analisis sistem pemidanaan dalam hukum pidana indonesia di dalam dan di luar kuhp

115

Upload: nathan-dippos-fajar-sianipar

Post on 15-Jan-2016

87 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Tinjauan Yuridis normatif tentang hukum penitensier positif di Indonesia.

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP
Page 2: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

i

ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

OlehSigit Suseno, S.H., M.H.

BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONALKEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI

JAKARTA, 2012

ROMAWI edited.indd 1 12/12/2012 9:27:29 AM

Page 3: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

ii

ROMAWI edited.indd 2 12/12/2012 9:27:29 AM

Page 4: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

iii

ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

ROMAWI edited.indd 3 12/12/2012 9:27:29 AM

Page 5: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

iv

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Sigit Suseno Suatu analisis sistem pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP/oleh Sigit Suseno; editor Tana Mantiri; Badan Pembinaan Hukum Nasional. -- Jakarta [tsb.], 2012 x, 95 hlm.; 21 cm

ISBN 978-602-8815-45-1

Penulis Sigit Suseno, S.H., M.H.

EditorTana Mantiri, S.H., M.H.

Terbit Tahun 2012

Diterbitkan OlehBadan Pembinaan Hukum NasionalKementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RIJalan Mayjen Sutoyo No. 10 – CililitanTelepon (021) 8091908, 8002192Faksimile (021) 80871742Jakarta Timur 13640

ROMAWI edited.indd 4 12/12/2012 9:27:29 AM

Page 6: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

v

KATA PENGANTAR

Pembentukan ketentuan pidana dalam perundang-undangan di

luar KUHP dan tidak terkait pada sistem pemidanaan yang dimuat

dalam Buku 1 KUHP menimbulkan masalah serius dalam impelmenta-

sinya, sebab tujuan pemidanaan yang ingin dicapai dengan penggunaan

hukum pidana atas tindak pidana tertentu tidak mungkin terwujud, dan

karenanya ketentuan tersebut menjadi impoten sejak diundangkan.

Dalam upaya untuk mengetahui Sistem Pemidanaan Dalam Hu-

kum Pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP, secara mendalam,

maka Badan Pembinaan Hukum Nasional tahun anggaran 2010

mengadakan kegiatan penulisan karya ilmiah tentang Suatu Analisis

Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Indonesia, di dalam dan di

luar KUHP.

Penerbitan Karya Ilmiah ini dimaksudkan untuk menambah ba-

han referensi hukum di bidang Hukum Pidana, Sistem Pemidanaan In-

donesia di dalam dan di luar KUHP. Dan kajian ilmiah ini disebarluas-

kan kepada instansi pemerintah yang ada di pusat dan daerah,dengan

demikian masyarakat dapat mengetahui dan memanfaatkan serta

mengembangkan lebih lanjut untuk berbagai kepentingan, khususnya

kalangan hukum.

ROMAWI edited.indd 5 12/12/2012 9:27:29 AM

Page 7: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

vi

Akhirnya, kepada Saudara Sigit Suseno, S.H., M.H., yang telah memberikan pemikiran dalam karya ini, dan kepada semua pihak yang berperan aktif sehingga buku ini dapat diterbitkan, kami ucapkan terima kasih.

ROMAWI edited.indd 6 12/12/2012 9:27:30 AM

Page 8: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadhirat Illahi

Robbi atas segala rahmat-Nya sehingga penulisan kerangka ilmiah

perencanaan pembangunan hukum nasional tentang Analisis Sistem

Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia di Dalam dan di Luar

KUHP dapat diselesaikan.

Maraknya penggunaan sanksi pidana dalam perundang-undangan

di luar KUHP sekalipun dalam perundang-undangan administrasi

dan bermacam-macam perumusan sanksi pidana dalam perundang-

undangan tersebut menggugat kembali peranan hukum pidana (sanksi

pidana) sebagai ultima ratio principle atau fungsi subsidair dari sanksi

pidana dan tujuan yang ingin dicapai dari pemidanaan dalam masyarakat

Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di samping

itu bagaimana perumusan sanksi pidana dalam perundang-undangan

di luar KUHP harus dilakukan agar sesuai dengan sistem induknya

sebagaimana diatur dalam Buku I KUHP.

Kajian ilmiah ini dimaksudkan untuk menganalisis kedudukan

ketentuan mengenai pemidanaan dalam Buku I KUHP dalam sistem

pemidanaan hukum pidana Indonesia baik terhadap Buku II dan Buku

III KUHP maupun perundang-undangan pidana di luar KUHP dan

ROMAWI edited.indd 7 12/12/2012 9:27:30 AM

Page 9: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

viii

perumusan sanksi pidana atau ketentuan pidana dalam perundang-

undangan di luar KUHP dalam rangka pembentukan sistem pemidanaan

yang ideal dalam hukum pidana Indonesia.

Jakarta, Desember 2010

Ketua Pelaksana,

Sigit Suseno,S.H., M.H.

ROMAWI edited.indd 8 12/12/2012 9:27:30 AM

Page 10: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

ix

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................

DAFTAR ISI .....................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .....................................................A. Latar Belakang ......................................................B.IdentifikasiMasalah..............................................C. Tujuan ...................................................................D. Kegunaan ..............................................................E. Kerangka Pemikiran ..............................................F. Metode Penelitian ..................................................

BAB II HUKUM PIDANA, PIDANA, DAN SISTEM PEMIDANAAN ........................................................

A. Hukum Pidana .......................................................B. Pidana dan Tujuan Pemidanaan ............................C. Sistem Pemidanaan ...............................................

BAB III ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP ........................................................................

A. Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Indonesia di Dalam dan Di Luar KUHP ................................

B. Perumusan Sanksi Pidana di Dalam dan di Luar KUHP ....................................................................

C. Sistem Pemidanaan yang Ideal dalam Hukum Pidana Indonesia ...............................................................

v

ix

11567712

17173145

47

47

70

81

ROMAWI edited.indd 9 12/12/2012 9:27:30 AM

Page 11: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

x

BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ..................A. Kesimpulan ...........................................................B. Rekomendasi .........................................................

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................

939394

97

ROMAWI edited.indd 10 12/12/2012 9:27:30 AM

Page 12: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

xi

ROMAWI edited.indd 11 12/12/2012 9:27:30 AM

Page 13: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

xii

ROMAWI edited.indd 12 12/12/2012 9:27:30 AM

Page 14: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

xiii

ROMAWI edited.indd 13 12/12/2012 9:27:30 AM

Page 15: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

xiv

ROMAWI edited.indd 14 12/12/2012 9:27:30 AM

Page 16: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

xv

ROMAWI edited.indd 15 12/12/2012 9:27:30 AM

Page 17: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem pemidanaan yang dianut dalam suatu hukum pidana

nasional yang mencakup pedoman pemidanaan, jenis sanksi, jenis

pidana, berat ringannya pidana, teknis perumusan sanksi pidana

sampai pada terminologi yang digunakan dalam perumusan

sanksi pidana tersebut sesungguhnya merupakan instrumen untuk

melindungi kepentingan-kepentingan hukum seperti nyawa, tubuh,

kehormatan kesusilaan, harta kekayaan, negara, lingkungan hidup,

dll. dari tindak pidana yang akan merampasnya. Sistem pemidanaan

tersebut seharusnya berlandaskan pada filsafat pemidanaan yang

sesuai dengan falsafah masyarakat dan bangsanya. Bagi masyarakat

dan bangsa Indonesia yang berdasarkan falsafah Pancasila sudah

seharusnya sistem pemidanaannya juga berlandaskan nilai-nilai

Pancasila.

Dalam hukum pidana Indonesia menarik untuk dicermati

sistem pemidanaan yang saat ini berlaku. Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang berlaku adalah Wetboek van

Strafrecht (WvS) Staatsblaad 1915 Nomor 732 yang dinyatakan

berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946

tentang Peraturan Hukum Pidana jo. Undang-Undang Nomor

73 Tahun 1958 yang menyatakan berlakunya Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1946 untuk seluruh wilayah Republik Indonesia

buku 3 ok edited.indd 1 12/12/2012 9:26:57 AM

Page 18: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

2

dan Mengubah KUHP. Tentunya pembentukan KUHP tersebut

termasuk di dalamnya sistem pemidanaan tidak didasarkan pada

tujuan pemidanaan yang berdasarkan Pancasila tetapi berdasarkan

pada tujuan pemidanaan yang berdasarkan faham liberal. Dalam

perkembangannya ketentuan mengenai pidana juga diatur dalam

perundang-undangan nasional baik yang mengubah ketentuan

pidana dalam KUHP seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1960, Undang-Undang Nomor 16 Prp. Nomor 16 Tahun 1960 dan

Undang-Undang Nomor 18 Prp. Tahun 1960 maupun ketentuan

pidana baru dalam berbagai perundang-undangan yang mengatur

tindak pidana di luar KUHP seperti tindak pidana korupsi, tindak

pidana pencucian uang, tindak pidana narkotika, dll. Pembentukan

ketentuan pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP tidak

dilandasi paham liberal tetapi paham Pancasila. Perbedaan juga

tampak pada tujuan pemidanaan antara ketentuan pidana dalam

KUHP dan ketentuan pidana di luar KUHP. Walaupun pembentuk

KUHP tidak pernah mengatakan mengenai teori pemidanaan yang

dianut namun ketentuan pidana dalam KUHP yang berasal dari

WvS 1886 sudah dipengaruhi tujuan pemidanaan dari teori relatif

atau pencegahan umum. Menurut Simons pembentuk KUHP

memandang tujuan penjatuhan pidana adalah untuk kepentingan

masyarakat dan untuk melindungi tertib hukum. Demikian pula

pandangan Menteri Kehakiman Modderman yang pada tahun

1864 dalam pidato inaugurasinya menyatakan keinginannya agar

pidana jangan hanya ditujukan untuk memperbaiki pelaku tindak

pidana tetapi juga untuk membuat pelaku tidak mampu untuk

buku 3 ok edited.indd 2 12/12/2012 9:26:57 AM

Page 19: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

3

melakukan tindak pidana lagi dan mencegah niat orang lain untuk

melakukan tindak pidana.

Perkembangan lain yang menarik untuk dicermati adalah

pembentukan ketentuan pidana dalam perundang-undangan di luar

KUHP yang tidak memperhatikan sistem pemidanaan dalam sistem

induknya sebagaimana diatur dalam Buku I KUHP. Walaupun

berdasarkan ketentuan dalam Pasal 103 KUHP dimungkinkan

adanya pengaturan tersendiri mengenai ketentuan pidana, yang

berbeda dengan ketentuan pidana dalam KUHP namun sistem

pemidanaan yang berlaku dalam hukum pidana Indonesia penting

diperhatikan agar sanksi pidana dalam perundang-undangan di

luar KUHP dapat operasional. Misalnya pengaturan korporasi atau

badan hukum sebagai subjek tindak pidana tanpa ada ketentuan

pidana untuk korporasi, kualifikasi kejahatan dan pelanggaran

yang mempunyai konsekuensi pada sanksi pidananya, dan jenis

sanksi berupa tindakan dan jenis pidana baru seperti membayar

ganti kerugian. Dalam praktik pembentukan undang-undang ada

kecenderungan untuk selalu menggunakan sanksi pidana termasuk

untuk pelanggaran norma hukum administrasi. Ada kesan sanksi

pidana tidak ditempatkan sebagai ultimum remedium (ultima ratio

principle) dan untuk tujuan pemidanaan yang integratif, tetapi

sebagai primum remedium untuk tujuan pembalasan atau penjeraan.

Misalnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-

Undang Pajak, Undang-Undang Perkebunan, Undang-Undang

Perikanan, Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Praktik

Kedokteran, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, dll.

buku 3 ok edited.indd 3 12/12/2012 9:26:57 AM

Page 20: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

4

Pengaturan terkait dengan ketentuan pidana dalam perundang-

undangan di Luar KUHP yang menyimpang atau berbeda dengan

KUHP dan bermacam ragam bentuknya adalah mengenai

perumusan tindak pidana dan sanksi pidana serta nomenklatur

dalam perumusan sanksi pidananya. Dalam penelitian BPHN

tentang hukum pidana dan sistem pemidanaan model perumusan

sanksi pidana terdapat beberapa model antara lain: (1) satu jenis

pidana diancamkan sebagai ancaman pidana tunggal (kecuali

terhadap pidana mati, selalu harus dialternatifkan dengan pidana

penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu);

(2) satu jenis pidana diancamkan sebagai alternatif dari jenis pidana

yang lain; (3) satu jenis pidana diancamkan secara kumulatif

dengan jenis pidana yang lain; dan (4) pidana diancamkan dengan

kombinasi kumulatif-alternatif. Masalah perbedaan perumusan

sanksi pidana dan nomenklatur dalam perumusan sanksi pidana

antara lain adanya perumusan dan penggunaan istilah yang berbeda

dalam perundang-undangan di luar KUHP, seperti “dipidana dengan

pidana penjara”, “diancam dengan pidana penjara”, “dikenakan

sanksi pidana penjara”, “dapat dipidana dengan pidana penjara”

dan “diancam dengan sanksi pidana penjara”, penggunaan istilah

“pidana” dan “hukuman”, “pidana denda” dan “denda”, “paling

singkat” dan “serendah-rendahnya”, “paling lama” dan “selama-

lamanya ”, dan “paling banyak” dan “sebanyak-banyaknya”.

Pembentukan ketentuan pidana dalam perundang-

undangan di luar KUHP yang tidak berada dan tidak terikat pada

sistem pemidanaan induknya dalam Buku I KUHP menimbulkan

buku 3 ok edited.indd 4 12/12/2012 9:26:57 AM

Page 21: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

5

masalah serius dalam implementasinya karena tujuan pemidanaan

yang ingin dicapai dengan penggunaan hukum pidana atas tindak

pidana tertentu tidak mungkin terwujud. Misalnya implementasi

ketentuan pidana terhadap korporasi sebagai subjek tindak pidana

tidak pernah terwujud. Ketentuan tersebut menjadi ketentuan yang

impoten sejak diundangkan.

Di samping itu banyaknya penyimpangan dalam undang-undang

di luar KUHP yang tidak jelas kriterianya akan berpengaruh

terhadap penegakan hukum pidana karena akan menimbulkan

kesulitan bagi aparat penegak hukum.

Dalam Draft RUU KUHP perubahan fundamental dalam

sistem pemidanaan telah dilakukan para perumus RKUHP.

Perubahan dalam sistem pemidanaan tersebut tidak hanya

pendekatan, landasan filosofis dan tujuan pemidanaan, tetapi juga

jenis sanksi, jenis sanksi pidana dan yang sangat penting adalah

pengaturan pedoman pemidanaan bagi hakim dalam penjatuhan

pidana. Namun demikian pertanyaan hipotetis dapat muncul dalam

hal RUU KUHP tersebut berlaku dan kaitannya dengan ketentuan

pidana dalam perundang-undangan yang saat ini berlaku dilihat

dari pendekatan sistem pemidanaan.

B. Identifikasi Masalah

Penulisan hukum mengenai sistem pemidanaan dalam

hukum pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP mengkaji

sistem pemidanaan dalam BUKU I KUHP sebagai Aturan Umum

(General Rules) dan Buku II dan Buku III KUHP serta undang-

buku 3 ok edited.indd 5 12/12/2012 9:26:57 AM

Page 22: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

6

undang di luar KUHP sebagai Aturan Khusus (Special Rules)

dan hubungan antara Aturan Khusus dengan Aturan Umum

sebagai sistem induknya serta bagaimana pembentukan sistem

pemidanaan dalam RUU KUHP sebagai ius constituendum dalam

hukum pidana Indonesia.

Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dikaji

dalam penulisan hukum ini adalah:

1. Bagaimana sistem pemidanaan dalam hukum pidana positif

Indonesia di dalam dan di luar KUHP?

2. Bagaimana praktik perumusan sanksi pidana dalam hukum

pidana positif Indonesia di dalam dan di luar KUHP?

3. Bagaimana sistem pemidanaan yang ideal dalam hukum pidana

Indonesia yang akan datang?

C. Tujuan

Penulisan hukum tentang sistem pemidanaan dalam hukum

pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP bertujuan untuk:

1. Memahami dan menganalisis sistem pemidanaan dalam

hukum pidana Indonesia yang sekarang berlaku dalam dan di

luar KUHP.

2. Memahami dan menganalisis praktik penetapan sanksi pidana

dalam hukum pidana positif Indonesia di dalam dan di luar

KUHP yang mencakup penetapan jenis pidana (strafsoort),

berat ringannya pidana (strafmaat) dan perumusan sanksi

pidana.

3. Menganalisis sistem pemidanaan yang ideal dalam hukum

buku 3 ok edited.indd 6 12/12/2012 9:26:57 AM

Page 23: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

7

pidana Indonesia yang akan datang yang sesuai dengan

masyarakat dan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

D. Kegunaan

Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat

baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis.

1. Manfaat teoritis

Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

untuk pengembangan ilmu hukum pidana dalam hal ini hukum

pidana materiil, khususnya sistem pemidanaan di dalam dan di

luar KUHP.

2. Manfaat praktis

Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan kontribusi

praktis bagi perumus dan pengambil kebijakan, pembentuk

undang-undang, aparat penegak hukum, dan masyarakat

mengenai sistem pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia

sehingga dalam pembentukan sanksi pidana dalam peraturan

perundang-undangan selalu memperhatikan sistem pemidanaan

yang berlaku agar regulasi tindak pidana yang dirumuskan

dapat operasional.

