analisis sistem pemidanaan dalam hukum pidana indonesia di dalam dan di luar kuhp
DESCRIPTION
Tinjauan Yuridis normatif tentang hukum penitensier positif di Indonesia.TRANSCRIPT
i
ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
DI DALAM DAN DI LUAR KUHP
OlehSigit Suseno, S.H., M.H.
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONALKEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI
JAKARTA, 2012
ROMAWI edited.indd 1 12/12/2012 9:27:29 AM
ii
ROMAWI edited.indd 2 12/12/2012 9:27:29 AM
iii
ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA
DI DALAM DAN DI LUAR KUHP
ROMAWI edited.indd 3 12/12/2012 9:27:29 AM
iv
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Sigit Suseno Suatu analisis sistem pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP/oleh Sigit Suseno; editor Tana Mantiri; Badan Pembinaan Hukum Nasional. -- Jakarta [tsb.], 2012 x, 95 hlm.; 21 cm
ISBN 978-602-8815-45-1
Penulis Sigit Suseno, S.H., M.H.
EditorTana Mantiri, S.H., M.H.
Terbit Tahun 2012
Diterbitkan OlehBadan Pembinaan Hukum NasionalKementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RIJalan Mayjen Sutoyo No. 10 – CililitanTelepon (021) 8091908, 8002192Faksimile (021) 80871742Jakarta Timur 13640
ROMAWI edited.indd 4 12/12/2012 9:27:29 AM
v
KATA PENGANTAR
Pembentukan ketentuan pidana dalam perundang-undangan di
luar KUHP dan tidak terkait pada sistem pemidanaan yang dimuat
dalam Buku 1 KUHP menimbulkan masalah serius dalam impelmenta-
sinya, sebab tujuan pemidanaan yang ingin dicapai dengan penggunaan
hukum pidana atas tindak pidana tertentu tidak mungkin terwujud, dan
karenanya ketentuan tersebut menjadi impoten sejak diundangkan.
Dalam upaya untuk mengetahui Sistem Pemidanaan Dalam Hu-
kum Pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP, secara mendalam,
maka Badan Pembinaan Hukum Nasional tahun anggaran 2010
mengadakan kegiatan penulisan karya ilmiah tentang Suatu Analisis
Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Indonesia, di dalam dan di
luar KUHP.
Penerbitan Karya Ilmiah ini dimaksudkan untuk menambah ba-
han referensi hukum di bidang Hukum Pidana, Sistem Pemidanaan In-
donesia di dalam dan di luar KUHP. Dan kajian ilmiah ini disebarluas-
kan kepada instansi pemerintah yang ada di pusat dan daerah,dengan
demikian masyarakat dapat mengetahui dan memanfaatkan serta
mengembangkan lebih lanjut untuk berbagai kepentingan, khususnya
kalangan hukum.
ROMAWI edited.indd 5 12/12/2012 9:27:29 AM
vi
Akhirnya, kepada Saudara Sigit Suseno, S.H., M.H., yang telah memberikan pemikiran dalam karya ini, dan kepada semua pihak yang berperan aktif sehingga buku ini dapat diterbitkan, kami ucapkan terima kasih.
ROMAWI edited.indd 6 12/12/2012 9:27:30 AM
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadhirat Illahi
Robbi atas segala rahmat-Nya sehingga penulisan kerangka ilmiah
perencanaan pembangunan hukum nasional tentang Analisis Sistem
Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia di Dalam dan di Luar
KUHP dapat diselesaikan.
Maraknya penggunaan sanksi pidana dalam perundang-undangan
di luar KUHP sekalipun dalam perundang-undangan administrasi
dan bermacam-macam perumusan sanksi pidana dalam perundang-
undangan tersebut menggugat kembali peranan hukum pidana (sanksi
pidana) sebagai ultima ratio principle atau fungsi subsidair dari sanksi
pidana dan tujuan yang ingin dicapai dari pemidanaan dalam masyarakat
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di samping
itu bagaimana perumusan sanksi pidana dalam perundang-undangan
di luar KUHP harus dilakukan agar sesuai dengan sistem induknya
sebagaimana diatur dalam Buku I KUHP.
Kajian ilmiah ini dimaksudkan untuk menganalisis kedudukan
ketentuan mengenai pemidanaan dalam Buku I KUHP dalam sistem
pemidanaan hukum pidana Indonesia baik terhadap Buku II dan Buku
III KUHP maupun perundang-undangan pidana di luar KUHP dan
ROMAWI edited.indd 7 12/12/2012 9:27:30 AM
viii
perumusan sanksi pidana atau ketentuan pidana dalam perundang-
undangan di luar KUHP dalam rangka pembentukan sistem pemidanaan
yang ideal dalam hukum pidana Indonesia.
Jakarta, Desember 2010
Ketua Pelaksana,
Sigit Suseno,S.H., M.H.
ROMAWI edited.indd 8 12/12/2012 9:27:30 AM
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................
DAFTAR ISI .....................................................................................
BAB I PENDAHULUAN .....................................................A. Latar Belakang ......................................................B.IdentifikasiMasalah..............................................C. Tujuan ...................................................................D. Kegunaan ..............................................................E. Kerangka Pemikiran ..............................................F. Metode Penelitian ..................................................
BAB II HUKUM PIDANA, PIDANA, DAN SISTEM PEMIDANAAN ........................................................
A. Hukum Pidana .......................................................B. Pidana dan Tujuan Pemidanaan ............................C. Sistem Pemidanaan ...............................................
BAB III ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP ........................................................................
A. Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Indonesia di Dalam dan Di Luar KUHP ................................
B. Perumusan Sanksi Pidana di Dalam dan di Luar KUHP ....................................................................
C. Sistem Pemidanaan yang Ideal dalam Hukum Pidana Indonesia ...............................................................
v
ix
11567712
17173145
47
47
70
81
ROMAWI edited.indd 9 12/12/2012 9:27:30 AM
x
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ..................A. Kesimpulan ...........................................................B. Rekomendasi .........................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
939394
97
ROMAWI edited.indd 10 12/12/2012 9:27:30 AM
xi
ROMAWI edited.indd 11 12/12/2012 9:27:30 AM
xii
ROMAWI edited.indd 12 12/12/2012 9:27:30 AM
xiii
ROMAWI edited.indd 13 12/12/2012 9:27:30 AM
xiv
ROMAWI edited.indd 14 12/12/2012 9:27:30 AM
xv
ROMAWI edited.indd 15 12/12/2012 9:27:30 AM
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem pemidanaan yang dianut dalam suatu hukum pidana
nasional yang mencakup pedoman pemidanaan, jenis sanksi, jenis
pidana, berat ringannya pidana, teknis perumusan sanksi pidana
sampai pada terminologi yang digunakan dalam perumusan
sanksi pidana tersebut sesungguhnya merupakan instrumen untuk
melindungi kepentingan-kepentingan hukum seperti nyawa, tubuh,
kehormatan kesusilaan, harta kekayaan, negara, lingkungan hidup,
dll. dari tindak pidana yang akan merampasnya. Sistem pemidanaan
tersebut seharusnya berlandaskan pada filsafat pemidanaan yang
sesuai dengan falsafah masyarakat dan bangsanya. Bagi masyarakat
dan bangsa Indonesia yang berdasarkan falsafah Pancasila sudah
seharusnya sistem pemidanaannya juga berlandaskan nilai-nilai
Pancasila.
Dalam hukum pidana Indonesia menarik untuk dicermati
sistem pemidanaan yang saat ini berlaku. Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang berlaku adalah Wetboek van
Strafrecht (WvS) Staatsblaad 1915 Nomor 732 yang dinyatakan
berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana jo. Undang-Undang Nomor
73 Tahun 1958 yang menyatakan berlakunya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 untuk seluruh wilayah Republik Indonesia
buku 3 ok edited.indd 1 12/12/2012 9:26:57 AM
2
dan Mengubah KUHP. Tentunya pembentukan KUHP tersebut
termasuk di dalamnya sistem pemidanaan tidak didasarkan pada
tujuan pemidanaan yang berdasarkan Pancasila tetapi berdasarkan
pada tujuan pemidanaan yang berdasarkan faham liberal. Dalam
perkembangannya ketentuan mengenai pidana juga diatur dalam
perundang-undangan nasional baik yang mengubah ketentuan
pidana dalam KUHP seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1960, Undang-Undang Nomor 16 Prp. Nomor 16 Tahun 1960 dan
Undang-Undang Nomor 18 Prp. Tahun 1960 maupun ketentuan
pidana baru dalam berbagai perundang-undangan yang mengatur
tindak pidana di luar KUHP seperti tindak pidana korupsi, tindak
pidana pencucian uang, tindak pidana narkotika, dll. Pembentukan
ketentuan pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP tidak
dilandasi paham liberal tetapi paham Pancasila. Perbedaan juga
tampak pada tujuan pemidanaan antara ketentuan pidana dalam
KUHP dan ketentuan pidana di luar KUHP. Walaupun pembentuk
KUHP tidak pernah mengatakan mengenai teori pemidanaan yang
dianut namun ketentuan pidana dalam KUHP yang berasal dari
WvS 1886 sudah dipengaruhi tujuan pemidanaan dari teori relatif
atau pencegahan umum. Menurut Simons pembentuk KUHP
memandang tujuan penjatuhan pidana adalah untuk kepentingan
masyarakat dan untuk melindungi tertib hukum. Demikian pula
pandangan Menteri Kehakiman Modderman yang pada tahun
1864 dalam pidato inaugurasinya menyatakan keinginannya agar
pidana jangan hanya ditujukan untuk memperbaiki pelaku tindak
pidana tetapi juga untuk membuat pelaku tidak mampu untuk
buku 3 ok edited.indd 2 12/12/2012 9:26:57 AM
3
melakukan tindak pidana lagi dan mencegah niat orang lain untuk
melakukan tindak pidana.
Perkembangan lain yang menarik untuk dicermati adalah
pembentukan ketentuan pidana dalam perundang-undangan di luar
KUHP yang tidak memperhatikan sistem pemidanaan dalam sistem
induknya sebagaimana diatur dalam Buku I KUHP. Walaupun
berdasarkan ketentuan dalam Pasal 103 KUHP dimungkinkan
adanya pengaturan tersendiri mengenai ketentuan pidana, yang
berbeda dengan ketentuan pidana dalam KUHP namun sistem
pemidanaan yang berlaku dalam hukum pidana Indonesia penting
diperhatikan agar sanksi pidana dalam perundang-undangan di
luar KUHP dapat operasional. Misalnya pengaturan korporasi atau
badan hukum sebagai subjek tindak pidana tanpa ada ketentuan
pidana untuk korporasi, kualifikasi kejahatan dan pelanggaran
yang mempunyai konsekuensi pada sanksi pidananya, dan jenis
sanksi berupa tindakan dan jenis pidana baru seperti membayar
ganti kerugian. Dalam praktik pembentukan undang-undang ada
kecenderungan untuk selalu menggunakan sanksi pidana termasuk
untuk pelanggaran norma hukum administrasi. Ada kesan sanksi
pidana tidak ditempatkan sebagai ultimum remedium (ultima ratio
principle) dan untuk tujuan pemidanaan yang integratif, tetapi
sebagai primum remedium untuk tujuan pembalasan atau penjeraan.
Misalnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-
Undang Pajak, Undang-Undang Perkebunan, Undang-Undang
Perikanan, Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Praktik
Kedokteran, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, dll.
buku 3 ok edited.indd 3 12/12/2012 9:26:57 AM
4
Pengaturan terkait dengan ketentuan pidana dalam perundang-
undangan di Luar KUHP yang menyimpang atau berbeda dengan
KUHP dan bermacam ragam bentuknya adalah mengenai
perumusan tindak pidana dan sanksi pidana serta nomenklatur
dalam perumusan sanksi pidananya. Dalam penelitian BPHN
tentang hukum pidana dan sistem pemidanaan model perumusan
sanksi pidana terdapat beberapa model antara lain: (1) satu jenis
pidana diancamkan sebagai ancaman pidana tunggal (kecuali
terhadap pidana mati, selalu harus dialternatifkan dengan pidana
penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu);
(2) satu jenis pidana diancamkan sebagai alternatif dari jenis pidana
yang lain; (3) satu jenis pidana diancamkan secara kumulatif
dengan jenis pidana yang lain; dan (4) pidana diancamkan dengan
kombinasi kumulatif-alternatif. Masalah perbedaan perumusan
sanksi pidana dan nomenklatur dalam perumusan sanksi pidana
antara lain adanya perumusan dan penggunaan istilah yang berbeda
dalam perundang-undangan di luar KUHP, seperti “dipidana dengan
pidana penjara”, “diancam dengan pidana penjara”, “dikenakan
sanksi pidana penjara”, “dapat dipidana dengan pidana penjara”
dan “diancam dengan sanksi pidana penjara”, penggunaan istilah
“pidana” dan “hukuman”, “pidana denda” dan “denda”, “paling
singkat” dan “serendah-rendahnya”, “paling lama” dan “selama-
lamanya ”, dan “paling banyak” dan “sebanyak-banyaknya”.
Pembentukan ketentuan pidana dalam perundang-
undangan di luar KUHP yang tidak berada dan tidak terikat pada
sistem pemidanaan induknya dalam Buku I KUHP menimbulkan
buku 3 ok edited.indd 4 12/12/2012 9:26:57 AM
5
masalah serius dalam implementasinya karena tujuan pemidanaan
yang ingin dicapai dengan penggunaan hukum pidana atas tindak
pidana tertentu tidak mungkin terwujud. Misalnya implementasi
ketentuan pidana terhadap korporasi sebagai subjek tindak pidana
tidak pernah terwujud. Ketentuan tersebut menjadi ketentuan yang
impoten sejak diundangkan.
Di samping itu banyaknya penyimpangan dalam undang-undang
di luar KUHP yang tidak jelas kriterianya akan berpengaruh
terhadap penegakan hukum pidana karena akan menimbulkan
kesulitan bagi aparat penegak hukum.
Dalam Draft RUU KUHP perubahan fundamental dalam
sistem pemidanaan telah dilakukan para perumus RKUHP.
Perubahan dalam sistem pemidanaan tersebut tidak hanya
pendekatan, landasan filosofis dan tujuan pemidanaan, tetapi juga
jenis sanksi, jenis sanksi pidana dan yang sangat penting adalah
pengaturan pedoman pemidanaan bagi hakim dalam penjatuhan
pidana. Namun demikian pertanyaan hipotetis dapat muncul dalam
hal RUU KUHP tersebut berlaku dan kaitannya dengan ketentuan
pidana dalam perundang-undangan yang saat ini berlaku dilihat
dari pendekatan sistem pemidanaan.
B. Identifikasi Masalah
Penulisan hukum mengenai sistem pemidanaan dalam
hukum pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP mengkaji
sistem pemidanaan dalam BUKU I KUHP sebagai Aturan Umum
(General Rules) dan Buku II dan Buku III KUHP serta undang-
buku 3 ok edited.indd 5 12/12/2012 9:26:57 AM
6
undang di luar KUHP sebagai Aturan Khusus (Special Rules)
dan hubungan antara Aturan Khusus dengan Aturan Umum
sebagai sistem induknya serta bagaimana pembentukan sistem
pemidanaan dalam RUU KUHP sebagai ius constituendum dalam
hukum pidana Indonesia.
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dikaji
dalam penulisan hukum ini adalah:
1. Bagaimana sistem pemidanaan dalam hukum pidana positif
Indonesia di dalam dan di luar KUHP?
2. Bagaimana praktik perumusan sanksi pidana dalam hukum
pidana positif Indonesia di dalam dan di luar KUHP?
3. Bagaimana sistem pemidanaan yang ideal dalam hukum pidana
Indonesia yang akan datang?
C. Tujuan
Penulisan hukum tentang sistem pemidanaan dalam hukum
pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP bertujuan untuk:
1. Memahami dan menganalisis sistem pemidanaan dalam
hukum pidana Indonesia yang sekarang berlaku dalam dan di
luar KUHP.
2. Memahami dan menganalisis praktik penetapan sanksi pidana
dalam hukum pidana positif Indonesia di dalam dan di luar
KUHP yang mencakup penetapan jenis pidana (strafsoort),
berat ringannya pidana (strafmaat) dan perumusan sanksi
pidana.
3. Menganalisis sistem pemidanaan yang ideal dalam hukum
buku 3 ok edited.indd 6 12/12/2012 9:26:57 AM
7
pidana Indonesia yang akan datang yang sesuai dengan
masyarakat dan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
D. Kegunaan
Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat
baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis.
1. Manfaat teoritis
Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
untuk pengembangan ilmu hukum pidana dalam hal ini hukum
pidana materiil, khususnya sistem pemidanaan di dalam dan di
luar KUHP.
2. Manfaat praktis
Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
praktis bagi perumus dan pengambil kebijakan, pembentuk
undang-undang, aparat penegak hukum, dan masyarakat
mengenai sistem pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia
sehingga dalam pembentukan sanksi pidana dalam peraturan
perundang-undangan selalu memperhatikan sistem pemidanaan
yang berlaku agar regulasi tindak pidana yang dirumuskan
dapat operasional.
E. Kerangka Pemikiran
Dalam perspektif politik hukum pidana (penal policy)
atau dengan kata lain penegakan hukum dengan menggunakan
sarana hukum pidana, penetapan sanksi pidana merupakan salah
satu masalah pokok di samping masalah penentuan perbuatan
buku 3 ok edited.indd 7 12/12/2012 9:26:57 AM
8
yang seharusnya dijadikan tindak pidana. Pandangan lain
menyatakan bahwa pidana merupakan salah satu masalah pokok
dalam hukum pidana, di samping tindak pidana dan kesalahan
(pertanggungjawaban pidana). Dengan rumusan lain Herbert L.
