analisis penyelidikan kdrt fix (yulinawati)
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Rumah tangga merupakan kelompok terkecil dalam suatu masyarakat. Rumah
tangga terbentuk melalui ikatan perkawinan yang sah. Di dalam rumah tanggalah
yang menyatakan perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga dan karakterserta watak seorang anak melalui didikan orang tuanya.
Dalam suatu rumah tangga diharapkan suami, istri dan ana-anak mendapat
ketenangan dan kebahagiaan, prinsip ini juga dianut dalam Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang merupakan ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa1.
Pada saat ini suatu perkawinan biasanya terjadi atas kemauan kedua belah pihak,
dan pada umumnya antara calon suami dan isteri telah lebih dahulu mengenal sifat
dan karakter pasangannya masing-masing. Namun tak jarang setelah perkawinan
berlangsung, barulah nampak sifat-sifat asli dari pasangannya. Suami yang
1 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
dulunya baik dan penyabar, sekarang menjadi pemarah dan ringan tangan.
Kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan isteri menadi alasan bagi suami untuk
melampiaskan kemarahannya. Jika hal demikian yang terjadi didaam sebuah
perkawinan maka, tujuan dari perkawinan yang ingin membentuk rumah tangga
yang bahagia tentu saja tidak mungkin tercapai.
Rumah tangga yang semula diharakan menjadi tempat berlindung berubah
menjadi neraka yang menakutkan dan biasanya pihak perempuanlah yang selalu
menjadi korbannya. Kekerasan yang t erjadi dalam lingkungan rumah tangga
sangat sering terjadi, namun ironisnya perempuan yang menjadi korbannya
biasanya hanya pasrah menerima keadaannya. Pada umumnya perempuan
beranggapan kekerasan yang dilakukan suami terhadap dirinya merupakan hal
yang lumrah dan biasa. Begitu pula dengan suami menganggap kekerasan yang
dilakukan di lingkungan rumah tangganya merupakan kejadian biasa yang lepas
dari jangkauan hukum. Mereka tidak menyadari bahwa kekerasan yang terjadi di
dalam lingkungan rumah tangga tersebut merupakan suatu tindak pidana yang
diancam dengan sangsi pidana pula.
Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (UU Nomor
23 Tahun 2004) yang disahkan pada tanggal 22 September 2004 merupakan
peraturan yang bertujuan menghapus kekerasan dalam bentuk apapun di dalam
rumah tangga, baik kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual maupun
penelantaran rumah tangga2. Hal ini dilihat dalam Pasal 1 UU tersebut yang
memberikan pengertian yang luas tentang kekerasan dalam rumah tangga menurut
2 UU No. 23 Tahun 2004
2
undang-undang ini adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkungan rumah tangga.
Berdasarkan Ketentuan Pasal 1 Ayat (1) kekerasan dalam rumah tangga adalah
setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat
timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, pisikologis,
dan/atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum
dalam lingkup rumahtangga. Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut
maka pengertian kekerasan dalam rumah tangga meliputi kekerasan fisik,
kekerasan osikis, kekerasan seksual dan penelantaran rumah tangga. Kekerasan
fisik merupakan perbuata yang menimbulkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka
berat. Sedangkan kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan bertindak, rasa
tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Penyelesaian kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama ini
hanya mengacu pada padal-pasal dalam KUHP, padahal pasal-pasal tersebut
kurang dapat mengadopsi dan memberikan keadilan pada korban. Oleh karenanya
bila diimplementasikan dengan konsisten, keberadaan RUU Penghapusan
3
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) akan membantu upaya perlindungan
perempuan terutama isteri, dari aneka bentuk kekerasan.
Semakin meningkatnya tingkat kekerasan dalam rumah tangga di Indonesia
sehingga banyak menimbulkan kegelisahan serta keresahan di kalangan
masyarakat yang menyebabkan adanya reaksi yang serius dari berbagai pihak
teutama aparat Kepolisian sebagai penegak hukum dan organisasi peduli
perempuan sebab rumah tangga adalah pondasi sebuah negara, karena dari
keluargalah akan tercipta kader-kader bangsa dan generasi penerus bangsa yang
akan datang. Manakala keluarga itu rusak maka berbahaya terhadap eksistensi
negara, maka dengan demikian kekerasan dalam rumah tangga yang merupakan
salah satu faktor rusaknya keluarga merupaka penyakit bersama bukan pribadi,
sebab bahayanya meliputi seluruh anggota masyarakat, untuk itu semua pihak
baik aparat penegak hukum maupun masyarakat berkewajiban untuk membantu
dalam menangulangi kekerasan dalam ruma tangga.
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraian tersebut, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian skripsi ini dengan judul ”Analisis
Pelaksanaan Penyidikan Terhadap Kekerasasan Dalam Rumah Tangga”
(Studi di Wilayah Polres Tulang Bawang).
1.2 Permasalahan dan Ruang Lingkup1.2.1 Permasalahan
Dari uraian di atas penulis mengetengahkan permasalahan sebagai berikut :
a. Bagaimanakah proses penyidikan yang dilakukan oleh Polri terhadap tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga ?
4
b. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam proses penyidikan terhadap
tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga ?
1.2.2 Ruang Lingkup
a. Untuk mengetahui proses penyidikan yang dilakukan Polri khususnya Polres
Tulang Bawang sebagai salah satu upaya penal terhadap tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga (kekerasan terhadap perempuan).
b. Untuk mengetahui faktor penghambat pelaksanaan proses penyidikan tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga.
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan pokok permasalahan di atas, maka tujuan penulisan di sini adalah
sebagai berikut :
a. Untuk menambah perbendaharaan materi Hukum Pidana terutama yang
berhubungan dengan tindak pidana kekerasan daam rumah tangga yang
ditinjau secara yuridis.
b. Untuk memperoleh data dan fakta mengenai peren Polres Tulang Bawang
dalam melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana kekerasan dalam rumah
tangga (kekerasan terhadap perempuan).
1.3.2 Kegunaan Penelitian
a. Kegunaan Teoritis
5
Ingin menyumbangkan gagasan dan pikiran dalam proses hukum atau
penyidikan yang dilakukan Polres Tulang Bawang terhadap Tindak Pidana
kekerasan dalam rumah tangga.
b. Kegunaan Praktis
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi masyarakat,
para politisi, teoritis dan aparat penegak hukum serta para pembuat
kebijaksanaan dalam proses penyidikan kekerasan dalam rumah tangga.
1.4 Sistematika Penulisan
Sebelum penyusun melangkah kepada penyusunan skripsi maka diperlukan
sistematika. Sistematika dalam penulisan ini, penulis mengurangi secara garis
besarnya tujuan agar pembaca dapat dengan mudah memahami dan memperoleh
gambaran tentang materi pembahasan. Adapun garis-garis besar dalam penulisan
ini adalah sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang permasalahan, dan
ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual
serta sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan bab tinjauan pustaka yang menguraikan tentang Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
6
serta kebijakan-kebijakan kepolisian yang mengedepankan Fungsi Reskrim,
sebagai upaya penyidikan terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
BAB III METODE PENELITIAN
Merupakan bab yang menjelaskan mengenai langkah yang akan digunaka dalam
pendekatan masalah, sumber dan jenis data, pengumpulan dan penglahan jenis
data, pengumpulan dan pengolahan data dan analisis data.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisikan tentang penelitian dan pembahasan yang berisikan bagaimana
proses penyidikan yang dilakukan Polres Tulang Bawang terhadap tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga dan terhadap perempuan, di mana Polres Tulang
Bawang adalah salah satu bagian organisasi dari pemerintah yang mempunyai
kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap korban pelaku kekerasan
dalam rumah tangga dan faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam proses
penyidikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga.
BAB V PENUTUP
Merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian
dan saran-saran terhadap permasalahan yang dibahas.
7
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tugas Pokok dan Wewenang Polri
Situasi dan kondisi perkembangan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat
(kamtibmas) dewasa ini dirasakan semakin meningkat baik dari segi modus
operandinya yang kian canggih maupun anatomi kejahatan yang semakin
beragam. Untuk itu diharapkan aparat pemerintah dan masyarakat dapat
meningkatkan kepeduliannya trehadap berbaga hal yang berkaitan dengan
terjadinya suatu tindak pidana yang berpengaruh pada kamtibmas. Undang-
undang telah menyatakan bahwa Polri selain mempunyai tugas dan membina
keamanan dan ketertiban masyarakat Polri juga mempunyai tugas untuk membina
keamanan dan ketertiban masyarakat polri juga mempunyai tugas sebagai
penyidik atau penegak hukum dalam semua jenis tindak pidana.
