analisis pertanggungjawaban pidana terhadap …digilib.unila.ac.id/55245/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KEPALA
DESA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DANA
PROGRAM REHABILITASI RUMAH TIDAK LAYAK HUNI
(Studi Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK.)
(Skripsi)
Oleh
NANDA NOVIA PUTRI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
ABSTRAK
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KEPALA
DESA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DANA
PROGRAM REHABILITASI RUMAH TIDAK LAYAK HUNI
(Studi Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK.)
Oleh
NANDA NOVIA PUTRI
Program rehabilitasi rumah tidak layak huni seharusnya dilaksanakan sesuai dengan
peruntukannya yaitu perbaikan rumah masyarakat tidak mampu yang sangat
membutukan bantuan dari pemerintah, tetapi faktanya justru dana yang dianggarkan
untuk program tersebut dikorupsi oleh Kepala Desa. Pelaku tersebut harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan hukum yang berlaku.
Permasalahan penelitian ini adalah: Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana
terhadap kepala desa yang melakukan tindak pidana korupsi dana program
rehabilitasi rumah tidak layak huni dalam Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-
TPK/2017/PT.TJK. dan apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
pidana terhadap kepala desa yang melakukan tindak pidana korupsi dana program
rehabilitasi rumah tidak layak huni dalam Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-
TPK/2017/PT.TJK.
Metode penelitian dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan yuridis
empiris. Jenis data menggunakan data sekunder dan data primer. Narasumber
penelitian terdiri dari Hakim Tipikor pada Pengadilan Tinggi Tanjung Karang dan
Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung. Analisis data
menggunakan analisis kualitatif.
Hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa pertanggungjawaban pidana
terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana program rehabilitasi rumah tidak layak
huni dilakukan dengan penjatuhan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda
sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) subsider (2) dua bulan kurungan
sebagaimana tertuang dalam Putusan Pengadilan Nomor: 3/Pid.Sus-
TPK/2017/PT.TJK, karena perbuatan tersebut telah memenuhi unsur-unsur
pertanggungjawaban pidana yaitu pelaku telah cakap atau dewasa untuk melakukan
perbuatan hukum, tidak ada alasan pembenar dan alasan pemaaf bagi terdakwa
dalam melakukan korupsi dana program rehabilitasi rumah tidak layak huni,
sehingga pelaku harus mempertanggungjawabkan tindak pidana korupsi karena
memenuhi unsur kesengajaan. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan
putusan pidana dalam perkara tindak pidana korupsi dana program rehabilitasi
rumah tidak layak huni pada Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK adalah
Nanda Novia Putri
terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana korupsi sebagaimana didakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Hakim juga
mempertimbangkan bahwa pemidanaan adalah untuk memberikan efek jera dan
sebagai pembinaan terhadap terdakwa.
Saran dalam penelitian ini adalah pemerintah hendaknya meningkatkan pengawasan
terhadap program pembangunan di desa melalui dana bantuan pemerintah untuk
pembangunan dan kelengkapan sarana prasarana dalam rangka mencegah terjadinya
tindak pidana korupsi. Majelis hakim yang menangani tindak pidana korupsi di
masa yang akan datang diharapkan untuk lebih konsisten mengemban amanat
pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kata Kunci: Pertanggungjawaban Pidana, Kepala Desa, Korupsi
i
ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP KEPALA
DESA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DANA
PROGRAM REHABILITASI RUMAH TIDAK LAYAK HUNI
(Studi Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK.)
Oleh
NANDA NOVIA PUTRI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
Sarjana Hukum
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
v
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis adalah Nanda Novia Putri. Penulis
dilahirkan di Kota Bandar Lampung 17 November 1997.
Penulis adalah anak ketiga dari 3 bersaudara, buah hati dari
pasangan Bapak Agus Cipto dan Ibu Kastiani.
Pendidikan formal yang penulis tempuh dan selesaikan adalah
Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Beringin Raya Kemiling lulus
pada tahun 2009, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 4 Bandar Lampung lulus
pada tahun 2012, Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Bandar Lampung lulus
pada tahun 2015. Penulis terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Lampung pada tahun 2015. Penulis juga telah mengikuti program pengabdian
langsung kepada masyarakat yaitu Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Kacamarga
Kecamatan Cukuh Balak Kabupaten Tanggamus selama 40 hari sejak bulan Januari
sampai dengan bulan Maret 2018.
vi
MOTO
Kesungguhan, kerja keras, keyakinan merupakan modal dasar kesuksesan.
Hidup adalah pilihan maka harus yakin akan pilihan.
Optimis, bersungguh-sungguh dan bekerja keras.
Merugi bagi mereka yang mana bila hari ini sama dengan hari kemarin.
Harga sebuah kegagalan dan kesuksesan bukan dinilai dari hasil akhir,
tetapi dari proses perjuangannya
(Penulis)
vii
PERSEMBAHAN
Dengan menyebut nama Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang
Katakanlah (Muhammad) Dialah Allah, Yang Maha Esa
Allah tempat meminta segala sesuatu
(Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakan
Dan tiada yang setara dengan-Nya.
Aku bersaksi tiada Rab selain Allah,
dan Aku bersaksi Nabi Muhammad adalah utusan Allah.
Dengan segala kerendahan hatiku persembahkan karya Skripsi kecilku ini kepada
inspirasiter besarku:
Bapak dan Ibu
Ayahanda Agus Cipto B.Sc dan ibunda Dra. Kastiani. yang kusayangi, kuhormati,
kubanggakan. Terimakasih untuk segala pengorbanan, kasih sayang yang tulus serta
do’a demi keberhasilanku selama ini
Saudara yang kusayangi
Dhenny Gusmaya Putra dan Prisca Ayu Febriani, S.ST.,M.Kes
Yang selalu menghiburku disaat senang maupun sedih, dan menjadi motivasi untuk
memacu keberhasilanku sebagai adik.
Terima kasih atas kasih sayang tulus yang diberikan, semoga Allah membalas segala
budi yang kalian berikan di dunia maupun di akhirat.
Almamater tercinta Universitas Lampung
Tempatku memperoleh ilmu dan merancang masa depan untuk mendapatkan
kebaikan di dunia dan akhirat.
ix
SAN WACANA
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sebab
hanya dengan kehendak-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul: “Analisis Pertanggungjawaban Pidana terhadap Kepala Desa yang
Melakukan Tindak Pidana Korupsi Dana Program Rehabilitasi Rumah Tidak
Layak Huni (Studi Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK.)”. Skripsi ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Skripsi ini banyak mendapatkan
bimbingan dan arahan serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh karenanya dalam
kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Maroni, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung
2. Bapak Eko Raharjo, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing
I, atas bimbingan dan saran yang diberikan dalam proses penyusunan hingga
selesainya skripsi ini.
x
3. Ibu Dona Raissa Monica, S.H., M.H., selaku Sekretaris Bagian Hukum Pidana
Universitas Lampung.
4. Ibu Rini Fathonah, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II, yang telah
memberikan bimbingan dan saran dalam proses penyusunan hingga
selesainya skripsi ini.
5. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.Hum, selaku Dosen Penguji Utama, yang telah
memberikan kritik, saran dan masukan dalam proses perbaikan skripsi ini.