Packer menyatakan bahwa ada 3 masalah pokok dalam hukum
pidana, yaitu:
1. What conduct should be designated as criminal?
2. What determinations must be made before a person can be
found to have committed a criminal offense?
3. What should be done with persons who are found to have
committed criminal offences?
Berdasarkan pandangan Packer tersebut maka pidana atau
pemidanaan terkait dengan masalah yang pertama yaitu tindak
pidana dan masalah kedua, yaitu kesalahan. Dalam perumusan
suatu tindak pidana pada dasarnya dirumuskan mengenai subjek
tindak pidananya, yang di dalamnya ada unsur subjektif dan unsur
objektif, dan sanksi pidananya. Oleh karena itu sistem pemidanaan
dalam hukum pidana mempunyai korelasi dengan ajaran hukum
pidana yang dianut, yang saat ini umumnya menganut ajaran
daad-dader strafrecht, yaitu hukum pidana yang tidak hanya
berorientasi pada perbuatan saja tetapi juga pada pelaku. Bahkan
saat ini korban menjadi bagian dari oirentasi hukum pidana.
Oleh karena itu pengertian pidana tidak dapat dilepaskan dari
tindak pidana dan pelaku yang melakukan tindak pidana tersebut.
Menurut Sudarto pidana diartikan sebagai penderitaan yang
sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang
buku 3 ok edited.indd 8 12/12/2012 9:26:57 AM
9
memenuhi syarat-syarat tertentu. Igor Primoratz membedakan
pidana dalam arti umum dan khusus. Pengertian pidana dalam
arti hukum adalah pidana dalam arti yang khusus, yang diartikan
sebagai “an evil deliberately inflicted qua evil on an offender by
a human agency which is authorized by the legal order whose
laws offender has violated. Pidana dalam arti umum digunakan
dalam berbagai konteks. Lebih lanjut Igor Primoratz menjelaskan
4 komponen dari definisi pidana tersebut, yaitu:
1. Punishment is sometimes defined as a pain or suffering inflicted
on an offender (definisi yang sempit);
2. An offender is a person who committed an offense;
3. The definition of punishment as an evil delibaretly inflicted qua
evil on an offender by human agency;
4. When someone delibaretly inflicts an evil qua evil on another
person, who is an offender, that still may not be punishment.
Selanjutnya H.L.A. Hart menentukan 5 elemen atau unsur
pokok pidana, yaitu:
1. It must involve pain or other consequences normally considered
unpleasent;
2. It must be for an offense against legal rules;
3. It must be of an actual or supposed offender for his offense;
4. It must be intentianlly administered by human beings other
than the offender;
5. It must be imposed and administered by an authority constituted
by a legal system against which the offender is committed.
Walaupun pidana memiliki keterbatasan-keterbatasan bahkan
buku 3 ok edited.indd 9 12/12/2012 9:26:57 AM
10
dapat merampas kemerdekaan termasuk nyawa manusia, namun
menurut Roeslan Saleh reaksi terhadap pelanggaran norma yang
terjadi dengan sarana pidana dan atau tindakan tetap diperlukan
karena upaya-upaya lain untuk perbaikan terhadap terpidana tidak
mempunyai arti sama sekali. Oleh karena itu Herbert L. Packer
mengingatkan berkaitan dengan penggunaan hukum pidana dalam
menanggulangi kejahatan antara lain:
The criminal sanction is indispensable; we could not,now or in
the foreseeable future, get along without it. The criminal sanction
is the best available device we have for dealing with gross and
immediate harm and treats of harm … .
The criminal sanction is at once prime guarantor and prime
threatener of human freedom. Used provindently and humanly it is
guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener.
Walaupun hukum pidana mempunyai fungsi yang sangat
penting, yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau
menyelenggarakan tata dalam masyarakat (fungsi umum) dan
melindungi kepentingan hukum dari perbuatan-perbuatan jahat
dengan sanksi pidana (fungsi khusus), namun untuk menghindari
efek negatif dari sanksi pidana maka penggunaannya harus
dilakukan secara hemat-cermat, hati-hati, selektif, limitatif, dan
manusiawi.
Penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan tindak
pidana pada saat ini seharusnya sudah meninggalkan teori
absolut atau teori relatif dan mendasarkan pada teori integratif
yang memandang tujuan penting dari hukum pidana di samping
buku 3 ok edited.indd 10 12/12/2012 9:26:57 AM
11
pembalasan adalah prevensi umum. M.P. Rossi salah seorang
penganut teori integratif memandang penjatuhan pidana terutama
adalah menerapkan pembalasan dan menjalankan keadilan. Namun
karena kita hidup dalam masyarakat yang tidak sempurna maka
juga tidak mungkin menuntut keadilan absolut (justice absolute)
dan karenanya cukup apabila pemidanaan dilandaskan pada
tertib sosial etikal yang tidak sempurna tersebut (justice sociale).
Penerapan hukum pidana yang manusiawi dibatasi oleh syarat-
syarat yang dituntut masyarakat. Dampak penting yang relevan
dengan penggunaan hukum pidana adalah pembelajaran dan rasa
takut yang dimunculkan melalui penjatuhan pidana terhadap
semua orang, termasuk ke dalamnya perbaikan dari pelaku dan
pemuasan tuntutan batin atau nurani masyarakat dan pemberian
rasa aman pada masyarakat. Pidana tidak boleh melampaui apa
yang selayaknya diterima pelaku karena kesalahan yang telah
diperbuat.
Menurut Muladi teori tujuan pemidanaan yang integratif
dengan didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat sosiologis,
ideologis, dan yuridis merupakan teori yang tepat dalam
penggunaan hukum pidana. Berdasarkan asumsi bahwa tindak
pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan,
dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang mengakibatkan
kerusakan individual atau masyarakat maka tujuan pemidanaan
adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang
diakibatkan oleh tindak pidana tersebut. Dengan demikian tujuan
buku 3 ok edited.indd 11 12/12/2012 9:26:57 AM
12
pemidanaan adalah: (1) pencegahan (umum dan khusus); (2)
perlindungan masyarakat; (3) memelihara solidaritas sosial; dan
(4) pengimbalan/pengimbangan.
Implementasi tujuan pemidanaan yang dianut suatu negara
terwujud dalam sistem pemidanaan yang dirumuskan dalam hukum
pidana nasionalnya. Dalam hukum pidana Indonesia yang sistem
hukum pidana materiilnya terdiri dari Aturan Umum (General
Rules) yang dirumuskan dalam Buku I KUHP dan Aturan Khusus
(Special Rules) yang dirumuskan dalam Buku II dan Buku III
KUHP serta undang-undang di Luar KUHP, sistem pemidanaannya
juga terdiri dari Aturan Umum dan Aturan Khusus. Ketentuan-
ketentuan pidana dalam Aturan Khusus baik dalam Buku II dan
Buku III KUHP maupun undang-undang di luar KUHP terikat
dan berada dalam sistem pemidanaan induknya sebagaimana
diatur dalam Buku I. Dalam hal pembentuk undang-undang di luar
KUHP mengatur ketentuan pidana yang menyimpang dari Aturan
Umumnya maka pembentuk undang-undang juga harus mengatur
pedoman pemidanaannya yang bersifat khusus.
F. Metode Penelitian
Penulisan hukum mengenai sistem pemidanaan dalam
hukum pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP merupakan
salah satu jenis penelitian hukum normatif, yang mencakup
penelitian asas hukum, penelitian hukum in abstracto penelitian
sinkronisasi hukum dalam hal ini sinkronisasi hukum horizontal
dan penelitian sistem hukum.
buku 3 ok edited.indd 12 12/12/2012 9:26:57 AM
13
Penelitian asas hukum mengkaji landasan filosofis atau asas
hukum pidana dalam sistem pemidanaan baik yang dirumuskan di
dalam dan di luar KUHP yang sekarang berlaku serta RUU KUHP.
Penelitian hukum in abstracto mengkaji kaidah-kaidah
hukum yang menetapkan sanksi pidana baik Aturan Umum
maupun Aturan Khusus yang mencakup pedoman pemidanaan,
jenis pidana (strafsoort), berat ringannya pidana (strafmaat), cara
pidana dilaksanakan (strafmodus), dan teknik perumusan pidana.
Penelitian sinkronisasi hukum horizontal mengkaji
keserasian atau keselarasan pengaturan ketentuan sanksi pidana
dalam hukum pidana Indonesia dalam KUHP dan peraturan
perundang-undangan di luar KUHP.
Penelitian sistem hukum mengkaji berbagai pengaturan
mengenai pemidanaan dalam perspektif sistem pemidanaan dalam
hukum pidana Indonesia.
Berkaitan dengan objek penelitian sistem pemidanaan
dalam hukum pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP adalah
norma atau kaidah yang dirumuskan dalam peraturan perundang-
undangan, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah pendekatan yuridis normatif. Norma atau kaidah yang
dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan sistem pemidanaan akan dikaji dalam perspektif sistem
pemidanaan.
Sifat penelitian sistem pemidanaan dalam hukum pidana
Indonesia di dalam dan di luar KUHP, berdasarkan tahap-tahap
penelitian termasuk penelitian deskriptif analitis, yaitu penelitian
buku 3 ok edited.indd 13 12/12/2012 9:26:57 AM
14
yang akan mengkaji dan menjelaskan asas-asas dan kaidah
hukum pidana mengenai pemidanaan yang berlaku dalam hukum
pidana Indonesia serta keserasian atau keselarasan pengaturannya
antara Aturan Umum dan Aturan Khusus dalam perspektif sistem
pemidanaan.
Sesuai dengan jenis dan sifat penelitian sistem pemidanaan
dalam hukum pidana Indonesia, jenis data yang digunakan untuk
dianalisis adalah data sekunder, yaitu peraturan perundang-
undangan yang mengatur kaidah-kaidah mengenai pemidanaan
yang dikenal sebagai bahan hukum primer. Bahan hukum primer
tersebut antara lain KUHP, Undang-Undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian
Uang, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Psikotropika,
Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Suap,
Undang-Undang di bidang Hak Kekayaan Intelektual, Undang-
Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang
Pornografi, dan Perundang-undangan lainnya yang mengatur
Ketentuan Pidana. Di samping itu juga digunakan bahan hukum
sekunder, yaitu berbagai literatur berupa buku, karya ilmiah,
jurnal, dokumen/risalah RUU yang berkaitan dengan sistem
pemidanaan, serta bahan hukum tersier, seperti kamus hukum, dan
ensiklopedi.
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi
dokumen atau kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan,
mengidentifikasi dan mengklasifikasi bahan-bahan hukum yang
berkaitan dengan sistem pemidanaan dalam hukum pidana
buku 3 ok edited.indd 14 12/12/2012 9:26:57 AM
15
Indonesia. Analisis data menggunakan analisis kualitatif dengan
berdasarkan pada teori-teori dan asas-asas dan kaidah-kaidah
hukum pidana yang berlaku.
buku 3 ok edited.indd 15 12/12/2012 9:26:57 AM
16
buku 3 ok edited.indd 16 12/12/2012 9:26:57 AM
17
BAB II
HUKUM PIDANA , PIDANA, DAN SISTEM PEMIDANAAN
A. Hukum Pidana
Hukum pidana adalah bagian dari hukum publik yang memiliki
karakteristik yang berbeda dengan bidang hukum lainnya, yaitu
adanya sanksi berupa pidana yaitu penderitaan yang dijatuhkan
negara kepada pelaku tindak pidana. Hukum pidana dipandang
sebagai hukum publik karena mengatur hubungan antara individu
dan masyarakat/negara, pidana dijatuhkan untuk mempertahankan
kepentingan umum dan pelaksanaan pidana dilakukan oleh negara.
Hukum pidana dapat dibedakan dalam arti hukum pidana
objektif (ius poenale) dan hukum pidana subjektif (ius puniendi).
Ius poenale diartikan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku
di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang atau yang diperintahkan dengan
disertai sanksi pidana bagi mereka yang melanggar ketentuan
tersebut. Rumusan pengertian ini mengenai perbuatan pidana
(criminal act).
2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan itu dapat dijatuhi pidana sebagaimana
telah diancamkan. Rumusan pengertian ini adalah mengenai
pertanggungjawaban pidana (criminal liability).
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana
tersebut dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka
buku 3 ok edited.indd 17 12/12/2012 9:26:58 AM
18
telah melanggar larangan tersebut. Rumusan pengertian ini
adalah mengenai hukum acara pidana (criminal procedure).
Angka 1 dan 2 merupakan bagian dari hukum pidana materiil yang
menurut Simons diartikan sebagai aturan-aturan yang menetapkan
dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana,
aturan-aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan
pidana dan ketentuan mengenai pidana. Berdasarkan pengertian
tersebut maka kajian mengenai sistem pemidanaan dalam hukum
pidana di dalam dan di luar KUHP merupakan bagian dari hukum
pidana materil, khususnya mengenai pidana.
Ius puniendi dapat diartikan secara luas dan sempit. Ius
puniendi dalam arti luas adalah hak dari negara atau alat-alat
perlengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam pidana
terhadap perbuatan tertentu dan ius puniendi dalam arti sempit
adalah hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan
dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan
perbuatan yang dilarang. Dengan demikian ius puniendi adalah
mengenai hak dari negara untuk mengenakan pidana dengan
berdasar pada ius poenale.
Sehubungan dengan analisis baik terhadap sistem
pemidanaan di dalam dan di luar KUHP, maka terlebih dahulu
akan diuraikan mengenai pengertian hukum pidana umum dan
hukum pidana khusus dan kaitannya dengan ketentuan Pasal 103
KUHP. Sudarto mengingatkan bahwa pengertian hukum pidana
umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare/ius
buku 3 ok edited.indd 18 12/12/2012 9:26:58 AM
19
speciale) tidak dapat dicampuradukkan dengan pengertian bagian
umum dari hukum pidana (general rules/algemene leerstukken)
yang memuat ketentuan-ketentuan atau ajaran-ajaran umum dan
bagian khusus dari hukum pidana (special rules) yang memuat
perumusan tindak pidana.
Hukum pidana umum adalah peraturan-peraturan pidana
dalam KUHP beserta semua perundang-undangan yang
menambah atau mengubah KUHP tersebut. Hukum pidana
khusus adalah semua perundang-undangan di luar KUHP yang
di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari
hukum pidana umum yang menyangkut sekelompok orang atau
perbuatan-perbuatan tertentu. Menurut Andi Hamzah hukum
pidana khusus dapat berupa perundang-undangan pidana dan
bukan perundang-undangan pidana tetapi mengatur sanksi pidana.
Yang termasuk dalam kelompok bukan perundang-undangan
pidana tetapi mengatur sanksi pidana adalah perundang-undangan
hukum administratif yang memuat sanksi pidana. Sudarto di
samping membuat pembedaan hukum pidana umum dan hukum
pidana khusus juga menggunakan istilah undang-undang pidana
khusus yang di dalamnya termasuk: “undang-undang yang tidak
dikodifikasikan”, “peraturan hukum administratif yang memuat
sanksi pidana”, dan “undang-undang yang memuat hukum pidana
khusus”. Sudarto menambahkan kualifikasi undang-undang yang
tidak dikodifikasikan untuk memasukkan perundang-undangan
yang tidak termasuk kualifikasi baik perundang-undangan pidana
buku 3 ok edited.indd 19 12/12/2012 9:26:58 AM
20
maupun perundangan-undangan pidana administratif ke dalam
kelompok ini.
Penyimpangan-penyimpangan pengaturan ketentuan pidana
dalam undang-undang di luar KUHP dimungkinkan berdasarkan
ketentuan dalam Pasal 103 KUHP yang menyatakan:
Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga
berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-
undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh
undang-undang ditentukan lain.
Pembentuk undang-undang menyadari bahwa kodifikasi
suatu undang-undang tidak selamanya dapat mengikuti
perkembangan sosial dan ekonomi masyarakatnya dan oleh karena
itu diatur norma yang memungkinkan dibentuknya undang-undang
lain sesuai dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat
tersebut. Namun demikian perlu dirumuskan suatu kriteria yang
jelas mengenai penyimpangan-penyimpangan aturan umum atau
aturan-aturan tersendiri di luar KUHP khususnya ketentuan
pidana sehingga tetap berada dalam sistem dan operasional.
Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai pidana dan
sistem pemidanaan, terlebih dahulu akan diuraikan mengenai
sifat dan hakikat hukum pidana serta aliran-aliran hukum pidana
yang berkembang yang sedikit banyak mempengaruhi sistem
pemidanaan dalam hukum pidana.
Penggunaan hukum pidana untuk menanggulangi
kejahatan bukan merupakan satu-satunya sarana tetapi dapat juga
digunakan sarana-sarana lain baik non-penal maupun non-hukum.
buku 3 ok edited.indd 20 12/12/2012 9:26:58 AM
21
Tidak ada keharusan untuk menggunakan hukum pidana untuk
menanggulangi kejahatan. Hukum pidana merupakan hukum yang
mempunyai fungsi subsidair (ultima ratio principle) dan hendaknya
baru digunakan apabila upaya-upaya lain diperkirakan kurang
memberi hasil yang memuaskan atau kurang sesuai. Menurut
Merkel tempat hukum pidana adalah selalu subsidair terhadap
upaya hukum lainnya. Pandangan yang sama dikemukakan oleh
Modderman yang menyatakan: negara secara khusus wajib bereaksi
dan menindak pelanggaran hukum atau ketidakadilan yang terjadi
yang tidak lagi dapat ditanggulangi secara memadai oleh sarana-
sarana hukum lain. Pidana tetap harus dipandang sebagai ultimum
remedium. Sedangkan menurut Remmelink hukum pidana hanya
dapat didayagunakan apabila sarana yang dimiliki hukum pidana
tidak lebih buruk dibandingkan dengan penyimpangan perilaku
yang hendak ditanggulanginya.
