analisis perbandingan fatwa majelis tarjih dan...
TRANSCRIPT
-
i
ANALISIS PERBANDINGAN FATWA MAJELIS TARJIH DAN
TAJDID PP MUHAMMADIYAH NOMOR: 8 TAHUN 2006 DAN
HASIL MUKTAMAR TARJIH SIDOARJO TAHUN 1968
TENTANG BUNGA BANK
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H)
Oleh:
Iqbal Fadil Firdausi
NIM: 1111043100014
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
-
v
ABSTRAK
Iqbal Fadil Firdausi (1111043100014), Analisis Perbandingan Fatwa Majelis
Tarjih Dan Tajdid PP Muhammadiyah Nomor: 8 Tahun 2006 Dan Hasil
Muktamar Tarjih Sidoarjo 1968 Tentang Bunga Bank. Konsentrasi
Perbandingan Madzhab Fiqih Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam skripsi ini adalah, untuk
mengetahui lebih jelas tentang metode fatwa Muhammadiyah dan untuk mengetahui
isi fatwa dalam Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Nomor. 8 Tahun 2006 dan
hasil Muktamar Tarjih Sidoarjo Tahun 1968 yang berisikan tentang bunga bank, serta
untuk mengetahui faktor penyebab yang menimbulkan perubahan hukum terkait
Fatwa Muhammadiyah Nomor: 8 Tahun 2006 dan hasil Muktamar Sidoarjo1968..
Metode penetapan fatwa Muhammadiyah adalah bersumber dari Al-Qur’an
dan As-Sunnah As-Shohihah, kemudian memakai ijtihad dan istinbath dari nash yang
ada melalui persamaan illat sebagai tambahan dalam menetapkan fatwa. Dalam Fatwa
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Nomor: 8 Tahun 2006 memutuskan bahwa
bunga bank itu haram dan dalam muktamar Sidoarjo menjelaskan bahwa bank yang
dikelola oleh Pemerintah itu musytabihat sedangkan yang dikelola swasta itu haram.
Perbedaan antara Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah No. 8 Tahun 2006 dan
Muktamar Sidoarjo 1968 pada dasarnya bank swasta adalah milik individu atau
kelompok cenderung melakukan untuk memperkaya individu dan jika dibandingkan
dengan bank pemerintah yang dikelola oleh Negara biasanya akan berbalik lagi
kebutuhannya kepada masyarakat dalam bentuk infrastruktur, pmbangunan, dan lain-
lain.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan sumber data primer dan sekunder. Kemudian dilengkapi dengan metode
perbandingan hukum dengan pendekatan wawancara tokoh Muhammadiyah
Kata kunci: Fatwa Muhammadiyah, Muktamar Sidoarjo, Bunga Bank
Pembimbing: Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag dan Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc, MA
Daftar Pustaka: Tahun 1964 s.d Tahun 2015
-
vi
بسم اهلل الرحمن الرحيمKATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, yang telah memberikan banyak kenikmatan dan senantiasa
memberikan hidayah-Nya sehingga dengan izin-Nya, skripsi dengan judul
“Analisis Perbandingan Fatwa Majelis Tarjih Dan Tajdid PP
Muhammadiyah Nomor: 8 Tahun 2006 Dan Hasil Muktamar Tarjih
Sidoarjo 1968 Tentang Bunga Bank” dapat terselesaikan.
Salawat teriring salam semoga selalu tercurahkan kepada bagindaNabi
Muhammad Saw yang telah membawa umatnya dari zaman Jahiliyyah ke zaman
Islamiyyah, kepada keluarga besar-Nya, Sahabat-Sahabat-Nya, Tabi’in, Tabi’it
Tabi’in, dan kita sebagai umat-Nya semoga mendapatkan syafa’at-Nya kelak.
Tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak tidaklah
mungkin skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing, membantu dan
memotivasi penulis, terutama:
1. Bapak. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak. Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si., Ketua Program Studi
Perbandingan Mazhab dan Hukum. Juga kepada Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc,
MA, Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab.
-
vii
3. Bapak. Dr. Drs. H. Mujar Ibnu Syarif sebagai Dosen Pembimbing Akademik
yang selama ini telah memberikan nasehat serta bimbingannya kepada penulis
selama masih dalam masa kuliah.
4. Bapak. Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag, Lc, MA.
Dosen Pembimbing Skripsi yang telah banyak membantu meluangkan waktu,
tenaga dan pikirannya di sela-sela kesibukan, serta memberikan bimbingan,
pengarahan dan dorongan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan
skripsi ini.
5. Seluruh Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali dengan
ilmu yang berharga, nasihat-nasihat penyemangat yang memberikan motivasi,
serta kesabaran dalam mendidik selama penulis melakukan studi.
6. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu memberikan
kelancaran kepada penulis dalam proses penyelesaian prosedur
kemahasiswaan, serta pemimpin dan segenap karyawan Perpustakaan Utama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan khususnya Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum, yang telah berkenan meminjamkan buku-buku
penunjang, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Orang tua tercinta, Ayahanda Firdaus Al Amim dan Ibunda Susiyanti yang
telah mengasuh, mendidik dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran
dan pengertian. Serta tiada henti memberikan do’a dan dukungan baik secara
moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
-
viii
8. Adik-adikku tercinta Nazilatul Habibah Firdausi, Laily Qomariyah Firdausi,
yang senantiasa mendoakan, menghibur dan memberikan semangat serta
dukungan selama proses penulisan skripsi ini.
9. Teman-teman PMF angkatan 2011 yang selalu membantu, mendukung dan
menemani selama proses penulisan skripsi ini terutama Uje, Rusydi, Hamdi,
Rizal, Qohar, Resty, Yusuf, Haikal, Azka, Abie, Taupik, Izzul dan yang
lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, semoga Allah memberikan
kemudahan dalam menyusuri kehidupan kita selanjutnya.
10. Adik-adik kelas PMH, Eko, Bili, Dzkri, Uday yang telah menfasilitasi tempat
dan buku-bukunya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skipsi ini.
11. Sahabat terdekat penulis, Beinart, Bhakti, Dwox, Garenk, Roni, Rengat yang
selalu memberikan bantuan dan motivasinya.
12. Semua pihak yang telah membantu, serta memberi nasehat, sehingga
terselesaikannya penulisan skripsi ini dan semoga mereka diberikan ganjaran
yang setimpal.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan para pembaca. Amin.
Jakarta: 11 Januari 2017M
13 Jumadil Awal 1438 H
Penulis
-
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................... ii
SURAT PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................ iv
ABSTRAK ................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .................................. 4
1. Pembatasan Masalah ..................................................... 4
2. Perumusan Masalah ....................................................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................ 5
1. Tujuan Penelitian ........................................................... 5
2. Manfaat Penelitian ......................................................... 5
D. Metode Penelitian ................................................................ 6
1. Jenis Penelitian ................................................................ 6
2. Sumber Data .................................................................... 7
3. Teknik Pengumpulan Data .............................................. 8
4. Teknik Analisis Data ....................................................... 8
5. Teknik Penulisan ............................................................. 9
-
x
E. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu ................................... 9
F. Sistematika Penulisan .......................................................... 12
BAB II FATWA DALAM HUKUM ISLAM ..................................... 14
A. Pengertian Fatwa ................................................................. 14
B. Metode Penetapan Fatwa ..................................................... 18
C. Kedudukan Fatwa ................................................................ 21
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG RIBA DAN BUNGA
BANK ......................................................................................... 25
A. Pengertian Riba dan Dasar Hukum Riba ............................. 25
B. Macam-Macam Riba dan Jenis Barang Riba ....................... 32
C. Pengertian Bunga Bank ........................................................ 34
D. Macam-Macam Bunga Bank ............................................... 38
E. Hubungan Riba dengan Bunga Bank ................................... 39
BAB IV BUNGA BANK DALAM PANDANGAN MUHAMMADIYAH
A. Metode Penetapan Fatwa Muhammadiyah ......................... 45
B. Fatwa Muhammadiyah No. 8 Tahun 2006 Tentang ...........
Bunga Bank ......................................................................... 51
C. Hasil Muktamar Tarjih Sidoarjo Tahun 1968 Terkait ........
Bunga Bank ......................................................................... 53
D. Analisis Fatwa Muhammadiyah No. 8 Tahun 2006 ............
dengan Hasil Muktamar Tarjih Sidoarjo 1968 .................... 57
-
xi
BAB V PENUTUP .................................................................................. 62
A. Kesimpulan .......................................................................... 62
B. Saran .................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 65
LAMPIRAN-LAMPIRAN ......................................................................... 70
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Uang adalah sesuatu yang diterima secara umum yang digunakan para pelaku
ekonomi sebagai alat pembayaran dari transaksi ekonomi yang dilakukan seperti
pembelian barang, jasa serta pembayaran hutang.1
Berbicara tentang uang, tentu saja tidak akan terlepas dari lembaga keuangan
khususnya bank yang merupakan pusat sirkulasi uang. Pada dasarnya lembaga
keuangan khususnya bank merupakan sebuah perantara bagi pihak yang kelebihan
dana dengan pihak yang kekurangan dana. Singkatnya Bank merupakan perantara
kebutuhan keuangan masyarakat. Dari sini dapat kita lihat betapa eratnya hubungan/
keterkaitan antara uang dengan bank dalam perekonomian masyarakat.
Bank sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit
dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang, tujuannya adalah
mencari keuntungan. Komoditi dagangan utamanya adalah uang.2 Komoditi
dagangan dalam bentuk uang tesebut akan dijual dengan harapan mendapatkan gain
untuk keperluan membiayai kelangsungan hidup dan operasi bank. Karena itu dalam
melaksanakan fungsinya, bank membeli (uang) dari masyarakat pemilik dana dengan
suatu harga tertentu yang biasa disebut bunga kredit. Sebaliknya bank akan menjual
1 Subagyo, dkk, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (STIE: Yogyakarta), 2002, h. 4
2 Husni Thoyar, Konsep Ta’abudi dan Ta’aqquli Perspektif Al-Syatibi dan Aplikasinya dalam
Hukum Islam, (Jakarta : Uhamka Press),2004, h. 99
-
2
(uang) dalam bentuk pemberian pinjaman dengan suatu harga tertentu yang dikenal
dengan bunga debet. Dengan demikian bunga bank itu, pada hakekatnya menyangkut
dua pengertian yaitu suku bunga kredit berupa bunga yang dibayar oleh bank kepada
pemilik dana, dan suku bunga debet berupa bunga yang ditetapkan oleh bank yang
harus dibayar oleh pemakai dana atau peminjam bank.3
Menurut UU RI No.10 Tahun 1998 tentang perbankan menjelaskan yang
dimaksud bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat dalam bentuk
kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat
banyak. Dari pengertian bank tersebut maka dapat disimpulkan mengenai kegiatan
suatu bank yaitu bank mengumpulkan uang dari masyarakat biasanya dalam bentuk
tabungan, kemudian bank juga dapat menyalurkan dana yang telah dikumpulkan
untuk digunakan sebagai pinjaman bagi mereka yang membutuhkan modal.