E. Kerangka Pemikiran

Dalam perspektif politik hukum pidana (penal policy)

atau dengan kata lain penegakan hukum dengan menggunakan

sarana hukum pidana, penetapan sanksi pidana merupakan salah

satu masalah pokok di samping masalah penentuan perbuatan

buku 3 ok edited.indd 7 12/12/2012 9:26:57 AM

Page 24: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

8

yang seharusnya dijadikan tindak pidana. Pandangan lain

menyatakan bahwa pidana merupakan salah satu masalah pokok

dalam hukum pidana, di samping tindak pidana dan kesalahan

(pertanggungjawaban pidana). Dengan rumusan lain Herbert L.

Packer menyatakan bahwa ada 3 masalah pokok dalam hukum

pidana, yaitu:

1. What conduct should be designated as criminal?

2. What determinations must be made before a person can be

found to have committed a criminal offense?

3. What should be done with persons who are found to have

committed criminal offences?

Berdasarkan pandangan Packer tersebut maka pidana atau

pemidanaan terkait dengan masalah yang pertama yaitu tindak

pidana dan masalah kedua, yaitu kesalahan. Dalam perumusan

suatu tindak pidana pada dasarnya dirumuskan mengenai subjek

tindak pidananya, yang di dalamnya ada unsur subjektif dan unsur

objektif, dan sanksi pidananya. Oleh karena itu sistem pemidanaan

dalam hukum pidana mempunyai korelasi dengan ajaran hukum

pidana yang dianut, yang saat ini umumnya menganut ajaran

daad-dader strafrecht, yaitu hukum pidana yang tidak hanya

berorientasi pada perbuatan saja tetapi juga pada pelaku. Bahkan

saat ini korban menjadi bagian dari oirentasi hukum pidana.

Oleh karena itu pengertian pidana tidak dapat dilepaskan dari

tindak pidana dan pelaku yang melakukan tindak pidana tersebut.

Menurut Sudarto pidana diartikan sebagai penderitaan yang

sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang

buku 3 ok edited.indd 8 12/12/2012 9:26:57 AM

Page 25: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

9

memenuhi syarat-syarat tertentu. Igor Primoratz membedakan

pidana dalam arti umum dan khusus. Pengertian pidana dalam

arti hukum adalah pidana dalam arti yang khusus, yang diartikan

sebagai “an evil deliberately inflicted qua evil on an offender by

a human agency which is authorized by the legal order whose

laws offender has violated. Pidana dalam arti umum digunakan

dalam berbagai konteks. Lebih lanjut Igor Primoratz menjelaskan

4 komponen dari definisi pidana tersebut, yaitu:

1. Punishment is sometimes defined as a pain or suffering inflicted

on an offender (definisi yang sempit);

2. An offender is a person who committed an offense;

3. The definition of punishment as an evil delibaretly inflicted qua

evil on an offender by human agency;

4. When someone delibaretly inflicts an evil qua evil on another

person, who is an offender, that still may not be punishment.

Selanjutnya H.L.A. Hart menentukan 5 elemen atau unsur

pokok pidana, yaitu:

1. It must involve pain or other consequences normally considered

unpleasent;

2. It must be for an offense against legal rules;

3. It must be of an actual or supposed offender for his offense;

4. It must be intentianlly administered by human beings other

than the offender;

5. It must be imposed and administered by an authority constituted

by a legal system against which the offender is committed.

Walaupun pidana memiliki keterbatasan-keterbatasan bahkan

buku 3 ok edited.indd 9 12/12/2012 9:26:57 AM

Page 26: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

10

dapat merampas kemerdekaan termasuk nyawa manusia, namun

menurut Roeslan Saleh reaksi terhadap pelanggaran norma yang

terjadi dengan sarana pidana dan atau tindakan tetap diperlukan

karena upaya-upaya lain untuk perbaikan terhadap terpidana tidak

mempunyai arti sama sekali. Oleh karena itu Herbert L. Packer

mengingatkan berkaitan dengan penggunaan hukum pidana dalam

menanggulangi kejahatan antara lain:

The criminal sanction is indispensable; we could not,now or in

the foreseeable future, get along without it. The criminal sanction

is the best available device we have for dealing with gross and

immediate harm and treats of harm … .

The criminal sanction is at once prime guarantor and prime

threatener of human freedom. Used provindently and humanly it is

guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener.

Walaupun hukum pidana mempunyai fungsi yang sangat

penting, yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau

menyelenggarakan tata dalam masyarakat (fungsi umum) dan

melindungi kepentingan hukum dari perbuatan-perbuatan jahat

dengan sanksi pidana (fungsi khusus), namun untuk menghindari

efek negatif dari sanksi pidana maka penggunaannya harus

dilakukan secara hemat-cermat, hati-hati, selektif, limitatif, dan

manusiawi.

Penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan tindak

pidana pada saat ini seharusnya sudah meninggalkan teori

absolut atau teori relatif dan mendasarkan pada teori integratif

yang memandang tujuan penting dari hukum pidana di samping

buku 3 ok edited.indd 10 12/12/2012 9:26:57 AM

Page 27: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

11

pembalasan adalah prevensi umum. M.P. Rossi salah seorang

penganut teori integratif memandang penjatuhan pidana terutama

adalah menerapkan pembalasan dan menjalankan keadilan. Namun

karena kita hidup dalam masyarakat yang tidak sempurna maka

juga tidak mungkin menuntut keadilan absolut (justice absolute)

dan karenanya cukup apabila pemidanaan dilandaskan pada

tertib sosial etikal yang tidak sempurna tersebut (justice sociale).

Penerapan hukum pidana yang manusiawi dibatasi oleh syarat-

syarat yang dituntut masyarakat. Dampak penting yang relevan

dengan penggunaan hukum pidana adalah pembelajaran dan rasa

takut yang dimunculkan melalui penjatuhan pidana terhadap

semua orang, termasuk ke dalamnya perbaikan dari pelaku dan

pemuasan tuntutan batin atau nurani masyarakat dan pemberian

rasa aman pada masyarakat. Pidana tidak boleh melampaui apa

yang selayaknya diterima pelaku karena kesalahan yang telah

diperbuat.

Menurut Muladi teori tujuan pemidanaan yang integratif

dengan didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat sosiologis,

ideologis, dan yuridis merupakan teori yang tepat dalam

penggunaan hukum pidana. Berdasarkan asumsi bahwa tindak

pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan,

dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang mengakibatkan

kerusakan individual atau masyarakat maka tujuan pemidanaan

adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang

diakibatkan oleh tindak pidana tersebut. Dengan demikian tujuan

buku 3 ok edited.indd 11 12/12/2012 9:26:57 AM

Page 28: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

12

pemidanaan adalah: (1) pencegahan (umum dan khusus); (2)

perlindungan masyarakat; (3) memelihara solidaritas sosial; dan

(4) pengimbalan/pengimbangan.

Implementasi tujuan pemidanaan yang dianut suatu negara

terwujud dalam sistem pemidanaan yang dirumuskan dalam hukum

pidana nasionalnya. Dalam hukum pidana Indonesia yang sistem

hukum pidana materiilnya terdiri dari Aturan Umum (General

Rules) yang dirumuskan dalam Buku I KUHP dan Aturan Khusus

(Special Rules) yang dirumuskan dalam Buku II dan Buku III

KUHP serta undang-undang di Luar KUHP, sistem pemidanaannya

juga terdiri dari Aturan Umum dan Aturan Khusus. Ketentuan-

ketentuan pidana dalam Aturan Khusus baik dalam Buku II dan

Buku III KUHP maupun undang-undang di luar KUHP terikat

dan berada dalam sistem pemidanaan induknya sebagaimana

diatur dalam Buku I. Dalam hal pembentuk undang-undang di luar

KUHP mengatur ketentuan pidana yang menyimpang dari Aturan

Umumnya maka pembentuk undang-undang juga harus mengatur

pedoman pemidanaannya yang bersifat khusus.

F. Metode Penelitian

Penulisan hukum mengenai sistem pemidanaan dalam

hukum pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP merupakan

salah satu jenis penelitian hukum normatif, yang mencakup

penelitian asas hukum, penelitian hukum in abstracto penelitian

sinkronisasi hukum dalam hal ini sinkronisasi hukum horizontal

dan penelitian sistem hukum.

buku 3 ok edited.indd 12 12/12/2012 9:26:57 AM

Page 29: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

13

Penelitian asas hukum mengkaji landasan filosofis atau asas

hukum pidana dalam sistem pemidanaan baik yang dirumuskan di

dalam dan di luar KUHP yang sekarang berlaku serta RUU KUHP.

Penelitian hukum in abstracto mengkaji kaidah-kaidah

hukum yang menetapkan sanksi pidana baik Aturan Umum

maupun Aturan Khusus yang mencakup pedoman pemidanaan,

jenis pidana (strafsoort), berat ringannya pidana (strafmaat), cara

pidana dilaksanakan (strafmodus), dan teknik perumusan pidana.

Penelitian sinkronisasi hukum horizontal mengkaji

keserasian atau keselarasan pengaturan ketentuan sanksi pidana

dalam hukum pidana Indonesia dalam KUHP dan peraturan

perundang-undangan di luar KUHP.

Penelitian sistem hukum mengkaji berbagai pengaturan

mengenai pemidanaan dalam perspektif sistem pemidanaan dalam

hukum pidana Indonesia.

Berkaitan dengan objek penelitian sistem pemidanaan

dalam hukum pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP adalah

norma atau kaidah yang dirumuskan dalam peraturan perundang-

undangan, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah pendekatan yuridis normatif. Norma atau kaidah yang

dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan

dengan sistem pemidanaan akan dikaji dalam perspektif sistem

pemidanaan.

Sifat penelitian sistem pemidanaan dalam hukum pidana

Indonesia di dalam dan di luar KUHP, berdasarkan tahap-tahap

penelitian termasuk penelitian deskriptif analitis, yaitu penelitian

buku 3 ok edited.indd 13 12/12/2012 9:26:57 AM

Page 30: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

14

yang akan mengkaji dan menjelaskan asas-asas dan kaidah

hukum pidana mengenai pemidanaan yang berlaku dalam hukum

pidana Indonesia serta keserasian atau keselarasan pengaturannya

antara Aturan Umum dan Aturan Khusus dalam perspektif sistem

pemidanaan.

Sesuai dengan jenis dan sifat penelitian sistem pemidanaan

dalam hukum pidana Indonesia, jenis data yang digunakan untuk

dianalisis adalah data sekunder, yaitu peraturan perundang-

undangan yang mengatur kaidah-kaidah mengenai pemidanaan

yang dikenal sebagai bahan hukum primer. Bahan hukum primer

tersebut antara lain KUHP, Undang-Undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian

Uang, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Psikotropika,

Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Suap,

Undang-Undang di bidang Hak Kekayaan Intelektual, Undang-

Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang

Pornografi, dan Perundang-undangan lainnya yang mengatur

Ketentuan Pidana. Di samping itu juga digunakan bahan hukum

sekunder, yaitu berbagai literatur berupa buku, karya ilmiah,

jurnal, dokumen/risalah RUU yang berkaitan dengan sistem

pemidanaan, serta bahan hukum tersier, seperti kamus hukum, dan

ensiklopedi.

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi

dokumen atau kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan,

mengidentifikasi dan mengklasifikasi bahan-bahan hukum yang

berkaitan dengan sistem pemidanaan dalam hukum pidana

buku 3 ok edited.indd 14 12/12/2012 9:26:57 AM

Page 31: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

15

Indonesia. Analisis data menggunakan analisis kualitatif dengan

berdasarkan pada teori-teori dan asas-asas dan kaidah-kaidah

hukum pidana yang berlaku.

buku 3 ok edited.indd 15 12/12/2012 9:26:57 AM

Page 32: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

16

buku 3 ok edited.indd 16 12/12/2012 9:26:57 AM

Page 33: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

17

BAB II

HUKUM PIDANA , PIDANA, DAN SISTEM PEMIDANAAN

A. Hukum Pidana

Hukum pidana adalah bagian dari hukum publik yang memiliki

karakteristik yang berbeda dengan bidang hukum lainnya, yaitu

adanya sanksi berupa pidana yaitu penderitaan yang dijatuhkan

negara kepada pelaku tindak pidana. Hukum pidana dipandang

sebagai hukum publik karena mengatur hubungan antara individu

dan masyarakat/negara, pidana dijatuhkan untuk mempertahankan

kepentingan umum dan pelaksanaan pidana dilakukan oleh negara.

Hukum pidana dapat dibedakan dalam arti hukum pidana

objektif (ius poenale) dan hukum pidana subjektif (ius puniendi).

Ius poenale diartikan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku

di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh

dilakukan, yang dilarang atau yang diperintahkan dengan

disertai sanksi pidana bagi mereka yang melanggar ketentuan

tersebut. Rumusan pengertian ini mengenai perbuatan pidana

(criminal act).

2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan itu dapat dijatuhi pidana sebagaimana

telah diancamkan. Rumusan pengertian ini adalah mengenai

pertanggungjawaban pidana (criminal liability).

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana

tersebut dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka

buku 3 ok edited.indd 17 12/12/2012 9:26:58 AM

Page 34: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

18

telah melanggar larangan tersebut. Rumusan pengertian ini

adalah mengenai hukum acara pidana (criminal procedure).

Angka 1 dan 2 merupakan bagian dari hukum pidana materiil yang

menurut Simons diartikan sebagai aturan-aturan yang menetapkan

dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana,

aturan-aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan

pidana dan ketentuan mengenai pidana. Berdasarkan pengertian

tersebut maka kajian mengenai sistem pemidanaan dalam hukum

pidana di dalam dan di luar KUHP merupakan bagian dari hukum

pidana materil, khususnya mengenai pidana.

Ius puniendi dapat diartikan secara luas dan sempit. Ius

puniendi dalam arti luas adalah hak dari negara atau alat-alat

perlengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam pidana

terhadap perbuatan tertentu dan ius puniendi dalam arti sempit

adalah hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan

dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan

perbuatan yang dilarang. Dengan demikian ius puniendi adalah

mengenai hak dari negara untuk mengenakan pidana dengan

berdasar pada ius poenale.

Sehubungan dengan analisis baik terhadap sistem

pemidanaan di dalam dan di luar KUHP, maka terlebih dahulu

akan diuraikan mengenai pengertian hukum pidana umum dan

hukum pidana khusus dan kaitannya dengan ketentuan Pasal 103

KUHP. Sudarto mengingatkan bahwa pengertian hukum pidana

umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare/ius

buku 3 ok edited.indd 18 12/12/2012 9:26:58 AM

Page 35: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

19

speciale) tidak dapat dicampuradukkan dengan pengertian bagian

umum dari hukum pidana (general rules/algemene leerstukken)

yang memuat ketentuan-ketentuan atau ajaran-ajaran umum dan

bagian khusus dari hukum pidana (special rules) yang memuat

perumusan tindak pidana.

Hukum pidana umum adalah peraturan-peraturan pidana

dalam KUHP beserta semua perundang-undangan yang

menambah atau mengubah KUHP tersebut. Hukum pidana

khusus adalah semua perundang-undangan di luar KUHP yang

di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari

hukum pidana umum yang menyangkut sekelompok orang atau

perbuatan-perbuatan tertentu. Menurut Andi Hamzah hukum

pidana khusus dapat berupa perundang-undangan pidana dan

bukan perundang-undangan pidana tetapi mengatur sanksi pidana.

Yang termasuk dalam kelompok bukan perundang-undangan

pidana tetapi mengatur sanksi pidana adalah perundang-undangan

hukum administratif yang memuat sanksi pidana. Sudarto di

samping membuat pembedaan hukum pidana umum dan hukum

pidana khusus juga menggunakan istilah undang-undang pidana

khusus yang di dalamnya termasuk: “undang-undang yang tidak

dikodifikasikan”, “peraturan hukum administratif yang memuat

sanksi pidana”, dan “undang-undang yang memuat hukum pidana

khusus”. Sudarto menambahkan kualifikasi undang-undang yang

tidak dikodifikasikan untuk memasukkan perundang-undangan

yang tidak termasuk kualifikasi baik perundang-undangan pidana

buku 3 ok edited.indd 19 12/12/2012 9:26:58 AM

Page 36: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

20

maupun perundangan-undangan pidana administratif ke dalam

kelompok ini.

Penyimpangan-penyimpangan pengaturan ketentuan pidana

dalam undang-undang di luar KUHP dimungkinkan berdasarkan

ketentuan dalam Pasal 103 KUHP yang menyatakan:

Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga

berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-

undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh

undang-undang ditentukan lain.

Pembentuk undang-undang menyadari bahwa kodifikasi

suatu undang-undang tidak selamanya dapat mengikuti

perkembangan sosial dan ekonomi masyarakatnya dan oleh karena

itu diatur norma yang memungkinkan dibentuknya undang-undang

lain sesuai dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat

tersebut. Namun demikian perlu dirumuskan suatu kriteria yang

jelas mengenai penyimpangan-penyimpangan aturan umum atau

aturan-aturan tersendiri di luar KUHP khususnya ketentuan

pidana sehingga tetap berada dalam sistem dan operasional.

Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai pidana dan

sistem pemidanaan, terlebih dahulu akan diuraikan mengenai

sifat dan hakikat hukum pidana serta aliran-aliran hukum pidana

yang berkembang yang sedikit banyak mempengaruhi sistem

pemidanaan dalam hukum pidana.

