analisis karakteristik fisik dan sensorik breakfast food dari tepung komposit berbasis talas...

Upload: ino-zenzey

Post on 09-Mar-2016

18 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

jurnal

TRANSCRIPT

  • Seediscussions,stats,andauthorprofilesforthispublicationat:http://www.researchgate.net/publication/281855160

    ANALISISKARAKTERISTIKFISIKDANSENSORIKBREAKFASTFOODDARITEPUNGKOMPOSITBERBASISTALAS(Colocasiaesculenta(L)Schoot)BERPEMANISSORBITOLRESEARCHSEPTEMBER2015DOI:10.13140/RG.2.1.3746.0962

    READ1

    1AUTHOR:

    SellenGurusmatikaGadjahMadaUniversity1PUBLICATION0CITATIONS

    SEEPROFILE

    Availablefrom:SellenGurusmatikaRetrievedon:19October2015

  • Jurnal Keteknikan Pertanian 2012

    ANALISIS KARAKTERISTIK FISIK DAN SENSORIK BREAKFAST FOOD DARI

    TEPUNG KOMPOSIT BERBASIS TALAS (Colocasia esculenta (L) Schoot)

    BERPEMANIS SORBITOL

    Sellen Gurusmatika 1), Ir. Nur Komar, MS 2), Dr. Ir. Bambang Dwi Argo ,DEA2)

    1)Alumni Jurusan Keteknikan Pertanian FTP UB, Malang, Indonesia

    2)Staf Pengajar Jurusan Keteknikan Pertanian FTP UB, Malang, Indonesia

    ABSTRACT

    Breakfast food is fast food products that may be an option as a food substitute for rice because it

    has nutritional value and practicality are increasingly required by the public, especially in the morning.

    Raw material of breakfast food must contain high carbohydrate. Taro (Colocasia esculenta (L.) Schott)

    has advantages compared with other bulbs as the manufacture of breakfast food. To complement the

    nutritional content should be added with other ingredients such as bananas and green beans. Demand for

    health food products such as sugar-free food, low calorie food and high fiber food is rapidly increasing.

    This trend is based on his role in the prevention of hypertension, diabetes, colon cancer and other

    degenerative diseases. Therefore, the use of sorbitol in the process of making breakfast food intended to

    be a safe sugar substitute sweetener consumed by all walks of life

    This study aims to determine the effect of variations in the ratio of taro flour: starch banana flour,

    green beans and the proportion of sorbitol addition on the physical and sensory characteristics of

    breakfast food, as well as a selection of products most acceptable to the panelists in the organoleptic test.

    RAL-factorial experiment using treatments were tested, taro flour proportion: green bean flour: wheat

    banana (P) which consists of three levels, namely in a row: (50%: 30%: 20%); (50%: 25%: 25%); (50%:

    20%: 30%). The proportions of sorbitol (S) which consists of two levels: 4% (8 g) and 8% (16 g). Analysis

    carried out in this study includes the analysis of physical (moisture content, expansion of volume, density

    kamba, rehydration coefficient, microstructure and mass balance), sensory analysis (taste, aroma, color

    and crispness). The selection of the best treatments on the product performed by the method of De

    Garmo. The results showed that the ratio of taro flour: green bean flour: wheat banana with sorbitol to

    determine the physical and sensory characteristics of breakfast food. The best treatment of the product

    obtained by the proportion of 100 grams of taro flour, 40 grams of green peas flour, banana flour 60

    grams of sorbitol and the proportion of 4%. The resulting physical characteristics of the 2:45% bb

    moisture content; 0.0244 volume expansion / C; 0216 g / ml kamba density and the coefficient of

    rehydration 2214. The sensory properties acquired taste very good (6:03); aroma (5:20) and color (6:07)

    panellists preferred; and very crunchy crispness (5.43). The results of Scanning Electron Microscope

    (SEM) shows the microstructure of breakfast food evenly and a small cavity gelatinization perfect look.

    Keywords: Breakfast food, taro flour, green bean flour, banana flour, sorbitol

  • Jurnal Keteknikan Pertanian 2012

    PENDAHULUAN

    Berbagai penelitian yang berhubungan

    dengan pentingnya sarapan menunjukkan bahwa

    sarapan sehat memberikan pengaruh pada

    prestasi seperti rneningkatnya konsentrasi,

    berkurangnya rnasalah kedisiplinan, keluhan

    sakit kepala dan kelelahan. Jenis makanan pagi

    dapat menjadi alternatif sarapan karena

    kandungan gizinya seimbang. Selain itu susu

    yang ditambahkan saat menyantap breakfast

    food dapat menambah nilai gizi protein pada

    produk.

    Pada urnumnya produk breakfast food

    berbahan dasar gandum, jagung dan kentang,

    sehingga melalui penelitian ini dicoba

    pembuatannya dengan menggunakan bahan

    pangan lokal seperti umbi talas, pisang kepok

    dan kacang hijau yang dikecambahkan, hal ini

    untuk mengurangi ketergantungan terhadap

    salah satu bahan dasar di atas bahkan dapat

    menarnbah kandungan gizinya daripada produk

    lainnya.

    Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott)

    merupakan bahan pangan dengan kandungan

    karbohidrat tinggi. Talas mempunyai kelebihan

    dibanding dengan umbi lainnya sebagai bahan

    pembuatan breakfast food. Untuk melengkapi

    kandungan gizinya perlu dikompositkan dengan

    bahan-bahan lain seperti kacang hijau dan

    pisang.