6. Bapak Muhammad Farid, S.H., M.H, selaku Dosen Pembahas II, yang telah
memberikan kritik, saran dan masukan dalam proses perbaikan skripsi ini.
7. Ibu Nurmayani, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
membimbing penulis dalam proses perkuliahan ini.
8. Seluruh Dosen pengajar Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah
berdedikasi dalam memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama
menempuh studi.
9. Para staf dan karyawan/i Fakultas Hukum Universitas Lampung, khususnya
bagian Hukum Pidana: Ibu Siti, Ibu Aswati, Mas Ijal, dan Kiyay Rojali
terimakasih atas bantuannya.
10. Bapak Dr. Made Suweda S.H., M.H., dan Ibu Dr. Erna Dewi S.H., M.H.,
selaku narasumber yang telah memberikan bantuan dan informasi serta
kebaikan yang diberikan demi keberhasilan pelaksanaan penelitian ini.
11. Kedua orang tuaku Bapak Agus Cipto, B.Sc. dan Ibu Dra. Kastiani yang
sangat teristimewa dan tersayang, terimakasih telah mendoakanku,
menuntutnku, mendukung, dalam setiap langkahku dan selalu setia
mendengarkan keluh kesahku, serta sangat terimakasih pula atas pengorbanan
xi
dan usaha kerasmu yang tiada henti kau lakukan untuk selalu memotivasi,
memberikan nasihat dan pengarahan dalam keberhasilanku menyelesaikan
studi.
12. Kepada saudaraku, Dhenny Gusmaya Putra, Prisca Ayu Febriani, S.ST.,
M.Kes., yang selalu mendukungku dan selalu mendoakan serta menantikan
keberhasilah dari diriku.
13. Seluruh keluarga besarku yang selalu memberikan dukungan dan doa selama
pembuatan skripsi ini.
14. Kepada Dzaky Agusthomi, yang selalu mendukung, menemani,
mendengarkan segala keluh kesah, memberikan dukungan dan semangat
selama menyelesaikan skripsi ini.
15. Sahabat terbaiku, Rynaldi Ariantama, Herfilia Yulia, Cindy Caroline, Mentari
Amelia, Risty Puri, Vitha Khairunisa, Ayu Citra, Famia Anggun, dan Novia
Annessa terimakasih untuk canda tawa dan suka dukanya selama ini, semoga
kita semua dapat meraih kesuksesan kedepannya.
16. Seluruh teman seperjuangan angkatan 2015 Fakultas Hukum Pararel, terutama
Erysha Aulia, Fitria Ayu, Anis Mareta, Mutiara P.C, Azhima Eka,
Febriansyah Putra, M. Alrifco, Rodhi Hibatullah, Billy Gesta, Rio fahni, Fitri
Wahyuni dan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. bersama kalian
kulewati saat manis pahit perjalanan perkuliahan ini. Terimakasih atas
pertemuan yang terjalin selama ini.
17. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
penulis menyelesaikan skripsi ini, terimakasih atas semua bantuan dan
dukungannya.
xii
18. Almamater tercinta Universitas Lampung.
Penulis mendoakan semoga kebaikan yang telah diberikan kepada penulis akan
mendapatkan balasan kebaikan yang lebih besar dari Allah SWT, dan akhirnya
penulis berharap semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya
Bandar Lampung, Januari 2019
Penulis
Nanda Novia Putri
DAFTAR ISI
Halaman
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian .................................. 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ..................................................... 8
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual .................................................... 9
E. Sistematika Penulisan ....................................................................... 15
II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tindak Pidana ................................................................. 17
B. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ................................................... 19
C. Pertanggungjawaban Pidana ............................................................. 23
D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana.................. 28
III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah .......................................................................... 32
B. Sumber dan Jenis Data ...................................................................... 32
C. Penentuan Narasumber...................................................................... 34
D. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan Data .................................. 35
E. Analisis Data ..................................................................................... 36
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................... 37
A. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Kepala Desa yang
Melakukan Tindak Pidana Korupsi Dana Program Rehabilitasi
Rumah Tidak Layak Huni dalam Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-
TPK/2017/PT.TJK. ........................................................................... 37
B. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana terhadap
Kepala Desa yang Melakukan Tindak Pidana Korupsi Dana
Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni dalam Putusan
Nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK. ............................................. 58
V PENUTUP ............................................................................................... 74
A. Simpulan ........................................................................................... 74
B. Saran .................................................................................................. 75
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak pidana dan perbuatan melawan
hukum yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi dengan tujuan untuk
menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan
wewenang, kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatannya dan berdampak
pada kerugian keuangan dan perekonomian negara. Korupsi sebagai tindak pidana
yang harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Akibat tindak pidana korupsi yang terjadi
selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga
menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut
efisiensi tinggi. Tindak pidana korupsi terjadi pada berbagai lapisan pemerintahan,
baik di tingkat pusat, daerah sampai dengan di tingkat desa.
Perilaku koruptif aparatur pemerintahan daerah salah satunya terjadi pada proses
pengadaan bbarang dan jasa, termasuk dalam proyek pembangunan di daerah.
Proyek pembangunan seharusnya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sesuai
dengan peraturan yang telah ditetapkan tetapi pada kenyataannya hal tersebut
seringkali diabaikan dan terjadi tindak pidana korupsi.
2
Ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) menyatakan:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK di atas, maka
diketahui bahwa terdapat tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara.
Tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja
terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa
dan bernegara pada umumnya. Tindak pidana korupsi yang meluas dan sistematis
juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi
masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana korupsi tidak lagi dapat
digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar
biasa (extra ordinary crime), oleh karena itu diperlukan penegakan hukum yang
komprehensif. 1
Upaya untuk menjamin penegakan hukum harus dilaksanakan secara benar, adil ,
tidak ada kesewenang-wenangan, tidak ada penyalahgunaan kekuasaan, ada
beberapa asas yang harus selalu tampil dalam setiap penegakan hukum, yaitu asas
1 Eddy Mulyadi Soepardi, Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah Satu Unsur Tindak
Pidana Korupsi, Ghalia Indonesia, Yograkarta, 2009, hlm. 3.
3
tidak berpihak (impartiality), asas kejujuran dalam memeriksa dan memutus
(fairness), asas beracara benar (prosedural due process), asas menerapkan hukum
secara benar yang menjamin dan melindungi hak-hak substantif pencari keadilan
dan kepentingan sosial (lingkungan), asas jaminan bebas dari segala tekanan dan
kekerasan dalam proses peradilan. Sistem peradilan pidana sebagai pelaksanaan dan
penyelenggaan penegakan hukum terdiri dari beberapa badan yaitu kepolisian,
kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, yang saling berhubungan
antara satu dengan yang lainnya.2
Pelaku tindak pidana korupsi secara ideal setiap dipidana maksimal sebagaimana
diatur Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, yaitu setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Setiap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus
dipertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum, sesuai dengan ketentuan
undang-undang. Setiap warga negara wajib menjunjung hukum, namun demikian
dalam kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja tidak
2 Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta 2001,
hlm. 22.
4
melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa
warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut telah
ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang yang melanggar hukum harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum.
Pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana merupakan proses penegakan
hukum untuk menjamin kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum.
Apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan,
keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai
aktual di dalam masyarakat beradab. Sebagai suatu proses kegiatan yang meliputi
berbagai pihak termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, adalah
keharusan untuk melihat penegakan hukum sebagai suatu sistem peradilan pidana.3
Salah satu perkara tindak pidana korupsi yang diputus oleh Pengadilan Tinggi
Tanjung Kbarang adalah Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK, di mana
Kepala Desa Sidang Makmur Kecamatan Rawajitu Utara Kabupaten Mesuji yang
bernama Yurdansyah Bin Abdullatif melakukan tindak pidana korupsi program
rehabilitasi rumah tidak layak huni. Tindak pidana korupsi oleh Kepala Desa ini
merupakan perbuatan yang sangat disayangkan mengingat program rehabilitasi
rumah tidak layak huni seharusnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dan sasaran program ini adalah masyarakat kurang mampu yang sangat
membutukan bantuan untuk perbaikan rumahnya, tetapi faktanya justru dana yang
dianggarkan untuk program tersebut dikorupsi oleh Kepala Desa.
3 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika Jakarta, 2000, hlm.44.
5
Akibat perbuatan tersebut negara mengalami kerugian sebesar Rp. 153.075.000,00
(seratus lima puluh tiga juta tujuh puluh lima ribu rupiah). Majelis hakim Pengadilan
Tinggi menguatkan putusan Majelis Hakim Tipikor pada Pengadilan Negeri dalam
perkara ini telah menjatuhkan pidana terhadap terdakwa yaitu pidana penjara selama
2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) subsider
(2) dua bulan kurungan, sebagai bentuk pertanggungjawaban pidana terhadap kepala
desa yang melakukan tindak pidana korupsi dana program rehabilitasi rumah tidak
layak huni. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 jo. Pasal 18 Ayat (1) huruf (b) Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-
1 KUHP.
Isu hukum dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Pidana penjara selama 2 tahun dan denda Rp.50.000.000,- subsider 2 bulan
kurungan yang dijatuhkan terhadap terdakwa masih belum optimal dibandingkan
dengan ancaman pidana penjara maksimal sebagaimana dimaksud dalam
Dakwaan Primer, yaitu Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK). Ancaman pidana
maksimal yang seharusnya diterapkan adalah paling lama 20 (dua puluh) tahun
penjara, hakim sebenarnya dapat menjatuhkan pidana lebih maksimal tetapi
hakim hanya menjatuhkan pidana penjara selama 2 tahun penjara atau mendekati
ancaman pidana minimal yaitu 4 tahun penjara.
6
b. Pidana denda Rp.50.000.000,- subsider 2 bulan kurungan yang dijatuhkan
terhadap terdakwa masih belum optimal dibandingkan dengan ancaman pidana
denda maksimal sebagaimana dimaksud dalam Dakwaan Primer, Pasal 2 Ayat
(1) UUPTPK, yaitu paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah. Hakim
dalam hal ini menjatuhkan pidana denda di bawah denda minimal
c. Pelaku merupakan seorang kepala desa yang seharusnya melaksanakan program
pembangunan dengan sebaik-baiknya demi kesejahteraan masyarakat desa,
tetapi fakta justru melakukan tindak pidana korupsi, sehingga merugikan
kepentingan masyarakat di desa tersebut
Setiap pelaku yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum. Hal ini sesuai dengan
konsep bahwa setiap warga negara wajib menjunjung hukum, namun demikian
dalam kenyataan sehari-hari adanya warga negara yang lalai/sengaja tidak
melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa
warga negara tersebut melanggar hukum karena kewajibannya tersebut telah
ditentukan berdasarkan hukum. Seseorang yang melanggar hukum harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya sesuai dengan aturan hukum.
Pemberian sanksi terhadap pelaku tindak pidana merupakan proses penegakan
hukum. Penegakan hukum dapat menjamin kepastian hukum, ketertiban dan
perlindungan hukum pada era modernisasi dan globalisasi saat ini dapat terlaksana,
apabila berbagai dimensi kehidupan hukum selalu menjaga keselarasan,
keseimbangan dan keserasian antara moralitas sipil yang didasarkan oleh nilai-nilai
aktual dalam masyarakat. Sebagai suatu kegiatan yang meliputi berbagai pihak
7
termasuk masyarakat dalam kerangka pencapaian tujuan, merupakan keharusan
untuk melihat penegakan hukum pidana sebagai suatu sistem peradilan pidana.4
Penjatuhan pidana oleh hakim melalui putusan pengadilan, merupakan pelaksanaan
tugas hakim sebagai aparat penegak hukum yang memberikan putusan terhadap
perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari
sistem pembuktian. Putusan hakim merupakan wujud proses peradilan pidana yang
diwujudkan dengan penjatuhan pidana terhadap pelaku tindak pidana.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis akan melaksanakan
penelitian dalam rangka penyusunan Skripsi dengan judul: “Analisis
Pertanggungjawaban Pidana terhadap Kepala Desa yang Melakukan Tindak Pidana
Korupsi Dana Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni” (Studi Putusan
Nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK.)
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka permasalahan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap kepala desa yang
melakukan tindak pidana korupsi dana program rehabilitasi rumah tidak layak
huni dalam Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK.?
4 Andi Hamzah. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm.44
8
b. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap kepala
desa yang melakukan tindak pidana korupsi dana program rehabilitasi rumah
tidak layak huni dalam Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK.?
2. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah hukum pidana dan dibatasi pada kajian
pertanggungjawaban pidana terhadap kepala desa yang melakukan tindak pidana
korupsi dana program rehabilitasi rumah tidak layak huni dalam Putusan Nomor:
3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK.. Ruang lingkup Lokasi Penelitian adalah Pengadilan
Tinggi Tanjung Kbarang dan penelitian dilaksanakan pada Tahun 2018.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap kepala desa yang
melakukan tindak pidana korupsi dana program rehabilitasi rumah tidak layak
huni dalam Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK.
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap terhadap kepala desa yang melakukan tindak pidana korupsi dana
program rehabilitasi rumah tidak layak huni dalam Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-
TPK/2017/PT.TJK.
9
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun
secara praktis, yaitu sebagai berikut:
a. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk menambah
kajian ilmu hukum pidana, khususnya yang berhubungan pertanggungjawaban
pidana terhadap kepala desa yang melakukan tindak pidana korupsi dana
program rehabilitasi rumah tidak layak huni dan dasar pertimbangan hakim
dalam menjatuhkan pidana terhadap terhadap kepala desa yang melakukan
tindak pidana korupsi dana program rehabilitasi rumah tidak layak huni dalam
Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK..
b. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan
dan kontribusi positif bagi aparat penegak hukum dalam menanggulangi tindak
pidana korupsi pada masa-masa yang akan datang, sehingga penanggulangan
tindak pidana korupsi dapat dilaksanakan secara lebih optimal.
D. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Kerangka teori merupakan pengabstrakan hasil pemikiran sebagai kerangka acuan
atau dasar yang relevan untuk pelaksanaan penelitian ilmiah, khususnya dalam
penelitian ilmu hukum. Peneliti menggunakan kerangka teori sebagai dasar untuk
melakukan analisis terhadap permasalahan yang dibahas dalam penelitian, sehingga
setiap pembahasan yang dilakukan memiliki landasan secara teoritis. Kerangka
teoritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
10
a. Teori Pertanggungjawaban Pidana
Untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, maka suatu perbuatan harus
mengandung kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan
(opzet) dan kelalaian (culpa).
1. Kesengajaan (opzet)
Kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu sebagai berikut:
a. Kesengajaan yang bersifat tujuan
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat
dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak
ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si
pelaku pantas dikenakan hukuman pidana.
b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak
bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia
tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan
Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu
kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya
dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu.
2. Kelalaian (culpa)
Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga
culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu
delik culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan
pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik
kelalaian yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi
yang diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri,
perbedaan antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang
menimbulkan akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik
kelalaian, bagi yang tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu
sendiri sudah diancam dengan pidana.5
Berdasarkan hal tersebut maka pertanggungjawaban pidana atau kesalahan menurut
hukum pidana, terdiri atas tiga syarat, yaitu:
a. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggungjawabkan dari si
pembuat.
5 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina
Aksara, 1993, hlm. 46.
11
b. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang
berhubungan dengan kelakuannya yang disengaja dan sikap kurang hati-hati
atau lalai
c. Tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf dapat yang menghapuskan
pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat6
Pelaku tindak pidana harus mempertanggungjawabkan perbuataannya, dengan dasar
kemampuan bertanggung jawab, ada perbuatan melawan hukum dan tidak ada
alasan pemaaf atau pembenar atas tindak pidana yang dilakukannya.
b. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana
Hakim dalam mengadili pelaku tindak pidana harus melalui proses penyajian
kebenaran dan keadilan dalam suatu putusan pengadilan sebagai rangkaian proses
penegakan hukum, maka dapat dipergunakan teori kebenaran. Dengan demikian,
putusan pengadilan dituntut untuk memenuhi teori pembuktian, yaitu saling
berhubungan antara bukti yang satu dengan bukti yang lain, misalnya, antara
keterangan saksi yang satu dengan keterangan saksi yang lain atau saling
berhubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain (Pasal 184 KUHAP).
Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-
kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusanputusannya.
Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan
dalam suatu negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju
kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya, apabila tidak
ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan
yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur Negara hukum. Sebagai
pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan
6 Ibid, hlm. 51.
12
dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan
oleh hakim melalui putusannya. Fungsi hakim adalah memberikan putusan terhadap
perkara yang diajukan, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari
sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau
peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti
menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi
denganintegritas moral yang baik.7
Menurut Mackenzie ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan
oleh hakim dalam penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu sebagai berikut:
a. Teori keseimbangan
Yang dimaksud dengan keseimbangan disini keseimbangan antara syarat-syarat
yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang tersangkut
atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan
yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa.
b. Teori pendekatan seni dan intuisi
Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari
hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan
keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan
melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana.
Pendekatan seni dipergunakan oleh hakim dalam penjatuhan putusan, lebih
ditentukan oleh instink atau intuisi dari pada pengetahuan dari hakim
c. Teori pendekatan keilmuan
Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus
dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya
dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari
putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa
dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi
atau instink semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum
dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus
diputuskannya.
d. Teori Pendekatan Pengalaman
Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam
menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman
yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari
putusan yang dijatuhkan dalam suatu perkara pidana yang berkaitan dengan
pelaku, korban maupun masyarakat.
7 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar
Grafika,.2010, hlm.103.
13
e. Teori Ratio Decidendi
Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang
mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang
disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan
dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam
penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi
yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak
yang berperkara.
f. Teori kebijaksanaan
Teori ini diperkenalkan oleh Made Sadhi Astuti, di mana sebenarnya teori ini
berkenaan dengan putusan hakim dalam perkara di pengadilan anak. Aspek ini
menekankan bahwa pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua ikut
bertanggungjawab untuk membimbing, membina, mendidik dan melindungi
anak, agar kelak dapat menjadi manusia yang berguna bagi keluarga, masyarakat
dan bagi bangsanya.8
2. Konseptual
Konseptual adalah susunan konsep-konsep sebagai fokus pengamatan dalam
melaksanakan penelitian, khususnya dalam penelitian ilmu hukum. Analisis pokok-
pokok bahasan dalam penelitian ini dan memberikan batasan pengertian yang
berhubungan dengan yaitu sebagai berikut:
a. Analisis adalah upaya untuk memecahkan suatu permasalahan berdasarkan
prosedur ilmiah dan melalui pengujian sehingga hasil analisis dapat diterima
sebagai suatu kebenaran atau penyelesaian masalah9
b. Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme
untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung
jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat
dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu
memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang.10
8 Ahmad Rifai, Op. Cit. hlm.105-106.
9 Lexy J.Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Jakarta, Rineka Cipta, 2005.hlm. 54
10 Moeljatno, Op. Cit, hlm. 49.
14
c. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilbarang oleh suatu aturan hukum,
lbarangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi
siapa yang melanggar lbarangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran
norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak
sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku11
d. Pelaku tindak pidana adalah setiap orang yang melakukan perbuatan melanggar
atau melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Pelaku
tindak pidana harus diberi sanksi demi terpeliharanya tertib hukum dan
terjaminnya kepentingan umum12
e. Tindak pidana korupsi menurut Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK)adalah setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000 (dua
ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
f. Rehabilitasi adalah proses memperbaiki sesuatu atau keadaan, agar menjadi
lebih baik sesuai dengan fungsi atau peruntukan sebelumnya13
g. Rumah tidak layak huni adalah bangunan rumah yang tidak memenuhi
persyaratan kelayakan untuk dihuni oleh manusia, baik dari aspek sanitasi,
kebersihan, kesehatan maupun bangunannya14
11
Ibid, hlm. 53. 12
Satjipto Rahardjo, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum. 1998, hlm. 25. 13
www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-rehabilitasi. Diakses Jumat 1 Juni 2018
15
E. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun dalam lima bab untuk untuk memudahkan pemahaman terhadap
isinya. Secara terperinci sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
I PENDAHULUAN
Bab ini berisi pendahuluan penyusunan skripsi yang terdiri dari Latar
Belakang, Permasalahan dan Ruang Lingkup, Tujuan dan Kegunaan
Penelitian, Kerangka Teori dan Konseptual serta Sistematika Penulisan.
II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tinjauan pustaka dari berbagai konsep atau kajian yang
berhubungan dengan penyusunan skripsi dan diambil dari berbagai referensi
atau bahan pustaka terdiri dari pengertian pertanggungjawaban pidana,
pengertian dan jenis tindak pidana, tindak pidana korupsi.
III METODE PENELITIAN
Berisi metode yang digunakan dalam penelitian, terdiri dari Pendekatan
Masalah, Sumber Data, Penentuan Narasumber, Prosedur Pengumpulan dan
Pengolahan Data serta Analisis Data.
IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berisi deskripsi berupa penyajian dan pembahasan data yang telah didapat
penelitian, terdiri dari deskripsi dan analisis mengenai pertanggungjawaban
pidana terhadap kepala desa yang melakukan tindak pidana korupsi dana
program rehabilitasi rumah tidak layak huni dalam Putusan Nomor:
3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK. dan dasar pertimbangan hakim dalam
14
www.rumahku.com/artikel/read/apa-itu-rumah-layak-huni-415117. Diakses Jumat 1 Juni 2018
16
menjatuhkan pidana terhadap terhadap kepala desa yang melakukan tindak
pidana korupsi dana program rehabilitasi rumah tidak layak huni dalam
Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK.
V PENUTUP
Berisi kesimpulan umum yang didasarkan pada hasil analisis dan
pembahasan penelitian serta berbagai saran sesuai dengan permasalahan
yang ditujukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan penelitian.
17
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana
merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau
kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku
yang melanggar undang-undang pidana. Tindak pidana adalah perbuatan melakukan
atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan
yang dilbarang dan diancam dengan pidana. Penjatuhan pidana terhadap pelaku
adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.15
Pengertian di atas menunjukkan bahwa tindak pidana merupakan setiap perbuatan
yang dilbarang oleh undang-undang harus dihindari dan barang siapa melanggarnya
maka akan dikenakan pidana. Jadi lbarangan-lbarangan dan kewajiban-kewajiban
tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga negara wajib dicantumkan dalam
undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah.
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang,
melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Orang yang
melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan
pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila
15
P.A.F. Lamintang Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung.
1996. hlm. 7.
18
pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan
pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan16
Jenis-jenis tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai berikut:
a) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibedakan antara
lain kejahatan yang dimuat dalam Buku II dan Pelanggaran yang dimuat
dalam Buku III. Pembagian tindak pidana menjadi “kejahatan” dan
“pelanggaran“ itu bukan hanya merupakan dasar bagi pembagian KUHP kita
menjadi Buku ke II dan Buku ke III melainkan juga merupakan dasar bagi
sistem hukum pidana dalam perundang-undangan secara keseluruhan.
b) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil
(formeel Delicten) dan tindak pidana materil (Materiil Delicten). Tindak
pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa lbarangan yang
dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Misalnya Pasal 362
KUHP yaitu tentang pencurian. Tindak Pidana materil inti lbarangannya
adalah pada menimbulkan akibat yang dilbarang, siapa yang menimbulkan
akibat yang dilbarang itulah yang dipertanggung jawabkan dan dipidana.
c) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana
sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpose delicten).
Contoh tindak pidana kesengajaan (dolus) yang diatur di dalam KUHP antara
lain sebagai berikut: Pasal 338 KUHP (pembunuhan) yaitu dengan sengaja
menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, Pasal 354 KUHP yang dengan
sengaja melukai orang lain. Pada delik kelalaian (culpa) orang juga dapat
dipidana jika ada kesalahan, misalnya Pasal 359 KUHP yang menyebabkan
matinya seseorang dan dalam Pasal 188 dan Pasal 360 KUHP.
d) Menurut macam perbuatannya, tindak pidana aktif (positif), perbuatan aktif
juga disebut perbuatan materil adalah perbuatan untuk mewujudkannya
diisyaratkan dengan adanya gerakan tubuh orang yang berbuat, misalnya
Pencurian (Pasal 362 KUHP) dan Penipuan (Pasal 378 KUHP). Tindak
Pidana pasif dibedakan menjadi tindak pidana murni dan tidak murni. Tindak
pidana murni, yaitu tindak pidana yang dirumuskan secara formil atau tindak
pidana yang pada dasarnya unsur perbuatannya berupa perbuatan pasif,
misalnya diatur dalam Pasal 224,304 dan 552 KUHP.Tindak Pidana tidak
murni adalah tindak pidana yang pada dasarnya berupa tindak pidana positif,
tetapi dapat dilakukan secara tidak aktif atau tindak pidana yang
mengandung unsur terlbarang tetapi dilakukan dengan tidak berbuat,
misalnya diatur dalam Pasal 338 KUHP, ibu tidak menyusui bayinya
sehingga anak tersebut meninggal17
16
Andi Hamzah. Op Cit. hlm. 22 17
Ibid. hlm. 25-27
19
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa jenis-jenis tindak pidana terdiri
dari tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran, tindak pidana formil
dan tindak pidana materil, tindak pidana sengaja dan tindak pidana tidak sengaja
serta tindak pidana aktif dan pasif.
B. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Pengertian korupsi secara umum diartikan sebagai perbuatan yang berkaitan dengan
kepentingan publik atau masyarakat luas untuk kepentingan pribadi dan atau
kelompok tertentu. Dengan demikian secara spesifik ada tiga fenomena yang
tercakup dalam istilah korupsi, yaitu penyuapan (bribery), pemerasan (extraction),
dan nepotisme (nepotism).18
Kejahatan korupsi pada hakekatnya termasuk ke dalam kejahatan ekonomi, hal ini
bisa dibandingkan dengan anatomi kejahatan ekonomi sebagai berikut:
a) Penyamaran atau sifat tersembunyi maksud dan tujuan kejahatan
b) Keyakinan si pelaku terhadap kebodohan dan kesembronoan si korban
c) Penyembunyian pelanggaran. 19
Tindak Pidana Korupsi sebagai tindak pidana khusus di luar KUHP dinyatakan
secara tegas dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun1960 yang mulai
berlaku pada tanggal 9 Juni 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan
Tindak Pidana. Hukum Pidana Khusus adalah hukum pidana yang ditetapkan untuk
golongan orang khusus atau yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan khusus,
termasuk didalamnya hukum pidana militer (golongan orang orang khusus) dan
18
Syed Husein Alatas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data Kontemporer, Jakarta:
LP3ES, 1983, hlm. 12. 19
Barda Nawawi Arief dan Muladi, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hlm. 56.
20
hukum pidana fiskal (perbutan-perbuatan khusus) dan hukum pidana ekonomi.
Disamping hukum pidana khusus ini, hukum pidana umum (ius commune) tetap
berlaku sebagai hukum yang menambah (aanvullend rech).
Pidana khusus ini memuat ketentuan-ketentuan yang dari ketentuan pidana umum
yang menyangkut sekelompok orang atau perbuatan-perbuatan tertentu. Khususan
dari hukum pidana khusus dapat dilihat adanya ketentuan mengenai dapat dipidana
suatu perbuatan, ketentuan tentang pidana dan tindakan dan mengenai dapat
dituntutnya perbuatan. Jadi penyimpangan-penyimpangan dari ketentuan umum
inilah yang merupakan ciri-ciri dari hukum pidana khusus.Gejala-gejala pidana delik
khusus menunjuk kapada adanya diferensiasi hukum pidana, suatu kecenderungan
yang bertentangan dengan adanya unifikasi dan ketentuan-ketentuan umum dari
hukum pidana khusus mempunyai tujuan dan fungsi sendiri, akan tetapi azas-azas
hukum pidana khususnya "tiada pidana tanpa kesalahan" harus tetap dihormati.
