analisis implementasi program promosi kesehatan …
TRANSCRIPT
ANALISIS IMPLEMENTASI PROGRAM PROMOSI KESEHATAN
TERHADAP PENANGGULANGAN PENYAKIT DIARE
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KUALA
KABUPATEN BIREUEN
TESIS
Oleh
TEUKU SYAHLIDIN
147032139/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISIS IMPLEMENTASI PROGRAM PROMOSI KESEHATAN
TERHADAP PENANGGULANGAN PENYAKIT DIARE
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KUALA
KABUPATEN BIREUEN
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes)
dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan
pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Oleh
TEUKU SYAHLIDIN
147032139
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Telah diuji
Pada tanggal : 20 Juni 2016
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M
Anggota : 1. dr. Heldy BZ, M.P.H
2. Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes
3. dr. Fauzi, S.K.M
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERNYATAAN
ANALISIS IMPLEMENTASI PROGRAM PROMOSI KESEHATAN
TERHADAP PENANGGULANGAN PENYAKIT DIARE
DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KUALA
KABUPATEN BIREUEN
T E S I S
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesajarnaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Juni 2016
(Teuku Syahlidin)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i
ABSTRAK
Diare dapat menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit terutama
natrium dan kalium. Berdasarkan laporan Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen
penderita diare pada anak setiap tahun bertambah terus tahun 2014 sebanyak 445
anak sedangkan pada tahun 2015 sebanyak 505 anak. Tujuan penelitian adalah untuk
mengetahui implementasi program promosi kesehatan dalam penanggulangan diare di
Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen tahun 2016.
Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian ini
adalah diwilayah kerja Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen. Penelitian ini
dilaksanakan mulai dari bulan Februari sampai dengan Juni 2016. Subjek penelitian
menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama
proses penelitian. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam kepada
informan (indepth interview) dan Observasi lapangan, sedangkan data sekunder
diperoleh dengan studi dokumentasi dan kegiatan observasi di Puskesmas.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi program promosi
kesehatan di Puskesmas Kuala telah dilaksanakan dengan mengintegrasikan
kegiatannya kedalam program setiap unit-unit kerja pelayanan di Puskesmas Kuala.
Penanggulangan kasus diare diwilayah Puskesmas Kuala dilaksanakan melalui
pendekatan promosi kesehatan. Sarana promosi kesehatan di Puskesmas Kuala masih
sangat minim dan terbatas khususnya media untuk penanggulangan diare. Akibatnya
pemahaman masyarakat tentang diare masih sangat kurang, disebabkan karena
metode penyuluhan yang digunakan petugas tidak efektif.
Saran penelitian, diharapkan Puskesmas Kuala dapat merencanakan program
promosi kesehatan dengan berkoordinasi antar unit program sehingga tidak terjadi
perencanaan ganda, meningkatkan kerjasama lintas program dan sektoral untuk
menanggulangi penyakit diare, petugas kesehatan sebaiknya menggunakan media
promosi kesehatan yang dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
masyarakat tentang diare.
Kata Kunci : Program Promosi Kesehatan, Penanggulangan Diare, Sarana
Promosi Kesehatan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ii
ABSTRACT
Diarrhea can reduce water and electrolyte content, especially sodium and
potassium. Kuala Puskesmas, Bireuen Regency, reported that child patients suffered
from diarrhea increased each year: 445 children in 2014 and 505 children in 2015.
The objective of the research was to find out the implementation of health promotion
program in handling diarrhea at Kuala Puskesmas, Bireuen Regency, in 2016.
The research used qualitative method. It was conducted in the working area
of Kuala Puskesmas, Bireuen Regency, from February until June, 2016. The research
subjects were informants who provided information during the research process.
Primary data were gathered through in-depth interviews with informants and field
observation, while secondary data were obtained from documentary study and
observation at the Puskesmas.
The result of the research showed that the health promotion program at Kuala
Puskesmas had been implemented by integrating it into each working unit at the
Puskesmas. Diarrhea in the working area of Kuala Puskesmas was handled through
health promotion approach. The facility of health promotion, especially in media, at
Kuala Puskesmas was inadequate and limited in handling diarrhea. In consequence,
people lacked of understanding due to ineffective counseling.
It is recommended that Kuala Puskesmas plan health promotion program by
carrying out cross-sectoral program collaboration by using health promotion media
which can increase people’s knowledge and understanding about diarrhea.
Keywords: Health Promotion Program, Diarrhea Handling, Health Promotion
Facility
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Allah dan kepada Junjungan Rasullulah SAW atas
rahmatnya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul ANALISIS
IMPLEMENTASI PROGRAM PROMOSI KESEHATAN TERHADAP
PENANGGULANGAN PENYAKIT DIARE DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS KUALA KABUPATEN BIREUEN.
Dalam penulisan tesis ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih
kepada :
1. Bapak Prof.Dr. Runtung, SH.,M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara
2. Ibu Prof.Dr.Dra.Ida Yustina, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
3. Ibu Prof. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
4. Bapak Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M, selaku ketua Komisi Pembimbing
yang telah banyak membantu mengarahkan penulis untuk penyelesaian tesis ini
5. Bapak dr. Heldy BZ., M.P.H, selaku anggota Komisi Pembimbing yang
memberikan saran perbaikan penulisan tesis ini
6. Bapak Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes dan Bapak dr. Fauzi, S.K.M, selaku Komisi
Penguji yang memberikan kritik dan masukan penulisan tesis ini
7. Bapak/ibu yang telah berpartisipasi dan bersedia menjadi informan penelitian ini
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iv
8. Bapak/ibu Dosen Program Studi S2 IKM dan seluruh Staf Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu
9. Rekan-rekan mahasiswa S2 peminatan AKK stambuk 2014 yang memberikan
dukungan kepada penulis
10. Teristimewa buat istriku tercinta Nurlian dan anak-anakku tersayang Cut Kanza
Lindia Sari, Teuku Syauqi Amalul dan Cut Syabilla Ghahitsa yang selalu setia
mendoakan dan mendampingi saya untuk menyelesaian tesis ini.
Semoga Allah memberikan rahmat dan ridhonya bagi kita dan bagi semua
pihak yang telah membantu. Akhirnya penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dan kelemahan dalam penulisan tesis ini, untuk itu penulis mengharapkan
kritik dan saran untuk penyempurnaannya.
Medan, Juni 2016
Penulis,
Teuku Syahlidin
147032139/IKM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
v
RIWAYAT HIDUP
N a m a : Teuku Syahlidin
Tempat/tanggal lahir : Meureudu, 5 Desember 1977
Agama : Islam
Alamat : Jl.Tgk.Nyak abi, Dusun Aman Desa Pulokiton Kecamatan Kota
Juang Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh
Riwayat pendidikan : 1. Sekolah Dasar Negeri No.05 Meureudu tahun 1989
2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Meureudu tahun 1992
3. Akademi Kesehatan Lingkungan Jabal Ghafur Aceh tahun 1999
4. S-1 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Serambi Mekah
Banda Aceh tahun 2014
5. Mahasiswa S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat USU tahun 2014
Riwayat pekerjaan : 1. Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kabupaten Bireuen tahun 2006
sampai dengan sekarang.
2. Koordinator Unit Pencegahan Penyakit Menular (P2M)
Puskesmas Kuala Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen
3. Koordinator Unit Kesehatan Lingkungan Puskesmas Kuala
Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen
4. Staf Puskesmas Kuala Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen
sampai dengan saat ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vi
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ......................................................................................................... i
ABSTRACT ........................................................................................................ ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................... v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. viii
GAMBAR GAMBAR ....................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... x
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar belakang ............................................................................. 1
1.2 Pertanyaan Penelitian .................................................................. 8
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................... 8
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................... 9
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 10
2.1 Promosi Kesehatan ...................................................................... 10
2.1.1 Strategi Promosi Kesehatan ................................................ 10
2.1.2 Sumber Daya Manusia Kesehatan ...................................... 17
2.2 Metode dan Media Promosi Kesehatan ....................................... 18
2.2.1 Metode Promosi Kesehatan ................................................ 18
2.2.2 Media Promosi Kesehatan .................................................. 20
2.3 Kegiatan Promosi Kesehatan ....................................................... 21
2.3.1 Kegiatan Promkes dalam gedung Puskesmas..................... 21
2.3.2 Kegiatan Promkes diluar gedung Puskesmas ..................... 22
2.4 Mutu Program Kesehatan ............................................................ 23
2.5 Penyakit Diare ............................................................................. 27
2.5.1 Gejala Diare ........................................................................ 31
2.5.2 Pencegahan Penyakit Diare ................................................ 32
2.6 Landasan Teori ............................................................................ 39
2.7 Kerangka Pikir Penelitian ............................................................ 40
BAB 3. METODE PENELITIAN ................................................................... 43
3.1 Jenis Penelitian ............................................................................ 43
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ....................................................... 43
3.2.1 Lokasi Penelitian ................................................................ 43
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vii
3.2.2 Waktu Penelitian ................................................................ 44
3.3 Sumber informasi (informan) ...................................................... 44
3.4 Metode Pengumpulan Data ......................................................... 45
3.4.1 Teknik Pengumpulan Data ................................................. 45
3.4.2 Triangulasi Data ................................................................. 46
3.5 Analisa Data ................................................................................ 46
BAB 4. HASIL PENELITIAN ........................................................................ 48
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ......................................................... 48
4.1.1 Letak dan Batas wilayah ..................................................... 48
4.1.2 Data Demografi .................................................................. 49
4.2 Fasilitas Puskesmas Kuala ........................................................... 50
4.3 Data Penyakit Umum Puskesmas Kuala ..................................... 50
4.4 Karakteristik Informan ................................................................ 51
4.5 Implementsi Program Promosi Kesehatan di PKM Kuala .......... 52
4.6 Pelaksanaan Penanggulangan Diare di PKM Kuala .................... 54
4.7 Sarana Promosi Kesehatan di PKM Kuala .................................. 58
BAB 5. PEMBAHASAN .................................................................................. 61
5.1 Analisis Implementasi Program Promosi Kesehatan di
Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2016 ......................... 61
5.2 Analisis Pelaksanaan Penanggulangan Diare di Puskesmas Kuala
Kabupaten Bireuen Tahun 2016 ...................................................... 66
5.3 Analisis Sarana Promosi Kesehatan dalam Penanggulangan Diare
di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2016 ..................... 73
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 78
6.1 Kesimpulan .................................................................................. 78
6.2 Saran ............................................................................................ 79
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 80
LAMPIRAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
viii
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
4.1 Distribusi Penduduk Kecamatan Kuala ....................................................... 49
4.3 Karakteristik Informan................................................................................. 51
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ix
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
2.1 Kerangka Pikir Penelitian ............................................................................ 40
4.3 Data Penyakit Umum di Puskesmas Kuala ................................................. 50
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
x
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Surat survey pendahuluan .............................................................................. 81
2. Surat izin penelitian ....................................................................................... 82
3. Surat rekomendasi izin penelitian .................................................................. 83
4. Surat Keterangan selesai melaksanakan Penelitian ....................................... 84
5. Foto kegiatan pengumpulan data penelitian................................................... 85
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Diare menyebabkan kehilangan banyak cairan dan elektrolit melalui feces.
Kelainan yang mengganggu penyerapan di usus halus cenderung menyebabkan diare,
sedangkan kelainan penyerapan di usus besar lebih jarang menyebabkan diare. Pada
dasarnya semua diare merupakan gangguan transportasi larutan. Gejala klinis sesuai
dengan derajat atau banyaknya kehilangan cairan. Bila dilihat dari banyaknya cairan
yang hilang, derajat dehidrasi dapat dibagi berdasarkan kehilangan berat badan.
Berdasarkan kehilangan berat badan, dehidrasi ada empat kategori, yaitu tidak ada
dehidrasi (bila penurunan berat badan 2,5%), dehidrasi ringan (bila terjadi penurunan
berat badan 2-5%), dehidrasi sedang (bila penurunan berat badan 5-10%), dan
dehidrasi berat bila terjadi penurunan berat badan 10% (Sodikin, 2011).
Penyakit diare masih menjadi suatu momok yang menakutkan bagi rakyat di
Indonesia. Tingginya kasus diare tidak terlepas dari masih buruknya sanitasi
lingkungan dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ( PHBS) yang masih sering
dilupakan. Kementerian Kesehatan RI telah memprioritaskan pembangunan
kesehatan dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan dengan prioritas
pembangunan kesehtan terpusat kepada pengendalian penyakit menular dan penyakit
tidak menular diikuti penyehatan lingkungan serta promosi kesehatan.
1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
Besarnya masalah diare untuk negara Indonesia dapat dilihat dari masih
tingginya morbiditas diare yang disertai KLB bahkan sering disertai dengan kematian
di Indonesia. Menurut hasil Riskesdas 2007, diare merupakan penyebab kematian
nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada balita (25,2%), sedangkan pada golongan
semua umur merupakan penyebab kematian yang ke-empat (13,2%). Pada tahun 2012
angka kesakitan diare pada semua umur sebesar 214 per 1.000 penduduk dan angka
kesakitan diare pada balita 900 per 1.000 penduduk (Kemenkes, 2014).
Menurut data Riskesdas 2013, insiden diare (≤ 2 minggu terakhir sebelum
wawancara) berdasarkan gejala sebesar 3,5% (kisaran provinsi 1,6%-6,3%) dan
insiden diare pada balita sebesar 6,7% (kisaran provinsi 3,3%-10,2%). Untuk period
prevalence diare (>2 minggu-1 bulan terakhir sebelum wawancara) berdasarkan
gejala sebesar 7% ( Kemenkes, 2014). Pada tahun 2013 terjadi 8 KLB yang tersebar
di 6 Propinsi, 8 kabupaten dengan jumlah penderita 646 orang dengan kematian 7
orang atau Case Fatality Rate (CFR 1,08%). Sedangkan pada tahun 2014 terjadi 6
KLB Diare yang tersebar di 5 propinsi, 6 kabupaten/kota, dengan jumlah penderita
2.549 orang dengan kematian 29 orang (CFR 1,13%). Secara nasional angka
kematian (CFR) pada KLB diare pada tahun 2014 sebesar 1,13%. Sedangkan target
CFR pada KLB Diare diharapkan <1%. Dengan demikian secara nasional, CFR KLB
diare tidak mencapai target program ( Kemenkes, 2014).
Setiap tahunnya terjadi peningkatan kasus diare di provinsi Aceh, hal ini dapat
dilihar dari laporan kasus diare tahun 2013 kasus diare di Provinsi Aceh sebanyak
99.304 kasus dan pada tahun 2014 sebanyak 101.258 dan meningkat pada tahun 2015
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
dengan kasus diare sebanyak 182.322 kasus dengan kasus yang ditangani sebanyak
116.058 (63%). Tingginya kasus diare di Provinsi Aceh tidak terlepas dari program
pengendalian dan pencegahan diare yang tidak berjalan dengan efektif dan efesien
sehingga kasus diare terus meningkat pada setiap tahunnya.
Menurut Data Kemenkes tahun 2014 yang menunjukkan bahwa Provinsi
Aceh menjadi salah satu provinsi yang memiliki penemuan kasus diare yang yang
cukup tinggi di Indonesia dengan perkiraan kasus diare di fasilitas kesehatan
sebanyak 101.258 kasus. Hal ini menjadikan Provinsi Aceh menjadi provinsi dengan
urutan ke 12 tertinggi kasus diare di Indonesia dibawah Provinsi Papua, Provinsi
Sulawesi Tengah, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah,
Provinsi Jawa Barat, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Lampung, Provinsi Sumatera
Selatan, Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera Barat.
Program penanggulangan Diare di Provinsi Aceh sangat minim sekali, hal ini
tidak terlepas dari masih minimnya Petugas Promosi Kesehatan di Dinas Kesehatan
Provinsi Aceh dan metode yang digunakan untuk melakukan penyuluhan masih
konvensional sehingga masyarakat masih belum memiliki pengetahuan yang cukup
untuk merubah berbagai kebiasaan yang berkaitan dengan penanggulangan diare.
Petugas kesehatan yang sebenarnya memiliki tugas berkaitan dengan penyakit diare
juga enggan melakukann kegiatan promosi kesehatan karena mereka menganggap
bahwa promosi kesehatan itu hanya dilakukan oleh bidang promosi kesehatan saja
sedangkan mereka hanya terfokus dengan kegiatan dan program yang menurut
mereka menjadi tugas pokok mereka seperti bidang kesehatan lingkungan, petugas
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4
Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan petugas surveilens. Kepercayaan masyarakat
Aceh tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang masih rendah juga turut
berperan dalam meningkatkan terjadinya penyakit diare di provinsi Aceh seperti
perilaku mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, Buang Air Besar (BAB) di
jamban juga masih minim, pemberian ASI Ekslusif juga tidak signifikan, konsumsi
air bersih yang minim serta tidak memasak air minum. Strategi promosi kesehatan
juga telah diupayakan oleh Pemerintah Provinsi Aceh seperti menjalin kerjasama
dengan LSM lokal dan luar negeri untuk membangun tempat cuci tangan di sekolah,
membangun jamban dan sanitasi air bersih melalui program Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat (STBM) namun tetap kepercayaan dan kebiasaan masyarakat belum
banyak berubah yang berdampak masih banyaknya kasus kejadian penyakit Diare di
Provinsi Aceh.
