analisis pengetahuan, persepsi dan perilaku mahasiswa ... v... · mengajar bagi mahasiswa ipb...
TRANSCRIPT
31
HASIL
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Program Pendidikan Tingkat Persiapan Bersama (TPB) IPB merupakan
suatu unit yang bertugas melaksanakan dan mengkoordinasikan proses belajar
mengajar bagi mahasiswa IPB selama tahun pertama. Program TPB dibentuk
pada tahun 1973. Untuk menyelenggarakan kegiatan administrasi akademik dan
kemahasiswaan, Program Pendidikan TPB berkantor di Jalan Ulin Wing U
Gedung TPB IPB Kampus IPB Darmaga dengan didukung oleh beberapa tenaga
administrasi. Saat penelitian dilaksanakan, Program Pendidikan TPB dipimpin
direktur yang dijabat oleh Dr. Ir. Ibnul Qayim. Sebelum tahun 2010, Program
Pendidikan TPB menggunakan ruangan seperti auditorium, kelas besar, ruang
seminar atau kelas kecil untuk proses perkuliahan. Ruangan tersebut tersebar di
Kampus IPB Darmaga, yang sebagian besar juga diperuntukkan bagi proses
belajar mengajar fakultas. Saat ini mahasiswa TPB sudah menempati gedung
tersendiri.
Mahasiswa tingkat pertama IPB tinggal di asrama TPB yang dikelola oleh
Badan Pengelola Asrama (BPA). Beberapa program yang digelar BPA
diantaranya adalah: apel pagi, pengajian lorong, dan lain-lain.Mahasiswa pria
menempati Asrama Putra TPB yang terdiri dari empat gedung, yaitu gedung C1,
C2, C3, dan Asrama Silva Lestari. Mahasiswa wanita menempati enam gedung,
yaitu gedung A1, A2, A3, Rumah Susun Mahasiswa (Rusunawa), Asrama Putri
Darmaga dan Asrama Silvasari. Berbagai fasilitas yang terdapat di asrama yaitu
kantin, cafeteria, rumah makan, rental komputer dan toko untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Aktivitas mahasiswa di asrama dilakukan di bawah
bimbingan Senior Residence (SR) yang merupakan mahasiswa non TPB.
Mahasiswa IPB melewati beberapa jalur untuk mendaftar masuk. Jalur
masuk tersebut adalah Undangan Saringan Masuk IPB (USMI), Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Prestasi Internasional-Nasional
(PIN)/Beasiswa Utusan Daerah (BUD), Ujian Talenta Mandiri (UTM) dan
mahasiswa asing. Jalur masuk IPB yang paling banyak dilalui adalah USMI.
Sebanyak 69,4 persen mahasiswa TPB pada tahun 2010 masuk IPB melalui jalur
itu.
Buku TPB Dalam Angka 2009/2010 menyatakan bahwa pada tahun
2010, jumlah mahasiswa TPB mengalami peningkatan. Jika pada tahun 2009
32
jumlah mahasiswa TPB adalah 3.210 orang, maka setahun setelahnya jumlah itu
mengalami penambahan 544 orang sehingga menjadi 3.754 orang mahasiswa.
Lebih dari separuh (58,9%) mahasiswa TPB tahun 2010 berjenis kelamin
perempuan. Sebagian besar (86,2%) mahasiswa TPB 2010 berasal dari SMA
negeri, sementara 13,2 persen berasal dari SMA swasta dan 0,6 persen sisanya
berasal dari luar negeri. Hampir sepertiga (31,5%) orang tua mahasiswa IPB
tahun 2010 berprofesi sebagai pengawai negeri. Lebih dari sepertiga (36,4%)
orang tua mahasiswa memiliki penghasilan antara Rp 2.500.000,00 hingga Rp
5.000.000,00.
Karakteristik Contoh Jenis Kelamin
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar contoh berjenis
kelamin perempuan (75%) dan sisanya (25%) adalah contoh laki-laki. Sebaran
contoh menurut jenis kelamin disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Sebaran contoh menurut jenis kelamin Jenis kelamin Jumlah Persentase Laki-laki 9 25.0 Perempuan 27 75.0 Total 36 100
Usia
Sebanyak lebih dari separuh (58,3%) contoh berusia 19 tahun. Tabel 3
juga menyatakan bahwa lebih dari sepertiga (36,1%) contoh berusia 18 tahun.
Tabel 3 Sebaran contoh menurut usia Usia (tahun) Jumlah Persentase 17 1 2,8 18 13 36,1 19 21 58,3 20 1 2,8 Total 36 100,0 Rata-rata ± Standar deviasi 18,6 ± 0,6
Uang Saku
Hasil penelitian yang terlihat pada Tabel 4 menunjukkan bahwa lebih dari
setengah (52,8%) contoh memiliki uang saku antara Rp 500.000,00–Rp
750.000,00. Rata-rata uang saku contoh adalah sebesar Rp 741.515,2.
33
Tabel 4 Sebaran contoh menurut uang saku Uang saku (rupiah) Jumlah Persentase 500,000 – 750,000 19 52,8 750,001 – 1,000,000 8 22,2 1,000,001 – 1,200,000 9 25,0 Total 36 100,0 Rata-rata ± Standar deviasi 741.515,2 ± 205.549,9
Daerah Asal
Hasil penelitian seperti yang ditunjukkan pada Tabel 5 menunjukkan
bahwa seperempat contoh (25%) berasal dari Jawa Barat dan Jawa Timur.