Selain pembagian hukum pidana dalam hukum pidana yang dikodifikasikan dengan
hukum pidana yang tidak dikodifikasikan ada pembagian lain ialah hukum pidana
umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare atau ius speciale).
Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus ini tidak boleh diartikan dengan
bagian umum dan bagian khusus dari hukum pidana, karena memang bagian dari
umum dari hukum pidana menurut ketentuan-ketentuan atau ajaran-ajaran umum,
sedang bagian khususnya memuat perumusan tindak-tindak pidana.
Semula dimaksudkan agar suatu kodifikasi itu memuat suatu bahan hukum yang
lengkap, akan tetapi kita mengatahui bahwa terbentuknya peraturan perundang-
undangan pidana diluar kodifikasi tidak dapat dihindarkan mengingat pertumbuhan
21
masyarakat terutama dibidang sosial dan ekonomi (di KUHP) dalam buku keduanya
memuat sebagian besar dari delik-delik berupa kejahatan, sedang di buku ketiga
dimuat sebagian kecil dari delik-delik berupa pelanggaran. Undang-Undang Pidana
Khusus adalah undang-undang pidana selain kitab undang-undang hukum pidana
yang merupakan induk peraturan hukum pidana.
Pengertian korupsi dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) tidak disebutkan pengertian
korupsi secara tegas. Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah).”
Berdasarkan pengertian korupsi dalam Pasal 2 Ayat (1) UUPTPK di atas, dapat
disimpulkan ada tiga unsur tindak pidana korupsi yaitu secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara; Pasal 3 menyebutkan
bahwa tindak pidana korupsi dilakukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara; dan memberi hadian atau janji kepada
Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya tersebut.
22
Pelaku tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
a) Setiap orang yang berarti perseorangan
b) Koorporasi dalam Undang-Undang No. 31 tahun 1999 adalah kumpulan
orang dan atau kekayaan yang terorganisir, baik berupa badan hukum
maupun tidak. Badan Hukum di Indonesia terdiri dari Perseroan Terbatas
(PT), Yayasan, Koperasi dan Indonesische Maatchapij op Andelen
(IMA), sementara perkumpulan orang dapat berupa firma,
Commanditaire Vennootschap (CV) dan sebagainya.
c) Pegawai negeri yang dimaksud dengan Pegawai Negeri (Pejabat) dalam
pasal I Ayat (2) Undang - Undang No. 31 tahun 1999 Jo Undang-Undang
No. 20 tahun 2001 meliputi Pegawai Negeri Sipil Pegawai Negeri Sipil
Pusat; Pegawai Negeri Sipil Daerah dan pegawai Negeri Sipil lain yang
ditetapkan dengan aturan Pemerintah. Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia; Angkatan Darat; Angkatan Laut;Angkatan Udara; Angkatan
Kepolisian. 20
Masalah korupsi di Indonesia sangat kompleks. Korupsi sudah merambat ke mana-
mana dalam lapisan masyarakat pelaku tindak pidana korupsi tidak saja dari
kalangan pegawai negeri pada pejabat rendah tetapi sudah merambat pada
pengusaha, menteri, duta besar, dan lain-lain dalam semua tingkatan baik dari
kalangan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, maka tidak heran kalau golongan
pesimis mengatakan korupsi di Indonesia adalah suatu bagian budaya (sub cultural)
korupsi mulai dari pusat sampai ke daerah.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa korupsi merupakan tindak
pidana dan suatu perbuatan melawan hukum bertujuan untuk menguntungkan diri
sendiri, perusahaan dan menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang
melekat pada jabatannya yang merugikan keuangan dan perekonomian negara serta
berdampak pada kerugian seluruh masyarakat Indonesia.
20
Ibid , hlm. 57.
23
C. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana mengandung asas kesalahan (asas culpabilitas), yang
didasarkan pada keseimbangan monodualistik bahwa asas kesalahan yang
didasarkan pada nilai keadilan harus disejajarkan berpasangan dengan asas legalitas
yang didasarkan pada nilai kepastian. Walaupun Konsep berprinsip bahwa
pertanggungjawaban pidana berdasarkan kesalahan, namun dalam beberapa hal tidak
menutup kemungkinan adanya pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability)
dan pertanggungjawaban yang ketat (strict liability). Masalah kesesatan (error) baik
kesesatan mengenai keadaannya (error facti) maupun kesesatan mengenai
hukumnya sesuai dengan konsep merupakan salah satu alasan pemaaf sehingga
pelaku tidak dipidana kecuali kesesatannya itu patut dipersalahkan kepadanya21
Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu mekanisme untuk
menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas
suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku,
disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang
telah ditentukan dalam Undang-undang.
Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang
melakukan tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam
undang-undang, maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan
sesuai dengan kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan
pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia
mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu
21
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 23.
24
melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif
mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut22
Pertanggungjawaban pidana diterapkan dengan pemidanaan, yang bertujuan untuk
untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
demi pengayoman masyarakat; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan tindak
pidana; memulihkan keseimbangan; mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi
orang baik dan membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan bahwa hukum pidana harus
digunakan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur merata materiil dan
spirituil. Hukum pidana tersebut digunakan untuk mencegah atau menanggulangi
perbuatan yang tidak dikehendaki. Selain itu penggunaan sarana hukum pidana
dengan sanksi yang negatif harus memperhatikan biaya dan kemampuan daya kerja
dari insitusi terkait, sehingga jangan sampai ada kelampauan beban tugas
(overbelasting) dalam melaksanakannya23
Perbuatan agar dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, harus mengandung
kesalahan. Kesalahan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu kesengajaan (opzet) dan
kelalaian (culpa).
1. Kesengajaan (opzet)
Sesuai teori hukum pidana Indonesia, kesengajaan terdiri dari tiga macam, yaitu
sebagai berikut:
a. Kesengajaan yang bersifat tujuan
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat
dipertanggungjawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak ramai.
Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si pelaku
22
Moeljatno, Op.Cit. hlm. 41. 23
Ibid, hlm. 23.
25
pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya kesengajaan yang
bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar menghendaki mencapai
suatu akibat yang menjadi pokok alasan diadakannya ancaman hukuman ini.
b. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak bertujuan
untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi ia tahu benar
bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
c. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan
Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu kepastian
akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya dibayangkan suatu
kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya mengenai kealpaan karena
merupakan bentuk dari kesalahan yang menghasilkan dapat dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatan seseorang yang dilakukannya24
2. Kelalaian (culpa)
Kelalaian (culpa) terletak antara sengaja dan kebetulan, bagaimanapun juga
culpa dipandang lebih ringan dibanding dengan sengaja, oleh karena itu delik
culpa, culpa itu merupakan delik semu (quasideliet) sehingga diadakan
pengurangan pidana. Delik culpa mengandung dua macam, yaitu delik kelalaian
yang menimbulkan akibat dan yang tidak menimbulkan akibat, tapi yang
diancam dengan pidana ialah perbuatan ketidak hati-hatian itu sendiri, perbedaan
antara keduanya sangat mudah dipahami yaitu kelalaian yang menimbulkan
akibat dengan terjadinya akibat itu maka diciptalah delik kelalaian, bagi yang
tidak perlu menimbulkan akibat dengan kelalaian itu sendiri sudah diancam
dengan pidana. 25
Syarat-syarat elemen yang harus ada dalam delik kealpaan yaitu:
1) Tidak mengadakan praduga-praduga sebagaimana diharuskan oleh hukum,
adapun hal ini menunjuk kepada terdakwa berpikir bahwa akibat tidak akan
terjadi karena perbuatannya, padahal pandangan itu kemudian tidak benar.