Kabupaten Bireuen merupakan salah satu daerah penyumbang kasus diare
yang tinggi untuk Provinsi Aceh. Berdasarkan Data Profil Provinsi Aceh tahun 2015
menunjukkan bahwa Kabupaten Bireuen menjadi Kabupaten dengan kasus diare
tertinggi kedua di Provinsi Aceh dengan jumlah perkiraan kasus sebanyak 16.844 dan
Kabupaten Pidie sebagai kabupaten dengan kasus diare tinggi di Provinsi Aceh yaitu
sebanyak 12.949 kasus diare (Profil Kesehatan Provinsi Aceh, 2015).
Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen merupakan salah satu Puskesmas
terbesar di Kabupaten Bireuen dengan jumlah wilayah kerja 20 desa. Puskesmas
Kuala Kabupaten Bireuen merupakan Puskesmas yang memiliki wilayah kerja pesisir
dan menjadi daerah yang rawan banjir serta memiliki banyak rawa, tambak serta
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5
persawahan. Penduduk di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen masih sangat banyak
yang Buang Air Besar ( BAB) sembarangan seperti BAB di pinggir laut, aliran sungai
dan tambak padahal penduduk di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen sebahagian
besar masih mengkonsumsi air sungai dan sumur gali sebagai sumber air minum,
ketika akan makan sering tidak mencuci tangan dengan sabun, pemberian ASI
ekslusif juga masih rendah.
Berdasarkan hasil laporan Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen penderita
diare pada anak setiap tahun bertambah terus yaitu: pada tahun 2013 penderita
penyakit diare pada anak 0 – 5 tahun adalah 329 anak, tahun 2014 sebanyak 445 anak
sedangkan pada tahun 2015 sebanyak 505 anak. Berdasarkan data tersebut
menunjukkan peningkatan setiap tahunnya, walaupun belum ada laporan sampai
meninggal. Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Kuala Kabupaten
Bireuen tahun 2015 yang menunjukkan bahwa Persediaan air bersih (PAB) di
wilayah kerja Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen menggunakan Perusahaan Air
Minum (PAM) dan sumur gali (SGL), dari 34.082 Kepala Keluarga (KK) yang
diperiksa Persediaan air bersih (PAB), sebesar 29,84% (10.171 KK) menggunakan
PAM, sebesar 70,16% (23.911 KK) menggunakan sumur gali (SGL) dan dari 33.175
KK yang diperiksa Jamban Keluarga (JAGA), sebesar 88,75% (29.441 KK)
menggunakan jamban leher angsa, sebesar 11,26% (3.734 KK) menggunakan Water
Closed (WC) cemplung.
Pengendalian penyakit diare dapat dilakukan dengan pemeliharaan sanitasi
lingkungan dan promosi kesehatan. Salah satu usaha untuk mengendalikan penyakit
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
diare adalah dengan melakukan promosi kesehatan yaitu segala usaha yang dilakukan
yang dapat berpengaruh terhadap peningkatan kesehatan. Strategi promosi kesehatan
menurut Notoadmodjo (2012) yaitu pemberdayaan, bina suasana dan advokasi.
Kegiatan promosi kesehatan dapat berupa pendidikan, perubahan lingkungan yang
mendukung peningkatan kesehatan, legislasi, ataupun perubahan pada norma-norma
sosial.
Hasil penelitian Rahmawati (2008) menunjukkan bahwa tingginya kejadian
diare pada bayi berusia dibawah dua tahun di Kecamatan Piyungan Kabupaten Bantul
tidak terlepas dari program promosi kesehatan tentang diare tidak berjalan maksimal,
masyarakat belum melihat adanya hubungan antara kejadian diare yang mereka
rasakan dengan perilaku mereka yang sangat buruk berkaitan dengan PHBS dan
sanitasi. Hasil penelitian sejalan diungkapkan Tangka (2014) bahwa kejadian diare
yang terjadi di Puskesmas Bintauna Kabupaten Bolang Mongondow tidak terlepas
dari program promosi kesehatan yang tidak berjalan secara optimal sehingga
pengetahuan masyarakat tentang penggunaan air bersih, pengolahan air yang baik
masih minim sehingga mereka konsumsi air yang kurang baik.
Program promosi kesehatan tentang diare yang direncanakan memiliki tujuan
untuk mengendalikan kejadian diare, hal ini tidak terlepas dari sanitasi lingkungan
kita yang masih buruk dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ( PHBS) yang tidak
dilaksanakan. Terdapat berbagai macam tanggapan dan penerimaan yang berbeda
dimasyarakat yang berkaitan dengan penyakit diare maupun pencegahan penyakit
diare di masyarakat. Beberapa hal yang berkaitan dengan latar belakang pendidikan,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
sosial budaya, dan ekonomi menyebabkan terjadinya bermacam pengertian, sikap dan
tanggapan dan penerimaan masyarakat terhadap diare, kepadatan penduduk yang
tinggi, higiene dan sanitasi yang buruk mempertinggi kejadian diare. Faktor-faktor
tersebut mempermudah penyebaran atau penularan penyakit diare.
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Kuala
Kabupaten Bireuen bahwa untuk mengatasi peningkatan kasus diare di wilayah kerja
Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen telah dilakukan kegiatan promosi kesehatan
berupa penyuluhan untuk menanggulangi penyakit diare yang terjadi, namun kejadian
diare masih tetap tinggi di wilayah kerja Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.
Petugas kesehatan yang memegang program promosi kesehatan di Puskesmas Kuala
Kabupaten Bireuen melakukan promosi kesehatan tentang diare kepada ibu balita
khususnya ketika diadakan Posyandu di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen namun
penyuluhan ini hanya dilakukan oleh bidang Promosi Kesehatan Puskesmas Kuala
Kabupaten Bireuen karena bidang lainnya yang terkait dengan kejadian diare
cenderung tidak memberikan penyuluhan kepada ibu balita seperti bidang kesehatan
lingkungan, bidang Kesehatan Ibu dan Anak ( KIA) dan bidang surveilens.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
1.2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian yaitu :
1. Bagaimana implementasi program promosi kesehatan di Puskesmas Kuala
Kabupaten Bireuen tahun 2016?
2. Bagaimana pelaksanaan promosi kesehatan dalam menanggulangi penyakit diare
di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen tahun 2016?
3. Bagaimana sarana promosi kesehatan dalam mendukung penanggulangan diare
di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen tahun 2016?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui implementasi program promosi kesehatan di Puskesmas
Kuala Kabupaten Bireuen tahun 2016.
2. Untuk mengetahui upaya promosi kesehatan dalama menanggulangi kejadian
diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen tahun 2016.
3. Untuk mengetahui sarana promosi kesehatan di Puskesmas Kuala Kabupaten
Bireuen tahun 2016.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain :
1. Memperoleh masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen untuk dapat
meningkatkan kinerja program promosi kesehatan dalam penanggulangan
penyakit diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.
2. Mendapatkan gambaran tentang kebutuhan masyarakat akan program promosi
penanggulangan penyakit diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.
3. Menjadi bahan penyusun program promosi kesehatan untuk pencegahan diare
pada anak di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.
4. Menjadi tambahan informasi yang akan memperkaya kajian dalam ilmu
Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Promosi Kesehatan
Menurut Piagam Ottawa (1986) promosi kesehatan merupakan suatu proses
yang bertujuan memungkinkan individu meningkatkan kontrol terhadap
kesehatannya. Demi mencapai derajat kesehatan yang sempurna, baik dari fisik,
mental, maupun sosial, masyarakat harus mampu mengenal dan mewujudkan aspirasi
dan kebutuhannya dan mampu mengubah atau mengatasi lingkungannya
(Notoatmodjo, 2012).
Menurut Green dan Ottoson (1998) promosi kesehatan adalah kombinasi
berbagai dukungan menyangkut pendidikan, organisasi, kebijakan dan peraturan
perundang-undangan untuk perubahan lingkungan dan perilaku yang menguntungkan
kesehatan. Batasan ini menekankan bahwa promosi kesehatan adalah program
masyarakat yang menyeluruh, bukan hanya perubahan perilaku, melainkan juga
perubahan lingkungan. Perubahan perilaku tanpa diikuti perubahan lingkungan tidak
akan efektif dan juga dapat dipastikan tidak akan bertahan lama (Maulana, 2009).
2.1.1 Strategi Promosi Kesehatan
Committee on Health Education and Promotion Terminology yang dikutip
oleh McKenzie (2007) menyatakan bahwa promosi kesehatan sebagai kombinasi
terencana apapun dari mekanisme pendidikan, politik, lingkungan, peraturan, maupun
mekanisme organisasi yang mendukung tindakan dan kondisi kehidupan yang
10
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
kondusif untuk kesehatan individu, kelompok dan masyarakat. Pada Kebijakan
Nasional Promosi Kesehatan disebutkan bahwa promosi kesehatan adalah upaya
untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk,
dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta
mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya
setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.
Melakukan promosi kesehatan tidak terlepas dari perilaku. Perilaku tidak
hanya menyangkut dimensi kultural yang berupa sistem nilai dan norma, melainkan
juga dimensi ekonomi .Sistem nilai dan norma merupakan rambu-rambu bagi
seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sistem nilai dan norma
“dibuat” oleh masyarakat untuk dianut oleh individu-individu anggota masyarakat
tersebut. Namun demikian sistem nilai dan norma, sebagai sistem sosial, adalah
sesuatu yang dinamis. Artinya, sistem nilai dan norma suatu masyarakat akan
berubah mengikuti perubahan-perubahan lingkungan dari masyarakat yang
bersangkutan (Depkes RI, 2007).
Hasil Konferensi Internasional ke-4 tentang Promosi kesehatan, yang dikutip
oleh Liliweri (2007), menyatakan bahwa prioritas promosi kesehatan dalam abad 21
adalah: (1). Mempromosikan tanggung jawab sosial bagi kesehatan; (2).
Meningkatkan modal untuk pengembangan kesehatan; (3). Konsolidasi dan perluasan
kemitraan untuk kesehatan; (4) Meningkatkan kapasitas komunitas dan memperkuat
individu dan; (5) Melindungi keamanan infrastruktur promosi kesehatan. Hal ini
sejalan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
1193/Menkes/SK/X/2004 tentang Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan dan Surat
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1114/Menkes/SK/II/2005 tentang Pedoman
Promosi Kesehatan di Daerah, strategi dasar promosi kesehatan adalah
pemberdayaan, bina suasana, advokasi serta dijiwai semangat, kemitraan.
Promosi kesehatan diharapkan dapat melaksanakan strategi yang bersifat
paripurna (komprehensif), khususnya dalam menciptakan perilaku baru. Kebijakan
Nasional Promosi Kesehatan telah menetapkan tiga strategi dasar promosi kesehatan,
yaitu (1) advokasi, (2) gerakan pemberdayaan masyarakat dan, (3) bina suasana, yang
diperkuat oleh kemitraan serta metode dan sarana komunikasi yang tepat (Depkes RI,
2007).
Menurut Notoadmodjo (2012) yang mengutip pendapat Hopkins, defenisi
advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui bermacam-
macam bentuk komunikasi persuasif. Advokasi dapat diartikan sebagai upaya atau
proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari
pihak-pihak yang terkait (stakeholders). Berbeda dengan bina suasana, advokasi
diarahkan untuk menghasilkan dukungan yang berupa kebijakan (misalnya dalam
bentuk peraturan perundang-undangan), dana, sarana dan lain-lain sejenis.
Stakeholders yang dimaksud bisa berupa tokoh masyarakat formal yang
umumnya berperan sebagai penentu kebijakan pemerintahan dan penyandang dana
pemerintah. Juga dapat berupa tokoh-tokoh masyarakat informal seperti tokoh agama,
tokoh adat dan lain-lain yang umumnya dapat berperan sebagai penentu “kebijakan”
(tidak tertulis) di bidangnya. Tidak boleh dilupakan pula tokoh-tokoh dunia usaha,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
yang diharapkan dapat berperan sebagai penyandang dana non-pemerintah
(Puspromkes Depkes, 2006). Strategi advokasi dilakukan dengan melalui
pengembangan kebijakan yang mendukung pembangunan kesehatan melalui
konsultasi pertemuan-pertemuan dan kegiatan-kegiatan lain kepada para pengambil
keputusan baik kalangan pemerintah, swasta maupun pemuka masyarakat
(Notoatmodjo, 2012).
Bina Suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang
mendorong individu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang
diperkenalkan. Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila
lingkungan sosial di mana pun ia berada (keluarga di rumah, orang-orang yang
menjadi panutan/ idolanya, kelompok arisan, majelis agama dan lain-lain dan bahkan
masyarakat umum) memiliki opini yang positif terhadap perilaku tersebut. Oleh
karena itu, untuk mendukung proses Pemberdayaan Masyarakat, khususnya dalam
upaya mengajak para individu meningkat dari fase tahu ke fase mau, perlu dilakukan
Bina Suasana (Depkes RI, 2006). Pada pelaksanaannya terdapat tiga pendekatan
dalam Bina Suasana, yaitu (1) Pendekatan Individu, (2) Pendekatan Kelompok, dan
(3) Pendekatan Masyarakat Umum (Depkes RI, 2007), dengan penjelasan sebagai
berikut:
a. Bina Suasana Individu, ditujukan kepada individu tokoh masyarakat. Melalui
pendekatan ini diharapkan mereka akan menyebarluaskan opini yang positif
terhadap perilaku yang sedang diperkenalkan. Mereka juga diharapkan dapat
menjadi individu-individu panutan dalam hal perilaku yang sedang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
diperkenalkan dengan bersedia atau mau mempraktikkan perilaku yang
sedang diperkenalkan tersebut misalnya seorang pemuka agama yang rajin
melaksanakan 3 M yaitu Menguras, Menutup dan Mengubur demi mencegah
munculnya wabah demam berdarah. Lebih lanjut bahkan dapat diupayakan
agar mereka bersedia menjadi kader dan turut menyebarluaskan informasi
guna menciptakan suasana yang kondusif bagi perubahan perilaku individu.
b. Bina Suasana Kelompok, ditujukan kepada kelompok-kelompok dalam
masyarakat, seperti pengurus Rukun Tetangga (RT), pengurus Rukun Warga
(RW), kelompok keagamaan, perkumpulan seni, organisasi profesi, organisasi
wanita, organisasi siswa/mahasiswa, organisasi pemuda, dan lain-lain.
Pendekatan ini dapat dilakukan oleh dan atau bersama-sama dengan
pemuka/tokoh masyarakat yang telah peduli. Diharapkan kelompok-kelompok
tersebut menjadi peduli terhadap perilaku yang sedang diperkenalkan dan
menyetujui atau mendukungnya. Bentuk dukungan ini dapat berupa kelompok
tersebut lalu bersedia juga mempraktikkan perilaku yang sedang
diperkenalkan, mengadvokasi pihak-pihak yang terkait, dan atau melakukan
kontrol sosial terhadap individu-individu anggotanya.
c. Bina Suasana Masyarakat Umum, dilakukan terhadap masyarakat umum
dengan membina dan memanfaatkan media-media komunikasi, seperti radio,
televisi, koran, majalah, situs internet, dan lain-lain, sehingga dapat tercipta
pendapat umum. Dengan pendekatan ini diharapkan media-media massa
tersebut menjadi peduli dan mendukung perilaku yang sedang diperkenalkan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
Suasana atau pendapat umum yang positif ini akan dirasakan pula sebagai
pendukung atau “penekan” (social pressure) oleh individu-individu anggota
masyarakat, sehingga akhirnya mereka mau melaksanakan perilaku yang
sedang diperkenalkan. Strategi bina suasana dilakukan melalui: (1)
Pengembangan potensi budaya masyarakat dengan mengembangkan kerja
sama lintas sektor termasuk organisasi kemasyarakatan, keagamaan, pemuda,
wanita serta kelompok media massa; dan (2) Pengembangan penyelenggaraan
penyuluhan, mengembangkan media dan sarana, mengembangkan metode dan
teknik serta hal-hal lain yang mendukung penyelenggaraan penyuluhan.
Pemberdayaan adalah proses pemberian informasi secara terus-menerus dan
berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu sasaran,
agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek
knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude) dan dari mau menjadi mampu
melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice) (Notoatmodjo, 2012).
Sasaran utama dari pemberdayaan adalah individu dan keluarga, serta
kelompok masyarakat. Dalam mengupayakan agar seseorang tahu dan sadar,
kuncinya terletak pada keberhasilan membuat orang tersebut memahami bahwa
sesuatu (misalnya diare) adalah masalah baginya dan bagi masyarakatnya. Sepanjang
orang yang bersangkutan belum mengetahui dan menyadari bahwa sesuatu itu
merupakan masalah, maka orang tersebut tidak akan bersedia menerima informasi
apa pun lebih lanjut. Manakala ia telah menyadari masalah yang dihadapinya, maka
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
kepadanya harus diberikan informasi umum lebih lanjut tentang masalah yang
bersangkutan (Depkes RI, 2007).