    Dengan penambahan kacang hijau

    diharapkan dapat meningkatkan kandungan

    protein produk. Suplementasi kacang hijau pada

    talas dapat meningkatkan kandungan lisin dan

    metionin sehingga tujuan perbaikan mutu dapat

    tercapai (Muchtadi, 1992). Pengolahan buah

    pisang menjadi tepung merupakan teknologi

    yang cukup prospektif dalam pengembangan

    sumber pangan lokal. Buah pisang cukup sesuai

    untuk diproses menjadi tepung mengingat bahwa

    komponen utama penyusunnya adalah

    karbohidrat, serta memiliki vitamin dan mineral

    yang dibutuhkan tubuh.

    Permintaan terhadap produk makanan

    kesehatan seperti makanan bebas gula,

    makanan rendah kalori dan makanan kaya serat

    meningkat dengan pesat. Kecenderungan ini

    didasarkan atas perannya dalam pencegahan

    penyakit hipertensi, diabetes, kanker usus, dan

    penyakit degeneratif lainnya. Oleh karena itu,

    pemanfaatan bahan tambahan makanan sorbitol

    pada proses pembuatan breakfast food

    dimaksudkan sebagai subtitusi pemanis gula

    yang aman dikonsumsi oleh semua kalangan

    umur.

    Sorbitol ditambahkan pada makanan

    sebagai pemanis dan untuk memberikan

    ketahanan mutu dasar pada produk tersebut.

    Menurut Desrosier (1997), sorbitol mempunyai

    sifat plastis yang dapat memperbaiki tekstur

    biskuit dan produk semi basah dimana bertujuan

    untuk mencegah produk menjadi kering dan

    menjaga kesegaran selama penyimpanan.

    Bouvier (2001) menyebutkan sifat sorbitol adalah

    stabil dan secara kimia tidak reaktif. Selain itu,

    pemanis ini dapat bertahan pada suhu tinggi dan

    tidak mengakibatkan reaksi maillard (browning),

    sehingga dapat memproduksi breakfast food

    dengan warna yang segar. Sorbitol juga

    mempunyai sifat sulit diserap oleh tubuh jika

    dibandingkan dengan gula, sehingga sering

    digunakan sebagai bahan pensubtitusi gula bagi

    penderita diabetes.

  • Jurnal Keteknikan Pertanian 2012

    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

    pengaruh variasi rasio tepung talas : tepung

    pisang : tepung kacang hijau dan proporsi

    penambahan sorbitol terhadap karakteristik fisik

    dan sensorik breakfast food, serta mendapatkan

    pemilihan produk yang paling dapat diterima oleh

    panelis dalam uji organoleptik.

    METODE

    Alat dan Bahan:

    Alat yang digunakan dalam penelitian ini

    adalah oven, mesin penggiling hammer mill tipe

    disk, mixer, timbangan digital, thermometer,

    dandang, kompor, loyang, toples, ayakan 100

    mesh.

    Bahan yang digunakan adalah talas

    bentul, kacang hijau, pisang kapok dan sorbitol.

    Bahan tambahan yang digunakan dalam

    pembuatan breakfast food yaitu, tepung tapioka,

    margarin, telur, susu bubuk, gula, garam, vanili,

    dan baking powder. Bahan tambahan yang

    digunakan dalam pembuatan tepung yaitu:

    Larutan garam (NaCl) dan Natrium metabisulfit

    (Na2S2O5).

    Rancangan Percobaan

    Metode penelitian yang digunakan dalam

    penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap

    (RAL) yang disusun secara faktorial dan terdiri

    dari dua faktor, dimana faktor I yaitu proporsi

    tepung talas:tepung kacang hijau:tepung pisang

    (P) yang terdiri dari 3 level yaitu berturut-turut:

    (50% : 30% : 20%); (50% : 25% : 25%); (50% :

    20% : 30%) dan faktor II terdiri dari 2 level yaitu

    proporsi penambahan sorbitol (S) yang terdiri dari

    2 level yaitu: 4% (8 gram) dan 8% (16 gram).

    Masing-masing kombinasi perlakuan dari kedua

    faktor tersebut diulang 3 kali, sehingga da 18

    satuan percobaan. Apabila terdapat beda nyata

    pada analisa ragam (ANOVA), maka dilakukan uji

    LSD/BNT dengan taraf 5% dan 1% untuk

    mengetahui rataan pada perlakuan.

    Prosedur Penelitian

    1. Pembuatan Tepung

    Proses pembuatan tepung talas dimulai

    dengan pengukusan selama 15 menit, kemudian

    dilanjutkan pengupasan kulit luar dan dicuci.

    Proses selanjutnya, talas diiris (slicing) bentuk

    lembaran tipis, setelah itu dilakukan perendaman

    larutan garam NaCl 1% selama 20 menit,

    perendaman dilakukan untuk mengurangi

    senyawa organik H2C2O4 (asam oksalat) yang

    masih ada dalam umbi talas. Chip umbi talas siap

    dikeringkan dengan menggunakan oven pada

    suhu 60C selama 20 jam, setelah kering,

    kemudian ditepungkan dengan mesin

    penepungan hammer mill tipe disk dan diayak

    dengan ayakan berukuran 100 mesh untuk

    mendapatkan tepung talas yang bersih dan

    lembut.

    Proses pembuatan tepung kacang hijau

    yaitu dimulai dengan sortasi dan pencucian untuk

    menghilangkan kotoran. Biji yang sudah bersih

    direndam dalam air dengan perbandingan air dan

    kacang hijau yaitu 3:1 selama 24 jam sampai biji

    berkecambah. Biji kecambah tersebut dikukus

    pada suhu 90C selama 15 menit dan didinginkan

    pada suhu ruang kamar 25C selama 15 menit.

    Kacang hijau bersih tanpa kulit siap dikeringkan

    pada oven dengan suhu 60C selama 20 jam.