Membahas tugas pokok dan peranan Polri sebagai penyidik tidak terlepas
membicarakan tentang peran penegakan hukum merupakan istilah yang diterima
sebagai penerapan undang-undang. Di dalam penegakan hukum khususnya
hukum pidana yang dilaksanakan Polri selalu berhubungan dengan persoalan
keamanan dan ketertiban masyarakat, dalam hal ini tugas pokok dan peranan Polri
sudah diatur dalam undang-undang Kepolisia Republik Inodnesia yaitu Undang-
8
Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan
sesuai dengan undang-undang tersebut di atas tugas dan pokok wewenang Polri
diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 15 yang menentukan3 :
Pasal 13
Tugas Pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah :
a. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
b. Menegakan hukum
c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Pasal 14
(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
a. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terjadap kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan.
b. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas jalan.
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum masyarakat serta kegiatan warga masyarakat terhadap hukum dan perundang-undangan.
d. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional.e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum.f. Melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis terhadap
kepolisian khusus, penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan bentuk pengamanan swakarsa.
g. Melakukan penyelidikan, dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum secara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
h. Menyelenggarakan identifikasi kedokteran keplisian laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian.
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat lingkungan, dari gangguan ketertiban dan bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian, serta
k. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
3 undang-undang nomor 3 tahun 2004 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
9
(2) Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f diatur lebih lanjut dnegan peraturan pemerintah.
Pasal 15
Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dan 14 Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang :
a. Menerima laporan dan atau pengaduan;b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum.c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat.d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa.e. Mengeluaran peraturan Kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif
kepolisian.f. Melaksanakan tindakan pemeriksaan pemeriksaan khusus sebagai dari
tindakan kepolisian dalam rangka pencegahan.g. Melakukan tindakan pertama di tempat di kejadian.h. Mengambil sidik jari dan identifikasi lainnya memotret seseorangi. Mencari keterangan dan barang bukti.j. Menyelenggarakan pusat informasi kriminalk nasional.k. Mengeluarkan surat izin dan surat keterangan yang diperlukan dalam rangka
pelayanan masyarakat.l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan nasional lain, serta kegiatan masyarakat.m. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Kepolisian sebagai lembaga yang pertama kali harus dilalui dalam proses
peradilan pidana, oleh karenanya mempunyai wewenang untuk melakukan
serangkaian kegiatan-kegiatan mulai dari penyelidikan, penyidikan, penahanan,
penyitaan sampai dengan ditemukannya sesuatu kejahatan yang telah dilakukan.
Tugas polisi menurut suatu tingkat kepribadian yang tinggi dalam arti anggota
polisi untuk taggap dan tampil dalam menangani kasus-kasus yang mrnyangkut
ketertiban dan keamanana masyarakat. Sifat cakap dan penuh tanggungjawab
terhadap pelaksanaan tugas memperoleh hasil yang diharapkan. Anggota polisi,
10
dituntut pula mengetahui hukum yang memeadai, mngingat karena tugasnya ia
harus dapat memberikan penilaian terhadap perbuatan yang dapat dikualifikasikan
sebagai tindak pidana. Selain itu ia harus segera mengambil sikap kapan harus
bertindak apabila terjadi peristiwa pelanggaran hukum. Polisi juga dianggap
sebagai wasit terhadap nilai-nilai sosial ”an arbiter of social values”, karena ia
yang berhadapan langsung dengan situasi sehari-hari, sehingga dalam praktek
sewajarnya jika terjadi tindak pidana, tindakan polisi dipengaruhi oleh hal-hal
yant bersifat praktis, seperti sering terlihat dalam penanganan oleh polisi terhadap
pelanggaran lalulintas.
Sebagai salah satu lembaga penegak hukum, polisi diletakkan digaris depan dalam
menghadapi situasi perubahan sosial yang cepat akibat timbulnya moderenisasi
dibidang teknologi, khususnya dalam mencegah kejahatan kejahatan moderen
seperti terorisme, penyandraan, pembajakan udara, disamping menghadapi
bentuk-bentuk kejahatan umumnya seperti pencurian, perampokan, pemerkosan,
penipuan, narkotika, pisikotropika dan zat adiktif lainnya, kekerasan dalam rumah
tangga dan tugas-tugas lainnya. Tugas multi kompleks (multipel of fungcions) ini
disebabkan polisi tidak dapat menghindari diri, ia harus berkontak langsung
dengan masyarakat, tetapi juga selalu berkonfrontasi dengan masyarakat tersebut.
Bimbingan masyarakat adalah tugas untuk menciptakan ketaatan warga kepada
hukum serta peraturan-peraturan negara yang dalam pelaksanaannya menghendaki
kerjasama dengan instansi baik pemerintah maupun organisasi kemasyarakatan
lainnya.
11
Tugas yang bersifat preventif atau pencegahan meliputi tugas pokok sebagai
pemelihara ketertiban dan menjamin keamanan untuk mencegah dan memberantas
menjalarnya penyakit masyarakat, termasuk memberi perlindungan dan
pertolongan. Tugas inipun dalam pelaksanaan dilakukan bekerjasama dengan
satuan kepolisian lainyang sengaja dibentuk untuk menjalankan tugas kepolisian.
2.2 Dasar Hukum Perlindungan Terhadap KDRT
Perangkat hukum yang menjadi pegangan aparat hukum mulai dari Polisi, Jaksa,
Hakim dan Pendamping Hukum korban maupun pelaku dalam penanganan kasus-
kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) selama ini adalah KUHP dan
KUHAP sebagai peraturan pelaksanaannya. Dalam praktiknya KUHP memiliki
kelemahan mendasar dalam melindungi korban KDRT. Kelemahan-kelemahan
mendasar itu antara lain :
1. KUHP tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga
Istilah ini penting untuk dikemukakan mengingat ideologi harmonisasi
keluarga yang selama ini ditanamkan dalam benak masyarakat maupun aparat
hukum ialah tidak menganggap serius adanya kekerasan dalam rumah tangga
atau masalah rumah tangga hanya sebagai masalah privat.
2. KUHP hanya mengatur secara terbatas ruang lingkup kekerasan dalam rumah
tangga. KUHP tidak mengenal ruang lingkup rumah tangga, perangkat ini
mengatur secara sangat umum wilayah kasus-kasus kekerasan. Pasal 351-356
yang mengatur kasus penganiayaan hanya terbatas pada kekerasan fisik,
bentuk kekerasan psikis, ekonomi dan sosial tidak diatur dalam KUHP. Pasal
12
442 tentang penyanderaan dan Pasal 470 tentang perampasan kemerdekaan
seseorang dianggap sudah menampung kekerasan psikis, padahal kedua pasal
itu hanya mengatur dua bentuk perbuatan (penyanderaan dan perampasan)
saja. Pasal tentang perkosaan (Pasal 285) menerangkan bentuk perkosaan
terbatas pada persetubuhan atau penetrasi penis ke dalam vagina perempuan
secara paksa, belum termasuk benda-benda lain selain penis yang dmasukkan
secara paksa ke dalam vagina atau bagian tubuh perempuan lainnya serta
perlakuan menggesek-gesekkan penis ke bibir kelamin perempuan di luar
kehendak perempuan.
Pasal-pasal lain tidak mengenal istilah pelecehan seksual, yang ada haya
istilah perbuatan cabul, tindakan kekerasan sesual berupa penyerangan
seksual seperti serangan yang ditujukan untuk memperkosa, namun tidak
sampai terjadi perkosaan. Oleh KUHP, tindakan ini ditempatkan sebagai
tindakan percobaan semata atau perbuatan cabul.
Istilah yang digunakan dalam KUHP adalah ”kejahatan terhadap kesusilaan”
tidak menggunakan istilah kejahatan seksual yang diartikan sebagai perbuatan
pidana berkaitan dengan seksualitas yang dapat dilakukan terhadap laki-laki
atau perempuan. Penggunaan istilah kesusilaan menyebabkan masyarakat
terutama aparat hukum sering terjebak dalam menempatkan pasal-pasal
kesusilaan semata-semata sebagai persoalan pelanggaran terhadap nilai
budaya, norma agama, atau sopan santun yang berkaitan dengan nafsu
perkelaminan (birahi) bukan kejahatan terhadap tubuh dan jiwa seseorang.
