analisis pelaksanaan akad pembiayaan murabahah...
TRANSCRIPT
ANALISIS PELAKSANAAN AKAD PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA BMTBERSAMA KITA BERKAH (BKB) DAN BMT AT-TAQWA PINANG
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
OLEH :
SYIFA AWALIYAH
11140460000063
PROGRAM STUDI MUAMALAT (HUKUM EKONOMI SYARIAH)
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1439 H/2018 M
iv
ABSTRAK
Syifa Awaliyah. NIM 11140460000063. ANALISIS PELAKSANAAN
AKAD PEMBIAYAAN MURABAHAH PADA BMT BERSAMA KITA BERKAH
(BKB) DAN BMT AT-TAQWA PINANG. Program Studi Hukum Ekonomi Syariah,
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
1439 H / 2018 M. 8 x 73 halaman 24 halaman lampiran.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat apakah pengelolaan pembiayaan
murabahah pada BMT Bersama Kita Berkah (BKB) dan BMT At-Taqwa Pinang
sudah sesuai dengan prinsip syariah yaitu dari perspektif Fatwa DSN-MUI. Analisis
kesesuaian syariah pada pembiaaayan murabahah bertujuan untuk memperjelas
bagaimana cara yang benar untuk memperoleh barang yang akan diperjualbelikan
antara penjual dan pembeli.
Jika hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang, maka
harus ada akad wakalah terlebih dahulu sebelum dilakukan akad murabahah. Dalam
Fatwa DSN-MUI No. 4 Tahun 2000 tentang Murabahah juga dijelaskan bahwa jika
bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga,
akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi milik
bank. Jadi pada intinya BMT harus sudah memiliki terlebih dahulu barang yang
dipesan oleh nasabah. Kemudian dalam penelitian ini juga akan membahas tentang
bagaimana beralihnya kepemilikan berdasarkan hukum Islam dan hukum perdata.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif, yaitu dengan
memecahkan suatu kasus kesesuaian syariah terhadap pembiayaan murabahah pada
BMT Bersama Kita Berkah (BKB) dan BMT At-Taqwa Pinang.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk melihat bahwa
pembiayaan murabahah itu sudah sesuai syariah atau belum bisa dilihat dari
skemanya atau alurnya dalam melaksanakan akad. Jika salah satu syarat atau rukun
akad tidak terpenuhi maka dianggap merupakan jual beli yang tidak sah. Pada
dasarnya masih banyak BMT atau lembaga keuangan mikro syariah yang belum
sesuai dengan aturan syariah.
Kata Kunci : BMT, Akad, Jual Beli, Kesesuaian Syariah, Peralihan Kepemilikan
Pembimbing : Dr. Hasanudin, M.Ag
Daftar Pustaka : 1974 s.d 2017
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah atas segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan beribu-ribu
nikmat yang tak terhingga kepada kami semua. Shalawat serta salam kami hanturkan
kepada Baginda Nabi Muhammad SAW. Dengan rahmat dan syafa’atnya kami dapat
menimba ilmu dengan seluas-luasnya.
Dengan izin Allah serta rahmat, nikmat, dan hidayahnya Alhamdulillah saya dapat
menyelesaikan karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi yang berjudul “ Analisis
Pelaksanaan Akad Pembiayaan Murabahah Pada BMT Bersama Kita Berkah (BKB)
dan BMT At-Taqwa Pinang”.
Dalam menyusun skripsi ini banyak rintangan yang saya hadapi, tetapi itu semua
terbayar dengan adanya bantuan, dukungan, dan doa dari para pihak. Untuk itu
perkenankanlah saya untuk mengucapkan banyak terima kasih kepada para pihak
yang telah membantu saya dalam proses menyusun skripsi ini :
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang sudah memberikan kesempatan kepada peneliti
untuk mengikuti studi di Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta .
3. A.M. Hasan Ali, M.A., selaku Ketua Program Studi Hukum Ekonomi Syariah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Abdurrauf, Lc., M.A., selaku Sekretaris Program Studi Hukum Ekonomi
Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dr. Hasanudin, M.Ag., selaku Dosen Pembimbing Akademik sekaligu
Pembimbing Skripsi. Terima kasih atas bimbingan, bantuan, dan waktunya
yang sangat berharga demi kelancaran penelitian ini. Jasa bapak sangatlah
berarti bagi hiodup saya.
6. Dr. Abdurrauf, Lc, M.A., selaku Penguji I dan Mustolih, S.H.I, M.H., C.L.A.
selaku penguji II. Terima kasih telah memberikan arahan dan masukan dalam
penulisan skripsi ini. Karena masukan dan arahan penguji sangat bermanfaat
untuk penelitian saya agar lebih baik dan bermanfaat.
7. Para Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah banyak menyalurkan ilmu pengetahuan secara teori ataupun praktik
vi
selama saya belajar di Fakultas Syariah dan Hukum. Semoga menjadi amal
jariyah kelak di surga Allah SWT.
8. Terima kasih untuk seluruh pelayanan FSH, baik staf akademik, perpustakaan,
dan lain- lain, yang telah banyak berkecimpung dalam proses penyelesaian
tugas akhir skripsi ini.
9. Kedua orang tua yang telah memberikan dukungan sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya.
10. Keluarga, saudara, dan teman-teman semua yang tidak dapat disebutkan satu
per satu, yang telah memberikan bantuan serta dukungan kepada peneliti
dalam proses penyelesaian skripsi ini.
Kepada semua pihak yang telah banyak terlibat saya ucapkan banyak terima kasih
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini dengan baik.
Jakarta, 03 Juli 2018
Syifa Awaliyah
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN COVER
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................................. i
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................................. ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ..............................................................................iii
ABSTRAK ............................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................................... v
DAFTAR ISI......................................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian ......................................................................................... 1 B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah................................................... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................................. 9 D. Metode Penelitian ..................................................................................................... 10 E. Metode Penulisan Skripsi ......................................................................................... 11 F. Kerangka teori dan konseptual ................................................................................ 12 G. Sistematika Penulisan ............................................................................................... 22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. BMT ......................................................................................................................... 23 B. Kesesuaian Syariah ................................................................................................... 25 C. Akad ........................................................................................................................ 27 D. Jual Beli .................................................................................................................... 29 E. Murabahah ................................................................................................................ 31 F. Wakalah .................................................................................................................... 36 G. Peralihan Kepemilikan .............................................................................................. 38 H. Riview (Tinjauan Ulang) .......................................................................................... 42
viii
BAB III GAMBARAN UMUM BMT
A. Sejarah Berdirinya .................................................................................................... 48 B. Visi dan Misi ............................................................................................................. 49 C. Stuktur Organisasi...................................................................................................... 50 D. Produk-produk Lembaga .......................................................................................... 52
BAB IV PEMBAHASAN
A. Analisis pada BMT Bersama Kita Berkah (BKB) .................................................... 58 B. Analisis pada BMT At-Taqwa Pinang ...................................................................... 63 C. Peralihan Kepemilikan Berdasarkan Hukum Islam .................................................. 69 D. Peralihan Kepemilikan Berdasarkan Hukum Perdata ............................................... 70
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................................................... 72 B. Saran ......................................................................................................................... 73
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ekonomi syariah di Indonesia telah mengalami
perkembangan pesat. Pemerintah mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1992
tentang perbankan syariah, yang menjadi tonggak awal beroperasinya
bank syariah di Indonesia. Setelah pemerintah mengeluarkan UU No. 7
Tahun 1992 tentang perbankan syariah, UU ini diamandemen dengan UU
No. 10 Tahun 1998. Pada tahun 2008, UU No. 21 Tahun 2008 tentang
perbankan syariah diberlakukan. UU No. 21 ini adalah UU khusus yang
mengatur perbankan syariah. Perkembangan dari perbankan syariah juga
menyentuh pada sektor perkoperasian yang memunculkan Baitul Maal Wa
Tamwil (BMT).
BMT merupakan kependekan dari Baitul Mal wa Tamwil atau
biasa dikenal oleh masyarakat yaitu Balai Usaha Mandiri Terpadu yang
beroperasi berdasarkan prinsip – prisnip syariah. Istilah BMT menurut
Heri Sudarsono (2004) dalam bukunya Bank dan Lembaga Keuangan
Syariah mendefinisikan BMT ke dalam 2 fungsi utama1 :
a. Bait al maal sebagai lembaga yang mengarah pada usaha- usaha
pengumpulan dan penyaluran dana yang non profit, seperti halnya
zakat, infaq, dan shodaqah.
b. Bait at-tamwil sebagai lembaga yang mengarah pada usaha
pengumpulan dan penyaluran dana komersial.
Usaha-usaha tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari BMT
sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan
berlandaskan syariah.
1 Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi,
( Yogyakarta : Ekonisia, 2004, cet.kedua) h. 96.
2
Oleh karena itu, BMT secara nama telah melekat dua ciri yaitu
sosial dan bisnis. Sesuai dengan namanya Baitul Maal memiliki kesetaraan
dengan Baitul Tamwilartinya bidang sosial dan bidang bisnis harus dapat
berjalan secara seimbang.
Peran Baitul Maal wa Tamwil (BMT) cukup besar dalam
membantu kalangan usaha kecil dan menengah. BMT ini berusaha
memberikan bantuan dana kepada pedagang maupun usaha mikro yang
masih mengalami kesulitan untuk mendapatkan kredit dari bank.
Meskipun dana yang dipinjamkan kecil tetapi cukup membantu karena
dalam pembayarannya bisa diangsur tanpa memberatkan nasabah. BMT
ini merupakan salah satu lembaga pembiayaan untuk usaha mikro melalui
pinjaman tanpa menggunakan riba atau bunga. BMT memiliki sistem jual
beli dan sewa-menyewa disamping sistem bagi hasil, sebagai contohnya
adalah produk murabahah, salam, istishna‟, dan sewa-menyewa (ijarah).
Kelebihan BMT dibanding perbankan syariah adalah
keluwesannya dan kecepatannya dalam melayani masyarakat. Persyaratan
dan prosedur dibuat sesederhana mungkin dengan tetap memperhatikan
resiko dan keamanan.
Akad murabahah adalah transaksi jual beli suatu barang sebesar
harga perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati oleh para
pihak, dimana penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan
kepada pembeli.2
Murabahah merupakan salah satu produk penyaluran dana yang
cukup digemari nasabah BMT karena karakteristiknya yang profitable,
mudah dalam penerapan, serta dengan risk factor yang ringan untuk
diperhitungkan dalam penerapan, kemudian BMT juga bertindak sebagai
pembeli sekaligus penjual barang halal tertentu yang dibutuhkan nasabah.
2S Burhanuddin, Aspek Hukum Lembaga Keauangan Syariah, (Yogyakarta :
Graha Ilmu , 2010), h. 200.
3
Beberapa ketentuan harus dipenuhi dalam melaksanakan akad
murabahah agar transaksi akad tersebut terhindar dari riba dan sesuai
dengan syariah. Salah satunya adalah syarat barang yang diakadkan dalam
hal ini adalah barang yang diperjualbelikan.
BMT yang berbadan hukum Koperasi Jasa Keuangan Syariah
(KJKS) merupakan lembaga intermediasi yang tidak mempunyai
persediaan barang dagang yang diperjualbelikan. BMT hanya mengelola
dana pihak ketiga untuk disalurkan melalui akad yang sesuai dengan
kebutuhan pembiayaan kepada anggota. BMT harus mencari supplier yang
sesuai untuk anggota yang mengajukan pembiayaan murabahah. Akad
pembiayaan murabahah yang diterapkan oleh lembaga keuangan syariah
di Indonesia lebih dikenal dengan murabahah Kepada Pemesan Pembelian
(KPP) karena pihak penjual (Lembaga Keuangan Syariah) tidak memiliki
barang yang diminta oleh nasabah,lembaga keuangan hanya mengadakan
barang untuk memenuhi kebutuhan nasabah yang memesannya.3
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI No. 04/DSN-
MUI/IV/2000 tentang murabahah disebutkan bahwa jika bank hendak
mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad
jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip,
menjadi milik bank.4Jadi intinya, BMT harus membeli terlebih dahulu aset
yang dipesan oleh nasabah secara sah dan kemudian menawarkan aset
tersebut kepada nasabah. Syarat-syarat benda yang menjadi objek akad
dalam akad murabahah, barang yang diperjualbelikan harus sudah
menjadi milik bank (BMT) dan barang tersebut tidak diharamkan oleh
3Endro Wibowo, “Manajemen Risiko Pembiayaan Murabahah di BMT Amanah
Ummah”. Al-Tijarah. VOL. 1 No. 2, Sekolah Tinggi Agama Islam Ali bin Ali Thalib,
Desember 2015, 116.
4Fatwa DSN-MUI No. 04 Tahun 2000 tentang Murabahah.
4
syariah Islam. Tidak sah menjual barang-barang yang baru akan menjadi
miliknya.5
Pembiayaan di BMT juga banyak mengalami masalah walaupun
telah dilakukan berbagai analisis secara seksama. Banyak faktor
diantaranya masyarakat awam yang masih belum faham tentang
pembiayaan murabahah, karena masih banyak masyarakat yang
beranggapan bahwa pembiayaan murabahah itu sama saja dengan
pembiayaan konvensional. Padahal kenyataannya menurut fatwa DSN-
MUI tidak seperti itu, BMT berkedudukan sebagai penjual sedangkan
anggota BMT berkedudukan sebagai pembeli.
Dengan adanya berbagai tantangan, maka lembaga ini dituntut
untuk bekerja secara efektif dan efisien agar masyarakat mulai tertarik dan
beralih pada lembaga ini. Selain itu juga harus lebih transparan agar
masyarakat menyadari bahwa terdapat perbedaan besar antara pembiayaan
murabahah dengan pembiayaan konvensional.
Hasil penelitian mengenai karakteristik responden (UKM Mitra)
berdasarkan LKMS dilakukan dengan penyebaran kuesioner pada
sejumlah LKMS (BMT dan BPRS). Data-data yang berhasil dihimpun
adalah sejumlah 511 responden yang tersebar di tujuh wilayah, terbanyak
adalah Jakarta yang tersebar di tiga wilayah, yaitu Jakarta Selatan, Jakarta
Barat, Jakarta Timur. Untuk Jakarta Utara karena persoalan lokasi dan
kesulitan akses, maka tidak bisa diambil datanya. Selanjutnya adalah
wilayah Tangerang sebanyak 127 responden dan sisanya diambil di Depok
(Jawa Barat). Wonosobo (Jawa Tengah) diambil cukup banyak, yaitu pada
BMT Induk dan mitra binaannya sebanyak 52 responden, dan Yogyakarta
55 responden pada 3 BMT yang berbeda. Jumlah ini berbeda-beda karena
sesuai kesediannya mengisi kuesioner, banyak nasabah yang enggan
5Suhendi, Hendi, Fiqih Muamalah, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007),
h. 73.
5
mengisi karena kesibukannya di lokasi kerja(pasar).6 Pada intinya
responden paling banyak berdasarkan penelitian diatas adalah wilayah
Tangerang sebanyak 127 responden.
Untuk pemilihan produk umumnya nasabah memilih murabahah,
karena produk murabahah ini memiliki resiko yang sangat rendah,
perputaran cepat, dan juga mudah. Sedangkan pada pemilihan produk-
produk lain juga adanya yang diminati oleh masyarakat sesuai dengan
kebutuhannya masing-masing. Berikut data yang diperoleh adalah :7
No Produk LKMS Frekuensi Persen (%)
1. Wadi‟ah / titipan 118 23,1
2. Mudharabah 177 34,6
3. Musyarakah 52 10,2
4. Murabahah 234 45,8
5. Ijarah 11 2,2
6. Qard 32 6,3
7. Lain-lain 8 1,6
Alasan masyarakat bermitra di Lembaga Keuangan Mikro Syariah
adalah bahwa sebagian masyarakat menyatakan karena adanya kemudahan
dan kecepatan dalam proses pencairan, faktor kenyamanannya tinggi
hingga 53 %, pelayanannya baik dan juga ramah, biaya administrasi yang
rendah, dan lain-lain. Dapat disimpulkan juga dari hasil tinjauan ini
bahwasanya pada umunya motivasi atau kepentingan nasabah
6Dr.Euis Amalia,M.Ag, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam, (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2009), h. 152.