Dalam penggunaan hukum pidana juga harus memperhatikan
keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki hukum pidana. Hukum
pidana tidak dapat diharapkan dapat mengisi seluruh kekosongan
hukum yang ada, karena terdapat pelanggaran hukum yang
tidak dapat ditanggulangi secara memadai oleh hukum pidana.
Sejalan dengan pandangan tersebut menurut Mulder hukum
pidana merupakan lingkaran terluar dari hukum. Hukum pidana
tidak menawarkan perlindungan menyeluruh atas kepentingan-
kepentingan hukum maupun pengaturan hubungan-hubungan
hukum, melainkan hanya berkenaan dengan upaya melawan
sebagian kecil bentuk-bentuk pelanggaran hukum. Hukum pidana
buku 3 ok edited.indd 21 12/12/2012 9:26:58 AM
22
menjaga dan mempertahankan norma-norma materiil secara
fragmentaris. Oleh karenanya penggunaan hukum pidana dalam
menanggulangi kajahatan harus dilihat dalam kerangka politik
kriminal.
Walaupun hukum pidana memiliki keterbatasan-keterbatasan
namun menurut Roeslan Saleh masih ada dasar susila untuk
menggunakan pidana dan hukum pidana, yaitu:
1. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada tujuan yang
hendak dicapai tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh
untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan.
Persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai
tetapi pada pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai
dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing.
2. Ada usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai
arti sama sekali bagi terpidana dan di samping itu masih tetap
harus ada suatu reaksi atas pelanggaran norma yang telah
dilakukannya dan tidak dapat dibiarkan.
3. Pengaruh pidana dan hukum pidana bukan semata-mata
ditujukan pada penjahat tetapi juga untuk mempengaruhi
anggota masyarakat lainnya mentaati norma hukum yang
berlaku dalam masyarakat.
Sedangkan menurut van Bemmelen jika hukum pidana didekati
dari sudut ketentuan perintah dan larangan serta penegakan hukum
atas peraturan itu khususnya dari sudut hukum acara pidana dan
bukan dari sudut pidananya, maka kita tidak lagi begitu cenderung
untuk menghapuskan hukum pidana. Jika hukum pidana didekati
buku 3 ok edited.indd 22 12/12/2012 9:26:58 AM
23
dari sudut peraturan perintah dan larangan, kita dengan mudah akan
mengerti bahwa ada perbuatan-perbuatan tertentu yang melawan
hukum yang tidak mungkin diterima oleh masyarakat. Jadi hukum
pidana harus tetap ada. Ketika pelanggaran-pelanggaran terhadap
ketentuan dan larangan terjadi tidak mungkin negara menyerahkan
perlindungan terhadap pelanggaran peraturan itu kepada individu
masing-masing. Salah satu alasan terpenting mengapa hukum
pidana tidak dapat dihapuskan sama sekali ialah hukum pidana
menentukan dengan teliti dalam hal-hal mana negara berhak untuk
bertindak terhadap anggota masyarakat melalui jalan hukum acara
pidana.
Uraian di atas menunjukkan bahwa hukum pidana merupakan
sarana yang mempunyai dua sisi mata uang, yaitu sisi positif
dan sisi negatif dan dalam keadaan tertentu hukum pidana tidak
dapat ditinggalkan. Sanksi pidana mempunyai fungsi yang tidak
dimiliki oleh sarana lainnya. Menurut Packer sanksi pidana adalah
sarana yang sangat diperlukan dan merupakan sarana yang terbaik
yang ada untuk menghadapi bahaya atau ancaman dari bahaya
besar dan segera. Namun demikian dalam penggunaannya harus
secara hemat-cermat dan manusiawi. Penggunaan sanksi pidana
secara sembarangan atau menyamaratakan dan secara paksa
akan menyebabkan sarana pidana menjadi pengancam yang
utama dan bukan menjadi penjamin yang utama. Secara negatif
Jeremy Bentham menyatakan bahwa pidana jangan digunakan
apabila tidak berdasar (groundless), tidak berguna (nedless), tidak
menguntungkan (unprofitable), dan tidak mujarab (inefficacious)
buku 3 ok edited.indd 23 12/12/2012 9:26:58 AM
24
untuk menanggulangi tindak pidana.
Oleh karena hukum pidana merupakan bagian dari hukum yang
mempunyai sifat yang kejam dan bahkan dikatakan sebagai hukum
yang “mengiris dagingnya sendiri”, maka dalam penggunaannya
(politik hukum pidana) harus dalam kerangka sistem hukum
pidana dan tujuan pemidanaan. Dalam ilmu hukum pidana terdapat
beberapa aliran hukum pidana, yang tidak berorientasi pada dasar
pembenaran dari pidana tetapi pada sistem hukum pidana yang
praktis dan bermanfaat. Berdasarkan waktu kelahirannya aliran
hukum pidana terdiri dari:
1. Aliran Klasik
Aliran klasik lahir berawal dari pandangan Beccaria
tentang hukum pidana dalam bukunya Dei delitti e delle pene
tahun 1764 sebagai reaksi atas peradilan pidana Perancis yang
arbitrair dan menimbulkan ketidakadilan, ketidaksamaan, dan
ketidakpastian hukum. Beccaria berusaha memperjuangkan
suatu hukum pidana yang lebih adil, lebih objektif dan lebih
memperhatikan perikemanusiaan dan kemerdekaan individu.
Perhatian utama dari aliran klasik adalah pada perbuatan
(daad) dan tidak pada orang yang melakukan tindak pidana
(dader). Aliran klasik dilandasi pandangan indeterministik
mengenai kehendak bebas (free will) manusia, bahwa manusia
mempunyai kehendak bebas dan hal ini merupakan sebab dari
segala keputusan kehendak manusia untuk melakukan suatu
perbuatan termasuk tindak pidana. Menurut Rene Descartes
“the will is perfectly free, so free in its nature that it cannot
buku 3 ok edited.indd 24 12/12/2012 9:26:58 AM
25
be constrained”. Kehendak bebas tersebut berkaitan dengan
kebebasan individu. Freedom in the sense associated with free
will is traditionally defined in terms of the ability of agent, for
anything they do, always to have done otherwise. Pembahasan
kebebasan atau kemerdekaan individu dengan hukum pidana
berkaitan dengan kesalahan atau pertanggungjawaban pidana
dan pemidanaan dalam aliran-aliran hukum pidana. Berkaitan
dengan hal tersebut menurut Roderick M. Chisholm “the
metaphysical problem of human freedom might be summarized
in the following way: human beings are responsible agents; but
this fact appears to conflict with determinstic view of human
action (the view that every event that is involved in an act is
caused by some other event); and it also appears to conflict
with an indeterministic view of human action (the view that
the act, or some event that is essential to the act, is not caused
at all). Pandangan deterministik dan indeterministik tersebut
mempunyai konsekuensi pada penentuan pertanggungjawaban
seseorang atas perbuatan yang dilakukan.
Kemerdekaan individu menurut aliran klasik berpangkal
pada pikiran-pikiran abstrak, yaitu kemerdekaan individu
yang abstrak. Oleh karena itu dalam implementasinya aliran
klasik lebih mengabstrakkan atau mengobjektifkan hukum
pidana dari tabiat dan sifat pribadi pelaku tindak pidana.
Perumusan undang-undang dan perbuatan yang melawan
hukum merupakan titik sentral dari hukum pidana. Hanya
perbuatan-perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana
buku 3 ok edited.indd 25 12/12/2012 9:26:58 AM
26
dalam undang-undang saja yang dapat dipertanggungjawabkan
kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana tersebut.
Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang menurut
undang-undang merupakan tindak pidana, maka pidana yang
diancamkan harus dijatuhkan tanpa menghiraukan tabiat dan
sifat pribadi pelakunya seperti keadaan-keadaan khusus ketika
tindak pidana dilakukan atau keadaan jiwanya. Hakim tidak
diberi kebebasan dalam menjatuhkan pidana dan oleh sebab
itu hakim pidana dibatasi oleh sistem pemidanaan yang tetap
(rigid) atau dikenal dengan sistem “the definite sentence”.
Aliran klasik berlandaskan pada 3 hal pokok, yaitu:
a. Asas legalitas (Nullum delictum, nulla poena, sine
praevia lege poenali). Dalam asas legalitas menurut Paul
Johann Aselm von Feuerbach terkandung makna: setiap
penggunaan pidana harus berdasarkan undang-undang
(nulla poena sine lege), penggunaan pidana hanya
dilakukan terhadap perbuatan yang diancam pidana
oleh undang-undang (nulla poena sine crimine), dan
tindak pidana yang diancam pidana oleh undang-undang
menimbulkan konsekuensi pidana tersebut dijatuhkan
(nullum crimen sine poena legali).
b. Asas kesalahan
Beradasarkan asas kesalahan seseorang hanya dapat
dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan
sengaja atau culpa.
c. Asas pembalasan atau pengimbalan yang sekuler, yaitu
buku 3 ok edited.indd 26 12/12/2012 9:26:58 AM
27
bahwa pidana secara konkret tidak dikenakan dengan
maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat,
melainkan setimpal dengan berat ringannya kejahatan
yang telah dilakukan. Menurut Sue Titus Reid konsepsi
“punishment should fit the crime” merupakan hal esensil
dari aliran klasik.
2. Aliran positif atau aliran modern
Aliran positif atau aliran modern lahir dan berkembang
pada abad 19, berhubungan dengan lahir dan berkembangnya
kriminologi yang menyelidiki mengenai penjahat, asal usul
kejahatan, cara-cara mencegah dan mengurangi kejahatan.
Menurut aliran modern perbuatan seseorang tidak dapat
dilihat secara abstrak dari sudut yuridis semata-mata tetapi
harus dilihat dari sudut pelakunya, yang dalam kenyataan
perbuatan tersebut dipengaruhi oleh watak dan sifat pribadi
serta faktor-faktor lingkungan. Aliran modern dilandasi
pandangan determinisme, yang memandang manusia tidak
mempunyai kehendak bebas (unfree will), tetapi dipengaruhi
oleh watak dan lingkungannya sehingga pelaku tidak dapat
dipersalahkan. Apabila tidak ada kesalahan maka tidak ada
pencelaan dan oleh karenanya tidak ada pemidanaan. Aliran
modern menolak adanya pembalasan berdasarkan kesalahan
subjektif. Pertanggungjawaban seseorang berdasarkan
kesalahan harus diganti dengan sifat bahayanya pelaku dan
bentuk pertanggungjawabannya lebih bersifat tindakan untuk
melindungi masyarakat. Reaksi atas tindak pidana yang
buku 3 ok edited.indd 27 12/12/2012 9:26:58 AM
28
dilakukan tersebut bukan berupa pidana yaitu penderitaan
atau nestapa tetapi berupa tindakan untuk ketertiban
masyarakat. Hukum pidana menurut aliran modern lebih
menitikberatkan pada perlindungan masyarakat dari kejahatan
(prevensi umum). Tujuan aliran modern adalah untuk
mengindividualisasikan hukum pidana, yaitu menyesuaikan
hukum pidana dengan watak dan sifat pribadi pelaku tindak
pidana untuk resosialisasi pelaku tindak pidana. Hukum
pidana menurut aliran modern lebih bersifat subjektif, yaitu
hukum pidana yang lebih menitikberatkan pada pelakunya
daripada perbuatannya.
Setelah Perang Dunia II aliran modern berkembang
menjadi Aliran Perlindungan Sosial (social defence)
yang dipelopori oleh Filippo Gramatica. Berdasarkan
perkembangannya, Aliran Perlindungan Sosial dapat
dibedakan dalam 2 pandangan, yaitu:
a. Konsepsi radikal (ekstrim) dipelopori oleh Filippo
Gramatica. Menurut Gramatica hukum perlindungan
masyarakat (law of social defence) harus menggantikan
hukum pidana yang ada. Tujuan utama perlindungan
sosial adalah untuk mengintegrasikan individu ke
dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap
perbuatannya. Hukum perlindungan masyarakat
menghapuskan pertanggungjawaban pidana berdasar
kesalahan dan digantikan dengan pandangan tentang
perbuatan anti sosial.
buku 3 ok edited.indd 28 12/12/2012 9:26:58 AM
29
b. Konsepsi moderat (reformis) dipelopori oleh Marc
Ancel.
Marc Ancel menamakan gerakannya “defence sociale
nouvelle” (aliran perlindungan sosial baru). Aliran
ini bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsi-
konsepsi perlindungan sosial ke dalam konsepsi hukum
pidana. Menurut aliran ini peranan yang besar dari
hukum pidana dalam suatu sistem hukum merupakan
kebutuhan yang tidak dapat dielakkan. Sistem hukum
pidana, tindak pidana, dan penilaian hakim terhadap
pelaku tindak pidana merupakan lembaga-lembaga yang
harus tetap dipertahankan, namun menolak penggunaan
fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas
dari kenyataan sosial dalam sistem hukum pidana
tersebut. Marc Ancel menolak pandangan aliran klasik
dan neoklasik yang memperlakukan pelaku tindak
pidana sebagai suatu konsepsi hukum yang murni dan
sanksi pidana sebagai suatu konsekuensi yang diperlukan
hukum terhadap pelanggaran ketertiban serta menolak
tujuan pidana atau sanksi lain sebagai “the abstract
restoration of that legal order”.
3. Aliran Neoklasik (neoclassical school)
Aliran neoklasik berasal dari aliran klasik dan mulai
berkembang pada abad 19. Berdasarkan masa perkembangannya
aliran neoklasik telah mendapat pengaruh dari aliran modern.
Landasan aliran neoklasik sama dengan aliran klasik, yaitu
buku 3 ok edited.indd 29 12/12/2012 9:26:58 AM
30
pandangan bahwa manusia mempunyai kehendak bebas (free
will). Namun mengakui bahwa kehendak bebas tersebut
dapat dipengaruhi oleh patologi, ketidakmampuan, penyakit
jiwa dan keadaan-keadaan lain. Menurut aliran neoklasik
pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik terlalu berat dan
merusak semangat kemanusiaan yang berkembang saat itu.
Oleh karena itu diterima adanya keadaan-keadaan yang
meringankan dan pertanggungjawaban pidana sebagian untuk
kasus-kasus tertentu karena penyakit jiwa, usia, dan keadaan-
keadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan
kehendak seseorang pada saat terjadinya kejahatan. Hal lain
adalah pengakuan kesaksian ahli dalam peradilan pidana
untuk menentukan derajat pertanggungjawaban pelaku tindak
pidana.
Berkaitan dengan aliran-aliran hukum pidana, menurut
Muladi berdasarkan pemahaman atas pandangan tokoh-
tokoh aliran-aliran hukum pidana tersebut seringkali terdapat
modifikasi pemikiran yang kadang-kadang memberi kesan
bahwa batas-batas diantara aliran-aliran tersebut bersifat
relatif atau tidak bersifat mutlak. Muladi memberi contoh
pandangan Jeremy Bentham tokoh aliran klasik yang
menganut prinsip-prinsip rasional yang dapat diukur dalam
menilai suatu perbuatan atau pandangan Beccaria tokoh aliran
klasik yang menentang pidana mati atau aliran perlindungan
sosial yang menghidupkan kembali pandangan kehendak
bebas dan pertanggungjawaban yang justru menjadi salah
buku 3 ok edited.indd 30 12/12/2012 9:26:58 AM
31
satu ciri aliran klasik, walaupun tidak menjadi tujuan atau
konsepsi abstrak.
B. Pidana dan Tujuan Pemidanaan
Pidana berasal dari kata straf dalam bahasa Belanda dan
seringkali diterjemahkan secara berbeda misalnya diterjemahkan
“hukuman” yang menurut para ahli hukum pidana dipandang
kurang tepat. Istilah “hukuman” merupakan istilah umum dan
konvensional, dapat mengandung arti yang luas dan berubah-ubah
sesuai dengan konteksnya. Istilah “pidana” lebih sesuai dengan
hukum pidana. Berikut beberapa pengertian mengenai pidana dari
para ahli filsafat dan hukum pidana yang secara langsung atau tidak
langsung dipengaruhi oleh teori-teori pemidanaan yang dianutnya.
Dalam Blak’s Law Dictionary pidana (punishment) diartikan
sebagai any fine, penalty or confinement inflicted upon a person by
the authority od the law and judgment and sentence of the court
for some crime or offense committed by him or for his omission of
a duty enjoined by law. Pidana di sini dapat berupa pidana mati,
penjara, kurungan atau denda yang dijatuhkan oleh orang yang
mempunyai wewenang terhadap pelaku yang melakukan tindak
pidana.
Menurut Roeslan Saleh pidana adalah reaksi atas delik dan
ini berujud nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada
pembuat delik tersebut. Nestapa atau penderitaan tersebut bukan
suatu tujuan akhir yang dicita-citakan masyarakat tetapi hanya
suatu tujuan terdekat. Di samping pidana, untuk mencapai tujuan-
tujuannya hukum pidana juga menggunakan tindakan-tindakan
buku 3 ok edited.indd 31 12/12/2012 9:26:58 AM
32
(maatregelen). Tindakan adalah sanksi yang tidak mengandung
sifat pembalasan.