13
3. KUHP tidak tegas dalam menjerat pelaku kekerasan dalam rumah tangga.
Sanksi pidana penjara atau denda bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga
lebih ditujukan untuk penjeraan. Padahal bentuk kekerasan dalam rumah
tangga memiliki tingkat kekerasan yang beragam terutama bila dilihat dari
dampak kekerasan yang dialami korban yang semestinya dikenakan
penerapan sanksi yang berbeda kepada pelakunya. Selain itu penghukuman
penjara sering membat dilema tersendiri bagi korban karena kondisi
ketergantungan korban pada pelaku secara ekonomi dan sosial, sehingga
korban cenderung untuk tidak melaporkan tindak kekerasan yang dialaminya.
Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala
bentuk kekerasan sesuai dengan dasar negara dan tujuan negara indonesai,
segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan
pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Sehingga
peperintah menganggap perlunya dibentuk suatu peraturan perundang-
undangan untuk mengakomodir kepentingan masyarakat terhadap tindak
pidana kekersan dalam rumah tangga, karena dalam kenyataannya kasus
kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di
indonesia belum menjamin terhadap korban kekerasan dalam rumahtangga.
Mengingat KUHP indonesia masih merupakan peninggalan kolonial Belanda
yang pada masa itu belum ada tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga
sehingga pasal-pasal didalam KUHP tidak bisa secara spesifik menjangkau
kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga.
14
2.3 Pengertian dan Bentuk-Bentuk KDRT
Dengan telah disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tanggal 22
September 2004 mengenai penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (PKDRT)
yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal diharapkan adanya perlindungan hukum bagi
anggota keluarga khususnya perempuan, dari segala tindakan kekerasan dalam
rumah tangga. Untuk itu kita perlu mengetahui apa yang dimaksud dengan
kekerasan dalam rumah tangga dan juga bagaimana bentuk dari kekerasan itu
sendiri yang semuanya terurai dalam asal-pasa penting yang diatur dalam undang-
undang ini.
1. Pengertian kekerasan dalam rumah tangga ;
Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatna terhada seseorang
terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau pendeitaan
secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penganiayaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Penghapusan kekerasan dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan
oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,
meninda pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban
kekerasan dalam rumah tangga.
2. Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga :
Adapun bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tanga antara lain :
a. Kekerasan fisik (pasal 5)kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit dan luka berat.
15
b. Kekerasan psikis (Pasal 6)Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tdak berdaya, dan atau penderitaan psikis beras pada seseorang.
c. Kekerasan seksual (Pasal 7) atauKekerasan seksual sebagaimana dimaksud pasal 5 huruf c meliputi :1) Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang
menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut.2) Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersal dan atau tujuan tertentu.
c. Penelantaran rumah tanggaYang dimaksud dengan penelantaran rumah tangga adalah :1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah
tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut.
2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut (Pasal 9).
3. Ruang Lingkup
a. Lingkup rumah tangga dalam undang-undang ini meliputi :
1) Suami Isteri dan anak
2) Orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang karena
hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian
yang menetap dalam rumah tangga.
3) Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam
rumah tangga tersebut.
b. Orang yang bekerja yang dipandang sebagai anggota keluarga dalam
jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan.
16
Apa yang harus dilakukan apabila menemukan kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak di lingkungan kita :
a) Segera laporkan kejadian ke Polisi
b) Segera visum
c) Berikan penguatan, pendampingan kepada korban agar korban kuat
menghadapi masalah.
d) Kumpulkan bukti-bukti dan data saksi.
e) Sosialisasikan undang-undang kepada mayarakat dan keluarga.
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga
Faktor yang mempengaruhi timbulnya tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga yaitu :
1. Faktor dari masyarakat itu sendiri yaitu adanya kesulitan ekonomi atau
kemiskinan, urbanisasi yang terjadi disertainya kesenjangna pendapatan
antara pasangan suami isteri (Pasutri), ketergantungan obat, dan keadaan
lingkungan dengan frekuensi kekerasan dan kriminalitas tinggi.
2. Faktor dari keluarga yaitu adanya keluarga yang sakit yang membutuhkan
bantuan terus menerus seperti misalnya anak dengan kelainan mental,
kehidupan keluarga kacau tidak saling mencintai dan menghargai serta tidak
menghargai peran wanita, kurang adanya keakraban dan hubungan jaringan
sosial pada keluarga.
3. Faktor individu yaitu wanita yang ingin bercerai dengan suaminya, menikah
di usia terlalu dini, sifat memiliki cemburu yang berlebih.
17
4. Implikasi negatif dari perkembangan masyarakat yang semakin berkembang,
di samping faktor perangkat hukum dan penegak hukum yang ternyata dalam
pelaksanaan proses penyidikan atau menanganai perkara tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga belum sepenuhnya mampu mengacu pada
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004.
Faktor lain penyebab terjadinya kekerasan dalam rumah tangga yaitu faktor
adanya orang ketiga dalam rumah tangga (wanita idaman lain) sehingga tidak ada
lagi keharmonisan dalam rumah tangganya, berlatar belakang itulah sering kali
suami melakukan kekerasan fisik terhadap isterinya.
2.5 Proses Penyidikan Tindak Pidana KDRT
Bahwa penyidikan tindak pidana hakekatnya merupakan suatu upaya penegakan
hukum yang bersifat pembatasan / pengekangan hak-hak warga negara dalam
rangka usaha untuk memulihkan terganggunya keseimbangan antara kepentingan
individu dan kepentingan umum guna terpeliharanya keamanan dan ketertiban
masyarakat.
Oleh karenanya penyidik tindak pidana sebagai salah satu tahap dari pada
penegakan hukum pidana harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Maka untuk pelaksanaan penyidikan tindak
pidana perlu dikeluarkan petunjuk pelaksaaan yang mengatur prosedur
penyidikan. Ruang lingkup petunjuk pelaksanaan ini meliputi pokok-pokok
petunjuk yang mencakup :
18
a. Kegiatan penyidikan
b. Bantuan Teknis Operasional
c. Administrasi Penyidikan
d. Komando dan penyidikan.
Di dalam melaksanakan penydikan perlu memperhatikan asas-asas yang terdapat
dalam Hukum Acara Pidana yang menyangkut hak-hak warga negara antara lain4 :
a. Praduga tak bersalahsetiap orang yang disangka, ditangkapo, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
b. Persamaan dimuka hukumPerlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan.
c. Hak pemberian bantuan/ penasehat hukumSetiap orang yang tersangkut perkara tindak pidana wajib diberi kesempatan memperoleh bantuan hukuam yang semata-mata diberikan untuk melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya, sejak saat dilakukan penangkapan dna atau penahatanan. Sebelum dimulainya pemeriksaan keada tersangka wajib diberitahukan tentang apa yang disangkakan kepadanya dan haknya untuk mendapatkan bantuan hukum atau dalam perkaranya itu wajib disampingi penasehat hukum.
d. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat sedehrana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekwen dalam seluruh tingkat peradilan.
e. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat diberi wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dengan undang-undang.
f. Kepada seseorang yang ditangkap, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut, dipidana dan atau dikenakan sanksi hukum administrasi.
g. Penyelidikan dan penyidik mempunyai wewenang melakukan tugas masing-masing pada umumnya di seluruh Indonesia. Khususnya di daerah hukum masing-masing di mana diangkat sesuai dengan ketentuan undang-undang.
