analisis pola konsumsi bahan pangan sumber … · pengelompokan data ... 80 persen berasal dari...
TRANSCRIPT
ANALISIS POLA KONSUMSI BAHAN PANGAN SUMBER
PROTEIN HEWANI BERDASARKAN GOLONGAN
PENDAPATAN DI KABUPATEN CIREBON
RADEN HENI HINDAWATI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Pola
Konsumsi Bahan Pangan Sumber Protein Hewani Berdasarkan Golongan
Pendapatan di Kabupaten Cirebon adalah benar karya saya dengan arahan dari
dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan
tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Maret 2014
Raden Heni Hindawati
NIM H14100021
ABSTRAK
RADEN HENI HINDAWATI. Analisis Pola Konsumsi Bahan Pangan Sumber
Protein Hewani Berdasarkan Golongan Pendapatan di Kabupaten Cirebon.
Dibimbing oleh SRI MULATSIH.
Protein hewani merupakan unsur gizi yang harus dipenuhi masyarakat agar
tercipta sumber daya manusia yang berkualitas. Sebagai wilayah yang dominan
pantai, Kabupaten Cirebon berpotensi memproduksi bahan pangan sumber protein
hewani terutama ikan. Namun, konsumsi ikan di wilayah tersebut bukanlah yang
dominan. Oleh karena itu, digunakanlah metode Almost Ideal Demand System
(AIDS) untuk melihat pola konsumsi pangan protein hewani masyarakat
Kabupaten Cirebon berdasarkan golongan pendapatan dengan menggunakan data
SUSENAS 2012. Komoditi telur merupakan pangan hewani yang dominan
dikonsumsi. Elastisitas permintaan pangan hewani memiliki sifat yang inelastis.
Pada komoditi antara ikan dengan telur memiliki hubungan substitusi yang
dominan sedangkan hubungan komplementer yang dominan terjadi antara daging
dengan telur. Daging menjadi komoditi dengan nilai elastisitas pendapatan
terbesar. Kebutuhan protein hewani golongan pendapatan rendah belum
mencukupi standar. Ketika dilakukan simulasi kenaikan harga daging sapi,
golongan pendapatan rendah mengalami dampak terbesar karena pola konsumsi
pangan hewaninya mengalami penurunan yang signifikan.
Kata Kunci : AIDS, elastisitas, pola konsumsi, simulasi
ABSTRACT
RADEN HENI HINDAWATI. Analysis of The Pattern Consumption of Animal
Protein Source Based on The Income in Kabupaten Cirebon Supervised by SRI
MULATSIH
Animal Protein is the nutritional elements that must be met by the
community in order for the creation of qualified human resources. As the
dominant area of the coast, Kabupaten Cirebon has the potential of producing
foodstuffs of animal protein sources, especially fish. However, fish consumption
in the region is not a dominant. Therefore, used Almost Ideal Demand System
(AIDS) methods to look at food animal protein consumption patterns Kabupaten
Cirebon in each of the revenue, using SUSENAS 2012 data. The egg is a
commodity, the dominant consumed. The elasticity of demand of food animal has
the properties of inelastic, on commodity among fish eggs have a relationship
with a dominant substitution, whereas the dominant complementary relationships
occur on commodity meat with eggs. Meat becomes a commodity that has the
largest income elasticity values. Animal protein needs of the low income not
sufficient standards established. When a simulating done beef price hike, the low
income who are having the biggest impact because of the animal's food
consumption patterns are having a significant decline.
Keywords : AIDS, elasticity, patter consumption, simulating
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ilmu Ekonomi
ANALISIS POLA KONSUMSI BAHAN PANGAN SUMBER
PROTEIN HEWANI BERDASARKAN GOLONGAN
PENDAPATAN DI KABUPATEN CIREBON
RADEN HENI HINDAWATI
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Analisis Pola Konsumsi Bahan Pangan Sumber Protein Hewani
Berdasarkan Golongan Pendapatan di Kabupaten Cirebon
Nama : Raden Heni Hindawati
NIM : H14100021
Disetujui oleh
Diketahui oleh
Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec
Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Dr.Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr
Pembimbing
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2013 mengambil topik tentang pola
konsumsi, dengan judul Analisis Pola Konsumsi Bahan Pangan Sumber Protein
Hewani Berdasarkan Golongan Pendapatan di Kabupaten Cirebon.
Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua dan keluarga tercinta
yang telah memberikan doa dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi
ini.Terima kasih kepada Ibu Dr.Ir. Sri Mulatsih, M.Sc.Agr sebagai dosen
pembimbing juga kepada Mba Nursaidah yang telah membantu mengolah data
dan memberikan saran serta masukkan yang bermanfaat. Ungkapan terima kasih
juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Muhammad Findi Alexandi, SE, M.E
dan Ibu Ranti Wiliasih, M.Si yang telah menjadi dosen penguji dan memberikan
saran serta masukkan untuk menjadikan skripsi ini menjadi lebih baik. Kedua
teman bimbingan skripsi peneliti Zulfati Rahma dan Nindya Shinta yang telah
saling memberikan semangat dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Kepada
sahabat-sahabat terbaik penulis Tika, Fida, Arti, Cika, Dian, Pupu, Alvin, Amel,
Uke, Fajri, Erlangga, dan Dwiki serta teman-teman IE 47 yang telah memberikan
dukungan, semangat, dan doa sehingga dapat menyelesaikan tugas akhir ini.
Selain itu, kepada pihak BPS yang telah menyediakan dan melayani penulis saat
proses pengumpulan data.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2014
Rd Heni Hindawati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL .................................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... vi
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
Perumusan Masalah ............................................................................................. 3
Tujuan Penelitian ................................................................................................. 4
Manfaat Penelitian ............................................................................................... 4
Ruang Lingkup Penelitian ................................................................................... 5
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................ 5
Teori Perilaku Konsumen .................................................................................... 5
Teori Permintaan ................................................................................................. 8
Elastisitas Permintaan .......................................................................................... 9
Elastisitas Harga Sendiri............................................................................ 9
Elastisitas Harga Silang ............................................................................. 9
Elastisitas Pendapatan.............................................................................. 10
Model Almost Ideal Demand System (AIDS) .................................................... 10
Penelitian Terdahulu .......................................................................................... 12
Kerangka Pemikiran .......................................................................................... 13
METODE PENELITIAN ...................................................................................... 15
Jenis dan Sumber Data ...................................................................................... 15
Pengelompokan Data ......................................................................................... 15
Analisis Data ..................................................................................................... 15
Analisis Model Almost Ideal Demand System (AIDS) .......................... 15
Perhitungan Nilai Elastisitas .................................................................... 17
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................. 17
Pola Konsumsi Bahan Sumber Pangan Protein Hewani ................................... 17
Elastisitas Permintaan Bahan Pangan Sumber Protein Hewani ........................ 23
Elastisitas Harga Sendiri .......................................................................... 23
Elastisitas Harga Silang ........................................................................... 24
Elastisitas Pendapatan .............................................................................. 24
Simulasi Dampak Perubahan Harga Terhadap Pola Konsumsi Bahan Pangan
Sumber Protein Hewani ........................................................................... 25
SIMPULAN DAN SARAN................................................................................... 28
Simpulan ............................................................................................................ 28
Saran ................................................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 29
LAMPIRAN .......................................................................................................... 31
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 41
DAFTAR TABEL
1 Rata-rata konsumsi protein menurut kelompok makanan di Indonesia
tahun 2008-2012 .............................................................................................. 2 2 Jumlah produksi bahan pangan sumber protein hewani Kabupaten
Cirebon tahun 2009-2012 ................................................................................ 3 3 Rata-rata konsumsi bahan pangan sumber protein hewani di Kabupaten
Cirebon ........................................................................................................... 17 4 Rata-rata konsumsi daging jenis ruminansia di Kabupaten Cirebon ............. 19 5 Kebutuhan protein hewani di Kabupaten Cirebon ......................................... 20 6 Harga yang dikeluarkan rumah tangga dalam setara protein setiap
pangan hewani ............................................................................................... 21 7 Persentase proporsi pengeluaran bahan pangan sumber protein hewani
di Kabupaten Cirebon .................................................................................... 22 8 Elastisitas permintaan bahan pangan sumber protein hewani di
Kabupaten Cirebon berdasarkan golongan pendapatan ................................. 23 9 Hasil perhitungan simulasi kenaikan harga pada daging sapi ....................... 26
10 Hasil perubahan pola konsumsi bahan pangan sumber protein hewani
sebagai dampak kenaikan harga daging sapi ................................................. 27
DAFTAR GAMBAR
1 Indeks Pembangungan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2008-2012 .............. 1 2 Kurva indeferens maksimisasi kepuasan dengan kendala anggaran ................ 6 3 Efek substitusi dan efek pendapatan pada penurunan harga X ........................ 7 4 Efek substitusi dan efek pendapatan pada kenaikan harga X .......................... 8 5 Kerangka pemikiran ....................................................................................... 14
DAFTAR LAMPIRAN
1 Editor model AIDS pada program SAS ......................................................... 31
2 Hasil output SAS untuk metode Seemingly Unrelated Regression
(SUR) ............................................................................................................. 32 3 Hasil parameter metode Seemingly Unrelated Regression (SUR)................. 36
4 Mean metode Seemingly Unrelated Regression (SUR) bahan pangan
sumber protein hewani di Kabupaten Cirebon berdasarkan golongan
pendapatan ..................................................................................................... 36 5 Hasil olahan data elastisitas permintaan pada Kabupaten Cirebon
keseluruhan .................................................................................................... 37
6 Hasil olahan data elastisitas permintaan pada golongan pendapatan
rendah ............................................................................................................. 38 7 Hasil olahan data elastisitas permintaan pada golongan pendapatan
sedang ............................................................................................................ 39 8 Hasil olahan data elastisitas permintaan pada golongan pendapatan
tinggi .............................................................................................................. 40
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pertumbuhan ekonomi merupakan kondisi suatu negara dalam menjalankan
proses perekonomian untuk menjadikan negara tersebut menjadi lebih maju dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu sumber yang dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah sumber daya manusia yang dimiliki
oleh negara tersebut. Jika sumber daya manusia yang dimiliki mempunyai
produktivitas yang tinggi maka akan meningkatkan penawaran tenaga kerja yang
dapat menghasilkan keluaran yang lebih banyak dan meningkatkan GDP rill per
kapita. Sumber daya manusia di Indonesia yang begitu melimpah sudah
seharusnya dijadikan sebagai aset untuk menjadikan Indonesia sebagai negara
maju yang dapat diperhitungkan di internasional.
Tingkat kualitas dari sumber daya manusia dapat dilihat dari Indeks
Pembangungan Manusia (IPM). Nilai IPM suatu negara menunjukkan seberapa
jauh negara tersebut telah mencapai sasaran yang ditentukan, yaitu angka harapan
hidup 85 tahun, pendidikan dasar bagi semua lapisan masyarakat, dan tingkat
pengeluaran dan konsumsi yang telah mencapai standar hidup yang layak. Angka
IPM di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.
Sumber : BPS Nasional 2012
Gambar 1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2008-2012
Pada Gambar 1, IPM Indonesia dalam lima tahun terakhir terus mengalami
peningkatan. Nilai IPM Indonesia dari tahun 2008 sampai tahun 2012 berkisar
antara 71.17 sampai 73.29. Kondisi ini menandakan kualitas dari sumber daya
manusia di Indonesia terus semakin membaik. Menurut United Nation
Development Programme (UNDP 2013) IPM Indonesia mengalami peningkatan
yang kuat selama 40 tahun terakhir. Pada tahun 2012 nilai IPM Indonesia
meningkat menjadi 0.629 yang sebelumnya tahun 2011 sebesar 0.624, naik tiga
71.17
71.76
72.27
72.77
73.29
70
70.5
71
71.5
72
72.5
73
73.5
2008 2009 2010 2011 2012
IPM Nasional
IPM Nasional
2
peringkat ke posisi 121 dari tahun sebelumnya peringkat 124, dari 187 negara.
Namun, peringkat ini masih jauh di bawah negara-negara ASEAN, seperti
Singapura yang memiliki IPM tertinggi di ASEAN dengan nilai 0.895 dan
peringkat 18 di dunia, Brunei Darussalam memiliki IPM sebesar 0.855 dan
peringkat 30, Malaysia dengan nilai IPM 0.769 dan peringkat 64, Thailand
sebesar 0.690 dan peringkat 103, dan Filipina memiliki IPM 0.654 dan peringkat
114. Negara ASEAN lainnya seperti Vietnam, Laos, dan Kamboja masih berada
di bawah Indonesia.
Terdapat faktor-faktor yang dapat meningkatkan kualitas dari pembangunan
sumber daya manusia, yaitu pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia.
Pendekatan kebutuhan dasar memfokuskan pada penyediaan barang dan jasa
kebutuhan hidup terutama kebutuhan pangan. Kebutuhan pangan dan gizi
masyarakat haruslah terpenuhi dan seimbang. Salah satu gizi yang harus dipenuhi
adalah protein, baik protein hewani maupun protein nabati. Menurut
Mangkoewidjojo et al (2009) keperluan protein untuk konsumsi manusia adalah
80 persen berasal dari protein nabati dan 20 persen dari protein hewani yang
termasuk dari ternak dan ikan. Umumnya masyarakat lebih menyukai bahan
pangan sumber protein hewani dibandingkan dengan protein nabati. Hal ini
dikarenakan, masyarakat menganggap protein hewani memiliki unsur gizi yang
lebih banyak dan unsur gizinya yang tidak dapat digantikan oleh protein nabati.