7Dr.Euis Amalia,M.Ag, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam, (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2009), h. 160.
6
berhubungan dengan Lembaga Keuangan Mikro Syariah adalah untuk
pembiayaan dari pada untuk menyimpan.8
Peneliti sangat tertarik untuk meneliti tentang pembiayaan
murabahah, dimana produk pembiayaan ini sangat diminati oleh banyak
masyarakat sekitar di Lembaga Keuangan Mikro Syariah (BMT).
Selain itu, terdapat indikasi adanya ketidaksesuaian antara konsep
dan apa yang terjadi di lapangan mengenai pelaksanaan
murabahahbagaimana alur pembiayaan itu terjadi dan mengenai peralihan
kepemilikan objek pembiayaan yang harus senantiasa diteliti dan dibahas
agar senantiasa sesuai dengan sumber aslinya.
Didasari oleh latar belakang yang telah disebutkan, peneliti merasa
perlu dan tertarik untuk menganalisis tentang pelaksanaan akad
pembiayaan murabahah, dan bagaimana cara peralihan kepemilikan
barang dari segi hukum Islam dan hukum perdata.
Penelitian ini akan meneruskan dan melengkapi dari penelitian
sebelumnya yaitu penelitian tentang Analisis Pelaksanaan Akad
Pembiayaan Murabahah di BMT Palur Karanganyar oleh Muttaqin
Nurhuda dengan pembahasan yang berbeda. Beberapa perbedaan tersebut
terletak pada tahun, tempat dan objek penelitian. Pada penelitian
sebelumnya hanya membahas tentang pelaksanaan akad murabahah yang
diterapkan di BMT Palur Karanganyar serta kesesuaiannya dengan Fatwa
Dewan Syariah Nasional MUI No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Murabahah. Sedangkan dalam penelitian ini lebih memfokuskan pada
bagaimana pelaksanaan akad pembiayaan murabahah pada BMT Bersama
Kita Berkah (BKB) dan BMT At Taqwa Pinang dan bagaimana cara
peralihan kepemilikan barang dari segi hukum Islam dan hukum perdata
dalam pembiayaan murabahah. Melihat dari latar belakang di atas maka
8Dr.Euis Amalia,M.Ag, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam, (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2009), h. 161.
7
peneliti mengambil judul tentang “ Analisis Pelaksanaan Akad
Pembiayaan Murabahah pada BMT Bersama Kita Berkah (BKB) dan
BMT At-Taqwa Pinang”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Masalah-masalah yang ada di BMT saat ini yang peneliti temui adalah
sebagai berikut yang pertama adalah nasabah pembiayaan dalam
pelaksanan pembayaran angsuran pembiayaan sangat variatif, ada yang
tepat waktu ada yang lebih awal dari waktu yang telah ditentukan bahkan
ada juga yang tidak tepat waktu . Sehubung dengan adanya anggota yang
bermasalah tersebut maka akan mempengaruhi pada waktu dan biaya yang
dikeluarkan oleh pihak BMT. Dan yang kedua adalah masalah tentang
penentuan marjin pada akad pembiayaan murabahah. Karena dalam
menentukan margin harus dilakukan dengan adil agar tidak merugikan
salah satu pihak. Masalah-masalah di atas merupakan beberapa saja yang
ada di BMT. Pada penelitian ini peneliti hanya terfokus pada masalah
tentang Analisis Pelaksanaan Akad Pembiayaan Murabahah Pada BMT
BKB dan BMT At-Taqwa Pinang.
Masalah tentang objek dari pembiayaan murabahah dimana di dalam
Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah adalah jika
Bank / BMT hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang
kepada pihak ketiga , akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah
barang, secara prinsip menjadi milik Bank/BMT. Dengan ketidakjelasan
status objek dalam pembiayaan murabahah di BMT dapat menimbulkan
berbagai masalah yang berkaitan dengan peraturan tentang murabahah.
Kemudian dalam pembelian barang, dilakukan dengan cara BMT sendiri
yang membeli atau dengan cara mewakilkan kepada nasabah BMT.
Apabila dalam perolehan barang dengan cara mewakilkan kepada nasabah
maka harus ada akad wakalah terlebih dahulu sebelum adanya akad
8
murabahah. Pada masalah peralihan kepemilikan barang murabahahdari
segi hukum Islam dan hukum perdata juga perlu dibahas dalam penelitian
ini.
Masalah yang dapat diidentifikasikan peneliti adalah sebagai berikut :
a. Terdapat ketidakjelasan mengenai penetapan akad dalam
pembiayaan murabahah.
b. Status peralihan kepemilikan barang murabahah dari segi hukum
Islam dan perdata.
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah dalam penelitian ini, peneliti membatasi
masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya akan lebih jelas
dan terarah sesuai dengan yang diharapkan oleh peneliti. Di dalam
penelitian ini, peneliti akan membatasi penelitiannya pada produk
pembiayaan murabahah di BMT Bersama Kita Berkah (BKB)dan
BMT At-Taqwa Pinang sebagai objek penelitian. Adapun masalah
yang akan diteliti adalah tentang penetapan akad pada pembiayaan
murabahah, dan peralihan kepemilikan barangdari segi hukum Islam
dan hukum perdata dalam pembiayaan murabahah.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah dan batasan masalah yang
ditulis diatas, maka peneliti merumuskan masalahnya yaitu kesesuaian
syariah pada ketetapan akad dalampembiayaan murabahahdan
peralihan kepemilikan barang dari segi hukum Islam dan hukum
perdata dalam pembiayaan murabahah di BMT Bersama Kita Berkah
(BKB) dan BMT At-Taqwa Pinang.
Berdasarkan rumusan masalah tersebut penulis
menguraikannya dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
9
a. Apakah pengelolaan pembiayaan murabahah pada BMT Bersama
Kita Berkah (BKB) dan BMT At-Taqwa Pinang sudah sesuai dengan
prinsip syariah?
b. Bagaimana cara beralihannya kepemilikan menurut hukum Islamdan
hukum perdata pada objek pembiayaan murabahah ?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui kesesuaian hukum syariah terhadap
pengelolaan pembiayaan murabahah pada BMT Bersama
Kita Berkah (BKB) dan BMT At-Taqwa Pinang.
b. Untuk mengetahui bagaimana beralihnya suatu kepemilikan
barang murabahah dari segi hukum Islam dan hukum
perdata.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah
sebagai berikut :
a. Bagi penulis
Sebagai suatu bahan informasi ilmiah yang digunakan untuk
menambah wawasan pengetahuan penulis khususnya dan juga
pembaca umumnya seputar pembiayaan murabahah.
b. Bagi UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Penulis berharap hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai
penambah literatur serta referensi yang dapat dijadikan sebagai bahan
informasi bagi mahasiswa lain yang mengambil permasalahan yang
serupa.
c. Bagi pihak lain
Penulis berharap dengan adanya penelitian ini dapat menambah
hasanah keilmuan dan referensi yang dapat dijadikan sumber
informasi yang berkaitan dengan kinerja BMT.
10
D. Metode Penelitian
Peran metode penelitian dalam suatu penelitian sangat penting
untuk memperoleh pengetahuan baru dimana kulaitas pengetahuan baru
tersebut bergantung dari metode penelitian yang digunakan. Hanya dengan
menggunakan metode-metode yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah kita dapat memperoleh suatu pengetahuan yang baru yang memiliki
nilai ilmiah yang tinggi.
Metode penelitian ini akan diuraikan dalam beberapa tahapan yaitu :
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini metode yang akan digunakan yaitu deskriptif
kualitatif, yaitu dengan memecahkan suatu kasus kesesuaian syariah
terhadap pembiayaan murabahah di BMT Bersama Kita Berkah (BKB)
dan BMT At-Taqwa Pinang.
2. Jenis Pendekatan
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan yuridis
empiris, dimana kajian yang dilakukan menyelaraskan antara peraturan-
peraturan terkait murabahah.
3. Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan bersifat kualitatif yang terdiri dari data
primer dan data sekunder.
a. Data Primer diambil langsung dari beberapa peraturang yaitu Fatwa
DSN MUI Nomor 4 Tahun 2000 tentang murabahah, Fatwa DSN-MUI
No. 10 Tahun 2000 tentang Wakalah, KUHPerdata, Peraturan Bank
Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran
Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah.
b. Data sekunder diambil dari wawancara, membaca buku dan literature
lainnya yang terdiri atas :
a) Mewawancarai karyawan/pengelola BMT.
11
b) Hasil riset berupa tesis dan jurnal tentang pembiayaan murabahah
dan ketentuan akad-akad pada BMT.
c) Buku teks tentang murabahah dan hak milik.
d) Berita-berita seputar BMT (brosur) dan murabahah.
4. Responden
Yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah karyawan BMT
Bersama Kita Berkah (BKB) dan BMT At-Taqwa Pinang.
5. Teknik Pengumpulan Data
a) Teknik Wawancara, yaitu dengan melakukan wawancara terhadap
karyawan/pengelola BMT untuk mendapatkan informasi.
b) Teknik Kepustakaan, yaitu dengan mencari data dengan berbagai
sumber seperti buku- buku, jurnal- jurnal penelitian, dan melihat
peraturan- peraturan mengenai BMT/murabahah.
6. Teknik Pengolahan Data
Untuk memudahkan dalam pemaparan data yang telah didapatkan,
peneliti mengolah data hasil wawancara kepada karyawan/pengelola BMT
berupa audio visual menjadi data teks yang sesuai dengan kebutuhan
peneliti.
7. Subjek – Objek
a. Subjek penelitian ini adalah karyawan/pengelola BMT Bersama Kita
Berkah (BKB) dan BMT At-Taqwa Pinang.
b. Objek penelitian ini adalah BMT Bersama Kita Berkah (BKB) dan
BMT At-Taqwa Pinang.
E.Metode Penulisan Skripsi
Dalam menyusun penelitian ini, peneliti mengacu kepada Buku
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2017.
12
E. Kerangka Teori dan Konseptual
1. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini, maka akan menggunakan kajian teori,
diantaranya adalah :
a) Teori Hukum dan Keadilan.
Keadilan harus terwujud di semua lini kehidupan, dan setiap produk
manusia haruslah mengandung nilai-nilai keadilan, karena sejatinya perilaku dan
produk yang tidak adil akan melahirkan ketidakseimbangan, ketidakserasian yang
berakibat kerusakan, baik pada diri manusia sendiri maupun alam semesta.
Hukum dan keadilan sebenarnya adalah dua elemen yang saling bertaut yang
merupakan “conditio sine qua non” bagi yang lainnya.9
Rasa keadilan terkadang hidup di luar undang-undang, yang jelas undang-
undang akan sulit untuk membaginya. Begitu pula sebaliknya undang-undang itu
sendiri dirasakan tidak adil. Ketika rasa keadilan itu benar-benar eksis dan
dirasakan oleh mayoritas kolektif, maka kepastian hukum akan bergerak menuju
rasa keadilan itu sendiri. Kepastian hukum adalah rasa keadilan itu sendiri sebab
keadilan dan hukum bukanlah dua elemen yang terpisah.10
Menurut Murtadha Muthahhari mengemukakan bahwa konsep adil dikenal
dalam empat hal, pertama, adil bermakna keseimbangan dalam arti suatu
masyarakat yang ingin tetap seimbang bertahan dan mapan, maka masyarakat
tersebut harus berada dalam keadaan seimbangan, di mana segala sesuatu yang
ada di dalamnya harus eksis dengan kadar semestinya dan bukan dengan kadar
yang sama. Kedua, adil adalah persamaan penafian terhadap perbedaan apa pun.
Keadilan yang dimaksud adalah memelihara persamaan ketika hak miliknya sama,
sebab keadilan mewajibkan persamaan itu, dan mengharuskannya. Ketiga, adil
9Sukarno abauraera, Muhadar, dan Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktik,
(Jakarta : Prenada Media, 2014, cet.kedua), h. 177. 10
Sukarno abauraera, Muhadar, dan Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktik,
(Jakarta : Prenada Media, 2014, cet.kedua), h. 179.
13
adalah memelihara hak-hak individu dan memberikan hak kepada setiap orang
yang berhak menerimanya. Keadilan seperti ini adalah keadilan sosial yang harus
dihormati di dalam hukum manusia dan setiaap individu diperintahkan untuk
menegakkannya. Keempat, adil adalah memelihara hak atas berlanjutnya
eksistensi.11
Konsepsi keadilan Islam menurut Qadri mempunyai arti ia merasuk ke
sanubari yang paling dalam dari manusia, karena setiap orang harus berbuat atas
nama Tuhan sebagai tempat bermuaranya segala hal termasuk motivasi dan
tindakan.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan
teori hukum dan keadilan berkaitan dengan penelitian ini, karena penerapan
prinsip keadilan dalam pembiayaan murabahah sangat diperlukan. Islam telah
mengharamkan setiap hubungan bisnis yang mengandung kezhaliman dalam
mewajibkan terpenuhnya keadilan yang teraplikasi dalam setiap hubungan dagang
dan kontrak-kontrak bisnis karena sistem ekonomi islam tidak menganiaya
masyarakat terutama masyarakat lemah.
Transaksi yang berbasis bunga melanggar keadilan atau kewajaran bisnis.
Dalam bisnis, hasil dalam setiap perusahaan selalu tidak pasti. Bahkan meskipun
lembaga keuangan untung, bisa jadi harga barang yang diinginkan nasabah
dilebihi dari harga barang sesungguhnya, karena BMT mengajukan harga barang
yang akan di pesan oleh nasabah kepada BMT. Dan disini bisa disimpulkan
adanya unsur paksaan. Dimana mau tidak mau nasabah harus menerima
keputusan dari BMT yaitu jumlah harga barang ditambah margin keuntungan
yang ditetapkan oleh BMT yang harus dibayar oleh nasabah. Dalam menentukan
marjin atau bagi hasil harus menggunakan prinsip keadilan agar tidak merugikan
salah satu pihak.
11
Sukarno abauraera, Muhadar, dan Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktik,
(Jakarta : Prenada Media, 2014, cet.kedua), h. 192.
14
b) Teori Efektivitas Hukum
Peraturan perundang-undangan, baik yang tingkatnya lebih rendah
maupun yang lebih tinggi bertujuan agar masyarakat maupun aparatur penegak
hukum dapat melaksanakannya secara konsisten dan tanpa membedakan antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat lainnya. Semua orang dipandang sama
di hadapan hukum ( equality before the law). Namun, dalam realitasnya peraturan
perundang-undangan yang ditetapkan sering dilanggar, sehingga aturan itu tidak
berlaku efektif. Tidak efektifnya undang-undang bisa disebabkan karena undang-
undangnya kabur atau tidak jelas, aparatnya yang tidak konsisten dan atau
masyarakatnya tidak mendukung pelaksanaan dari undang-undang tersebut. Teori
yang mengkaji dan menganalisis tentang hal tersebut yaitu teori efektivitas
hukum.12
Menurut Hans Kelsen efektivitas hukum yaitu “ Apakah orang-orang pada
kenyataannya berbuat menurut suatu cara untuk menghindari sanksi yang
diancamkan oleh norma hukum atau bukan, dan apakah sanksi tersebut benar-
benar dilaksanakan bila syaratnya terpenuhi atau tidak terpenuhi”.
Menurut Anthony Allot efektivitas hukum yaitu “ Hukum akan menjadi
efektif jika tujuan keberadaan dan penerapannya dapat mencegah perbuatan-
perbuatan yang tidak diinginkan dapat menghilangkan kekacauan. Hukum yang
efektif secara umum dapat membuat apa yang dirancang dapat diwujudkan. Jika
suatu kegagalan, maka kemungkinan terjadi pembetulan secara gampang jika
terjadi keharusan untuk melaksanakan atau menerapkan hukum dalam suasana
baru yang berbeda, hukum akan sanggup menyelesaikannya”.13
Dari kedua pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori efektivitas
hukum yaitu “ Teori yang mengkaji dan menganalisis tentang keberhasilan,
12
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014, cet.ketiga), h. 301. 13
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014, cet.ketiga), h. 302.