4 Skep Kapolri No. Pol : Skep/123/IX/2002. Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Polri di Lapangan
19
Adapun istilah dalam proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan Polri
adalah sebagai berikut :
a. Penyidikan adalah serangkaian penyidik untuk mencari dan mengumpulkan
buku yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya, dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam KUHPP
b. Tindak Pidana yaitu setiap perbuatan yang diancam hukuman sebagai
kejahatan atau pelanggaran baik yang disebut dalam KUHP maupun peraturan
perundang-undangan lainnya.
c. Penyidik adalah Pejabat Polri atau pejabat PNS tertentu yang diberi
wewenang khuss oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
d. Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang karena diberi wewenang
tertentu dapat melakukan tugas penyidikan yang diatur dalam KUHAP.
e. Penyelidikadalah pejabat Polri yang diberi wewenang oleh KUHAP untuk
melakukan penyelidikan.
f. Penyelidikan adalah mencari dan mengumpulkan informasi dengan laporan /
pengaduan tentang benar / tidaknya telah terjadi suatu tindak pidana dan
mendapatkan keterangan, kejelasan tentang tersangka dan atau bukti dan atau
saksi secara lengkap supaya dapat diadakan penindakan dan pemeriksaan.
g. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaanya
berdasarkan bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
20
h. Saksi adalah orang yang dapat membreikan keternagan guna kepentingan
tingkat penyidika, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara yang ia
dengar sendiri, ia melihat sendiri dan ia alami sendiri.
i. Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseornag karena hak
dan kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang
tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
j. Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang
berkepentingan kepada pejabat yang berwenang guna menindak menurut
hukum seorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang
merugikannya.
k. Laporan Polisi adalah laporan tertulis yang dibuat oleh petugas Polri tentang
laporan atau pengaduan yang diterimanya dan setelah dibacakan kembali
dihadapkan pelapor atau pengadu kemudian ditutup dan ditandatangani oleh
pelapor atau pengadu dan petugas yang bersangkutan atas kekuatan sumpah
jabatan atau suatu peristiwa kejahatan atau pelanggaran yang diketahuinya
sendiri, kemudian ditutup dan ditandatangani atas kekuatan sumpah jabatan.
l. Tempat Kejadian Perkara
Yaitu tempat di mana suatu tindak pidana dilakukan / terjadi dan tempat-
tempat lain di mana tersangka dan atau korban dan atau barang bukti yang
berhubungan dengan tindak pidana tersebut dapat ditemukan5.
5 Skep Kapolri No. Pol : Skep/126/IX/2000, Buku Juklak dan Juknis Pelaksanaan Penyidikan.
21
BAB IIIIII. METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan dua cara,
yaitu secara yuridis normatif dan yuridis empiris6 (Soejono Soekanto, 1984 : 51).
Pendekatan normatif adalah pendekatan, penelitian kepustakaan untuk
memperoleh data sekunder dengan cara menghubungkan peraturan-peraturan
tertulis atau buku hukum yang membuat bahan yang erat hubungannya dengan
masalah penyidikan terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di
Polres Tulang Bawang.
Sedangkan pendekatan yuridis empiris dilakukan untuk memperoleh data primer
yang dilakukan dengan wawancara di lokasi penelitian melalui wawancara dengan
responden yakni petugas yang berwenang dalam masalah yang berhubungan
dengan penyidikan terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga di
Polres Tulang Bawang.
3.2 Sumber dan Jenis Data
Sumber data yang diperoleh atau yang diperlukan dalam penelitian ini adalah
menggunakan data primer dan data sekunder.
6 Soejono Soekanto, 1984 : 51
22
Data primer adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian pada lokasi penelitian
yakni berupa keterangan atau penjelasan dari responden Kanit Penanganan
Khusus Polres Tulang Bawang, Penyidik atau Penyidik Pembantu pada RPK
Polres Tulang Bawang serta dari para tersangka Tindak Pidana Kekerasan dalam
Rumah Tangga, yang mana semua responden memiliki kemampuan dan
menguasai masing-masing tugasnya sebagai pejabat yang berwenang. Melalui
teknik wawancara secara mendalam (deep study) diharapkan untuk mendapatkan
informasi lengkap dan jelas.
Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari serangkaian kegiatan studi
kepustakaan, terutama diarahkan untuk mencari dan mengadakan pemahaman
hasil-hasil pemikiran para pakar dengan cara membaca, menelaah, mencatat,
mengutip peraturan perundang-undangna, buku-buku ilmiah, dokumen dan
tulisan-tulisan ilmiah maupun informasi lain yang berhubungan dengan penelitian.
3.3 Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data
3.3.1 Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Studi Kepustakaan
Studi ini dimaksud untuk memperoleh data sekunder dengan cara membaca,
mempelajari, mengutip dan merangkum data yang berkaitan dengan
permasalahan yang berasal dari bahan-bahan pustaka.
b. Studi Lapangan
23
Studi lapanan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data primer yaitu dengan
wawancara dan observasi atau pengamatan di lokasi penelitian yang
berdasarkan daftar pertanyaan yang diajukan kepada responden dengan
diperluas ketika wawancara berlangsung secara bebas, terbuka dan terarah.
Para responden diambil dari: 1) Kanit Penanganan Khusus Polres Tulang
Bawang, 2) Penyidik atau Penyidik Pembantu pada Polres Tulang Bawang
serta dari para tersangka sejumlah 2 (dua) orang Tindak Pidana Kekerasan
dalam Rumah Tangga.
3.3.2 Prosedur Pengolahan Data
Setelah semua data terkumpul baik itu data primer maupun data sekunder maka
dapat diolah melalui prosedur sebagai berikut :
a. Data yang diperoleh diperiksa apakah data tersebut telah benar. Untuk data
yang benar diambil, sedangkan data yang kurang lengkap dilengkapi.
b. Data yang telah diperiksa selanjutnya dikelompokkan sesuai dengan sub-sub
bahasan. Pengolahan data dilakukan untuk mempermudah
menginterprestasikan data dan memberi arti terhadap data yang diperoleh
melalui studi kepustakaan dan studi lapangan.
3.4 Analisis Data
Tujuan analisis data adalah untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk yang
lebih mudah dibaca dan menginterprestasikannya. Analisis data dalam penelitian
24
ini menggunakan analisis kualitatif, artinya menguraikan data yang telah diolah
secara rinci ke dalam bentuk kalimat.
Berdasarkan hasil analisis data tersebut dapat ditarik suatu kesimpulan secara
induktif, yaitu cara berfikir dan hal-hal yang bersifat khusus ke arah sifat yang
lebih umum dan selanjutnya dari berbagai kesimpulan tersebut dapat diajukan
saran-saran.
25
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Responden
Responden yang diwawancarai pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Nama : Rizal S.H.
Umur : 42
Pendidikan : Sarjana Starata Satu
Jabatan : Bigadir Polisi
Alamat : Perumahan Dinas Plolres Tulang Bawang
2. Nama : Arianto S.H.
Umur : 38
Pendidikan : Sarjana Starata Satu
Jabatan : Bigadir Polisi
Alamat : Perumahan Dinas Polres Tulang Bawang
3. Nama : Yonnawati S.H.,M.H
Umur : 40 Tahun
Pendidikan : Sarjana Strata Dua
Jabatan : Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Megou Pak
26
Alamat : Tanjungkarang Bandar Lampung
4. Nama : Yuli Purwanti S.H.,M.H.
Umur : 30 Tahun
Pendidikan : Sarjana Strata Dua
Jabatan : Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Megou Pak
Alamat : Tanjungkarang Bandar Lampung
4.2 Data Kasus Kekerasan dalam rumahTangga di Polres Tulang Bawang
Data Kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga pada tahun 2011 yang
ada di pores Tulang Bawang dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:
No BULAN KEJADIAN PENERAPAN PASAL
1 1 3 41
2
3
4
5
6
7
8
9
JANUARI
FEBRUARI
MARET
APRIL
MEI
JUNI
JULI
AGUSTUS
SEPTEMBER
3 Kasus
2 Kasus
2 Kasus
1 Kasus
4 Kasus
1 Kasus
-
2 Kasus
3 Kasus
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
-
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
27
10
11
12
OKTOBER
NOVEMBER
DESEMBER
2 Kasus
3 Kasus
-
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
Pasal 44 Undang-Undang KDRT
-
JUMLAH 23 Kasus
Sumber: Unit RPK Polres Tulang Bawang
Sebelum melakukan pembahasan lebih lanjut mengenai penyidikan tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga akan diurikan terlebih dahulu mengenai ketentuan
Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang menjadi dasar penuntutan oleh aparat
kepolisian. Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang KDRT menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan dalam lingkup rumah
tangga sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.
15.000.000,00 (limabelas juta rupiah)”
Selanjutnya dinyatakan pada Ayat (2) sebagai berikut:
“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) mengakibatkan
korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 30.000.000,00
(tigapuluh juta rupiah)
Menurut Rizal bahwa dari jumlah 23 (dua puluh tiga) kasus tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga yang ada tersebut mengalami peninakatan,
28
semuanya dilakukan penyidikan sampai pada tingkat penuntutan yaitu kejaksaan
dan semuanya merupakan pengaduan langsung dari korban KDRT. Hal ini
menunjukkan semakin berkembangnya ksesadaran hukum masyarakat untuk
mulai bisa menerima bahwa tindak kekerasan dalam rumah tangga merupakan
tindakan kriminal, sehingga masyarakat tidak perlu ragu-ragu dalam melakukan
pelaporan kasus kekerasan dalam rumah tangga trsebut.