Namun dalam operasionalnya, bank khususnya bank konvensional memiliki
suatu sistem yang disebut bunga, yang dapat diartikan sebagai tanggungan pada
pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan prosentase dari uang yang
dipinjamkan atau bunga juga dapat disebut sejumlah uang yang dibayar atau
dikalkulasi untuk penggunaan modal, jumlah tersebut misalnya dinyatakan dengan
3 Husni Thoyar, Konsep Ta’abudi dan Ta’aqquli Perspektif Al-Syatibi dan Aplikasinya dalam
Hukum Islam, h. 100
-
3
satu tingkat atau prosentase modal.4 Dengan sistem semacam ini, menimbulkan
permasalahan tersendiri bagi bank konvensional.
Dalam hal keharaman bunga, bank Majelis Ulama Indonesia telah
menetapkan hukum mengenai bunga bank tersebut melalu Fatwa yang
dikeluarkannya yaitu Fatwa MUI No. 1 tahun 2004 tentang bunga. Lalu pada
pandangan Nahdlatul Ulama (NU) didalalam forum Bahsul Masailnya pada
muktamar NU XII di Malang ada tiga hukum yang terbentuk, yang petama haram
karena termasuk barang yang dipungut manfatnya, halal karena tidak ada syarat
dalam waktu akad, sebab menurut para ahli hukum terkenal, bahwa adat yang berlaku
itu tidak termasuk mejadi syarat, syubhat karena tidak tentu halal haramnya.5 Begitu
pula salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia yaitu Muhammadiyah, juga
mengeluarkan fatwa mengenai bunga yaitu Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid
Pimpinan Pusat Muhamadiyah No.8 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa bunga
bank yang berasal dari bank swasta maupun bank pemerintah adalah riba. Namun
sebelumnya pada muktamar Muhammadiyah yang diadakan di Sidoarjo pada tanggal
27-31 Juli 1968 telah menghasilkan fatwa terkait bunga bank yang menetapkan
bahwa bunga bank yang dikelola oleh bank swasta adalah riba sedangkan bunga bank
yang ada pada bank pemerintah adalah musytabihat.6 Dari dua fatwa tersebut terlihat
4 Muhammad, Bank Syariah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan
Ancaman,(Yogyakarta: Ekonisia), 2003, hal.28 5 Moh. Nashiruddin , “Perspektif NU tentang Bunga Bank”, Ummul Qura, Vol V, No. 1,
(Maret 2015), h. 110 6 Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP Muhammadiyah, 1 Abad
Muhammadiyah, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), h.245
-
4
perbedaan mengenai hukum bunga bank padahal dua fatwa tersebut dikeluarkan oleh
satu organisasi yang sama yaitu Muhammadiyah.
Melihat perbedaan kedua fatwa tersebut penulis tertarik untuk membahas hal-
hal terkait perubahan hukum yang dikeluarkan oleh Muhammadiyah melalui
fatwanya tentang bunga bank. Untuk penelitian ini penulis memberi judul “Analisis
Perbandingan Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Nomor: 8
Tahun 2006 dan Hasil Muktamar Tarjih Sidoarjo Tahun 1968 tentang Bunga
Bank”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
a. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka diperlukanlah
sebuah batasan masalah yang menjadi fokus dalam pembahasan skripsi ini. Hal ini
berguna untuk memudahkan dan mengefektifkan pembahasan. Dengan demikian,
penulis membatasi permasalahan dalam penulisan skripsi ini seputar pembahasan
yang termasuk dalam bidang fikih muamalah, yaitu mengenai bunga bank dan riba
menurut hukum Islam, namun lebih dispesifikan kepada dua fatwa tentang bunga
bank yang dikeluarkan oleh satu organisasi masyarakat Islam, yaitu muhammadiyah.
Penelitian ini membahas suatu perbandingan antara satu fatwa tersebut dengan yang
lainnya.
b. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka penulis merumuskan
permasalahan yaitu:
-
5
1. Bagaimanametode fatwa Muhammadiyah ?
2. Bagaimana penjelasan fatwa Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah Nomor
8 dan hasil Muktamar Tarjih Sidoarjo Tahun 1968 tentang bunga Bank?
3. Apakah faktor penyebab yang menimbulkan perubahan hukum khususnya
terkait fatwa Muhammadiyah nomor: 8 tahun 2006 dan hasil Muktamar
Muhammadiyah Sidoarjo tahun 1968?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
a. Tujuan penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui lebih jelas bagaimana penjelasan umum tentang metode
fatwa Muhammadiyah
2. Untuk mengetahui penjelasan tentang isi fatwa Majlis Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah Nomer 8 Tahun 2006 dan Muktamar Tarjih Sidoarjo Tahun
1968 tentang bunga bank
3. Untuk mengetahui faktor penyebab yang menimbulkan perubahan hukum
khususnya terkait Fatwa Muhammadiyah Nomor: 8 Tahun 2006 dan hasil
Muktamar Muhammadiyah Sidoarjo Tahun 1968.
b. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu untuk memberikan manfaat dan
kegunaan bagi pembacanya. Adapun manfaat yang dimaksud terbagi menjadi dua
macam, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis;
-
6
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan untuk menambah pengetahuan dan dapat
dijadikan sebagai referensi tambahan dalam memahami hukum Islam di bidang
muamalat umumnya, khususnya dalam permasalahan bunga bank.
2. Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah untuk
memberikan pemahaman mengenai faktor penyebab yang menimbulkan perubahan
hukum khususnya terkait Fatwa Muhammadiyah Nomor: 8 Tahun 2006 dan hasil
Muktamar Muhammadiyah Sidoarjo Tahun 1968.
D. Metode Penelitian
Agar penelitian ini dapat terlaksana secara rasional dan terarah serta
mendapatkan hasil yang maksimal, maka diperlukan metode atau cara yang
sistematis. Dalam ilmu metode penelitian terdapat berbagai macam jenis penelitian
yang dapat digunakan untuk melakukan sebuah penelitian. Demi tercapainya hasil
yang bermanfaat, maka suatu penelitian haruslah jelas metode penelitiannya, mulai
dari jenisnya, sumber-sumbernya dan teknik-teknik pengolahan datanya, seperti yang
dijelaskan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris dengan
menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu dengan cara
menguraikan dan mendeskripsikan hasil dari penelitian yang peneliti dapatkan
-
7
melalui penelitian yang dilakukan. Selain itu, penelitian ini bersifat terbatas yang
berusaha mengungkapkan masalah dan keadaan sebagaimana adanya, sehingga
hanya merupakan penyingkapan fakta.7
Adapun corak penelitian yang dipakai adalah studi kepustakaan dan
penelitian lapangan. Studi pustaka adalah suatu karangan ilmiah yang berisi pendapat
berbagai pakar mengenai suatu masalah, yang kemudian ditelaah, dibandingkan, dan
ditarik kesimpulannya.8 Dalam penelitian ini, peneliti akan menganalisa pendapat
beberapa ulama. Penelitian lapangan adalah penelitian yang dilakukan dengan
melakukan wawancara. Dalam penelitian ini, peneliti akan mewawancarai tokoh dari
salah satu organisasi masyarakat terkemuka yaitu Muhammadiyah.
2. Sumber Data
a) Data Primer
Yang menjadi bahan hukum primer dalam penelitian hukum ini adalah hasil
dari fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah yang tercantum dalam Nomor
8Tahun 2006 yang kemudian baru diresmikan melalui sidang pleno Musyawarah
Nasional Tarjih ke-27 yang digelar diaula Biro Administrasi Umum Universitas
Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, pada hari Sabtu tanggal 3 April tahun 2010
yang menetapkan bahwa bunga bank hukumnya adalah haram karena sama dengan
riba. Dan kitab-kitab fikih yang berkaitan dengan pokok pembahasan penelitian dan
7 Herman Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,
1992), h. 10. 8 Haryanto A.G., Metode Penulisan dan Penyajian Karya Ilmiah, (Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran, 2000), h. 78.
-
8
hasil wawancara yang dicatat dan direkam oleh peneliti dengan informan yang
sedang dijadikan sampel dalam penelitian.
b) Data sekunder
Data sekunder adalah berbagai dokumen yang berkaitan dengan
permasalahan dalam penelitian yang didapat dari bahan-bahan pustaka berupa buku,
kitab-kitab Turats, artikel ilmiah, berita-berita di media masa, dan lainnya.9
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah kajian
kepustakaan yaitu upaya pengidentifikasi secara sistematis dan melakukan analisis
terhadap dokumen-dokumen yang memuat informasi yang berkaitan dengan tema,
objek dan masalah penelitian yang akan dilakukan.10
Selain itu, peneliti juga akan
melakukan wawancara yakni proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan
menggunakan instrument pengumpulan data yang dinamakan interview guide
(panduan wawancara).11
4. Teknik Analisis Data
9J.Moelang, MetodePenelitianKualitatif, cet. Ke-8 (Bandung:RemajaRosadaKarya, 1997) h.
112-116 10
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,(Jakarta:Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010) h. 17-18 11
Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), h. 234.
-
9
Teknik analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk
yang lebih mudah dibaca dan diinterpensikan, atau mudah dipahami dan
diinformasikan kepada orang lain.12
Pada tahapan analisis data, data diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa
sampai dapat menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang dapat dipakai untuk
menjawab persoalan yang diajukan dalam penelitian. Adapun data-data tersebut
dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu suatu metode
menganalisis dan menjelaskan suatu permasalahan dengan memberikan suatu
gambaran secara jelas sehingga menemukan jawaban yang diharapkan.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulisan mengacu pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”.
