analisis spasial penderita dbd pada daerah ...digilib.unila.ac.id/60915/3/3. skripsi full tanpa...
TRANSCRIPT
ANALISIS SPASIAL PENDERITA DBD PADA DAERAH ENDEMIK
DI WILAYAH UTARA KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2018
SKRIPSI
Oleh:
NURMA RETNO NINGTYAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
ANALISIS SPASIAL PENDERITA DBD PADA DAERAH ENDEMIK
DI WILAYAH UTARA KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2018
Oleh:
NURMA RETNO NINGTYAS
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2020
ABSTRACT
SPATIAL ANALYSIS OF DHF PATIENTS IN THE ENDEMIC AREA OF
NORTH BANDAR LAMPUNG IN 2018
By
NURMA RETNO NINGTYAS
Background: Dengue infection is a disease caused by dengue virus and carried
by vector of Aedes sp. Bandar Lampung is a dengue endemic area.
Geographically, the incidence of DHF in the northern area of Bandar Lampung
city is higher compared to other regions. This study aims to determine the spatial
analysis of dengue patients in endemic areas in the northern city of Bandar
Lampung in 2018.
Method: This research is a descriptive cross sectional method. The research
sample is the coordinate address of DHF patients in the endemic area of the
northern city of Bandar Lampung in 2018. The results of the study were analyzed
by Average Nearest Neighboar (ANN) & buffer in (Geographic Information
System) GIS software.
Results: The results showed that the highest dengue cases in 2018 were in May
and July. Puskesmas Way Kandis is the highest Puskesmas with the highest
incidence. The average distance between DHF cases is <500 meters (clustered),
500-1000 m (random), >1000 m (dispersed). There are buffering patterns that
intersect and extend to exceed the administrative boundaries of the district.
Conclusions: The distribution of DHF patients by month appears to spread in all
districts of the study location and there are clusters in certain months (February
and April-July). The buffer area is an area at risk of DHF transmission formed at a
radius of 100 meters from the patient's home
Keywords: DHF patients, Bandar Lampung, spatial analysis.
ABSTRAK
ANALISIS SPASIAL PENDERITA DBD PADA DAERAH ENDEMIK
DI WILAYAH UTARA KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2018
OLEH
NURMA RETNO NINGTYAS
Latar Belakang : Infeksi DBD adalah penyakit oleh virus dengue dan dibawa
oleh vektor nyamuk Aedes sp. Bandar Lampung termasuk wilayah endemis DBD.
Kejadian DBD di wilayah utara kota Bandar Lampung lebih tinggi dibandingkan
dengan wilayah lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui analisis spasial
penderita DBD pada daerah endemik di wilayah utara kota Bandar Lampung
tahun 2018.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif metode cross sectional.
Sampel penelitian merupakan titik koordinat alamat pasien DBD pada daerah
endemik wilayah utara kota Bandar lampung tahun 2018. Hasil penelitian
dianalisis dengan Average Nearest Neighboar (ANN) & buffer pada perangkat
lunak Sistem Informasi Geografi (SIG).
Hasil : Hasil penelitian didapatkan bahwa kasus DBD tertinggi tahun 2018 berada
di bulan Mei dan Juli. Puskesmas Way Kandis merupakan puskesmas dengan
kejadian DBD tertinggi. Diketahui jarak rata rata antar kasus DBD sejauh <500
meter (clustered), 500-1000 m (random), >1000 m (dispersed). Terdapat pola
buffering yang saling berpotongan dan meluas hingga melewati batas administrasi
kecamatan.
Simpulan : Sebaran penderita DBD berdasarkan bulan tampak menyebar pada
semua wilayah kecamatan lokasi penelitian dan terdapat cluster pada bulan bulan
tertentu (Februari dan April-Juli). Daerah buffer merupakan daerah beresiko
terjadinya penularan DBD terbentuk pada radius 100 meter dari rumah penderita
Kata Kunci : Analisis Spasial, Bandar Lampung, Penderita DBD.
HALAMAN PERSETUJUAN
HALAMAN MENGESAHKAN
Lembar Pernyataan + Materai 6000
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di kota Serang pada tanggal 10 Oktober 2019, sebagai
anak pertama dari dua bersaudara dari Bapak Purwanto dan Ibu Nurul Hidayah.
Penulis memiliki satu orang adik perempuan bernama Anisa Aprilyana.
Pendidikan Taman kanan-kanan (TK) diselesaikan pada TK LESTARI,
Cilegon, Banten pada tahun 2003. Sekolah Dasar (SD) diselesaikan pada SDN 1
Cilegon, Banten pada tahun 2009. Sekolah Menengah Pertama (SMP)
diselesaikan di SMPN 1 Cilegon, Banten pada tahun 2012 dan Sekolah Menengah
Atas (SMA) diselesaikan di SMAN Cahaya Madani Banten Boarding School pada
tahun 2015. Tahun 2016 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SBMPTN).
Tanpa mengurangi rasa syukurku kepada Allah
SWT
Kupersembahkan karyaku untuk
Mamah, Bapak dan Ica, yang selama ini telah
mendukung, mendoakan, dan melimpahkan kasih
sayang dari awal kehidupanku hingga saat ini
SANWACANA
Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan berkat
serta karunianya dan mencurahkan segala kasih sayangnya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.
Skripsi ini berjudul “ANALISIS SPASIAL PENDERITA DBD PADA
DAERAH ENDEMIK DI WILAYAH UTARA KOTA BANDAR LAMPUNG
TAHUN 2018” ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
sarjana kedokteran di Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada:
1. Allah SWT yang selalu memberikan nikmat-Nya sehingga penulis memiliki
kemampuan dan kesehatan dalam menjalani segala hal. Allah SWT selalu
memberikan kekuatan kepada penulis untuk bertahan. Terima kasih atas
nikmat iman, nikmat islam yang Engkau berikan kepada hamba sehingga
hamba dapat menjalani segala kegiatan setiap hari.
2. Prof. Dr. Karomani, M.Si selaku rektor Universitas Lampung;
3. Dr. Dyah Wulan SRW, SKM., M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Lampung dan selaku pembimbing akademik saya selama di
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Terima kasih saya ucapkan atas
kesediaan Ibu untuk selalu menyempatkan waktu untuk membimbing saya
dalam perkuliahan ini dan memberikan saran-saran dalam perkuliahan yang
saya jalani ini.
4. Dr. dr. Jhon Fatriyadi Suwandi, S.Ked, M.Kes selaku Pembimbing Pertama
dari skripsi yang saya kerjakan di Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung ini, yang telah membimbing saya dengan sebaik-baiknya,
menuntun dan mengajari saya dalam banyak hal yang saya belum mengerti.
Terima kasih atas kesabaran dokter selama ini yang disegala kesibukannya
beliau masih bersedia menyempatkan diri untuk membimbing saya
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
5. Dr. dr. TA. Larasati, S. Ked., M. Kes selaku Pembimbing Kedua dari skripsi
yang saya kerjakan di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung. Terima
kasih banyak atas waktu yang selalu beliau sempatkan dalam menuntun dan
memberikan masukan berharga sehingga skripsi ini dapat terselesaikan
dengan baik;
6. Dr. dr. Betta Kurniawan, S. Ked., M. Kes selaku Penguji Utama dan
Pembahas dalam skripsi ini. Terima kasih telah mengajarkan banyak hal
yang tidak saya ketahui, terima kasih atas semua masukan-masukan yang
telah diberikan oleh dokter atas skripsi ini sehingga skripsi ini bisa
terselesaikan dengan baik;
7. Kepada Bapak dan Mamah, selaku orang tua yang telah membesarkan saya
dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Terima kasih atas segala
dukungan dan semangat yang selalu diberikan kepada saya dalam segala
kegiatan yang saya jalani selama ini. Terima kasih atas semua doa-doa yang
selalu membantu lancarnya semua kegiatan saya. Terima kasih atas semua
langkah dan kerja keras yang bapak dan mamah lakukan, sehingga semua
kebutuhan dan kasih sayang saya dan saudara-saudara saya selalu terpenuhi.
8. Seluruh dosen FK Unila yang telah memberikan ilmu pengetahuan,
dukungan serta nasihat selama penulis menempuh pendidikan dokter.
Terima kasih atas semua waktu yang telah dokter-dokter berikan sehingga
peneliti dapat menerima banyak ilmu di Fakultas Kedokteran Universitas
Lampung ini.
9. Seluruh staf TU, administrasi dan akademik FK Unila yang telah banyak
membantu dalam proses penelitian dan perkuliahan ini.
10. Kepada ciwi-ciwi, yaitu Mia, Salsa, Ica, Inda, Eca, Nabila, Vani, Reva,
Ayu, Nadila, Jihan yang telah banyak menemani dan membantu perkuliahan
saya setiap hari. Terima kasih untuk semangat, waktu, dan saran yang selalu
kalian berikan sehingga semua kegiatan yang saya jalankan di Fakultas
Kedokteran ini terasa lebih ringan dan menyenangkan.
11. Kepada teman-teman satu bimbingan, Mia, Jihan, Dea, Samuel, Wilda,
Rangga, Kiki, Uta, Nada dan Rizka. Terima kasih karena sudah sering
menunggu kehadiran dokter bersama, saling menyemangati untuk
menyelesaikan skripsi kita.
12. Terima kasih untuk Mia Audina yang sudah menjadi rekan satu tim yang
sangat membantu dalam penelitian ini;
13. Seluruh rekan sejawat Fakultas Kedokteran Unila angkatan 2016
Trigeminus yang tidak bisa disebutkan satu persatu, atas semua doa,
semangat dan kerja sama nya selama ini.
Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
akan tetapi semoga skripsi yang sederhara ini berguna dan bermanfaat bagi setiap
orang yang membacanya.