Rata-rata konsumsi sumber bahan pangan protein hewani di Indonesia dapat
dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Rata-rata konsumsi protein menurut kelompok makanan di Indonesia
tahun 2008-2012
Komoditi (gr/kapita/hari)
2008 2009 2010 2011 2012
Ikan 7.94 7.28 7.63 7.84 7.74
Daging 2.40 2.22 2.55 2.76 2.65
Telur dan susu 3.05 2.96 3.27 3.16 3.21
Total 13.39 12.46 13.45 13.76 13.6 Sumber : BPS Nasional 2012 (diolah)
Pada Tabel 1, rata-rata konsumsi sumber bahan pangan protein hewani di
Indonesia pada tahun 2008 sampai tahun 2012 menunjukkan angka yang
berfluktuasi setiap tahunnya. Pada tahun 2008 rata-rata konsumsi pangan protein
hewani adalah sebesar 13.39 gr/kapita/hari, tahun 2009 sebesar 12.46
gr/kapita/hari, tahun 2010 sebesar 13.45 gr/kapita/hari, tahun 2011 sebesar 13.76
gr/kapita/hari, dan tahun 2012 sebesar 13.6 gr/kapita/hari. Rata-rata konsumsi
yang paling tinggi terdapat pada ikan dan terendah adalah daging. Jumlah rata-rata
konsumsi protein hewani yang ditunjukkan pada Tabel 1, menurut FAO telah
memenuhi standar kebutuhan protein hewani sebesar 6 gr/kapita/hari. Standar
kebutuhan protein hewani ini juga sejalan dengan standar yang ditargetkan
Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1998. Sudah tercukupinya standar
kebutuhan protein hewani di Indonesia menandakan penduduknya telah mengerti
akan pentingnya kebutuhan gizi. Namun, pemerintah harus dapat terus memasok
3
kebutuhan pangan yang cukup untuk terpenuhinya gizi masyarakat secara merata
pada berbagai golongan, seperti terpenuhinya kebutuhan bahan pangan sumber
protein hewani.
Di Indonesia banyak wilayah yang berpotensi dalam menyediakan bahan
pangan protein hewani salah satunya Kabupaten Cirebon yang memiliki potensi
sumber daya alam penghasil bahan pangan protein hewani terutama ikan. Hal ini
dikarenakan letak geografis Kabupaten Cirebon mayoritas berada pada pantai
utara Pulau Jawa. Kondisi ini mengakibatkan Kabupaten Cirebon memiliki jumlah
produksi ikan yang lebih banyak dibandingkan dengan sumber bahan makanan
protein hewani lainnya seperti daging ruminansia, unggas, telur, dan susu. Jumlah
produksi sumber makanan protein hewani di Kabupaten Cirebon dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2 Jumlah produksi bahan pangan sumber protein hewani Kabupaten
Cirebon pada tahun 2009-2012
Sumber : BPS Kabupaten Cirebon 2013 (diolah)
Berdasarkan data Tabel 2, dapat dilihat bahwa hasil produksi sumber bahan
pangan protein hewani yang paling besar di Kabupaten Cirebon adalah ikan yang
pada tahun 2012 mencapai 53276.7 ton. Jumlah produksi ini paling besar diantara
bahan pangan protein hewani lainnya. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
Kabupaten Cirebon berpotensi dalam menghasilkan sumber bahan pangan protein
hewani khususnya ikan sebagai alternatif dari bahan pangan protein hewani
lainnya.
Perumusan Masalah
Kebutuhan konsumsi pangan adalah sesuatu yang sangat penting untuk
mencapai kebutuhan gizi yang berkualitas dan seimbang. Jika suatu negara dapat
memenuhi kebutuhan gizi masyarakatnya secara merata dan terjangkau oleh
semua lapisan masyarakat maka akan memiliki sumber daya manusia yang
berkualitas. Salah satu gizi yang harus dipenuhi oleh masyarakat adalah protein
hewani.
Kabupaten Cirebon yang lokasi geografisnya mayoritas berada di pantai
utara Pulau Jawa memiliki potensi dalam memproduksi bahan pangan protein
hewani terutama ikan. Jumlah produksi ikan di Kabupaten Cirebon lebih banyak
dibandingkan dengan sumber bahan pangan protein hewani lainnya seperti pada
Tabel 1. Namun, jumlah produksi yang sangat banyak ini tidak sebanding dengan
Komoditi Satuan Tahun produksi
2009 2010 2011 2012
Daging Ton 3782.56 3773.42 4995.77 3743.45
Unggas Ton 1517.32 2392.29 4541.46 4768.49
Ikan Ton 45839.9 51365.1 20549.1 53276.7
Telur Ton 824.13 968.89 1108.48 981.71
Susu 000 Liter 311.52 290.55 185.76 464.39
4
konsumsi masyarakat akan produk ikan tersebut, baik dalam bentuk ikan segar
maupun dalam bentuk olahannya. Rata-rata konsumsi ikan masyarakat Kabupaten
Cirebon pada tahun 2012 hanya mencapai 23.5 kg/kapita/tahun, angka ini lebih
rendah dibandingkan dengan tingkat konsumsi ikan nasional yang mencapai 30.47
kg/kapita/tahun (Roh 2012). Selain itu, konsumsi daging di wilayah tersebut juga
sangat rendah, yaitu sebesar 5 kg/kapita/tahun dengan perbandingan angka
konsumsi daging nasional sebesar 15 kg/kapita/tahun (Lia 2013). Hal ini
dikarenakan Kabupaten Cirebon termasuk daerah yang memiliki persentase
penduduk miskin terbesar kedua di Jawa Barat, yaitu sebesar 16.2 persen pada
tahun 2010 (BPS 2011). Kondisi ini sangat disayangkan mengingat bahwa
Kabupaten Cirebon merupakan salah satu daerah yang berpotensi dalam
memproduksi salah satu bahan pangan hewani yang cukup tinggi.
Berdasarkan permasalahan diatas, maka perumusan masalah untuk penelitian
ini adalah :
1. Bagaimana pola konsumsi bahan pangan sumber protein hewani di
Kabupaten Cirebon dengan mengklasifikasikan golongan pendapatan ?
2. Bagaimana elastisitas permintaan bahan pangan sumber protein hewani
berdasarkan golongan pendapatan ?
3. Bagaimana pola konsumsi sumber bahan pangan protein hewani jika
terjadi perubahan harga komoditi daging pada setiap golongan
pendapatan ?
.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Melihat dan menganalisis pola konsumsi sumber bahan pangan protein
hewani di Kabupaten Cirebon dengan mengklasifikasikan golongan
pendapatan.
2. Menganalisis elastisitas permintaan sumber bahan pangan protein hewani
berdasarkan golongan pendapatan.
3. Menganalisis pola konsumsi sumber bahan pangan protein hewani jika
terjadi perubahan harga pada komoditi daging pada setiap golongan
pendapatan.
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1. Menjadi sumber pengetahuan dan informasi tentang pola konsumsi sumber
bahan pangan protein hewani di Kabupaten Cirebon.
2. Memberikan informasi terhadap dampak pengaruh perubahan harga
terhadap permintaan sumber bahan pangan protein hewani.
3. Bagi peneliti, dan pihak-pihak yang memerlukan informasi diharapkan
dapat dijadikan sebagai perbandingan dan masukan penelitian-penelitian
berikutnya.
5
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan data cross section yang berasal dari SUSENAS
2012 untuk data konsumsi makanan dan pengeluaran rumah tangga di Jawa Barat.
Cakupan wilayah yang dipilih pada penelitian ini adalah Kabupaten Cirebon
dengan sampel rumah tangga sebanyak 924 rumah tangga. Komoditi yang
dianalisis adalah sumber bahan pangan protein hewani yang terdiri dari daging
ruminansia, ikan, unggas, telur, dan susu. Pada penelitian ini, daging ruminansia
merupakan gabungan dari daging sapi, kerbau, dan kambing.
TINJAUAN PUSTAKA
Teori Perilaku Konsumen
Rumah tangga sebagai konsumen merupakan pemakai atau pengguna barang
dan jasa. Masing-masing konsumen memiliki kebutuhan dan perilaku yang
berbeda dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun, dari perbedaan tersebut
terdapat kesamaan yang dimiliki pada setiap konsumen, yaitu selalu ingin
mencapai tingkat kepuasan paling tinggi dalam mengkonsumsi barang dan jasa.
Faktor utilitas atau kepuasan dari setiap konsumen tidak hanya dipengaruhi oleh
konsumsi atas komoditi fisik, tapi juga sikap psikologis, tekanan kelompok kawan
sebaya, pengalaman pribadi, dan lingkungan budaya lainnya (Nicholson 2002).
Memahami perilaku konsumen dalam mencapai kepuasannya digunakan dua
pendekatan, yaitu pendekatan kardinal dan pendekatan ordinal (Meriana 2013).
Pendekatan kardinal didasarkan pada asumsi bahwa tingkat kepuasaan seseorang
dalam mengkonsumsi barang dan jasa dapat diukur. Pada pendekatan ini berlaku
hukum law of diminishing marginal utility, artinya semakin banyak barang yang
dikonsumsi maka akan semakin besar kepuasan yang dimilikinya, tetapi tingkat
kepuasan yang diperolehnya semakin lama akan semakin kecil jika terus
melakukan penambahan konsumsi barang yang mengakibatkan marginal utilitas
bernilai negatif dan total utilitasnya akan menurun. Konsumen yang rasional akan
berusaha untuk memaksimalkan kepuasaannya pada tingkat pendapatan yang
dimiliki.
Pada pendekatan ordinal mengasumsikan bahwa konsumen mampu membuat
urutan-urutan kombinasi barang yang akan dikonsumsi berdasarkan kepuasan
yang akan diperolehnya tanpa harus menyebutkan secara absolut. Pendekatan
ordinal menggunakan kurva indeferens untuk menunjukkan berbagai kombinasi
dua barang yang memberikan kepuasan yang sama. Mengukur kepuasan
menggunakan pendekatan kurva indeferens dapat menggunakan asumsi, yaitu
konsumen yang dihadapkan dengan keterbatasan anggaran dalam jumlah tertentu.
Pendekatan kurva indeferens dengan keterbatasan anggaran dapat dilihat pada
Gambar 2.
6
Gambar 2 Kurva indeferens maksimisasi kepuasan dengan kendala anggaran
(Nicholson 2002)
Berdasarkan Gambar 2, kombinasi X, Y merupakan kombinasi dua barang
yang rasional dari rumah tangga untuk mengalokasikan daya belinya. Seorang
konsumen akan bertindak secara tidak rasional jika memilih titik A. Konsumen
sebenarnya dapat memperoleh kepuasaan yang lebih tinggi dengan
membelanjakan sebagian pendapatannya yang belum dibelanjakan dengan asumsi
tidak adanya kejenuhan dari konsumen untuk membelanjakan semua
pendapatannya dalam mencapai kepuasaan maksimum. Jika konsumen mengubah
alokasi pengeluarannya maka konsumen dapat memperoleh utilitas yang lebih
tinggi pada titik B. Pada titik D tidak mungkin konsumen dapat mencapai
utilitasnya karena pendapatan tidak cukup besar untuk memperoleh kepuasan di
titik D. Pada titik C merupakan tingkat kepuasan tertinggi yang dapat dicapai oleh
individu dengan batasan anggaran dengan kombinasi barang X,Y.
Jika suatu barang mengalami perubahan harga sedangkan pendapatan tetap,
maka setiap rumah tangga harus melakukan pilihan kembali untuk
memaksimumkan utilitas yang baru. Perubahan harga akan mengakibatkan
terjadinya perubahan intersep dan slope dari garis anggaran. Selain itu, akan
terjadi perpindahan ke pilihan maksimisasi utilitas yang baru ke kurva indeferens
yang baru. Oleh karena itu, jika harga berubah maka rumah tangga akan
dipengaruhi oleh efek substitusi dan efek pendapatan. Pada pengaruh efek
substitusi rumah tangga akan tetap berada pada kepuasan yang sama dan pola
konsumsi dialokasikan ulang untuk menyamakan kepuasan antar dua barang
dengan rasio harga yang baru. Pengaruh efek pendapatan, menyebabkan
perubahan harga akan mengubah pendapatan rill seseorang, sehingga sebuah
rumah tangga tidak akan tetap berada dalam kepuasaan yang sama. Harga pada
suatu barang dapat terjadi penurunan atau peningkatan. Pada barang yang
mengalami penurunan harga akan diilustrasikan pada Gambar 3.
I = PxX + PyY
U1
U2
U3
C
Jumlah Y
Jumlah X
Y
X
B
A
D
7
Gambar 3 Efek subsitusi dan efek pendapatan pada penurunan harga X
(Nicholson 2002)
Pada Gambar 3, tahap awal konsumen memaksimumkan kepuasannya
dengan memilih kombinasi X’, Y’. Ketika harga X turun dari P𝑥1 ke Px
2 akan
mengakibatkan garis anggaran bergeser kearah luar pada garis anggaran yang baru
yaitu dari I1 ke I2. Kedua garis anggaran tersebut akan tetap bertemu di sumbu Y
yang seluruh pendapatan yang tersedia dibelanjakan untuk barang Y, dikarenakan
baik pendapatan maupun harga barang Y tidak akan berubah. Intersep Y akan
tetap untuk kedua garis anggaran tersebut. Intersep X yang baru akan bergerak
kekanan menjauhi intersep X sebelumnya. Harga X yang lebih rendah
mengakibatkan akan lebih banyak barang X yang mampu dibeli oleh konsumen.
Bentuk slope yang lebih landai pada garis anggaran menunjukkan harga relatif X
terhadap Y mengalami penurunan.
Adanya perubahan garis anggaran mengakibatkan pilihan yang
memaksimumkan utilitas bergeser dari titik X’, Y’ ke titik X”,Y”. Perpindahan ke
titik pilihan barang yang baru, disebabkan oleh dua efek. Pertama adalah efek
substitusi, perubahan pada slope kendala anggaran akan memberikan dorongan
individu untuk berpindah ke titik B jika individu tetap menggunakan kurva
indeferens U1. Garis yang bersinggungan dengan I1 memiliki slope yang sama
dengan garis anggaran yang baru, tetapi tetap bersinggungan dengan kurva
indeferens U1 karena dianggap pendapatan rill tetap konstan. Harga yang relatif
rendah pada barang X menyebabkan individu berpindah dari X’,Y’ ke B jika
kesejahteraannya tidak menjadi lebih baik sebagai akibat harga yang lebih rendah.
Kedua adalah efek pendapatan, lebih lanjut perpindahan akan terjadi dari titik B
ke pilihan konsumsi akhir X”,Y”. Penurunan harga X meskipun pendapatan
individu tetap sama, individu akan seolah-olah memiliki pendapatan rill yang
lebih besar dan dapat mencapai tingkat utilitas yang lebih tinggi pada kurva
indeferens U2. Pada saat terjadi kenaikan harga akan dijelaskan pada Gambar 4.
