasalahan lebih
lanjut, seperti tumpang tindih penggunaan ruang, alih fungsi lahan, konflik
kepentingan antar sektor (kehutanan, pertambangan, lingkungan, prasarana
wilayah, dan lainlain), dan konflik antara pusat dan daerah, konflik antardaerah,
serta kemerosotan dan kerusakan lingkungan hidup.Berbagai kenyataan dan isu-
isu tersebut di atas, menjadi permasalahan di berbagai daerah termasuk Kota
Bekasi.
Dalam pemanfaatan Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi, terkesan adanya
pola yang mengarah pada eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan.Pada
taraf peruntukan dan pemakaian yang telah ada selama ini, pemanfaatan Tata
Ruang di Kota Bekasi telah keluar dari jalur sebagaimana yang telah ditetapkan
oleh undang-undang. Pada pemanfaatan Tata Ruang yang ada sekarang ini dapat
dilihat bagaimana areal peruntukan bagi kawasan resapan air yang idealnya harus
dipertahankan malah di eksploitasi secara berlebihan, Areal lahan hijau tersebut
telah di eksploitasi secara berlebihan, merupakan gambaran yang semakin parah
terhadap kondisi lingkungan dan pemanfaatan tata ruang yang tidak sesuai dengan
kebijakan tata ruang7.
6 Pasal 19 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang 7 NHT.siahaan, Hukum lingkungan, pancuran alam, Jakarta, 2009, hlm.102
12
Padahal sebagaimana diketahui Kota Bekasi memiliki lingkungan hidup
yakni berupa taman kota, bukit-bukit, yang dilindungi oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah. Kelangsungan lingkungan hidup tersebut mempunyai
dampak yang sangat signifikan bagi masyarakat yang ada di Kota Bekasi.
Lingkungan hidup yang rusak dapat mengakibatkan banjir, tetapi berdampak juga
kepada daerah-daerah lain disekitarnya. Untuk itu pengelolaan lingkungan hidup
ini perlu memperhatikan fungsi tata ruang. Rencana tata ruang yang ada lebih
menitikberatkan pada kecenderungan untuk mengalokasikan kawasan kepada arah
eksploitasi secara berlebihan.
Keadaan yang demikian itu dengan sendirinya tidak dapat diharapkan
akan mencapai perkembangan kota yang efisien dan efektif. Tetapi sebaliknya,
jika suatu perkembangan yang direncanakan dan diprogram sesuai dengan
kebutuhan secara optimal akan dapat diharapkan memberikan keuntungan lebih
baik atau dapat mencapai sasaran dan tujuan yang diharapkan.
Ada beberapa kendala yang menyebabkan tidak dipatuhinya rencana tata
ruang dalam pelaksanaan pembangunan8.
1. Penyusunan RTRW seringkali hanya formalitas untuk memenuhi
kewajiban pemerintah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Selain itu, RTRW seringkali dianggap sebagai produk satu
instansi tertentu dan belum menjadi dokumen milik semua instansi karena
penyusunannya belum melibatkan berbagai pihak. Kebutuhan mendesak
akan ruang, baik yang disebabkan oleh pengguna ruang illegal maupun
pemerintah, telah menyebabkan alih fungsi lahan yang tidak terkendali.
2. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama yang disebabkan oleh
arus urbanisasi mengakibatkan pengelolaan ruang kota semakin berat.
Selain itu daya dukung lingkungan dan sosial yang ada juga menurun,
sehingga tidak dapat mengimbangi kebutuhan akibat tekanan penduduk.
3. Tidak sinkronnya kegiatan antar sektor dan antar daerah.9
8 H.Zainuddin Ali, Kendala Rencana Tata Ruang, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 21
9 Ibid, hlm. 2
13
Saat ini keadaan yang digambarkan sudah sangat berubah. Pembangunan
yang dilakukan secara tidak teratur terutama di daerah perkotaan telah merubah
cara pandang masyarakat mengenai lingkungan. Masyarakat menganggap
lingkungan sebagai sesuatu yang harus dikuasai dan dimanfaatkan. Hali ini
berakibat ketidak sesuaian pada fungsi lingkungan, yaitu fungsi daya dukung,
daya tamping dan daya leting. Mayoritas pengembang hanya menganggap
lingkungan sebagai benda bebas yang digunakan sepenuhnya untuk mendapatkan
laba yang sebesar-besarnya dalam waktu yang relatif singkat, yang berakibat
terganggunya fungsi lingkungan hidup.10
Untuk hal tersebut di atas, diperlukan
sebuah upaya dalam kerangka otonomi daerah yang mengedepankan aspek
transparansi kebijakan yang akan di susun dan direncanakan, tentang mekanisme
pengambilan kebijakan baik tentang tata ruang maupun dalam kebijakan,
peraturan dan perizinan lainnya yang ada ini tidak menjadi pengelolaan sumber
daya alam yang bermuara kepada konflik-konflik sosial.
Dengan demikian konsep penataan ruang yang berusaha menjamin adanya
kelangsungan pembangunan yang berkelanjutan harus menjadi dasar acuan bagi
upaya pengelolaan dan pemanfaatan serta pemeliharaan lingkungan hidup di Kota
Bekasi. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti tertarik
mengangkat topik tersebut menjadi sebuah penelitian yang berjudul
“Implementasi Kebijakan Tata Ruang Dan Izin Mendirikan Bangunan Di Tempat
Pembuangan Sampah Terpadu Bantar Gebang Kota Bekasi”. Pesatnya
pertumbuhan penduduk perkotaan disebabkan oleh pertambahan alami penduduk
perkotaan dan adanya migrasi dari satu daerah lainnya. Migrasi penduduk
merupakan suatu bentuk respon dari adanya perbedaan variasi keadaan
lingkungan dan kesempatan dengan keadaan dimana mereka tinggal. Dampak
negatif dari migrasi ini disebabkan oleh tidak seimbangnya peluang untuk mencari
nafkah di daerah asal dengan daerah tujuan11
.
Salah satu tujuan lokasi penduduk bermigrasi adalam tempat-tempat yang
dianggap memiliki daya tarik untuk peluang lapangan pekerjaan seperti TPST
10 NHT.siahaan, Hukum lingkungan, pancuran alam, Jakarta, 2009, hlm.89. 11
Siti Sundari Rangkuti, hukum lingkungan dan kebijaksanaan lingkungan nasional, universitas
airlangga press, 1996, hlm. 3
14
Bantar Gebang karena tingkat pendidikan yang minim serta pengalaman yang
kurang. TPST Bantar Gebang terletak di tiga Kelurahan yang ada di Kecamatan
Bantar Gebang yaitu Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan Sumur Batu, dan
Kelurahan Cikiwul. Sebelum melangkah pada ulasan yang lebih jauh mengenai
permasalahan ini, perlu kiranya diberikan pengantar mengenai Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) dan Tata Ruang. Secara jelas diperlihatkan oleh Peraturan
Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 mengenai Izin Mendirikan Bangunan12
, dalam
peraturan tersebut disebutkan bahwa Izin Mendirikan Bangunan gedung adalah
perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemilik
bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi,
dan atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan
persyaratan teknis yang ada.
Izin Mendirikan Bangunan dan Tata Ruang merupakan dua variabel yang
memiliki korelasi yang sangat erat oleh karena itu salah satu dampak ketidak
sesuaian pelaksanaan IMB yaitu tidak terciptanya Tata Ruang yang bagus dan
teratur di suatu tempat. Mengingat adanya korelasi yang sangat erat ini kiranya
perlu dilakukan upaya serius untuk menjawab sejumlah permasalahan yang akan
dihadapi di kemudian hari. Masalah pelaksanaan pengaturan IMB dan
implikasinya terhadap tata ruang ini pun tidak di pungkiri sedang dihadapi oleh
Kota Bekasi yang terletak di TPST Bantar Gebang13
.
Secara Geografis Letak Kota Bekasi terbilang sangat strategis dan
komplek dari pusat industri, dan tinggkat penduduk yang banyak singgah dari
belahan Jakarta baupun dari Karawang yang membuat Kota Bekasi menjadi
tempat singgah untuk tempat tinggal, lain lagi dengan pemukiman kumuh yang
terjadi di kawasan TPST Bantar Gebang yang di lihat dari struktur tempat sangat
tidak layak untuk dihini, tapi tidak ada pilihan untuk memilihin tempat yang di
katakan tidak layak huni karena dari faktor pendidikan randah, dan ekonomi yang
sangat kecil.Namun demikian fokus penelitian ini bukan berada pada potensi
daerah Kota Bekasi tersebut, melainkan mengenai Izin Mendirikan Bangunan dan
12 Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 mengenai Izin Mendirikan Bangunan Kota Bekasi 13
Koesnadi hardjasoemantri, Hukum tata lingkungan, gadjah mada university press, 2000, hlm.
103
15
Tata Ruang sebagai bagian yang tidak terlepas mengikuti tingkat perkembangan
pembangunan Kota Bekasi.
Pembangunan sarana dan prasarana maupun infrastruktur di Kota Bekasi
terasa kian komplek sehingga perlu melakukan kajian dan analisa terhadap
perizinan yang menjadi faktor tolak ukur prosedur mengenai pembangunan itu
sendiri. Prosedur yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mengenai Implikasi
Pengaturan IMB Terhadap Tata Ruang di Kota Bekasi. Hal ini menjadi kajian
yang sangat penting, dengan mengingat bahwa Kota Bekasi merupakan daerah
yang sedang mengalami peningkatan dalam bidang pembangunan sarana dan
prasarana maupun infrastruktur.Instansi atau pejabat pelaksana penerbitan IMB
juga tidak luput menjadi sorotan karena instansi pemerintahan tersebutlah yang
berkaitan langsung dengan perizinan terhadap rumah kumuh di daerahTPST
Bantar Gebang. Dari sinilah permasalahan yang di hadapi yang muncul hingga
memerlukan kajian secara spesifik dan eksplisit untuk menjawab semua hal yang
terkait dengan masalah Pelaksanaan Penganturan IMB dan Implikasinya Terhadap
Tata Ruang.
Pemukiman atau lebih khususnya perumahan merupakan suatu kebutuhan
yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan penduduk (kebutuhan pokok), dimana
kebutuhan akan perumahan akan terus meningkat mengikuti pertumbuhan
penduduk, terutama di kota yang berkembang. Menurut Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman,
perumahan menjadi bagian dari pembangunan dari pembangunan nasional yang
harus ditingkatkan dan dikembangkan secara terpadu, terarah, terencana, dan
berkesinambungan.14
Permasalahan yang terjadi dalam pembangunan perumahan
di Indonesia sekarang ini adalah adanya permukiman ilegal, permukiman kumuh,
maupun pertumbuhan perumahan yang tidak sesuai dengan tata ruang yang
berlaku. Upaya pemerintah dalam menanggapi masalah permukiman yang terjadi
di Indonesia khususnya di wilayah TPST Bantar Gebang.
Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik
secara direncanakan maupun yang menunjukan adanya hirarki dan keterkaitan
14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman
16
pemanfaatan ruang. Secara sederhana dapat diartikan upaya penataan dan
pemanfaatan ruang.
1.2 Identifikasi Masalah
Masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimanakah Implementasi Terkait Rencana Tata Ruang Kota Bekasi
dalam Penegakan Hukum di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu
Bantar Gebang ?
2. Bagaimana Upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah dalam
pelaksanaan pemberian Izin Mendirikan Bangunan terhadap Tata
Ruang di Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Bantar Gebang ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a) Untuk mengetahui Implementasi Pengaturan Penegakan Hukum Izin
Mendirikan Bangunan dan Implikasinya terhadap Tata Ruang di TPST
Bantar Gebang.
b) Mengetahui upaya apa saja yang telah di lakukan pemerintah mengenai
Peraturan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi
Dan kegunaan dari penelitian ini meliputi dua aspek yaitu :
1. Kegunaan Teoritis
a) Kegunaan Teorotis dari hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan
bahan kepustakaan dan bahan referensi Hukum bagi mereka yang
berminat pada kajian-kajian Ilmu Hukum Peraturan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Bekasi
b) Untuk mengetahui fungsi pelaksanaan aturan Izin Terhadap tata Ruang di
TPST Bantar Gebang.
17
c) Untuk mengetahui bagaimana upaya yang dilakukan untuk mengatasi
masalah dalam pelaksanaan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan
Implikasinya terhadap Tata Ruang TPST Bantar Gebang.
2. Kegunaan Praktis
Untuk mengumpulkan data sehingga hasil dari penelitian tersebut bisa bermanfaat
dan menambah khazanah keilmuan bagi dunia akademik yang sama pada waktu
yang mendatang.
1.4 Kegunaan penelitian
1. Bagi Penulis
a) Penelitian ini diharapkan dapat mengkaji lebih dalam mengenai Tata
Ruang dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Merencanakan alokasi
tempat yang lebih layak untuk masyarakat disekitar TPST Bantar
Gebang, serta Memberikan dampak positif pengertian bangunan yang
layak untuk Tata Ruang di Kota Bekasi khusus nya di TPST Bantar
Gebang.
b) Untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar sarjana dengan
menempuh ujian akhir program studi S1 Fakultas Hukum
President University.
2. Bagi Akademik
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, serta
dapat dijadikan referensi untuk penelitian dibidang Perizinan Perencanaan
Tata Ruang Wilayah Dan Izin Mendirikan Bangunan.
3. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan
untuk meningkatkan sosialisasi ataupun informasi tentang pengetahuan
Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Tempat bermukim yang layak bagi
masyarakat di pelataran TPST Bantar Gebang.
18
1.5 Kerangka Pemikiran
Selaras dengan lingkup penataan ruang sebagaimana diatur dalam UU No.
26 Tahun 2007, maka ruang lingkup hukum penataan ruang meliputi tiga elemen.
Pertama, hukum yang berhubungan dengan penyusunan rencana tata ruang.
Kedua, hukum yang berhubungan dengan pemanfaatan ruang. Ketiga, hukum
yang berhubungan dengan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Hukum yang berhubungan dengan pengawasan dan pengendalian pemanfaatan
ruang. Hukum yang berhubungan dengan penyusunan rencana tata ruang
mengatur kewenangan dan prosedur tentang penentuan peruntukan ruang.
Rencana tata ruang wilayah adalah suatu tindakan dalam mengelola dan
menata suatu ruangan berdasarkan pemanfaatan pengelolaan sumber daya alam
yang beraneka ragam di dataran, di lautan dan di udara, yang perlu dilakukan
secara terkoordinasi dan terpadu dalam pola pembangunan berkelanjutan dengan
mengembangkan tata ruang dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis
serta tetap terpeliharanya kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan
pembangunan berwawasan lingkungan, yang menjadikan rencana tata ruang
wilayah menjadi penting dan utama, sehingga diberikan adanya pengertian yang
dapat dibedakan menurut peraturan daerah pengertian ruang, tata ruang, rencana
tata ruang wilayah, rencana tata ruang dan wilayah. Penjelasan uraian tersebut di
atas maka dapat dibedakan pengertian yang memberikan keutuhan atas pengertian
rencana tata ruang wilayah yang sebagai berikut:
1) Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan dan
makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara
kelangsungan hidupnya
2) Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik
direncanakan maupun tidak
3) Rencana tata ruang wilayah adalah proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang,
4) Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait padanya ruang batas dan sistem ditentukan
berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional .
19
RENCANA TATA RUANG WILAYAH
UU NO. 26 TAHUN 2007
Berdasarkan NILAI
STRATEGIS
KAWASAN :
Nasional
Provinsi
Kabupaten/Kota
Berdasarkan
KEGIATAN
KAWASAN :
Kawasan
Perkotaan
Kawasan
Pedesaan
Berdasarkan
WILAYAH
ADMINISTRASI :
Nasional
Provinsi
Kabupaten/Kota
Berdasarkan
FUNGSI :
Kawasan
Lindung
Kawasan
Budidaya
Berdasarkan
SISTEM:
Sistem Wilayah
Sistem Internal
Perkota
an
PENGENDALIAN
PEMANFAATAN RUANG
Intensif
dan
Disintetif
Sanksi
Perijinan
Sistem
Zonasi
Perangkat atau
upaya untuk
memberikan
imbalan
terhadap
pelaksanaan
kegiatan yang
sejalan dengan
rencana tata
ruang
Tindakan
penertiban yang
dilakukan
terhadap
pemanfaatan ruang
yang tidak sesuai
dengan rencana
tata ruang dan
peraturan zonasi
Ketentuan
perizinan diatur
oleh Pemerintah
dan pemerintah
daerah menurut
kewenangan
masing-masing
Sistem zonasi ini
rencana rinci
tataruang untuk
setiap zona
pemanfaatan
ruang
Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional
RENCANA UMUM TATA RUANG
(mencakup ruang darat, laut, udara dan di dalam bumi)
Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi
Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten dan
Wilayah Kota
20
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Metode Pendekatan
Sebagai pendekatan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif yaitu
mengkaji tentang kaidah-kaidah hukum yang berhubungan dengan model
penataan ruang permukiman kumuh Bantar Gebang dan menyandarkan pada
penulusuran dokumen-dokumen hukum (doktrinal). Dokumen hukum tersebut
dapat berupa bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder. Selain itu
perhatian dalam penelitian ini lebih spesifik digunakan pendekatan kualitatif
dengan inventarisasi peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan
permukiman kumuh. Untuk lebih memberikan ruang analisis yang lebih dalam
dan terpadu, digunakan pula pendekatan komparasi yaitu melihat model penataan
ruang wilayah di Indonesia masa lalu dan masa kini.
Pendekatan yuridis normatif ini obyek penelitiannya lebih menekankan
kepada filosofi hukum, asas atau prinsip hukum yang berhubungan dengan
penataan ruang pasar tradisional dan modern, kaidah hukum, doktrin hukum,
peraturan hukum mengenai penataan ruang wilayah, data yang digunakan lebih
kepada data sekunder.
Penelitian yuridis normatif ini mencakup pula penelitian terhadap asas-asas
hukum, inventarisasi hukum, menemukan hukum in concrrito, penelitian terhadap
sistematika hukum, penelitian sinkronisasi hukum, baik vertikal maupun
horisontal, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum.
1.6.2 Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian ini adalah deskrptif analitis dan eksploratif karena
penelitian ini mendeskriptifkan tentang model penataan ruang permukiman
kumuh di Kota Bekasi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagai
wujud dari konsep negara hukum modern. Walaupun menggunakan metode
deskriptif, penelitian ini tidak semata-mata mengumpulkan, menyusun dan
memaparkan fakta dan data yang diperoleh selama penelitian, tetapi mencakup
analisis dan interpretasi dari fakta dan data yang diperoleh yang berhubungan erat
21
dengan masalah yang diteliti. Di samping itu, karena penelitian ini merupakan
masalah baru dan belum pernah dilakukan penelitian serta belum ada pengaturan
mengenai penataan ruang permukiman kumuh di Kota Bekasi maka penelitian ini
sekaligus bersifat eksploratif untuk menggali hal-hal yang baru terutama
menyangkut dan sifat dan tanggung jawab yang dapat diterapkan dalam hubungan
hukum penataan ruang.
1.6.3 Sumber dan Teknik Pengumpulan data
Sebagai penelitian normatif, data yang dipergunakan lebih mencakup
kepada data sekunder diperoleh dari kepustakaan melalui penelusuran dokumen-
dokumen hukum baik yang bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder
diantaranya berupa buku, makalah lepas, makalah jurnal, hasil penelitian,
peraturan perundang-undangan. Dokumen tersebut dapat berupa bahan hukum
primer, sekunder maupun tersier.
Dokumen hukum primer mencakup peraturan perundang-undangan baik
berupa undang-undang maupun peraturan di bawah undang-undang, hukum
kebiasaan, ataupun prinsip-prinsip hukum umum sebagai norma dasar, peraturan
tidak tertulis dan yurisprundensi yang ada di Indonesia.
Dokumen hukum sekunder mencakup rancangan (draft) undang-undang,
hasil penelitian, karya ilmiah para ahli, hasil seminar/ lokakarya, majalah, jurnal,
dan sebagainya, sedangkan dokumen hukum tersier didapat dari tulisan yang tidak
membahas langsung masalah yang menjadi fokus penelitian.
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui penelusuran kepustakaan
dengan inventarisasi data, memilah data yang relevan dengan penataan ruang
permukiman kumuh di Kota Bekasi. Untuk pelengkap, dilakukan penelitian
lapangan melalui wawancara dari sumber-sumber resmi dengan teknik sampel
secara purposif yaitu mengambil sampel berdasarkan tujuan tertentu karena sifat
keragaman, sumber antara lain permukiman kumuh serta rumah non permanen
pada 3 (tiga) Kelurahan yang ada di sekita tempat pembuangan sampah Bantar
Gebang di Kota Bekasi. Penentuan sampel ini didasarkan pada fakta bahwa
22
kelompok ini merupakan subjek yang paling erat hubungannya dengan masalah
yang diteliti.
1.6.4 Metode Analisis Data
Metode yang digunakan dalam menganalisis hasil penelitian dilakukan
melalui cara kualitatif yuridis berupa uraian pernyataan baik dilihat dari isi/
substansi maupun formal. Sementara tekniknya menggunakan analisis yuridis
yaitu penganalisisan data yang diperoleh dalam penelitian dengan menggunakan
cara-cara yang lazim digunakan dalam ilmu hukum, berupa penafsiran, analogi,
Argumentum a contrario dan konstruksi hukum, serta selalu menghubungkannya
dengan norma, asas, kaedah atau lembaga hukum yang mengaturnya. Penafsiran
hukum baik secara gramatikal. Sistematika, sejarahnya, teleologis/sosoilogis,
ektentif / restriktif maupun komparatif.
1.7 Lokasi Penelitian
Untuk menjawab rumusan masalah yang diangkat oleh penulis pada
skripsi ini, penulis akan melakukan penelitian pada wilayah TPST Bantar Gebang
di Kota Bekasi dengan masalah yang penulis kaji dalam penelitian ini. Adapun
lokasi penelitian yang dipilih penulis guna menunjang data adalah Kantor
Kelurahan Sumur Batu dan Kawasan Permukiman TPST Bantar Gebang.
Alasan penulis memilih tempat tersebut dikarenakan banyaknya rumah
kumuh yang tidak mempunyai Izin Mendirikan Bangunan dan lemahnya
Pengawasan dalam pelaksanaan Izin Mendirikan Bangunan. Dan sudah
seharusnya, sebagai SKPD/unit kerja tersebut yang melakukan tugas untuk
melakukan pengawasan atas Izin Mendirikan Bangunan.
Penelitian ini berlokasi di kawasan permukiman kumuh TPST Bantar
Gebang diantaranya Kelurahan Sumur Batu, Kelurahan Cikiwul, dan Kelurahan
Ciketing Udik dengan pertimbangan bahwa lokasi penelitian merupakan
permukiman kumuh di Kota Bekasi sesuai zonasi RTRW Kota Bekasi.
23
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS & TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Wilayah Kota Bekasi
Kota Bekasi merupakan Provinsi Jawa Barat, terletak di Timur DKI
Jakarta, dengan luas keseluruhan Kota Bekasi 21.049 hektar, wilayah udara, dan
wilayah dalam bumi. Batas koordinat Kota Bekasi adalah 106˚48’28” -107˚27’29”
Bujur Timur dan 6˚10’6”-6˚30’6”
Lintang Selatan dan fungsional mencakup seluruh wilayah beserta ruang udara di
atasnya
dan ruang bawah tanah. 15
Secara administratif batas wilayah Kota Bekasi terbagi atas :
a) sebelah utara, berbatasan dengan Kabupaten Bekasi;
b) sebelah timur, berbatasan dengan Kabupaten Bekasi;
c) sebelah selatan, berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok;
d) sebelah barat, berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta.16
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2011 luas
wilayah Kota Bekasi secara administratif adalah 21.049 Km2. Di Bantar Gebang
sebelumnya terdiri dari 3 Kelurahan yaitu Kelurahan Sumur Batu, Kelurahan
Burangkeng, dan kelurahan Ciketing Udik.
Kota Bekasi sebagai salah satu identitas pemerintah daerah yang terdekat
dengan masyarakat memiliki peran strategis dalam penyelenggaraan pelayanan
publik. Penyelenggaraan pemerintahan daerah yang ditandai dengan ditetapkanya
UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bekasi
Tahun 2011-2031.
15 Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2011 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Bekasi Pasal 3 Ayat 2 16
Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2011 Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Bekasi Pasal 3 Ayat 3
24
2.1.1 Visi dan Misi Kota Bekasi
a) Visi
Visi Kota Bekasi adalah:17
1. Menunjukan komunitas masyarakat modern Menunjukkan wilayah
administrasi pemerintahan yang membedakan dengan wilayah Kabupaten
Bekasi
2. Menunjukkan kawasan perkotaan
3. Menunjukkan kinerja lebih baik dari yang lain
4. Menunjukkan semangat untuk maju
5. Mempunyai produktivitas dan efisiensi yang tinggi
6. Menunjukkan kualitas yang tinggi
7. Mempunyai daya saing yang tangguh
8. Pelayanan jasa kegiatan ekonomi
9. Mata pencaharian masyarakat berorienasi pada kegiatan perdagangan
10. Mengunggulkan perdagangan dan siap menghadapi pasarbebas
11. IHSAN Cita-cita luhur masyarakat Kota Bekasi
12. Nilai-nilai yang dikembangkan masyarakat di Kota Bekasi
b) Misi
Misi Kota Bekasi adalah:18
1. Meningkatkan kualitas dan kerukunan beragama
2. Sumberdaya Manusia Memberdayakan Sumberdaya Manusia
3. Menciptakan iklim berusaha yang sehat dan adil untuk mengembangkan
jasa dan perdagangan yang didukung industri berwawasan lingkungan
guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang merata
4. Menegakkan supremasi hukum dan HAM
5. Mengoptimalkan dan melestarikan sumberdaya alam
6. Mengoptimalkan pengendalian dan pemanfaatan ruang
7. Menjamin keamanan dan ketertiban
17 Visi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Bekasi 18 Misi Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Bekasi
25
2.2 Wilayah Bantar Gebang
2.2.1 Profil Kecamatan Bantar Gebang
Kecamatan Bantar Gebang merupakan bagian dari Kota Bekasi yang terletak di
wilayah barat Kota Bekasi yang berbatasan dengan Kabupaten Bekasi dan
Kabupaten Bogor yang dalam perkembangannya telah menunjukkan kemajuan di
berbagai bidang sesuai dengan peran dan fungsinya.
2.2.2 Luas dan Batas Wilayah
Luas wilayah Kecamatan BantarGebang adalah 1.843.890 Ha yang terdiri dari 4
(empat) kelurahan yaitu :
1. Kelurahan BantarGebang: luas 406,244 Ha
2. Kelurahan Cikiwul: luas 525,351 Ha
3. Kelurahan Ciketingudik: luas 568,955 Ha
4. Kelurahan Sumurbatu: luas 343,340 Ha
Berdasarkan pembentukannya batas Kecamatan Bantargebang adalah :
1. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor
2. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bogor
3. Sebelah Utara Berbatasan dengan Kecamatan Rawalumbu
4. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Setu dan Kabupaten Bekasi
2.3 Tempat Pembuangan Sampah Terpadu Bantar Gebang
Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang secara
administratif berada di Kota Bekasi. TPST Bantargebang secara fungsional
merupakan tempat pembuangan sampah yang berasal dari Provinsi DKI Jakarta
(lima zona pembuangan) dan Kota Bekasi (satu zona pembuangan). Pelaksana
(operator) pengelolaan sampah DKI Jakarta di kelola pihak ketiga yaitu PT.
Godang Tua Jaya. Sedangkan pengelolaan sampah dari Kota Bekasi dikelola oleh
Dinas kebersihan Kota Bekasi. Pengelolaan sampah di TPST Bantargebang secara
teknis menerapkan metode Sanitary Landfill. Sanitari Landfill merupakan metode
dalam mereduksi dan mengendalian dampak lingkungan dengan mempercepat
proses daur ulang alamiah sampah yang dibuang.
26
Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang menampung
sampah yang berasal dari DKI Jakarta (lima zona pembuangan) seluas 85 Ha, dan
sampah yang berasal dari Kota Bekasi (satu zona pembuangan) seluas 27 Ha.
Zona pembuangan DKI Jakarta setiap hari menampung kurang lebih 5.000 ton,
dan sampah dari kota Bekasi kurang lebih 1.000 ton perhari. Selain memiliki
potensi bencana, sampah juga memiliki potensi ekonomi yang besar. Potensi
ekonomi dari daur ulang sampah sebagai bahan baku industri. Keuntungan secara
ekonomi dapat dilihat dari banyaknya pemanfaat (user) di Tempat Pembuangan
Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. Pemanfaat diantaranya pemulung,
pengepul, dan penggiling yang bekerja secara informal mengambil potensi
ekonomi dari sampah yang dibuang.
Pesatnya pertumbuhan penduduk perkotaan disebabkan oleh pertambahan
alami penduduk perkotaan dan adanya migrasi dari satu daerah ke daerah
lainnya.Migrasi penduduk merupakan suatu bentuk respon dari adanya perbedaan
variasi keadaan lingkungan dan kesempatan dengan keadaan dimana mereka
tinggal. Dampak negatif dari migrasi ini disebabkan oleh tidak seimbangnya
peluang untuk mencari nafkah di daerah asal dengan daerah tujuan.
Salah satu tujuan lokasi penduduk bermigrasi adalah tempat–tempat yang
dianggap memiliki daya tarik untuk peluang lapangan pekerjaan seperti TPST
Bantar Gebang. TPST Bantar Gebang terletak di tiga Kelurahan yang ada di
Kecamatan Bantar Gebang yaitu Kelurahan Ciketing Udik, Kelurahan Sumur
Batu dan Kelurahan Cikiwul. Sejak didirikannya TPST Bantar Gebang tahun
1988, banyak penduduk dari berbagai daerah yang melakukan migrasi ke TPST
Bantar Gebang. Perubahan penggunaan lahan tidakhanya disebabkan oleh adanya
TPST, tetapi juga disebabkan oleh berkembangnya pusatpusat perdagangan,
pelayanan, dan jasa di luar TPST Bantar Gebang. Faktor aksesibilitas yang mudah
dan dekat ke pusat Kecamatan Bantar Gebang dan ke pusat Kota Bekasi juga
membuat banyak pendatang bermigrasi ke TPST Bantar Gebang.
27
2.4 Prosedur Pembuatan IMB di Kota Bekasi
IMB merupakan Izin Mendirikan Bangunan yang diberikan oleh
Pemerintah Kota Bekasi kepada orang atau badan untuk mendirikan suatu
bangunan agar desain, pelaksanaan pembangunan dan bangunan sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) yang telah ditetapkan dan sesuai dengan
syarat-syarat keselamatan bagi yang menempati bangunan tersebut. 19
Subjek yang berperan mengeluarkan dan berhak untuk memperoleh IMB adalah:
1. IMB diterbitkan oleh Pemeritnah Kota Bekasi
2. IMB berhak diperoleh setiap warga kota yang mendirikan bangunan
Tentang pemberian izin bangunan dapat dilihat pada peraturan Bangunan
Nasional 1968 yang menentukan:20
a. Pemberian izin bangunan
Izin bangunan pada umumnya diberikan Kepala Bagian Dinas Tata Kota
berdasarkan Keputusan Kepala Daerah.
Kepala Dinas Tata Kota dapat memberi izin untuk :
1. Mendirikan bangunan-bangunan yang sesuai dengan Undang-Undang,
Peraturan Peraturan Daerah Tingkat I tentang bangunan dan peraturan
pelaksanaannya
2. Mendirikan bangunan-bangunan tidak permanen/bangunan-bangunan
sementara
3. Mengadakan penyimpangan-penyimpangan yang tidak begitu penting
dalam suatu izin yang telah diberikan.
b. Tidak diperlukan izin bangunan dalam hal :
1. Membuat lubang-lubang ventilasi, penerangan dan lain sebagainya yang
luasnya tidak lebih dari 0,6m2 dengan sisi terpanjang mendatar lebih dari
2 m
2. Membongkar bagian-bagian yang menurut pertimbangan Kepala Bagian
Teknik tidak membahayakan
19
Erwan Agus Purwanto, Ph.D. dan Dyah Ratih Sulistyastuti, M.Si., Loc Cit. 20
Ibid, halaman 86.