Bandar Lampung, Januari 2019
Penulis,
Nurma Retno Ningtyas
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................................... i
DAFTAR TABEL................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 5
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................... 5
1.3.1. Tujuan Umum............................................................................ 5
1.3.2. Tujuan Khusus ........................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................. 6
1.4.1. Bagi Masyarakat ........................................................................ 6
1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan........................................................... 6
1.4.3. Bagi Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung .......................... 6
1.4.4. Bagi Peneliti Selanjutnya .......................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 7 2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD) ...................................................... 7
2.1.1. Definisi DBD ............................................................................. 7
2.1.2. Epidemiologi DBD .................................................................... 7
2.1.3. Etiologi DBD ............................................................................. 8
2.1.4. Vektor DBD .............................................................................. 9
2.1.4.1. Klasifikasi Aedes sp. .................................................. 9
2.1.4.2. Morfologi Aedes sp. ................................................... 9
2.1.4.3. Tempat Perindukan Aedes sp. .................................. 14
2.1.4.4. Penyebaran Aedes sp. ............................................... 15
2.1.4.5. Umur Aedes sp. ........................................................ 15
2.1.4.6. Jarak Terbang Aedes sp. ........................................... 15
2.1.5. Patogenesis dan Patofisiologi DBD ........................................ 16
2.1.6. Penularan DBD........................................................................ 18
2.1.7. Faktor Yang Berhubungan DBD ............................................. 19
2.1.7.1. Faktor Pejamu (Host) ............................................... 19
2.1.7.2. Faktor Penyebab Penyakit (Agent) ........................... 21
2.1.7.3. Faktor Lingkungan ................................................... 22
ii
2.2. Program Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue ......... 24
2.3. Tatalaksana Penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) .... 26
2.4. Pengertian Surveilans DBD ............................................................. 30
2.4.1. Pelaksanaan Surveilans DBD .................................................. 30
2.4.2. Sumber Data Surveilans DBD ................................................. 31
2.4.3. Presentasi dan Analisis Data ................................................... 32
2.4.4. Kegunaan Data Surveilans untuk Manajemen ........................ 32
2.4.5. Surveilans Epidemiologi DBD di Puskesmas ......................... 32
2.4.6. Pengumpulan dan Pencatatan Data ......................................... 33
2.4.7. Pengolahan dan Penyajian Data .............................................. 33
2.5. Alur Pelaporan Surveilans DBD ...................................................... 35
2.5.1. Pelaporan dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota ....................................................................... 35
2.5.2. Pelaporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas
Kesehatan Propinsi .................................................................. 35
2.5.3. Pelaporan dari Dinas Kesehatan Propinsi ke Pusat (Subdit
Arbovirosis, Ditjen P2M & PL) .............................................. 36
2.5.4. Pelaporan dalam Situasi Kejadian Luar Biasa (KLB) ............. 36
2.5.5. Umpan Balik............................................................................ 37
2.6. Sistem Informasi Geografi ............................................................... 38
2.7. Analisis Spasial Dalam Sistem Informasi Geografis (SIG) ............. 41
2.8. Aplikasi SIG pada Penanggulangan DBD ....................................... 43
2.9. Kerangka Penelitian ......................................................................... 45
2.9.1. Kerangka Teori ........................................................................ 45
2.9.2. Kerangka Konsep .................................................................... 46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 47 3.1 Desain Penelitian ............................................................................. 47
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian .......................................................... 47
3.3 Populasi Penelitian ........................................................................... 48
3.4 Sampel Penelitian ............................................................................ 49
3.4.1 Kriteria Sampel........................................................................ 49
3.4.1.1. Kriteria Inklusi ......................................................... 49
3.4.1.2. Kriteria Eksklusi ....................................................... 49
3.4.2 Besar Sampel Minimal ............................................................ 49
3.4.3 Teknik Pengambilan Sampel ................................................... 50
3.5 Pengumpulan Data ........................................................................... 51
3.6 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel ................. 51
3.6.1 Identifikasi Variabel ................................................................ 51
3.6.2 Definisi Operasional Variabel ................................................. 52
3.7 Alat dan Bahan Penelitian ................................................................ 52
3.8 Prosedur dan Alur Penelitian ........................................................... 53
3.9 Analisis Data .................................................................................... 53
3.10 Etika Penelitian ................................................................................ 54
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................. 55 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................ 55
4.2. Hasil ................................................................................................ 57
iii
4.2.1. Kasus DBD Bulan Januari Tahun 2018 .................................. 60
4.2.2. Kasus DBD Bulan Februari Tahun 2018 ................................ 62
4.2.3. Kasus DBD Bulan Maret Tahun 2018 .................................... 64
4.2.4. Kasus DBD Bulan April Tahun 2018...................................... 66
4.2.5. Kasus DBD Bulan Mei Tahun 2018........................................ 68
4.2.6. Kasus DBD Bulan Juni Tahun 2018 ....................................... 70
4.2.7. Kasus DBD Bulan Juli Tahun 2018 ........................................ 72
4.2.8. Kasus DBD Bulan Agustus Tahun 2018 ................................. 74
4.2.9. Kasus DBD Bulan September Tahun 2018 ............................. 76
4.2.10. Kasus DBD Bulan Oktober Tahun 2018 ............................... 78
4.2.11. Kasus DBD Bulan November Tahun 2018 ........................... 80
4.2.12. Kasus DBD Bulan Desember Tahun 2018 ............................ 82
4.3. Pembahasan ..................................................................................... 84
4.4. Keterbatasan Penelitian .................................................................... 90
BAB V KESIMPULAN....................................................................................... 91 5.1. Kesimpulan ...................................................................................... 91
5.2. Saran ................................................................................................ 91
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 93
LAMPIRAN
iv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Jumlah Kasus DBD di Puskesmas Wilayah Utara Kota Bandar Lampung
Tahun 2018. ....................................................................................................... 48
2. Jumlah Kasus DBD Per puskesmas per bulan Tahun 2018 .............................. 48
3. Jumlah Minimal Sampel per Puskesmas ........................................................... 51
4. Definisi Operasional dan Skala Pengukuran komponen ................................... 52
5. Batas Administratif Kota Bandar Lampung ...................................................... 55
6. Kejadian DBD, Curah Hujan, Jumlah Hari Hujan, Suhu dan Kelembaban
per Bulan pada Tahun 2018. .............................................................................. 56
7. Luas Wilayah, Jumlah Penduduk dan Kepadatan Penduduk per Keamatan
Tahun 2018. ....................................................................................................... 57
8. Jumlah kasus DBD tahun 2018 di 8 puskesmas. .............................................. 58
9. Hasil Analisis Average Nearest Neighbor (ANN) Kasus DBD tahun 2018
per Bulan. .......................................................................................................... 88
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Telur Aedes sp. .................................................................................................. 10
2. Larva Aedes sp. ................................................................................................. 11
3. Pupa Aedes sp. .................................................................................................. 12
4. Perbedaan Aedes aegypti dan Aedes albopictus ................................................ 14
5. Alur Pelaporan Data DBD ................................................................................ 37
6. Ilustrasi Subsistem SIG ..................................................................................... 41
7. Kerangka Teori.................................................................................................. 45
8. Kerangka Konsep .............................................................................................. 46
9. Alur Penelitian .................................................................................................. 53
10. Peta Distribusi Penderita DBD Kota Bandar Lampung Tahun 2018 .............. 59
11. Peta Distribusi Penderita DBD Kota Bandar Lampung Bulan Januari 2018 .. 61
12. Peta Distribusi Penderita DBD Kota Bandar Lampung Bulan Februari 2018 63
13. Peta Distribusi Penderita DBD Kota Bandar Lampung Bulan Maret 2018 .... 65
14. Peta Distribusi Penderita DBD Kota Bandar Lampung Bulan April 2018 ..... 67
15. Peta Distribusi Penderita DBD Kota Bandar Lampung Bulan Mei 2018 ....... 69
16. Peta Distribusi Penderita DBD Kota Bandar Lampung Bulan Juni 2018 ....... 71
17. Peta Distribusi Penderita DBD Kota Bandar Lampung Bulan Juli 2018........ 73
18. Peta Distribusi Penderita DBD Kota Bandar Lampung Bulan Agustus 2018 . 75
19. Peta Distribusi Penderita DBD Kota Bandar Lampung Bulan September
2018 ................................................................................................................. 77
vi
20. Peta Distribusi Penderita DBD Kota Bandar Lampung Bulan Oktober 2018 . 79
21. Peta Distribusi Penderita DBD Kota Bandar Lampung Bulan November
2018 ................................................................................................................ 81
22. Peta Distribusi Penderita DBD Kota Bandar Lampung Bulan Desember
2018 ................................................................................................................ 83
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Ethical clearance
2. Surat Izin Pre-survei Penelitian
3. Surat Izin Melakukan Penelitian
4. Tabel Ceklis Data
5. Lembar Observasi Plotting Kasus Per Bulan
6. Hasil Analisis Average Nearest Neighbor (ANN)
7. Peta Distribusi Penderita DBD Kota Bandar Lampung Tahun 2018
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam berdarah dengue atau DBD adalah penyakit yang diakibatkan oleh
virus dengue. Virus ini biasanya dibawa oleh suatu vektor. Vektor penularan
DBD ke manusia berupa nyamuk yang berasal dari spesies Aedes aegypti, A.
albopictus, A. polynesis, dan beberapa spesies dari A. scutellaris. Setiap
masing-masing spesies memiliki ekologi dan distribusi geografis yang
berbeda-beda. Spesies utama nyamuk tropikal dan sub tropikal yang tersebar
hampir di seluruh bagian dunia adalah Aedes Aegypti (WHO, 2009).
Infeksi DBD merupakan penyakit yang masih menjadi masalah di
Indonesia. Kejadian DBD di Indonesia pertama kali ditemukan di Surabaya
pada tahun 1968. Sampai saat ini jumlah pasien DBD di Indonesia terus
meningkat dan tersebar ke berbagai daerah di seluruh provinsi. Menurut
data Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes RI, Incidence
Rate (IR) di Indonesia tahun 2018 sebesar 24,75 per 100.000 penduduk.
Provinsi Lampung sendiri memiliki Incidence Rate (IR) sebesar 34,31 per
100.000 penduduk (Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung, 2019).
Infeksi DBD di kota Bandar Lampung juga masih menjadi masalah dan
bersifat endemis. Kota Bandar Lampung tahun 2018, memiliki angka
Incidence Rate (IR) sebesar 107,8 per 100.000 penduduk. Angka Incidence
2
Rate (IR) DBD Kota Bandar Lampung dari tahun 2016 sampai 2019
mengalami fluktuatif. Pada tahun 2016 IR DBD adalah 117,5 per 100.000
penduduk, lalu menurun menjadi 93,4 per 100.000 penduduk di tahun 2017.
Pada tahun 2018 kembali mengalami peningkatan menjadi 107,8 per
100.000 penduduk, lalu kembali menurun di tahun 2019 IR DBD menjadi
103,3 per 100.000 penduduk (Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung,
2019).
Infeksi DBD telah menyebar luas ke seluruh wilayah puskesmas di Kota
Bandar Lampung. Pada tahun 2018 sudah ada 30 puskesmas yang
melaporkan kasus DBD. Jika dilihat dari kejadian kasus DBD selama tahun
2018 sendiri, maka di Kota Bandar Lampung yang memiliki 20 kecamatan
kesemuanya termasuk dalam kategori kecamatan endemis DBD. Suatu
daerah dinyatakan endemis apabila terjadi kasus DBD secara terus-menerus
tiap tahun minimal dalam kurun waktu tiga bulan. Jika wilayah dinyatakan
sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) bila memenuhi kriteria, yaitu adanya
kenaikan jumlah pasien DBD dua kali atau lebih dalam waktu satu minggu
atau satu bulan dibandingkan dengan minggu atau bulan sebelumnya di
bulan yang sama atau di tahun yang sama (Kirana, 2016).
Secara geografi, kejadian DBD di wilayah utara kota Bandar Lampung lebih
tinggi jika dibandingkan dengan wilayah lainnya. Ini mungkin terjadi karena
di wilayah itu, kepadatan penduduk dan mobilitas penduduknya tinggi.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung tentang kasus
DBD tahun 2018, 10 kasus DBD tertinggi hampir semua berada di wilayah
3
utara kota Bandar Lampung. Puskesmas Way Kandis 138 kasus, puskesmas
Way Halim 91 kasus, puskesmas Sukaraja 82 kasus, puskesmas Labuhan
Ratu 66 kasus, puskesmas Kedaton 58 kasus, puskesmas Kemiling 56 kasus,
puskesmas Sukabumi 56 kasus, puskesmas Sukarame 50 kasus, puskesmas
Rajabasa Indah 44 kasus dan puskesmas Segala Mider 41 kasus (Dinas
Kesehatan Kota Bandar Lampung, 2018).
Wilayah utara kota Bandar Lampung meliputi kecamatan Kemiling,
kecamatan Rajabasa, kecamatan Tanjung Senang, kecamatan Labuhan Ratu,
kecamatan Langkapura, kecamatan Sukarame, kecamatan Sukabumi,
kecamatan Kedaton dan Kecamatan Way Halim. Kecamatan kecamatan ini
memiliki jumlah puskesmas sebanyak 17 puskesmas. Dari 17 puskesmas
tersebut hanya 8 puskesmas yang memiliki angka kasus DBD diatas rata-
rata kasus DBD wilayah utara kota Bandar Lampung. Diharapkan cut point
berupa nilai rata-rata ini dapat mewakili populasi penelitian. Maka dari itu
itu, pengambilan data penelitian ini dilakukan hanya di 8 puskesmas. (Dinas
Kesehatan Kota Bandar Lampung, 2018).
Kasus DBD sudah diminimalisir kejadiannya dengan berbagai kegiatan
seperti kegiatan fogging, kegiatan pemantauan jentik nyamuk satu rumah
satu juru pemantau jentik (1R1J) dan kegiatan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) dengan cara 3M Plus. Dukungan untuk menekan angka
kasus DBD salah satunya adalah Sumber Daya Manusia (SDM) yang bisa
menganalisis data surveilans. Pemantauan kejadian DBD yang dilakukan
dengan tabel dan grafik belum bisa menunjukkan tren dan pola spasial.
4
Maka dari itu, diperlukan suatu upaya pemantauan sebagai acuan
pembentukan program yang dapat menentukan strategi pengendalian vektor
secara efektif dan efisien. Teknik dan metodologi yang dapat digunakan
sebagai upaya acuan program yang berfungsi untuk analisis kejadian
penyakit di permukaan bumi yaitu analisis spasial. Analisis spasial adalah
sekumpulan teknik yang dapat digunakan dalam pengolahan data Sistem
Informasi Geografi (SIG). Analisis spasial dalam Sistem Informasi Geografi
(SIG) dapat memetakan penyakit berbasis alamat penderita, ini dapat
bermanfaat dalam mengetahui sebaran penyakit sehingga dapat
teridentifikasi daerah yang beresiko tinggi dalam penularan DBD. Analisis
dalam penelitian ini menggunakan analisis Average Nearest Neighbor
(ANN) dan buffering (Kusuma, 2015).
Analisis dengan Average Nearest Neighbor (ANN) adalah suatu analisis
yang digunakan untuk menentukan pola penyebaran kasus DBD. Nilai
Average Nearest Neighbor (ANN) dinyatakan dalam 3 pola. ANN sama
dengan 1 berarti berpola acak (random), ANN kurang dari 1 berarti berpola
berkerumun (cluster) dan ANN lebih dari 1 berarti berpola menyebar
(dispersed). Buffering digunakan untuk mengetahui kemungkinan
penyebaran kasus DBD berdasarkan jarak terbang nyamuk. Jarak buffer
penyebaran DBD didasarkan pada jarak terbang nyamuk, yaitu sekitar 40-
100 meter per hari. Fungsi buffering ini dapat mengetahui daerah potensi
penularan DBD (Kusuma, 2015).