Bahwa dari data jumlah kasus kekerasan yang terjadi pada RPK Polres Tulang
Bawang, semuanya merupakan pengaduan dari Korban, sementara jika dilihat
didalam masyarakat masih banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang
tidak dilaporkan oleh korban kepada Polisi, dalam penerapan pasal kepada
tersangka berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa semua kasus kekerasan
dalam rumah tangga yang terjadi, Penyidik RPK Polres Tulang Bawang sudah
mampu menerapkan Undang-Undang Nomor 23 Tentang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga, tidak lagi berpatokan pada KUHP semata.
4.3 Proses Penyidikan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Menurut Arianto Kanit Ruang Pelaya n an Khusus (RPK) Polres Tulang Bawang
bahwa penyidikan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga hakekatnya
merupakan suatu upaya penegakan hukurn yang bersifat
pembatasan/pengekangan hak-hak warga negara dalam rangka usaha untuk
memulihkan terganggunya keseimbangan antara kepentingan individu dan
kepentingan umum guna terpelihiranya keamanan dan ketertiban masyarakat.
29
Sesuai dengan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004
bahwa dalam wakti 1 x 24 jam (satu kali duapulh empat) jam terhitung sejak
mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga polisi wajib
segera memberikan perlindungan sementara kepada korban. Selanjutnya polisi
wajib segera melakukan penyidikan setelah mengetahui atau menerima laporan
tentang terjadinya kekerasan dalam rumah tangga.
Oleh karenanya penyidikan tindak pidana sebagai salah satu tahap dari pada
penegakan hukum pidana harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proses penyidikan terhadap
tindak pidana kekerasan dalarn rumah tangga sebenarnya hampir sama
dengan proses penyidikan tindak pidana lain yang disidik oleh Polri hanya
dalam penanganan kasus tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga karena
sebagai korban adalah perempuan maka untuk lebih profesionalnya Polri
menggunakan ruang pelayanan khusus dan Polisi Wanita (Polwan) dengan
tujuan agar korban merasa nyaman berkomunikasi dengan Polwan sebagai
sesama perempuan, apalagi terhadap kasus perkosaan dan penganiayaan yang
pelakunya adalah kaum laki-laki sehingga besar kemungkinan korban akan
memproyeksikan sikap dan emosi negatifnya pada kaum laki-laki, situasi
tersebut sangat tidak menguntungkan dalam proses pemeriksaan dan
penyidikan oleh Polisi.
Beberapa keuntungan yang bisa diharapkan dari peran Polwan dalam
penydikan kasus - kusus kekerasar dalarn rumah tangga yaitu :
30
1. Hambatan Psikologis dapat dihindari
Hambatan yang berupa jarak psikologis antara pemeriksa dengan siter
priksa (korban) dapat dengan mudah diatasi, rasa malu merupakan
kendala utama bagi korban untuk menceritakan peristiwa yang
dialaminya, jarak psikologis ini dapat dikurangi jika penerima laporan
dan pemeriksa adalah Polwan; sehingga proses pemeriksaan dapat
berjalan lancar. Korban dapat dengan mudah menceritakan kronologis
kejadian dan persoalan yang melatar belakangi terjadinya tindak
kekerasan dalam rumah tangga yang dialaminya.
2. Komunikasi dapat berjalan dengan baik
Komunikasi antara korban dengan Polwan pemeriksa akan lebih mudah
terjalin sebab proses terciptanya empati (kemampuan untuk dapat
menghayati dan merasakan seperti apa yang dirasakan orang lain) lebih
mudah terbentuk, dengan demikian maka akan lebih cepat timbul
kepercayaan korban terhadap pemeriksa dan diharapkan akan terjalin
komunikasi dan kerja sama yang baik dalam proses pemeriksaan tsrsebut.
3. Informasi yang diperoleh dapat maksimal
Sebagai akibat dari terjalinnya komunikasi dan kerjasama yang baik maka
dengan sendirinya dapat diharapkan diperoleh informasi yang maksimal,
hanya perlu diperhatikan agar Polwan sebagai pemeriksa agar berpandangan
obyektif tidak subyektif dan larut dalam emosi dan tetap berpedoman
pada ketentuan yang ada.
31
Menurut Rizal seorang Penyidik Pembantu pada unit Ruang Pelayanan Khusus
bahwa mekanisme hubungan tata cara kerja (HTCK) dalam penanganan kasus
kekerasan dalam rumah Tangga atau Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP)
dalam internal (antar fungsi) Kepolisian Resort Tulang Bawang sebagai berikut:
1. Penerimaan laporan /pengaduan dan masyarakat atau LSM dalam usalan .
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) atau Kekerasan Terhadap
Perempuan (KTP) dan anak korban kekerasan dikantor polisi, akan dilayani
oleh personil SPK (Sentral Palayanan Kepolisian) yang dibantu oleh Polwan
yanmas yang diperbantukan pada RPK atau polwan unit RPK langsung
yang melaksanakan fungsi yanmas untuk dibuatkan Laporan Polisi.
2. Terhadap kasus yang tidak memenuhi unsur pidana dapat dilakukan upaya
bantuan melalui konseling atau kerja sama dengan fungsi lain dilingkungan
Polri yaitu bidang Dokkes, bidang Psikologi dan bidang Pembinaan
Mental, mitra kerja/LSM dan instansi terkait dalam hal ini Dinas sosial.
3. Bila kasus yang ditangani memenuhi unsure-unsur pidana maka untuk
kelanjutannya dilimpahkan pada fungsi reskrim yaitu unit RPK untuk
dilakukan proses Penyidikan lebih lanjut sampai dengan berkas
penyidikan diterima oleh Jaksa.
4. Mengingat bahwa personil RPK, bisa terdiri dari pengemban fungsi
reskrim umum dan Yanmas/SPK maka diperlukan koordinasi yang
harmonis dan terpadu antara pembina kedua fungsi tersebut dalam rangka
memaksimalkan kinerja RPK.
32
5. Apabila ada kasus Pengaduan/Laporan perihal Kekerasan dalam rumah
Tangga atau Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dan Kekerasan
Terhadap Anak yang diterima oleh Polsek jajaran Polres Tulang Bawang
maka penanganannya bisa ditarik dari Polsek ke RPK.
6. Dalam hal diperlukan hubungan tata cara kerja (HTCK) lintas sektoral
dengan instansi terkait (Depsos) dan LSM diluar polri (jaringan kerja
sama), tetap berpedoman kepada HTCK yang berlaku dilingkuugaa Polri.
7. Apabila korban kekerasan dilakukan Visum dan perlu dirawat dirumah
sakit maka akan dikirim ke rumah sakit yang menyediakan fasilitas unit
pelayanan terpadu (UPT) yang sudah bekerja sama dengan Polri dalam
hal ini Rumah Sakit Umum Daerah Menggala.
Pusat Krisis Terpadu adalah suatu tempat yang memberikan pelayanan
terpadu dan menyeluruh kepada perempuan dan anak yang menjadi korban
kekerasan. Pelayanan yang diberikan oleh UPT/PKT adalah pelayanan medis
baik fisik maupun mental analisis dan konseling pisiko sosial dan akses yaitu
pendampingan.
Pelaksanaan pengiriman berkas kasus Tindak Pidana Kekerasan dalam
Rumah Tangga Polisi saling berkoordinasi dengan Jaksa agar berkas yang
belum lengkap/kurang dapat diberikan petunjuk oleh Jaksa untuk dilengkapi
oleh Polisi sehingga kasus tersebut bisa dapat diteruskan pada tingkat
persidangan dan mendapat vonis.
33
Berdasarkan wawancara dengan Rizal pelaksanaan penyidika kasus kekerasan
dala rumah tangga dapat dicontohkan sebagai berikut:
Berkas laporan polisi nomor LP/571/XII/2011/Resort Tuba, tanggal laporan
13 November 2011. Nomor berkas perkara PP/104/XII/2011/Dit Reskrim,
tanggal 13 November 2011, yaitu kekerasan fisik yang dilakukan oleh suami
terhadap istrinya dengan cara ditinju dan pada bagian telinga dan ditendang.