E. Review (Kajian) Studi Terdahulu
Berdasarkan penelusuran yang peneliti lakukan terhadap beberapa penelitian,
peneliti menemukan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, yang
memiliki beberapa kesamaan. Meskipun penelitian sebelumnya yang peneliti
temukan memiliki kesamaan dengan yang sedang peneliti lakukan, namun penelitian
tersebut tetap memiliki beberapa perbedaan.
Beberapa penelitian tersebut antara lain, sebagai berikut:
12
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, (Bandung: Alfabeta, 2004) h.244
-
10
1. Skripsi karya Lady Nahdhiyatul Ummah, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam,
jurusan muamalat, IAIN Walisongo Semarang, 2013, yang berjudul Analisis
Hukum Islam terhadap Fatwa Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah No.8
Tahun 2006 tentang bunga. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Majelis Tarjih
dan Tajdid Muhammadiyah dalam mengeluarkan fatwa haram terhadap bunga
bank menggunakan pertimbangan yang secara tegas dinyatakan bahwa bunga
bank adalah riba karena alasan: (1) merupakan tambahan atas pokok modal yang
dipinjamkan, Allah berfirman, “Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
maka bagimu pokok hartamu, (2) tambahan itu bersifat mengikat dan
diperjanjikan sedangkan yang bersifat sukarela dan tidak diperjanjikan tidak
termasuk riba. Kemudian dasar hukum yang digunakan Majelis Tarjih dan Tajdid
Muhammadiyah dalam menetapkan fatwa haram terhadap bunga bank adalah
berdasarkan al-Qur‟an dan Hadist atau assunnah Rasul, yang menyatakan bahwa
bunga bank (interest) sama dengan riba jadi hukumnya adalah haram.
2. Skripsi karya Imroatul Qoriah, Fakultas Hukum, Universitas Sebelas Maret
Surakarta, 2010, yang berjudul Analisis terhadap Pertimbangan dan Dasar
Hukum Hasil Majelis Tarjih dan Tajdid Muhamadiyah tentang Keharaman
Bunga Bank. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas yang
menjadi pertimbangan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam
menetapkan fatwa haram terhadap bunga bank dan untuk mengetahui secara jelas
dasar hukum yang digunakan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam
menetapkan fatwa haram terhadap bunga bank.
-
11
3. Skripsi karya Riza Yulistia Fajar, Fakultas Syariah, Jurusan Muamalat,
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2009, yang berjudul Riba dan Bunga
Bank dalam pandangan Muhammad Syafi‟i Antonio. Skripsi ini menjelaskan
tentang cara ber-istinbat melalui dua pendekatan yakni pendekatan ma’nawi
(argumentasi) dan pendekatan istislahi (mencari kemaslahatan). Dari kedua
metode yang digunakan, ia memberi kesimpulan bahwa bunga bank adalah riba.
4. Jurnal dari Syarifuddin, Jurnal Ilmiah Al-Syir‟ah Vol.9, No. 1, 2011, yang
berjudul Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah tentang Bunga Bank, pada jurnal
ini bertujuan untuk mengetahui secara jelas isi fatwa Muhammadiyah yang
berisikan tentang pengharaman bunga bank.
5. Jurnal dari Moh. Nashiruddin A. Ma‟mun, Jurnal Ummul Qura Vol. V, No. 1,
2015, yang berjudul tentang Perspektif NU tentang Bunga Bank (Refleksi Hasil
Mu‟tamar NU ke-2 Tahun 1927 di Surabaya dan Munas „Alim Ulama di Bandar
Lampung Tahun 1992), dalam jurna ini berisi tentang perspektif NU dalam
mengambil keputusan antara haram, halal,dan syubhat mengenai bunga bank.
Dari judul skripsi dan jurnal yang telah diuraikan di atas, penulis berpendapat
bahwa skripsi yang akan ditulis ini berbeda dengan karya ilmiah di atas. Dalam
penelitian ini penulis hanya akan memfokuskan permasalahan dalam perbedaan
fatwa antara Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Nomor: 8 Tahun 2006 dan
Hasil Muktamar Tarjih Sidoarjo Tahun 1968 tentang Bunga Bank Oleh karena itu,
penulis akan memberi judul skripsi ini dengan judul “Analisis Perbandingan Fatwa
-
12
Majlis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Nomor: 8 Tahun 2006 dan Hasil
Muktamar Sidoarjo Tahun 1968 tentang Bunga Bank”.
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Dalam penyusunan skripsi ini penulis membagi dalam lima bab, yang masing-
masing bab terdiri dari sub bab yang disesuaikan dengan isi dan maksud tulisan ini.
Pembagian kedalam beberapa bab dan sub bab adalah bertujuan untuk memudahkan
pembahasan terhadap isi penulisan ini. Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut:
Bab I : Pendahuluan
Bab I meliputi latar belakang, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian review (kajian) studi terdahulu, dan sistematika
penulisan skripsi.
Bab II :Fatwa dalam Hukum Islam
Bab II meliputi pengertian tentang Fatwa dalam hukum Islam, Metode Pembuatan
Fatwa, Kedudukan Fatwa dalam Hirarki Dalil Hukum Islam.
Bab III :Tinjauan Umum tentang Riba dan Bunga Bank
BAB III ini meliputi Pengertian Riba dan Dasar Hukum Riba, Macam-Macam Riba
dan Jenis Barang Riba, Pengertian Bunga Bank, Macam-Macam Bunga Bank,
Hubungan Riba dengan Bunga Bank.
Bab IV :Bunga dalam Pandangan Muhammadiyah
-
13
Dalam Bab IV ini penulis akan membahas tentang metode Fatwa Muhammadiyyah,
fatwa Muhammadiyah No. 8 Tahun 2006 Tentang Bunga bank, Hasil Muktamar
Muhammadiyah Sidoarjo Tahun 1968 terkait bunga bank, Analisis Perbandingan
Fatwa Muhammadiyah No. 8 Tahun 2006 dan hasil muktamar Muhammadiyah
sidoarjo tahun 1968
Bab V :Penutup yang Meliputi Kesimpulan dan Saran
Dalam Bab V ini penulis akan mengakhiri penulisan ini dengan memberikan
beberapa kesimpulan dan juga akan menyampaikan beberapa saran yang
berhubungan dengan kajian penulisan.
-
14
BAB II
FATWA DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Fatwa
Fatwa bagi sebagian orang sebagai sebuah ketentuan yang harus
dijalankan juga sebagai anjuran.Fatwa berasal dari bahasa Arab aftaa-yufti,yang
secara sederhana berarti memberi keputusan.1 Sedangkan fatwa itu sendiri berarti
jawaban pertanyaan hukum atau petuah. Fatwa adalah suatu jawaban resmi
terhadap pertanyaan atau persoalan penting menyangkut dogma atau hukum, yang
diberikan oleh seseorang yang mempunyai otoritas untuk melakukannya.2
Fatwa secara etimologi (bahasa) ialah:
انَشْرِعَّيِةَاِوانَقاُنْوِنَّيِة ِمانَمَساِئ اْنَجَواُب َعّما ُيْشِكُم ِمَن3
Artinya: “Jawaban dari permasalahan-permasalahan syariah dan hukum”
Fatwa secara terminologis berarti penjelasan hukum syar‟i dalam
menjawab suatu persoalan yang diajukan seseorang, baik penjelasannya jelas
(terang) atau tidak jelas (ragu-ragu) baik penjelasan itu mengarah pada
kepentingan pribadi atau kepentingan masyarakat.4
Menurut Khalil Ahmad, terkadang fatwa dibaca al-futya. Bentuk plural al-
fatwa adalah al-afta‟. Sebagai contoh, jika si fulan adalah seorang mujtahid yang
1 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: PT. Mahmud Yunus wa Dzurriyah,
2010), h. 308 2 M.B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia, Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, terjemahan
Iding Rosyidin Hasan, h. 21. 3 Ahmad Mukhtar Umar, Mu‟jam al-Lughah al-Arabiyya al-Mu‟ashirah, (Kairo: „Alim
al-Kutub, 2008), juz III, h. 1672 4 Fuad Thohari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi DA‟I, (Jakarta: Majelis Ulama
Indonesia, 2012), h 58
-
15
dihadapkan pada persoalan seseorang yang menikah tanpa wali, kemudian si fulan
memikirkannya dengan menggunakan dalil syar‟i atau dengan isinbath hukum,
kemudian mengambil kesimpulan bahwa tidak sah nikah tanpa wali, kesimpulan
ini disebut fatwa. Fulan yang berfatwa disebut mufti dan orang yang meminta
fatwa disebut mustafti.5
Fatwa dapat didefinisikan sebagai pendapat mengenai suatu hukum Islam
yang merupakan tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh
peminta fatwa dan tidak mempunyai daya ikat. Fatwa biasanya cenderung
dinamis, karena merupakan tanggapan terhadap perkembangan baru yang sedang
dihadapi masyarakat peminta fatwa. Isi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis,
tetapi minimal fatwa itu responsif.
Fatwa merupakan salah satu metode dalam Al-Qur‟an dan al-Sunnah
dalam menerangkan hukum-hukum syara‟, ajaran-ajarannya, dan arahan-
arahannya.
Definisi tersebut juga ada dalam Al-Qur‟an, yang didalamnya terdapat
sebuah solusi dari suatu permasalahan. Seperti firman Allah SWT:
6
5 Fuad Thohari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi DA‟I, h. 59
6 QS al-Nisa[4]: 127
-
16
Artinya:. Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita. Katakanlah:
"Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan
kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang Para wanita
yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan
untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-
anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya
kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang
kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya.