Jakarta dan Banten menempati urutan kedua sebagai daerah asal contoh
dengan persentase 13,9 persen. Wilayah lain yang menjadi asal bagi kurang dari
10 persen contoh adalah Sumatera, Jawa Tengah, Bali dan Sulawesi.
Tabel 5 Sebaran contoh menurut daerah asal Daerah asal Jumlah Persentase Bali 1 2,8 Banten 5 13,9 Jawa Barat 9 25,0 Jakarta 5 13,9 Jawa Tengah 3 8,3 Jawa Timur 9 25,0 Sulawesi 1 2,8 Sumatera 3 8,3 Total 36 100,0
Penyedia Layanan Ponsel
Persentase tertinggi contoh (47,2%) seperti yang tersaji dalam Tabel 6
menunjukkan Indosat sebagai penyedia layanan ponsel yang paling banyak
diaktifkan. Sebanyak lebih dari sepertiga (38,9%) contoh juga mengaktifkan XL
sebagai penyedia layanan ponselnya. Penyedia layanan posel lain yang
digunakan kurang dari 10 persen contoh adalah Telkomsel, Tri dan Esia.
Tabel 6 Sebaran contoh menurut penyedia layanan ponsel
Penyedia layanan ponsel Jumlah Persentase Esia 1 2,8 Indosat 17 47,2 Telkomsel 2 5,6 Tri 2 5,6 XL 14 38,9 Total 36 100,0
34
Karakteristik Keluarga Contoh Jumlah anggota keluarga
Persentase tertinggi contoh (61,1%) tergolong keluarga sedang yang
jumlah anggota keluarganya 5-6 orang. Rata-rata jumlah anggota keluarga
contoh adalah 4,9 orang atau hampir 5 orang. Sebaran contoh menurut jumlah
anggota keluarga disajikan dalam Tabel 7.
Tabel 7 Sebaran contoh menurut jumlah anggota keluarga Jumlah anggota keluarga Jumlah Persentase Keluarga kecil (≤ 4 orang) 12 33,3 Keluarga sedang (5-6 orang) 22 61,1 Keluarga besar (≥ 7 orang) 2 5,6 Total 36 100,0 Rata-rata ± Standar deviasi 4,9 ± 1,0
Pekerjaan Orang Tua
Jenis pekerjaan ayah cukup bervariasi dengan persentase pekerjaan
tertinggi (41,7%) sebagai PNS. Profesi lain yang dijalani ayah contoh adalah
wiraswasta (27,8%), pegawai swasta (13,9%), TNI/Polri (5,6%), dan pensiunan
(5,6%). Selain itu pada Tabel 8 ditemukan pula bahwa 5,6 persen contoh
memiliki ayah yang tidak bekerja. Setengah dari total contoh memiliki ibu yang
tidak bekerja atau menjalani profesi sebagai ibu rumah tangga. Profesi lain yang
ditekuni ibu contoh adalah PNS (37,1%), wiraswasta (5,7%), dan pensiunan
(2,9%).
Tabel 8 Sebaran pekerjaan orang tua contoha
Pekerjaan Total Jumlah Persentase
Ayah PNS 15 41,7 Pegawai swasta 5 13,9 TNI/Polri 2 5,6 Wiraswasta 10 27,8 Tidak bekerja 2 5,6 Pensiunan 2 5,6
Total 36 100,0 Ibu PNS 13 37,1
Pegawai swasta 1 2,9 Wiraswasta 2 5,7 Tidak bekerja 18 51,4 Pensiunan 1 2,9
Total 35 100,0 a Satu orang contoh memiliki ibu yang sudah meninggal
35
Pendapatan Keluarga Berdasarkan hasil penelitian yang tersaji dalam Tabel 9, lebih dari
setengah contoh (55,6%) memiliki pendapatan keluarga antara Rp 600.000,00–
Rp 4.400.000,00 dengan pendapatan rata-rata Rp 4.232.888,5. Pendapatan
terkecil keluarga contoh adalah Rp 600.000,00 sedangkan pendapatan tertinggi
Rp 12.000.000,00.
Tabel 9 Sebaran contoh menurut pendapatan keluarga per bulan Pendapatan keluarga contoh per bulan (Rp) Jumlah persentase 600,000 – 4,400,000 20 55,6 4,400,001 – 8,200,000 13 36,1 8,200,001 – 12,000,000 3 8,3 Total 36 100,0
Rata-rata ± Standar deviasi 4.232.888,5 ± 2.691.895,8
Min (Rp) 600.000 Max (Rp) 12.000.000
Pola Penggunaan Nada Sambung
Lama Pengaktifan Nada Sambung Sebanyak hampir tiga perempat (72,2%) contoh telah mengaktifkan nada
sambung selama 1-20 bulan. Sebanyak masing-masing kurang dari seperlima
contoh telah mengaktifkan nada sambung selama 21-40 bulan (13,9%), 41-60
bulan (5,6%), dan 61-80 bulan (8,3%). Sebaran contoh menurut waktu
pengaktifan nada sambung disajikan dalam Tabel 10.
Tabel 10 Sebaran contoh menurut lama pengaktifan nada sambung Lama pengaktifan nada sambung (bulan) Jumlah Persentase 1-20 26 72,2 21-40 5 13,9 41-60 2 5,6 61-80 3 8,3 Total 36 100,0
Jumlah Ponsel yang Digunakan Contoh
Hasil penelitian menyatakan bahwa lebih dari setengah contoh (66,7%)
menggunakan satu ponsel, sementara 33,33 persen lainnya menggunakan dua
ponsel dengan dua ponsel berbeda. Sebaran contoh menurut jumlah ponsel
yang digunakan tersaji dalam Tabel 11.