5
Berdasarkan uraian tersebut, penulis termotivasi melakukan penelitian
tentang analisis spasial penderita DBD pada daerah endemik di wilayah
utara kota Bandar Lampung tahun 2018 sebagai upaya pengendalian dan
pencegahan DBD. Maka dari itu penulis akan melakukan penelitian dengan
judul “Analisis Spasial Penderita DBD Pada Daerah Endemik Di Wilayah
Utara Kota Bandar Lampung Tahun 2018”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka masalah pada penelitian
ini adalah bagaimana analisis spasial penderita DBD pada daerah endemik
di wilayah utara kota Bandar Lampung tahun 2018?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui analisis
spasial penderita DBD pada daerah endemik di wilayah utara kota
Bandar Lampung tahun 2018.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui sebaran atau pemetaan dan pola clusterisasi penderita
DBD pada daerah endemik di wilayah utara kota Bandar
Lampung tahun 2018.
2. Mengetahui pola buffering penderita DBD pada daerah endemik
di wilayah utara kota Bandar Lampung tahun 2018.
6
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
wilayah rentan DBD secara spasial dan dapat meningkatkan upaya
pencegahan serta pengendalian penyebaran DBD yang dilakukan oleh
masyarakat terutama di wilayah yang rentan DBD.
1.4.2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
kejadian DBD dan dapat menjadi sumber dokumentasi yang bisa
digunakan sebagai data dalam penelitian serupa di masa mendatang.
1.4.3. Bagi Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada
petugas kesehatan setempat dan pembuat kebijakan dalam membuat
program pengendalian dan pemberantasan penyakit DBD di Kota
Bandar Lampung melalui pemetaan penyakit berdasarkan wilayah.
1.4.4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain
dalam menambah wawasan pengetahuan dan dapat dijadikan bahan
referensi, informasi dan pertimbangan untuk melakukan penelitian
lebih lanjut mengenai gambaran spasial kejadian DBD dan upaya
program pengendalian serta pemberantasannya.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Demam Berdarah Dengue (DBD)
2.1.1. Definisi DBD
Penyakit demam berdarah dengue adalah penyakit infeksi virus akut
yang disebabkan oleh virus dengue. Menurut World Helath (WHO),
demam berdarah dengue (DBD) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi salah satu dari
empat tipe virus dengue. Gejala yang muncul seperti demam
mendadak, sakit kepala, nyeri belakang bola mata, mual, dan
manifestasi perdarahan seperti mimisan atau gusi berdarah serta
adanya kemerahan di bagian permukaan tubuh pada penderita
(Kementerian Kesehatan RI, 2017).
2.1.2. Epidemiologi DBD
Penyakit DBD banyak ditemukan di daerah beriklim tropis dan sub-
tropis. Data menyatakan bahwa benua Asia menempati posisi pertama
dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sejak tahun 1968
sampai tahun 2009, World Health Organization (WHO) menyatakan
bahwa negara Indonesia adalah negara tertinggi kasus DBD di Asia
Tenggara.
8
Penyakit DBD sampai saat ini masih menjadi masalah utama dalam
bidang kesehatan masyarakat. Luas daerah penyebaran dan jumlah
kasus DBD di Indonesia semakin meningkat setiap tahunnya.
Peningkatan ini sejalan dengan adanya peningkatan mobilitas dan
kepadatan penduduk di masyarakat. Demam berdarah dengue di
Indonesia, pertama kali ditemukan di kota Surabaya pada tahun 1968
dengan jumlah kasus sebanyak 58 orang dan 24 diantaranya
meninggal dunia.
Penyakit DBD di Indonesia, sudah menjadi masalah kesehatan
masyarakat sejak tahun 1968. Ini digambarkan dengan adanya
peningkatan wilayah persebaran DBD yang awalnya hanya ada di 2
provinsi menjadi 32 provinsi pada tahun 2009 (97%). Selain itu terjadi
juga peningkatan jumlah kasus DBD yang awalnya hanya 58 kasus di
tahun 1968 menjadi 158.912 di tahun 2009. Peningkatan wilayah
sebaran dan jumlah kasus DBD ini kemungkinan disebabkan oleh
mobilitas penduduk yang tinggi, perkembangan wilayah perkotaan,
perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi penduduk serta
faktor epidemiologi DBD (Putri, 2008).
2.1.3. Etiologi DBD
Virus dengue (arbo virus) adalah genus dari Flavivirus dan familia
Flaviviridae. Virus ini memiliki ukuran 50 nm dengan RNA rantai
tunggal sebagai genome. Virion terdiri atas nukleokapsid yang
berbentuk kubus simetris dengan amplop 9 lipoprotein. Virus dengue
9
mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu virus dengue serotipe-1 (DEN-1),
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Serotipe terbanyak yang sering
ditemukan di Indonesia adalah DEN-3. Infeksi salah satu serotipe
virus dapat membentuk sistem imun dari serotipe yang menginfeksi.
Jika terjadi infeksi sekunder dengan tipe serotipe lain atau infeksi
multipel dengan serotipe yang berbeda dapat menyebabkan infeksi
dengue yang berat.
2.1.4. Vektor DBD
2.1.4.1. Klasifikasi Aedes sp.
Filum : Anthropoda
Kelas : Insekta
Ordo : Diptera
Famili : Culicidae
Genus : Aedes
Spesies : Aedes aegypti
Aedes albopictus
2.1.4.2. Morfologi Aedes sp.
Nyamuk Aedes sp. memiliki siklus hidup metamorfosis
sempurna yang terdiri dari beberapa stadium. Morfologi
nyamuk dibagi menjadi beberapa stadium antara lain :
a. Telur Aedes sp. : berbentuk lonjong, berukuran kecil,
dan ujung telur meruncing. Warna telur yang baru
keluar biasanya putih namun satu atau dua jam
10
kemudian akan berubah warna menjadi hitam. Dinding
luar telur (eksokorion) mengandung glikoprotein yang
lengket dan akan mengeras jika kering. Telur akan
menetas satu sampai tiga hari diantara suhu 23 ֯C-30 ֯C.
Nyamuk Aedes sp. dapat menghasilkan 80-125 butir
(rata-rata 100 butir) telur setelah menghisap darah.
Telur dapat bertahan pada kondisi kering dalam waktu
lebih dari satu tahun.
Gambar 1. Telur Aedes sp.
Sumber : (CDC, 2012)
b. Larva Aedes sp. : berbentuk silindris dengan kepala
bulat, antena pendek dan halus. Alat penafasan
menggunakan siphon yang ada di ruas ke delapan dari
abdomen, sedangkan untuk mengambil makanan
menggunakan rambut-rambut yang ada di kepala yang
berbentuk sikat. Larva ini dalam pertumbuhan dan
perkembangnya mengalami 4 kali pergantian kulit.
Larva instar I, tubuhnya sangat kecil, warna transparan,
11
panjang 1-2 mm, spina pada thorax belum begitu jelas
dan corong pernafasan (sifon) belum menghitam. Larva
instar II bertambah besar, ukuran 2,5 – 3,9 mm, spina
belum jelas, dan corong pernafasan sudah berwarna
hitam. Larva instar III dan IV telah lengkap struktur
anatominya dan jelas tubuh dapat dibagi menjadi
bagian kepala (cephal), dada (thorax) dan perut.
Gambar 2. Larva Aedes sp.
Sumber : (Zettel & Kaufman, 2013)
Pada kepala ada sepasang mata majemuk, sepasang
antena tanpa duri dan alat mulut tipe pengunyah
(chewing). Pada thorax tampak paling besar dengan
bulu simetris. Abdomen tersusun atas 8 ruas. Ruas ke-8
terdapat alat bernafas yaitu sifon dengan pectin dan
berwarna hitam.
Terdapat beberapa ciri yang membedakan larva Aedes
aegypti dengan Aedes albopictus. Larva Aedes aegypti
12
tak berambut palma, bernafas dengan sifon, comb scale
1 baris, rambut antena sedikit, sifon pendek gemuk,
rambut sifon satu kelompok, memiliki pecten, mouth
brush ada/sedikit, ketika beristirahat membentuk sudut,
gigi sisir berduri lateral dan gigi sisir pada segmen ke-8
berbentuk seperti mahkota, mempunyai pelana yang
terbuka. Larva Aedes albopictus memiliki Sifon
panjang dan bulunya satu pasang, segmen anal pelana
tidak menutup segmen, gigi sisir yang tidak berduri
lateral dan gigi sisir pada segmen ke-8 berbentuk
seperti trisula.
c. Pupa Aedes sp. : berbentuk koma, dipermulaan
berwarna putih lalu berubah menjadi coklat dan
sebelum dewasa menjadi hitam. Kepala dan thorax
tebal, abdomen melengkung ke bawah dan ke belakang.
Gambar 3. Pupa Aedes sp.
Sumber : (CDC, 2012)
13
d. Nyamuk Dewasa : tubuh nyamuk dewasa terdiri dari 3
bagian, yatu kepala (caput), dada (thorax) dan perut
(abdomen). Badan nyamuk berwarna hitam dan
memiliki bercak dan garis-garis putih dan tampak
sangat jelas pada bagian kaki dari nyamuk Aedes sp.
Pada bagian kepala terpasang sepasang mata majemuk,
sepasang antena dan sepasang palpi, antena berfungsi
sebagai 15 organ peraba dan pembau. Pada nyamuk
betina, antena berbulu pendek dan jarang (tipe pilose).
Pada nyamuk jantan, antena berbulu panjang dan lebat
(tipe plumose). Thorax terdiri dari 3 ruas, yaitu
prothorax, mesotorax, dan methatorax. Pada bagian
thorax terdapat 3 pasang kaki dan pada ruas ke 2
(mesothorax) terdapat sepasang sayap. Abdomen terdiri
dari 8 ruas dengan bercak putih keperakan pada
masing-masing ruas. Pada ujung atau ruas terakhir
terdapat alat kopulasi berupa cerci pada nyamuk betina
dan hypogeum pada nyamuk jantan.
Aedes aegypti dan Aedes albopictus secara makroskopis
terlihat sama namun perbedaannya terletak pada
morfologi thorax dimana Aedes aegypti memiliki
gambar garis seperti violin berbentuk dengan 2 garis
14
lengkung dan 2 garis lurus putih sementara Aedes
albopictus hanya memiliki 1 garis putih.
Gambar 4. Perbedaan Aedes aegypti dan Aedes albopictus
Sumber : (Sivanathan, 2006)
2.1.4.3. Tempat Perindukan Aedes sp.
Aedes aegypti tinggal di tempat berisi air bersih yang ada di
dalam rumah atau di tempat yang berdekatan dengan rumah
dan biasanya tak melebihi jarak 500 meter dari rumah.
Tempat perindukan bisa berupa tempat perindukan “buatan
manusia”, seperti tempayan, bak mandi, tangka atau menara
air, talang hujan, jamban atau pot bunga, kaleng, botol dan
ban mobil yang ada di dalam rumah atau di kebun yang berisi
air hujan. Selain itu, ada juga tempat perindukan alami seperti
kelopak daun tanaman, tempurung kelapa dan lubang pohon
yang berisi air hujan (Sianipar, Anwar, & Handayani, 2018).
15
2.1.4.4. Penyebaran Aedes sp.
Penyebaran Aedes aegypti berkaitan dengan perkembangan
sistem transportasi. Misalnya di Indonesia, spesies nyamuk
dari kota kota pelabuhan bisa menyebar ke daerah di
pedalaman (desa-desa) ini disebabkan oleh transportasi antar
daerah yang menyangkut tempat tempat penampungan air
hujan, seperti drum, kaleng, ban bekas dan benda benda
lainnya yang bisa menjadi tempat hidup larva Aedes aegypti
(Marisa, 2007).
2.1.4.5. Umur Aedes sp.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
sebelumnya Aedes aegypti mampu hidup selama 2 bulan jika
ditempatkan di dalam kandang nyamuk dengan menjaga suhu
di 28ºC dan kadar kelembaban udara 80% serta diberi air gula
sebagai makanan sehari-hari Aedes aegypti. Jika di alam
bebas usia Aedes aegypti diperkirakan hanya sekitar 10 hari
saja. Dalam jangka waktu tersebut Aedes aegypti sudah
mampu mengembangbiakan efficient vector (Setiyaningsih &
Boewono, 2011).
2.1.4.6. Jarak Terbang Aedes sp.
Nyamuk Aedes aegypti termasuk serangga dengan
kemampuan terbang jarak pendek. Penyebaran nyamuk
terbagi jadi dua, yaitu penyebaran aktif dan penyebaran pasif.
16
Penyebaran aktif terjadi jika nyamuk menyebar ke berbagai
tempat menurut kebiasaaan terbangnya, sedangkan
penyebaran pasif jika nyamuk terbawa oleh angin atau
kendaraan (bukan oleh kekuatan terbangnya sendiri).
Nyamuk betina Aedes aegypti memiliki kemampuan terbang
rata-rata 40 meter hingga 100 meter. Secara pasif karena
angin atau terbawa kendaraan, nyamuk dapat berpindah lebih
jauh hingga jarak 2 km. Keberadaan nyamuk jantan Aedes
aegypti cukup banyak ditemukan disuatu tempat yang
diindikasikan sebagai tempat perindukan nyamuk.