Perubahan dari tahu ke mau pada umumnya dicapai dengan menyajikan fakta-
fakta dan mendramatisasi masalah. Tetapi selain itu juga dengan mengajukan harapan
bahwa masalah tersebut bisa dicegah dan atau diatasi. Di sini dapat dikemukakan
fakta yang berkaitan dengan para tokoh masyarakat sebagai panutan; misalnya
tentang seorang tokoh agama yang dia sendiri dan keluarganya tak pernah terserang
diare karena perilaku yang dipraktikkannya (Depkes RI, 2007).
Bilamana sasaran sudah akan berpindah dari mau ke mampu melaksanakan,
boleh jadi akan terkendala oleh dimensi ekonomi. Dalam hal ini kepada yang
bersangkutan dapat diberikan bantuan langsung, tetapi yang seringkali dipraktikkan
adalah dengan mengajaknya ke dalam proses pengorganisasian masyarakat
(community organization) atau pembangunan masyarakat (community development).
Pemberdayaan akan lebih berhasil jika dilaksanakan melalui kemitraan serta
menggunakan metode dan teknik yang tepat. Pada saat ini banyak dijumpai Lembaga-
lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan atau peduli
terhadap kesehatan. LSM ini harus digalang kerjasamanya, baik di antara mereka
maupun antara mereka dengan pemerintah, agar upaya pemberdayaan masyarakat
dapat berdayaguna dan berhasilguna (Depkes, 2007).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
2.1.2. Sumber Daya Promosi Kesehatan
Sumber daya utama yang diperlukan untuk penyelengaraan promosi kesehatan
di Puskesmas adalah tanaga, sarana-prasarana dan dana atau anggaran. Standar tenaga
khusus promosi kesehatan di Puskesmas menurut Surat Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor1114/Menkes/SK/II/2005 tentang Pedoman Promosi Kesehatan
di Daerah adalah sebagai berikut:
Kualifikasi Jumlah Kompetensi Umum SDM Kesehatan minimal D3
kesehatan, minat dan bakat di bidang promosi 1 orang:
1. Membantu tenaga kesehatan lain merancang pemberdayaan kesehatan
2. Melakukan bina suasana dan advokasi Standar sarana-prasarana promosi
kesehatan Puskesmas minimal sebagai berikut: Nomor, Jenis Sarana-Prasarana
Jumlah 1 Flipcharts dan stand 1 set 2 LCD Proyektor 1 buah 3 Amplifier dan
wireless microphone 1 set 4 Kamera foto 1 buah 5 Megaphon/ Public Address
System 1 set 6 Portable Generator 1 buah 7 Tape/ casset recorder/ player 1
buah 8 Papan Informasi 1 buah. Pada unsur pendanaan promosi kesehatan
Puskesmas memang tidak ditentukan standarnya, tetapi Puskesmas/ dinas
kesehatan diharapkan menyediakan anggaran yang cukup untuk melaksanakan
kegiatan promosi kesehatan di Puskesmas.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
2.2. Metode dan Media Promosi Kesehatan
2.2.1. Metode Promosi Kesehatan
Metode penyuluhan kesehatan dapat digolongkan berdasarkan teknik
komunikasi, sasaran yang dicapai dan indera penerima dari sasaran promosi (Depkes,
2007).
a. Berdasarkan Teknik Komunikasi
1. Metode penyuluhan langsung
Dalam hal ini para penyuluh langsung berhadapan atau bertatap muka dengan
sasaran. Metode ini dibedakan menjadi 2 yaitu :
a. Metode didaktik
Pada metode didaktik yang aktif adalah orang yang melakukan
penyuluhan kesehatan, sedangkan sasaran bersifat pasif dan tidak
diberikan kesempatan untuk ikut serta mengemukakan pendapatnya atau
mengajukan pertanyaan–pertanyaan apapun. Dan proses penyuluhan yang
terjadi bersifat satu arah (one way method). Contoh metode ini adalah
metode ceramah.
b. Metode sokratik
Metode sokratik adalah metode komunikasi dua arah antara yang
memberikan penyuluhan terhadap sasaran, sehingga diharapkan tingkat
pemahaman sasaran terhadap pesan yang disampaikan akan lebih jelas
dan mudah dipahami, diantaranya metode curah pendapat, diskusi,
demonstrasi, simulasi, bermain peran dan sebagainya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
2. Metode penyuluhan tidak langsung. Dalam hal ini para penyuluh tidak
langsung berhadapan secara tatap muka dengan sasaran, tetapi ia
menyampaikan pesannya dengan perantara (media). Umpamanya publikasi
melalui pertunjukan film, media cetak (poster, majalah, buletin, surat kabar)
dan media eletronik (televisi, radio).
3. Berdasarkan jumlah sasaran yang dicapai
a. Pendekatan perorangan
Dalam hal ini para penyuluh kesehatan berhubungan secara langsung
maupun tidak langsung dengan sasaran secara perorangan, antara lain:
kunjungan rumah, hubungan telepon dan lain-lain.
b. Pendekatan kelompok
Dalam pendekatan ini penyuluh kesehatan berhubungan dengan
sekolompok sasaran. Beberapa metode penyuluhan yang masuk dalam
ketegori ini antara lain: pertemuan, demostrasi, diskusi kelompok,
pertemuan FGD dan lain-lain.
c. Pendekatan massal
Petugas penyuluh kesehatan menyampaikan pesannya secara sekaligus
kepada sasaran yang jumlahnya banyak. Beberapa metode yang masuk
dalam golongan ini adalah: pertemuan umum, pertunjukan kesenian,
penyebaran tulisan/ poster/ media cetak lainnya, pemutaran film dan lain-
lain.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
4. Berdasarkan indra penerima
a. Metode melihat/ memperhatikan.
Dalam hal ini pesan diterima sasaran melalui indera penglihatan, seperti:
penempelan poster, pemasangan gambar/ foto, pemasangan koran dinding,
pemutaran film.
b. Metode pendengaran
Dalam hal ini pesan diterima oleh sasaran melalui indera pendengar,
umpamanya: penyuluhan lewat radio, pidato, ceramah dan lain-lain.
c. Metode kombinasi. Dalam hal ini termasuk: demonstrasi (dilihat,
didengar, dicium, diraba dan dicoba).
2.2.2. Media Promosi Kesehatan
Media merupakan sarana untuk menyampaikan pesan kepada sasaran
sehingga mudah dimengerti oleh sasaran/ pihak yang dituju. Media promosi
kesehatan adalah semua sarana atau upaya untuk menampilkan pesan atau informasi
yang ingin disampaikan oleh komunikator, baik itu melalui media cetak, elektronik
dan media luar ruang, sehingga sasaran dapat meningkat pengetahuannya yang
akhirnya diharapkan dapat berubah perilakunya ke arah positif terhadap
kesehatannya (Notoatmodjo, 2012).Media pendidikan kesehatan disebut juga sebagai
alat peraga karena berfungsi membantu dan memeragakan sesuatu dalam proses
pendidikan atau pengajaran. Prinsip pembuatan media bahwa pengetahuan yang ada
pada setiap orang diterima atau ditangkap melalui panca indera.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
Semakin banyak panca indera yang digunakan, semakin banyak dan semakin
jelas pula pengertian atau pengetahuan yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa
keberadaan alat peraga dimaksudkan mengerahkan indera sebanyak mungkin pada
suatu objek sehingga memudahkan pemahaman. Menurut penelitian para ahli, panca
indera yang paling banyak menyalurkan pengetahuan ke otak adalah mata (kurang
lebih 75% sampai 87%), sedangkan 13% sampai 25% pengetahuan manusia diperoleh
atau disalurkan melalui indera lainnya.
Alat peraga atau media mempunyai intensitas yang berbeda dalam membantu
permasalahan seseorang. Elgar Dale menggambarkan intensitas setiap alat peraga
dalam suatu kerucut. Berturut-turut intensitas alat peraga mulai dari yang paling
rendah sampai paling tinggi adalah kata- kata, tulisan, rekaman/ radio, film, televisi,
pameran, field trip, demonstrasi, sandiwara, benda tiruan, benda asli (Maulana, 2009).
Media promosi kesehatan yang baik adalah media yang mampu memberikan
informasi atau pesan-pesan kesehatan yang sesuai dengan tingkat penerimaan
sasaran, sehingga sasaran mau dan mampu untuk mengubah perilaku sesuai dengan
pesan yang disampaikan.
2.3. Kegiatan Promosi Kesehatan
2.3.1 Kegiatan Promosi Kesehatan di dalam Gedung Puskesmas
Promosi kesehatan di dalam gedung Puskesmas adalah promosi kesehatan
yang dilaksanakan di lingkungan dan gedung Puskesmas seperti di tempat
pendaftaran, poliklinik, ruang perawatan, laboratorium, kamar obat, tempat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
22
pembayaran dan halaman Puskesmas (Depkes, 2007). Promosi kesehatan yang ada di
Puskesmas akan dibagi atas dua yaitu promosi kesehatan dalam gedung dan promosi
kesehatan diluar gedung.
2.3.2 Kegiatan Promosi Kesehatan Di Luar Gedung Puskesmas
Kegiatan promosi kesehatan diluar gedung dilakukan dengan sasaran
masyarakat yang berada di wilayah kerja Puskesmas yang bersangkutan sebagai
upaya untuk meningkatkan PHBS dengan pengorganisaian masyarakat. Pelaksanaan
promkes diluar gedung dilaksanakan Puskesmas bekerjasama dengan berbagai pihak
potensial melalui metode advokasi, bina suasana, gerakan pemberdayaan yang dijiwai
semangat kemitraan dengan kegiatan sebagai berikut (Depkes, 2007):
1. Promosi kesehatan melalui pendekatan individu
2. Promosi kesehatan melalui pendekatan kelompok (TP PKK, karang taruna,
posyandu, SBH, majlis taklim dan lain sebagainya)
3. Promosi kesehatan melalui pendekatan organisasi masyarakat (ormas) seperti
kelompok kesenian tradisional dan lain sebagainya
4. Penggerakan dan pengorganisaian masyarakat melalui: 1. Kunjungan rumah 2.
Pemberdayaan berjenjang 3. Pengorganisasian masyarakat melalui Survei Mawas
Diri (SMD) dan Musyawarah Masyarakat Desa (MMD)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
2.4. Mutu Program Kesehatan
Program kesehatan baik Puskesmas, rumah sakit atau instansi pelayanan
kesehatan lainnya merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang
saling terkait, saling tergantung dan mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Mutu
program kesehatan di Puskesmas adalah produk akhir dari interaksi dan
ketergantungan yang rumit antara berbagai komponen atau aspek pelayanan. Bustami
(2011), mengemukakan bahwa komponen program pelayanan kesehatan dapat terdiri
dari masukan (input, disebut juga struktur) proses dan hasil (outcome). Ada tiga
Pendekatan evaluasi (penilaian) mutu program kesehatan (Bustami, 2011), yaitu:
1) Input atau Struktur
Struktur meliputi sarana fisik perlengkapan dan peralatan, organisasi dan
manajemen, keuangan, sumber daya manusia lainnya di fasilitas kesehatan. Baik
tidaknya struktur sebagai input dapat diukur dari: jumlah, besarnya input, mutu
struktur atau mutu input, besarnya anggaran atau biaya, kewajaran di Puskesmas.
Beberapa aspek penting dalam hal ini adalah kejujuran, efektivitas, efesiensi dan
kuantitas serta kualitas dari masukan yang ada. Program kesehatan yang bermutu
akan membutuhkan input/ struktur yang bermutu juga yang seharusnya dikelola dan
diarahkan sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundang-undangan juga prosedur
kerja yang berlaku dengan maksud pelayanan kesehatan tersebut dapat diterima oleh
pelanggan dengan baik (Bustami, 2011).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
2) Proses
Proses merupakan semua kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh
tenaga kesehatan (dokter, perawat dan tenaga profesi lain) dan interaksinya dengan
pasien atau masyarakat. Proses mencakup berbagai standar operasional prosedur
(SOP) ataupun berbagai teori yang berkaitan dengan pelaksanaan program kesehatan.
Baik tidaknya proses dapat diukur dari: relevan tidaknya proses itu bagi pasien atau
masyarakat, fleksibilitas dan efektifitas, mutu proses itu sendiri sesuai dengan standar
pelayanan yang semestinya, kewajaran, tidak kurang dan tidak berlebihan (Bustami,
2011).
Baik atau tidaknya proses di Puskesmas dapat diukur (Bustami, 2011) dengan:
(1) Relevan atau tidaknya proses yang diterima oleh pelanggan
(2) Efektif atau tidaknya proses yang dilakukan
(3) Mutu proses yang dilakukan
Variabel proses merupakan pendekatan langsung terhadap mutu pelayanan
kesehatan. Semakin patuh petugas (profesi) terhadap standar pelayanan maka akan
semakin bermutu pelayanan kesehatan yang diberikan (Bustami, 2011).
3) Outcome
Outcome adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan
profesional terhadap pasien. Dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan dan
kepuasan baik positif maupun negatif. Outcome jangka pendek adalah hasil dari
segala suatu tindakan tertentu atau prosedur tertentu (Bustami, 2011).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
25
Outcome jangka panjang adalah status kesehatan dan kemampuan fungsional
pasien atau masyarakat. Logika yang digunakan yaitu jika masukan telah tersedia
sesuai dengan rencana dan proses akan bisa terlaksana. Apabila proses dilaksanakan
sesuai dengan direncankan sesuai dengan rencana berdasarkan standar yang ada maka
hasil yang akan tercapai dengan baik (Bustami, 2011). Jadi program kesehatan terkait
(Bustami, 2011) dengan:
(1) Perencanaan, mulai dengan apa yang harus disediakan (masukan), apa yang
harus dilakukan (proses) dan apa yang ingin dicapai (hasil).
(2) Monitoring dan evaluasi untuk meyakinkan bahwa apa yang direncanakan telah
dilaksanakan, input telah tersedia dan proses telah dilakukan seperti yang
direncakan untuk memberikan hasil yang optimal.
Program kesehatan Puskesmas dan rumah sakit memiliki faktor masukan
seperti tenaga lebih fokus kepada keberadaan tenaga bidan, perawat dan dokter yang
secara kompetensi lebih tepat dalam pelaksanaan program pelayanan kesehatan,
sarana dan prasarana umumnya terkait dengan perlengkapan yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan. Untuk pengadaan perlengkapan peralatan petugas
kesehatan dan kebutuhan petugas kesehatan dalam pelayanan kesehatan tentunya
dibutuhkan dana sesuai dengan kondisi rumah sakit masing- masing (Bustami, 2011).
Faktor proses dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan tentunya mengacu
kepada Standar Operasional Prosedur (SOP) asuhan pelayanan kesehatan karena
pelayanan kesehatan mempunyai SOP tersendiri, demikian juga SOP untuk pelayanan
kesehatan lainnya. Sesuai dengan pelayanan kesehatan tahun 2005, bahwa untuk
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
26
memudahkan pengukuran, evaluasi serta mempertanggungjawabkan program
pelayanan kesehatan yang dilakukan (Bustami, 2011). Menurut Depkes (2007) bahwa
indikator keberhasilan program promosi kesehatan di Puskesmas dapat dilihat dari
indikator masukan, indikator proses, indikator keluaran dan indikator dampak.
Indikator masukan program promosi kesehatan dapat dilihat dari:
a. Adanya komitmen Kepala Puskesmas yang mencerminkan dalam Rencana
Umum Pengembangan promkes Puskesmas.
b. Adanya komitmen seluruh jajaran yang tercermin dalam Rencana Operasional
Promkes Puskesmas.
c. Adanya tenaga Puskesmas sesuai dengan acuan dalam standar SDM promkes
Puskesmas.
d. Adanya tenaga Puskesmas dan tenaga kesehatan lain di Puskesmas yang
sudah dilatih.
e. Adanya sarana dan peralatan promkes Puskesmas sesuai acuan dalam standar
sarana promkes Puskesmas.
f. Adanya dana di Puskesmas yang mencukupi untuk penyelenggaraan promkes
Puskesmas.
Untuk indikator proses dalam promosi kesehatan dapat dilihat (Depkes, 2007)
dari:
a. Dilaksanakannya kegiatan promkes didalam gedung (setiap tenaga kesehatan
melakukan promosi atau diselenggarakan klinik khusus, pemasangan poster
dan lain-lain) dan atau frekuensinya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
27
b. Kondisi media komunikasi yang digunakan (poster, leaflet, spanduk dan lain-
lain) masih bagus dan relevan.
c. Dilaksanakannya kegiatan promkes di masyarakat (kunjungan rumah &
pengorganisasian masyarakat).
Untuk melihat indikator keluaran dari promosi kesehatan dapat dilihat
(Depkes, 2007) dari:
a. Semua tenaga kesehatan Puskesmas telah melaksanakan promkes.
b. Berapa banyak pasien/ klien yang sudah terlayani oleh berbagai kegiatan
promkes dalam gedung (konseling, bibliografi dan lain-lain).
c. Berapa banyak keluarga yang telah mendapat kunjungan rumah oleh
Puskesmas.
d. Berapa banyak kelompok masyarakat yang sudah digarap Puskesmas dengan
pengorganisasian masyarakat.
e. Puskesmas sebagai model institusi kesehatan yang ber-PHBS, yaitu dengan
Puskesmas bebas rokok, lingkungan bersih, bebas jentik dan jamban sehat.