15
kegagalan dan faktor-faktor yang mempengaruhi dalam pelaksanaan dan
penerapan hukum”.
Terdapat pandangan lain tentang efektivitas hukum dikemukakan oleh
Clearence J. Dias, Howard dan Mummers. Clearence J. Dias mengemukakan lima
syarat bagi efektif tidaknya suatu sistem hukum. Kelima syarat itu adalah :
1. Mudah tidaknya makna atau isi aturan-aturan hukum itu ditangkap.
2. Luas tidaknya kalangan di dalam masyarakat yang mengetahui isi aturan-
aturan yang bersangkutan.
3. Efisien dan efektif tidaknya mobilisasi aturan-aturan hukum yang dicapai.
4. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak hanya harus mudah
dihubungi dan dimasuki oleh setiap warga masyarakat, akan tetapi juga
harus cukup efektif menyelesaikan sengketa.
5. Adanya anggapan dan pengakuan yang merata di kalangan warga
masyarakat, bahwa aturan-aturan dan pranata-pranata hukum itu memang
sesungguhnya berdaya mampu efektif.14
Dari beberapa pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori
efektivitas hukum berkaitan dengan penelitian ini. Karena dalam penelitian ini ada
beberapa hal yang dikaitkan dengan efektivitas suatu hukum, yaitu tentang sejauh
mana efektivitas hukum yang diterapkan di dalam Fatwa DSN No. 4 Tahun 2004
tentang Murabahah dalam pembiayaan murabahah di BMT BKB dan BMT At-
Tawa Pinang.
c) Teori kebenaran
Menyoal dan membahas pengertian kebenaran, akan mengantarkan pada
kajian kebenaran sebagai sesuatu yang mutlak dan relatif sifatnya. Untuk
mengatakan sesuatu itu benar, tergantung dari sudut mana orang melihatnya.15
14
Sukarno abauraera, Muhadar, dan Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktik,
(Jakarta : Prenada Media, 2014, cet.kedua), h. 239.
16
Menurut Abbas Hamami Mintaredja, kata “kebenaran” dapat digunakan
sebagai suatu kata benda yang konkret maupun yang abstrak. Jika subjek hendak
menuturkan kebenaran artinya proposisi yang benar. Proposisi maksudnya makna
yang dikandung dalam pernyataan atau statement. Jika subjek menyatakan
kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau
karakteristik, hubungan dan nilai. Hal yang demikian karena kebenaran tidak
dapat begitu saja dari kualitas, sifat hubungan dan nilai itu sendiri.16
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa teori kebenaran
berkaitan dengan penelitian ini. Dari penelitian ini hal yang akan dibahas yaitu
mengenai kebenaran tentang kesesuaian pada pelaksanaan akad murabahah,
apakah diawali dengan akad wakalah terlebih dahulu atau tidak, jadi prinsipnya
apakah sama saja dengan pinjam meminjam, sedangkan dalam pinjam meminjam
tidak boleh mengambil keuntungan, dan juga melihat perpindahan kepemilikan
barang apakah sudah benar-benar beralih atau belum. Dan ini perlu diadakan
observasi untuk melihat kebenarannya secara langsung , bukan hanya melihat dari
ketentuan peraturannya.
d) Teori Eksistensi Hukum Islam Dalam Tata Hukum di Indonesia.17
Islam telah diterima oleh bangsa Indonesia jauh sebelum penjajah datang
ke Indonesia. Penjajah Belanda menyaksikan kenyataan bahwa Hindia Belanda
sudah ada hukum yang berlaku yaitu, Islam, Hindu, Budha, dan Nasrani, di
samping hukum adat bangsa Indonesia.
Sehubungan dengan berlakunya hukum adat bagi bangsa Indonesia dan
hukum agama bagi masing-masing pemeluknya, munculah beberapa teori, yaitu
dua teori pertama muncul sebelum merdeka dan tiga teori lainnya setelah
Indonesia merdeka.
15
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014, cet.ketiga), h. 308. 16
Sukarno abauraera, Muhadar, dan Maskun, Filsafat Hukum Teori dan Praktik,
(Jakarta : Prenada Media, 2014, cet.kedua), h. 239-240. 17
Mustofa, Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, ( Jakarta : Sinar Grafika,
2009), h. 143.
17
1) Teori Receptio in Complexu.
Menurut teori ini bagi setiap penduduk berlaku hukum agamanya masing-
masing. Bagi orang Islam berlaku hukum Islam, demikian juga bagi pemeluk
agama lainnya.
Materi teori receptio in complexu ini, dimuat dalam Pasal 75 RR tahun
1855 yang berbunyi :
“Oleh hakim Indonesia itu hendaklah diberlakukan undang-undang
agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia itu.”
2) Teori Receptie
Munculnya teori ini menentang teori Reception in Complexu. Menurut
teori Resepsi, hukum Islam tidak otomatis berlaku bagi orang Islam. Hukum
Islam berlaku bagi Islam, kalau ia sudah diterima ( diresepsi) oleh dan telah
menjadi hukum adat mereka. Jadi yang berlaku bagi mereka bukan hukum Islam,
melainkan hukum adat.
Pemikiran Snouck Hurgronje tentang teori Resepsi ini, dengan
pendapatnya tentang pemisahan antara agama dan politik. Pandangannya itu
sesuai pula dengan sarannya kepada pemerintah Hindia Belanda tentang politik
Islam Hindia Belanda. Dia menyarankan agar pemerintah Hindia Belanda bersifat
netral terhadap ibadah agama dan bertindak tegas terhadap setiap kemungkinan
perlawanan orang Islam fanatik. Islam dipandangnya sebagai ancaman yang harus
dikekang dai ditempatkan di bawah pengawasan yang ketat.
Penerapan teori Resepsi antara lain pada tahun 1937 dengan Staatablad
1937 No. 116, wewenang menyelesaikan hukum waris dicabut dari Pengadilan
Agama dan dialihkan menjadi wewenang Pengadilan Negeri. Alasan pencabutan
wewenang Pengadilan Agama tersebut dengan alasan bahwa hukum waris Islam
belum sepenuhnya diterima oleh hukum adat (belum diresepsi).
18
3) Teori Receptie Exit
Semangat pemimpin Islam menentang pemikiran Snouck Hurgronje,
dengan menyadarkan pemberlakuan hukum Islam pada hukum adat terus bergulir.
Upaya itu tampak umpamanya dengan lahirnya Piagam Jakarta pada tanggal 22
Juni 1945.
Piagam Jakarta merupakan Rancangan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia. Ia disusun atas kesepakatan serta disahkan oleh
9 orang tokoh bangsa Indonesia, 8 orang diantaranya beragama Islam. Lahirnya
Piagam Jakarta merupakan bagian dari keberhasilan usaha tokoh-tokoh
kebangsaan yang selalu memperjuangkan berlakunya hukumIslam bagi orang
Islam.
Pada tanggal 18 Agustus 1945 PPKI mengesahkan Undang-Undaang
Dasar 1945. Bagian pembukaan UUD tersebut merupakan Piagam Jakarta setelah
dikurangi 7 kata, hal ini dilakukan untuk menjaga persatuan dan keutuhan seluruh
wilayah Indonesia.
Menurut Hazairin, teori Resepsi yang menyatakan bahwa hukum Islam
baru beraku bagi orang Islam kalu sudah diterima dan menjadi bagian dari teori
Iblis (setan) dan telah “modar”, artinya telah hapus atau harus dinyatakan hapus
(keluar) dengan berlakunya UUD 1945. Pemahaman inilah yang dimaksud dengan
Teori Receptie Exit (Resepsi Exit).
Menurut teori ini, peberlakukan hukum Islam tidak harus didasarkan atau
ada ketergantungan kepada hukum adat.pemahaman demikian dipertegas lagi,
anatara lain dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang
memberlakukan hukum Islam bagi orang Islamm Pasal 2 ayat 1, UU No. 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama, Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI).
19
4) Teori Receptio A Contrairo
Dalam perkembangan selanjutnya, menurut Syuti Thalib ternyata dalam
masyakat telah berkembang yang lebih jauh dari pendapat Hazairin di atas. Di
beberapa daerah yang dianggap sangat kuat adatnya terlihat ada kecenderungan
teori Resepsi dari Snouck Hurgronje itu dibalik.
Contohnya di Aceh, masyarakatnya menghendaki agar soal-soal
perkawinan dan soal warisan diatur menurut hukum Islam. Inilah yang dimaksud
teori Receptio A Contrario, hukum adat berlaku kalau tidak bertentangan dengan
hukum Islam.
5) Teori Eksistensi
Teori eksistensi ini adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum
Islam dalam Hukum Nasional Indonesia. Menurut teori ini bentuk eksistensi
hukum Islam dalam hukum Nasional itu adalah : (1) Ada, dalam arti hukum Islam
berada adalam hukum nasional sebagai bagian yang integral darinya; (2) Ada,
dalam arti adanya kemandirian yang diakui berkekuatan hukum nasional dan
sebagai hukum nasioanl; (3) Ada, dalam hukum nasional dalam arti norma hukum
Islam (agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasioal
Indonesia; (4) Ada, dalam hukum nasional dalam arti sebagai bahan utama dan
unsur utama hukum nasional Indonesia.18
Berdasarkan teori ini keberadaan hukum Islam dalam tata hukum nasional,
merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah adanya. Bahkan lebih dari
itu, hukum Islam merupakan bahan utama atau unsur utama hukum nasional.
Ajaran Islam diyakini sebagai sebuah instrumen yang mampu menyelesaikan
berbagai permasalahan kehidupan benar-benar diuji dan dipertahankan. Ajaran
Islam harus bisa didudukkan pada proporsisi yang sebenarnya, yakni menjadi
inspirasi perubahan dan bukan objek perubaan.
18
Mustofa, Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, ( Jakarta : Sinar Grafika,
2009), h. 150.
20
Dalam pembangunan hukum nasional Indonesia, hukum agama (Hukum
Islam) menjadi dasar yang paling dominan, dimana hukum Islam sangat berperan
dalam membentuk perilaku manusia Indonesia. Oleh karenanya hukum Islam
menjadi unsur mutlak bagi pembangunan hukum nasional Indonesia.
21
2. Kerangka Konseptual
Kerangka pemikiran dari masalah yang ada serta pemecahannya
digambarkan sebagai berikut:
Analisis Pembiayaan Murabahah Di BMT
Fatwa DSN-
MUI
KUHPerdata
Analisis Perbandingan
Wawancara karyawan
BMT Bersama Kita Berkah
(BKB)
BMT At-Taqwa Pinang
Kesimpulan
22
G. Sistematika Penulisan
BAB I : Merupakan Bab pendahuluan yang menjelaskan Latar Belakang
Masalah, Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah,
Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian,
Metode Penulisan Skripsi, Kerangka Teori dan Konseptual, dan
Sistematika Penulisan.
BAB II : Merupakan Bab Tinjauan Pustaka, dimana ada dua jenis kajian
pustaka, yaitu terdiri dari kajian teoritis dan review ( tinjauan
ulang ) hasil studi terdahulu. Dalam kerangka teoritis yang
menjelaskan tentang pengertian, fungsi dan peranan
BMT,Lembaga Keuangan Mikro Syariah, Kesesuaian Syariah,
Akad, Murabahah, Wakalah, Peralihan Kepemilikan.
BAB III: Merupakan Bab Gambaran Lembaga. Bab ini terdiri dari Sejarah
Berdirinya, Visi dan Misi, Struktur Organisasi dan Produk-
produk BMT.
BAB IV: Merupakan Bab Pembahasan yang mendokumenkan hasil
penelitian. Bab ini terdiri dari penelitian Pembiayaan
Murabahah di BMT BKB dan BMT At –Taqwa Pinang serta
Status Peralihan Kepemilikan barang berdasarkan hukum
Islam dan hukum perdata.
BAB V :Merupakan Bab Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran.
23
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. BMT
a. Pengertian BMT
Baitul Maal wa Tamwil (BMT) merupakan suatu lembaga
yang terdiri dari dua istilah, yaitu baitulmaal dan baitul tamwil.
Baitulmaal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan dan
penyaluran dana yang nonprofit, seperti : zakat, infaq, dan sedekah.
Adapun baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran
dana komersial.
Usaha-usaha tersebut menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari BMT sebagai lembaga pendukung kegiatan
ekonomi masyarakat kecil dengan berlandaskan Islam.
b. Fungsi BMT
1) Penghimpun dan penyalur dana.
2) Sumber pendapatan dan pemberi informasi.
3) Suatu lembaga yang dapat memberikan pembiayaan bagi usaha
kecil, mikro, menengah dan juga koperasi dengan tidak
meminta jaminan.
4) Meningkatkan kualitas SDM anggota, pengurus, dan pengelola
menjadi lebh profesional, salaam, dan amanah.
5) Mengukuhkan dan meningkatkan kualitas usaha dan pasar
produk-produk anggota.
c. Peranan BMT
1) Menjauhkan masyarakatdari praktik ekonomi yang bersifat non
Islam.
2) Melakukan pembinaan dan pendanaan usaha kecil.
3) Melepaskan ketergantungan pada rentenir.
4) Menjaga keadilan ekonomi masyarakat dengan distribusi yang
merata.
24
5) Ujung tombak pelaksanaan sistem ekonomi Islam.
6) Penghubung antara kaum aghnia (kaya) dan kaum dhu‟afa
(miskin).19
d. Akad-akad BMT
1) Mudharabah, adalah bentuk kerja sama antara dua atau
lebih pihak dimana pemilik modal (shohibul amal)
mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola
(mudharib) dengan suatu perjanjian di awal. Bentuk ini
menegaskan kerja sama dengan kontribusi seratus persen
modal dan keahlian dari pengelola.
2) Murabahah, perjanjian jual beli antara bank dengan
nasabah. Bank syariah membeli barang yang diperlukan
nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang
bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan
margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah
dan nasabah.
3) Salam, akad jual beli barang pesanan antara pembeli dan
penjual dengan pembayaran dimuka dan pengiriman
barang oleh penjual dibelakang.
4) Istishna, adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan
persyaratan tertentu. Istishna dapat dilakukan langsung
antara dua belah pihak antara pemesanan atau penjual
seperti melalui perantara.
5) Ijarah, adalah akad pemindahan hak guna (manfaaat) atas
suatu barang dalam waktu tertentu dengan pembayaran
sewa (ujrah) tanpa diikuti dengan pemindahan
kepemilikan atas barang tersebut.
19
Nurul Huda, Mohamad Haykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis
dan Praktis, (Jakarta : Kencana, 2010), h. 363-365.
25
6) Qardh, adalah akad pinjaman (penyaluran dana) kepada
nasabah dengan ketentuan bahwa nasabah wajib
mengembalikan dana yang diterimanya kepada Lembaga
Keuangan Syariah (LKS) pada waktu yang telah
disepakati antara nasabah dan LKS.
7) Ar-Rahn, adalah perjanjian penyerahan barang untuk
menjadi agunan dari fasilitas pembayaran yang diberikan.
B. KESESUAIAN SYARIAH
Maksud dari kesesuaian syariah itu adalah mengungkapkan
sesuatu yang terjadi apakah sesuai dengan apa yang ada di dalam
hukum Islam atau apakah sudah berjalan sesuai dengan prinsip
syariah. Dimana teori yang ada di dalam hukum Islam itu harus
sama atau sesuai dengan apa yang terjadi di lapangan.
Prinsip dalam ekonomi syariah( mu‟amalah) adalah sebagai
berikut:20
a. Pada dasarnya segala bentuk mu’amalah adalah boleh
(mubah) kecuali jika ditentukan lain oleh suatu dalil,
baik Al-Quran maupun Hadits.