Atas nama tersangka, Heri Wijaya bin Raja Hukum, dengan korbannya
adalah: Suarti Kifli Binti Sulkifli. Kasus ini diajukan ke Jaksa Penuntut
Umum dengan surat pengantar Nomor. Pol: B/104/I/2012/Reskrim, tertanggal
7 Januari 2012 telah disidangakn di Pengadilan Negeri Menggala.
Terhadap perkara yang timbul dilakukan penyidikan dengan dilakukan
dengan pemeriksaan terhadap saksi atau tersangka serta mengumpulkan
barang bukti yang dikemas dalam suatu berkas perkara yang diajukan pada
penuntut umum untuk dilakukan penuntutan disidang pengadilan. Karena
diantara pelaku dengan korban terdapat suatu ikatan perkawinan, maka
didalam perjalanan proses penyidikan sering dilakukan jalan perdamaian.
Menurut wawancara dengan Yuli Purwanti bahwa sistem peradilan pidana
Indonesia adalah system peradilan pidana yang terintegrasi (integrated
criminal justice system), system peradilan pidana terintegrasi merupakan
serangkaian proses penegakan hukum yang terdiri dari elemen-elemen sub
system terdiri dari serangkian proses peradilan antaralain penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan disidang peradilan secara berkesinambungan
34
sesuai dengan hukum acara pidana Indonesia yang kemudian berahir pada
putusan pengadilan. Sehingga didalam pelaksanaan proses peradilan aparat
penegak hukum dituntut untuk bertindak professional dalam menangani
kasus-kasus pidana yang telah masuk,
koordinasi yang baik antar subsistem akan berdampak baik terhadap system
peradilan pidana Indonesia. Hal tersebut sangat diperlukan mengingat saat ini
masyarakat semakin tidak percaya dengan kinerja badan peradilan yang ada,
masyarakat beranggapan bahwa badan peradilan adalah badan yang bisa
dibeli dengan uang, tuntutan jaksa atau putusan ahkim bias disesuaikan
dengan uang yang bisa diberika oleh tersangka atau terdakwa hal-hal
semacam ini jika tidak disikapi oleh badan peradilan akan menimblukan
sikap apatis bagi masyarakat pencari keadilan.
Antar susbsistem dalam lembaga peradilan di Indonesia tidak perlu saling
menunjukkan tendensi masing-masing melainkan harus menciptakan suasana
koordinasi yang baik terlebih lagi dalam penyelesaikan kasus kekerasan
dalam rumah tangga yang memang merupaka kasus pidana biasa bukan kasus
pidana kusus seperti korupsi atau pun narkotika.
Fragmentasi organisasi peradilan pidana secara sederhana sesungguhnya
dapat diukur dari tingkat kejahatan yang tersaring oleh sistem peradilan
pidana dari pelanggaran hukum yang terus berlangsung. Pada saat itu dapat
disimpulkan bahwa masyarakat tidak akan sanggup mengulangi kejahatan
secara efektif apabila sistem peradilan pidana menonjolkan fragmentasinya,
35
atau dengan kata lain jika satu dan komponen yang lainnya melepaskan diri
dari fungsi sistem menyebabkan ketidak efektifan sistem dalam menyerap
kejahatan.
Ironisnya semua penegak dan praktisi hukum yang menjadi aparat sistem
peradilan pidana dalam kenyataannya, karena kepentingan fragmentasi sering
mengakibatkan pencarian kebenaran dalam penegakan hukum,meski bukti
telah nyata dan jelas karena aparat peradilan pidana lebih mengutamakan
pertengkaran formil dan instansional sentris daripada tujuan pencarian dan
penemuan kebenaran (ultimate truth)7
Masih menurut Yuli Purwanti bahwa aliran hukum kritis (critical legal
studies) sebagai penerus aliran post modernisme tidak melihat system
peradilan pidana terintegrasi itu sebagai suatu wadah yag bebas dari
kepentingan politik dan kekuasaan, sehingga aliran ini menuntut adanya
pelaksanaan system peradilan pidana yang baik tanpa campur tanggan, dan
terpisah dari lembaga lainyna, menciptakan badan peradilan yang bersih dan
berwibawa. Aliran ini juga menuntut adanya pembentukan suatu lembaga
baru dluar system yang diakui dan berlaku universal , seperti pembentukan
lembaga baru diluar kekuasaan peradilan di Indonesia saatini sepeti
pembentukan komisi yudsial, komisi kepolisian, atau komisi kejaksaan. Guna
menunjang kinerja badan peradilan.
7 M. Yahya Harahap. 1997. Suatu tinjauan pembuktia dikaitkan dengan penyidikan. Makalah Seminar nasional FH UNDIP.
36
Hal yang perlu sama-sama disikapi bahwa baerabagai persoalan hukum yang
timbul di negara ini salah satu kendala dalam penyelesaiiannya yang sering
muncul adalah aparat penegak hukum dan lembaga peradilannya yang masih
dianggap kurang memadai dan lain sebagainya, hal ini telah berlangsung
selama bertahun-tahaun sehingga menimbulkan persepsi lemahnya atau tidak
berdayanya lembaga penegakan hukum dan aparat penegak hukum
diindonesia, hal semacam ini sesegera mungkin diperbaiki untuk
mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum.
4.4 Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan penyidikan Kasus Tindak Pidana Kekarasan dalam Rumah Tangga.
Berkembangnya kejahatan yang ada atau terjadi maka akan berkembangan pula
penerapan hukum atau sangsi terhadap pelaku kejahatan tersebut oleh karenanya
manusia dituntut untuk berfikir untuk menciptakan atau membuat peraturan atau
perundan- undangan yang sesuai perkembangan jaman, Polri sebagai penegak
hukum atau pelaksana dalam menegakkan hukum mau atau tidak mau dituntut
untuk profesional dan profossional, tentunya untuk mengarah, agar personil Polri
professional dan propossional tidak semudah membalikan telapak tangan, dituntut
kerja keras dan mau belajar dalam bidang ilmu yang berkembang ditengah
masyarakat.
Menurut Soerjono Soekanto8, berpendapat bahwa dalam pelaksanaan penegakkan
hukum dipengaruhi beberapa faktor :
8 Soerjono Soekanto, 1981. Hukum Pidana Indonesia. Hlm 45
37
1. Faktor hukumnya sendiri, atau peraturannya itu sendiri.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak - pihak yang membentuk maupun
menetapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum
4. Faktor masyarakat, yakni faktor lingkungan hukum dimana hukum
tersebut diterapkan.
5. Faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta rasa yang didasarkan pada
karsa manusia didalam pergaulan hidup.
Dari kelima faktor yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto9 bahwa faktor
pertama tidak menjadi faktor penghambat pelaksanaan penyidikan Tindak Pidana
Kekerasan dalam Rumah Tangga yang dilakukan oleh unit RPK Polres Tulang
Bawang, karena dari aspek perundang-undanga mengenai kekerasan dalam rumah
tangga sudah ada undang-undang yang mengaturnya yaitu Undangg-Undang
Nomor 23 tahun 2004 tentang pengahapusan kekerasan dalam rumah tangga.
Tujuan dibentuknya undang-undang ini merupakan wujud dari perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia dan perlindungan terhadap martabat kemanusiaan.
Sesai dengan falsafah pancasila sebagai dasar negara maka setiap warga negara
berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan termasuk
yang terjadi didalam lingkup rumah tangga atau keluarga. Penghapusan kekerasan
dalam rumah tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negarauntuk mencegah
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam
rumah tangga dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga.
9 Soerjono Soekanto. Ibid, hlm 47
38
Faktor kedua yaitu aparat penegak hukum, untuk menyelenggarakan pelayanan
terhadap korban pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan fungsi dan
tugasnya masing-masing melakukan upaya-upaya sebagai antara lain:
a. Menyediakan ruang pelayanan khusus dikantor kepolisian.
Kepolisian sebagai aparat penegak hukum yang bertugas dalam melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga telah
menyedikan Sentra Layanan Kepolisian yang dilakuka oleh polwan.
b. Menyediakan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing
rohani.