2.5. Penyakit Diare
Secara klinis diare didefinisikan sebagai bertambahnya defekasi (buang air
besar) lebih dari biasanya/ lebih dari tiga kali sehari, disertai dengan perubahan
konsisten tinja (menjadi cair) dengan atau tanpa darah. Secara klinik dibedakan tiga
macam sindrom diare yaitu diare cair akut, disentri dan diare persisten. Sedangkan
menurut menurut Kemenkes (2011), diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28
adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair
dan bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam
sehari.
Diare akut diberi batasan sebagai meningkatnya kekerapan, bertambah cairan,
atau bertambah banyaknya tinja yang dikeluarkan, akan tetapi hal itu sangat relatif
terhadap kebiasaan yang ada pada penderita dan berlangsung tidak lebih dari satu
minggu. Apabila diare berlangsung antara satu sampai dua minggu maka dikatakan
diare yang berkepanjangan (Soegijanto, 2002). Beberapa perilaku yang dapat
meningkatkan risiko terjadinya diare pada balita, yaitu Kemenkes (2011):
1. Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama pada kehidupan. Pada
balita yang tidak diberi ASI resiko menderita diare lebih besar daripada balita
yang diberi ASI penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat lebih
besar.
2. Menggunakan botol susu, penggunaan botol ini memudahkan pencemaran
oleh kuman karena botol susah dibersihkan. Penggunaan botol yang tidak
bersih atau sudah dipakai selama berjam-jam dibiarkan di lingkungan yang
panas, sering menyebabkan infeksi usus yang parah karena botol dapat
tercemar oleh kuman-kuman/ bakteri penyebab diare. Sehingga balita yang
menggunakan botol tersebut berisiko terinfeksi diare.
3. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar, bila makanan disimpan
beberapa jam pada suhu kamar, makanan akan tercermar dan kuman akan
berkembang biak.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
29
4. Menggunakan air minum yang tercemar.
5. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja
anak atau sebelum makan dan menyuapi anak.
6. Tidak membuang tinja dengan benar, seringnya beranggapan bahwa tinja
tidak berbahaya, padahal sesungguhnya mengandung virus atau bakteri dalam
jumlah besar. Selain itu tinja binatang juga dapat menyebabkan infeksi pada
manusia.
Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam golongan enam
besar, tetapi yang sering ditemukan di lapangan adalah diare yang disebabkan infeksi
dan keracunan. Penyebab diare secara lengkap adalah sebagai berikut: (1) infeksi
yang dapat disebabkan: a) bakteri, misal: Shigella, Salmonela, E. Coli, golongan
vibrio, bacillus cereus, Clostridium perfringens, Staphyiccoccus aureus,
Campylobacter dan aeromonas; b) virus misal: Rotavirus, Norwalk dan norwalk like
agen dan adenovirus; c) parasit, misal: cacing perut, Ascaris, Trichiuris,
Strongyloides, Blastsistis huminis, protozoa, Entamoeba histolitica, Giardia labila,
Belantudium coli dan Crypto; (2) alergi, (3) malabsorbsi, (4) keracunan yang dapat
disebabkan; a) keracunan bahan kimiawi dan b) keracunan oleh bahan yang
dikandung dan diproduksi: jasat renik, ikan, buah-buahan dan sayur-sayuran, (5)
Imunodefisiensi dan (6) sebab-sebab lain . Kemenkes (2011), mengklasifikasikan
jenis diare menjadi empat kelompok yaitu:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30
1) Diare akut: yaitu diare yang berlangsung kurang dari empat belas hari
(umumnya kurang dari tujuh hari),
2) Disentri; yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya,
3) Diare persisten; yaitu diare yang berlangsung lebih dari empat belas hari
secara terus menerus,
4) Diare dengan masalah lain; anak yang menderita diare (diare akut dan
persisten) mungkin juga disertai penyakit lain seperti demam, gangguan gizi
atau penyakit lainnya.
Diare akut dapat mengakibatkan: (1) kehilangan air dan elektrolit serta
gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan
hipokalemia, (2) Gangguan sirkulasi darah, dapat berupa renjatan hipovolemik
sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai muntah, (3) Gangguan gizi yang
terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan muntah (Soegijanto,
2002). Diare mengakibatkan terjadinya:
a. Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan
dehidrasi, dan asidosis metabolik.
b. Gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik atau prarenjatan
sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai dengan muntah, perpusi
jaringan berkurang sehingga hipoksia dan asidosismetabolik bertambah berat,
kesadaran menurun dan bila tak cepat diobati penderita dapat meninggal.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare
dan muntah, kadang-kadang orang tuanya menghentikan pemberian makanan karena
takut bertambahnya muntah dan diare pada anak atau bila makanan tetap diberikan
dalam bentuk diencerkan. Hipoglikemia akan lebih sering terjadi pada anak yang
sebelumnya telah menderita malnutrisi atau bayi dengan gagal bertambah berat
badan. Sebagai akibat hipoglikemia dapat terjadi edema otak yang dapat
mengakibatkan kejang dan koma (Suharyono, 2008).
2.5.1. Gejala Diare
Diare dapat menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit,
terutama natrium dan kalium dan sering disertai dengan asidosis metabolik. Dehidrasi
dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit air dan atau keseimbangan serum elektrolit.
Setiap kehilangan berat badan yang melampaui 1% dalam sehari merupakan
hilangnya air dari tubuh. Kehidupan bayi jarang dapat dipertahankan apabila defisit
melampaui 15% (Soegijanto, 2002).
Gejala diare atau mencret adalah tinja yang encer dengan frekuensi empat kali
atau lebih dalam sehari, yang kadang disertai: muntah, badan lesu atau lemah, panas,
tidak nafsu makan, darah dan lendir dalam kotoran, rasa mual dan muntah-muntah
dapat mendahului diare yang disebabkan oleh infeksi virus. Infeksi bisa secara tiba-
tiba menyebabkan diare, muntah, tinja berdarah, demam, penurunan nafsu makan
atau kelesuan. Selain itu, dapat pula mengalami sakit perut dan kejang perut, serta
gejala- gejala lain seperti flu misalnya agak demam, nyeri otot atau kejang, dan sakit
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
kepala. Gangguan bakteri dan parasit kadang-kadang menyebabkan tinja mengandung
darah atau demam tinggi (Amiruddin, 2007).
Menurut Ngastisyah (2005) gejala diare yang sering ditemukan mula-mula
pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh meningkat, nafsu makan berkurang, tinja
mungkin disertai lendir atau darah, gejala muntah dapat timbul sebelum dan sesudah
diare. Bila penderita benyak kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi mulai
nampak, yaitu berat badan menurun, turgor berkurang, mata dan ubun-ubun besar
menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering.
2.5.2. Pencegahan Penyakit Diare
Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum yakni:
pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention) yang meliputi promosi kesehatan
dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention) yang
meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang tepat, dan pencegahan tingkat ketiga
(tertiary prevention) yang meliputi pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi
(Kemenkes, 2011).
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer penyakit diare dapat ditujukan pada faktor penyebab,
lingkungan dan faktor pejamu. Untuk faktor penyebab dilakukan berbagai upaya agar
mikroorganisme penyebab diare dihilangkan. Peningkatan air bersih dan sanitasi
lingkungan, perbaikan lingkungan biologis dilakukan untuk memodifikasi
lingkungan. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dari pejamu maka dapat
dilakukan peningkatan status gizi dan pemberian imunisasi (Kemenkes, 2011).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
1. Penyediaan air bersih
Air adalah salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, bahkan hampir 70%
tubuh manusia mengandung air. Air dipakai untuk keperluan makan, minum, mandi,
dan pemenuhan kebutuhan yang lain, maka untuk keperluan tersebut WHO
menetapkan kebutuhan per orang per hari untuk hidup sehat 60 liter. Selain dari
peranan air sebagai kebutuhan pokok manusia, juga dapat berperan besar dalam
penularan beberapa penyakit menular termasuk diare (Notoadmodjo, 2011).
Sumber air yang sering digunakan oleh masyarakat adalah: air permukaan
yang merupakan air sungai dan danau. Air tanah yang tergantung kedalamannya bisa
disebut air tanah dangkal atau air tanah dalam. Air angkasa yaitu air yang berasal dari
atmosfir seperti hujan dan salju. Air dapat juga menjadi sumber penularan penyakit.
Peran air dalam terjadinya penyakit menular dapat berupa, air sebagai penyebar
mikroba patogen, sarang insekta penyebar penyakit, bila jumlah air bersih tidak
mencukupi, sehingga orang tidak dapat membersihkan dirinya dengan baik dan air
sebagai sarang hospes sementara penyakit (Notoadmodjo, 2011).
Memahami daur/ siklus air di alam semesta ini, maka sumber air dapat
diklasifikasikan menjadi; a) air angkasa seperti hujan dan air salju, b) air tanah seperti
air sumur, mata air dan artesis, c) air permukaan yang meliputi sungai dan telaga.
Untuk pemenuhan kebutuhan manusia akan air, maka dari sumber air yang ada dapat
dibangun bermacam-macam saran penyediaan air bersih yang dapat berupa
perpipaan, sumur gali, sumur pompa tangan, perlindungan mata air, penampungan air
hujan dan sumur artesis (Sanropie, 1984).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih harus diambil dari sumber
yang terlindungi atau tidak terkontaminasi. Sumber air bersih harus jauh dari kandang
ternak dan kakus paling sedikit sepuluh meter dari sumber air. Air harus ditampung
dalam wadah yang bersih dan pengambilan air dalam wadah dengan menggunakan
gayung yang bersih dan untuk minum air harus di masak. Masyarakat yang
terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil
bila dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih (Andrianto,
1995).
2. Tempat pembuangan tinja
Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan lingkungan.
Pembuangan tinja yang tidak tepat dapat berpengaruh langsung terhadap insiden
penyakit tertentu yang penularannya melalui tinja antara lain penyakit diare (Haryoto,
1983). Keluarga yang tidak memiliki jamban harus membuat dan keluarga harus
membuang air besar di jamban. Jamban harus dijaga dengan mencucinya secara
teratur. Jika tak ada jamban, maka anggota keluarga harus membuang air besar jauh
dari rumah, jalan dan daerah anak bermain dan paling kurang sepuluh meter dari
sumber air bersih (Andrianto, 1995). Untuk mencegah kontaminasi tinja terhadap
lingkungan, maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik. Suatu
jamban memenuhi syarat kesehatan apabila memenuhi syarat kesehatan: tidak
mengotori permukaan tanah, tidak mengotori air permukaan, tidak dapat di jangkau
oleh serangga, tidak menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara dan murah.
Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar dua kali lipat dibandingkan
keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya yang memenuhi syarat
sanitasi (Notoatmodjo, 2011).
3. Status gizi
Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan
penggunaan makanan oleh tubuh. Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan
menggunakan berbagai metode, yang tergantung dan tingkat kekurangan gizi.
Menurut Gibson (1990) metode penilaian tersebut adalah; 1) konsumsi makanan; 2)
pemeriksaan laboratorium, 3) pengukuran antropometri dan 4) pemeriksaan klinis.
Metode-metode ini dapat digunakan secara tunggal atau kombinasikan untuk
mendapatkan hasil yang lebih efektif. Makin buruk gizi seseorang anak, ternyata
makin banyak episode diare yang dialami. Mortalitas bayi di negara yang jarang
terdapat malnutrisi protein energi (KEP) umumnya kecil (Canada, 28,4 permil). Pada
anak dengan malnutrisi, kelenjar timusnya akan mengecil dan kekebalan sel-sel
menjadi terbatas sekali sehingga kemampuan untuk mengadakan kekebalan
nonspesifik terhadap kelompok organisme berkurang (Suharyono, 2008).
4. Pemberian air susu ibu (ASI)
ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi komponen zat makanan
tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara
optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 4-
6 bulan. Untuk menyusui dengan aman dan nyaman ibu jangan memberikan cairan
tambahan seperti air, air gula atau susu formula terutama pada awal kehidupan anak.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
Memberikan ASI segera setelah bayi lahir, serta berikan ASI sesuai kebutuhan. ASI
mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat
lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare,
pemberian ASI kepada bayi yang baru lahir secara penuh mempunyai daya lindung
empat kali lebih besar terhadap diare dari pada pemberian ASI yang disertai dengan
susu botol. Pada bayi yang tidak diberi ASI pada enam bulan pertama kehidupannya,
risiko mendapatkan diare adalah 30 kali lebih besar dibanding dengan bayi yang tidak
diberi ASI (Kemenkes, 2011).
Bayi yang memperoleh ASI mempunyai morbiditas dan mortalitas diare lebih
rendah. Bayi dengan air susu buatan (ASB) mempunyai risiko lebih tinggi
dibandingkan dengan bayi yang selain mendapat susu tambahan juga mendapatkan
ASI dan keduanya mempunyai risiko diare lebih tinggi dibandingkan dengan bayi
yang sepenuhnya mendapatkan ASI. Risiko relatif ini tinggi dalam bulan-bulan
pertama kehidupan (Suharyono, 2008).
5. Kebiasaan mencuci tangan
Diare merupakan salah satu penyakit yang penularannya berkaitan dengan
penerapan perilaku hidup sehat. Sebahagian besar kuman infeksius penyebab diare
ditularkan melalui jalur oral. Kuman-kuman tersebut ditularkan dengan perantara air
atau bahan yang tercemar tinja yang mengandung mikroorganisme patogen dengan
melalui air minum. Pada penularan seperti ini, tangan memegang peranan penting,
karena lewat tangan yang tidak bersih makanan atau minuman tercemar kuman
penyakit masuk ke tubuh manusia (Kemenkes RI, 2011).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
Pemutusan rantai penularan penyakit seperti ini sangat berhubungan dengan
penyediaan fasilitas yang dapat menghalangi pencemaran sumber perantara oleh tinja
serta menghalangi masuknya sumber perantara tersebut kedalam tubuh melalui mulut.
Kebiasaan mencuci tangan pakai sabun adalah perilaku amat penting bagi upaya
mencegah diare. Kebiasaan mencuci tangan diterapkan setelah buang air besar,
setelah menangani tinja anak, sebelum makan atau memberi makan anak dan sebelum
menyiapkan makanan. Kejadian diare makanan terutama yang berhubungan langsung
dengan makanan anak seperti botol susu, cara menyimpan makanan serta tempat
keluarga membuang tinja anak (Howard & Bartram, 2003). Hubungan kebiasaan
mencuci tangan dengan kejadian diare dikemukakan oleh Bozkurt et al. (2003) di
Turki, orang tua yang tidak mempunyai kebiasaan mencuci tangan sebelum merawat
anak, anak mempunyai risiko lebih besar terkena diare.
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada si anak yang telah menderita
diare atau yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini dan
pengobatan yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat samping
dan komplikasi. Prinsip pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan
pemberian oralit (rehidrasi) dan mengatasi penyebab diare. Diare dapat disebabkan
oleh banyak faktor seperti salah makan, bakteri, parasit, sampai radang. (Kemenkes,
2011).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
Pengobatan yang diberikan harus disesuaikan dengan klinis pasien. Obat diare
dibagi menjadi tiga, pertama kemoterapeutika yang memberantas penyebab diare
seperti bakteri atau parasit, obstipansia untuk menghilangkan gejala diare dan
spasmolitik yang membantu menghilangkan kejang perut yang tidak menyenangkan.
Sebaiknya jangan mengkonsumsi golongan kemoterapeutika tanpa resep dokter.
Dokter akan menentukan obat yang disesuaikan dengan penyebab diarenya misal
bakteri, parasit. Pemberian kemoterapeutika memiliki efek samping dan sebaiknya
diminum sesuai petunjuk dokter (Kemenkes, 2011).
c. Pencegahan Tertier
Pencegahan tingkat ketiga adalah penderita diare jangan sampai mengalami
kecatatan dan kematian akibat dehidrasi. Jadi pada tahap ini penderita diare
diusahakan pengembalian fungsi fisik, psikologis semaksimal mungkin. Pada tingkat
ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari
penyakit diare. Usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan terus mengkonsumsi
makanan bergizi dan menjaga keseimbangan cairan. Rehabilitasi juga dilakukan
terhadap mental penderita dengan tetap memberikan kesempatan dan ikut
memberikan dukungan secara mental kepada anak. Anak yang menderita diare selain
diperhatikan kebutuhan fisik juga kebutuhan psikologis harus dipenuhi dan
kebutuhan sosial dalam berinteraksi atau bermain dalam pergaulan dengan teman
sepermainan (Kemenkes, 2011).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
2.6. Landasan Teori
Program kesehatan baik Puskesmas, rumah sakit atau instansi pelayanan
kesehatan lainnya merupakan suatu system yang terdiri dari berbagai komponen yang
saling terkait, saling tergantung dan mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Mutu
program kesehatan di Puskesmas adalahan produk akhir dari interaksi dan
ketergantungan yang rumit antara berbagai komponen atau aspek pelayanan. Bustami
(2011), mengemukakan bahwa komponen program pelayanan kesehatan dapat terdiri
dari masukan (input, disebut juga struktur) proses dan hasil (outcome).