Dapat disimpulkan bahwa hukum Islam sangat
memberi kesempatan yang luas bagi perkembangan
bentuk dan macam mu‟amalah baru sesuai dengan
berkembangannya zaman dan berkembangnya butuhan
hidup masyarakat.
b. Ekonomi syariah (mu‟amalah) dilakukan atas dasar
sukarela (taradhi) tanpa mengandung unssur paksaan
(ikrah).
Pada prinsip ini menyatakan bahwa segala bentuk
transaksi wajib dilakukan atas dasar kerelaan antara
20
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta : eLSAS, 2008), h.
293.
26
para pihak. Dan kerelaan disini dianggap sebagai salah
satu unsur terwujudnya suatu transaksi.
Prinsip ini juga memberikan batasan-batasan agar
kebebasan kehendak pihak-pihak yang terlibat dalam
akad agar selalu harus diperhatikan. Selain saling rela
dalam aktifitas ekonomi syariah juga harus didasarkan
prinsip ketidak terpaksaan. Prinsip ini juga merupakan
prinsip dasar dalam fiqh mu’amalat dan merupakan
pula prinsip dasar dalam hukum perjanjian (akad).
c. Terciptanya pelayanan sosial.
Dengan adanya prinsip pelayanan sosial dapat
meringankan beban kaum yang lemah secara ekonomi.
Dalam ekonomi syariah diperbolehkan untuk
mengambil keuntungan dan kekayaan yang bertambah
tetapi juga harus memperhatikan kondisi sosial
disekitarnya.
Prinsip ini relevan untuk diterapkan di setiap
lembaga keuangan syariah, terutama perbankan syariah.
keberpihakan lembaga keuangan syariah yaitu kepada
Usaha Kecil Menengah (UKM) sebagai upaya dalam
mengimplementasikan prinsip hukum ekonomi syariah
ini. Sehingga kesejahteraan ekonomi dapat dirasakan
oleh semua masyarakat.
d. Terciptanya keadilan dan keseimbangan
Pelaksanaan dalam akad ini diperintahkan untuk
berperilaku benar dalam pengungkapan kehendak dan
keadaan, memenuhi perjanjian yang sudah dibuat
dianatara para pihak, dan juga memenuhi semua
kewajiban. Pada asa ini sangat berkaitan dengan asas
kesetaraan yaitu sama-sama lawan dari kezaliman.
e. Tidak ada tipu daya
27
Salah satu prinsip ini dalam transaksi ekonomi
syariah yaitu bahwa tidak adanya unsur gharar dalam
setiap transaksinya. Yang dimaksud gharar disini
adalah menurut Imam al-Khithabi adalah setiap jual beli
yang tidak diketahui maksudnya dan juga yang tidak
bisa diukur.
f. Profitable
Setiap kegiatan ekonomi tentunya yang diharapkan
adalah keuntungannya. Setiap kegiatan ekonomi yang
dilakukan dengan sistem syariah harus diorientasikan
pada profit. Tidak ada turan syariah yang melarang
adanya mengambil keuntungan dalam kegiatan
ekonomi, bahkan syariah menganjurkan berniaga tetapi
dengan syarat harus beniaga yang menguntungkan.
g. Muamalah yang dilakukan atas dasar pertimbangan
mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat.
Segala bentuk yang muamah yang daoat merusak atau
mengganggu kehidupan masyarakat tidak dibenarkan,
misalnya seperti perjudian, prostitusi, penual obat
terlarang yang tidak sah, dan lain-lain.
C. AKAD
a. Pengertian akad
Akad berasal dari kata bahasa Arab yaitu, Al-„Aqdsecara
bahasa berarti al-rabthu, yaitu mengikat atau ikatan. Dikatakan
rabatha al-Syai‟ rabathan, berarti ia mengikat sesuatu dengan
kuat. Dalam al-Mu‟jam al-Wasith, kata al-„Aqdu adalah sinonim
dari kata al-„Ahdu bermakna perjanjian dan al-Ittifaq, yaitu
kesepakatan yang terjadi antara dua pihak belah pihak yang mana
keduanya diharuskan untuk melakukan kesepakatan, seperti akad
jual beli dan pernikahan. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya
adalah menghimpun dan mengumpulkan dua ujung tali dan
28
mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya
bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.21
Akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad
adalah pertemuan ijab dan kabul yang menyatakan kehendak pihak
lain. Tindakan hukum satu pihak contohnya adalah wasiat, wakaf,
janji memberi hadiah, dan lain-lain. Sedangkan contoh tindakan
hukum dua pihak adalah perjanjian sewa menyewa, perjanjian jual-
beli atau perjanjian pranikah.22
b. Rukun Akad
Suatu aktifitas perekonomian dapat dinyatakan legal
menurut hukum Islam jika akad atau transaksi yang
dipergunakannya sah. Suatu akad atau transaksi dianggap sah
apabila telah memenuhi beberapa rukun atau unsur sebagai berikut:
1) Shighat, pernyataan ijab dan qabul.
Ijab qabul diperlukan untuk menjadi tolak ukur
kerelaan antara penjual dan pembeli karena sebagaimana
maklum perasaan saling rela ini adanya dalam hati,
sehingga susah untuk mengetahui dan mengukurnya.
Padahal sahnya akad jual-beli sangat tergantung dengan
adanya perasaan saling rela antara penjual dan pembeli .
2) „aqidan, dua pelaku akad.
Pelaku akad disyaratkan harus orang mukallaf (aqil
baligh) menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan
mazhab Hanafi dan Maliki hanya mensyaratkan
tamyiz(minimal berusia tujuh tahun). Syarat lain yang harus
dipenuhi oleh pelaku akad adalah memiliki kewenangan
(hak) terhadap objek akad, baik kewenangan asli maupun
kewenangan sebagai wakil atau wali.
21
Abdurrauf, “Penerapan Teori Akad pada Perbankan Syariah”. Al-Iqtishad.
Vol. 4 No. 1, Januari 2012, 19. 22
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad Dalam
Fikih Muamalat,( Jakarta : PT Raja Grafindo, 2007), h. 68-69.
29
3) Ma‟qud „alaih, obyek akad.
Sesuatu yang menjadi objek akad harus memenuhi
5 (lima) syarat, yaitu :
a) Harus suci ( kaunuhu thahiran).
b) Mempunyai manfaat(muntafi‟an bih).
c) Dapat diserahkan ketika akad (al-Qudrah
„ala taslim al-mabi‟).
d) Harus jelas dan diketahui oleh kedua belah
pihak (kaunu al-mabi‟ ma‟luman).
Ulama mazhab Hanafi menambahkan satu unsur lagi pada
rukun akad yaitu, maudhu‟ al-„aqd adalah sasaran atau tujuan
akad.23
c. Syarat Akad
Selain rukun, agar suatu akad dinyatakan sah masih diperlukan
sejumlah syarat. Beberapa syarat yang berkenaan dengan shighat,
„aqidan, dan ma‟qud „alaih, secara garis besar, telah dikemukakan.
Syarat penting lainnya adalah bahwa akad yang dilakukan bukan
merupakan akad yang dilarang oleh hukum dan bahwa akad
tersebut harus menimbulkan manfaat (kegunaan, mufid).
D. JUAL BELI
a. Pengertian jual beli
Jual beli menurut istilah fiqh berarti menjual, mengganti,
dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Sedangkan
menurut istilah adalah menukar barang dengan barang atau
barang dengan uang dengan jalan melepaskan hak milik dari
yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan.24
b. Dasar hukum jual beli
23
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta : Elsas Jakarta,
2008), h. 285. 24
Shobirin, “ Jual Beli Dalam Pandangan Islam”. Jurnal Bisnis. Vol. 3 No. 2
Prodi Ekonomi Syariah STAIN Kudus, Desember 2015, 241.
30
أنتكىنتجارة ل بانباطل بينك ياأيهاانذينآينىالتؤكهىاأيىانك
نكى عنتزاض ولتقتهىاأنفسكى ا زحي إنانههكانبك
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
memakan harta sesamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara
kamu”. ( Q.S.An-Nisa (4) :29).
نه باوأحل يانز هانبيعىحز
“ Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba”. (Q.S. Al-baqarah (2) :275)
c. Syarat dan rukun jual beli
Rukun jual beli dalam Islam adalah sebagai berikut :
1) Pihak yang bertransaksi, yaitu terdiri dari penjual dan
pembeli.
2) Barang yang diperjualbelikan, barang dapat beruda benda
atau jasa. Tetapi yang biasanya digunakan dengan objek
jual beli adalah benda, sedangkan jasa lebih dikenal dengan
sewa menyewa.
3) Harga, merupakan kesepakatan nilai barang yang
dipertukarkan.
4) Ijab qabul (serah terima), dimana penjual menyerahkan
barang yang diperjualbelikan dan pembeli menyerahkan
uang kepada penjual.
Adapun syarat dari jual beli adalah sebagai berikut :
1) Berakal. Pihak yang bertransaksi haruslah baligh, memiliki
kemampuan mengatur uang, kompeten dalam melakukan
jual beli.
31
2) Kehendak sendiri. Para pihak yang terlibat dalam transaksi
ini haruslah ridha dan sukarela, karena jika terdapat unsur
paksaan maka akan timbul transaksi yang bathil.
3) Mengetahui. Para pihak harus mengetahui barang dan harga
yang akan diperjualbelikan.
4) Suci barangnya. Benda yang diperjualbelikan bukanlah
benda najis atau benda yang haram.
5) Barang bermanfaat. Barang yang diperjualbelikan haruslah
memiliki unsur manfaat.
6) Barang sudah dimiliki. Dimana penjual berhak menjual
barang yang diperjualbelikan aslakan barang tersebut sudah
menjadi milik penjual.
7) Barang dapat diserahterimakan.
8) Ijab dan qabul dalam transaksi harus berhubungan. Tidak
adanya pemisah meskipun berbeda tempat.
9) Lafadz dan perbuatan jelas. Dalam pengucapan menjual dan
membeli oleh para pihak yang melakukan transaksi harus
jelas dan saling berkaitan.
E. MURABAHAH
a. Pengertian Murabahah
Secara bahasa, kata murabahah berasal dari kata (Arab)
rabaha, yurabihu, murabahatan, yang berarti untung atau
menguntungkan, seperti ungkapan “ tijaratun rabihah, wa baa‟u
asy-syai murabahatan” artinya perdagangan yang menguntungkan,
dan menjual sesuatu barang yang memberi keuntungan. Kata
murabahah juga berasal dari kata ribhun atau rubhun yang berarti
tumbuh, berkembang, dan bertambah.
Secara istilah menurutpara ahli hukum Islam (fuqaha),
pengertian murabahah adalah “ al-ba‟i bira‟sil maal waribhun
ma‟lum” artinya jual beli dengan harga pokok ditambah
keuntungan yang diketahui.
32
Sedangkan menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional No.
04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah, yaitu menjual suatu
barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan
pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.25
Akad murabahah menurut Peraturan Bank Indonesia
tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank
Yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah
adalah jual beli barang sebesar harga pokok barang ditambah
dengan margin keuntungan yang disepakati.26
b. Rukun Murabahah
Rukun murabahah adalah sama dengan rukun jual beli pada
umumnya, yaitu adanya penjual ( al-bai‟), pembeli (al-musytari‟),
barang yang dibeli (al-mabi‟), harga (al-tsaman), dan shighat (ijab-
qabul).27
c. Dasar Hukum Murabahah
Di antara dasar hukum yang digunakan jumhur ulama
adalah Alquran dan Hadis Rasulullah saw. Ayat-ayat Alquran yang
dimaksud adalah sebagai tertuang dalam Alquran Surah QS. An-
Nisa (4) : 29, QS. Al-Baqarah (2) : 275.
Terjemahan ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut :
(QS. An-Nisa(4) : 29)
أنتكىنتجا ل بانباطل بينك ياأيهاانذينآينىالتؤكهىاأيىانك
نكى رة عنتزاض ولتقتهىاأنفسكى ا زحي إنانههكانبك
25
Fatwa DSN-MUI No. 04 Tahun 2000 Tentang Murabahah 26
Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan
Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip
Syariah. 27
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Di
Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafik, 2013), h. 108-111.
33
“Wahai orang-orang yang beriman!janganlah kamu saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar,
kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama
suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu.
Sungguh, Allah maha penyayang kepadamu.”
(QS. Al-Baqarah (2) : 275)
با وانز انبيعوحز للا وأحم
“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba.”
Sedangkan Hadis Rasul antara lain sebgaai berikut :
“Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama
suka; ada tiga hal yang mengandung berkah : jual beli tidak
secara tunai, muqaradha, dan mencampur gandum dengan
jawawut.”
d. Pembiayaan Murabahah
8) Pengertian Pembiayaan Murabahah
Pembiayaan murabahah terdiri dari dua suku kata, yaitu
pembiayaan dan murabahah. Pembiayaan merupakan pemberian
fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak
yang merupakan defisit unit.
Menurut undang-undang perbankan No. 10 Tahun 1998
ayat 12 adalah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah waktu tertentu
dengan imbalan atau bagi hasil.28
28
Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998.
34
Menurut Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005
tentang akad penghimpunan dan penyaluran dana bagi bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, telah
ditetapkan bahwa ketentuan pembiayaan melalui jual beli
murabahah adalah sebagai berikut, yaitu :
Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan
berdasarkan murabahah berlaku persyaratan paling kurang sebagai
berikut :
a) Bank menyediakan dana pembiayaan berdasarkan
perjanjian jual beli barang.
b) Jangka waktu pembayaran harga barang oleh
nasabah kepada bank ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara bank dan nasabah.
c) Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga
pembelian barang yang telah disepakati
kualifikasinya
d) Dalam hal bank mewakilkan kepada
nasabah(wakalah) untuk membei barang maka akad
murabahah harus dilakukan setelah barang secara
prinsip menjadi milik bank.
e) Bank dapat meminta nasabah untuk membayar uang
muka atau urbun saat menandatangani kesepakatan
awal pemesanan barang oleh nasabah.
f) Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan
angunan tambahan selain barang yang dibiayai
bank.
g) Kesepakatan margin harus ditentukan satu kali pada
awal akad dan tidak berubah selama periode akad.
35
h) Angsuran pembiayaan selama periode akad harus
dilakukan secara proposional.29
9) Tujuan Pembiayaan Murabahah
Dengan menggunakan fasilitas murabahah, bank dapat
membiayai nasabahnya untuk keperluan modal kerja atau
pembiayaan perdagangan. Adapun tujuan pembiayaan
murabahah antara lain, yaitu :
a) Bank dapat membiayai keperluan modal kerja
nasabahnya untuk membeli bahan mentah, bahan
setengah jadi, barang jadi, suku cadang atau
penggantian.
b) Bank juga dapat membiayai penjualan barang atau
jasa yang dilakukan oleh nasabahnya. Termasuk di
dalamnya biaya produksi barang, baik untuk pasar
domestik maupun diekspor. Pembiayaan akan
meliputi : biaya bahan mentah, tenaga kerja,
overhead cost, margin keuntungan.
c) Nasabah dapat pula meminta bank untuk membiayai
stok dan persediaan mereka. Keperluan pembiayaan
mereka ditentukan pada besarnya stok dan
persediannya (re-ordering level). Pembiayaan juga
meliputi biaya bahan mentah, tenaga kerja, dan
overhead.
d) Dalam hal dimana nasabah perlu untuk mengimpor
bahan menah, barang setengah jadi, suku cadang,
dan penggantian dari luar negeri mengunakan letter
of credit, bank dapat membiayai permintaan akan
29
Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang akad penghimpunan dan
penyaluran dana bagi bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah.