Tabel 11 Sebaran contoh menurut jumlah ponsel yang digunakan
Jumlah ponsel yang digunakan contoh (unit) Jumlah Persentase
1 24 66,7 2 12 33,3 Total 36 100,0
36
Sumber Informasi Tabel 12 memperlihatkan bahwa separuh pilihan sumber informasi
contoh terkumpul di sumber publik (televisi dan radio). Sebanyak satu pertiga
pilihan sumber informasi contoh berasal dari sumber komersial (iklan di internet
dan SMS dari penyedia layanan). Sumber pribadi (teman dan keluarga) sebagai
sumber informasi memiliki persentase 16,7 persen.
Tabel 12 Sebaran contoh menurut sumber informasi tentang nada sambung
Sumber informasi Jumlah Persentase Sumber pribadi 8 16,7 Sumber komersial 16 33,3 Sumber publik 24 50,0
Jenis Nada Sambung
Jenis nada sambung berupa rekaman suara diaktifkan oleh satu orang
contoh (2,7%). Sebagian besar contoh (86,5%) mengaktifkan musik pop sebagai
nada sambung mereka. Sebaran contoh menurut jenis nada sambung yang
diaktifkan dapat disimak di Tabel 13.
Tabel 13 Sebaran contoh menurut jenis nada sambung Jenis nada sambung Jumlah persentase Musik rock 2 5,4 Musik pop 32 86,5 Rekaman percakapan 1 2,7 Musik RnB 2 5,4
Prioritas Pengeluaran Contoh
Fitur yang menjadi prioritas pertama dan kedua untuk dibiayai paling
banyak contoh adalah SMS (52,8% & 47,2%). Internet dipilih oleh lebih dari
separuh contoh (52,8%) sebagai fitur yang berada pada prioritas ketiga untuk
didahulukan pembiayaannya, dan nada sambung dipilih sebagai prioritas terakhir
oleh lebih dari tiga perempat (77,8%) contoh (Tabel 14).
Tabel 14 Sebaran contoh menurut urutan prioritas pengeluaran untuk penggunaan berbagai layanan ponsel
Urutan prioritas SMS Telepon Internet Nada sambung n % n % n % n %
Prioritas pertama 19 52,8 13 36,1 4 11,1 0 0 Prioritas kedua 17 47,2 12 33,3 7 19,4 0 0 Prioritas ketiga 0 0 9 25,0 19 52,8 8 22,2 Prioritas keempat 0 0 2 5,6 6 16,7 28 77,8 Jumlah 36 100 36 100 36 100 36 100
37
Kelompok Acuan Kelompok acuan contoh dalam penggunaan nada sambung disajikan
dalam Tabel 15. Menurut data dalam tabel itu, diperoleh informasi bahwa
kebanyakan contoh (39,5%) menjadikan temannya sebagai kelompok acuan
yang mempengaruhi konsumsi nada sambung.
Tabel 15 Sebaran contoh menurut kelompok acuan dalam pengaktifan nada sambung
Kelompok acuan Jumlah Persentase Teman 15 39,5 Pacar 3 7,9 Tokoh idola 4 10,5 Promosi dari operator 7 18,4 Tidak memiliki kelompok acuan 9 23,7
Pengetahuan Konsumen
Tabel 16 menampilkan sebaran contoh berdasarkan jawaban benar
terhadap pertanyaan tentang nada sambung. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa contoh memiliki tingkat pengetahuan paling baik tentang definisi nada
sambung dan cara mengaktifkan nada sambung. Hal itu terlihat dari tingginya
persentase (94%) contoh yang menjawab benar poin pertanyaan yang mengukur
aspek itu. Tingkat pengetahuan paling rendah yang dimiliki contoh adalah
pengetahuan tentang wilayah jangkauan aktivasi nada sambung. Hanya 33,3
persen contoh yang menjawab benar poin pertanyaan tentang wilayah jangkauan
itu.
Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan jawaban benar terhadap pertanyaan pengetahuan nada sambung
No. Pernyataan Jawaban benar n %
1. Nada sambung bukan jenis produk musik karena tidak disajikan dalam bentuk kaset/CD 34 94,4
2. Cara membeli/mengaktifkan nada sambung adalah dengan mendatangi kios khusus kemudian meminta petugas melakukan pengaktifan
34 94,4
3. Jenis file nada sambung adalah .wav 19 52,8 4. Nada sambung adalah lagu yang tidak akan didengar oleh
pembelinya 20 55,6
5. Masa berlaku nada sambung adalah satu bulan 16 44,4 6. Harga nada sambung sama untuk semua jenis operator ponsel 33 91,7 7. Prosedur untuk memperpanjang penggunaan nada sambung
sama seperti prosedur aktivasi pertama kali 26 72,2
8. Aktivasi nada sambung bisa dilakukan melalui internet 23 63,9 9. Aktivasi nada sambung untuk suatu nomor ponsel bisa dilakukan
melalui nomor ponsel lain 20 55,6
10. Nada Sambung Pribadi (NSP) adalah salah satu nama merek Ring Back Tone 26 72,2
11. Aktivasi nada sambung hanya bisa dilakukan saat jam kerja karena sistemnya seperti costumer service 31 86,1
38
Tabel 16 (Lanjutan)
No. Pernyataan Jawaban benar n %
12. Fasilitas nada sambung pertama kali diperkenalkan oleh operator Indosat 17 47,2
13. Durasi pemutaran nada sambung sama di semua operator, yaitu 30 detik 26 72,2
14. Nada sambung untuk beberapa operator ponsel hanya bisa digunakan di pulau Jawa 12 33,3
15. Harga aktivasi nada sambung pada operator Telkomsel adalah yang termurah dibanding biaya aktivasi operator lain karena pengguna nada sambung terbanyak di Indonesia adalah konsumen Telkomsel
26 72,2
16. Nada sambung akan aktif jika penggunanya memiliki saldo pulsa minimal untuk melakukan panggilan telepon 19 52,8
Berdasarkan Tabel 17 dapat disimpulkan bahwa lebih dari separuh
contoh (55,6%) memiliki pengetahuan tentang nada sambung yang tinggi. Tidak
ada contoh yang memiliki tingkat pengetahuan rendah.