    Kemudian digiling pada mesin penepungan

    hammer mill tipe disk, dilanjutkan dengan

  • Jurnal Keteknikan Pertanian 2012

    pengayakan menggunakan saringan ukuran 100

    mesh.

    Proses pembuatan tepung pisang dimuai

    dari pengukusan selama 15 menit, Pisang

    kemudian dikupas, lalu diiris kecil-kecil

    (ketebalan irisan sekitar 0.25cm-0.75cm),

    selanjutnya direndam dalam larutan Na2S2O5

    (Natrium Metabisulfit) 1000 ppm (1 gram Natrium

    Metabisulfit dalam 1 liter air) selama 10 menit.

    Tujuan perendaman untuk mengurangi reaksi

    browning saat proses pembuatan tepung pisang,

    sehingga warna tepung yang dihasilkan menjadi

    baik (lebih putih). Kemudian irisan pisang

    dikeringkan pada oven dengan suhu 60C

    selama 20 jam. Setelah kering, chip pisang

    kemudian ditepungkan dengan mesin

    penepungan hammer mill tipe disk dan diayak

    dengan ayakan berukuran 100 mesh. Untuk

    mendapatkan tepung yang baik, dikeringkan

    kembali selama I hari di bawah sinar matahari

    2. Pembuatan Breakfast Food

    Pembutan breakfast food yang diawali

    dengan pembuatan adonan ke-1 yaitu

    pencampuran bahan pelengkap yaitu margarin,

    gula, telur, sorbitol, dan vanili dikocok dengan

    menggunakan alat mixer, pencampuran

    berlangsung selama 5 menit. Pembuatan adonan

    ke-2 yaitu pencampuran tepung komposit dan

    bahan tambahan lain seperti baking powder,

    garam dan susu bubuk, kemudian ditambahkan

    sedikit demi sedikit pada adonan pertama sambil

    dilakukan pengadukan. Pengadukan dilakukan

    sampai adonan merata sempurna atau adonan

    kalis. Adonan yang sudah jadi, dilakukan

    pencetakan pada loyang. Setelah adonan

    dicetak, kemudian dilakukan proses pemasakan

    dengan memasukkan dalam oven pada suhu

    125C selama 25 menit atau hingga kering,

    setelah matang breakfast food didinginkan dulu

    sampai produk mengeras. Diagram alir proses

    pembuatan breakfast food disajikan pada

    Gambar 2.

    Parameter Pengamatan

    Parameter yang diukur meliputi kadar air,

    koefisien ekspansi volume, densitas kamba,

    koefisien rehidrasi, mikrostuktur dengan SEM

    (Scanning Electron Microscope), keseimbangan

    massa selama proses pengolahan serta uji

    organoleptik (rasa, aroma, warna dan

    kerenyahan).

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Sifat Fisik Breakfast Food

    1. Kadar Air

    Hasil penelitian diperoleh nilai kadar air

    produk berkisar antara 2.45% hingga 3.167%.

    Diagram batang perbandingan kadar air

    breakfast food ditunjukkan oleh Gambar 1.

    Keterangan: perbandingan tepung talas : kacang hijau :

    pisang berturut-turut, adalah

    P1T1 = 50:30:20. Proporsi Sorbitol 4%

    P1T2 = 50:30:20. Proporsi Sorbitol 8%

    P2T2 = 50:25:25. Proporsi Sorbitol 4%

    P2T2 = 50:25:25. Proporsi Sorbitol 8%

    P3T1 = 50:20:30. Proporsi Sorbitol 4%

    P3T2 = 50:20:30. Proporsi Sorbitol 8%

    Gambar 1. Grafik Kadar Air Breakfast Food Talas

    Hasil pengamatan rerata kadar air

    menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya

    2.733 2.8 3.083 3.167

    2.45 2.683

    0.00

    1.00

    2.00

    3.00

    4.00

    P1T1 P1T2 P2T1 P2T2 P3T1 P3T2 Ka

    da

    r A

    ir (

    %)b

    b

    Perlakuan

  • Jurnal Keteknikan Pertanian 2012

    Gambar 2. Tahapan Pembuatan Breakfast Food

    kenaikan kadar air dengan semakin tingginya

    kadar sorbitol yang ditambahkan. Fenomena ini

    disebabkan oleh jumlah cairan sorbitol yang

    terperangkap dalam sistem akan semakin banyak

    dengan semakin besarnya kadar sorbitol dalam

    sistem bahan. Hal ini serupa dengan pernyataan

    Therik et al. (2006) yang menyatakan bahwa

    perbedaan kadar air produk disebabkan oleh

    bervariasinya kadar air bahan mentah

    penyusunnya. Selain itu semakin kuat sistem

    matriks pati-protein yang terbentuk, maka sistem

    gel yang terbentuk mampu memperangkap air

    lebih banyak.

    Mulai

    Persiapan Alat dan Bahan

    Pengukuran massa dan kadar air

    Formulasi tepung talas:kacang hijau:pisang 1.(50:30:20)% ;

    2. (50:25:25)% ;

    3. (50:20:30)%

    Mixing

    Baking powder, tepung tapioka, susu bubuk dan garam

    Adonan 1

    Proporsi penambahan Sorbitol: 1. 4% (8 gram)

    2. 8% (16 gram)

    Margarin, vanili, gula, telur

    Mixing

    Adonan 2

    Pengukuran massa dan kadar air

    Adonan kalis

    Pencetakan adonan (forming)

    Pemanggangan pada oven suhu 135C selama 25 menit

    Breakfast Food

    Pengolahan dan analisa data: - Kadar air (%) - Keseimbangan massa (g) - Ekspansi volume (cm/C) - Analisa mikrostruktur - Densitas Kamba (g/ml) - Organoleptik - Koefisien rehidrasi

    Selesai

    Mixing

  • Jurnal Keteknikan Pertanian 2012

    0.0232 0.0219 0.022 0.023 0.0257 0.0255

    0.01

    0.015

    0.02

    0.025

    0.03

    P1T1 P1T2 P2T1 P2T2 P3T1 P3T2

    Eksp

    ansi

    Vo

    lum

    e (

    /C

    )

    Perlakuan

    2. Koefisien Ekspansi Volume

    Hasil penelitian menunjukkan nilai koefisien

    ekspansi volume produk breakfast food berkisar

    antara 0.0219/C sampai 0.0257/C. Grafik

    perbandingan pengembangan volume pada

    berbagai perlakuan disajikan pada Gambar 3.