Pandangan lain dikemukakan oleh Alf Ross yang membedakan
pidana dengan tindakan dengan berdasar pada unsur pencelaan
dan bukan unsur penderitaan. Menurut Alf Ross punishment is that
social response which occurs where there violation of legal rule;
is imposed and carried out by authorised persons on behalf of the
legal order to which the violated rule belongs; involves suffering
or at least other consequences normally considered unpleasant;
expresses disapproval of the violator. Konsep pidana dari Alf Ross
bertolak pada dua tujuan, yaitu: pertama, pidana ditujukan pada
pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan dan
kedua, pidana merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap
perbuatan pelaku.
Dalam ilmu hukum pidana sesuai dengan perkembangan
pemikiran mengenai tujuan pemidanaan yang berusaha mencari
dasar pembenaran dari pidana, dapat diklasifikasi teori-teori
tujuan pemidanaan sebagai berikut:
1. Teori retributif (retributive theory) atau teori absolut
Dasar pembenaran dari pidana menurut teori retributif
adalah terletak pada adanya tindak pidana atau tindak pidana
sendiri yang memuat unsur-unsur yang membenarkan pidana
dijatuhkan. Penganut aliran retributif berpendapat bahwa
“punishment is simply what one deserves for having broken
the law. Punishment is inherently justified in the act of law-
breaking”. Pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan
buku 3 ok edited.indd 32 12/12/2012 9:26:58 AM
33
tindak pidana (quia peccatum est) dan tidak untuk tujuan
lain. Menurut van Bemmelem absolut disini diartikan sebagai
“dilepaskan” dari setiap tujuan apapun. Pidana tidak perlu
mempunyai tujuan praktis atau tujuan lain selain hanya pidana
saja. Kant dan Hegel meyakini mutlak keniscayaan pidana,
sekalipun pemidanaan tersebut sebenarnya tidak berguna atau
bahkan menimbulkan keadaan pelaku tindak pidana menjadi
lebih buruk. Pembalasan tetap dipertahankan sebagai landasan
pidana. Pidana menurut Kant adalah tuntutan etis atau tuntutan
kesusilaan, perintah hati nurani. Pidana merupakan kategori
imperatif atau tuntutan mutlak karena pelaku telah bersalah
melakukan tindak pidana. Pidana bukan merupakan alat
untuk mencapai tujuan melainkan mencerminkan keadilan.
Hegel memandang pidana dari logika dialektis sebagai
konsekuensi logikal dan keniscayaan etis. Pidana adalah
suatu penyangkalan dari penyangkalan hukum yang terletak
dalam tindak pidana itu sendiri. Tindak pidana dalam hal ini
dipandang sebagai pengingkaran terhadap ketertiban hukum
negara yang merupakan perwujudan cita-susila. Menurut
Remmelink ajaran absolut dari Kant dan Hegel tindak pidana
adalah peristiwa yang berdiri sendiri, ada kesalahan yang
harus dipertanggungjawabkan dan dengan pidana persoalan
dituntaskan. Kesalahan hanya dapat ditebus dengan menjalani
pidana. Dalam ajaran absolut sulit untuk membuat argumentasi
teoritis berkaitan dengan strafsoort (jenis pidana) dan strafmaat
(berat ringannya pidana) serta untuk menempatkan pranata-
buku 3 ok edited.indd 33 12/12/2012 9:26:58 AM
34
pranata hukum seperti pidana bersyarat, asas oportunitas,
pernyataan bersalah tanpa penjatuhan pidana, daluwarsa,
reclassering, dan pidana anak.
2. Teori teleologis atau teori tujuan atau teori relatif (utilitarian
theory)
Dasar pembenaran pidana menurut teori tujuan adalah
terletak pada tujuannya. Tujuan-tujuan pidana tersebut harus
mempunyai kemanfaatan, misalnya untuk mempertahankan
tata tertib hukum masyarakat atau mencegah (prevention)
dilakukannya suatu tindak pidana. Oleh karena itu teori ini
disebut teori tujuan (utilitarian theory). Menurut Remmelink
dalam teori relatif hubungan antara ketidakadilan dengan
pidana bukan hubungan yang ditegaskan secara a-priori
sebagaimana teori absolut, tetapi dikaitkan dengan tujuan yang
hendak dicapai. Oleh karena itu teori ini disebut juga teori
relational berkaitan dengan pengertian related to.
Pidana dalam perspektif pertahanan tata tertib
masyarakat adalah suatu noodzakelijk, sesuatu yang terpaksa
diperlukan. Menurut penganut teori tujuan punishment is only
because doing so has socially desirable consequences. Teori
tujuan menekankan pada dua konsekuensi pemidanaan yang
dikehendaki, yaitu pertama, efek pencegahan (deterrent effect).
Pidana biasanya mempunyai nilai karena mencegah pelaku
tindak pidana mengulangi tindak pidananya dan mencegah
yang lainnya untuk melakukan tindak pidana serupa. Kedua,
pidana untuk memperbaiki pelaku tindak pidana. Pidana dapat
buku 3 ok edited.indd 34 12/12/2012 9:26:58 AM
35
mengubah seseorang sehingga dia tidak mudah mempunyai
keingingan untuk menghalangi ketertiban sosial dengan
perbuatan-perbuatan yang melanggar keinginan-keinginan dan
kebutuhan-kebutuhan orang lain yang sah.
Teori tujuan dapat dibedakan dalam teori prevensi
umum dan teori prevensi khusus. Prevensi umum bertujuan
untuk mencegah agar orang pada umumnya melakukan tindak
pidana. Negara berwenang untuk menjatuhkan pidana dan
mencegah rakyat pada umumnya untuk melakukan tindak
pidana. Efek pencegahan dalam prevensi umum terletak
pada pertama, penjatuhan pidana yang bersifat menakutkan.
Pandangan ini menitik beratkan pada eksekusi pemidanaan
yang dipertunjukkan kepada umum sehingga menakutkan
anggota masyarakat untuk melakukan tindak pidana. Oleh
karena itu perlu dibuat pidana yang berat dan eksekusi pidana
yang berat tersebut dilakukan di muka umum. Kedua, unsur
utama yang dapat menahan niat jahat manusia untuk melakukan
tindak pidana terletak pada sanksi pidana. Menurut von
Feuerbach sanksi pidana menimbulkan suatu tekanan secara
kejiwaan atau daya paksa psikis (psychologische zwang) yang
dapat mencegah manusia melakukan tindak pidana. Menurut
Johannes Andenaes prevensi umum mempunyai tiga bentuk
pengaruh, yaitu:
a. Pengaruh pencegahan;
b. Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral;
buku 3 ok edited.indd 35 12/12/2012 9:26:59 AM
36
c. Pengaruh untuk mendorong kebiasaan perbuatan patuh
pada hukum.
Salah seorang penganut teori prevensi umum, van Veen
menyatakan bahwa prevensi umum mempunyai tiga fungsi,
yaitu: (1) menjaga dan menegakkan wibawa penguasa, yaitu
berperan dalam perumusan tindak pidana yang langsung
bersinggungan dengan wibawa pemerintah; (2) menjaga
(pemberlakuan) atau menegakkan norma hukum; (3)
pembentukan norma, menggarisbawahi pandangan bahwa
perbuatan-perbuatan tertentu dianggap a-susila sehingga tidak
diperbolehkan.
Prevensi khusus bertujuan untuk mencegah agar pelaku
tindak pidana tidak mengulangi melakukan tindak pidana.
Teori prevensi khusus mengoreksi kelemahan-kelemahan
yang terdapat dalam prevensi umum. Menurut van Hamel
adalah tidak adil menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak
pidana lebih berat dari tindak pidana yang dilakukannya.
Sanksi pidana terhadap umum tidak dapat diancamkan lebih
berat daripada sanksi pidana terhadap seorang individu,
karena dalam kenyataan dimungkinkan seorang pelaku tindak
pidana mendapat pidana yang beratnya melebihi beratnya
tindak pidana yang dia dilakukan. Oleh karena itu pembentuk
undang-undang dalam menentukan sanksi pidana hanya boleh
membayangkan sanksi pidana terhadap individu. Menurut van
Hamel pidana yang bersifat prevensi khusus adalah:
a. Pidana harus memuat suatu unsur yang menakutkan agar
buku 3 ok edited.indd 36 12/12/2012 9:26:59 AM
37
dapat mencegah secara khusus pelaku tindak pidana
mempunyai kesempatan melakukan niat jahat.
b. Pidana harus memuat suatu unsur yang memperbaiki bagi
terpidana, yang nanti memerlukan reclassering.
c. Pidana harus memuat suatu unsur membinasakan bagi
pelaku tindak pidana yang sama sekali tidak dapat diperbaiki
lagi.
d. Tujuan satu-satunya pidana adalah mempertahankan tata
tertib hukum.
Berbagai pandangan para pakar yang tergolong penganut
teori tujuan atau teori relatif bervariasi dengan titikberat yang
berbeda-beda. Teori-teori dari tokoh aliran ini yang lahir
kemudian berupaya untuk menyempurnakan kelemahan-
kelemahan yang dipandang ada pada teori-teori dari tokoh-
tokoh sebelumnya.
3. Teori menggabungkan atau teori integratif (integrative theory)
Teori ini menggabungkan dasar pembenaran pidana pada
pembalasan (teori absolut) dan tujuan pidana yang bermanfaat
(teori tujuan). Menurut Utrecht teori-teori menggabungkan
dapat dibedakan dalam tiga golongan:
a. Teori menggabungkan yang menitikberatkan pada
pembalasan tetapi pembalasan tersebut tidak boleh melebihi
batas yang diperlukan dan sudah cukup untuk dapat
mempertahankan tata tertib masyarakat.
b. Teori-teori menggabungkan yang menitikberatkan pada
mempertahankan tata tertib masyarakat, tetapi beratnya
buku 3 ok edited.indd 37 12/12/2012 9:26:59 AM
38
pidana harus sesuai dengan beratnya tindak pidana yang
dilakukan.
c. Teori menggabungkan yang menitikberatkan pada
pembalasan dan mempertahankan tata tertib masyarakat.
Menurut Hugo Grotius salah satu penganut teori
menggabungkan: kodrat mengajarkan bahwa siapa berbuat
jahat, ia akan terkena derita. Penderitaan adalah sesuatu yang
wajar ditanggung pelaku tindak pidana, namun berat ringannya
pidana yang layak dijatuhkan pada pelaku didasarkan pada
kemanfaatan sosial. Demikian pula menurut Pellegrino Rossi,
penjatuhan pidana terutama adalah menerapkan pembalasan
dan menjalankan keadilan. Namun karena kita hidup dalam
masyarakat yang tidak sempurna maka tidak mungkin untuk
menuntut keadilan yang absolut dan harus cukup dengan
pemidanaan yang dilandaskan pada tertib sosial etikal yang
tidak sempurna (keadilan sosial).
Packer dalam bab tentang “Toward an Integrated Theory
of Criminal Punishment” kiranya dapat dimasukkan sebagai
penganut teori integratif yang menolak baik teori retributif
maupun teori tujuan. Tujuan utama pemidanaan adalah
pengenaan penderitaan yang setimpal terhadap pelaku tindak
pidana dan pencegahan.
Pakar hukum pidana Indonesia yang dapat dimasukkan
dalam penganut teori integratif tentang tujuan pemidanaan
adalah Muladi. Dalam disertasinya Muladi menyatakan
menganut teori integratif dengan mengadakan kombinasi
buku 3 ok edited.indd 38 12/12/2012 9:26:59 AM
39
tujuan pemidanaan yang cocok dengan pendekatan sosiologis,
ideologis dan yuridis filosofis. Tujuan pemidanaan adalah: (1)
pencegahan (umum dan khusus); (2) perlindungan masyarakat;
(3) memelihara solidaritas sosial masyarakat; dan (4)
pengimbalan/pembalasan.
Dalam Seminar Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
1980 dinyatakan bahwa sesuai dengan politik hukum pidana,
tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan
masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan
hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-
kepentingan masyarakat/negara, korban dan pelaku.
Berdasarkan tujuan pemidanaan dalam seminar tersebut,
menurut Barda Nawawi Arief pemidanaan harus mengandung
unsur-unsur:
a. kemanusiaan, dalam arti menjunjung tinggi harkat dan
martabat seseorang;
b. edukatif, dalam arti harus mampu menimbulkan kesadaran
jiwa yang positif dan konstruktif pada diri pelanggar hukum;
dan
c. keadilan, dalam arti dirasakan adil baik oleh pelaku maupun
korban atau masyarakat.
Dalam konsep KUHP tujuan pemidanaan secara
komprehensif mencakup perlindungan berbagai kepentingan
hukum, yaitu untuk mencegah dilakukannya tindak pidana
dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman
masyarakat, resosialisasi terpidana dengan mengadakan
buku 3 ok edited.indd 39 12/12/2012 9:26:59 AM
40
pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan
berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa
damai dalam masyarakat, serta membebaskan rasa bersalah
pada terpidana. Pandangan mengenai tujuan pemidanaan yang
memberikan perlindungan terhadap berbagai kepentingan
hukum dikemukakan oleh Bassiouni yang menyatakan bahwa
Tujuan pemidanaan menurut Bassiouni pada umumnya terwujud
dalam perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan sosial
yang mengandung nilai-nilai tertentu, yaitu:
a. Pemeliharaan tertib masyarakat;
b. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian
atau bahaya-bahaya yang bersifat melawan hukum;
c. Memasyarakatkan kembali para pelaku tindak pidana
(resosialisasi);
d. Memelihara dan mempertahankan integritas pandangan-
pandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat
kemanusiaan, dan keadilan individu.
Pandangan mengenai tujuan pemidanaan dari Remmelink
lebih menitikberatkan pada perlindungan masyarakat dan
norma yang diaturnya. Menurut Remmelink tujuan sanksi
pidana adalah untuk melindungi masyarakat terhadap ancaman
bahaya in concreto atau yang mungkin muncul di masa
depan sebagai dampak pelanggaran norma tersebut atau yang
bersumber dari pelaku. Sanksi pidana dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan terhadap norma. Selama norma
buku 3 ok edited.indd 40 12/12/2012 9:26:59 AM
41
hukum belum dilanggar, sanksi pidana hanya memiliki fungsi
preventif dan ketika terjadi pelanggaran daya kerjanya berubah
sekaligus juga menjadi represif.
Sehubungan dengan berbagai pandangan mengenai
tujuan pemidanan dalam ilmu hukum pidana di atas bagi negara
Indonesia tujuan pemidanaan tersebut tentunya tidak dapat
begitu saja mengadopsi teori-teori tujuan pemidanaan tersebut
tetapi sudah seharusnya disesuaikan dengan nilai-nilai sosial
budaya bangsa Indonesia. Kiranya dapat disetujui pandangan
Muladi mengenai tujuan pemidanaan yang integratif dengan
didasarkan pada alasan sosiologis (hakikat manusia dalam
konteks masyarakat Indonesia), ideologis (filsafat Pancasila),
dan yuridis filosofis masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia.
Mengingat hukum pidana atau pidana menurut Packer dapat
menjadi pengancam yang utama (prime threatener) bila
digunakan secara paksa, menyamaratakan, dan tidak manusiawi
maka pemikiran-pemikiran berikut harus dipertimbangkan
ketika hukum pidana atau pidana akan didayagunakan.
a. Nigel Walker
Dalam menggunakan sarana penal Nigel walker
mengemukakan prinsip-prinsip pembatas (the limiting
principles) yang harus diperhatikan:
hukum pidana jangan digunakan semata-mata untuk
tujuan pembalasan;
hukum pidana jangan digunakan untuk memidana
perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan;
buku 3 ok edited.indd 41 12/12/2012 9:26:59 AM
42
hukum pidana jangan digunakan untuk mencapai suatu
tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan
sarana-sarana yang lebih ringan;
hukum pidana jangan digunakan apabila kerugian/bahaya
yang timbul dari pidana lebih besar daripada kerugian/
bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri;
hukum pidana jangan mengandung sifat yang lebih
berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah;
hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang
tidak mendapat dukungan kuat dari publik.
b. Modderman
Dalam penggunaan hukum pidana menurut Modderman
terdapat beberapa asas yang harus diperhatikan, yaitu:
1) Yang dapat dipidana adalah orang yang melanggar
hukum;
2) Perbuatan itu melanggar hukum;
3) Ancaman pidana harus tetap merupakan suatu ultimum
remedium;
4) Harus mempertimbangkan untung dan rugi penggunaan
sanksi pidana;
5) Sanksi pidana tidak boleh lebih jahat dari kejahatannya.
c. Herbert L. Packer
Penggunaan pidana sebagai salah satu alternatif untuk
menanggulangi tindak pidana harus memperhatikan lima
karakteristik pidana berikut:
buku 3 ok edited.indd 42 12/12/2012 9:26:59 AM
43
a. it must be involve pain or other consequences normally
considered unpleasant;
b. it must be for an offense against legal rules.
c. It must be imposed on an actual or supposed offender for
his offense.
d. It must be intentionally administered by human beings
other than offender.
e. It must be imposed and administered by an authority
constituted by a legal system against which he offense is
committed.