(Q.S An-Nisa: 127)
Sedangkan fatwa secara terminologi (istilah) ialah:
َاإِلْخَباُر َعْن ُحْكِم اهلِل َتَعاَنى ِبُمْقَتَضى ْاأَلِدَنِة انَشْرِعَّيِة َعَهى ِجَّهِة اأُلُمْوِر َوانُشُمْوِل
Artinya: “Fatwa adalah menyampaikan hukum-hukum Allah berdasarkan dalil-
dalil syariah yang mencakup segala persoalan.”7
Fatwa juga adalah penjelasan hukum syara‟ berdasarkan dari dalil orang
yang meminta fatwa.8Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, fatwa adalah
jawaban (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah.9
Menurut Jalaluddin al-Suyuthi fatwa adalah pemberitahuan mengenai
hukum syara‟ tanpa ada sebuah penetapan, agar terbedakan antara fatwa dengan
hukum qodo‟i yang bersifat menetapkan/mengikat.10
Fatwa muncul karena adanya suatu perkara akibat perkembangan sosial
yang dihadapi oleh umat, karena itu fatwa mensyaratkan adanya orang yang
meminta atau kondisi yang memerlukan adanya pandangan atau keputusan
hukum. Dengan demikian, fatwa tidak persis dengan tanya jawab keagamaan
7 Khairul Umam dan A. Achyar Aminuddin, Ushul Fiqh II, (Bandung: Pustaka Setia),
2001, h. 175. 8 Mansur bin Yunus al-Buhuti, Syarah al-Muntaha, (Beirut:Alim al-Kutub, 1996). Juz 3
h. 483 9 Pusat Bahasa dan Budaya, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2007), Cet. Ke-3, h. 275 10
Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsir al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsiri al-Ma‟sur (Beirut: Daar el-
Fikr, 1983). Juz 6 h. 86
-
17
biasa seperti dalam pengajian-pengajian, bukan juga sekedar ceramah seputar
ajaran agama, fatwa senantiasa sangat sosiologis, ia mengandaikan adanya
perkembangan baru, atau kebutuhan baru yang secara hukum belum ada ketetapan
hukumnya atau belum jelas duduk masalahnya.11
Berbicara tentang fatwa tidak terlepas dari pembahasan mengenai masalah
ijtihad, karena fatwa dalam fiqih Islam sangat berkaitan dengan ijtihad yang
dihasilkan para ulama fiqih Islam. Namun yang membedakannya bahwa Ijtihad
sebagai suatu kepastian dalam mengantisipasi perubahan dan memecahkan
problematika zaman.12
Kemudian mencurahkan seluruh kemampuan untuk
menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil dzanni hingga batas tidak ada lagi
kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang dicurahkan. Adapun fatwa
hanya dilakukan ketika adakejadian secara nyata, lalu ulama ahli fiqih berusaha
mengetahui hukumnya. Dengan demikian, fatwa lebih spesifik dibandingkan
dengan ijtihad.13
Nabi Muhammad saw. mengancam dengan serius, orang-orang yang
berani mengeluarkan fatwa tanpa didasari ilmu yang memadai, yang berakibat
tidak saja dia sendiri tersesat tetapi juga menjerumuskan orang lain dalam jurang
kesesatan. Tidak dibenarkan fatwa hanya menuruti keinginan dan kepentingan
tertentu atau dugaan-dugaan semata tanpa didasarkan pada dalil Al-Qur‟an maupn
hadits.14
11
M. B Hooker, Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial, terj. Iding
Rosyidin Hasan, (Jakarta: Teraju, 2003), Cet. Ke-2, h. 16 12
Ali Syariati, Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi, (Bandung: Mizan, 1992), h. 72 13
Rohadi Abd. Fatah, Analisa Fatwa Keagamaan dalam Fiqih Islam, (Yogyakarta: Bumi
Aksara, 1991), h. 39
14
Fuad Thohari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi DA‟I, h. 60
-
18
B. Metode Penetapan Fatwa
Adanya metode dalam penetapan fatwa adalah sangat penting, sehingga
dalam setiap proses penetapan fatwa harus mengikuti metode tersebut. Sebuah
fatwa yang ditetapkan tanpa menggunakan metodologi, keputusan hukum yang
dihasilkannya kurang mempunyai argumentasi yang kokoh.
Ada beberapa metode yang dijadikan pedoman dalam menetapkan
fawa.Adapun metde-metode tersebut adalah sebagai berikut:
1. Metode Bayan (Analisa Kebahasan)
Metode ini dipergunakan untuk menjelaskan teks Al-Qur‟an dan al-
Sunnah dalam menetapkan hukum dengan menggunakan analisa kebahasan.
Kaidah kebahasan adalah kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para ahli bahasa
dan kemudian diadopsi oleh para ulama ushul fiqh untuk melakukan pemahaman
terhadap makna lafadz sebagai hasil analisa induktif dari tradisi kebahasaan
bangsa Arab sendiri.
Pembahasan metode bayani ini dalam kajian ushul fiqh mencakup:
a. Analisa berdasarkan segi makna lafazh.
b. Analisa berdasarkan segi pemakaian makna.
c. Analisa berdasarkan segi terang dan samarnya makna.
d. Analisa berdasarkan segi penunjukkan lafadz kepada makna menurut
maksud pencipta nash.
-
19
2. Metode Ta‟lili
Metode ini digunakan untuk menggali dan menetapkan hukumterhadap
suatu kejadian yang tidak ditemukan dalilnya secara tersurat dalam nash baik
secara qath‟i maupun dzanni, dan tidak juga ada ijma yang menetapkan
hukumnya, namun hukumnya tersirat dalam dalil yang ada. Isinbath seperti ini
ditujukan untuk menetapkan hukum suatu peristiwa dengan merujuk kepada
kejadian yang telah ada hukumnya, karena antara dua peristiwa itu terdapa
kesamaan illat hukumnya. Dalam hal ini, mufti menetapkan hukum suatu
peristiwa berdasarkan pada kejadian yang telah ada nashnya. Istibath jenis ini
dilakukan melalui metode qiyas atau istihsan.
Berdasarkan kegunaan praktisnya, illat dapat dibedakan kepada tiga
kategori, yaitu:15
1) Illat tasyri‟i, ialah illat yang digunakan untuk menentukan apakah hukum
yang dipahami dari nash tersebut memang harus tetap seperti adanya, atau
boleh dirubah kepada yang lainnya. Dalam illat tasyri‟iini tidak
dipersoalkan adanya qiyas atau tidak, karena penekanan kajiannya adalah
pada masalah itu sendiri.
2) Illat qiyasi, ialah illat yang dipergunakan untuk memberlakukan suatu
ketentuan nash pada masalah lain yang secara zahir tidak dicakupnya.
Dengan kata lain, illat ini digunakan untuk menjawab pertanyaan apakah
nash yang mengatur masalah “a” juga berlaku untuk menjawab masalah
15
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas Jakarta, 2008), h. 48
-
20
“b” (yang secara harfiah tidak dicakupnya, namun diantara kedua masalah
tersebut terdapat kesamaan sifat). Sifat yang sama inilah yang disebut illat.
3) Illat istihsani, adalah penalaran yang terfokus kepada dua „illat yang
berbeda sifat dan ukurannya. Kedua „illat yang berbeda tersebut
disamakan hukumnya karena ada pertimbangan khusus. Ta‟liliyah
semacam ini oleh para pakar hukum Islam dengan istihsan atau qiyas
khafi.Illat istihsani juga sebagai pengecualian maksudnya mungkin saja
ada pertimbangan khusus yang menyebabkan illat tasyri‟i tadi tidak dapat
berlaku terhadap masalah yang seharusnya ia cakup, atau begitu juga qiyas
tidak dapat diterapkan karena ada pertimbangan khusus yang
menyebabkannya dikecualikan. Dengan demikian illat kategori ini
mungkin ditemukan sebagai pengecualian dari yang pertama, sebagaimana
mungkin juga pengecualian dari kategori yang kedua.Yang membedakan
ketiga pengelompokkan illat ini hanyalah kegunaannya dan intensitas
persyaratannya. Sebagai contoh ialah kehalalan sisa daging yang dimakan
burung elang. Sebenarnya elang adalah tergolong jenis binatang buas.
Daging binatang buas juga haram dimakan. Oleh karena itu sisa daging
yang dimakan elang hukumnya juga haram.16
3. Metode Istishlahi
Metode ini dipergunakan untuk menggali, menemukan dan merumuskan
hukum syara‟ dengan cara menerapkan hukum kulli untuk perisiwa yang
ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash baik qath‟i maupun dzonni dan
16 http://alfatahabib.blogspot.co.id/2013/07/penalaran-talili.html diakses pada 15 Oktober
2016
http://alfatahabib.blogspot.co.id/2013/07/penalaran-talili.html
-
21
tidak memungkinkan mencari kaitannya dengan nash yang ada, belum diputuskan
dengan ijma dan tidak memungkinkan dengan qiyas atau istihsan. Jadi dasar
pegangan dalam ijtihad bentuk ini hanyalah jiwa hukum syara‟ yang bertujuan
untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dalam bentuk mendatangkan manfaat
(jalb al-manfaat) ataupun menolak kerusakan (dar u al-mafasid) dalam rangka
memelihara agama, kehidupan, akal, keturunan dan harta.17
C. Kedudukan Fatwa
Kedudukan fatwa dalam sistem hukum Islam sangat penting mengingat
permasalahan sosial semakin kompleks dibandingkan dengan permasalahan yang
terjadi pada masa Rasulullah dan para sahabat. Permasalahan yang dialami oleh
Rasulullah dan para sahabatnya tidak serumit yang dialami sekarang. Di sisi lain
Allah telah mencukupkan wahyunya dan hadits yang disampaikan oleh Rasulullah
untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada. Islam sebagai agama
terakhir dan Muhammad sebagai rasul terakhir membawa konsekuensi bahwa
aturan-aturan dan hadits yang telah berhenti ketika Rasulullah meninggal dunia
bisa digunakan untuk memecahkan permasalahan kekinian.18
Konsekuensi ini merupakan tugas dan tanggung jawab yang besar dan
berat yang dipikul oleh umat Islam, khususnya mereka yang memiliki gelar
sebagai Alim Ulama.19
Ulama yang menjadi pewaris nabi ini, termasuk
didalamnya adalah mufti. Mufti menjadi pewaris para nabi, karena dia
17
Ma‟ruf Amin, Fatwa dalam Sistem Hukum Islam, h. 48 18
Abi Zakariya Yahya bin Syaraf Al-Nawawi Al-Dimasqi, Adab al-Fatwa wa al-Mufti,
wa al-Mustafti, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1988), h. 13 19
Abi Zakariya Yahya bin Syaraf Al-Nawawi Al-Dimasqi, Adab al-Fatwa wa al-Mufti,
wa al-Mustafti, h. 19
-
22
bertanggung jawab untuk memberikan jawaban dan memecahkan permasalahan
yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, pekerjaan memberikan fatwa adalah
pekerjaan penting dan banyak keutamaannya. Fatwa adalah kata yang sering
disalah pahami. Ada yang menyangka, fatwa adalah sejenis dogma yang memiliki
daya ikat kuat seperti halnya Al Qur‟an, atau seperti konstitusi negara sehingga
bagi yang melanggarnya dapat dikenakan sanksi hukum. Tentu sangkaan itu
keliru sepenuhnya. Sebab, fatwa pada hakekatnya tidak lebih dari sebuah petuah,
nasehat, atau jawaban pertanyaan hukum dari individu ulama atau institusi
keulamaan, yang boleh diikuti atau justru diabaikan sama sekali.