Pergerakan nyamuk dari tempat perindukan ke tempat
mencari mangsa hingga kembali ke tempat beristirahat
ditentukan oleh kemampuan terbang nyamuk (Ayuningtyas,
2013).
2.1.5. Patogenesis dan Patofisiologi DBD
Pada infeksi DBD akan terbentuk antibodi yang terdiri dari Ig G yang
berfungsi untuk menghambat peningkatan replikasi virus dalam
monosit, yaitu enchancing antibody dan neutralising antibody.
Dikenal 2 tipe antibodi berdasarkan virion determinant specificity.
Antibodi kelompok monoklonal reaktif yang mempunyai sifat
menetralisasi tetapi memacu replikasi virus dan antibodi yang dapat
menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu replikasi
virus.
17
Limfosit T juga memegang peran penting dalam patogenesis DBD.
Limfosit T muncul karena telah dirangsang oleh monosit terinfeksi
virus dengue. Lalu kemudian limfosit T akan mengeluarkan interferon
(IFN) alfa dan gamma. Mediator mediator inilah yang akan
menyebabkan kebocoran plasma dan pedarahan pada penderita DBD
(Ramandari, 2009).
Fenomena patofisiologi utama DBD yaitu peningkatan permeabilitas
vaskuler, penurunan volume plasma, hipotensi, trombositopenia dan
diatesis hemoragik. Plasma akan merembes selama perjalanan
penyakit, mulai dari awal masa demam hingga puncaknya saat masa
renjatan. Hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya
plasma melalui endotel vaskuler. Meningkatnya hematokrit
menimbulkan dugaan bahwa renjatan terjadi akibat kebocoran plasma
ke ekstra vaskuler melalui kapiler yang rusak.
Trombositopenia adalah kelainan hematologis yang sering ditemukan
pada penderita DBD. Trombositopenia ini terjadi diduga akibat
meningkatnya destruksi trombosit dan depresi fungsi megakariosit.
Trombositopenia dan adanya gangguan fungsi trombosit dianggap
sebagi penyebab utama terjadinya pendarahan pada DBD. Selain
trombositopenia, kelainan sistem koagulasi juga berperan dalam
perdarahan penderita DBD (Ramandari, 2009).
18
Perdarahan kulit umumnya disebabkan oleh faktor kapiler, gangguan
fungsi trombosit dan trombositopenia. Perdarahan massif terjadi
akibat kelainan mekanisme yang lebih kompleks, yaitu
tromobitopenia, gangguan faktor koagulasi dan kemungkinan besar
oleh faktor Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
(Ramandari, 2009).
2.1.6. Penularan DBD
Penularan penyakit DBD dilakukan oleh nyamuk betina, karena hanya
nyamuk betina yang mengisap darah. Darah diperlukan oleh nyamuk
betina unuk memenuhi kebutuhan proteinnya agar bisa memproduksi
telur. Pengisapan darah dilakukan dari pagi hari sampai petang hari
dengan dua puncak waktu yaitu setelah matahari terbit (8.00-10.00)
dan sebelum matahari terbenam (15.00-17.00). Untuk memperoleh
energi, nyamuk jantan mengisap nektar bunga atau tumbuhan dan tak
membutuhkan darah.
Nyamuk betina Aedes aegypti terinfeksi dengue melalui pengisapan
darah manusia yang sedang sakit DBD. Nyamuk Aedes aegypti dapat
menularkan virus dengue kepada manusia lainnya, baik secara
langsung (setelah mengisap darah orang yang sedang dalam fase
viremia) maupun secara tak langsung (setelah melewati masa inkubasi
dalam tubuh nyamuk).
Masa inkubasi dalam tubuh nyamuk (extrinsic incubation period)
antara 7-14 hari, tergantung pada strain nyamuk, genotip virus, serta
19
faktor lingkungan seperti kelembaban dan suhu lingkungan Virus
dengue akan bereplikasi di dalam jaringan midgut nyamuk, kemudian
melalui hemolimpha virus akan menyebar ke jaringan lain seperti,
trakea, lemak ubuh, dan kelenjar ludah. Titer virus tertinggi dalam
midgut didapatkan pada 7-10 hari setelah infeksi, dalam abdomen
antara 7-17 hari dan pada kelenjar ludah antara 12-18 hari.
Masa inkubasi di dalam tubuh manusia (intrinsic incubation period)
antara 4-6 hari. Masa infektif pada manusia hanya pada saat viremia
saja (5-7 hari). Berbeda dengan masa infektif pada nyamuk yang
terjadi selama masa hidup nyamuk (Ishartadiati, 2017).
2.1.7. Faktor Yang Berhubungan DBD
Berdasarkan model segi tiga epidemiologi (triangle epidemiology),
ada tiga faktor yang berperan dalam timbulnya suatu penyakit yaitu,
pejamu (host), penyebab penyakit (agent), dan lingkungan
(environment). Sedangkan berdasarkan paradigm sehat yang
dikemukakan oleh HL. Blum, terdapat empat faktor determinan utama
yang berkontribusi terhadap status kesehatan seseorang, yaitu faktor
genetik, pelayanan kesehatan, perilaku dan faktor lingkungan.
2.1.7.1. Faktor Pejamu (Host)
Virus dengue dapat menginfeksi manusia dan beberapa
spesies primata. Manusia merupakan reservoir utama virus
dengue di daerah perkotaan. Beberapa variabel yang
berkaitan dengan karakteristik pejamu adalah umur,
20
pendidikan, pekerjaan, imunitas, status gizi, ras dan perilaku.
Semua umur bisa diserang virus dengue meskipun baru
berumur beberapa hari setelah lahir (Widodo, 2012).
Pendidikan erat kaitannya dengan pengetahuan seseorang.
Salah satu tujuan pendidikan adalah memberikan dan
meningkatkan pengetahuan sehingga dicapai suatu
masyarakat yang berkembang dan diharapkan dapat merubah
perilaku. Menurut suatu penelitian dinyatakan bahwa tingkat
pendidikan dan pengetahuan yang rendah, lebih beresiko 2-4
kali lebih besar untuk menderita penyakit DBD.
Mobilitas seseorang berpengaruh terhadap risiko kejadian
DBD. Hal ini identik dengan pekerjaan yang dilakukan
sehari-hari. Semakin tinggi tingkat mobilitas seseorang,
semakin besar risiko untuk menderita penyakit DBD.
Imunitas atau daya tahan tubuh terhadap suatu infeksi
penyakit menular erat kaitannya dengan faktor gizi. Menurut
suatu penilitian, status gizi mempengaruhi pembentukkan
antibodi dalam tubuh. Gizi yang kurang akan menghambat
pembentukkan antibodi dalam tubuh sehingga kemampuan
tubuh untuk terhindar dari penyakit berkurang.
Setiap ras memiliki sifat dan kebiasaan masing-masing terkait
penularan penyakit DBD. Hal ini menyangkut keadaan sosial
ekonomi, adat kebiasaan dan kebudayaan suatu masyarakat.
21
Menurut suatu penelitian, kejadian DBD pada ras kulit hitam
lebih rendah dibandingkan dengan kejadian DBD pada ras
kulit putih, dan ras keturunan Cina tiga kali lebih beresiko
menderita DBD dibanding ras keturunan Melayu (Widodo,
2012).
2.1.7.2. Faktor Penyebab Penyakit (Agent)
Agent (penyebab penyakit) DBD adalah virus dengue yang
termasuk kelompok B arthropoda Borne Virus (Arbovirus).
Anggota dari genus Flavivirus, familia Flaviviridae yang
ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti dan juga nyamuk
Aedes albopictus yang merupakan vektor infeksi DBD.
Dikenal empat serotipe virus dengue yaitu Den-1, Den-2,
Den-3, dan Den-4. Nyamuk dengue menggigit manusia pada
pagi sampai sore hari, biasanya pukul 08.00-12.00 dan 15.00-
17.00. Nyamuk mendapatkan virus dengue setelah menggigit
orang yang terinfeksi virus dengue. Virus ini dapat tetap
hidup di alam lewat 2 mekanisme.
Mekanisme pertama, transmisi vertikal dalam tubuh nyamuk.
Virus dapat ditularkan oleh nyamuk betina pada telurnya,
yang nantinya akan menjadi nyamuk dewasa. Virus ini dapat
ditularkan pada nyamuk jantan ke nyamuk betina melalui
kontak seksual. Mekanisme kedua, transmisi virus dari
nyamuk ke dalam tubuh makhluk vertebrata dan sebaliknya.
22
Yang dimaksud dengan makhluk vertebrata disini adalah
manusia dan kelompok kera tertentu.
Virus yang sampai ke lambung nyamuk akan mengalami
replikasi, kemudian akan bermigrasi dan akhirnya sampai ke
kelenjar ludah. Empat hari kemudian virus akan mereplikasi
dirinya secara cepat. Apabila jumlahnya sudah cukup, virus
akan masuk ke sirkulasi darah dan saat itulah manusia yang
terinfeksi akan mengalami gejala (Tabanal, 2017).
2.1.7.3. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan yang dapat menjadai faktor
faktor risiko terjadinya penyakit DBD. Faktor lingkungan
terdiri dari faktor lingkungan fisik, biologi dan sosial. Faktor
lingkungan fisik meliputi kepadatan rumah atau tata rumah,
jenis kontainer dan ketinggian tempat tinggal. Bahan-bahan
pembuatan rumah, konstruksi rumah, warna dinding dan
pengaturan barang barang dalam rumah dapat menyebabkan
rumah tersebut disenangi atau tidak oleh nyamuk. Kepadatan
rumah juga dapat mempengaruhi terjadinya DBD. Nyamuk
memiliki kemampuan terbang jarak pendek (100 meter) maka
dari itu nyamuk Aedes aegypti bersifat domestik. Apabila
rumah penduduk saling berdekatan maka nyamuk bisa mudah
berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya.
23
Jenis kontainer yang dimaksud adalah kontainer yang
berpotensi untuk menjadi teempat perindukan nyamuk. Misal
seperti, bak penampung air yang digunakan untuk kegiatan
sehari hari (bak mandi, gentong/tempayan dan drum), tempat
penampung air yang tak diperlukan sehari-hari (kaleng bekas,
ban bekas dan tempat minum burung), dan tempat
penampung air alamiah (pelepah pisang, lubang pada
potongan bambu, tempurung kelapa. Nyamuk aedes dapat
hidup pada ketinggian 1000 meter diatas permukaan laut.
Menurut WHO, ketinggian tempat yang kurang dari 500
meter (dataran rendah) memiliki tingkat populasi nyamuk
dari sedang hingga tinggi.
Faktor biologi terdiri dari kelembaban dan pencahayaan.
Tempat dengan kelembaban yang tinggi dapat dijadikan
tempat yang disenangi nyamuk untuk hinggap beristirahat.
Pada kelembaban udara yang rendah (<60%), terjadi
penguapan air dari tubuh nyamuk sehingga dapat
memperpendek umur nyamuk. Intensitas pencahayaan yang
kurang di dalam ruangan rumah dapat menarik nyamuk untuk
singgah atau hinggap. Jentik nyamuk Aedes aegypti
umumnya dapat bertahan lebih baik di ruangan dalam
kontainer yang gelap dan menarik nyamuk betina untuk
meletakkan telurnya.
24
Faktor lingkungan sosial terdiri dari kebiasaan menggantung
pakaian dan kebiasaan membersihkan tempat penampungan
air (TPA). Kebiasaan menggantung pakaian memiliki
peluang besar terkena penyakit DBD. Pakaian yang
tergantung di balik lemari atau di balik pintu sebaiknya tak
dilakukan, karena nyamuk Aeds aegypti senang hinggap dan
beristirahat di tempat tempat gelap dan kain yang
menggantung. Kebiasaan membersihkan TPA, dapat menjadi
resiko transmisi penularan DBD di masyarakat. Kebiasaan ini
akan menjadi lebih buruk apabila masyarakat sulit
mendapatkan air bersih, sehingga mereka cenderung untuk
menyimpan air dalam penampung air (Marali, 2018).
2.2. Program Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue
Berdasarkan Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor
581/MENKES/SK/VII/1992 tentang pemberantasan penyakit DBD,
pemberantasan penyakit DBD adalah semua upaya untuk mencegah dan
menangani kejadian DBD. Adanya keputusan tersebut bertujuan untuk
memberikan pedoman bagi masyarakat, tokoh masyarakat, petugas
kesehatan, dan sektor-sektor terkait dalam upaya bersama mencegah dan
membatasi penyebaran penyakit sehingga program Pemberantasan Penyakit
DBD (P2DBD) dapat tercapai (Kemenkes RI, 1992).