Berbagai teori dan pandangan para pakar hukum pidana
tersebut di atas menunjukkan bahwa hukum pidana mempunyai
kontribusi yang relatif penting dalam penanggulangan tindak
pidana. Berdasarkan landasan asas legalitas, politik hukum
pidana (kebijakan legislatif/formulatif) dalam hal ini proses
pembentukan hukum pidana merupakan hal esensil dan mutlak
dilakukan. Asas legalitas mensyaratkan bahwa perbuatan
yang dikualifikasi sebagai tindak pidana dan diancam dengan
pidana harus diatur dalam undang-undang. Dengan demikian
pembentukan undang-undang dalam politik hukum pidana
mempunyai peranan yang penting dan strategis. Menurut
Romli Atmasasmita peranan pembentuk undang-undang
sangat menentukan dalam politik kriminal (criminal policy),
yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum
pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus
menjadi tujuan dari penegakan hukum. Demikian pula
buku 3 ok edited.indd 43 12/12/2012 9:26:59 AM
44
pandangan Sudarto yang menyatakan bahwa pembentukan
undang-undang merupakan proses sosial dan proses politik
yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas
karena undang-undang tersebut akan memberi bentuk dan
mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-undang
mempunyai dua fungsi, yaitu: fungsi untuk mengekspresikan
nilai-nilai dan fungsi instrumental.
Pandangan tersebut ini tidak dapat dilepaskan dari sistem
hukum Indonesia yang menempatkan perundang-undangan
(hukum tertulis) sebagai sumber hukum utamanya. Oleh
karena itu dalam pembentukan undang-undang yang dilakukan
melalui proses politik harus memperhatikan persyaratan
berikut:
1. Dapat menyerap aspirasi suprastruktural;
2. Dapat mengartikulasi aspirasi infrastruktural;
3. Mengikutsertakan pandangan-pandangan kepakaran;
4. Memperhatikan kecenderungan-kecenderungan
internasional yang diakui masyarakat beradab;
5. Menjaga sinkronisasi vertikal dan horisontal;
6. Dapat menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan
antara pemikiran penertiban (ordeningsdenken) dan
pemikiran pengaturan (regelingsdenken).
Persyaratan yang harus diperhatikan oleh pembentuk
undang-undang tersebut adalah ideal untuk membentuk undang-
undang yang baik, termasuk mengenai norma pemidanaannya
yaitu undang-undang yang memenuhi landasan filosofis,
buku 3 ok edited.indd 44 12/12/2012 9:26:59 AM
45
sosiologis, politis, dan adaptif. Dalam proses pembentukan
suatu undang-undang sudah seharusnya melibatkan tidak saja
unsur birokrat (eksekutif) dan legislatif (DPR) tetapi juga
melibatkan stakeholder atau unsur-unsur dari masyarakat yang
mempunyai kapabilitas untuk memenuhi persyaratan tersebut.
C. Sistem Pemidanaan
Pemidanaan berasal dari kata dasar “pidana” yang mendapat
awalan “pe” dan akhiran “an” yang dalam bahasa Indonesia awalan
dan akhiran “pe-an” tersebut merupakan pembentuk kata benda,
dengan demikian dapat diartikan pemidanaan sebagai penjatuhan
pidana atau pemberian pidana. menurut Sudarto sinonim dari
pemidanaan adalah penghukuman dalam perkara pidana.
Pengertian sistem pemidanaan menurut Hulsman dapat
mempunyai arti yang relatif luas, yaitu aturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan.
Selanjutnya menurut Barda Nawawi Arief bila pemidanaan diartikan
secara luas sebagai suatu proses penjatuhan atau pemberian pidana
maka sistem pemidanaan mencakup keseluruhan perundang-
undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan
atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi
pidana. Hal ini berarti semua perundang-undangan hukum pidana
substantif, hukum pidana formil, dan hukum pelaksanaan pidana
merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan. Lebih lanjut menurut
Barda sistem pemidanaan dalam arti luas berkaitan dengan sistem
hukum nasional.
Dalam penulisan ini sistem pemidanaan tidak diartikan dalam
buku 3 ok edited.indd 45 12/12/2012 9:26:59 AM
46
arti luas tetapi dibatasi dalam hukum pidana substantif yang terdapat
dalam KUHP dan undang-undang di luar KUHP sebagai subsistem
pemidanaan. Menurut Barda sistem pemidanaan substantif adalah
sistem pemidanaan dalam perundangan-undangan pidana atau
keseluruhan aturan hukum pidana positif/perundang-undangan
pidana. Ketentuan-ketentuan tentang pemidanaan dalam Aturan
Umum (Buku I KUHP) maupun ketentuan penyimpangannya
dalam undang-undang di luar KUHP dan Aturan Khusus mengenai
tindak pidana (Buku II dan Buku III KUHP serta undang-undang
di luar KUHP) merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan.
Penulisan sistem pemidanaan ini akan menyoroti mengenai sistem
sanksi, jenis sanksi pidana (strafsoort), berat ringannya pidana
(strafmaat), dan cara pidana dilaksanakan (strafmodus) serta
sistem perumusan sanksi pidana.
buku 3 ok edited.indd 46 12/12/2012 9:26:59 AM
47
BAB III
ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN HUKUM PIDANA
INDONESIA
DI DALAM DAN DI LUAR KUHP
A. Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia di Dalam
dan di Luar KUHP
Buku I KUHP tentang Ketentuan Umum mengatur mengenai
asas, pengertian, dan ajaran hukum pidana termasuk mengenai
pemidanaan. Ketentuan-ketentuan dalam Buku I KUHP tersebut
khususnya Bab I sampai dengan Bab VIII berlaku terhadap
perbuatan-perbuatan yang diancam dengan pidana baik yang
terdapat dalam KUHP, yaitu Buku II tentang Kejahatan dan
Buku III tentang Pelanggaran maupun di luar KUHP, yaitu
perundang-undangan yang mengatur perbuatan-perbuatan
tertentu dengan ancaman pidana. Perundang-undangan pidana
tersebut dapat dikualifikasikan sebagai hukum pidana khusus atau
hukum administrasi yang memuat sanksi pidana (hukum pidana
administratif).
Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 103 KUHP yang
menyatakan bahwa “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab
VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh
ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana,
kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”. Ketentuan
Pasal 103 tersebut mengandung makna, yaitu:
buku 3 ok edited.indd 47 12/12/2012 9:26:59 AM
48
1. Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII Buku I
tentang Ketentuan Umum berlaku bagi tindak pidana yang
diatur di dalam KUHP dalam hal ini Buku II tentang Kejahatan
dan Buku III tentang Pelanggaran.
2. Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII Buku I
tentang Ketentuan Umum berlaku bagi tindak pidana yang
diatur di luar KUHP atau undang-undang di luar KUHP memuat
sanksi pidana.
3. Undang-undang di luar KUHP dapat mengatur ketentuan-
ketentuan yang menyimpang dari Aturan Umum dalam Bab I
sampai Bab VIII Buku I.
Dengan demikian maka ketentuan-ketentuan mengenai
pemidanaan dalam Buku I KUHP juga berlaku bagi tindak pidana
di dalam dan diluar KUHP sepanjang undang-undang di luar
KUHP tidak mengatur lain menyimpang dari Aturan Umumnya.
Berdasarkan argumentasi tersebut dapat dipahami bahwa menurut
Barda Nawawi Arief sistem pemidanaan substansial dalam Aturan
Umum (Buku I KUHP) dipandang sebagai sistem induk dari
sistem pemidanaan dalam hukum pidana positif Indonesia atau
perundang-undangan pidana Indonesia. Sebagai suatu sistem
ketentuan-ketentuan dalam Buku I KUHP sebagai subsistem
pemidanaan merupakan satu kesatuan dan oleh karenanya juga
ketentuan-ketentuan yang mengatur pemidanaan baik dalam
Buku II dan Buku III KUHP maupun dalam perundang-undangan
di luar KUHP harus menginduk pada sistem pemidanaan dalam
Buku I KUHP. Apabila ketentuan pemidanaan dalam perundang-
buku 3 ok edited.indd 48 12/12/2012 9:26:59 AM
49
undangan di luar KUHP tidak sesuai (compatible) dengan sistem
induknya maka ketentuan pemidanaan tersebut tidak dapat
diimplementasikan.
Buku I KUHP Bab I sampai Bab VIII mengatur ketentuan-
ketentuan sebagai berikut:
1. Bab I - Batas-batas berlakunya Aturan Pidana dalam Perundang-
undangan.
2. Bab II – Pidana.
3. Bab III - Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau
Memberatkan Pidana.
4. Bab IV – Percobaan.
5. Bab V - Penyertaan Dalam Tindak Pidana.
6. Bab VI - Perbarengan Tindak Pidana.
7. Bab VII - Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan dalam
Hal Kejahatan-kejahatan yang Hanya Dituntut atas Pengaduan.
8. Bab VIII - Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan
Menjalankan Pidana.
Dari kedelapan Bab tersebut, yang berkaitan dengan sistem
pemidanaan adalah Bab II tentang Pidana, Bab III tentang Hal-
hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana,
dan Bab VIII tentang Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana
dan Menjalankan Pidana. Ketentuan mengenai pemidanaan di
samping yang ada dalam KUHP juga dalam perundang-undangan
di luar KUHP. Analisis akan dilakukan terhadap KUHP dan
perundang-undangan di luar KUHP dalam konteks satu kesatuan
sistem pemidanaan.
buku 3 ok edited.indd 49 12/12/2012 9:26:59 AM
50
1. Strafsoort (Jenis-jenis Pidana)
Jenis-jenis pidana menurut KUHP terdiri dari pidana pokok
dan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 10:
a. Pidana pokok, yaitu:
1) pidana mati;
2) pidana penjara;
a) seumur hidup; atau
b) selama waktu tertentu: paling pendek 1 hari, paling
lama 15 tahun. Tidak boleh lebih dari 20 tahun dan
alternatif dengan pidana mati atau seumur hidup.
3) pidana kurungan;
Paling sedikit 1 hari dan paling lama 1 tahun. Pemberatan
kurungan dapat menjadi 1 tahun 4 bulan.
4) pidana denda;
5) pidana tutupan. Pidana tutupan didasarkan pada Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman
Tutupan.
b. Pidana tambahan, yaitu:
1) pencabutan hak-hak tertentu;
2) perampasan barang-barang tertentu;
3) pengumuman putusan hakim.
Di samping jenis sanksi berupa pidana, dalam KUHP
juga diatur jenis sanksi berupa tindakan sebagaimana diatur dalam
Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 dan Pasal 46. Jenis sanksi berupa
tindakan tersebut adalah:
a. Hakim dapat memerintahkan supaya orang yang tidak dapat
buku 3 ok edited.indd 50 12/12/2012 9:26:59 AM
51
dipertangungjawabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya
atau terganggu karena penyakit dimasukkan ke rumah sakit
jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. (Pasal
44 ayat 2)
b. Hakim dapat memerintahkan supaya anak yang bersalah, yang
belum cukup umur (minderjarig) atau sebelum umur 16 tahun
untuk:
1) dikembalikan kepada orang tuanya, walinya atau
pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau
2) memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada
pemerintah tanpa pidana apa pun (Pasal 45).
Jika diserahkan pada pemerintah dan anak tersebut dimasukkan
dalam rumah pendidikan negara maka penyelenggaraannya
didasarkan pada Dwangopvoedingregeling (Lembaga Pendidikan
Paksa) Staatsblaad 1916 Nomor 741. Pendidikan negara tersebut
agar anak tersebut menerima pendidikan dari pemerintah atau di
kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang
tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu
badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan
di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di
kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain;
dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah
itu mencapai umur delapan belas tahun.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa
pada dasarnya KUHP telah menganut sistem sanksi dua jalur
(double track system) yaitu pidana dan tindakan walaupun tidak
buku 3 ok edited.indd 51 12/12/2012 9:26:59 AM
52
dinyatakan secara tegas dalam rumusan pasalnya.
Jenis-jenis pidana yang dipergunakan dalam perundang-
undangan di luar KUHP pada dasarnya sama dengan yang diatur
dalam Pasal 10 KUHP, yaitu:
1) pidana mati
2) pidana penjara
3) pidana kurungan
4) pidana denda
Pidana tutupan tidak pernah digunakan dalam undang-undang di
luar KUHP.
Pada umumnya jenis pidana yang sering digunakan adalah pidana
penjara dan pidana denda, hampir setiap undang-undang di luar
KUHP yang memuat ancaman pidana menggunakan pidana
penjara dan pidana denda. Dari 55 undang-undang di luar KUHP
yang diteliti hanya 3 undang-undang yang tidak menggunakan
pidana penjara, yaitu Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan
Hewan (menggunakan pidana kurungan dan denda), Undang-
Undang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(hanya menggunakan pidana denda), dan Undang-Undang
Jaminan Sosial Tenaga Kerja (menggunakan pidana kurungan
dan denda), sedangkan pidana denda digunakan hampir di semua
undang-undang kecuali Undang-Undang Pengadilan HAM.
Undang-undang di luar KUHP yang menggunakan pidana mati
hanya 4 undang-undang, yaitu Undang-Undang Psikotropika,
Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Terorisme, dan
Undang-Undang Pengadilan HAM.
buku 3 ok edited.indd 52 12/12/2012 9:26:59 AM
53
Pidana tambahan dalam beberapa undang-undang di luar
KUHP diatur secara tersendiri. Dari 55 undang-undang yang
diteliti, 24 undang-undang mengatur pidana tambahan.
Berikut beberapa jenis pidana tambahan yang diatur dalam
undang-undang di luar KUHP:
a. Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi
1) pencabutan hak dalam Pasal 35 KUHP untuk selama waktu
tertentu.
2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan terpidana
paling lama 1 tahun.
3) perampasan barang-barang tidak tetap yang berwujud dan
yang tak berwujud, yang termasuk perusahaan
terpidana.
4) pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu,
yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh
Pemerintah.
5) pengumuman putusan hakim.
b. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
1) Pidana tambahan dalam KUHP
a) pencabutan hak-hak tertentu;
b) perampasan barang-barang tertentu;
c) pengumuman putusan hakim.
2) Pidana tambahan lain berupa: (Pasal 18)
a) perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang
tidak berwujud;
buku 3 ok edited.indd 53 12/12/2012 9:26:59 AM
54
b) pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-
banyaknya dengan harta benda yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi;
c) penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu
paling lama 1 (satu) tahun;
d) pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang
telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada
terpidana.
c. Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang
1) Pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya (Pasal 8
ayat (2));
2) pencabutan izin usaha;
3) perampasan kekayaan hasil tindak pidana;
4) pencabutan status badan hukum;
5) pemecatan pengurus; dan/atau
6) pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan
korporasi dalam bidang usaha yang sama.
d. Undang-Undang Pornografi
1) pembekuan izin usaha;
2) pencabutan izin usaha;
3) perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan
4) pencabutan status badan hukum.
e. Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang
1) pengumuman putusan hakim;
buku 3 ok edited.indd 54 12/12/2012 9:27:00 AM
55
2) pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi;
3) pencabutan izin usaha;
4) pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi;
5) perampasan aset Korporasi untuk negara.
f. Undang-Undang Psikotropika
Pencabutan izin usaha
g. Undang-Undang Perlindungan Konsumen
1) perampasan barang tertentu;
2) pengumuman keputusan hakim;
3) pembayaran ganti rugi;
4) perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian konsumen;
5) kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau
6) pencabutan izin usaha.
h. Undang-Undang Telekomunikasi
Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam
tindak pidana dirampas untuk negara dan/atau dimusnahkan.
i. Undang-Undang Paten
Barang hasil pelanggaran paten disita untuk dimusnahkan.
j. UU Minyak dan Gas Bumi
1) Pencabutan hak atau
2) Perampasan barang yang digunakan untuk atau yang
diperoleh dari tindak pidana
k. Undang-Undang Hak Cipta
Ciptaan atau barang hasil tindak pidana hak cipta atau hak
terkait serta alat yang digunakan dirampas oleh negara untuk
buku 3 ok edited.indd 55 12/12/2012 9:27:00 AM
56
dimusnahkan.
l. Undang-Undang Perkebunan
Semua benda hasil tindak pidana dapat dirampas dan/atau
dimusnahkan oleh negara.
m. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga
1) pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk
menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu
tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;
2) penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah
pengawasan lembaga tertentu.
n. Undang-Undang Praktik Kedokteran
Pencabutan izin.
o. Undang-Undang Kewarganegaraan RI
Dicabut izin usahanya.
p. Undang-Undang Penanggulangan Bencana
1) Pencabutan izin usaha; atau
2) Pencabutan status badan hukum.
q. Undang-Undang Penataan Ruang
1) Pencabutan izin usaha dan/atau
2) Pencabutan status badan hukum
3) Pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya
r. Undang-Undang Pelayaran
Pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.
s. UU Pertambangan, Mineral dan Batubara
1) Pencabutan izin usaha; dan/atau
buku 3 ok edited.indd 56 12/12/2012 9:27:00 AM
57
2) Pencabutan status badan hukum
3) Perampasan barang yang digunakan dalam melakukan
tindak pidana
4) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
dan/atau
5) Kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak
pidana.
t. Undang-Undang Peternakan Kesehatan Hewan
Pencabutan izin usaha, status badan hukum atau status
kepegawaian dari pejabat yang berwenang.
u. Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
1) pencabutan Surat Izin Mengemudi atau
2) ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu
lintas.
3) pembekuan sementara atau
4) pencabutan izin penyelenggaraan angkutan bagi kendaraan
yang digunakan.
v. Undang-Undang Narkotika
1) pencabutan izin usaha; dan/atau
2) pencabutan status badan hukum.
3) Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasil-hasil yang
diperoleh dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak
pidana Prekursor Narkotika dirampas untuk negara.
w. Undang-Undang Perikanan
Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang
dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk
buku 3 ok edited.indd 57 12/12/2012 9:27:00 AM
58
negara.
Perumusan pidana tambahan dalam undang-undang di luar
KUHP disesuaikan dengan karateristik tindak pidananya
sehingga beberapa undang-undang mengatur pidana tambahan
yang berbeda dengan undang-undang yang lain.
Beberapa undang-undang di luar KUHP juga mengatur
sanksi berupa tindakan (treatment/maatregel) secara bervariasi
sesuai dengan karakteristik tindak pidananya, antara lain:
1) Undang-Undang tindak Pidana Ekonomi
a) penempatan perusahaan si-terhukum, di mana dilakukan
suatu tindak-pidana ekonomi di bawah pengampuan untuk
waktu tertentu ( tiga tahun, kejahatan dan 2 tahun untuk
pelanggaran).
b) kewajiban membayar uang-jaminan selama waktu tertentu.
c) kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak,
meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan
jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain,
semua atas biaya terpidana sekadar hakim tidak menentukan
lain.
2) Undang-Undang Pemberantasan Terorisme
Dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai
korporasi yang terlarang
3) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup
a) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
dan/atau
b) penutupan seluruhnya atau sebagaian perusahaan; dan/atau
buku 3 ok edited.indd 58 12/12/2012 9:27:00 AM
59
c) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
d) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak;
dan/atau
e) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
f) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling
lama 3 (tiga) tahun.
4) Undang-Undang Narkotika
Kewajiban untuk rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Dalam Undang-Undang Pemberantasan Terorisme di atas
“pembekuan atau pencabutan izin usaha korporasi” menjadi
sanksi berupa tindakan sedangkan dalam undang-undang lain
menjadi pidana tambahan.
Berdasarkan jenis-jenis sanksi yang diatur dalam undang-
undang di luar KUHP sebagaimana diuraikan di atas maka pada
umumnya sistem sanksi yang dianut adalah sistem satu jalur,
yaitu hanya menggunakan sanksi pidana saja baik pidana pokok
saja maupun dengan pidana tambahan (51 undang-undang dari
55 undang-undang di luar KUHP yang diteliti). Hanya 4 undang-
undang di luar KUHP yang menggunakan sistem dua jalur (double
track system), yaitu sanksi pidana dan tindakan.
Penggunaan jenis sanksi pidana pokok pada dasarnya
sesuai dengan sistem induknya yang diatur dalam Buku I
KUHP, sedangkan pidana tambahan dan tindakan banyak yang
menyimpang dari ketentuan umumnya. Penyimpangan ini
dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 103 KUHP, namun
untuk penggunaan pidana tambahan harus tetap memperhatikan
buku 3 ok edited.indd 59 12/12/2012 9:27:00 AM
60
tujuan pemidanaan karena tidak dapat dilepaskan dari pidana
pokoknya. Demikian pula penggunaan “tindakan” harus
memperhatikan hakikatnya yang tidak bersifat penghukuman
tetapi lebih pada memulihkan keadaan.
2. Strafmaat (Berat ringannya Pidana)
Strafmaat atau penetapan berat ringannya pidana dalam
KUHP menganut sistem maksimum (indefinite), dengan
minimum umum yang sangat rendah, yaitu 1 hari untuk pidana
penjara dan pidana kurungan. Pidana pengganti denda adalah
pidana kurungan paling sedikit 1 hari dan paling lama 6 bulan.
Jika ada pemberatan pidana kurungan pengganti denda dapat
menjadi 8 bulan. Dalam KUHP tidak diatur mengenai sanksi
pidana minimum khusus.
Dalam undang-undang di luar KUHP terdapat 3 sistem yang
digunakan, yaitu:
a. Sistem maksimum (indefinite) dan tidak ada sanksi
minimum khusus. Sanksi pidana hanya merumuskan
pidana maksimumnya saja sehingga penerapannya akan
berpedoman pada sistem KUHP.
b. Sistem minimum khusus. Sanksi pidana merumuskan sanksi
minimum yang dapat dijatuhkan dan tetap merumuskan
sanksi maksimumnya.
c. Sistem maksimum (indefinite) dan minimum khusus.
Sanksi pidana dalam undang-undang dirumuskan dengan
menggunakan sistem maksimum sebagaimana dianut
buku 3 ok edited.indd 60 12/12/2012 9:27:00 AM
61
KUHP dan menggunakan sistem minimum khusus.
Walaupun sistem maksimum dipandang memiliki
kelemahan karena berpeluang menimbulkan adanya disparitas
pidana dan pidana penjara akan dijatuhkan sangat rendah,
namun alternatif menggunakan sistem minimum khusus juga
belum tentu merupakan solusi yang baik dan tetap. Apabila
sistem minimum khusus dimaksudkan untuk mengurangi
disparitas pidana dalam rangka keadilan pihak korban dan/atau
masyarakat namun dalam saat yang sama penggunaan sistem
minimum khusus dapat juga mengancam keadilan tersangka
dan/atau masyarakat. Hal ini berdasarkan pertimbangan
bahwa kualitas tindak pidana dapat berbeda-beda, dari mulai
gradasi yang paling rendah dengan sifat ketercelaan yang
rendah pula sampai gradasi yang paling tinggi dengan sifat
ketercelaan yang sangat tercela dan untuk itu tidak mungkin
ditentukan sanksi minimum pada tingkatan tertentu yang juga
diberlakukan pada tindak pidana dengan sifat ketercelaan yang
relatif rendah. Di samping itu berdasarkan kenyataan dalam
praktik pengadilan disparitas pidana dalam penerapan undang-
undang yang menggunakan sistem minimum khusus juga tetap
tidak dapat dihindarkan karena pada akhirnya tergantung dari
hakim yang memutuskan.
Penggunaan sistem minimum khusus dalam undang-
undang di luar KUHP juga patut dikritisi karena tampaknya
tidak didasarkan pemahaman yang baik mengenai fungsi dan
urgensi sanksi minimum khusus. Sanksi minimum khusus
buku 3 ok edited.indd 61 12/12/2012 9:27:00 AM
62
digunakan untuk pidana yang relatif ringan, yaitu pidana
penjara minimum dalam hitungan hari atau bulan dan
selisih dengan pidana maksimum juga hanya beberapa bulan
(tidak sampai satu tahun), di samping juga digunakan untuk
pidana kurungan. Penggunaan sanksi minimum khusus untuk
pidana yang relatif ringan tidak akan mempunyai fungsi apa-
apa. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah Pasal 115
misalnya terdapat rumusan “pidana penjara paling singkat
15 (lima belas) hari dan paling, lama 3 (tiga) bulan dan/atau
denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)”. Tidak ada
pola atau pedoman pemidanaan dalam penggunaan sistem
minimum khusus dalam berbagai undang-undang di luar
KUHP. Hal ini menyebabkan berbagai ketentuan tersebut tidak
efektif seperti halnya putusan Pengadilan HAM kasus Timor
Timur yang menjatuhkan pidana di bawah minimum khusus
yang sudah ditentukan undang-undang karena dipandang
apabila dijatuhkan pidana minimum khusus dipandang tidak
proporsional dan tidak adil.
Penetapan pidana penjara dalam berbagai undang-
undang di luar KUHP menunjukkan disparitas yang relatif
drastis perbedaannya. Dalam undang-undang tertentu seperti
Undang-Undang Pemerintahan Daerah pidana penjara yang
ditetapkan hanya hitungan hari atau bulan sedangkan dalam
undang-undang lain seperti Undang-Undang ITE, Undang-
buku 3 ok edited.indd 62 12/12/2012 9:27:00 AM
63
Undang Narkotika, Undang-Undang Psikotropika, dll.
ditetapkan lebih dari 5 tahun bahkan sampai 20 tahun atau
seumur hidup. Padahal untuk beberapa perbuatan tampaknya
tidak terlalu membahayakan atau merugikan masyarakat dan
termasuk pelanggaran administratif yang relatif ringan. Tidak
ada pola atau pedoman pemidanaan yang digunakan dalam
penetapan sanksi pidana dalam undang-undang di luar KUHP.
Demikian pula penetapan sanksi pidana denda dalam
undang-undang di luar KUHP menunjukkan tidak adanya
pola dan pedoman pemidanaan yang jelas. Dalam undang-
undang tertentu pidana denda yang ditetapkan hanya
ratusan ribu namun dalam undang-undang lainnya sampai
miliar rupiah bahkan triliun rupiah. Selanjutnya penetapan
apakah pidana penjara dan pidana denda ditetapkan secara
kumulatif, alternatif, atau kumulatif alternatif juga tidak jelas
dasar penetapannya. Penetapan-penetapan tersebut seperti
terlepas dari tujuan pemidanaan yang sesuai dengan negara
Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bahkan
kecenderungannya adalah dalam setiap undang-undang yang
dibentuk selalu ada ketentuan pidananya walaupun undang-
undang tersebut termasuk dalam bidang hukum perdata atau
hukum administrasi. Tampak fungsi pidana yang subsidair,
ultimum remedium tidak menjadi pertimbangan dalam
kebijakan hukum pidananya. Ketentuan-ketentuan dalam
KUHP baik Buku I maupun Buku II dan Buku III tidak dijadikan
pedoman atau acuan dalam kebijakan hukum pidana undang-
buku 3 ok edited.indd 63 12/12/2012 9:27:00 AM
64
undang di luar KUHP sebagai bagian dari upaya harmonisasi.
Walaupun KUHP sudah ketinggalan zaman namun sistem
pemidanaan dalam Buku I KUHP merupakan sistem induk
yang berlaku untuk semua ketentuan yang mengatur tindak
pidana.
Dalam Undang-Undang Pengadilan HAM sanksi pidana
penjara dirumuskan menyimpang dari ketentuan dalam KUHP,
yaitu adanya sanksi pidana penjara paling lama 25 tahun. Dalam
KUHP ditentukan pidana penjara tertentu tidak boleh lebih dari
20 tahun. Walaupun penyimpangan tersebut dimungkinkan,
namun penentuan pidana penjara paling lama 25 tahun harus
mempunyai dasar yang jelas, karena penggunaan sanksi pidana
penjara 20 tahun dirumuskan alternatif dengan pidana mati
atau pidana penjara seumur hidup. karakteristik pelanggaran
HAM berat yang dipandang sebagai extra ordinary crime
sesungguhnya masih dapat menggunakan sanksi maksimum
yang dianut dalam KUHP.
Penyimpangan lain penentuan strafmaat dalam undang-
undang di luar KUHP adalah:
a. Penetapan pidana pengganti denda, yang menurut KUHP
adalah 1 tahun kurungan dan dengan pemberatan sampai
1 tahun 4 bulan. Dalam Undang-Undang Perlindungan
saksi dan korban pidana pengganti denda adalah pidana
penjara dan menggunakan sistem minimum khusus, yaitu
pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3
buku 3 ok edited.indd 64 12/12/2012 9:27:00 AM
65
tahun. Dalam Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan usaha Tidak Sehat pidana pengganti
denda ditetapkan bervariasi yaitu pidana kurungan antara
3 bulan s.d. 6 bulan. Sedangkan dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur:
1) Pidana tambahan berupa membayar uang pengganti tidak
dilaksanakan paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan
sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita
oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut. (Pasal 18 ayat (2)
2) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda
yang mencukupi untuk membayar uang pengganti
dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak
melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya
dan karenanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam
putusan pengadilan. (Pasal 18 ayat (3)
b. pemberatan pidana ditetapkan berbeda-beda, antara lain:
1) dipidana dengan pidana pokok ditambah 1/3.
2) sanksi pidana ditambah ¼ bila menimbulkan luka berat.
3) transanksi pidana ditambah 1/3 bila menimbulkan
kematian.
4) ancaman pidana denda diperberat 1/3.
5) pidana pokok dan ditambah 2/3 dari pidana pokok.
6) pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang
dijatuhkan.
buku 3 ok edited.indd 65 12/12/2012 9:27:00 AM
66
c. penetapan pidana untuk korporasi (badan hukum dan bukan
badan hukum) ditetapkan berbeda-beda, antara lain:
1) pidana denda terhadap korporasi maksimum pidana
pokok dikalikan 3 (tiga).
2) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah
pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00
(seratus miliar rupiah).
3) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi hanya pidana denda, paling banyak Rp.
1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah).
4) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi
hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum
pidana ditambah 1/3 (satu pertiga).
5) Pidana untuk korporasi dikenakan pidana denda sebesar
Rp. 5.000.000.000,-.
6) Pidana untuk korporasi dikenakan pidana denda 2 kali
pidana denda yang berlaku.
7) Pidana untuk badan usaha atau bentuk usaha tetap adalah
pidana denda dengan ketentuan paling tinggi pidana
denda ditambah sepertiganya.
8) Pidana untuk badan usaha adalah pidana denda ditambah
1/3 denda yang dijatuhkan.
9) Pidana untuk korporasi berupa pidana denda dengan
pemberatan 3 kali dari pidana pokok.
10) Pidana terhadap badan hukum berupa pidana denda
dengan pemberatan ditambah 1/3 kali dari ketentuan
buku 3 ok edited.indd 66 12/12/2012 9:27:00 AM
67
maksimum pidana denda yang dijatuhkan.
KUHP tidak mengatur mengenai korporasi (badan
hukum dan bukan badan hukum) sebagai subjek tindak
pidana, sehingga dalam KUHP tidak ada pengaturan mengenai
pemidanaan terhadap korporasi. Seiring dengan perkembangan
masyarakat dan ilmu pengetahuan saat ini, berkat sumbangan
dari kriminologi sudah diakui dan diterima masyarakat bahwa
korporasi adalah subjek hukum termasuk juga subjek tindak
pidana dan oleh karenanya dapat dipertanggungjawabkan
secara pidana. Dalam berbagai undang-undang di luar KUHP
sudah mulai diatur mengenai korporasi sebagai subjek tindak
pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Dalam
berbagai undang-undang sudah dirumuskan dalam Ketentuan
Umum atau juga Penjelasan Pasal mengenai arti kata “orang”
yang diartikan sebagai orang perorangan atau korporasi baik
badan hukum maupun bukan badan hukum. Dalam undang-
undang lain dirumuskan secara berbeda atau spesifik badan
hukum atau badan usaha, namun pada prinsipnya adalah
pengakuan bahwa korporasi adalah subjek hukum.
Ditinjau dari sistem pemidanaan perumusan pengertian
orang adalah termasuk juga korporasi tidak serta merta
korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Hal
ini disebabkan Buku I KUHP tidak mengatur mengenai
pemidanaan untuk korporasi sehingga tidak otomatis berlaku
sebagaimana asas-asas hukum pidana atau ajaran-ajaran hukum
pidana yang sudah diatur dalam Buku I KUHP. Untuk itu perlu
buku 3 ok edited.indd 67 12/12/2012 9:27:00 AM
68
adanya aturan umum dalam undang-undang tersebut yang
menyimpangi Buku I KUHP yaitu pedoman pemidanaan untuk
korporasi. Beberapa undang-undang yang sudah mengatur
pedoman pemidanaan untuk korporasi adalah Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang
Pornografi, Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang
Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Praktik Kedokteran,
Undang-Undang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang
Penataan Ruang, Undang-Undang Pelayaran, Undang-Undang
Penerbangan, Undang-Undang Pertambangan, Mineral dan
Batubara, Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Undang-
Undang Pecegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Pengaturan pedoman pemidanaan untuk korporasi
dalam undang-undang di luar KUHP merupakan keharusan
agar ketentuan pidana dapat diimplementasikan kepada
korporasi. Undang-undang lainnya belum mengatur pedoman
pemidanaan untuk korporasi dan oleh karenanya ketentuan
pidana dalam undang-undang tersebut tidak implementatif.
Diperlukan keberanian aparat penegak hukum terutama hakim
untuk menafsirkan dan mengimplementasikan ketentuan
pidana terhadap korporasi yang tidak mengatur pedoman
pemidanaannya.
buku 3 ok edited.indd 68 12/12/2012 9:27:00 AM
69
Kenyataan tersebut di atas menujukkan adanya
permasalahan dalam kebijakan legislatif di bidang hukum
pidana. Penyusunan naskah akademis sebagai dasar penyusunan
suatu Rancangan Undang-Undang yang melibatkan berbagai
stake holder sangat diperlukan agar RUU yang dibentuk
memiliki landasan ilmiah ditinjau dari berbagai aspek. Naskah
Akademis seyogianya bukan hanya sekedar pelengkap untuk
mengajukan suatu RUU ke DPR tetapi harus disusun secara
sungguh-sungguh dan komprehensif
3. Strafmodus (Cara Pidana Dilaksanakan)
KUHP berserta perundang-undangan pelaksanaan lainnya
sudah mengatur cara-cara pelaksanaan pidana antara lain:
a. Pidana bersyarat atau voorwaardelijke veroordeling
sebagaimana diatur dalam Pasal 14a s.d. Pasal 14f KUHP.
b. Pelepasan bersyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 15 s.d.
Pasal 17 KUHP.
c. Pemasyarakatan sebagaimana diatur dalam UU
Pemasyarakatan. Berkaitan dengan hal ini Barda Nawawi
Arief mengkritisi masih adanya kelemahan dari lembaga
pidana bersyarat dan pelepasan bersyarat. Pidana seumur
hidup tidak bisa mendapat pelepasan bersyarat. Sedangkan
pelaksanaan pidana lebih bersifat kelembagaan dan kurang
berorientasi pada tindakan yang bersifat individual dan
sosial. Di samping itu alternatif pidana lainnya agar tidak
menggunakan penjara sangat sedikit.