I2 = P𝑋
2X + PY Y
Jumlah X
I 1= P𝑋1X + PY Y
Jumlah Y
A
B
C
U1
U2
I
Px
Y”
Y’
X’ X” X*
Efek
Substitusi
Efek
Pendapatan
8
Gambar 4 Efek substitusi dan efek pendapatan pada kenaikan harga barang X
( Nicholson 2002)
Pada Gambar 4 saat terjadi kenaikan harga barang X garis anggaran baru
akan bergeser ke kiri. Perpindahan titik konsumsi awal X’, Y’ ke titik konsumsi
baru X”, Y” akan memberikan dua dampak. Pertama, jika individu bertahan pada
kurva indeferens awal U1 rumah tangga akan mensubstitusikan Y untuk X dan
berpindah sepanjang U1 ke titik B. Garis pada titik B, memiliki slope yang sama
dengan garis anggaran yang baru dan tetap bersinggungan dengan kurva
indeferens U1. Perpindahan dari X’,Y’ ke titik B disebut efek substitusi.
Peningkatan harga juga akan berakibat pada hilangnya daya beli yang membuat
pendapatan riil rumah tangga menjadi lebih rendah. Oleh karena itu,
mengakibatkan perpindahan ke kurva indeferen yang lebih rendah dari U1 ke U2
yang disebut dengan efek pendapatan.. Efek substitusi dan efek pendapatan secara
bersama-sama menyebabkan jumlah barang X yang diminta akan turun karena
adanya dampak kenaikan harga.
Teori Permintaan
Umumnya kebutuhan manusia mempunyai sifat yang tidak terbatas.
Kebutuhan seseorang dapat terpenuhi jika dapat mengkonsumsi barang dan jasa
yang diminta. Suhartati dan Fathorrozi (2003) mendefinisikan permintaan yaitu
berbagai jumlah barang dan jasa yang diminta pada berbagai tingkat harga dan
periode waktu tertentu. Jumlah komoditi total yang ingin dibeli oleh semua rumah
tangga disebut dengan jumlah yang diminta. Konsep jumlah yang diminta adalah
jumlah yang diinginkan konsumen, yaitu banyaknya barang yang ingin dibeli oleh
konsumen dengan mempertimbangkan harga barang itu sendiri, tingkat harga
barang lain, tingkat pendapatan per kapita, selera, distribusi pendapatan dan
besarnya populasi atau jumlah penduduk.
Jumlah Y
I = PX1X + PY Y
I = PX2X + PY Y A
B
C
U1 U2
Jumlah X
I
PX
Y”
Y’
X” X’ X*
Efek
Pendapatan
Efek
Substitusi
9
Elastisitas Permintaan
Nicholson (2002) mendefinisikan elastisitas sebagai ukuran persentase
perubahan suatu variabel yang bergantung pada perubahan satu persen variabel
lainnya. Melihat ketergantungan tersebut maka dinyatakan dengan eB.A yang
ditunjukkan pada persamaan 1, yaitu :
𝑒𝐵.𝐴 = % 𝛥𝐵
% 𝛥𝐴=
𝜕𝐵
𝜕𝐴 .
𝐴
𝐵 (1)
Pernyataan diatas menunjukkan bagaimana variabel B menanggapi, cateris
paribus perubahan sebesar satu persen dalam variabel A. Faktor-faktor yang
mempengaruhi ketergantungan tersebut antara lain harga barang itu sendiri, harga
barang lain , dan pendapatan. Oleh karena itu, konsep dari elastisitas permintaan
ini diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :
Elastisitas Harga Sendiri
Konsep dari elastisitas ini menurut Nicholson (2002) yaitu perubahan
dalam harga sebuah barang yang akan mengarah terhadap permintaan jumlah
barang yang akan dibeli. Dibentuklah sebuah persamaan untuk mendefinisikan
konsep tersebut yang ditunjukkan pada persamaan 2, yaitu :
𝑒𝑄.𝑃 = % 𝛥𝑄
% 𝛥𝑃=
𝜕𝑄
𝜕𝑃 .
𝑃
𝑄 (2)
Elastisitas ini melihat perubahan Q (kuantitas) sebagai bentuk tanggapan
dari perubahan dalam P (harga). Hubungan antara P dan Q yang bergerak dalam
arah yang berlawanan, maka nilai 𝑒𝑄.𝑝 yang diperoleh akan bernilai negatif
kecuali pada kasus paradoks Giffen. Pada kasus paradoks Giffen terkadang
elastisitas harga sendiri didefinisikan sebagai nilai absolut dari hasil definisi
persamaan 2. Penggunaan definisi tersebut tidak akan pernah bernilai negatif dan
kurva diklasifikasikan menjadi elastis, elastisitas sempurna, atau tidak elastis yang
tergantung dari nilai eQ.P lebih besar, sama dengan, atau lebih kecil dari 1.
Jika nilai elastisitas yang diperoleh bernilai eQ,P < -1 disebut elastis, artinya
penurunan kuantitas proporsinya akan lebih besar dibandingkan dengan kenaikan
harga. Nilai elastisitas yang eQ,P = -1 disebut unitary elastis, artinya penurunan
kuantitas akan memiliki proporsi yang sama dengan kenaikan harga. Ketika nilai
elastisitas eQ,P > -1 yang disebut dengan inelastis yang artinya proporsi kenaikan
harga akan lebeih besar dibandingkan dengan penurunan kuantitasnya.
Elastisitas Harga Silang
Konsep dari elastisitas harga silang digunakan untuk mengukur reaksi
jumlah yang dibeli (Q) terhadap perubahan harga barang lain (P’). Elastisitas ini
didefinisikan pada persamaan 3, yaitu :
𝑒𝑄.𝑃′ = % ∆𝑄
% ∆𝑃′=
𝜕𝑄
𝜕𝑃 .𝑃′
𝑄 (3)
10
Pada elastisitas harga silang digunakan hubungan dua komoditi, yaitu
hubungan substitusi dan komplementer. Jika barang tersebut memiliki hubungan
yang substitusi dengan barang lain maka elastisitas harga silang bernilai akan
positif sehingga harga satu barang dengan jumlah permintaan barang lain akan
bergerak dengan arah yang sama. Sedangkan barang yang memiliki hubungan
komplementer dengan barang lain nilai elastisitas harga silang akan bernilai
negatif sehingga harga satu barang dengan jumlah barang lain yang diminta akan
bergerak berlawanan arah.
Elastisitas Pendapatan
Elastisitas pendapatan digunakan untuk mengukur perubahan pendapatan
yang akan berpengaruh terhadap perubahan jumlah barang yang diminta. Konsep
dari elastisitas ini ditunjukkan pada persamaan 4 :
𝑒𝑄.𝐼 = %𝛥𝑄
% 𝛥𝐼=
𝜕𝑄
𝜕𝐼 .
𝐼
𝑄 (4)
Pada elastisitas pendapatan, jika barang tersebut merupakan barang normal
maka akan bernilai positif, artinya jika terjadi kenaikan pendapatan maka
permintaan barang akan meningkat. Sebaliknya jika bernilai negatif maka barang
tersebut dianggap barang inferior, artinya jika terjadi kenaikan pendapatan jumlah
barang yang diminta menjadi turun. Pada barang mewah, nilai 𝑒𝑄.𝐼 akan lebih
besar dari satu yang berarti pembelian barang meningkat lebih cepat daripada
pendapatan.
Model Almost Ideal Demand System (AIDS)
Model Almost Ideal Demand System (AIDS) pertama kali diperkenalkan
oleh Deaton dan Meuelbauer (1980) untuk menjawab tuntuan preferensi
konsumen. Model permintaan ini mempertimbangkan pemilihan komoditi yang
dilakukan oleh konsumen secara bersama-sama. Karakteristik penting dari model
permintaan AIDS ini yaitu, (1) model ini merupakan pendekatan orde pertama
terhadap sembarang fungsi sistem permintaan; (2) memenuhi aksioma perilaku
pemilihan komoditi dengan tepat; (3) digunakan untuk menguji restriksi
homogenitas dan simetrik; (4) bentuk fungsinya konsisten dengan pengeluaran
rumah tangga; (5) mengagregasi perilaku rumah tangga tanpa menerapkan kurva
Engel yang linier, dan yang terpenting parameternya mudah diduga tanpa harus
menggunakan metode non linier (Deaton dan Meuelbauer 1980).
Model ini merupakan pendekatan orde pertama dari fungsi permintaan
dengan titik awal golongan preferensi yang spesifik. Menurut Deaton dan
Muelbeaur (1980) golongan tersebut memungkingkan pengagregasian yang tepat
dari konsumen, sebagai gambaran dari permintaan pasar yang merupakan hasil
pengambilan keputusan konsumen secara rasional. Golongan preferensi tersebut
disebut PIGLOG Class ditunjukkan melalui fungsi biaya atau pengeluaran yang
menentukkan pengeluaran minimum yang dibutuhkan untuk mencapai tingkat
utilitas khusus pada tingkat harga tertentu. PIGLOG Clas didefinisikan sebagai :
Log c (u,p) = (1-u) log [a(p)] + u log [b(p)] (5)
11
Artinya u adalah utilitas, dan p adalah vektor harga. Syarat fungsi tersebut u
berada diantara 0 (subsisten) dan 1 (kemewahan) sehingga fungsi linier positif
homogen dari a(p) dan b(p) dapat dikatakan sebagai biaya subsisten dan
kemewahan. Agar fungsi biaya menjadi lebih fleksibel, fungsi tersebut harus
memiliki jumlah parameter yang mencukupi, sehingga pada sembarang titik,
turunan 𝛿c/δp, δc/δu, δ2c/δpipj, δ2δuδpi, dan δ2c/δu2 dapat dianggap sama
dengan fungsi-fungsi biaya yang berubah, maka digunakan:
Log a(p) = α0 + ∑kαklog Pk + 1 2 ∑k∑j γ*kj log Pk log Pj (6)
Log b(p) = log a(p) + β0JIkPkβk
(7)
Sehingga fungsi biaya AIDS ditulis sebagai berikut:
Log c(u,p) = α0 + ∑kαklog Pk + 1 2 ∑k∑j γ*kj log Pk log Pj + uβ0JIkPkβk
(8)
Secara mudah dapat diperiksa bahwa c(u,p) homogen linier dalam p sebagai
gambaran preferensi, yang dipenuhi oleh:
∑ i αi = 1, ∑ j γ*kj = ∑ k γ*kj, ∑ j βj = 0 (9)
Fungsi permintaan dapat diturunkan secara langsung dari persamaan (8).
Suatu fungsi biaya memeiliki sifat fundamental yang apabila fungsi tersebut
diturunkan terhadap harganya maka akan dihasilkan jumlah komoditi yang
diminta, yaitu: δ c(u,p)
δ Pi x
Pi
c(u,p)= Qi (10)
Jika kedua sisi dikalikan dengan Pi / c(u,p) didapat: δ log c(u,p)
δ log Pi=
PiQi
c(u,p)= Wi (11)
Wi adalah proporsi pengeluaran komoditi i, sehingga penurunan
logaritmik dari persamaan (8) dengan proporsi pengeluaran sebagai fungsi dari
harga dan utilitas adalah:
Wi(u,p) = αi + ∑j γij log Pj + u βiβ0JIk Pkβk
(12)
Keterangan: γij = 1 2 ( γ*ij + γ*ji) (13)
Maksimisasi utikitas konsumen, pengeluaran total X harus sama dengan
c(u,p) dan dari persamaan tersebut dapat dibalikkan untuk mendapatkan u sebagai
fungsi dari P dan X merupakan fungsi utilitas tidak langsung. Jika melakukan hal
tersebut pada persamaan (8) dan mensubstitusi hasilnya ke persamaan (11), akan
mendapatkan fungsi permintaan AIDS dalam bentuk proporsi pengeluaran.
Wi (p,x) = = αi + ∑j γij log Pj + βi log (X/P) (14)
Keterangan: X/P adalah pendapatan dibagi dengan indeks harga P, yang
didefinisikan sebagai berikut :
Log P = α0 + ∑kαk logPk + 1 2 ∑k∑j γ*kj log Pk log Pj (15)
Sehingga secara umum model permintaan AIDS adalah:
Wi = (αi – βiα0)+∑j γijlogPj +βi(logX - ∑kαk logPk - 1 2 ∑k∑j γ*kj logPk logPj) (16)
Persamaan (16) menyajikan sistem fungsi permintaan yang konsisten jika
memenuhi restriksi-restriksi berikut :
Adding Up : ∑αi = 1; Yij = 0𝑖 ; βi = 0i (17)
Homogen : Yij = 0j (18)
Simetri:Yij=Yji (19)
12
Pada persamaan (16) dapat dilihat bahwa model AIDS merupakan model
non linier, maka akan berakibat adanya penggunaan indeks harga P. sehingga agar
dapat diestimasi secara linier maka perlu dilakukan pendekatan terhadapa nilai
indeks P dengan menggunakan hubungan kolinieritas antar harga, salah satunya
adalah melalui penggunaan Indeks Stone, yaitu log P* = ∑k Wk log Pk, sehingga
model AIDS menjadi:
Wi (p,x) = αi + ∑jYij log Pj + βi log X
P∗ (20)
Fungsi tersebut dikenal dengan aproksimasi linear dari AIDS
Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai pola konsumsi dengan menerapkan metode model
permintaan AIDS telah banyak dilakukan. Beberapa penelitian tersebut seperti
penelitian yang dilakukan oleh Trisnowati dan Budiwinarto (2013) yang melihat
pengaruh harga dan pendapatan terhadap proporsi pengeluaran makanan rumah
tangga. Hasil penelitian menunjukkan, secara agregat nilai elastisitas harga sendiri
dan harga silang untuk semua kelompok makanan memiliki nilai elastisitas yang
negatif. Banyaknya jumlah anggota rumah tangga berpengaruh positif terhadap
permintaan kelompok pangan padi atau umbi tapi tidak untuk kelompok pangan
lainnya. Kemudian pendapatan rumah tangga juga berpengaruh positif terhadap
permintaan pangan kelompok komoditi padi atau umbi sedangkan kelompok
komoditi lain tidak berpengaruh nyata.
Adapun penelitian Kahar (2010) yang menganalisis pola konsumsi daerah
perkotaan dan perdesaan di Provinsi Banten. Secara umum tingkat pengeluaran
daerah perkotaan dan perdesaan berbeda signifikan dan parameter harga
mempengaruhi pengeluaran untuk tiap komoditi. Komoditi padi masih menjadi
komoditi yang utama baik di perkotaan maupun di pedesaan. Pada elastisitas
pendapatan, semakin tinggi pendidikan semakin cenderung inelastis, dimana
semakin tinggi pendapatan akan lebih banyak mengkonsumsi barang lain selain
bahan makanan. Kemudian tingkat konsumsi pangan hewani lebih besar di
perkotaan dibandingakan di perdesaan yang dilihat dari elastisitasnya yang
semakin elastis. Pada penelitian ini terdapat simulasi perubahan harga terhadap
permintaan komoditi padi, pangan hewani, dan pendidikan. Hasilnya
menunjukkan bahwa ketika terjadi kenaikan biaya pendidikan, golongan
masyarakat menengah ke bawah yang mengalami dampak terbesar. Sedangkan
untuk perubahan harga komoditi lain tidak terlalu signifikan pengaruhnya
terhadap permintaan masyarakat.