36
letter of credit tersebut dengan menggunakan
prinsip murabahah.
e) Nasabah yang telah mendapatkan kontrak, baik
kontrak kerja maupun kontrak pemasukan barang,
dapat pula meminta pembiayaan dari bank, bank
dapat membiayai keperluan ini dengan prinsip
murabahah, dan untuk itu bank dapat meminta surat
perintah kerja dari nasabah yang bersangkutan.30
F. WAKALAH
a. Pengertian Wakalah
Secara etimologi, wakalah berarti penyerahan (al-tafwidh)
dan pemeliharaan (al-hifdh). Secara terminologi, menurut
Wahbah, wakalah ada dua pengertian, yaitu menurut mazhab
Hanafi yang mengartikan wakalah sebagai pendelegasian suatu
tindakan hukum kepada orang lain yang bertindak sebagai
wakil. Sedangkan menurut mazhab Maliki, Syafi’i, dan
Hambali mengartikan wakalah sebagai pendelegasian hak
kepada seseorang dalam hal-hal yang bisa diwakilkan kepada
orang lain selagi orang tersebut masih hidup.
Dalam Kamus Fiqih, istilah wakalah dirumuskan sebagai
memberi kuasa atau mandat kepada seseorang atau kelompok
untuk bertindak atas nama pemberi kuasa atau pemberi mandat.
Rumusan ini juga semakna dengan yang termaktub di dalam
KUH Perdata Pasal 1792, yang berbunyi:
Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan
mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain,
yang menerimanya, untuk atau namanya
menyelenggarakan suatu urusan.
Pengertian akad wakalah menurut Fatwa Dewan
Syariah Nasional (DSN) No.10/DSN-MUI/IV/2000
30
Daeng Naja, Akad Bank Syariah, (Yogyakarta : 2011), h. 43.
37
Tentang Wakalah adalah pelimpahan kekuasaan oleh salah
satu pihak kepada pihak lain dalam hal-hal yang boleh
diwakilkan.31
b. Landasan Syariah
1) Firman Allah SWT :
(QS. Al-Kahfi (18) : 19)
دينت ذهإنىان .....فابعثىاأحدكىبىرقكىه
“.... Maka suruhlah salah seorang di antar kamu
pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini .....”
(QS. Yusuf ( 12) : 55)
خزائنالرضإنيحفيظعهيى قالاجعهنيعهى
“ (Yusuf) berkata, “ Jadikanlah aku bendaharawan
negeri (Mesir); karena sesungguhnya aku adalah orang
yang pandai menjaga, dan berpengetahuan.”32
2) Hadis Nabi saw :
“Rasulullah saw telah mengutus Assah untuk
mengumpulkan zakat, Urwah bin Umaiyah untuk menjadi
wali dalam pernikahan Nabi saw dengan Ummu Habibah
binti Abi Sofyan, Abu Rafei dalam menerima pernikahan
Maimunah binti Haris, dan Hakim bin Hizam di kala
membeli ternak kurban”. (HR. Bukhari Muslim).
31
Fatwa DSN-MUI No. 10 Tahun 2000 Tentang Wakalah. 32
Al-Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 2006.
38
3) Ijma’ :
Para ulama sepakat atas kebolehan wakalah ini,
bahkan menganjurkannya, karena termasuk jenis ta‟awun
(tolong-menolong) atas dasar kebaikan dan takwa, yang
boleh Al-quran diserukan dan disunnahkan oleh Rasulullah.
c. Rukun dan Syarat Wakalah
Rukun wakalah terdiri dari orang yang memberi kuasa (al-
muwakkil), orang yang diberi kuasa (al-wakil), perkara/hal
yang dikuasakan (al-taukil), dan pernyataan kesepakatan (ijab
dan qabul). Suatu akad wakalah menurut ulama fiqh baru
dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:33
1) Orang yang mewakilkan (Al-Muwakkil).
Orang yang memberikan kuasa (al-muwakkil) disyaratkan
cakap bertindak hukum , yaitu telah baligh dan berakal
sehat, baik laki-laki ataupun perempuan, boleh dalam
keadaan tidak ada di tempat (ghaib) maupun berada di
tempat, serta dalam keadaan sakit ataupun sehat.
2) Orang yang menerima kuasa ( Al-Wakil).
3) Perkara yang diwakilkan .
4) Persyaratan kesepakatan (Ijab-Qabul).
G. PERALIHAN KEPEMILIKAN
a. Hukum Islam
Menurut pengertian umum, hak ialah : “suatu ketentuan
yang digunakan oleh syara‟ untuk menetapkan suatu
kekuasaan atau suatu beban hukum”.34
Sedangkan menurut
Abu Zahro, hak milik ialah : “suatu kekhususan terhadap
sesuatu harta yang menghalangi orang lain dari harta tersebut
33
Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Di
Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta: Sinar Grafik, 2013), h. 191-192.
34Sohari Sahrani, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Bogor : Penerbit Ghalia
Indonesia, 2011), h. 32.
39
dan memungkinkan pemiliknya bebas melakukan tasharruf
kecuali ada halangan syar‟i”.
Apabila seseorang telah memiliki suatu benda yang sah
menurut syara‟, orang tersebut bebas bertindak terhadap benda
tersebut, baik akan dijual maupun akan digadaikan, baik dia
sendiri maupun dengan perantara orang lain.
Menurut ulama ada empat cara pemilikan harta yang
disyariatkan Islam, yaitu :
1) Melalui penguasaan harta yang belum dimiliki
seseorang atau lembaga hukum lainnya, yang dalm
Islam disebut harta yang mubah, contohnya bebatuan
yang ada di sungai yang belum dimiliki seseorang atau
badan hukum.
2) Melalui transaksi yang ia lakukan dengan seseorang
atau suatu lembaga badan hukum, seperti jual beli,
hibah, dan wakaf.
3) Melalui peninggalan seseorang, seperti menerima harta
warisan dari ahli warisnya yang wafat.
4) Hasil/buah dari harta yang telah dimiliki seseorang,
baik dari hasil itu datang secara alami, misalnya buah
pohon di kebun, anak sapi yang lahir, gaji yang didapat
oleh pekerja.35
Sedangkan menurut Pasal 18 Kompilasi Hukum Ekonomi
Syariah, benda dapat diperoleh dengan cara :
1) Pertukaran.
2) Pewarisan.
3) Hibah.
4) Pertambahan Alamiah.
5) Jual beli.
35
Nasrun Haroen, Fiqh Mumalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), h. 32.
40
6) Luqathah.
7) Wakaf.
8) Cara lain yang dibenarkan menurut syariah.36
b. Hukum Perdata
Pada umumnya hak milik atas suatu barang hanya dapat
berpindah secara sah, jika seseorang memperolehnya dari orang
yang berhak memindahkan hak milik atas barang tersebut,
yaitu pemiliknya.
Apa yang dimaksud dengan hak milik itu diatur dalam
pasal 570 KUH Perdata. Juga di dalam pasal 570 KUH Perdata
itu sekaligus diatur mengenai pembatasan-pembatasan terhadap
pengunaan hak milik.
Pasal 570 KUH Perdata : “ Hak milik adalah hakuntuk
menikmati suatu benda dengan sepenuhnya dan untuk
menguasai benda itu dengan sebas-bebasnya, asal tak
dipergunakan bertentangan dengan undang-undang atau
peraturan umum yang diadakan oleh kekuasaan yang
mempunyai wewenang untuk itu dan asal tidak menimbulkan
gangguan terhadap hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan
tak mengurangi kemungkinan kemungkinan adanya pencabutan
hak itu untuk kepentingan umum, dengan pembayaran
penggantinkerugian yang layak dan menurut ketentuan undang-
undang.37
Pengertian hak milik atau juga disebut eigendom adalah hak
yang paling sempurna atas suatu benda. Seseorang yang
mempunyai hak eigendom (milik) atas suatu benda dapat
berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan,
36
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah, (Jakarta : Kencana, 2012) h.
66-67.
37Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, (Yogyakarta
: Liberty Yogyakarta, 1974), h. 42.
41
memberikan, bahkan merusak), asal saja ia tidak melanggar
undang-undang atau hak orang lain.38
Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan dalam bukunya
yang berjudul Hukum Benda , bahwa ada beberapa cara untuk
memperoleh hak milik sebagaimana diatur dalam pasal 584
KUH Perdata adalah :
1. Pendakuan ( toeeigening)
2. Ikutan ( natrekking)
3. Lampaunya waktu = kadaluwarsa (verjaring)
4. Pewarisan (erfopvolging)
5. Penyerahan (levering)
Pendakuan (toeeigening), diatur dalam pasal 585 KUH
Perdata. Pendakuan adalah suatu cara untuk memperoleh hak
eigendom atas benda bergerak yang belum ada pemiliknya (res
nullius). Misalnya : mengail ikan di sungai, mengambil sarang
tawon di hutan.
Ikutan ( natrekking), diatur dalam pasal 588-605 KUH
Perdata. Yaitu memperoleh benda itu karena benda itu
mengikuti benda yang lain. Misalnya : kalau kita membeli
tanah otomatis sudah termasuk apa yang ada di atas dan di
bawahnya.
Daluwarsa ( verjaring), diatur dalam pasal 610 KUH
Perdata dan diatur lebih lanjut dalam buku IV KUH Perdata.
Daluwarsa adalah suatu cara untuk setelah lewatnya suatu
waktu tertentu memperoleh hak atau dibebaskan dari suatu
ikatan atau hak. Misalnya : bebas dari pembayaran sesuatu
hutang.
38
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT Intermasa, 1987), h. 69.
42
Pewarisan ( erfopvolging) adalah cara memperoleh hak
eigendom dengan cara warisan yang baik menurut UU ataupun
menurut wasiat yang selanjutnya akan dibahas dalam Hukum
Waris.
Penyerahan ( levering) adalah cara memperoleh hak
eigendom dengan cara penyerahan suatu benda oleh eigenaar
atau atas namanya kepada orang lain sehingga orang lain itu
memperoleh hak eigendom atas benda itu.
H. Review (Tinjauan Ulang)
Dalam upaya meneliti penerapan konsep syariah pada
pembiayan murabahah yang sesuai dengan fatwa perlu dilakukan
kajian pustaka sebagai salah satu dari penerapan metode penelitian
yang akan dilakukan. Diantaranya adalah mengidentifikasikan
kesenjangan (identify gaps), menghindari perbuatan ulang,
mengidentifikasikan metode yang pernah dilakukan, meneruskan
dari penelitian sebelumnya, serta mengetahui orang lain yang
spesialisasi dan area penelitiannya dibidang ini.
Selanjutnya peneliti akan menganalisis mengenai aspek
persamaan dan pembeda dari penelitian sebelumnya yang
bersumber dari jurnal, skripsi dan tesis. Oleh karena itu dibawah
ini merupakan kesimpulan dari apa yang sudah peneliti dapatkan,
yaitu :
No Judul Penelitian Pembahasan Aspek Pembeda
1. Penyelesaian
Pembiayaan
Murabahah
Bermasalah Di
Baitul Maal Wa
Tamwil (BMT),
Shobirin, Jurnal
Pembahasan tersebut
membahas tentang
penyelesaian
pembiayaan
murabahah di Baitul
Maal Wa Tamwil
(BMT) , terfokus
Yang
membedakan
dengan
penellitian
Shobirin adalah
terletak pada
fokus masalah
43
Iqtishadia, Vol.
9, No. 2, 2016.
pada dua
permasalahan yaitu
faktor-faktor yang
menyebabkan
adanya pembiayaan
murabahah
bermasalah di BMT
dan mekanisme
penyelesaiaan
pembiayaan
murabahah
bermasalah di BMT.
yang diteliti.
Pada penelitian
ini yang akan
dibahas berupa
status objek
dalam
pembiayaan
murabahah di
BMT.
2. Penerapan
Prinsip
Pembiayaan
Syariah
(Murabahah)Pa
da BMT Bina
Usaha Di
Kabupaten
Semarang,
Lukman
Haryoso, Jurnal
Law And
Justice, Vol. 2,
No. 1, April,
2017.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
BMT Bina Usaha
dalam praktiknya
sudah menerapkan
prinsip syariah. Tapi
BMT mengalami
kesulitan dalam
menerapkan
pembiayaan yang
lain, karena ada
keraguan dan
kesulitan dalam
praktiknya.
Yang
membedakan
dengan
penelitian
Lukman
Haryoso adalah
terletak pada
fokus masalah
penelitian.
Pada penelitian
ini bukan hanya
sekedar
membahas
kesesuaian
syariah namun
lebih kepada
ketentuan objek
yang ada di
dalam akad
44
murabahah.
Dan dalam
penelitian ini
tidak membahas
mengenai
margin karena
lebih fokus pada
objek
murabahah yang
ada di dalam
akad
murabahah.
3. Analisis
Penetapan
Tingkat Marjin
Akad
Pembiayaan
Murabahah :
Studi Kasus
Pada Baitul
Maal Wa
Tamwil Ahmad
Yani Malang,
Baskoro
Perdana Putra,
Jurusan
Akuntansi
Fakultas
Ekonomi Dan
Bisnis
Universitas
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
tidak adanya
penggunaan rujukan
suku bunga untuk
menetapkan tingkat
marjin pada akad
pembiayaan
murabahah. Tingkat
marjin akad
pembiayaan
murabahah pada
BMT Ahmad Yani
Malang ditentukan
berdasarkan
beberapa komponen,
yakni, tingkat nisbah
bagi-hasil dengan
BTN Syariah
Yang
membedakan
dengan
penelitian
Baskoro
Perdana Putra
adalah terletak
pada
pembahasan
objek penelitian.
Dalam
penelitian ini
membahas
tentang objek
pembiayaan
murabahah,
sedangkan
dalam penelitian
Baskoro
45
Brawijaya
Malang.
Malang, tingkat rata-
rata marjin pasar,
tingkat laba yang
diinginkan, dan
biaya perolehan serta
biaya lainnya.
Komponen-
komponen tersebut
menyumbang andil
yang seimbang pada
proses penentuan
tingkat marjin
murabahah.
Perdana Putra
membahas
tentang tingkat
marjin
pembiayaan
murabahah.
4. Analisis
Pelaksanaan
Murabahah Di
Lembaga Mikro
Keuangan
Mikro Syariah
(BMT), Fahadil
Amin Al-Hasan,
Jurusan Hukum
Ekonomi
Syariah Fakultas
Syariah Dan
Hukum.
Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa
pada pelaksanaan
pembiayaan
murabahah pada
objek berkelanjuan
seperti untuk modal
usaha alangkah
baiknya
menggunakan akad
mudharabah bukan
murabahah.
Kemudian juga
mengenai penetapan
harga yang
dilakukan oleh
Yang
membedakan
dengan
penelitian
Fahadil Amin
Al-Hasan adalah
terletak pada
fokus masalah
yang akan
diteliti. Pada
penelitian ini
masalah yang
akan dibahas
adalah mengenai
status objek
dalam
46
BMT, setelah
dilakukan
penelusuran
beberapa kitab yang
membahas tentang
jual beli, maka dapat
disimpulkan bahwa
hal yang demikian
itu boleh
berdasarkan
ketentuan syara’.
Walaupun dalam
pelaksanaannya
sudah terdapat
dinamisasi dari
proses pelaksanaan
jual beli itu sendiri.
Adanya
ketidaksesuaian
antara konsep
muamalah dan
khususnya dengan
aplikasinya pada
tatanan praktik
dilapangan.
pembiayaan
murabahah.
Dalam
pelaksanaan
murabahah
apakah barang
tersebut sudah
menjadi milik
penjual(BMT)
atau belum. Dan
dalam penelitian
ini juga
membahas
tentang
ketentuan akad
dalam
pembiayaan
murabahah.
5. Analisis
Pelaksaan Akad
Murabahah Di
BMT Palur
Karanganyar,
Naskah
Hasil penelitian ini
membahas tentang
pelaksanaan akad
murabahah yang
diterapkan di BMT
Palur Karanganyar
Yang
membedakan
dengan
penelitian
Muttaqin
Nurhuda adalah
47
Publikasi,
Jurusan Hukum
Ekonomi
Syariah Fakultas
Agama Islam
Universitas
Muhamadiyah
Surakarta,
Muttaqin
Nurhuda, Tahun
2015.
serta kesesuaiannya
dengan Fatwa
Dewan Syariah
Nasional MUI No.
04/DSN-
MUI/IV/2000.
Dalam mekanisme
pengambilan
keputusan dalam
menyetujui suatu
pembiayaan telah
sesuai dengan
syariah, rukun dan
syarat akad juga
sesuai dengan
syariah. dalam
perjanjian tentang
tujuan dan maksud
pokok mengadakan
akad sebagai rukun
dan syarat akad tidak
terdapat unsur
gharar.
terletak pada
objek peneltian.