Program kesehatan Puskesmas dan rumah sakit memiliki faktor masukan
seperti tenaga lebih fokus kepada keberadaan tenaga bidan, perawat dan dokter yang
secara kompetensi lebih tepat dalam pelaksanaan program pelayanan kesehatan,
sarana dan prasarana umumnya terkait dengan perlengkapan yang dibutuhkan dalam
pelaksanaan pelayanan kesehatan. Untuk pengadaan perlengkapan peralatan petugas
kesehatan dan kebutuhan petugas kesehatan dalam pelayanan kesehatan tentunya
dibutuhkan dana sesuai dengan kondisi rumah sakit masing- masing (Bustami, 2011).
Faktor proses dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan tentunya mengacu kepada
Standar Operasional Prosedur (SOP) asuhan pelayanan kesehatan karena pelayanan
kesehatan mempunyai SOP tersendiri, demikian juga SOP untuk pelayanan kesehatan
lainnya. Sesuai dengan pelayanan kesehatan tahun 2005, bahwa untuk memudahkan
pengukuran, evaluasi serta mempertanggungjawabkan program pelayanan kesehatan
yang dilakukan (Bustami, 2011). Depkes (2007) juga mengemukakan bahwa
indikator keberhasilan program promosi kesehatan di Puskesmas dapat dilihat dari
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
indikator masukan, indikator proses, indikator keluaran.
Menurut Notoadmodjo (2012) yang mengemukakan bahwa promosi
kesehatan diharapkan dapat melaksanakan strategi yang bersifat paripurna
(komprehensif), khususnya dalam menciptakan perilaku baru. Kebijakan Nasional
Promosi Kesehatan telah menetapkan tiga strategi dasar promosi kesehatan, yaitu (1)
advokasi, (2) gerakan pemberdayaan masyarakat dan, (3) bina suasana, yang
diperkuat oleh kemitraan serta metode dan sarana komunikasi yang tepat. Depkes
(2007) juga mengemukakan bahwa strategi promosi kesehatan tidak terlepas dari
advokasi, pemberdayaan masyarakat dan bina suasana.
2.7. Kerangka Pikir
Berdasarkan landasan teori tersebut diatas, maka kerangka pikir penelitian ini
adalah:
Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian
Proses
Strategi Program
Promosi Kesehatan
Diare
Pemberdayaan
Bina Suasana
Advoasi
Input
Sosial Budaya
Masyarakat
Sarana
Tenaga
kesehatan
Media
Metode
Output
- Kasus diare
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
Berdasarkan gambar diatas, dapat dirumuskan definisi kerangka fikir
penelitian ini sebagai berikut:
1. Masukan (input) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan untuk dapat
melaksanakan program diare dengan baik, meliputi: kebiasaan masyarakat,
sarana, tenaga kesehatan, media dan metode, dengan definisi sebagai berikut:
a. Kebiasaan masyarakat adalah segala aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat
dalam keseharian yang berkaitan dengan terjadinya penyakit diare di
Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.
b. Tenaga adalah tenaga kesehatan yang terlibat dalam pelaksanaan program
diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.
c. Sarana adalah seluruh bahan, peralatan, serta fasilitas yang digunakan dalam
pelaksanaan program diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.
d. Media adalah alat bantu yang digunakan untuk untuk melaksanakan kegiatan
promosi kesehatan tentang diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.
e. Metode adalah cara yang teratur digunakan untuk melaksanakan kegiatan
promosi kesehatan tentang diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.
2. Proses (process) adalah langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan, meliputi: upaya pencegahan dan upaya pengobatan,
dengan definisi sebagai berikut:
a. Pemberdayaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk
membuat masyarakat mau dan mampu melaksanakan kegiatan pencegahan
diare secara teratur dalam keseharian di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
42
b. Bina suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang
mendorong individu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku
pencegahan diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.
c. Advokasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan dukungan yang
berupa kebijakan baik aturan dana dan sarana untuk pencegahan diare di
Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.
3. Keluaran (output) adalah hasil dari pelaksanaan program diare yaitu menurunnya
jumlah kasus diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen yang dinilai dari
kegiatan yang telah dilakukan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
43
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan metode pendekatan
kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui secara jelas dan lebih mendalam tentang
fenomena atau isu penting yang berkaitan dengan pelaksanaan program implementasi
program promosi kesehatan terhadap kejadian penyakit diare, serta menggali secara
mendalam penanggulangan penyakit diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah wilayah kerja Puskesmas Kuala Kabupaten
Bireuen. Lokasi ini dipilih karena wilayah kerja Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen
merupakan Puskesmas dengan penderita diare yang terus mengalami peningkatan
pada setiap tahunnya yaitu: pada tahun 2013 penderita penyakit diare pada anak 0 – 5
tahun adalah 329 anak, tahun 2014 sebanyak 445 sedangkan pada tahun 2015
sebanyak 505 anak.
Kondisi geografis wilayah kerja Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen
meliputi wilayah pesisir dan menjadi daerah yang rawan banjir serta memiliki banyak
rawa, tambak serta persawahan. Penduduk di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen
masih sangat banyak yang buang air besar (BAB) sembarangan seperti BAB di
pinggir laut, aliran sungai dan tambak padahal penduduk di Puskesmas Kuala
43 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
44
Kabupaten Bireuen sebahagian besar masih mengkonsumsi air sungai dan sumur gali
sebagai sumber air minum.
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Februari 2016 sampai dengan
Juni 2016.
3.3. Informan Penelitian
Penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari hasil
penelitiannya. Subjek penelitian menjadi informan yang akan memberikan berbagai
informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Informan dalam penelitian ini
yaitu:
1. Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen
a. Kepala Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen : 1 orang
b. Petugas Kesehatan Ibu dan Anak ( KIA) : 1 orang
c. Petugas Keperawatan MTBS : 1 orang
d. Petugas Kesehatan lingkungan : 1 orang
e. Petugas Surveilens : 1 orang
f. Petugas penyuluhan kesehatan masyarakat : 1 orang
2. Masyarakat : 4 orang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
45
3.4. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk proses pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah:
1. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung melalui wawancara
mendalam (indepth interview) kepada para informan dengan berpedoman pada
panduan wawancara yang telah dipersiapkan dan data observasi peneliti.
2. Data sekunder diperoleh dari Profil Dinas Kesehatan Provinsi Aceh, Profil Dinas
Kesehatan Kabupaten Bireuen, Laporan Tahunan Puskesmas Kuala Kabupaten
Bireuen dan instansi yang terkait dengan penelitian ini.
3.4.1. Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara mendalam (Indepth Interview)
Peneliti menjadi instrument utama dalam penelitian ini dalam melakukan
wawancara mendalam. Dalam melakukan wawancara mendalam digunakan pedoman
wawancara yang berisi pertanyaan terbuka tidak terstruktur yang dapat mengeksplorasi
lebih dalam tentang kegiatan promosi kesehatan diare di Puskesmas Kuala Kabupaten
Bireuen.
2. Observasi
Observasi yang dilakukan peneliti terhadap kegiatan promosi kesehatan masyarakat
oleh di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen dan kesehatan lingkungan serta prilaku
masyarakat mengenai prilaku hidup bersih dan sehat di wllayah kerja di Puskesmas
Kuala Kabupaten Bireuen.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46
3. Dokumentasi
Menganalisa Dokumen yang diambil data laporan Puskesmas Kuala Kabupaten
Bireuen, Profil Puskesmas, serta foto-foto kegiatan Puskesmas Kuala Kabupaten
Bireuen dan catatan lainnya terkait dengan promosi pencegahan diare pada anak.
Alat bantu yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut: (a) buku catatan
lapangan dan alat tulis untuk mencatat semua percakapan dengan sumber data, (b) tape
recorder yang berfungsi untuk merekam semua percakapan setelah mendapatkan ijin
dari informan bahwa hasil wawancara akan direkam dan (c) kamera untuk memotret/
mendokumentasikan kegiatan peneliti dalam melakukan wawancara.
3.4.2. Triangulasi Data
Triangulasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber, yaitu
mendapatkan data dari sumber yang berbeda (Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen,
Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen dan masyarakat) dengan teknik yang digunakan
yaitu wawancara mendalam dan observasi serta dokumentasi yang berkaitan dengan
program promosi kesehatan diare (Sugiyono, 2011).
3.5. Analisis Data
Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif, dengan lebih banyak
bersifat uraian dari hasil wawancara dan hasil observasi. Data yang diperoleh akan
dianalisis secara kualitatif serta diuraikan dalam bentuk deskriptif. Teknik analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan langkah-langkah
seperti yang dikemukakan oleh Bungin (2008) sebagai berikut:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
47
1. Pengumpulan Data (Data Collection)
Pengumpulan data merupakan bagian integral dari kegiatan analisis data.
Kegiatan pengumpulan data pada penelitian ini adalah dengan menggunakan
wawancara mendalam dan observasi.
2. Reduksi Data (Data Reduction)
Reduksi data, diartikan sebagai prose pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan –
catatan tertulis di lapangan. Reduksi dilakukan sejak pengumpulan data
dimulai dengan membuat ringkasan, mengkode, menelusur tema, membuat
gugus-gugus, menulis memo dan sebagainya dengan maksud menyisihkan
data/informasi yang tidak relevan.
3. Display Data
Display data adalah pendiskriptian sekumpulan informan tersusun yang
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Penyajian data kualitatif disajika dalam bentuk teks naratif.
Penyajiannnya juga dapat berbentuk matriks.
4. Verifikasi dan Penegasan Kesimpulan
Merupakan kegiatan akhir dari analisis data. Penarikan kesimpulan berupa
kegiatan interpretasi, yaitu menemukan makna data yang telah disajikan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
48
BAB 4
HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
4.1.1. Letak dan Batas Wilayah
Kabupaten Bireuen merupakan salah satu Kabupaten yang berada di Provinsi
Aceh yang secara administratif terdiri dari 17 Kecamatan, 75 Mukim serta 609
Gampong/Desa dengan luas wilayah 190.121 Ha. Secara geografis Kabupaten
Bireuen terletak dibagian pantai timur Sumatera yang berada pada koordinat 4°,54°-
5°,21° LU dan 96°,20°-97°,21° BT. Kecamatan terluas di Kabupaten Bireuen adalah
Kecamatan Peudada yaitu seluas 39.133 Ha dan yang terkecil adalah Kecamatan
Kuala yaitu 2.372 Ha (BPS Bireuen, 2013).
Puskesmas Kecamatan Kuala terletak di Desa Weu Jangka Jln. Bireuen-Kuala
Raja Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen. Berjarak ± 5 KM dari pusat kota Bireuen
dan ± 1 KM dari pesisir pantai wisata Ujong Blang, berdiri diatas atas areal tanah
sebesar ± 976 M² dengan luas bangunan ± 777,6 M². Luas wilayah kerja Puskesmas
Kecamatan Kuala adalah 22,5 KM² yang meliputi 20 desa, dengan batasan wilayah
sebagai berikut :
1. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Jeumpa
2. Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Peusangan
3. Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Kota Juang
4. Sebelah utara berbatasan dengan Laut Selat Malaka
48
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
49
Kejadian diare di wilayah Kecamatan Kuala pada tahun 2015 cukup banyak
terutama pada golongan umur bayi dan balita. Hal ini dipengaruhi oleh faktor
kebiasaaan masyarakat yang kurang memperhatikan kebersihan lingkungan. Selain
itu masih banyak penduduk di Kecamatan Kuala yang tidak menggunakan air bersih
terutama untuk kebutuhan ai minum.
4.1.2.Data Kependudukan Kecamatan Kuala
Kecamatan Kuala terdiri dari 20 desa. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik
(BPS) Kabupaten Bireuen Tahun 2015 jumlah penduduk di Kecamatan Kuala
sebanyak 17.569 jiwa. Secara rinci dapat dilihat pada pada Tabel 4.1. berikut:
Tabel 4.1 Distribusi penduduk Kecamatan Kuala
Kabupaten Bireuen Tahun 2015
Desa Jumlah
penduduk Jumlah KK Persentase
Cot Batee 2,011 515 11.38
Cot Unoe 765 157 4.35
Kuta baro 954 231 5.43
Cot Glumpang 70 1.61 284
Cot Kuta 161 3.65 642
Glumpang Baroh 143 3.23 568
Krueng Juli Timu 1,034 233 5.88
Krueng Juli Barat 851 291 4.84
Cot Trieng 1,424 345 8.10
Lhok Awe-awe 1,640 400 9.33
Cot Laga sawa 495 116 2.81
Cot U sibak 507 149 2.88
Lancok Pante Ara 402 101 2.28
Lancok-lancok 1,564 412 8.9
Kareung 813 196 4.62
Balee Kuyun 238 60 1.35
Ujung Bl. Aron 878 255 4.99
Ujung Bl. Mesjid 773 227 4.39
Weu Jangka 925 250 5.26
Kuala Raja 801 219 4.55
Jumlah 17,569 4,165 100
Sumber : Puskesmas Kuala,2015.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50
4.2. Fasilitas Puskesmas Kuala
Fasilitas Puskesmas Kecamatan Kuala terdiri dari ruang poli umum, ruang
poli gigi dan mulut, ruang laboratorium, ruang apotik, ruang kesehatan ibu dan anak,
ruang keluarga berencana, tindakan keperawatan, ruang bersalin, ruang
pertemuan/aula, dan gudang obat. Program wajib yang dilakukan Puskesmas
Kecamatan Kuala yaitu promosi kesehatan, kesehatan lingkungan, KIA/KB, gizi,
program pencegahan dan penanggulangan penyakit dan pengobatan rawat jalan.
4.3. Data Penyakit Umum di Puskesmas Kuala
Data 10 penyakit terbanyak yang sering ditangani di Puskesmas Kuala pada
tahun 2015 dapat diketahui pada grafik 4.2 di bawah ini.
Grafik 4.2. Data 10 Penyakit terbanyak di Puskesmas Kuala
Tahun 2015
Sumber : Puskesmas Kuala, 2016.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
51
Dari Data grafik di atas menunjukkan bahwa persentase penyakit Infeksi
Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan penyakit Diare merupakan jumlah penyakit
terbanyak diwilayah Puskesmas Kuala, sementara penyakit lainnya yang tidak
diketahui merupakan jumlah penyakit yang sedikit ditangani. Dari data yang
diperoleh rata-rata penderita diare yang ditangani Puskesmas Kuala berkisar pada
umur 1-5 tahun (balita).
4.4. Karakteristik Informan
Karakteristik dari masing-masing informan pada penelitian ini, dapat dilihat
pada tabel 4.3 di bawah ini.
Tabel 4.3. Karakteristik Informan
No.Informan Nama Pendidikan Jabatan/Profesi
1 Husaini, SKM S1 Kepala Puskesmas
2 Nurbayani D3 Petugas Kesehatan Ibu
dan Anak ( KIA)
3 Cut Hasnah D3 Petugas Keperawatan
MTBS
4 Syarifah Mahania S1 Petugas Kesehatan
lingkungan
5 Asnah Hardianti S1 Petugas penyuluhan
kesehatan masyarakat
6 Cut Alia SMA Kader
7 Meutia Arianti SMA Kader
8 Fajaria SMA Ibu Balita
9 Linda Hayani SMA Ibu Balita
Sumber : Data terolah,2016.
Informan dalam penelitian ini berjumlah 9 orang yang terdiri dari : Kepala
Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen, petugas Kesehatan Ibu dan Anak ( KIA),
petugas keperawatan MTBS, petugas kesehatan lingkungan, petugas penyuluhan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
52
kesehatan masyarakat dan ibu balita yang anaknya menderita diare sebanyak 2 orang
dan kader posyandu sebanyak 2 orang.
4.5. Implementasi Program Promosi Kesehatan di Puskesmas Kuala Kabupaten
Bireuen tahun 2016
Implementasi promosi kesehatan di Puskesmas mengacu pada Peraturan
Menteri Kesehatan RI No.585/Menkes/SK/V/2007 tentang Pedoman Pelaksanaan
Promosi Kesehatan di Puskesmas.
Untuk menganalisis implementasi program promosi kesehatan dalam
menanggulangi diare di Puskesmas Kuala dapat diketahui dari hasil rangkuman
wawancara dengan informan sebagai berikut :
“Waalaikumsalam pak..kami dari Puskesmas Kuala menjelaskan
bahwa upaya promosi kesehatan diwilayah kecamatan Kuala tetap
dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan rutin dilapangan. Salah satu
kegiatan yang kami lakukan itu seperti penyuluhan kesehatan
diberbagai sekolah dan desa-desa. Demikian juga disetiap
pelaksanaan posyandu kami melakukan penyuluhan dengan topik
penyuluhan yang sudah kami sepakati terlebih dahulu di Puskesmas.
Ada juga kegiatan promosi kesehatan yang kami lakukan itu
berdasarkan dari program Dinas kesehatan. Seperti pelaksanan
program Bantuan Operasional Kesehata atau BOK, dimana
kegiatannya harus disesuaikan dengan anggaran yang tersedia.