Kekeliruan terletak pada salah piker/pandang yang seharusnya disingkirkan.
Terdakwa sama sekali tidak punya pikiran bahwa akibat yang dilbarang mungkin
timbul karena perbuatannya. Kekeliruan terletak pada tidak mempunyai pikiran
sama sekali bahwa akibat mungkin akan timbul hal mana sikap berbahaya
2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum,
mengenai hal ini menunjuk pada tidak mengadakan penelitian kebijaksanaan,
kemahiran/usaha pencegah yang ternyata dalam keadaan yang tertentu/dalam
caranya melakukan perbuatan. 26
Seseorang akan dipertanggungjawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila
tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan
24
Ibid, hlm. 46. 25
Ibid, hlm. 48. 26
Ibid, hlm. 49.
26
sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dilihat dari sudut
kemampuan bertanggungjawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung
jawab yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika
tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggungjawaban pidana, oleh sebab
itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang
telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini
dia mempunyai kesalahan
Kemampuan bertanggungjawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk
membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini
sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur
kemampuan bertanggungjawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada
umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggungjawab, kecuali
kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak
normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap
keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya
masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggungjawab tidak
berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan
berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. 27
Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 Ayat 1 KUHP
yang mengatur: “Bbarangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau
terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut Moeljatno, bila tidak
27
Ibid hlm. 49.
27
dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal
dikarenakan dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan.apabila
hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan
apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu syarat psikiatris dan syarat psikologis.
Penjelasan mengenai kedua syarat tersebut adalah sebagai berikut:
a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya
atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin
ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini harus
terus menerus.
b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku
melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang
timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi
sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman28
Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk,
adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan
perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Kemampuan untuk menentukan
kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah
merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah
lakunya dengan keinsyafan atas mana yang diperbolehkan dan mana yang tidak.
Sebagai konsekuensi dari dua hal tersebut maka orang yang tidak mampu
menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia
tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu
tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dinyatakan bahwa pertanggungjawaban
pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan tindak pidana atau
melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, maka orang
28
Ibid, hlm. 51.
28
tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan kesalahannya.
Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan
tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai
kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat
menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang
tersebut.
Hal yang mendasari pertangungjawaban tindak pidana adalah pemahaman bahwa
setiap manusia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa dengan akal budi dan nurani
yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang
buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam
menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia
memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Selain
untuk mengimbangi kebebasan, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung
jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.
D. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana
Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh
menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana
benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183
KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a). Keterangan Saksi; (b).
Keterangan Ahli; (c). Surat; (d). Petunjuk; (e). Keterangan Terdakwa atau hal yang
secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184)
29
Pasal 185 Ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak
cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakan kepadanya, sedangkan dalam Pasal 185Ayat (3) dikatakan ketentuan
tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya (unus
testis nullus testis). Saksi korban juga berkualitas sebagai saksi, sehingga apabila
terdapat alat bukti yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185Ayat (3)
KUHAP, maka hal itu cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana. 29
Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan,
mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu:
(1) Kesalahan pelaku tindak pidana
Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang.
Kesalahan di sini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya
pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana
harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk
menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa
demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan
dan niat adalah hakim.
(2) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana
Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut
mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum
(3) Cara melakukan tindak pidana
Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan
terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terapat
unsur niat di dalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.
(4) Sikap batin pelaku tindak pidana
Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa
penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut.
Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga
korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.
(5) Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi
Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga
sangat mempengaruhi putusan hakim yaitu dan memperingan hukuman
bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tidak pidana
apa pun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang
berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).
29
Satjipto Rahardjo. Op cit, hlm. 11.
30
(6) Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana
Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan
tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya.Maka hal
yang di atas juga menjadi pertimbangan bagi hakim untuk memberikan
keringanan pidana bagi pelaku. Karena hakim melihat pelaku berlaku
sopan dan mau bertanggung jawab, juga mengakui semua perbuatannya
dengan cara berterus terang dan berkata jujur. Karena akan
mempermudah jalannya persidangan.
(7) Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku
Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku
tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi
perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku,
memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga
menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.
(8) Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh
pelaku
Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakaan pelaku
adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk
dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan
pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri
sendiri dan orang lain. Hal tersebut dinyatakan bahwa ketentuan ini
adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian
hukum. 30
Aspek secara kontekstual yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam
melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah tiga esensi:
a. Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan
b. Tidak seorangpun termasuk pemerintah dapat mempengaruhi atau
mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim
c. Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas
dan fungsi yudisialnya.31
Hakim sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman mempunyai kewenangan dalam
peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh
hakim melalui putusannya. Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan
putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, di mana dalam perkara pidana,
hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya
30
Barda Nawawi Arief, op cit, hlm. 77. 31
Ahmad Rifai. op cit, hlm. 103.
31
menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti,
disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan
hakim yang dilandasi denganintegritas moral yang baik.
32
III. METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Masalah
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode,
sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau
beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisanya.32
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara
pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris.
1. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, melihat dan
menelaah mengenai beberapa hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-
asas hukum, konsepsi, pandangan, doktrin-doktrin hukum, peraturan hukum dan
sistem hukum yang berkenaan dengan permasalahan penelitian ini.
Pendekatan masalah secara yuridis normatif dimaksudkan untuk memperoleh
pemahaman tentang pokok bahasan yang jelas mengenai gejala dan objek yang
sedang diteliti yang bersifat teoritis berdasarkan atas kepustakaan dan literatur
yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas. Penelitian ini bukanlah
memperoleh hasil yang dapat diuji melalui statistik, tetapi penelitian ini
32Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. 1983, hlm. 43.
33
merupakan penafsiran subjektif yang merupakan pengembangan teori-teori dalam
kerangka penemuan ilmiah.
2. Pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk mempelajari hukum dalam
kenyataan atau berdasarkan fakta yang didapat secara objektif di lapangan, baik
berupa pendapat, sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang didasarkan pada
identifikasi hukum dan efektifitas hukum.
B. Sumber dan Jenis Data
Jenis data dilihat dari sumbernya dapat dibendakan antara data yang diperoleh
langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dai bahan pustaka33
. Data tersebut
yaitu:
1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dengan wawancara
dengan narasumber penelitian.
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dengan studi pustaka yang terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
a. Bahan Hukum Primer, adalah berupa perundang-undangan yang terdiri dari:
1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana.
3) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
33
Ibid, hlm.11.
34
4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Republik Indonesia.
b. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang berhubungan dengan
bahan hukum primer, terdiri dari:
1) Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua
atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
2) Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Kbarang Nomor 3/Pid.Sus-
TPK/2017/PT.TJK.
c. Bahan Hukum Tersier, bersumber dari bahan-bahan hukum yang dapat
membantu pemahaman dalam menganalisa serta memahami permasalahan,
seperti literatur, kamus hukum dan sumber lain yang sesuai.