Dalam
penelitian ini
bukan hanya
meneliti tentang
kesesuaian
syariah saja
tetapi juga
membahas
tentang status
objek dalam
pembiayaan
murabahah,
ketetapan akad,
dan peralihan
kepemilikan
barang dari segi
hukum perdata
dan hukum
Islamdalam
pembiayaan
murabahah.
Dan
ketidaksamaan
dalam tempat,
waktu
penelitian.
48
BAB III
GAMBARAN UMUM BMT
A. Sejarah berdirinya
1. BMT Bersama Kita Berkah (BKB)
Baitul Maal Wa Tamwil Bersama Kita Berkah (BMT BKB)
sebagai lembaga keuangan mikro syariah merupakan sebagian dari da‟wah
bilhal untuk ikut memberikan kontribusi bagi gerakan pemberdayaan dan
peningkatan ekonomi umat. BMT BKB terbentuk dengan hukum koperasi
syariah dengan akte notaris tanggal 22 Juli 2010 No. -90- dan disahkan
oleh Dinas Koperasi DKI No. 149-BH-XII.4/-1.829.31/XII/2010.
BMT BKB dalam operasionalnya dibagi dua yaitu Baitul Maal dan
Baitut Tamwil. Baitul Maal BMT BKB dapat menerima, mengelola dan
menyalurkan zakat, infaq, shodaqah dan dana sosial lainnya untuk
pemberdayaan ekonomi fakir miskin, santunan dan bea siswa yatim piatu.
BMT BKB juga sudah ditetapkan sebagai nazhir wakaf pada tanggal 9
Juni 2014 dengan nomor pendaftaran 3.3.00058 oleh Badan Wakaf
Indonesia, sehingga Baitul Maal BMT BKB dapat menerima wakaf tak
bergerak seperti tanah, gedung dll untuk pendirian masjid dan pesantren,
juga menerima wakaf uang untuk diproduktifkan yang hasilnya untuk 8
ansaf.
Hadirnya BMT BKB dalam rangka memenuhi kebutuhan
informasi usaha dan modal kerja, agar terwujudnya masyarakat yang lebih
sejahtera sehingga menjadi pengusaha yang sukses baik dunia maupun
akhirat. Dengan Motto Bersama Kita Berkah serta didukung oleh SDM
yang berpengalaman, professional dan amanah, Insya Allah BMT dan
nasabah akan meraih keuntungan dan keberkahan.
2. BMT At-Taqwa Pinang
Baitul Maal Wa Tamwil At – Taqwa berdiri sejak tahun 1994, lahir
sebagai solusi dari pembagian dana zakat, untuk memberdayakan
masyarakat khususnya di sekitar Masjid At – Taqwa dan sekitarnya, dalam
bentuk ZIS dan Wakaf untuk dikelola secara produkif dan disalurkan
49
dalam bentuk pembiayaan Al – Qard serta dana simpanan dari anggota
yang dikelola secara Profitable untuk disalurkan kepada usaha Mikro kecil
dalam bentuk pembiayaan dengan skema sistem.
BMT At - Taqwa sejak awal berdirinya adalah 100 % modalnya
milik yayasan Taqwa Bhakti sebesar RP. 23.000.000,- sedangkan modal
disetor per – Desember 2009 adalah sebesar RP. 345.868.000,-.
B. Visi dan misi
1. BMT Bersama Kita Berkah (BKB)
Visi :
Menjadi Lembaga Pembinanaan dan Pemberdayaan Usaha Mikro yang
Syariah, Amanah, dan Professional.
Misi :
a. Menjalankan dan Mensyiarkan Sistem Ekonomi Islam.
b. Mengembangkan Pembinaan dan Pemberdayaan bagi Usaha Mikro.
c. Memiliki Sumber Daya Insani yang Profesional dan Bertaqwa.
d. Mensejahterakan Stake Holder.
e. Menumbuhkembangkan kesadaran berzakat dan mengelola zakat
untuk Pemberdayaan Ekonomi Fakir Miskin.
Value :
CAKAP dan AMANAH.
2. BMT At-Taqwa Pinang
Visi :
“ Sebagai suatu lembaga atau Koperasi Jasa Keuangan yang berlandaskan
Syariah dalam upaya meningkatkan kualitas maupun kuwantitas
kehidupan sosial ekonomi umat secara umum, khususnya masyarakat
disekitar BMT”.
Misi :
“ Menjalankan BMT At – Taqwa sebagai Koperasi Jasa Keuangan Syariah
yang dapat bersaing dalam hal Kesehatan, Profitable, Efisien dan sebagai
50
pilar ekonomi ummat yaitu sebagai bagian dan syiar Islam dalam bidang
ekonomi”.
C. Struktur Organisasi
1. BMT Bersama Kita Berkah (BKB)
Pembina :
H. Harris Thahir
Pengawas Syariah :
KH.DR. Hmdan Rasyid
DR. Zain Sartono
Pengawas Manajemen :
H. Abdul. Haq, SE.AK
Ir. H. Engkus Kusnandar, MA
PENGURUS
Ketua :
KH. Drs. Ali Sibromalisi, MA
Sekretaris :
Drs. H. Heriyanto
Bendahara :
Bisri, SE
PENGELOLA
Direktur :
Drs. Sulaeman Hayyun
Manager Pembayaran & Marketing:
Bisri, SE
Keuangan & Teller :
Suaibatul Aslamiyah. D.III.AK
Account Officer :
Fatoni Dwi Rahman
Rudi Hartono
Ahmad Subhan
Kep. Kan. Kas :
51
Anwar Syarief
Teller :
Dwi Riyanti. D.III.AK
2. BMT At-Taqwa Pinang
Dewan Pengawas Keuangan :
Ketua
Drs. H. Imran Hasyim
Anggota
DRS. H. Maryanto
Anggota
Drs. H. Rusli Achmad
Dewan Pengawas Syariah :
Ketua
Drs. H. Djamaluddin G. MM
Anggota
Drs. Ishak Ismail
Pembina Manajemen :
Ketua
Iwan Ridwan, SE. M.Si
Anggota
Ir. Anton Fahlevie, MM
Anggota
Donny M. Iskandar, SE
Pengurus :
Ketua
Abdul Haris Hamzah
Bendahara
Majmuddin
Sekretaris
Rahmat Ardiansyah
52
D. Produk – produk lembaga
1. BMT Bersama Kita Berkah (BKB)
a. Produk Simpanan / Tabungan
1) Simpanan Berkah Mudharabah.
- Setoran awal minimal Rp. 25.000 (saldo awal Rp. 10.000,
simpanan pokok sebesar Rp. 10.000 dan biaya administrasi
sebesar Rp. 5.000).
- Setiap bulannya mendapatkan bagi hasil sebesar 3% dari saldo.
- Tidak adanya potongan administrasi pada setiap bulannya.
- Penarikan bisa dilakukan kapan saja.
2) Simpanan Berkah Pendidikan.
- Setoran awal minimal sebesar Rp. 25.000 (saldo awal sebesar
Rp. 10.000, simpanan pokok sebesar Rp. 10.000, dan biaya
administrasi sebesar Rp. 5.000).
- Setiap bulannya mendapatkan bagi hasil sebesar 3 % dari saldo.
- Tidak adanya potogan administrasi pada setiap bulannya.
- Penarikan tabungan hanya bisa diambil setiap per semester.
3) Simpanan Berkah Idul Fitri.
- Setoran awal minimal sebesar Rp. 65.000 (saldo awal Rp.
50.000, simpanan pokok sebesar Rp. 10.000, dan biaya
administrasi sebesar Rp. 5.000).
- Setiap bulannya mendapatkan bagi hasil sebesar 3 % dari saldo.
- Tidak adanya potogan administrasi pada setiap bulannya.
- Penarikan tabungan hanya bisa diambil sebelum hari raya idul
fitri.
4) Simpanan Berkah Qurban.
- Setoran awal minimal sebesar Rp. 115.000 (saldo awal Rp.
100.000, simpanan pokok sebesar Rp. 10.000, dan biaya
administrasi sebesar Rp. 5.000).
- Setiap bulannya mendapatkan bagi hasil sebesar 3 % dari saldo.
- Tidak adanya potogan administrasi pada setiap bulannya.
53
- Penarikan tabungan hanya bisa diambil saat saldo sudah
mencukupi harga untuk membeli hewan qurban.
5) Simpanan Berkah Berjangka (Deposito).
Simpanan berkah berjangka (deposito) adalah simpanan
dengan akad bagi hasil dengan nilai lebih menguntungkan sesuai
dengan jangka waktu yang dibutuhkan.
Nisbah simpanan berkah berjangka, sebagai berikut :
Angka Waktu BMT Anggota
6 Bulan 40% 60%
9 Bulan 45% 55%
12 Bulan 45% 55%
Keunggulan dalam simpanan berkah berjangka ini adalah sebagai
berikut :
a) Bagi hasil menarik + 10% s/d 13% per tahun.
b) Bisa digunakan sebagai jaminan pembiayaan.
c) Biaya administrasi diambil dari bagi hasil yang diperoleh.
d) Insya Allah akan memperoleh pahala karena dana simpanan berkah
berjangka dimanfaatkan untuk membantu modal kerja usaha mikro.
e) Dengan manajemen likuiditas yang konsisten, Insya Allah dana
apara nasabah akan aman.
b. Produk Pembiayaan
1) Pembiayaan Berkah Murabahah ( Jual-Beli).
2) Pembiayaan Berkah Musyarokah ( Kerjasama Modal).
3) Pembiayaan Berkah Mudharabah ( Invesatasi Modal).
4) Pembiayaan Berkah Ijaroh ( Sewa).
5) Pembiayaan Berkah lain yang sesuai syariah.
Mengenai pembiayaan, pada BMT BKB pembiayaan yang
paling sering digunakan yaitu pembiayaan murabahah dan
pembiayaan ijarah. Karena pembiayaan ini merupakan pembiayaan
yang sangat cepat dan mudah.
54
c. Baitul Maal BMT BKB
Menerima zakat, infaq, shodaqoh, dan wakaf untuk :
1) Pemberdayaan satu tahun dhuafa menjadi berdaya melalui
pemberian modal usaha dengan bagi hasil.
2) Pemberian beasiswa yatim piatu dan anak dhuafa.
3) Bantuan Accident ( Kematian, Bencana, Kelahiran, dll).
4) Menerima wakaf tanah untuk pesantren kemandirian(Entrepeneur)
bagi anak dhuafa dan yatim piatu.
2. BMT At-Taqwa Pinang
a. Produk Simpanan
1) Simpanan Mudharabah
- Setoran awal minimal RP. 25.000,-
- Bagi hasil lebih menarik
- Lebih simpel
Simpanan Mudharabah adalah simpanan menggunakan sistem bagi
hasil, yang mana setoran awal pada simpanan ini adalah Rp 25.000, bagi
hasil yang diberikan oleh BMT At-Taqwa kepada nasabah lebih menarik
dibandingkan dengan bagi hasil pada institusi keuangan syariah lainnya.
Karena bagi hasil yang diberikan lebih besar dibandingkan dengan
lembaga keuangan perbankan.Selain itu pada semua jenis produk
simpanan, BMT At-Taqwa tidak mengenakan biaya administrasi.
Satu lagi keunggulan dari produk ini adalah sistemnya yang lebih
simpel.Pada simpanan mudaharabah ini, nasabah bertindak sebagai
shohibul mal dan BMT sebagai mudharib yang menjankan usaha atau
memutar uang yang disimpan oleh nasabah tersebut.
2) Simpanan Berjangka Iman
- Setoran awal minimal RP. 1.000.000,-
- Jangka waktu bisa bulanan
- Bagi hasil lebih menarik
- Lebih simpel
55
Simpanan ini berbeda dengan simpanan sebelumnya, yang mana
setoran awal minimal simpanan ini adalah Rp 1.000.000 dengan jangka
waktu yang telah ditentukan.Jangka waktu ini bisa hanya dengan 1 bulan,
bagi hasil yang diberikan tidak kalah besar dengan bagi hasil yang
ditawarkan pada produk Simpanan Mudharabah.Prosedur yang diberikan
pada simpanan ini juga sangat mudah dan simpel.
3) Simpanan At- Taqwa
Produk Simpanan At-Taqwa, produk ini menggunakan sistem
murabahah, di mana sistemnya menggunakan jual beli. BMT dapat
menyediakan barang yang diperlukan oleh nasabah, dan dapat diangsur
secara bulanan ataupun sesuai keinginan.
b. Produk Pembiayaan :
BMT At-Taqwa memiliki 3 jenis produk pembiayaan, yaitu
Pembiayaan Musyarakah, Pembiayaan Mudharabah, dan Pembiayaan Al-
Qardhul Hasan (AQH).
1) Pembiayaan Musyarakah
- Pembiayaan dengan sistem tambah modal usaha
- Bagi hasil sesuai dengan nisbah yang disepakati
- Dapat diangsur bulanan atau jatuh tempo
- Jenis usaha yang dapat dibiayai antara lain perdagangan, pertanian, usaha
atas dasar kontrak, industri perumahan (home industry) dan lain-lain.
Pembiayaan Musyarkah adalah pembiayaan dengan sistem tambah
modal usaha, pembiayaan ini diberikan oleh BMT At-Taqwa sebagai
tambahan modal bagi nasabah yang memiliki usaha. Tidak hanya itu,
bagi nasabah yang ingin mengajukan pembiayaan ini tidak harus
memiliki usaha terlebih dahulu, melainkan nasabah yang akan baru mulai
usahanya pun bisa mengajukan pembiayaan ini. Namun, pada produk ini
nasabah juga harus ikut andil dalam hal permodalan.
Karena produk ini adalah produk kerja sama yang mana kedua
belah pihak harus menyertakan modal. Bagi hasil yang dibayarkan ke
pada BMT At-Taqwa sendiri adalah sesuai kesepakatan awal yang telah
56
diperjanjikan. BMT At-Taqwa tidak mematok jumlah bagi hasilnya. Bagi
hasil yang diberikan dapa diangsur dalam jangka waktu bulanan atau saat
jatuh tempo.
2) Pembiayaan Mudharabah
- Pembiayaan dengan sistem modal 100% dari BMT
- Bagi hasil sesuai dengan nisah yang disepakati
- Dapat diangsur bulanan atau jatuh tempo
- Resiko kerugian ditanggung oleh pihak BMT kecuali kerugian yang
diakibatkan oleh kesalahan pengelola/nasabah, kelalaian dan
penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan
penyalahgunaan
- Jenis usaha yang dapat dibiayai antara lain perdagangan, industri
perumahan, pertanian dan lain-lain berupa usaha modal kerja dan
investasi.
Berbeda dengan produk sebelumnya, pembiayaan dengan produk
Mudharabah ini modal 100 persen diberikan dari BMT. Seperti yang
sudah kita ketahui, bahwa di dalam akad Mudharabah, harus jelas siapa
yang bertindak sebagai Shohibul Maldan siapa yang bertindak sebagai
Mudharib. Dalam pembiayaan ini, peran BMT At-Taqwa adalah sebagai
Sohibul Mal, dan nasabah sebagai mudharib yang menjalankan usahanya.
Hal ini yang membedakan antara produk Simpanan Mudaharabah
dengan Pinjaman Mudharabah. Bagi hasil yang harus diberikan oleh
nasabah ke BMT dari hasil usahanya sama dengan ketentuan bagi hasil
pada Pembiayaan Musyarakah, yaitu sesuai dengan kesepatakan awal
saat akad, dan BMT At-Taqwa tidak mematok besar jumlahnya. Dan
waktunya pun sama, yaitu dapat diangsur bulanan atau saat jatuh tempo.
3) Pembiayaan Al – Qardhul Hasan (AQH)
- Pembiayaan dengan sistem pinjaman lunak
- Tidak dikenakan bagi hasil, hanya biaya administrasi
- Dapat diangsur bulanan
57
Dan yang terakhir adalah Pembiayaan Al-Qardhul Hasan (AQH).