Untuk BOK tujuan promosi kesehatan disasarankan pada kesehatan
ibu dan anak serta gizi pak..sementara untuk kegiatan promosi
kesehatan lingkungan merupakan kegiatan tambahan”(informan 1)
Dari wawancara di atas diketahui bahwa upaya promosi kesehatan diwilayah
kecamatan Kuala masih belum maksimal hal ini disebabkan karena program
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
53
kesehatan lingkungan masih tergolong dalam kegiatan tambahan di Puskesmas atau
tidak menjadi prioritas kegiatan untuk mencegah penyakit diare dimasyarakat.
Adapun tanggapan dari petugas Kesehatan Ibu dan Anak tentang program
promosi kesehatan di Puskesmas Kuala sebagai berikut :
“Ia pak..terkait dengan promosi kesehatan sebenarnya kan pak itu bukanlah tanggungjawab utama kami karena itu merupakan
kegiatan bidang promosi kesehatan. Namun kami mencoba
menjawabnya pak sesuai dengan sasaran pelayanan kami yaitu
khusus Ibu dan Anak. Kegiatan promosi yang kami lakukan untuk
ibu-ibu yang punya anak bayi dan balita diwilayah Puskesmas
Kuala ini pak berupa penyuluhan kepada ibu-ibu yang datang ke
Posyandu, seperti penyuluhan tentang KB, imunisasi dan gizi
tentang bagaimana memberikan makanan yang baik kepada bayi
dan balita. Semua kegiatan tersebut pak dilaksanakan oleh staf KIA
di Puskesmas dan dibantu para bidan didesa-desa”(informan 2).
Sementara menurut petugas penyuluh kesehatan masyarakat di Puskesmas
Kuala tentang pelaksanaan program promosi kesehatan dapat diketahui dari hasil
wawancara sebagai berikut :
“Terimakasih pak..nah terkait dengan program promosi kesehatan
di Puskesmas Kuala ini pak sudah berjalan dengan baik, namun
mengalami kendala-kendala dalam pelaksanannya. Kita ketahui pak
bahwa ada 10 penyakit terbanyak di wilayah Puskesmas Kuala ini
dan diantaranya itu terdapat penyakit diare. Nah..dari data tersebut
kami diberikan tugas oleh Kepala Puskesmas untuk merencanakan
kegiatan dilapangan berupa penyuluhan kepada masyarakat. Namun
kami menghadapi kendala pak dimana masyarakat kurang aktif
menghadiri kegiatan penyuluhan yang telah kami sampaikan. Dan
juga pak kami kurang mendapat respon dari aparat desa setempat
sehingga masyarakat malas apabila diundang menghadiri
penyuluhan. Hal lain yang menjadi kendala kami kami pak..adalah
kami tidak mempunyai alat peraga penyuluhan kesehatan untuk itu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
54
melalui wawancara ini pak kami sangat mengaharapkan saran atau
masukan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen untuk
merencanakan pengadaannya pak”(informan 5). Tanggapan masyarakat tentang program promosi kesehatan di Puskesmas
Kuala adalah sebagai berikut :
“Waalaikumsalam pak...wah kami sangat senang pak didatangi oleh
bapak dari Puskesmas untuk menanyakan keluhan kami terutama
tentang penyuluhan kesehatan. Begini pak kami harus berkata jujur
bahwa promosi kesehatan ini belum menyentuh kami sebagai warga
di Puskesmas Kuala. Kami kurang tau ini pak apakah kalau kami
sakit baru dikunjungi oleh staf Puskesmas dan menyampaikan
informasi tentang kesehatan. Setau kami ya pak tapi maaf
sebelumnya pak bukan bermaksud mengajari..bahwa sebaiknya kami
diberikan penyuluhan sebelum kami sakit pak jadi kami bisa
mengetahui hal-hal apa saja yang kami lakukan agar tidak jatuh
sakit”(informan 8).
Dari hasil hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa implementasi
program promosi kesehatan di Puskesmas Kuala telah dilaksanakan namun belum
maksimal. Masih terdapat hambatan-hambatan dalam pelaksanaannya. Demikian juga
respon masyarakat yang belum merasakan manfaat promosi kesehatan yang diberikan
oleh Puskesmas Kuala.
4.6. Pelaksanaan Penanggulangan Diare di Puskesmas Kuala Kabupaten
Bireuen tahun 2016
Kebijakan penanggulangan diare secara nasional mengacu pada peraturan
Menteri Kesehatan RI No.40 tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit
Menular.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
55
Untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan penanggulangan diare di Puskesmas
Kuala dapat diketahui dari rangkuman wawancara dengan informan sebagai berikut :
“Baik pak..jadi tentang kebijakan penanggulangan diare diwilayah Puskesmas Kuala ini sudah kami laksanakan diantaranya
memberikan penyuluhan kepada masyarakat serta memberikan
larutan oralit yang kami dapatkan dari Dinas Kesehatan Kabupaten
Bireuen. Kami juga menyusun rencana kerja penanggulangan diare
diwilayah Puskesmas Kuala dengan melibatkan pemerintah
kecamatan dan desa. Kegiatan yang kami lakukan biasanya pak
membersihkan lingkungan atau gotong royong bersama begitu juga
kami membuat informasi kesehatan tentang langkah-langkah
penanganan diare di setiap balai pertemuan masyarakat. Namun
belakangan ini pak kegiatan tersebut mulai menurun..kami juga
tidak tahu apa sebabnya pak..Sementara kita taukan pak bahwa
penanggulangan diare ini dibutuhkan kerjasama pemerintah dan
semua masyarakat karena tidak cukup kalau hanya kami dari
Puskesmas yang melakukannya pak”(informan 1).
Sementara tanggapan petugas MTBS di Puskesmas Kuala terhadap kebijakan
penanggulangan diare di Puskesmas Kuala dapat diketahui dari rangkuman
wawancara dengan informan sebagai berikut :
“Waalaikumsalam pak..terimakasih pak sudah berkunjung ke
Puskesmas Kuala. Kami mencoba menjawab pertanyaan bapak
terkait penanggulangan diare diiwilayah Puskesmas Kuala ini. Jadi
pak kita di Puskesmas ini sudah ada program Manajemen Terpadu
Balita Sakit atau disebut MTBS yang sasaran utama pelayanannya
adalah anak balita. Semua masalah penyakit pada anak Balita kami
tangani pak..jadi bukan hanya diare saja. Biasanya kan pak..balita
yang berobat di Puskesmas ini lebih banyak karena diare dan ibu-
ibu balita membawa anaknya ke Puskesmas apabila sudah sakit
diare pak. Ada juga pasien yang dirujuk dari pustu dan bidan desa
untuk selanjutnya kami tangani di Puskesmas. Kami juga melakukan
kunjungan ke Posyandu-posyandu pak untuk memeriksa kesehatan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56
anak-anak balita yang datang keposyandu. Kami biasanya
mengumpulkan ibu-ibu balita untuk memberikan pemahaman
tentang penganggulangan diare seperti bagaimana membuat larutan
gula garam untuk anak balita yang terkena diare. Hanya saja
pak..kami juga mengalami hambatan terutama karena keterbatasan
petugas MTBS di Puskesmas sehingga terkadang tidak semua balita
kami bisa layani. Demikian juga alat pemeriksaan kesehatan anak
balita yang sangat terbatas pak”(informan 3).
Tanggapan masyarakat tentang penanggulang diare yang diberikan oleh
Puskesmas Kuala dapat diketahui dari rangkuman wawancara dengan informan
sebagai berikut :
“Waalaikumsalam..pertama-tama kami mengucapkan terimakasih
telah datang kerumah kami ini pak. Kami sebagai masyarakat yang
memiliki anak balita seringkali menghadapi masalah kesehatan
pada anak-anak kami ini terutama sakit perut yang sering terjadi
pada anak kami pak..nah untuk menanggulanginya biasanya kami
beli obat sakit perut diwarung yang dekat pak..dan kami buatkan teh
hangat sama anak kami ini. Tapi hanya sebentar saja sembuh dan
kemudian kambuh lagi pak..nah inilah yang membuat kami kuatir
pak..biasanya kalau sudah berat kami bawa ke mantri kesehatandi
Puskesmas pak karena mereka punya obat untuk menyembuhkan
penyakit anak kami in. Hanya saja pak dari beberapa pengalaman
kami bahwa Puskesmas Kuala ini masih sedikit memberikan bantuan
kepada anak kami ini pak contohnya kan pak..kami diberikan oralit
itu sangat terbatas,,sementara anak kami masih belum pulih total
pak dan disuruh pulang kerumah. Inilah pak keluhan kami kepada
Puskesmas Kuala agar kami dapat dilayani dengan baik
pak..nah..untuk penyuluhan saya lihat petugas kesehatan masih
jarang datang kerumah-rumah masyarakat sekitar ini pak..hanya
kalau ada posyandu dan rapat didesa mereka datang pak” (informan 9).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
57
Tanggapan berbeda juga disampaikan oleh penanggungjawab KIA
Puskesmas Kuala sebagai berikut :
“Baik pak..untuk penanggulangan diare di wilayah Puskesmas
Kuala khususnya kepada anak balita telah kami upayakan melalui
kerjasama semua bidan didesa. Dimana kami meminta semua bidan
desa untuk akitf melaporkan setiap kasus diare yang ditemukan
diwilayah masing-masing dan juga diposyandu. Setiap laporan yang
kami terima pak..kami langsung mengunjungi balita tersebut
dirumahnya dan segera kami memberikan bantuan terutama
bagaimana balita tersebut tidak kekurangan cairan. Tapi
pak..khusus balita yang sangat berat diarenya kami segera bawa ke
Puskesmas untuk dirawat pak dan selanjutnya dokter akan
memberikan pengobatan. Adapun masalah yang kami hadapi
dilapangan ya pak..dimana kami itu pak kekurangan alat dan obat
dari Puskesmas sehingga kami tidak dapat memberikan pelayanan
yang maksimal kepada masyarakat khususnya anak-anak balita ini
pak. Kami juga mengadakan kegiatan penyuluhan pak namun tidak
sering sih pak..hanya kalau ada program yang direncanakan oleh
Kepala Puskesmas”(informan 2).
Keberhasilan penanggulangan diare di Puskesmas Kuala juga dapat diketahui
dari hasil wawancara dengan para kader posyandu sebagai berikut :
“Tentang penanggulangan diare pak kami memberikan keterangan sesuai dengan pengalaman kami selama bertugas di posyandu. Jadi
pak dilingkungan posyandu kita ini memang benar bahwa setiap
bulan selalu ada balita yang menderita diare kira-kira 12-17 orang
setiap bulannya pak. Hal ini telah diketahui oleh bidan desa disini
pak. Untuk penanggulangannya pak kami diarahkan oleh bidan desa
untuk memberikan larutan oralit kepada balita yang diare. Dan
kami diminta juga untuk selalu memperhatikan balita-balita yang
diare itu pak. Yah..sebenarnya kami juga terbeban loh pak karena
tugas kami dirumah juga banyak pak..sehingga kami hanya sesekali
kerumah balita itu dan kami mohon bapak maklumlah..tentang
keberhasilan penanggulangan diare ini pak kami melihat masih
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
belum maskimal dilakukan..itu karena banyak keterbatasan pak
seperti oralit yang terbatas, obat-obat yang diberikan oleh bidan
juga terbatas, dan kadang juga pak petugas kesehatan dari
Puskesmas jarang kedesa, hanya kalau posyandu aja mereka datang
pak”(informan 6).
Dari hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa program
penanggulangan promosi kesehatan di Puskesmas Kuala masih belum berjalan
efektif dan bermanfaat kepada masyarakat. Hal ini disebabkan beberapa faktor
seperti keterbatasan tenaga, alat kesehatan dan obat di Puskesmas.
4.7. Sarana Promosi Kesehatan dalam Penanggulangan Diare di Puskesmas
Kuala Kabupaten Bireuen tahun 2016
Sarana promosi kesehatan merupakan dukungan fasilitas kesehatan yang
diberikan dalam upaya meningkatkan keberhasilan program promosi kesehatan baik
ditingkat Puskesmas, pustu maupun poskesdes. Untuk mengetahui sarana promosi
kesehatan di Puskesmas Kuala dapat dijelaskan melalui rangkuman wawancara
dengan informan sebagai berikut :
“Baik pak kami akan menerangkan situasi sarana promosi kesehatan di Puskesmas Kuala ini. Secara umum pak sarana
kesehatan di Puskesmas Kuala ini masih belum lengkap namun kami
berupaya untuk memanfaatkan sarana yang sudah ada dengan se-
efektif dan se-efisien. Nah..terkait sarana promosi kesehatan ini pak
kami berkata jujur ini ya pak..bahwa sarananya memang kurang
lengkap. Bapak bisa melihat sendiri diruangan promosi kesehatan
itu tidak ada bahan penyuluhan seperti food model, poster-poster
penyuluhan, alat peraga penyuluhan media seperti tv,tape,LCD dan
lain-lain pak. Demikian pula kami belum mempunyai kendaraan
khusus untuk melakukan promosi kesehatan kedesa-desa
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
59
pak..sehingga hal ini menghambat kami untuk melakukan promosi
kesehatan kepada masyarakat”(informan 1).
Pendapat lain juga disampaikan oleh Petugas penyuluh kesehatan masyarakat
tentang sarana promosi kesehatan di Puskesmas Kuala melalui hasil wawancara
berikut :
“Terkait sarana promosi kesehatan pak setahu kami masih kurang lengkap. Kami sering mengalami hambatan dalam melaksanakan
penyuluhan kepada masyarakat dimana alat-alat peraga untuk
promosi kesehatan tidak ada pak..kita taukan pak kalau masyarakat
itu lebih cepat mengerti kalau memberikan penyuluhan itu lebih
efektif menggunakan alat peraga atau poster-poster semacam itulah
pak..untuk itu kami sebenarnya mengharapkan sekali pak agar
diberikan saran juga kepada Dinas Kesehatan untuk memperhatikan
hal ini di Puskesmas”(iforman 5).
Sementara menurut petugas kesehatan lingkungan terkait sarana promosi
kesehatan di Puskesmas Kuala dapat dirangkum dari hasil wawancara sebagai
berikut :
“Menurut kami sebagi petugas kesehatan lingkungan pak..bahwa sarana promosi kesehatan di Puskesmas Kuala ini tidak memberikan
dukungan berarti bagi tugas-tugas kami terutama bila memantau
tempat-tempat umum yang lingkungannya tidak bersih. Kan bisa
saja sebenarnya pak kami sekaligus memberikan penyuluhan atau
promosi kesehatan kepada masyarakat terutama yang
lingkungannya kurang bersih. Bisa juga kami menempelkan poster-
poster yang mengajak masyarakat untuk menjaga kebersihan
lingkungan. Namun hal ini belum dapat dilaksanakan pak karena
sarana promosi kesehatan dari Puskesmas belum diberikan kepada
kami. Alasan dari petugas promosi kesehatan katanya sarana
promosi kesehatan memang tidak tersedia di Puskesmas. Jadi
menurut kami pak sarana promosi kesehatan sangat penting sekali
untuk dilengkapi di Puskesmas agar masyarakat bisa mengerti
manfaat menjaga kebersihan lingkungan dan dampaknya bagi
kesehatan mereka”(informan 4).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60
Tanggapan masyarakat tentang sarana promosi kesehatan di Puksesmas Kuala
dapat diketahui dari hasil wawancara sebagai berikut :
“Ia pak..kami bisa memberikan jawaban berdasarkan pengalaman
kami ya pak..seperti setiap kami diundang untuk mengikuti kegiatan
penyuluhan dari Puskesmas atau bidan desa mereka lebih banyak
berceramah pak dan hanya diskusi saja. Tapi jujur saja ya pak..kami
itu terkadang kurang paham apa yang mereka sampaikan karena
tidak bisa kami melihat seperti apa?? contohnya kan pak bagaimana
membuat larutan gula garam untuk diare..ada lagi memasak bahan
makanan untuk balita yang diare jadi kamipun tidak paham kali pak.
Jadi kami sarankan bagaimana petugas kesehatan itu pak bisa
menggunakan alat peraga apabila melakukan penyuluhan kepada
kami”(informan 7).
Dari keterangan wawancara di atas dapat dijelaskan bahwa sarana promosi
kesehatan di Puskesmas Kuala masih sangat terbatas. Sehingga hal ini
mempengaruhi tugas-tugas dari petugas penyuluh kesehatan masyarakat dan petugas
kesehatan lingkungan untuk menyampaikan informasi kesehatan kepada masyarakat.
Demikian hasil wawancara dengan masyarakat juga yang menyatakan bahwa
penyuluhan kesehatan tidak bermanfaat apabila petugas tidak menggunakan media
atau alat peraga untuk penyuuhan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
61
BAB 5
PEMBAHASAN
5.1. Analisis Implementasi Program Promosi Kesehatan di Puskesmas Kuala
Kabupaten Bireuen tahun 2016
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.75 tahun 2014 tentang
Puskesmas bahwa terdapat dua fungsi Puskesmas yaitu Upaya Kesehatan Masyarakat
(UKM) dan Upaya Kesehatan Perorangan (UKP). Upaya kesehatan masyarakat
adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah dan menanggulangi timbulnya masalah kesehatan dengan sasaran keluarga,
kelompok, dan masyarakat melalui upaya-upaya promosi kesehatan.