Fatwa seorang mufti tidak mengikat siapapun, karena betapapun
kesungguhannya untuk bersikap obyektif, ia tidak dapat lepas dari unsur
subyektivitas berupa kecenderungan pribadi dan kemampuan daya nalarnya.
Pendeknya, fatwa bersifat ghair mulzim (tidak mengikat).20
Dan kebenaran fatwa
bersifat relatif sehingga selalu dimungkinkan untuk diubah seiring perubahan
ruang, waktu, dan tradisi. Jadi, mengubah teks fatwa bukanlah perkara tabu.21
Kriteria Mufti
Untuk menetapkan hukum Islam, seorang mufti harus memenuhi
persyaratan yang ditetapkan ulama. Secara khusus, syarat-syarat yang harus
dimiliki seorang mufti antara lain22
:
a. memahami Al-Qur‟an dan ilmu-ilmu yang terkait (ulum Al-Qur‟an)
20
M. Quraisy Shihab, Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah Mahdah, (Jakarta: Mizan, 1999), h. 9 21
Ibnu Qayym Al-Jauziah, I‟lam al-Muwaqi‟un, (Beirut: Daar al-Jalil 1973),h. 5
22
Fuad Thohari, Pedoman Penetapan Fatwa Bagi DA‟I, h. 62
-
23
b. mengetahui abab nuzul Al-Qur‟an dan asbab wurud al-hadits
c. mengetahui ayat Al-Qur‟an yang nasikhah (ayat yang menghapus) dan
ayat Al-Qur‟an yang mansukhah (ayat yang dihapus)
d. mengetahui secara persis ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat
musytabihat
e. mengetahui secara detail penta‟wilan Al-Qur‟an dan penafsirannya
secara valid dan akurat
f. mengetahui secara mendetail tentang hadits-hadits Rasulullah Saw
g. mengetahui ayat-ayat makiyah dan madaniyah
h. mengetahui ilmu-ilmu agama Islam secara menyeluruh, seperti ilmu
Fikih, Ushul Fikih, Ilmu Kalam, Ilmu Nahwu, Balaghah, dan ilmu lain
yang menunjang dalam menetapkan fatwa
i. mengetahui tentang kepentingan masyarakat banyak (mashlahah al-
„ammah)
j. harus terhindar dari sikap tercela, menghindari visted interest, dan
mengutamakan kepentingan ilmiah.
Begitu urgennya posisi Mufti, hampir seluruh kitab Ushul Fiqih
membicarakan dan menetapkan sejumlah prinsip, adab (kode etik), dan
persyaratan ketat yang harus dimiliki setiap mufti (orang yang akan memberikan
fatwa).
Maka dengan demikian fatwa tidak bisa dijadikan sebagai sumber
ketetapan hukum. Fatwa merupakan suatu pilihan hukum yang bisa diikuti dan
bisa saja dikritisi, karena produk hukum hasil fatwa tidak ubahnya seperti produk
-
24
hasil ijtihad lainnya yang tidak memiliki nilai kebenaran mutlak dan nilai
kekuatan untuk mengikat.23
Secara prinsipil dan beberapa hal yang telah diuraikan
diatas bahwa Kedudukan fatwa dalam sistem hukum Islam sangat penting
mengingat permasalahan sosial semakin hari semakin banyak. Walaupun secara
substansi bahwa fatwa memiliki otoritas hanya sebatas dalam rangka responsive,
proactive, dan antisipatif yang sifatnya tidak mengikat namun tidak mengurangi
keluhurannya dalam rangka menjalankan dan menunaikan tanggung jawab serta
tugasnya demi melanjutkan perjuangan Rasulullah SAW dalam menegakkan
agama Islam menuju kehidupan umat manusia yang berada pada jalan lurus dan
garis yang benar.
23
Ija Suntana, Daya Ikat Fatwa, (Bandung: Unversitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung, 2009), h. 3.
-
25
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG RIBA DAN BUNGA BANK
A. Pengertian Riba dan Dasar Hukum Riba
Secara etimologi, riba merupakan kata masdar dari kata kerja rabaa-
yarbuu-ribaa yang berarti tambahan atau kelebihan.1 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata riba dengan singkat berarti pelepasan uang, lintah darat, bunga
bank, renten.2 Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara
umum terdapat intisari yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan
tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil
atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Sedangkan riba secara terminologi, terdapat beberapa pendapat dari para
ulama ahli fikih:3
1. Ulama Hanabilah berpendapa bahwa riba adalah pertambahan sesuatu yang
dikhususkan.
2. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa riba adalah tambahan pada harta
pengganti dalam pertukaran harta dengan harta.
1 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997),
cet. xiv, h. 469 2 Kamus Besar Bahasa Indonesia, penerbit: Balai Pustaka, cet ke 4, TT 2007
3 Ibnu „Abidin, Radd Al-Mukhtar „ala al-Darr al-Mukhtar, (Beirut: Darr Ihya‟ al-Turats
al-„Arabi, 1992), Juz IV, h.184
-
26
Syaikh Muhammad Abduh, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
riba ialah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki
harta kepada orang yang meminjam hartanya (uangnya), kerena pengunduran janji
pembayaran oleh peminjam dari waktu yang ditentukan.4
Menurut Abdurrahman Al-Jaziri, yang dimaksud dengan riba adalah akad
yang terjadi dengan penukaran tertentu, tidak diketahui sama atau tidak menurut
aturan syara‟ atau terlambat salah satunya.5
Hukum riba adalah haram, telah dianggap oleh Rasulullah Saw sebagai
salah satu perkara yang membinasakan dan termasuk salah satu kelompok tujuh
dosa besa. Al-Qur‟an sendiri telah menetapkan keharaman riba dengan redaksi
“tahrim” secara jelas dan tidak mengandung penafsiran lainnya serta menganggap
orang yang bertransaksi dengan riba sebagai orang yang memerangi Allah dan
Rasul-Nya. Para ulama juga besepakat (ijma‟) dalam hal pengharamannya.
Pengharaman riba tidak hanya dalam syariat kita saja, melainkan telah
diharamkan oleh semua syariat agama. Riba diharamkan baik itu dilakukan di
negara Islam (dar al-islam) maupun negara yang memusuhi Islam (dar a-harb),
baik itu dilakukan secara perorangan maupun oleh antar negara, antara negara
dengan perorangan, antara orang-orang muslim maupun antara orang Islam
dengan orang kafir. Semua itu berdasarkan keumuman nash yang mengharamkan
riba baik itu dari Al-Qur‟an maupun sunnah.6
Al-Qur‟an, diantaranya yaitu:
4 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada), 2015, h. 57
5 Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟a, (Kairo: Daar al-Hadits,
2004), Juz II, h. 192 6 Ash-Shadiq Abdurrahman Al-Gharyani, Fatwa-Fatwa Muamalah Kontemporer,
(Surabaya: Pustaka Progresif), 2004, h.109
-
27
7
Artinya: orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba),
Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya.
8
Artinya:Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan.
9
7 QS. Al-Baqarah [2]: 275
8 Qs. Ali Imran [3]: 130
9 Qs. Al-Ruum [30]: 39
-
28
Artinya: Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia
bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang
berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya.
Di dalam Sunnah, Nabi Muhammad saw:
َٕ َْٚعَهُى َأَشُذ ُْ َٔ ُّ انَّرُجُم َُْى ِرَبا َْٚأُكُه ًَٛةِدْر َْ ٍَ ِز ْٛ ََٔثَهاِث ٍْ ِسٍث ِي10
Artinya:“Satu dirham riba yang dimakan seseorang, dan dia mengetahui
(bahwa itu adalah riba), maka itu lebih berat daripada enam puluh
kali zina”. (HR Ahmad dari Abdullah bin Hanzhalah).
ٌَ َباًب ْٕ ََٔسْبُع ٌَ َأْرَبٗ انِّرَبا َعّْرُض انَّرُجِم انِّرَبا َثالَثٌة َِٔإ ,ُّ ُِْكَح انَّرُجُم ُأَي َٚ ٌْ َْا ِيْثُم َأ َْٚسُّر ا َأ
ًُْسِهَى اْن11
Artinya:“Riba itu mempunyai 73 pintu, sedang yang paling ringan seperti
seorang laki-laki yang menzinai ibunya, dan sejahat-jahatnya riba
adalah mengganggu kehormatan seorang muslim”. (HR. Ibnu
Majah).
ُْْى َس ََٔقاَل: ,ِّ ْٚ َِْذ ََٔشا ُّ ََٔكاِجَب ُّ ِْٕكَه َُٔي ََٔسَهَى آِكَم انِّربَا ِّ ْٛ ُْٕل اهلِل َصَهٗ اهلُل َعَه ٍَ َرُس َٕاٌءَنَع12
Artinya:“Rasulullah saw melaknat orang memakan riba, yang memberi
makan riba, penulisnya, dan dua orang saksinya. Belia bersabda;
Mereka semua sama”. (HR Muslim)
10
Abu Abdurrahman bin Muhammad Nashiruddin al-Masyhur bi Syeikh al-Bani, shahih
al-Jami‟ Shagir Wa ziyadatuhu, al-Maktab al-Islami Hadits No 3375 11
Ibnu Majah Abu Abdullah Muhammad bin Yazid al-Quzwaini, Sunan Ibnu Majah,
Daar al-Ihya. Juz 2 h. 764 12
Muslim bin Hajjaj Abu al-Hasan al-Qusyairy al-Naisaburi, Shahih Muslim, Daar Ihya
Turats: Beirut. Juz 3 h. 1219
-
29
Allah Swt dalam Al-Qur‟an menyebutkan pelarangan riba (prohibition of
riba) hingga empat kali secara bertahap, bahkan beberapa hadits Rasulullah Saw
memperkuat pelarangan, dengan tidak hanya terfokus pada pemungutan riba tapi
juga saksi, penulis dan siapapun yang mendukung sebuah transaksi riba terjadi.13
Tahap pertama adalah surat Ar- Rum ayat 39, ayat yang menerangkan
tentang asumsi manusia yang menganggap harta riba akan menambah hartanya,
padahal disisi Allah SWT asumsi itu sebenarnya tidak benar, karena hartanya
tidak bertambah karena riba. Ayat Makiyyah ini turun belum secara tegas
menyatakan haramnya riba, tapi Allah hanya menyatakan bahwa perbuatan
tersebut tidak disukai-Nya. Dalam firman-Nya:
14
Artinya: “Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia
bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah
pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang
berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya).