Kepolisian menyediakan aparat pada unit pidana umum yang husus
meangani kasus kekerasan dalam rumah tangga. Tenaga kesehatan
kepolisian bekerjasama dengan rumah sakit dan pusat pelayanan kesehatan
lainnya baik didaerah maupun propinsi. Pekerja sosial dalam hal ini adalah
lembaga swadaya masyarakat terkait mengenai masalah kekerasan dalam
rumah tangga. Pembimbing rohani diperlukan untuk kasus-kasus yang
korbanya menderita tekanan fisikis yang sangat berat sehingga untuk
menjaga mentalnya diperlukan tenaga pembimbing rohni. Selain itu pula
aparat penegak hukum diamantakan untuk mengembangkan sistem dan
mekanisme kerja yang telah dirancang oleh lembaga dan terhadap dana
untuk membiayai serangaian program-program kepolisian tersebut
mengingat negara indonesia sedang megalami krisis disegala bidang.
c. Faktor dari masyarakat itu sendiri.
39
Masyarakat sangat berpengaruh terhadap penegakan hukum dalam rangtka
pelaksanaan undang-undang kekerasan dalam rumah tangga faktor
masyarakat ini sangat penting terutama mengenai pemahaman masyarakat
tentang tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga, ini masih menjadi
faktor penghambat terpenting terutama bagi masyarakat terutama untuk
masyarakat awam yang masih menganggap bahwa kekerasan dalam rumah
tangga itu adalah urusan pribadi seseorang di dalam rumah tangganya
sehingga merupakan urusan pribadi mereka tidak perlu diketahui oleh
orang luar apa lagi harus ada campur tangan aparat penegak hukum.
Kecendrungan kaum perempuan tidak berani untuk melaporkan tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga yang mereka alamai disebabkan
berbagai alasan misalnya rasa malu untk melapor karena akan diketahui
orang banyak prilaku suaminya, rasa takut dengan keluarga besar, disisi
lain suami adalah ayah dari anak-anak mereka dengan pertimbangan ini
korban takut menyakiti perasaan anak-anak mereka dan juga karena
ketidak tauan mereka tentang keberadaan undang-undang pengahpusan
kekerasan dalam rumah tangga tersebut.
d. Faktor kebudayaan sebagai hasil dari cipta rasa dan karsa manusia.
Budaya yang tumbuh dalam masyarakat sangat mempengaruhi hukum
yang berlaku, pada masyarakat Lampung bagi kaum wanita yang
40
derajatnya dibawah kaum lakli-laki karena masyarakat lampung
berdasarkan patrilinial gari sketurun ayah sehingga kedudukan laki-laki
sangat kuat. Wanita pada masyarakat lampung sangat memegang teguh
komitmen dalam perkawinan seperti apa pun konsisi rumah tangganya
mereka tetap bertahan Serta kecendrungan wanita indonesia pada
umumnya yang sangat patuh dan hormat kepada suami. Kultur budaya
yang masih kental semacam ini berpengaruh terhadap penegakan hukum
terutama mengenai penghapusan kekerasan dalam ruma tangga yang
mengharuskan perempuan untuk berperan aktif melaorkan dan memohon
penyelesaian pada pengadilan sebagai korban.
Berdasarkan pengalaman responden selaku penyidik pembantu yaitu Siti Rochana
dalam melakukan penyidikan atau menangani kasus kekerasan dalam rumah
tangga atau kekerasan terhadap perempuan mempunyai beberapa kendala atau
hambatan yang sering dihadapi yaitu :masih kentalnya pemahaman dan korban
bahwa masalah dalam rumah tangga adalah masalah pribadi/domestik, yang orang
lain tidak boleh ikut campur yang membuat orang lainpun enggan turut campar,
sehingga pemahaman inilah yang membuat kasus KDRT bisa berlangsung dengan
aman dan terjadi berulang, korban kurang paham bahwa perbuatan pelaku adalah
merupakan tindak pidana, korban kekerasan dalam rumah tangga atau korban
kekerasan terhadap perempuan merasa enggan minta tolong selain takut mendapat
kekerasan yang lebih berat dan takut dianggap membuka aib keluarga sehingga
mereka tidak mau melapor ke Polisi, tenggang waktu antara kejadian dengan saat
korban melaporkan ke Polisi cukup lama sehingga bekas luka atau hasil visum et
41
repertum tidak mendukung, Korban rnerasa pelaku adalah tulang punggung
keluarga, sehingga apabila dilaporkan maka tidak ada yang membiayai korban/
keluarga untuk kelangsungan hidupnya, dana penyidikan/dana operasional juga
merupakan masalah yung cukup serius karena setiap dana yang dikeluarkan untuk
melakukan pemberkasan penyidikan ditanggung oleh pemeriksa/penyidik itu
sendiri. masih adanya interpensi/ kebijakan dari pimpinan baik itu kebijakan
untuk rneneruskan kasus tersebut atau memberhentikan penyidikan kasus tersebut,
adanya pencabutan laporan tuntutan atau penghentiatn penyidikan dari korban
terhadap tersangka dan upaya damai dari kedua pihak, serta minimnya kualitas
dan kuantitas personil Polri/Polwan yang berninat sebagai pemeriksa di unit
Ruang Pelayanan Khusus.
Menurut wawancara dengan Yonnawati bahwa” faktor penghambat dalam kasus
Kekerasan dalam Rumah Tangga dikarenakan adarasa malu yang dirasakan
korban bila melaporkan peristiwa yang dialaminya, sebagia masyarakat awam
masih merasa bahwa hal demikian adalah aib kluarga sehingga tidak patut
diselesaikan oleh orang-orang dari luar rumah apa lagi oleh aparat penegak
hukum”.
Masyarakat awam belum mengetahui bahwa bila terjadi tindakan kekerasan yang
dilakukan didalam keluarga itu merupakan tindakan pidana dan melanggar
ketentuan undang-undang negara. Sebagian besar masyarakat belum mengetahui
bahwa telah ada undang-undang tentang perlndungan dari tindak kekerasan dalam
rumah tangga hususnya terhadap perempuan.
42
Berdasarkan hasil pengamatan penulis bahwa pendapat responden diatas
memang betul baik mengenai dana oprasional yang menjadi kendala maupun
mengenai keengganan dari para korban untuk melaporkan tindakan kekeasan
yang dialaminya adanya, contohnya dana operasional yang diperuntukan
personil Polri bertugas dilapangan tidak ada padahal dana
operasional/penyidikan tersebut sangat menunjang keberhasilan dalam
pelaksanaan tugas sehingga seorang penyidik sebelum memulai kegiatan
penyidikan sudah harus berpikir mengenai dana yang harus dikeluarkan.
untuk proses penyidikan, belum adanya semacam penataran bagi penegak
hukum (Polisi, Jaksa, Hakim) untuk menyamakan persepsi tentang
pemahaman dan penerapann Undang-undang penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga, masih belum adanya keberanian dari korban untuk
melaporkan tindak pidana kekerasan yang dialaminya ke Polisi.
Begitu halnya dengan korban kekerasan dalam rumah tangga mereka malu
untuk melaporkan aib didalam keluarganya hal tersebut menurut mereka aka
menghancurkan nama baik suami selaku kepala rumah tangga. Adanya
kecendrungan masyarakat indonesia yang masih menjunjung etika ketimuran
bahwa suami harus dihormati bagaimana pun kondisinya. Para korban
kekerasan dalam rumah tangga baru melaporkan kasusnya kepolisian bila
benar-benar dalam kondisi yang sangat mendesak.
Menurut wawancara dengan Yuli Purwanti mengenai faktor penhambat dalam
kasus kekerasan dalam rumah tangga selain hambatan dari pihak korban itu
43
sediri hambatan lain juga berasal dari aparat penegak hukum yang kadang
kurang tanggap menenai penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga
mengingat aparat penegak hukum dalam kasus ini bertindak pasif karena
menunggu laporan dari pihak yang merasa dirugikan sehingga dalam
penanganan kasusnya pun lambat karena mungkin kesalahan penafsiran
mengenai sifat pasif tersebut. Terkadang birokrasi kepolisian yang
menyulitkan para pencari keadilan, pendapat yang dapat dikutip untuk
menggambarkan keadaan ini adalah pendapat dari Samuel Walker yang
menysatakan banyak kritik terhadap polisi yang dihubungkan dengan
birokrasinya seperti dipersalahkan karena kurang kreatif dalam merespon
perubahan sosial yang terjadi yang menjadi harapan masyarakat terhadapnya,
mereka juga dipersalakan karena kurang menggunakan kesempatan secara
maksimal untuk memajukan karirnya. Sehingga walaupun banyak aturan-
atauran tertulis yang mengikatnya, kepolisian sendiri tidak dapat mengontrol
prilaku aparat-aparatnya dengan efektif10. Hal demikian pun terjadi pada
aparat kepolisian republik indonesia hal demikian ini perlu segera diperbaiki
sehingga dapat memperbaiki citra aparat penegak hukum di Indonesia.