Ramdhiani (2008) tentang permintaan telur ayam ras dan ayam buras di
DKI Jakarta dengan mengelompokan golongan pendapatan. Hasil penelitian
menunjukkan golongan yang mengkonsumsi paling banyak telur ayam ras adalah
golongan pendapatan menengah sedangkan telur ayam buras adalah golongan
pendapatan tinggi. Nilai elastisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang yang
diperoleh baik telur ayam ras maupun ayam buras memiliki nilai negatif pada
setiap golongan pendapatan. Pada elastisitas pendapatan, pada telur ayam ras dan
ayam buras termasuk kedalam barang normal, artinya bahwa rumah tangga lebih
13
responsif terhadap perubahan pendapatan, jika pendapatan meningkat maka
jumlah permintaan telur juga akan meningkat.
Penelitian Wardani (2007) tentang analisis pola konsumsi dan permintaan
buah pada tingkat rumah tangga di Pulau Jawa. Penelitian ini menunjukkan
selama periode 2003-2006 pola konsumsi yang berdasarkan golongan pendapatan,
proporsi pengeluaran untuk buah-buahan semakin meningkat dengan semakin
tingginya pendapatan. Pada penelitian ini pemilihan buah yang dianalisis adalah
buah yang dominan dikonsumsi dan tidak terpengaruh oleh musim. Penelitian
menunjukkan bahwa golongan pendapatan tinggi mengkonsumsi buah paling
banyak adalah jeruk, sedangkan pada golongan pendapatan sedang dan rendah
adalah pisang. Elastisitas harga sendiri dan harga silang yang dimiliki baik pada
jeruk, pisang, dan pepaya memiliki nilai yang negatif pada setiap golongan
pendapatan. Kemudian pada elastisitas pendapatan, untuk semua jenis buah yang
dianalisis merupakan barang normal, yang artinya bahwa jika terjadi kenaikan
pendapatan maka jumlah buah yang diminta juga akan meningkat.
Selanjutnya penelitian analisis konsumsi rumah tangga untuk komoditi
pangan protein hewani di Provinsi Jawa Barat yang dilakukan oleh Sunarto (2000)
dengan menggunakan data SUSENAS 1996. Hasil yang diperoleh untuk proporsi
pengeluaran, rumah tangga cenderung lebih besar proporsinya pada protein
hewani yang berasal dari ikan, unggas, dan telur. Wilayah perdesaan pada setiap
tingkat golongan pendapatan, konsumsi protein hewani yang paling dominan
adalah ikan. Sedangkan pada wilayah perkotaan, golongan pendapatan rendah dan
sedang konsumsi protein hewani yang dominan adalah ikan, dan golongan
pendapatan tinggi adalah unggas. Pada elastisitas harga sendiri dan harga silang,
nilai elastisitas pada semua komoditi untuk setiap golongan pendapatan bernilai
negatif. Sedangkan pada elasitisitas pendapatan, menunjukkan hasil yang bernilai
positif, artinya komoditi pangan protein hewani tersebut merupakan barang
normal.
Kerangka Pemikiran
Pola konsumsi merupakan salah satu indikator sosial ekonomi yang
dipengaruhi oleh budaya dan lingkungan setempat dan sering dikaitkan dengan
kondisi kesehatan dan gizi masyarakat. Kabupaten Cirebon memiliki potensi
dalam menghasilkan sumber bahan pangan hewani. Lokasi geografis yang
strategis menyebabkan Kabupaten Cirebon berpotensi memproduksi hasil lautnya
terutama ikan. Angka kemiskinan yang tinggi pada Kabupaten Cirebon
menyebabkan rendahnya konsumsi sumber pangan protein hewani. Penelitian ini
bertujuan untuk melihat pola konsumsi sumber bahan pangan protein hewani di
Kabupaten Cirebon berdasarkan golongan pendapatan dengan menggunakan
analisis deskriptif dan kuantitatif. Pada analisis deskriptif bertujuan untuk melihat
pola konsumsi bahan pangan sumber protein hewani berdasarkan golongan
pendapatan di Kabupaten Cirebon. Kemudian untuk analisis kuantitatif
menggunakan metode model Almost Ideal Demand System (AIDS) yang bertujuan
melihat parameter yang mempengaruhi permintaan bahan pangan sumber protein
hewani. Selanjutnya dilakukan simulasi perubahan kenaikan harga daging sapi
yang akan berpengaruh terhadap pola konsumsi bahan pangan sumber protein
14
hewani pada setiap golongan pendapatan. Kerangka pemikiran ini dijelaskan pada
Gambar 5.
Gambar 5 Kerangka pemikiran
Angka kemiskinan Kabupaten
Cirebon tertinggi ke-2 di Jawa
Barat
Rendahnya konsumsi pangan
sumber protein hewani
Kabupaten Cirebon potensi
menghasilkan pangan sumber
protein hewani
Pola konsumsi sumber bahan pangan protein
hewani berdasarkan golongan pendapatan
Metode Almost Ideal Demand
System (AIDS)
Pola konsumsi bahan pangan
sumber protein hewani berdasarkan
golongan pendapatan
Parameter yang
mempengaruhi permintaan
bahan pangan protein
hewani
Simulasi perubahan
harga terhadap komoditi
daging
Saran kebijakan pemerintah
Pola konsumsi dengan
kenaikan harga daging
Analisis deskriptif Analisis Kuantitatif
15
METODE PENELITIAN
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan adalah data cross section SUSENAS 2012
dengan mengambil data konsumsi dan pengeluaran rumah tangga untuk bahan
pangan protein hewani di Jawa Barat. Cakupan wilayah yang dipilih untuk
penelitian adalah Kabupaten Cirebon. Bahan pangan protein hewani yang
dianalisis adalah ikan, daging ruminansia, unggas, telur, dan susu. Selain itu, data
juga berasal dari sumber referensi dan artikel yang terkait dengan penelitian.
Pengelompokan Data
Pada penelitian untuk lebih terlihat karakteristik dari pola konsumsi pangan
hewani di Kabupaten Cirebon, maka dilakukanlah penggolongan pendapatan yang
dibagi menjadi tiga golongan, yaitu golongan pendapatan rendah, sedang, dan
tinggi. Pembagian golongan pendapatan diproksi dari tingkat pengeluaran rumah
tangga dengan perhitungan menggunakan Microsoft Excel 2007. Sampel rumah
tangga yang diteliti sebanyak 924 rumah tangga dengan rincian golongan
pendapatan rendah sebanyak 27 rumah tangga, golongan pendapatan sedang 823
rumah tangga, dan golongan pendapatan tinggi 74 rumah tangga.
Masing-masing komposisi pengeluaran setiap golongan rumah tangga,
yaitu golongan pendapatan rendah Rp 272,400/kapita/bulan sampai Rp
574,900/kapita/bulan. Pada golongan pendapatan sedang antara Rp
575,000/kapita/bulan sampai Rp 3,362,900/kapita/bulan sedangkan pada golongan
pendapatan tinggi memiliki pengeluaran antara Rp 3,363,000/kapita/bulan sampai
Rp 58,394,600/kapita/bulan.
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dan analisis
kuantitatif. Analisis deksriptif digunakan untuk mengetahui pola konsumsi bahan
pangan sumber protein hewani berdasarkan golongan pendapatan. Pada analisis
kuantitatif menggunakan metode model permintaan Almost Ideal Demand System
(AIDS) dengan menggunakan software SPSS versi 20, Statistical Analitical
System (SAS), dan Microsoft Excel 2007.
Analisis Almost Ideal Demand System (AIDS)
Analisis ini digunakan untuk melihat pola konsumsi, proporsi pengeluaran,
dan faktor- faktor yang memengaruhi permintaan bahan pangan protein hewani.
Model matematika yang digunakan adalah aproksimasi linier dari AIDS (LA/IDS,
Linier Aproximation/ Almost Ideal Demand System). Metode yang digunakan
untuk menduga keofisien regresi pada model permintaan AIDS adalah metode
Seemingly Unrelated Regression (SUR) dengan menggunakan software Statistical
Analisys System (SAS). Secara umum rumus permintaan model AIDS adalah
sebagai berikut :
16
Wi = αi + γij ln Pj + β ln x
P∗ + θ ln Art + D1 + D2 (21)
Keterangan :
Wi : proporsi komoditi ke-i terhadap total pengeluaran untuk bahan
pangan protein hewani, dimana i = 1, 2, 3, 4, 5 (1 = daging; 2 = ikan;
3 = unggas; 4 = telur; 5 = susu)
α, β, γ, θ : parameter regresi berturut-turut untuk intersep, total pengeluaran,
harga agregat dari masing-masing komoditi, dan jumlah anggota
rumah tangga.
Pj : harga agregat komoditi ke-j, dengan j = 1, 2, 3, 4, 5
Art : jumlah anggota rumah tangga 𝑥
𝑃∗ : pengeluaran untuk pangan hewani dibagi dengan indeks harga stone
D1 : dummy untuk golongan pendapatan, 0 = rendah;1 = sedang
D2 : dummy untuk golongan pendapatan, 0 = sedang; 1 = tinggi
Indeks harga stone dicari dengan rumus : log P∗ = Wk log Pk , dimana Wk
adalah pangsa pengeluaran komoditi k, Pk adalah harga komoditi k. Sedangkan
secara spesifik rumus permintaan pangan hewani, yaitu sebagai berikut:
1. W1 = α1 + γ11LnP1 + γ12LnP2 + γ13LnP3 + γ14LnP4 + γ15LnP5 + βLnYi + θLnART + D1 + D2 (22)
2. W2 = α2 + γ21LnP1 + γ22LnP2 + γ23LnP3 + γ24LnP4 + γ25LnP5 + βLnYi + θLnART + D1 + D2 (23)
3. W3 = 𝛼3 + 𝛾31LnP1 + γ32LnP2 + γ33LnP3 + γ34LnP4 + γ35LnP5 + βLnYi + θLnART + D1 + D2 (24)
4. W4 = α4 + γ41LnP1 + γ42LnP2 + γ43LnP3 + γ44LnP4 + γ45LnP5 + βLnYi + θLnART + D1 + D2 (25)
5. W5 = α5 + γ51LnP1 + γ52LnP2 + γ53LnP3 + γ54LnP4 + γ55LnP5 + βLnYi + θLnART + D1 + D2 (26)
Keterangan :
P1 = harga daging
P2 = harga ikan
P3 = harga unggas
P4 = harga telur
P5 = harga susu
Untuk menjamin asumsi maksimisasi kepuasan agar terpenuhi, maka terdapat
tiga restriksi yang harus dimasukkan ke dalam model, yaitu:
Adding Up : αi = 1,i0 Yij = 0,i
0 βi
= 0i0 (27)
Homogenitas : Y𝑗0 𝑖𝑗
= 0 (28)
Simetri : Yij = Yji (29)
17
Perhitungan Nilai Elastisitas
Memperoleh nilai estisitas harga dan pendapatan dihitung melalui rumus
yang diturunkan dari fungsi permintaan. Rumus perhitungan untuk mencari
elastisitas permintaan yang diklasifikasikan menjadi elastisitas harga sendiri,
harga silang, dan pendapatan adalah sebagai berikut :
a. Elastisitas Harga Sendiri : Eii = γ ii − β i w i
Wi− 1 (30)
b. Elastisitas Harga Silang : Eij = γ ij − β i w j
Wi (i ≠ j) (31)
c. Elastisitas Pendapatan : Eiy = βi
Wi+ 1 (32)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Konsumsi Bahan Sumber Pangan Protein Hewani
Pola konsumsi bahan pangan sumber protein hewani berdasarkan golongan
pendapatan di Kabupaten Cirebon dipengaruhi oleh harga komoditi itu sendiri,
harga barang lain dan tingkat pengeluaran rumah tangga. Bahan pangan sumber
protein hewani yang dipilih antara lain daging ruminansia, ikan, unggas, telur dan
susu. Rata-rata tingkat konsumsi bahan pangan sumber protein hewani di
Kabupaten Cirebon dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Rata-rata konsumsi bahan pangan sumber protein hewani di Kabupaten
Cirebon
Golongan
pendapatan
(kg/kapita/tahun)
Daging Ikan Unggas Telur Susu
Rendah 0.0000 3.2486 0.8465 7.3384 0.4118
Sedang 0.0565 5.5656 3.0996 6.4360 2.0262
Tinggi 1.9565 8.7529 8.1525 9.5977 6.1106
Kab. Cirebon 0.2016 5.7536 3.4355 6.7078 2.3032 Sumber: data SUSENAS 2012 (diolah)
Pada Tabel 3, rata-rata tingkat konsumsi pangan hewani yang paling
dominan di Kabupaten Cirebon berdasarkan golongan pendapatan adalah telur.
Nilai yang diperoleh untuk rata-rata konsumsi telur pada setiap golongan
pendapatan, yaitu golongan pendapatan rendah 7.3384 kg/kapita/tahun, golongan
pendapatan sedang 6.4360 kg/kapita/tahun, dan golongan pendapatan tinggi
9.5977 kg/kapita/tahun, serta untuk wilayah Kabupaten Cirebon keseluruhan
adalah 6.7078 kg/kapita/tahun. Tingginya konsumsi telur terutama pada golongan
pendapatan rendah menandakan telur merupakan pangan hewani yang murah dan
mudah didapat. Hal ini juga dikarenakan Kabupaten Cirebon yang termasuk
18
daerah dengan angka kemiskinan tertinggi kedua di Jawa Barat yang
mengakibatkan mayoritas rumah tangga lebih banyak mengkonsumsi telur.