Tahap kedua diceritakan bahwa riba sebagai suatu yang buruk. Allah Swt
mengancam akan memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang
memakan riba. Hal ini dijelaskan dalam surat An- Nisa ayat 160-161:
13
Ali Sakti, Ekonomi Islam Jawaban Atas kekacauan Ekonomi Modern, (Bandung: Aqsa
Publishing), 2007 h. 232 14
Qs. Al-Ruum [30]: 39
-
30
15
Artinya:Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami
haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak
menghalangi (manusia) dari jalan Allah,dan disebabkan mereka
memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang
dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-
orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.
Tahap ketiga, riba diharamkan dengan dikaitkan kepada suatu tambahan
yang berlipat ganda. Dalam surat Al- Imran ayat 130:
16
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba
dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah
supaya kamu mendapat keberuntungan.
Ayat ini turun pada tahun ke -3 Hijriyah. Secara umum, ayat ini harus
dipahami bahwa kriteria berlipat ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya
riba (jika bunga berlipat ganda berarti rba, tetapi jika kecil bukan riba), tetapi ini
merupakan sifat umum dari praktik pemungaan uang pada saat itu.Demikian juga
ayat ini harus dipahami secara komprehensif dengan ayat 278-279 dari surat al-
Baqarah yang turun pada tahun ke-9 Hijriyah.17
15
QS. Al_Nisa [4]: 160-161 16
QS. Al-Imran [3]: 130 17
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema
Insani), 2001, h. 49
-
31
Tahap keempat merupakan larangan Allah SWT secara menyeluruh untuk
tidak melakukan riba, termasuk sisa-sisa riba yang dipraktekan pada masa itu.
Dalam firman Allah surat Al- Baqarah ayat 278-279.
18
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang
yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa
riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba),
Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya.
Pelarangan riba dalam Islam tidak hanya merujuk pada al-Qur‟an
melainkan juga pada hadits di antaranya:
ِّ، َفُكِسَّرْت، ًِ ًََحاِج ُْٚث َأِبٙ اْشَحَّرٖ َحَّجاًيا، َفَأَيَّر ِب َْٛفَة، َقاَل: َرَأ ٍُ َأِبٙ ُجَح ٌُ ْب ْٕ َأْخَبَّرَِٙ َع
ِّ َصَهٗ ٌَ َرُسَٕل انَه ٍْ َرِنَك َقاَل: ِإ ُّ َع ٍِ انَكْهِب، َفَسَأْنُح ًَ ََٔث ٍِ انَذِو، ًَ ٍْ َث َٓٗ َع ََٔسَهَى ََ ِّ ْٛ اهلُل َعَه
َِٕر ًَُص ٍَ ان ََٔنَع ،ُّ َُٔيِٕكَه َٔآِكَم انِّرَبا، ًََة، ِْٕش ًُْسَح َٔان ًََة َٕاِش ٍَ ان ََٔنَع )رٔاِ ََٔكْسِب اأَلَيِة،
انبخا٘(19
Artinya: “Diriwayatkan dari Aun Ibn Abi Juhaifah, “ayahku membeli
seorang budak yang pekerjaannya membekam (mengeluarkan
darah kotor dari kepala). Ayahku kemudian memusnahkan
peralatan bekam si budak tersebut. Aku bertanya pada ayah
mengapa beliau melakukannya. Ayahku menjawab bahwa
Rasulullah Saw melarang untuk menerima uang dari transaksi
darah, anjing, kasab budak perempuan. Beliau juga melaknat
pekerjaan penato dan yang minta di tato, menerima dan memberi
riba serta beliau melaknat pembuat gambar (HR. Bukhari)
18
QS. Al-Baqarah [2]: 278-279 19
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah Al-Bukhori, Shahih al-Bukhori, Bab Tsamanul
Kalbi (Daar Tuq al-Najaat, cet ke II 1422) Juz 3 h. 84. Hadits ke 2238
-
32
Demikian secara jelas Allah telah memberikan penjelasan dalam Al-
Qur‟an maupun Sunnah tentang pelarangan riba pada segala bentuk transaksi jual
beli. Selain adanya unsur penambahan, riba juga menimbulkan adanya
kedzaliman pada salah satu pihak.
B. Macam-macam Riba dan Jenis Barang Riba
Jumhur Ulama membagi riba dalam dua bagian, yaitu riba fadhl dan riba
nasi‟ah:20
1. Riba Fadhl (riba pertukaran)
Menurut ulama Hanafiyah, riba fadhl adalah “Tambahan zat haram pada
akad jual beli yang diukur dan sejenis menurut syara”.
2. Riba Nasi‟ah
Menurut ulama Hanafiyah, riba nasi‟ah adalah “Memberikan kelebihan
terhadap pembayaran dari yang ditangguhkan, memberikan kelebihan pada benda
dibanding utang pada benda yang ditakar atau ditimbang yang berbeda jenis atau
selain dengan yang ditakar dan ditimbang yang sama jenisnya”.
Sedangkan ulama Syafi‟iyah membagi riba menjadi tiga macam bagian,
yaitu:21
1. Riba Fadhl, yaitu tukar menukar dua barang yang sama jenisnya dengan tidak
sama timbangannya atau takarannya yang disyaratkan oleh orang yang
20
Muammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan,(Jakarta: Tazkia Institute,
2000),h. 52 21
Wahbah al-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu, Alih Bahasa Abdul Hayyie, cet ke I
(Jakarta: Gema Insani, 2011) h. 307
-
33
meukarkan. Misalnya, tukar menukur dengan emas, perak dengan perak, beras
dngan beras, gandum dan sebagainya.
2. Riba Yad, yaitu berpisah dari tempat sebelum timbang diterima. Maksudnya,
orang yang membeli suatu barang kemudian sebelumnya ia menerima barang
tersebut dari si penjual, pembeli menjulanya kepada orang lain. Jual
beliseperti itu tidak bleh, sebab jual beli masih dalam ikatan denganpihak
pertama.
3. Riba Nasi‟ah, yaitu tukar menukar dua barang yang sejenis maupun tidak
sejenis yang pembayarannya disyarakan lebih, dengan diakhiri/ dilambatkan
oleh yang meminjam. Misalnya, Aminah membeli kalung emas seberat 10
gram, oleh penjualnya disyaratkan membayarnya tahun depan dengan kalung
emas seberat 12 gram, dan apalagi terlambat satu tahun lagi, maka tambah 2
gram lagi menajdi 14 gram dan seterusnya. Ketentuan melambatkan
pembayaran satu tahun.
Sementara menurut Syafi‟i Antonio, secara garis besar riba
dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba utang piutang dan riba
jual beli. Riba utang piutang dibagi lagi menjadi riba qard dan riba jahiliyah.
Sedangkan riba jual beli terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi‟ah.22
Para ahli fiqh Islam telah membahas mengenai jenis barang riba dengan
panjang lebar dalam kitab-kitab mereka. Dan kesimpulan umum dari pendapat
mereka yang intinya bahwa barang riba meliputi23
:
1. Emas dan perak, baik itu dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya;
22
Muammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, h. 63. 23
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik,h. 42
-
34
2. Bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan
makanan tambahan, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Dalam kaitannya dengan bank syariah, implikasi ketentuan tukar menukar
antar barang-barang riba diuraikan sebagai berikut:
1. Jual beli antara barang-barang riba sejenis hendaknya dalam jumlah dan kadar
yang sama. Barang tersebut pun harus diserahkan saat transaksi jual beli.
Misalnya, rupiah dengan rupiah harusnya Rp10.000 dengan Rp10.000 dan
diserahkan ketika tukar menukar.
2. Jual beli antara barang-barang riba yang berlainan jenis dipebolehkan denga
jumlah dan kadar yang berbeda dengan syarat barang diserahkan pada saat
akad jual beli. Misalnya, Rp10.000 dengan 1 dollar Amerika.
3. Jual beli barang riba dengan yang bukan riba tidak disyaratkan untuk sama
dalam jumlah maupun untuk diserahkan pada saat akad. Misalnya, mata uang
(emas, perak, atau kertas) dengan pakaian.
4. Jual beli antara barang-barang yang bukan riba diperbolehkan tanpa
persamaan dan diserahkan pada waktu akad, misalnya pakaian dengan barang
elektronik.
C. Pengertian Bunga Bank
Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari aktifitas ekonomi
sebagai penunjang kebutuhannya. Berdasarkan hal ini maka persoalan ekonomi
bermula dari masalah perolehan dan pemanfaatan harta. Sangat tidak tepat
manakala harta diperoleh maupun dimanfaatan dengan cara-cara yang dilarang
-
35
oleh syariat Islam, karena hal ini akan berdampak pada sistem ekonomi yang tidak
memihak pada salah satu pihak dan hanya menguntungkan satu pihak saja. Dalam
hal ini dapat kita temui pada praktek membungakan uang yang sudah menjadi hal
biasa dilakukan oleh orang, baik secara individu maupun oleh lembaga keuangan.
Pada praktek membungakan uang ini dikenal dengan isitilah, yakni (1) bunga
simpanan, dimana ada orang atau badan hukum yang meminjamkan uang kepada
perorangan ataupun menyimpan uangnya di lembaga keuangan kemudian orang
tersebut memperoleh imbalan bunga, (2) bunga pinjaman, dimana ada orang atau
badan hukum yang meminjam uang dari perorangan atau lembaga keuangan
dengan konsekuesi harus mengembalikan uang yang dipinjam ditambah dengan
bunga.24
Bunga merupakan istilah baru dalam dunia perbankan yang merupakan
terjemahan “interest” yang memiliki makna riba. Dalam kamus perbankan bunga
sendiri memiliki arti riba. Dengan definisi yang ada dapat disimpulkan bahwa riba
memiliki karakteristik yang serupa dengan bunga.
Pada umumnya dalam ilmu ekonomi, bunga itu timbul dari sejumlah uang
pokoknya, yang lazim disebut dengan istilah “kapital” atau “modal” berupa uang.