C. Penentuan Narasumber
Penelitian ini membutuhkan narasumber sebagai sumber informasi untuk
memberikan penjelasan terkait dengan permasalahan yang dibahas. Narasumber
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1). Hakim Tipikor pada Pengadilan Tinggi Tanjung Kbarang = 1 orang
2). Dosen Bagian Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung = 1 orang+
Jumlah = 2 orang
35
D. Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data
1. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan teknik studi pustaka dan studi
lapangan:
a. Studi pustaka (library research), adalah pengumpulan data dengan menelaah
dan mengutip dari bahan kepustakaan dan melakukan pengkajian peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan bahasan
b. Studi lapangan (field research), dilakukan sebagai usaha mengumpulkan
data secara langsung di lapangan penelitian guna memperoleh data yang
dibutuhkan34
Studi lapangan dilaksanakan dengan wawancara (interview),
yaitu mengajukan tanya jawab kepada responden penelitian dengan
menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan.
2. Prosedur Pengolahan Data
Setelah melakukan pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan data
lapangan atau data empirik, sehingga data yang diperoleh dapat mempermudah
permasalahan yang diteliti. Pengolahan data meliputi tahapan sebagai berikut:
a. Seleksi Data. Data yang terkumpul kemudian diperiksa untuk mengetahui
kelengkapan data selanjutnya data dipilih sesuai dengan permasalahan yang
diteliti.
b. Klasifikasi Data. Penempatan data menurut kelompok-kelompok yang telah
ditetapkan dalam rangka memperoleh data yang benar-benar diperlukan dan
akurat untuk kepentingan penelitian.
34
Ibid, hlm.61.
36
c. Sistematisasi Data. Penempatan data yang saling berhubungan dan
merupakan satu kesatuan yang bulat dan terpadu pada subpokok bahasan
sesuai sistematika yang ditetapkan untuk mempermudah interpretasi data.
E. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif, yaitu dengan cara
dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang mudah dibaca dan
dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan guna menjawab
permasalahan penelitian. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif, artinya
hasil penelitian ini dideskripsikan dalam bentuk penjelasan dan uraian kalimat yang
mudah dibaca, dimengerti untuk diinterprestasikan dan ditarik kesimpulan.
Penarikan kesimpulan dilakuan secara induktif, yaitu menarik kesimpulan
berdasarkan hal-hal yang bersifat khusus lalu disimpulkan secara umum dan
selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.
74
berikut:
1. Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dana
program rehabilitasi rumah tidak layak huni dilakukan dengan penjatuhan pidana
penjara selama 2 (dua) tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) subsider (2) dua bulan kurungan sebagaimana tertuang dalam
Putusan Pengadilan Nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK, karena perbuatan
tersebut telah memenuhi unsur-unsur pertanggungjawaban pidana yaitu pelaku
telah cakap atau dewasa untuk melakukan perbuatan hukum, tidak ada alasan
pembenar dan alasan pemaaf bagi terdakwa dalam melakukan korupsi dana
program rehabilitasi rumah tidak layak huni, sehingga pelaku harus
mempertanggungjawabkan tindak pidana korupsi karena memenuhi unsur
kesengajaan.
2. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana dalam perkara
tindak pidana korupsi dana program rehabilitasi rumah tidak layak huni pada
Putusan Nomor: 3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK sesuai dengan salah satu teori
putusan hakim, yaitu teori keseimbangan, di mana terdapat keseimbangan antara
syarat-syarat yang ditentukan undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang
V. PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai
75
tersangkut atau berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya
keseimbangan yang berkaitan dengan masyarakat dan kepentingan terdakwa
terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
korupsi sebagaimana didakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum. Hakim juga
mempertimbangkan bahwa pemidanaan adalah untuk memberikan efek jera dan
sebagai pembinaan terhadap terdakwa.
B. Saran
Saran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pemerintah disarankan untuk meningkatkan pengawasan terhadap program
pembangunan di desa melalui dana bantuan pemerintah untuk pembangunan dan
kelengkapan sarana prasarana dalam rangka meminimalisir terjadinya korupsi
yang dapat merugikan keuangan negara.
2. Majelis hakim yang menangani tindak pidana korupsi di masa yang akan datang
diharapkan untuk lebih konsisten mengemban amanat pemberantasan tindak
pidana korupsi, dengan cara lebih cermat dan tepat dalam menjatuhkan putusan
terhadap pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam terjadinya atau mempermudah terlaksananya tindak pidana korupsi.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Alatas, Syed Husein. 1983. Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan Dengan Data
Kontemporer, Jakarta: LP3ES.
Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana. Binacipta. Bandung.
----------. 1996. Sistem Peradilan Pidana, Prespektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme, Binacipta, Bandung.
----------. 2003. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track
System dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Halim, Abdul. 2004. Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Rajawali Press.
Hamzah, Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia
Indonesia. Jakarta.
----------, 2001. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Ghalia Indonesia.
Jakarta.
Harahap, M. Yahya. 2008. Upaya Hukum Luar Biasa. Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan,
Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika. Jakarta.
Hutahuruk, Rufinus. 2013. Penaggulangan Kejahatan Korporasi Melalui
Pendekatan Restoratif Suatu Terobosan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Lamintang, P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra
Adityta Bakti. Bandung.
Manan, Bagir, 2005. Sistem Peradilan Berwibawa. FH UII, Yogyakarta.
Marpaung, Leden. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Sinar Grafika.
Jakarta.
Moeljatno. 1993. Asas-Asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta.
----------, 1993. Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum
Pidana, Bina Aksara, Jakarta.
Muladi. 1997. Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Badan
Penerbit UNDIP. Semarang.
Mulyadi, Lilik. 2007. Kekuasaan Kehakiman, Surabaya: Bina Ilmu.
_______, 2010. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktik,
Teknik Penyusunan dan Permasalahannya, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Nawawi Arief, Barda. 2001. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.
----------, 2001. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti.Bandung.
Prodjodikoro, Wiryono. 1990. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Sumur
Simanjuntak, Bandung.
Reksodiputro, Mardjono. 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat
Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi) Pusat
Keadilan dan Pengabdian Hukum UI. Jakarta.
Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum
Progresif, Jakarta: Sinar Grafika.
Rahardjo, Satjipto. 1998. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan
Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Jakarta.
Soekanto, Soerjono. 1983. Pengantar Penelitian Hukum. Universitas Indonesia
Press. Jakarta.
Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Alumni.Bandung.
---------1988. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat. Sinar Baru,
Bandung.
Soepardi, Eddy Mulyadi. 2009. Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai
Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi. Bogor: Fakutas Hukum
Universitas Pakuan.
Sutiyoso, Bambang Sri Hastuti Puspitasari, 2005. Aspek-Aspek Perkembangan
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. UII Press, Yogyakarta.
B. UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN LAINNYA
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.
Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Putusan Pengadilan Tinggi Tanjung Karang Nomor 3/Pid.Sus-TPK/2017/PT.TJK.