Perkembangan individualisasi pidana sesungguhnya
buku 3 ok edited.indd 69 12/12/2012 9:27:00 AM
70
sudah memberikan berbagai aternatif dalam menetapkan
cara pidana untuk dilaksanakan. Namun demikian dalam
undang-undang di luar KUHP hal ini tidak nampak sehingga
ketentuan mengenai cara pelaksanaan pidana didasarkan
pada KUHP sebagai sistem induknya. Beberapa strafmodus
yang diatur dalam undang-undang di luar KUHP antara lain:
1) Undang-Undang Pemberantasan Terorisme
Penjatuhan pidana minimum khusus, pidana mati, atau
pidana penjara seumur hidup tidak berlaku untuk pelaku
yang berusia 18 tahun. (Pasal 19 dan 24)
2) Undang-Undang Perikanan
Barang dan/alat yang dirampas selanjutnya akan dilelang
untuk negara.
Berdasarkan uraian tersebut baik kelemahan-kelemahan
dalam KUHP maupun kelangkaan pengaturan mengenai
strafmodus dalam undang-undang di luar KUHP maka
perlu adanya pembaharuan dalam Buku I KUHP yang
mengenai cara-cara pelaksanaan pidana yang lebih
manusiawi.
B. Perumusan Sanksi Pidana di Dalam dan di Luar KUHP
Perumusan sanksi pidana dalam hukum pidana positif
Indonesia merupakan aspek lain dalam sistem pemidanaan yang
penting. Tidak ada pola atau pedoman yang dapat digunakan
pembentuk Undang-undang dalam merumuskan sanksi pidana.
buku 3 ok edited.indd 70 12/12/2012 9:27:00 AM
71
Perumusan sanksi pidana dapat mempengaruhi terhadap
implementasinya oleh aparat penegak hukum dan dapat melanggar
hak asasi manusia.
Sebelumnya akan dijelaskan perumusan sanksi pidana
dalam KUHP. Jenis pidana sebagaimana diatur dalam Pasal
10 KUHP dalam perumusan sanksi pidana dirumuskan dalam
berbagai bentuk antara lain:
1. Pidana mati dirumuskan secara alternatif dengan pidana penjara
seumur hidup dan pidana penjara 20 tahun. Perumusannya
adalah “diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”.
2. Pidana seumur hidup dirumuskan secara alternatif dengan
pidana penjara. Perumusannya adalah “diancam pidana
penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama
dua puluh tahun”.
3. Pidana penjara dirumuskan secara tunggal. Perumusannya
adalah “diancam dengan pidana penjara paling lama ....”.
4. Pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan pidana
kurungan. Perumusannya adalah “diancam dengan pidana
penjara paling lama ... atau kurungan paling lama ...”.
5. Pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan pidana
kurungan dan pidana denda. Perumusannya adalah “diancam
dengan pidana penjara paling lama .... atau kurungan paling
lama ... atau denda paling banyak ...”.
6. Pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan pidana
buku 3 ok edited.indd 71 12/12/2012 9:27:00 AM
72
denda. Perumusannya adalah “diancam dengan pidana penjara
paling lama ... atau denda paling banyak ...”.
7. Pidana kurungan dirumuskan secara tunggal. Perumusannya
adalah ““diancam dengan kurungan paling lama ... ”.
8. Pidana kurungan dirumuskan secara alternatif dengan pidana
denda. Perumusannya adalah “diancam dengan kurungan
paling lama ... atau denda paling banyak ...”.
9. Pidana denda dirumuskan secara tunggal. Perumusannya
adalah “diancam dengan denda paling banyak ...”. Berdasarkan perumusan sanksi pidana dalam KUHP tersebut
maka dapat disimpulkan bahwa KUHP pada prinsipnya menganut sistem perumusan tunggal dan alternatif. Perumusan sanksi pidana pada tindak pidana dalam KUHP hanya merumuskan pidana pokoknya. Pidana tambahan dirumuskan secara fakultatif, kecuali perampasan barang.
Perumusan tunggal paling banyak digunakan untuk pidana penjara, yaitu sebanyak 70 % dan hampir ada dalam setiap Bab pada Buku II KUHP dan hanya 2 bab yang tidak memuat perumusan pidana penjara tunggal. Untuk pidana kurungan perumusan tunggal hanya ada dalam 2 tindak pidana, sedangkan untuk pidana denda yang dirumuskan secara tunggal hanya dalam 1 tindak pidana. Pidana penjara seumur hidup tidak dirumuskan secara tunggal tetapi selalu dirumuskan secara alternatif dengan pidana mati dan pidana penjara selama waktu tertentu. Demikian pula dengan pidana mati tidak dirumuskan secara tunggal tetapi secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu.
buku 3 ok edited.indd 72 12/12/2012 9:27:01 AM
73
Berbeda dengan perumusan sanksi pidana dalam KUHP, perumusan sanksi pidana dalam undang-undang di luar KUHP lebih banyak menggunakan sistem kumulatif dan kumulatif alternatif. Dari 55 undang-undang yang diteliti berikut penggunaan berbagai sistem perumusan sanksi pidana dalam undang-undang di luar KUHP:a. Perumusan sanksi pidana secara Kumulatif Alternatif
digunakan dalam 26 undang-undang.b. Perumusan sanksi pidana secara Kumulatif digunakan dalam
25 undang-undang.c. Perumusan sanksi pidana secara Alternatif digunakan dalam
23 undang-undang.d. Perumusan sanksi pidana secara Tunggal digunakan dalam 15
undang-undang.Di samping 4 bentuk perumusan sanksi pidana ada bentuk
perumusan sanksi pidana lain yang tidak dapat dimasukkan dalam kategorisasi tersebut dan dapat disebut perumusan sanksi pidana secara alternatif dan kumulatif, yaitu dalam satu rumusan tindak pidana psikotropika pada penggunaan pidana mati yang dirumuskan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara 20 tahun dan dikumulatifkan dengan pidana denda.
Dari kelima perumusan sanksi pidana tersebut, dalam satu undang-undang pada umumnya menggunakan lebih dari 1 bentuk perumusan sanksi pidana secara bervariasi, misalnya perumusan sanksi pidana tunggal dengan perumusan sanksi pidana alternatif, perumusan sanksi pidana tunggal dengan perumusan sanksi pidana kumulatif, perumusan sanksi pidana tunggal dengan perumusan
buku 3 ok edited.indd 73 12/12/2012 9:27:01 AM
74
sanksi pidana kumulatif-alternatif, perumusan sanksi pidana alternatif dengan perumusan sanksi pidana kumulatif, dan bahkan ada yang menggunakan keempat bentuk perumusan sanksi pidana tersebut.
Jenis pidana yang digunakan dalam berbagai perumusan sanksi pidana tersebut juga bervariasi, namun paling banyak adalah pidana penjara dan pidana denda yang dirumuskan baik secara tunggal, alternatif, kumulatif, maupun kumulatif-alternatif. Pidana mati sebagaimana perumusan sanksi pidana dalam KUHP dirumuskan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu. Demikian pula pidana penjara seumur hidup dirumuskan secara alternatif dengan pidana mati dan/atau pidana penjara selama waktu tertentu. Berikut beberapa teknik perumusan sanksi pidana tersebut di atas dalam undang-undang di luar KUHP:1. Perumusan sanksi pidana tunggal
a) dipidana dengan pidana penjara paling lama .... dan paling singkat ....
b) dipidana dengan pidana penjara paling singkat .... dan paling lama ....
c) dipidana dengan pidana penjara paling lama .... d) dipidana dengan pidana kurungan paling lama .... e) dipidana dengan pidana denda .... f) dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit ... dan paling
banyak .... 2. Perumusan sanksi pidana alternatif
a) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya ... atau
buku 3 ok edited.indd 74 12/12/2012 9:27:01 AM
75
denda sebanyak-banyaknya ... b) dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara 25 tahun dan paling singkat .... c) dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup d) dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat ... dan paling lama .... e) dipidana dengan pidana kurungan paling lama ... atau
denda setinggi-tingginya ... . f) diancam pidana denda serendah-rendahnya ... dan setinggi-
tingginya ... atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya ... . .
g) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... atau pidana denda paling banyak ....
h) dipidana dengan pidana kurungan paling lama ... atau denda paling tinggi ....
i) dipidana dengan pidana penjara paling singkat ... dan pidana penjara paling lama ... atau denda paling sedikit ... dan denda paling banyak ...
j) dipidana ... atau denda paling banyak .... k) dijatuhi dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup,
atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun. 3. Perumusan sanksi pidana kumulatif
a) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya ... dan denda sebanyak-banyaknya ...
b) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat ... dan paling lama ... dan denda paling sedikit ... dan paling banyak ....
c) dipidana dengan pidana penjara paling singkat ... dan paling
buku 3 ok edited.indd 75 12/12/2012 9:27:01 AM
76
lama ... dan denda paling sedikit ... dan paling banyak .... d) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... dan denda
paling banyak .... e) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... dan pidana
denda paling banyak .... f) diancam dengan pidana penjara paling lama ... dan denda
paling banyak ... . g) diancam dengan pidana kurungan paling lama ... dan denda
paling banyak ... . h) diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya ...
dan paling lama ... serta denda sekurang-kurangnya ... dan paling banyak ....
i) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... dan denda paling tinggi ....
j) dipidana dengan pidana penjara paling singkat ... dan paling lama ... serta denda paling sedikit ... dan paling banyak ...
4. Perumusan sanksi pidana kumulatif-alternatif a) dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya ... dan
hukuman denda setinggi-tingginya ..., atau dengan salah satu dari hukuman-pidana itu
b) dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya ... dan hukuman denda setinggi-tingginya ... , atau dengan salah satu dari hukuman-pidana itu.
c) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat ... dan paling lama ... dan/atau denda paling sedikit ... dan paling banyak ....
d) dipidana dengan pidana penjara paling singkat ... dan
buku 3 ok edited.indd 76 12/12/2012 9:27:01 AM
77
paling lama ... dan/atau denda paling sedikit ... dan paling banyak ....
e) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... dan/atau denda paling banyak ....
f) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... dan/atau pidana denda paling banyak ....
g) dipidana dengan pidana penjara paling singkat ... dan paling lama ... dan/atau pidana denda paling sedikit .... dan paling banyak ....
h) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... dan atau pidana denda paling banyak ... .
i) dipidana dengan pidana kurungan paling lama ... dan atau pidana denda paling banyak ... .
j) diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya ... dan paling lama ... dan/atau denda sekurang-kurangnya ... dan paling banyak ....
k) dipidana dengan pidana penjara paling singkat ... dan/atau denda paling sedikit ... atau pidana penjara paling lama ... dan/atau denda paling banyak.
l) dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat ... dan paling lama ... dan/atau denda paling sedikit ... dan paling banyak ...
m) diancam dengan pidana penjara paling singkat ... atau paling lama ... dan/atau denda paling sedikit ... atau paling banyak ....
5. Perumusan sanksi pidana alternatif dan kumulatif Dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
buku 3 ok edited.indd 77 12/12/2012 9:27:01 AM
78
hidup atau pidana penjara 20 tahun dan pidana denda sebesar ... Dari perumusan sanksi pidana tersebut tampak adanya
bermacam ragam jenis perumusan sanksi pidana. Walaupun perumusan sanksi pidana dapat dikualifikasikan dalam 5 kategori, namun teknik perumusan dapat bermacam-macam. Hal ini menunjukkan tidak adanya pola atau pedoman bagi pembentuk Undang-Undang dalam merumuskan sanksi pidana. Untuk perumusan sanksi pidana tunggal umumnya langsung merumuskan pidana yang diancamkan tanpa menggunakan kata sambung. Dalam perumusan sanksi pidana alternatif digunakan kata “atau”. Untuk perumusan sanksi pidana kumulatif digunakan kata “dan”, sedangkan dalam perumusan sanksi pidana kumulatif-alternatif digunakan berbagai cara, yaitu dengan menggunakan kata “dan/atau”, “dan atau”, “dan ... atau“ dan “serta”.
Penggunaan kata-kata sambung tersebut sesungguhnya mempunyai makna dan fungsi yang berbeda bagi aparat penegak hukum khususnya hakim. Dalam perumusan sanksi pidana tunggal hakim tidak mempunyai pilihan untuk menjatuhkan alternatif jenis pidana pokok kecuali yang dirumuskan dalam rumusan tindak pidana. Perumusan sanksi pidana alternatif dengan kata “atau” hakim mempunyai kebebasan untuk memilih jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan sesuai dengan kesalahan pelaku tindak pidana, keadilan, dan tujuan pemidanaan. Dalam praktik fungsi perumusan sanksi pidana alternatif tidak efektif karena seringkali tetap dijatuhkan jenis pidana yang pertama disebutkan dalam rumusan tindak pidana, khususnya pidana penjara dan pidana kurungan yang dirumuskan secara alternatif dengan pidana denda,
buku 3 ok edited.indd 78 12/12/2012 9:27:01 AM
79
namun tidak demikian halnya dengan pidana mati.Perumusan sanksi pidana kumulatif dengan kata “dan”
mempunyai sifat lebih imperatif dibanding perumusan sanksi pidana tunggal atau alternatif karena hakim harus menjatuhkan dua jenis pidana pokok yang dirumuskan dalam tindak pidana dan tidak boleh hanya menjatuhkan salah satunya. Jadi pidana pokok penjara yang paling banyak digunakan dalam undang-undang di luar KUHP dan dirumuskan secara kumulatif dengan pidana mempunyai sifat lebih berat dibanding perumusan sanksi pidana tunggal dan alternatif (hanya satu jenis pidana yang dijatuhkan). Perumusan sanksi pidana kumulatif alternatif mempunyai makna dan fungsi agar hakim mempunyai pilihan yang lebih banyak dalam menjatuhkan pidana yang sesuai dengan kesalahan pelaku, keadilan, dan tujuan pemidanaan, yaitu dapat menjatuhkan salah satu jenis pidana yang diancamkan atau menjatuhkan kedua-duanya. Namun ternyata perumusan sanksi pidana kumulatif alternatif justru memberi peluang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana penjara, yang paling banyak digunakan dalam perumusan sanksi pidana kumulatif alternatif sehingga tetap mengandung sifat imperatif.Perumusan sanksi pidana dalam undang-undang di luar KUHP pada dasarnya sama dengan sistem perumusan sanksi pidana dalam KUHP, hanya dengan beberapa modifikasi teknik perumusan. Jenis-jenis pidana yang diancamkan masih berpedoman pada ketentuan dalam Pasal 10 KUHP, khususnya pidana pokok, sedangkan pidana tambahan terdapat pengembangan. Oleh karenanya dapat dipahami bahwa perkembangan berbagai perumusan sanksi pidana tersebut dipandang sebagai kemajuan semu karena permisif
buku 3 ok edited.indd 79 12/12/2012 9:27:01 AM
80
terhadap penggunaan sanksi pidana yang bersifat imperatif. Walaupun pada prinsipnya perumusan sanksi pidana di luar
KUHP sama dengan di dalam KUHP, namun perumusannya tampak semakin bermacam-macam bila memperhatikan penggunaan kata-kata dalam perumusan sanksi pidana. Perumusan kata “dipidana dengan” dalam undang-undang di luar KUHP juga menggunakan kata lain seperti: “diancam dengan pidana”, “dihukum dengan hukuman” atau “dikenakan sanksi pidana”. Perumusan kata-kata setelah kata “pidana penjara” atau “pidana kurungan” digunakan berbeda-beda, antara lain “paling lama”, “sekurang-kurangnya”, dan “selama-lamanya”. Perumusan kata-kata setelah kata “pidana denda” atau “denda” juga dirumuskan berbeda-beda, yaitu: “paling banyak”, “paling tinggi”, “sebesar”, “setinggi-tingginya”, dan sebanyak-banyaknya. Demikian pula kata-kata yang digunakan dalam perumusan sanksi minimum khusus baik untuk pidana penjara, pidana kurungan, maupun pidana denda dirumuskan bermacam-macam. Untuk pidana penjara dan kurungan pembentuk undang-undang menggunakan kata-kata : “paling singkat ... atau paling lama ...”, “paling singkat ... dan paling lama ...” dan “sekurang-kurangnya ... dan paling lama ...”. Untuk pidana denda pembentuk undang-undang menggunakan kata-kata: “sekurang-kurangnya .... dan paling banyak ....”, “paling sedikit ...dan paling banyak ....”, dan “serendah-rendahnya ... dan setinggi-tingginya ....”.Berdasarkan analisis di atas, masalah sistem perumusan sanksi pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP tidak hanya menyangkut sistem pemidanaan yang ada dalam Buku I KUHP sebagai sistem induk ketentuan-ketentuan pemidanaan dalam
buku 3 ok edited.indd 80 12/12/2012 9:27:01 AM
81
perundang-undangan namun juga berkaitan dengan bagaimana agar perumusan sanksi pidana tersebut dirumuskan sesuai dengan sistem pemidanaan yang ada dalam Buku I KUHP tersebut. Tidak adanya pola atau pedoman mengenai perumusan sanksi pidana telah menyebabkan perumusan sanksi pidana menjadi sangat beraneka warna dan terkandung adanya disparitas pidana sebelum pidana dijatuhkan. Untuk itu di samping diperlukan adanya pembaharuan dalam sistem pemidanaan hukum pidana Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 juga perlu adanya pedoman perumusan sanksi pidana yang akan digunakan pembentuk undang-undang ketika akan merumuskan sanksi pidana.