    Pengembangan nilai volume yang

    semakin rendah mengindikasikan kondisi

    breakfast food talas yang semakin keras. Tepung

    talas tidak mengandung gluten oleh karenanya

    semakin banyak jumlah tepung talas yang

    digunakan menyebabkan nilai volume

    pengembangan semakin rendah

    Keterangan: perbandingan tepung talas : kacang hijau :

    pisang berturut-turut, adalah

    P1T1 = 50:30:20. Proporsi Sorbitol 4%

    P1T2 = 50:30:20. Proporsi Sorbitol 8%

    P2T2 = 50:25:25. Proporsi Sorbitol 4%

    P2T2 = 50:25:25. Proporsi Sorbitol 8%

    P3T1 = 50:20:30. Proporsi Sorbitol 4%

    P3T2 = 50:20:30. Proporsi Sorbitol 8%

    Gambar 3. Grafik Nilai Ekspansi Volume Breakfast

    Food Talas

    Baking powder juga mempengaruhi

    pengembangan volume, baking powder

    merupakan leavening agent, yaitu bahan yang

    dapat melepaskan gas karbondioksida (CO2)

    pada kondisi tertentu. Bahan ini menciptakan

    gelembung gas pada adonan dan membuat

    adonan mengembang. Ketika produk tersebut

    dipanaskan akan terbentuk kantung-kantung

    udara yang mengakibatkan produk terasa ringan

    dan renyah.

    3. Densitas Kamba

    Hasil penelitian menunjukkan nilai

    densitas kamba produk breakfast food berkisar

    antara 0.222g/ml sampai 0.204g/ml. Nilai

    tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil

    penelitian yang dilakukan oleh Uswatun (2003)

    yang menghasilkan produk breakfast food ubi

    jalar berkisar antara 0.20 hingga 0.30 g/ml. Grafik

    perbandingan densitas kamba pada berbagai

    perlakuan disajikan pada Gambar 4.

    Keterangan: perbandingan tepung talas : kacang hijau :

    pisang berturut-turut, adalah

    P1T1 = 50:30:20. Proporsi Sorbitol 4%

    P1T2 = 50:30:20. Proporsi Sorbitol 8%

    P2T2 = 50:25:25. Proporsi Sorbitol 4%

    P2T2 = 50:25:25. Proporsi Sorbitol 8%

    P3T1 = 50:20:30. Proporsi Sorbitol 4%

    P3T2 = 50:20:30. Proporsi Sorbitol 8%

    Gambar 4. Grafik Nilai Densitas Kamba Breakfast

    Food Talas

    Kecenderungan peningkatan densitas

    kamba pada breakfast food talas terjadi seiring

    dengan peningkatan penambahan kadar sorbitol.

    Hal ini disebabkan terjadinya peningkatan

    kemampuan pemerangkapan air produk dengan

    adanya penambahan sorbitol terhitung berkaitan

    dengan sifatnya yang membentuk gel. Dengan

    semakin besarnya air yang dapat diabsorpsi oleh

    produk, menjadikan jarak antara molekul

    penyusun menjadi semakin besar mengakibatkan

    kohesifitasnya menurun sehingga ketahanan

    produk juga menurun, maka berat produk per

    satuan volume akan semakin rendah yang

    0.216 0.215 0.204 0.214 0.215 0.222

    0.00

    0.10

    0.20

    0.30

    P1T1 P1T2 P2T1 P2T2 P3T1 P3T2

    De

    nsi

    tas

    Kam

    ba

    (g/m

    l)

    Perlakuan

  • Jurnal Keteknikan Pertanian 2012

    menghasilkan densitas kamba produk yang lebih

    rendah.

    4. Koefisien Rehidrasi

    Koefisien rehidrasi produk kering

    merupakan banyaknya penyerapan air kembali

    oleh produk kering pada suhu kamar dalam

    waktu tertentu. Hasil analisis sidik ragam

    menunjukkan bahwa perlakuan komposisi tepung

    komposit talas : pisang : kacang hijau (P) dan

    perlakuan penambahan kadar sorbitol (S)

    berpengaruh nyata (P 0.05) terhadap koefisien

    rehidrasi produk breakfast food talas, sedangkan

    interaksi keduanya yaitu (PXS) memberikan

    pengaruh yang sangat nyata (P 0.01) terhadap

    koefisien rehidrasi pada produk. Nilai rata-rata

    koefisien rehidrasi yang terendah 2.181 terdapat

    pada perlakuan P1T2, sedangkan nilai koefisien

    rehidrasi yang tertinggi terdapat pada perlakuan

    P2T2 yaitu sebesar 2.259.