Ikan yang menjadi potensi dari Kabupaten Cirebon memiliki rata-rata
konsumsi terbanyak kedua setelah telur. Golongan rumah tangga dengan
konsumsi ikan tertinggi adalah golongan pendapatan tinggi sebesar 8.7529
kg/kapita/tahun. Pada golongan pendapatan rendah konsumsi ikan hanya sebesar
3.2486 kg/kapita/tahun sedangkan golongan pendapatan sedang sebesar 5.5656
kg/kapita/tahun. Komoditi ikan bukanlah pangan hewani yang paling dominan
dikonsumsi dikarenakan hasil produksi untuk ikan segar maupun hasil olahan ikan
lebih banyak diekspor ke negara-negara yang mayoritas mengkonsumsi ikan
seperti Jepang, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan China. Berdasarkan BPS
Kabupaten Cirebon (2013) hasil produksi laut seperti udang beku menjadi
komoditi hasil laut yang memiliki nilai ekspor terbesar yaitu US $ 3 juta dengan
negara tujuan utama ekspor adalah Amerika Serikat dan Jepang. Hanya jenis ikan
segar dan olahan ikan tertentu saja yang dikonsumsi oleh rumah tangga di
Kabupaten Cirebon seperti ikan asin yang menjadi konsumsi kegemaran pada
setiap rumah tangga terutama untuk golongan pendapatan rendah dan sedang. Hal
ini dikarenakan harga dari olahan ikan ini lebih murah.
Pangan hewani yang paling rendah dikonsumsi di Kabupaten Cirebon
adalah daging. Rata-rata konsumsi daging di Kabupaten Cirebon pada setiap
golongan pendapatan, yaitu golongan pendapatan rendah 0 kg/kapita/tahun,
golongan pendapatan sedang 0.0565 kg/kapita/tahun, golongan pendapatan tinggi
1.9565 kg/kapita/tahun, dan keseluruhan wilayah Kabupaten Cirebon 0.2016
kg/kapita/tahun. Paling rendahnya konsumsi daging jenis ruminansia
dibandingkan dengan pangan hewani lainnya menandakan bahwa daging
ruminansia merupakan salah satu barang yang mewah dan mahal untuk
dikonsumsi. Terutama pada golongan pendapatan rendah yang memiliki daya beli
yang sangat rendah sehingga tidak dapat mengkonsumsi daging jenis ruminansia.
Konsumsi daging pada penelitian ini merupakan gabungan dari seluruh
daging jenis ruminansia yang terdiri dari daging sapi, kerbau, dan kambing. Pada
Tabel 4, disetiap golongan pendapatan maupun seluruh wilayah Kabupaten
Cirebon tidak ada yang mengkonsumsi daging kerbau, sehingga nilai rata-rata
konsumsinya adalah 0 kg/kapita/tahun. Berdasarkan Tabel 3, menunjukkan bahwa
digolongan pendapatan rendah tidak ada yang mengkonsumsi daging. Oleh karena
itu, rata-rata konsumsi setiap jenis daging ruminansia yang ditunjukkan Tabel 4
juga tidak ada yang mengkonsumsi. Pada golongan pendapatan sedang dan tinggi,
rata-rata konsumsi daging sapi berturut-turut adalah 0.0522 kg/kapita/tahun, dan
1.8555 kg/kapita/tahun. Kemudian untuk rata-rata konsumsi daging kambing pada
golongan pendapatan sedang dan tinggi adalah 0.0043 kg/kapita/tahun dan 0.1010
kg/kapita/tahun. Pada keseluruhan wilayah Kabupaten Cirebon rata-rata konsumsi
daging sapi dan kambing berturut-turut sebesar 0.19 kg/kapita/tahun dan 0.1
kg/kapita/tahun.
Rata-rata konsumsi daging sapi yang lebih besar dari daging kambing,
sehingga mengakibatkan persentase daging sapi dalam daging jenis ruminansia
lebih besar dibandingkan dengan daging kambing. Pada setiap golongan
pendapatan persentase daging sapi dalam daging jenis ruminansia adalah
golongan pendapatan sedang 92.39 persen dan golongan pendapatan tinggi 94.84
persen. Persentase daging kambing disetiap golongan pendapatan yaitu golongan
19
pendapatan sedang 7.61 persen dan golongan pendapatan tinggi 5.16 persen.
Keseluruhan wilayah Kabupaten Cirebon persentase untuk daging sapi dan
kambing berturut-turut, yaitu 94.22 persen dan 5.78 persen. Tidak adanya yang
mengkonsumsi daging kerbau mengakibatkan persentase daging kerbau dalm
daging jenis ruminansia juga bernilai nol. Persentase daging sapi yang lebih besar
dari daging kambing dikarenakan, daging sapi yang lebih mudah untuk diperoleh
dan hanya sebagian orang yang menyukai daging kambing.
Tabel 4 Rata-rata konsumsi daging jenis ruminansia di Kabupaten Cirebon
Golongan
pendapatan Komoditi
kg/kapita/tahun Persentase
(%) Min Maks Rata-rata
Rendah Sapi 0.00 0.00 0.00 0.00
Kerbau 0.00 0.00 0.00 0.00
Kambing 0.00 0.00 0.00 0.00
Sedang Sapi 0.00 6.43 0.05 92.39
Kerbau 0.00 0.00 0.00 0.00
Kambing 0.00 8.57 0.00 7.61
Tinggi Sapi 0.00 25.71 1.86 94.84
Kerbau 0.00 0.00 0.00 0.00
Kambing 0.00 8.57 0.10 5.16
Kab. Cirebon Sapi 0.00 25.71 0.19 94.22
Kerbau 0.00 0.00 0.00 0.00
Kambing 0.00 8.57 0.01 5.78 Sumber: data SUSENAS 2012 (diolah)
Rata-rata konsumsi bahan pangan sumber protein hewani yang beragam
pada setiap golongan pendapatan di Kabupaten Cirebon. Membuat kebutuhan
protein hewani yang diperoleh rumah tangga disetiap golongan pendapatan
berbeda. Hal ini sesuai dengan rata-rata pangan hewani yang dikonsumsi
kemudian dikalikan dengan kandungan protein yang dimiliki pangan hewani
tersebut. Kandungan protein yang dimiliki pada setiap pangan hewani juga
berbeda, berdasarkan Tabel 5 kandungan protein hewani terbesar adalah daging
sapi sebesar 18.80 gr (dalam 100 gr) dan terkecil adalah susu sebesar 3.20 gr
(dalam 100 gr). Walaupun kandungan protein yang dimiliki daging sapi adalah
paling besar, namun konsumsi dari daging sapi pada setiap rumah tangga tidak
menunjukkan tingkat konsumsi yang besar. Oleh karena itu, kandungan protein
yang besar dimiliki oleh daging sapi tidak terlalu berpengaruh terhadap kebutuhan
protein yang akan diterima oleh rumah tangga. Rincian kebutuhan protein hewani
yang dimiliki rumah tangga disetiap golongan pendapatan dapat dilihat pada
Tabel 5.
20
Tabel 5 Kebutuhan protein hewani di Kabupaten Cirebon
Komoditi
Rata-rata konsumsi Kandungan protein
kg/kap/thn gr/kap/hari per 100 gr* gr/kap/hari
Rendah Sapi 0.00 0.00 18.80 0.00
Kerbau 0.00 0.00 18.70 0.00
Kambing 0.00 0.00 16.60 0.00
Ikan 3.25 8.90 17.00 1.51
Unggas 0.85 2.32 18.20 0.42
Telur 7.34 20.11 12.80 2.57
Susu 0.41 1.13 3.20 0.04
Jumlah 4.54
Sedang Sapi 0.05 0.14 18.80 0.03
Kerbau 0.00 0.00 18.70 0.00
Kambing 0.004 0.01 16.60 0.002
Ikan 5.57 15.25 17.00 2.59
Unggas 3.10 8.49 18.20 1.55
Telur 6.44 17.63 12.80 2.26
Susu 2.03 5.55 3.20 0.18
Jumlah 6.60
Tinggi Sapi 1.86 5.08 18.80 0.96
Kerbau 0.00 0.00 18.70 0.00
Kambing 0.10 0.28 16.60 0.05
Ikan 8.75 23.98 17.00 4.08
Unggas 8.15 22.34 18.20 4.07
Telur 9.60 26.30 12.80 3.37
Susu 6.11 16.74 3.20 0.54
Jumlah 13.04
Kab.Cirebon Sapi 0.19 0.52 18.80 0.10
Kerbau 0.00 0.00 18.70 0.00
Kambing 0.01 0.03 16.60 0.01
Ikan 5.75 15.76 17.00 2.68
Unggas 3.44 9.41 18.20 1.71
Telur 6.71 18.38 12.80 2.35
Susu 2.30 6.31 3.20 0.20
Jumlah 7.05 Sumber: (*) Rismayanti C (2011)
: data SUSENAS 2012 (diolah)
Standar kebutuhan protein hewani yang direkomendasikan oleh FAO dan
Widyakaraya Nasional Pangan dan Gizi tahun 1998 adalah sebesar 6
gr/kapita/hari. Namun, digolongan pendapatan rendah yang ditunjukkan Tabel 5,
tingkat kebutuhan protein hewaninya masih sangat jauh dari angka standar yang
21
ditetapkan, yaitu sebesar 4.5446 gr/kapita/hari dengan sumbangan terbesar
pemenuhan protein hewani berasal dari telur, yaitu sebesar 2.57 gr/kapita/hari.
Nilai kebutuhan protein hewani yang sangat kecil, dikarenakan golongan
pendapatan rendah tidak ada yang mengkonsumsi daging jenis ruminansia yang
memiliki kandungan protein paling tinggi. Pada golongan pendapatan sedang dan
tinggi, kebutuhan protein hewaninya telah tercapai sesuai dengan standar yang
ditetapkan dengan nilai secara berturut-turut sebesar 6.60 gr/kapita/hari, dan 13.04
gr/kapita/hari. Sumbangan terbesar terpenuhinya kebutuhan protein hewani pada
golongan pendapatan sedang, dan tinggi berasal dari ikan, yaitu sebesar 2.59
gr/kapita/hari, dan 4.07 gr/kapita/hari. Berdasarkan Tabel 5, kebutuhan protein
hewani secara keseluruhan di Kabupaten Cirebon telah memenuhi standar yaitu
sebesar 7.05 gr/kapita/hari, dan sumbangan terbesar terpenuhinya kebutuhan
protein hewani juga berasal dari ikan sebesar 2.68 gr/kapita/hari.
Angka kebutuhan protein hewani yang diperoleh berbeda-beda pada setiap
golongan pendapatan menandakan belum meratanya bahan pangan sumber protein
hewani yang dikonsumsi disetiap golongan rumah tangga. Golongan pendapatan
tinggi yang memiliki nilai kebutuhan protein tertinggi, menunjukkan bahwa
golongan inilah yang menikmati seluruh sumber bahan pangan protein hewani
salah satunya komoditi daging jenis ruminansia yang harganya paling mahal
diantara pangan hewani lainnya. Pada golongan pendapatan rendah yang tidak
mampu mengkonsumsi daging jenis ruminansia hanya bisa membeli telur yang
harganya paling murah dibandingkan dengan pangan hewani lainnya.
Komoditi telur yang menjadi komoditi dominan dikonsumsi pada
golongan pendapatan rendah dan juga penyumbang terbesar kebutuhan protein
hewaninya, dikarenakan harga dari setara protein telur paling murah dibandingkan
dengan harga setara protein pangan hewani lainnya. Harga setara protein hewani
telur yang ditunjukkan Tabel 6 adalah Rp 117 per gr. Pada komoditi lainnya harga
setara proteinnya yaitu, ikan sebesar Rp 118 per gr, unggas Rp 129 per gr, daging
Rp 426 per gr, dan susu Rp 1188 per gr. Hal ini menunjukkan bahwa rumah
tangga yang ada di Kabupaten Cirebon memiliki sifat yang rasional dalam
memenuhi kebutuhan konsumsi pangan hewaninya sebab memilih harga setara
protein yang sesuai dimiliki oleh setiap pangan hewani. Oleh karena itu, rumah
tangga tetap dapat memenuhi kebutuhan gizi protein hewaninya dan
memaksimumkan utilitasnya.
Tabel 6 Harga yang dikeluarkan rumah tangga dalam setara protein setiap pangan
hewani
Komoditi (Rp/kg)* Kandungan protein (gram) Setara protein
(Rp/gr) per 100 gr per kg
Daging 80000 18.8 188 426
Ikan 20000 17.0 170 118
Unggas 23400 18.2 182 129
Telur 15000 12.8 128 117
Susu 38000 3.2 32 1188 Sumber : (*) Harga rata-rata pangan hewani berdasarkan data SUSENAS 2012 di Kabupaten
Cirebon
: data SUSENAS 2012 (diolah)
22
Besarnya konsumsi telur di wilayah Kabupaten Cirebon berdasarkan
golongan pendapatan sejalan dengan persentase proporsi pengeluaran terhadap
komoditi tersebut. Pada Tabel 7, hasil persentase proporsi pengeluaran protein
hewani secara keseluruhan di Kabupaten Cirebon yang paling tinggi adalah telur
sebesar 37.54 persen. Berdasarkan tingkat golongan pendapatan rendah dan
sedang, persentase proporsi pengeluaran yang paling tinggi juga pada telur dengan
nilai secara berturut-turut 54.16 persen dan 38.10 persen. Namun, hanya pada
golongan pendapatan tinggi persentase proporsi pengeluaran protein hewani yang
paling besar berasal dari susu sebesar 26.29 persen, ini menandakan bahwa harga
susu yang dikonsumsi memiliki harga yang lebih mahal dibandingkan dengan
pangan hewani lainnya.
Komoditi daging, unggas, dan susu menunjukkan semakin tinggi golongan
pendapatan semakin besar persentase proporsi pengeluarannya. Sebagai contoh
pada komoditi unggas nilai persentase proporsi pengeluarannya pada setiap
golongan pendapatan secara berturut-turut, yaitu golongan pendapatan rendah
4.30 persen, golongan pendapatan sedang 17.77 persen, dan golongan pendapatan
tinggi 22.73 persen. Berbeda dengan komoditi telur dan ikan yang ditunjukkan
pada Tabel 7, semakin tinggi pendapatan maka persentase proporsi
pengeluarannya semakin kecil. Pada komoditi telur yang persentase proporsi
pengeluaran pada golongan pendapatan rendah sebesar 54.16 persen, golongan
pendapatan sedang sebesar 38.10 persen sedangkan pada golongan pendapatan
tinggi sebesar 25.40 persen.