28
3. Pemeliharaan bagian-bagian dengan tidak mengubah denah, konstruksi
maupun arsitektonis bagian-bagian semula yang telah mendapat izin
4. Membuat kolam, taman dan patung-patung, tiang bendera.
c. Larangan mendirikan/mengubah bangunan, dalam hal :
1. Tidak dipunyai izin tertulis dari Kepala Daerah/dari Kepala Bagian Dinas
Tata Kota
2. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang telah
ditetapkan dalam peraturan bangunan atau peraturan daerah lainnya
3. Dilarang mendirikan bangunan di atas tanah orang lain tanpa seizin
pemiliknya/kuasanya yang sah
d. Permohonan izin bangunan
1. Permohonan izin dapat diajukan oleh perorangan/badan hukum yang sah,
dengan cara mengisi formulir yang disediakan dibagian administrasi
Bagian Dinas Tata Kota.
2. Pemberitahuan yang seksama mengenai kegunaan, sifat bangunan dan
maksud permohonan izin itu, serta uraian mengenai konstruksi bangunan.
Pemberitahuan mengenai letak tanah/bangunan, nama jalan, nomor
verponding atau nomor registrasinya. Formulir permohonan harus
disahkan/diketahui oleh Kepala RT/RW dan Camat letak bangunan.
3. Pada penjelasan permohonan itu harus dilampirkan :
4. Salinan surat keterangan hak atas tanah yang sah dari Kantor Agraria,
Kadaster/Notaris, gambar situasi dengan skala 1:1000. Gambar denah
bangunan, denah pondasi, rencana atap dan gambar-gambar bangunan
lainnya dengan skala 1:200, 1:100, 1:50, 1:20, 1:10. Gambar-gambar
teknis yang baik harus diusahakan oleh pemohon izin bangunan sendiri
agar ada pertanggungjawaban dengan ahli perencana/biro perencana
bangunan yang bonafide.
e. Putusan suatu permasalahan
Kepala Bagian Teknik mengambil keputusan mengenai suatu permohonan izin
bangunan yang dalam wewenangnya dalam waktu 14 hari setelah tanggal
29
permintaan. Permohonan jangka waktu ini dapat diperpanjang selama 2x14
hari.
f. Penolakan suatu izin bangunan, jika :
1. Bertentangan dengan undang-undang, peraturan daerah atau peraturan
lainnya
2. Bertentangan dengan rencana perluasan kota
g. Pencabutan suatu izin bangunan dilakukan oleh Kepala Daerah jika :
1. Pemegang izin tidak menjadi yang berkepentingan lagi
2. Dalam waktu 6 bulan setelah tanggal izin itu diberikan, masih belum
dilakukan permulaan pekerjaan yang sungguh-sungguh
3. Pekerjaan-pekerjaan itu telah diberikan selama 3 bulan dan tidak
dilanjutkan
4. Izin yang telah diberikan itu ternyata kemudian didasarkan pada
keterangan-keterangan yang keliru
5. Pembangunan itu ternyata menyimpang dari rencana yang disahkan
h. Tersedianya surat izin
Pemegang izin bangunan diwajibkan supaya selama pelaksanaan pendirian
bangunan itu berlangsung, surat izin bangunan berada di tempat pekerjaan, dan
dapat ditunjukan setiap kali diminta oleh pengawas bangunan untuk
mengadakan pemeriksaan dan pembubuhan catatan cataan pada surat izin itu.
TINJAUAN UMUM TENTANG TATA RUANG
2.5 Tata Ruang
Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik
secara direncanakan maupun yang menunjukan adanya hirarki dan keterkaitan
pemanfaatan ruang. Secara sederhana dapat diartikan upaya penataan dan
pemanfaatan ruang.
Ruang dalam hal ini, dapat berbeda luas, status, dan karakteristiknya. Tata ruang
adalah wujud struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan
maupun tidak direncanakan.
30
a. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman system jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial
ekonomi masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional.
b. Pola pemanfaatan ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu
wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan
peruntukan untuk fungsi budi daya.
Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang,
dan pengendalian pemanfaatan ruang yang dilaksanakan secara sekuensial
(berkesinambungan dari masa ke masa). Penataan ruang dikelompokan
berdasarkan sistem, fungsi kawasan, administrasi, kegiatan kawasan, dan nilai
stategi kawasan.21
a. Penataan ruang berdasarkan sistem terdiri dari atas sistem wilayah dan
sistem internal perkotaan.
b. Penataan ruang berdasarkan fungsi kawasan meliputi kawasan lindung dan
kawasan budidaya.
c. Penataan ruang berdasarkan administrasi meliputi panataan ruang wilayah
nasional, penataan ruang wilayah provinsi, dan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota.
d. Penataan ruang berdasarkan kegiatan kawasan terdiri atas kawasan
perkotaan dan kawasan perdesaan.
e. Penataan ruang berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri atas kawasan
strategis nasional, kawasan strategis provinsi, kawasan strategis kabupaten,
dan kawasan strategis kota.
Melihat dari sisi Undang-undang No.24 Tahun 1992 tentang Penataan
Ruang, untuk mengetahui lebih pasti definisi dari tata ruang seperti terjabarkan
uraian dibawah ini :
a. Ruang adalah wadah kehidupan yang meliputi ruang daratan, ruang lautan
dan ruang udara termasuk di dalamnya tanah, air, udara dan benda lainnya
serta daya dan keadaan sebagai suatu kesatuan wilayah tempat
21 Uniarso Ridwan, Hukum Tata Ruang, Nuansa, Bandung, 2008. Hlm. 23.
31
manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta
memelihara kelangsungan hidupnya.
b. Tata Ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik
yang direncanakan maupun yang menunjukan adanya hirarki dan
keterkaitan pemanfaatan ruang. Rencana Tata Ruang adalah hasil
perencanaan tata ruang berupa rencana-rencana kebijakan pemanfaatan
ruang secara terpadu untuk berbagai kegiatan.
c. Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utamanya melindungi kelestarian hidup yang mencakup sumberdaya alam
dan sumberdaya buatan.
d. Kawasan Budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
untuk dibudidayakan atas dasar kondisi potensi sumberdaya alam,
sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan. Termasuk didalamnya
kawasan budidaya antara lain : kawasan permukiman perkotaan, kawasan
permukiman perdesaan, kawasan produksi, sistem prasarana wilayah
meliputi : prasarana transportasi, telekomunikasi dan pengairan dan
prasarana lainnya.
e. Kawasan Permukiman adalah bagian kawasan bubidaya baik perkotaan
maupun perdesaan dengan dominasi fungsinya kegiatan permukiman.
f. Kawasan Perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
adalah pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan
fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
g. Kawasan Perkotaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama
bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perkotaan, permusatan dan distribusi pelayanan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
h. Kawasan Tertentu adalah kawasan yang ditetapkan secara nasional
mempunyai nilai strategis yang penataan ruangannya diprioritaskan.
i. Kawasan Prioritas adalah yang mendapatkan prioritas paling utama di
dalam pengembangan dan penanganannya dengan memperhatikan
32
kawasan strategis dalam wikayah provinsi dan aspek lain yang bersifat
kabupaten untuk mewujudkan sasaran pembangunan sesuai dengan
potensi dan kondisi geografis.
j. Kawasan Strategis adalah kawasan yang mempunyai peranan penting
untuk pengembangan ekonomi, sosial budaya, lingkungan maupun
pertahanan keamanan dilihat secara nasional dan provinsi.
k. Penatagunaan Tanah adalah pengaturan penggunaan tanah mencakup
penguasaan, pemanfaatan, pengaturan hak-hak atas tanah untuk
meningkatkan pemanfaatan, produktivitas dan kelestarian tanah yang
meliputi perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian sebagai satu
kesatuan dengan penataan ruang.
l. Pengertian Penataan Ruang secara umum adalah merupakan proses yang
terpadu tercakup tiga kegiatan utama yaitu perencanaan, pelaksanaan
rencana dan pengendalian rencana tata ruang.
m. Perencanaan tata ruang adalah proses penyusunan rencan tata ruang untuk
meningkatkan kualitas lingkungan hidup dan kualitas manusianya dengan
pemanfaatan ruang yang secara struktur menggambarkan ikatan fungsi
lokasi yang terpadu bagi berbagai kegiatan. Perencanaan tata ruang pada
dasarnya mencakup kegiatan penyusunan dan peninjauan kembali rencana
tata ruang.
n. Pelaksanaan atau pemanfaatan rencana tata ruang adalah suatu proses
usaha agar rencana tata ruang yang telah ditetapkan dapat terwujud sesuai
dengan rencana. Dalam hal ini pelaksanaan atau pemanfaatan rencana tata
ruang terutama dalam bentuk Penyusunan program pembangunan kota
dan Pemanfaatan ruang kota yang sesuai dengan rencana.
o. Pengendalian pelaksanaan/pemanfaatan rencana tata ruang yang harus
terkait satu sama lainnya. Pengendalian pelaksanaan adalah merupakan
suatu proses usaha agar pelaksanaan rencana pemanfaatan ruang oleh
33
instansi sektoral, pemerintah daerah, swasta ataupun masyarakat sesuai
dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.22
Secara umum upaya pengendalian pelaksanaa rencanaan tata ruang
dilakukan melalui kegiatan pengawasan dan penertiban. Kegiatan pengawasan
dilakukan dalam bentuk :
a. Pelaporan pelaksanaan pemanfaatan rencana.
b. Pemanfaatan terhadap pelaksanaan rencana tersebut secara kontinyu.
c. Peninjauan kembali dan revisi untuk meninjau sejauh manakah
pelaksanaan rencana dan bagaimana penyesuaian jika terjadi
penyimpangan.
Dari pengertian tersebut diatas maka dapat ditarik kesimpulan tentang
mengapa diperlukan penyusunan rencana tata ruang, yaitu :
a. Untuk mencegah atau menghindari benturan-benturan kepentingan atau
konflik antar sektor dan antar kepentingan dalam pembangunan masa kini
dan masa yang akan datang.
b. Untuk menghindari terjadi diskriminasi dalam pengelolaan dan
pemanfaatan sunber daya alam. Untuk tercapainya optimalisasi
pemanfaatan sumber daya alam. Untuk tercapainya optimalisasi
pemanfaatan ruang yang memperlihatkan daya dukungdan kesesuaian
wilayah terhadap jenis pemanfaatannya,
c. Untuk terciptanya kemudahan pemanfaatan fasilitas dan pelayanan sosial
ekonomi bagi segenap masyarakat maupun sektor-sektor yang terkait.
d. Untuk terjadinya kesesuaian antara tuntutan kegiatan pembangunan di
satu pihak dengan kemampuan wilayah di pihak lain baik secara langsung
maupun tidak langsung.
e. Untuk dapat terciptanya interaksi fungsional yang optimal baik antara
unit-unit wilayah maupun wilayah lainya.
f. Menjaga kelestarian dan kemampuan ruang serta menjamin
kesinambungan pembangunan di berbagai sektor.
22 Undang-undang No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang
34
g. Untuk dapat memberikan arahan bagi pemyusunan program-program
tahunan agar dapat terjadi kesesuaian sosial ekonomi akibat pemanfaatan
ruang terhadap perkembangan ekonomi dan sosial yang sedang maupun
mendatang.
h. Untuk dapat mencinptakan kemudahan bagi masyarakat untuk beradaptasi
pada kegiatan-kegiatan produksi.
i. Terciptanya suatu pola pemanfaatan ruang yang mampu mengakomodir
segala bentuk kegiatan yang terjadi di dalam ruang tersebut.
j. 10 Pembangunan dapat terencana sesuai dengan fungsi yang di emban
oleh ruang.
Sebagai sumber daya alam, ruang adalah wujud fisik lingkungan disekitar
kita dalam dimensi geografis dan geometris baik horizontal maupun vertical yang
meliputi : daratan, lautan, dan udara beserta isinya yang secara planalogis
materilnya berarti tempat permukiman (habitat). Sampai disini diperoleh petunjuk
bahwa ruang itu dapat dilihat dari beberapa aspek, yakni wadah, sumber daya
alam, habibat, dan sebagai bentuk fisik lingkungan, yang selalu mencakup bumi,
air, dan udara sebagai kesatuan. 23
Dalam pasal 1 butir 1 Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, ditegaskan bahwa ruang adalah wadah yang meliputi : ruang
darat, laut, dan udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai kesatuan wilayah,
tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara
kelangsungan hidupnya. Pengertian dan rumusan ini menunjukkan bagwa “ruang”
itu sebagai wadah yang dimiliki arti luas, uang mencakup tiga dimensi yakni:
darat, laut, dan udara ayng disoroti baik secara horizontal maupun vertikal.
Dengan demikian penata ruang juga menjangkau ketiga dimensi itu secara vertikal
maupun horizontal dengan berbagai aspek yang terkait dengan seperti: ekonomi,
ekologi, sosial, dan budaya serta berbagai kepentingan didalamnya.24
Pengertian atau rumusan tersebut pada dasarnya mengadopsi rumusan
Undang-Undang sebelumnya dengan mutatis muntadis sebagai perbandingan,
23 Undang-undang No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang 24 Pasal 1 butir 1 Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
35
bahwa dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang penataan ruang
(UUPRL) Pasal 1 butir ditegaskan: Ruang adalah yang meliputi rung daratan,
lutan, dan udara sebagai kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya
hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Penyesuaian pada rumusan dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tersebut ialah cakupannya yang lebih luas, yang juga mencakup “ruang didalam
bumi” yang tidak terangkum dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992. Oleh
karena itu dengan pengertian pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tersebut maka ruang sebagai objek penata ruang benar benar memiliki tiga
dimensi luas yaitu: ketinggian dan kedalaman. Tata ruang dengan penekanan pada
“tata” adalah pengaturan susunan ruang satu wilayah/daerah (kawasan) sehingga
terciptanya persyaratan yang bermanfaat secara ekonomi, sosial, budaya, dan
politik serta menguntungkan bagi perkembangan masyarakat wilayah tersebut.
2.6 Rencana Tata Ruang Wilayah
Perencanaa tata ruang kota adalah proses penyusunan dan penetapan
rencana tata ruang kota. Rencana kota ini di artikan sebagai kebijaksanaan jangka
panjang (20-30 tahun) mengenai restribusi keuangan (spasial) obyek, fungsi dan
kegiatan dan tujuan. Rencana kota mengkoordinasikan kegiatan pemerintah dan
kegiatan swasta atau masyarakat dalam membangun fisik dan keruangan kotanya.
Dalam praktrk perencanaan kota di Indonesia saat ini, para perencana mengacu
pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1987 (tentang Pendoman
Penyusunan Rencana Kota). Dalam peraturan tersebut, Pasal 1 (butir d)
disebutkan pengertian rencana kota, sebagai berikut25
:
“Rencana kota adalah rencana pengembangan kota yang disiapkan secara teknis
dan non-teknis, baik yang ditetapkan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah
daerah yang menggunakan rumusan kebijakan pemanfaatan muka bumi wilayah
kota termasuk ruang diatas dan dibawahnya, serta pendoman pengarahan dan
25
Faisal Akbar, Dimensi Hukum Dalam Pemerintahan Daerah, Cetakan pertama (Medan:
Pustaka Bangsa Press 2003). hlm. 43
36
pengendalian bagin pelaksanaan pembangunan kota”. Selain itu, peraturan diatas
juga menjelaskan bahwa suatu rencana kota bertujuan supaya kehidupan warga
kota menjadi aman, tertib dan lancar dan sehat melalui:
a. Perwujudan pemanfaatan ruang kota yang serasi dan seimbang sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan daya dukung pertmbuhan dan
perkembangan kota.
b. Perwujudan pemanfaatan ruang kota yang sejalan dengan tujuan serta
kebijaksanaan Pembangnan nasional dan Daerah. Sistem perencanaan
tersebut dikembangkan berdasarkan perencanaan komprehensif rasional.
2.7 Perumahan dan Kawasan Permukiman
2.7.1 Pengertian Perumahan dan Kawasan Permukiman
Pembangunan di bidang yang berhubungan dengan tempat tinggal beserta
sarana dan prasarananya memang perlu mendapatkan prioritas mengingat tempat
tinggal merupakan salah satu kebutuhan dasar (basic need) manusia. Sudah
selayaknya apabila untuk pembangunan perumahan dan permukiman itu
pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan tentang perumahan dan
permukiman yang dimaksudkan untuk memberikan arahan (guide line) bagi
pembangunan sektor perumahan dan permukiman26
.