Penggunaan hukum pidana untuk menanggulangi

kejahatan bukan merupakan satu-satunya sarana tetapi dapat juga

digunakan sarana-sarana lain baik non-penal maupun non-hukum.

buku 3 ok edited.indd 20 12/12/2012 9:26:58 AM

Page 37: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

21

Tidak ada keharusan untuk menggunakan hukum pidana untuk

menanggulangi kejahatan. Hukum pidana merupakan hukum yang

mempunyai fungsi subsidair (ultima ratio principle) dan hendaknya

baru digunakan apabila upaya-upaya lain diperkirakan kurang

memberi hasil yang memuaskan atau kurang sesuai. Menurut

Merkel tempat hukum pidana adalah selalu subsidair terhadap

upaya hukum lainnya. Pandangan yang sama dikemukakan oleh

Modderman yang menyatakan: negara secara khusus wajib bereaksi

dan menindak pelanggaran hukum atau ketidakadilan yang terjadi

yang tidak lagi dapat ditanggulangi secara memadai oleh sarana-

sarana hukum lain. Pidana tetap harus dipandang sebagai ultimum

remedium. Sedangkan menurut Remmelink hukum pidana hanya

dapat didayagunakan apabila sarana yang dimiliki hukum pidana

tidak lebih buruk dibandingkan dengan penyimpangan perilaku

yang hendak ditanggulanginya.

Dalam penggunaan hukum pidana juga harus memperhatikan

keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki hukum pidana. Hukum

pidana tidak dapat diharapkan dapat mengisi seluruh kekosongan

hukum yang ada, karena terdapat pelanggaran hukum yang

tidak dapat ditanggulangi secara memadai oleh hukum pidana.

Sejalan dengan pandangan tersebut menurut Mulder hukum

pidana merupakan lingkaran terluar dari hukum. Hukum pidana

tidak menawarkan perlindungan menyeluruh atas kepentingan-

kepentingan hukum maupun pengaturan hubungan-hubungan

hukum, melainkan hanya berkenaan dengan upaya melawan

sebagian kecil bentuk-bentuk pelanggaran hukum. Hukum pidana

buku 3 ok edited.indd 21 12/12/2012 9:26:58 AM

Page 38: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

22

menjaga dan mempertahankan norma-norma materiil secara

fragmentaris. Oleh karenanya penggunaan hukum pidana dalam

menanggulangi kajahatan harus dilihat dalam kerangka politik

kriminal.

Walaupun hukum pidana memiliki keterbatasan-keterbatasan

namun menurut Roeslan Saleh masih ada dasar susila untuk

menggunakan pidana dan hukum pidana, yaitu:

1. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada tujuan yang

hendak dicapai tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh

untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan.

Persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai

tetapi pada pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai

dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.

2. Ada usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai

arti sama sekali bagi terpidana dan di samping itu masih tetap

harus ada suatu reaksi atas pelanggaran norma yang telah

dilakukannya dan tidak dapat dibiarkan.

3. Pengaruh pidana dan hukum pidana bukan semata-mata

ditujukan pada penjahat tetapi juga untuk mempengaruhi

anggota masyarakat lainnya mentaati norma hukum yang

berlaku dalam masyarakat.

Sedangkan menurut van Bemmelen jika hukum pidana didekati

dari sudut ketentuan perintah dan larangan serta penegakan hukum

atas peraturan itu khususnya dari sudut hukum acara pidana dan

bukan dari sudut pidananya, maka kita tidak lagi begitu cenderung

untuk menghapuskan hukum pidana. Jika hukum pidana didekati

buku 3 ok edited.indd 22 12/12/2012 9:26:58 AM

Page 39: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

23

dari sudut peraturan perintah dan larangan, kita dengan mudah akan

mengerti bahwa ada perbuatan-perbuatan tertentu yang melawan

hukum yang tidak mungkin diterima oleh masyarakat. Jadi hukum

pidana harus tetap ada. Ketika pelanggaran-pelanggaran terhadap

ketentuan dan larangan terjadi tidak mungkin negara menyerahkan

perlindungan terhadap pelanggaran peraturan itu kepada individu

masing-masing. Salah satu alasan terpenting mengapa hukum

pidana tidak dapat dihapuskan sama sekali ialah hukum pidana

menentukan dengan teliti dalam hal-hal mana negara berhak untuk

bertindak terhadap anggota masyarakat melalui jalan hukum acara

pidana.

Uraian di atas menunjukkan bahwa hukum pidana merupakan

sarana yang mempunyai dua sisi mata uang, yaitu sisi positif

dan sisi negatif dan dalam keadaan tertentu hukum pidana tidak

dapat ditinggalkan. Sanksi pidana mempunyai fungsi yang tidak

dimiliki oleh sarana lainnya. Menurut Packer sanksi pidana adalah

sarana yang sangat diperlukan dan merupakan sarana yang terbaik

yang ada untuk menghadapi bahaya atau ancaman dari bahaya

besar dan segera. Namun demikian dalam penggunaannya harus

secara hemat-cermat dan manusiawi. Penggunaan sanksi pidana

secara sembarangan atau menyamaratakan dan secara paksa

akan menyebabkan sarana pidana menjadi pengancam yang

utama dan bukan menjadi penjamin yang utama. Secara negatif

Jeremy Bentham menyatakan bahwa pidana jangan digunakan

apabila tidak berdasar (groundless), tidak berguna (nedless), tidak

menguntungkan (unprofitable), dan tidak mujarab (inefficacious)

buku 3 ok edited.indd 23 12/12/2012 9:26:58 AM

Page 40: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

24

untuk menanggulangi tindak pidana.

Oleh karena hukum pidana merupakan bagian dari hukum yang

mempunyai sifat yang kejam dan bahkan dikatakan sebagai hukum

yang “mengiris dagingnya sendiri”, maka dalam penggunaannya

(politik hukum pidana) harus dalam kerangka sistem hukum

pidana dan tujuan pemidanaan. Dalam ilmu hukum pidana terdapat

beberapa aliran hukum pidana, yang tidak berorientasi pada dasar

pembenaran dari pidana tetapi pada sistem hukum pidana yang

praktis dan bermanfaat. Berdasarkan waktu kelahirannya aliran

hukum pidana terdiri dari:

1. Aliran Klasik

Aliran klasik lahir berawal dari pandangan Beccaria

tentang hukum pidana dalam bukunya Dei delitti e delle pene

tahun 1764 sebagai reaksi atas peradilan pidana Perancis yang

arbitrair dan menimbulkan ketidakadilan, ketidaksamaan, dan

ketidakpastian hukum. Beccaria berusaha memperjuangkan

suatu hukum pidana yang lebih adil, lebih objektif dan lebih

memperhatikan perikemanusiaan dan kemerdekaan individu.

Perhatian utama dari aliran klasik adalah pada perbuatan

(daad) dan tidak pada orang yang melakukan tindak pidana

(dader). Aliran klasik dilandasi pandangan indeterministik

mengenai kehendak bebas (free will) manusia, bahwa manusia

mempunyai kehendak bebas dan hal ini merupakan sebab dari

segala keputusan kehendak manusia untuk melakukan suatu

perbuatan termasuk tindak pidana. Menurut Rene Descartes

“the will is perfectly free, so free in its nature that it cannot

buku 3 ok edited.indd 24 12/12/2012 9:26:58 AM

Page 41: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

25

be constrained”. Kehendak bebas tersebut berkaitan dengan

kebebasan individu. Freedom in the sense associated with free

will is traditionally defined in terms of the ability of agent, for

anything they do, always to have done otherwise. Pembahasan

kebebasan atau kemerdekaan individu dengan hukum pidana

berkaitan dengan kesalahan atau pertanggungjawaban pidana

dan pemidanaan dalam aliran-aliran hukum pidana. Berkaitan

dengan hal tersebut menurut Roderick M. Chisholm “the

metaphysical problem of human freedom might be summarized

in the following way: human beings are responsible agents; but

this fact appears to conflict with determinstic view of human

action (the view that every event that is involved in an act is

caused by some other event); and it also appears to conflict

with an indeterministic view of human action (the view that

the act, or some event that is essential to the act, is not caused

at all). Pandangan deterministik dan indeterministik tersebut

mempunyai konsekuensi pada penentuan pertanggungjawaban

seseorang atas perbuatan yang dilakukan.

Kemerdekaan individu menurut aliran klasik berpangkal

pada pikiran-pikiran abstrak, yaitu kemerdekaan individu

yang abstrak. Oleh karena itu dalam implementasinya aliran

klasik lebih mengabstrakkan atau mengobjektifkan hukum

pidana dari tabiat dan sifat pribadi pelaku tindak pidana.

Perumusan undang-undang dan perbuatan yang melawan

hukum merupakan titik sentral dari hukum pidana. Hanya

perbuatan-perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana

buku 3 ok edited.indd 25 12/12/2012 9:26:58 AM

Page 42: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

26

dalam undang-undang saja yang dapat dipertanggungjawabkan

kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana tersebut.

Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang menurut

undang-undang merupakan tindak pidana, maka pidana yang

diancamkan harus dijatuhkan tanpa menghiraukan tabiat dan

sifat pribadi pelakunya seperti keadaan-keadaan khusus ketika

tindak pidana dilakukan atau keadaan jiwanya. Hakim tidak

diberi kebebasan dalam menjatuhkan pidana dan oleh sebab

itu hakim pidana dibatasi oleh sistem pemidanaan yang tetap

(rigid) atau dikenal dengan sistem “the definite sentence”.

Aliran klasik berlandaskan pada 3 hal pokok, yaitu:

a. Asas legalitas (Nullum delictum, nulla poena, sine

praevia lege poenali). Dalam asas legalitas menurut Paul

Johann Aselm von Feuerbach terkandung makna: setiap

penggunaan pidana harus berdasarkan undang-undang

(nulla poena sine lege), penggunaan pidana hanya

dilakukan terhadap perbuatan yang diancam pidana

oleh undang-undang (nulla poena sine crimine), dan

tindak pidana yang diancam pidana oleh undang-undang

menimbulkan konsekuensi pidana tersebut dijatuhkan

(nullum crimen sine poena legali).

b. Asas kesalahan

Beradasarkan asas kesalahan seseorang hanya dapat

dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan

sengaja atau culpa.

c. Asas pembalasan atau pengimbalan yang sekuler, yaitu

buku 3 ok edited.indd 26 12/12/2012 9:26:58 AM

Page 43: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

27

bahwa pidana secara konkret tidak dikenakan dengan

maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat,

melainkan setimpal dengan berat ringannya kejahatan

yang telah dilakukan. Menurut Sue Titus Reid konsepsi

“punishment should fit the crime” merupakan hal esensil

dari aliran klasik.

2. Aliran positif atau aliran modern

Aliran positif atau aliran modern lahir dan berkembang

pada abad 19, berhubungan dengan lahir dan berkembangnya

kriminologi yang menyelidiki mengenai penjahat, asal usul

kejahatan, cara-cara mencegah dan mengurangi kejahatan.

Menurut aliran modern perbuatan seseorang tidak dapat

dilihat secara abstrak dari sudut yuridis semata-mata tetapi

harus dilihat dari sudut pelakunya, yang dalam kenyataan

perbuatan tersebut dipengaruhi oleh watak dan sifat pribadi

serta faktor-faktor lingkungan. Aliran modern dilandasi

pandangan determinisme, yang memandang manusia tidak

mempunyai kehendak bebas (unfree will), tetapi dipengaruhi

oleh watak dan lingkungannya sehingga pelaku tidak dapat

dipersalahkan. Apabila tidak ada kesalahan maka tidak ada

pencelaan dan oleh karenanya tidak ada pemidanaan. Aliran

modern menolak adanya pembalasan berdasarkan kesalahan

subjektif. Pertanggungjawaban seseorang berdasarkan

kesalahan harus diganti dengan sifat bahayanya pelaku dan

bentuk pertanggungjawabannya lebih bersifat tindakan untuk

melindungi masyarakat. Reaksi atas tindak pidana yang

buku 3 ok edited.indd 27 12/12/2012 9:26:58 AM

Page 44: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

28

dilakukan tersebut bukan berupa pidana yaitu penderitaan

atau nestapa tetapi berupa tindakan untuk ketertiban

masyarakat. Hukum pidana menurut aliran modern lebih

menitikberatkan pada perlindungan masyarakat dari kejahatan

(prevensi umum). Tujuan aliran modern adalah untuk

mengindividualisasikan hukum pidana, yaitu menyesuaikan

hukum pidana dengan watak dan sifat pribadi pelaku tindak

pidana untuk resosialisasi pelaku tindak pidana. Hukum

pidana menurut aliran modern lebih bersifat subjektif, yaitu

hukum pidana yang lebih menitikberatkan pada pelakunya

daripada perbuatannya.

Setelah Perang Dunia II aliran modern berkembang

menjadi Aliran Perlindungan Sosial (social defence)

yang dipelopori oleh Filippo Gramatica. Berdasarkan

perkembangannya, Aliran Perlindungan Sosial dapat

dibedakan dalam 2 pandangan, yaitu:

a. Konsepsi radikal (ekstrim) dipelopori oleh Filippo

Gramatica. Menurut Gramatica hukum perlindungan

masyarakat (law of social defence) harus menggantikan

hukum pidana yang ada. Tujuan utama perlindungan

sosial adalah untuk mengintegrasikan individu ke

dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap

perbuatannya. Hukum perlindungan masyarakat

menghapuskan pertanggungjawaban pidana berdasar

kesalahan dan digantikan dengan pandangan tentang

perbuatan anti sosial.

buku 3 ok edited.indd 28 12/12/2012 9:26:58 AM

Page 45: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

29

b. Konsepsi moderat (reformis) dipelopori oleh Marc

Ancel.

Marc Ancel menamakan gerakannya “defence sociale

nouvelle” (aliran perlindungan sosial baru). Aliran

ini bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-

konsepsi perlindungan sosial ke dalam konsepsi hukum

pidana. Menurut aliran ini peranan yang besar dari

hukum pidana dalam suatu sistem hukum merupakan

kebutuhan yang tidak dapat dielakkan. Sistem hukum

pidana, tindak pidana, dan penilaian hakim terhadap

pelaku tindak pidana merupakan lembaga-lembaga yang

harus tetap dipertahankan, namun menolak penggunaan

fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas

dari kenyataan sosial dalam sistem hukum pidana

tersebut. Marc Ancel menolak pandangan aliran klasik

dan neoklasik yang memperlakukan pelaku tindak

pidana sebagai suatu konsepsi hukum yang murni dan

sanksi pidana sebagai suatu konsekuensi yang diperlukan

hukum terhadap pelanggaran ketertiban serta menolak

tujuan pidana atau sanksi lain sebagai “the abstract

restoration of that legal order”.

3. Aliran Neoklasik (neoclassical school)

Aliran neoklasik berasal dari aliran klasik dan mulai

berkembang pada abad 19. Berdasarkan masa perkembangannya

aliran neoklasik telah mendapat pengaruh dari aliran modern.

Landasan aliran neoklasik sama dengan aliran klasik, yaitu

buku 3 ok edited.indd 29 12/12/2012 9:26:58 AM

Page 46: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

30

pandangan bahwa manusia mempunyai kehendak bebas (free

will). Namun mengakui bahwa kehendak bebas tersebut

dapat dipengaruhi oleh patologi, ketidakmampuan, penyakit

jiwa dan keadaan-keadaan lain. Menurut aliran neoklasik

pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik terlalu berat dan

merusak semangat kemanusiaan yang berkembang saat itu.

Oleh karena itu diterima adanya keadaan-keadaan yang

meringankan dan pertanggungjawaban pidana sebagian untuk

kasus-kasus tertentu karena penyakit jiwa, usia, dan keadaan-

keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan

kehendak seseorang pada saat terjadinya kejahatan. Hal lain

adalah pengakuan kesaksian ahli dalam peradilan pidana

untuk menentukan derajat pertanggungjawaban pelaku tindak

pidana.

Berkaitan dengan aliran-aliran hukum pidana, menurut

Muladi berdasarkan pemahaman atas pandangan tokoh-

tokoh aliran-aliran hukum pidana tersebut seringkali terdapat

modifikasi pemikiran yang kadang-kadang memberi kesan

bahwa batas-batas diantara aliran-aliran tersebut bersifat

relatif atau tidak bersifat mutlak. Muladi memberi contoh

pandangan Jeremy Bentham tokoh aliran klasik yang

menganut prinsip-prinsip rasional yang dapat diukur dalam

menilai suatu perbuatan atau pandangan Beccaria tokoh aliran

klasik yang menentang pidana mati atau aliran perlindungan

sosial yang menghidupkan kembali pandangan kehendak

bebas dan pertanggungjawaban yang justru menjadi salah

buku 3 ok edited.indd 30 12/12/2012 9:26:58 AM

Page 47: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

31

satu ciri aliran klasik, walaupun tidak menjadi tujuan atau

konsepsi abstrak.

B. Pidana dan Tujuan Pemidanaan

Pidana berasal dari kata straf dalam bahasa Belanda dan

seringkali diterjemahkan secara berbeda misalnya diterjemahkan

“hukuman” yang menurut para ahli hukum pidana dipandang

kurang tepat. Istilah “hukuman” merupakan istilah umum dan

konvensional, dapat mengandung arti yang luas dan berubah-ubah

sesuai dengan konteksnya. Istilah “pidana” lebih sesuai dengan

hukum pidana. Berikut beberapa pengertian mengenai pidana dari

para ahli filsafat dan hukum pidana yang secara langsung atau tidak

langsung dipengaruhi oleh teori-teori pemidanaan yang dianutnya.

Dalam Blak’s Law Dictionary pidana (punishment) diartikan

sebagai any fine, penalty or confinement inflicted upon a person by

the authority od the law and judgment and sentence of the court

for some crime or offense committed by him or for his omission of

a duty enjoined by law. Pidana di sini dapat berupa pidana mati,

penjara, kurungan atau denda yang dijatuhkan oleh orang yang

mempunyai wewenang terhadap pelaku yang melakukan tindak

pidana.

Menurut Roeslan Saleh pidana adalah reaksi atas delik dan

ini berujud nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada

pembuat delik tersebut. Nestapa atau penderitaan tersebut bukan

suatu tujuan akhir yang dicita-citakan masyarakat tetapi hanya

suatu tujuan terdekat. Di samping pidana, untuk mencapai tujuan-

tujuannya hukum pidana juga menggunakan tindakan-tindakan

buku 3 ok edited.indd 31 12/12/2012 9:26:58 AM

Page 48: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

32

(maatregelen). Tindakan adalah sanksi yang tidak mengandung

sifat pembalasan.