Tabel 17 Sebaran contoh menurut tingkat pengetahuan tentang nada sambung
Tingkat pengetahuan Jumlah Persentase Pengetahuan rendah (skor 0-33,3) 0 0,0 Pengetahuan sedang (skor 33,4-66,6) 16 44,4 Pengetahuan tinggi (skor 66,7-100) 20 55,6 Total 36 100,0 Min-Max 43,8 - 87,5 Rata-rata ± Standar deviasi 66.3 ± 10.4
Persepsi Konsumen
Persepsi contoh terhadap nada sambung dibagi menjadi lima kategori,
yaitu “sangat tidak setuju”, “tidak setuju”, “kurang setuju”, “setuju”, dan “sangat
setuju”. Berdasarkan Tabel 18, lebih dari separuh contoh (55,6%) menyatakan
kurang setuju terhadap keberadaan nada sambung. Tabel 18 Sebaran contoh menurut persepsi tentang nada sambung
Persepsi contoh Jumlah Persentase Sangat tidak setuju (skor 16-28,8) 0 0,0 Tidak setuju (skor 28,9-41,6) 6 16,7 Kurang setuju (skor 41,7-54,4) 20 55,6 Setuju (skor 54,5-67,2) 10 27,8 Sangat setuju (skor 67,3-80) 0 0,0 Total 36 100,0 Min-Max 34-65 Rata-rata ± Standar deviasi 49,9 ± 7,8
Hasil penelitian yang ditunjukan pada Lampiran 2 menyatakan bahwa
contoh memiliki tingkat persepsi paling baik tentang harga nada sambung yang
sudah terjangkau, promosi dengan kualitas iklan yang baik, penggunaan nada
sambung oleh tokoh figur publik, manfaat nada sambung sebagai penyelamat
39
industri musik dari pembajakan, keberadaan musik rock dalam wujud nada
sambung, dan keberadaan kode nada sambung di sleeve CD. Hal itu terlihat dari
tingginya skor rata-rata (kisaran skor 3,5-4,2) contoh yang menyatakan setuju
dengan pernyataan-pernyataan itu. Tingkat persepsi paling rendah yang dimiliki
contoh adalah persepsi bahwa semua pengguna ponsel pasti membutuhkan
nada sambung. Rata-rata contoh juga tidak setuju dengan pernyataan bahwa
produk musik dalam bentuk nada sambung lebih bagus dibanding musik dalam
wujud lain. Selain itu contoh juga merasa sangat tidak setuju dengan pernyataan
bahwa mereka merasa kurang percaya diri saat nada sambungnya sudah tidak
aktif dan belum diaktifkan ulang. Ketiga poin pertanyaan tentang persepsi itu
masing-masing meraih skor antara 1,9-2,6.
Perilaku Pembelian
Hasil penelitian menunjukkan hampir separuh (47,2%) contoh memilki
perilaku pembelian dalam kategori “jarang” (rentang skor 35-51) dengan skor
rata-rata sebesar 40,5. Sebaran contoh menurut perilaku pembelian nada
sambung dapat disimak di Tabel 19. Tabel 19 Sebaran contoh menurut perilaku pembelian nada sambung Perilaku pembelian Jumlah Persentase Tidak pernah (skor 17-34) 12 33.3 Jarang (skor 35-51) 17 47.2 Sering (skor 52-68) 7 19.4 Selalu (skor 69-85) 0 0.0 Total 36 100,0 Min-Max 23-63 Rata-rata ± Standar deviasi 40,5 ± 10,4
Lampiran 3 memperlihatkan bahwa rata-rata contoh sering merasa
nyaman saat mendengarkan nada sambung yang diaktifkan oleh nomor yang
dihubunginya. Rata-rata contoh juga merasa jarang mengaktifkan nada sambung
dengan alasan menyukai lagunya. Begitu pula dengan motif pengaktifan nada
sambung. Rata-rata contoh jarang mengaktifkannya dengan tujuan
mengekspresikan perasaan. Beberapa aspek perilaku pembelian nada sambung
yang tidak pernah dilakukan rata-rata contoh adalah membeli CD atau kaset
musisi yang nada sambungnya diaktifkan, mengaktifkan nada sambung karena
temannya juga mengaktifkan, mengganti nada sambung meski nada sambung
sebelumnya masih aktif dan konsumen juga tidak pernah membeli CD atau kaset
setelah mendengar suatu nada sambung.