Hal tersebut sesuai dengan teori Engel yang menyatakan bahwa semakin
tinggi pendapatan akan cenderung menurunkan konsumsi makanan dan lebih
membelanjakan barang yang memiliki nilai yang lebih tinggi. Walaupun pada
penelitian ini komoditi yang dianalisis termasuk kedalam bahan makanan, namun
untuk komoditi daging ruminansia, unggas, dan susu dianggap termasuk dalam
barang yang memiliki nilai yang tinggi dibandingkan dengan telur dan ikan.
Semakin tingginya persentase proporsi pengeluaran untuk ketiga komoditi
tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi golongan pendapatan menjadi
semakin lebih sadar akan pola hidup sehat dan kebutuhan gizi yang semakin
membaik.
Tabel 7 Persentase proporsi pengeluaran bahan pangan sumber protein hewani
di Kabupaten Cirebon
Golongan
Pendapatan
Daging Ikan Unggas Telur Susu
(%)
Rendah 0.77 37.49 4.30 54.16 4.03
Sedang 7.75 31.30 17.77 38.10 12.30
Tinggi 8.48 17.06 22.73 25.40 26.29
Kab. Cirebon 1.11 30.35 17.80 37.54 13.18 Sumber : data SUSENAS 2012 (diolah)
23
Elastisitas Permintaan Bahan Pangan Sumber Protein Hewani
Berdasarkan Golongan Pendapatan
Elastisitas permintaan bahan pangan sumber protein hewani di Kabupaten
Cirebon yang berdasarkan golongan pendapatan diklasifikasikan menjadi tiga,
yaitu elastisitas harga sendiri, harga silang, dan elastisitas pendapatan.
Tabel 8 Elastisitas permintaan bahan pangan sumber protein hewani di Kabupaten
Cirebon berdasarkan golongan pendapatan
Komoditi Daging Ikan Unggas Telur Susu Eiy
Rendah Daging -0.005* -0.003 -0.022 -0.007 -0.042 4.784
Ikan -1.604 -0.931* -0.329 0.020 -0.246 0.955
Unggas -0.258 -0.010 -0.607* -0.011 -0.134 1.604
Telur -2.587 0.001 -0.514 -0.895* -0.369 0.905
Susu -0.358 -0.012 -0.137 -0.011 -0.534* 1.322
Sedang Daging -0.927* -0.0004 -0.016 -0.001 -0.021 1.380
Ikan -0.138 -0.920* -0.071 0.019 -0.074 0.946
Unggas -0.077 -0.004 -0.925* 0.003 -0.058 1.146
Telur -0.199 -0.007 -0.101 -0.873* -0.104 0.865
Susu -0.067 -0.009 -0.045 -0.004 -0.856* 1.106
Tinggi Daging -0.935* 0.00004 -0.013 0.001 -0.010 1.347
Ikan -0.076 -0.868* -0.039 0.0003 -0.028 0.900
Unggas -0.088 -0.003 -0.947* 0.014 -0.030 1.114
Telur -0.138 -0.026 -0.064 -0.835* -0.042 0.798
Susu -0.110 -0.003 -0.051 0.022 -0.940* 1.049
Kab.
Cirebon Daging -0.313* -0.004 -0.006 -0.010 -0.013 3.646
Ikan -0.932 -0.918* -0.069 0.018 -0.068 0.944
Unggas -0.538 -0.005 -0.925* 0.003 -0.054 1.146
Telur -1.369 -0.008 -0.100 -0.872* -0.096 0.863
Susu -0.492 -0.009 -0.046 -0.003 -0.867* 1.099 Keterangan : (*) = elastisitas harga sendiri
: data SUSENAS 2012 (diolah)
Elastisitas Harga Sendiri
Elastisitas harga sendiri bahan pangan sumber protein hewani di Kabupaten
Cirebon berdasarkan golongan pendapatan yang ditunjukkan pada Tabel 8
menunjukkan hasil yang bernilai negatif dan memiliki sifat yang inelastis. Hal ini
dikarenakan, nilai elastisitas yang diperoleh bernilai antara 0 sampai -1. Elastisitas
harga sendiri yang terbesar digolongan pendapatan rendah adalah ikan sebesar -
0.931, artinya jika terjadi kenaikan harga ikan sebesar 1 persen maka terjadi
24
penurunan kuantitas ikan yang diminta sebesar 0.931 persen. Pada golongan
pendapatan sedang, dan tinggi serta wilayah Kabupaten Cirebon keseluruhan,
elastisitas harga sendiri terbesar adalah unggas yang secara berturut-turut bernilai
sebesar -0.925, -0.947, -0.925, artinya jika terjadi kenaikan harga unggas sebesar
1 persen maka secara berturut-turut akan menurunkan kuantitas unggas yang
diminta sebesar 0.925 persen, 0.947 persen, dan 0.925 persen. Komoditi yang
memiliki nilai elastisitas harga sendiri tertinggi adalah ikan dan unggas
menunjukkan bahwa permintaan komoditi ikan dan unggas paling sensitif
terhadap perubahan harga komoditi itu sendiri.
Elastisitas Harga Silang
Nilai elastisitas harga silang antar komoditi pangan sumber protein hewani
di Kabupaten Cirebon berdasarkan golongan pendapatan yang ditunjukkan pada
Tabel 8 memiliki hubungan yang substitusi dan komplementer. Hubungan
substitusi pangan sumber protein hewani dengan nilai elastisitas terbesar
mayoritas adalah antara telur dengan ikan sebesar 0.020, artinya jika terjadi
kenaikan harga telur sebesar 1 persen maka akan meningkatkan permintaan ikan
sebesar 0.020 persen. Namun, hanya pada golongan pendapatan tinggi yang nilai
elastisitas harga silang terbesar adalah antara telur dengan susu sebesar 0.022,
artinya jika terjadi kenaikan harga telur sebesar 1 persen maka akan meningkatkan
susu yang diminta sebesar 0.022 persen. Pada golongan pendapatan rendah dan
sedang menjadikan ikan sebagai konsumsi alternatif jika terjadi kenaikan harga
pada telur dikarenakan, sesuai dengan Tabel 6 harga yang dikonsumsi dan harga
setara protein antara telur dengan ikan tidak berbeda jauh.
Bahan pangan sumber protein hewani yang memiliki hubungan
komplementer dengan nilai dominan terbesar adalah antara daging dengan telur.
Nilai elastisitas terbesar ada pada golongan pendapatan rendah yaitu sebesar
-2.587, artinya jika terjadi kenaikan harga telur sebesar 1 persen maka akan
menurunkan permintaan daging sebesar 2.587 persen. Nilai elastisitas harga silang
yang memiliki hubungan komplementer terbesar disetiap golongan pendapatan
adalah antara daging dengan telur mengindikasikan bahwa ada sebagian rumah
tangga yang memiliki preferensi selera dengan menjadikan telur sebagai
pelengkap saat konsumsi daging. Hal ini dikarenakan ada beberapa jenis olahan
makanan yang mengharuskan adanya campuran daging dengan telur yang
dikonsumsi secara bersamaan.
Elastisitas Pendapatan
Elastisitas pendapatan bahan pangan sumber protein hewani di Kabupaten
Cirebon berdasarkan golongan pendapatan memiliki nilai dominan terbesar adalah
daging. Nilai elastisitas terbesar terdapat pada golongan pendapatan rendah
berdasarkan Tabel 8, yaitu sebesar 4.78, artinya ketika terjadi kenaikan
pendapatan sebesar 1 persen maka akan meningkatkan permintaan daging sebesar
4.78 persen. Nilai elastisitas pada daging, unggas, dan susu disetiap golongan
pendapatan menunjukkan nilai yang eQ.I > 1, menunjukkan bahwa selain termasuk
barang normal, barang tersebut juga termasuk dalam barang mewah. Hal tersebut
menyebabkan saat terjadi kenaikan pendapatan akan lebih cepat meningkatkan
25
jumlah permintaan komoditi tersebut. Pada komoditi telur dan ikan yang menjadi
barang normal karena dianggap sebagai barang kebutuhan sehari-hari yang harus
selalu ada maka, ketika terjadi kenaikan pendapatan permintaan terhadap kedua
komoditi tersebut akan meningkat lebih lambat dibandingkan dengan komoditi
daging, unggas, dan susu.
Simulasi Dampak Perubahan Harga Terhadap Pola Konsumsi Bahan
Pangan Protein Hewani
Program swasembada daging sapi yang dicanangkan sejak tahun 2009,
menyebabkan pemerintah mengurangi kuota impor sapi secara bertahap dan harus
meningkatkan produksi daging sapi lokal. Target penurunan kuota impor sapi
akan dilakukan secara bertahap yang dimulai pada tahun 2012 sebesar 20 persen,
2013 sebesar 15 persen, dan 2014 sebesar 10 persen. Mencapai target swasembada
daging sapi ini, pemerintah harus meningkatkan produksi daging sapi lokal
mencapai 420,000 ton pada akhir 2014. Basis data konsumsi daging sapi yang
digunakan adalah 2 kg/kapita dan sekitar 200 kg daging per sapi yang dapat
dikonsumsi (Izzaty 2013). Namun, langkah-langkah yang dilakukan untuk
mecapai target dari program ini tidak sejalan dengan kenyataannya karena justru
terjadi kelangkaan daging sapi dimana-mana dan harganya pun sangat tinggi,
padahal pemerintah telah mengucurkan dana sebesar Rp 2.7 trilliun untuk
menyukseskan program tersebut.
Sejak awal tahun 2012, harga daging sapi sudah mulai mencapai
Rp 65,000/kg dan harga ini terus meningkat hingga sekarang yang sudah
mencapai angka Rp 98,000/kg. Kenaikan harga ini menurut Kementrian
Perdagangan dikarenakan jumlah permintaan yang meningkat sedangkan pasokan
sapi dalam negeri berkurang. Penyebabnya adalah adanya pengurangan kuota
impor sapi bakalan. Indonesia mengimpor sapi bakalan dengan jumlah besar yang
berasal dari Australia dan Selandia Baru. Selain itu, BPS yang telah melakukan
rekapitulasi jumlah ternak untuk Sensus Pertanian 2013 sampai awal Juni 2013
menyebutkan populasi sapi potong hanya 13.3 juta ekor, jumlah ini berkurang dari
tahun 2011 sebesar 19.52 juta ekor. Berkurangnya jumlah populasi sapi potong ini,
kemungkinan disebabkan oleh pemotongan sapi yang dilakukan secara besar-
besaran karena harga daging sapi yang terus mengalami peningkatan (Harianto
2013).
Terjadinya peningkatan dan ketidakstabilan terhadap harga daging sapi
secara terus-menerus, maka dilakukanlah simulasi perubahan harga terhadap
kenaikan harga daging sapi namun dengan asumsi jumlah pendapatan pada setiap
rumah tangga dianggap tetap. Kemudian melihat pengaruhnya terhadap jumlah
permintaan sumber bahan pangan protein hewani. Simulasi shock harga terhadap
daging menggunakan harga rata-rata acuan nasional pada bulan Januari 2014 yang
mengalami trend kenaikan harga daging sapi, kemudian dibandingkan dengan
harga rata-rata rumah tangga setiap golongan pendapatan yang mengkonsumsi
komoditi daging pada data SUSENAS 2012. Berdasarkan data dari Kementrian
Perdagangan untuk rata-rata harga eceran pada bulan Januari 2014 mencapai Rp
98,200, dengan asumsi cateris paribus pada harga komoditi lain. Hasil dari
26
simulasi kenaikan harga daging terhadap perubahan permintaan bahan pangan
hewani ditunjukkan pada Tabel 9 dan Tabel 10.
Tabel 9 Hasil perhitungan simulasi kenaikan harga pada daging sapi
Golongan
pendapatan Komoditi
Harga rata-
rata (Rp)
Harga rata-
rata Januari
2014 (Rp)*
% ΔP % ΔQ
Rendah daging 83400 98200 17.75 -0.10
ikan 0.00 0.00 0.00 -28.46
unggas 0.00 0.00 0.00 -4.58
telur 0.00 0.00 0.00 -45.92
susu 0.00 0.00 0.00 -6.35
Sedang daging 69000 98200 42.32 -39.21
ikan 0.00 0.00 0.00 -5.83
unggas 0.00 0.00 0.00 -3.27
telur 0.00 0.00 0.00 -8.42
susu 0.00 0.00 0.00 -2.85
Tinggi daging 87500 98200 12.23 -11.44
ikan 0.00 0.00 0.00 -0.93
unggas 0.00 0.00 0.00 -1.07
telur 0.00 0.00 0.00 -1.68
susu 0.00 0.00 0.00 -1.35
Kab. Cirebon daging 80000 98200 22.75 -7.13
ikan 0.00 0.00 0.00 -21.21
unggas 0.00 0.00 0.00 -12.23
telur 0.00 0.00 0.00 -31.15
susu 0.00 0.00 0.00 -11.20 Sumber: (*) Kementrian Perdagangan (2014)
: data SUSENAS 2012 (diolah)
Berdasarkan Tabel 9, persentase perubahan harga daging ketika
dilakukannya simulasi, yaitu golongan pendapatan rendah sebesar 17.74 persen,
golongan pendapatan sedang dengan persentase perubahan harga paling besar
dengan nilai sebesar 42.31 persen, dan golongan pendapatan tinggi serta wilayah
Kabupaten Cirebon secara umum, berturut-turut memiliki nilai persentase
perubahan harga daging yaitu sebesar 12.22 persen, dan 22.75 persen. Kemudian
untuk persentase perubahan kuantitas yang memiliki persentase terbesar adalah
komoditi telur yang terjadi pada golongan pendapatan rendah sebesar 45.92
persen. Pada golongan pendapatan sedang dan tinggi persentase perubahan telur
hanya sebesar 8.42 persen dan 1.68 persen. Persentase perubahan kuantitas
terbesar pada golongan pendapatan sedang dan tinggi, yaitu daging dengan nilai
secara berturut-turut 39.21 persen dan 11.44 persen.