Salah satu landasan yang digunakan oleh pemerintah yang digunakan oleh
pemerintah untuk meningkatkan peran kelembagaan dalam pembangunan
perumahan dan permukiman adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992
tentang Perumahan dan Permukiman. Undang-Undang ini menyebutkan bahwa
perumahan berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian
yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan, sedangkan pemukiman
adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan hutan lindung, baik yang
berupa kawasan perkotaan maupun kawasan pedesaan yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan.
26 Khomarudin. 1997. Menelusuri PembangunanPerumahan dan Permukiman. Jakarta:Yayasan
Realestat Indonesia.
37
Setelah Undang-undang Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman diubah menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Perumahan dan Kawasan Permukiman pada Pasal 1 ayat (1) menyatakan
pengertian dasar perumahan dan kawasan permukiman, yakni:
“Perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang terdiri
atas pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan
permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas
terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah,
pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat.” 27
Pengertian dasar permukiman dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2011 adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan
perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai
penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan.
Apabila dilihat dari perkembangannya, proses pembangunan memang sangat
dipengaruhi oleh adanya landasan pembangunan yang kuat, pelaku pembangunan,
serta modal dasar pembangunan yang kuat pula, yaitu agama. Dalam lingkup
pembangunan, masyarakat merupakan pelaku utama pembangunan tersebut.
Mengarahkan, membimbing, dan menciptakan suasana yang menunjang
pembangunan adalah kewajiban pemerintah.
2.7.2 Dasar Hukum Perumahan dan Kawasan Permukiman
Pemenuhan kebutuhan permukiman diwujudkan melalui pembangunan
kawasan permukiman skala besar yang terencana secara menyeluruh dan terpadu
dengan pelaksanaan yang bertahap (Bab IV Pasal 18). Pembangunan kawasan
permukiman tersebut ditujukan untuk menciptakan kawasan permukiman yang
tersusun atas satuan-satuan lingkungan permukiman dan mengintegrasikan secara
terpadu dan meningkatkan kualitas lingkungan perumahan yang telah ada di
dalam atau di sekitarnya, yang dihubungkan oleh jaringan transportasi sesuai
27
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman pada
Pasal 1 ayat (1)
38
dengan kebutuhan dengan kawasan lain yang memberikan berbagai pelayanan dan
kesempatan kerja. Dasar hukum dalam perencanaan penyelenggaraan perumahan
dan kawasan permukiman dalam hal ini permukiman kumuh kota meliputi:
1. Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
2. Pasal 2, Pasal 14, dan Pasal 15 Undang-undang Pokok Agraria.
3. Undang-Undang nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman28
. Dalam peraturan ini bahwa salah satu upaya pemerintah
dalam menciptakan perumahan dan permukiman yang menjamin
terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang
sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu, dan berkelanjutan. Untuk
mewujudkan tujuan tersebut dapat dilakukan dengan memfasilitasi
peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh,
serta melalui kerja sama tingkat nasional dan internasional antara
Pemerintah dan badan hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan
kawasan permukiman.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan
Tanah29
. Dalam peraturan ini mengamanatkan penyelenggaraan tata guna
tanah yang perencanaannya didasarkan pada Rencana Tata Ruang wilayah
Kota.
2.7.3 Permukiman Kumuh
Sebelum mengarah kepada permukiman kumuh, perlu diketahui arti dasar
dari kumuh itu sendiri, Kumuh adalah kesan atau gambaran secara umum tentang
sikap dan tingkah laku yang rendah dilihat dari standar hidup dan penghasilan
kelas menengah. Dengan kata lain, kumuh dapat diartikan sebagai tanda atau cap
yang diberikan golongan atas yang sudah mapan kepada golongan bawah yang
belum mapan.
28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman 29 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah
39
Kumuh dapat ditempatkan sebagai sebab dan dapat pula ditempatkan
sebagai akibat. Ditempatkan di mana pun juga, kata kumuh tetap menjurus pada
sesuatu hal yang bersifat negatif. Pemahaman kumuh dapat ditinjau dari :
1. Sebab Kumuh
Kumuh adalah kemunduran atau kerusakan lingkungan hidup dilihat dari;
a. segi fisik, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh unsur-unsur alam
seperti air dan udara.
b. segi masyarakat/ sosial, yaitu gangguan yang ditimbulkan oleh
manusia sendiri seperti kepadatan lalu lintas, sampah.
2. Akibat Kumuh
Kumuh adalah akibat perkembangan dari gejala-gejala antara lain;
a. kondisi perumahan yang buruk.
b. penduduk yang terlalu padat
c. fasilitas lingkungan yang kurang memadai
d. tingkah laku menyimpang
e. budaya kumuh
f. apati dan isolasi
Kawasan kumuh adalah kawasan dimana rumah dan kondisi hunian
masyarakat di kawasan tersebut sangat buruk. Rumah maupun sarana dan
prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang berlaku, baik standar
kebutuhan, kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat, kebutuhan sarana air
bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan, ruang terbuka,
serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya30
.
Permukiman kumuh berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 Pasal 1
ayat (13)31
adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan
bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta
sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.
Ciri-ciri permukiman kumuh adalah:
30 Koesnadi hardjasoemantri, Hukum tata lingkungan, gadjah mada university press, 2000, hlm. 42 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Permukiman Kumuh, dalam
www.hukumonline.com, diakses 15 Maret 2016 pukul 21.55 WIB.
40
1. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai.
2. Kondisi hunian rumah dan permukiman serta penggunaan ruang-ruangnya
mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
3. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam
penggunaan ruang-ruang yang ada di permukiman kumuh sehingga
mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan
ekonomi penghuninya.
4. Permukiman kumuh merupakan suatu satuan-satuan komuniti yang hidup
secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas,
yaitu terwujud sebagai:
5. Sebuah komuniti tunggal, berada di tanah milik negara, dan karena itu
dapat digolongkan sebagai hunian liar.
6. Satuan komuniti tunggal yang merupakan bagian dari sebuah.
7. RT atau sebuah RW.
8. Sebuah satuan komuniti tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau
RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah Kelurahan, dan bukan hunian
liar.
Penghuni permukiman kumuh secara sosial dan ekonomi tidak homogen,
warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang
beranekaragam, begitu juga asal muasalnya. Dalam masyarakat permukiman
kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan
ekonomi mereka yang berbeda-beda tersebut. Sebagian besar penghuni
permukiman kumuh adalah mereka yang bekerja di sektor informal atau
mempunyai mata pencaharian tambahan di sektor informil.
2.8 Perizinan
2.8.1 Arti Perizinan
Dalam menjalankan fungsinya, hukum memerlukan berbagai perangkat
dengan tujuan agar hukum memiliki kinerja yang baik. Salah satu kinerja yang
membedakan dengan yang lain adalah bahwa hukum memiliki kaidah yang
bersifat memaksa, artinya apabila kaidah hukum dituangkan ke dalam sebuah
41
perundang-undangan maka setiap orang harus melaksanakannya. Selain itu, untuk
mengendalikan setiap kegiatan atau perilaku individu atau kolektivitas yang
sifatnya preventif adalah melalui izin.32
Izin memiliki beberapa kesamaan seperti dispensasi, konsesi, dan lisensi.
Dispensasi merupakan keputusan administrasi negara yang membebaskan suatu
perbuatan dan kekuasaan suatu peraturan yang menolak perbuatan itu. Menurut
W.F Prins mengatakan bahwa dispensasi adalah tindakan pemerintahan yang
menyebabkan suatu peraturan perundang-undangan menjadi tidak berlaku lagi
bagi sesuatu hal yang istimewa (relaxio legis)33
.Konsesi merupakan suatu izin
yang berhubungan dengan pekerjaan yang besar dimana kepentingan umum
terlibat erat sekali sehingga sebenarnya pekerjaan itu menjadi tugas pemerintah,
tetapi oleh pemerintah diberikan hak penyelenggaraannya kepada pemegang izin
(konsesionaris). Menurut H. D. van Wijk, “de consessiefiguur wordt vooral
gebruikt voor activiteiten van openbaar belangdie de oveheid niet zelf verricht
maar overlaat aan particuliere ondernemingen” (bentuk konsesi terutama
digunakan untuk berbagai aktivitas yang menyangkut kepentingan umum, yang
tidak mampu dijalankan sendiri oleh pemerintah, lalu diserahkan kepada
perusahaan-perusahaan swasta)34
. Lisensi adalah suatu izin yang memberikan hak
untuk menyelenggarakan suatu perusahaan. Lisensi digunakan untuk menyatakan
suatu izin yang memperkenankan seseoranga untuk menjalankan suatu perusahaan
dengan izin khusus atau istimewa.
Tidaklah mudah memberikan definisi apa yang dimaksud dengan izin,
demikian menurut Sjachran Basah. Apa yang dikatakan Sjachran Basah agaknya
sama dengan yang berlaku di negeri Belanda seperti dikemukakan van der Pot
“Het is uiterst moelijk voor begrip vergunning een definitie te vindem”, (Sangat
sukar membuat definisi untuk menyatakan pengertian izin itu). Hal ini disebabkan
karena antara para pakar tidak terdapat persesuaian paham, masing-masing
melihat dari sisi yang berlainan terhadap objek yang didefinisikannya. Sukar
32 Nomensen Sinamo, 2010. Hukum Administrasi Negara. Jala Permata Aksara, Jakarta, hlm. 77 33
Ridwan H.R, 2011. Hukum Administrasi Negara. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 197 34
Ibid
42
memberikan definisi bukan berarti tidak terdapat definisi, bahkan ditemukan
sejumlah definisi yang beragam.
Di dalam Kamus Hukum, izin dijelaskan sebagai perkenan/izin dari
pemerintah berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah yang
disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan
khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama
sekali tidak dikehendaki.35
Beberapa pengertian izin menurut pakar yaitu:36
a. Ateng Syafruddin
Izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal yang dilarang
menjadi boleh, atau sebagai peniadaan ketentuan larangan umum
dalam peristiwa konkret.
b. Sjachran Basah
Izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang
mengaplikasikan peraturan dalam hal konkreto berdasarkan
persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan.
c. E. Utrecht
Bilamana pembuat peraturan umumnya tidak melarang suatu
perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja diadakan
secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, maka
keputusan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan
tersebut bersifat suatu izin.
d. Bagir Manan
Izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa
berdasarkan peraturan perundang-undanganuntuk memperbolehkan
melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang secara umum
dilarang.
35
Ibid, hlm. 198 36
Ibid hlm. 200
43
e. N. M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge, membagi pengertian izin dalam
arti luas dan sempit.
Izin merupakan salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam
Hukum Administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk
mengemudikan tingkah laku para warga persetujuan dari penguasa berdasarkan
undang-undang atau peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu
menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan.
Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya
untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini
menyangkut perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum
mengharuskan pengawasan khusus atasnya.
Izin dalam arti sempit yaitu pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan
izin pada umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk
mencapai suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang
buruk. Tujuannya ialah mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-
undang tidak seluruhnya dianggap tercela, namun di mana ia menginginkan dapat
melakukan pengawasan sekadarnya.
Yang pokok pada izin dalam arti sempit yaitu bahwa suatu tindakan dilarang
terkecuali diperkenankan dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang
disangkutkan dengan perkenan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu
bagi tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah untuk hanya memberi perkenan
dalam keadaan-keadaan yang sangan khusus, tetapi agar tindakan-tindakan yang
diperkenankan dilakukan dengan cara tertentu (dicantumkan dalam ketentuan-
ketentuan).
2.8.2 Unsur-unsur Perizinan37
Berdasarkan pemaparan pendapat para pakar tersebut, dapat disebutkan
bahwa izin adalah perbuatan pemerintah bersegi satu berdasarkan peraturan
perundang-undangan untuk diterapkan pada peristiwa konkret menurut prosedur
37 Ibid, hlm. 201
44
dan persyaratan tertentu. Dari pengertian ini ada beberapa unsur dalam
perizinan, yaitu:
a. Instrumen Yuridis
Izin merupakan instrumen yuridis dalam bentuk keputusan yang bersifat
konstitutif dan yang digunakan oleh pemerintah untuk menghadapi atau
menetapkan peristiwa konkret. Sebagai keputusan, izin itu dibuat dengan
ketentuan dan persyaratan yang berlaku bagi keputusan pada umumnya.
b. Peraturan Perundang-undangan
Setiap tindakan hukum pemerintah baik dalam menjalankan fungsi
pengaturan maupun fungsi pelayanan harus didasarkan pada wewenang yang
diberikan oleh peraturan perundang undangan yang berlaku
Pembuatan dan penerbitan keputusan izin merupakan tindakan hukum
pemerintahan. Sebagai tindakan hukum, harus ada wewenang yang diberikan oleh
peraturan perundang-undangan atau harus berdasarkan asas legalitas. Tanpa dasar
wewenang, tindakan hukum itu menjadi tidak sah. Oleh karena itu, dalam hal
membuat dan menerbitkan izin haruslah didasarkan pada wewenang yang diberikan
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku karena tanpa adanya dasar
wewenang tersebut keputusan izin tersebut menjadi tidak sah.
c. Organ Pemerintah
Organ pemerintah merupakan organ yang menjalankan urusan
pemerintahan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Mulai dari
administrasi negara tertinggi sampai administrasi negara terendah berwenang
memberikan izin. Terlepas dari beragamnya organisasi pemerintahan yang
mengeluarkan izin, yang pasti adalah bahwa izin hanya boleh dikeluarkan oleh
organ pemerintahan. Beragamnya organ pemerintahan yang berwenang
memberikan izin, dapat menyebabkan tujuan dari kegiatan yang membutuhkan
izin tertentu menjadi terhambat, bahkan tidak mencapai sasaran yang hendak
dicapai. Keputusan-keputusan pejabat sering membutuhkan waktu lama, misalnya
pengeluaran izin memakan waktu berbulan-bulan dan mata rantai dalam prosedur
perizinan banyak membuang waktu dan biaya. Oleh karena itu dalam perizinan
dilakukan deregulasi yang mengandung arti peniadaan berbagai peraturan
45
perundang-undangan yang dipandang berlebihan. Karena peraturan peraturan
perundang-undangan yang berlebihan itu pada umumnya berkenaan dengan
campur tangan pemerintah atau negara, maka deregulasi pada dasarnya bermakna
mengurangi campur tangan pemerintah dalam kegiatan kemasyarakatan tertentu di
bidang ekonomi sehingga deregulasi itu pada ujungnya bermakna debirokratisasi.
Meskipun deregulasi dan debirokratisasi ini dimungkinkan dalam bidang
perizinan dan hampir selalu dipraktikkan dalam kegiatan pemerintahan, namun
dalam suatu negara hukum tentu saja harus ada batas-batas atau rambu-rambu
yang ditentukan oleh hukum.
d. Peristiwa Konkret
Izin merupakan instrumen yuridis yang berbentuk keputusan yang
digunakan oleh pemerintah dalam menghadapi peristiwa konkret dan individual.
Peristiwa konkret artinya peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, orang
tertentu, tempat tertentu, dan fakta hukum tertentu. Karena peristiwa konkret ini
beragam, sejalan dengan keragaman perkembangan masyarakat, maka izin pun
memiliki berbagai keberagaman. Izin yang jenisnya beragam itu dibuat dalam
proses yang cara prosedurnya tergantung dari kewenangan pemberi izin, macam
izin, dan struktur organisasi instansi yang menerbitkannya. Berbagai jenis izin dan
instansi pemberi izin dapat saja berubah seiring dengan perubahan kebijakan
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan izin tersebut.
e. Prosedur dan persyaratan
Pada umumnya permohonan izin harus menempuh prosedur tertentu yang
ditentukan oleh pemerintah, selaku pemberi izin. Di samping harus menempuh
prosedur tertentu, pemohon izin juga harus memenuhi persyaratan-persyaratan
tertentu yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah atau pemberi izin.
Prosedur dan persyaratan perizinan itu berbeda-beda tergantung jenis izin, tujuan
izin, dan instansi pemberi izin.