40
Pengaruh jenis kelamin, usia, uang saku, pengetahuan dan persepsi contoh
terhadap nada sambung terhadap perilaku pembelian nada sambung Faktor yang mempengaruhi perilaku pembelian nada sambung secara
nyata adalah persepsi konsumen (β=0,561 & p=0,002). Persepsi konsumen
berpengaruh positif nyata (p<0,01) terhadap perilaku pembelian nada sambung
konsumen. Koefisien regresi untuk variabel ini adalah 0,561. Hal itu berarti
bahwa jika persepsi konsumen mengalami peningkatan satu satuan, maka
perilaku pembelian nada sambung juga akan meningkat sebesar 0,561.
Tabel 20 Pengaruh jenis kelamin, usia, uang saku, pengetahuan dan persepsi contoh terhadap nada sambung terhadap perilaku pembelian nada sambung
Variabel bebas Perilaku pembelian nada sambung β T Sig.
Karakteristik contoh Usia -.088 -.562 .578 Uang saku -.055 -.354 .726 Jenis kelamin .324 1.991 .056
Kelompok acuan (1=Teman; 0=Bukan Teman) .074 .431 .670 Pengetahuan konsumen .005 .029 .977 Persepsi konsumen .561 3.388 .002*
N 36 F 2.753 (p=.030) R2 .363
Adj. R2 .231 Keterangan: * = Nyata pada p<0,01
Hasil uji regresi linier berganda yang ditunjukkan pada Tabel 20
memperlihatkan bahwa nilai Adjusted R2 adalah 0,231, artinya sebanyak 23,1
persen perilaku pembelian nada sambung dipengaruhi oleh keenam variabel
bebas yang diteliti (usia, uang saku, jenis kelamin, kelompok acuan,
pengetahuan konsumen dan persepsi konsumen). Sebanyak 76,9% variabel
terikat dipengaruhi oleh variabel bebas lain yang tidak diteliti.
41
PEMBAHASAN
Tiga perempat jumlah contoh penilitian ini berjenis kelamin perempuan.
Sementara itu lebih dari separuh (58%) contoh berusia 19 tahun. Menurut Cobb
(2001) usia tersebut termasuk ke dalam golongan remaja akhir. Solomon (1992)
menyatakan, jenis kelamin merupakan komponen penting dalam pembentukan
konsep diri konsumen. Konsumen selalu menyesuaikan diri dengan produk yang
dikonsumsinya agar sesuai dengan konsep budayanya tentang jenis kelamin.
Hawkins et al (2001) menyatakan bahwa usia seseorang akan menentukan
media apa yang digunakan, tempat belanja yang dituju, bagaimana
menggunakan produk, dan bagaimana konsumen merasakan dan berpikir
tentang aktivitas pemasaran.
Kotler dan Armstrong (2008) mengidentifikasi lima segmen tahap
kehidupan konsumen. Segmen pertama adalah pemuda yang meliputi konsumen
yang berusia lebih muda dari 18 tahun. Segmen kedua adalah konsumen mulai
dewasa yang memiliki rentang usia 18-35 tahun yang melewati berbagai
pengalaman pertamanya, seperti kelulusan, kartu kredit pertama, mobil pertama,
pinjaman pertama, pernikahan dan anak pertama. Segmen ketiga dihuni para
konsumen yang berusia antara 35-50 tahun yang sedang berada dalam tahun
pendapatan puncak mereka. Segmen akumulator adalah konsumen yang
berusia 50-60 tahun. Mereka khawatir dengan tabungan pensiunnya dan
melakukan investasi dengan bijak. Segmen terakhir adalah segmen lanjut usia.
Konsumen ini ingin memaksimalkan pendapatan pensiunnya untuk
mempertahankan gaya hidup yang ia inginkan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kebanyakan contoh tergolong segmen kedua. Berdasarkan informasi
diatas, konsumen dengan rentang usia ini akan bersikap hati-hati dengan
pengeluarannya.
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar contoh penelitian
berada pada interval uang saku terkecil, yaitu antara Rp 500.000,00 – Rp
750.000,00. Pendapatan seorang konsumen adalah salah satu aspek yang
digunakan untuk mengidentifikasi status sosial. Uang saku bagi mahasiswa
bertindak sebagai salah satu pendapatan yang akan menentukan kelas
sosialnya. Kotler dan Armstrong (2008) menyatakan bahwa kelas sosial berguna
untuk mengidentifikasi kecenderungan pembelian konsumen, karena konsumen
yang berada pada kelas sosial yang sama akan melakukan perilaku pembelian
42
yang sama. Uang saku juga bisa digunakan untuk mengidentifikasi situasi
ekonomi konsumen. Kotler dan Armstrong (2008) menyatakan bahwa situasi
ekonomi seseorang akan mempengaruhi pilihan produk yang dibelinya.