27
Tabel 10 Hasil perubahan pola konsumsi bahan pangan sumber protein hewani
sebagai dampak kenaikan harga daging sapi
Golongan
pendapatan Komoditi
Kg/kapita/tahun
Q awal Δ Q Q akhir
Rendah Daging 0.00
0.00
0.00
Sapi 0.00 0.00
Kerbau 0.00 0.00
Kambing 0.00 0.00
Ikan 3.25 -0.92 2.32
Unggas 0.85 -0.04 0.81
Telur 7.34 -3.37 3.97
Susu 0.41 -0.03 0.39
Sedang Daging 0.06
-0.02
0.03
Sapi 0.05 0.03
Kerbau 0.00 0.00
Kambing 0.00 0.00
Ikan 5.57 -0.32 5.24
Unggas 3.10 -0.10 3.00
Telur 6.44 -0.54 5.89
Susu 2.03 -0.06 1.97
Tinggi Daging 1.96
-0.22
1.73
Sapi 1.86 1.64
Kerbau 0.00 0.00
Kambing 0.10 0.09
Ikan 8.75 -0.08 8.67
Unggas 8.15 -0.09 8.07
Telur 9.60 -0.16 9.44
Susu 6.11 -0.08 6.03
Kab. Cirebon Daging 0.2016
-0.01
0.2014
Sapi 0.1900 0.1897
Kerbau 0.00 0.00
Kambing 0.0116 0.0116
Ikan 5.75 -1.22 4.53
Unggas 3.44 -0.42 3.02
Telur 6.71 -2.09 4.62
Susu 2.30 -0.26 2.05 Sumber: data SUSENAS 2012 (diolah)
Perubahan kenaikan harga daging, menyebabkan berkurangnya daya beli
rumah tangga, sedangkan anggaran yang dimiliki oleh rumah tangga tetap. Selain
itu, membuat pendapatan rill dari rumah tangga seolah-olah menjadi lebih rendah
sehingga berdampak pada berkurangnya tingkat konsumsi rumah tangga terhadap
28
pangan protein hewani. Oleh karena itu, pada Tabel 10 terjadi pengurangan pola
konsumsi pada seluruh bahan pangan sumber protein hewani. Rumah tangga yang
mengalami dampak terbesar perubahan kenaikan harga daging sapi adalah
golongan pendapatan rendah. Pada golongan pendapatan sedang dan tinggi tidak
terlalu berpengaruh terhadap kenaikan harga daging sapi, sesuai Tabel 10
pengurangan pola konsumsi pada golongan ini tidak signifikan dibandingkan
dengan golongan pendapatan rendah.
Pangan hewani telur merupakan komoditi yang mayoritas mengalami
pengurangan pola konsumsi yang sangat besar setelah terjadinya kenaikan harga.
Terutama pada golongan pendapatan rendah yang sebelum terjadi kenaikan harga
daging, pola konsumsi telur sebesar 7.34 kg/kapita/tahun menjadi 3.97
kg/kapita/tahun. Pada golongan pendapatan sedang, tinggi, dan Kabupaten
Cirebon keseluruhan, telur juga merupakan pangan hewani yang mengalami
penurunan pola konsumsi yang besar dibandingkan dengan pangan hewani lain.
Penurunan pola konsumsi telur setelah terjadi kenaikan harga daging sapi
berkurang menjadi 5.89 kg/kapita/tahun golongan pendapatan sedang, 9.44
kg/kapita/tahun golongan pendapatan tinggi, dan 4.62 kg/kapita/tahun Kabupaten
Cirebon keseluruhan. Telur yang mengalami penurunan paling besar disetiap
golongan pendapatan menandakan telur menjadi pangan hewani yang sangat
sensitif ketika terjadi kenaikan harga pada komoditi pangan hewani lainnya.
sedangkan untuk komoditas pangan hewani lainnya tidak mengalami penurunan
pola konsumsi yang terlalu besar saat terjadinya kenaikan harga daging sapi.
Dampak penurunan konsumsi telur yang besar terjadi pada golongan
pendapatan rendah, membuat golongan ini akan semakin jauh terpenuhinya
kecukupan gizi protein hewani. Padahal golongan ini mengandalkan komoditi
telur untuk memenuhi kebutuhan protein hewaninya, yang tidak mungkin
membeli daging yang harganya terus meningkat, sedangkan daging merupakan
salah satu pangan hewani yang menyumbang angka kebutuhan protein terbesar.
Golongan pendapatan sedang dan tinggi akan tetap dapat memenuhi kebutuhan
standar protein yang ditetapkan walaupun terjadi pengurangan pola konsumsi
bahan pangan sumber protein hewani karena tidak terlalu mengalami perubahan
pola konsumsi yang signifikan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Komoditi telur merupakan pangan hewani yang dominan dikonsumsi oleh
setiap golongan pendapatan. Namun, untuk persentase proporsi pengeluaran pada
golongan pendapatan tinggi saja nilai yang terbesar adalah susu sedangkan
digolongan pendapatan rendah dan sedang serta keseluruhan wilayah Kabupaten
Cirebon adalah telur. Kebutuhan protein hewani di Kabupaten Cirebon hanya
golongan pendapatan rendah yang belum mencukupi sesuai dengan standar, yaitu
sebesar 4.544 gr/kapita/hari sedangkan golongan sedang dan tinggi telah tercukupi
29
kebutuhan protein hewaninya, yaitu sebesar 6.6012 gr/kapita/hari, dan 13.0449
gr/kapita/hari.
Elastisitas permintaan bahan pangan sumber protein hewani menunjukkan
barang yang bersifat inelastis. Antara komoditi telur dengan ikan memiliki
hubungan substitusi yang mayoritas terjadi pada golongan pendapatan rendah dan
sedang dibandingkan hubungan antar komoditi pangan hewani lainnya, sedangkan
pada golongan pendapatan tinggi hubungan substitusi yang terbesar adalah antara
telur dengan susu. Komoditi paling dominan yang memiliki hubungan
komplementer adalah antara daging dengan telur yang terjadi pada semua
golongan pendapatan. Disetiap golongan pendapatan, komoditi daging memiliki
nilai elastisitas pendapatan yang terbesar diantara komoditi pangan hewani.
Ketika dilakukan simulasi perubahan kenaikan harga daging, komoditi
telur yang mayoritas mengalami penurunan terbesar. Terutama golongan
pendapatan rendah yang mengalami dampak terbesar, sehingga mengakibatkan
tingkat konsumsi telurnya semakin berkurang dari sebelumnya mengkonsumsi
7.338 kg/kapita/tahun menjadi 3.968 kg/kapita/tahun. Hal ini membuat golongan
pendapatan rendah semakin tidak tercapainya kebutuhan protein hewani yang
ditetapkan. Pada golongan pendapatan sedang dan tinggi tidak terlalu terpengaruh
terhadap perubahan kenaikan harga daging, dan pengurangan pola konsumsi
pangan hewani tidak signifikan dibandingkan dengan golongan pendapatan
rendah, serta akan tetap terpenuhinya angka kebutuhan protein hewani.
Saran
1. Pemerintah sebaiknya dapat memanfaatkan potensi dari Kabupaten Cirebon
yang memproduksi hasil ikan terbesar agar dapat dikonsumsi sebaik-baiknya
oleh semua rumah tangga.
2. Pemerintah harus melakukan stabilisasi harga pada setiap pangan hewani
sehingga dapat terjangkau untuk semua golongan masyarakat.
3. Pemerintah sebaiknya mencukupi ketersediaan pangan hewani pada tingkat
harga tertentu yang merata dikonsumsi oleh setiap golongan seperti pada
komoditi daging yang tidak hanya dapat dikonsumsi oleh golongan mampu.
4. Pemerintah harus mensosialisasikan pola hidup sehat agar diperoleh
sumberdaya manusia yang berkualitas.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Staistik. 2013. Kabupaten Cirebon dalam angka 2013: produksi
pertanian. [Internet]. [ diunduh 21 Januari 2014]. Tersedia pada:
http://cirebonkab.bps.go.id/DDA_2013/dda_2013.html#/138.
__________________. 2012. Data SUSENAS 2012 Provinsi Jawa Barat
__________________. 2012. Tabel rata-rata konsumsi kalori dan protein menurut
kelompok makanan. [Internet]. [diunduh 4 Februari 2014]. Tersedia pada:
http://bps.go.id.
30
___________________. 2012. Tabel indeks pembangunan manusia nasional.
[Internet]. [diunduh 9 Februari 2014]. Tersedia pada: http://bps.go.id
___________________. 2011. Jawa Barat dalam angka: penduduk dan tenaga kerja.
[diunduh 4 Februari 2014]. Tersedia pada: http://jabar.bps.go.id
Deaton A, Muelbauer J. 1980. An Almost Ideal Demand System. The American
Economic Review 70 (3): 312-326.
Harianto. 2013. Mengatasi problematika pasokan daging sapi. [Internet]. [diunduh 4
Maret 2014]. Terdapat pada:
http://economy.okezone.com/read/2013/09/20/279/869240.
Izzaty. 2013. Upaya stabilisasi harga daging sapi. Jurnal ekonomi dan kebijakan
publik vol.V. No.03/I/P3DI/Februari/2013. Jakarta (ID): Pusat Pengkajian
Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekertaris Jendral DPR RI.
Kahar M. 2010. Analisis pola konsumsi daerah perkotaan dan perdesaan serta
keterkaitannya dengan karakteristik sosial ekonomi di Provinsi Banten [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Kementrian Perdagangan. 2014. Harga kebutuhan pokok nasional. [Internet].
[diunduh 21 Januari 2014]. Tersedia pada: http://kemendag.go.id/id/economic-
profile/prices/national-price-table.
Lia E. 2013. Tingkat konsumsi daging sapi di Cirebon masih rendah. [Internet].
[diunduh 22 Januari 2014]. Tersedia pada:
http://ekbis.sindonews.com/read/2013/08/02/34/768426.
Mangkoewidjojo S, Susanti S. 2009. Pengaruh pemberian anti nematode
gastrointestinal dorameetin terhadap jumlah total dan diferensial leukosit pada
sapi yang terinfeksi cacing nematode [jurnal peternakan]. Yogyakarta (ID).
Universitas Gajah Mada.
Meriana. 2013. Perilaku konsumen. [Internet]. [diunduh 25 Maret 2014]. Tersedia
pada: http://meriana74hocwi.wordpress.com/2013/01/02.
Nicholson W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Edisi 8. Jakarta
(ID): Erlangga.
Ramdhiani H. 2008. Analisis permintaan telur ayam ras dan ayam buras di Provinsi
DKI Jakarta: penerapan model AIDS dengan data SUSENAS 2005 [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rismayanthi C. 2011. Perhitungan nilai kalori bahan makanan. [Internet]. [diunduh 1
Maret 2014]. Tersedia pada: http://staff.uny.ac.id. Yogyakarta (ID): Universitas
Negeri Yogyakarta.
Roh. 2012. Konsumsi ikan masyarakat Cirebon rendah. [Internet]. [diunduh 22
Januari 2014]. Tersedia pada: http://jabar.tribunnews.com/2012/06/23.
Suhartati J dan Fathorrozi. 2003. Teori Ekonomi Mikro. Jakartta(ID): Salemba Empat.
Sunarto I. 2000. Analisis konsumsi rumah tangga untuk komoditi pangan protein
hewani di Provinsi Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Trisnowati J, Budiwinarto K. 2013. Kajian pengaruh harga dan pendapatan terhadap
proporsi pengeluaran makanan rumah tangga. Proseding seminar nasional
statistika [Internet]. [Waktu dan tempat pertemuan tidak diketahui]. Semarang
(ID): Universitas Diponegoro. hlm 1-12; [diunduh 9 Februari 2014]. Tersedia
pada: eprints.undip.ac.id/40290/1/A07.
UNDP: nilai indeks pembangunan Indonesia naik. 2013. [Internet]. [diunduh 3 Maret
2014]. Tersedia pada: http://www.voaindonesia.com/a/undp-indeks-pembangunan-
indonesia-naik/1624179.html.