Pandangan lain dikemukakan oleh Alf Ross yang membedakan

pidana dengan tindakan dengan berdasar pada unsur pencelaan

dan bukan unsur penderitaan. Menurut Alf Ross punishment is that

social response which occurs where there violation of legal rule;

is imposed and carried out by authorised persons on behalf of the

legal order to which the violated rule belongs; involves suffering

or at least other consequences normally considered unpleasant;

expresses disapproval of the violator. Konsep pidana dari Alf Ross

bertolak pada dua tujuan, yaitu: pertama, pidana ditujukan pada

pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan dan

kedua, pidana merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap

perbuatan pelaku.

Dalam ilmu hukum pidana sesuai dengan perkembangan

pemikiran mengenai tujuan pemidanaan yang berusaha mencari

dasar pembenaran dari pidana, dapat diklasifikasi teori-teori

tujuan pemidanaan sebagai berikut:

1. Teori retributif (retributive theory) atau teori absolut

Dasar pembenaran dari pidana menurut teori retributif

adalah terletak pada adanya tindak pidana atau tindak pidana

sendiri yang memuat unsur-unsur yang membenarkan pidana

dijatuhkan. Penganut aliran retributif berpendapat bahwa

“punishment is simply what one deserves for having broken

the law. Punishment is inherently justified in the act of law-

breaking”. Pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan

buku 3 ok edited.indd 32 12/12/2012 9:26:58 AM

Page 49: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

33

tindak pidana (quia peccatum est) dan tidak untuk tujuan

lain. Menurut van Bemmelem absolut disini diartikan sebagai

“dilepaskan” dari setiap tujuan apapun. Pidana tidak perlu

mempunyai tujuan praktis atau tujuan lain selain hanya pidana

saja. Kant dan Hegel meyakini mutlak keniscayaan pidana,

sekalipun pemidanaan tersebut sebenarnya tidak berguna atau

bahkan menimbulkan keadaan pelaku tindak pidana menjadi

lebih buruk. Pembalasan tetap dipertahankan sebagai landasan

pidana. Pidana menurut Kant adalah tuntutan etis atau tuntutan

kesusilaan, perintah hati nurani. Pidana merupakan kategori

imperatif atau tuntutan mutlak karena pelaku telah bersalah

melakukan tindak pidana. Pidana bukan merupakan alat

untuk mencapai tujuan melainkan mencerminkan keadilan.

Hegel memandang pidana dari logika dialektis sebagai

konsekuensi logikal dan keniscayaan etis. Pidana adalah

suatu penyangkalan dari penyangkalan hukum yang terletak

dalam tindak pidana itu sendiri. Tindak pidana dalam hal ini

dipandang sebagai pengingkaran terhadap ketertiban hukum

negara yang merupakan perwujudan cita-susila. Menurut

Remmelink ajaran absolut dari Kant dan Hegel tindak pidana

adalah peristiwa yang berdiri sendiri, ada kesalahan yang

harus dipertanggungjawabkan dan dengan pidana persoalan

dituntaskan. Kesalahan hanya dapat ditebus dengan menjalani

pidana. Dalam ajaran absolut sulit untuk membuat argumentasi

teoritis berkaitan dengan strafsoort (jenis pidana) dan strafmaat

(berat ringannya pidana) serta untuk menempatkan pranata-

buku 3 ok edited.indd 33 12/12/2012 9:26:58 AM

Page 50: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

34

pranata hukum seperti pidana bersyarat, asas oportunitas,

pernyataan bersalah tanpa penjatuhan pidana, daluwarsa,

reclassering, dan pidana anak.

2. Teori teleologis atau teori tujuan atau teori relatif (utilitarian

theory)

Dasar pembenaran pidana menurut teori tujuan adalah

terletak pada tujuannya. Tujuan-tujuan pidana tersebut harus

mempunyai kemanfaatan, misalnya untuk mempertahankan

tata tertib hukum masyarakat atau mencegah (prevention)

dilakukannya suatu tindak pidana. Oleh karena itu teori ini

disebut teori tujuan (utilitarian theory). Menurut Remmelink

dalam teori relatif hubungan antara ketidakadilan dengan

pidana bukan hubungan yang ditegaskan secara a-priori

sebagaimana teori absolut, tetapi dikaitkan dengan tujuan yang

hendak dicapai. Oleh karena itu teori ini disebut juga teori

relational berkaitan dengan pengertian related to.

Pidana dalam perspektif pertahanan tata tertib

masyarakat adalah suatu noodzakelijk, sesuatu yang terpaksa

diperlukan. Menurut penganut teori tujuan punishment is only

because doing so has socially desirable consequences. Teori

tujuan menekankan pada dua konsekuensi pemidanaan yang

dikehendaki, yaitu pertama, efek pencegahan (deterrent effect).

Pidana biasanya mempunyai nilai karena mencegah pelaku

tindak pidana mengulangi tindak pidananya dan mencegah

yang lainnya untuk melakukan tindak pidana serupa. Kedua,

pidana untuk memperbaiki pelaku tindak pidana. Pidana dapat

buku 3 ok edited.indd 34 12/12/2012 9:26:58 AM

Page 51: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

35

mengubah seseorang sehingga dia tidak mudah mempunyai

keingingan untuk menghalangi ketertiban sosial dengan

perbuatan-perbuatan yang melanggar keinginan-keinginan dan

kebutuhan-kebutuhan orang lain yang sah.

Teori tujuan dapat dibedakan dalam teori prevensi

umum dan teori prevensi khusus. Prevensi umum bertujuan

untuk mencegah agar orang pada umumnya melakukan tindak

pidana. Negara berwenang untuk menjatuhkan pidana dan

mencegah rakyat pada umumnya untuk melakukan tindak

pidana. Efek pencegahan dalam prevensi umum terletak

pada pertama, penjatuhan pidana yang bersifat menakutkan.

Pandangan ini menitik beratkan pada eksekusi pemidanaan

yang dipertunjukkan kepada umum sehingga menakutkan

anggota masyarakat untuk melakukan tindak pidana. Oleh

karena itu perlu dibuat pidana yang berat dan eksekusi pidana

yang berat tersebut dilakukan di muka umum. Kedua, unsur

utama yang dapat menahan niat jahat manusia untuk melakukan

tindak pidana terletak pada sanksi pidana. Menurut von

Feuerbach sanksi pidana menimbulkan suatu tekanan secara

kejiwaan atau daya paksa psikis (psychologische zwang) yang

dapat mencegah manusia melakukan tindak pidana. Menurut

Johannes Andenaes prevensi umum mempunyai tiga bentuk

pengaruh, yaitu:

a. Pengaruh pencegahan;

b. Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral;

buku 3 ok edited.indd 35 12/12/2012 9:26:59 AM

Page 52: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

36

c. Pengaruh untuk mendorong kebiasaan perbuatan patuh

pada hukum.

Salah seorang penganut teori prevensi umum, van Veen

menyatakan bahwa prevensi umum mempunyai tiga fungsi,

yaitu: (1) menjaga dan menegakkan wibawa penguasa, yaitu

berperan dalam perumusan tindak pidana yang langsung

bersinggungan dengan wibawa pemerintah; (2) menjaga

(pemberlakuan) atau menegakkan norma hukum; (3)

pembentukan norma, menggarisbawahi pandangan bahwa

perbuatan-perbuatan tertentu dianggap a-susila sehingga tidak

diperbolehkan.

Prevensi khusus bertujuan untuk mencegah agar pelaku

tindak pidana tidak mengulangi melakukan tindak pidana.

Teori prevensi khusus mengoreksi kelemahan-kelemahan

yang terdapat dalam prevensi umum. Menurut van Hamel

adalah tidak adil menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak

pidana lebih berat dari tindak pidana yang dilakukannya.

Sanksi pidana terhadap umum tidak dapat diancamkan lebih

berat daripada sanksi pidana terhadap seorang individu,

karena dalam kenyataan dimungkinkan seorang pelaku tindak

pidana mendapat pidana yang beratnya melebihi beratnya

tindak pidana yang dia dilakukan. Oleh karena itu pembentuk

undang-undang dalam menentukan sanksi pidana hanya boleh

membayangkan sanksi pidana terhadap individu. Menurut van

Hamel pidana yang bersifat prevensi khusus adalah:

a. Pidana harus memuat suatu unsur yang menakutkan agar

buku 3 ok edited.indd 36 12/12/2012 9:26:59 AM

Page 53: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

37

dapat mencegah secara khusus pelaku tindak pidana

mempunyai kesempatan melakukan niat jahat.

b. Pidana harus memuat suatu unsur yang memperbaiki bagi

terpidana, yang nanti memerlukan reclassering.

c. Pidana harus memuat suatu unsur membinasakan bagi

pelaku tindak pidana yang sama sekali tidak dapat diperbaiki

lagi.

d. Tujuan satu-satunya pidana adalah mempertahankan tata

tertib hukum.

Berbagai pandangan para pakar yang tergolong penganut

teori tujuan atau teori relatif bervariasi dengan titikberat yang

berbeda-beda. Teori-teori dari tokoh aliran ini yang lahir

kemudian berupaya untuk menyempurnakan kelemahan-

kelemahan yang dipandang ada pada teori-teori dari tokoh-

tokoh sebelumnya.

3. Teori menggabungkan atau teori integratif (integrative theory)

Teori ini menggabungkan dasar pembenaran pidana pada

pembalasan (teori absolut) dan tujuan pidana yang bermanfaat

(teori tujuan). Menurut Utrecht teori-teori menggabungkan

dapat dibedakan dalam tiga golongan:

a. Teori menggabungkan yang menitikberatkan pada

pembalasan tetapi pembalasan tersebut tidak boleh melebihi

batas yang diperlukan dan sudah cukup untuk dapat

mempertahankan tata tertib masyarakat.

b. Teori-teori menggabungkan yang menitikberatkan pada

mempertahankan tata tertib masyarakat, tetapi beratnya

buku 3 ok edited.indd 37 12/12/2012 9:26:59 AM

Page 54: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

38

pidana harus sesuai dengan beratnya tindak pidana yang

dilakukan.

c. Teori menggabungkan yang menitikberatkan pada

pembalasan dan mempertahankan tata tertib masyarakat.

Menurut Hugo Grotius salah satu penganut teori

menggabungkan: kodrat mengajarkan bahwa siapa berbuat

jahat, ia akan terkena derita. Penderitaan adalah sesuatu yang

wajar ditanggung pelaku tindak pidana, namun berat ringannya

pidana yang layak dijatuhkan pada pelaku didasarkan pada

kemanfaatan sosial. Demikian pula menurut Pellegrino Rossi,

penjatuhan pidana terutama adalah menerapkan pembalasan

dan menjalankan keadilan. Namun karena kita hidup dalam

masyarakat yang tidak sempurna maka tidak mungkin untuk

menuntut keadilan yang absolut dan harus cukup dengan

pemidanaan yang dilandaskan pada tertib sosial etikal yang

tidak sempurna (keadilan sosial).

Packer dalam bab tentang “Toward an Integrated Theory

of Criminal Punishment” kiranya dapat dimasukkan sebagai

penganut teori integratif yang menolak baik teori retributif

maupun teori tujuan. Tujuan utama pemidanaan adalah

pengenaan penderitaan yang setimpal terhadap pelaku tindak

pidana dan pencegahan.

Pakar hukum pidana Indonesia yang dapat dimasukkan

dalam penganut teori integratif tentang tujuan pemidanaan

adalah Muladi. Dalam disertasinya Muladi menyatakan

menganut teori integratif dengan mengadakan kombinasi

buku 3 ok edited.indd 38 12/12/2012 9:26:59 AM

Page 55: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

39

tujuan pemidanaan yang cocok dengan pendekatan sosiologis,

ideologis dan yuridis filosofis. Tujuan pemidanaan adalah: (1)

pencegahan (umum dan khusus); (2) perlindungan masyarakat;

(3) memelihara solidaritas sosial masyarakat; dan (4)

pengimbalan/pembalasan.

Dalam Seminar Pembaharuan Hukum Pidana Nasional

1980 dinyatakan bahwa sesuai dengan politik hukum pidana,

tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan

masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan

hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-

kepentingan masyarakat/negara, korban dan pelaku.

Berdasarkan tujuan pemidanaan dalam seminar tersebut,

menurut Barda Nawawi Arief pemidanaan harus mengandung

unsur-unsur:

a. kemanusiaan, dalam arti menjunjung tinggi harkat dan

martabat seseorang;

b. edukatif, dalam arti harus mampu menimbulkan kesadaran

jiwa yang positif dan konstruktif pada diri pelanggar hukum;

dan

c. keadilan, dalam arti dirasakan adil baik oleh pelaku maupun

korban atau masyarakat.

Dalam konsep KUHP tujuan pemidanaan secara

komprehensif mencakup perlindungan berbagai kepentingan

hukum, yaitu untuk mencegah dilakukannya tindak pidana

dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman

masyarakat, resosialisasi terpidana dengan mengadakan

buku 3 ok edited.indd 39 12/12/2012 9:26:59 AM

Page 56: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

40

pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan

berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak

pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa

damai dalam masyarakat, serta membebaskan rasa bersalah

pada terpidana. Pandangan mengenai tujuan pemidanaan yang

memberikan perlindungan terhadap berbagai kepentingan

hukum dikemukakan oleh Bassiouni yang menyatakan bahwa

Tujuan pemidanaan menurut Bassiouni pada umumnya terwujud

dalam perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan sosial

yang mengandung nilai-nilai tertentu, yaitu:

a. Pemeliharaan tertib masyarakat;

b. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian

atau bahaya-bahaya yang bersifat melawan hukum;

c. Memasyarakatkan kembali para pelaku tindak pidana

(resosialisasi);

d. Memelihara dan mempertahankan integritas pandangan-

pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat

kemanusiaan, dan keadilan individu.

Pandangan mengenai tujuan pemidanaan dari Remmelink

lebih menitikberatkan pada perlindungan masyarakat dan

norma yang diaturnya. Menurut Remmelink tujuan sanksi

pidana adalah untuk melindungi masyarakat terhadap ancaman

bahaya in concreto atau yang mungkin muncul di masa

depan sebagai dampak pelanggaran norma tersebut atau yang

bersumber dari pelaku. Sanksi pidana dimaksudkan untuk

memberikan perlindungan terhadap norma. Selama norma

buku 3 ok edited.indd 40 12/12/2012 9:26:59 AM

Page 57: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

41

hukum belum dilanggar, sanksi pidana hanya memiliki fungsi

preventif dan ketika terjadi pelanggaran daya kerjanya berubah

sekaligus juga menjadi represif.

Sehubungan dengan berbagai pandangan mengenai

tujuan pemidanan dalam ilmu hukum pidana di atas bagi negara

Indonesia tujuan pemidanaan tersebut tentunya tidak dapat

begitu saja mengadopsi teori-teori tujuan pemidanaan tersebut

tetapi sudah seharusnya disesuaikan dengan nilai-nilai sosial

budaya bangsa Indonesia. Kiranya dapat disetujui pandangan

Muladi mengenai tujuan pemidanaan yang integratif dengan

didasarkan pada alasan sosiologis (hakikat manusia dalam

konteks masyarakat Indonesia), ideologis (filsafat Pancasila),

dan yuridis filosofis masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.

Mengingat hukum pidana atau pidana menurut Packer dapat

menjadi pengancam yang utama (prime threatener) bila

digunakan secara paksa, menyamaratakan, dan tidak manusiawi

maka pemikiran-pemikiran berikut harus dipertimbangkan

ketika hukum pidana atau pidana akan didayagunakan.

a. Nigel Walker

Dalam menggunakan sarana penal Nigel walker

mengemukakan prinsip-prinsip pembatas (the limiting

principles) yang harus diperhatikan:

hukum pidana jangan digunakan semata-mata untuk

tujuan pembalasan;

hukum pidana jangan digunakan untuk memidana

perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan;

buku 3 ok edited.indd 41 12/12/2012 9:26:59 AM

Page 58: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

42

hukum pidana jangan digunakan untuk mencapai suatu

tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan

sarana-sarana yang lebih ringan;

hukum pidana jangan digunakan apabila kerugian/bahaya

yang timbul dari pidana lebih besar daripada kerugian/

bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri;

hukum pidana jangan mengandung sifat yang lebih

berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah;

hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang

tidak mendapat dukungan kuat dari publik.

b. Modderman

Dalam penggunaan hukum pidana menurut Modderman

terdapat beberapa asas yang harus diperhatikan, yaitu:

1) Yang dapat dipidana adalah orang yang melanggar

hukum;

2) Perbuatan itu melanggar hukum;

3) Ancaman pidana harus tetap merupakan suatu ultimum

remedium;

4) Harus mempertimbangkan untung dan rugi penggunaan

sanksi pidana;

5) Sanksi pidana tidak boleh lebih jahat dari kejahatannya.

c. Herbert L. Packer

Penggunaan pidana sebagai salah satu alternatif untuk

menanggulangi tindak pidana harus memperhatikan lima

karakteristik pidana berikut:

buku 3 ok edited.indd 42 12/12/2012 9:26:59 AM

Page 59: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

43

a. it must be involve pain or other consequences normally

considered unpleasant;

b. it must be for an offense against legal rules.

c. It must be imposed on an actual or supposed offender for

his offense.

d. It must be intentionally administered by human beings

other than offender.

e. It must be imposed and administered by an authority

constituted by a legal system against which he offense is

committed.