Pembiayaan dengan produk ini menggunakan sistem pinjaman lunak,
yaitu pembiayaan yang tidak wajib membarikan bagi hasil. Berbeda
dengan kedua produk di atas, pada produk ini, BMT hanya mengenakan
biaya administrasi saja, dan nasabah tidak harus menyerahkan nisbah
bagi hasil kepada nasabah. Pembayaran inidapat diangsur setiap
bulannya.
58
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Analisis Pada BMT Bersama Kita Berkah (BKB)
Pada BMT BKB pembiayaan murabahah paling sering digunakan
dan diminati masayarakat, karena paling mudah dipraktikkan untuk usaha
produktif.
Skema pembiayaan murabahah pada BMT BKB ini lebih sering
menggunakan akad wakalah terlebih dahulu sebelum adanya akad
murabahah. Jadi apabila nasabah datang ke BMT dan mengajukan
pembiayaan murabahah maka BMT meminta kepada nasabah untuk
mewakilkan pembelian barang murabahah terlebih dahulu,lalu BMT
memberika uang kepada nasabah. Setelah barang sudah dibeli oleh
nasabah, kemudian nasabah datang ke BMT untuk laporan kepada petugas
BMT bahwasanya barang yang akan menjadi objek pembiayaan
murabahah sudah dibeli dan sudah menjadi milik BMT secara otomatis.
Setelah barang sudah dibeli, dan menjadi milik BMT maka baru adanya
akad murabahah.
Skema yang terjadi di BMT Bersama Kita Bisa (BKB) adalah
wakalah – pembelian – murabahah. Dapat disimpulkan bahwa skema yang
terjadi di BMT BKB ini sudah sesuai dengan syariah karena pada
kenyatannya pembelian barang menggunakan akad wakalah sebelum
adanya akad murabahah(pembelian dilakukan sebelum murabahah),
dimana dalamFatwa DSN-MUI No. 4 Tahun 2000 tentang murabahah
disebutkan barang yang diperjualbelikan harus sudah dimiliki oleh BMT.
Karena tidak sah melakukan jual beli yang objeknya itu belum dimiliki
atau baru akan dimiliki.
Pada BMT BKB tidak selalu menggunakan akad wakalah dalam
memperoleh barang atau objek pembiayaan murabahah. BMT BKB juga
pernah melakukan langsung tanpa adanya akad wakalah. Tetapi yang
paling sering dilakukan yaitu menggunakan akad wakalah.
59
Dari sisi persyaratan, BMT BKB melihat dari SOP nya dari form
pembiayaan, jaminan, pendapatan, dll. Di BMT BKB juga terdapat analisa
kelayakan, disini BMT bisa mengetahui apakah layak untuk melakukan
pembiayaan tersebut. Karena jangan sampai ada salah satu pihak yang
dirugikan. Jika semua persyaratan sudah terpenuhi baru dilakukan akad.
Maka dari itu persyaratan pada kejelasan orangnya (identitas), sumber
pendapatan, dan jaminan ini sangat diperlukan bagi BMT.
Untuk jangka waktunya disesuaikan dengan pendapatannya, yang
sudah tertera di persyaratan administrasi. Jika pendapatannya besar maka
bisa dibayar secara angsur selama 6 bulan atau bisa sampai 12 bulan( 1
tahun). Maksimal angsuran yang dipakai oleh BMT BKB adalah dengan
jangka waktu 12 bulan (1 tahun).
Dalam menentukan harga dan keuntungan yang didapat oleh BMT
harus didasari oleh kesepakatan antara kedua belah pihak. BMT wajib
memberi tahu modal dan keuntungan yang didapat. Apabila nasabah
keberatan dengan jumlah yang telah ditentukan, maka akan batal karena
sudah tertera di surat perjanjian berapa yang harus dibayar tiap
angusurannya dan jangka waktu pembayaran sesuai dengan
pendapatannya.
Pada BMT BKB ada sisi persyaratan dimana orangnya itu harus
jelas jabatannya apa, tinggalnya dimana, dan lain-lain. Apabila ada itikad
yang kurang baik dari nasabah maka ada sanksi yang diberikan oleh BMT.
Contohnya apabila nasabah kabur, maka akan dilacak sampai ketemu.
Apabila nasabah tidak membayar angsuran selama tiga bulan maka
sanksinya adalah BMT menjual jaminan nasabah tersebut.
60
Analisis perbandingan Fatwa DSN-MUI No. 4 Tahun 2004
Tentang Murabahah Dengan Bentuk Akad
No. Ketentuan Fatwa Bentuk akad Sesuai Tidak
1. Barang yang
diperjualbelikan tidak
diharamkan oleh
syari’ah Islam.
Objek akad harus
memenuhi beberapa
persyaratan :
1. Objek akad harus
ada ketika akad atau
kontrak sedang
dilakukan.
2. objek akad berupa
harta yang dibolehkan
syara’ dan dimiliki
penuh oleh
pemiliknya.
3. objek akad bisa
diserahterimakan saat
terjadinya akad, atau
dikemudian hari.
4. Adanya kejelasan
tentang objek
transaksi.
5. objek transaksi
harus suci, tidak
terkena najis dan
bukan barang najis.
Barang yang menjadi
objek dalam pembiayaan
murbahah disini adalah
hewan ternak (sapi dan
kambing).
Dalam bentuk akad ini
nasabah mewakilkan
BMT untuk membeli
objek akad. Dan setelah
barang dibeli, nasabah
laporan kepada BMT
kemudian melakukan
akad murabahah.
61
2. Aqid ( orang yang
menyelenggarakan
akad).
Ulama fiqh
memberikan
persyaratan atau
kriteria yang harus
dipenuhi oleh aqid
antara lain :
1. Ahliyah. Dimana
keduanya memiliki
kecakapan hukum dan
kepatutan untuk
melakukan transaksi.
2.wilayah. Sebagai
hak dan kewenangan
seseorang yang
mendapatkan legalitas
syar‟i untuk
melakukan transaksi
atas suatu objek
tertentu.
Dalam bentuk akad di
BMT ini pelaku akad
yaitu nasabah dan BMT
sudah cakap hukum dalam
transaksi.
BMT mempunyai
kewenangan dalam
transaksi.
3. Shighat, yaitu ijab dan
qabul.
Dalam ijab qabul
terdapat beberapa
syarat yang harus
dipenuhi, ulama
Dalam bentuk akad ini,
terdapat maksud para
pihak dalam melakukan
pembiayaan murabahah
ini. Nasabah mengajukan
permohonan pembiayaan
guna untuk modal usaha
62
fiqhmenuliskannya
sebagai berikut :
1.Adanya kejelasan
maksud antara kedua
belah pihak.
2.Adanya kesesuaian
antara ijab dan qabul.
3.Adanya pertemuan
antara ijab dan qabul.
4.Adanya satu majlis
akad dan adanya
kesepakatan antara
kedua belah pihak,
tidak menunjukkan
penolakan dan
pembatalan dari
keduanya.
1
1.
rumah potong sapi dan
kambing. Dimana nasabah
butuh dana untuk membeli
hewan sapi dan kambing.
Adanya kesepakatan
antara nasabah dan BMT
mengenai harga pokok
dan marjin. Dan pihak
BMT menjelaskan bahwa
pembiayaan ini dilakukan
secara angsuran atau
cicilan (12 bulan/1tahun).
Simpulan dan Analisis :
Dari sisi objek murabahah bahwa barang yang diperjualbelikan itu
halal, untuk posisi barang tersebut ada ketika melakukan akad antara
kedua belah pihak. Jika dilihat dari alur pembiayaan bahwa barang
tersebut sudah menjadi milik BMT BKB, dan BMT berhak penuh atas
barang tersebut. Objek merupakan barang yang suci bukan barang najis.
Dalam bentuk akad ini bahwa barang yang diperjualbelikan dalam
pembiayaan murabahah ini adalah hewan ternak (sapi dan kambing).
Dari sisi pelaku akad bahwa pelaku akad dalam pembiayaan ini
sudah sesuai. Dimana keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan dalam
transaksi. Dilihat dari biodata nasaah dan pihak BMT bahwa telah
63
balighatau mumayyiz dan berakal. Berakal disini tidak gila sehingga
mampu memahami ucapan orang-orang normal. Sedangkan mumayyiz
disini artinya mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk,
mana yang bahaya mana yang tidak, mana yang merugikan mana yang
tidak. Kemudian BMT disini memiliki ahliyah (kewenangan) karena BMT
berhak untuk melakukan jual beli kepada nasabah karena barang yang
diperjualbelikan sudah menjadi milik BMT.
Dilihat dari sisi ijab qabul, menurut peneliti disini sudah sesuai
dengan prinsip syariah. Dimana BMT menerima permohonan pembiayaan
dari nasabah guna untuk modal usaha. Kemudian pihak BMT menerima
permohonan nasabah dengan kesepakatan antara kedua belah pihak (harga
pokok ditambah marjin), dan pihak BMT juga harus menjelaskan bahwa
pembayaran tersebut dilakukan secara utang/angsuran.
B. Analisis Pada BMT At-Taqwa Pinang
Pada BMT At Taqwa Pinang pembiayaan murabahah banyak
diminati karena lebih umum, peruntukannya lebih banyak untuk jual beli,
tambah modal, pembelian kendaraan, dan lain-lain.
Contoh skema tanpa wakalah, yaitu dalam pembelian kendaraan
yaitu BMT melakukan sendiri pembelian kendaraan ke dealer langsung
secara cash kemudian nanti nasabah akan melakukan kredit kepada BMT.
Harga motor tersebut misalnya Rp. 15.000.000 tetapi pihak BMT menjual
ke nasabah dengan harga Rp. 17.000.000 dengan cara dicicil selama
setahun dan memberikan uang muka terlebih dahulu kepada BMT. Besar
uang yang harus dibayarkan nasabah kepada BMT sudah berdasarkan
kesepakatan bersama antara BMT dan nasabah.
Contoh skema dengan adanya akad wakalah, yaitu nasabah
membutuhkan dana untuk membeli laptop, kemudian BMT memberikan
uang kepada nasabah dan nasabah membeli barang sendiri dengan
didahului akad wakalah secara lisan. Pada kenyataannya nasabah tidak
diwajibkan laporan ke BMT bahwa dia sudah membeli barang yang
64
dibutuhkan nasabah. Contoh dalam pembelian laptop dengan harga Rp.
4.000.000 kemudian BMT memberikan kepada nasabah uang sebesar Rp.
4.000.000 untuk dibelikan laptop yang diinginkan nasabah. Dengan syarat
nasabah membayar secara angsuran atau cicilan dengan penambahan yang
sudah disepakati antara kedua belah pihak.
Dalam BMT At Taqwa Pinang akad murabahah dilakukan sebelum
adanya pembelian. Karena dalam prinsipnya itu setiap poporasi
mengeluarkan uang harus ada akad terlebih dahulu. Pembiayaan
murabahah pada BMT At Taqwa Pinang akad wakalah diharuskan dalam
pembiayaan murabahah, karena BMT harus mengetahui peruntukan
dananya.
Skema yang terjadi di BMT At-Taqwa Pinang adalah wakalah-
murabahah-pembelian. Menurut skemanya bahwa pengelolaan
pembiayaan murabahah tidak sesuai dengan prinsip syariah, karena akad
murabahah dilakukan sebelum pembelian. Dimana menurut Fatwa DSN-
MUI No. 4 Tahun 2000 tentang murabahah disebutkan barang yang
diperjualbelikan harus sudah dimiliki oleh BMT. Tidak boleh menjual
barang yang belum atau akan menjadi milik BMT. Ada produk murabahah
berarti ada juga jual beli. Jual beli dilakukan harus ada barang yang
diperjualbelikan, apabila tidak adanya barang yang diperjualbelikan maka
jual beli tersebut tidak sah.
Sedangkan dalam melakukan pembiayaan murabahah apabila
menggunakan akad wakalah untuk membeli barang yang akan
diperjualbelikan, nasabah wajib melakukan laporan terhadap BMT bahwa
barang yang diinginkan nasabah sudah dibeli. Kemudian baru melakukan
akad murabahah. Tujuan akad wakalah disini adalah agar BMT yang akan
menjadi penjual ketika melakukan penjualan sudah memiliki barang.
Dari sisi persyaratan pada kejelasan orangnya (identitas), sumber
pendapatan, dan jaminan ini sangat perlu bagi BMT. Apabila salah satu
65
tidak terpenuhi, contoh dalam sisi pendapatan nasabah apabila terlalu kecil
untuk angsuran yang ditetapkan oleh BMT setiap bulannya maka pihak
BMT mengecilkan limitnya. Apabila dari sisi itikad nasabah kurang baik
maka akan ditolak contoh adanya nasabah yang tidak jujur, transaksi tetap
dilanjutkan sampai selesai tetapi jika dia mengajukan lagi akan ditolak
oleh BMT.
Pada prinsip murabahah, barang diserahkan segera setelah adanya
kesepakatan antara kedua belah pihak, sedangkan pembayaran yang
dilakukan yaitu dengan cara pembayaran cicilan atau angsuran.
Analisis Perbandingan Fatwa DSN-MUI No. 4 Tahun 2004
Tentang Murabahah Dengan Bentuk Akad
No Ketentuan Fatwa Bentuk Akad Sesuai Tidak
1. Barang yang
diperjualbelikan tidak
diharamkan oleh
syari’ah Islam.
Objek akad harus
memenuhi beberapa
persyaratan :
1. Objek akad harus
ada ketika akad atau
kontrak sedang
dilakukan.
2. objek akad berupa
harta yang dibolehkan
syara‟ dan dimiliki
penuh oleh
pemiliknya.
3. objek akad bisa
Dalam bentuk akad ini
berdasarakan penelitian
bahwa barang yang
diperjualbelikan antara
pihak BMT dengan
nasabah itu tidak ada.
Secara otomatis bmt
belum memiliki barang
yang akan menjadi
objek pembiayaan. Dan
objek tidak bisa
diserahterimakan ketika
akad. Jenis barang yang
dijadikan objek
pembiayaan adalah
barang suci barang yang
terhindar dari najis.
Dalam bentuk akad ini
66
diserahterimakan saat
terjadinya akad, atau
dikemudian hari.
4. Adanya kejelasan
tentang objek
transaksi.
5. objek transaksi
harus suci, tidak
terkena najis dan
bukan barang najis.
bahwa yang menjadi
objek pembiayaan
adalah bahan-bahan
bangunan untuk
renovasi rumah.
2. Aqid ( orang yang
menyelenggarakan
akad).
Ulama fiqh
memberikan
persyaratan atau
kriteria yang harus
dipenuhi oleh aqid
antara lain :
1. Ahliyah. Dimana
keduanya memiliki
kecakapan hukum dan
kepatutan untuk
melakukan transaksi.
2.wilayah. Sebagai hak
dan kewenangan
seseorang yang
mendapatkan legalitas
syar‟i untuk
melakukan transaksi
Dilihat dari bentuk akad
ini, bahwa pelaku akad
yaitu BMT dan nasabah
sudah baligh dan cakap
hukum.
Dilihat berdasarkan
ahliyah (kewenanangan)
bahwa pihak BMT
belum mempunyai hak
dan kewenangan untuk
melakukan transaksi/jual
beli atas objek
pembiayaan.
67
atas suatu objek
tertentu.
3. Shighat, yaitu ijab dan
qabul.
Dalam ijab qabul
terdapat beberapa
syarat yang harus
dipenuhi, ulama fiqh
menuliskannya sebagai
berikut :
1.Adanya kejelasan
maksud antara kedua
belah pihak.
2.Adanya kesesuaian
antara ijab dan qabul.
3.Adanya pertemuan
antara ijab dan qabul.
4.Adanya satu majlis
akad dan adanya
kesepakatan antara
kedua belah pihak,
tidak menunjukkan
penolakan dan
pembatalan dari
keduanya.