C. Sistem Pemidanaan yang Ideal dalam Hukum Pidana Indonesia
Hukum pidana Indonesia termasuk di dalamnya pembentukan sistem pemidanaan harus dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa Indonesia, yaitu nilai-nilai yang didasarkan pada Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. KUHP (Wetboek van Strafrecht) yang merupakan warisan Kolonial Belanda, walaupun disana-sini sudah ditambal sulam dengan beberapa produk hukum Indonesia, namun secara keseluruhan masih dijiwai oleh nilai-nilai liberal-individualis. KUHP yang dibentuk pada tahun 1881 sangat dipengaruhi aliran klasik yang berorientasi pada perbuatan, walaupun harus diakui KUHP yang ada sekarang khususnya berkaitan dengan sistem pemidanaan sudah ada sedikit pengaruh dari aliran modern. Orientasi aliran klasik adalah pada kepastian hukum karena
buku 3 ok edited.indd 81 12/12/2012 9:27:01 AM
82
dipengaruhi aliran legisme yang menganut asas legalitas formal. Hal ini tentunya berbeda dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia saat ini.
Pemikiran-pemikiran tersebut sesungguhnya telah diakomodasi oleh para pembentuk Rancangan KUHP Nasional. Politik hukum pidana yang dipilih dalam pembentukan RKUHP menggunakan pendekatan menyeluruh atau disebut juga pendekatan global (global approach) dan bukan sekedar “amandemen” untuk menggantikan Wetboek van Strafrecht dengan KUHP Nasional. Karakteristik pendekatan global nampak baik berkaitan dengan asas-asas hukum pidana (BUKU I RKUHP) maupun dalam pengaturan tiga masalah pokok dalam hukum pidana (perbuatan yang bersifat melawan hukum (criminal act), pertanggungjawaban pidana/kesalahan (criminal responsibility), dan sanksi pidana berupa pidana (punishment, straf) dan tindakan (treatment, maatregel). Politik hukum pidana dalam pembaharuan KUHP Nasional diarahkan pada empat misi, yaitu pertama, misi dekolonisasi KUHP dalam bentuk rekodifikasi; kedua, misi demokratisasi hukum pidana; ketiga, misi konsolidasi hukum pidana; dan keempat, misi adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi. Tujuan pemidanaan menurut RKUHP adalah untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan tidak
buku 3 ok edited.indd 82 12/12/2012 9:27:01 AM
83
dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.
Berkaitan dengan sistem pemidanaan dalam RKUHP sudah banyak dilakukan pembaharuan dan telah dicapai kemajuan-kemajuan dalam pengaturan sistem pemidanaannya. Berikut pengaturan sistem pemidanaan dalam Buku I RKUHP:1. Strafsoort
Dalam RKUHP sistem sanksinya menganut doubletrack system, yaitu pidana dan tindakan. Pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Jenis-jenis pidana pokok antara lain:a. Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus
dan selalu diancamkan secara alternatif. b. pidana penjara; c. pidana tutupan; d. pidana pengawasan; e. pidana denda; dan f. pidana kerja sosial.
Pidana tambahan yang dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok atau bersama-sama dengan pidana tambahan lain, terdiri dari:a. pencabutan hak tertentu; b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. pengumuman putusan hakim; d. pembayaran ganti kerugian; dan e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban
menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
buku 3 ok edited.indd 83 12/12/2012 9:27:01 AM
84
Jenis pidana baik pidana pokok maupun pidana tambahan dalam RKUHP lebih variatif dan manusiawi. Di samping pidana dalam RKUHP juga diatur mengenai tindakan, yang terdiri dari:a. tindakan yang dapat dijatuhkan kepada mereka yang tidak
mampu bertanggung jawab:1) perawatan di rumah sakit jiwa; 2) penyerahan kepada pemerintah; atau 3) penyerahan kepada seseorang.
b. Tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok berupa: 1) pencabutan surat izin mengemudi; 2) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak
pidana; 3) perbaikan akibat tindak pidana; 4) latihan kerja; 5) rehabilitasi; dan/atau 6) perawatan di lembaga.
Sistem perumusan sanksi pidana dalam RKUHP adalah sistem perumusan sanksi pidana tunggal dan alternatif.
2. Strafmaat Strafmaat dalam RKUHP menganut sistem maksimum
dan tidak ada sistem minimum khusus. Namun demikian dimungkinkan adanya sanksi minimum khusus untuk pidana penjara dan pidana denda (Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 80 ayat (2)). Minimum umum untuk pidana penjara adalah 1 hari dan untuk pidana denda adalah Rp. 15.000,- (lima belas ribu
buku 3 ok edited.indd 84 12/12/2012 9:27:01 AM
85
rupiah), sedangkan sanksi maksimum pidana penjara adalah 15 tahun dan dapat dijatuhkan 20 tahun jika ada pemberatan. Pidana penjara tidak boleh melebihi 20 tahun dalam keadaan bagaimanapun dan pidana mati dirumuskan secara aternatif dengan pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara untuk waktu tertentu. Pidana denda dalam RKUHP menganut sistem kategorisasi, yaitu:a. kategori I Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah); b. kategori II Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu
rupiah); c. kategori III Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah); d. kategori IV Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah); e. kategori V Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); dan f. kategori VI Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Dalam RKUHP juga sudah diatur pedoman pemidanaan untuk korporasi, yaitu:a. Pidana denda paling banyak untuk korporasi adalah kategori
lebih tinggi berikutnya. b. Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang
melakukan tindak pidana yang diancam dengan:1) pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan
15 (lima belas) tahun adalah pidana denda Kategori V; 2) pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun adalah pidana denda Kategori VI.
3) Pidana denda paling sedikit untuk korporasi sebagaimana
buku 3 ok edited.indd 85 12/12/2012 9:27:01 AM
86
dimaksud pada ayat (5) adalah pidana denda Kategori IV.
3. Strafmodus Cara pelaksanaan pidana, baik pidana pokok dan pidana tambahan di samping akan diatur dalam undang-undang, dalam Buku I RKUHP juga diatur mengenai pedoman pemidanaan dan ketentuan-ketentuan berkaitan dengan cara pelaksanaan pidana. Pedoman pemidanaan yang sangat penting bagi hakim dalam penjatuhan pidana berisi antara lain:Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:a. kesalahan pembuat tindak pidana; b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. sikap batin pembuat tindak pidana; d. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; e. cara melakukan tindak pidana; f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak
pidana; g. riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat
tindak pidana; h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak
pidana; i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga
korban; j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang
dilakukan. Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan
buku 3 ok edited.indd 86 12/12/2012 9:27:01 AM
87
pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Dalam Buku I KUHP juga diatur mengenai perubahan dan penyesuaian pidana, pedoman penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal dan alternatif, ketentuan-ketentuan lainnya tentang pidana. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan cara pelaksanaan pidana antara lain:1. Penerapan pidana penjara
1) pidana penjara sejauh mungkin 2) tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai
berikut: a) terdakwa berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun
atau di atas 70 (tujuh puluh) tahun; b) terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana; c) kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar; d) terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada
korban; e) terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang
dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar; f) tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat
dari orang lain; g) korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak
pidana tersebut; h) tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu
keadaan yang tidak mungkin terulang lagi; i) kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan
buku 3 ok edited.indd 87 12/12/2012 9:27:01 AM
88
bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain;
j) pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;
k) pembinaan yang bersifat non institusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri terdakwa;
l) penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa;
m) tindak pidana terjadi di kalangan keluarga; atau n) terjadi karena kealpaan.
2. Penerapan pidana pengawasan Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syarat-syarat:a. terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; b. terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari
masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/atau
c. terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
Pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada departemen yang bertanggung jawab di bidang hukum dan hak asasi manusia.a) Ketentuan-ketentuan lainnya mengenai pelaksanaan pidana
denda, pengganti pidana denda, dan pidana denda untuk
buku 3 ok edited.indd 88 12/12/2012 9:27:01 AM
89
korporasi; b) Pelaksanaan pidana kerja sosial
Dalam penjatuhan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:1) pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang
dilakukan; 2) usia layak kerja terdakwa menurut peraturan perundang
- undangan yang berlaku; 3) persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai
tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial;
4) riwayat sosial terdakwa; 5) perlindungan keselamatan kerja terdakwa; 6) keyakinan agama dan politik terdakwa; dan 7) kemampuan terdakwa membayar pidana denda.
Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh dikomersialkan.Pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama:1) 240 (dua ratus empat puluh) jam bagi terdakwa yang
telah berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas; dan 2) 120 (seratus dua puluh) jam bagi terdakwa yang berusia
di bawah 18 (delapan belas) tahun. 3) Pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
paling singkat 7 (tujuh) jam. Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 (duabelas) bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya
buku 3 ok edited.indd 89 12/12/2012 9:27:01 AM
90
dan/atau kegiatan lain yang bermanfaat.Jika terpidana tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah, maka terpidana diperintahkan:1) mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial
tersebut; 2) menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang
diganti dengan pidana kerja sosial tersebut; atau 3) membayar seluruh atau sebagian pidana denda yang
diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dibayar.
c) Pelaksanaan pidana mati Pidana mati merupakan pidana alternatif dan dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak. Pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum; terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh; pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika:(1) reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; (2) terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan
untuk diperbaiki; (3) kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana
buku 3 ok edited.indd 90 12/12/2012 9:27:01 AM
91
tidak terlalu penting; dan (4) ada alasan yang meringankan. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Ketentuan-ketentuan dalam Buku I RKUHP sudah lebih baik mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sistem pemidanaan. Namun demikian agar pengaturan sanksi pidana atau ketentuan pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP sesuai dengan sistem induknya maka perlu adanya ketentuan yang mengatur mengenai perumusan sanksi pidana baik sistem perumusan sanksi pidana, penggunaan jenis pidana dan tindakan, maupun teknik atau cara perumusan sanksi pidana.
Di samping itu berkaitan dengan maraknya penggunaan sanksi pidana hampir dalam setiap Undang-Undang perlu adanya kriteria yang menjadi pedoman pada saat pembentuk Undang-Undang akan menggunakan sanksi pidana. Tidak adanya perbedaan yang jelas dan tegas dalam perumusan sanksi pidana antara hukum pidana khusus dengan perundang-undangan administrasi yang memuat sanksi pidana adalah akibat tidak adanya kriteria apakah suatu tindak pidana merupakan harus diatur dalam hukum pidana umum (KUHP) atau hukum pidana khusus (hukum pidana yang menyimpangi KUHP) atau perundang-undangan administrasi yang memuat sanksi pidana. Gagasan untuk melakukan kodifikasi total dalam RKUHP sangat sulit diwujudkan mengingat perkembangan
buku 3 ok edited.indd 91 12/12/2012 9:27:02 AM
92
masyarakat yang selalu berada di depan hukumnya terlebih lagi hukum pidana, yang dalam pembentukannya selalu dilakukan kemudian. Alternatif yang dapat dilakukan adalah amandemen KUHP untuk masa yang akan datang harus mudah dilakukan agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Di samping itu pembentukan sanksi pidana atau ketentuan pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP dilakukan secara selektif, terbatas, dan tepat baik yang termasuk hukum pidana khusus maupun sanksi pidana administratif. Penetapan kriteria mengenai suatu tindak pidana merupakan hal penting agar pembentukan sanksi pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP lebih baik dan sesuai dengan sistem induknya, walaupun dalam undang-undang tersebut diatur ketentuan-ketentuan yang menyimpangi aturan umumnya. Di samping itu sanksi pidana dalam berbagai perundang-undangan di luar KUHP mengikuti pola atau pedoman yang sama.
buku 3 ok edited.indd 92 12/12/2012 9:27:02 AM
93
BAB IVKESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan 1. sistem pemidanaan dalam Buku I KUHP khususnya Bab II
tentang Pidana, Bab III tentang Hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana dan Bab VIII tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana merupakan sistem induk pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia. Ketentuan-ketentuan pemidanaan dalam perundang-undangan di luar KUHP dimungkinkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 103 KUHP. Jenis-jenis pidana yang digunakan dalam KUHP dan perundang-undangan di luar KUHP tidak ada perbedaan, kecuali pidana tutupan tidak pernah digunakan dalam undang-undang di luar KUHP. Pidana penjara dan pidana denda adalah sanksi pidana yang paling banyak digunakan, sedangkan pidana mati hanya digunakan dalam Undang-Undang tertentu saja dan terbatas. Di samping pidana tambahan dalam KUHP, dalam undang-undang di luar KUHP banyak menggunakan pidana tambahan yang dikembangkan sesuai dengan karakteristik tindak pidananya. Demikian pula dalam beberapa undang-undang di luar KUHP dikembangkan sanksi berupa tindakan walaupun relatif sedikit sesuai dengan tindak pidananya.
2. Berat ringannya pidana dalam KUHP menganut sistem maksimum (indefinite) dan tidak ada sanksi minimum khusus. Sedangkan dalam perundang-undangan di luar KUHP dapat dikategorikan 3 kelompok, yaitu 1) sistem maksimum
buku 3 ok edited.indd 93 12/12/2012 9:27:02 AM
94
umum, sistem minimum khusus, dan sistem campuran, yaitu menggunakan sistem maksimum umum dan sistem minimum khusus. Tidak ada pola atau pedoman pemidanaan dalam penetapan berat ringannya sanksi pidana dalam ketiga sistem strafmaat tersebut, terutama dalam penetapan pidana penjara dan pidana denda. Demikian pula dengan penetapan pidana pengganti denda, pemberatan pidana, dan pidana untuk korporasi tidak didasarkan pada pola atau pedoman pemidanaan.
Baik dalam KUHP maupun perundang-undangan di luar KUHP masih minim mengatur mengenai strafmodus, khususnya berkaitan dengan pelaksanaan pidana yang manusiawi dan sesuai tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia.
3. Sistem pemidanaan yang ideal dalam hukum pidana Indonesia adalah sistem pemidanaan yang didasarkan atau sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah dan jiwa bangsa Indonesia. Pembaharuan ketentuan-ketentuan mengenai pemidanaan dalam RKUHP sudah baik dan dilandasi falsafah Pancasila. Sistem pemidanaan dalam Buku I KUHP akan menjadi sistem induk berbagai pengaturan sanksi pidana di luar KUHP. Berkaitan dengan dimungkinkannya pembentukan sanksi pidana atau ketentuan pidana dalam undang-undang di luar KUHP seharusnya didasarkan pada kriteria tertentu yang jelas dan dilakukan secara selektif, terbatas, dan tepat.
B. Rekomendasi 1. Pembentukan KUHP Nasional harus dipercepat agar hukum
pidana Indonesia memiliki sistem pemidanaan yang sesuai
buku 3 ok edited.indd 94 12/12/2012 9:27:02 AM
95
dengan masyarakat bangsa Indonesia dan pembentukan ketentuan pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP mempunyai pedoman serta tidak mendua apakah mengikuti KUHP yang saat ini berlaku atau RKUHP yang belum diundangkan?
2. Perlu ditetapkan kriteria tertentu mengenai pembentukan ke-tentuan pidana di luar KUHP agar dapat ditempatkan secara tepat apakah suatu tindak pidana termasuk hukum pidana khusus atau perundang-undangan administrasi yang memuat sanksi pidana.
3. Perlu ditetapkan pola atau pedoman perumusan sanksi pidana baik sistem perumusannya, penggunaan jenis pidana, berat ringannya pidana, maupun teknik perumusannya.
buku 3 ok edited.indd 95 12/12/2012 9:27:02 AM
96
buku 3 ok edited.indd 96 12/12/2012 9:27:02 AM
97
DAFTAR PUSTAKA
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, ed. revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.
Baid, Robert M & Rosenbaum, Stuart E (ed.), Philosophy of Punishment, Prometheus Books, New York, 1988.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.
____________, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Undip, Semarang, 1996.
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998.
____________, Tindak Pidana Mayantara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
Barda Nawawi Arief, Perumusan Pidana dalam Undang-Undang sebagai Parameter Keadilan dalam Penjatuhan Pidana, Lokakarya, BPHN, Semarang, 2010.
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Wset Publishing Co, St Paul Minnesota, 1991.
Bemmelen, J.M. van, Hukum Pidana, terj. Hasnan, Binacipta, Bandung, 1987.
BPHN, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan), Jakarta, 2008.
Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984.
buku 3 ok edited.indd 97 12/12/2012 9:27:02 AM
98
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1985.
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998.
Muladi, Beberapa Catatan Berkaitan dengan RUU KUHP Baru, Makalah, Sosialisasi RUU KUHP, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2004.
Packer, Herbert L., The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California, 1968.
Primoratz, Igor, Justifying Legal Punishment, Humanities Press International, Inc., New Jersey, 1989.
Remmelink, Jan, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003.
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia. Aksara Baru, Jakarta, 1978.
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2010.
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri,Cet. III, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988.
Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990.
____________, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2006.
____________, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983.
buku 3 ok edited.indd 98 12/12/2012 9:27:02 AM
99
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.
Utrecht, E, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986.
Watson, Gary, Free Will, 2nd ed., Oxford University Press, New York, 2003.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Perundang-undangan di luar KUHP.
buku 3 ok edited.indd 99 12/12/2012 9:27:02 AM