Program Pemberantasan Penyakit DBD (P2DBD) mempunyai tujuan utama
diantaranya adalah untuk menurunkan angka kesakitan, menurunkan angka
25
kematian, dan mencegah terjadinya KLB penyakit DBD. Program P2DBD
termasuk bagian dari program pusat kesehatan masyarakat (Kemenkes RI,
2014). Program P2DBD meliputi :
a. Penemuan penderita tersangka DBD : kasus dilihat dari jumlah suspek
DBD yang datang ke puskesmas.
b. Rujukan penderita DBD : jila terdapat tanda-tanda penyakit DBD,
seperti mendadak panas tinggi 2- 7 hari, tampak lemah dan lesu, suhu
badan antara 38֯C sampai 40֯C atau lebih, tampak bintik-bintik merah
pada kulit dan jika kulit direnggangkan bintik merah itu tidak hilang,
kadang-kadang ada perdarahan hidung, mungkin terjadi muntah darah
atau buang air besar (BAB) berdarah dan tes torniquet positif.
c. Penyuluhan kesehatan : pada penyuluhan masyarakat meliputi,
1. Penyuluhan perorangan : terhadap individu yang berobat melalui
konseling.
2. Penyuluhan kelompok : melalui diskusi, ceramah, penyuluhan
melalui poster.
d. Surveilans kasus DBD : menghitung Angka Bebas Jentik (ABJ) yaitu
persentase jumlah rumah yang ditemukan jentik dibandingkan dengan
jumlah rumah yang diperiksa.
e. Surveilans vektor : Pemantauan Jentik Berkala (PJB) yaitu persentase
jumlah bangunan yang ditemukan jentik dibandingkan dengan jumlah
bangunan yang diperiksa. PJB dilakukan setiap 3 bulan sekali dalam
setahun dirumah dan tempat-tempat umum yang dipilih secara acak
(random sampling).
26
f. Pemberantasan vektor
1. Abatisasi : pemberian bubuk abate pada tempat penampungan
air yang tidak bias dikuras
2. Kegiatan 3 M : dengan Badan Gerakan 3M yang perwujudannya
melalui Jumat bersih selama 30 menit setiap satu minggu sekali.
Dilakukan dengan pengawasan kader. Kegiatannya berupa
menguras, menutup, dan mengubur tempat pertumbuhan jentik.
3. Fogging fokus.
g. Pencatatan dan Pelaporan.
Untuk menilai kemajuan atau keberhasilan program P2DBD digunakan
beberapa indikator. Sasaran program P2DBD merupakan sasaran
pengukuran secara nasional yang telah ditetapkan. Maka, indikator yang
ditetapkan adalah indikator untuk capaian pada tahun 2018, diantaranya
yaitu:
a. Angka Bebas Jentik (ABJ) >95%
b. Angka kematian atau Case Fatality Rate (CFR) <1%
c. Penderita DBD yang ditangani 100%
d. Angka kesakaitan atau Incidence Rate (IR) <49 per 100.000 penduduk
(Kemenkes RI, 2010, 2015).
2.3. Tatalaksana Penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD)
Setiap diketahui adanya penderita DBD, segera ditindaklanjuti dengan
kegiatan Penyelidikan Epidemiologi (PE). Selanjutnya dalam melaksanakan
kegiatan pemberantasan DBD sangat diperlukan peran serta masyarakat,
27
baik untuk membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan pemberantasan
maupun dalam memberantas jentik nyamuk penularnya. Terdapat 10
kegiatan pokok pengendalian DBD yang harus dilakukan oleh pemerintah
yaitu : surveilans epidemiologi, penemuan dan tatalaksana kasus,
pengendalian vektor, peningkatan peran serta masyarakat, sistem
kewaspadaan dini (SKD) dan penanggulangan KLB, penyuluhan,
kemitraan/ jejaring kerja, capacity building, penelitian dan survei, serta
kegiatan monitoring dan evaluasi.
a. Surveilans epidemiologi : surveilans pada pengendalian DBD meliputi
kegiatan surveilans kasus secara aktif maupun pasif, surveilans vektor
(Aedes sp), surveilans laboratorium dan surveilans terhadap faktor
risiko penularan penyakit seperti pengaruh curah hujan, kenaikan suhu
dan kelembaban serta surveilans akibat adanya perubahan iklim
(climate change).
b. Penemuan dan tatalaksana kasus : penyediaan sarana dan prasarana
untuk melakukan pemeriksaan dan penanganan penderita di
puskesmas dan rumah sakit.
c. Pengendalian vektor : upaya pengendalian vektor dilaksanakan pada
fase nyamuk dewasa dan jentik nyamuk. Pada fase nyamuk dewasa
dilakukan dengan cara pengasapan untuk memutuskan rantai
penularan antara nyamuk yang terinfeksi kepada manusia. Pada fase
jentik dilakukan upaya PSN dengan kegiatan 3M Plus :
1. Secara fisik dengan menguras, menutup dan memanfaatkan
barang bekas
28
2. Secara kimiawi dengan larvasidasi
3. Secara biologis dengan pemberian ikan
4. Cara lainnya (menggunakan repellent, obat nyamuk bakar,
kelambu, memasang kawat kasa dll).
Kegiatan pengamatan vektor di lapangan dilakukan dengan cara :
1. Mengaktifkan peran dan fungsi Juru Pemantau Jentik (Jumantik)
dan dimonitor olah petugas puskesmas
2. Melaksanakan bulan bakti “Gerakan 3M” pada saat sebelum
musim penularan
3. Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) setiap 3 bulan sekali dan
dilaksanakan oleh petugas Puskesmas.
4. Pemantauan wilayah setempat (PWS) dan dikomunikasikan
kepada pimpinan wilayah pada rapat bulanan POKJANAL
DBD, yang menyangkut hasil pemeriksaan Angka Bebas Jentik
(ABJ).
d. Peningkatan peran serta masyarakat : sasaran peran serta masyarakat
terdiri dari keluarga melalui peran PKK dan organisasi
kemasyarakatan atau LSM, murid sekolah melalui UKS dan pelatihan
guru, tatanan institusi (kantor, tempat0tempat umum dan tempat
ibadah). Berbagai upaya secara polotis telah dilaksanakan seperti
instruksi Gubernur/Bupati/Walikota, Surat Edaran Mendagri,
Mendiknas, serta terakhir pada 15 Juni 2011 telah dibuat suatu
komitmen bersama pimpinan daerah Gubernur dan Bupati/Walikota
untuk pengenadalian DBD.
29
e. Sistem kewaspadaan dini (SKD) dan penanggulangan KLB : upaya ini
sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya KLB dan apabila
telah terjadi KLB dapat segera ditanggulangi dengan cepat dan tepat.
Upaya dilapangan yaitu dengan melaksanakan kegiatan penyelidikan
epidemiologi (PE) dan penanggulangan seperlunya meliputi foging
fokus, penggerakan masyarakat dan penyuluhan untuk PSN serta
larvasidasi. Demikian pula kesiapsiagaan di RS untuk dapat
manampung pasien DBD, baik penyediaan tempat tidur, sarana
logistik, dan tenaga medis, paramedis dan laboratorium yang siaga 24
jam. Pemerintah daerah menyiapkan anggaran untuk perawatan bagi
pasien tidak mampu.
f. Penyuluhan : promosi kesehatan tentang penyakit DBD tidak hanya
menyebarkan leaflet atau poster tetapi juga ke arah perubahan perilaku
dalam pemberantasan sarang nyamuk sesuai dengan kondisi setempat.
g. Kemitraan atau jejaring kerja : disadari bahwa penyakit DBD tidak
dapat diselesaikan hanya oleh sektor kesehatan saja, tetapi peran lintas
program dan lintas sektor terkait sangat besar. Wadah kemitraan telah
terbentuk melalui SK KEPMENKES 581/1992 dan SK MENDAGRI
441/1994 dengan nama Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL).
Organisasi ini merupakan wadah koordinasi dan jejaring kemitraan
dalam pengendalian DBD.
h. Capacity building : peningkatan kapasitas dari sumber daya baik
manusia maupun sarana dan prasarana sangat mendukung tercapainya
target dan indikator dalam pengendalian DBD. Sehingga secara rutin
30
perlu diadakan sosialisasi/penyegaran/pelatihan kepada petugas dari
tingkat kader, puskesmas sampai dengan pusat.
i. Penelitian dan survei penelitian dan upaya pengembangan kegiatan
pengendalian tetap terus dilaksanakan oleh berbagai pihak, antara lain
universitas, Rumah Sakit, Litbang, LSM dll. Penelitian ini
menyangkut beberapa aspek yaitu bionomik vektor, penanganan
kasus, laboratorium, perilaku, obat herbal dan saat ini sedang
dilakukan uji coba terhadap vaksin DBD.
j. Monitoring dan evaluasi : dilaksanakan secara berjenjang dari tingkat
kelurahan/desa sampai ke pusat yang menyangkut pelaksanaan
pengendalian DBD, dimulai dari input, proses, output dan outcome
yang dicapai pada setiap tahun (Kemenkes RI, 2010).
2.4. Pengertian Surveilans DBD
Surveilans Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah proses pengumpulan,
pengolahan, analisis dan interpretasi data, serta penyebarluasan informasi ke
penyelenggara program dan pihak instansi terkait secara sistematis dan terus
menerus tentang situasi DBD dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya
peningkatan secara efektif dan efisien.
2.4.1. Pelaksanaan Surveilans DBD
Surveilans DBD terutama ditujukan untuk deteksi Kejadian Luar
Biasa (KLB) dan monitoring program penanggulangan. Setiap letusan
KLB dilakukan penyelidikan epidemiologi dan pemeriksaan
spesimen.
31
2.4.2. Sumber Data Surveilans DBD
1. Rumah Sakit : laporan morbiditas dan mortalitas bulanan
penderita rawat inap dan rawat jalan rumah sakit. Laporan
Kewaspadaan Dini Rumah Sakit (KD-RS) setiap ada kasus,
merupakan indeks kasus yang perlu penelusuran lapangan.
2. Puskesmas : laporan morbiditas puskesmas melalui laporan
Sistem Pencatatan dan Pelaporan Terpadu Puskesmas (SP2TP)
atau Sistem Pencatatan dan Pelaporan Puskesmas (SP3) atau
Sistem Informasi Manajemen Puskesmas (SIMPUS) yang
datanya dirangkum dalam data Sistem Surveilans Terpadu
Penyakit (SSTP) Kabupaten/Kota atau Propinsi, atau laporan
Puskesmas Sentinel bagi Kabupaten/Kota dan Surveilans
Propinsi, serta Laporan W1 (24 jam) bila ada indikasi KLB.
Laporan bulanan program dengan Form K-DBD di puskesmas
dan tingkat kabupaten kota.
3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium : belum semua Balai
Laboratorium Kesehatan Pusat/Daerah dapat melakukan
pemeriksaan, tetapi hasil data pemeriksaan laboratorium perlu
dimanfaatkan dalam analisa surveilans.
4. Hasil Penyelidikan Kasus di Lapangan oleh Prtugas :
penyelidikan kasus DBD di lapangan sangat penting dan
bermanfaat, karena kemungkinan akan ditemukan faktor resiko
terjadi penularan serta didapatkan kasus.
32
5. Data Kegiatan Program : laporan pelaksanaan fogging dari form
K-DBD dan Angka Bebas Jentik (ABJ) berkala serta hasil
kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) yang dilakukan
surveilans kabupaten/kota.
2.4.3. Presentasi dan Analisis Data
Presentasi dan analisis data surveilans dapat disajikan dalam bentuk
grafik, tabel dan peta. Grafik dan tabel berfungsi untuk
memperlihatkan tren kasus menurut umur, waktu, jumlah kasus dan
kematian yang ditimbulkan oleh DBD. Penyajian dalam bentuk peta
dapat memberikan informasi tentang daerah yang termasuk daerah
rawan DBD.
2.4.4. Kegunaan Data Surveilans untuk Manajemen
Kegunaan informasi epidemiologi yang dihasilkan dapat digunakan
sebagai berikut :
1. Monitoring Case Fatality Rate (CFR) untuk meningkatkan
manajemen kasus.
2. Monitoring insiden rate (IR) untuk menilai dampak program.
3. Dapat mendeteksi KLB agar dapat segera melakukan tindak
penanggulangan.
2.4.5. Surveilans Epidemiologi DBD di Puskesmas
Surveilans epidemiologi DBD di puskesmas meliputi kegiatan
pengumpulan dan pencarian data tersangka, pengolahan dan penyajian
data penderita DBD. Surveilans ini untuk pemantauan KLB,
33
Kewaspadaan Dini Rumah Sakit (KD-RS) DBD untuk pelaporan
tersangka DBD, penderita DBD dalam 24 jam setelah diagnosis
ditegakkan, laporan KLB (W1-DBD), laporan mingguan (W2-DBD),
data dasar perorangan penderita DBD (DP-DBD), penentuan
stratifikasi (endemisitas) desa/kelurahan, distribusi kasus DBD per
RW/dusun, penentuan musim penularan, dan kecenderungan DBD.
2.4.6. Pengumpulan dan Pencatatan Data
Pengumpulan data dan pencatatan dilakukan setiap hari, bila ada
laporan tersangka DBD dan penderita DBD. Data tersangka DBD dan
penderita DBD yang diterima puskesmas dapat berasal dari RS atau
dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas sendiri atau puskesmas
lain (cross notification) dan puskesmas pembantu, unit pelayanan
kesehatan lain (balai pengobatan, poliklinik, dokter praktek swasta
dan lain-lain) dan hasil penyelidikan epidemiologi (kasus tambahan
jika sudah ada konfirmasi dari RS/unit pelayanan kesehatan lainnya).
Untuk pencatatan tersangka DBD dan penderita DBD menggunakan
“Buku Catatan Harian Penderita DBD” yang memuat catatan (kolom)
tersangka DBD.
2.4.7. Pengolahan dan Penyajian Data
Data pada “Buku Catatan Harian Penderita DBD” diolah dan disajikan
dalam bentuk pemantauan situasi DBD mingguan menurut
desa/kelurahan. Dari hasil penjumlahan penderita DBD dari data
mingguan tersebut dapat dideteksi secara dini adanya KLB DBD atau
34
keadaan yang menjurus KLB DBD. Bila terjadi KLB DBD, maka
lakukan tindakan sesuai dengan pedoman penanggulangan KLB DBD
dan laporan segera ke dinas kesehatan kabupaten/kota menggunakan
formulir W1-DBD.
Penyampaian laporan tersangka DBD dan penderita DBD selambat-
lambatnya dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan menggunakan
formulir KD-RS DBD. Laporan data dasar perorangan penderita DBD
menggunakan formulir DP-DBD yang disampaikan per bulan.
Laporan mingguan adalah hasil penjumlahan penderita DBD setiap
minggu menurut desa/kelurahan dan dilaporkan ke dinas kesehatan
kabupaten/kota menggunakan formulir W2-DBD. Laporan bulanan
adalah hasil penjumlahan penderita atau kematian DBD termasuk data
kegiatan pokok pemberantasan setiap bulan dan dilaporkan ke dinas
kesehteraan kabupaten/kota menggunakan formulir K-DBD.
Penentuan stratifikasi desa/kelurahan DBD ditentukan menurut
stratifikasi desa/kelurahan yang ada di wilayah cakupan puskesmas.
Distribusi penderita DBD per RW/dusun dibuat setiap tahun dengan
menjumlahkan penderita DBD per RW/dusun. Penentuan musim
penularan dilakukan dengan menjumlahkan penderita DBD per bulan
selama 5 tahun terakhir. Mengetahui kecenderungan situasi penyakit
dilakukan dengan menjumlahkan penderita DBD per tahun sejak
kasus ditemukan.
35
2.5. Alur Pelaporan Surveilans DBD
2.5.1. Pelaporan dari Puskesmas ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
Alur pelaporan data DBD dari puskesmas ke dinas kesehatan
kabupaten/kota adalah sebagai berikut:
1. Menggunakan formulir KDRS-DBD untuk pelaporan kasus
DBD dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan.
2. Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan
DBD yang dilaporkan per bulan.
3. Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan.
4. Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan.
5. Menggunakan formulir W1-DBD jika terjadi KLB.
2.5.2. Pelaporan dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota ke Dinas
Kesehatan Propinsi
Alur pelaporan data DBD dari dinas kesehatan kabupaten/kota ke
dinas kesehatan propinsi adalah sebagai berikut:
1. Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan
DBD yang dilaporkan per bulan.
2. Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan.
3. Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan .
4. Menggunakan formulir W1-DBD bila terjadi KLB.
36
2.5.3. Pelaporan dari Dinas Kesehatan Propinsi ke Pusat (Subdit
Arbovirosis, Ditjen P2M & PL)
Alur pelaporan data DBD dinas kesehatan propinsi ke pusat (Subdit
Arbovirosis, Ditjen P2M & PL) adalah sebagai berikut:
1. Menggunakan formulir DP-DBD sebagai data dasar perorangan
DBD yang dilaporkan per bulan.
2. Menggunakan formulir K-DBD sebagai laporan bulanan.
3. Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan.
4. Menggunakan formulir W1-DBD bila terjadi KLB.
2.5.4. Pelaporan dalam Situasi Kejadian Luar Biasa (KLB)
Pelaporan dari puskesmas ke dinas kesehatan kabupaten/kota:
1. Menggunakan form W1-DBD.
2. Pelaporan dengan form KDRS-DBD untuk pelaporan kasus
DBD dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan.
3. Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan
KLB DBD.
Pelaporan dari dinas kesehatn kabupaten/kota ke dinas kesehatan
propinsi:
1. Menggunakan form W1-DBD.
2. Menggunakan formulir KDRS untuk pelaporan kasus DBD
dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan.
3. Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan
KLB DBD.
37
Pelaporan dari dinas kesehatan propinsi ke Ditjen P2M & PL.
1. Menggunakan form W1-DBD.
2. Menggunakan formulir W2-DBD sebagai laporan mingguan
KLB DBD.
2.5.5. Umpan Balik
Umpan balik pelaporan perlu dilaksanakan guna meningkatkan
kualitas dan memelihara kesinambungan pelaporan, kelengkapan dan
ketepatan waktu pelaporan serta analisis terhadap laporan. Frekuensi
umpan balik oleh masing-masing tingkat administrasi dilaksanakan
setiap bulan, minimal dua kali dalam setahun.
Gambar 5. Alur Pelaporan Data DBD
Sumber : (Ardiati, 2009)
RS Pemerintah & Swasta
Unit Pelkes lain, seperti Balai
pengobatan, dokter praktek
swasta, poliklinik, dll
W2 DBD
W1 DBD DP-DBD
K-DBD
W2 DBD
W1 DBD DP-DBD
K-DBD
Ditjen PPM & PL
Dinkes Propinsi
Dinkes Kab/Kota
Puskesmas
Um
pan
Balik
U
mp
an B
alik
Um
pan
Balik
W2 DBD
W1 DBD
DP-DBD
K-DBD
KDRS-DBD (tembusan)
Umpan Balik
38
2.6. Sistem Informasi Geografi
Menurut sejarah penggunaan dot map secara besar-besaran untuk pertama
kalinya dalam studi epidemiologi dilakukan oleh Dr. John Snow pada
epidemiologi kolera di distrik Soho dan wilayah Golden Square London di
awal tahun 1800-an. Dr. Snow menandai jumlah kasus dan lokasi kasus
berdasarkan tempat tinggal di atas sebuah peta.
Sistem informasi geografi (SIG) pertama kali pada tahun 1960 yang
bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan geografis. Empat puluh tahun
kemudian SIG berkembang tidak hanya bertujuan untuk menyelesaikan
permasalahan geografi saja tetapi sudah merambah ke berbagai bidang
seperti:
Analisis penyakit epidemik (demam berdarah)
Analisis kejahatan (kerusuhan)
Navigasi dan vehicle routing (lintasan terpendek)
Analisis bisnis (sistem stock dan distribusi)
Urban (tata kota) dan regional planning (tata ruang wilayah)
Utility (listrik, PAM, telpon) inventory and management
Pertahanan (military simulation)
Definisi Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem yang
mengorganisisr perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan
data. SIG dapat mendayagunakan sistem penyimpanan, pengolahan,
maupun analisis data secara simultan, sehingga dapat diperoleh informasi
yang berkaitan dengan aspek keruangan. Penelitian tahun 2004 di Amerika
Serikat menunjukkan bahwa penggunanaan secara kombinasi antara analisis
39
SIG dan surveilans epidemiologi merupakan suatu metode yang efektif
untuk mengidentifikasi kejadian-kejadian transmisi lokal suatu penyakit.
Metode ini dapat digunakan untuk meningkatkan target skrining dan usaha
usaha pengendalian penyakit dengan hasil penurunan transmisi dan kejadian
penyakit.
Dengan menggunakan teknologi software SIG (mapping) maka akan terlihat
dengan mudah data distribusi alamat penderita, kepadatan, population at
risk, kondisi rumah, sanitasi dasar rumah penderita serta bisa ditentukan
siapa dan dimana orang orang yang bisa melakukan akses terhadap
pelayanan kesehatan. Komponen-komponen dalam Sistem Informasi
Geografis, diantaranya adalah:
Perangkat keras; komputer, mouse, digitizer, printer, plotter dan
scanner.
Perangkat lunak; SIG merupakan sistem perangkat lunak yang
tersusun secara modular dimana basis data memegang peranan kunci.
Data dan informasi geografi; SIG dapat mengumpulkan dan
menyimpan data ataupun informasi yang diperlukan baik secara
langsung maupun tidak langsung.
Manajemen; Suatu proyek SIG akan berhasil jika di manage dengan
baik dan dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki keahlian yang
tepat pada semua tingkatan.
Penggunaan spot map terutama untuk memberikan gambaran penyebaran
penyakit dalam suatu wilayah tertentu dan berbagai interpretasi dapat
40
dilakukan, seperti penyebaran penduduk yang berisiko tinggi, jalannnya
penularan dan peristiwa wabah serta hubungnnya dengan berbagai keadaan
setempat. Hal itu dapat dilakukan melalui sistem komputerisasi yang
dikenal dengan Sistem Informasi Geografi (SIG). Selain itu jugas SIG dapat
digunakan untuk menggambarkan penyebaran fasilitas kesehatan, sarana
kesehatan yang tersedia, tingkat imunitas penduduk, gambaran sarana dan
hasil kegiatan program kesehatan menurut tempat dan waktu serta gambaran
penyakit menurut daerah kerja.
SIG dapat berperan penting sebagai alat yang dapat memperlihatkan
masalah kesehatan masyarakat, terutama berdasarkan kepadatan wilayah
atau area yang lebih spesifik, melalui kemampuan analisis secara ruang
(spatial analysis), sehingga perencanaan intervensi kesehatan menjadi lebih
spesifik dan berdasar kepada wilayah sasaran. SIG di bidang kesehatan
adalah teknologi atau alat yang dapat dikembangkan untuk membantu
pelayanan dan intervensi kesehatan yang berbasis kepada analisis wilayah
(Achmad, 2010).
SIG merupakan sistem komputer yang memiliki sub sistem yang terdiri atas
empat kemampuan dalam menangani data yang bereferensi geografis, yaitu
Data input, subsistem ini terkait dengan tugas mengumpulkan,
mempersiapkan dan menyimpan data spasial dan atributnya dari
berbagai sumber.
41
Data output, subsistem yang mampu menampilkan atau menghasilkan
keluaran keseluruhan atau sebagian daa dalam bentuk tabel, grafik,
peta.
Data management, untuk mengorganisasikan data, baik data spasial
maupun atribut yang terkait ke dalam sistem basis data sehingga
mudah untuk dipanggil kembali. Sering disebut juga sebagai
subsistem storage and retrieval.
Data manipulation and analysis, subsistem ini melakukan manipulasi
dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diharapkan
yang dihasilkan oleh Sistem Informasi Geografis.
Gambar 6. Ilustrasi Subsistem SIG
Sumber : (Setyawan, 2014)
2.7. Analisis Spasial Dalam Sistem Informasi Geografis (SIG)
Analisis spasial merupakan suatu teknik atau proses yang melibatkan
sejumlah hitungan dan evaluasi logika yang dilakukan dalam rangka
mencari atau menemukan potensi hubungan atau pola-pola yang terdapat
diantara unsur-unsur geografis. Dengan kata lain, analisis spasial merupakan
42
sekumpulan teknik untuk menganalisis data spasial, yang hasil-hasilnya
sangat bergantung pada lokasi obyek yang bersangkutan yang sedang
dianalisis dan yang memerlukan akses baik terhadap lokasi obyek maupun
atribut-atributnya.
Fungsi analisis spasial dapat memberikan informasi yang spesifik tentang
peristiwa yang sedang terjadi pada suatu area atau unsur geografis beserta
perubahan atau trend yang terdapat di dalamnya pada selang waktu tertentu.
Adapun fungsi fungsi analisis spasial yang dimaksud dalam hal ini beberapa
diantaranya yaitu, klasifikasi (reclassify), network, overlay, buffering, find
distance, clustering,average nearest neighbor (ANN) dan interpolarasi.
Average nearest neighbor (ANN) merupakan fungsi dari analisis yang
digunakan untuk menentukan pola penyebaran. Nilai ANN dibagi menjadi 3
pola. Pola random atau acak dengan ANN sama dengan 1, pola clustered
atau berkerumun dengan ANN kurang dari 1, dan pola dispersed atau
menyebar dengan ANN lebih dari 1. Fungsi buffering adalah fungsi yang
akan menghasilkan layer spasial baru berbentuk poligon dengan jarak
tertentu dari unsur spasial yang menjadi masukannya. Analisis ini
digunakan untuk menentukan kawasan penyangga dari suatu wilayah,
garis/koridor.