2.8.3 Izin sebagai Instrumen Pengawasan
Penggunaan izin sebagai instrumen pengawasan ditunjukkan dengan
pemberian izin-izin tertentu bagi aktifitas masyarakat. Berbagai persyaratan-
46
persyaratan dalam pengurusan izin merupakan pengendali dalam memfungsikan
izin itu sebagai alat untuk mengawasi aktifitas masyarakat, dan perbuatan yang
dimintakan izin adalah perbuatan yang memerlukan pengawasan khusus, dan
dalam memberikan izin mendirikan bangunan, ditetapkan sejumlah syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh pemohon izin.38
Pengawasan dibutuhkan sebagai perlindungan hukum bagi warga negara
terhadap dampak dari penerbitan keputusan tata usaha negara. Pemerintah
menjalankan pemerintahan melalui pengambilan keputusan pemerintahan yang
bersifat strategis, policy atau ketentuan-ketentauan umum melalui tindakan-
tindakan pemerintahan yang bersifat menegakkan ketertiban umum, hukum,
wibawa negara, dan kekuasaan negara.39
Fungsi pengawasan terhadap izin yang telah dikeluarkan mutlak diperlukan untuk
menghindari penyimpangan terhadap izin yang telah dikeluarkan agar tidak
disalahgunakan. Pengawasan terhadap izin adalah tanggungjawab lembaga yang
mengeluarkan izin tersebut.40
Berkaitan dengan perihal pengawasan dalam pelaksanaan kewenangan
pemerintah dalam pemberian izin, maka guna mewujudkan tata pemerintahan
yang baik maka aparatur pemerintah dalam melaksanakan fungsinya harus dapat
memenuhi seluruh ketentuan, utamanya dalam menentukan apakah sebuah izin
bisa diberikan atau tidak, dan selanjutnya tentu saja mengawasi pelaksanaan izin
tersebut apakah sesuai dengan peruntukannya atau tidak.
2.8.4 Izin Mendirikan Bangunan
Bangunan adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu
dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan atau di
dalam tanah dan atau air, dalam bentuk gedung yang berfungsi baik sebagai
tempat manusia melakukan kegiatan untuk harian atau tempat tinggal kegiatan
38 http://repository.unhas.ac.id/handle/123456789/4071, diakses pada 19 Mei 2017 pukul 23.30
WITA. Jurnal Oleh Muh. Zulfan Hakim berjudul “Izin Sebagai Instrumen Pengawasan dalam
Mewujudkan Pemerintahan yang Baik” hlm. 13 39
Ibid. 40
Ibid, hlm. 14
47
keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial budaya, dan kegiatan khusus. Secara
umum, bangunan adalah sesuatu yang memakan tempat.41
Bangunan gedung
adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat
kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah
dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik
untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan
sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.42
Adapun pengertian mendirikan
bangunan adalah pekerjaan mengadakan bangunan seluruhnya atau sebagian
termasuk pekerjaan menggali, menimbun atau meratakan tanah yang berhubungan
dengan pekerjaan mengadakan bangunan.43
Adapun pengertian mendirikan bangunan adalah pekerjaan mengadakan
bangunan seluruhnya atau sebagian termasuk pekerjaan menggali, menimbun atau
meratakan tanah yang berhubungan dengan pekerjaan mengadakan bangunan.44
Izin mendirikan bangunan adalah izin yang diberikan oleh pemerintah daerah
kepada orang pribadi atau badan hukum untuk mendirikan bangunan yang
dimaksudkan agar pembangunan yang dilaksanakan sesuai dengan tata ruang
yang berlaku dan sesuai dengan syarat-syarat keselamatan bagi yang menempati
bangunan tersebut. Izin mendirikan bangunan gedung adalah perizinan yang
diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan gedung
untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/ atau merawat
bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis
yang berlaku.
2.8.5 Dasar Hukum Izin Mendirikan Bangunan
UU No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung :
1) Pasal 7, ayat (1) menyebutkan bahwa : "Setiap bangunan gedung harus
memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis sesuai dengan
fungsi bangunan gedung."
41
Ibid, hlm. 15 42
Adrian Sutedi, op.cit, hlm. 195 43
Lihat UU No. 28 tahun 2002 tentang bangunan gedung 44
Adrian Sutedi, op.cit, hlm. 195
48
2) Pasal 7, ayat (2) menyebutkan bahwa: "Persyaratan administratif bangunan
gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi persyaratan status
hak atas tanah, status kepemilikan bangunan gedung, dan izin mendirikan
bangunan."
3) Pasal 8, ayat (1) menyebutkan bahwa: "Setiap bangunan gedung harus
memenuhi persyaratan administratif yang meliputi:
a. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak
atas tanah;
b. status kepemilikan bangunan gedung; dan
c. izin mendirikan bangunan gedung; sesuai ketentuan peraturan
perundang- undangan yang berlaku."
4) Pasal 8 ayat (4) menyebutkan bahwa: "Ketentuan mengenai izin
mendirikan bangunan gedung, kepemilikan, dan pendataan bangunan
gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."
49
BAB III
BAGAIMANAKAH IMPLEMENTASI TERKAIT
RENCANA TATA RUANG KOTA BEKASI DALAM
PENEGAKAN HUKUM DI TEMPAT PEMBUANGAN
SAMPAH TERPADU BANTAR GEBANG
3.1 Aturan Yang Terkait Di Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Bekasi
Negara Republik Indonesia berdasarkan amanah dari Pasal 33 ayat (3)
Undang-undang Dasar 1945 telah diberikan wewenang berupa hak menguasai
Negara atas bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hak Menguasai Negara di
sini dijabarkan lebih lanjut dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1960 Tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria selanjutnya disebut Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) pada Pasal 2 ayat (2), berupa wewenang untuk45
:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaaan,
persediaan, dan pemeliharaan bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya46
;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan
ruang angkasa dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur.
45 Juniarso Ridwan & Ahmad Sodik Sudrajat, Hukum Tata Ruang dalam konsep kebijakan otonomi daerah Cetakan I,
(Bandung: Pewnerbit NUANSA 2007) hlm. 24 46 M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia(Bandung: Penerbit PT.
Alumni, 2001), hlm.80.
50
Fungsi mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,
persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa mengandung arti bahwa
negara dalam hal ini pemerintah memiliki kewenangan membuat suatu rencana
umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan tanah untuk berbagai
keperluan.
Pelaksanaan dan pelimpahan ini merupakan pelaksanaan hukum tanah nasional.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (4) bahwa Hak menguasai dari Negara
pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada masyarakat-masyarakat hukum. Dengan
adanya pelimpahan wewenang tersebut maka pemerintahan daerah harus
membuat rencana penggunaaan tanah yang terinci sesuai dengan kondisi daerah
sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 14 UUPA47
.
Rencana umum tersebut adalah mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan
bumi, air, ruang angkasa untuk berbagai kepentingan yaitu:
a. Kepentingan yang bersifat politis, misalnya kepentingan
pemerintah untuk lokasi penghijauan.
b. Kepentingan yang bersifat ekonomis, misalnya tanah untuk
kegiatan pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, dan
industri.
c. Kepentingan sosial serta keagamaan, misalnya untuk keperluan
peribadatan, kesehatan, rekreasi perkuburan.
Tubuh bumi dan air serta ruang yang dimaksudkan dalam UUPA yang
merupakan permukaan bumi bukan dimaksudkan sebagai kepunyaan pemegang
hak atas tanah yang bersangkutan. Ia hanya diperbolehkan menggunakannya,
itupun ada batasnya seperti yang dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (2) UUPA dengan
kata-kata “sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan
dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-
47 Ibid. hlm. 79
51
peraturan lain yang lebih tinggi. Istilah tata guna tanah, yaitu apabila istilah tata
guna dikaitkan dengan objek48
Menggunakan Istilah yang sama yaitu rencana tata guna tanah merupakan
bentuk nyata pelaksanaan Pasal 2, Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA yang juga dijiwai
oleh undang-undang lain yang mengurus penggunaan tanah. Pasal 33 Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang tentang Penataan Ruang
yang selanjutnya di singkat UUPR menggunakan istilah penatagunaan tanah. Tata
guna tanah merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan penataan tanah secara
maksimal, oleh karena tata guna tanah selain mengatur mengenai persediaan,
penggunaan terhadap bumi, air dan ruang angkasa juga terhadap persediaan,
penggunaan terhadap bumi, air dan ruang angkasa juga terhadap tanggung jawab
pemeliharaan tanah, termasuk di dalamnya menjaga kesuburannya.
Penataagunaan tanah dalam pelaksanaan penataan ruang, diarahkan
kepada pemanfaatan ruang harus efektif dan efesien dan diselenggarakan secara
terpadu dan terkoordinasi, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat melalui perencanaan struktur dan pola pemanfaatan ruang, yang salah
satunya meliputi penatagunaan tanah. Kaitan antara penatagunaan dan
pemanfaatan ruang dijabarkan dalam Pasal 3 UUPR:
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan
buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan
sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia;
dan
c. terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak
negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
48 Mieke Komar Kantaatmadja, Hukum Angkasa dan Hukum Tata Ruang, (Bandung, Penerbit CV. Mandar Maju, 1994),
hlm.116
52
Mengenai persoalan perencanaan tata ruang yang mengacu pada tujuan
penataan ruang dalam UUPR tentunya tidak terlepas dari koordinasi antara
pemerintah, baik itu pemerintah pusat, daerah, provinsi, maupun pemerintah
kabupaten/kota, hal tersebut diperlukan oleh karena kondisi ruang antara satu
wilayah dengan wilayah yang lainnya mememiliki keterkaitan satu sama lain.
Dengan demikian, setiap pemerintahan dalam melakukan kegiatan pembangunan
hendaknya melakukan perencanaan tata ruang dengan melakukan koordinasi di
antara pemerintahan oleh karena masing-masing pemerintahan memiliki
hubungan satu sama lainnya, di mana hal tersebut dipertegas di dalam Pasal 2 ayat
(4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang menyatakan: “Pemerintah
daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan
pemerintah dan dengan pemerintah daerah lainnya”.
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah tersebut, wewenang
penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah, yang mencakup kegiatan pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan
pengawasan penataan ruang, yang didasarkan pada pendekatan wilayah dengan
batasan wilayah administratif . Dengan pendekatan wilayah administratif tersebut,
penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri atas
wilayah nasional, wilayah provinsi, wilayah kabupaten dan wilayah kota, yang
setiap wilayah tersebut merupakan subsistem ruang menurut batasan
administratif49
.
Peraturan Daerah Kota Nomor 11 Tahun 2013 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Bekasi Tahun 2011- 2031 selanjutnya disingkat RTRW
Kota Bekasi Pasal 9 mengatur bahwa pengembangan kawasan Terpadu Kota
Bekasi, tentang zonasi kawasan pengembangan terpadu Kota Bekasi yang terdiri
dari tiga belas kawasan termasuk didalamnya kawasan permukiman terpadu.
Pengaturan tentang pembagian kawasan atau zonasi tersebut di atas pada dasarnya
49
Philipus M. Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction to the Indonesian
Administrative Law) (Yogyakarta, 1995 dicetak oleh : Gajah Mada University Press). Hlm. 156.
53
merupakan sebuah alat pengendalian bagi Pemerintah Kota Bekasi dalam
mengatur tata ruang Kota Bekaasi dengan sebaik-baiknya. Pengaturan zonasi
tersebut pada pelaksanaannya terkadang tidak sesuai dengan pelaksanaan
pembangunan yang dilaksanakan misalnya dalam penataan permukiman kumuh
kota. Oleh karena itu, pembagian kawasan terpadu atau zonasi yang ditetapkan
dalam RTRW Kota Bekasi pada tahap pelaksanaannya tidak dapat diwujudkan
sesuai dengan yang diharapkan.
Perumahan dan kawasan permukiman adalah satu kesatuan sistem yang
terdiri atas pembinaan, penyelenggaraan perumahan, penyelenggaraan kawasan
permukiman, pemeliharaan dan perbaikan, pencegahan dan peningkatan kualitas
terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh, penyediaan tanah,
pendanaan dan sistem pembiayaan, serta peran masyarakat, sesuai dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman
Pasal 1 ayat (1). Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni
karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan
kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat
(tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman)50
.
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk menyebabkan peningkatan
kebutuhan akan perumahan dan fasilitas-fasilitas lainnya yang terkait. Pemenuhan
kebutuhan perumahan dan fasilitas-fasilitas yang terkait tersebut tidak terlepas
dari peningkatan penggunaan lahan. Pengembangan kawasan permukiman akibat
tidak tertata dan semakin berkurangnya lahan permukiman mendorong
peningkatan permukiman kumuh di Kota Bekasi.
Permukiman kumuh adalah salah satu dari sekian banyak permasalahan
penataan ruang tidak terkecuali di Kota Bekasi. Pengelolaan perumahan
permukiman dalam rencana pengembangan kawasan permukiman Pasal 17 ayat
(6) butir 1 poin (a) dan (b) RTRW Kota Bekasi, menyatakan bahwa rencana
pengembangan pola perbaikan lingkungan pada kawasan permukiman kumuh
50
Sudharto P. Hadi, Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan ; (Diterbitkan dan Oleh Gajah Mada University Press, Juli 2005) h. 43-44.
54
berat dan sedang termasuk kawasan permukiman yang berada di sepanjang
bantaran kanal kota, dan pengembangan perbaikan lingkungan pada kawasan
permukiman kumuh sedang dan ringan secara terbatas melalui pengembangan
secara vertikal, yang dilengkapi sarana dan prasarana yang memadai (tercantum
dalam Perda Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang wilayah Kota
Tahun 2005-2015). Selain itu, dalam perencanaan pengembangannya permukiman
kumuh diharapkan dapat dilengkapi dengan fasilitas yang layak.
Kota Bekasi merupakan suatu kota yang mempunyai pertumbuhan dan
perkembangan pembangunan semakin maju. Dengan semakin majunya semua
aspek pembangunan juga ikut menimbulkan berbagai implikasi yang menyangkut
industrial, mobilitas manusia yang terus meningkat, diskonkurensi masalah
kependudukan terhadap daya dukung yang makin melebar, juga dengan adanya
peningkatan jumlah penduduk. Dengan implikasi ini, kebutuhan akan kawasan
perumahan permukiman yang semakin besar dengan lahan yang terbatas
menciptakan luasan kawasan permukiman kumuh yang besar di Kota Bekasi.
Besaran luasan kawasan permukiman kumuh di masing-masing kecamatan
berbeda-beda, tetapi kawasan kumuh yang terbesar tercatat berada di Kecamatan
Sumur Batu. Selain luasan kawasan permukiman kumuh yang besar, kawasan
permukiman kumuh ini pun rata-rata dihuni oleh warga miskin.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, menjelaskan bahwa konsolidasi
tanah merupakan kebijakan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan
dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan, untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber
daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Pelaksanaan konsolidasi tanah erat kaitannya dengan program NUSSP karena
pelaksanaannya revitalisasi permukiman kumuh sebagimana dijelaskan dalam
Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional. NUSSP
dalam rangka peningkatan kualitas lingkungan dan sekaligus menyediakan tanah
untuk pembangunan prasarana dan fasilitas umum dilaksanakan pengaturan
penguasaan dan penatagunaan tanah dalam bentuk konsolidasi tanah di wilayah
55
perkotaan dan di pedesaan, kegiatan konsolidasi Tanah meliputi penataan kembali
bidang-bidang tanah termasuk hak atas tanah dan atau penggunaan tanahnya
dengan melibatkan partisipasi para pemilik tanah. Dengan kata lain, implikasi
yang akan dihadapi masyarakat kawasan permukiman kumuh adalah nantinya
akan mengalami perubahan kepemilikan akan hak atas tanahnya akibat
peruntukan pembangunan revitalisasi kawasan permukiman kumuh.
3.2 Zonasi Peraturan Rencana Tata Ruang Wilayah
Saat ini tanah merupakan posisi strategis dalam kontek pembangunan
nasional. Segala rencana dan bentuk pembangunan hampir seluruhnya
memerlukan tanah untuk aktifitasnya.