10 Samuel walker. 2004. Police In America ( edisi terjemahan), Mc. Graw Hill. Hlm 352
44
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
5.1.1 Proses Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diketahui bahwa proses penyidikan
terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai
berikut:
a. Penerimaan laporan langsung dari korban, kemudian akan dilayani
oleh personil SPK (Sentral Pelayanan Kepolisian) yang dibantu oleh
Polwan yanmas yang diperbantukan pada RPK atau Polwan unit RPK
langsung yang melaksanakan fungi yanmas untuk dibuatkan laporan
Polisi.
b. Terhadap kasus yang tidak memenuhi unsur pidana dapat dilakukan
upaya bantuan melalui konseling atau kerjasama dengan fungsi lain
dilingkungan Polri yaitu bidang Dokkes, bidang pisikologi, bidang
pembinaan mental, dan instansi terkait dalam hal ini Dinas Sosial.
45
c. Bila kasus yang ditangani memenuhi unsur-unsur pidana maka untuk
kelanjutannya dilimpahkan kepada fungsi reskrim, yaitu unit RPK
untuk dilakukan proses penyidikan lebih lanjut sampai dengan berkas
penyidikan diterima oleh Jaksa.
5.1.2 Faktor Penghambat Pelaksanaan Penyidikan Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Adapun faktor-faktor penghambat pelaksanaan penyidikan terhadap tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga adalah:
a. Faktor manusia dalam hal ini aparat kepolisian yang masih kurang
profesional karena kurangnya pendidikan kepolisian yang merata
pada seluruh anggota polisi, serta masih adanya pemahaman yang
berbeda antara penegak hukum dalam penerapan Undang-Undang
Nomor. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekersan dalam rumah
tangga.
b. Faktor anggaran operasi untuk penyidikan/penangnan kasus kekersan
dalam rumah tangga yang sangat kurang sehingga para
penyidik/personil polri mengalami kesulitan dalam pembiayaan
penangan kekerasan dalm rumah tangga.
c. Faktor waktu, yaitu waktu antara kejadian dengan saat korban
melapor ke polisi cukup lama, sehingga bekas luka atau hasil visum
et repertum tidak mendukung.
d. Faktor kesadaran ukum masyarakat yang masih rendah, ini dapat
dilihat dari korban masih merasa takut dan malu untuk melaporka
46
tindak pidana kekerasan yang dialaminya dan merupakan aib apabila
permasalahan yang dialami korban diketahui oleh orang lain serta
merasa pelaku adalah tulang punggung keluarga sehingga apabila
dilaporkan ke Polisi maka idak ada yang membiayai korban dan
keluarga untuk kelangsungan hidupnya.
5.2 Saran
Adapun saran yang bisa penulis sampaikan berkenaan dengan hasil penelitian
ini adalah :
1. Agar dalam penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 dapat
lebih efektif maka perlu adanya suatu peraturan atau pelatihan yang
terkoordinasi antara Polisi, Jaksa, Hakim, dan instansi terkait untuk
menyatukan pemahaman terhadap penerapan undang-undang Tersebut.
Bagi pihak polri khususnya Polres Tulang Bawang disarankan untuk
lebih meningkatkan keahlian dan keterampilan dalam bidang
penyidikan melalui pendidikan dan pelatihan terhadap para aparat
kepolisian serta adanya dana oprasional dalam proses penyidikan.
2. Agar tidak adanya interpensi dari pihak manapun dalam penyeleasaian
kasus ini dan untuk dilakukan proses penyidikan sebagaimana mestinya
agar membuat jera bagi pelaku agar tidak mengulangi lagi
perbuatannya. Selanjutnya masyarakat diharapkan tidak merasa takut
dalam melaporkan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang
dialaminya kepada Polri.
47
48
DAFTAR PUSTAKA
Chandrakirana, Kamala, " Hentikan Kekerasan Terhadap Perempuan'', http://www. Komnasperompuan.or.id, Rabu, 7 September 2006, Jam 12:29:11 Wib.
Delliyana, Shanty, Wanita Dan Anak Di Mata Hukum, Yogyakarta: Liberty,
Cet-V, 2004.
Arief, Barda Nawawi,. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Pidana. Citra Aditya Bakti, Bandung,
Skep Kapolri No. Pol. : Skep / 123 /IX / 2002. Buku Pedoman Pelaksanaan Tugas Polri di Lapangan.
Hasyim, Nur. Menunggu lahirnya UU Kekerasan dalam Rumah Tangga “
Senin, 7 November 2011, Jam 09.20 WIB
Skep Kapolri No. Pol : Skep/126/IX/2000, Buku Juklak dan Juknis Pelaksanaan Penyidikan.
Soekanto , Soejono. 1084. Metode Penelitian Hukum. Universitas Indonesia.Jakarta
49
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2 Permasalahan dan Ruang Lingkup......................................................... 1
1.2.1 Permasalahan................................................................................. 4
1.2.2 Ruang Lingkup.............................................................................. 4
1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian............................................................ 5
1.3.1 Tujuan Penelitian........................................................................... 5
1.3.2 Kegunaan Penelitian..................................................................... 5
1.4 Sistematika Penulisan............................................................................. 6
II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ 8
2.1 Tugas Pokok dan Wewenang Polri...................................................... 8
2.2 Dasar Hukum Perlindungan Terhadap KDRT..................................... 11
2.3 Pengertian dan Bentuk-Bentuk KDRT ................................................ 14
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Tindak Pidana Kekerasan
dalam Rumah Tangga........................................................................... 17
2.5 Proses Penyidikan Tindak Pidana KDRT............................................ 18
III. METODE PENELITIAN........................................................................ 23
3.1 Pendekatan Masalah............................................................................. 23
3.2 Sumber dan Jenis Data......................................................................... 24
3.3 Prosedur Pengumpulan Data dan Pengolahan Data...................... 25
50
3.3.1 Prosedur Pengumpulan Data...................................................... 25
3.3.2 Prosedur Pengolahan Data.......................................................... 25
3.4 Analisis Data........................................................................................ 26
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Responden...................................................................... 29
4.2 Dara Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Di Polres Tulang Bwang ..................................................................... 30
4.3 Proses Penyidikan Tindak Pidana Kekerasan
Dalam Rumah Tanggsa ....................................................................... 32
4.4 Faktor Penghambat Dalam Pelaksanaan Pernyidikan
Kasus Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga .................... 40
BAB V KESIMPILAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan`......................................................................................... 48
5.2 saran..................................................................................................... 50
DAFTAR PUSTAKA
51
KATA PENGANTAR
Dengan selesainya penulisan hukum ini penulis ingin mengucapkan rasa terima
kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penulisan
hukum ini kepada :
1. Ibu Dr. Ratu Betta Carepeboka, M.Si selaku Rektor Universitas Megou Pak
Tulang Bawang
2. Bapak DR. Hi. Abdurachman Sarbini S.H.,M.H.,M.M. Selaku Ketua Dewan
Kurator
3. Ibu Emilia Susanti SH.,MH selaku dosen pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan dan petunjuk dalam penyusunan skripsi
4. Ibu Nurbaiti Syarif, SH selaku dosen pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan dan petunjuk dalam penyusunan skripsi
5. Bapak Agus Marzuki, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum dan
Pembimbing Akademik Universitas Megou Pak Tulang Bawang
6. Bapak Dian Herlambang SH.,MH selaku kaprodi ilmu Hukum Fakultas
Hukum Universitas Megou Pak Tulang Bawang
7. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Megou Pak Tulang
Bawang, serta pegawai dan staf di lingkungan Fakultas Hukum atas
bimbingan dan bantuan yang diberikan selama penulis menjadi mahasiswa
52
8. Kedua orang tuaku terima kasih atas semua kasih sayang, doa dukunganya
menyemangati sampai sekarang
9. Serta rekan–rekan seangkatan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang telah membantu hingga selesainya penulisan skripsi ini.
Menggala 7 Juli 2012
Penulis,
Yulina Wati
53