Program promosi kesehatan termasuk dalam UKM dan sebagai ujung tombak
pelayanan Puskesmas kepada masyarakat. Puskesmas dituntut untuk meningkatkan
kinerja sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan
No.1114/Menkes/SK/VII/2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di
Daerah. Dalam peraturan menteri kesehatan tersebut memberikan pengertian promosi
kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui
pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong
diri sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai
sosial budaya setempat dan didukung kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.
Sementara menurut Syafrudin (2009), yang dimaksud dengan upaya kesehatan
masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan adalah suatu kegiatan dan atau
serangkaian kegiatan pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk peningkatan,
61
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
62
pencegahan, penyembuhan penyakit, pengurangan penderitaan akibat penyakit dan
memulihkan kesehatan perseorangan.
Penyakit diare di Puskesmas Kuala merupakan masalah kesehatan yang
sering dihadapi. Data Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen tahun 2015 menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan jumlah penderita diare pada anak balita diwilayah
Puskesmas Kuala sebanyak 445 kasus. Puskesmas Kuala telah melaksanakan upaya-
upaya pencegahan diare melalui kegiatan promosi kesehatan dan pemberian bantuan
kesehatan baik di Puskesmas, pustu dan poskesdes.
Hasil wawancara dengan informan menyatakan bahwa Puskesmas Kuala
telah melaksanakan program promosi kesehatan baik di Puskesmas maupun diluar
Puskesmas atau desa-desa. Bentuk kegiatan yang dilakukan meliputi kegiatan
penyuluhan kesehatan kepada masyarakat dan juga melakukan kegiatan yang
melibatkan peran serta masyarakat seperti melakukan kebersihan lingkungan dan
perbaikan jamban dirumah penduduk.
Sebagian informan masyarakat yang jarang mengikuti kegiatan dilingkungan
menyatakan bahwa mereka belum pernah menerima penyuluhan dan kegiatan lain
yang berkaitan dengan promosi pencegahan diare. Sebagian besar informan yang
sering mengikuti kegiatan di lingkungan menyatakan bahwa mereka pernah
menerima kegiatan terkait pencegahan diare. Masyarakat sudah menerima kegiatan
terkait promosi diare yaitu penyediaan sarana air bersih dan jamban. Diketahui bahwa
kegiatan ceramah dan konseling dilakukan di Posyandu sesuai permintaan warga dan
bukan merupakan kegiatan yang sudah terprogram.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
63
Promosi kesehatan untuk mengendalikan kejadian diare perlu dilakukan
karena terdapat berbagai macam tanggapan dan penerimaan yang berbeda di
masyarakat. Beberapa hal yang berkaitan dengan latar belakang pendidikan, sosial
budaya, dan ekonomi menyebabkan terjadinya bermacam pengertian, sikap dan
tanggapan dan penerimaan masyarakat terhadap diare, kepadatan penduduk yang
tinggi, higiene dan yang buruk mempertinggi kejadian diare. Faktor-faktor tersebut
mempermudah penyebaran atau penularan infeksi.
Hasil wawancara dengan petugas KIA dan penyuluh kesehatan masyarakat
menyatakan bahwa masyarakat diwilayah Puskesmas Kuala memiliki kesadaran yang
masih rendah untuk menjaga kebersihan lingkungan guna mencegah terjadinya
penyakit menular seperti diare. Dari observasi lapangan diketahui bahwa sampah-
sampah dan hasil limbah masyarakat masih berada disekitar lingkungan rumah
penduduk sehingga menciptakan lingkungan kotor terutama bagi anak balita dan bayi
yang tinggal disekitarnya.
Menurut Bustami (2011), bahwa program kesehatan akan menjadi bermutu
jika dikelola dan diarahkan sesuai dengan ketentuan dan prosedur kerja yang berlaku
dengan maksud pelayanan kesehatan akan menjadi lebih mudah untuk diterima oleh
masyarakat dengan baik. pengendalian penyakit diare dapat dilakukan dengan
pemeliharaan sanitasi lingkungan dan promosi kesehatan. Salah satu usaha untuk
mengendalikan penyakit diare adalah dengan melakukan promosi kesehatan yaitu
segala usaha yang dilakukan yang dapat berpengaruh terhadap peningkatan
kesehatan. Kegiatan promosi kesehatan dapat berupa pendidikan, perubahan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
64
lingkungan yang mendukung peningkatan kesehatan, legislasi, ataupun perubahan
pada norma-norma sosial.
Masalah lain yang timbul diwilayah Puskesmas Kuala adalah kebiasaan ibu
balita yang tidak membiasakan anaknya untuk mencuci tangan sebelum makan.
Sarana air bersih yang tersedia di rumah penduduk memiliki kualitas yang masih
rendah dan terkontaminasi oleh kotoran dari luar. Demikian pula halnya kebiasaan
ibu-ibu balita yang membiasakan anaknya membuang tinja sembarangan tempat.
Tentunya hal ini akan mendorong penyebaran bakteri yang masuk kedalam tubuh
balita. Hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare dikemukan oleh
Bozkurt (2003), dimana orang tua yang tidak mempunyai kebiasaan mencuci tangan
sebelum merawat anak, maka anak mempunyai resiko lebih besar terkena diare.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Auli dkk, (1994) di Sumatera Selatan,
kebiasaan ibu membuang tinja anak ditempat terbuka merupakan factor resiko yang
besar terhadap kejadian diare dibandingkan dengan kebiasaan ibu membuang tinja
anak anak dijamban.
Menurut Soekidjo (2007), untuk mencegah atau sekurang-kurangnya
mengurangi kontaminasi kotoran manusia terhadap lingkungan maka pembuangan
kotoran manusia harus dikelola dengan baik, maksudnya pembuangan kotoran
manusia harus disuatu tempat tertentu atau jamban yang sehat. Kesadaran masyarakat
dalam menjaga kebersihan lingkungan dinilai masih rendah, Dari hasil wawancara
dengan kader diketahui bahwa pengelolaan sampah tidak terkelola dengan baik,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
65
masyarakat masih ada yang buang sampah sembarangan ke sungai, ke parit dan di
pekarangan rumah.
Sementara menurut Andrianto (1995), untuk mencegah terjadinya diare maka
air bersih harus diambil dari sumber yang terlindungi atau tidak terkontaminasi.
Sumber air bersih harus jauh dari kandang ternak dan kakus paling sedikit sepuluh
meter dari sumber air. Air harus ditampung dalam wadah yang bersih dan
pengambilan air dalam wadah dengan menggunakan gayung yang bersih dan untuk
minum air harus di masak. Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air bersih
mempunyai resiko menderita diare lebih kecil bila dibandingkan dengan masyarakat
yang tidak mendapatkan air bersih.
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa pemahaman masyarakat tentang
diare di Puskesmas Kuala masih kurang tepat. Terdapat beberapa persepsi yang tidak
tepat. Pemahaman dan persepsi masyarakat ini dipengaruhi oleh pengetahuan dan
informasi yang diterima. Selama ini kegiatan penyuluhan lebih ditekankan pada
penanganan diare dari pada usaha pencegahan dan pengertian diare itu sendiri.
Masyarakat kurang dapat menghubungkan antara diare dengan lingkungan
sehinggamasyarakat tidak melakukan tindakan pencegahan.
Untuk itu perlu dilakukan promosi kesehatan yang bertujuan untuk
memberikan informasi kepada masyarakat tentang pengaruh lingkungan terhadap
pencegahan diare. Dengan informasi yang diberikan diharapkan masyarakat
mengetahui hubungan antara lingkungan dengan diare sehingga diharapkan akan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
66
melakukan tindakan pencegahan yang diperlukan. Pengetahuan merupakan faktor
yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan tindakan
5.2. Analisis Pelaksanaan Penanggulangan Diare di Puskesmas Kuala
Kabupaten Bireuen tahun 2016
Fungsi pengawasan dan pengendalian (controlling) merupakan fungsi yang
terakhir dari proses manajemen penanggulan diare di Puskesmas. Melalui fungsi
pengawasan dan pengendalian, standar keberhasilan program yang dituangkan dalam
bentuk target, prosedur kerja dan sebagainya harus selalu dibandingkan dengan hasil
yang telah dicapai atau yang mampu dikerjakan oleh staf. Jika ada kesenjangan atau
penyimpangan yang terjadi harus segera diatasi. Penyimpangannya harus dapat
dideteksi secara dini, dicegah, dikendalikan atau dikurangi oleh pimpinan. Fungsi
pengawasan dan pengendalian bertujuan agar penggunaan sumber daya dapat lebih
diefisienkan, dan tugas-tugas staf untuk mencapai tujuan program dapat lebih
diefektifkan (Muninjaya, 2004).
Diare merupakan salah satu penyakit utama yang banyak terdapat di negara
berkembang, menyerang masyarakat terutama terhadap anak dibawah usia 5 tahun.
Diare dapat terjadi karena berbagai sebab, penularannya melalui makanan dan
minuman yang tercemar oleh kuman penyebab. Salah satu penyebab terjadinya diare
adalah karena peradangan usus, kolera, disentri, bakteri, virus dan sebagainya. Sebab
lain karena kekurangan gizi, seperti kemungkinan kurang dan juga dapat disebabkan
karena keracunan makanan maupun minuman (Depkes RI,1999).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
67
Mengingat begitu beratnya dampak yang dapat ditimbulkan diare, maka Dinas
Kesehatan Kabupaten Bireuen mempunyai dasar kebijakan dalam penanggulangan
diare yang diatur dalam Manajemen Terpadu Balitas Sakit (MTBS). MTBS adalah
suatu program yang dilakukan dalam rangka menekan kejadian penyakit yang
diderita balita khususnya diare yang dahulu dikenal dengan pojok oralit. Kegiatan
yang dilakukan dalam pelayanan MTBS di Puskesmas Kuala meliputi : pemeriksaan
langsung kepada pasien, penanganan dini atau pengobatan, konseling sekaligus
penyuluhan.
Tidak berjalannya Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas
Kuala mengakibatkan Pelaksanaan tatalaksana diare yang standar di sarana kesehatan
melalui Lima Langkah Tuntaskan Diare (LINTAS DIARE) tidak berjalan dengan
maksimal. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pengawasan kepala puskesmas dan
Dinas Kesehatan yang belum maksimal. Pengawasan dan pembinaan perlu
ditingkatkan agar pelaksanaan program promosi kesehatan tentang diare dapat
berjalan sesuai dengan tujuan yang diharapkan.
Salah satu kegiatan pokok Puskesmas Kuala dalam upaya penanggulangan
diare adalah mengumpulkan dan menganalisa data tentang penyakit diare,
melaporkan kasus penyakit diare, menyelidiki dilapangan untuk melihat benar atau
tidaknya laporan yang masuk untuk menemukan kasus-kasus baru baru, dan untuk
mengetahui sumber-sumber penularan tindakan sesegera mungkin untuk mencegah
perkembangan penyakit secara luas, mengobati penderita sehingga tidak lagi menjadi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
68
sumber penularan penyakit, pemberian imunisasi, pemberantasan vektor serta
memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat.
Dari hasil wawancara dengan informan Kepala Puskesmas Kuala yang
menyatakan bahwa program penanggulangan diare diwilayah kecamatan Kuala
dilakukan dengan pengobatan kepada pasien namun lebih menekankan pada
pendekatan promosi kesehatan melalui pendidikan atau penyuluhan kesehatan yang
disampaikan secara rutin kepada masyarakat. Setiap unit kerja yang ada di Puskesmas
Kuala memiliki program promosi kesehatan. Seperti unit kerja kesehatan ibu dan
anak yang memiliki program pendidikan kesehatan tentang pencegahan diare kepada
ibu-ibu hamil dan yang mempunyai anak balita, demikian juga dengan unit kerja
kesehatan lingkungan yang memiliki program pemeriksaan tempat-tempat umum
sekaligus menyampaikan informasi kesehatan tentang penularan diare melalui
lingkungan yang tidak bersih. Hal serupa juga dilakukan unit kerja lain yang ada di
Puskesmas dan seluruh bidan desa yang masing-masing wajib memiliki program
promosi kesehatan kepada masyarakat. Apabila ditemukan penderita diare dengan
kasus yang berat dan tidak ditangani di Puskesmas Kuala maka akan segera dirujuk
ke Rumah Sakit Umum Daerah.
Penanggulangan diare di Puskesmas Kuala juga melibatkan aparat pemerintah
kecamatan maupun desa, dimana hal ini menjadi bahan diskusi dalam setiap
pertemuan dengan pemerintah kecamatan yang dihadiri oleh masyarakat. Program
yang melibatkan aparat pemerintah dan masyarakat meliputi melakukan gotong
royong bersama, membantu melaporkan jika adanya penderita diare, menyampaikan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
69
pesan-pesan pencegahan diare dalam setiap pertemuan yang dilaksanakan baik
ditingkat kecamatan maupun ditingkat desa. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan
Azwar (2012) bahwa pendekatan bersifat persuasif dapat diperkaya dengan pesan-
pesan yang membangkitkan emosi yang kuat dalam diri seseorang khususnya untuk
merubah opini atau keyakinan masyarakat. Apalagi bila pesan berisi rekomendasi
mengenai bagaimana perubahan sikap dapat mencegah konsekuensi negatif dari
pesan yang berkaitan dengan penyakit diare. Cara ini sangat efektif untuk perilaku
yang berkaitan dengan kesehatan sehingga dapat dipahami apabila pesan mengenai
pencegahan dan penanganan diare akan dapat diterima masyarakat.
Menurut Notoadmodjo (2012), yang mengutip pendapat Hopkins, definisi
advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui bermacam-
macam bentuk komunikasi persuasif. Advokasi dapat diartikan sebagai upaya atau
proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari
pihak-pihak yang terkait (stakeholders). Berbeda dengan bina suasana, advokasi
diarahkan untuk menghasilkan dukungan yang berupa kebijakan (misalnya dalam
bentuk peraturan perundang-undangan), dana, sarana, dan lain-lain sejenis.
Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk
meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang
tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.
Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan
masyarakat. Dalam konsep pemberdayaan, menurut Prijono dan Pranarka (1996),
manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
70
pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya,
mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan
untuk menentukan pilihan hidupnya.
Dalam rangka pencapaian kemandirian kesehatan, pemberdayaan masayrakat
merupakan unsur penting yang tidak bisa diabaikan. Pemberdayaan kesehatan di
bidang kesehatan merupakan sasaran utama dari promosi kesehatan. Masyarakat
merupakan salah satu dari strategi global promosi kesehatan pemberdayaan
(empowerment) sehingga pemberdayaan masyarakat sangat penting untuk dilakukan
agar masyarakat sebagai primary target memiliki kemauan dan kemampuan untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan.
Menurut Notoatmodjo (2005), dalam dimensi kesehatan, pemberdayaan
merupakan proses yang dilakukan oleh masyarakat (dengan atau tampa campur
tangan pihak luar) untuk memperbaiki kondisi lingkungan, sanitasi dan aspek lainnya
yang secara langsung maupun tidak lansung berpengaruh dalm kesehatan masyarakat.
Unit pelaksana Pencegahan Penyakit Menular (P2M) di Puskesmas Kuala
merupakan unit yang diberikan tanggungjawab dalam melaksanakan pembinaan dan
pengendalian penyelenggaraan upaya pemberantasan penyakit dalam rangka
menurunkan kasus diare. Adapun petugas pelaksana P2M yang menanggulangi diare
di Puskesmas Kuala meliputi Kepala Puskesmas selaku penanggungjawab pelayanan
kesehatan, pelaksana P2D Puskesmas selaku penanggungjawab program dan perawat
ataupun bidan/bidan desa selaku petugas yang menangani langsung pasien.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
71
Berdasarkan wawancara dengan informan diketahui bahwa tugas pokok yang
penyuluh kesehatan masyarakat dalam menanggulangi diare di Puskesmas Kuala
antara lain :
1. Melakukan analisis situasi atau masalah dengan cara pengumpulan data penyakit
diare dan pengolahan data penyakit diare, sehingga dapat diketahui data dasar
penyakit diare meliputi jumlah kasus diare, daerah sebaran kasus diare, waktu
terjadinya kasus, sasaran yang terkena penyakit diare.
2. Analisis permasalahan yang ada dengan cara analisis data penyakit diare,
penyajian data penyakit diare dan interpretasi data penyakit diare sehingga dapat
diketahui masalah diare.
Dari hasil wawancara dengan masyarakat diketahui bahwa penanggulangan
diare di Puskesmas Kuala dianggap masih rendah. Salah satu ibu balita yang
menyatakan bahwa pihak Puskesmas memang pernah memberikan bantuan berupa
larutan oralit kepada anaknya namun jumlahnya dibatasi sementara anaknya masih
membutuhkan larutan oralit atau masih sakit. Setelah hal ini dipertanyakan, pihak
Puskesmas menyampaikan bahwa persediaan larutan oralit di Puskesmas masih
terbatas. Demikian halnya dengan informan lain yang mengeluhkan pelayanan oleh
bidan desa yang tidak berada ditempat sehingga sulit bagi ibu balita meminta
pertolongan apabila anaknya diare.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
72
Menurut informan bahwa hal-hal yang mengurangi keberhasilan promosi
kesehatan di Puskesmas Kuala adalah kegiatan promosi kesehatan untuk
penanggulangan diare selama ini per bagian, yaitu kegiatan dilakukan oleh setiap
penanggung jawab program secara terpisah. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan
sesuai program masing-masing bagian seperti kegiatan peningkatan kualitas air oleh
bagian kesehatan lingkungan, konseling untuk pemberian ASI oleh bagian kesehatan
ibu dan anak serta kegiatan PHBS oleh bagian penyuluhan masyarakat. Kegiatan
yang dilakukan lebih menitikberatkan pada pendidikan kesehatan, sementara
perubahan lingkungan yang mendukung kesehatan, perubahan norma-norma social
maupun usaha legislasi kurang mendapat perhatian.