Seperti yang dimaklumatkan dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun
2004, yang dimaksudkan Penatagunaan Tanah (Tercantum dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah):
“Sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan,
penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang berwujud konsolidasi pemanfataan
tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah
sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil.”
Penatagunaan tanah sebagaimana di maksud merujuk pada Rencana Tata Ruang
wilayah Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan seperti tercantum pada Pasal 3
mengenai tujuan dari penatagunaan tanah. Tujuan dari penatagunaan tanah adalah
sebagai berikut:
a. Mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi
berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan
Rencana Tata ruang wilayah.
b. Mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar
sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah.
56
c. Mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan,
penggunaan dan pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah
serta pengendalian pemanfaatan tanah.
d. Menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan dan
memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan
hukum dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
yang telah diterapkan.
Dari sini dapat kita telaah bahwasanya, penatagunaan tanah merupakan
ujung tombak dalam mengimplementasikan Rencana Tata Ruang Wilayah seperti
halnya pengadaan revitalisasi permukiman kumuh kota di setiap wilayah.
Posisi penatagunaan tanah juga semakin jelas seperti yang dijabarkan dalam Pasal
33 UUPR, dimana penataan ruang mengacu pada rencana tata ruang yang
dilaksanakan dengan penatagunaan tanah, penatagunaan air, dan penatagunaan
udara. Pada hakekatnya, tanah sebagai unsur yang paling dominan dalam penataan
ruang, telah dilandasi dengan Peraturan Pemerintah, memiliki peran yang paling
strategis dalam mewujudkan pentaan ruang.
Istilah penentuan dan penyediaan tanah telah di atur dalam Peraturan Presiden
Nomor 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan
untuk Kepentingan Umum.
Kemudian dengan adanya revolusi industri akan menimbulkan revolusi
kota, yang berarti terjadi perubahan di daerah-daerah perkotaan dengan berbagai
perkembangan termasuk perkembangan perumahan dan permukiman kumuh.
Dalam proses perubahan ini sering terjadi penataan kota yang kurang serasi,
sering terjadi tumpang tindih atau tuna kendali dalam penggunaa tanah, melihat
kenyataan tersebut, sehingga perlu adanya suatu penataan untuk proyek-proyek
pembangunan perumahan dan permukiman kumuh.
Rencana tata ruang adalah usaha untuk menata letak proyek-proyek
pembangunan, baik pada proyek pemerintah maupun swasta, sesuai dengan daftar
prioritasnya. Dengan demikian dapat terjadi tertib penggunaan tanah dalam
57
menciptakan pembangunan nasional. Selanjutnya Sandy menjelaskan bahwa,
tujuan nya adalah:
1. Mencegah penggunaan tanah yang salah tempat, menuju
penggunaan tanah secara optimal;
2. Mencegah adanya salah urus, sehingga tanah akan menjadi rusak
dan menuju ke penggunaan tanah yang memperhatikan akan
kelestarian alam;
3. Mencegah adanya tuna kendali pada tanah, terutama pada wilayah
perkotaan.
Berdasarkan pada tujuan tersebut di atas, terlihat tidak hanya pada penggunaan
tanah secara terencana untuk permukiman atau kawasan industri saja, tetapi
mencakup semua kegiatan masyarakat dalam menunjang pembangunan nasional.
Dengan kata lain bahwa penentuan tanah dalam pembangunan secara berencana
itu sangat diperlukan, hal ini sejalan dengan Pasal 14 UUPA bahwa pemerintah
dalam rangka sosialisme membuat suatu rencana umum, mengenai persediaan,
peruntukkan, dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa untuk keperluan
Negara dan seluruh rakyat, karena yang tersangkut itu semua sektor kegiatan
pembangunan, sehingga keadaan tanah sangat menentukan bagi penggunaanya
pada masing-masing kegiatan, baik untuk permukiman penduduk, industri
maupun pada sektor-sektor lainnya51
.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional juga telah diatur bahwa, untuk memenuhi keperluan
pembangunan yang beraneka ragam, maka perlu dikembangkan pola tata ruang
dan sumber daya lainnya dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis.
Sejalan dengan hal tersebut, maka kebijaksanaan tata guna tanah perlu
disempurnakan dan ditunjukkan pada kelestarian alam dan mutu lingkungan.
Bahwa lahirnya Undang-Undang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional ini
sebagai pengganti dari paradigma model GBHN (Garis-Garis Besar Haluan
Negara) yang ditetapkan oleh MPR dan Repelita (Rencana Pembangunan Lima
51 Alvi Syahri, Pengaturan Hukum Dan Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan ; ( Cetakan Pertama : Pustaka Bangsa Press, 2003.) h. 77.
58
Tahun) yang disusun oleh Presiden. Dalam Undang-Undang ini di atur pula
mengena Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota
yang mempunyai jangka waktu 20 tahun dan ditinjau kembali minimal satu kali
dalam lima tahun atau beberapa kali dalam lima tahun untuk keadaan khusus
seperti terjadinya bencana alam skala nasional yan berdampak besar terhadap
kawasan.
Selain itu, dalam setiap rencana tata ruang wilayah/kawasan, kawasan
strategis, kawasan pulau/kepulauan, wajib memuat indikasi program tahunan.
Dengan demikian, jelas bahwa terdapat pertalian yang erat dan strategis antara
sistem perencanaan tata ruang dengan sistem pemanfaatan ruang serta sistem
pengendalian pemanfaatan ruang.
Melihat kenyataan tersebut, jelas bahwa aspek fisik tanah sangat menentukan
pelaksanaan pembangunan yang biasa bermanfaat bagi semua kepentingan
masyarakat secara terpadu, berdaya guna dan berhasil guna, serasi dan
berkesinambungan.
Agar tanah dapat dipergunakan secara efesien untuk menyelenggarakan kegiatan
pembangunan yang beraneka ragam intensitasnya, terutama di daerah perkotaan,
maka penyediaan dan penggunaan tanah diatur di dalam suatu rencana induk yang
disebut Master Plan (rencana tata guna tanah). Dalam rencana tata guna tanah
inilah yang mengatur manfaat dan penggunaan tanah secara optimal, terinci
berdasarkan pada rencana induk kota.
Adapun RTRW Kota Bekasi 2011-2031 adalah sebagai berikut (Tercantum dalam
Perda No. 11 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Bekas):
Pasal 6
Tujuan Penataan Ruang adalah:
1. Terwujudnya kehidupan masyarakat yang sejahtera, berbudidaya,
dan berkeadilan;
2. Terselanggaranya pemanfaatan ruang wilayah yang berkelanjutan
dan berwawasan lingkungan hidup sesuai dengan kemampuan daya
dukung dan daya tamping lingkungan hidup, kemampuan
59
masyarakat dan pemerintah, serta kebijakan pembangunan nasional
dan daerah;
3. Terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam
dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sebsar-besarnya
sumber daya manusia;
4. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang pada kawasan
lindung dan kawasan budidaya.
Pasal 7
Kebijakan Pengembangan Penataan Ruang Kota adalah:
1. Memantapkan fungsi kota Makassar sebagai Kota Maritim, Niaga,
Pendidikan, Budaya, dan Jasa berskala Nasional dan Internasional;
2. Memperioritaskan arah pengembangan kota ke arah koridor Timur,
Selatan, Utara, dan membatasi Pengembangan ke arah Barat agar
tercapai keseimbangan ekosistem;
3. Melestarikan fungsi dan keserasian lingkungan hidup di dalam
penataan ruang dengan mengoptimalkan daya dukung dan daya
tamping lingkungan hidup;
4. Mengembangkan sistem prasarana dan sarana Kota yang berintegrasi
dengan sistem regional, nasional dan internasional.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa yang dimaksud dengan
rencana umum tata ruang kota adalah rencana peruntukan, penggunaan,
penyediaan dan pemeliharaan tanah agar dapat digunakan secara optimal dan
dapat dirasakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Dalam meningkatkan pembangunan, Pemerintah Kota Bekasi telah
menetapkan pola dasar pembangunan daerah untuk lebih meningkatkan atau
menciptakan iklim yang menunjang pertumbuhan perumahan, permukiman dan
industri. Oleh karena itu, semakin ditingkatkan usaha penataan dan pengaturan
wilayah pada kawasan perumahan dan permukiman kumuh yang tepat sesuai
dengan tata perencanaan kota.
60
Pemerintah Kota Bekasi dalam upaya pengembangan wilayah perkotaan, telah
membuat pokok-pokok kebijaksanaan dalam pembangunan perumahan dan
permukiman kumuh yaitu:
1. Pembangunan perumahan dan permukiman kumuh diarahkan untuk dapat
membuat struktur ekonomi melalui penyusunan
program terpadu yang saling menunjang antara berbagai sektor perumahan dan
sektor-sektor lainnya.
2. Struktur perumahan dan permukiman semakin diperkuat dan diperdalam
melalui usaha pengelolaan antara berbagai jenis perumahan.
3. Pembangunan perumahan sederhana dan sehat dengan sasaran menegah ke
bawah harus ditingkatkan, sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat yang
berpenghasilan menengah ke bawah.
4. Pembangunan perumahan dan permukiman secara keseluruhan ditujukan untuk
mengarah kepada pencapaian masyarakat Indonesia yang berkepribadian maju,
sejahtera berdasarkan pada Pancasila serta tetap mendorong partisipasi
masyarakat luas dalam pembangunan perumahan.
5. Keberadaan masyarakat Kota Bekasi sendiri di dalam usaha pembangunan
perumahan semakin diperbesar malalui peningkatan kemampuan dalam
melakukan rancang bangun dan perekayasaan, dalam mengelola usaha perumahan
dengan penguasaan berbagai teknologi dalam proses pembangunannya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Aparatur Pemerintahan dan Ketua Rt,
bahwa disebutkan regulasi upaya untuk menggusur atau membebaskan lahan
penghijauan menjadi tumpang tindih, karena dari salah satu pihak masyarakat
permukiman kumuh lebih merasa diuntungkan untuk mengurangi volume sampah
yang ada di Tempat Pembuangan Sampah. Dan yang menjadi permasalahannya
saat ini belum adanya kekuatan peraturan Hukum yang sudah ada.
3.3 Permasalahan Dalam Penataan Ruang Perkotaan
Perkotaan di Indonesia sedang mengalami percepatan pertumbuhan yang
tinggi, yang membawa dampak ada peningkatan kebutuhan ruang perkotaan dan
61
penyediaan prasarana dan saran dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan di masa mendatang. Hal ini terutama dikaitkan dengan kemungkinan
peningkatan produktivitas (ekonomi) perkotaan.
Namun di balik perkembangan kota saat ini, ternyata mengakibatkan berbagai
macam permasalahan, terutama permasalahan lingkungan di perkotaan.
Menjamurnya permukiman kumuh, polusi udara, polusi air adalah beberapa
permasalahan lingkungan perkotaan yang muncul di wilayah perkotaan yang ada
di Indonesia.
Di tinjau dari segi fisik, permasalahan utama penataan ruang di perkotaan
disebabkan hal-hal sebagai berikut:
a. Semakin berkurangnya ruang terbuka yang disebabkan oleh
semakin banyaknya bangunan sehingga penggunaan tanah
a. pun tak terkendalikan sehingga tanah yang sebenarnya untuk ruang
terbuka atau taman-taman sebagai paru-paru kota banyak
disalahgunakan untuk bangunan gedung-gedung perkantoran,
perumahan, maupun pengembangunan infrastruktur daerah perkotaan
sendiri oleh pemerintah seperti pembangunan jalan raya.
b. Menjamurnya perumahan kumuh yang disebabkan oleh arus
urbanisasi, sebab orang-orang yang melakukan urbanisasi tersebut
tidak seharusnya mempunyai tanah atau rumah di perkotaan untuk
ditinggali karena berpaling lagi kepada permasalahan ekonomi,
dimana untuk membeli tanah dan rumah di perkotaan membutuhkan
biaya yang sangat besar sehingga mereka membangun rumah liar di
lokasi-lokasi pinggiran perkotaan. Dan hal ini mengakibatkan
timbulnya perkampungan kumuh di tengah-tengah wilayah
perkotaan.
c. Terjadinya penyerobotan tanah di pusat-pusat kota maupun di
pinggir-pinggir kota yang banyak mengakibatkan permasalahan di
kemudian hari.
d. Timbulnya kemacetan lalu lintas di tengah-tengah kota
memperlambat aktivitas .
62
Hal tersebut jelas mempengaruhi penataan ruang perkotaan dan akan
semakin lebih parah lagi apabila pembangunan lebih berorientasikan pada daeah
pusat perkotaan, sebab dengan pola pembangunan yang demikian menjadikan laju
urbanisasi kian berjalan dengan cepatnya.
Permasalahan minimnya ruang terbuka hijau yang menjadi salah satu
permasalahan yang timbul di kawasan perkotaan. Ruang terbuka hijau di kota-
kota besar kini keluasannya semakin susut, hal itu diakibatkan perkembangan
pembangunan di perkotaan yang pesat. Akibatnya ruang terbuka hijau saat ini
merupakan permasalahan yang pelik dan sulit diatasi.
Adanya pembangunan yang tak terkontrol tersebut, menjadikan ruang terbuka
hijau di perkotaan habis dipergunakan dan digantikan oleh bangunan-bangunan
yang menjulang tinggi, dan sarana infrastruktur penunjang perkotaan. Dalam
tahap awal perkembangan kota, sebagian besar wilayah perkotaan merupakan
ruang terbuka hijau, namun adanya kebutuhan untuk menampung penduduk dan
aktivitasnya, ruang terbuka hijau cenderung mengalami konservasi lahan menjadi
kawasan terbangun. Alih fungsi lahan yang pesat telah menimbulkan kerusakan
lingkungan yang dapat menurunkan daya dukung lahan dalam menopang
kehidupan masyarakat perkotaan, sehingga perlu dilakukan upaya untuk menjaga
dan meningkatkan kualitas lingkungan melalui penyedian ruang terbuka hijau
yang memadai52
.
Selain permasalahan ruang terbuka hijau, terjadinya urbanisasi pun secara
perlahan-lahan mempengaruhi praksis penataan ruang di perkotaan, hal ini
berhubungan dengan adanya pertambahan populasi akibat urbanisasi tersebut
yang beriringan dengan kebutuhan akan tanah yang subur di daerah sekelilingnya,
termasuk diantaranya ruang-ruang terbuka di wilayah perkotaan yang berfungsi
untuk menjaga keseimbangan ekosistem setempat. Dengan kata lain, kota
berkembang tanpa rencana dan banyak membawa dampak yang negatif dalam
52
Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum dan kebijakan Pembangunan perumahan dan Permukiman Berkelanjutan
( Medan : Pustaka Bangsa Press 2003), hlm. 78.
63
penataan ruang perkotaan, namun kita juga tidak boleh mengesampingkan
dampak positif yang ditimbulkan dengan adanya urbanisasi tersebut, seperti
misalnya penambahan tenaga kerja yang potensial yang dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan pembangunan.
Urbanisasi yang tidak dibarengi dengan perubahan pola pikir masyarakat
pedesaan, dalam hal ini pengetahuan kaum urban mengenai penataan ruang justru
merugikan para urbanisan sendiri, yang akibatnya menjadi beban masyarakat kita
pada umumnya, dan pengelola kota pada khususnya. Hal tersebut tercermin dari
merebaknya permukiman-permukiman kumuh di wilayah perkotaan sebagai
gambaran persentase kemiskinan yang lebih tinggi di perkotaan.
Dalam hal peremajaan permukiman kumuh nampaknya menjadi buah simalakama
bagi pemerintah, sebagaimana kita ketahui apabila wilayah kumuh tetap dibiarkan
berdiri maka yang terjadi adalah permukiman kumuh tersebut akan semakin
menjamur kemana-mana. Sementara jika dilakukan renovasi terhadap
permukiman kumuh dikhawatirkan akan semakin meningkatkan rangsangan
penduduk yang masih berada di pedesaan untuk berduyun-duyun menuju ke kota
dengan berasumsi bahwa walaupun mereka nantinya mendirikan permukiman liar
untuk ditinggali, namun pemerintah akan memperbaiki permukiman yang mereka
dirikan tersebut.
3.4 Penegakan Hukum Terhadap Penerbitan Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) yang Melanggar Tata Ruang
Penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai
yang terjabarkan di dalam kaidah kaidah nilai yang mantap dan mengejewantah
dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk
menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.