    Keterangan: perbandingan tepung talas : kacang hijau :

    pisang berturut-turut, adalah

    P1T1 = 50:30:20. Proporsi Sorbitol 4%

    P1T2 = 50:30:20. Proporsi Sorbitol 8%

    P2T2 = 50:25:25. Proporsi Sorbitol 4%

    P2T2 = 50:25:25. Proporsi Sorbitol 8%

    P3T1 = 50:20:30. Proporsi Sorbitol 4%

    P3T2 = 50:20:30. Proporsi Sorbitol 8%

    Gambar 5. Grafik Nilai Koefisien Rehidrasi Breakfast

    Food Talas

    Menurut (Yohana, 2008) semakin besar

    nilai derajat gelatanisasi, koefisien rehidrasi air

    akan semakin meningkat. Hal ini menunjukkan

    bahwa pati yang telah tergelatanisasi lebih

    mudah larut. Setelah pati mengalami gelatanisasi

    maka akan terjadi degradasi amilosa dan

    amilopektin menghasilkan molekul yang lebih

    kecil. Molekul yang relative lebih kecil inilah yang

    mudah larut dalam air.

    Sifat Sensorik Breakfast Food

    1. Rasa

    Rerata skor kesukaan panelis terhadap

    rasa breakfast food akibat variasi dari formulasi

    yang diberikan berkisar antara 4.3 - 6 (enak

    sangat enak). Gambar 5 menunjukkan nilai

    kesukaan rasa terhadap variasi perlakuan

    breakfast food talas.

    Kecenderungan rasa yang meningkat,

    dengan semakin besarnya jumlah tepung pisang

    yang ditambahkan, hal ini disebabkan oleh

    sugesti panelis dari penampilan warnanya. P1T1

    lebih gelap dikarenakan penaruh dari proporsi

    tepung kacang hijau yang lebih banyak. Warna

    dari tepung kacang hijau yang tidak terlalu putih

    mempengaruhi warna produk breakfast food talas

    yang dihasilkan.

    Keterangan: perbandingan tepung talas : kacang hijau :

    pisang berturut-turut, adalah

    P1T1 = 50:30:20. Proporsi Sorbitol 4%

    P1T2 = 50:30:20. Proporsi Sorbitol 8%

    P2T2 = 50:25:25. Proporsi Sorbitol 4%

    P2T2 = 50:25:25. Proporsi Sorbitol 8%

    P3T1 = 50:20:30. Proporsi Sorbitol 4%

    P3T2 = 50:20:30. Proporsi Sorbitol 8%

    Gambar 6. Hasil Uji Rasa Terhadap Perlakauan

    Breakfast Food Talas

    2.214 2.181 2.182

    2.259

    2.212 2.249

    2.10

    2.15

    2.20

    2.25

    2.30

    P1T1 P1T2 P2T1 P2T2 P3T1 P3T2

    Ko

    efi

    sein

    Rh

    idra

    si

    Perlakuan 4.37 4.83 4.90

    5.43 6.03

    5.37

    0.00

    2.00

    4.00

    6.00

    8.00

    P1T1 P1T2 P2T1 P2T2 P3T1 P3T2 Tin

    gk

    at

    Kes

    uk

    aan

    Perlakuan

  • Jurnal Keteknikan Pertanian 2012

    2. Aroma

    Pengaruh perlakuan proporsi tepung

    talas, tepung pisang dengan tepung kacang hijau

    dan kadar sorbitol terlihat pada rerata tingkat

    kesukaan aroma breakfast food talas yang

    berkisar antara 4.70 (suka) hingga 5.70 (sangat

    suka). Gambar 7 memperlihatkan hasil uji

    organoleptik aroma terhadap perlakuan pada

    breakfast food talas.

    Nilai kesukaan terendah pada perlakuan

    dengan komposisi tepung talas 100 gram, tepung

    pisang 40 gram , tepung kacang hijau 60 gram

    dan sorbitol 16 gram (P1T2). Nilai tertinggi

    diperoleh pada perlakuan P3T2 dengan

    komposisi tepung talas 100 gram, tepung pisang

    60 gram dengan tepung kacang hijau 40 gram

    dan ditambah sorbitol 8 gram. Nilai terendah,

    dikarenakan aroma pada komposisi P1T2

    dipengaruhi oleh tepung yang browning pada

    saat pembuatan adonan dilakukan. Selain itu,

    dipengaruhi juga karena aroma dari tepung talas

    maupun tepung kacang hijau yang kurang begiti

    kuat.

    Keterangan: perbandingan tepung talas : kacang hijau :

    pisang berturut-turut, adalah

    P1T1 = 50:30:20. Proporsi Sorbitol 4%

    P1T2 = 50:30:20. Proporsi Sorbitol 8%

    P2T2 = 50:25:25. Proporsi Sorbitol 4%

    P2T2 = 50:25:25. Proporsi Sorbitol 8%

    P3T1 = 50:20:30. Proporsi Sorbitol 4%

    P3T2 = 50:20:30. Proporsi Sorbitol 8%

    Gambar 7. Hasil Uji Aroma Terhadap Perlakauan

    Breakfast Food Talas

    3. Warna

    Sebagian dari panelis mengatakan

    bahwa warna dan rasa berbanding lurus, jika

    aroma produk breakfast food talas bagus maka

    rasanya juga enak. Gambar 8 memperlihatkan

    hasil uji organoleptik warna terhadap perlakuan

    breakfast food talas.

