analisis kasus susu formula dan perlindungan konsumen
DESCRIPTION
Analisis Kasus Susu Formula Dan Perlindungan KonsumenTRANSCRIPT
ETIKA BISNIS
KASUS SUSU FORMULA DAN PERLINDUNGAN KONSUMEN
OLEH :
I GUSTI PUTU ADI DIATMIKA
1306305109
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2016
1. KASUS
Perlindungan konsumen di Indonesia masih sangatlah lemah. Hal yang menyangkut
kepentingan konsumen memang masih sangat lemah. Setelah setahun menunggu, Kementerian
Kesehatan akhirnya mengumumkan hasil survei 47 merk susu formula bayi untuk usia 0-6 bulan.
Hasil survei menyimpulkan, tidak ditemukan bakteri Enterobacter Sakazakii.
Hasil ini berbeda dengan temuan penelitian Institut Pertanian Bogor, yang menyebutkan,
22,73% susu formula (dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan
dari April hingga Juni 2006 terkontaminasi E. Sakazakii. Apa pun perbedaan yang tersaji dari
kedua survei tersebut, yang jelas kasus susu formula ini telah menguak fakta laten dan manifes
menyangkut perlindungan konsumen. Ini membuktikan bahwa hal-hal menyangkut kepentingan
(hukum) konsumen rupanya memang masih miskin perhatian dalam tata hukum kita, apalagi
peran konsumen dalam pembangunan ekonomi.
2. TANGGUNG JAWAB PRODUK
Di dalam undang-undang perlindungan konsumen sebenarnya ada doktrin yang disebut
strict product liability, yakni tanggung jawab produk yang bertujuan untuk memberikan
perlindungan kepada konsumen. Ini dapat kita lihat dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang mengatur bahwa pembuktian terhadap ada
tidaknya unsur kesalahan menjadi beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
Doktrin tersebut selaras dengan doktrin perbuatan melawan hukum (pasal 1365 KUHP)
yang menyatakan, “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian bagi orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian, mengganti kerugian tersebut.”
Untuk dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum berdasar pasal 1365 KUHP,
suatu perbuatan harus memenuhi unsur-unsur, seperti adanya perbuatan melawan hukum, adanya
unsur kesalahan, kerugian, dan adanya hubungan sebab-akibat yang menunjukkan adanya
kerugian yang disebabkan oleh kesalahan seseorang. Unsur-unsur ini pada dasarnya bersifat
alternatif. Artinya, untuk memenuhi bahwa suatu perbuatan melawan hukum, tidak harus
dipenuhi semua unsure tersebut. Jika suatu perbuatan sudah memenuhi salah satu unsur saja,
maka perbuatan tersebut dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.
2
Doktrin strict product liability masih tergolong baru dalam doktrin ilmu hukum di
Indonesia. Doktrin tersebut selayaknya dapat diintroduksi dalam doktrin perbuatan melawan
hukum (tort) sebagaimana diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Seorang konsumen, apabila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat
menggugat pihak yang menimbulkan kerugian. Pihak di sini bisa berarti produsen/pabrik,
supplier, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk. Ini
tergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan
kerugian bagi konsumen.
Selama ini, kualifikasi gugatan yang masih digunakan di Indonesia adalah wanprestasi
(default). Apabila ada hubungan kontraktual antara konsumen dan pengusaha, kualifikasi
gugatannya adalah wanprestasi. Jika gugatan konsumen menggunakan kualifikasi perbuatan
melawan hukum (tort), hubungan kontraktual tidaklah diisyaratkan. Bila tidak, konsumen
sebagai penggugat harus membuktikan unsur-unsur seperti adanya perbuatan melawan hukum.
Jadi, konsumen dihadapkan pada beban pembuktian berat, karena harus membuktikan unsur
melawan hukum.
Hal inilah yang dirasakan tidak adil oleh konsumen, karena yang tahu proses produksinya
adalah pelaku usahanya. Pelaku usahalah yang harus membuktikan bahwa ia tidak lalai dalam
proses produksinya. Untuk membuktikan unsur "tidak lalai" perlu ada kriteria berdasarkan
ketentuan hukum administrasi negara tentang "Tata Cara Produksi Yang Baik" yang dikeluarkan
instansi atau departemen yang berwenang.
3. ANALISIS
Berdasarkan pembahasan kasus diatas, perlindungan konsumen di Indonesia masih
sangatlah lemah. Hal ini dapat dilihat dari pengumuman Kementerian Kesehatan setelah setahun
lamanya para konsumen susu formula bayi ingin mengetahui fakta bahwa susu formula bayi
untuk usia 0-6 bulan tersebut mengandung bakteri Enterobacter Sakazakii atau tidak.
Namun, fakta yang diumumkan oleh Kementerian Kesehatan tidak sesuai dengan hasil
penelitian dari temuan peneliti Institut Pertanian Bogor, yang menyebutkan 22,73% susu formula
(dari 22 sampel), dan 40% makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan April hingga Juni
3
2006 terkontaminasi E. Sakazakii. Apa pun perbedaan yang tersaji dari kedua survei tersebut,
yang jelas kasus susu formula ini telah menguak fakta laten dan manifes menyangkut
perlindungan konsumen. Ini membuktikan bahwa hal-hal menyangkut kepentingan (hukum)
konsumen rupanya memang masih miskin perhatian dalam tata hukum kita, apalagi peran
konsumen dalam pembangunan ekonomi.
Dalam hal ini perusahaan juga telah menyalahi etika dalam berbisnis dengan
memproduksi dan menjual produk yang dapat membahayakan konsumen. Seharusnya
perusahaan sendiri perlu melakukan riset sebelum memasarkan produk, selain akan merugikan
konsumen produk susu yang terkontminasi oleh bakteri Enterobacter Sakazakii akan
membahayakan konsumen. Secara jangka panjang hal ini juga akan berdampak terhadap
kelangsungan perusahaan akibat hilangnya kepercayaan konsumen terhadap produk yang
dihasilkan.
4
DAFTAR PUSTAKA
Netthie Lg. Analisis Kasus Susu Formula Dan Perlindungan Konsumen
https://www.academia.edu/5653911/ANALISIS_KASUS_SUSU_FORMULA_DAN_PER
LINDUNGAN_KONSUMEN (diakses 7 Mei 2016)
5