Sedangkan penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau
konsep-konsep tentang keadian, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya.
Jadi penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep
konsep tersebut menjadi kenyataan.
64
Seperti halnya penegakan hukum terhadap penerbitan izin mendirikan bangunan
yang melanggar tata ruang. Dengan tujuan supaya Kota Bekasi menjadi kota yang
sehat dan ramah lingkungan, maka perlu adanya penegakan hukum yang tegas
terkait pelanggaran tata ruang tersebut. Sedangkan di Kota Bekasi ada beberapa
bangunan yang melanggar tata ruang namun tidak adaupaya penegakan hukum
yang dikenakan terhadap bangunan-bangunan tersebut.
Pelanggaran-pelanggaran tata ruang di atas sebenarnya tidak perlu terjadi apabila
ada upaya penegakan hukum terhadap pihak-pihak terkait yang melanggar tata
ruang benar-benar diterapkan. Upaya penegakan hukum yang diterapkan
dibedakan menjadi 3, yaitu :
1. Sarana Hukum Administrasi
a. Pengawasan
Pengawasan bangunan dilakukan oleh dua instansi, yaitu :
- Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan Dan Pengawas Bangunan
- Satuan Polisi Pamong praja (Satpol PP)
Pengawasan bangunan di Kota Bekasi terjadi apabila ada pelapor yang
mengadukan adanya terjadi pelanggaran tata ruang.
Sedangkan menurut pasal 55 ayat (2) UU Nomor 26 Tahun 2007, pengawasan
tersebut terdiri atas tindakan pemantauan, evaluasi dan pelaporan. Jadi tidak
hanya menunggu laporan dari masyarakat yang merasa dirugikan atas pelanggaran
tata ruang tersebut.
b. Sanksi Administrasi
Sanksi administrasi yang dikenai sesuai dengan pasal 63 Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang adalah :
a. Peringatan tertulis
b. Penghentian sementara kegiatan
c. Penghentian sementara pelayanan umum
d. Penutupan lokasi
e. Pencabutan izin
f. Pembatalan izin
65
g. Pembongkaran bangunan;
h. Pemulihan fungsi ruang
i. Denda administratif.
Dari sekian banyak sanksi administrasi yang disebutkan di pasal 63 UU Nomor 26
Tahun 2007, di Kota Bekasi sendiri masih belum dilaksanakan dengan maksimal
atau mungkin belum menimbulkanefek jera bagi pemilik bangunan.
2. Sarana Hukum Perdata Penegakan hukum perdata diatur dalam pasal 66 dan 67
Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Sarana Hukum Perdata diajukan
apabila terdapat masyarakat atau pihak yang merasa dirugikan terutama dari segi
materi akibat penyalahgunaan pemanfaatan ruang. Sarana Hukum Perdata yang
dimaksud adalah berupa gugatan perdata yang diajukan ke pengadilan. Namun
sebelum diajukan ke pengadilan, diupayakan musyawarah untuk mufakat terlebih
dulu.
3. Sarana Hukum Pidana
a. Penyidikan
Selain upaya pengawasan dan pengenaan sanksi administrasi, juga ada proses atau
upaya penyidikan. Penyidikan adalah serangkaian tindakan mengumpulkan bukti
yang dengan bukti tersebut dapat membuat terang tindak pidana yang terjadi dan
menemukan tersangkanya. Seperti pada umumnya, setiap terjadi suatu
pelanggaran maka pasti ada penyidikan sebelum terlaksananya ketentuan pidana.
Begitu juga dalam hal penerbitan IMB yang melanggar tata ruang, sebelum
mengetahui benar adanya terjadi pelanggaran tata ruang dan diterapkannya
ketentuan pidana, maka perlu diadakannya pemeriksaan kepada pihak-pihak yang
terkait dan pengumpulan barang bukti. Seperti yang tercantum di dalam pasal 68
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
b. Ketentuan Pidana
Bagi orang yang melanggar tata ruang atau RTRW yang telah ditetapkan, maka
sanksi di jelaskan menurut pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun
66
2007 tentang Penataan ruang. Sedangkan bagi pejabat yang berwenang, yang
terbukti menyalahgunakan wewenangnya dengan mengeluarkan IMB yang tidak
sesuai/melanggar tata ruang yang ada,maka menurut pasal 73.
Sarana Hukum Pidana ditujukan kepada dua pihak, yaitu :
- Orang yang mengajukan/pemohon (investor atau pengusaha)
- Pejabat yang berwenang
3.4 Regulasi Dasar Hukum Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Bekasi53
a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188);
b) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang- undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5233);
c) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1987 tentang Penyerahan Sebagian
Urusan Pemerintah Di bidang Pekerjaan Umum Kepada Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1 987 Nomor 25, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3353);
d) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3445);
e) Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan
Kewajiban serta Bentuk dan Tatacara Peranserta Masyarakat dalam
Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
53
Mengingat Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Bekasi
67
BAB IV
Bagaimana Upaya yang dilakukan untuk mengatasi
masalah dalam pelaksanaan pemberian Izin Mendirikan
Bangunan terhadap Tata Ruang di Tempat Pembuangan
Sampah Terpadu Bantar Gebang
4.1 Pengawasan Pelaksanaan Izin Mendirikan Bangunan di TPST
Bantar Gebang
Aktivitas pembangunan fisik di Kota Bekasi tepatnya di daerah kumuh
Bantar Gebang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang pesat. Salah satu
yang paling nampak adalah pembangunan rumah penduduk non permanen yang
setiap saat terus bertambah.
Pembangunan rumah non permanen merupakan salah satu bukti bahwa kurangnya
kesadaran masyarakat tentang pengetahuan perizinan. Namun demikian,
pembangunan rumah yang tidak terkendali dapat mempengaruhi rencana tata
ruang wilayah suatu daerah. Hal ini berdampak pada menurunnya kualitas visual
suatu daerah. Di samping itu, potensi kerusakan bangunan akibat bencana alam
semakin besar serta masalah-masalah lain yang mungkin akan timbul di masa
yang akan datang.
Pembangunan yang kian hari kian bertambah harus terus diawasi sehingga
keberadaan bangunan tersebut bisa sesuai dengan rencana tata ruang wilayah Kota
Bekasi. Bangunan yang tertata rapi pun bisa menjadi salah satu daya tarik suatu
daerah.
Berbagai peraturan perundang-undangan dikeluarkan untuk mengatur bangunan
dan izin mendirikan banguan. Tujuan dasar pengurusan izin mendirikan bangunan
bagi pemerintah yaitu untuk melakukan pengawasan, pengendalian dan penertiban
bangunan serta untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan pendirian bangunan
sesuai dengan tata ruang serta menjadi salah satu sumber pendapatan asli daerah
68
(PAD). Pemberian IMB bukan hanya bermanfaat bagi pemerintah saja tetapi juga
bagi masyarakat itu sendiri. Manfaat yang diperoleh masyarakat yaitu untuk
pengajuan sertifikat laik jaminan fungsi bangunan, dan untuk memperoleh
pelayanan utilitas umum seperti pemasangan / penambahan jaringan listrik, air
minum, hydrant, telepon, dan gas.
Pengawasan terhadap Izin Mendirikan Bangunan di Kota Bekasi dilakukan oleh
Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman. Tugas pengawasan
bangunan merupakan salah satu tugas pokok dan melekat pada dinas tersebut.
Untuk mengoptimalkan tugas pengawasan tersebut, maka Dinas Perumahan
Rakyat dan Kawasan Permukiman membentuk tim yang dinamakan Polisi
Sempadan. Tugasnya ada dua (2) yaitu:
(1) Melaksanakan pengendalian dan pengawasan bangunan dalam
wilayah Kota Bekasi, dan;
(2) Menertibkan bangunan-bangunan yang menyimpang dan tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pertumbuhan bangunan tanpa adanya kontrol dari pemerintah akan
merusak tata ruang wilayah yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Di Kota
Bekasi sendiri, rencana tata ruang wilayah telah disusun dan ditetapkan melalui
Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Bekasi Tahun 2011-2031. Melalui Perda tersebut,
pemerintah menetapkan zonasi-zonasi untuk mengembangkan potensi daerah
sehingga pemerataan pembangunan bisa terwujud di Kota Bekasi.
Dalam pasal 7 Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 1 Tahun 2011 tentang
Pemberian Izin Mendirikan Bangunan dinyatakan bahwa “Bupati dalam
menyelenggarakan pemberian IMB berdasarkan pada RDTRK, RTBL, dan/atau
RTRK”. Namun berdasarkan wawancara dengan Kepala Bidang Pengawasan dan
Pengendalian Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman menyatakan
bahwa “belum ada realisasi terhadap pasal tersebut. Pemohon dapat mengajukan
permohonan IMB di semua wilayah di Kota Bekasi”. Pada saat mengurus surat
Izin mendirikan Bangunan, pemerintah tidak memberikan arahan mengenai
69
Rencana Tata Ruang Wilayah di Kota Bekasi. Sehingga pembangunan dilakukan
tanpa memperhatikan pemetaan-pemetaan yang telah ditentukan. Hal ini tentu
akan berdampak buruk bagi pembangunan dan kemajuan daerah di waktu yang
akan datang.
Selain mengawasi bangunan yang belum memiliki Izin Mendirikan
Bangunan, Polisi Sempadan juga mengawasi bangunan yang telah memiliki Izin
Mendirikan Bangunan. Setelah memiliki surat izin mendirikan bangunan, pemilik
bangunan tidak berarti lepas dari pengawasan. Pengawasan yang dilakukan
dimaksudkan untuk memantau atau meninjau kembali apakah pembangunan yang
dilakukan sesuai dengan izin yang dikeluarkan.
Dalam masa pengawasan, baik bangunan yang belum memiliki Izin
Mendirikan Bangunan maupun yang telah memiliki Izin Mendirikan Bangunan
tetapi memiliki pelanggaran maka tetap akan dikenai sanksi administrasi. Sanksi
yang diberikan yaitu berupa surat teguran (peringatan tertulis) yang juga
merupakan surat panggilan. Pemilik bangunan dipanggil untuk menghadap dan
menyelesaikan surat izin mendirikan bangunan yang dimaksud.
Apabila pemilik bangunan tidak menghadap pada hari yang telah
ditentukan, maka Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman akan
memberikan surat panggilan kedua.
Apabila belum juga menghadap, maka surat panggilan ketiga akan diberikan.
Dan apabila pemilik bangunan yang bersangkutan tidak mengindahkan maka
pihak Pemerintah Kota Bekasi menghentikan sementara proses pembangunan
sampai pemilik bangunan mengurus surat izin mendirikan bangunannya.
Berdasarkan hasil kajian dari detik.com tentang penggusuran rumah liar di Bantar
Gebang Pengendalian mengatakan bahwa:54
“Pada bangunan yang telah memiliki IMB, kami tetap melakukan pengawasan
atau pemantauan. Pemantauan kami lakukan dengan turun ke lapangan meninjau.
Kami juga meninjau bangunan yang dilaporkan oleh masyarakat untuk melihat
dan memastikan laporan tersebut. Apabila terdapat pelanggaran maka kami akan
54 54
Skripsi Zulhaidir 2017 Wawancara dengan Andarias Lebang pada tanggal 11 Juli 2017
70
memberikan surat teguran yang sekaligus surat panggilan. Apabila pemilik
bangunan tidak hadir pada hari yang ditentukan, maka kami akan memberikan
surat panggilan kedua. Jika hal tersebut belum juga diindahkan maka kami akan
memberikan surat panggilan ketiga. Apabila dalam panggilan ketiga, pemilik
bangunan tidak mengindahkannya lagi maka kami akan membentuk tim untuk
melakukan pembongkaran paksa. Pembongkaran merupakan upaya terakhir yang
dilakukan. Tim yang dibentuk merupakan gabungan beberapa instansi yang terkait
seperti Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman itu sendiri, Satpol PP,
Kepolisian, dan Kodim. Tim ini dibentuk oleh Bupati dengan mengeluarkan SK.
Kami tidak mengharapkan ada kejadian seperti itu yang terjadi. Selain
pembongkaran yang dilakukan oleh tim terpadu, ada pula pemilik bangunan yang
kemudian membongkar sendiri bangunannya yang melanggur aturan.”
Pengawasan yang dilakukan meliputi pemeriksaan bangunan, persyaratan
teknis bangunan dan keandalan bangunan55
. Persyaratan teknis yang dimaksud
yaitu: 56
a. Fungsi bangunan gedung yang dapat dibangun pada lokasi yang
bersangkutan
b. Ketinggian maksimum bangunan gedung yang diizinkan
c. Jumlah lantai/lapis bangunan gedung di bawah permukaan tanah
dan KTB yang diizinkan apabila membangun di bawah permukaan
tanah
d. Garis sempadan dan jarak bebas minimum bangunan gedung yang
diizinkan
e. KDB maksimum yang diizinkan
f. KLB maksimum yang diizinkan
g. KDH minimum yang diwajibkan
h. Jaringan utilitas kota
i. Keterangan lain yang terkait.
55 Lihat di Perda kota Bekasi Nomor 1 Tahun 2016 pada pasal 32 ayat (2) 56 Lihat di Perda kota Bekasi Nomor 1 Tahun 2016 pada pasal 32 ayat (3)
71
1.2.2 Faktor-Faktor Penghambat Dalam Mengawasi Izin Mendirikan
Bangunan di Kota Bekasi
Pengawasan terhadap Izin Mendirikan Bangunan merupakan tugas dari
Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman. Di dalam melakukan
tugasnya sebagai pengawas IMB, tidaklah berjalan dengan lancar. Terdapat
beberapa faktor yang menghambat pengawasan terhadap IMB. Menurut Pak
Andarias Lebang selaku kepala bidang pengendalian dan pengawasan bangunan
pada dinas perumahan rakyat dan kawasan permukiman, menyebutkan bahwa:57
“terdapat beberapa hambatan kami dalam melakukan pengawasan terhadap izin
mendirikan bangunan, yaitu:
a. Belum adanya peraturan Bupati yang mengatur mengenai teknis
pelaksanaan Perda Nomor 1 tahun 2016 tentang Pemberian Izin
Mendirikan Bangunan.
b. Jumlah pengawas yang sangat sedikit untuk mengawasi semua
bangunan di Kabupaten Tana Toraja.
c. Kurangnya kesadaran dari masyarakat.”
Faktor yang pertama yaitu faktor belum adanya peraturan Bupati yang
mengatur mengenai teknis pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 1
tahun 2016 tentang Pemberian Izin Mendirikan Bangunan. Hal ini tentu
menyulitkan pengawas untuk melakukan tugas mereka dengan baik. Perda yang
ada tidak mengatur secara rinci mengenai mekanisme pengawasan, instansi-
instansi yang berwenang turun melakukan pengawasan, dan hal-hal lain mengenai
penertiban Bangunan.
Faktor kedua yaitu keterbatasan jumlah pengawas menyulitkan
pengawasan. Hanya ada 10 pengawas yang mengawasi izin mendirikan bangunan
di Kota Bekasi. Jumlah tersebut sangat sedikit bila melihat luas dan banyaknya
kecamatan di Kota Bekasi. Terdapat 3 Kecamatan di Kota Bekasi dengan jarak
yang lumayan luas. Hal tersebut membuat beberapa daerah yang tidak terjangkau
57
Skripsi Zulhaidir 2017 Wawancara dengan Bapak Andrias Lebang selaku Kepala Bidang
Pengendalian dan Pengawasan Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Kota Bekasi
pada tanggal 4 Juli 2017
72
untuk diawasi. Hal yang paling memprihatinkan yaitu semua anggota pengawas
bangunan dari Tim Polisi Sempadan tidak mempunyai kompetensi di bidang
arsitektur dan bangunan. Sehingga dalam melaksanakan tugas pengawasan
bangunan, tim Polisi Sempadan hanya memeriksa sebagian dari persyaratan
teknis.
Mengenai sarana dan prasarana pendukung, Polisi Sempadan telah
memiliki beberapa kendaraan dinas yang dapat digunakan namun ketika turun
lapangan, tim tidak menggunakan perlengkapan keamanan seperti helm, rompi,
dan sepatu khusus sehingga bisa menimbulkan resiko keselamatan kerja. Ketika
dalam pengawasan sampai pada tahap penertiban dan pembongkaran bangunan,
tim hanya berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum untuk penyewaan alat
berat.