Wardhani K. 2007. Analisis pola konsumsi dan permintaan buah pada tingkat rumah
tangga di Pulau Jawa [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
31
Lampiran 1 Editor model AIDS pada program SAS
data OLAHSAS_ALL; set work.ALLDUMMY;
proc syslin SUR;
a: model w1=lnp1 lnp2 lnp3 lnp4 lnp5 lnyi lnart D1 D2;
b: model w2=lnp1 lnp2 lnp3 lnp4 lnp5 lnyi lnart D1 D2;
c: model w3=lnp1 lnp2 lnp3 lnp4 lnp5 lnyi lnart D1 D2;
d: model w4=lnp1 lnp2 lnp3 lnp4 lnp5 lnyi lnart D1 D2;
e: model w5=lnp1 lnp2 lnp3 lnp4 lnp5 lnyi lnart D1 D2;
srestrict a.lnp1 + a.lnp2 + a.lnp3 + a.lnp4 + a.lnp5 = 0;
srestrict b.lnp1 + b.lnp2 + b.lnp3 + b.lnp4 + b.lnp5 = 0;
srestrict c.lnp1 + c.lnp2 + c.lnp3 + c.lnp4 + c.lnp5 = 0;
srestrict d.lnp1 + d.lnp2 + d.lnp3 + d.lnp4 + d.lnp5 = 0;
srestrict e.lnp1 + e.lnp2 + e.lnp3 + e.lnp4 + e.lnp5 = 0;
srestrict a.lnp2 = b.lnp1;
srestrict a.lnp3 = c.lnp1;
srestrict a.lnp4 = d.lnp1;
srestrict a.lnp5 = e.lnp1;
srestrict b.lnp3 = c.lnp2;
srestrict b.lnp4 = d.lnp2;
srestrict b.lnp5 = e.lnp2;
srestrict c.lnp4 = d.lnp3;
srestrict c.lnp5 = e.lnp3;
srestrict d.lnp5 = e.lnp4;
weight wert;
run;
proc sort data = ALLDUMMY;
by D1 D2;
proc summary data = ALLDUMMY;
by D1 D2;
var w1 w2 w3 w4 w5;
weight wert;
output out = aa1 mean=;
proc print data = aa1;
run;
proc summary data = ALLDUMMY;
var w1 w2 w3 w4 w5;
weight wert;
output out = aa1 mean=;
proc print data = aa1;
run;
32
Lampiran 2 Hasil Output SAS untuk metode Seemingly Unrelated Regression
(SUR)
The SYSLIN Procedure
Seemingly Unrelated Regression Estimation
Cross Model Covariance
A B C E
A 15.9970 -.145580 -2.64280 -2.76452
B -0.1456 0.385714 0.05937 -0.05638
C -2.6428 0.059368 5.55525 -1.32533
E -2.7645 -.056382 -1.32533 8.91915
Cross Model Correlation
A B C E
A 1.00000 -0.05861 -0.28035 -0.23144
B -0.05861 1.00000 0.04056 -0.03040
C -0.28035 0.04056 1.00000 -0.18828
E -0.23144 -0.03040 -0.18828 1.00000
Cross Model Inverse Correlation
A B C E
A 1.19798 0.06477 0.39998 0.35454
B 0.06477 1.00569 -0.01457 0.04282
C 0.39998 -0.01457 1.17160 0.31272
E 0.35454 0.04282 0.31272 1.14224
Cross Model Inverse Covariance
A B C E
A 0.074888 0.02607 0.042429 0.029681
B 0.026073 2.60734 -.009953 0.023085
C 0.042429 -0.00995 0.210900 0.044427
E 0.029681 0.02308 0.044427 0.128066
33
System Weighted MSE 1.7032
Degrees of freedom 3666
System Weighted R-Square 0.6167
Model A
Dependent Variable W1
Label W1
The SYSLIN Procedure
Seemingly Unrelated Regression Estimation
Parameter Estimates
Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
Intercept 1 0.423576 0.169539 2.50 0.0127 Intercept
LNP1 1 0.019597 0.000633 30.96 <.0001 LNP1
LNP2 1 -0.00144 0.000103 -14.04 <.0001 LNP2
LNP3 1 -0.00441 0.000315 -13.98 <.0001 LNP3
LNP4 1 -0.00870 0.000570 -15.27 <.0001 LNP4
LNP5 1 -0.00505 0.000352 -14.34 <.0001 LNP5
LNYi 1 -0.01705 0.015507 -1.10 0.2718 LNYi
LNART 1 0.022883 0.016718 1.37 0.1714 LNART
D1 1 -0.03450 0.038273 -0.90 0.3675 D1
D2 1 -0.00080 0.027804 -0.03 0.9770 D2
Model B
Dependent Variable W2
Label W2
Parameter Estimates
Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
Intercept 1 -0.22929 0.026777 -8.56 <.0001 Intercept
LNP1 1 -0.00144 0.000103 -14.04 <.0001 LNP1
LNP2 1 0.007978 0.000164 48.68 <.0001 LNP2
LNP3 1 -0.00074 0.000084 -8.90 <.0001 LNP3
LNP4 1 -0.00419 0.000139 -30.02 <.0001 LNP4
LNP5 1 -0.00160 0.000085 -18.88 <.0001 LNP5
34
LNYi 1 0.029477 0.002453 12.02 <.0001 LNYi
LNART 1 0.000410 0.002603 0.16 0.8749 LNART
D1 1 0.005293 0.005949 0.89 0.3738 D1
D2 1 0.023324 0.004400 5.30 <.0001 D2
Model C
Dependent Variable W3
Label W3
The SYSLIN Procedure
Seemingly Unrelated Regression Estimation
Parameter Estimates
Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
Intercept 1 -0.06935 0.101097 -0.69 0.4929 Intercept
LNP1 1 -0.00441 0.000315 -13.98 <.0001 LNP1
LNP2 1 -0.00074 0.000084 -8.90 <.0001 LNP2
LNP3 1 0.018035 0.000312 57.80 <.0001 LNP3
LNP4 1 -0.00805 0.000350 -23.00 <.0001 LNP4
LNP5 1 -0.00483 0.000245 -19.71 <.0001 LNP5
LNYi 1 0.026010 0.009214 2.82 0.0049 LNYi
LNART 1 0.008772 0.009868 0.89 0.3742 LNART
D1 1 0.010538 0.022558 0.47 0.6405 D1
D2 1 -0.04925 0.016371 -3.01 0.0027 D2
Model E
Dependent Variable W5
Label W5
Parameter Estimates
Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
Intercept 1 0.101428 0.126894 0.80 0.4243 Intercept
LNP1 1 -0.00505 0.000352 -14.34 <.0001 LNP1
LNP2 1 -0.00160 0.000085 -18.88 <.0001 LNP2
LNP3 1 -0.00483 0.000245 -19.71 <.0001 LNP3
LNP4 1 -0.00783 0.000405 -19.36 <.0001 LNP4
LNP5 1 0.019307 0.000378 51.06 <.0001 LNP5
35
LNYi 1 0.012990 0.011592 1.12 0.2627 LNYi
LNART 1 -0.03095 0.012488 -2.48 0.0134 LNART
D1 1 0.074381 0.028577 2.60 0.0094 D1
D2 1 0.010051 0.020753 0.48 0.6283 D2
Parameter Estimates
Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
RESTRICT -1 2701.083 854.4572 3.16 0.0015
RESTRICT -1 157026.4 3224.813 48.69 <.0001
RESTRICT -1 10543.89 1414.066 7.46 <.0001
RESTRICT -1 2017.201 1086.429 1.86 0.0633
RESTRICT -1 -4169.77 1104.365 -3.78 0.0002
RESTRICT -1 -1061.13 1704.144 -0.62 0.5338
The SYSLIN Procedure
Seemingly Unrelated Regression Estimation
Parameter Estimates
Parameter Standard Variable
Variable DF Estimate Error t Value Pr > |t| Label
RESTRICT -1 -5925.49 1592.057 -3.72 0.0002
RESTRICT -1 19589.33 1818.931 10.77 <.0001
RESTRICT -1 5134.614 1415.305 3.63 0.0003
RESTRICT -1 -13529.6 2218.914 -6.10 <.0001
Obs D1 D2 _TYPE_ _FREQ_ W1 W2 W3 W4
W5
1 0 0 0 27 0.00779 0.37498 0.04303 0.54166
0.04034
2 1 0 0 823 0.0775 0.31308 0.17777 0.38107
0.12306
3 1 1 0 74 0.084887 0.17068 0.22736 0.25409
0.26298
Obs _TYPE_ _FREQ_ W1 W2 W3 W4 W5
1 0 924 0.011142 0.30357 0.17807 0.37540
0.13182
36
Lampiran 3 Hasil parameter metode Seemingly Unrelated Regression (SUR)
W1 W2 W3 W4 W5
Intercept -0.2293 0.42358 -0.0694 0.77364 0.10143
LNP1 0.00798 -0.0014 -0.0007 -0.0042 -0.0016
LNP2 -0.0014 0.0196 -0.0044 -0.0087 -0.0051
LNP3 -0.0007 -0.0044 0.01804 -0.0081 -0.0048
LNP4 -0.0042 -0.0087 -0.0081 0.02877 -0.0078
LNP5 -0.0016 -0.0051 -0.0048 -0.0078 0.01931
LNYi 0.02948 -0.0171 0.02601 -0.0514 0.01299
LNART 0.00041 0.02288 0.00877 -0.0011 -0.031
D1 0.00529 -0.0345 0.01054 -0.0557 0.07438
D2 0.02332 -0.0008 -0.0493 0.01668 0.01005
Lampiran 4 Mean metode Seemingly Unrelated Regression (SUR) bahan pangan
sumber protein hewani di Kabupaten Cirebon berdasarkan golongan
pendapatan
W1 W2 W3 W4 W5
Kabupaten Cirebon 0.01114 0.30357 0.17807 0.3754 0.13182
Rendah 0.00779 0.37498 0.04303 0.54166 0.04034
Sedang 0.00502 0.31308 0.17777 0.38107 0.12306
Tinggi 0.08489 0.17068 0.22736 0.25409 0.26298
37
Lampiran 5 Hasil olahan elastisitas permintaan pada Kabupaten Cirebon
keseluruhan
w1 w2 w3 w4 w5
ai -0.2293 0.42358 -0.0694 0.77364 0.10143
bi 0.02948 -0.0171 0.02601 -0.0514 0.01299
wi 0.01114 0.30357 0.17807 0.3754 0.13182
biwi 0.00033 -0.0052 0.00463 -0.0193 0.00171
Eii -0.3134 -0.9184 -0.9247 -0.8719 -0.8665
Eiy 3.64558 0.94384 1.14607 0.86301 1.09854
wj 0.01114 0.01114 0.01114 0.01114 0.01114
0.30357 0.30357 0.30357 0.30357 0.30357
0.17807 0.17807 0.17807 0.17807 0.17807
0.3754 0.3754 0.3754 0.3754 0.3754
0.13182 0.13182 0.13182 0.13182 0.13182
biwj 0.00033 -0.0002 0.00029 -0.0006 0.00014
0.00895 -0.0052 0.0079 -0.0156 0.00394
0.00525 -0.003 0.00463 -0.0092 0.00231
0.01107 -0.0064 0.00976 -0.0193 0.00488
0.00389 -0.0022 0.00343 -0.0068 0.00171
Eij daging ikan unggas telur susu
daging -0.3134 -0.0041 -0.0058 -0.0097 -0.0132
ikan -0.9324 -0.9184 -0.0691 0.01842 -0.0682
unggas -0.5375 -0.0045 -0.9247 0.00294 -0.0542
telur -1.3692 -0.0076 -0.1 -0.8719 -0.0964
susu -0.4923 -0.0092 -0.0464 -0.0028 -0.8665
38
Lampiran 6 Olahan elastisitas permintaan pada golongan pendapatan rendah
w1 w2 w3 w4 w5
ai -0.2293 0.42358 -0.0694 0.77364 0.10143
bi 0.02948 -0.0171 0.02601 -0.0514 0.01299
wi 0.00779 0.37498 0.04303 0.54166 0.04034
biwi 0.00023 -0.0064 0.00112 -0.0279 0.00052
Eii -0.0053 -0.9307 -0.6069 -0.8955 -0.5344
Eiy 4.78395 0.95453 1.60446 0.90506 1.32201
wj 0.00779 0.00779 0.00779 0.00779 0.00779
0.37498 0.37498 0.37498 0.37498 0.37498
0.04303 0.04303 0.04303 0.04303 0.04303
0.54166 0.54166 0.54166 0.54166 0.54166
0.04034 0.04034 0.04034 0.04034 0.04034
biwj 0.00023 -0.0001 0.0002 -0.0004 0.0001
0.01105 -0.0064 0.00975 -0.0193 0.00487
0.00127 -0.0007 0.00112 -0.0022 0.00056
0.01597 -0.0092 0.01409 -0.0279 0.00704
0.00119 -0.0007 0.00105 -0.0021 0.00052
Eij daging ikan unggas telur susu
daging -0.0053 -0.0035 -0.0219 -0.007 -0.0422
ikan -1.6038 -0.9307 -0.3291 0.01955 -0.2459
unggas -0.2578 -0.0098 -0.6069 -0.0108 -0.1336
telur -2.5875 0.00143 -0.5145 -0.8955 -0.3685
susu -0.358 -0.0116 -0.1366 -0.0106 -0.5344
39
Lampiran 7 Olahan elastisitas permintaan pada golongan pendapatan sedang
w1 w2 w3 w4 w5
ai -0.2293 0.42358 -0.0694 0.77364 0.10143
bi 0.02948 -0.0171 0.02601 -0.0514 0.01299
wi 0.0775 0.31308 0.17777 0.38107 0.12306
biwi 0.00228 -0.0053 0.00462 -0.0196 0.0016
Eii -0.9265 -0.9204 -0.9246 -0.8731 -0.8561
Eiy 1.38035 0.94554 1.14631 0.86505 1.10556
wj 0.0775 0.0775 0.0775 0.0775 0.0775
0.31308 0.31308 0.31308 0.31308 0.31308
0.17777 0.17777 0.17777 0.17777 0.17777
0.38107 0.38107 0.38107 0.38107 0.38107
0.12306 0.12306 0.12306 0.12306 0.12306
biwj 0.00228 -0.0013 0.00202 -0.004 0.00101
0.00923 -0.0053 0.00814 -0.0161 0.00407
0.00524 -0.003 0.00462 -0.0091 0.00231
0.01123 -0.0065 0.00991 -0.0196 0.00495
0.00363 -0.0021 0.0032 -0.0063 0.0016
Eij daging ikan unggas telur susu
daging -0.9265 -0.0004 -0.0155 -0.0006 -0.0212
ikan -0.1377 -0.9204 -0.0706 0.01943 -0.0741
unggas -0.0772 -0.0044 -0.9246 0.00285 -0.058
telur -0.199 -0.007 -0.101 -0.8731 -0.1039
susu -0.0675 -0.0094 -0.0452 -0.0039 -0.8561
40
Lampiran 8 Olahan elastisitas permintaan pada golongan pendapatan tinggi
w1 w2 w3 w4 w5
ai -0.2293 0.42358 -0.0694 0.77364 0.10143
bi 0.02948 -0.0171 0.02601 -0.0514 0.01299
wi 0.08489 0.17068 0.22736 0.25409 0.26298
biwi 0.0025 -0.0029 0.00591 -0.0131 0.00342
Eii -0.9355 -0.8681 -0.9467 -0.8353 -0.9396
Eiy 1.34725 0.90011 1.1144 0.7976 1.0494
wj 0.08489 0.08489 0.08489 0.08489 0.08489
0.17068 0.17068 0.17068 0.17068 0.17068
0.22736 0.22736 0.22736 0.22736 0.22736
0.25409 0.25409 0.25409 0.25409 0.25409
0.26298 0.26298 0.26298 0.26298 0.26298
biwj 0.0025 -0.0014 0.00221 -0.0044 0.0011
0.00503 -0.0029 0.00444 -0.0088 0.00222
0.0067 -0.0039 0.00591 -0.0117 0.00295
0.00749 -0.0043 0.00661 -0.0131 0.0033
0.00775 -0.0045 0.00684 -0.0135 0.00342
Eij daging ikan unggas telur susu
daging -0.9355 0.00004 -0.013 0.00066 -0.0103
ikan -0.0762 -0.8681 -0.0389 0.00032 -0.0276
unggas -0.0877 -0.0031 -0.9467 0.01432 -0.0296
telur -0.1376 -0.0256 -0.0645 -0.8353 -0.0423
susu -0.1102 -0.0033 -0.0513 0.02242 -0.9396
41
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 22 Maret 1992 dari pasangan
R. Syarif Bustami dan Ati Cahya Mulyati. Penulis merupakan anak kedua dari
tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan di SD Polisi V Bogor tahun
2004, dan melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2 Bogor dengan lulus tahun
2007. Pada tahun 2010 penulis telah menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 4
Bogor. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB)
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen
Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selain aktif menjadi
mahasiswa, penulis aktif pada organisasi Himpunan Profesi dan Peminat Ilmu
Ekonomi dan Studi Pembangunan (HIPOTESA) periode 2011-2012 pada divisi
Lable, panitia The 8th
HIPOTEX-R anggota divisi danus, dan panitia The 9th
HIPOTEX-R anggota divisi seminar nasional.