    Keterangan: perbandingan tepung talas : kacang hijau :

    pisang berturut-turut, adalah

    P1T1 = 50:30:20. Proporsi Sorbitol 4%

    P1T2 = 50:30:20. Proporsi Sorbitol 8%

    P2T2 = 50:25:25. Proporsi Sorbitol 4%

    P2T2 = 50:25:25. Proporsi Sorbitol 8%

    P3T1 = 50:20:30. Proporsi Sorbitol 4%

    P3T2 = 50:20:30. Proporsi Sorbitol 8%

    Gambar 8. Hasil Uji Warna Terhadap Perlakauan

    Breakfast Food Talas

    Berdasarkan Gambar 40, nilai rata-rata

    yang diperoleh berkisar antara 4.43-6.07 (suka-

    amat sangat suka). Nilai tertinggi pada formula

    P3T1 dengan komposisi tepung talas 100 gram,

    tepung pisang 60 gram, tepung kacang hijau 40

    gram dan sorbitol 8 gram. Sedangkan nilai rata-

    rata yang terendah terdapat pada perlakuan

    dengan komposisi 100 gram tepung talas, 40

    gram tepung pisang, 60 gram tepung kacang

    hijau dan sorbitol 16 gram (P1T2) .Pada

    perlakuan P1T2 memiliki warna yang tidak

    disukai dikarenakan pengaruh dari tepung

    kacang hijau yang agak browning dan suhu awal

    pemanasan dari oven yang digunakan, yaitu

    terlalu lama memanaskan oven dengan suhu

    yang tinggi.

    5.13 4.70 4.97 4.93 5.20 5.70

    0.00

    2.00

    4.00

    6.00

    P1T1 P1T2 P2T1 P2T2 P3T1 P3T2 Tin

    gkat

    Ke

    suka

    an

    Perlakuan

    4.43 4.87 5.17 5.43

    6.07 5.47

    0.00

    2.00

    4.00

    6.00

    8.00

    P1T1 P1T2 P2T1 P2T2 P3T1 P3T2 Tin

    gkat

    Ke

    suka

    an

    Perlakuan

  • Jurnal Keteknikan Pertanian 2012

    Perubahan warna selama reaksi maillard

    (browning) lebih lambat dari perubahan warna

    pada proses karamelisasi. Warna asli pada

    bahan tersebut mula-mula berubah menjadi

    warna keemasan, kemudian coklat kemerahan

    dan menjadi warna coklat gelap. Reaksi maillard

    (browning) tersebut dapat dipercepat dengan

    menaikkan temperaturnya. Reaksi maillard

    (browning) menghasilkan warna coklat yang

    diketahui sebagai melanoid.

    4. Kerenyahan

    Nilai kerenyahan tertinggi pada

    perlakuan P3T1 dengan proporsi tepung talas

    100 gram, tepung pisang 60 gram dan tepung

    kacang hijau sebanyak 40 gram, serta ditambah

    sorbitol 8 gram yaitu 5.43 (sangat renyah).

    Sedangkan nilai terendah terdapat pada

    perlakuan P2T2 dengan formulasi 100 gram

    tepung talas, 50 gram tepung pisang, 50 gram

    tepung kacang hijau dan sorbitol 16 gram yaitu

    4.10 (renyah).

    Keterangan: perbandingan tepung talas : kacang hijau :

    pisang berturut-turut, adalah

    P1T1 = 50:30:20. Proporsi Sorbitol 4%

    P1T2 = 50:30:20. Proporsi Sorbitol 8%

    P2T2 = 50:25:25. Proporsi Sorbitol 4%

    P2T2 = 50:25:25. Proporsi Sorbitol 8%

    P3T1 = 50:20:30. Proporsi Sorbitol 4%

    P3T2 = 50:20:30. Proporsi Sorbitol 8%

    Gambar 9. Hasil Uji Kerenyahan Terhadap Perlakauan

    Breakfast Food Talas

    Dari hasil yang didapatkan, diketahui

    bahwa tingkat kerenyahan tergantung dari

    kekeringan produk yang dihasilkan, semakin

    produk memiliki kadar air yang kecil, maka

    kerenyahannya akan semakin meningkat. Faridi

    (1994) menyatakan bahwa dari semua karakter

    mutu biskuit, yang paling penting adalah sifat

    kerenyahannya. Kerenyahan dinilai dari bunyi

    yang ditimbulkan saat produk dipatahkan,

    semakin tinggi daya patah pada produk maka

    akan menurunkan kerenyahan.

    Sorbitol mempunyai kemampuan dalam

    meningkatkan kerenyahan produk jenis breakfast

    food (puffed), seperti dijelaskan Hui (1992),

    bahwa campuran antara sorbitol atau manitol

    dengan lemak dalam bentuk sirup yang diaplikasi

    pada breakfast food akan menyebabkan produk

    itu tetap renyah ketika direndam dalam susu.

    Pemilihan Perlakuan Terbaik

    Dari hasil perhitungan perlakuan terbaik

    didapatkan kesimpulan nilai tertinggi pada

    formulasi 100 gram tepung talas, 60 gram tepung

    pisang, 40 gram tepung kacang hijau dan

    penambahan sorbitol sebesar 8 gram,

    menunjukkan bahwa pada perlakuan ini

    mendapatkan nilai produk terbaik dari parameter

    fisik dan sensorik. Perbandingan proporsi pati

    dengan protein pada breakfast food ini

    menghasilkan karakteristik yang disukai oleh

    para panelis. Breakfast food tersebut memiliki

    rasa sangat enak (6.03), aroma yang disukai

    (5.20), warna yang sangat disukai (6.07) dan

    kerenyahan yang sangat renyah (5.43). Breakfast

    food perlakuan terbaik ini telah memenuhi

    standart SNI 01-0222-1995 sehingga layak untuk

    dikonsumsi dan memenuhi nilai gizinya.