Sebanyak 61,1 persen keluarga contoh tergolong keluarga sedang yang
jumlah anggota keluarganya 5-6 orang. Kotler dan Armstrong (2008) menyatakan
bahwa anggota keluarga bisa sangat mempengaruhi perilaku pembelian. Dengan
banyaknya jumlah anggota keluarga, maka makin banyak pula peluang seorang
konsumen dipengaruhi anggota keluarga lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian, lebih dari setengah contoh (55,6%) memiliki
pendapatan keluarga antara Rp 600.000,00 – Rp 4.400.000,00 dengan penda-
patan rata-rata Rp 4.232.888,5. Kotler dan Armstrong (2008) menyatakan bahwa
kelas sosial adalah pembagian masyarakat yang relatif permanen dan berjenjang
yang anggotanya memiliki nilai, minat, dan perilaku yang sama. Schiffman dan
Kanuk (1994) menyatakan bahwa kelas sosial dapat diidentifikasi menurut satu
atau beberapa variabel demografis seperti pekerjaan, pendapatan, pendidikan,
kekayaan dan variabel lain. Konsumen yang berada pada satu kelas sosial yang
sama cenderung memperlihatkan perilaku pembelian yang sama. Dalam
penelitian ini, kelas sosial diidentifikasi dari pekerjaan dan pendapatan. Sebaran
pekerjaan orang tua menunjukkan bahwa jenis pekerjaan terbanyak ayah
(41,7%) adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sementara itu separuh contoh
memiliki ibu yang tidak bekerja atau menjalani profesi sebagai ibu rumah tangga.
Nada sambung merupakan salah satu produk musik, sehingga
keterangan diatas sesuai dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa
kebanyakan (58,3%) contoh yang merupakan konsumen nada sambung berusia
19 tahun. Schiffman dan Kanuk (1994) menyatakan bahwa fokus produk untuk
konsumen yang berusia antara 18 hingga 29 tahun adalah musik, busana dan
bahasa.
Menurut hasil penelitian, lebih dari setengah contoh menggunakan satu
ponsel, sementara contoh lainnya menggunakan dua ponsel dengan dua nomor
berbeda. Earlyanti (2010) menyatakan bahwa barang komplementer adalah
barang yang melengkapi fungsi barang lainnya. Keberadaan nada sambung
dapat melengkapi fitur yang disediakan telepon seluler sehingga nada sambung
dan ponsel adalah pasangan barang komplementer. Hubungan antara nada
sambung dan ponsel sebagai barang komplementer menyatakan bahwa
keberadaan satu barang saja dari keduanya tidak akan membuahkan manfaat
43
yang sebenarnya diinginkan konsumen. Keberadaan ponsel yang lebih banyak
memungkinkan bertambah pula nada sambung yang diaktifkan seorang
konsumen. Oksman dan Rautianinen (2001) dalam Torlak (2011) juga
menyatakan bahwa diantara kebanyakan remaja, penggunaan telepon seluler
menjadi mekanisme penting untuk menghubungkannya dengan keluarga dan
teman.
Kotler dan Armstrong (2008) melakukan penggolongan sumber informasi
yang bisa diperoleh konsumen. Sumber-sumber itu meliputi sumber pribadi
(keluarga, teman, tetangga), sumber komersial (iklan, wiraniaga, situs web,
penyalur, kemasan, tampilan), sumber publik (media massa, organisasi
pemeringkat konsumen, pencarian internet) dan sumber pengalaman
(penanganan, pemeriksaan, pemakaian produk). Kotler dan Armstrong (2008)
juga menyatakan bahwa pada umumnya, konsumen menerima informasi tentang
sebuah produk dari sumber komersial, meski sumber pribadi dinilai paling efektif.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sumber publik (televisi, surat kabar dan
radio) ada di urutan pertama sebagai sumber informasi mahasiswa tentang nada
sambung. Sumber informasi pribadi paling sedikit dipilih contoh sebagai sumber
informasi tentang nada sambung.
Solomon (1992) menyatakan bahwa mahasiswa mulai kesulitan
mengakses televisi. Mahasiswa juga dinilai kurang memiliki akses yang baik
menuju surat kabar. Solomon (1992) juga menyatakan bahwa strategi terbaik
untuk mencapai konsumen mahasiswa adalah dengan menggunakan produk
personal yang dekat dengan kesehariannya serta melakukan pengenalan produk
di pusat informasi mahasiswa dan asrama. Meski demikian, Solomon (1992)
menyatakan bahwa komunikasi verbal (word of mouth communication) tetap
menjadi media penyebaran informasi yang baik bagi konsumen mahasiswa.
Paparan Solomon (1992) diatas bertentangan dengan hasil penelitian. Hal itu
diduga terjadi karena akses ke sumber publik (televisi) di asrama tidak sulit.
Televisi selalu tersedia di setiap lobi asrama TPB IPB, sehingga mudah
disaksikan mahasiswa. Schiffman dan Kanuk (1994) menyatakan bahwa
pemaparan informasi di televisi yang kaya dengan petunjuk simbol visual dan
durasi yang pendek dapat membentuk loyalitas terhadap merek.
Sebagian besar contoh (86,5%) mengaktifkan musik pop sebagai nada
sambung mereka. Musik pop adalah jenis musik yang mudah ditemui dan
44
biasanya tema asmara menjadi topik sentral. Topik ini menurut Solomon (1992)
memang digemari konsumen remaja.
Selain penggunaan nada sambung, berbagai fitur ponsel juga
memerlukan dana aktivasi agar bisa digunakan. Fitur lain tersebut adalah
layanan SMS, panggilan telepon, dan internet. Lebih dari tiga perempat contoh
memilih nada sambung sebagai prioritas terakhir dalam pengalokasian dana
untuk ponselnya. Hal itu menunjukkan bahwa nada sambung bukan aspek
prioritas dalam daftar pengeluaran contoh. Posisi pertama fitur ponsel yang
diutamakan lebih dari separuh (52,8%) contoh adalah Short Message Service
(SMS). Menurut Solomon (1992), konsumen mahasiswa selalu
memperhitungkan pengeluarannya untuk keperluan pribadi. Oleh karena itu SMS
adalah fitur yang didahulukan oleh contoh sebab lebih dekat dengan keperluan
pribadi contoh. Temuan bahwa SMS menjadi layanan utama dalam penggunaan sebuah
ponsel juga senada dengan hasil penelitian yang dipaparkan Torlak (2011).