Dan bunga itu juga dapat disebut dengan istilah “rente” juga dikenal dengan
“interest”.25
Persoalan halal tidaknya bunga (interest) sebagai instrumen keuangan
merupakan sumber kontroversi di seluruh dunia Islam sejak lama. Sumber
kontroversi ini adalah ayat-ayat al-Qur'an yang melarang riba – sebuah praktek
24
Syahirin Harahap, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka al-
Husna), 1993, h. 18 25
Syahirin Harahap, Bunga Uang dan Riba dalam Hukum Islam, h. 18
-
36
Arab kuno – yakni apabila seseorang berhutang, hutangnya akan berlipat jika ia
menunggak lagi, hutangnya akan berlipat lagi. Selama berabad-abad, banyak
kaum muslim yang menyimpulkan ayat-ayat tersebut bahwa kontrak pinjaman
yang menetapkan keuntungan tertentu bagi si pemberi pinjaman adalah perbuatan
yang tidak bermoral, tidak sah atau haram-terlepas dari tujuan, jumlah pinjaman,
maupun lembaga yang terlibat.26
Bunga bank dapat diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh bank
yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau
menjual produknya. Bunga juga dapat diartikan sebagai harga kepada deposan
(yang memiliki simpanan) dan kreditur (nasabah yang memperoleh pinjaman)
yang harus dibayar kepada bank. Harga menurut Ibnu Khaldun merupakan nilai
atau patokan suatu barang yang mendatangkan suatu keuntungan dari berbagai
bidang27
. Institusi bunga bank yang dalam hal ini adalah bunga yang bukan
termasuk riba atau dapat dikatakan dengan bagi hasil menurut syari‟at Islam
(perbankkan syari‟ah) telah menjadi bagian penting dari sistem perekonomian
bangsa Arab seperti halnya sistem ekonomi di negara-negara lain (non muslim).
Sesungguhnya, bunga telah dianggap penting demi keberhasilan
pengoperasian sistem ekonomi yang ada bagi masyarakat. Tetapi Islam
mempertimbangkan bunga itu sebagai kejahatan yang menyebarkan kesengsaraan
dalam kehidupan. Al-Qur'an mengakui bahwa meminum-minuman keras itu
bukan tidak ada manfaatnya sama sekali, tetapi Islam mengharamkannya karena
26
Eva Y.N., Femmy S., Jarot W., Poerwanto, Rofik S., Ensiklopedi-Oxford Dunia Dalam
Islam, Diterjemahkan dari The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, Bandung:
Mizan, Jilid 6, 2001, h. 313. 27
Ibnu Khaldun, Muqadimah, Terj. Ahmadie Thoha, Muqoddimah Ibnu Khaldun,
(Jakarta: Pustaka Firdaus), 2000, h. 473
http://s-hukum.blogspot.com/search/label/Bankhttp://s-hukum.blogspot.com/search/label/Bank
-
37
akibat-akibat buruk yang diakibatkan oleh minuman-minuman keras itu jauh lebih
besar daripada manfaatnya. Kita mengakui bahwa sistem bunga dalam bank itu
dalam pelaksanaanya tidak selalu baik, dan dapat mencelakakan nasabah yang
meminjam uang dari bank, tetapi jumlah yang merasa tertolong oleh sistem bunga
yang diperlakukan oleh bank-bank konvensional itu jauh lebih banyak dari pada
mereka yang dirugikan. Maka analog dengan hukumnya minum-minuman keras,
sistem bunga dalam bank konvensional itu tidak haram.28
Dalam literatur ulama fiqh klasik tidak dijumpai pembahasan yang
mengkaitkan antara riba dan bunga perbankan. Sebab lembaga perbankan seperti
yang berkembang sekarang ini tidak dijumpai dalam zaman mereka. Bahasan
bunga bank apakah termasuk riba atau tidak, baru ditemukan dalam berbagai
literatur fiqh kontemporer.
Berbicara masalah bunga terdapat rumusan yang berbeda sesuai dengan
pendapat masing-masing para tokoh, diantaranya:
a. menurut Muhammad bahwa secara leksikal,bunga sebagai terjemahan dari
kata interest. Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus
dinyatakan bahwa, interest is a charge for a financial loan, usually a
precentage of the amount loaned, bunga adalah tanggungan pada pinjaman
uang, yang biasanya dinyatakan dengan prosentase dari uang yang
dipinjamkan. Menurut Muhammad , pendapat lain menyatakan “interest yaitu
sejumlah uang yang dibayar atau dikalkulasi untuk penggunaan modal. Jumlah
28
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid III, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima
Yasa), cet. II, 2002, h. 76
http://s-hukum.blogspot.com/search/label/Bank
-
38
tersebut misalnya dinyatakan dengan satu tingkat atau prosentase modal yang
besangkutan dengan itu yang dinamakan suku bunga modal29
b. menurut Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus, interest (bunga) adalah
pendapatan yang dibayarkan kepada mereka yang meminjamkan uang kepada
orang atau peusahaan.30
c. Menurut Kaslan A.Thohir, bunga yaitu pendapatan yang menjadi keuntungan
yang mempunyai modal.31
D. Macam-macam Bunga Bank
Berdasarkan pengertian bunga bank di atas, bunga bank dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:
1. Bunga Simpanan
Yaitu bunga bank yang diberikan kepada nasabahnya, dalam hal ini bunga
bank sebagai rangsangan atau balas jasa bagi nasabah yang menyimpan uangnya
di bank. Bunga simpanan merupakan harga yang harus dibayar bank kepada
nasabahnya. Sebagai contoh jasa giro, bunga tabungan, dan deposito.
2. Bunga Pinjaman
Yaitu bunga bank yang diberikan kepada para peminjam atau harga yang
harus dibayar oleh nasabah peminjam kepada bank. Sebagai contoh bunga kredit.
29
Muhammad, Bank Syariah Analisis Kekuatan, Peluang dan Ancaman, (Yogyakarta:
Ekonisia), 2003, h. 28 30
Paul A. Samuelson dan William D. Nordhaus Economics, Alih Bahasa, Jaka Wasana,
“Ekonomi” (Jakarta: Erlangga), 1998, h. 524 31
Kaslan A. Thohir, Ekonomi Selayang Pandang, Jilid II, (Bandung: NV. Penerbitan Van
Hoeve), 1955, h. 299
-
39
Kedua macam bunga ini yaitu bunga simpanan dan bunga pinjaman
merupakan suatu komponen utama dalam faktor biaya dan pendapatan bagi bank
konvensional. Dalam hal ini bunga simpanan merupakan biaya dana yang harus
dikeluarkan kepada nasabah sedangkan bunga pinjaman merupakan pendapatan
yang diterima dari nasabah. Baik bunga simpanan maupun bunga pinjaman
masing-masing saling terhubung satu sama lainnya. Sebagai contoh seandainya
bunga simpanan tinggi, maka secara otomatis bunga pinjaman juga terpengaruh
ikut naik dan demikian pula sebaliknya.32
E. Hubungan Riba dengan Bunga Bank
Islam telah menetapkan hukum riba dan larangannya, termasuk di
dalamnya, praktek-praktek kapitalisme berupa bunga bank, kartu kredit, kredit
motor, kredit mobil, kredit barang-barang rumah tangga hingga KPR atau kredit
perumahan. Semua praktek riba tersebut hukumnya haram,33
pelakunya dihinakan
Allah jika tidak segera bertaubat, dasarnya sangat tegas terdapat dalam firman
Allah SWT QS. Al Baqarah (2) ayat 275 :
32
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, h. 112 33
https://alqandaly.wordpress.com/2013/11/04/hukum-riba-dan-bunga-bank/diakses
tanggal 02 Mei 2016
https://alqandaly.wordpress.com/2013/11/04/hukum-riba-dan-bunga-bank/
-
40
34
Artinya: “orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya
(terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba),
Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya.
Hukum riba dan bunga bank hingga saat ini masih banyak kaum
musliminyang memperselisihkannya. Sebagian mengatakan riba itu haram jika
berlipat-lipat, dan sebagaian mengatakan seberapapun jumlah tambahan dari
pinjaman itulah definisi riba. Ada yang mengatakan bahwa bunga bank itu tidak
haram karena hanya kecil bunganya sehingga dianggap sebagai jasa penyimpanan
saja. Adapun terkait dengan pemotongan oleh pihak Bank yang jumlahnya besar;
bahkan lebih besar dari bunga yang didapat merupakan hal yang wajar karena
pihak bank telah memberikan jasa menjaga dan memberikan kemudahan atas
berbagai transaksi yang kita lakukan. Apalagi hal itu sudah diketahui oleh nasabah
sebelumnya, sehingga ia tidak bisa dijadikan alasan untuk membolehkan bunga
(riba).
34
QS. Al-Baqarah [2]: 275
-
41
Pendapat Ulama Tentang Riba
Jumhur (mayoritas/kebanyakan) ulama‟ sepakat bahwa bunga bank adalah
riba, oleh karena itulah hukumnya haram. Pertemuan 150 Ulama‟ terkemuka
dalam konferensi Penelitian Islam di bulan Muharram 1385 H, atau Mei 1965 di
Kairo, Mesir menyepakati secara aklamasi bahwa segala keuntungan atas berbagai
macam pinjaman semua merupakan praktek riba yang diharamkan termasuk
bunga bank.35
Abu zahrah, Abu al-A‟la al-Maududi Abdullah al-„Arabi dan Yusuf al-
Qaradhawi mengatakan bahwa bunga bank itu termasuk riba nasiah yang dilarang
oleh Islam. Karena itu umat Islam tidak boleh bermuamalah dengan bank yang
memakai sistem bunga, kecuali dalam keadaan darurat atau terpaksa. Bahkan
menurut Yusuf al-Qaradhawi tidak mengenal istilah darurat atau terpaksa, tetapi
secara mutlak beliau mengharamkannya. Pendapat ini dikuatkan oleh Al-
Syirbashi, menurutnya bahwa bunga bank yang diperoleh seseorang yang
menyimpan uang di bank termasuk jenis riba, baik sedikit maupun banyak.