Berbagai teori dan pandangan para pakar hukum pidana

tersebut di atas menunjukkan bahwa hukum pidana mempunyai

kontribusi yang relatif penting dalam penanggulangan tindak

pidana. Berdasarkan landasan asas legalitas, politik hukum

pidana (kebijakan legislatif/formulatif) dalam hal ini proses

pembentukan hukum pidana merupakan hal esensil dan mutlak

dilakukan. Asas legalitas mensyaratkan bahwa perbuatan

yang dikualifikasi sebagai tindak pidana dan diancam dengan

pidana harus diatur dalam undang-undang. Dengan demikian

pembentukan undang-undang dalam politik hukum pidana

mempunyai peranan yang penting dan strategis. Menurut

Romli Atmasasmita peranan pembentuk undang-undang

sangat menentukan dalam politik kriminal (criminal policy),

yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum

pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus

menjadi tujuan dari penegakan hukum. Demikian pula

buku 3 ok edited.indd 43 12/12/2012 9:26:59 AM

Page 60: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

44

pandangan Sudarto yang menyatakan bahwa pembentukan

undang-undang merupakan proses sosial dan proses politik

yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas

karena undang-undang tersebut akan memberi bentuk dan

mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-undang

mempunyai dua fungsi, yaitu: fungsi untuk mengekspresikan

nilai-nilai dan fungsi instrumental.

Pandangan tersebut ini tidak dapat dilepaskan dari sistem

hukum Indonesia yang menempatkan perundang-undangan

(hukum tertulis) sebagai sumber hukum utamanya. Oleh

karena itu dalam pembentukan undang-undang yang dilakukan

melalui proses politik harus memperhatikan persyaratan

berikut:

1. Dapat menyerap aspirasi suprastruktural;

2. Dapat mengartikulasi aspirasi infrastruktural;

3. Mengikutsertakan pandangan-pandangan kepakaran;

4. Memperhatikan kecenderungan-kecenderungan

internasional yang diakui masyarakat beradab;

5. Menjaga sinkronisasi vertikal dan horisontal;

6. Dapat menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan

antara pemikiran penertiban (ordeningsdenken) dan

pemikiran pengaturan (regelingsdenken).

Persyaratan yang harus diperhatikan oleh pembentuk

undang-undang tersebut adalah ideal untuk membentuk undang-

undang yang baik, termasuk mengenai norma pemidanaannya

yaitu undang-undang yang memenuhi landasan filosofis,

buku 3 ok edited.indd 44 12/12/2012 9:26:59 AM

Page 61: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

45

sosiologis, politis, dan adaptif. Dalam proses pembentukan

suatu undang-undang sudah seharusnya melibatkan tidak saja

unsur birokrat (eksekutif) dan legislatif (DPR) tetapi juga

melibatkan stakeholder atau unsur-unsur dari masyarakat yang

mempunyai kapabilitas untuk memenuhi persyaratan tersebut.

C. Sistem Pemidanaan

Pemidanaan berasal dari kata dasar “pidana” yang mendapat

awalan “pe” dan akhiran “an” yang dalam bahasa Indonesia awalan

dan akhiran “pe-an” tersebut merupakan pembentuk kata benda,

dengan demikian dapat diartikan pemidanaan sebagai penjatuhan

pidana atau pemberian pidana. menurut Sudarto sinonim dari

pemidanaan adalah penghukuman dalam perkara pidana.

Pengertian sistem pemidanaan menurut Hulsman dapat

mempunyai arti yang relatif luas, yaitu aturan perundang-undangan

yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan.

Selanjutnya menurut Barda Nawawi Arief bila pemidanaan diartikan

secara luas sebagai suatu proses penjatuhan atau pemberian pidana

maka sistem pemidanaan mencakup keseluruhan perundang-

undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan

atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi

pidana. Hal ini berarti semua perundang-undangan hukum pidana

substantif, hukum pidana formil, dan hukum pelaksanaan pidana

merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan. Lebih lanjut menurut

Barda sistem pemidanaan dalam arti luas berkaitan dengan sistem

hukum nasional.

Dalam penulisan ini sistem pemidanaan tidak diartikan dalam

buku 3 ok edited.indd 45 12/12/2012 9:26:59 AM

Page 62: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

46

arti luas tetapi dibatasi dalam hukum pidana substantif yang terdapat

dalam KUHP dan undang-undang di luar KUHP sebagai subsistem

pemidanaan. Menurut Barda sistem pemidanaan substantif adalah

sistem pemidanaan dalam perundangan-undangan pidana atau

keseluruhan aturan hukum pidana positif/perundang-undangan

pidana. Ketentuan-ketentuan tentang pemidanaan dalam Aturan

Umum (Buku I KUHP) maupun ketentuan penyimpangannya

dalam undang-undang di luar KUHP dan Aturan Khusus mengenai

tindak pidana (Buku II dan Buku III KUHP serta undang-undang

di luar KUHP) merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan.

Penulisan sistem pemidanaan ini akan menyoroti mengenai sistem

sanksi, jenis sanksi pidana (strafsoort), berat ringannya pidana

(strafmaat), dan cara pidana dilaksanakan (strafmodus) serta

sistem perumusan sanksi pidana.

buku 3 ok edited.indd 46 12/12/2012 9:26:59 AM

Page 63: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

47

BAB III

ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN HUKUM PIDANA

INDONESIA

DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

A. Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia di Dalam

dan di Luar KUHP

Buku I KUHP tentang Ketentuan Umum mengatur mengenai

asas, pengertian, dan ajaran hukum pidana termasuk mengenai

pemidanaan. Ketentuan-ketentuan dalam Buku I KUHP tersebut

khususnya Bab I sampai dengan Bab VIII berlaku terhadap

perbuatan-perbuatan yang diancam dengan pidana baik yang

terdapat dalam KUHP, yaitu Buku II tentang Kejahatan dan

Buku III tentang Pelanggaran maupun di luar KUHP, yaitu

perundang-undangan yang mengatur perbuatan-perbuatan

tertentu dengan ancaman pidana. Perundang-undangan pidana

tersebut dapat dikualifikasikan sebagai hukum pidana khusus atau

hukum administrasi yang memuat sanksi pidana (hukum pidana

administratif).

Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 103 KUHP yang

menyatakan bahwa “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab

VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh

ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana,

kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”. Ketentuan

Pasal 103 tersebut mengandung makna, yaitu:

buku 3 ok edited.indd 47 12/12/2012 9:26:59 AM

Page 64: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

48

1. Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII Buku I

tentang Ketentuan Umum berlaku bagi tindak pidana yang

diatur di dalam KUHP dalam hal ini Buku II tentang Kejahatan

dan Buku III tentang Pelanggaran.

2. Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII Buku I

tentang Ketentuan Umum berlaku bagi tindak pidana yang

diatur di luar KUHP atau undang-undang di luar KUHP memuat

sanksi pidana.

3. Undang-undang di luar KUHP dapat mengatur ketentuan-

ketentuan yang menyimpang dari Aturan Umum dalam Bab I

sampai Bab VIII Buku I.

Dengan demikian maka ketentuan-ketentuan mengenai

pemidanaan dalam Buku I KUHP juga berlaku bagi tindak pidana

di dalam dan diluar KUHP sepanjang undang-undang di luar

KUHP tidak mengatur lain menyimpang dari Aturan Umumnya.

Berdasarkan argumentasi tersebut dapat dipahami bahwa menurut

Barda Nawawi Arief sistem pemidanaan substansial dalam Aturan

Umum (Buku I KUHP) dipandang sebagai sistem induk dari

sistem pemidanaan dalam hukum pidana positif Indonesia atau

perundang-undangan pidana Indonesia. Sebagai suatu sistem

ketentuan-ketentuan dalam Buku I KUHP sebagai subsistem

pemidanaan merupakan satu kesatuan dan oleh karenanya juga

ketentuan-ketentuan yang mengatur pemidanaan baik dalam

Buku II dan Buku III KUHP maupun dalam perundang-undangan

di luar KUHP harus menginduk pada sistem pemidanaan dalam

Buku I KUHP. Apabila ketentuan pemidanaan dalam perundang-

buku 3 ok edited.indd 48 12/12/2012 9:26:59 AM

Page 65: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

49

undangan di luar KUHP tidak sesuai (compatible) dengan sistem

induknya maka ketentuan pemidanaan tersebut tidak dapat

diimplementasikan.

Buku I KUHP Bab I sampai Bab VIII mengatur ketentuan-

ketentuan sebagai berikut:

1. Bab I - Batas-batas berlakunya Aturan Pidana dalam Perundang-

undangan.

2. Bab II – Pidana.

3. Bab III - Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau

Memberatkan Pidana.

4. Bab IV – Percobaan.

5. Bab V - Penyertaan Dalam Tindak Pidana.

6. Bab VI - Perbarengan Tindak Pidana.

7. Bab VII - Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan dalam

Hal Kejahatan-kejahatan yang Hanya Dituntut atas Pengaduan.

8. Bab VIII - Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan

Menjalankan Pidana.

Dari kedelapan Bab tersebut, yang berkaitan dengan sistem

pemidanaan adalah Bab II tentang Pidana, Bab III tentang Hal-

hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana,

dan Bab VIII tentang Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana

dan Menjalankan Pidana. Ketentuan mengenai pemidanaan di

samping yang ada dalam KUHP juga dalam perundang-undangan

di luar KUHP. Analisis akan dilakukan terhadap KUHP dan

perundang-undangan di luar KUHP dalam konteks satu kesatuan

sistem pemidanaan.

buku 3 ok edited.indd 49 12/12/2012 9:26:59 AM

Page 66: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

50

1. Strafsoort (Jenis-jenis Pidana)

Jenis-jenis pidana menurut KUHP terdiri dari pidana pokok

dan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 10:

a. Pidana pokok, yaitu:

1) pidana mati;

2) pidana penjara;

a) seumur hidup; atau

b) selama waktu tertentu: paling pendek 1 hari, paling

lama 15 tahun. Tidak boleh lebih dari 20 tahun dan

alternatif dengan pidana mati atau seumur hidup.

3) pidana kurungan;

Paling sedikit 1 hari dan paling lama 1 tahun. Pemberatan

kurungan dapat menjadi 1 tahun 4 bulan.

4) pidana denda;

5) pidana tutupan. Pidana tutupan didasarkan pada Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman

Tutupan.

b. Pidana tambahan, yaitu:

1) pencabutan hak-hak tertentu;

2) perampasan barang-barang tertentu;

3) pengumuman putusan hakim.

Di samping jenis sanksi berupa pidana, dalam KUHP

juga diatur jenis sanksi berupa tindakan sebagaimana diatur dalam

Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 dan Pasal 46. Jenis sanksi berupa

tindakan tersebut adalah:

a. Hakim dapat memerintahkan supaya orang yang tidak dapat

buku 3 ok edited.indd 50 12/12/2012 9:26:59 AM

Page 67: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

51

dipertangungjawabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya

atau terganggu karena penyakit dimasukkan ke rumah sakit

jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. (Pasal

44 ayat 2)

b. Hakim dapat memerintahkan supaya anak yang bersalah, yang

belum cukup umur (minderjarig) atau sebelum umur 16 tahun

untuk:

1) dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau

pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau

2) memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada

pemerintah tanpa pidana apa pun (Pasal 45).

Jika diserahkan pada pemerintah dan anak tersebut dimasukkan

dalam rumah pendidikan negara maka penyelenggaraannya

didasarkan pada Dwangopvoedingregeling (Lembaga Pendidikan

Paksa) Staatsblaad 1916 Nomor 741. Pendidikan negara tersebut

agar anak tersebut menerima pendidikan dari pemerintah atau di

kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang

tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu

badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan

di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di

kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain;

dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah

itu mencapai umur delapan belas tahun.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa

pada dasarnya KUHP telah menganut sistem sanksi dua jalur

(double track system) yaitu pidana dan tindakan walaupun tidak

buku 3 ok edited.indd 51 12/12/2012 9:26:59 AM

Page 68: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

52

dinyatakan secara tegas dalam rumusan pasalnya.

Jenis-jenis pidana yang dipergunakan dalam perundang-

undangan di luar KUHP pada dasarnya sama dengan yang diatur

dalam Pasal 10 KUHP, yaitu:

1) pidana mati

2) pidana penjara

3) pidana kurungan

4) pidana denda

Pidana tutupan tidak pernah digunakan dalam undang-undang di

luar KUHP.

Pada umumnya jenis pidana yang sering digunakan adalah pidana

penjara dan pidana denda, hampir setiap undang-undang di luar

KUHP yang memuat ancaman pidana menggunakan pidana

penjara dan pidana denda. Dari 55 undang-undang di luar KUHP

yang diteliti hanya 3 undang-undang yang tidak menggunakan

pidana penjara, yaitu Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan

Hewan (menggunakan pidana kurungan dan denda), Undang-

Undang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

(hanya menggunakan pidana denda), dan Undang-Undang

Jaminan Sosial Tenaga Kerja (menggunakan pidana kurungan

dan denda), sedangkan pidana denda digunakan hampir di semua

undang-undang kecuali Undang-Undang Pengadilan HAM.

Undang-undang di luar KUHP yang menggunakan pidana mati

hanya 4 undang-undang, yaitu Undang-Undang Psikotropika,

Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Terorisme, dan

Undang-Undang Pengadilan HAM.

buku 3 ok edited.indd 52 12/12/2012 9:26:59 AM

Page 69: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

53

Pidana tambahan dalam beberapa undang-undang di luar

KUHP diatur secara tersendiri. Dari 55 undang-undang yang

diteliti, 24 undang-undang mengatur pidana tambahan.

Berikut beberapa jenis pidana tambahan yang diatur dalam

undang-undang di luar KUHP:

a. Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi

1) pencabutan hak dalam Pasal 35 KUHP untuk selama waktu

tertentu.

2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan terpidana

paling lama 1 tahun.

3) perampasan barang-barang tidak tetap yang berwujud dan

yang tak berwujud, yang termasuk perusahaan

terpidana.

4) pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau

penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu,

yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh

Pemerintah.

5) pengumuman putusan hakim.

b. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

1) Pidana tambahan dalam KUHP

a) pencabutan hak-hak tertentu;

b) perampasan barang-barang tertentu;

c) pengumuman putusan hakim.

2) Pidana tambahan lain berupa: (Pasal 18)

a) perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang

tidak berwujud;

buku 3 ok edited.indd 53 12/12/2012 9:26:59 AM

Page 70: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

54

b) pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-

banyaknya dengan harta benda yang diperoleh dari

tindak pidana korupsi;

c) penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu

paling lama 1 (satu) tahun;

d) pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau

penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang

telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada

terpidana.

c. Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang

1) Pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya (Pasal 8

ayat (2));

2) pencabutan izin usaha;

3) perampasan kekayaan hasil tindak pidana;

4) pencabutan status badan hukum;

5) pemecatan pengurus; dan/atau

6) pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan

korporasi dalam bidang usaha yang sama.

d. Undang-Undang Pornografi

1) pembekuan izin usaha;

2) pencabutan izin usaha;

3) perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan

4) pencabutan status badan hukum.

e. Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang

1) pengumuman putusan hakim;

buku 3 ok edited.indd 54 12/12/2012 9:27:00 AM

Page 71: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

55

2) pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;

3) pencabutan izin usaha;

4) pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;

5) perampasan aset Korporasi untuk negara.

f. Undang-Undang Psikotropika

Pencabutan izin usaha

g. Undang-Undang Perlindungan Konsumen

1) perampasan barang tertentu;

2) pengumuman keputusan hakim;

3) pembayaran ganti rugi;

4) perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan

timbulnya kerugian konsumen;

5) kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau

6) pencabutan izin usaha.

h. Undang-Undang Telekomunikasi

Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam

tindak pidana dirampas untuk negara dan/atau dimusnahkan.

i. Undang-Undang Paten

Barang hasil pelanggaran paten disita untuk dimusnahkan.

j. UU Minyak dan Gas Bumi

1) Pencabutan hak atau

2) Perampasan barang yang digunakan untuk atau yang

diperoleh dari tindak pidana

k. Undang-Undang Hak Cipta

Ciptaan atau barang hasil tindak pidana hak cipta atau hak

terkait serta alat yang digunakan dirampas oleh negara untuk

buku 3 ok edited.indd 55 12/12/2012 9:27:00 AM

Page 72: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

56

dimusnahkan.

l. Undang-Undang Perkebunan

Semua benda hasil tindak pidana dapat dirampas dan/atau

dimusnahkan oleh negara.

m. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah

Tangga

1) pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk

menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu

tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;

2) penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah

pengawasan lembaga tertentu.

n. Undang-Undang Praktik Kedokteran

Pencabutan izin.

o. Undang-Undang Kewarganegaraan RI

Dicabut izin usahanya.

p. Undang-Undang Penanggulangan Bencana

1) Pencabutan izin usaha; atau

2) Pencabutan status badan hukum.

q. Undang-Undang Penataan Ruang

1) Pencabutan izin usaha dan/atau

2) Pencabutan status badan hukum

3) Pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya

r. Undang-Undang Pelayaran

Pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.

s. UU Pertambangan, Mineral dan Batubara

1) Pencabutan izin usaha; dan/atau

buku 3 ok edited.indd 56 12/12/2012 9:27:00 AM

Page 73: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

57

2) Pencabutan status badan hukum

3) Perampasan barang yang digunakan dalam melakukan

tindak pidana

4) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

dan/atau

5) Kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak

pidana.

t. Undang-Undang Peternakan Kesehatan Hewan

Pencabutan izin usaha, status badan hukum atau status

kepegawaian dari pejabat yang berwenang.

u. Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

1) pencabutan Surat Izin Mengemudi atau

2) ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu

lintas.

3) pembekuan sementara atau

4) pencabutan izin penyelenggaraan angkutan bagi kendaraan

yang digunakan.

v. Undang-Undang Narkotika

1) pencabutan izin usaha; dan/atau

2) pencabutan status badan hukum.

3) Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasil-hasil yang

diperoleh dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak

pidana Prekursor Narkotika dirampas untuk negara.

w. Undang-Undang Perikanan

Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang

dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk

buku 3 ok edited.indd 57 12/12/2012 9:27:00 AM

Page 74: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

58

negara.

Perumusan pidana tambahan dalam undang-undang di luar

KUHP disesuaikan dengan karateristik tindak pidananya

sehingga beberapa undang-undang mengatur pidana tambahan

yang berbeda dengan undang-undang yang lain.

Beberapa undang-undang di luar KUHP juga mengatur

sanksi berupa tindakan (treatment/maatregel) secara bervariasi

sesuai dengan karakteristik tindak pidananya, antara lain:

1) Undang-Undang tindak Pidana Ekonomi

a) penempatan perusahaan si-terhukum, di mana dilakukan

suatu tindak-pidana ekonomi di bawah pengampuan untuk

waktu tertentu ( tiga tahun, kejahatan dan 2 tahun untuk

pelanggaran).

b) kewajiban membayar uang-jaminan selama waktu tertentu.

c) kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak,

meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan

jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain,

semua atas biaya terpidana sekadar hakim tidak menentukan

lain.

2) Undang-Undang Pemberantasan Terorisme

Dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai

korporasi yang terlarang

3) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup

a) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;

dan/atau

b) penutupan seluruhnya atau sebagaian perusahaan; dan/atau

buku 3 ok edited.indd 58 12/12/2012 9:27:00 AM

Page 75: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

59

c) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau

d) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak;

dan/atau

e) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau

f) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling

lama 3 (tiga) tahun.

4) Undang-Undang Narkotika

Kewajiban untuk rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Dalam Undang-Undang Pemberantasan Terorisme di atas

“pembekuan atau pencabutan izin usaha korporasi” menjadi

sanksi berupa tindakan sedangkan dalam undang-undang lain

menjadi pidana tambahan.

Berdasarkan jenis-jenis sanksi yang diatur dalam undang-

undang di luar KUHP sebagaimana diuraikan di atas maka pada

umumnya sistem sanksi yang dianut adalah sistem satu jalur,

yaitu hanya menggunakan sanksi pidana saja baik pidana pokok

saja maupun dengan pidana tambahan (51 undang-undang dari

55 undang-undang di luar KUHP yang diteliti). Hanya 4 undang-

undang di luar KUHP yang menggunakan sistem dua jalur (double

track system), yaitu sanksi pidana dan tindakan.

Penggunaan jenis sanksi pidana pokok pada dasarnya

sesuai dengan sistem induknya yang diatur dalam Buku I

KUHP, sedangkan pidana tambahan dan tindakan banyak yang

menyimpang dari ketentuan umumnya. Penyimpangan ini

dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 103 KUHP, namun

untuk penggunaan pidana tambahan harus tetap memperhatikan

buku 3 ok edited.indd 59 12/12/2012 9:27:00 AM

Page 76: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

60

tujuan pemidanaan karena tidak dapat dilepaskan dari pidana

pokoknya. Demikian pula penggunaan “tindakan” harus

memperhatikan hakikatnya yang tidak bersifat penghukuman

tetapi lebih pada memulihkan keadaan.

2. Strafmaat (Berat ringannya Pidana)

Strafmaat atau penetapan berat ringannya pidana dalam

KUHP menganut sistem maksimum (indefinite), dengan

minimum umum yang sangat rendah, yaitu 1 hari untuk pidana

penjara dan pidana kurungan. Pidana pengganti denda adalah

pidana kurungan paling sedikit 1 hari dan paling lama 6 bulan.

Jika ada pemberatan pidana kurungan pengganti denda dapat

menjadi 8 bulan. Dalam KUHP tidak diatur mengenai sanksi

pidana minimum khusus.

Dalam undang-undang di luar KUHP terdapat 3 sistem yang

digunakan, yaitu:

a. Sistem maksimum (indefinite) dan tidak ada sanksi

minimum khusus. Sanksi pidana hanya merumuskan

pidana maksimumnya saja sehingga penerapannya akan

berpedoman pada sistem KUHP.

b. Sistem minimum khusus. Sanksi pidana merumuskan sanksi

minimum yang dapat dijatuhkan dan tetap merumuskan

sanksi maksimumnya.

c. Sistem maksimum (indefinite) dan minimum khusus.

Sanksi pidana dalam undang-undang dirumuskan dengan

menggunakan sistem maksimum sebagaimana dianut

buku 3 ok edited.indd 60 12/12/2012 9:27:00 AM

Page 77: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

61

KUHP dan menggunakan sistem minimum khusus.

Walaupun sistem maksimum dipandang memiliki

kelemahan karena berpeluang menimbulkan adanya disparitas

pidana dan pidana penjara akan dijatuhkan sangat rendah,

namun alternatif menggunakan sistem minimum khusus juga

belum tentu merupakan solusi yang baik dan tetap. Apabila

sistem minimum khusus dimaksudkan untuk mengurangi

disparitas pidana dalam rangka keadilan pihak korban dan/atau

masyarakat namun dalam saat yang sama penggunaan sistem

minimum khusus dapat juga mengancam keadilan tersangka

dan/atau masyarakat. Hal ini berdasarkan pertimbangan

bahwa kualitas tindak pidana dapat berbeda-beda, dari mulai

gradasi yang paling rendah dengan sifat ketercelaan yang

rendah pula sampai gradasi yang paling tinggi dengan sifat

ketercelaan yang sangat tercela dan untuk itu tidak mungkin

ditentukan sanksi minimum pada tingkatan tertentu yang juga

diberlakukan pada tindak pidana dengan sifat ketercelaan yang

relatif rendah. Di samping itu berdasarkan kenyataan dalam

praktik pengadilan disparitas pidana dalam penerapan undang-

undang yang menggunakan sistem minimum khusus juga tetap

tidak dapat dihindarkan karena pada akhirnya tergantung dari

hakim yang memutuskan.

Penggunaan sistem minimum khusus dalam undang-

undang di luar KUHP juga patut dikritisi karena tampaknya

tidak didasarkan pemahaman yang baik mengenai fungsi dan

urgensi sanksi minimum khusus. Sanksi minimum khusus

buku 3 ok edited.indd 61 12/12/2012 9:27:00 AM

Page 78: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

62

digunakan untuk pidana yang relatif ringan, yaitu pidana

penjara minimum dalam hitungan hari atau bulan dan

selisih dengan pidana maksimum juga hanya beberapa bulan

(tidak sampai satu tahun), di samping juga digunakan untuk

pidana kurungan. Penggunaan sanksi minimum khusus untuk

pidana yang relatif ringan tidak akan mempunyai fungsi apa-

apa. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah Pasal 115

misalnya terdapat rumusan “pidana penjara paling singkat

15 (lima belas) hari dan paling, lama 3 (tiga) bulan dan/atau

denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan

paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)”. Tidak ada

pola atau pedoman pemidanaan dalam penggunaan sistem

minimum khusus dalam berbagai undang-undang di luar

KUHP. Hal ini menyebabkan berbagai ketentuan tersebut tidak

efektif seperti halnya putusan Pengadilan HAM kasus Timor

Timur yang menjatuhkan pidana di bawah minimum khusus

yang sudah ditentukan undang-undang karena dipandang

apabila dijatuhkan pidana minimum khusus dipandang tidak

proporsional dan tidak adil.

Penetapan pidana penjara dalam berbagai undang-

undang di luar KUHP menunjukkan disparitas yang relatif

drastis perbedaannya. Dalam undang-undang tertentu seperti

Undang-Undang Pemerintahan Daerah pidana penjara yang

ditetapkan hanya hitungan hari atau bulan sedangkan dalam

undang-undang lain seperti Undang-Undang ITE, Undang-

buku 3 ok edited.indd 62 12/12/2012 9:27:00 AM

Page 79: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

63

Undang Narkotika, Undang-Undang Psikotropika, dll.

ditetapkan lebih dari 5 tahun bahkan sampai 20 tahun atau

seumur hidup. Padahal untuk beberapa perbuatan tampaknya

tidak terlalu membahayakan atau merugikan masyarakat dan

termasuk pelanggaran administratif yang relatif ringan. Tidak

ada pola atau pedoman pemidanaan yang digunakan dalam

penetapan sanksi pidana dalam undang-undang di luar KUHP.

Demikian pula penetapan sanksi pidana denda dalam

undang-undang di luar KUHP menunjukkan tidak adanya

pola dan pedoman pemidanaan yang jelas. Dalam undang-

undang tertentu pidana denda yang ditetapkan hanya

ratusan ribu namun dalam undang-undang lainnya sampai

miliar rupiah bahkan triliun rupiah. Selanjutnya penetapan

apakah pidana penjara dan pidana denda ditetapkan secara

kumulatif, alternatif, atau kumulatif alternatif juga tidak jelas

dasar penetapannya. Penetapan-penetapan tersebut seperti

terlepas dari tujuan pemidanaan yang sesuai dengan negara

Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bahkan

kecenderungannya adalah dalam setiap undang-undang yang

dibentuk selalu ada ketentuan pidananya walaupun undang-

undang tersebut termasuk dalam bidang hukum perdata atau

hukum administrasi. Tampak fungsi pidana yang subsidair,

ultimum remedium tidak menjadi pertimbangan dalam

kebijakan hukum pidananya. Ketentuan-ketentuan dalam

KUHP baik Buku I maupun Buku II dan Buku III tidak dijadikan

pedoman atau acuan dalam kebijakan hukum pidana undang-

buku 3 ok edited.indd 63 12/12/2012 9:27:00 AM

Page 80: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

64

undang di luar KUHP sebagai bagian dari upaya harmonisasi.

Walaupun KUHP sudah ketinggalan zaman namun sistem

pemidanaan dalam Buku I KUHP merupakan sistem induk

yang berlaku untuk semua ketentuan yang mengatur tindak

pidana.

Dalam Undang-Undang Pengadilan HAM sanksi pidana

penjara dirumuskan menyimpang dari ketentuan dalam KUHP,

yaitu adanya sanksi pidana penjara paling lama 25 tahun. Dalam

KUHP ditentukan pidana penjara tertentu tidak boleh lebih dari

20 tahun. Walaupun penyimpangan tersebut dimungkinkan,

namun penentuan pidana penjara paling lama 25 tahun harus

mempunyai dasar yang jelas, karena penggunaan sanksi pidana

penjara 20 tahun dirumuskan alternatif dengan pidana mati

atau pidana penjara seumur hidup. karakteristik pelanggaran

HAM berat yang dipandang sebagai extra ordinary crime

sesungguhnya masih dapat menggunakan sanksi maksimum

yang dianut dalam KUHP.

Penyimpangan lain penentuan strafmaat dalam undang-

undang di luar KUHP adalah:

a. Penetapan pidana pengganti denda, yang menurut KUHP

adalah 1 tahun kurungan dan dengan pemberatan sampai

1 tahun 4 bulan. Dalam Undang-Undang Perlindungan

saksi dan korban pidana pengganti denda adalah pidana

penjara dan menggunakan sistem minimum khusus, yaitu

pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3

buku 3 ok edited.indd 64 12/12/2012 9:27:00 AM

Page 81: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

65

tahun. Dalam Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli

dan Persaingan usaha Tidak Sehat pidana pengganti

denda ditetapkan bervariasi yaitu pidana kurungan antara

3 bulan s.d. 6 bulan. Sedangkan dalam Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur:

1) Pidana tambahan berupa membayar uang pengganti tidak

dilaksanakan paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan

sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita

oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti

tersebut. (Pasal 18 ayat (2)

2) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda

yang mencukupi untuk membayar uang pengganti

dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak

melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya

dan karenanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam

putusan pengadilan. (Pasal 18 ayat (3)

b. pemberatan pidana ditetapkan berbeda-beda, antara lain:

1) dipidana dengan pidana pokok ditambah 1/3.

2) sanksi pidana ditambah ¼ bila menimbulkan luka berat.

3) transanksi pidana ditambah 1/3 bila menimbulkan

kematian.

4) ancaman pidana denda diperberat 1/3.

5) pidana pokok dan ditambah 2/3 dari pidana pokok.

6) pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang

dijatuhkan.

buku 3 ok edited.indd 65 12/12/2012 9:27:00 AM

Page 82: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

66

c. penetapan pidana untuk korporasi (badan hukum dan bukan

badan hukum) ditetapkan berbeda-beda, antara lain:

1) pidana denda terhadap korporasi maksimum pidana

pokok dikalikan 3 (tiga).

2) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah

pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00

(seratus miliar rupiah).

3) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap

korporasi hanya pidana denda, paling banyak Rp.

1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah).

4) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi

hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum

pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).

5) Pidana untuk korporasi dikenakan pidana denda sebesar

Rp. 5.000.000.000,-.

6) Pidana untuk korporasi dikenakan pidana denda 2 kali

pidana denda yang berlaku.

7) Pidana untuk badan usaha atau bentuk usaha tetap adalah

pidana denda dengan ketentuan paling tinggi pidana

denda ditambah sepertiganya.

8) Pidana untuk badan usaha adalah pidana denda ditambah

1/3 denda yang dijatuhkan.

9) Pidana untuk korporasi berupa pidana denda dengan

pemberatan 3 kali dari pidana pokok.

10) Pidana terhadap badan hukum berupa pidana denda

dengan pemberatan ditambah 1/3 kali dari ketentuan

buku 3 ok edited.indd 66 12/12/2012 9:27:00 AM

Page 83: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

67

maksimum pidana denda yang dijatuhkan.

KUHP tidak mengatur mengenai korporasi (badan

hukum dan bukan badan hukum) sebagai subjek tindak

pidana, sehingga dalam KUHP tidak ada pengaturan mengenai

pemidanaan terhadap korporasi. Seiring dengan perkembangan

masyarakat dan ilmu pengetahuan saat ini, berkat sumbangan

dari kriminologi sudah diakui dan diterima masyarakat bahwa

korporasi adalah subjek hukum termasuk juga subjek tindak

pidana dan oleh karenanya dapat dipertanggungjawabkan

secara pidana. Dalam berbagai undang-undang di luar KUHP

sudah mulai diatur mengenai korporasi sebagai subjek tindak

pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Dalam

berbagai undang-undang sudah dirumuskan dalam Ketentuan

Umum atau juga Penjelasan Pasal mengenai arti kata “orang”

yang diartikan sebagai orang perorangan atau korporasi baik

badan hukum maupun bukan badan hukum. Dalam undang-

undang lain dirumuskan secara berbeda atau spesifik badan

hukum atau badan usaha, namun pada prinsipnya adalah

pengakuan bahwa korporasi adalah subjek hukum.

Ditinjau dari sistem pemidanaan perumusan pengertian

orang adalah termasuk juga korporasi tidak serta merta

korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Hal

ini disebabkan Buku I KUHP tidak mengatur mengenai

pemidanaan untuk korporasi sehingga tidak otomatis berlaku

sebagaimana asas-asas hukum pidana atau ajaran-ajaran hukum

pidana yang sudah diatur dalam Buku I KUHP. Untuk itu perlu

buku 3 ok edited.indd 67 12/12/2012 9:27:00 AM

Page 84: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

68

adanya aturan umum dalam undang-undang tersebut yang

menyimpangi Buku I KUHP yaitu pedoman pemidanaan untuk

korporasi. Beberapa undang-undang yang sudah mengatur

pedoman pemidanaan untuk korporasi adalah Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang

Pornografi, Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang

Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Praktik Kedokteran,

Undang-Undang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang

Penataan Ruang, Undang-Undang Pelayaran, Undang-Undang

Penerbangan, Undang-Undang Pertambangan, Mineral dan

Batubara, Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan,

Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-

Undang Pecegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang.

Pengaturan pedoman pemidanaan untuk korporasi

dalam undang-undang di luar KUHP merupakan keharusan

agar ketentuan pidana dapat diimplementasikan kepada

korporasi. Undang-undang lainnya belum mengatur pedoman

pemidanaan untuk korporasi dan oleh karenanya ketentuan

pidana dalam undang-undang tersebut tidak implementatif.

Diperlukan keberanian aparat penegak hukum terutama hakim

untuk menafsirkan dan mengimplementasikan ketentuan

pidana terhadap korporasi yang tidak mengatur pedoman

pemidanaannya.

buku 3 ok edited.indd 68 12/12/2012 9:27:00 AM

Page 85: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

69

Kenyataan tersebut di atas menujukkan adanya

permasalahan dalam kebijakan legislatif di bidang hukum

pidana. Penyusunan naskah akademis sebagai dasar penyusunan

suatu Rancangan Undang-Undang yang melibatkan berbagai

stake holder sangat diperlukan agar RUU yang dibentuk

memiliki landasan ilmiah ditinjau dari berbagai aspek. Naskah

Akademis seyogianya bukan hanya sekedar pelengkap untuk

mengajukan suatu RUU ke DPR tetapi harus disusun secara

sungguh-sungguh dan komprehensif

3. Strafmodus (Cara Pidana Dilaksanakan)

KUHP berserta perundang-undangan pelaksanaan lainnya

sudah mengatur cara-cara pelaksanaan pidana antara lain:

a. Pidana bersyarat atau voorwaardelijke veroordeling

sebagaimana diatur dalam Pasal 14a s.d. Pasal 14f KUHP.

b. Pelepasan bersyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 15 s.d.

Pasal 17 KUHP.

c. Pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam UU

Pemasyarakatan. Berkaitan dengan hal ini Barda Nawawi

Arief mengkritisi masih adanya kelemahan dari lembaga

pidana bersyarat dan pelepasan bersyarat. Pidana seumur

hidup tidak bisa mendapat pelepasan bersyarat. Sedangkan

pelaksanaan pidana lebih bersifat kelembagaan dan kurang

berorientasi pada tindakan yang bersifat individual dan

sosial. Di samping itu alternatif pidana lainnya agar tidak

menggunakan penjara sangat sedikit.