Faktor ketiga yaitu kurangnya kesadaran masyarakat dalam usaha untuk
mengurus Izin Mendirikan Bangunan di Kota Bekasi. Masyarakat cenderung cuek
dan mengurus Izin mendirikan bangunan setelah adanya teguran dari pengawas
yang turun ke lokasi untuk meninjau bangunan. Bahkan adapula masyarakat yang
sama sekali tidak mengetahui mengenai aturan mengurus Izin Mendirikan
Bangunan sebelum mendirikan bangunan. Hal ini karena kurangnya sosialisasi
dari Dinas terkait mengenai kewajiban mengurus Izin Mendirikan Bangunan
sebelum mulai membangun. Juga masyarakat yang melanggar ketentuan
mengenai Izin Mendirikan Bangunan yang kemudian diberi surat
teguran/panggilan pertama, tidak langsung menghadap dan/ataupun menghadap
tetapi tidak mengindahkan arahan pengawas. Hal tersebut membuat pengawas
harus memberikan surat teguran sekaligus surat panggilan berikutnya. Juga
kurangnya kesadaran masyarakat dalam melaporkan kasus-kasus pelanggaran Izin
Mendirikan Bangunan di Kota Bekasi. Masyarakat banyak yang takut melaporkan
pelanggaran yang terjadi.
Pemilik bangunan merupakan salah satu faktor yang menentukan tegaknya hukum
dalam hal izin mendirikan bangunan. Apabila pemilik bangunan sadar akan
kewajiban dan aturan mengenai pendirian bangunan maka penegakan aturan dan
73
pengawasan akan berjalan dengan baik. Hal ini merupakan kondisi ideal yang
diharapkan oleh semua pihak. Tetapi pada kenyataannya hal tersebut memiliki
banyak tantangan untuk diwujudkan.
4.2.3 Potensi Permasalahan Izin Mendirikan Bangunan di Kawasan
Permukiman Kumuh Sebagai kelanjutan dari deskripsi yang sudah dilakukan, selanjutnya
adalah analisis tentang model penanganan kawasan kumuh dan relevansi
penerapan pada kasus permukiman kumuh kota Bekasi tepatnya pada Kelurahan
Sumur Batu. Kemudian model yang diterapkan pada kawasan permukiman kumuh
tersebut sesuai dengan analisis yang dilakukan. Model atau konsep yang akan
ditinjau relevansinya adalah konsep pengadaan rumah baru, konsep Peningkatan
Kualitas Lingkungan Permukiman, konsep peremajaan kota, dan konsep rumah
sewa.
Dalam menentukan penanganan kawasan kumuh terlebih dahulu
diidentifikasi faktor kemungkinan yang dilandaskan berdasarkan beberapa kriteria
yang terpilih diantaranya dari kepemilikan tanah, kepadatan bangunan, kepadatan
penduduk, kondisi sarana dan prasarana. Konsep penanganan konsep pengadaan
rumah baru, konsep Peningkatan Kualitas Lingkungan Permukiman, konsep
peremajaan kota dan konsep rumah sewa, terhadap faktor kepentingan, sehingga
dapat menentukan konsep model penanganan yang sesuai diterapkan pada
kawasan studi. Untuk itu perlu faktor-faktor kemungkinan yang ada dari
kepadatan bangunan, status kepemilikan lahan, kepadatan penduduk.
Wilayah Kelurahan Sumur Batu di Kota Bekasi dengan kepadatan
penduduk dan bangunan yang cukup tinggi sehingga menimbulkan masalah dalam
pengaturan pola permukiman yaitu, cenderung menimbulkan wilayah kumuh dan
lingkungan yang tidak terpelihara. Keberadaan kawasan ini ditengah kota
karenanya sangat strategis untuk tempat tinggal bagi penduduk yang ingin
mendekati tempat kerja dan usaha mereka.
74
4.2.4 Konsep Penanganan dan Implementasi Tata Ruang Di
Kawasan Permukiman Kumuh
Strategi diharapkan dapat menjadi patokan oleh Pemerintah Kota Bekasi
dalam program penanganan permukiman kumuh di Kelurahan Sumur Batu
khususnya dan permukiman kumuh lainnya pada umumnya. Dalam menetapkan
langkah-langkah dari strategi yang akan digunakan matriks superimpose.
Model penanganan permukiman kumuh dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan kondisi; status tanah, kepadatan bangunan, tingkat
kekumuhan , kesesuaian dengan RTRW, sehingga model penanganan yang ada
adalah sebagai berikut :
A. Peremajaan kota
Peremajaan itu sendiri diartikan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas
melalui kegiatan perombakan dengan perubahan yang mendasar dan penataan
yang menyeluruh terhadap kawasan hunian yang tidak layak huni tersebut.
1. Upaya yang dilakukan dalam rangka peremajaan:
2. Secara bertahap dan sering kali mengakibatkan perubahan yang
mendasar,
3. Bersifat menyeluruh dalam suatu kawasan permukiman yang sangat
tidak layak huni, yang secara fisik sering tidak sesuai lagi dengan
fungsi kawasan semula.
4. Difokuskan pada upaya penataan menyeluruh terhadap seluruh
kawasan hunian kumuh, rehabilitasi dan atau penyediaan prasarana
dan sarana dasar, serta fasilitas pelayanan sosial ekonomi yang
menunjang fungsi kawasan ini sebagai daerah hunian yang layak.
5. Sasaran lokasi adalah lingkungan permukiman kumuh di perkotaan
baik yang berlokasi pada peruntukan perumahan dalam RUTR pada
tanah/lahan ilegal atau pada daerah bantaran banjir.
75
B. Tingkatan Kekumuhan Kawasan Permukiman
Berikut dijelaskan kondisi kekumuhan pada kawasan perkotaan yang sulit
dipertahankan baik sebagai hunian maupun kawasan fungsional lain. Jenis
kekumuhan yang perlu dihapuskan atau dikurangi dengan prinsip
didayagunakan (direvitalisasi atau di-refungsionalkan) adalah sebagai berikut:
a. Kawasan Kumuh Di Atas Tanah Legal
Yang dimaksud dengan kawasan kumuh legal adalah permukiman kumuh
(dengan segala ciri sebagaimana disampaikan dalam kriteria) yang berlokasi di
atas lahan yang dalam RUTR diperuntukkan sebagai zona perumahan. Untuk
model penanganannya dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan,
yaitu:
Model Land Sharing
Yaitu penataan ulang di atas tanah/lahan dengan tingkat kepemilikan masyarakat
cukup tinggi. Dalam penataan kembali tersebut, masyarakat akan mendapatkan
kembali lahannya dengan luasan yang sama sebagaimana yang selama ini
dimiliki/dihuni secara sah, dengan
memperhitungkan kebutuhan untuk prasarana umum (jalan, saluran dll).
Beberapa prasyarat untuk penanganan ini antara lain:
1. Tingkat pemilikan/penghunian secara sah (mempunyai bukti
pemilikan/penguasaan atas lahan yang ditempatinya) cukup tinggi
dengan luasan yang terbatas. Tingkat kekumuhan tinggi dengan
kesediaan lahan yang memadai untuk menempatkan prasarana dan
sarana dasar.
2. Tata letak permukiman tidak terpola.
3. Model Land Consolidation
76
Model ini juga menerapkan penataan ulang di atas tanah yang selama
ini telah dihuni.
Beberapa prasyarat untuk penanganan dengan model ini
antara lain:
a. Tingkat penguasaan lahan secara tidak sah (tidak memiliki bukti
primer pemilikan/penghunian) oleh masyarakat cukup tinggi.
b. Tata letak permukiman tidak/kurang berpola, dengan pemanfaatan
yang beragam (tidak terbatas pada hunian).
c. Berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan fungsional yang
lebih strategis dari sekedar hunian.
b. Kawasan Kumuh Di Atas Tanah Tidak Legal
Yang dimaksudkan dengan tanah tidak legal ini adalah kawasan permukiman
kumuh yang dalam RUTR berada pada peruntukan yang bukan perumahan.
Disamping itu penghuniannya dilakukan secara tidak sah pada bidang tanah,
baik milik negara, milik perorangan atau Badan Hukum.
Penanganan kawasan permukiman kumuh ini antara lain melalui:
1. Resettlement/pemindahan penduduk pada suatu kawasan yang khusus
disediakan, yang biasanya memakan waktu dan biaya sosial yang cukup besar,
termasuk kemungkinan tumbuhnya kerusuhan atau keresahan masyarakat.
Pemindahan ini apabila permukiman berada pada kawasan sebagaimana yang
selama ini dimiliki/dihuni secara sah, dengan memperhitungkan kebutuhan
untuk prasarana umum (jalan, saluran dll).
Beberapa prasyarat untuk penanganan ini antara lain:
a. Tingkat pemilikan/penghunian secara sah (mempunyai bukti
pemilikan/penguasaan atas lahan yang ditempatinya) cukup tinggi dengan
luasan yang terbatas.
77
b. Tingkat kekumuhan tinggi dengan kesediaan lahan yang memadai untuk
menempatkan prasarana dan sarana dasar.
c. Tata letak permukiman tidak terpola.
d. Model Land Consolidation
Model ini juga menerapkan penataan ulang di atas tanah yang selama ini
telah dihuni.
Beberapa prasyarat untuk penanganan dengan model ini antara lain:
1. Tingkat penguasaan lahan secara tidak sah (tidak memiliki bukti primer
pemilikan/penghunian) oleh masyarakat cukup tinggi.
2. Tata letak permukiman tidak/kurang berpola, dengan pemanfaatan yang
beragam (tidak terbatas pada hunian).
3. Berpotensi untuk dikembangkan menjadi kawasan fungsional yang lebih
strategis dari sekedar hunian. Melalui penataan ulang dimungkinkan
adanya penggunaan campuran (mix used) hunian dengan penggunaan
fungsional lain.
78
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
Berdasarkan pembahasan diatas maka yang dapat di simpulkan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut :
1. Implementasi fungsi rencana tata ruang wilayah Kota Bekasi belum
dilaksanakan sebagaimana mestinya, seperti pembangunan
permukiman rumah kumuh non permanen yang seharusnya sebagai
daerah resapan air dan kawasan ruang terbuka hijau, alih fungsi
dari daerah resapan air menjadi pemukiman dan perumahan, serta
pemanfaatan ruang di Kota Bekasi belum memperhatikan
perencanaan tata ruang wilayah.
2. Faktor penghambat dalam merealisasikan RTRW dalam penegakan
hukum lingkungan yaitu : Sumberdaya Manusia, Lemah
Koordinasi, Lemahnya pengawasan, Rendahnya Partisipasi
Masyarakat. Cara mengatasi kendala tersebut adalah
mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup,
adanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi masyarakat
sesuai dengan dengan aturan yang berlaku, adanya partisipasi
publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber
daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan.
3. Data dan informasi yang digunakan dalam penyusunan RTRW
kurang akurat dan belum meliputi analisis pemanfaatan
sumberdaya secara komprehesif. Penyusunan RTRW seringkali
hanya formalitas untuk memenuhi kewajiban pemerintah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu,
79
RTRW seringkali dianggap sebagai produk satu instansi tertentu
dan belum menjadi dokumen milik semua instansi karena
penyusunannya belum melibatkan berbagai pihak.
5.2 . Saran
1. Untuk pemerintah kota Bekasi khususnya Dinas Tata Ruang Tata
Bangunan dan Perumahan dalam penerapan Peraturan Daerah
Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Bekasi Tahun 2011-2031 agar lebih efektif, tegas dan bijak untuk
mewujudkan Kota Bekasi sebagai kota metropolitan berbasis
mitigasi bencana yang didukung oleh sektor perindustrian,
perdaganggan, jasa dan pariwisata.
2. Pemerintah kota Bekasi agar dapat kerjasama dalam perencanaan,
pengawasan dan pelaksanaan penataan ruang kota Bekasi antar
dinas-dinas yang terkait sehingga dapat mewujudkan pemerintahan
yang baik.
3. Untuk masyarakat agar dapat membantu dalam mewujudkan
pemerintahan yang baik dalam hal pembangunan khususnya
pembangunan industri yang ada di Kota Bekasi.
80
Daftar Pustaka
Buku
Adisasmita, R. (2010). Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Alwi, H. (2001). Kamus besar Indonesia Cetakan Pertama Edisi III . Jakarta:
Balai Pustaka.
Alwi, H. (2010). Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah Dalam
Konteks UUPA, UUPR dan UUPLH . Jakarta: Rajawali Pers.
Anggraeni, Y. (2008). Penataan Perumahan dan Pemukiman Kumuh di
Kelurahan Lette Kecamatan Mariso Kota Makassar. Makassar: Unhas:
Fakultas Hukum.
E, S. (1986). Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: LP3ES.
Erwiningsih, W. (2011). Hak Pengelolaan Atas Tanah. Yogyakarta: Total Media.
H.M, H. (1992). Berbagai Aspek Hukum Analisis Mengenai Dampak LIngkungan.
Jakarta: BUmi Aksara.
Harsono, B. (2008). Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria. Jakarta: Djambatan.
Hermit, H. (2007). Pembahasan Undang-Undang Penataan Ruang (Undang-
Undang No. 26 Tahun 2007), Dilengkapi dengan Permasalahan Dalam
Perencanaan Tata Ruang di Beberapa Negara latin. Bandung: CV.
Mandar Maju.
I.M, S. (1984). land Use Planning. Jakarta: Departemen Luar Negeri.
M.A, F. (2008). Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Makassar. Makassar:
Universitas Hasanuddin.
M.A, F. (2008). Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kota Makassar. Makassar:
Univeristas Hasanuddin.
Nur, S. S. (2010). Bank Tanah "Alternatif Penyelesaian Masalah Penyediaan
Tanah Untuk Pembangunan Kota Berkelanjutan. Makassar: AS
PUBLISHING.
81
Pasurdi, S. (1997). Masyarakat dan Kebudayaan Perkotaan: Perspektif
Antropologi Perkotaan. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu
Kepolisian.
Patititingi, F. (2012). Dimensi Hukum Pulau-pulau Kecil di Indonesia.
Yogyakarta: Rangkang.
Putro, J. D. (2011). Penataan Kawasan Kumuh Pingggiran Sungai di Kecamatan
Sungai Raya (Vol. Volume 11 ). Jurnal Teknik Sipil UNTAN.
Ridwan, J. S. (2010). Hukum Tata Ruang dalam konsep kebijakan otonnomi
daerah . Bandung: Nuansa.
Santoso, U. (2005). Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Supriyadi. (2010). Aspek Hukum Tanah Aset Daerah. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Supriyadi. (2010). Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.
Supriyadi, D. (2009). Perencanaan dan Pembangunan Daerah. Jakarta: Pustaka
Raya.
Wirotomo, P. (1997). Analisis dan Evaluasi hukum Tertulis Tentang Tata Cara
Pemugaran Pemukiman Kumuh atau Perkotaan. Jakarta: Badan
Pembinaan Hukum Nasional.
INTERNET
Pemukiman dan izin mendirikan lingkungan. (2014). Koran Fajar, Hal 14.
Pemukiman Liar dalam lingkungan masyarakat. (2013). Media Online Tribun
Timur.
http://makassar.tribunnews.com/2013/07/17/ilham-ingin-tata-pemukiman-kumuh-
tallo-jadi-wisata-bersejarah, di akses tanggal 23 Desember 2013, Pukul 15:14
WITA.
82
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Pasca Perubahan.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas tanah
dan Benda-Benda Yang Ada di Atasnya.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Pembangunan Nasional.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Undang-Undng Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan
Permukiman.
Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun
(Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisba).
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor
15/Permen/M/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan
Pengembangan Kawasan Nelayan.
Peraturan Menteri Nomor 06 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata
Bangunan dan Lingkungan.
Peraturan Menteri Pekerjaan umum nomor 18/PRT/M/2011 tentang Pedoman
Revitalisasi Kawasan.
Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang
Konsolidasi Tanah
83
Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Makassar 2005-2015.
Peraturan Deerah Kota Bekasi Nomor 15 Tahun 2012 Tentang Retribusi Izin
Mendirikan Bangunan
Peraturan Deerah Kota Bekasi Nomor 04 Tahun 2017 Tentang Penyelengaraan
dan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan.
Peraturan Deerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Bekasi