    4.87 4.73 4.23 4.10

    5.43 5.00

    0.00

    2.00

    4.00

    6.00

    P1T1 P1T2 P2T1 P2T2 P3T1 P3T2 Tin

    gkat

    Ke

    suka

    an

    Perlakuan

  • Jurnal Keteknikan Pertanian 2012

    Tabel 1. Hasil Parameter Perlakuan Terbaik dan

    Terburuk

    Parameter

    Breakfast food

    Perlakuan

    Terbaik

    Perlakuan

    Terburuk

    Sifat Fisik

    Kadar Air (%bb)

    Ekspansi Volume (/C)

    Densitas Kamba (g/ml)

    Koefisien Rehidrasi

    2.45

    0.0244

    0.216

    2.214

    2.733

    0.0238

    0.215

    2.212

    Sifat Sensorik (Skala 1-7)

    Rasa

    Aroma

    Warna

    Kerenyahan

    6.03

    5.20

    6.07

    5.43

    4.37

    5.13

    4.43

    4.87

    Mikrostruktur dengan SEM

    Banyak faktor yang mempengaruhi mutu

    suatu produk pangan, antara lain penampakan

    (ukuran, bentuk), warna, rasa dan tekstur.

    Tekstur berkaitan dengan mikrostruktur dari

    komponen penyusun produk. Munculnya SEM

    merupakan alat yang ampuh untuk ahli pangan

    guna meneliti struktur mikro permukaan

    makanan. Produk bakery merupakan sistem yang

    kompleks, karena melibatkan sejumlah besar

    ingredient. Selama pemasakan adonan kue,

    panas menyebabkan perubahan fisik dan kimia

    komponen sistem adonan. Perubahan akibat

    panas tersebut menghasilkan struktur dengan

    karakteristik tekstur, flavor dan aroma yang

    secara subyektif disukai (Wirakartakusuma et al.,

    1992).

    Analisa mikrostruktur dengan

    menggunakan SEM (Scanning Electron

    Microscope) dilakukan bertujuan untuk

    mengetahui bentuk granula produk breakfast

    food secara umum dan perubahan morfologi

    granula akibat perbedaan formulasi yang

    dilakukan. Analisa SEM yang dilakukan pada

    hanya pada produk dengan perlakuan yang

    terbaik dan terburuk, berdasarkan pada

    perhitungan pemilihan produk terbaik. Nilai

    terbaik yang didapatkan pada perlakuan P3T1

    dengan formulasi 100 gram tepung talas, 40

    gram tepung kacang hijau dan 60 gram tepung

    pisang dengan penambahan sorbitol sebesar 8

    gram (4%b/b), sedangkan pemilihan perlakuan

    yang terburuk dengan nilai yang terendah yaitu

    pada perlakuan P2T2 dengan formulasi tepung

    talas sebanyak 100 gram, tepung kacang hijau

    50 gram dan tepung pisang sebanyak 50 gram,

    serta penambahan sorbitol dengan kadar 16

    gram (8%b/b)

    Gambar 10. Hasil Pengamatan SEM Perlakuan

    Terburuk a dan Perlakuan Terbaik b.

    (a1, b1) perbesaran 250x : (a2, b2)

    perbesaran 1000x

    a1

    a2

    b1

    b2

  • Jurnal Keteknikan Pertanian 2012

    Gambar 11. Perbandingan ukuran diameter pori (a)

    Perlakuan Terburuk dengan rata-rata

    diameter pori 166.927m dan (b)

    Perlakuan Terbaik dengan rata-rata

    diameter pori 133.540m

    Gambar 10 terlihat bahwa granula pati

    sudah melebur menjadi satu dengan bahan-

    bahan lainnya, terlihat granula pati diselimuti

    (coating) oleh bahan-bahan lain tetapi masih

    terlihat granula-granula pati yang terpisah.

    Dengan proses pencampuran dalam pembuatan

    adonan, bahan-bahan lain yang digunakan untuk

    membuat adonan akan melapisi granula pati.

    Gambar 10b, menunjukka bahwa pati dalam

    adonan mengalami pengembangan dikarenakan

    pati ini menyerap air dari bahan-bahan lain

    Gambar 12. Bagian bagian struktur mikro breakfast

    food perlakuan terburuk perbesaran

    1000x

    Keterangan: (1) Rongga pori-pori ;(2)Granula pati

    yang diselubungi bahan lain ;(3)Komponen lain selain

    pati

    Gambar 13. Bagian bagian struktur mikro breakfast

    food perlakuan terbaik perbesaran 1000x

    Keterangan: (1) Rongga pori-pori ;(2)Granula pati

    yang diselubungi bahan lain ;(3)Komponen lain selain

    pati

    Permukaan partikel Gambar 10a1 terlihat

    kasar sedangkan Gambar 10b1 lebih halus,

    dikarenakan pada perlakuan terburuk lebih

    banyak terbentuk kerusakan pati daripada

    perlakuan terbaik. Berdasarkan Gambar 10

    didapat informasi terlihat disekitar agregat

    granula terdapat serpihan-serpihan granula pati.

    Menurut Arintorini (2002), selama perendaman

    pada saat proses pembuatan tepung oleh

    berbagai bahan baku terjadi leaching matriks

    protein dan komponen lainnya dari granula pati

    menyebabkan struktur partikel pada P3T1 lebih

    halus dan sedikit kerusakan pati.

    Be Miller dan Wishtler (1994)

    menyatakan pemanasan di atas suhu akhir akan

    menyebabkan dinding granula rusak sehingga isi

    granula terbebaskan ke medium dan

    menghasilkan pasta. Pada Gambar 10 terlihat

    bahwa perlakuan terburuk menunjukkan bahwa

    produk yang terbentuk memilik banyak rongga.

    a b

  • Jurnal Keteknikan Pertanian 2012

    Sedangkan pada perlakuan terbaik menghasilkan

    produk yang memiliki sedikit rongga dan

    permukaan yang tampak lebih halus karena

    sudah terbentuknya film dari tepung tapioka, hal

    ini berkaitan dengan suhu gelatanisasi dari

    tepung tapioka yang sudah mendekati sempurna.