Perkembangan individualisasi pidana sesungguhnya

buku 3 ok edited.indd 69 12/12/2012 9:27:00 AM

Page 86: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

70

sudah memberikan berbagai aternatif dalam menetapkan

cara pidana untuk dilaksanakan. Namun demikian dalam

undang-undang di luar KUHP hal ini tidak nampak sehingga

ketentuan mengenai cara pelaksanaan pidana didasarkan

pada KUHP sebagai sistem induknya. Beberapa strafmodus

yang diatur dalam undang-undang di luar KUHP antara lain:

1) Undang-Undang Pemberantasan Terorisme

Penjatuhan pidana minimum khusus, pidana mati, atau

pidana penjara seumur hidup tidak berlaku untuk pelaku

yang berusia 18 tahun. (Pasal 19 dan 24)

2) Undang-Undang Perikanan

Barang dan/alat yang dirampas selanjutnya akan dilelang

untuk negara.

Berdasarkan uraian tersebut baik kelemahan-kelemahan

dalam KUHP maupun kelangkaan pengaturan mengenai

strafmodus dalam undang-undang di luar KUHP maka

perlu adanya pembaharuan dalam Buku I KUHP yang

mengenai cara-cara pelaksanaan pidana yang lebih

manusiawi.

B. Perumusan Sanksi Pidana di Dalam dan di Luar KUHP

Perumusan sanksi pidana dalam hukum pidana positif

Indonesia merupakan aspek lain dalam sistem pemidanaan yang

penting. Tidak ada pola atau pedoman yang dapat digunakan

pembentuk Undang-undang dalam merumuskan sanksi pidana.

buku 3 ok edited.indd 70 12/12/2012 9:27:00 AM

Page 87: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

71

Perumusan sanksi pidana dapat mempengaruhi terhadap

implementasinya oleh aparat penegak hukum dan dapat melanggar

hak asasi manusia.

Sebelumnya akan dijelaskan perumusan sanksi pidana

dalam KUHP. Jenis pidana sebagaimana diatur dalam Pasal

10 KUHP dalam perumusan sanksi pidana dirumuskan dalam

berbagai bentuk antara lain:

1. Pidana mati dirumuskan secara alternatif dengan pidana penjara

seumur hidup dan pidana penjara 20 tahun. Perumusannya

adalah “diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup

atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.

2. Pidana seumur hidup dirumuskan secara alternatif dengan

pidana penjara. Perumusannya adalah “diancam pidana

penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama

dua puluh tahun”.

3. Pidana penjara dirumuskan secara tunggal. Perumusannya

adalah “diancam dengan pidana penjara paling lama ....”.

4. Pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan pidana

kurungan. Perumusannya adalah “diancam dengan pidana

penjara paling lama ... atau kurungan paling lama ...”.

5. Pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan pidana

kurungan dan pidana denda. Perumusannya adalah “diancam

dengan pidana penjara paling lama .... atau kurungan paling

lama ... atau denda paling banyak ...”.

6. Pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan pidana

buku 3 ok edited.indd 71 12/12/2012 9:27:00 AM

Page 88: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

72

denda. Perumusannya adalah “diancam dengan pidana penjara

paling lama ... atau denda paling banyak ...”.

7. Pidana kurungan dirumuskan secara tunggal. Perumusannya

adalah ““diancam dengan kurungan paling lama ... ”.

8. Pidana kurungan dirumuskan secara alternatif dengan pidana

denda. Perumusannya adalah “diancam dengan kurungan

paling lama ... atau denda paling banyak ...”.

9. Pidana denda dirumuskan secara tunggal. Perumusannya

adalah “diancam dengan denda paling banyak ...”. Berdasarkan perumusan sanksi pidana dalam KUHP tersebut

maka dapat disimpulkan bahwa KUHP pada prinsipnya menganut sistem perumusan tunggal dan alternatif. Perumusan sanksi pidana pada tindak pidana dalam KUHP hanya merumuskan pidana pokoknya. Pidana tambahan dirumuskan secara fakultatif, kecuali perampasan barang.

Perumusan tunggal paling banyak digunakan untuk pidana penjara, yaitu sebanyak 70 % dan hampir ada dalam setiap Bab pada Buku II KUHP dan hanya 2 bab yang tidak memuat perumusan pidana penjara tunggal. Untuk pidana kurungan perumusan tunggal hanya ada dalam 2 tindak pidana, sedangkan untuk pidana denda yang dirumuskan secara tunggal hanya dalam 1 tindak pidana. Pidana penjara seumur hidup tidak dirumuskan secara tunggal tetapi selalu dirumuskan secara alternatif dengan pidana mati dan pidana penjara selama waktu tertentu. Demikian pula dengan pidana mati tidak dirumuskan secara tunggal tetapi secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu.

buku 3 ok edited.indd 72 12/12/2012 9:27:01 AM

Page 89: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

73

Berbeda dengan perumusan sanksi pidana dalam KUHP, perumusan sanksi pidana dalam undang-undang di luar KUHP lebih banyak menggunakan sistem kumulatif dan kumulatif alternatif. Dari 55 undang-undang yang diteliti berikut penggunaan berbagai sistem perumusan sanksi pidana dalam undang-undang di luar KUHP:a. Perumusan sanksi pidana secara Kumulatif Alternatif

digunakan dalam 26 undang-undang.b. Perumusan sanksi pidana secara Kumulatif digunakan dalam

25 undang-undang.c. Perumusan sanksi pidana secara Alternatif digunakan dalam

23 undang-undang.d. Perumusan sanksi pidana secara Tunggal digunakan dalam 15

undang-undang.Di samping 4 bentuk perumusan sanksi pidana ada bentuk

perumusan sanksi pidana lain yang tidak dapat dimasukkan dalam kategorisasi tersebut dan dapat disebut perumusan sanksi pidana secara alternatif dan kumulatif, yaitu dalam satu rumusan tindak pidana psikotropika pada penggunaan pidana mati yang dirumuskan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara 20 tahun dan dikumulatifkan dengan pidana denda.

Dari kelima perumusan sanksi pidana tersebut, dalam satu undang-undang pada umumnya menggunakan lebih dari 1 bentuk perumusan sanksi pidana secara bervariasi, misalnya perumusan sanksi pidana tunggal dengan perumusan sanksi pidana alternatif, perumusan sanksi pidana tunggal dengan perumusan sanksi pidana kumulatif, perumusan sanksi pidana tunggal dengan perumusan

buku 3 ok edited.indd 73 12/12/2012 9:27:01 AM

Page 90: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

74

sanksi pidana kumulatif-alternatif, perumusan sanksi pidana alternatif dengan perumusan sanksi pidana kumulatif, dan bahkan ada yang menggunakan keempat bentuk perumusan sanksi pidana tersebut.

Jenis pidana yang digunakan dalam berbagai perumusan sanksi pidana tersebut juga bervariasi, namun paling banyak adalah pidana penjara dan pidana denda yang dirumuskan baik secara tunggal, alternatif, kumulatif, maupun kumulatif-alternatif. Pidana mati sebagaimana perumusan sanksi pidana dalam KUHP dirumuskan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu. Demikian pula pidana penjara seumur hidup dirumuskan secara alternatif dengan pidana mati dan/atau pidana penjara selama waktu tertentu. Berikut beberapa teknik perumusan sanksi pidana tersebut di atas dalam undang-undang di luar KUHP:1. Perumusan sanksi pidana tunggal

a) dipidana dengan pidana penjara paling lama .... dan paling singkat ....

b) dipidana dengan pidana penjara paling singkat .... dan paling lama ....

c) dipidana dengan pidana penjara paling lama .... d) dipidana dengan pidana kurungan paling lama .... e) dipidana dengan pidana denda .... f) dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit ... dan paling

banyak .... 2. Perumusan sanksi pidana alternatif

a) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya ... atau

buku 3 ok edited.indd 74 12/12/2012 9:27:01 AM

Page 91: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

75

denda sebanyak-banyaknya ... b) dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur

hidup atau pidana penjara 25 tahun dan paling singkat .... c) dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup d) dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup

atau pidana penjara paling singkat ... dan paling lama .... e) dipidana dengan pidana kurungan paling lama ... atau

denda setinggi-tingginya ... . f) diancam pidana denda serendah-rendahnya ... dan setinggi-

tingginya ... atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya ... . .

g) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... atau pidana denda paling banyak ....

h) dipidana dengan pidana kurungan paling lama ... atau denda paling tinggi ....

i) dipidana dengan pidana penjara paling singkat ... dan pidana penjara paling lama ... atau denda paling sedikit ... dan denda paling banyak ...

j) dipidana ... atau denda paling banyak .... k) dijatuhi dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup,

atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun. 3. Perumusan sanksi pidana kumulatif

a) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya ... dan denda sebanyak-banyaknya ...

b) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat ... dan paling lama ... dan denda paling sedikit ... dan paling banyak ....

c) dipidana dengan pidana penjara paling singkat ... dan paling

buku 3 ok edited.indd 75 12/12/2012 9:27:01 AM

Page 92: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

76

lama ... dan denda paling sedikit ... dan paling banyak .... d) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... dan denda

paling banyak .... e) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... dan pidana

denda paling banyak .... f) diancam dengan pidana penjara paling lama ... dan denda

paling banyak ... . g) diancam dengan pidana kurungan paling lama ... dan denda

paling banyak ... . h) diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya ...

dan paling lama ... serta denda sekurang-kurangnya ... dan paling banyak ....

i) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... dan denda paling tinggi ....

j) dipidana dengan pidana penjara paling singkat ... dan paling lama ... serta denda paling sedikit ... dan paling banyak ...

4. Perumusan sanksi pidana kumulatif-alternatif a) dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya ... dan

hukuman denda setinggi-tingginya ..., atau dengan salah satu dari hukuman-pidana itu

b) dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya ... dan hukuman denda setinggi-tingginya ... , atau dengan salah satu dari hukuman-pidana itu.

c) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat ... dan paling lama ... dan/atau denda paling sedikit ... dan paling banyak ....

d) dipidana dengan pidana penjara paling singkat ... dan

buku 3 ok edited.indd 76 12/12/2012 9:27:01 AM

Page 93: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

77

paling lama ... dan/atau denda paling sedikit ... dan paling banyak ....

e) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... dan/atau denda paling banyak ....

f) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... dan/atau pidana denda paling banyak ....

g) dipidana dengan pidana penjara paling singkat ... dan paling lama ... dan/atau pidana denda paling sedikit .... dan paling banyak ....

h) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... dan atau pidana denda paling banyak ... .

i) dipidana dengan pidana kurungan paling lama ... dan atau pidana denda paling banyak ... .

j) diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya ... dan paling lama ... dan/atau denda sekurang-kurangnya ... dan paling banyak ....

k) dipidana dengan pidana penjara paling singkat ... dan/atau denda paling sedikit ... atau pidana penjara paling lama ... dan/atau denda paling banyak.

l) dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat ... dan paling lama ... dan/atau denda paling sedikit ... dan paling banyak ...

m) diancam dengan pidana penjara paling singkat ... atau paling lama ... dan/atau denda paling sedikit ... atau paling banyak ....

5. Perumusan sanksi pidana alternatif dan kumulatif Dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur

buku 3 ok edited.indd 77 12/12/2012 9:27:01 AM

Page 94: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

78

hidup atau pidana penjara 20 tahun dan pidana denda sebesar ... Dari perumusan sanksi pidana tersebut tampak adanya

bermacam ragam jenis perumusan sanksi pidana. Walaupun perumusan sanksi pidana dapat dikualifikasikan dalam 5 kategori, namun teknik perumusan dapat bermacam-macam. Hal ini menunjukkan tidak adanya pola atau pedoman bagi pembentuk Undang-Undang dalam merumuskan sanksi pidana. Untuk perumusan sanksi pidana tunggal umumnya langsung merumuskan pidana yang diancamkan tanpa menggunakan kata sambung. Dalam perumusan sanksi pidana alternatif digunakan kata “atau”. Untuk perumusan sanksi pidana kumulatif digunakan kata “dan”, sedangkan dalam perumusan sanksi pidana kumulatif-alternatif digunakan berbagai cara, yaitu dengan menggunakan kata “dan/atau”, “dan atau”, “dan ... atau“ dan “serta”.

Penggunaan kata-kata sambung tersebut sesungguhnya mempunyai makna dan fungsi yang berbeda bagi aparat penegak hukum khususnya hakim. Dalam perumusan sanksi pidana tunggal hakim tidak mempunyai pilihan untuk menjatuhkan alternatif jenis pidana pokok kecuali yang dirumuskan dalam rumusan tindak pidana. Perumusan sanksi pidana alternatif dengan kata “atau” hakim mempunyai kebebasan untuk memilih jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan sesuai dengan kesalahan pelaku tindak pidana, keadilan, dan tujuan pemidanaan. Dalam praktik fungsi perumusan sanksi pidana alternatif tidak efektif karena seringkali tetap dijatuhkan jenis pidana yang pertama disebutkan dalam rumusan tindak pidana, khususnya pidana penjara dan pidana kurungan yang dirumuskan secara alternatif dengan pidana denda,

buku 3 ok edited.indd 78 12/12/2012 9:27:01 AM

Page 95: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

79

namun tidak demikian halnya dengan pidana mati.Perumusan sanksi pidana kumulatif dengan kata “dan”

mempunyai sifat lebih imperatif dibanding perumusan sanksi pidana tunggal atau alternatif karena hakim harus menjatuhkan dua jenis pidana pokok yang dirumuskan dalam tindak pidana dan tidak boleh hanya menjatuhkan salah satunya. Jadi pidana pokok penjara yang paling banyak digunakan dalam undang-undang di luar KUHP dan dirumuskan secara kumulatif dengan pidana mempunyai sifat lebih berat dibanding perumusan sanksi pidana tunggal dan alternatif (hanya satu jenis pidana yang dijatuhkan). Perumusan sanksi pidana kumulatif alternatif mempunyai makna dan fungsi agar hakim mempunyai pilihan yang lebih banyak dalam menjatuhkan pidana yang sesuai dengan kesalahan pelaku, keadilan, dan tujuan pemidanaan, yaitu dapat menjatuhkan salah satu jenis pidana yang diancamkan atau menjatuhkan kedua-duanya. Namun ternyata perumusan sanksi pidana kumulatif alternatif justru memberi peluang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana penjara, yang paling banyak digunakan dalam perumusan sanksi pidana kumulatif alternatif sehingga tetap mengandung sifat imperatif.Perumusan sanksi pidana dalam undang-undang di luar KUHP pada dasarnya sama dengan sistem perumusan sanksi pidana dalam KUHP, hanya dengan beberapa modifikasi teknik perumusan. Jenis-jenis pidana yang diancamkan masih berpedoman pada ketentuan dalam Pasal 10 KUHP, khususnya pidana pokok, sedangkan pidana tambahan terdapat pengembangan. Oleh karenanya dapat dipahami bahwa perkembangan berbagai perumusan sanksi pidana tersebut dipandang sebagai kemajuan semu karena permisif

buku 3 ok edited.indd 79 12/12/2012 9:27:01 AM

Page 96: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

80

terhadap penggunaan sanksi pidana yang bersifat imperatif. Walaupun pada prinsipnya perumusan sanksi pidana di luar

KUHP sama dengan di dalam KUHP, namun perumusannya tampak semakin bermacam-macam bila memperhatikan penggunaan kata-kata dalam perumusan sanksi pidana. Perumusan kata “dipidana dengan” dalam undang-undang di luar KUHP juga menggunakan kata lain seperti: “diancam dengan pidana”, “dihukum dengan hukuman” atau “dikenakan sanksi pidana”. Perumusan kata-kata setelah kata “pidana penjara” atau “pidana kurungan” digunakan berbeda-beda, antara lain “paling lama”, “sekurang-kurangnya”, dan “selama-lamanya”. Perumusan kata-kata setelah kata “pidana denda” atau “denda” juga dirumuskan berbeda-beda, yaitu: “paling banyak”, “paling tinggi”, “sebesar”, “setinggi-tingginya”, dan sebanyak-banyaknya. Demikian pula kata-kata yang digunakan dalam perumusan sanksi minimum khusus baik untuk pidana penjara, pidana kurungan, maupun pidana denda dirumuskan bermacam-macam. Untuk pidana penjara dan kurungan pembentuk undang-undang menggunakan kata-kata : “paling singkat ... atau paling lama ...”, “paling singkat ... dan paling lama ...” dan “sekurang-kurangnya ... dan paling lama ...”. Untuk pidana denda pembentuk undang-undang menggunakan kata-kata: “sekurang-kurangnya .... dan paling banyak ....”, “paling sedikit ...dan paling banyak ....”, dan “serendah-rendahnya ... dan setinggi-tingginya ....”.Berdasarkan analisis di atas, masalah sistem perumusan sanksi pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP tidak hanya menyangkut sistem pemidanaan yang ada dalam Buku I KUHP sebagai sistem induk ketentuan-ketentuan pemidanaan dalam

buku 3 ok edited.indd 80 12/12/2012 9:27:01 AM

Page 97: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

81

perundang-undangan namun juga berkaitan dengan bagaimana agar perumusan sanksi pidana tersebut dirumuskan sesuai dengan sistem pemidanaan yang ada dalam Buku I KUHP tersebut. Tidak adanya pola atau pedoman mengenai perumusan sanksi pidana telah menyebabkan perumusan sanksi pidana menjadi sangat beraneka warna dan terkandung adanya disparitas pidana sebelum pidana dijatuhkan. Untuk itu di samping diperlukan adanya pembaharuan dalam sistem pemidanaan hukum pidana Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 juga perlu adanya pedoman perumusan sanksi pidana yang akan digunakan pembentuk undang-undang ketika akan merumuskan sanksi pidana.