Menurutnya, penggunaan ponsel sudah sedemikian populer di kalangan remaja.
Penelitian cross-cultural mengungkap ketertarikan dan penggunaan ponsel yang
sama oleh remaja dari beberapa negara berbeda. Saat berpikir tentang
bagaimana remaja berinteraksi melalui telepon selulernya, interaksi sosial
dengan temannya adalah hal yang utama. Dalam sebuah penelitian di
Universitas Yunani (Greek University) yang melibatkan 416 mahasiswa peserta
survey penggunaan telepon seluler, terungkap hasil yang mengindikasikan
bahwa kebanyakan para responden menggunakan ponsel untuk tujuan
panggilan telepon dan SMS. Sementara itu dalam studi lain di Norwegia dengan
topik yang sama, peneliti menemukan bahwa 99,4 persen konsumen wanita
paling banyak menggunakan ponselnya untuk fungsi SMS, sementara
persentase contoh pria sebesar 97,5 persen.
Kotler dan Armstrong (2008) menyatakan bahwa perilaku seseorang
dipengaruhi oleh banyaknya kelompok kecil. Kelompok yang mempunyai
pengaruh langsung dan menjadi tempat seseorang menjadi anggotanya disebut
kelompok keanggotaan. Kelompok yang sering langsung membentuk sikap dan
bertindak sebagai referensi langsung seorang konsumen disebut kelompok
referensi. Kelompok referensi ini menurut Sumarwan (2004) disebut kelompok
acuan. Kelompok yang terpengaruh oleh berbagai hal terkait kelompok acuan
disebut kelompok asosiasi. Kotler dan Armstrong (2008) menambahkan bahwa
45
konsumen sering dipengaruhi oleh kelompok referensi yang tidak dimasukinya
sebagai anggota. Namun menurut Solomon (1992), konsumen yang ada di usia
remaja akan mencari referensi bersikap dari teman sebayanya dan iklan agar
terlihat dan bersikap dengan “baik”. Schiffman dan Kanuk (2004) memperkuat
pernyataan itu dengan menyatakan bahwa opini dan preferensi teman adalah
sumber pengaruh yang penting dalam menentukan produk yang akan dipilih.
Solomon (1992) juga menyatakan bahwa remaja sering kali terpangaruh oleh
keputusan orang tuanya.
Hasil penelitian menyatakan kebalikan dari kedua informasi itu. Contoh
justru menjadikan kelompok yang ia tempati sebagai kelompok acuannya.
Contoh juga tidak menjadikan keluarga sebagai kelompok acuan seperti yang
dinyatakan Solomon (1992), melainkan temannya. Hal ini terjadi karena contoh
adalah remaja yang berada di tingkat akhir fase transisi, sehingga sudah masuk
ke fase dewasa awal, karenanya pengaruh orang tua sebagai acuan pembelian
tidak lagi berpengaruh besar. Menurut hasil penelitian, diperoleh informasi bahwa
kebanyakan contoh (39,5%) menjadikan temannya sebagai kelompok acuan
yang mempengaruhi konsumsi nada sambung.
Menurut Sumarwan (2004), pengetahuan konsumen adalah semua
informasi yang dimiliki konsumen mengenai berbagai macam produk dan jasa,
serta pengetahuan lainnya yang terkait dengan produk dan jasa tersebut dan
informasi yang berhubungan dengan fungsinya sebagai konsumen. Mowen dan
Minor (1995) sebagaimana dikutip Sumarwan (2004) melakukan klasifikasi
pengetahuan konsumen menjadi tiga jenis, yaitu pengetahuan objektif,
pengetahuan subjektif dan informasi mengenai pengetahuan lainnya.
Pengetahuan objektif adalah informasi yang benar mengenai kelas produk yang
disimpan dalam memori jangka panjang konsumen. Pengetahuan objektif inilah
yang diukur dengan 16 pertanyaan. Sebanyak lebih dari separuh contoh (55,6%)
memiliki pengetahuan tentang nada sambung yang tinggi. Tidak ada contoh yang
memiliki tingkat pengetahuan rendah. Keterjangkauan contoh terhadap sumber
informasi adalah salah satu faktor yang diduga berkontribusi dalam tingginya
tingkat pengetahuan. Solomon (1992) menyatakan bahwa komunikasi verbal
(word of mouth communication) menjadi media penyebaran informasi yang baik
bagi konsumen mahasiswa. Kedekatan dengan teman hingga menjadi kelompok
acuan juga merupakan faktor lain yang diduga mempengaruhi tingginya
46
pengetahuan contoh, karena peluang terjadinya pertukaran informasi secara
verbal lebih besar.
Sumarwan (2004) menyatakan bahwa konsumen seringkali memutuskan
pembelian suatu produk berdasarkan persepsinya terhadap produk tersebut.
Solomon (2002) menyatakan bahwa persepsi adalah proses yang dilalui saat
sebuah sensasi seperti tampilan, suara, dan bau dipilih, diatur serta
diterjemahkan. Timbulnya persepsi dimulai dari pemaparan stimulus yang
kemudian diterima konsumen. Berdasarkan hasil penelitian, lebih dari separuh
contoh (55,6%) menyatakan kurang setuju dengan keberadaan nada sambung.