    Selain itu, tampak protein dari putih telur yang

    bersifat hidrofilik yaitu albumin tersebar merata

    permukaan produk. Hal ini berkaitan dengan

    albumin yang hidrofilik dapat terdistribusi merata.

    Pengamatan hasil mikrostuktur yang

    dilakukan dengan SEM (Scanning Electron

    Microscope) mendukung analisa perhitungan

    yang dihasilkan dari parameter fisik lainnya.

    Rongga pada produk breakfast food

    mempengaruhi sifat rehidrasi yang dimiliki. Pada

    perlakuan terbaik memiliki sedikit rongga yang

    merata, hal tersebut mempengaruhi koefisien

    rehidrasi yang dihasilkan yaitu sebesar 2.212,

    sedangkan koefisien rehidrasi pada produk

    terburuk yaitu sebesar 2.259. Peningkatan

    koefisien rehidrasi yang terjadi, dikarenakan pada

    produk yang memiliki rongga pori yang besar

    namun tidak merata dapat menyerap air dalam

    jumlah besar dan cepat, sehingga menyebabkan

    proses rehidrasi yang terjadi menjadi meningkat,

    dibanding dengan produk yang memiliki rongga

    pori yang sedikit dan merata. Hal itu juga

    didukung dari ukuran diameter rata-rata rongga

    pori pada perlakuan terbaik sebesar 133.540 m,

    sedangkan pada perlakuan terburuk sebesar

    166,927 m. Perbedaan ukuran diameter rongga

    pori diduga adanya perbedaan pengaruh yang

    disebabkan oleh baking powder sebagai

    pengembang.

    KESIMPULAN

    Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini

    adalah:

    1. Hasil uji sensitifitas menunjukkan bahwa

    variasi rasio tepung komposit proporsi

    penambahan sorbitol memberikan pengaruh

    pada karakteristik fisik dan sensorik breakfast

    food. Parameter fisik yang dihasilkan yaitu

    kadar air (2.455bb-3.167%bb); ekspansi

    volume (0.0205-0.0244 cm/C); densitas

    (0.204-0.222g/ml); koefisien rehidrasi (2.181-

    2.259); mikrostruktur yang secara umum

    terlihat gelatanisasi sempurna. Parameter

    sensorik yang dimiliki yaitu rasa (4.37-6.03);

    aroma (4.70-5.70); warna (4.43-6.07) dan

    kerenyahan (4.10-5.43). Semakin besar

    penambahan sorbitol menyebabkan kadar air

    meningkat yang akan berpengaruh terhadap

    parameter lainnya.

    2. Pemilihan produk yang dapat diterima oleh

    panelis sesuai dengan metode pembobotan,

    yaitu terbaik dengan nilai (0.300) pada

    perlakuan dengan formulasi 100 gram tepung

    talas, 40 gram tepung kacang hijau dan 60

    gram tepung pisang serta penambahan

    sorbitol 8 gram. Perlakuan terbaik dapat

    diterima karena memiliki rasa yang sangat

    enak dan memiliki kadar air yang sangat

    rendah dari perlakuan yang lainnya.

    Karakteristik fisik yang didapatkan adalah

    kadar air sebesar 2.45%bb; ekspansi volume

    0.0244/C; densitas kamba 0.216g/ml dan

    koefisien rehidrasi sebesar 2.214. Sifat

    sensorik yaitu menghasilkan rasa yang

    sangat enak (0.603), aroma (5.20) dan warna

    (6.07) yang disukai panelis, dengan

    kerenyahan yang sangat renyah (5.43).

    2

  • Jurnal Keteknikan Pertanian 2012

    DAFTAR PUSTAKA

    Arintorini, MJ. Jani. 2002. Kajian Analisis

    Formulasi, Mikrostruktur dan Umur

    Simpan Produk Makanan Ringan

    Berbahan Dasar Ikan Kurisi

    (Nemipterus Tamboluoides). Tesis,

    Program Pasca Sarjana. IPB. Bogor

    BeMiller, H.D and RL. Whistler. 1994.

    Carbohydrates. di dalam: Fennema

    RO, editor. Food Chemistry. Marcel

    Dekker Inc. New York

    Desrosier. 1997. Teknologi Pengawetan Pangan.

    Terjemahan Muljoharjo. Penerbit

    Universitas Indonesia, Jakarta

    Faridi, H. 1994. The Science of Cooking and

    Crackre Production. Chapman and

    Hall. New York

    Hui. 1992. Encyclopedia of Food Science and

    Technology. John Willey and Sons Inc.

    Canada

    Muchtadi, T. 1992. Petunjuk Laboratorium

    Teknologi Pengolahan Pangan Nabati.

    PAU Pangan dan Gizi. Bogor

    Therik, F., S. A. Marliyati, dan L. N. Yulianti.

    2001. Pemanfaatan Tepung Talas

    Sebagai Bahan Subtitusi Tepung

    Terigu Dalam Pembuatan Cookies.

    Jurnal Media Gizi dan Keluarga 24

    (1):45-52

    Uswatun, Khasanah. 2003. Formulasi,

    Karakterisrik Fisiko-Kimia dan

    Organoleptik Produk Makanan

    Sarapan Ubi Jalar. Skripsi. Fakultas

    Teknologi Pertanian. Intitusi Pertanian

    Bogor IPB. Bogor

    Wirakartakusuma, M.A.A Abdullah dan A. M,

    Syarif. 1992. Sifat Fisik Pangan PAU

    Pangan dan Gizi IPB. Bogor

    Yohana, 2008. Karakteristik Fisiko-Kimia Produk

    Makanan Sarapan Talas. Skipsi

    Fakultas Teknologi Pertanian, Institut

    Pertanian Bogor 67 hal

  • Jurnal Keteknikan Pertanian 2012