SIG memiliki beberapa keuntungan dalam metode konvensional yang
digunakan dalam perencanaan, manajemen dan penelitian kesehatan. Salah
satunya adalah analisis spasial dengan fungsi buffer dapat menciptakan zona
atau wilayah buffer disekitar daerah yang dipilih. Misalnya, radius 1 km
43
disekitar sungai untuk menandakan penularan risiko pencemaran melalui
air. Pengguna (user) dapat menyesuaikan ukuran buffer dan
mengkombinasikan dengan informasi data insidensi penyakit untuk
memperkirakan jumlah kasus yang terjadi dalam zona buffer (Setyawan,
2014).
2.8. Aplikasi SIG pada Penanggulangan DBD
Medical geography mempelajari pengaruh lokasi dan iklim tehadap
kesehatan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman terhadap
berbagai faktor yang berpengaruh pada kesehatan masyarakat. Dengan kata
lain, penggabungan antara dua disiplin ini dapat meningkatkan pemahaman
tentang konsep kesehatan dan penyebaran penyakit yang akhirnya
mempermudah dalam penanganan wabah penyakit.
Medical geography dikembangkan pertama kali di London pada
pertengahan tahun 1854 oleh Dr. John Snow. Dia menggunakan suatu
teknik yang kemudian dikenal dengan medical geography untuk
mengidentifikasi suatu wilayah di London (Broad Streat) yang merupakan
wilayah penyebaran penyakit kolera terparah dengan memetakan lokasi
penyebaran penyakit kolera pada suatu pet. Dari penelitian ini, Dr John
Snow dapat menyimpulkan bahwa penyakit kolera menyebar melalui
makanan dan minuman, bukan dari udara yang tercemar. Akhirnya dia
mengambil kesimpulan wabah kolera yang melanda London waktu itu
menyebar melalui air.
44
Saat itu, sumber air minum di London disediakan oleh dua perusahaan.
Perusahaan satu mengambil sumber airnya dari hulu sungai Themes dan
perusahaan kedua mengambil sumber airnya dari hilir sungai Themes. Dr.
John Snow juga menemukan bahwa di wilayah tersebut jumlah kematian
yang disebabkan wabah kolera mencapai 500 jiwa dalam waktu 10 hari.
Dari hasil penelitian Dr. John Snow, perusahaan yang sebelumnya
mengambil sumber air dari hilir sungai Themes, mengubah sumber airnya
dari hulu sungai Themes. Akhirnya wabah kolera di London dapat diatasi.
Selain digunakan untuk mengatasi penyebaran wabah kolera di London,
medical geography juga digunakkan di negara lain. Medical geography
dipakai di awal abad ke-20 di Colorado untuk menunjukkan pengaruh
kandungan fluoride dalam air tanah terhadap kesehatan gigi. Tahun 1918,
medical geography digunakkan di USA untuk atasi penyebaran penyakit
influenza dan sampai sekarang digunakkan untuk menganalisis penyebaran
penyakit HIV/AIDS di USA. Tahun 1991, medical geography juga
digunakan untuk mengatasi penyebaran penyakit kolera di Peru. India juga
menggunakan medical geography untuk mengatasi penyebaran penyakit
malaria dan kolera.
Ide penggunaan medical geography untuk demam berdarah sudah pernah
dilakukan penelitiannya di Indonesia. Penelitian ini dilakukan dua kali. Pada
penelitian pertama, digunakkan data historis (rekapitulasi) untuk analisis
perkiraan (trend analysis) dalam upaya pencegahan DBD. Namun hasilnya,
belum ditemukan hubungan yang erat antara sebaran kasus DBD dengan
45
prediksi akan terjadinya wabah dimasa mendatang. Pada penelitian
berikutnya, digunakan data laporan kasus DBD dari masyarakat secara cepat
(near-realtime) agar dapat memudahkan masyarakat dalam memberikan
laporan. Dalam aplikasi ini, diharapkan semua masyarakat bisa
berpartisipasi memberikan laporan jika terdapat kasus DBD disekitarnya
(Nyoto, Anra, & Sholva, 2014).
2.9. Kerangka Penelitian
2.9.1. Kerangka Teori
Gambar 7. Kerangka Teori
FAKTOR LINGKUNGAN
1. Kondisi Geografis
a. Ketinggian tempat
b. Curah hujan
c. Angin
d. Kelembaban
e. Musim
2.Kondisi Demografis
a.Kepadatan Penduduk
b.Mobilitas
c.Perilaku Masyarakat
d.Sosial Ekonomi
FAKTOR HOST
1. Kerentanan
2. Respon Imun
FAKTOR AGENT
1. Sifat Virus
2. Virulensi Virus
Kejadian
Demam
Berdarah
Dengue
Analisis Spasial
Data Spasial
46
2.9.2. Kerangka Konsep
Gambar 8. Kerangka Konsep
Data Primer
1. Titik koordinat
tempat tinggal
pasien DBD
Data Sekunder
1. Jumlah kasus DBD
2. Alamat pasien DBD
Data Spasial
Titik koordinat kasus DBD
Analisis Spasial dengan
perangkat lunak SIG
47
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Menurut Sugiyono,
penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui
keberadaan variabel mandiri, baik hanya pada satu variabel atau lebih tanpa
membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lainnya
(variabel mandiri adalah variabel yang berdiri sendiri, bukan variabel
independen, karena kalau variabel independen selalu dipasangkan dengan
variabel dependen). Penelitan ini menggunakan pendekatan cross sectional.
Cross sectional adalah penelitian yang dilakukan dalam waktu tertentu,
dimana hanya dilakukan penelitian dalam satu waktu dan tak dilakukan
penelitian diwaktu berbeda untuk diperbandingkan (Sugiyono, 2011).
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah utara kota Bandar Lampung yang
dilakukan pada bulan Oktober sampai Desember 2019. Puskesmas-
puskesmas yang menjadi tempat penelitian yaitu, puskesmas Way Kandis,
Way Halim, Labuhan Ratu, Kedaton, Kemiling, Sukabumi, Sukarame, dan
Rajabasa Indah. Penentuan tempat penelitian ini didasarkan pada nilai rata-
rata dari kasus DBD di puskesmas puskesmas pada wilayah utara kota
Bandar Lampung.
48
Tabel 1. Jumlah Kasus DBD di Puskesmas Wilayah Utara Kota Bandar Lampung
Tahun 2018. No. Kecamatan Puskesmas Kejadian
1. Way Halim Way Halim 91
2. Tanjung Karang Barat Susunan Baru 14
Gedung Air 32
3. Langkapura Segala Mider 41
4. Sukarame Sukarame 50
Permata Sukarame 19
Korpri 14
5. Kemiling Kemiling 56
Pinang Jaya 6
Beringin Jaya 32
6. Kedaton Kedaton 58
7. Tanjung Senang Way Kandis 138
8. Sukabumi Sukabumi 56
Campang Raya 4
Way Laga 7
9. Labuhan Ratu Labuhan Ratu 66
10. Rajabasa Rajabasa Indah 44
Jumlah 728
Nilai rata rata 42,8
3.3 Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita Demam Berdarah
Dengue dan tercatat di puskesmas Way Kandis, Way Halim, Labuhan Ratu,
Kedaton, Kemiling, Sukabumi, Sukarame, dan Rajabasa Indah tahun 2018.
Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung tahun 2018
diketahui jumlah pasien DBD di puskesmas wilayah utara kota Bandar
Lampung, yaitu
Tabel 2. Jumlah Kasus DBD Per puskesmas per bulan Tahun 2018
Puskes Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov Des Jumlah
Way Kandis 14 14 16 19 28 8 21 7 1 0 3 7 138
Way Halim 2 8 12 18 7 10 16 7 1 4 4 2 91
Labuhan Ratu 3 9 3 5 10 8 12 5 1 4 4 2 66
Kedaton 0 5 6 8 7 6 8 3 1 4 6 4 58
Kemiling 2 5 3 4 7 3 9 7 5 4 6 1 56
Sukabumi 3 5 3 7 8 7 13 2 3 3 2 0 56
Sukarame 3 9 7 3 5 8 7 1 2 1 3 1 50
Rajabasa Indah 2 4 4 0 11 5 6 6 0 0 3 3 44
Total 29 59 54 64 83 55 92 38 14 20 31 20 559
49
3.4 Sampel Penelitian
3.4.1 Kriteria Sampel
3.4.1.1. Kriteria Inklusi
- Penderita DBD tercatat di puskesmas Way Kandis, Way
Halim, Labuhan Ratu, Kedaton, Kemiling, Sukabumi,
Sukarame, dan Rajabasa Indah tahun 2018.
- Penderita tinggal di daerah wilayah kerja puskesmas
Way Kandis, Way Halim, Labuhan Ratu, Kedaton,
Kemiling, Sukabumi, Sukarame, dan Rajabasa Indah.
3.4.1.2. Kriteria Eksklusi
- Alamat penderita tak lengkap.
- Alamat yang telah diambil titik koordinatnya
dikarenakan ditempati lebih dari satu orang penderita
DBD di bulan yang sama.
3.4.2 Besar Sampel Minimal
Untuk menentukan ukuran sampel ada beberapa pedoman yang dapat
digunakan sebagai patokan untuk menghitung berapa ukuran sampel
minimal yang harus diambil. Salah satunya dengan menggunakan
teknik Slovin dengan rumus :
n N
1 Ne2
n 559
1 559(0,05)2
50
n 559
2,4
n 232,9 dibulatkan menjadi ± 233 sampel.
Keterangan:
n : ukuran sampel minimal
N : ukuran populasi
e : % kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan kelonggaran 5%
(Sugiyono, 2011).
Adapun penelitian ini menggunakan rumus dengan teknik Slovin
karena jumlah populasi penelitian telah diketahui. Berdasarkan
perhitungan sampel diatas sampel minimal yang menjadi responden
dalam penelitian ini adalah 233 kasus DBD.
3.4.3 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan
metode proportional random sampling. Proporsi sampel di tiap
puskesmas dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut, yaitu
n N umlah sampel yang diperlukan
umlah populasi
Keterangan :
n : jumlah sampel untuk masing-masing puskesmas
N : Jumlah kasus DBD tiap puskesmas
51
Tabel 3. Jumlah Minimal Sampel per Puskesmas
Puskesmas Jan Feb Mar April Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov Des Jumlah
Way Kandis 6 6 7 8 12 3 9 3 0 0 1 3 58
Way Halim 1 3 5 8 3 4 7 3 0 2 2 1 39
Labuhan Ratu 1 4 1 2 4 3 5 2 0 2 2 1 27
Kedaton 0 2 3 3 3 3 3 1 0 2 3 2 25
Kemiling 1 2 1 2 3 1 4 3 2 2 3 0 24
Sukabumi 1 2 1 3 3 3 5 1 1 1 1 0 22
Rajabasa Indah 1 2 2 0 5 2 3 3 0 0 1 1 20
Sukarame 1 4 3 1 2 3 3 0 1 0 1 0 19
Jumlah 12 25 23 27 35 22 39 16 4 9 14 8 234
3.5 Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer berupa titik koordinat lokasi rumah penderita DBD di
wilayah kerja puskesmas Way Kandis, Way Halim, Labuhan Ratu, Kedaton,
Kemiling, Sukabumi, Sukarame, dan Rajabasa Indah selama tahun 2018.
Data sekunder berupa jumlah kasus DBD dan alamat penderita DBD selama
tahun 2018 di wilayah kerja puskesmas Way Kandis, Way Halim, Labuhan
Ratu, Kedaton, Kemiling, Sukabumi, Sukarame, dan Rajabasa Indah.
3.6 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional Variabel
3.6.1 Identifikasi Variabel
Variabel adalah suatu objek penelitian atau yang menjadi titik
perhatian dalam sebuah penelitian. Variabel yang terdapat pada
penelitian ini adalah lokasi tempat tinggal penderita DBD tahun 2018
di daerah endemik DBD wilayah utara kota Bandar Lampung.
52
3.6.2 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional dalam penelitian ini memberikan penjelasan dan
batasan mengenai variabel yang akan diteliti.
Tabel 4. Definisi Operasional dan Skala Pengukuran komponen
Variabel Definisi Operasional Alat
Ukur Cara Ukur
Hasil
Ukur
Skala
Ukur
Lokasi
tempat
tinggal
penderita
DBD
Rumah penderita DBD
yang tercatat dan
tinggal di wilayah
kerja puskesmas Way
Kandis, Way Halim,
Labuhan Ratu,
Kedaton, Kemiling,
Sukabumi, Sukarame,
dan Rajabasa Indah
tahun 2018
berdasarkan laporan
Dinas Kesehatan Kota
Bandar Lampung.