Dalam bentuk akad ini,
terdapat maksud para
pihak dalam melakukan
pembiayaan murabahah
ini. Nasabah
mengajukan
permohonan
pembiayaan guna untuk
merenovasi rumah,
dimana nasabah
membutuhkan dana
untuk merenovasi
rumah. Kemudian
adanya kesepaatan
antara BMT dengan
nasabah mengenai harga
pokok ditambah dengan
marjin. Dan pihak BMT
juga menjelaskan bahwa
pembiayaan ini
dilakukan secara
angsuran atau cicilan.
(12 bulan/1tahun).
Simpulan dan Analisis :
Dari sisi objek menurut penelitian barang yang diperjualbelikan itu
suci bukan barang yang mengandung najis. Tetapi posisi barang ada atau
tidaknya bahwasanya barang yang menjadi objek pembiayaan belum ada
68
pada saat akad dilakukan. Jika dilihat bahwa barang tidak ada pada saat
akad dilakukan, maka kepemilikan barang tersebut belum menjadi milik
BMT sepenuhnya.
Dari sisi pelaku akad, bisa dilihat dari biodata BMT dan nasabah
bahwa para pihak memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan
jual beli. Mereka akan memiliki ahliyah jika mereka telah baligh dan
berakal. Maksudnya berakal disini adalah bahwa tidak gila sehinga mampu
memahami ucapan orang-orang normal.
Mengenai wilayah (kewenangan) bahwa posisi BMT disini tidak
mempunyai kewenangan untuk melakukan jual beli atas barang tersebut.
Dikarenakan barang tidak ada ketika akad dilakukan dan kepemilikan
bukan milik BMT sepenuhnya. Akad murabahah dilakukan setelah adanya
barang. Dalam arti harus ada pembelian terlebih dahulu baru dilakukan
akad. Kesimpulan yang didapat bahwa rukun tidak terpenuhi karena
objeknya tidak ada. Berdasarkan ringkasan dari hadits adalah sebagai
berikut :
“Hakim bil Tizam datang kepada Rasullah, Yaa Rasulullah banyak orang
yang datang kepadaku untuk membeli barang-barang padahal saya belum
punya. Saya akan beli ke pasar. Jangan kamu jual apa yang tidak ada
pada kamu”.
Dari hadits ini bisa dipahami bahwa tidak boleh melakukan jual
beli atas barang yang belum menjadi milik BMT kepada nasabah. Seperti
halnya yang sudah disebutkan dalam Fatwa DSN-MUI No. 4 Tahun 2004
Tentang Murabahah.
Dari sisi ijab qabul, menurut peneliti sudah sesuai dengan prinsip
syariah. Diman BMT menerima permohonan pembiayaan dari nasabah
guna untuk merenovasi rumah. Kemudian pihak BMT menerima
permohonan nasabah dengan kesepakatan anatara kedua belah pihak
(harga pokok ditambah marjin), dan pihak BMT juga menyampaikan
bahwa pembayaran tersebut dilakukan secara angsuran/cicilan. Dalam
bentuk akad ini tertera bahwa pembayaran dilakukan secara cicilan.
69
C. Peralihan Hak Milik Berdasarkan Hukum Islam
Sebagai pemilik hak, menurut para ulama fiqh, seseorang boleh
memindahtangankan haknya kepada orang lain sesuai dengan cara-cara
yang disyariatkan Islam, baik yang menyangkut hak kehartabendaan,
seperti melalui jual beli dan hutang, maupun hak yang bukan bersifat
kehartabendaan, seperti hak perwalian terhadap anak kecil. Yang penting
pemindahan hak ini, menurut para ulama fiqh, dilakukan sesuai dengan
cara dan prosedur yang ditetapkan oleh syara‟ dan juga dilakukan melalui
berbagai transaksi yang harus memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan
syara‟.
Pada pengertian akad sudah bisa dipahami, kata akad didefinisikan
sebagai hubungan anatar ijab dengan kabul sesusai dengan kehendak
syariat yang menetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum dalam objek
perikatan. Akad ini diwujudkan pertama, dalam ijab dan kabul. Kedua,
sesuai dengan kehendak syariat. Ketiga, adanya akibat hukum pada objek
perikatan.
Tercapainya tujuan akad tercermin pada terciptanya akibat hukum.
Bila maksud para pihak dalam melakukan akad jual beli adalah untuk
pemindahan milik atas suatu barang dari penjual kepada pembeli, maka
terjadinya perpindahan milik itu merupakan akibat hukum akad jual beli.
Syarat sahnya akad yaitu orang yang berakad, shighat atau
perbuatan yang menunjukkan terjadinya akad berupa ijab dan kabul, objek
akad. Jika semua syarat telah terpenuhi sejak itu timbul akibat hukum (
langsung terjadi). Secara otomatis pemilik yang memiliki barang tersebut
saat itu hilang kepemilikannya dan beralih ke pihak kedua. Secara fikih
akibat hukum ini tidak dikaitkan dengan hal-hal lain, selain syarat-syarat
tadi, contoh seperti penyerahan.
Dalam Mazhab Hanafi terdapat jenis akad ditinjau dari sifat
bendanya yaitu ada akad „ainiyah yaitu sebuat akad yang baru dianggap
sah dan terjadi apabila ada penyerahan fisik benda yang menjadi objek
akad. Contoh : Jual beli. Dalam jual beli terdapat para pihak, objek atau
70
barang, dan ijab kabul. Penjual dan pembeli dalam melakukan akad jual
beli dengan bertujuan untuk mengalihkan kepemilikan barang yang akan
diperjualbelikan. Dimana dalam penelitian ini BMT berkedudukan sebagai
penjual dan nasabah berkedudukan sebagai pembeli.Maka pada saat akad
berlangsung maka barang yang menjadi objek pembiayaan sudah beralih
ke pihak kedua (pembeli). Dan pihak penjual mempunyai kewajiban untuk
menyerahkan barang kepada pembeli, kemudian pembeli juga mempunyai
kewajiban untuk membayar harga barang kepada penjual.
Analisis yang didapat yaitu pada dasarnya dalam hukum Islam itu
peralihan kepemilikan beralih dimulai sejak adanya akad itu terjadiyaitu
dimana adanya ijab dan kabul. Mengenai penyerahan bahwa merupakan
sebuah kewajiban saja di dalam hukum Islam, bukan syarat sah. Maka dari
itu dapat disimpulkan walaupun barang belum diserahkan dari penjual
kepada pembeli, peralihan kepemilikan sudah beralih secara otomatis.
D. Peralihan Hak Milik Berdasarkan Hukum Perdata
Menurut KUH Perdata Pasal 584 yang menyebutkan bahwa dalam
hal peralihan kepemilikan atas suatu benda dari satu pihak ke pihak yang
lain disyaratkan bahwa seseorang yang akan mengalihkan barang itu
haruslah orang yang berwenang untuk menguasai bendanya. Dalam arti
bahwa barang itu sudah merupakan milik dari pihak pertama, sehingga
mempunyai kekuasaan yang maksimal untuk menikmati dan melakukan
perbuatan-perbuatan hukum atas benda.
Dalam ketentuan Psal 584 KUHPerdata tersebut dapat diketahui
bahwa sebelum suatu penyerahan kebendaan, dengan tujuan untuk
melakukan pemindahan hak milik dapat dilakukan haruslah ada terlebih
dahulu suatu peristiwa perdata yang bertujuan untuk mengalihkan hak
milik tersebut, yang dalam bentuk perjanjian dapat tertuang dalam wujud
jual beli, tukar menukar, maupun hibah.
Jadi dapat disimpulkan menurut sistem hukum Perdata KUH
Perdata dalam perjanjian jual-beli harus diikuti dengan adanya penyerahan
supaya terjadi perpindahan hak milik. Dan itu merupakan syarat sah dalam
71
Hukum Perdata untuk memindahkan suatu kepemilikan. Dimana
pengertian dari penyerahan itu sendiri adalah suatu perbuatan hukum
pemindahan hak milik didasarkan atas suatu titel atau alas hak berupa
perjanjian yang bermaksud memindahkan hak milik dan dilakukan oleh
orang yang berhak memindahkannya.
Dalam perjanjian jual-beli hanya melahirkan kewajiban saja yaitu
dengan cara menyerahkan barangnya bagi penjual dari kewajiban untuk
membayar harganya bagi pembeli, tidak berakibat berpindahnya hak milik
atas suatu barang. Hak milik atas suatu barang akan berpindah
kepemilikannya setelah adanya penyerahan. Karena dalam Hukum Perdata
penyerahan merupakan syarat sah. Maksudnya syarat sah disini adalah
selama barang yang diperjualbelikan belum diserahkan atau diterima oleh
pembeli maka perpindahan juga belum beralih.
Pada penyerahan terhadap suatu barang dari hasil jual beli ada
ketntuan bahwa kewajiban menyerahkan suatu barang meliputi segala
sesuatu yang menjadi perlengkapannya serta dimaksudkan bagi
pemakaiannya yang tetap, beserta bukti milik, jika itu ada. Contohnya
yaitu penyerahan sebidang tanah diikuti dengan sertifikat tanahnya dan
penyerahan kendaraan bermotor diikuti dengan BPKB.
72
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai
pelaksanaan akad pembiayaan murabahah pada BMT BKB dan BMT At-
Taqwa Pinang pada bab sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut :
1. Terdapat dua cara pembiayaan murabahah yang dapat
dilakukan oleh BMT yaitu pertama, BMT membeli barang
langsung kepada agen, dan kedua, dengan mewakilkan kepada
nasabah untuk pembelian barang yang akan menjadi objek
pembiayaan murabahah.
Jika BMT mewakalahkan kepada nasabah, maka harus ada
akad wakalah dan pembelian terlebih dahulu sebelum adanya
akad murabahah. Dengan itu, secara otomatis barang tersebut
merupakan milik BMT, dan BMT memiliki kewenangan untuk
melakukan transaksi jualbeli kepada nasabah. Maka demikian
jika dilihat dari alurnya bahwa sudah sesuai dengan prinsip
syariah di lihat dari perspektif Fatwa DSN-MUI No. 4 Tahun
2000 Tentang Murabahah. ( akad wakalah – pembelian - akad
murabahah).
2. Peralihan kepemilikan. Berdasarkan Hukum Islam yaitu
beralihnya kepemilikan dimulai sejak adanya akad itu terjadi.
Secara otomatis kepemilikan sudah beralih meskipun barang
belum beralih. Sedangkan menurut Hukum Perdata, beralihnya
kepemilikan ketika ada penyerahan dan sebelumnya harus
adanya peristiwa perdata berupa perjanjian yang dibuat oleh
kedua belah pihak yang bertujuan untuk memindahkan hak
milik atas suatu benda.
73
B. Saran
Dari hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah dikemukakan
sebelumnya maka dapat disampaikan sarang-saran sebagai berikut :
1. BMT.
a. BMT At-Taqwa Pinang sebaiknya dapat mampu menerapkan
prinsip-prinsip syariah secara keseluruhan. Meskipun adanya
banyak kendala-kendala untuk menyempurnakannya..
b. BMT Bersama Kita Berkah (BKB) agar lebih inovatif dan kreatif
lagi dalam menghadapi persaingan dengan Lembaga Keuangan
lainnya. Agar dapat membantu dan mempermudah masyarakat
dalam perekonomian baik untuk masyarakat menengah ke atas
maupun masyarakat menengah kebawah. Dan juga diharapkan
untuk memperbaiki bunyi akad dalam pembiayaan murabahah
sehingga sesuai dengan aturan-aturan yang ada.
2. Peneliti Selanjutnya. Peneliti sangat menyarankan untuk peneliti
selanjutnya agar dapat meneliti dengan mengukur berapa persen
kesesuaian syariah pada bunyi akad dalam pembiayaan murabahah di
BMT.
74
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahid, Mustofa, Hukum Islam Kontemporer, Jakarta : Sinar Grafika, 2009.
Abdurrauf, “Penerapan Teori Akad pada Perbankan Syariah”. Al-Iqtishad. Vol.
4 No. 1, Januari (2012).
Aburaera, Sukarno, Muhadar, dan Maskun. Filasafat Hukum Teori dan Parktik,
Jakarta : Prenada Media, 2014.
Al-Hasan, Fahadil Amin. “ Analisis Pelaksanaan Akad Murabahah Di Lembaga
Mikro Keuangan Syariah(BMT). Jurusan Hukum Ekonomi Syariah,
Fakultas Syariah Dan Hukum UIN SDG Bandung.
Al-Quran dan Terjemahnya, Departemen Agama RI, 2006
Amalia,Euis, Keadilan Distributif Dalam Ekonomi Islam, Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada, 2009.
Amin, Ma’ruf,Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, Jakarta : Elsas Jakarta, 2008.
Anwar, Syamsul,Hukum Perjanjian Syariah Studi Tentang Teori Akad dalam
Fikih Muamalat, Jakarta : PT Raja Grafindo, 2007.
Burhanuddin, S, Aspek Hukum Lembaga Keauangan Syariah, Yogyakarta : Graha
Ilmu, 2010.
Djamil, Fathurrahman,Penerapan Hukum Perjanjian Dalam Transaksi Di
Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Sinar Grafik, 2013.
Fatwa DSN-MUI No. 4 Tahun 2000 tentang Murabahah.
Fatwa DSN-MUI No. 10 Tahun 2000 tentang Wakalah.
Haroen,Nasrun, Fiqh Mumalah, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007.
75
Haryoso, Lukman. “Penerapan Prinsip Pembiayaan Syariah (Murabahah) Pada
BMT Bina Usaha Di Kabupaten Semarang”. Jurnal Law and Justice.
Vol. 2 No. 1. April 2017.
Hendi,Suhendi, Fiqih Muamalah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007.
HS, Salim dan Erlies Septiana Nurbani. Penerapan Teori Hukum pada Penelitian
Tesis dan Disertasi. Jakarta : Rajawali Pers, 2014.
Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah : Fiqh Muamalah, Jakarta : Kencana, 2012.
Masjchoen Sofwan, Sri Soedewi, Hukum Perdata : Hukum Benda, Yogyakarta :
Liberty Yogyakarta, 1974.
Naja, Daeng,Akad Bank Syariah, Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2011.
Natadimaja, Harumiati, Hukum Perdata Mengenai Hukum Perorangan dan
Hukum Benda, Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009.
Nurul Huda, Mohamad Haykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan
Praktis, Jakarta : Kencana, 2010.
Nurhuda, Muttaqin. “Analisis Pelaksanaan Akad Pembiayaan Murabahah Di
BMT Palur Karanganyar. Naskah Publikasi. Jurusan Hukum Ekonomi
Syariah, Fakultas Agama Islam Universitas Muhamadiyah Surakarta.
2015.
Peraturan Bank Indonesia No. 7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan
Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha
Berdasarkan Prinsip Syariah.
Putra, Baskoro Perdana. “Analisis Penetapan Tingkat Marjin Akad Pembiayaan
Murabahah:Studi Kasus Pada Baitul Maal wa Tamwil Ahmad Yani
Malang”.Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas
Brawijaya Malang.
76
Rahmawati, Yuke, Lembaga Keuangan Mikro Syariah, Tangerang Selatan : Uin
Jakarta Press, 2013.
Shobirin. “Penyelesaian Pembiayaan Murabahah Bermasalah Di Baitul Maal Wa
Tamwil(BMT). Jurnal Iqtishadia. Vol. 9 No. 2.( 2016).
Shobirin, “ Jual Beli Dalam Pandangan Islam”. Jurnal Bisnis. Vol. 3 No.2,
Desember (2015) : 241.
Sohari Sahrani, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, Bogor : Penerbit Ghalia
Indonesia, 2011.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata : Hukum Benda, Yogyakarta :
Liberty Yogyakarta, 1974.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT Intermasa, 1987.
Sudarsono, Heri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan Ilustrasi,
Yogyakarta : Ekonisia, 2004, cet ke 2.
Syahrani, Riduan, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung : P.T.
Alumni, 2010.
Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998.
Wibowo,Endro. “Manajemen Risiko Pembiayaan Murabahah di BMT Amanah
Ummah”. Jurnal Al-Tijarah. Vol. 1 No. 2. Desember 2015.