Namun yang terpaksa, maka agama itu membolehkan meminjam uang di bank itu
dengan bunga.36
Adapun alasan mereka dalam mengharamkan bunga bank antara
lain:
a. Bunga bank merupakan bentuk penindasan golongan mampu (kaya) terhadap
kaum dhuafa
35
Ahmad bin Abdul Aziz Al-Hamdana, Kepada Para NasabahdanPegawai Bank,
(Jakarta: GemaInsani Press, 1993), h. 75 36
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta, Gunung Agung), 1997, h. 103
-
42
b. Bunga bank akan menciptakan ketidakseimbangan kekayaan. Hal ini
bertentangan dengan kepentingan sosial dan berlawanan dengan kehendak
Allah yang menghendaki penyebaran pendapatan kekayaan secara adil.
c. Bunga dapat menciptakan kondisi manusia penganggur yaitu para penanam
modal dapat menerima setumpuk kekayaan dari bunganya, sehingga mereka
tidak lagi bekerja untuk menutupi kebutuhan hidupnya.
d. Alasan terakhir bunga bank dilarang ialah karena bunga bank bertentangan
dengan dengan prinsip ajaran Allah yang terdapat dalam Al-Qur‟an dan
Nash.37
Pendapat A. Hasan, pendiri dan pemimpin Pesantren Bangil (Persis)
berpendapat bahwa bunga bank seperti di negara kita ini bukan riba yang
diharamkan, karena tidak bersifat ganda sebagaimana yang dinyatakan dalam
surat Ali Imran ayat 130.38
Jadi yang termasuk riba menurut A. Hasan adalah
bunga yang berlipat ganda, bila bunga hanya dua persen dari modal pinjaman itu,
itu tidak berlipat ganda, maka tidak termasuk riba yang diharamkan.
Menurut Mustafa Ahmad al-Zarqa‟ (Guru Besar Hukum Islam dan Hukum
Perdata Universitas Syria), bahwa sistem perbankan yang kita terima sekarang ini
sebagai realitas yang tak dapat kita hindari. Karenanya umat islam diperbolehkan
(mubah) bermuamalah dengan bank konvensional itu atas pertimbangan dalam
keadaan darurat dan bersifat sementara. Sebab umat Islam harus berusaha mencari
jalan keluar dengan mendirikan bank tanpa adanya system bunga/riba, demi
37
Azharuddin Lathif, Fiqih Muamalat, (Jakarta, UIN Jakarta Press), 2005, h. 90 38
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah,h. 103
-
43
menyelamatkan umat Islam dari cengkraman budaya yang tidak Islami.39
Dalam
bukunya ia berpendapat bahwa:
a. Sistem perbankan yang berlaku hingga saat ini dapat diterima sebagai suatu
penyimpangan yang bersifat sementara, dengan kata lain bahwa sistem
perbankan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari, maka umat Islam
dibolehkan bermuamalat atas dasar pertimbangan darurat, tetapi umat Islam
harus senantiasa berusaha mencari jalan keluar.
b. Pengertian riba dibatasi hanya mengenai praktek riba dikalangan Arab
Jahiliyyah saja, yaitu yang benar-benar merupakan suatu pemerasan dari
orang-orang mampu (kaya) terhadap orang-orang miskin dalam utang piutang
yang bersifat komsumtif, bukan utang piutang yang bersifat produktif.
c. Bank-bank dinasionalisasi sehingga menjadi perusahaan negara yang akan
menghilangkan unsur-unsur eksploitasi, karena sekalipun bank negara
mengambil bunga sebagai keuntungan, tetapi penggunaannya bukan untuk
orang-orang tertentu, melainkan akan menajdi kekayaan negara yang akan
digunakan untuk kepentingan umum.40
Pendapat Majelis Tarjih Muhammadiyah di Sidoarjo (Jawa Timur) tahun
1968 yang memutuskan bahwa bunga bank yang diberikan oleh bank-bank
Negara kepada para nasabahnya, demikian pula sebaliknya adalah termasuk
syubhat atau mutasyabihat, artinya tidak/belum jelas halal haramnya. Maka sesuai
dengan petunjuk Hadits, kita harus berhati-hati menghadapi masalah-masalah
yang semisal ini. Karena itu, jika kita dalam keadaan terpaksa atau kita dalam
39
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Islam Tentang Riba, Untung-Piutang, Gadai, Bandung,
al-Ma‟arif, 1983, h. 22-23 40
Azharuddin Lathif, Fiqih Muamalat,h. 91
-
44
keadaan hajah, artinya keperluan yang mendesak/penting barulah kita
diperbolehkan bermuamalah dengan bank yang menggunakan sistem bunga bank
itu dengan batasan-batasannya yang telah ditetapkan dalam agama.
-
45
BAB IV
BUNGA BANK DALAM PANDANGAN MUHAMMADIYAH
A. Metode Penetapan Fatwa Muhammadiyah
Dalam sub bab ini akan dikemukakan beberapa sumber hukum dalam
Islam yang diterima oleh Muhammadiyah, kemudian akan diuraikan pula secara
singkat metode-metode berijtihad yang lazim digunakan oleh Muhammadiyah.
Uraian ini bersifat pengantar terhadap pembahasan inti berikutnnya. Oleh karena
itu, pembahasannya masih bersifat umum. Kajian ini difokuskan pada apa yang
tertulis dalam manhaj istinbat majlis tarjih dan himpunan putusan tarjih. Uraian
awal ini diperlukan untuk melihat lebih lanjut, sejauh mana kosistensi
muhammadiyah dalam menerapkan metode penetapan hukum yang telah
digariskannya. Muhammadiyah berpendapat bahwa sumber utama hukum dalam
Islamadalah Al-Qur‟an dan As-Sunnah As-Shohihah.1 Kemudian untuk
mengahadapi persoalan-persoalan baru, sepanjang persoalan itu tidak
berhubungan dengan ibadah mahdoh dan tidak terdapat nash shorih dalam Al-
Qur‟an dan hadits, digunakan ijtihad dan istinbat dari nash yang ada melalui
persamaan illat. Pernyataan ini menunjukan bahwa bagi Muhammadiyah ijtihad
bukan merupakan sumber hukum, melainkan sebagai metode penetapan hukum
dalam Islam. Dalam hal ini Muhammadiyah sejalan dengan paham kelompok
Mukhaththi’at,yangmenyatakan bahwa ijtihad adalah metode penemuan hukum,
bukan sumber hukum dalam Islam.
1 Fathurahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos
Publishing House, 1995), h. 70
-
46
Al-Qur‟an dan Hadits sebagai sumber hukum dalam Islam tidak hanya
diyakini oleh Muhamadiyah saja, tetapi juga diyakini oleh seluruh umat Islam
dalam berbagai madzhab dan aliran. Diantara dua sumber itu, Al-Qur‟an
merupakan sumber dari segala sumber hukum. Artinya, Al-Qur‟an merupakan
rujukan utama dalam menetapkan hukum. Sedangkan hadits berfungsi sebagai
penjelas terhadap Al-Qur‟an. Karena itu, menurut sebagian ahli hadits, salah satu
tolah ukur untuk menyeleksi hadits adalah harus “diuji” dengan Al-Qur‟an. Kalau
hadits itu sejalan dengan Al-Qur‟an, maka hadits itu dapat diterima. Tetapi kalau
hadits itu tidak sejalan, apalagi bertentangan denganAl-Qur‟an maka hadits itu
tidak dapat diterima. Tolak ukur ini dimasukkan pada kritik matan hadits.
Agaknya Muhammadiyah tidak begitu mengembangkan tolak ukur diatas.
Sebagai indikatornya adalah terdapat beberapa Hadits yang dijadikan dasar
putusan tarjih, yang diduga oleh sementara pihak sebagai “tidak sejalan” dengan
Al-Qur‟an. Muhammadiyah secara tegas menyatakan bahwa ijtihad hanyalah
metode penetapan hukum.2 Muhammadiyah pada dasarnya menerima metode
ijtihad yang telah ditetapkan oleh para ahli ushul fiqih terdahulu, namun disana
sini terdapat modifikasi atau lebih tepat lagi disebut kombinasi seperlunya. Ijma
yang dibahas dalam ushul fiqh kelihatannya tidak dalam setiap periode diterima
oleh Muhammadiyah. Organisasi ini hanya menerima konsep ijma yang terjadi
dikalangan sahabat nabi. Hal ini mengisyaratkan, bahwa menurut Muhammadiyah
ijma tidak mungkin terjadi lagi setelah masa sahabat. Pada masa sahabat
dimungkinkan adanya ijma, karena umat Islam masih sangat sedikit jumlahnya.
2 H.M Djuwaini, Ketarjihan, (Jakarta: Pimpinan Pusat Muhammadiyah, tth), h. 26
-
47
Memang sulit untuk menerima konsep terjadinya ijma‟ pada masa
sekarang ini. Ahmad Ibn Hanbal secara prioritas menyatakan bahwa “siapa yang
mengklaim adanya ijma berarti ia telah berdusta.3 Banyak faktor yang
menyebabkan ia menolak terjadinya ijma pada masa sekarang ini. Salah satu
diantaranya karena jumlah umat Islam sekarang ini cukup banyak dan mereka
tersebar diberbagai belahan dunia yang berjauhan. Lebih dari itu, menentukan
kriteria mujtahid seperti yang terdapat dalam definisi ijma, juga tidak mudah.
Belum lagi adanya perbedaan aliran dan sekte dalam Islam, yang pada gilirannya
akan menpersulit proses ijma itu. Pendapat Ahmad Ibn Hanbal ini didukung oleh
beberapa pengikut madzhabnya, seperti Al-Thufi dan Ibnul Qayyim. Bahkan yang
disebut terakhir ini menegaskan bahwa pengetahuan seseorang tentang
kesepakatan umat Islam yang berada diberbagai dunia ini, kalau tidak boleh
dikatakan mustahil, dapat dikatakan merupakan hal yang paling sulit terjadi.4
Kecenderungan Hanabilah ini diterima oleh Muhammadiyah. Hal ini menguatkan
asumsi sebagian pengamat yang menyatakan, bahwa Muhammadiyah lebih
berorientasi “Hanbalisme”. Sebenarnya sikap Muhammadiyah tentang ijma ini
tidak hanya sejalan dengan Hanabilah, tetapi juga dengan ulama lain. Ibn Hazm
dan As-Syafi‟i termasuk yang mempunyai pendapat demikian.
Qiyas sebagai metode penetapan hukum, pada dasarnya diterima oleh
Muhammadiyah, dengan catatan tidak mengenai masalah ibadah mahdah. Ketika
Muhammadiyah mengadakan pembahasan tentang qiyas sebagai