GPS Mengambil
titik
koordinat
rumah
penderita
DBD
dengan
meng-
gunakan
GPS dan
aplikasi
globe virtual
Titik
koor-
dinat
Numerik
3.7 Alat dan Bahan Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen berupa tabel ceklis data, tabel
observasi plotting kejadian DBD, alat Global Positioning System (GPS),
aplikasi globe virtual (Earth Viewer) dan perangkat lunak Sistem Informasi
Geografi (SIG). Tabel ceklis digunakkan untuk melihat kelengkapan data
sekunder yang dibutuhkan dalam peneltian ini yaitu, jumlah kasus dan
alamat penderita DBD di setiap puskesmas Way Kandis, Way Halim,
Labuhan Ratu, Kedaton, Kemiling, Sukabumi, Sukarame, dan Rajabasa
Indah. Tabel observasi plotting digunakan untuk mencatat detail alamat
penderita DBD seperti, nama penderita, kelurahan, RT, RW, jalan,
koordinat longitudinal (Xo) dan koordinat latitude (Y
o).
53
3.8 Prosedur dan Alur Penelitian
Ada beberapa tahap yang dilakukan pada penelitian ini, yaitu
Gambar 9. Alur Penelitian
3.9 Analisis Data
Teknik analisis data digunakan untuk menjawab rumusan masalah atau
menguji hipotesis yang telah dirumuskan (Sugiyono, 2011). Analisis data
spasial menggunakan software program SIG yang output-nya berupa
analisis spasial pada lokasi penelitian. Analisis spasial diterapkan pada
komponen-komponen yang diteliti dan dibantu dengan aplikasi Sistem
informasi Geografis (SIG) serta perangkat lunak Global Positioning System
(GPS) digunakan untuk mempermudah peneliti dalam menentukan lokasi
komponen lingkungan maupun kejadian penyakit yang diteliti. Perangkat
Malakukan koordinasi dengan pihak pihak terkait
penelitian ini mengenai prosedur penelitian
Menentukan lokasi pengambilan data
Mempersiapkan instrumen penelitian
Melakukan pengambilan data berupa titik koordinat
lokasi tempat tinggal pasien dengan menggunakan
GPS dan aplikasi globe virtual (Earth Viewer)
Analisis data
54
lunak SIG digunakan untuk memetakan komponen yang diamati berupa
lokasi penderita DBD.
Titik koordinat kemudian dianalisis dengan Average Nearest Neighbor
(ANN) untuk melihat pola penyebaran kasus DBD. Teknik analisis data ini
dapat mengetahui gambaran persebaran penderita DBD di sekitar wilayah
kerja puskesmas Way Kandis, Way Halim, Labuhan Ratu, Kedaton,
Kemiling, Sukabumi, Sukarame, dan Rajabasa Indah pada wilayah utara
kota Bandar Lampung. Analisis spasial menggunakan SIG yang nantinya
menghasilkan gambaran dengan warna dan simbol yang berbeda untuk
setiap komponen yang diteliti.
Setelah persebaran penderita DBD diketahui dengan melihat persebaran titik
titik koordinat, selanjutnya dilakukan analisa keruangan seperti buffering.
Buffer adalah salah satu fasilitas di software GIS yang memungkinkan untuk
membuat suatu jangkauan atau batasana area tertentu dari titik koordinat
yang telah ada. Dalam penelitian ini buffering dibuat sejauh 100 meter dari
titik koordinat penderita DBD. Jarak 100 meter ini menggambarkan
seberapa jauh nyamuk mampu terbang dari tempat perindukannya (Astrini,
2012).
3.10 Etika Penelitian
Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan kaji etik dari bagian etik
penelitian di Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dengan nomor
3867/UN26.18/PP.05.02.00/2019.
BAB V
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
1. Sebaran penderita DBD berdasarkan bulan tampak menyebar pada
semua wilayah kecamatan tempat penelitian dan terdapat cluster pada
bulan bulan tertentu (Februari dan April-Juli).
2. Daerah buffer terbentuk pada radius 100 meter dari rumah penderita
DBD. Daerah buffer merupakan daerah yang beresiko terjadinya
penularan DBD.
5.2. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, berikut ini saran yang dapat
diberikan oleh peneliti:
1. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat menggunakan alat GPS dan
turun lapang langsung untuk menghindari adanya potensi titik
koordinat yang tak akurat.
2. Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan penelitian aktif
dengan pencarian pasien pada waktu sekarang, bukan menggunakan
data sekunder. Ini untuk mengurangi resiko pasien DBD yang tak
tercatat sehingga hasil bias menjadi bias.
3. Penanggung jawab program DBD di tiap puskesmas diharapkan dapat
melengkapi data data alamat pasien saat pencatatan dan pelaporan
92
kasus DBD serta menambahkan data berupa titik koordinat rumah
pasien yang dapat diambil saat penyelidikan epidemiologi ke rumah
pasien.
4. Program intervensi penanggulangan penyakit DBD lebih
diprioritaskan di sekitar wilayah penyebaran lokasi kejadian DBD dan
di bulan-bulan yang kejadian kasus DBD-nya tinggi untuk mencegah
terjadinya KLB.
5. Masyarakat di wilayah endemik DBD diharapkan dapat secara aktif
melakukan upaya pengendalian kasus DBD misalnya dengan gerakan
PSN 3M Plus.
93
DAFTAR PUSTAKA
Achmad FA. 2010. Analisis spasial penyakit tuberkulosis paru bta positif di kota
administrasi Jakarta Selatan tahun 2007-2008. [Tesis]. Depok:
Universitas Indonesia.
Achmadi UF. 2011. Dasar-dasar penyakit berbasis lingkungan. Jakarta: Rajawali
Press.
Anggraini A. 2016. Pengaruh kondisi sanitasi lingkungan dan perilaku 3M plus
terhadap kejadian demam berdarah dengue di kecamatan
purwoharjo kabupaten banyuwangi. Jurnal Pendidikan Geografi.
3(3): 321–328.
Ardiati L. 2009. Pengembangan sistem pencatatan dan pelaporan demam berdarah
dengue (DBD) berbasis komputer di puskesmas beji kota depok
Tahun 2009. [Skripsi]. Depok: Universitas Indonesia.
Astrini R. 2012. Modul pelatihan quantum GIS tingkat dasar untuk pemetaan
evakuasi tsunami. Mataram: Badan Penanggulangan Bencana
Daerah NTB.
Ayuningtyas ED. 2013. Perbedaan keberadaan jentik Aedes aegypty berdasarkan
karakteristik kontainer di daerah endemis demam berdarah dengue.
[Skripsi]. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Badan Pusat Statistik Kota Bandar Lampung. 2014. Kota Bandar Lampung dalam
angka 2014. Bandar Lampung: Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik Kota Bandar Lampung. 2019. Kota Bandar Lampung dalam
angka 2019. Bandar Lampung: Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung. 2019. Provinsi Lampung dalam angka
2019. Bandar Lampung: Badan Pusat Statistik.
Centre for Disease Control. 2012. Aedes aegypti Aedes albopictus. [diunduh 15
September 2018]. Tersedia dari
https://www.cdc.gov/dengue/resources/30jan2012/comparisondeng
uevectors.pdf
Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung. 2018. Kasus DBD menurut wilayah
puskesmas kota Bandar Lampung Januari-Desember tahun 2018.
94
Bandar Lampung: Dinkes Kota Bandar Lampung
Dinas Kesehatan Kota Bandar Lampung. 2019. Angka kesakitan (incidence rate)
kasus DBD kota Bandar Lampung Tahun 2016-2019.
Dini A, Fitriany R, Wulandari R. 2010. Faktor iklim dan angka insiden demam
berdarah dengue di kabupaten Serang. Jurnal Makara Kesehatan.
14(1).
Febrianto MR. 2012. Analisis spasiotemporal kasus demam berdarah dengue di
kecamatan ngaliyan bulan januari-mei 2012. [Skripsi]. Semarang:
Universitas Negeri Semarang.
Fitriana BR., Yudhastuti R. 2018. Hubungan faktor suhu dengan kasus demam
berdarah dengue (DBD) di kecamatan sawahan Surabaya. The
Indonesian Journal of Public Health. 13(1):83-94.
Hilaludin AS. 2015. Analisis spasial prevalensi kasus demam berdarah (DBD) di
wilayah kerja puskesmas gambirsari. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Ibarra A, Ryan S, Beltran E, Mejia R, Sivia M, Munoz A. 2013. Dengue vector
dynamics (Aedes aegypti) influenced by climate and social factors
in Ecuador: implication for targeted control. PLOS One Journal.
8(11).
Ishartadiati K. 2017. Aedes aegypti sebagai vektor demam berdarah dengue.
Surabaya: Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Kementerian Kesehatan RI. 1992. Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang
Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue
581/MENKES/SK/VII/1992. Jakarta: Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2010. Buletin jendela epidemiologi demam berdarah
dengue. Jakarta: Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Permenkes RI No. 75 Tahun 2014 Tentang
Pusat Kesehatan Masyarakat.
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Rencana strategi kementerian kesehatan tahun
2015-2019. Jakarta: Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2017. Demam berdarah dengue (DBD). Jakarta:
Kemenkes RI.
Kementerian Kesehatan RI. 2019. DBD meyerang tak hanya di musim hujan.
[diunduh 9 Januari 2020]. Tersedia dari:
https://www.kemkes.go.id/article/view/19011400005/dbd-
menyerang-tak-hanya-di-musim-hujan.html
95
Kirana K. 2016. Analisis faktor lingkungan pada kejadian demam berdarah
dengue di kecamatan genuk. [Skripsi]. Semarang: Universitas
Negeri Semarang.
Kusuma AP. 2015. Analisis spasial kejadian demam berdarah dengue berdasarkan
kepadatan penduduk dan angka bebas jentik Di wilayah kerja
puskesmas kedungmundu Tahun 2015. [Skripsi]. Semarang:
Universitas Negeri Semarang.
Marali R. 2018. Hubungan tindakan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan
kejadian demam berdarah dengue (DBD) di wilayah puskesmas
Sudiang. [Skripsi]. Makasar: Universitas Hasanuddin.
Marisa. 2007. Toleransi larva dan nyamuk dewasa Aedes aegypti terhadap
temefos dan malation di wilayah endemik kelurahan duren sawit
Jakarta Timur. [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Nyoto RD. Anra H. Sholva Y. 2014. Sistem tanggap darurat demam berdarah
berbasis sistem informsi geografis dengan dukungan informasi
geografis dengan dukungan informasi masyarakat melalui
perangkat mobile. Sentika 2014. 551–559.
Putri MK. 2008. Analisis spasial penyakit demam berdarah dengue (DBD) per
kecamatan di kotamadya Jakarta Timur tahun 2005-2007. [Skripsi].
Depok: Universitas Indonesia.
Ramandari NLA. 2009. Pengetahuan ibu rumah tangga mengenai penatalaksaan
demam berdarah dengue dan faktor-faktor yang berhubungan di
paseban barat barat jakarta pusat. [Skripsi]. Depok: Universitas
Indonesia.
Sakti DE. 2019. Gambaran perilaku 3M (menguras, menutup, mengubur) dan
pemberian bubuk abate pada penderita dbd di wilayah kerja
puskesmas rawat inap way kandis kota bandar lampung tahun
2018. Bandar Lampung: Poltekkes Tanjungkarang.
Setiyaningsih R. Boewono DT. 2011. Pengaruh sumber nutrisi terhadap umur
vektor demam berdarah dengue Aedes aegypti di laboratorium.
Vektora. 1(2): 123–131.
Setyawan DA. 2014. Pengantar sistem informasi geografis. Surakarta: Politeknik
Kesehatan Surakarta.
Sianipar MY. Anwar C. Handayani D. 2018. Identifikasi larva nyamuk di tempat
penampungan air serta pengetahuan, sikap dan tindakan petugas
kebersihan tentang perkembangbiakan nyamuk di taman wisata
sejarah bukit siguntang palembang. JKK . 5(2):78–88.
96
Sivanathan M. 2006. The Ecology and Biology of Aedes Aegypti (L.) and Aedes
Albopictus (Skuse) (Diptera: Culicidae) and The Resistance Status
of Aedes Albopictus (Field Strain) against Organophosphates in
Penang, Malaysia. Malaysia: Universiti Sains Malaysia.
Sugiyono. 2011. Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Tabanal RROM. 2017. Analisis faktor yang mempengaruhi kejadian demam
berdarah dengue (DBD) di wilayah endemis landungsari kabupaten
malang. [Skripsi]. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
World Health Organization. 2009. Dengue guidelines for diagnosis, treatment,
prevention, and control. Geneva: WHO Library Cataloguing.
Widodo NP. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian demam
berdarah dengue (DBD) di kota Mataram provinsi Nusa Tenggara
Barat tahun 2012. [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia.
Wowor R. 2017. Pengaruh kesehatan lingkungan terhadap perubahan
epidemiologi demam berdarah di Indonesia. Jurnal E-Clinic (ECL)
5(2): 105–113.
Zettel C. Kaufman P. 2013. Common name: yellow fever mosquito scientific
name: aedes aegypti (linnaeus) (Insecta: Diptera: Culicidae).