C. Sistem Pemidanaan yang Ideal dalam Hukum Pidana Indonesia

Hukum pidana Indonesia termasuk di dalamnya pembentukan sistem pemidanaan harus dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa Indonesia, yaitu nilai-nilai yang didasarkan pada Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. KUHP (Wetboek van Strafrecht) yang merupakan warisan Kolonial Belanda, walaupun disana-sini sudah ditambal sulam dengan beberapa produk hukum Indonesia, namun secara keseluruhan masih dijiwai oleh nilai-nilai liberal-individualis. KUHP yang dibentuk pada tahun 1881 sangat dipengaruhi aliran klasik yang berorientasi pada perbuatan, walaupun harus diakui KUHP yang ada sekarang khususnya berkaitan dengan sistem pemidanaan sudah ada sedikit pengaruh dari aliran modern. Orientasi aliran klasik adalah pada kepastian hukum karena

buku 3 ok edited.indd 81 12/12/2012 9:27:01 AM

Page 98: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

82

dipengaruhi aliran legisme yang menganut asas legalitas formal. Hal ini tentunya berbeda dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia saat ini.

Pemikiran-pemikiran tersebut sesungguhnya telah diakomodasi oleh para pembentuk Rancangan KUHP Nasional. Politik hukum pidana yang dipilih dalam pembentukan RKUHP menggunakan pendekatan menyeluruh atau disebut juga pendekatan global (global approach) dan bukan sekedar “amandemen” untuk menggantikan Wetboek van Strafrecht dengan KUHP Nasional. Karakteristik pendekatan global nampak baik berkaitan dengan asas-asas hukum pidana (BUKU I RKUHP) maupun dalam pengaturan tiga masalah pokok dalam hukum pidana (perbuatan yang bersifat melawan hukum (criminal act), pertanggungjawaban pidana/kesalahan (criminal responsibility), dan sanksi pidana berupa pidana (punishment, straf) dan tindakan (treatment, maatregel). Politik hukum pidana dalam pembaharuan KUHP Nasional diarahkan pada empat misi, yaitu pertama, misi dekolonisasi KUHP dalam bentuk rekodifikasi; kedua, misi demokratisasi hukum pidana; ketiga, misi konsolidasi hukum pidana; dan keempat, misi adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi. Tujuan pemidanaan menurut RKUHP adalah untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan tidak

buku 3 ok edited.indd 82 12/12/2012 9:27:01 AM

Page 99: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

83

dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Berkaitan dengan sistem pemidanaan dalam RKUHP sudah banyak dilakukan pembaharuan dan telah dicapai kemajuan-kemajuan dalam pengaturan sistem pemidanaannya. Berikut pengaturan sistem pemidanaan dalam Buku I RKUHP:1. Strafsoort

Dalam RKUHP sistem sanksinya menganut doubletrack system, yaitu pidana dan tindakan. Pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Jenis-jenis pidana pokok antara lain:a. Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus

dan selalu diancamkan secara alternatif. b. pidana penjara; c. pidana tutupan; d. pidana pengawasan; e. pidana denda; dan f. pidana kerja sosial.

Pidana tambahan yang dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok atau bersama-sama dengan pidana tambahan lain, terdiri dari:a. pencabutan hak tertentu; b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. pengumuman putusan hakim; d. pembayaran ganti kerugian; dan e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban

menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.

buku 3 ok edited.indd 83 12/12/2012 9:27:01 AM

Page 100: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

84

Jenis pidana baik pidana pokok maupun pidana tambahan dalam RKUHP lebih variatif dan manusiawi. Di samping pidana dalam RKUHP juga diatur mengenai tindakan, yang terdiri dari:a. tindakan yang dapat dijatuhkan kepada mereka yang tidak

mampu bertanggung jawab:1) perawatan di rumah sakit jiwa; 2) penyerahan kepada pemerintah; atau 3) penyerahan kepada seseorang.

b. Tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok berupa: 1) pencabutan surat izin mengemudi; 2) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak

pidana; 3) perbaikan akibat tindak pidana; 4) latihan kerja; 5) rehabilitasi; dan/atau 6) perawatan di lembaga.

Sistem perumusan sanksi pidana dalam RKUHP adalah sistem perumusan sanksi pidana tunggal dan alternatif.

2. Strafmaat Strafmaat dalam RKUHP menganut sistem maksimum

dan tidak ada sistem minimum khusus. Namun demikian dimungkinkan adanya sanksi minimum khusus untuk pidana penjara dan pidana denda (Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 80 ayat (2)). Minimum umum untuk pidana penjara adalah 1 hari dan untuk pidana denda adalah Rp. 15.000,- (lima belas ribu

buku 3 ok edited.indd 84 12/12/2012 9:27:01 AM

Page 101: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

85

rupiah), sedangkan sanksi maksimum pidana penjara adalah 15 tahun dan dapat dijatuhkan 20 tahun jika ada pemberatan. Pidana penjara tidak boleh melebihi 20 tahun dalam keadaan bagaimanapun dan pidana mati dirumuskan secara aternatif dengan pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara untuk waktu tertentu. Pidana denda dalam RKUHP menganut sistem kategorisasi, yaitu:a. kategori I Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah); b. kategori II Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu

rupiah); c. kategori III Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah); d. kategori IV Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah); e. kategori V Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); dan f. kategori VI Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Dalam RKUHP juga sudah diatur pedoman pemidanaan untuk korporasi, yaitu:a. Pidana denda paling banyak untuk korporasi adalah kategori

lebih tinggi berikutnya. b. Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang

melakukan tindak pidana yang diancam dengan:1) pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan

15 (lima belas) tahun adalah pidana denda Kategori V; 2) pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana

penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun adalah pidana denda Kategori VI.

3) Pidana denda paling sedikit untuk korporasi sebagaimana

buku 3 ok edited.indd 85 12/12/2012 9:27:01 AM

Page 102: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

86

dimaksud pada ayat (5) adalah pidana denda Kategori IV.

3. Strafmodus Cara pelaksanaan pidana, baik pidana pokok dan pidana tambahan di samping akan diatur dalam undang-undang, dalam Buku I RKUHP juga diatur mengenai pedoman pemidanaan dan ketentuan-ketentuan berkaitan dengan cara pelaksanaan pidana. Pedoman pemidanaan yang sangat penting bagi hakim dalam penjatuhan pidana berisi antara lain:Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:a. kesalahan pembuat tindak pidana; b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. sikap batin pembuat tindak pidana; d. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; e. cara melakukan tindak pidana; f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak

pidana; g. riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat

tindak pidana; h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak

pidana; i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga

korban; j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang

dilakukan. Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan

buku 3 ok edited.indd 86 12/12/2012 9:27:01 AM

Page 103: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

87

pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Dalam Buku I KUHP juga diatur mengenai perubahan dan penyesuaian pidana, pedoman penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal dan alternatif, ketentuan-ketentuan lainnya tentang pidana. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan cara pelaksanaan pidana antara lain:1. Penerapan pidana penjara

1) pidana penjara sejauh mungkin 2) tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai

berikut: a) terdakwa berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun

atau di atas 70 (tujuh puluh) tahun; b) terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana; c) kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar; d) terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada

korban; e) terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang

dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar; f) tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat

dari orang lain; g) korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak

pidana tersebut; h) tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu

keadaan yang tidak mungkin terulang lagi; i) kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan

buku 3 ok edited.indd 87 12/12/2012 9:27:01 AM

Page 104: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

88

bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain;

j) pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;

k) pembinaan yang bersifat non institusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri terdakwa;

l) penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa;

m) tindak pidana terjadi di kalangan keluarga; atau n) terjadi karena kealpaan.

2. Penerapan pidana pengawasan Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syarat-syarat:a. terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; b. terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari

masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/atau

c. terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.

Pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada departemen yang bertanggung jawab di bidang hukum dan hak asasi manusia.a) Ketentuan-ketentuan lainnya mengenai pelaksanaan pidana

denda, pengganti pidana denda, dan pidana denda untuk

buku 3 ok edited.indd 88 12/12/2012 9:27:01 AM

Page 105: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

89

korporasi; b) Pelaksanaan pidana kerja sosial

Dalam penjatuhan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:1) pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang

dilakukan; 2) usia layak kerja terdakwa menurut peraturan perundang

- undangan yang berlaku; 3) persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai

tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial;

4) riwayat sosial terdakwa; 5) perlindungan keselamatan kerja terdakwa; 6) keyakinan agama dan politik terdakwa; dan 7) kemampuan terdakwa membayar pidana denda.

Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh dikomersialkan.Pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama:1) 240 (dua ratus empat puluh) jam bagi terdakwa yang

telah berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas; dan 2) 120 (seratus dua puluh) jam bagi terdakwa yang berusia

di bawah 18 (delapan belas) tahun. 3) Pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

paling singkat 7 (tujuh) jam. Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 (duabelas) bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya

buku 3 ok edited.indd 89 12/12/2012 9:27:01 AM

Page 106: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

90

dan/atau kegiatan lain yang bermanfaat.Jika terpidana tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah, maka terpidana diperintahkan:1) mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial

tersebut; 2) menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang

diganti dengan pidana kerja sosial tersebut; atau 3) membayar seluruh atau sebagian pidana denda yang

diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dibayar.

c) Pelaksanaan pidana mati Pidana mati merupakan pidana alternatif dan dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak. Pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum; terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh; pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika:(1) reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; (2) terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan

untuk diperbaiki; (3) kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana

buku 3 ok edited.indd 90 12/12/2012 9:27:01 AM

Page 107: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

91

tidak terlalu penting; dan (4) ada alasan yang meringankan. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Ketentuan-ketentuan dalam Buku I RKUHP sudah lebih baik mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sistem pemidanaan. Namun demikian agar pengaturan sanksi pidana atau ketentuan pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP sesuai dengan sistem induknya maka perlu adanya ketentuan yang mengatur mengenai perumusan sanksi pidana baik sistem perumusan sanksi pidana, penggunaan jenis pidana dan tindakan, maupun teknik atau cara perumusan sanksi pidana.

Di samping itu berkaitan dengan maraknya penggunaan sanksi pidana hampir dalam setiap Undang-Undang perlu adanya kriteria yang menjadi pedoman pada saat pembentuk Undang-Undang akan menggunakan sanksi pidana. Tidak adanya perbedaan yang jelas dan tegas dalam perumusan sanksi pidana antara hukum pidana khusus dengan perundang-undangan administrasi yang memuat sanksi pidana adalah akibat tidak adanya kriteria apakah suatu tindak pidana merupakan harus diatur dalam hukum pidana umum (KUHP) atau hukum pidana khusus (hukum pidana yang menyimpangi KUHP) atau perundang-undangan administrasi yang memuat sanksi pidana. Gagasan untuk melakukan kodifikasi total dalam RKUHP sangat sulit diwujudkan mengingat perkembangan

buku 3 ok edited.indd 91 12/12/2012 9:27:02 AM

Page 108: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

92

masyarakat yang selalu berada di depan hukumnya terlebih lagi hukum pidana, yang dalam pembentukannya selalu dilakukan kemudian. Alternatif yang dapat dilakukan adalah amandemen KUHP untuk masa yang akan datang harus mudah dilakukan agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Di samping itu pembentukan sanksi pidana atau ketentuan pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP dilakukan secara selektif, terbatas, dan tepat baik yang termasuk hukum pidana khusus maupun sanksi pidana administratif. Penetapan kriteria mengenai suatu tindak pidana merupakan hal penting agar pembentukan sanksi pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP lebih baik dan sesuai dengan sistem induknya, walaupun dalam undang-undang tersebut diatur ketentuan-ketentuan yang menyimpangi aturan umumnya. Di samping itu sanksi pidana dalam berbagai perundang-undangan di luar KUHP mengikuti pola atau pedoman yang sama.

buku 3 ok edited.indd 92 12/12/2012 9:27:02 AM

Page 109: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

93

BAB IVKESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Kesimpulan 1. sistem pemidanaan dalam Buku I KUHP khususnya Bab II

tentang Pidana, Bab III tentang Hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana dan Bab VIII tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana merupakan sistem induk pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia. Ketentuan-ketentuan pemidanaan dalam perundang-undangan di luar KUHP dimungkinkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 103 KUHP. Jenis-jenis pidana yang digunakan dalam KUHP dan perundang-undangan di luar KUHP tidak ada perbedaan, kecuali pidana tutupan tidak pernah digunakan dalam undang-undang di luar KUHP. Pidana penjara dan pidana denda adalah sanksi pidana yang paling banyak digunakan, sedangkan pidana mati hanya digunakan dalam Undang-Undang tertentu saja dan terbatas. Di samping pidana tambahan dalam KUHP, dalam undang-undang di luar KUHP banyak menggunakan pidana tambahan yang dikembangkan sesuai dengan karakteristik tindak pidananya. Demikian pula dalam beberapa undang-undang di luar KUHP dikembangkan sanksi berupa tindakan walaupun relatif sedikit sesuai dengan tindak pidananya.

2. Berat ringannya pidana dalam KUHP menganut sistem maksimum (indefinite) dan tidak ada sanksi minimum khusus. Sedangkan dalam perundang-undangan di luar KUHP dapat dikategorikan 3 kelompok, yaitu 1) sistem maksimum

buku 3 ok edited.indd 93 12/12/2012 9:27:02 AM

Page 110: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

94

umum, sistem minimum khusus, dan sistem campuran, yaitu menggunakan sistem maksimum umum dan sistem minimum khusus. Tidak ada pola atau pedoman pemidanaan dalam penetapan berat ringannya sanksi pidana dalam ketiga sistem strafmaat tersebut, terutama dalam penetapan pidana penjara dan pidana denda. Demikian pula dengan penetapan pidana pengganti denda, pemberatan pidana, dan pidana untuk korporasi tidak didasarkan pada pola atau pedoman pemidanaan.

Baik dalam KUHP maupun perundang-undangan di luar KUHP masih minim mengatur mengenai strafmodus, khususnya berkaitan dengan pelaksanaan pidana yang manusiawi dan sesuai tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia.

3. Sistem pemidanaan yang ideal dalam hukum pidana Indonesia adalah sistem pemidanaan yang didasarkan atau sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah dan jiwa bangsa Indonesia. Pembaharuan ketentuan-ketentuan mengenai pemidanaan dalam RKUHP sudah baik dan dilandasi falsafah Pancasila. Sistem pemidanaan dalam Buku I KUHP akan menjadi sistem induk berbagai pengaturan sanksi pidana di luar KUHP. Berkaitan dengan dimungkinkannya pembentukan sanksi pidana atau ketentuan pidana dalam undang-undang di luar KUHP seharusnya didasarkan pada kriteria tertentu yang jelas dan dilakukan secara selektif, terbatas, dan tepat.

B. Rekomendasi 1. Pembentukan KUHP Nasional harus dipercepat agar hukum

pidana Indonesia memiliki sistem pemidanaan yang sesuai

buku 3 ok edited.indd 94 12/12/2012 9:27:02 AM

Page 111: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

95

dengan masyarakat bangsa Indonesia dan pembentukan ketentuan pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP mempunyai pedoman serta tidak mendua apakah mengikuti KUHP yang saat ini berlaku atau RKUHP yang belum diundangkan?

2. Perlu ditetapkan kriteria tertentu mengenai pembentukan ke-tentuan pidana di luar KUHP agar dapat ditempatkan secara tepat apakah suatu tindak pidana termasuk hukum pidana khusus atau perundang-undangan administrasi yang memuat sanksi pidana.

3. Perlu ditetapkan pola atau pedoman perumusan sanksi pidana baik sistem perumusannya, penggunaan jenis pidana, berat ringannya pidana, maupun teknik perumusannya.

buku 3 ok edited.indd 95 12/12/2012 9:27:02 AM

Page 112: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

96

buku 3 ok edited.indd 96 12/12/2012 9:27:02 AM

Page 113: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

97

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, ed. revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.

Baid, Robert M & Rosenbaum, Stuart E (ed.), Philosophy of Punishment, Prometheus Books, New York, 1988.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

____________, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Undip, Semarang, 1996.

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.

____________, Tindak Pidana Mayantara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Barda Nawawi Arief, Perumusan Pidana dalam Undang-Undang sebagai Parameter Keadilan dalam Penjatuhan Pidana, Lokakarya, BPHN, Semarang, 2010.

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Wset Publishing Co, St Paul Minnesota, 1991.

Bemmelen, J.M. van, Hukum Pidana, terj. Hasnan, Binacipta, Bandung, 1987.

BPHN, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan), Jakarta, 2008.

Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984.

buku 3 ok edited.indd 97 12/12/2012 9:27:02 AM

Page 114: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

98

Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1985.

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985.

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998.

Muladi, Beberapa Catatan Berkaitan dengan RUU KUHP Baru, Makalah, Sosialisasi RUU KUHP, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2004.

Packer, Herbert L., The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California, 1968.

Primoratz, Igor, Justifying Legal Punishment, Humanities Press International, Inc., New Jersey, 1989.

Remmelink, Jan, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.

Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia. Aksara Baru, Jakarta, 1978.

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2010.

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri,Cet. III, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988.

Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990.

____________, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2006.

____________, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983.

buku 3 ok edited.indd 98 12/12/2012 9:27:02 AM

Page 115: ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP

99

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Utrecht, E, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986.

Watson, Gary, Free Will, 2nd ed., Oxford University Press, New York, 2003.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Perundang-undangan di luar KUHP.

buku 3 ok edited.indd 99 12/12/2012 9:27:02 AM