Sutisna (2001) menyatakan bahwa konsumen mengembangkan inferensi
atau kesimpulan mengenai suatu produk. Hal itu disebut dengan inferensi
perseptual. Inferensi itu merupakan kepercayaan mengenai suatu objek dari
asosiasi masa lalu. Sutisna (2001) juga menggolongkan inferensi ke dalam tiga
tipe, yaitu inferensi yang didasarkan pada evaluasi (evaluation based), evaluasi
yang didasarkan pada kesamaan (similarity based) dan inferensi yang
didasarkan pada korelasional.
Inferensi yang didasarkan pada evaluasi yaitu penilaian yang
menimbulkan evaluasi positif atau negatif yang konsisten terhadap suatu merek.
Artinya, jika pada awalnya konsumen sudah memperoleh informasi bahwa
sebuah produk berkualitas baik, maka ketika konsumen itu membeli produk yang
dikabarkan berkualitas baik dan penilaian baik itu disetujui, maka telah terjadi
inferensi positif secara konsisten. Inferensi yang didasarkan pada kesamaan
yaitu kepercayaan atas suatu objek yang didasarkan pada kesamaan dengan
objek lain. Konsumen mengembangkan inferensi terhadap merek yang tidak
diketahuinya dengan menghubungkan dengan merek lain yang dikenalnya.
Inferensi korelasional didasarkan pada asosiasi dari hal umum kepada hal yang
spesifik. Misalnya, konsumen percaya bahwa harga yang lebih mahal
menunjukkan kualitas yang lebih baik.
Berdasarkan tiga klasifikasi inferensi perseptual diatas, pembentukan
persepsi contoh terjadi melalui inferensi yang didasarkan pada evaluasi.
Persepsi kurang setuju yang terbentuk terjadi sebagai lanjutan dari penerimaan
stimulus tentang produk dari berbagai media.
Berdasarkan klasifikasi perilaku pembelian menurut Kotler dan Armstrong
(2008), perilaku pembelian konsumen nada sambung tergolong perilaku
pembelian mencari keragaman. Jenis ini ditandai dengan rendahnya keterlibatan
47
konsumen untuk memperoleh informasi tentang produk yang sama dengan
merek berbeda, padahal merek untuk produk ini tidak berjumlah sedikit.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar contoh memilki
perilaku pembelian dalam kategori “pernah” dengan skor rata-rata sebesar 48,4.
Informasi tentang perilaku pembelian contoh bisa digunakan untuk memprediksi
perilaku pembelian berikutnya, sebagaimana yang Sutisna (2001) nyatakan
bahwa penentu akhir tindakan konsumen di masa yang akan datang adalah
pengalaman dengan penggunaan produk.
Kotler dan Armstrong (2008) melakukan empat klasifikasi jenis perilaku
keputusan pembelian yang dilakukan konsumen. Jenis perilaku keputusan
pembelian yang pertama adalah perilaku pembelian kompleks. Jenis perilaku
pembelian ini menuntut keterlibatan konsumen yang tinggi dan banyak
perbedaan merek produk yang akan dibeli. Jenis kedua adalah perilaku
pembelian pengurangan disonansi. Perilaku pembelian ini juga perlu dilakukan
dengan keterlibatan tinggi agar informasi tentang sebuah produk didapat secara
utuh. Namun dalam perilaku pembelian ini, keragaman merek produk yang dipilih
tidak tinggi. Perilaku pembelian selanjutnya adalah perilaku pembelian kebiasaan
yang tidak menuntut keterlibatan tinggi dan keragaman merek yang juga tidak
tinggi. Jenis perilaku pembelian terakhir adalah perilaku pembelian mencari
keragaman. Dalam jenis perilaku pembelian ini, banyak terdapat perbedaan
merek, namun keterlibatan untuk memilih produk mana yang akan dikonsumsi
tidak bernilai tinggi.
Menurut Earlyanti (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi pola
konsumsi adalah tingkat pendidikan konsumen, selera konsumen yang
ditunjukkan dengan persepsi, harga barang, tingkat pendapatan, jumlah anggota
keluarga dan kondisi lingkungan yang ditempati konsumen. Berdasarkan uji
regresi linear berganda, dapat disimpulkan bahwa variabel bebas yang
berpengaruh nyata terhadap perilaku pembelian nada sambung oleh mahasiswa
TPB IPB adalah persepsi konsumen. Persepsi konsumen juga berbanding lurus
dengan variabel terikat (perilaku pembelian). Perolehan itu senada dengan
paparan Earlyani (2008) diatas, meski kelima variabel independen lain yang
diteliti (pengetahuan, usia, jenis kelamin, jumlah anggota keluarga dan uang
saku) tidak berpengaruh nyata terhadap perilaku pembelian nada sambung oleh
mahasiswa TPB IPB. Pernyataan Verbeke (2002) dalam Gellynck (2009) juga
48
sesuai dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa persepsi konsumen
menentukan preferensi, sikap, pilihan serta perilaku pembelian konsumen itu.
49
Keterbatasan Penelitian Rentang waktu pemilihan contoh dan pengambilan data terpaut jarak satu
bulan, sehingga kemungkinan perubahan variabel yang diteliti saat pemilihan
contoh dan pengambilan data dapat terjadi. Selain itu jumlah contoh dalam
penelitian ini juga terlalu kecil sehingga mempengaruhi tingkat generalisasi hasil
penelitian.