Selain kegiatan promosi kesehatan yang tidak terpadu, faktor lain yang dapat
mempengaruhi keberhasilan promosi kesehatan di Puskesmas Kuala adalah faktor
perencanaan. Selama ini kegiatan promosi kesehatan sebagian dilaksanakan pada
saat munculnya kasus, bukan kegiatan yang sudah terprogram sebelumnya.
Dari hasi pembahasan penelitian tersebut di atas maka dapat disimpulkan
bahwa program penanggulangan diare melalui pendekatan promosi kesehatan di
Puskesmas Kuala masih belum berjalan efektif dan manfaat bagi masyarakat.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
73
5.3. Analisis Sarana Promosi Kesehatan dalam Penanggulangan Diare di
Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen tahun 2016.
Sarana promosi kesehatan merupakan media yang digunakan untuk
menyampaikan pesan kepada sasaran sehingga mudah dimengerti oleh sasaran atau
pihak yang dituju. Media promosi kesehatan adalah semua sarana atau upaya untuk
menampilkan pesan atau informasi yang ingin disampaikan oleh komunikator, baik
itu melalui media cetak, elektronik dan media luar ruang, sehingga sasaran dapat
meningkat pengetahuannya yang akhirnya diharapkan dapat berubah perilakunya ke
arah positif terhadap kesehatannya (Notoatmodjo, 2012). Media pendidikan
kesehatan disebut juga sebagai alat peraga karena berfungsi membantu dan
memeragakan sesuatu dalam proses pendidikan atau pengajaran. Prinsip pembuatan
media bahwa pengetahuan yang ada pada setiap orang diterima atau ditangkap
melalui panca indera.
Promosi kesehatan mempunyai peranan yang sangat penting dalam proses
pemberdayaan masyarakat, yaitu memperoleh pembelajaran dari, oleh dan bersama
masyarakat sesuai dengan lingkungan sosial budaya setempat, agar masyarakat dapat
menolong dirinya sendiri dibidang kesehatan. Promosi kesehatan tidak lepas dari
media karena melalui media, pesan-pesan yang disampaikan dapat lebih menarik dan
dipahami, sehingga sasaran dapat mempelajari pesan tersebut dan sasaran dapat
memutuskan untuk mengadopsinya perilaku yang positif. Metode penyampaian
pesan dan informasi dalam promkes diantaranya adalah metode audio visual (lihat-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
74
dengar) dan metode cetak (buku saku) yang masing-masing metode memiliki
kelebihan dan kekurangan.
Hasil wawancara dengan informan Kepala Puskesmas Kuala menyatakan
bahwa sarana promosi kesehatan di Puskesmas Kuala masih sangat terbatas sehingga
upaya penanggulangan diare melalui promosi kesehatan menjadi terhambat. Hal
serupa juga diungkapkan oleh para bidan desa dan kader posyandu, dimana mereka
kesulitan menyampaikan maksud dan tujuan materi penyuluhan terutama untuk
mencegah penyakit diare khususnya kepada balita.
Hal ini juga dikeluhkan oleh ibu-ibu balita yang mendengar penyuluhan
kesehatan yang disampaikan petugas Puskesmas Kuala di Posyandu, dimana mereka
kurang memahami isi penyuluhan yang disampaikan karena tidak bisa dipraktikan
sehingga terkesan jenuh dan membosankan.
Pelaksanaan kegiatan promosi yang diinginkan informan ibu-ibu balita
diwilayah Puskesmas Kuala adalah kegiatan yang dilakukan secara teratur setiap
bulan dan dilakukan bersamaan dengan kegiatan lain. Sumber informasi yang
diinginkan adalah petugas kesehatan. Informan juga menyatakan bahwa siapapun
petugas kesehatan dapat memberikan promosi kesehatan sepanjang petugas kesehatan
tersebutmampu danmenguasai permasalahan. Informan menyatakan bahwa bahasa
pengantar yang disukai adalah bahasa Indonesia dengan gaya bahasa yang digunakan
sehari-hari yaitu bercampur dengan bahasa Aceh.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
75
Menurut sebagian besar informan bahasa Indonesia lebih mudah dipahami dan
lebih luas pemakaiannya. Sebagian besar informan menyatakan materi promosi yang
diinginkan adalah mengenai penanganan diare. Namun demikian terdapat juga
sebagian informan yang menginginkan materi mengenai pencegahan dan
pengetahuan tentang diare secara menyeluruh.
Sebagian besar informan ibu-ibu balita menyatakan bahwa mereka
mendapatkan informasi kesehatan dari petugas kesehatan dan kader. Informasi yang
diperoleh dari petugas kesehatan biasanya didapat melalui penyuluhan di posyandu
dan konseling. Sebagian masyarakat yang lain menyatakan bahwa
merekamendapatkan informasi kesehatan dari tokoh masyarakat dan tetangga.
Media informasi yang sering dipergunakan informan untuk mendapatkan
informasi tentang kesehatan adalah dalam bentuk spanduk dan pengumuman yang
ditempelkan ditempat atau balai pertemuan warga. Sebagian juga informan
mempergunakan televisi sebagai sarana untuk memperoleh informasi mengenai
kesehatan secara umum tidak hanya terbatas pada diare saja.
Hasil wawancara dengan penanggungjawab KIA di Puskesmas Kuala
menyatakan bahwa media promosi kesehatan yang digunakan untuk ibu-ibu hamil
dan ibu yang memiliki anak balita sangat terbatas. Hal ini sudah beberapa kali
diusulkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen agar sarana untuk promosi
kesehatan dilengkapi sehingga tidak menghambat tugas-tugas tenaga kesehatan di
Puskesmas dalam menyampaikan penyuluhan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
76
Menurut Notoatmodjo (2005), pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki
sesorang merupakan faktor yang sangat berperan dalam menginterpretasikan suatu
rangsangan yang diperoleh. Pengalaman masa lalu akan menyebabkan terjadinya
perbedaan dalam interpretasi. Sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru, harus
tahu terlebih dahulu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau
keluarganya.
Hasil wawancara dengan petugas penyuluh kesehatan masyarakat di
Puskesmas Kuala menyatakan bahwa kegiatan promosi kesehatan yang dilakukan
oleh petugas kesehatan hanya sebatas rutinitas saja tanpa memperhatikan pemahaman
masyarakat tentang isi penyuluhan yang disampaikan. Hal ini juga sejalan dengan
pernyataan yang disampaikan oleh masyarakat yang beranggapan bahwa diare bukan
penyakit menular karena menurut masyarakat penularan penyakit hanya dapat terjadi
melalui udara dan kontak langsung saja. Hal ini tidak sesuai dengan pernyataan
bahwa sebagian besar penularan diare adalah melalui penularan oral-fekal.
Pemahaman masyarakat bahwa diare tidak menular ini sesuai dengan
penelitian yang menyatakan bahwa masyarakat menganggap bahwa diare terjadi
karena salah makan dan anak sedang bertumbuh. Hal ini sesuai dengan pernyataan
bahwa perilaku manusia merupakan hasil dari pengalaman dan interaksi manusia
yang terwujud dalam bentuk sikap, pengetahuan dan tindakan. Pemahaman
masyarakat tentang penyakit diare sebagai hal biasa dan dapat ditangani sendiri
mempengaruhi tindakan yang diambil apabila terjadi diare. Masyarakat umumnya
menunggu sampai 3 hari sebelum membawa anak berobat.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
77
Penanganan sendiri yang dilakukan berupa pemberian cairan rehidrasi oral
dan pemberian obat tradisional. Pengetahuan masyarakat mengenai penanganan
pertama diare sudah cukup baik dibandingkan dengan pengetahuan tentang
pencegahan diare. Namun masyarakat kurang dapat menghubungkan antara diare
dengan lingkungan sehingga masyarakat tidak melakukan tindakan pencegahan.
Untuk itu Puskesmas Kuala perlu melakukan promosi kesehatan
menggunakan media yang bertujuan untuk memberikan informasi kepada masyarakat
tentang pengaruh lingkungan terhadap pencegahan diare. Dengan informasi yang
diberikan diharapkan masyarakat mengetahui hubungan antara lingkungan dengan
diare sehingga diharapkan akan melakukan tindakan pencegahan yang diperlukan.
Hasil observasi yang dilakukan ke Puskesmas Kuala diketahui bahwa sarana
promosi kesehatan yang ada di Puskesmas Kuala masih minim. Media promosi yang
paling banyak jumlahnya dalam bentuk poster-poster yang ditempelkan ke dinding
gedung Puskesmas dimana hal ini dianggap kurang efektif karena tidak dapat dilihat
ataupun dibaca oleh masyarakat. Demikian juga alat peraga promosi kesehatan
khusus untuk penanggulangan diare di Puskesmas Kuala tidak tersedia.
Maka berdasarkan dari hasil penelitian di atas disimpulkan bahwa sarana
promosi kesehatan di Puskesmas Kuala masih terbatas dan tidak memberikan
dukungan kepada petugas kesehatan melakukan kegiatan penyuluhan kepada
masyarakat. Demikian pula halnya dengan manfaat penyuluhan yang diterima oleh
masyarakat yang masih belum meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat
tentang penyebab diare dan langkah-langkah pencegahannya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
78
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas maka dapat dibuat
kesimpulan penelitian ini sebagai berikut :
1. Implementasi program promosi kesehatan di Puskesmas Kuala Kabupaten
Bireuen dilaksanakan dengan mengintegrasikan pokok-pokok kegiatannya di
dalam program unit pelayanan di Puskesmas melalui pelayanan pada unit KIA,
unit P2P, unit Kesga gizi, unit Pemberdayaan Serta Masyarakat (PSM).
2. Penanggulangan kasus diare diwilayah Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen
dilaksanakan melalui pendekatan promosi kesehatan dan melibatkan pemerintah
daerah dan peran serta masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan
kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan diri dan lingkungan.
3. Sarana promosi kesehatan di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen masih sangat
minim dan terbatas khususnya media untuk penanggulan diare. Akibatnya
pemahaman masyarakat tentang diare masih sangat kurang, disebabkan karena
metode penyuluhan yang digunakan petugas tidak efektif.
78
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
79
6.2.Saran
Dari kesimpulan penelitian di atas maka dapat diberikan saran penelitian
sebagai berikut :
1. Diharapkan agar Puskesmas Bireuen dapat merencanakan program promosi
kesehatan dengan berkoordinasi antar unit program sehingga tidak terjadi
perencanaan ganda.
2. Meningkatkan kerjasama lintas program dan sektoral untuk menanggulangi
penyakit diare diwilayah Pukesmas Kuala serta serta memberdayakan semua
tenaga kesehatan untuk aktif menyampaikan laporan kejadian diare diwilatah
Kecamatan Kuala.
3. Diharapkan petugas kesehatan menggunakan media promosi kesehatan yang bisa
meningkatkan pengetahuan masyarakat sehingga dapat menghilangkan berbagai
anggapan yang kurang tepat mengenai diare. Materi promosi pencegahan diare
sebaiknya mencakup pengaruh lingkungan dan pemberian air susu ibu terhadap
terjadinya diare dengan proses perencanaan kegiatan yang dilakukan secara
terpadu dengan program-program yang lain.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
80
DAFTAR PUSTAKA
Andrianto, P.1995. Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare Akut, Edisi II, 21-32,
EGC, Jakarta.
Bozkurt, 2004. Effect of Dietary Concentration Meat and Bone Meal on Broiler
Chickens Performance. International Journal of Poultry Science, 3 (11):
719-723.
Bungin, Burhan. 2008. Penelitian Kualitatif : Jakarta, Prenada Media Group
Bustami. 2011. Penjaminan mutu pelayanan kesehatan dan akseptabilitas. Jakarta:
Erlangga.
BPS, 2015. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bireuen Tahun 2015. Bireuen.
Depkes RI, .2005/ Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan. Keputusan Menteri
Kesehatan RI Nomor 1193/Menkes/SK/X/2004. Jakarta .
__________, 2005. Pedoman Pro. mosi Kesehatan di Daerah. dan Surat Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1114/Menkes/SK/II/2005. Jakarta
__________,2005. Profil Promosi Kesehatan Pusat Promosi Kesehatan, Jakarta.
__________,2006. Buku Saku Promosi Kesehatan. Jakarta .
__________,,2006, Rumah Tangga Sehat dengan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
__________,2007. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
585/MENKES/SK/V/2007 tentang Pedoman Pelaksanaan Promosi
Kesehatan di Puskesmas. Jakarta,
__________, 2007. Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Puskesmas.
Kepmenkes No 585/ Menkes/ SK/ 2007. Jakarta.
__________,2007. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
Dinkes Prov Aceh, 2014. Profil Kesehatan Provinsi Aceh Tahun 2014.
__________________, 2015. Profil Kesehatan Provinsi Aceh Tahun 2015
80
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
81
Ewles, L., Simnett, I.1994, Promosi Kesehatan, Edisi Kedua, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Pers.
Gibson, R. 1990. Principle of Nutrition Assesment. New York: Oxford Universitty
Press
Haryoto, K., (1983) Kesehatan Lingkungan, Depkes RI., Jakarta, 10-12.
Howard, G., & Bartram J. 2003, Domestic Water Quantity, Service Level and Health.
Web site; http://www.who.int/water sanitation_health/document.pdf..
Kemenkes RI,2010. Undang-Undang RI no 36 tahun 2010 tentang kesehatan.
____________, 2011. Buku Saku Petugas Kesehatan Lintas DIare Lima Langkah
Tuntaskan Diare. Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan. Jakarta.
____________,2013. Riset Kesehatan Daerah (RISKESDAS 2013), Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI,
Jakarta.
____________, 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, Jakarta.
Machfoedz, I., Surayani, E., Sutrisno, Santosa, S. 2005, Pendidikan Kesehatan bagian
dari Promosi Kesehatan, Yogyakarta: Penerbit Fitramaya
Maulana, Heri. 2009. Promosi Kesehatan. EGC Kedokteran. Jakarta.
Mc.Kenzie J.F., Pinger R.R., Kotecki J.E.2007. Kesehatan Masyarakat Suatu
Pengantar, EGC, Jakarta.
Ngastiyah, 2005, Perawatan Anak Sakit. Edisi 2, EGC, Jakarta.
Notoatmodjo,S. 2011. Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni. Rineka Cipta, Jakarta.
____________. 2012. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku, Rineka Cipta, Jakarta
Price,S.A,2010.Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit.EGC:Jakarta
Rahmawati, Elfi.2008. Analisis Kebutuhan Program Promosi Pencegahan Diare Pada
Anak Berusia Di Bawah Dua Tahun. Berita Kedokteran Masyarakat,
Vol. 24, No. 3, September 2008 Hal 111-118.. UGM Yogyakarta..
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
82
Sanropie, Djasio, dkk. 1984. Buku Pedoman Studi Penyediaan Air Bersih. Akademi
Penilik Kesehatan Teknologi Sanitasi. Pusdiknakes : Jakarta.
Sodikin, 2011. Keperawatan Anak Gangguan Pencernaan. Jakarta: EGC.
Soegijanto, S., 2002. Ilmu Penyakit Anak: Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi
Pertama. Salemba Medika, Jakarta.
Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D). Bandung: Alfabeta.
Suharyono, 2008. Diare Akut, Lembaga Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Tangka, Jon W.2014. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Diare Pada
Anak Balita di Puskesmas Bintauna Kabupaten Bolaang Mongondow
Utara. JUIPERDO, VOL 3, N0. 2 September 2014 Hal 10-18. Poltekkes
Kemenkes Manado.
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis Epidimiologi, Penularan, Pencegahan Dan
Pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
83
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
84
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
85
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
86
FOTO KEGIATAN PENGUMPULAN DATA PENELITIAN
Wawancara dengan Kepala Puskesmas Kuala Kab. Bireuen
Wawancara dengan KTU Puskesmas Kuala Kab. Bireuen
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
87
Wawancara dengan Dokter Poli Anak Puskesmas Kuala Kab. Bireuen
Wawancara dengan Penanggungjawab Kesling Puskesmas Kuala Kab. Bireuen
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
88
Wawancara dengan Petugas MTBS Puskesmas Kuala Kab. Bireuen
Wawancara dengan Penyuluh Kesehatan Masyarakat Puskesmas Kuala
Kab. Bireuen
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
89
Wawancara dengan Penaggungjawab KIA Puskesmas Kuala Kab. Bireuen
Wawancara dengan Kepala Pustu Puskesmas Kuala Kab. Bireuen
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA