analisis hematologi, nilai kecernaan panjang ( … · penelitian ini dilakukan untuk memperoleh...
TRANSCRIPT
i
ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN DAN TINGKAH LAKU MONYET EKOR
PANJANG (Macaca fascicularis) JANTAN OBES YANG DIINTERVENSI NIKOTIN
LA ODE MUHAMMAD SANIWU ZAKARIAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
ii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul: Analisis Hematologi, Nilai Kecernaan dan Tingkah Laku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Jantan Obes yang Diintervensi Nikotin adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2010
La Ode Muh. Saniwu NIM: P053070021
iii
ABSTRACT
LA ODE MUHAMMAD SANIWU ZAKARIAH. Analysis of Hematological, Digestible Values and Behavior in Obes Male Long-Tailed Macaque (Macaca fascicularis) Which Nicotine Intervention. Under direction of AGIK SUPRAYOGI and SRI SUPRAPTINI MANSJOER.
This study was designed to obtain information on the development of hematological and digestibility values, and on the behavioral conditions of 15 male obese longtailed macaques, prior and after intervention with nicotine. The study was implemented in two phases. The first phase being to the making animals model for obesity during one year, which started from February 23 to March 11, 2009. The second phase consisted of the collection of haematological and digestibility data and observation of behavior during the intervention period with a nicotine solution (0.75 mg/kg body weight/12 hours) from March 12 to June 3, 2009. The study used a Complete Randomized Design nested in time which was analized with SAS version 6.12. software, to find any correlation of behavior with haematological and digestibility values. The results of the study showed that there was a significantly decrease (P<0.01) in haematologial values of red blood cells, haematocrits and platelets during the intervention with the nicotine solution but there was a significantly (P<0.01) increase in the values of haemoglobin and red blood cell index values (MCV, MCH and MCHC). There was a decrease in the white blood cells, neutrophilic and limfocyte values which were insignificant but there was a drop in the eosinophilic and monocyt values which were significantly. The intervention with nicotine caused an increase in the digestibility values and a decrease of mean feed consumption (P<0.01). The decrease in body weight and body mass index (BMI) however, was statistically non-significant. The intervention of nicotine caused the long-tailed macaques to be more active, which was indicated by increased feeding and drinking, self grooming and locomotion frequencies. Analysis of correlation indicated that body weight had a positive correlation with haemoglobin, neutrophils and drinking behavior, while haemoglobin had a positive correlation with crude protein digestibility, Nitrogen Free Extract (NFE), dry matter and energy with a highly significant correlation (P<0.01). Values digestibility of crude protein correlated positive with self grooming behavior and contact behavior, while digestibility of crude fatty had a positive correlation (P<0.05) with contact behavior. The correlation between haematology and behavior indicated drinking behavior and self grooming, (MCV and MCH) had a positive value of correlation (P<0.05). Keywords: obesity, nicotine,longtailed macaque, haematology, consumption,
digestibility, behavior and BMI.
iv
RINGKASAN
LA ODE MUHAMMAD SANIWU ZAKARIAH. Analisis Hematologi, Nilai Kecernaan dan Tingkah Laku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Jantan Obes yang Diintervensi Nikotin. Dibimbing oleh AGIK SUPRAYOGI dan SRI SUPRAPTINI MANSJOER.
Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh informasi tentang perkembangan nilai-nilai hematologi dan kecernaan, dan kondisi tingkah laku dari 15 monyet ekor panjang jantan obes, sebelum dan sesudah diintervensi dengan nikotin. Penelitian ini dilakukan dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pembentukan hewan model obes yang telah berlangsung selama satu tahun, tahap pertama dari penelitian ini berlangsung dari 23 Februari sampai dengan 11 Maret 2009. Tahap kedua, yakni intervensi nikotin dalam pakan (0,75 mg/kg bobot badan/12 jam) pada hewan coba obes tersebut dari 12 Maret sampai dengan 3 Juni 2009. Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap yang tersarang dalam waktu, dianalisa dengan perangkat lunak SAS versi 6,12 untuk mendapatkan korelasi antara tingkah laku dengan nilai-nilai hematologi dan kecernaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada penurunan yang sangat signifikan (P<0,01) pada nilai hematologi diantaranya adalah sel darah merah, hematokrit dan platelet selama intervensi nikotin, namun kadar hemoglobin masih menunjukkan kisaran normal dengan nilai indeks sel darah merah (MCV, MCH dan MCHC) menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan (P<0,01). Sedangkan jumlah sel darah putih, persentase netrofil dan limfosit tidak menunjukkan adanya perubahan, namun terjadi penurunan persentase eosinofil dan monosit (P<0,01). Intervensi nikotin tampak menunjukkan adanya peningkatan nilai kecernaan dan penurunan rataan konsumsi pakan (P<0,01). Penelitian menunjukkan adanya tanda-tanda penurunan bobot badan dan IMT walaupun tidak signifikan. Intervensi nikotin menyebabkan monyet menjadi lebih aktif, yang dibuktikan dengan indikasi peningkatan aktivitas makan dan minum, self grooming dan frekuensi lokomosi. Analisis korelasi menunjukkan bahwa bobot badan mempunyai korelasi positif terhadap hemoglobin, netrofil dan tingkah laku minum, sedangkan hemoglobin memiliki korelasi positif terhadap kecernaan protein kasar, BETN, bahan kering dan energi yang menunjukkan korelasi yang sangat tinggi (P<0,01). Nilai kecernaan protein kasar, berkorelasi positif dengan tingkah laku self grooming serta tingkah laku kontak, sedangkan kecernaan lemak kasar memiliki korelasi positif (P<0,05) dengan tingkah laku menatap. Korelasi antara hematologi dan tingkah laku memberikan indikasi bahwa tingkah laku minum dan self grooming, (MCV dan MCH) mempunyai nilai korelasi positif (P<0,05). Kata Kunci: obesitas, nikotin, monyet ekor panjang, hematologi, konsumsi,
kecernaan, tingkah laku dan IMT.
v
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masala; dan pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
vi
ANALISIS HEMATOLOGI, NILAI KECERNAAN DAN TINGKAH LAKU MONYET EKOR
PANJANG (Macaca fascicularis) JANTAN OBES YANG DIINTERVENSI NIKOTIN
LA ODE MUHAMMAD SANIW U ZAKARIAH
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Primatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2010
vii
Judul Tesis : Analisis Hematologi, Nilai Kecernaan dan Tingkah Laku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Jantan Obes yang Diintervensi Nikotin
Nama Mahasiswa : La Ode Muhammad Saniwu Zakariah
Nomor Pokok Mahasiswa : P053070021
Program Studi : Primatologi
Disetujui :
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. Sri Supraptini Mansjoer Anggota
Diketahui :
Ketua Program Studi Primatologi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST. Ph.D.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian: 28 Januari 2010 Tanggal Lulus:
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, M.S.
ix
Sesungguhnya Allah menciptakan segala sesuatu berdasarkan kodratnya dan masing-masing ciptaan-Nya memiliki nilai manfaat.
“Kupersembahkan karya kecilku ini kepada Agamaku, Bangsa dan Negaraku, Kedua Orang Tuaku, Almamaterku dan Perempuanku yang telah menjadi semangatku”
x
PRAKATA
Tiada kata yang terindah untuk diucapkan selain ucapan Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang memberikan rahmat dan rahim-Nya sehingga penulis dapat menyelesasikan tesis ini. Penelitian ini berjudul “Analisis Hematologi, Nilai Kecernaan dan Tingkah Laku Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Jantan Obes yang Diintervensi Nikotin ” .
Dalam penyelesaian tulisan ini, berbagai pihak telah banyak membantu
dalam proses pneyelesaian tulisan ini oleh karena itu perkenankanlah penulis pada kesempatan ini menghaturkan terimakasih yang berlimpah kepada: 1. Prof. Dr. drh. Agik Suprayogi, M.Sc selaku Ketua Komisi dan Prof. Dr. Sri
Supraptini Mansjoer selaku Anggota yang telah banyak mengarahkan dan membimbing penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
2. Bapak drh. Ikin Mansjoer, M.Sc yang telah memberikan arahan dan rekomendasi sehingga penulis dapat melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB khususnya pada Program Studi Primatologi.
3. Bapak Prof. drh. Dondin Sajuthi, MST., Ph.D sebagai Ketua Program Studi Primatologi (PRM) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian dan menyusun tesis ini.
4. Ibu Dr.Ir. Dewi Apri Astuti, MS selaku penguji luar komisi yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kelengkapan dan kesempurnaan tulisan ini.
5. Ibu Dr.dr.Irma Suprapto yang telah memberikan arahan dan ijin dalam penelitian ini.
6. Asosiasi Pemerhati Satwa Primata (APERI) khususnya PT Wanara Satwa Loka yang telah memberikan biaya pendidikan selama menempuh studi.
7. Pemerintah Kabupaten Wakatobi dan Kabupaten Bombana yang telah memberikan bantuan pendidikan dalam penyelesaian tesis ini.
8. PT IndoAnilab dan stafnya (drh. Dewi, Mba Eva, Sudirman, Komang, Erik, Pak Udin dan staf lainnya) yang telah memberikan banyak bantuan kepada penulis dalam melakukan penelitian ini.
9. Bapak dr. Anwar Wardi Warongan, M.Si yang telah banyak memberikan bantuan dalam penelitian ini serta tim peneliti intervensi nikotin cair (drh. Chusnul Choliq, MS, drh. RP. Agus Lelana, M.Si).
10. Kakak Muh. Rusdin, S.Pt.,M.Si yang telah memberikan dorongan dan semangat untuk melanjutkan studi.
11. Bapak Ir. H. Taane La Ola, MP selaku Dekan Fakultas Pertanian Unhalu dan Bapak Ir. Natsir Sandiah, MS selaku Ketua Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Unhalu yang memberikan arahan untuk melanjutkan studi
12. Kakak Dr. Nur Arafah, SP,M.Si, LD. Samsul Barani, SE, M.Si, Ir. Muh. Ramli, M.Si, Ir. La Anadi, M.Si, Ir. Budiyanto, MP, Ir.Wellem Muskita, M.Si, Nuriadi, SP, Akhmad Mansyur, SP, Asmadin, S.Pi, Rahmat Maulidun, S.Pt, Anzar, S.Pt dan Rusdan, S.Pt yang telah memberikan semangat dan dorongan.
13. Bibiku Nur Kija sekeluarga dan pamanku Ali Hamid sekeluarga yang telah memberikan semangat dan dukungan morilnya.
xi
14. Adik-adikku L.M. Firdaus, L.M. Asraf, L.M. Zamrud dan WD. Yati terimakasih atas doa dan dorongannya.
15. Rekan-rekan mahasiswa PRM (Ir. Deyv Pijoh, M,Si, Ria Oktarina, S.Pt.,M.Si., Keni Sultan, S.Pt.,M.Si., Silmi Maria, S.Si dan Amor Tresna Karyawati, S.Si) atas dukungan, semangat dan kebersamaannya.
16. Dosen-dosen yang telah memberikan dan membukan wawasan selama penulis menempuh studi dan staf Program Studi Primatologi (Mba Yanti dan Kang Yana) yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis menempuh studi.
17. Anna Forbag yang telah banyak memberikan bantuan literaturnya 18. Semua pihak yang telah memberikan dukungan dengan caranya masing-
masing. 19. Terkhusus kepada kedua orang tuaku atas doa, semangat dan nasehatnya.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif demi perbaikan tulisan ini.
Bogor, Februari 2010 La Ode Muh. Saniwu
xii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 21 Juli 1981 di Mandati II Wangi-Wangi
Kabupaten Wakatobi. Penulis merupakan putra pertama dari lima bersaudara dari pasangan La Ode Abdul Gani Zakariah dan WD. Da’o.
Penulis menyelesaikan pendidikan SD dan SMP di Kecamatan Poleang Kabupaten Bombana sedangkan SMU di Kecamatan Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Produksi Ternak Universitas Haluoleo Kendari dan lulus tahun 2003.
Pada tahun 2007 penulis diterima di Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Primatologi atas bantuan pendidikan Asosiasi Pemerhati Satwa Primata (APERI) khususnya PT Wanara Satwa Loka.
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xvii
PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
Latar Belakang .............................................................................................. 1 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 4 Hipotesis ........................................................................................................ 4 Manfaat Penelitian ........................................................................................ 4 Kerangka Pemikiran ...................................................................................... 4
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 6
Obesitas ......................................................................................................... 6 Aspek Farmakologi dan Efek Nikotin sebagai Obat ..................................... 11 Monyet Ekor Panjang .................................................................................... 24 Hematopoiesis ............................................................................................... 27 Kecernaan Zat-zat Makanan dan Metabolisme ............................................. 38 Tingkah Laku ................................................................................................ 46
MATERI DAN METODE ................................................................................ 49
Waktu dan Tempat ........................................................................................ 49 Materi dan Alat ............................................................................................. 49 Metode Penelitian.......................................................................................... 51 Analisis Data ................................................................................................. 58
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 61
Keadaan Umum Penelitian ............................................................................ 61 Hematologi .................................................................................................... 61 Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Indeks Massa Tubuh ............................ 80 Kecernaan dan Energi Metabolisme ............................................................. 86 Tingkah Laku ................................................................................................ 97 Analisis Korelasi Bobot Badan, Kecernaan Nutrien, Hematologi dan Tingkah Laku ................................................................................................ 110 Diskusi Umum .............................................................................................. 116
SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 118
Simpulan ....................................................................................................... 118 Saran .............................................................................................................. 119
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 120
LAMPIRAN ...................................................................................................... 130
xii
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Klasifikasi IMT menurut WHO .................................................................. 7
2 Komposisi darah manusia ........................................................................... 30
3 Nilai hematologi pada primata .................................................................... 31
4 Nilai hematologi pada Macaca mulatta dewasa ......................................... 31
5 Nilai hematologi pada Macaca fascicularis dewasa ................................... 32
6 Nilai hematologi pada Saimiri sciureus dewasa ......................................... 32
7 Bobot badan dan nilai hematologi Macaca fascicularis dewasa ................ 33
8 Komposisi nutrisi formula pakan perlakuan ............................................... 50
9 Peubah tingkah laku yang diamati selama penelitian ................................. 58
10 Rataan nilai hematologi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ....................................................... 62
11 Rataan persentase diferensiasi sel darah putih monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ................... 74
12 Rataan konsumsi pakan, bobot badan dan indeks massa tubuh (IMT) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ......................................................................................... 80
13 Rataan konsumsi nutrien (g/ekor/hari) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin .................................. 87
14 Rataan kecernaan bahan kering (KCBK) (g/ekor/hari) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin...... 89
15 Rataan koefisien kecernaan, TDN dan energi metabolisme monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin...... 93
16 Rataan lama aktivitas dan frekuensi ingestif, eliminasi, sosial dan lokomosi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin............................................................................. 98
17 Matriks korelasi antara bobot badan dan hematologi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin ........................................ 110
18 Matriks korelasi antara bobot badan dan frekuensi tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin ................... 111
19 Matriks korelasi antara kecernaan nutrien dan hematologi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin ........................... 112
20 Matriks korelasi antara kecernaan nutrien dan frekuensi tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin ...... 114
21 Matriks korelasi antara hematologi dan frekuensi tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin ................... 115
xiii
xv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemikiran .................................................................................... 5
2 Struktur kimia nikotin ................................................................................. 12
3 Skema aksi leptin. ....................................................................................... 21
4 Skema aksi umpan balik dari leptin. ........................................................... 22
5 Mekanisme molekular termogenesis pada jaringan adiposit coklat. ........... 24
6 Skema tahapan katabolisme haemoglobin. ................................................. 35
7 Evaluasi kuantitatif sel darah merah. .......................................................... 36
8 Pencernaan lemak........................................................................................ 42
9 Pencernaan protein. ..................................................................................... 44
10 Pencernaan karbohidrat. .............................................................................. 45
11 Riwayat penggunaan MEP sebagai hewan percobaan ................................ 52
12 Bagan alir penelitian penggunaan MEP ...................................................... 53
13 Histogram perubahan nilai sel darah merah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ................... 63
14 Histogram perubahan kadar hemoglobin monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin .................................. 65
15 Histogram perubahan konsentrasi hematokrit monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ................... 67
16 Histogram perubahan konsentrasi MCV (Mean Corpuscular Volume) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ......................................................................................... 68
17 Histogram perubahan konsentrasi MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin............................................................................. 69
18 Histogram perubahan konsentrasi MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ....................................................... 70
19 Histogram perubahan konsentrasi platelet monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin .................................. 71
20 Histogram perubahan konsentrasi sel darah putih monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ................... 73
21 Histogram perubahan konsentrasi netrofil monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin .................................. 75
22 Histogram perubahan konsentrasi limfosit monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin .................................. 76
xiv
xvi
23 Histogram perubahan konsentrasi eosinofil monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ................... 78
24 Histogram perubahan konsentrasi monosit monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin .................................. 79
25 Histogram rataan konsumsi pakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin .................................. 81
26 Histogram rataan bobot badan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin .................................. 83
27 Histogram rataan IMT monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ....................................................... 84
28 Histogram rataan TDN monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ....................................................... 95
29 Histogram rataan energi termetabolisme monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin .................................. 96
30 Histogram frekuensi tingkah laku makan monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin ...................................................................... 99
31 Histogram frekuensi tingkah laku minum monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin ...................................................................... 100
32 Histogram frekuensi tingkah laku sosial (menatap) monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin ....................................................... 103
33 Histogram frekuensi tingkah laku sosial (self grooming) monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin .......................................... 104
34 Histogram persentase tingkah laku sosial (kontak/sentuhan) monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin .......................................... 106
35 Histogram persentase tingkah laku sosial (agonistik) monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin .......................................... 107
36 Histogram persentase tingkah laku lokomosi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin ................... 108
xv
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Surat persetujuan ACUC ............................................................................. 131
xvi
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Obesitas atau kegemukan merupakan kondisi kelebihan bobot badan akibat
penimbunan lemak yang melebihi 20% pada pria dan 25% pada wanita dari bobot
badan normal. Kondisi tersebut diakibatkan peningkatan asupan makanan
sehingga menimbulkan kelebihan masukan energi sedangkan aktivitas tubuh
berkurang, hal ini menyebabkan energi yang dikeluarkan juga sedikit. Penurunan
penggunaan energi tersebut menyebabkan obesitas. Obesitas menimbulkan efek
yang berhubungan dengan kualitas hidup dan dianggap sebagai salah satu faktor
utama dalam perkembangan penyakit kronis seperti diabetes dan kardiovaskular
yaitu resiko munculnya penyakit jantung koroner, strok, hipertensi,
hiperlipidemia. Disamping itu juga dapat menimbulkan penyakit hati dan kantung
empedu, osteoarthritis, kanker dan penyakit saluran pernafasan.
Kejadian obesitas dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti genetik,
perilaku (gaya hidup), lingkungan, psikologis, sosial dan budaya. Badan
Kesehatan Dunia (WHO, The World Health Organization 2005) melaporkan
bahwa pada tahun 2005 di seluruh dunia terdapat 1,6 miliar orang dewasa (15
tahun keatas) mengalami overweight dan sedikitnya 400 juta diantara mengalami
obesitas, dan diproyeksikan pada tahun 2015 akan mengalami peningkatan sekitar
2,3 miliar orang dewasa akan mengalami overweight dan 700 juta diantaranya
akan mengalami obesitas. Peningkatan ini selain akibat dari perubahan pola diet
dalam makanan yang memiliki kadar lemak dan karbohidrat tinggi tetapi rendah
vitamin, mineral dan mikronutrien lainnya juga disebabkan karena adanya
kecenderungan penurun aktivitas fisik dalam bentuk kerja dan mobilisasi terutama
bentuk transportasi yang digunakan.
Selain itu pula, pola diet dengan protein yang tinggi serta adanya
kecenderungan penurunan aktivitas fisik dalam waktu yang cukup lama akan
menimbulkan resiko terjadinya obesitas. Hal ini sangat beralasan karena konsumsi
makanan yang lebih banyak mengandung protein dalam diet dibanding dalam
jaringan tubuh maka akan langsung digunakan sebagai energi, dan kelebihan
protein tersebut disimpan dalam bentuk lemak atau dengan kata lain bahwa
2
terdapat batas tertinggi jumlah protein yang dapat tertimbun dalam setiap jenis sel
tertentu dan bila sel telah mencapai batas tersebut maka setiap penambahan asam
amino dalam cairan tubuh akan dipecah dan digunakan sebagai energi atau
disimpan sebagai lemak.
Perhatian yang besar terhadap obesitas ini sangat wajar karena efeknya yang
kompleks, disamping itu juga dapat terjadi pada berbagai kelompok usia dan jenis
kelamin. Selain masalah emosional dan psikologis, obesitas juga berdampak pada
masalah fisiologis. Efek yang kompleks tersebut dapat menyebabkan perubahan
tingkah laku misalnya pergerakan yang lamban, berkurangnya kepercayaan diri
yang berkaitan dengan penampilan fisik, juga menyebabkan perubahan nilai
hematologi. Dari beberapa penelitian, kejadian obesitas berkorelasi positif dengan
level leptin, insulin, konsentrasi glukosa dan trigliserida serta nilai hematologi
seperti konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit, konsentrasi hematokrit dalam sel
darah merah (MCV, mean corpuscular volume) dan jumlah sel darah merah.
Berbagai cara yang dilakukan untuk mengatasi dan menurunkan obesitas
antara lain diet yang ketat, aktivitas fisik dan modifikasi perilaku. Disamping itu,
berbagai penelitian untuk mengetahui penyebab obesitas dan cara penanganan
serta mekanisme pengobatan akibat sindrom metabolik ini dilakukan melalui
penggunaan hewan model baik rodensia dan maupun satwa primata seperti
monyet rhesus (Macaca mulatta), beruk (Macaca nemestrina), monyet bonnet
(Macaca radiata), baboon (Papio hamadryas), maupun monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis).
Penggunaan obat altenatif untuk mengatasi dan menurunkan obesitas
menjadi pilihan seperti halnya penggunaan nikotin. Nikotin sebagai senyawa yang
secara alamia ditemukan pada tembakau sering dikonotasikan negatif karena
menimbulkan ketergantungan dan bahkan dapat menimbulkan kematian bila
digunakan pada dosis yang tidak tepat. Sebaliknya, nikotin juga memiliki efek
farmakoterapi mengurangi dan menambah nafsu makan bila digunakan pada dosis
yang tepat. Penggunaan nikotin dalam dosis rendah menyebabkan efek pada
peningkatan konsumsi sehingga dapat menimbulkan kelebihan bobot badan dan
disisi lain, penggunaan dalam dosis yang tinggi menyebabkan penurunan
konsumsi sehingga menimbulkan penurunan bobot badan namun penggunaan
3
dalam dosis yang tinggi tersebut dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan.
Efek nikotin pada penurunan bobot badan yakni adanya sistem penyampaian pada
neurotransmitters di otak untuk mengurangi kebutuhan akan asupan energi.
Disamping itu pula eksposur dalam jangka panjang pada regulasi metabolisme
dapat mengubah modulasi cannabinoid yang berperan dalam metabolisme dan
pengeluaran energi sehingga dapat menurunkan bobot badan. Selain itu, nikotin
memiliki efek langsung pada metabolisme jaringan adipose (leptin, ghrelin dan
neuropeptide Y) merupakan faktor yang terlibat dalam hubungan antara nikotin
dan indeks massa tubuh. Disamping itu pula, nikotin juga membantu
meningkatkan konsentrasi dan daya ingat, meningkatkan perasaan senang
terutama pada penyakit alzeimer dan parkinson serta mengurangi stres.
Adanya manfaat positif dari nikotin dan masih belum banyaknya penelitian
yang mengarah pada manfaat nikotin sebagai terapi obesitas, maka informasi
tentang manfaat nikotin penelitian perlu dilakukan dengan menggunakan hewan
model monyet ekor panjang (MEP) yang telah obesitas.
Pemanfaatan monyet ekor panjang sebagai hewan model karena secara
anatomis dan fisiologis MEP memiliki kemiripan dengan manusia dibandingkan
dengan hewan model lainnya. Disamping itu juga adanya kedekatan hubungan
filogenetik dan perbedaan evolusi yang pendek menjadikan MEP merupakan
hewan model yang sesuai untuk penelitian biomedis. Disamping itu gejala
obesitas pada monyet khususnya monyet ekor panjang (MEP) memiliki kemiripan
dengan pola obesitas seperti yang terjadi pada manusia yakni kesamaan pola
ekspresi hormon yang terlibat dalam obesitas (hormon adipocyte) yakni leptin dan
adiponectin. Kesamaan ini juga terjadi pada nilai level insulin, protein total,
glukosa, kolesterol total dan trigliserida serta persentase lemak tubuh maupun
nilai hematologi. Kesamaan secara morfometrik yakni adanya perubahan pada
lingkar pinggang, lingkar pinggul, lingkar dada serta lingkar lengan, adanya
penimbunan lemak di sekitar perut merupakan penciri obesitas pada manusia.
Dengan pola kesamaan tersebut menjadikan monyet ekor panjang sebagai hewan
model yang baik untuk penelitian obesitas pada manusia.
Dilaporkan sebelumnya bahwa kejadian obesitas memiliki korelasi dengan
nilai hematologi termasuk juga halnya dengan tingkah laku dan nilai kecernaan.
4
Oleh karena itu penelitian ini difokuskan pada pengamatan nilai hematologi, nilai
kecernaan dan tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) jantan
pada kondisi obes yang diintervensi dengan nikotin.
Tujuan Penelitian
1. Untuk mendapatkan informasi perkembangan nilai hematologi monyet ekor
panjang obes sebelum dan sesudah diintervensi dengan nikotin.
2. Untuk mendapatkan informasi pemanfaatan nutrien pada monyet ekor panjang
obes sebelum dan sesudah diintervensi dengan nikotin.
3. Untuk mendapatkan informasi kondisi tingkah laku monyet ekor panjang obes
sebelum dan sesudah diintervensi dengan nikotin.
Hipotesis
1. Intervensi nikotin dapat menyebabkan perbaikan kondisi fisiologis melalui
perubahan nilai hematologi pada monyet ekor panjang.
2. Intervensi nikotin menyebabkan perbaikan metabolisme nutrisi melalui
perubahan nilai kecernaan pada monyet ekor panjang.
3. Intervensi nikotin menyebabkan adanya perubahan nilai pakan dan nilai
hematologi yang berakibat pada terjadinya perubahan tingkah laku monyet
ekor panjang.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini dapat memberikan informasi
mengenai intervensi nikotin cair untuk mengurangi resiko sindrom metabolik,
sehingga dapat dijadikan alternatif pengobatan pada penderita obes.
Kerangka Pemikiran
Skema kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 1.
5
Skema kerangka Pemikiran
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Hipotesis: 1. Kondisi fisiologis 2. Metabolisme nutrisi 3. Tingkah laku
Masalah Obesitas (Sindrom metabolik)
Sebab: Genetik, perilaku (gaya hidup), lingkungan, psikologi, sosial dan budaya
Pemecahan Masalah Obesitas
Pencegahan: Diet ketat, perubahan aktivitas fisik dan modifikasi perilaku hidup
Pengobatan:
Akibat: Penurunan kualitas hidup, dan penyebab penyakit kronis (diabetes dan kardiovaskular)
Penelitian
Monyet Ekor Panjang (Macaca fascicularis) Obes
(BMI= 23,50) A (n=5)
Intervensi Nikotin Cair (0,75 mg/kg bobot badan/12 jam)
(BMI= 26,85) B (n=5)
(BMI= 23,65) C (n=5)
Nikotin Obat-obatan
–
+
Analisis deskriptif dan Anova
Peubah: Fisiologis - Hematologi (Hb, Hct, SDM, SDP, platelet,
diferensiasi SDP dan indeks SDM) Metabolisme - Kecernaan (PBB, konsumsi pakan harian,
kecernaan bahan kering dan bahan kering organik, konsumsi nutrien, koefisien kecernaan, energi termetabolisme dan TDN
Tingkah laku - Ingestif (makan dan minum) - Eliminasi (defekasi dan urinasi) - Sosial (kontak, autogrooming, agonistik,
menatap) - Lokomosi
Rekomendasi
Hewan Model
6
TINJAUAN PUSTAKA
Obesitas
Obesitas adalah kelebihan bobot badan sebagai akibat dari penimbunan
lemak tubuh yang berlebihan. Obesitas sering disamakan dengan overweight,
padahal keduanya berbeda walaupun sama-sama menggambarkan kelebihan bobot
badan. Overweight adalah kondisi dimana bobot badan melebihi bobot badan
normal. Sedangkan obesitas adalah kondisi kelebihan bobot badan akibat
penimbunan lemak melebihi 18–23% (rata-rata 20%) pada pria dan 25–30% (rata-
rata 25%) pada wanita dari bobot badan (Drewnowski dan Specter 2004; Sylvia
1998).
Obesitas dan overweight dapat terjadi pada berbagai kelompok usia dan
jenis kelamin. Juvenile obesity, misalnya adalah obesitas yang terjadi pada usia
muda (anak-anak). Orang yang menderita kegemukan pada usia muda memiliki
resiko yang lebih tinggi menderita obesitas pada saat dewasa dibandingkan
dengan orang yang memiliki bobot badan normal. Sementara itu, wanita terutama
pada pascamonopause memiliki resiko mengalami obesitas tiga kali lebih besar
daripada pria (Sylvia 1998).
Berdasarkan distribusi lemak di dalam tubuh, ada dua jenis bentuk tubuh.
Pertama, bentuk android (bentuk apel) adalah bentuk tubuh akibat timbunan
lemak pada pinggang, rongga perut (visceral) dan bagian atas perut. Bentuk tubuh
android lazim ditemukan pada pria. Timbunan lemak di bagian perut dapat
mengakibatkan obesitas abdominal atau obesitas sentral. Kedua, bentuk gynecoid
(bentuk pir), yaitu bentuk tubuh akibat tumpukan lemak di bagian bawah perut
seperti pinggul, pantat, dan paha. Bentuk tubuh ini umumnya dialami oleh wanita.
Selain itu juga dikenal obesitas hipertropik (hypertrophic obesity) yang
diakibatkan oleh meningkatnya kandungan lipid adiposit. Obesitas hipertropik
umumnya menimpa orang dewasa (Sylvia 1998; Adam 2006).
Obesitas hiperplastik-hipertropik (hyperplastic-hypertrophic obesity) terjadi
akibat meningkatnya jumlah sel lemak dan kandungan lipid sel lemak. Obesitas
jenis ini umumnya dialami oleh orang yang sejak usia muda sudah gemuk.
7
Obesitas anak-anak (juvenile obesity) adalah hiperplastik (bertambahnya jumlah
sel) (Sylvia 1998).
Cara yang paling mudah untuk mengetahui obesitas yakni dengan
menghitung indeks massa tubuh (body mass index). Indeks massa tubuh (IMT)
dihitung dengan cara membagi bobot badan (kg) dengan kuadrat tinggi badan (m).
Badan kesehatan dunia (WHO, World Health Organization) telah mengeluarkan
kategori IMT yang cocok untuk masyarakat Asia (Tabel 1).
Tabel 1 Klasifikasi IMT menurut WHO
Kategori IMT (kg/m2) Riseko penyakit Kurus (underweight) Normal (Ideal) Overweight: Pre obes Obes I Obes II
<18,5 18,5–22,9 ≥23,0
23,0–24,9 25,0–29,9 ≥30,0
Rendah Rata-rata
Meningkat
Sedang Berbahanya
Menurut : World Health Organization’s diacu dalam Racette et al. 2003.
Faktor-faktor Penyebab Obesitas dan Dampaknya pada Kesehatan
Beberapa faktor utama penyebab kegemukan yaitu genetik, lingkungan,
psikologis, sosial, budaya, makanan dan perilaku (gaya hidup) (Jequier dan Tappy
1999; Racette et al. 2003; Misra dan Khurana 2008).
Dua faktor terakhir adalah faktor yang dapat dimodifikasi untuk
menurunkan bobot badan. Anak yang memiliki orang tua yang menderita
kegemukan atau obesitas akan memiliki kemungkinan untuk menderita
kegemukan atau obesitas yang lebih tinggi daripada anak yang orang tuanya tidak
obes. Kemungkinan tersebut menjadi lebih besar apabila kedua orang tuanya
menderita obesitas (Jequier dan Tappy 1999).
Terjadinya obesitas melibatkan beberapa faktor (Yang et al. 2007;
Christakis dan Fowler 2007; Zametkin et al. 2004)
1. Faktor genetik. Obesitas cenderung diturunkan, sehingga diduga memiliki
penyebab genetik. Tetapi anggota keluarga tidak hanya berbagi gen, tetapi
juga makanan dan kebiasaan gaya hidup, yang bisa mendorong terjadinya
obesitas. Seringkali sulit untuk memisahkan faktor gaya hidup dengan faktor
genetik. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa faktor genetik memberikan
8
pengaruh sebesar 6–85% terhadap bobot badan seseorang dan tergantung
populasi yang diteliti (Yang et al. 2007).
2. Faktor lingkungan. Gen merupakan faktor yang penting dalam berbagai kasus
obesitas, tetapi lingkungan seseorang juga memegang peranan yang cukup
berarti. Lingkungan ini termasuk perilaku/pola gaya hidup (misalnya apa yang
dimakan dan berapa kali seseorang makan serta bagaimana aktivitasnya).
Seseorang tentu saja tidak dapat mengubah pola genetiknya, tetapi dia dapat
mengubah pola makan dan aktivitasnya (Christakis dan Fowler 2007).
3. Faktor psikis. Apa yang ada didalam pikiran seseorang bisa mempengaruhi
kebiasaan makannya. Banyak orang yang memberikan reaksi terhadap
emosinya dengan makan.
Salah satu bentuk gangguan emosi adalah persepsi diri yang negatif.
Gangguan ini merupakan masalah yang serius pada banyak wanita muda yang
menderita obesitas, dan bisa menimbulkan kesadaran yang berlebihan tentang
kegemukannya serta rasa tidak nyaman dalam pergaulan sosial (Zametkin et
al. 2004).
Ada dua pola makan abnormal yang bisa menjadi penyebab obesitas yaitu
makan dalam jumlah sangat banyak (binge) dan makan di malam hari (sindroma
makan pada malam hari). Kedua pola makan ini biasanya dipicu oleh stres dan
kekecewaan. Binge mirip dengan bulimia nervosa, seseorang makan dalam
jumlah sangat banyak, bedanya pada binge hal ini tidak diikuti dengan
memuntahkan kembali apa yang telah dimakan. Sebagai akibatnya kalori yang
dikonsumsi sangat banyak. Pada sindroma makan pada malam hari, adalah
berkurangnya nafsu makan di pagi hari dan diikuti dengan makan yang
berlebihan, agitasi dan insomnia pada malam hari (Haslam dan James 2005).
Akibat faktor genetik akan meningkatkan kerentanan seseorang menderita
obesitas ketika dia terpapar pada keadaan lingkungan yang mendorongnya untuk
mengalami keseimbangan energi positif. Ada beberapa gen yang diketahui
berkaitan dengan obesitas. Gen yang banyak mendapat perhatian para ahli dewasa
ini adalah ob (obese) gen, studi pada hewan menunjukkan bahwa ob protein leptin
merupakan suatu produk gen yang dapat mengendalikan asupan pangan dan
pengeluaran energi. Tanpa leptin, tikus percobaan mengkonsumsi pakan secara
9
tak berlebih (tak terkendali) yang menghasilkan fenotipe yang obes. Mekanisme
pengaturan bobot badan tubuh oleh leptin diduga melalui 2 cara, yaitu
menurunkan asupan pangan dan meningkatkan pengeluaran energi (Jequier,
Tappy 1999).
Ahima et al. (1996) menyatakan bahwa leptin merupakan suatu hormon
yang disekresikan oleh jaringan adipose, memiliki peran penting pada pengaturan
asupan pangan dan termogenesis manusia. Leptin memberi isyarat status gizi dan
tingkat simpanan energi ke pusat rangsangan asupan pangan (Feeding center)
melalui aksinya pada ekspresi dan pelepasan neuropeptida orexigenic dan
anorexigenic. Chen et al. (2002) bahwa leptin menyediakan informasi ke pusat
saraf dalam mengatur tingkah laku makan, nafsu makan dan pengeluaran energi.
Dan telah dilaporkan bahwa pada manusia, leptin berhubungan erat dengan
konsumsi tubuh yakni berat tubuh dan total berat lemak tubuh. Hasil penelitian
Chen et al. (2002) bahwa obesitas berhubungan dengan peningkatan sintesis dan
sekresi leptin dari adiposit, tingginya resiko diabetes mellitus dan tingginya level
hematosit. Dari hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat kesamaan pola
tersebut antara manusia dan cynomolgus monkeys (monyet ekor panjang),
sehingga monyet ekor panjang merupakan hewan model yang baik untuk
penelitian obesitas pada manusia. Hal ini didukung oleh Putra et al. (2006) bahwa
gejala obesitas pada monyet, khususnya monyet ekor panjang (MEP) memiliki
kemiripan dengan pola obesitas seperti yang terjadi pada manusia yakni dengan
adanya penimbunan lemak di sekitar perut.
Pola makan memberikan andil yang besar terhadap kegemukan atau
obesitas. Pola makan yang tinggi kalori dan lemak menyebabkan keseimbangan
energi yang positif (terjadi penimbunan energi dalam bentuk lemak). Hal ini dapat
diperberat dengan kurangnya aktivitas fisik (Siagian 2006). Perubahan tingkah
laku pada individu yang sedikit melakukan aktivitas cenderung lebih mudah
terjadinya obesitas bila dibandingkan dengan individu yang banyak melakukan
aktivitas dan cenderung tidak terjadi obesitas (Racette et al. 2003).
Diet berprotein tinggi dan karbohidrat rendah memiliki efek jangka panjang
yang tidak baik (Siagian 2006). Larosa et al. (1980) menunjukkan bahwa
pemberian diet berprotein tinggi dan karbohidrat rendah selama 12 minggu
10
berdampak pada meningkatnya uric acid dan low-density lipoprotein (LDL)
cholesterol. Guyton (1996) bahwa bila seseorang mempunyai lebih banyak
protein dalam dietnya daripada yang ada dalam jaringannya maka akan langsung
digunakan sebagai energi dan kelebihan protein tersebut akan disimpan dalam
bentuk lemak. Hal ini karena terdapatnya batas tertinggi jumlah protein yang
dapat tertimbun dalam setiap jenis sel tertentu. Dan bila sel telah mencapai batas
tersebut maka setiap penambahan asam amino dalam cairan tubuh dipecahkan dan
digunakan untuk energi atau disimpan sebagai lemak.
Plantenga et al. (2001) melakukan penelitian pada laki-laki dewasa untuk
melihat pengaruh leptin pada nafsu makan dan pengeluaran energi. Kelompok
perlakuan menerima leptin injeksi mingguan dan kelompok placebo. Dari hasil
yang diperoleh bahwa kelompok yang mendapatkan leptin mengalami nafsu
makan atau rasa lapar yang menurun dibandingkan dengan kelompok placebo,
disamping itu pula pemberian leptin selama 12 minggu menurunkan bobot badan
sebesar rata-rata 4,3 dan 6,4 kg, masing-masing untuk kelompok perlakuan dan
placebo. Dan disimpulkan bahwa penanganan obesitas dengan pemberian leptin
dapat menurunkan nafsu makan, bukan bobot badan. Mars et al (2005)
menemukan bahwa konsentrasi leptin puasa menurun pada pembatasan asupan
energi jangka pendek. Karena konsentrasi glukosa rendah akibat dari pembatasan
asupan energi, konsentrasi insulin juga menurun selama masa pembatasan asupan
energi.
Chen et al. (2002) melaporkan bahwa kejadian obesitas sebagai bentuk
ketidakseimbangan antara energi yang masuk dan yang digunakan, kelebihan
energi yang tidak digunakan akan disimpan dalam bentuk lemak. Pada manusia
hal ini dapat dilihat dari nilai kimia darah yakni adanya peningkatan kolesterol,
trigliserida dan asam lemak bebas. Disisi lain bahwa nilai darah penting untuk
dipertimbangkan dalam mengontrol nafsu makan dan metabolisme.
Selain menyebabkan masalah emosional dan psikologis, misalnya
berkurangnya kepercayaan diri berkaitan dengan penampilan fisik, obesitas juga
berdampak pada masalah fisiologis, yaitu meningkatnya resiko menderita
berbagai jenis penyakit (Pi-Sunyer 2002). Jia dan Lubetkin (2005), obesitas dapat
menyebabkan penyakit kronis. Lebih lanjut Pi-Sunyer (2002), obesitas cenderung
11
menjadi diabetogenik (menyebabkan diabetes), terutama apabila sudah
berlangsung lama. Obesitas meningkatkan resiko menderita penyakit jantung
koroner, hiperlipidemia, penyakit hati dan kantung empedu, osteoarthritis, kanker
dan penyakit saluran pernafasan. Disamping itu menyebabkan diabetes Tipe 2,
hipertensi, strok, gagal jantung, gout, apneu (kegagalan bernafas secara normal
ketika sedang tidur menyebabkan berkurangnya kadar oksigen dalam darah)
maupun sindrom pickwickian (obesitas disertai wajah kemerahan, underventilasi
dan ngantuk) (Haslam dan James 2005).
Obesitas yang paling berbahaya adalah obesitas abdominal (timbunan lemak
di sekitar rongga perut). Cara sederhana untuk mengetahui adanya obesitas
abdominal adalah dengan mengukur panjang lingkar pinggang (waist
circumference). Untuk masyarakat Asia, obesitas abdominal dianggap beresiko
menderita penyakit apabila panjang lingkar pinggangnya ±80 cm pada wanita dan
±90 cm untuk pria (WHO 2000).
Aspek Farmakologi dan Efek Nikotin sebagai Obat
Struktur Kimia Nikotin
Nikotin merupakan hasil metabolisme sekunder yang tergolong dalam
alkaloid sejati. Alkaloid sejati dicirikan oleh senyawa nitrogen yang membentuk
bagian dari sistem cincin heterosiklik dan disintesis dari prekursor asam amino.
Alkaloid semu mengandung cincin heterosiklik nitrogen yang disintesis dari
prekursor selain asam amino. Alkaloid tembakau; nikotin, anabasin dan anatabin
disintesis dari asam nikotinik. Sintesis cincin pirolidin dari nikotin melibatkan
putrescin bebas. Enzim yang berperan dalam sintesis pirolidin adalah ornitin
dekarboksilase, putrescine N-methyltransferase dan N-methyl putrescine oksidase
(Mann 2001).
Struktur kimia nikotin menurut Hukkanen et al.( 2005) disajikan pada
Gambar 2.
12
Gambar 2 Struktur kimia nikotin (Hukkanen et al. 2005)
Nikotin memiliki nama kimia (S)-3-(1-methyl-2-pyrrolidinyl)pyridine,
dengan rumus kimia C10H14N2 dan kepadatan 1,01 g/ml serta titik didih 247°C
(477°F). Nikotin ditemukan secara alami dalam tembakau (Nicotiana tabacum,
Nicotiana rustica dan Nicotiana petunioides) dengan kandungan 0.5–8% dari
berat kering tembakau yang berasal dari hasil biosintesis di akar dan
diakumulasikan di daun. Nikotin merupakan racun syaraf yang potensial dan
digunakan sebagai bahan baku berbagai jenis insektisida (IPCS ICHEM 1991).
Ada tiga masalah yang perlu diperhatikan tentang nikotin dari segi
farmakologinya yakni absorpsi nikotin, keracunan nikotin dan daya kerja nikotin.
Hal ini karena nikotin dapat diserap melalui kulit, saluran pernafasan dan saluran
pencernaan yang bernuansa basa (Gilman el al. 1980). Keracunan dapat terjadi
karena pemakaian dosis yang kurang tepat dalam arti terlalu tinggi. Dengan
kontrol yang ketat dan berhati-hati dalam pemakaian dosis, efek buruk nikotin
dapat diatasi (Jones 1974). Gilman el al. (1980) bahwa pada dosis rendah, nikotin
akan merangsang aktivitas urat syaraf dan otot-otot licin, tetapi pada dosis tinggi
nikotin memblokir aktivitas organ-organ tersebut.
Efek Nikotin sebagai Obat
Nikotin sendiri merupakan obat yang manjur dan secara addictive juga
dapat membantu meringankan gejala mental seperti parkinson dan Alzheimer dan
depresi. Nikotin memiliki efek terapeutik dan dimasa mendatang, nikotin (bukan
rokok) akan menjadi resep dokter untuk meringankan berbagai gejala penyakit
skizofrenia dan alzeimer. Para ilmuwan dan dokter masih hati-hati untuk
membicarakan tentang potensi keunggulan nikotin, karena resiko menggunakan
13
tembakau lebih penting dari keuntungannya. Nikotin dapat membantu dalam
meningkatkan konsentrasi dan daya ingat “tetapi merokok merupakan cara yang
berbahaya untuk memperoleh obat (nikotin)” (JRHF 2004). Sahakian et al. (1989)
melakukan penelitian tentang efektivitas nikotin pada penderita alzheimer dan
hasil yang diperoleh bahwa nikotin secara signifikan meningkatkan kepekaan dan
daya ingat. Disimpulkan bahwa nikotin bertindak pada cortical yang terlibat
dalam mekanisme visual untuk persepsi dan perhatian dan juga merupakan
acetylcholine transmissionmodulates kewaspadaan dan diskriminasi.
Nikotin juga dapat bermanfaat sebagai obat cacing, Karo-Karo (1990)
melakukan penelitian efektivitas nikotin sebagai obat cacing pada kambing dan
hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis nikotin (310,5 mg dalam 33 ml
ekstrak) mengendalikan telur cacing sebesar 78%.
Nikotin dapat dijadikan sebagai obat radang usus besar, selain itu nikotin
dapat memperkuat syaraf pada hippocampus (struktur otak) yang berperan dalam
proses belajar dan daya ingat (JRHF 2004). Pada dosis yang rendah nikotin
memiliki efek merangsang, meningkatkan aktivitas, kewaspadaan dan daya ingat.
Dosis mematikan pada nikotin yang dilaporkan dapat membunuh 50% populasi
adalah 50 mg/kg bobot badan untuk tikus dan 3 mg/kg bobot badan untuk mencit
(IPCS ICHEM 1991).
Tembakau, juga digunakan untuk membuat obat anti malaria dan ini dapat
menjadi bukti sebagai sumber therapies murah disamping itu tanaman tembakau
telah diuji di laboratorium sebagai obat yang dapat digunakan untuk penyakit
Goucher. Dosis yang tepat, nikotin adalah obat dan dapat memberikan beberapa
keuntungan. Nikotin memiliki efek positif pada ulcerative colitis (peradangan
pada usus besar), yang merupakan peradangan pada lapisan perut, meningkatkan
DHEA yang merupakan hormon seks yang meningkatkan semangat hidup dan
membantu menurunkan bobot badan (JRHF 2004).
Nikotin juga digunakan sebagai agen theraupetik pasca merokok akibat
ketergantungan dalam bentuk nikotin gum, nasal spray, dan nikotin transdermal
(Berrettini dan Lerman 2005). Efek nikotin yang diakui oleh organisasi
kedokteran internasional sebagai pembawa sifat kecanduan. Nikotin memenuhi
kriteria penyebab kecanduan atau ketergantungan seperti dorongan penggunaan
14
yang kuat meskipun ada hasrat dan upaya berulang-ulang untuk berhenti;
pengaruh-pengaruh psikoaktif akibat bekerjanya zat-zat ini pada otak dan
perilaku-perilaku yang dimotivasi oleh efek-efek “penguatan” zat psikoaktif
(Chaloupka 2000).
Nikotin dalam bentuk “nicotine lozenge” menunjukkan hasil yang
bermanfaat dalam membantu untuk keluar dari merokok tembakau. Penggunaan
4-mg nicotine lozenge menjanjikan untuk perawatan klinis dan adanya gejala
penarikan keinginan yang terkait dengan merokok tembakau pada perokok yang
akan berhenti merokok tembakau. Namun penelitian ini belum menyelidiki
kemanjuran dari nikotin lozenges yang diperlukan (Ebbert et al. 2007).
Hasil yang berbeda dari Rubinstein et al. (2008) bahwa penggunaan nikotin
nasal spray akan efektif dijadikan sebagai therapi untuk berhenti merokok bila
ada keinginan dari penggunanya untuk berhenti merokok. Arabi (2006) bahwa
terapi penggantian nikotin yang aman dan lebih dikontrol dapat beresiko tinggi
pada perokok tembakau jika therapi penggantian nikotin gagal dilakukan.
Nikotin telah diakui selama bertahun-tahun sebagai pharmacologically
bertanggung jawab sebagai efek perangsang merokok. Efek dari nikotin pada
aliran darah myocardial belum diketahui. Argaca et al. (2007) menguji pengaruh
nikotin yang dapat mengganggu aliran darah myocardial yang merupakan resiko
penyakit arteri koroner. Hasil yang diperoleh, nikotin meningkatkan tekanan
darah sistolik dari 129±7 menjadi 134±7mmHg dan denyut jantung dari 67±2
menjadi 69±2 bpm. Nikotin cenderung meningkatkan aliran darah myocardial
pada bagian arteri. Nikotin yang diberikan pada perokok dengan resiko
kardiovaskuler yang tinggi meningkatkan kerja myocardial walaupun
autoregulation aliran darah myocardial dalam keadaan istirahat.
Nikotin meningkatkan densitas kapiler di ischemic hind-limb seperti bFGF
(Basic Fibroblast Growth Factor). Nikotin juga meningkat nilai angiographic,
nilai tekan darah calf, intra-arterial Doppler flow, dan distribusi microsphere.
Secara in vitro, nikotin merangsang adhesi dan transmigrasi monocyte. Nikotin
meningkatkan molekul ekspresi adhesion monocyte (CD11b dan CD11a), ekspresi
molekul adhesion endothelial intercellular adhesion molecule-1 dan endothelial
monocyte chemoattractant protein-1 menjadi dua sampai tiga kali lipat. Dan
15
dalam jangka pendek, nikotin promote angiogenesis dan arteriogenesis berperan
dalam pengaturan ischemia. Efek dari nikotin ini adalah sebagai media aktivasi
interaksi endothelialmonocyte yang terlibat dalam arteriogenesis (Heeschen et al.
2003).
Ford dan Zlabek (2005) bahwa terapi nikotin pengganti adalah therapi
efektif untuk berhenti merokok. Hasil yang diperoleh bahwa nikotin pengganti
tidak meningkatkan aktivitas kardiovaskular.
Distribusi Nikotin dalam Jaringan Tubuh
Nikotin masuk ke dalam tubuh dapat melalui tiga cara yakni saluran
pernafasan, saluran pencernaan dan melalui kulit. Nikotin memiliki daya larut
yang tinggi baik pada kondisi polar dan non polar, dengan berat molekul yang
rendah (162,2 g/mol) membuatnya dapat terserap secara efisien. Pada dosis yang
tinggi 30-60 mg/kg bobot badan untuk orang dewasa dapat menyebabkan toksit
dan dapat memberikan efek kematian (Gosselin et al. 1984 diacu dalam Zorin et
al. 1999). Dan dilaporkan bahwa penyerapan pada kulit dengan dosis yang berarti
menimbulkan efek memabukan, muntah-muntah, meradang, dan dengan gejala
keracunan serius. Keadaan tersebut menyebabkan nikotin perlu penanganan yang
hati-hati sebelum digunakan (Zorin et al. 1999).
Nikotin masuk ke darah melalui sirkulasi pulmonal, tidak melewati vena
porta dan vena sistemik. Waktu yang dibutuhkan antara merokok sampai
masuknya nikotin ke otak lebih pendek daripada bila dimasukkan secara intravena
yaitu 7–9 detik. Nikotin masuk secara cepat ke otak kemudian turun secara cepat
setelah beredar ke seluruh jaringan tubuh. Ekskresi nikotin di ginjal tergantung
pada pH aliran urin sebanyak 35–80% berupa metabolit primer kotinin dan
nikotin-N-oksid. Kedua zat ini mempunyai efek farmakologis (Yano 2005).
Kandungan nikotin pada tembakau tanpa asap (smokless tabacco) akan meningkat
jika berada dalam mulut selama 30 menit yakin sekitar 3,6 mg dari 2,5 g pada
tembakau sedotan dan 4,6 g nikotin dari 7,9 tembakau sugi (chewing tabbaco).
Umumnya tembakau sugi, sedotan dan permen karet nikotin pH-nya dapat diubah
menjadi alkali sehingga dapat direabsorbsi melalui membran mukosa mulut dan
kadarnya dalam darah akan meningkat selama 30 menit dan akan menetap serta
16
mengalami penurunan setelah 2 jam lebih tergantung pada besar dosisnya (Fenster
et al. 1997).
Daya serap nikotin melalui kulit dan melalui glove (sarun tangan) nitril
dilaporkan oleh Zorin et al. (1999), hasil yang diperoleh bahwa waktu yang
diperlukan nikotin untuk masuk ke dalam tubuh melalui kulit bervariasi yakni
antara 3-5 menit. Pada konsentrasi yang tinggi 50% nikotin yang dilarutkan dalam
air membutuhkan waktu 5 menit dan pada konsentrasi rendah 1% nikotin dalam
air (dengan konsentrasi dari 1–100% dalam air) membutuhkan waktu 3 menit dan
disarankan bila terkena tumpahan nikotin pada kulit agar dibilas dengan segera.
Dan glove (sarun tangan) dengan ketebalan 0,114–0,100 mm yang terbuat dari
nitril aman untuk mencegah nikotin terserap ke kulit (Zorin et al. 1999).
Setelah diabsorpsi, nikotin masuk ke dalam aliran darah pada pH 7,4 dengan
kondisi terionisasi sekitar 69 dan 31% pada kondisi tidak terionisasi. Dan kurang
dari 5% terikat pada protein plasma, affinitas nikotin tertinggi ditemukan di dalam
hati, ginjal, limpa, dan paru-paru dan terendah di dalam jaringan adipose
(Hukkanen et al. 2005).
Nikotin terikat ke sel-sel otak dengan affinitas yang tinggi dan kapasitas
mengikat reseptornya lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan seseorang
yang memperoleh nikotin tanpa merokok (Perry et al. 1999). Peningkatan dalam
mengikat disebabkan oleh jumlah yang lebih tinggi dari reseptor nicotinic
cholinergic di otak dari perokok. Nikotin terakumulasi secara nyata dalam getah
lambung dan air liur (Lindell et al.1996). Akumulasi tersebut disebabkan oleh
perangkap ion dari nikotin dalam getah lambung dan air liur. Nikotin juga
terakumulasi dalam air susu ibu (Dahlstrom et al. 1990). Nikotin juga dapat
melewati barrier plasenta dengan mudah, dan ada bukti bahwa nikotin
terakumulasi pada serum ketuban dan dalam cairan di amnion sedikit lebih tinggi
daripada konsentrasi dalam serum ibu (Dempsey dan Benowitz 2001).
Efek farmakologi dari nikotin di dalam otak dan organ tubuh lainnya
tergantung pada rute dan dosis. Merokok memberikan nikotin secara cepat ke
sirkulasi pulmonari dan bergerak cepat ke bagian kiri dari bilik jantung dan ke
arterial sistemik serta masuk sirkulasi yang menuju ke otak. Waktu yang
diperlukan nikotin untuk mencapai otak dari saat mengisap rokok yakni sekitar
17
10-20 detik. Konsentrasi nikotin dalam darah arterial setelah merokok cukup
tinggi dan dapat mencapai 100 ng/ml, tetapi biasanya berkisar antara 20 dan 60
ng/ml (Henningfield et al. 1993; Gourlay dan Benowitz 1997; Lunell et al. 2000).
Interval waktu yang singkat dari nikotin memasuki otak juga memungkinkan pada
perokok yang diberi nikotin dosis titrate yang dikehendaki. Namun sebaliknya,
waktu yang dibutuhkan tersebut akan lambat jika pemberian nikotin melalui
sistem transdermal (Henningfield dan Keenan, 1993).
Metabolisme Nikotin pada Tubuh
Nikotin secara umum dimetabolisme di hati. Ada enam metabolisme utama
dari nikotin yang telah diidentifikasi dan secara kuantitatif yang paling penting
dari metabolisme nikotin yang berhubungan dengan hewan menyusui adalah
turunan kotinin. Pada manusia, sekitar 70-80% dari nikotin dikonversi menjadi
kotinin (Benowitz dan Jacob 1994). Transformasi ini melibatkan dua langkah.
Yang pertama adalah mediasi dari cytochrome P450 yang merupakan sistem
untuk menghasilkan nikotin-∆1’(5’)-iminium-ion yang equilibrium dengan 5-
hydroxynicotine (Murphy 1973; Peterson et al. 1987). Langkah kedua adalah
katalisasi dari cytoplasmic aldehyde oxidase (Gorrod dan Hibberd, 1982). Nikotin
iminium ion cukup menarik karena merupakan agen alkylating dan dapat berperan
dalam farmakologi dari nikotin (Jacob et al. 1997).
Metabolisme utama yang lain dari nikotin adalah nikotin N’-oksida dan
sekitar 4 sampai 7% nikotin diserap oleh perokok melalui jalur metabolisme ini
(Byrd et al. 1992). Konversi dari nikotin ke N’-oksida melibatkan flavin-
monooxygenase-3 (FMO3) (Cashman et al. 1992). Pada manusia, jalan ini sangat
selektif untuk isomer trans (Cashman et al. 1992). Hanya isomer trans dari nikotin
N’-oksida terdeteksi dalam urin setelah pemberian nikotin melalui infusi darah,
transdermal, atau merokok. Pengurangan nikotin N’-oksida pada manusia
dilakukan oleh bakteri dalam usus besar. Pemberian nikotin melalui mulut dalam
bentuk nikotin N’-oksida menghasilkan kotinin dalam urin dan feses (Park et al.
1993).
Meskipun rata-rata sekitar 70 sampai 80% dari nikotin yang dimetobolisme
melalui jalur kotinin pada manusia, terdapat 10 sampai 15% dari nikotin tersebut
diserap oleh perokok yang muncul dalam urin dan tidak berubah menjadi kotinin
18
atau dengan kata lain sebagian besar metabolisme nikotin dalam urin berasal dari
kotinin. Konversi nikotin menjadi kotinin terutama dalam bentuk trans-3’-
hydroxycotinine sekitar (33-40%), trans-3’-hydroxycotinine glucuronide sekitar
(7-9%) dan cotinine glucuronide sekitar (12-17%) (Benowitz et al. 1994).
Nikotin di hati diubah menjadi kotinin oleh enzim cytochrome P450 dan
secara invitro dan invivo bahwa CYP2A6 merupakan enzim yang bertanggung
jawab dalam oksidasi nikotin dan kotinin, enzim ini secara mendasar mengurangi
jumlah nikotin dan kurang lebih 80% metabolisme nikotin oleh enzim CP2A6
yang merupakan kunci utama dalam kasus-kasus adiksi perokok dengan
pengurangan level rasio nikotin dalam darah (Hukkanen et al. 2005; Yano 2005).
Nikotin dimetabolisme terutama dalam hati. Selain itu pula metabolisme
nikotin juga terjadi secara ekstrahepatik seperti di paru-paru, ginjal, mukosa
hidung dan otak (Jacob et al. 1997). Disamping itu pula juga terjadi pada ketuban,
paru-paru, dan epithelium cabang tenggorokan (Boyland dan de Kock, 1966).
Faktor yang berpengaruh dalam metabolisme nikotin yakni diet dan
makanan. Aktivitas fisiologis, seperti makan, sikap, olahraga, atau obat
meningkatkan aliran darah hepatik, dan diduga mempengaruhi tingkat
metabolisme nikotin. Konsumsi makanan selama infusi nikotin mengakibatkan
penurunan konsentrasi nikotin, efeknya secara maksimal mulai 30 sampai 60
menit setelah akhir makan (Gries et al. 1996). Dan peningkatan aliran darah
hepatik sekitar 30% dan nikotin meningkat sekitar 40% setelah makan. Disamping
itu pula umur dan jenis kelamin mempengaruhi metabolisme dari nikotin
(Benowitz dan Jacob 1994).
Mekanisme Nikotin pada Saraf
Narahashi et al. (2000) menyimpulkan bahwa nikotin telah lama diketahui
memiliki interaksi dengan reseptor nikotinik asetilkolin (ACh) dan mekanisme
aksi nikotin tersebut meliputi tiga variasi yakni molekuler, fisiologi dan tingkah
laku. Shao dan Feldman (2001) bahwa reseptor nikotinik asetilkolin (ACh)
memiliki peranan dalam kontrol pusat respirasi yang memegang peranan penting
dalam pernapasan. Aktivasi dari reseptor nikotinik asetilkolin (ACh)
meningkatkan kemampuan input synaptik perasaan senang pada saraf inspirasi
19
dalam hal ini saraf pacemaker, dan waktu yang sama menghambat fase hubungan
diantara saraf yang memegang peranan dalam membawa perasaan senang.
Nikotin memiliki dampak dengan ciri-ciri yang mirip dengan
ketergantungan pada obat-obatan lainnya, menghirup nikotin menghasilkan
perubahan pada otak dan dianggap dapat menyebabkan sindrom withdrawal yang
diamati pada perokok yang berhenti secara tiba-tiba. Secara farmakologi, nikotin
pada prinsipnya adalah suatu stimulan psikomotor seperti halnya amphetamin atau
kokain. Nikotin juga memiliki efek psikoparmakologi lain, terutama anti depresi
dan kegelisahan yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang (Balfour et al.
2000).
Nikotin memiliki efek kompleks pada jalur saraf otak dengan merangsang
reseptor dari kelompok saraf nikotinik. Efek ini seperti mekanisme saraf pada
kompleks underpin nikotin seperti halnya efek ketergantungan narkoba,
khususnya efek psychostimulant mirip dengan efek nikotin yakni dengan
merangsang atau meningkatkan pelepasan dopamine (DA) utamanya dari terminal
sistem mesolimbik, nukleus accumbens, dan konsensus bahwa obat ini
memainkan peran penting dalam neurobiologi yang berpotensi menimbulkan
ketergantungan (Balfour 2008). Nikotin setelah melalui metabolisme di hati,
secara sistemik didistribusikan ke jaringan neuron preganglionik autonomik,
neuromuscular junction somatic (N1) dan neural (N2). Kemudian secara langsung
menstimulasi norepineprin (NE) melalui signal β3 adrenergik dalam sel
mitokondria dan melalui mekanisme siklus cREB (cAMP respons element
binding) protein mengekspresikan protein-1 (uncoupling protein-1; UCP-1) dan
bersama derivat proteinase inhibitor (PAI-1) berperan dalam proses aterosklerosis
(Blanc et al. 2003).
Efek Nikotin pada Penurunan Obesitas
Nikotin memiliki dampak negatif, yaitu dapat menekan konsumsi pakan dan
pertambahan bobot badan pada tikus jantan, namun tidak berpengaruh pada tikus
betina pada masa pertumbuhan. Penghentian pemberian nikotin dapat
meningkatkan konsumsi pakan dan bobot badan pada tikus jantan, namun tidak
pada tikus betina. Selain itu nikotin memiliki manfaat positif yaitu dapat
membantu dalam meningkatkan konsentrasi dan daya ingat, meningkatkan
20
perasaan senang pada penderita alzeimer dan Parkinson serta mengurangi stress
(Grunberg 2007).
Chiolero et al. (2008) menyatakan bahwa dalam jangka pendek, nikotin
meningkatkan pengeluaran energi dan dapat mengurangi nafsu makan sehingga
hal ini dapat menjelaskan mengapa perokok cenderung memiliki bobot badan
lebih rendah daripada bukan perokok. Namun sebaliknya, perokok berat
cenderung memiliki bobot badan lebih besar dibandingkan perokok ringan atau
yang tidak merokok.
Sebagaimana dijelaskan bahwa merokok cenderung menurunkan bobot
badan dibanding yang tidak merokok, hal ini sebagai efek nikotin yang sudah
dilaporkan. Nikotin memiliki sistem penyampaian pada neurotransmitters di otak
untuk mengurangi kebutuhan akan asupan energi dan akibatnya terjadi penurunan
nafsu makan. Selain itu, nikotin memiliki efek langsung pada metabolisme
jaringan adipose. Leptin, ghrelin dan neuropeptide Y merupakan zat yang
mungkin merupakan faktor yang terlibat dalam hubungan antara nikotin dan
indeks massa tubuh, walaupun peran mereka sebagai penentu atau konsekuensi
dari hubungan ini belum ditentukan (Chatkin dan Chatkin 2007).
Nikotin mengaktifkan sistem endogenous cannabinoid yang merupakan alat
modulasi metabolisme selama masa remaja dan penggunaan nikotin dapat
menyebabkan eksposur dalam jangka panjang pada regulasi metabolisme dan
mengubah modulasi cannabinoid untuk metabolisme dan pengeluaran energi
sehingga dapat menurunkan bobot badan (Lamota et al. 2008).
Peningkatan bobot badan karena berhenti merokok sebagai akibat
peningkatan lemak tubuh khususnya pada bagian subkutan. Disamping itu pula
adanya mekanisme peningkatan energi, penurunan tingkat metabolisme istirahat,
penurunan aktivitas fisik dan peningkatan aktivitas lipoprotein lipase. Nikotin,
sebagai agen sekresi kuat, diharapkan dapat mempengaruhi tingkat dan ekspresi
dari berbagai kelas neurotransmitters, serta dari selaput sel konstituen yang
terhubung ke neurotransmission, termasuk sinyal transducers yang terkait dengan
efektor. Potensi molekul yang dapat terlibat dengan aksi yang berhubungan
dengan konsumsi nikotin terutama neuropeptides dan hormon peptida yang
21
berperan dalam asupan makanan dan pengeluaran energi seperti leptin,
neuropeptide Y (NPY) dan orexins (Filozof et al. 2004).
Leptin, hormon yang disekresi oleh lemak merupakan adalah regulator
negatif dari asupan makanan dan energi positif pada regulator pengeluaran. Efek
nikotin pada plasma leptin kontradiktif dalam studi yang menggunakan objek
manusia. Dari dua studi epidemiologi pada berbagai kelompok etnis menunjukkan
bahwa plasma leptin signifikan pada perokok dan lebih rendah dibandingkan tidak
merokok. Selain itu, penurunan konsentrasi plasma leptin secara signifikan dari
adiposit juga telah dilaporkan pada ibu-ibu yang melahirkan dan merokok selama
kehamilan dibandingkan dengan yang tidak merokok. Nikotin menggunakan
mekanisme dengan memodulasi biosintesis leptin dan akibatnya mengurangi
bobot badan. NPY juga sebagai stimulator kuat dari makanan, penurunan dari
ekspresi NPY dipengaruhi nikotin. Peningkatan NPY mRNA dan peptide setelah
pemberian nikotin dimana peningkatan NPY dipengaruhi reseptor hypothalamic
yang mengikat Y1/Y4/Y5 pada situs ligand. Mirip dengan NPY, orexins
merupakan regulator positif terhadap asupan makanan. Oleh karena itu, dapat
diharapkan penurunan orexin akibat pemberian nikotin. Akan tetapi dosis
preproorexin mRNA dalam meningkatkan produksi setelah pemberian nikotin.
Pemberian nikotin berafinitas dan mengurangi kepadatan orexin-binding site pada
anterior hypothalamus dari otak (Filozof et al. 2004), dan aksi leptin guna
penurunan nafsu makan dan peningkatan pengeluaran energi disajikan pada
Gambar 3
Sekresi leptin
Jaringan adipose putih
↓ asupan makan
↑ pengeluaran engeri
↓↑ fungsi neuroendokrin
↑ metabolisme lemak
↑ metabolisme glukosa
Gambar 3 Skema aksi leptin (Mantzoros 1999).
22
Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa leptin bertindak secara langsung atau
dengan mengaktifkan bagian spesifik pada sistem saraf pusat yang mengatur
pengurangan asupan makanan, peningkatan pengeluaran energi, metabolisme
glukosa dan lemak dan mengubah fungsi neuroendokrin (Mantzoros 1999).
Lebih lanjut Mantzoros (1999) menyatakan bahwa leptin, suatu hormon
adipost, yang beredar di dalam serum dalam bentuk bebas atau dalam bentuk
leptin terikat pada protein, mengaktifkan sel yang spesifik pada hipotalamus, dan
mengubah ekspresi beberapa neuropeptida yang kemudian mengurangi selera,
peningkatan pembelanjaan energi dengan meningkatakan sinyal saraf simpatis dan
menurunkan sinyal saraf parasimpatik serta mengubah fungsi neuroendokrin.
Peningkatan level leptin mengaktifkan hormone tiroid, hormon pertumbuhan, dan
gonad serta menekan poros adrenal-pituitari. Leptin, secara langsung atau secara
tidak langsung (mengubah level hormone dan neuropeptida lain), juga
mempengaruhi hemopoiesis dan fungsi kekebalan serta meningkatkan
metabolisme glukosa dan lemak. Yang pada akhirnya, mengubah produksi dan
leve hormon dan sitokin serta produksi leptin pada adiposit. Efek umpan balik
dari leptin ini disajikan pada Gambar 4.
↑ saraf simpatis ↓ saraf parasimpatis
Otak
selera
Androgen Estrogen
Katekolamin
Adiposit putih
Gen leptin
Korteks adrenal
Gonad Fungsi imun hemopoiesis
β-sel langerhans
Sistem IGF
Gambar 4 Skema aksi umpan balik dari leptin (Mantzoros 1999).
23
Leptin mengatur homeostasis energi, makanan yang masuk ke tubuh;
disimpan dan digunakan, mengatur fertilitas dan fungsi imun untuk menekan NPY
yang disekresikan oleh hipotalamus. Pada pemberian nikotin, Leptin akan
meningkatkan neuron simpatik pada brown adipose tissue (BAT) dan diduga
menurunkan nafsu makan dan mengurangi bobot badan. Peran lipoprotein
merupakan kombinasi kompleks sferis dari lipid dan apoprotein yang juga
berfungsi menstabilisasi emulsi lipid serta fungsi ligan untuk proses yang dapat
dimediasi reseptor nikotin. Metabolisme lipoprotein melibatkan proses biokimia
kompleks pembentukan berbagai sekresi, transport, proses dan klirens lipoprotein
tersebut (Hodge et al. 1997).
Disamping itu pula nikotin mempengaruhi jaringan adipose coklat (BAT:
brown adipose tissue) yang mengatur panas tubuh, status makan dan cadangan
energi tubuh yang berpusat pada area ventromedial nucleus hipotalamus (VMN)
hindbrain. Telah diketahui bila terjadi peningkatan pembakaran cadangan
makanan dalam tubuh maka akan meningkatkan panas tubuh yang kemudian
memberikan signal simpatis pada reseptor adrenergic nervus system jaringan sel
adipose (Cannon dan Nedergaard 2004). Fungsi utama brown adipose tissue
(BAT) adalah untuk menciptakan panas melalui mekanisme termogenesis
nonshivering. Dan nonepineprin menjadi faktor yang berperan penting dalam
termogenesis ini. NE yang menstimulasi β-oksidasi (β-ox) pada mitokondria
melalui reseptor β3-adrenergic pada adiposit coklat yang diaktivasi oleh cAMP
dan protein kinase-A (PKA)-mediated untuk lipolisis dan β-oksidasi asam lemak
bebas (FFA) dari trigliserida (TG) untuk membentuk acyl-CoA. Jalur ini
merupakan produksi dari mitokondria pada superoksida intraseluler sebagaimana
dapat dilihat pada Gambar 5 (Brees et al. 2008).
24
panas
Gambar 5 Mekanisme molekular termogenesis pada jaringan adiposit coklat (Brees et al. 2008).
Nikotin memiliki efek pada peningkatan termogenesis. Mekanisme tersebut
melalui stimulasi pada sistem saraf simpatik yang mengarah pada peningkatan
NE. Stimulasi ini memberikan efek langsung pada reseptor nicotinic acetylcholine
(nAChR) yang memberikan stimulasi modulasi secara langsung atau tidak
langsung terhadap penurunan suhu tubuh (Rezvani dan Levin, 2004). Nikotin
meningkatkan pengeluaran NE dan mengikat guanosine 5'-diphosphate (sinyal
termogenesis) pada mitokondria dalam waktu tiga jam serta meningkatkan
ekspresi UCP-1 (Arai et al. 2001).
Monyet Ekor Panjang
Karakteristik Monyet Ekor Panjang
Monyet ekor panjang merupakan kelompok monyet dunia lama (Old World
Monkey) dan diklasifikasikan sebagai berikut; kelas Mammalia, ordo Primates,
subordo Anthropoidea, infraordo Catarrhini, superfamili Cercopithecoidea, famili
Cercopithecidae, subfamili Cercopithecinae, genus Macaca dan spesies
fasicularis (Lekagul dan McNeely 1977; Napier dan Napier 1985; Dolhinow dan
Fuentes 1999).
Monyet ekor panjang memiliki bobot badan yang bervariasi antara 3–12 kg
pada jantan dan 3–10 kg pada betina (Putra et al. 2006). Dengan lama hidup 25–
30 tahun, umur dewasa 4,5–6,5 tahun (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).
25
Collinge (1993) menyatakan bahwa penentuan umur pada genus Macaca sp dapat
ditentukan melalui masa dewasa kelamin dan pertumbuhan. Monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis) dewasa memiliki susunan gigi dengan dua premolar dan
jumlah gigi keseluruhan adalah 32 buah dengan susunan sebagai berikut:
2 x
M PM C I3 2 123212
Keterangan: I : incisisor (gigi seri), C : canine (gigi taring), PM : premolar (gigi geraham depan), dan
M : molar (gigi geraham belakang).
Warna tubuh utama monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yakni
coklat keabu-abuan dan kemerah-merahan dengan berbagai variasi warna menurut
musim, umur dan lokasi (Lekagul dan McNeely 1977). Disamping itu pula
perbedaan habitat mempengaruhi warna tubuh, individu yang menghuni kawasan
hutan umumnya lebih gelap dan mengkilap, sedangkan individu yang menghuni
kawasan pantai pada umumnya mempunyai warna lebih cerah. Hal ini
dipengaruhi oleh udara lembab yang mengandung garam dan sinar matahari
(Medway 1969). Secara umum warna rambut monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis) mulai dari abu-abu sampai kecoklatan dengan bagian ventral putih,
pada bagian punggung lebih gelap dibandingkan bagian dada dan perut, rambut
kepala agak pendek tertarik ke belakang dahi, rambut-rambut sekeliling wajahnya
berbentuk jambang yang lebat dengan ekor tertutup rambut yang halus (Napier
dan Napier 1967; Supriatna dan Wahyono 2000). Disamping itu rambut pada
bagian pipi monyet jantan lebih lebat dibandingkan dengan monyet betina
(Krisnawan 2000).
Monyet Ekor Panjang Sebagai Hewan Model Obes
Monyet ekor panjang sebagai salah satu satwa primata merupakan
sumberdaya alam yang mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia,
khususnya sebagai hewan model dalam penelitian biomedis dibandingkan hewan
model lainnya seperti mencit, tikus putih besar, hamster dan kelinci. Hal ini
disebabkan karena secara anatomi dan fisiologis mempunyai banyak kemiripan
dengan manusia dibandingkan dengan hewan model lainnya (Sajuthi et al. 1997;
Roth et al. 2004). Dengan nilai ilmiah satwa primata, selain persamaan ciri
26
anatomi dan fisiologis juga kedekatan hubungan filogenetik dan perbedaan
evolusi yang pendek (Bennet et al. 1995). Satwa primata adalah hewan model
yang sesuai untuk penelitian biomedis, khususnya obesitas didasari atas kesamaan
karakteristik tersebut. Disamping itu pula, ukurannya yang besar dan jangka
waktu hidupnya lebih lama dibanding hewan model lainnya memungkinkan
pengambilan sampel untuk waktu yang lama (Wagner et al. 1996). Penggunaan
monyet ekor panjang sebagai hewan model untuk manusia juga sangat beralasan
karena bentuk anatominya serta fungsi hepar, kesamaan pankreas namun
ukurannya lebih kecil serta vaskularisasi yang sama dengan manusia (Sabbatini
2001).
Penggunaan satwa primata sebagai hewan model dalam penelitian biomedis
khususnya penelitian obesitas telah dilakukan antara lain Kemnitsz et al. (1989)
yang menggunakan monyet rhesus (Macaca mulatta) pada penelitian obesitas
dengan melihat ukuran tubuh dan distribusi lemak tubuh, toleransi glukosa, serum
lipid, insulin, dan androgen. Anthony et al. (2003) yang melakukan penelitian
studi genetika pada obesitas yang menggunakan baboon. Kaufman et al. (2007)
yang melihat stres sebagai salah satu faktor penyebab obesitas, diabetes Tipe 2
dan hipertensi dan munculnya retensi insulin yang menggunakan monyet bonnet
(Macaca radiata) juvenile, Chen et al. (2002; 2003) menggunakan monyet ekor
panjang (Macaca fascicularis) untuk melihat level dua hormon adipocyte yakni
leptin dan adiponectin, serta hubungan hormon ini dengan insulin, protein total,
glukosa, kolesterol total dan trigliserida, serta persentase lemak tubuh termasuk
nilai hematologinya. Adanya kesamaan pola ekspresi hormon yang terlibat dalam
obesitas serta gambaran lainnya menjadikan monyet ekor panjang sebagai hewan
model yang baik untuk penelitian obesitas pada manusia. Disamping itu pula
bahwa pola obesitas pada monyet ekor panjang memiliki kemiripan dengan pola
obesitas seperti yang terjadi pada manusia yang dapat terjadi pada jantan maupun
betina baik dewasa maupun sub dewasa dengan pola yakni adanya penimbunan
lemak di sekitar perut, serta BMI (Body Mass Index) sampai 61,57 kg/m2 pada
jantan dan pada betina 60,07 kg/m2 yang ditemukan pada kawasan wisata di Bali
(Putra et al. 2006).
27
Oktarina (2009) melakukan penelitian dengan menggunakan monyet ekor
panjang (Macaca fascicularis) yang diberi pakan berenergi tinggi dan lemak
tinggi guna mendapatkan hewan model obes. Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa formula pakan yang mengandung tallow (lemak hewan) ditambah kuning
telur menjadikan monyet ekor panjang menjadi obes.
Secara morfometrik bahwa ukuran lingkar paha, lingkar pinggul, lingkar
pinggang, lingkar dada, tebal telapak tangan, tebal telapak kaki, tebal lipatan kulit
perut, tebal lipatan kulit lengan belakang, tebal lipatan kulit punggung menandai
terjadinya proses obesitas Tipe 1 pada monyet ekor panjang. Dengan penciri
bahwa lingkar pinggang, lingkar pinggul dan lingkar dada merupakan bagian
tubuh yang memiliki kaitan paling erat dengan bobot badan sehingga lingkar
pinggang, lingkar pinggul dan lingkar dada dapat dijadikan penciri terjadinya
obesitas pada monyet ekor panjang (Caraka I 2008).
Hematopoiesis
Hematopoiesis atau hemopoiesis adalah proses pembuatan darah, khususnya
sel darah. Sistem hematopoitik tersebar di dalam tubuh, organ atau jaringan
hematopoiteik ialah: sumsum tulang, hati, limpoglandula, retikuloendotelia, usus,
pankreas, thimus, ginjal dan limpa (Tortora dan Anagnostakos 1990).
Setelah hewan lahir, hematopoiesis pada sebagian besar mamalia terpusat
pada sumsun tulang, sedangkan hati dan limpa biasanya tidak aktif. Disaat
kebutuhan akan pertumbuhan tubuh mulai meningkat, maka hematopoiesis
biasanya akan kembali ke bagian ujung (metaphyse) tulang panjang, ke tulang
pipih dan pelvis, rusuk dan tulang belakang. Dari sini akan meluas lagi ke dalam
lubang sumsum tulang, juga terjadi hematopoiesis extramedulla yaitu di dalam
hati, limpa dan kelenjar pertahanan (lymphoglandula) terutama bila terjadi
kebutuhan yang meningkat misalnya ada hipoplasia atau aplasia dari sumsum
tulang atau pada penyakit-penyakit dimana sumsum tulang rusak atau mengalami
fibrosis (Ganong 1983).
Sistem hematopoietik dimonitor secara klinik oleh pemeriksaan sirkulasi
darah dan sumsum tulang. Pemeriksaan hematologi adalah merupakan suatu
bagian rutin dari beberapa pemeriksaan klinik, dan adanya perbedaan status
28
normal, akan menjadi indikasi adanya suatu respon penyesuaian terhadap
kerusakan sistem lainnya, atau adanya penyakit primer pada sistem hematopoietik
itu sendiri. Juga dalam keadaan hemorrhagi yang akut atau anemia hemolitika,
maka pusat haemopoietik terangsang untuk meningkatkan produksi sel yang
dibutuhkan. Ini berarti bahwa untuk setiap tipe sel ada suatu rangsangan berupa
mekanisme umpan balik (feedback) yang berespon terhadap menurunnya jumlah
sel. Sumsum tulang berisi sedikit sel primitif yang berespon terhadap kebutuhan
ini. Kemudian sel ini akan berdiferensiasi menjadi sel progenitor yang bertambah
banyak (multiply) dan menjadi sel dewasa (mature). Penilaian in vitro dan in vivo
telah menyatakan adanya tingkatan struktur dari stem sel multipotensial,
oligopotensial dan unipotensial di dalam sumsum tulang. Walaupun identitas
morfologi stem sel ini masih tidak pasti, namun tampaknya adalah mononuclear
dengan beberapa ciri khas dari limfosit peralihan (Ganong 1983).
Sel progenitor unipotensial akan berkembang menjadi sel precursor yaitu:
rubriblast, myeloblast, monoblast, lymphoblast dan megakaryoblast (Tortora dan
Anagnostakos 1990).
Stem Sel Pluripotensial
Konsep aktual dari hematopoiesis didasarkan pada monophylactic atau teori
unitarian dari pembentukan eritrosit, pertimbangan produksi eritrosit, semua
bentuk limfosit, makrofag, sel mast dan megakaryosit dari stem sel pluripotensial
(Jain 1993).
Selama kehidupan intra uterin, sel punca ini pada mulanya berasal dari
kuning telur embrio (embryonic yolk sac), kemudian oleh hati fetus, limpa dan
sumsum tulang. Dalam kehidupan dewasa pada kebanyakan spesies, sumsum
tulang merupakan sumber utama. Sedikit sel punca dapat dijumpai di dalam darah
perifer (1/100.000 leukosit). Migrasi dari sel progenitor granulosit ke dalam darah
dapat diinduksi oleh bermacam-macam stimuli misalnya: exercise, ACTH,
deksametason, epineprin, endotoksin, antigenik, exposure, hipoksia dan iradiasi
lokal (Jain 1993).
Sejumlah penyakit hematologik dapat berasal dari gangguan neoplastik
(tumor) dan non-neoplastik pada stem sel. Tumor hematopoietik adalah
gangguan/kerusakan stem sel, termasuk leukimia myelogenous yang akut dan
29
kronis, essensial trombositopenia dan polycytemia. Gangguan/kerusakan non-
neoplastik adalah akibat dari disfungsi stem sel, misalnya Cyclic hematopoiesis
pada anjing Collie abu-abu; aplasia eritrosit dan anemia aplastik (pancytopenia)
pada manusia. Beberapa keberhasilan telah dicapai dalam pengobatan untuk
memperbaiki gangguan non-neoplastik ini yaitu dengan menggunakan
transplantasi sumsum tulang. Hematopoiesis, baik secara in vivo maupun in vitro
amat dipengaruhi oleh bermacam-macam faktor endogen dan eksogen. Dalam hal
ini termasuk juga lingkungan mikro dari sumsum (marrow), serta faktor humoral
setempat (Robinson dan Huxtable 1988).
Eritropoiesis
Darah amat penting bagi kehidupan makhluk yang mempunyai banyak sel,
disebabkan oleh perannya untuk transpor oksigen, air, elektrolit, zat makanan dan
hormon-hormon ke setiap sel, juga untuk transpor hasil atau sisa metabolisme ke
organ-organ pembuangan. Pembentukan sel darah merah (eritropoiesis)
merupakan suatu pengaturan umpan balik (feedback). Pembentukan ini dihambat
oleh kenaikan jumlah sel darah merah dalam sirkulasi yang mencapai nilai diatas
normal, dan distimulasi oleh anemia. Eritropoiesis diatur oleh hormon glikogen
yang beredar yang dinamakan erytropoetin yang dibentuk oleh kerja dari faktor
ginjal pada globulin plasma (Ganong 1983).
Erytropoietin adalah suatu glikoprotein yang dibentuk terutama oleh ginjal
sebagai respon terhadap kurangnya oksigen dalam jaringan ikat ginjal (renal
tissue hypoxia). Sebagian eritropoietin juga disentisis di hati. Eritropoietin
diperlukan untuk pembentukan sel darah merah termasuk juga diferensiasi sel
progenitor, multiplikasi dan pematangan melalui berbagai tahapan (Jain 1993).
Sel darah merah, sel darah putih dan platelet/thrombosit merupakan bagian
dari elemen darah, sedangkan berbagai faktor koagulasi/zat pembekuan serta
imunoglobulin adalah unsur penting dari Protein Plasma Total. Fungsi utama sel
darah merah ialah mengikat haemoglobin untuk transport oksigen, sedangkan sel
darah putih peran utamanya ialah dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi
mikrobial. Platelet/thrombosit dan protein koagulasi adalah penting untuk
mempertahankan hemostasis, juga untuk mencegah kehilangan banyak darah
akibat terjadinya luka bulu darah. Imunoglobulin merupakan unsur penting dari
30
humoran immune response yang dibentuk untuk menghambat/mencegah hewan
dari agen infeksi. Sedangkan protein-protein lain yang ada dalam darah
mempunyai peranan biologis yang bervariasi yaitu mempertahankan kesehatan
tubuh. Berbagai faktor mungkin akan mempengaruhi data nilai normal darah dari
berbagai spesies hewan (Ganong 1983; Tortora dan Anagnostakos 1990).
Secara umum keberadaan darah dalam tubuh dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu
(1) faktor eksogen yang terdiri dari agen penyebab infeksi dan perubahan
lingkungan dan (2) faktor endogen yang terdiri dari pertambahan umur, status
gizi, kesehatan, stres, siklus estrus dan suhu tubuh (Guyton dan Hall 1997). Darah
yang beredar dalam tubuh memiliki berbagai fungsi yaitu sebagai alat transport,
mempertahankan lingkungan dalam tubuh agar terjaga konstan (homeostatis),
ekskresi dan berperan penting dalam pertahanan tubuh terhadap bahan-bahan
asing (Harper et al. 1979). Darah dengan komposisi yang meliputi 46–63%
plasma dan 37–54% sel darah (Martini 1995) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Komposisi darah manusia
No Darah persentase Komposisi persentase Keterangan 1. Elemen-elemen yang
terbentuk 37–54
o Sel darah merah 99,9 o Platelet (trombosit) o Sel darah putih 0,1
2. Komposisi plasma 46–63 o Plasma protein 7 Albumin 60 Utamanya menyumbangkan pada
konsentrasi osmotik plasma; transpor lemak, hormon steroid
Globulin 35 Transpor ion, hormon, lemak, fungsi imun Fibrinogen 4 Komponen esensial sistem pembekuan
darah; termasuk fibrin yang tidak terlarut Pengaturan protein
< 1 Enzim, proenzim, hormon
o Cairan lain 1 Elektrolit Komposisi ion pada cairan extraseluler esensial untuk aktivitas seluler yang vital. Ion yang berperan dalam tekanan osmotik cairan tubuh yakni Na+, Ca2+, Mg2+, Cl–, HCO3
–, HPO42–, SO4
2– Nutrisi Digunakan untuk produksi ATP,
pertumbuhan dan perawatan sel; meliputi lipid (asam lemak, kolesterol, gliserida), karbohidrat (terutama glukosa) dan asam amino
Zat-zat sisa
Membawa ketempat perusakan atau ekskresi; meliputi urea, asam urat, kreatinin, bilirubin dan ion ammonium
o Air 92 Transpor molekul organik dan inorganik, elemen-elemen yang terbentuk dan panas
Sumber : Martini 1995
Nilai normal hematologi terjadi perbedaan diantara peneliti, khusunya
penelitian yang berhubungan hematologi. Perbedaan ini terjadi karena beberapa
31
faktor antara lain: jumlah, sumber, umur, jenis kelamin, bangsa hewan, kesehatan
dan pakan hewan yang digunakan, juga metode pengambilan darah serta teknik
hematologi yang digunakan. Adanya perbedaan fisiologis seperti eksitasi, aktifitas
otot, waktu pengambilan sampel, suhu udara sekitar, keseimbangan air dan
ketinggian, mungkin juga memberikan perbedaan nyata. Variasi regional mungkin
juga menyebabkan perbedaan nilai hematologi terutama parameter sel darah
merah (Aliambar 1999). Variasi nilai hematologi pada primata ditampilkan pada
Tabel 3.
Tabel 3 Nilai hematologi pada primata
Parameter Hematologi
Schermer 1967 * Bourne et al. 1973 **
Monyet Rhesus Manusia Sel Darah Merah (juta) 4–7 4,46–5,60 4,5–5,5 Hemoglobin (Sahli) (%) 60–100 11,0–19,0 g/dL 14,0–10,0 g/dL Trombosit (butir) 86.700–265.000 Sel Darah Putih (butir) 5.500–12.000 5.300–12.300 6.000–10.000 Netrofil (%) 21–47 20,0–55,0 65–75 Eosonofil (%) 0–6 1,0–6,0 2–3 Basofil (%) 0–2 ±1,0 ±0,5 Limposit (%) 47–75 40,0–76,0 20–30 Monosit (%) 0,1–1,5 1,0–2,0 1–2
* Kisaran nilai hematologi dari beberapa peneliti ** diacu dalam (Fridman 2002)
Nilai hematologi yang dilaporkan Andrade et al. (2004) pada Macaca
fascicularis baik jantan dan betina dewasa dari pusat primata Fiocruz dengan
pembanding dari beberapa peneliti ditampilkan pada Tabel 4, 5 dan 6.
Tabel 4 Nilai hematologi pada Macaca mulatta dewasa
Parameter
Jantan Betina Pusat Primata
Fiocruz Buchl &
Howard 1997 Stanley &
Cramer 1968 Pusat Primata
Fiocruz Buchl &
Howard 1997 Stanley &
Cramer 1968 Sel Darah Merah (x106/ml) 5,062 ± 0,539 6,9 ± 0,34a 5,86 ± 0,52a 5,077 ± 0,53 5,7 ± 0,4a 4,35 ± 0,55a Hematokrit (%) 37,55 ± 3,23 42,2 ± 2,5a 42,1 ± 2,1a 36,74 ± 3,51 40,3 39,9 ± 3,1a Hemoglobin (g/dl) 12,76 ± 1,097 13,6 ± 0,7a 13,8 ± 1,0a 12,53 ± 1,21 12,9 ± 0,8 12,4 ± 1,6 MCV (fl) 74,46 ± 5,11 70,7 ± 2,2a 72 72,73 ± 6,36 70,5 ± 3,6 93,5 ± 12,7a MCHC (%) 34 ± 0 32,2 ± 0,8a 32,8 34,07 ± 1,08 31,9 ± 0,6a 31,3 ± 3,20a MCH (pg) 25,34 ± 1,74 22,8 ± 0,9a 24 24,97 ± 2,25 22,4 ± 1,3a 29,1 ± 4,15a Sel Darah Putih (x103/ml) 7,89 ± 3,53 11,8 ± 2,9a 8,2 ± 3,25 10,01 ± 5,07 10,3 ± 3,3 11,6 ± 5,1b Neutropil (%) 60,11 ± 13,28 67,0 ± 6,03a 34,5 ± 14,3a 60,32 ± 12,56 67,2 ± 31b 23,7 ± 10,9a Limposit (%) 36,70 ± 12,76 31,0 ± 1,84a 61,3 ± 14,3a 36,01 ± 13,06 35,4 ± 57,1 67,3 ± 11,3a Eosinopil (%) 0,66 ± 0,88 0,9 ± 1,59 – 0,91 ± 0,97 0,01 ± 0,02a 5,1 ± 6,2a Basopil (%) 0,11 ± 0,32 < 0,01 – 0,06 ± 0,27 < 0,01 0,2 ± 0,6b Monosit (%) 1,556 ± 1,55 3,8 ± 2,56a – 1,70 ± 1,42 0,02 ± 0,03a 4,3 ± 2,9a Mielosit (%) 0 – – 0 – – Metamiemosit (%) 0 – – 0 – – Kolesterol (mg/dl) 108 ± 76,52 155 ± 22a – 108 ± 76,52 150 ± 34a 219 ± 52,4a Lipid (mg/dl) 596,6 ± 210,2 – – 596,6 ± 210,2 – – AST (IU/l) 32,86 ± 19,5 – – 32,86 ± 19,49 – 26,6 ± 9,9b ALT (IU/l) 37,57 ± 28,6 – – 37,57 ± 28,65 – 18,5 ± 12,0a Total protein (mg/dl) 7,46 ± 1,12 7,8 ± 0,5 – – 7,8 ± 0,9 – Albumin (mg/dl) 4,475 ± 0,75 4,5 ± 0,4 – – 4,5 ± 0,4 – Urea nitrogen (mg/dl) 31,18 ± 10,4 20 ± 3a – – – –
32
Tabel 5 Nilai hematologi pada Macaca fascicularis dewasa
Parameter Jantan Betina
Pusat Primata Fiocruz
Matsumoto et al.1980
Altshuler et al.1971
Pusat Primata Fiocruz
Matsumoto et al.1980
Yoshida & Katsuta 1989
Sel Darah Merah (x106/ml) 6,3 ± 0,6 6,86 ± 0,39 – 6,16 ± 0,52 6,70 ± 0,71b 6,08 ± 0,63 Hematokrit (%) 39,8 ± 2,7 43,3 ± 2,9a – 37 ± 3,95 41,6 ± 3,8b 40,8 ± 4,5a Hemoglobin (g/dl) 13,6 ± 0,91 12,1 ± 0,9a – 12,6 ± 1,32 11,7 ± 1,2 11,3 ± 1,3a MCV (fl) 63,7 ± 6,51 63,1 ± 3,5 – 60,08 ± 3,88 62,2 ± 3,5 67 ± 5a MCH (pg) 21,57 ± 2,11 17,6 ± 0,8a – 20,31± 1,49 17,4 ± 0,9a – MCHC (%) 34,09 ± 0,30 27,9 ± 1,1a – 34,15 ± 0,55 28,0 ± 0,6a – Sel Darah Putih (x103/ml) 9,75 ± 2,67 15,3 ± 5,0a – 8,03 ± 1,9 12,7 ± 3,6a 9,7 ± 2,8b Neutropil (%) 65,38 ± 8,93 – – 68,15 ± 12,08 – – Limposit (%) 31,04 ± 8,96 – – 27,92 ± 9,76 – – Eosinopil (%) 1,33 ± 0,8 – – 0,85 ± 1,07 – – Basopil (%) 0,05 ± 0,22 – – 0 – – Monosit (%) 1,95 ± 1,32 – – 1,61 ± 1,32 – – Kolesterol (mg/dl) 148,09 ± 44,6 178 ± 33a 115,8 ± 17,9a 185,74 ± 45,99 186 ± 35 126,32 ± 38,5a Total protein (mg/dl) 5,99 ± 0,95 9,9 ± 0,8a 8,13 ± 0,64a – – – Albumin (mg/dl) 3,6 ± 0,57 5,6 ± 0,2a 3,17 ± 0,3a – – – Lipids (mg/dl) 659,9 ± 106,5 – – 460,70 ± 127,7 – – Urea nitrogen (mg/dl) 26,38 ± 9,22 20 ± 3a 23,07 27,3 ± 9,87 19 ± 2b 20,26 ± 5,36a
Tabel 6 Nilai hematologi pada Saimiri sciureus dewasa
Parameter
Jantan Betina
Pusat Primata Fiocruz
Beland et al. 1979,
Suzuki 1981
Kakoma et al. 1985
Pusat Primata Fiocruz
Beland et al. 1979,
Suzuki 1981 Sel Darah Merah (x106/ml) 6,81 ± 0,42 7,5 ± 0,6 b 7,12 ± 0,1 a 6,13 ± 0,86 7,61 ± 0,7 a Hematokrit (%) 41,9 ± 3,93 46,5 ± 4,0 b 44 ± 0,64 39,03 ± 3,53 45,1 ± 4,2 a Hemoglobin (g/dl) 14,06 ± 1,23 14,6 ± 1,2 13,8 ± 0,18 13,27 ± 1,18 14,5 ± 1,1 a MCV (fl) 61,74 ± 5,75 – 61,9 ± 0,64 64,16 ± 5,19 – MCH (pg) 20,68 ± 2,0 – 1 9,4 ± 0,19 b 21,77 ± 1,73 – MCHC (%) 33,68 ± 1,68 – 31,5 ± 0,23 33,96 ± 0,18 – Sel Darah Putih (x103/ml) 6,826 ± 1,64 11,5 ± 4,32 b 10,5 ± 0,64 a 7,26 ± 1,56 10,3 ± 3,6 a Neutropil (%) 65,94 ± 7,9 43,6 ± 15,2 a 35 ± 3,2 a 69,32 ± 7,89 44,9 ± 15,1 a Limposit (%) 28,63 ± 5,68 52,3 ± 15,2 a 61 ± 3,1 a 25,77 ± 8,69 49,2 ± 16,0 a Eosinopil (%) 1,05 ± 1,22 2,2 ± 2,5 1 ± 0,2 0,87 ± 1,11 3,6 ± 6,1 b Basopil (%) 0 0,2 ± 0,4 0 ± 0,2 0,03 ± 0,18 0,7 ± 4,4 Monosit (%) 4,47 ± 2,2 2,2 ± 1,6 b 2 ± 0,3 a 2,9 ± 1,74 1,5 ± 0,1 a Kolesterol (mg/dl) 129,74 ± 39,9 137 ± 29 – 116,74 ± 29,2 144 ± 24 c Total protein (mg/dl) 5,91 ± 0,34 6,6 ± 0,5 b – 5,91 ± 0,34 6,4 ± 0,5 b Albumin (mg/dl) 3,55 ± 0,34 4,2 ± 0,4 c – 3,55 ± 0,34 4,2 ± 0,4c Chlorider (mEq/l) 96,71 ± 20,83 104 ± 4 – 101,37 ± 17,3 105 ± 5 Urea nitrogen (mg/dl) 28,37 ± 7,18 46 ± 12 c – 27,35 ± 5,65 48 ± 12 c
Parameter nilai hematologi antara baboon dan manusia (hemoglobin,
hematokrit, trombosit dan jumlah sel) memiliki kesamaan begitupula antara
manusia dan Callithrix jacchus (Fridman 2002).
Bobot tubuh sangat berhubungan erat dengan nilai hematologi terutama
konsentrasi hemoglobin, nilai hematokrit, konsentrasi hematokrit dalam sel darah
merah (MCV, mean corpuscular volume) dan jumlah sel darah merah (Chen et al.
2002) sebagaimana ditampilkan pada Tabel 7 berikut.
33
Tabel 7 Bobot badan dan nilai hematologi Macaca fascicularis dewasa
Uraian satuan Rata-rata±SD Bobot badan (kg) 4,49±1,06 Hematologi :
Sel Darah Putih (x102/ml) 81,20±28,4 Sel Darah Merah (x104/ml) 591±68 Hemoglobin (g/dl) 11,5±1,6 Hematokrit (%) 40,3±4,4 MCV (fl) 68,4±56 Platelet (x104/ml) 37,8±8,9
Sel Darah Merah
Sel darah merah (SDM, eritrosit/red blood cells/RBC) membawa
hemoglobin dalam sirkulasi. Pada umumnya SDM hewan mamalia tidak
mempunyai inti dan bentuknya biconcave disc, sedangkan SDM yang berbentuk
elips dan berinti, amat khas pada satwa burung, reptil dan amphibia. Adanya
variasi bentuk SDM (poikilositosis) bisa bersifat fisiologik ataupun patologik
(Ganong 1983; Tortora dan Anagnostakos 1990; Aliambar 1999).
Sel darah merah dibentuk dalam sumsum tulang, terutama dari tulang
pendek, pipih dan tak beraturan, dari jaringan kanselus pada ujung tulang pipa dan
dari sumsum dalam batang iga dan dari seternum. Perkembangan sel darah merah
dalam sumsum tulang melalui berbagai tahap: mula-mula besar dan berisi nukleus
tetapi tidak ada hemoglobin; kemudian dimuati hemoglobin dan akhirnya
kehilangan nukleusnya dan baru diedarkan ke dalam sirkulasi darah (Pearce
2006).
Jumlah sel darah merah normal pada manusia 5,4 juta/mm3 pada laki-laki
dan 4,8 juta/mm3 pada perempuan dengan diamater sekitar 7,5 µm dan tebalnya 2
µm dengan lama hidup dalam sirkulasi darah sekitar 120 hari (Ganong 1983;
Tortora dan Anagnostakos 1990). Pada nonhuman primata jumlah SDM bervariasi
antara 3,6–7,2 juta/mm3 dengan diameter 7,1–7,5 µm atau rata-rata 7,5 µm
(Fridman 2002). Nilai hematologi antara nonhuman primata dan manusia dapat
dilihat pada Tabel 2, begitupula nilai hematologi pada Macaca mulatta, Macaca
fascicularis dan Saimiri sciureus dapat dilihata pada Tabel 4, 5 dan 6 (Andrade et
al. 2004).
34
Hematokrit
Hematokrit (HCT; PCV) merupakan persentase sel darah merah dalam darah.
Nilai hematokrit sebesar 40% berarti dalam darah mengandung 40% sel darah merah.
Uji ini biasa digunakan untuk mendiagnosa anemia dan polycythemia (peningkatan
persentase sel darah merah) (Tortora dan Anagnostakos 1990). Perhitungan hematokrit
dilakukan setelah darah dicegah membeku dengan menggunakan antikoagulan dan
disentrifuse sehingga sel-selnya akan mengendap dan menempati dasar tabung.
Sedangkan plasma, suatu cairan yang berwarna kekuning-kuningan akan naik ke atas.
Jumlah sel-selnya adalah 45% dari volume darah total, dan nilai ini dinamakan Packed
Cell Volume (PCV) atau Hematokrit (HCT), yang dinyatakan dalam persen (Aliambar
1999).
Perhitungan nilai hematokrit lebih sering ditentukan berdasarkan metode
mikrohematokrit. Kekuatan dan lama putaran amatlah perlu untuk mengurangi plasma
yang melekat pada dinding tabung (Tortora dan Anagnostakos 1990). Pada kambing
dan domba, metode hematokrit membutuhkan waktu centrifuse yang lebih lama (10–20
menit), sedangkan spesies lainnya cukup 5 menit saja. Pada kambing, parameter darah
merah yaitu SDM, HB, dan HCT nilainya lebih tinggi di akhir musim panas dan musim
gugur dibandingkan pada musim dingin dan musim semi. Sedangkan pada sapi,
nilainya paling tinggi selama bulan-bulan paling dingin dan paling rendah selama
bulan-bulan terhangat di tahun tersebut. Perbedaan nilai ini dapat pula terjadi akibat
kesalahan teknik terutama yang disebabkan oleh metode pengambilan darah, tipe dan
konsentrasi antikoagulan serta metode yang dipakai untuk determinasi perhitungan
SDM dan SDP, konsentrasi HB dan HCT (Aliambar 1999).
Nilai hematokrit pada wanita berkisar 38–46% dengan rata-rata 42% sedangkan
pada pria berkisar 40–54% dengan rata-rata 47%. Nilai hematokrit juga berbeda
berdasarkan ketinggian, individu yang tinggal dipegunungan memiliki nilai hematokrit
yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan individu yang tinggal ditepi pantai (Tortora
dan Anagnostakos 1990). Pada macaque, nilai hematokrit Macaca mulatta yakni
37,55±3,23% pada jantan dan 36,74±3,51% pada betina, Macaca fascicularis yakni
39,8±2,7% pada jantan dan 37,74±3,95% pada betina dan Saimiri sciureus yakni
41,9±3,93% pada jantan dan 39,03±3,53% pada betina dan perbedaan nilai hematokrit
pada beberapa peneliti dapat dilihata pada Tabel 4, 5 dan 6 (Andrade et al. 2004).
35
Hemoglobin
Hemoglobin (HB) adalah pigmen merah pembawa oksigen dalam sel darah
merah vertebrata, yang merupakan suatu protein yang kaya akan zat besi. Protein
hemoglobin adalah globin, sedangkan warna merah disebabkan oleh warna heme.
Heme adalah suatu senyawa metalik yang mengandung satu atom besi.
Konsentrasi hemoglobin normal pada manusia dewasa adalah 14–16 g/dl darah
atau rata-rata 15 gram setiap 100 ml darah dan jumlah ini biasanya disebut 100
persen (Ganong 1983; Pearce 2006). Dan diperkirakan terdapat kira-kira 750
gram hemoglobin dalam seluruh darah yang beredar. Hemoglobin (HB) sangat
penting untuk mempertahankan kehidupan sebab ia membawa dan mengirim
oksigen ke jaringan-jaringan. Sekitar 400 juta molekul hemoglobin ada dalam sel
darah merah dan meliputi 95% dari berat keringnya. Sedangkan sintesis
hemoglobin dan proses destruksinya seimbang dalam kondisi fisiologis dan
adanya gangguan pada salah satunya dapat menimbulkan gangguan hematologis
yang nyata (Tortora dan Anagnostakos 1990; Aliambar 1999).
Gambar 6 Skema tahapan katabolisme haemoglobin (Jain 1993).
Hemoglobin mengandung senyawa protein yang berisi globin dan heme.
Setiap gram hemoglobin berisi 3,34 mg zat besi dan membawa 1,34 ml oksigen.
Setiap molekul hemoglobin berisi 4 heme unit dan masing-masing bergabung
dengan satu rangkaian globin yang mempunyai residu asam amino. Hemoglobin
dilepaskan dalam bentuk bebas bila terjadi hemolisis sedangkan batas antara
36
hemoglobin dan stroma sel darah merah mengalami kerobekan yang disebabkan
oleh agen penyebab hemolisis. Hemoglobin yang bebas dalam plasma amat cepat
terbuang, dengan oksidasi menjadi bentuk yang tak berguna, hilang melalui ginjal
atau dimusnahkan oleh MPS. Hemoglobin dilepaskan dari sel darah merah,
dimusnahkan oleh macrophage dalam MPS, kemudian dikatabolisme secara
bertahap (Aliambar 1999).
Sel darah merah hidup sekitar 120 hari. Bilamana eritrosit dirusak, maka
bagian porfirin hemoglobin dipecahkan dan membentuk pigmen empedu
billiverdin dan billirubin, yang dibawa ke hati untuk diekskresi ke dalam usus
melalui empedu. Skema proses pemecahan hemoglobin menjadi biliverdin dan
billirubin serta ekskresinya ke usus melalui empedu dapat dilihat pada Gambar 6
(Tortora dan Anagnostakos 1990).
Indeks Eritrosit
Perhitungan diagnosis banding terhadap anemia dapat dilakukan melalui
perhitungan yang berasal dari konsentrasi Hb, jumlah SDM, dan Hematokrit
dengan tiga indeks sel darah merah. Hubungan secara skematis antara masing-
masing indeks SDM ini (MCV, MCH, MCHC) dan hematokrit, jumlah SDM dan
konsentrasi HB diperlihatkan dalam Gambar 7 (Robinson dan Huxtable 1988).
Gambar 7 Evaluasi kuantitatif sel darah merah (Schermer 1967).
Penilaian kuantitatif sel darah
merah
Sel darah merah yang belum dewasa (reticulocytes)
Jumlah sel darah merah
Hematokrit (persentase sel darah merah dalam darah
Konsentrasi Hemoglobin
Volume eritrosit rata-rata (MCV, mean cell volume)
Hemoglobin Eritrosit Rata-Rata
(MCH, mean corpuscular hemoglobin)
Konsentrasi Hemoglobin Eritrosit Rata-Rata
(MCHC, mean corpuscular hemoglobin concentration)
37
1. Mean Cell Volume atau Mean Corpuscular Volume (MCV), yang dapat
dihitung dengan membagi hematokrit dengan jumlah sel darah merah, atau
dapat diukur langsung dengan cara elektronik menggunakan
spektrophotometer. MCV ini dinilai dengan femto liter. Bilamana MCV
berada dalam kisaran normal, disebut normocytic state, bila berada dibawah
disebut microcytic state dan bila diatas disebut macrocytic state (Robinson
dan Huxtable 1988).
2. Mean Cell Hemoglobin atau Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH), yang
dapat dihitung dengan membagi konsentrasi hemoglobin (HB) dengan jumlah
sel darah merah (SDM) dan dinilai dengan picogram. Nilai MCH ini sangat
bergantung pada jumlah SDM sehingga nilai normalnya sangat bervariasi
diantara spesies hewan (Robinson dan Huxtable 1988).
3. Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC), didapat dengan
membagi konsentrasi hemoglobin (HB) dengan Hematokrit. Nilai MCHC ini
cukup stabil diantara spesies yaitu 330–350 g/l. Bilamana MCHC berada
dalam kisaran ini, disebut normochromic state dan bila dibawah disebut
hypochromic state. Akan tetapi nilai MCHC ini tidak akan berada diatas nilai
konsentrasi maksimum Hb eritrosit (Robinson dan Huxtable 1988).
Limfopoiesis
Limfopoiesies terjadi pada jaringan berbeda (sumsum tulang, thymus, limpa
dan limpoglandula) dan mencakup beberapa fase seluler. Sel progenitor limfoid
dan turunannya diidentifikasi tidak berdasarkan morfologinya tetapi terutama oleh
permukaan selnya sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan,
diferensiasi dan multiplikasi dari sel progenitor limfoid ini sangatlah kompleks.
Juga lingkungan mikro di sekitarnya (lokal), interleukin dan antigen dipercaya
mempunyai peranan yang penting. Interleukin adalah merupakan salah satu
limfosit growth factor yang sudah dikenal (Jain 1993).
Sel Darah Putih
Sel darah putih (SDP, WBC, Leukosit) warnanya bening, bentuknya lebih
besar dibandingkan dengan sel darah merah, tetapi jumlahnya lebih sedikit. Sel
darah putih dibuat pada sumsum tulang merah dan berisi sebuah inti yang
38
berbelah banyak dan protoplasmanya berbulir karena itu disebut sel berbulir
granulosit (Irianto 2005; Pearce 2006).
Jumlah total SDP dan diferensiasinya merupakan bantuan hematologi yang
berguna untuk evaluasi respon inang terhadap infeksi mikroba dan untuk
diagnosis leukemia serta penyakit lainnya. Dalam evaluasi sebuah leukogram,
amat perlu diketahui bahwa tidak hanya total SDP dan diferensiasinya, tetapi
untuk menetapkan adanya perubahan morfologi SDP maka informasi tentang
komponen darah lainnya harus ada. Juga protein plasma total dan konsentrasi
fibrinogen, parameter darah merah (HCT, HB, SDM) dan SDM berinti serta
jumlah retikulosit secara tak langsung membantu dalam interpretasi leukogram.
Jumlah total leukosit bervariasi antar spesies hewan dan hal ini dipengaruhi oleh
umur hewan. Saat hewan lahir jumlahnya lebih tinggi, kemudian secara bertahap
menurun sampai nilai dewasa yaitu pada umur 2–12 bulan. Meningkatnya jumlah
leukosit disebut leukositosis sedangkan penurunan disebut leukopenia.
Leukositosis lebih umum daripada leukopenia dan tidak merupakan hal yang
serius, bahkan mungkin bisa fisiologis. Leukositosis yang fisiologis mungkin
terjadi sebagai reaksi “ephinephrine” dimana neutrofil dan limfosit dimobilisasi
ke dalam sirkulasi umum sehingga menaikkan jumlah total SDP. Hal ini sering
terjadi pada hewan muda dan biasanya akibat pengaruh emosional, stress, juga
adanya gangguan fisik sehingga leukositosis ini bisa terjadi dalam keadaan sehat
ataupun sakit dan bisa bersifat fisiologis maupun patologis. Sedangkan leukopenia
umumnya berhubungan dengan infeksi bakterial atau viral (Dierauf 1990).
Kecernaan Zat-zat Makanan dan Metabolisme
Kecernaan Zat-zat Makanan
Kecernaan merupakan banyaknya zat-zat makanan yang terdapat dalam
makanan yang dapat dicerna dan diabsorbsi untuk metabolisme tubuh (Linder
2006). Sutardi (1980) menyatakan bahwa kecernaan adalah perubahan fisik dan
kimia yang dialami bahan makanan dalam alat pencernaan. Perubahan tersebut
dapat berupa penghalusan makan menjadi butir-butir atau partikel kecil atau
penguraian molekul besar menjadi molekul kecil. Lebih lanjut dinyatakan bahwa
kecernaan bahan makanan erat hubungannya dengan komposisi kimiawinya dan
39
serat kasarnya mempunyai pengaruh paling besar terhadap kecernaan dimana
kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang menentukan nilai pakan.
Kecernaan zat-zat makanan tersebut dipengaruhi oleh komposisi makanan,
kondisi hewan, dan faktor pemberian makanan (McDonal et al. 2002). Selain
komposisi zat-zat makanan, genetik, aspek lingkungan dan gangguan tubuh yang
mempengaruhi kesehatan juga mempengaruhi kecernaan zat-zat makanan (Linder
2006). Pada monyet ekor panjang dewasa dengan bobot badan 5,7 kg dan umur 9–
10 tahun membutuhkan konsumsi bahan kering 30,0 g x BWkg-1 dengan EM
110,0 kkal BWkg-1 (NRC 2002).
Kecernaan yang rendah akan mengurangi konsumsi, semakin banyak serat
kasar yang terdapat dalam suatu bahan makanan atau semakin tebal dan semakin
tahan dinding selnya mengakibatkan semakin rendah kecernaan bahan makanan
tersebut (Parakkasi 1999). Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi daya
cerna pakan yaitu suhu, laju perjalanan makanan melalui alat pencernaan, bentuk
fisik bahan makanan dan komposisi zat-zat yang terkandung dalam bahan
makanan (Anggorodi 1995). Lebih lanjut Anggorodi (1995) menyatakan bahwa
tingkat energi dalam bahan makanan akan mempengaruhi banyaknya makanan
yang dikonsumsi. Tingkat konsumsi merupakan jumlah makanan yang
terkonsumsi oleh hewan bila makanan tersebut diberikan ad libitum yang
dipengaruhi oleh faktor dari hewan itu sendiri, makanan yang diberikan dan
lingkungan sekitarnya (Parakkasi 1999).
Kebutuhan protein bagi satwa dapat dilihat dari nitrogen yang dihasilkan
dalam urin, dalam hal ini nitrogen pada urin merupakan hasil dari proses
katabolisme dalam jaringan tubuh (Moen 1973). Dalam metabolisme basal,
perbandingan N (mg) yang terdapat dalam urin (Endogenous Urine Nitrogen,
EUN) dengan kebutuhan energi dalam kcal adalah 2 atau setiap 1.000 kalori yang
digunakan oleh proses fisiologi tubuh satwa akan menghasilkan 2 mg N dalam
urinnya, dimana W adalah bobot badan dalam kg. Banyaknya EUN (Qeun) setiap
hari (g) dalam keadaan metabolisme basal:
1000
)(W.kg 70 x 2 Qeun
0.75
= (Moen 1973)
40
Metabolisme basal merupakan aktivitas metabolik yang dibutuhkan untuk
pemeliharaan tubuh yang hidup dan fungsi pokok sestabil mungkin. Perhitungan
penggunaan energi basal dapat dilakukan dengan mengukur konsumsi oksigen
(dan produksi CO2 dan ekskresi N) setelah hewan dipuasakan (Linder 2006).
Metabolisme
Metabolisme merupakan semua reaksi kimia yang terjadi dalam tubuh, yang
memerlukan dan melepaskan energi sehingga terjadi keseimbangan antara
pembentukan (anabolisme) dan penguraian (katabolisme) (Tortora dan
Anagnostakos 1990). Proses penguraian dan pembentukan kembali zat makanan
di dalam tubuh tersebut dimulai dengan tahap pemasukan zat gizi yang dalam
keadaan normal melalui proses makan (Irianto 2005). Piliang dan Djojosoebagio
(2006) menyatakan bahwa metabolisme dalam tubuh berfungsi menghasilkan
energi yang diperlukan untuk aktivitas sehari-hari dan untuk produktivitas.
Kebanyakan nutrisi dalam makanan harus dibuat lebih kecil, dipecah atau
dibuat lebih larut sebelum diabsorbsi oleh saluran pencernaan. Nutrisi utama
dalam makanan yang dibutuhkan tubuh yakni karbohidrat, lemak, protein,
mineral, vitamin dan air (Beyer 2004). Nutrisi tersebut merupakan substansi kimia
dalam makanan yang menyediakan energi, pembentuk komponent tubuh yang
baru, atau membantu berbagai proses fungsi tubuh (Tortora dan Anagnostakos
1990).
Metabolisme Lipid
Lipid yang terdapat dalam makanan sebagian besar berupa lemak, sehingga
metabolismenya merupakan metabolisme lemak. Pada dasarnya lipid merupakan
konduktor panas yang jelek, sehingga lipid dalam tubuh mempunyai fungsi untuk
mencegah terjadinya kehilangan panas dari tubuh. Makin banyak lemak, makin
baik fungsinya mempertahankan panas dalam tubuh. Selain itu lemak mempunyai
fungsi melindungi organ-organ tubuh tertentu dari kerusakan akibat benturan dan
goncangan. Lemak juga merupakan salah satu bahan makanan yang mengandung
vitamin A, D, E dan K serta merupakan sumber energi setelah karbohidrat
(Winarno 1992; Irianto 2005; Poedjiadi dan Supriyanti 2007).
41
Sebagian besar lemak dalam diet merupakan lemak netral yang juga dikenal
sebagai trigliserida, masing-masing molekul terdiri atas satu inti gliserol dan tiga
asam lemak. Lemak netral ditemukan dalam makanan yang berasal dari hewan
dan tumbuh-tumbuhan. Dalam diet biasa juga terdapat sejumlah kecil fosfolipid,
kolesterol dan ester-ester kolesterol. Fosfolipid dan ester kolesterol mengandung
asam lemak dan karena itu, dapat dianggap sebagai lemak sendiri. Sebaliknya,
kolesterol merupakan senyawa sterol yang tidak mengandung asam lemak, tetapi
ia menunjukkan beberapa sifat fisika dan kimia lemak, ia berasal dari lemak dan
dimetabolisme sama seperti lemak. Oleh karena itu, kolesterol dipandang dari segi
makanan sehari-hari, dianggap merupakan lemak (Guyton 1996).
Lemak yang dapat dicerna di dalam lambung di bawah pengaruh lipase
lambung, 95–99% dari seluruh pencernaan lemak terjadi di dalam usus halus,
terutama di bawah pengaruh lipase pankreas. Emulsifikasi lemak oleh asam-asam
empedu merupakan langkah pertama pencernaan lemak yakni dengan
memecahkan butir-butir lemak menjadi ukuran-ukuran kecil sehingga enzim-
enzim pencernaan yang tidak larut dalam lemak dapat bekerja pada permukaan
butiran. Proses ini dinamakan emulsifakasi lemak dan dicapai dibawah pengaruh
empedu yang disekresikan ke dalam empedu oleh hati. Garam empedu berlaku
sebagai deterjen yang sangat menurunkan tegangan antar permukaan lemak.
Dengan tegangan antar permukaan yang rendah, gerakan mencampur saluran
pencernaan berangsur-rangsur dapat memecah globulus lemak menjadi partikel
yang lebih halus, disertai luas permukaan total lemak yang meningkat dua kali,
setiap kali terjadi penurunan diameter globulus lemak menjadi setengahnya
(Guyton 1996).
Dibawah pengaruh lipase pankreas, kebanyakan lemak dipecah menjadi
monogliserida, asam-asam lemak dan gliserol. Walau lemak dalam jumlah sedang
hanya dicerna sampai stadium gliserida, dengan berlanjutnya proses hidrolisis
lemak, maka absorpsi lemak akan lebih baik, seperti tercantum pada Gambar 8
(Guyton 1996).
42
Gambar 8 Pencernaan lemak (Guyton 1996).
Sel epitel usus halus mengandung sejumlah kecil lipase, yang dikenal
sebagai lipase usus, memberikan pengaruh yang sedikit dalam pencernaan lemak.
Dalam proses pencernaan lemak menjadi misel, peranan garam-garam empedu
dalam mempercepat proses pencernaan tersebut penting. Hidrolisis trigliserida
merupakan proses yang sangat reversible, oleh karena itu penimbunan
monogliserida dan asam lemak bebas sekitar lemak yang dicernakan sangat cepat
menghambat pencernaan lebih lanjut. adanya garam empedu yang memegang
peranan penting dalam menyingkirkan monogliserida dan asam lemak bebas dari
sekitar butiran lemak yang sedang dicernakan hampir secepat hasil akhir
pencernaan dibentuk (Guyton 1996).
Selama pencernaan trigliserida, secepat pembentukan monogliserida dan
asam lemak bebas, mereka larut dalam bagian lemak misel yang segera
membuang hasil akhir pencernaan ini dari sekitar butiran lemak yang sedang
dicernakan. Akibatnya, proses pencernaan dapat berlangsung tanpa ada yang
menghambat. Misel garam empedu juga bekerja sebagai media transpor untuk
membawa monogliserida dan asam lemak bebas ke brush border sel epitel. Di sini
monogliserida dan asam lemak bebas diabsorpsi. Setelah mengangkut zat-zat
tersebut ke brush border garam empedu sekali lagi kembali lagi masuk kimus
untuk digunakan berkali-kali dalam prose pengangkut tersebut (Guyton 1996).
Lemak yang dicernakan membentuk monogliserida dan asam lemak bebas,
kedua zat hasil akhir pencernaan ini terutama larut dalam bagian lipid misel asam
empedu. Karena ukuran molekul misel ini dan juga karena muatannya yang sangat
besar dibagian luar menyebabkan larut dalam kimus. Dalam bentuk ini,
monogliserida dan asam lemak ditranspor ke permukaan sel epitel. Waktu kontak
dengan permukaan ini, monogliserida dan asam lemak, keduanya dengan cepat
43
berdifusi melalui membran epitel, meninggalkan misel sedangkan asam empedu
tetap dalam kimus. Misel ini kemudian berdifusi kembali ke dalam kimus dan
terus mengabsorpsi monogliserida dan asam lemak, dan hal yang sama juga
menstranspor zat-zat ini ke sel epitel. Jadi, asam empedu melakukan fungsi
pengangkut yang sangat penting untuk absorpsi lemak. Dengan adanya banyak
asam empedu, kira-kira 97% lemak di absorpsi; tanpa adanya asam empedu,
hanya 50–60% yang diabsorpsi dalam keadaan normal (Guyton 1996).
Mekanisme absorpsi monogliserida dan asam lemak melalui brush border
didasarkan bukti bahwa kedua zat tersebut sangat larut dalam lemak. Oleh karena
itu, mereka larut dalam membran dan berdifusi ke bagian dalam sel. Setelah
masuk ke dalam sel epitel, banyak monogliserida dicernakan lebih lanjut menjadi
gliserol dan asam lemak oleh lipase sel epitel. Kemudian, asam lemak bebas
dibentuk kembali oleh retikulum endoplasma menjadi trigliserida. Hampir semua
gliserol yang digunakan untuk tujuan ini disintesis denovo dari alfa-gliserofosfat.
Akan tetapi, sejumlah kecil gliserol asli dari monogliserida terdapat dalam
trigliserida yang baru disintesis. Setelah terbentuk, trigliserida terkumpul dalam
butiran bersama dengan kolesterol yang diabsorpsi, fosfolipid yang diabsorpsi dan
fosfolipid yang baru disintesis. Masing-masing zat tersebut diliputi oleh selubung
protein, β lipoprotein yang digunakan juga disintesis oleh retikulum endoplasma.
Massa berbutir ini, bersama dengan selubung protein, dikeluarkan dari sisi sel
epitel masuk ruang intersel dan dari sini berjalan masuk lakteal sentral vili.
Butiran seperti ini dinamakan kilomikron. Selubung protein kilomikron membuat
mereka hidrofilik, memungkinkan stabilitas suspensi yang layak dalam cairan
ekstrasel (Guyton 1996).
Metabolisme Protein
Protein yang terdapat dalam makanan dicerna dalam lambung dan usus
menjadi asam-asam amino, yang diabsorbsi dan dibawa oleh darah ke hati.
Sebagian asam amino diambil oleh hati, sebagian lagi diedarkan ke dalam
jaringan-jaringan di luar hati. Protein dalam sel-sel tubuh dibentuk dari asam
amino. Bila ada kelebihan asam amino dari jumlah yang digunakan untuk
biosintesis protein, kelebihan asam amino akan diubah menjadi asam keto yang
44
dapat masuk ke dalam siklus asam sitrat atau diubah menjadi urea (Poedjiadi dan
Supriyanti 2007).
Pencernaan protein yang dimulai di dalam lambung dengan enzim pepsin
yang memecah protein menjadi pentosa, pepton dan polipeptida besar. Enzim ini
hanya berfungsi dalam medium yang sangat asam yakni pada pH 2, sehingga
sekresi asam hidroklorida dalam lambung sangat penting untuk proses pencernaan
ini (Guyton 1996), seperti tercantum pada Gambar 9.
Gambar 9 Pencernaan protein (Guyton 1996).
Pepsin penting karena kesanggupannya untuk memecah kolagen, suatu
albuminoid yang sedikit dipengaruhi oleh enzim pencernaan lain. Protein dicerna
lebih lanjut di dalam usus halus dibawah pengaruh enzim pankreas yakni tripsin,
kimotripsin dan karboksipolipeptidase. Produk akhir pencernaan ini adalah
polipeptida kecil ditambah beberapa asam amino yang kemudian polipeptida kecil
ini dicerna menjadi asam amino sewaktu berkontak dengan sel epitel usus halus.
Karena sel ini mengandung beberapa enzim (peptidase) yang mengkonversi
produksi protein sisanya menjadi protein (Guyton 1996).
Selain mensintesis jaringan untuk membangun (pertumbuhan) dan
memperbaiki sel yang rusak, protein juga dapat menjadi sumber energi jika
persediaan asam amino dalam tubuh melebihi kebutuhan, maka kelebihannya
dapat digunakan untuk menghasilkan energi, dimana tiap gram protein
menghasilkan 4 kkal (Irianto 2005; Poedjiadi dan Supriyanti 2007).
Estimasi kebutuhan protein dapat dilakukan dengan: (a) pengukuran N
normal yang keluar melalui feses, urin, kulit, keringat, rambut untuk
memperkirakan kebutuhan minimal, dan (b) penelitian neraca dimana konsumsi
45
relatif dan yang hilang dibandingkan pada berbagai level konsumsi protein rendah
untuk mengekstrapolasi menjadi kebutuhan minimal (Linder 2006).
Metabolisme Karbohidrat
Dalam makanan, sumber utama karbohidrat yakni sukrosa yang merupakan
disakarida yang telah dikenal sebagai gula tebu; laktosa yang merupaka disakarida
dalam susu dan pati yang merupaka polisakarida besar yang terdapat hampir pada
semua makanan dan khususnya dalam padi-padian. Pencernaan karbohidrat yakni
dengan menghidrolisis pati menjadi maltosa (isomaltosa) yang merupakan
disakarida dan bersama disakarida utama lain, laktosa dan sukrosa dihidrolisis
menjadi monosakarida glukosa, galaktosa dan fruktosa (Gambar 10) (Guyton
1996).
Gambar 10 Pencernaan karbohidrat (Guyton 1996).
Hidrolisis pati dimulai di dalam mulut dibawah pengaruh enzim ptialin yang
disekresikan di dalam saliva dari glandula parotidea. Asam hidroklorida lambung
melakukan sedikit hidrolis tambahan yang akhirnya bagian utama hidrolisis
terjadi di dalam bagian atas usus halus dibawah pengaruh enzim amilase
pankreas. Enzim lakatase, sukrase, maltase dan isomatase untuk pemecahan
disakarida terletak dalam mikrovili brus border sel epitel. Disakarida ini dicerna
menjadi monosakarida sewaktu berkontak dengan mikrovili sewaktu berdifusi ke
dalam mikrovili. Produk pencernaan, monosakarida glukosa, galaktosa dan
fruktosa kemudian segera diabsorbsi ke dalam darah porta (Guyton 1996).
46
Tingkah Laku
Tingkah laku dapat diartikan sebagai ekspresi hewan yang disebabkan oleh
berbagai faktor, baik dari dalam tubuh maupun faktor luar. Tingkah laku tersebut
perlu diamati agar dapat diketahui bagaimana hewan bereaksi atas suatu
perubahan atau tekanan dari lingkungan (Bennet et al. 1995).
Monyet ekor panjang merupakan hewan diurnal yang seluruh aktivitasnya
dilakukan pada siang hari. Lindburg (1980) diacu dalam Pijoh (2006)
mengklasifikasikan aktivitas harian monyet di alam sebagai berikut: 1) makan:
aktivitas yang meliputi proses pengumpulan pakan sampai mengunyah dan
dilakukan pada pohon yang sama; 2) mencari makan: aktivitas yang meliputi
pergerakan di antara sumber makanan, biasanya di antara pohon; 3) istirahat: tidak
melakukan aktivitas apapun, hanya diam atau tiduran; 4) berkelahi: aktivitas ini
ditandai dengan ancaman mimik muka atau gerakan badan, menyerang, memburu
dan baku hantam: 5) merawat diri: aktivitas mencari kotoran dari tubuh sendiri
maupun dari tubuh individu lain yang sejenis; 6) kawin: hubungan seksual yang
dimulai dari pengejaran terhadap betina dan diakhiri dengan turunnya pejantan
dari betina setelah kopulasi; dan 7) bermain: aktivitas bermain antar individu,
terutama anak monyet. Bila orang memberi perlakuan menatap lama pada seekor
monyet, maka monyet tersebut akan merasa terancam karena merasa orang
tersebut akan menyerangnya sehingga monyet akan memberi respon dengan cara
balas menatap dengan mulut terbuka dan dengkuran, kemudian menyerang sambil
berteriak, memukul dan menggigit, atau kemungkinan lainnya mereka
menunjukkan reaksi patuh dengan tidak melihat, menghindar, atau meringis
ketakutan (Vandenberg 2000 diacu dalam Pijoh 2006).
Tingkah laku sebagai ekspresi suatu hewan yang disebabkan oleh semua
faktor yang mempengaruhinya antara lain faktor eksogenus, endogenus,
pengalaman dan fisiologis (Suratmo 1979 diacu dalam Sari 2004). Aktivitas
tingkah laku hewan di alam dan di kandang akan berbeda. Di kandang pola
tersebut akan memunculkan tingkah laku abnormal dari hewan seperti stereotipe,
melukai diri sendiri maupun hiperagresif dan pola ini sangat berkaitan erat dengan
ukuran dari kandang yang digunakan, dimana ukuran kandang yang kecil lebih
tinggi ditemukan tingkah laku abnormal dibandingkan dengan kandang yang
47
memiliki ukuran yang lebih kompleks (Kitchen dan Martin 1996). Röder dan
Timmermans (2002) bahwa untuk mereduksi tingkah laku abnormal maka perlu
pengkayaan laboratorium meliputi kondisi sosial, ketentuan kandang, dan teknik
penyajian makanan.
Honess et al. (2004) yang melakukan studi mengenai respon tingkah laku
Macaca fascicularis pada transportasi melalui udara dan rehousing, hasil
penelitian dari tiga fase pengamatan menunjukkan bahwa tingkah laku yang
paling dominan ditunjukkan yakni tingkah laku eksplorasi dan affiliatif (meliputi:
presenting, allogroming, bermain dengan air dan di tempat duduk, bermain
dengan mainan, manipulasi kadang/lingkungan) perawatan diri sendiri (meliputi:
self groming, minum dan makan) dan tingkah laku lainnya (meliputi:
memperhatikan hewan lainnya, urinasi, defekasi, bersin, memperhatikan
sekitarnya, vokalisasi dan bersembunyi.
Chrousos dan Gold (1992) diacu dalam Habib et al. (2000) bahwa poros
kelenjar hipotalamus-adrenal dan sistem saraf simpatis memegang peranan dalam
mengaktifkan pengaturan metabolisme dan kardiovaskular. Dan pada waktu yang
sama berperan mengatur fungsi neurovegetative saat terjadi penurunan
kemampuan bertahan hidup pada situasi yang terancam, mekanisme endokrin
untuk pertumbuhan dan reproduksi termasuk penggunaan energi untuk
menghindari keadaan yang membahayakan. Disamping itu beberapa substrat
neuroanatomik dan sistem hormonal memberikan kontribusi yang lebih besar
pada tingkah laku, neuroendokrin, autonomik dan respon neurovegetative pada
stres (Behan et al. 1996 diacu dalam Habib et al. 2000).
Habib et al. (2000) melihat peranan sistem hormonal dalam hubungannya
dengan tingkah laku stres khususnya efek dari pemberian antalarmin untuk
menghambat reseptor Corticotropin Releasing Hormon (CRH) tipe-1 dalam
hubungannya dengan tingkah laku, neuroendokrin dan komponen autonomi pada
respon stres dari monyet rhesus (Macaca mulatta). Hasil yang diperoleh bahwa
pemberian antalarmin secara nyata menghambat tingkah laku yang berhubungan
dengan kecemasan dan rasa takut seperti menggigil, menyeringai, gigi berdecak,
urinasi dan defekasi terutama pada situasi dengan tingkat stres yang tinggi,
meningkatkan ekplorasi dan tingkah laku seksual dibandingkan tekanan stres
48
secara normal. Lebih lanjut disimpulkan bahwa CRH memiliki peranan yang
besar pada respon fisiologis terutama cekaman psikologis pada primata serta
menghambat peran reseptor CRH tipe-1 yang memiliki nilai tereupatik pada
psikologi, reproduksi dan kardiovaskuler pada manusia yang berhubungan dengan
sistem hiperaktivitas dari CRH yang tidak teratur.
Tingkah laku dari hewan juga sangat dipengaruhi oleh makanan,
sebagaimana Kaplan et al. (1994) melakukan penelitian untuk melihat hubungan
antara makan berkolesterol, aktivitas pusat serotogenik dan tingkah laku sosial
pada monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) remaja. Hasil yang diperoleh
bahwa hewan yang mengkonsumsi makanan rendah kolesterol lebih agresif,
kurang affiliatif dan mempunyai konsentrasi cairan cerebrospinal yang rendah
dibandingkah dengan yang menkonsumsi makanan kolesterol tinggi dengan
perbedaan yang nyata. Penelitian yang serupa dengan menggunakan spesies yang
berbeda menunjukkan hasil yang tidak berbeda pula dan sebagai tambahan bahwa
makanan yang mengandung protein dapat mempengaruhi tingkah laku dan
neurokimia otak, fenomena ini relevan dengan pemahaman bahwa peningkatan
kematian akibat kejadian kekerasan dan menyakiti diri sendiri ditemukan pada
percobaan yang rendah koleterol.
49
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan dari 23 Februari 2009 sampai dengan 3 Juni
2009 di PT IndoAnilab Bogor. Penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu tahap
pertama adalah pembentukan hewan model obes yang telah berlangsung
selama satu tahun, dan untuk penelitian ini tahap pertama dimulai dari 23
Februari sampai dengan 11 Maret 2009 yang kemudian dilanjutkan dengan
tahap kedua, yakni intervensi nikotin (0,75 mg/kg bobot badan/12 jam) pada
hewan coba obes tersebut dari 12 Maret sampai dengan 3 Juni 2009 (skema
penelitian dapat dilihat pada Gambar 11). Analisis hematologi dilakukan di
Laboratorium Patologi dan Lipida Pusat Studi Satwa Primata Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSSP
LPPM-IPB), sedangkan analisis sampel pakan, feses dan urine dilakukan di
Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan IPB Bogor.
Materi dan Alat
Hewan Percobaan
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah monyet ekor
panjang (MEP) jantan dewasa obes dengan umur 6–8 tahun sebanyak 15 ekor
yang dibagi dalam tiga kelompok berdasarkan perlakuan pakan masing-masing
terdiri dari 5 ekor. Perlakuan dengan pakan A memiliki indeks massa tubuh (IMT)
23,50 kg/m2, perlakuan dengan pakan B memiliki IMT 26,85 kg/m2 dan perlakuan
dengan pakan C memiliki IMT 23,65 kg/m2. Semua MEP yang dijadikan sebagai
hewan percobaan telah mendapat pakan berenergi tinggi pada penelitian tahap
pertama. Seluruh perlakuan yang melibatkan hewan model dilakukan berdasarkan
peraturan yang telah ditetapkan oleh Animal Care and Use Committee (ACUC),
merupakan Komisi Kesejahteraan dan Penggunaan Hewan Percobaan dari PT
IndoAnilab dengan nomor protokol: 04–IA–ACUC–09 (Lampiran 1).
50
Pakan Perlakuan
Pakan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan pakan energi tinggi
dengan formula yaitu pakan A sumber energi berasal dari tallow dan gandum;
pakan B energi bersumber dari tallow, kuning telur dan gandum; dan pakan C
(monkey cow). Pakan A dan B adalah pakan yang bersumber dari bahan-bahan
lokal, sedangkan pakan C adalah pakan komersial produk pabrik. Pakan tersebut
merupakan pakan yang digunakan pada penelitian tahap pertama yang bertujuan
untuk pembentukan hewan model obes. Ketiga pakan yang diberikan tersebut
sekaligus merupakan perlakuan yang selanjutnya ditambahkan nikotin (0,75
mg/kg bobot badan) (komposisi nutrisi formula pakan perlakuan pada Tabel 8).
Selain mendapatkan pakan tersebut, guna pengkayaan lingkungan (environmental
enrichment) MEP juga mendapat pakan tambahan berupa buah pisang serta
diberikan jambu dengan bobot 10 g/ekor/hari yang telah diberikan dalam bentuk
beku, karena sebelumnya telah dibekukan dalam lemari es selain itu pula
pemberian air minum diberikan adlibitum.
Tabel 8 Komposisi nutrisi formula pakan perlakuan
Kandungan Nutrisi Pakan A Pakan B Pakan C Protein (%) 12,02 13,47 26,82 Lemak (%) 20,80 19,52 4,15 Serat Kasar (%) 2,12 1,25 2,25 BETN (%) 53,24 54,16 58,12 BK (%) 78,02 76,72 88,07 Gross Energi (Kal/kg) 4.479,11 4.399,86 4.492,87 Nikotin Cair (mg/kg) 0,75 0,75 0,75
Sumber: Hasil analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB Bogor 2009.
Intervensi nikotin yang diberikan yakni dengan dosis 0,75 mg/kg bobot
badan/12 jam. Nikotin yang digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk cair yang
dicampurkan pada saat pembuatan pakan, nikotin yang digunakan setara dengan
dosis yang diabsorpsi oleh manusia saat merokok 2–3 batang. Dosis fatal dari
nikotin murni adalah 30–60 mg/kg bobot badan. Dosis yang digunakan tersebut
(0,75 mg/kg bobot badan/12 jam) merupakan dosis aman (MOS, Margin of Safety)
penggunaan nikotin. Pemberian nikotin dilakukan melalui pakan yang diberikan
dua kali sehari. Sedangkan bahan yang digunakan adalah ketamin, alkohol 70%,
kapas dan H2SO4, kertas label serta alat dan bahan untuk analisis proksimat.
51
Alat
Alat yang digunakan adalah kandang individu metabolik stainless steel
(squeeze back cage) untuk mempermudah pemeliharaan dan pengendalian dengan
ukuran 0,6x0,6x0,9 m yang ditempatkan pada tempat tertutup dengan ventilasi
yang cukup. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan, tempat air minum
yang ditempelkan diluar kandang serta tempat penampungan feses. Kandang di
letakan sebaik mungkin agar masing-masing individu dapat saling berinteraksi.
Selain itupula digunakan timbangan untuk menimbang bobot badan (merek
Five Goats) dan pakan (Merek Acis), alat pencampur pakan, pengukur tinggi
duduk (tongkat ukur merek FHK), syringe 5 ml, kotak pendingin, tabung untuk
koleksi feses dan urine, CCTV (Closed Circuit Television) untuk pengamatan
tingkah laku yang dipasang pada bagian depan kandang dan digeser untuk
mendapatkan gambar tingkah laku selama penelitian.
Metode Penelitian
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang
tersarang dalam waktu dengan tiga perlakuan pakan dan empat perlakuan periode
pengamatan (waktu), masing-masing perlakuan terdiri dari lima ulangan yang
dianalisis dengan program SAS. Disamping itu pula digunakan análisis korelasi
linear untuk melihat hubungan beberapa parameter yang diamati. Model
matematik RAL yang digunakan sebagai berikut:
Y ijk = µµµµ + αi + ωj(i) + εεεεijk
Keterangan:
Y ijk = respon pengamatan yang memperoleh perlakuan pakan level ke-i dan periode pengamatan
(waktu) level ke-j pada ulangan ke-k,
µ = rata-rata umum,
αi = pengaruh perlakuan pakan level ke-i,
ωj(i) = pengaruh periode pengamatan (waktu) level ke-j yang tersarang pada pakan level ke-i, dan
εijk = galat percobaan yang disebabkan oleh perlakuan pakan level ke-i dan periode pengamatan
(waktu) level ke-j pada ulangan ke-k.
52
MEP yang digunakan sebagai hewan percobaan merupakan hewan model obes
yang telah mendapatkan pakan berenergi tinggi selama 1 tahun (Februari 2008–
Februari 2009) karateristik dari MEP pada masing-masing perlakuan dapat dilihat
pada skema penelitian (Gambar 11) berikut.
Gambar 11 Riwayat penggunaan MEP sebagai hewan percobaan
Prosedur Penelitian
MEP yang digunakan berjumlah 15 ekor yang dibagi kedalam tiga perlakuan
dengan jumlah ulangan masing-masing terdiri dari 5 ekor dengan karakteristik
obesitas yakni perlakuan A dengan IMT 23,50 kg/m2 (pre obes), perlakuan B dengan
IMT 26,85 kg/m2 (obes Tipe I) serta perlakuan C dengan IMT 23,65 kg/m2 (pre obes)
berdasarkan kriteria obes untuk orang Asia (Tabel 1). Penelitian untuk mendapatkan
monyet obes tersebut dimulai dari Februari 2008–Februari 2009 dengan masa
aklimatisasi 2 minggu kemudian diberi perlakuan pemberian pakan yakni pakan A,
pakan B dan pakan C (monkey cow) dengan kandungan nutrisi seperti ditampilkan
pada Tabel 8.
Sebelum diintervensi dengan nikotin, dilakukan pengamatan pada semua
parameter yang diamati (23 Februari–11 Maret 2009) dan mulai tanggal 12 Maret–3
Juni 2009 dilakukan intervensi nikotin cair dan kemudian dilakukan pengamatan
Dilakukan pengukuran parameter: • PBB, Berat Feses • IMT, Hematologi • Kecernaan • Tingkah laku
Dilakukan pengukuran parameter: • PBB, IMT • Hematologi • Morfometrik dan Kecernaan
Diberi pakan (pakan A, pakan B dan pakan C) + nikotin 0,75 mg/kg BB/12 jam
Dilakukan aklimatisasi selama 2 minggu dan kemudian pemberian pakan (pakan A, pakan B dan pakan C)
selama 1 tahun (Februari 2008–Februari 2009)
Mar 2008
Apr 2008
Mei 2008
Jun 2008
Jul 2008
Agt 2008
Sept 2008
Okt 2008
Nov 2008
Des 2008
Jan 2009
Feb 2008
Mar 2009
Apr 2009
Mei 2009
Jun 2009
Feb 2009
Dilakukan pengukuran parameter : • PBB, IMT • Hematologi • Morfometrik • Kecernaan dan Tingkah laku
IMT (Indek Massa Tubuh) A = 24,88 kg/m2 (pre obes) B = 26,66 kg/m2 (obes tipe I) C = 23,55 kg/m2 (pre obes)
IMT (Indek Massa Tubuh) A = 23,50 kg/m2 (pre obes) B = 26,85 kg/m2 (obes tipe I) C = 23,65 kg/m2 (pre obes)
Penelitian sebelumnya selama 1 tahun untuk pembentukan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebagai hewan model obes
Penelitian pemberian nikotin
Pelaksanaan penelitian sebelum dan selama intervensi nikotin
53
untuk semua parameter yang diamati dengan pengukuran masing-masing parameter
dilakukan setiap empat minggu.
Sebagaimana dalam hipotesis awal bahwa pemberian nikotin dapat
menurunkan obesitas yang ditandai perubahan indeks masa tubuh (IMT) termasuk
perubah tingkah laku maupun kondisi fisiologi dari hewan coba. Untuk itu, penelitian
ini dibagi dalam dua bagian guna membandingkan perubahan tersebut setelah
intervensi nikotin.
1. Pertama, yakni pengumpulan data pada bulan pertama untuk semua parameter
yang diamati sebelum diintervensi nikotin yang merupakan data awal (B1).
2. Kedua, yakni pengamatan pada semua parameter yang diamati selama intervensi
nikotin yang dilakukan setiap bulan selama tiga bulan (B2, yakni satu bulan
setelah intervensi nikotin; B3, yakni dua bulan setelah intervensi nikotin dan B4,
yakni tiga bulan setelah intervensi nikotin).
Berdasarkan penjelasan di atas maka bagan alir penelitian dapat dilihat pada
Gambar 12 berikut.
Gambar 12 Bagan alir penelitian penggunaan MEP
MEP telah diberi pakan A, B dan C selama 12 bulan (Februari 2008–Februari 2009) untuk menjadikan MEP menjadi obes
Monyet Ekor Panjang (MEP) (Macaca fascicularis)
MEP obes yang diberi pakan A, B dan C sebelum diintervensi nikotin selama 1bulan (Februari-Maret 2009)
MEP obes yang diberi pakan A, B dan C dengan intervensi nikotin 0,75 mg/kg bobot badan/12 jam melalui pakan selama 3 bulan (Maret-Juni 2009)
Kriteria
Pakan A (energi tinggi bersumber dari tallow dan gandum)
Pakan B (energi tinggi bersumber dari
tallow, kuning telur dan gandum)
Pakan C (monkey chow, protein tinggi)
Peubah: 1. Hematologi 2. Nilai kecernaan
o Perubahan bobot badan o Konsumsi pakan harian o Kecernaan Bahan Kering o Konsumsi nutrien o Koefisien kecernaan o TDN o Energi termetabolisme
3. Tingkah laku
Pra Obes (IMT= 23,50)
Obes (IMT= 26,85)
Pra Obes (IMT= 23,65)
Pengamatan Pertama
Pengamatan Kedua
Interpretasi data
Hasil dan kesimpulan
Analisis
54
Pembuatan Pakan dan Penambahan Nikotin
Pembuatan pakan A dan B dilakukan setiap minggu dengan bahan terdiri
dari gandum, gula, tallow (lemak hewan), minyak goreng, tepung ikan, tepung
maizena, bungkil kedelai, dedak padi, agar-agar, CMC (carboxymethyl cellulose),
mineral mix, kalsium karbonat, kalsium fosfat serta kuning telur. Sedangkan
untuk pakan C menggunakan monkey chow, yang merupakan pakan berbentuk
biskuit padat, kering dan agak keras dengan kandungan protein dan energi yang
tinggi. Perbedaan antara pakan A dan B yakni adanya penambahan kuning telur
pada pakan B sedangkan pakan A tidak memiliki kuning telur.
Penambahan nikotin cair dilakukan saat pembuatan pakan dengan dosis
didasarkan pada rataan umum bobot badan untuk masing-masing perlakuan.
Untuk pakan C, monkey chow terlebih dahulu dihancurkan menjadi remah-remah
kemudian ditambahkan dengan nikotin cair yang kemudian dibentuk menjadi
padatan dengan berat 50 g/biji. Untuk pakan A dan B, padatan dibuat dengan
berat 30 g/biji.
Sebelum dicampur dalam pakan, nikotin yang digunakan terlebih dahulu
dihitung jumlahnya (dalam setiap ml cairan, mengandung 0,4 mg nikotin), adapun
formula untuk mengetahui jumlah dosis nikotin yang dicampurkan pada saat
pembuatan pakan yakni:
Jumlah nikotin cair (ml) =( ) 2 x jbkp dp . x
Keterangan :
x = rata-rata umum bobot badan MEP setiap perlakuan,
dp = dosis nikotin yang digunakan (0,75 mg/kg bobot badan),
kp = jumlah kg pakan yang dibuat (g), dan
jb = berat per biji dari pakan yang dibuat menjadi padatan.
Untuk pakan A dan B dalam sekali pembuatan yakni 1,5 kg dengan berat
per biji yang dibuat padatan yakni 30 g. Dari formula tersebut dapat diketahui
jumlah nikotin (ml) yang digunakan dikalikan dengan 2, hal ini karena dalam
setiap 1 ml cairan mengandung 0,4 mg nikotin sehingga untuk mendapatkan dosis
0,75 mg/kg bobot badan harus setara dengan 2 ml cairan nikotin. Untuk pakan C
dalam sekali pembuatan pakan yakni 5 kg dengan berat per biji yang dibuat
padatan yakni 50 g.
55
Penimbangan Bobot Badan dan Pengambilan Sampel Darah
Sebelum penimbangan bobot badan, monyet terlebih dahulu dibius dengan
ketamin (10 mg/kg secara intramuskuler) (Unwin 2005). Setelah itu dilakukan
penimbangan bobot badan yang kemudian dilanjutkan pengambilan darah pada
daerah vena femoralis menggunakan syringe 5 ml yang kemudian dimasukkan ke
dalam tabung yang berisi antikoagulan EDTA. Penimbangan bobot badan dan
pengambilan sampel darah dilakukan setiap satu bulan. Disamping penimbangan
bobot badan, juga dilakukan pengukuran tinggi duduk untuk mendapatkan nilai
indeks massa tubuh (IMT), karena data IMT merupakan data pendukung untuk
mengetahui respon dari nikotin cair yang diberikan terhadap perubahan kondisi
tubuh dari MEP dalam hal ini obesitas.
Pengamatan Sampel Darah
Sampel darah yang berada dengan antikoagulan EDTA dimasukkan ke
dalam kotak pendingin yang berisi es dan kemudian dilakukan analisis hematologi
di Laboratorium Patologi dan Lipida Pusat Studi Satwa Primata Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Institut Pertanian Bogor (PSSP
LPPM-IPB). Parameter hematologi diukur dengan menggunakan Hematology
Analyzer (Nihon Kohden, Hematology Veterinary).
Pengamatan Kecernaan Zat-zat Makanan
Konsumsi Pakan
Pakan diberikan dua kali sehari yakni pada pagi hari jam 8.00 WIB dan
siang hari jam 12.00 WIB, yang sebelumnya ditimbang terlebih dahulu untuk
mengetahui berat awalnya disamping itupula pakan yang tersisa atau yang tidak
terkonsumsi oleh monyet pada pagi berikutnya juga ditimbang. Selisih antara
berat pakan awal dikurangi dengan pakan sisa atau yang tidak terkonsumsi pada
pagi berikutnya merupakan jumlah konsumsi harian dari hewan percobaan yang
dinyatakan dalam gram.
Koleksi Feses dan Penyimpanan Sampel Feses
Feses harian (g/hr) yakni diperoleh melalui pengumpulan feses secara
komposit. Pengumpulan feses segar dilakukan setiap hari pukul 07.00 WIB saat
56
pembersihan dan pemberian makanan, setelah ditimbang beratnya kemudian
diambil 10% dari berat segarnya yang kemudian diletakkan dalam tabung untuk
kemudian disimpan pada suhu -20°C sampai dilakukan analisis. Feses yang
terkumpul selama penelitian kemudian dikering ovenkan pada suhu 60°C
kemudian ditimbang kembali, serta dilakukan penggilingan untuk kemudian
dianalisis proksimat.
Koleksi Urine dan Penyimpanan Sampel Urine
Sampel urine dikoleksi dari ”baki penampungan urine” yang berada di
bawah kandang metabolik individu. Koleksi urine dilakukan setiap hari pada saat
pembersihan dan pemberian makanan pada jam 07.00 WIB (bersamaan dengan
koleksi feses). Pemisahan antara feses dan urine dilakukan dengan menggunakan
kain kasa yang ditempatkan di atas baki penampung urine dimana feses akan
tertahan pada kain kasa sedangkan urine akan turun ke bawah dan tertampung
dalam baki penampungan.
Urine yang tertampung tersebut kemudian disedot dengan menggunakan
spuit. Selanjutnya, spesimen urine sebanyak 2 ml dituangkan ke dalam tabung dan
diberi keterangan (nomor kandang perlakuan serta waktu pengambilan), kemudian
disimpan pada suhu -20°C sampai dilakukan analisis berikutnya. Untuk
menghindari adanya kehilangan N urine yang menguap dalam bentuk amonia,
maka ke dalam spesimen urine ditambahkan dua tetes H2SO4 (3 M).
Pengamatan Tingkah Laku
Pengamatan tingkah laku dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan
informasi tingkah laku monyet ekor panjang yang diberi pakan berenergi tinggi
pada kondisi obes Tipe 1 dan pra obes sebelum dan selama diintervensi dengan
nikotin (0,75 mg/kg bobot badan/12 jam). Pengamatan tingkah laku menggunakan
alat bantu monitor dan perekam berupa Closed Circuit Television (CCTV).
Perekaman seluruh aktivitas MEP dilakukan dilakukan dengan Metode Kontinyu
yaitu dilakukan perekaman sepanjang hari satu kali 24 jam, dan pengamatan
individu menggunakan metode Focal Animal Sampling yaitu metode pencatatan
tingkah laku dengan mengamati hewan tertentu yang menjadi fokus pengamatan
(Altman 1974). Pengamatan dilakukan dengan interval 30 menit dengan urutan
57
pengamatan dilakukan secara acak. Pencatatan meliputi jenis tingkah laku yang
dilakukan, waktu melakukan jenis tingkah laku, durasi, persentase dan jumlah
waktu observasi setiap hewan.
Peubah yang Diamati
1. Hematologi meliputi hemoglobin (g/dl), hematokrit (%), eritrosit (106/ml),
platelet (109/L), leukosit (103/ml), diferensiasi leukosit (%) dan indeks sel
darah merah meliputi MCV; Mean Corpuscular Volume (fl), MCH; Mean
Corpuscular Hemoglobin (pg), dan MCHC; Mean Corpuscular Hemoglobin
Concentration (g/dl) yang diukur dengan menggunakan Hematology Analyzer
(Nihon Kohden, Hematology Veterinary).
2. Nilai kecernaan yakni dilakukan analisis kimia feses meliputi protein, lemak,
serat kasar dan BETN dan melakukan pengukuran parameter berikut:
a. Perubahan bobot badan monyet ekor panjang di ukur pada setiap individu
di peroleh dari penimbangan yakni selisih bobot badan awal (kg) dengan
bobot badan akhir setiap periode (per bulan).
b. Konsumsi ransum harian (g/hr) merupakan jumlah konsumsi ransum
dalam sehari yang diperoleh dengan cara menghitung selisih
(g) tersisayangmakanan jumlah - (g)diberikan yangmakanan jumlah
c. Kecernaan Bahan Kering (KCBK) yang dinyatakan dalam gram.
d. Konsumsi nutrien (g/ekor): konsumsi nutrien didapat dari mengkalikan
konsumsi bahan kering makanan dengan persentase zat-zat makanan yang
terkandung dalam setiap bahan makanan hasil analisis proksimat
e. Koefisien kecernaan (%) merupakan gambaran dari kemampuan hewan
mencerna pakan yang diberikan.
f. Total Digestible Nutrient (TDN)
g. Energi metabolisme
3. Tingkah laku meliputi waktu melakukan, jenis tingkah laku, durasi, persentase
dan jumlah waktu observasi setiap hewan. Adapun jenis tingkah laku yang
diamati tersebut disajikan pada Tabel 9.
58
Tabel 9 Peubah tingkah laku yang diamati selama penelitian
Aktivitas Tingkah laku Deskripsi Ingestif Makan
proses mengambil makanan, memasukkan dan mengunyah makanan.
Minum aktivitas minum yang meliputi teknik mengambil minum, posisi badan saat minum.
Eliminasi membuang kotoran baik dalam bentuk padatan (feses) maupun dalam bentuk cairan (urine) meliputi posisi untuk kencing maupun defekasi
Tingkah laku Sosial Kontak/sentuhan kontak pisik dengan kandang (tidak termasuk waktu yang dihabiskan
untuk selfgrooming) Self grooming membersihkan atau merawat bulu sendiri dengan tangan atau mulut Agonistik tingkah laku agonistik yang dilampiskan ke kandang Menatap tingkah laku yang dilakukan dengan melihat individu lain baik dalam
bentuk mengancam atau tidak Lokomosi pengukuran semua bentuk lokomosi
Analisis Data
Hematologi
Data hematologi yang diperoleh ditabulasi dan disajikan dalam rataan
simpangan baku dan analisis ragam (ANOVA) untuk mengetahui perbedaan antar
perlakuan dengan taraf nyata 5%. Apabila pada ANOVA ternyata perlakuan
berbeda nyata (p<0,05), maka analisis dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel dan
Torrie, 1993). Sebagai tambahan, nilai hematologi akan diinterpretasikan secara
deskriptif dengan perbandingan berdasarkan kondisi fisiologis dari hewan.
Perhitungan indeks sel darah merah sebagai berikut:
• MCV (Mean Cell Volume atau Mean Corpuscular Volume)
MCV yang mengindikasikan rata-rata volume sel-sel darah merah
didapatkan dari perbandingan antara volume sel darah merah dengan jumlah sel-
sel darah merah
MCV (fl) = 6-10darah x mlper Eritrosit Jumlah
10 x Hematokrit
• MCH (Mean Cell Hemoglobin atau Mean Corpuscular Hemoglobin)
MCH yang mengekspresikan rata-rata bobot hemoglobin di dalam sel-sel
darah merah didapatkan dari rasio antara berat hemoglobin dalam ml darah
dengan jumlah sel darah merah dalam mm darah per 100 ml.
MCH (pg) = 6-10darah x mlper Eritrosit Jumlah
100 x (g/dl) Hemoglobin
59
• MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration)
MCHC yang mengekspresikan rata-rata konsentrasi hemoglobin di dalam
sel-sel darah merah didapatkan dari rasio antara hemoglobin (g/100 ml darah)
dengan hematokrit per 100 ml
MCHC (%) = (ml/dl) Hematokrit
100 x (g/dl) Hemoglobin
Nilai Kecernaan
Data nilai kecernaan yang diperoleh ditabulasi dan disajikan dalam rataan
simpangan baku yang kemudian dianalisis secara desktiptif dan analisis ragam
(ANOVA) untuk mengetahui perbedaan antar perlakuan dengan taraf nyata 5%.
Apabila pada ANOVA ternyata perlakuan berbeda nyata (p<0,05), maka analisis
dilanjutkan dengan Uji Duncan (Steel dan Torrie, 1993).
• Kecernaan Bahan Kering (KCBK) (g) dihitung dengan rumus:
KCBK (g) =(g) dikonsumsimakanan zat Σ
(g) feses dalammakanan zat Σ(g) dikonsumsimakanan zat Σ
−
• Koefisien kecernaan (%)
KKC (%) = x100% KZM
ZMF- KZM
Keterangan :
KKC = koefisien kecernaan,
KZM = koefisien zat-zat makanan, dan
ZMF = zat-zat makanan yang ditemukan kembali dalam feses.
Jumlah zat-zat makanan dalam feses = jumlah feses x persentase bahan
kering feses x persentase zat makanan dalam feses.
• Total Digestible Nutrient (TDN) yang dihitung berdasarkan rumus
Persentase TDN = %PKdd + %SKdd + %BETNdd + (2,25 x %LKdd)
Keterangan :
PKdd = protein kasar dapat dicerna,
SKdd = serat kasar dapat dicerna,
BETNdd = BETN dapat dicerna, dan
LKdd = lemak kasar dapat dicerna.
(Tillman dkk. 1989)
60
• Energi metabolisme
Energi metabolisme ditentukan dengan metode “koleksi total” yakni dengan
menentukan energi total yang terkandung dalam pakan dan ekskreta (feses dan
urine). Energi metabolisme ditentukan dengan rumus:
B = S – (F + U)
Keterangan :
B = energi rmetabolisme (kkal),
S = jumlah energi yang dikonsumsi (kal/g),
F = energi yang hilang melalui feses (kal/g), dan
U = energi yang hilang melalui urin (kkal).
(Sturkie 1976).
Energi dalam urine dihitung berdasarkan petunjuk Crampton dan Harris (1969)
serta Ranjhan (1980) yakni jumlah N (mg) urine dikalikan dengan 7,45 kkal.
Tingkah Laku
Semua pola tingkah laku yang diperoleh kemudian ditabulasi dan dihitung
persentase, jumlah waktu serta frekuensi masing-masing tingkah laku tersebut
yang kemudian dianalisis ragam (ANOVA) untuk mengetahui perbedaan antar
perlakuan dengan taraf nyata 5%. Apabila pada ANOVA ternyata perlakuan
berbeda nyata (p<0,05), maka analisis dilanjutkan dengan Uji Duncan yang
kemudian diinterpresikan berdasarkan pola tingkah laku yang teramati.
Korelasi
Untuk melihat hubungan tingkah laku dengan nilai hematologi maupun nilai
kecernaan dilakukan analisis korelasi (Gomez dan Gomez 2007) yang kemudian
diinterpretasikan secara deskriptif.
r =2y
2x S S
Sxy
Keterangan :
r = koefisien korelasi,
Sxy = kovarian antara x dan y,
S2x = ragam x, dan
2yS = ragam y.
61
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Penelitian
Penelitian ini merupakan kelanjutan dari penelitian sebelumnya yang
bertujuan untuk mendapatkan hewan model obes yang telah berlangsung selama
satu tahun (Februari 2008– Februari 2009) sehingga hewan coba telah teradaptasi
dengan lingkungan penelitian dan telah mengalami obesitas. Penelitian ini
menggunakan fasilitias dari PT IndoAnilab pada ruang tertutup dengan ventilasi
yang baik dan akses terbatas. Kondisi lingkungan selama penelitian menunjukkan
rata-rata kelembaban udara yakni 68±8,35% dengan rata-rata suhu ruangan yakni
28,66±1,74°C.
Selama penelitian berlangsung hewan percobaan dikontrol kondisi
kesehatannya oleh dokter hewan yang berwenang dan setiap bulan dilakukan
pemberian anti TBC dengan tuberkulin yang diberikan melalui injeksi subkutan
pada kelopak mata serta pemberian obat-obatan untuk menjaga kondisi kesehatan
hewan tersebut. Pemberian pakan dan air minum dilakukan setelah pembersihan
kandang yakni sekitar pukul 08.00 WIB pada pagi hari dan pada siang hari sekitar
pukul 12.00 WIB disamping pemberian pakan perlakuan, hewan coba juga
diberikan pengkayaan lingkungan (environmental enrichment) terutama
pengkayaan pakan yakni dengan pemberian buah-buahan (pisang dan jambu biji).
Hematologi
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi nikotin sebagai upaya
mengatasi masalah obesitas memberikan pengaruh pada gambaran darah. Hal ini
ditunjukkan melalui pengamatan hematologi yang meliputi jumlah sel darah
merah (SDM), sel darah putih (SDP), kadar hemoglobin (Hb), nilai hematokrit
(Hct), indeks sel darah merah (MCV; Mean Corpuscular Volume, MCH; Mean
Corpuscular Hemoglobin, dan MCHC; Mean Corpuscular Hemoglobin
Concentration), platelet dan diferensiasi sel darah putih. Gambaran hematologi
penelitian ini ditampilkan pada Tabel 10.
62
Tabel 10 Rataan nilai hematologi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Hematologi Bulan Perlakuan
Pakan A Pakan B Pakan C
SDM (106/ml)
B1 6,05 ± 0,27 A
Y
6,27 ± 0,36 A
X
5,98 ± 0,67 A
X B2 6,26 ± 0,46 A 6,42 ± 0,67 A 6,03 ± 0,33 A B3 3,66 ± 0,41 B 4,54 ± 0,56 B 4,69 ± 0,55 B B4 3,52 ± 0,40 B 4,53 ± 0,29 B 4,73 ± 0,36 B
Hb (g/dl)
B1 11,22 ± 0,35
Z
12,26 ± 1,06
X
12,22 ± 1,23
Y B2 11,58 ± 0,92 12,74 ± 1,45 12,50 ± 0,94 B3 11,40 ± 0,53 12,90 ± 1,00 12,30 ± 1,23 B4 11,22 ± 0,49 13,18 ± 0,77 12,36 ± 1,00
Hct (%)
B1 34,88 ± 1,30 A
Y
37,74 ± 2,46 A
X
37,82 ± 4,00 A
X B2 35,94 ± 3,37 A 38,40 ± 3,48 A 37,82 ± 2,94 A B3 25,28 ± 2,87 B 31,36 ± 4,07 B 32,64 ± 4,01 B B4 24,38 ± 2,73 B 31,46 ± 2,16 B 33,00 ± 2,69 B
MCV (fl)
B1 57,68 ± 2,09 B
Z
60,30 ± 3,17 C
Y
63,30 ± 2,61 B
X B2 57,36 ± 2,16 B 59,86 ± 3,23 C 62,64 ± 2,61 B B3 69,00 ± 0,27 A 68,06 ± 2,39 B 69,50 ± 0,49 A B4 69,22 ± 0,16 A 69,50 ± 0,58 A 69,68 ± 0,54 A
MCH (pg)
B1 18,58 ± 0,95 B
x
19,58 ± 1,42 B
xy
20,46 ± 1,19 B
y B2 18,50 ± 0,87 B 19,88 ± 1,54 B 20,70 ± 0,73 B B3 31,32 ± 2,42 A 28,64 ± 2,02 A 26,30 ± 1,45 A B4 32,06 ± 2,75 A 29,16 ± 1,55 A 26,12 ± 0,89 A
MCHC (g/dl)
B1 32,16 ± 0,74 A
X
32,46 ± 0,83 B
Y
32,30 ± 0,80 B
Z B2 32,26 ± 1,08 A 33,14 ± 1,07 B 33,04 ± 0,41 B B3 45,40 ± 3,55 B 41,42 ± 3,13 A 37,84 ± 2,22 A B4 46,34 ± 3,93 B 41,96 ± 2,18 A 37,48 ± 1,44 A
Platelet (109/L)
B1 339,40 ± 95,63 A
Y
253,67 ± 54,99 A
Y
381,20 ± 93,91 A
X B2 360,00 ± 40,94 A 318,33 ± 28,04 B 378,00 ± 99,27 A B3 205,00 ± 35,97 B 241,67 ± 30,73 A 305,40 ± 55,29 B B4 201,20 ± 31,34 B 210,67 ± 6,11 C 294,20 ± 44,42 B
SDP (103/ml)
B1 6,06 ± 3,80 6,18 ± 2,44 7,84 ± 3,62 B2 6,52 ± 2,48 6,54 ± 1,65 8,30 ± 4,08 B3 6,16 ± 2,21 7,44 ± 2,88 5,78 ± 2,76 B4 5,68 ± 2,10 5,46 ± 1,29 5,96 ± 2,52
Keterangan: SDM = sel darah merah, Hb = hemoglobin, Hct = hematokrit, MCV = mean corpuscular volume, MCH = mean corpuscular hemoglobin dan MCHC = mean corpuscular hemoglobin concentration. SDP = sel darah putih,
Huruf (X, Y, Z) yang berbeda pada baris dan (A, B, C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda sangat nyata (P<0,01). Huruf (x, y, z) yang berbeda pada baris tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,05).
Hasil analisis statistik nilai hematologi dirinci sebagai berikut ini.
Sel Darah Merah
Sel darah merah memiliki peranan dalam sirkulasi, karena fungsinya yang
mengikat oksigen dan mengedarkannya keseluruh jaringan tubuh. Nilai sel darah
merah monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama
diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 13.
63
6.05 6.27 5.98
4.485.17 5.15
0.00
1.002.00
3.00
4.00
5.006.00
7.00
A B C
Pakan
Nil
ai S
el D
arah
Mer
ah (
106 /m
l)
sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin
Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 13 Histogram perubahan nilai sel darah merah monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 13, ternyata intervensi
nikotin 0,75 mg/kg bobot badan/12 jam dapat menurunkan jumlah sel darah
merah seiring dengan pertambahan waktu intervensi nikotin yang diberikan.
Penurunan sel darah merah selama intervensi nikotin yakni 25,95% pada
perlakuan A, 17,65% (perlakuan B) dan 13,88% pada perlakuan C. Berdasarkan
hasil analisis statistik, penurunan tersebut menunjukkan perbedaan yang sangat
nyata (P<0,01) baik antar perlakuan pakan maupun perbedaan waktu pengamatan.
Rataan nilai sel darah merah sebelum intervensi nikotin relatif sama dengan yang
dilaporkan Andrade et al. (2004) pada Macaca fascicularis jantan dewasa sekitar
6,3±0,6 juta/ml sedangkan selama intervensi nikotin, sel darah merah yang
diperoleh lebih rendah dari yang dilaporkan Andrade et al. (2004).
Dari Tabel 10 dapat dilihat rataan nilai sel darah merah menurun selama
penelitian pada semua perlakuan namun kemudian relatif konstan pada dua bulan
setelah intervensi nikotin (B3) dan tiga bulan setelah intervensi nikotin (B4). Hasil
analisis statistik menunjukkan bahwan terjadi penurunan yang berbeda sangat
nyata (P<0,01) namun jumlah sel darah merah masih dalam kisaran normal untuk
satwa primata sebagaimana yang dilaporkan Fridman (2002). Ganon (1985)
menyatakan bahwa sel darah merah (eritrosit) dibentuk di dalam sumsum tulang
dengan kecepatan yang sama dengan rusaknya sel yang lama. Penurunan jumlah
sel darah merah ini masih dapat diatasi oleh tubuh, kondisi ini berkaitan dengan
64
efek fisiologis dimana jumlah eritrosit selalu diusahakan dalam kisaran normal
(homeostasis).
Nilai rataan sel darah merah pada semua perlakuan sebelum intervensi
nikotin relatif sama, hal ini memberikan arti bahwa perbedaan nilai nutrisi pada
pakan yang diberikan tersebut tidak menyebabkan proses fisiologis terganggu
terutama proses eritropoietin, sebagaimana Phillis (1979) bahwa bentuk dan
jumlah sel darah merah bervariasi dan dipengaruhi oleh spesies, umur, kondisi
tubuh, jenis kelamin, asupan makanan dan lingkungan. Penurunan nilai rataan sel
darah merah sangat nyata (P<0,01) pada semua perlakuan akibat intervensi
nikotin walaupun masih dalam kisaran normal, penurunan nilai sel darah merah
tersebut dapat disebabkan oleh kebutuhan oksigen dari hewan percobaan telah
terpenuhi dengan baik akibat intervensi nikotin. Efek nikotin yang memiliki
interaksi dengan reseptor nikotinik asetilkolin (ACh) memiliki peranan pada
kontrol pusat respirasi yang memegan peranan penting dalam pernafasan
(Narahashi et al. 2000; Shao dan Feldman 2001), efek nikotin tersebut mampu
meningkatkan frekuensi respirasi hingga 280% (Shao dan Feldman 2001). Adanya
efek nikotin yang mampu meningkatkan frekuensi respirasi tersebut,
menyebabkan pasokan oksigen ke dalam tubuh jumlahnya terpenuhi.
Sebagaimana Guyton (1993) bahwa jika kebutuhan oksigen jaringan telah
terpenuhi maka konsentrasi O2 tersebut akan menjadi feed back negative untuk
menurunkan jumlah sel darah merah.
Disamping itu pula, penurunan nilai sel darah merah yang terjadi belum
memberikan gangguan pada hewan penelitian. Hal ini karena kadar hemoglobin
tidak mengalami penurunan seiring dengan penurunan nilai sel darah merah
sehingga kebutuhan oksigen bagi tubuh baik kapiler maupun seluler tetap
terpenuhi yang berakibat pada aktivitas tubuh tetap terjaga.
Hemoglobin
Rataan nilai hemoglobin monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)
sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10 dan
Gambar 14. Berdasarkan hasil pengukuran kadar hemoglobin, menunjukkan
bahwa selama intervensi nikotin kadar hemoglobin meningkat dan relatif konstan
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 14.
65
11.22
12.26 12.22
11.40
12.94
12.39
10.00
10.5011.00
11.50
12.00
12.5013.00
13.50
A B C
Pakan
Kad
ar H
emo
glo
bin
(g
/dl)
sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin
Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 14 Histogram perubahan kadar hemoglobin monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Kadar hemoglobin yang diperoleh relatif tidak berbeda dengan kisaran
normal kadar hemoglobin sebagaimana yang dilaporkan Matsumoto et al. (1980)
sebesar 12,1±0,9 g/dl dan Andrade et al. (2004) yakni sebesar 13,6±0,91g/dl.
Secara statistik, kadar hemoglobin tersebut tidak berbeda nyata (P>0,05)
berdasarkan perbedaan waktu pengamatan (lamanya intervensi nikotin), namun
berbeda sangat nyata (P<0,01) berdasarkan perbedaan pakan. Selama intervensi
nikotin, Hb mengalami peningkatan yakni 1,60% (perlakuan A), 5,55%
(perlakuan B) dan 1,36% (perlakuan C) dan nilai tersebut tidak berbeda nyata
(P>0,05) berdasarkan lamanya intervensi nikotin.
Kadar hemoglobin yang diperoleh selama intervensi nikotin ini berbanding
terbalik dengan nilai sel darah merah dan nilai hematokrit. Sebagaimana Coles
(1980) menyatakan bahwa penurunan dan peningkatan hemoglobin setara dengan
penurunan sel darah merah, karena hemoglobin merupakan pigmen darah
pembawa oksigen dalam sel darah merah (eritrosit) dimana derajat penurunan
dalam tingkat total hemoglobin tergantung pada jumlah sel darah merah yang
hilang.
Tabel 10 memperlihatkan bahwa terjadi penurunan nilai sel darah merah
selama intervensi nikotin, namun kadar hemoglobinnya relatif normal
sebagaimana yang dinyatakan Matsumoto et al. (1980) dan Andrade et al. (2004).
66
Keadaan tersebut memberikan arti bahwa penurunan nilai sel darah merah tidak
dibarengi dengan penurunan kadar hemoglobin, hal ini dapat dilihat dari nilai
MCH dan MCHC yang merupakan ukuran kepekatan hemoglobin cenderung
mengalami peningkatan. Normalnya atau tidak terjadinya penurunan kadar
hemoglobin dapat disebabkan oleh nilai nutrisi dari pakan terutama konsumsi
protein yang dibarengi oleh tingkat kecernaan dari protein tersebut. Kondisi lain
yang diduga menyebabkan normalnya kadar hemoglobin tersebut adalah efek
fisiologis untuk mempertahankan keadaan homeostasis dari tubuh, penurunan
SDM direspon oleh tubuh dengan mempertahankan kadar hemoglobin sehingga
suplai oksigen bagi tubuh tetap terjaga sehingga tidak terjadi keadaan hipoksia.
Secara statistik menunjukkan bahwa nutrisi pakan memberikan pengaruh
yang sangat nyata (P<0,01) dan ternyata mampu mempertahankan kondisi
homeostasis tersebut terutama mempertahankan kadar hemoglobin, nilai nutrisi
terutama protein memberikan pengaruh yang sangat berarti. Beberapa peneliti
menyebutkan bahwa konsumsi protein berhubungan dengan pembentukan
hemoglobin. Selain protein, konsumsi karbohidrat juga mempengaruhi
pembentukan hemoglobin walaupun tidak signifikan (Boeing et al. 2000). Sebagai
tambahan bahwa normalnya kadar hemoglobin selama intervensi nikotin dapat
disebabkan oleh nikotin itu sendiri, sebagaimana Cuming (2003) dan Nedergaard
et al. (2003) bahwa induksi nikotin dalam dosis rendah memungkinkan
peningkatan kadar hemoglobin.
Hematokrit
Hematokrit (Hct) atau Packed Cell Volume (PCV) merupakan persentase sel
darah merah dalam 100 ml darah. Pada kondisi normal, jumlah Hct sebanding
dengan jumlah sel darah merah dan kadar hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar
1986). Adapun konsentrasi nilai hematokrit monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada
Tabel 10.
Berdasarkan hasil penelitian seperti pada Gambar 15, dapat dilihat bahwa
persentase sel darah merah dalam seluruh volume darah merah mengalami
penurunan selama intervensi nikotin.
67
34.8837.74 37.82
28.53
33.74 34.49
0.005.00
10.0015.0020.0025.0030.0035.0040.00
A B C
Pakan
Ko
nsen
tra
si H
ema
tokr
it (%
)
sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin
Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 15 Histogram perubahan konsentrasi hematokrit monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Lamanya periode pemberian secara statistik berbeda sangat nyata (P<0,01)
terhadap persentase hematokrit demikian juga pengaruh pakan memberikan
pengaruh yang berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap persentase hematokrit.
Penurunan hematokrit selama intervensi nikotin tersebut yakni 18,20% (perlakuan
A), 10,60% (perlakuan B) dan 8,81% (perlakuan C). Nilai persentase hematokrit
ini lebih rendah seperti yang dilaporkan Andrade et al. (2004) dan yakni sebesar
39,8±2,7% pada monyet ekor panjang jantan.
Nilai hematokrit seperti yang dapat dilihat pada Gambar 15 mengalami
penurunan dengan derajat yang sangat nyata (P<0,01) namun masih dalam kisaran
normal sebagaimana (Smith dan Mangkoewidjojo 1988) yakni 24–43%.
Indeks Sel Darah Merah (MCV, MCH dan MCHC)
MCV (Mean Corpuscular Volume)
Mean Corpuscular Volume (MCV) atau volume sel darah merah rata-rata
merupakan ukuran untuk menilai besar rata-rata sel darah merah yang diukur
dalam satuan femto liter (fl) . Nilai rataan MCV yang kecil menunjukkan bahwa
ukuran sel darah merahnya lebih kecil dari ukuran normal yang biasanya
disebabkan karena kekurang zat besi atau penyakit kronis. Sedangkan rataan nilai
MCV yang besar dapat disebabkan oleh obat antiretroviral namun kondisi ini
tidak berbahaya. MCV yang besar menunjukkan adanya anemia megaloblastik
68
dengan sel darah merahnya besar dan berwarna merah muda yang dapat
disebabkan karena kekurangan asam folat (Yayasan Spritia 2008). Adapun rataan
konsentrasi nilai MCV monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan
selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10.
Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti yang diperlihatkan pada Gambar
16, dapat dilihat bahwa nilai MCV mengalami peningkatan selama intervensi
nikotin.
57.68
60.30
63.30
65.19 65.8167.27
52.0054.0056.0058.0060.0062.0064.0066.0068.00
A B C
Pakan
Ko
nse
ntr
asi
MC
V (
fl)
sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin
Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C.
Gambar 16 Histogram perubahan konsentrasi MCV (Mean Corpuscular Volume) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Secara statistik, peningkatan nilai konsentrasi MCV tersebut menunjukkan
nilai yang berbeda sangat nyata (P<0,01) baik antar perlakuan pakan maupun
berdasarkan lamanya intervensi nikotin. Selama intervensi nikotin rataan nilai
MCV mengalami peningkatan sebesar 13,03% pada perlakuan A, 9,13% pada
perlakuan B dan 6,28% pada perlakuan C. Peningkatan nilai rataan MCV pada
penelitian ini masih berada dalam kisaran normal dari rata-rata nilai MCV monyet
ekor panjang (Macaca fascicularis) seperti yang dilaporkan Andrade et al. (2004)
yakni sebesar 63,7±6,51 fl dan lebih rendah dari hasil penelitian Chen et al.
(2002) yang melihat rataan nilai MCV berdasarkan variasi bobot badan yakni
sebesar 68,4±56 fl.
Dari nilai MCV seperti yang ada pada Tabel 10 maupun Gambar 16,
menunjukkan bahwa monyet ekor pajang yang digunakan dalam penelitian ini
69
baik sebelum intervensi nikotin maupun selama intervensi nikotin
memperlihatkan nila MCV yang relatif normal (normocytic state).
MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin)
Mean Cell Hemoglobin atau Mean Corpuscular Hemoglobin (MCH) atau
hemoglobin sel darah merah rata-rata merupakan ukuran untuk menilai kepekatan
hemoglobin yang dinyatakan dalam satuan picogram (pg). Adapun rataan
konsentrasi nilai MCH monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan
selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10.
Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti yang tertera pada Gambar 17,
menunjukkan bahwa rataan nilai MCH mengalami peningkatan selama intervensi
nikotin dan secara statistik peningkatan nilai konsentrasi MCH tersebut
menunjukkan nilai yang berbeda nyata (P<0,05) antar perlakuan pakan dan
berbeda sangat nyata (P<0,01) berdasarkan perbedaan waktu (lamanya intervensi
nikotin).
18.58 19.58 20.46
27.2925.89
24.37
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
A B C
Pakan
Ko
nse
ntr
asi
MC
H (
pg
)
sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin
Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 17 Histogram perubahan konsentrasi MCH (Mean Corpuscular
Hemoglobin) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Peningkatan nilai MCH selama intervensi nikotin yakni sebesar 46,90%
pada perlakuan A, 32,24% pada perlakuan B dan 19,13% pada perlakuan C. Nilai
MCH yang diperoleh dalam penelitian ini lebih tinggi seperti yang dilaporkan
Andrade et al. (2004) yakni sebesar 21,57±2,11 pg. Robinson dan Huxtable
70
(1988) menyatakan bahwa nilai MCH, sangat bergantung pada jumlah SDM
sehingga nilai normalnya sangat bervariasi diantara spesies hewan. Karena nilai
MCH menggambarkan tingkat kepekatan hemoglobin maka nilai MCH yang
diperoleh dari penelitian ini juga cukup tinggi sebagai akibat dari tingginya rataan
konsentrasi hemoglobin yang diperoleh dan disisi lain rataan nilai sel darah merah
mengalami penurunan.
MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration)
Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration (MCHC) juga digunakan
untuk mengukur kepekatan dari hemoglobin. Adapun rataan konsentrasi nilai
MCHC monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama
diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10.
Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti yang tertera pada Gambar 18,
menunjukkan bahwa rataan nilai MCHC mengalami peningkatan selama
intervensi nikotin dan secara statistik peningkatan nilai konsentrasi MCHC
tersebut menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata (P<0,01) baik antar
perlakuan pakan maupun perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin).
32.16 32.46 32.30
41.33 38.8436.12
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
A B C
Pakan
Ko
nse
ntr
asi
MC
HC
(%
)
sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin
Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 18 Histogram perubahan konsentrasi MCHC (Mean Corpuscular
Hemoglobin Concentration) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Rataan nilai MCHC tersebut mengalami peningkatan sebesar 28,52% pada
perlakuan A, 19,65% pada perlakuan B dan 11,83% pada perlakuan C. Sebelum
71
intervensi nikotin, rataan nilai MCHC relatif tidak berbeda seperti yang
dilaporkan Andrade et al. (2004) yakni sebesar 34,09±0,30%. Namun selama
intervensi nikotin, nilai rataan tersebut meningkat dan peningkatan tersebut
berbeda sangat nyata (P<0,01) baik antar perlakuan maupun antar waktu (lamanya
intervensi nikotin). Sebagaimana MCH, MCHC juga merupakan ukuran untuk
menggambarkan tingkat kepekatan hemoglobin dalam hematokrit sehingga nilai
MCHC juga meningkat seiring dengan lamanya intervensi nikotin sebagai akibat
dari tingginya rataan konsentrasi hemoglobin yang diperoleh seiring dengan
lamanya intervensi nikotin.
Platelet
Platelet atau trombosit merupakan salah satu sel darah yang memiliki
ukuran paling kecil diantara sel darah lain, platelet berperan dalam proses
pembekuan darah ketika terjadi perlukaan jaringan (Guyton 1993). Adapun
konsentrasi nilai platelet monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan
selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini seperti yang
tercantum pada Gambar 19, bahwa terjadi penurunan jumlah platelet selama
intervensi nikotin terutama pada perlakuan A dan C namun pada perlakuan B
memiliki peningkatan.
339.40
253.67
381.20
255.40 256.89
325.87
0.00
100.00
200.00
300.00
400.00
500.00
A B C
Pakan
Nil
ai P
late
let
(10
9 /L)
sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin
Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 19 Histogram perubahan konsentrasi platelet monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
72
Penurunan dan peningkatan tersebut secara statistik menunjukkan nilai yang
berbeda sangat nyata (P<0,01) baik antar perlakuan pakan maupun perbedaan
waktu (lamanya intervensi nikotin). Sebelum intervensi nikotin rataan nilai
platelet berbeda sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dengan nilai rataan platelet
selama intervensi nikotin, penurunan rataan nilai platelet ini masih dalam kisaran
normal seperti yang dilaporkan Mahoney (2005) pada beberapa spesies satwa
primata yakni 260±0,07–599±0,28 109/L.
Selama intervensi nikotin, penurunan jumlah platelet yakni 24,75% pada
perlakuan A dan 14,52% pada perlakuan C. Perlakuan B mengalami peningkatan
sebesar 1,27%. Penurunan rataan nilai platelet ini berbeda sangat nyata (P<0,01)
antar perlakuan, dimana perlakuan C memiliki rataan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan perlakuan lainnya demikian pula perlakuan B lebih tinggi
dari perlakuan A. Hal ini dapat disebabkan kandungan nutrien dari pakan yang
diberikan, sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 8 dimana perlakuan C
memiliki protein kasar yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya.
Perbedaan kandungan protein kasar pakan ini memperlihatkan rataan nilai platelet
yang berbeda pula, pakan yang memiliki protein kasar yang tinggi
memperlihatkan rataan plateletnya juga tinggi, sebagaimana Amador (1999)
bahwa platelet memiliki lapisan membran berupa glikoprotein yang memiliki
fungsi untuk berikatan pada dinding pembulu darah bila terjadi perlukaan,
berperan dalam pembentukan trombus. Jadi kandungan nutrisi pakan terutama
protein kasar yang tercerna dalam tubuh menjadi penyebab peningkatan nilai
platelet.
Sel Darah Putih
Leukosit atau sel darah putih merupakan salah satu benda darah yang
memiliki aktivitas yang sangat mobile, hal ini terkait dengan fungsinya yang
menjaga sistem kekebalan tubuh (Guyton 1993). Sel darah putih memiliki fungsi
yang vital dan spesifik yakni kemampuan fagositosis dan diapedesis. Adapun
konsentrasi nilai sel darah putih monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)
sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 10 dan
Gambar 20.
73
6.06 6.18
7.84
6.12 6.48 6.68
0.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
A B C
Pakan
Nilai
Sel
Dar
ah P
utih (10
3 /ml)
sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin
Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 20 Histogram perubahan konsentrasi sel darah putih monyet ekor
panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Berdasarkan hasil penelitian seperti pada Tabel 10, dapat dilihat bahwa baik
perlakuan A, B dan C mengalami kecenderungan peningkatan rataan jumlah nilai
sel darah putih pada empat minggu pertama intervensi nikotin dan pada empat
minggu kedua dan ketiga terjadi perubahan. Pada perlakuan A dan C mengalami
kecenderungan (trend) penurunan sedangkan perlakuan B masih mengalami
kecenderungan peningkatan dan kemudian menurun tajam pada empat minggu
ketiga intervensi nikotin. Secara statistik, rataan nilai sel darah putih baik
perlakuan pakan maupun perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) tidak
berbeda nyata (P>0,05).
Sebelum intervensi nikotin, rataan nilai sel darah putih berkisar 6,06±3,80
103/ml untuk perlakuan A, 6,18±2,44 103/ml untuk perlakuan B dan 7,84±3,62
103/ml untuk perlakuan C. Walaupun terjadi kecenderungan penurunan, namun
rataaan secara umum sel darah putih selama intervensi nikotin mengalami
kecenderungan peningkatan yang tidak berbeda nyata (P>0,05) sebesar 0,99%
untuk perlakuan A, 4,85% untuk perlakuan B dan untuk perlakuan C mengalami
kecenderungan penurunan sebesar 14,80%.
Terjadinya kecenderungan peningkatan dan penurunan nilai rataan sel darah
putih dari penelitian lebih rendah bila dibandingkan dengan sel darah putih yang
dilaporkan Mahoney (2005) yakni 7,21±3,03–10,60±4,78 103/ml. Gambaran sel
darah putih yang diperoleh tersebut menunjukkan bahwa intervensi nikotin tidak
74
mengganggu kekebelan tubuh hal ini dapat dilihat dari nilai statistik yang tidak
bermakna.
Diferensiasi Sel Darah Putih
Sel darah putih yang memiliki peranan penting dalam sistem pertahanan
tubuh memiliki beberapa bentuk dan komponen dengan fungsi yang berbeda pula.
Adapun rataan diferensiasi sel darah putih monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada
Tabel 11.
Tabel 11 Rataan persentase diferensiasi sel darah putih monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Diferensiasi sel darah putih Bulan Perlakuan
Pakan A Pakan B Pakan C
Netrofil (%)
B1 45,80 ± 12,91 44,60 ± 18,22 48,40 ± 14,36 B2 44,40 ± 5,32 51,40 ± 13,90 51,80 ± 6,80 B3 46,40 ± 11,28 48,00 ± 15,15 47,20 ± 18,29 B4 48,20 ± 9,65 44,00 ± 14,88 46,00 ± 14,42
Limfosit (%)
B1 44,20 ± 11,73 44,80 ± 18,19 41,60 ± 15,18 B2 51,40 ± 5,94 43,00 ± 16,85 43,60 ± 7,09 B3 49,80 ± 11,45 46,60 ± 15,57 48,20 ± 13,77 B4 48,40 ± 9,04 52,00 ± 14,75 51,20 ± 11,69
Eosinofil (%)
B1 5,00 ± 3,16 A 6,00 ± 3,08 A 3,40 ± 1,52 A B2 1,60 ± 1,82 B 2,60 ± 1,82 B 2,20 ± 1,64 A B3 2,20 ± 2,28 B 3,80 ± 1,92 B 3,60 ± 4,72 A B4 3,00 ± 1,73 B 3,60 ± 2,61 B 2,40 ± 3,78 A
Monosit (%)
B1 5,00 ± 2,55 A 4,60 ± 1,67 A 6,60 ± 6,66 A B2 2,20 ± 1,64 B 3,00 ± 2,12 AB 2,20 ± 1,64 B B3 2,20 ± 1,92 B 1,60 ± 0,89 BC 1,00 ± 1,22 BC B4 0,20 ± 0,45 B 0,20 ± 0,45 C 0,40 ± 0,55 C
Keterangan: Huruf (A, B, C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,01).
Netrofil berfungsi melawan infeksi bakteri dan dilaporkan sebagai
persentase leukosit atau % NEUT dengan jumlah sekitar 55–70%. Peranan
neutrofil sebagai salah satu komponen sel darah putih sangat penting, jika jumlah
neutrofil rendah (neutropenia) maka tubuh lebih mudah terkena infeksi bakteri.
Rataan persentase netrofil monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum
dan selama diintervensi dengan nikotin dapat dilihat pada Tabel 11.
Persentase jumlah netrofil seperti yang dapat dilihat pada Gambar 21,
sebelum intervensi nikotin yakni 45,80±12,91% pada perlakuan A, 44,60±18,22%
untuk perlakuan B dan 48,40±14,36% untuk perlakuan C. Rataan nilai tersebut
75
secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) demikian juga dengan rataan
neutrofil selama intervensi nikotin tidak berbeda nyata (P>0,05).
45.80
44.60
48.40
46.33
47.8048.33
42.00
43.0044.00
45.00
46.00
47.0048.00
49.00
A B C
Pakan
Ko
nse
ntr
asi
Net
rofi
l (%
)
sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin
Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 21 Histogram perubahan konsentrasi netrofil monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Selama intervensi nikotin, persentase neutrofil mengalami kecenderungan
peningkatan pada satu bulan setelah intervensi nikotin dan mengalami
kecenderungan penurunan pada dua dan tiga bulan setelah intervensi nikotin
untuk perlakuan B dan C sedangkan pada perlakuan A mengalami kecenderungan
penurunan pada satu bulan setelah intervensi nikotin tetapi pada dua dan tiga
bulan setelah intervensi nikotin mengalami kecenderungan peningkatan. Secara
umum, rataan persentase jumlah neutrofil dari penelitian ini adalah 44,00±14,18–
51,80±6,80%, nilai tersebut lebih rendah dari hasil penelitian yang dilaporkan
Andrade et al. (2004) sebesar 65,38±8,93%. Namun nilai yang diperoleh dari
penelitian ini masih berada dalam kisaran normal neutrofil untuk primata seperti
yang dilaporkan Fridman (2002) sebesar 21–47%.
Limfosit merupakan salah satu jenis leukosit agranulosit yang merupakan
bagian terbesar dari leukosit. Limfosit dibedakan dalam dua bentuk, yaitu limfosit
besar dan limfosit kecil. Limfosit tipe besar merupakan limfosit muda dengan
diameter 1µ, intu melekuk heterokromatik, dikelilingi sitoplasma, perbandingan
sitoplasma dan inti adalah 1:1 dan jarang ditemukan dalam peredaran darah. Tipe
kedua adalah limfosit kecil merupakan bentuk limfosit dewasa, memiliki diameter
8 µm, inti bulat heterokromatik, dikelilingi lingkaran tipis sitoplasma dengan
76
perbandingan inti 1:9, dan kadang pada limfosit sering ditemukan penjuluran
sitoplasma (Guyton 1993).
Limfosit dalam sistem kekebalan tubuh terdiri dari dua yaitu limfosit-T
yang berperan dalam sistem kekebalan yang diperantarai sel dan limfosit-B yang
berperan dalam pembentukan antibodi serta bertanggungjawab pada sistem
kekebalan humoral. Limfosit memiliki fungsi yang kompleks dengan fungsi
utama adalah memproduksi antibodi (limfosit-B) atau sebagai sel efektor khusus
dalam menanggapi antigen yang melekat pada makrofag (limfosit-T) (Tizard
1987). Peran limfosit dalam sistem imunitas yakni dengan mengikatkan diri pada
benda asing serta merusaknya yang merupakan fungsi dari limfosit-T, dengan
waktu hidup dari limfosit berkisar 100-300 hari atau bahkan bertahun-tahun
(Guyton 1993; Guyton dan Hall 1997). Rataan persentase limfosit monyet ekor
panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin
dapat dilihat pada Tabel 11.
Berdasarkan hasil penelitian seperti yang ditampilkan pada Gambar 22,
rataan persentase limfosit sebelum intervensi nikotin yakni 42,20±11,73% pada
perlakuan A, 44,80±18,19% untuk perlakuan B dan 41,60±15,18% untuk
perlakuan C. Rataan persentase limfosit tersebut secara statistik tidak berbeda
nyata (P>0,05) baik antar perlakuan maupun berdasarkan lamanya intervensi
nikotin.
44.20 44.80
41.60
49.87
47.20 47.67
36.0038.0040.0042.0044.0046.0048.0050.0052.00
A B C
Pakan
Ko
nse
ntr
asi
Lim
fosi
t (%
)
sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin
Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 22 Histogram perubahan konsentrasi limfosit monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
77
Selama intervensi nikotin persentase limfosit mengalami kecenderungan
peningkatan namun secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan rataan
sebesar 49,87±8,81% pada perlakuan A, 47,20±15,72% untuk perlakuan B dan
47,67±10,85% untuk perlakuan C. Rataan persentase limfosit yang diperoleh dari
penelitian ini lebih tinggi dari hasil penelitian yang dilaporkan Andrade et al.
(2004) yakni sebesar 31,04±8,96%. Namun masih dalam kisaran normal
persentase limfosit primata sebagaimana yang dilaporkan Fridman (2002) sebesar
47–75%. Kecenderungan peningkatan persentase limfosit selama intervensi
nikotin ini kemungkinan disebabkan karena efek dari nikotin sebagaimana
dikemukan oleh Geng et al. (1996) bahwa penggunaan nikotin kronik secara in
vivo menjadikan sel T lebih banyak terpapar dan kontribusi nikotin dari rokok
menekan immunosuppression atau dengan kata lain meningkatkan
immunostimulan yang efeknya meningkatkan jumlah limfosit. Namun
peningkatan jumlah limfosit ini kemungkinan tidak menyebabkan fungsi dari
limfosit menjadi efektif sebagaimana dinyatakan lebih lanjut oleh Geng et al.
(1996) bahwa efek nikotin secara parsial menghalangi stimulasi d-tubocuranine
sehingga menghambat perkembangan, pematangan dan pendewasaan tymocytes,
dan kehadiran ligan endogenous yang melibatkan reseptor nikotin asetilkolin pada
perkembangan tymocytes dapat mempengaruhi keadaan ontogenetis tymik normal.
Penggunaan nikotin secara luas pada masyarakat modern juga dapat berdampak
pada perkembangan sistem imun, bahwa paparan nikotin selama kehamilan dapat
mengubah kemampuan sel darah awal manusia yang berisi prekursor sel T untuk
perkembangan kultur organ (Middlebrook et al. 2002).
Eosinofil merupakan salah satu jenis leukosit yang terlibat dengan alergi
atau tanggapan terhadap parasit yang dinyatakan dengan %EOS dengan jumlah
sekitar 1–3% (Yayasan Spritia 2008). Rataan persentase eosinofil monyet ekor
panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin
dapat dilihat pada Tabel 11.
Berdasarkan hasil penelitian seperti yang dapat dilihat pada Gambar 23,
bahwa terjadi penurunan persentase jumlah eosinofil selama intervensi nikotin.
Sebelum intervensi nikotin rataan persentase eosinofil sebesar 5,00±3,16% pada
perlakuan A, 6,00±3,08% untuk perlakuan B dan 3,40±1,52% untuk perlakuan C.
78
Selama pemberian mengalami penurunan yang berbeda sangat nyata (P<0.01)
sebesar 2,27±1,94% pada perlakuan A, 3,33±2,12% untuk perlakuan B dan
2,73±3,38% untuk perlakuan C .
5.00
6.00
3.40
2.27
3.332.73
0.00
1.002.00
3.00
4.00
5.006.00
7.00
A B C
Pakan
Ko
nse
ntr
asi
Eo
sin
ofi
l (%
)
sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin
Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 23 Histogram perubahan konsentrasi eosinofil monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Seperti yang dapat dilihat pada Tabel 11, bahwa persentase jumlah eosinofil
pada satu bulan setelah intervensi nikotin mengalami penurunan untuk semua
perlakuan dan kemudian meningkat pada dua dan tiga bulan setelah intervensi
nikotin. Peningkatan dan penurunan rataan nilai eosinofil setara dengan nilai
normal eosinofil primata sebagaimana yang dilaporkan Fridman (2002) yakni 0–
6% dengan rataan 3%. Adanya perubahan nilai eosinofil terutama bila terjadi
peningkatan menunjukkan bahwa terjadi infeksi atau adanya reaksi alergi pada
jaringan yang disebabkan oleh parasit. Persentase yang sedikit dari eosinofil
berhubungan dengan daya fagositosisnya yang lemah, tetapi sel eosinofil dalam
pembuluh darah dapat melakukan gerakan kemotaksis menuju tempat terjadinya
infeksi (Guyton 1993).
Adanya penurunan nilai eosinofil seperti yang dapat dilihat pada Gambar 23
menunjukkan bahwa hewan percobaan tidak mengalami alergi atau infeksi oleh
parasit atau dengan kata lain hewan percobaan dalam kondisi sehat. Kondisi ini
merupakan efek dari nikotin yang dapat dijadikan sebagai obat untuk
mengendalikan parasit, sebagaimana Karo-Karo (1990) yang melaporkan bahwa
79
nikotin bermanfaat untuk dijadikan sebagai obat anti parasit terutama untuk obat
cacing.
Monosit merupakan salah satu jenis leukosit agranulosit yang berukuran
sangat besar dengan diameter 15–20 µm serta memiliki perbandingan sitoplasma
dan inti 6:4 (Swenson 1970). Monosit bersifat motil, dapat berpindah dengan
gerakan amuboid serta mempunyai kemampuan memfagositosis mikroorganisme,
sel yang nekrotik dan runtuhan sel (Tizard 1987). Monosit yang dinyatakan
dengan %MONO jumlahnya sekitar 2–8% dan jumlahnya akan tinggi jika terjadi
infeksi bakteri (Yayasan Spritia 2008). Rataan persentase monosit monyet ekor
panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama diintervensi dengan nikotin
dapat dilihat pada Tabel 11.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian seperti yang tercantum
pada Gambar 24, bahwa terjadi penurunan persentase jumlah monosit selama
intervensi nikotin. Sebelum intervensi nikotin rataan persentase monosit sebesar
5,00±2,55% pada perlakuan A, 4,60±1,67% untuk perlakuan B dan 6,60±6,66%
untuk perlakuan C.
5.004.60
6.60
1.53 1.601.20
0.00
1.002.00
3.00
4.00
5.006.00
7.00
A B C
Pakan
Ko
nse
ntr
asi
Mo
no
sit
(%)
sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin
Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 24 Histogram perubahan konsentrasi monosit monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Selama intervensi nikotin, jumlah monosit mengalami penurunan yang
berbeda sangat nyata (P<0.01) sebesar 1,53±1,34% pada perlakuan A,
1,60±1,15% untuk perlakuan B dan 1,20±1,14% untuk perlakuan C. Persentase
jumlah monosit selama intervensi nikotin menurun dan berada pada kisaran
80
normal sebagaimana yang dilaporkan Andrade et al. (2004) yakni sebesar
1,95±1,32%. Penurunan jumlah monosit selama intervensi nikotin dapat
disebabkan karena monosit masuk ke dalam jaringan dan berubah menjadi
makrofag. Guyton (1996) menyatakan bahwa pada kondisi tertentu monosit dapat
masuk ke dalam jaringan dan berubah menjadi makrofag serta dapat bertahan
hidup bertahun-tahun. Disamping itu, penurunan tersebut sebagai efek dari nikotin
yang mempercepat masuknya monosit ke dalam jaringan sehingga persentase
yang ditemukan dalam darah putih lebih rendah dari normal. Pengaruh nikotin
terhadap adhesi dan perpindahan monosit dinyatakan oleh Heeschen et al. (2003)
bahwa secara in vitro, nikotin merangsang adhesi dan transmigrasi monosit.
Konsumsi Pakan, Bobot Badan dan Indeks Massa Tubuh
Konsumsi Pakan
Konsumsi merupakan faktor terpenting untuk penentuan kebutuhan hidup
pokok dan produksi. Tingkat konsumsi merupakan jumlah makanan yang
dikonsumsi oleh hewan bila makanan tersebut diberikan secara ad libitum
(Parakkasi 1999). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa rataan konsumsi
monyet ekor panjang sebelum dan selama diintervensi nikotin disajikan pada
Tabel 12.
Tabel 12 Rataan konsumsi pakan, bobot badan dan indeks massa tubuh (IMT) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Perubahan Bulan Perlakuan
Pakan A Pakan B Pakan C
Konsumsi (g)
B1 79,04 ± 21,67 A
Y
86,62 ± 14,95 A
Y
124,98 ± 26,56 B
X B2 56,79 ± 14,53 B 60,85 ± 11,87 B 123,21 ± 31,22 B B3 71,38 ± 12,43 A 78,76 ± 11,36 A 125,14 ± 17,39 B B4 71,08 ± 8,57 A 68,36 ± 5,23 B 151,23 ± 13,99 A
Bobot Badan (kg)
B1 4,53 ± 0,69
Y
5,02 ± 1,20
X
4,92 ± 0,19
X B2 4,39 ± 0,59 4,94 ± 1,00 4,70 ± 0,24 B3 4,42 ± 0,58 4,91 ± 0,98 4,84 ± 0,31 B4 4,44 ± 0,59 4,88 ± 0,88 5,04 ± 0,45
IMT (kg/m2)
B1 23,41 ± 2,23
Z
26,60 ± 6,82
X
24,71 ± 0,57
Y B2 22,72 ± 1,91 26,13 ± 5,63 23,60 ± 0,85 B3 22,87 ± 1,62 26,00 ± 5,65 24,30 ± 1,02 B4 21,60 ± 2,05 24,06 ± 3,71 25,06 ± 2,19
Keterangan: Huruf (X, Y, Z) yang berbeda pada baris dan (A, B, C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,01).
81
Dari hasil penelitian seperti yang ditampilkan pada Tabel 12, dapat dilihat
bahwa monyet ekor panjang sebelum diberikan nikotin memiliki rataan konsumsi
sebesar 79,04±21,67 g/ekor/hari untuk individu yang mendapat perlakuan A dan
rataan konsumsi pada individu yang mendapat perlakuan B dan C masing-masing
sebesar 86,62±14,95 g/ekor/hari dan 124,98±26,56 g/ekor/hari.
Rataan konsumsi pakan ini secara statistik berbeda sangat nyata (P<0,01),
dimana konsumsi yang mendapat perlakuan C menunjukkan hasil yang berbeda
sangat nyata (P<0,01) lebih tinggi dari perlakuan lainnya. Selama intervensi
nikotin, monyet ekor panjang memiliki penurunan konsumsi dimana rataan
konsumsi pada perlakuan A selama intervensi nikotin menurun sebesar 15,97%
sedangkan perlakuan B menurun sebesar 19,97%. Hal yang berbeda pada monyet
yang mendapat perlakuan C, intervensi nikotin cenderung meningkatkan
konsumsi sebesar 6,57%, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 25. Penurunan
rataan konsumsi selama intervensi nikotin menunjukkan hasil yang berbeda
sangat nyata (P<0,01).
79.0486.62
124.98
66.42 69.32
133.19
0.00
20.0040.00
60.00
80.00
100.00120.00
140.00
A B C
Pakan
Rat
a-ra
ta K
on
sum
si P
akan
(g
)
sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin
Keterangan: A= pakan A, B= Pakan B, dan C= pakan C. Gambar 25 Histogram rataan konsumsi pakan monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 12, bahwa konsumsi terendah
sebelum intervensi nikotin yakni monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan
A, kemudian perlakuan B dan yang tertinggi diperoleh pada perlakuan C sebesar
124,98±26,56 g/ekor/hari. Perbedaan konsumsi tersebut berbeda sangat nyata
(P<0,01) antar perlakuan, selanjutnya pada satu bulan setelah intervensi nikotin
82
terjadi penurunan konsumsi pakan untuk semua perlakuan, namun kemudian
meningkat pada dua bulan setelah intervensi nikotin untuk semua perlakuan
sedangkan pada tiga bulan setelah intervensi nikotin terjadi penurunan konsumsi
terutama individu yang mendapat perlakuan A dan B sedangkan untuk individu
yang mendapat perlakuan C terjadi peningkatan konsumsi pakan. Penurunan dan
peningkatan konsumsi pakan berdasarkan waktu (selama intervensi nikotin)
menunjukkan perbedaan sangat nyata (P<0,01).
Penurunan konsumsi pada pakan A dan B tersebut merupakan efek dari
nikotin yang dapat menekan konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan,
sebagaimana Grunberg (2007) dan Chiolero et al. (2008) menyatakan bahwa
dalam jangka pendek, nikotin meningkatkan pengeluaran energi dan dapat
mengurangi nafsu makan sehingga dapat menekan pertambahan bobot badan, hal
ini dapat menjelaskan mengapa perokok cenderung memiliki bobot badan lebih
rendah daripada bukan perokok. Efek nikotin tersebut melalui sistem saraf dan
mempengaruhi tiga faktor penentu yang mengatur pembelanjaan energi, dan nafsu
makan sebagaimana yang dijelaskan Chatkin dan Chatkin (2007) bahwa nikotin
memiliki sistem penyampaian pada neurotransmitters di otak untuk mengurangi
kebutuhan akan asupan energi dan akibatnya terjadi penurunan nafsu makan.
Selain itu, nikotin memiliki efek langsung pada stimulasi metabolisme jaringan
adipose untuk menghasilkan hormon Leptin, ghrelin dan neuropeptide Y sebagai
faktor yang terlibat dalam hubungan antara nikotin dan indeks massa tubuh.
Bobot Badan dan Indeks Massa Tubuh
Berdasarkan hasil penelitian seperti yang dapat dilihat pada Tabel 12 dan
Gambar 26 dapat dilihat bahwa bobot badan monyet ekor panjang mengalami
kecenderungan penurunan selama intervensi nikotin.
Rataan bobot badan monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan A
mengalami kecenderungan penurunan sebesar 0,11 kg atau 2,50% dari 4,53±0,69
kg menjadi 4,42±0,03 kg selama tiga bulan penelitian, begitupula dengan monyet
yang mendapat perlakuan B mengalami kecenderungan penurunan sebesar 0,11
kg atau 2,19% dari 5,02±1,20 kg menjadi 4,91±0,03 kg serta monyet yang
mendapat perlakuan C, juga mengalami kecenderungan penurunan sebesar 0,06
kg atau 1,22% dari 4,92±0,19 kg menjadi 4,86±0,17 kg (Gambar 26). Angka
83
bobot badan menunjukkan kecenderungan penurunan namun secara statistik tidak
bermakna berdasarkan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin).
4.53
5.024.92
4.42
4.91 4.86
4.00
4.20
4.40
4.60
4.80
5.00
5.20
A B C
Pakan
Rat
a-ra
ta B
ob
ot
Bad
an (
kg)
sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin
Keterangan: A= pakan A, B= Pakan B, dan C= pakan C. Gambar 26 Histogram rataan bobot badan monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Berdasarkan hasil seperti yang dapat dilihat pada Tabel 12 bahwa, monyet
yang mendapat perlakuan B selama intervensi nikotin mengalami kecenderungan
penurunan bobot badan mulai pada satu bulan setelah intervensi nikotin hingga
tiga bulan setelah intervensi nikotin. Berbeda dengan monyet yang mendapat
perlakuan A dan C mengalami kecenderungan penurunan pada satu bulan setelah
intervensi nikotin namun pada dua bulan setelah intervensi nikotin dan tiga bulan
setelah intervensi nikotin mengalami kecenderungan peningkatan bobot badan,
walaupun terjadi peningkatan bobot badan pada dua bulan setelah intervensi
nikotin dan tiga bulan setelah intervensi nikotin namun rataan bobot badan
monyet ekor panjang selama intervensi nikotin mengalami kecenderungan
penurunan yang tidak bermakna.
Penurunanan bobot badan ini merupakan efek nikotin yang menggunakan
mekanisme dengan memodulasi biosintesis leptin dan akibatnya mengurangi
bobot badan. NPY juga sebagai stimulator kuat dari makanan, penurunan dari
ekspresi NPY dipengaruhi nikotin. Peningkatan NPY mRNA dan peptide setelah
pemberian nikotin dimana peningkatan NPY dipengaruhi reseptor hypothalamic
yang mengikat Y1/Y4/Y5 pada situs ligand. Mirip dengan NPY, orexins
merupakan regulator positif terhadap asupan makanan. Oleh karena itu, dapat
84
diharapkan penurunan orexin akibat pemberian nikotin. Akan tetapi dosis
preproorexin mRNA dalam meningkatkan produksi setelah pemberian nikotin.
Pemberian nikotin berafinitas dan mengurangi kepadatan orexin-binding site pada
anterior hypothalamus dari otak (Filozof et al. 2004).
Setelah intervensi nikotin terlihat adanya kecenderungan penurunan bobot
badan begitupula halnya dengan indeks massa tubuh seperti tercantum pada
Gambar 27 namun secara statistik tidak bermakna (P>0,05).
23.41
26.60
24.71
22.40
25.40
24.32
20.00
21.0022.00
23.00
24.00
25.0026.00
27.00
A B C
Pakan
Rat
a-ra
ta I
nd
eks
Mas
sa T
ub
uh
(k
g/m
2 )
sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin
Keterangan: A= pakan A, B= Pakan B, dan C= pakan C. Gambar 27 Histogram rataan IMT monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)
sebelum dan selama intervensi nikotin
Kecenderungan terjadinya penurunan bobot badan ini dibarengi pula dengan
kecenderungan penurunan indeks massa tubuh (IMT) sebagai indikator parameter
obesitas namun secara statistik tidak bermakna (P>0,05) berdasarkan perbedaan
waktu (lamanya intervensi nikotin). Dari hasil penelitian seperti pada Tabel 12
dapat dilihat bahwa IMT sebelum intervensi nikotin yakni 23,41±2,23 kg/m2 pada
perlakuan A, 26,60±6,82 kg/m2 pada perlakuan B dan 24,71±0,57 kg/m2 pada
perlakuan C. Berdasarkan klasifikasi IMT yang dikeluarkan oleh WHO untuk
masyarakat Asia bahwa nila tersebut menunjukkan bahwa monyet ekor panjang
yang mendapat perlakuan A dan C tergolong pre obes (kriteria WHO yakni 23,0–
24,9 kg/m2), sedangkan monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan B
tergolong obes Tipe I (kriteria WHO yakni 25,0–29,9 kg/m2). Angka IMT yang
85
diperoleh menunjukkan kecenderungan penurunan namun secara statistik tidak
bermakna berdasarkan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin).
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini seperti yang dapat dilihat pada
Gambar 27 di atas bahwa IMT monyet ekor panjang yang mendapat pakan A dan
B mengalami kecenderungan penurunan selama intervensi nikotin, sedangkan
IMT pada monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan C mengalami
kecenderungan penurunan pada satu bulan setelah intervensi nikotin namun pada
dua bulan setelah intervensi nikotin dan tiga bulan setelah intervensi nikotin
mengalami kecenderungan peningkatan, walaupun terjadi kecenderungan
peningkatan pada dua bulan setelah intervensi nikotin dan tiga bulan setelah
intervensi nikotin tetapi rataan IMT secara umum dari perlakuan C mengalami
kecenderungan penurunan. Rataan IMT secara umum dari monyet ekor panjang
selama intervensi nikotin yakni 22,39±0,69 kg/m2 pada perlakuan A, 25,40±1,16
kg/m2 pada perlakuan B dan 24,32±0,73 kg/m2 pada perlakuan C.
Selama intervensi nikotin, kecenderungan penurunan IMT tersebut sebesar
1,02 kg/m2 atau 4,33% pada perlakuan A, 1,20 kg/m2 atau 4,52% pada perlakuan
B dan 0,73 kg/m2 atau 1,58% pada perlakuan C dari. Berdasarkan kriteria dari
WHO tentang klasifikasi IMT untuk masyarakat Asia, maka perlakuan A
mengalami penurunan kriteria dari pre obes menjadi normal (ideal) (kriteria WHO
yakni 18,5–22,9 kg/m2), sedangkan untuk monyet ekor panjang yang mendapat
perlakuan B dan C kriteria obesitasnya tetap namun terjadi penurunan IMT.
Sebagaimana dijelaskan Lupien dan Bray (1988) diacu dalam Yettefty et al.
(1997) bahwa efek nikotin yakni menurukan bobot badan akibat peningkatan
penggunaan energi yang distimulasi melalui reseptor nikotinik asetilkolin.
Chatkin dan Chatkin (2007) menyatakan bahwa nikotin memiliki sistem
penyampaian pada neurotransmitters di otak untuk mengurangi kebutuhan akan
asupan energi dan akibatnya terjadi penurunan nafsu makan. Penurunan nafsu
makan dan peningkatan pembelanjaan energi yang merupakan efek langsung dari
nikotin pada metabolisme jaringan adipose (Leptin, ghrelin dan neuropeptide Y).
Ketiga faktor tersebut merupakan zat yang terlibat dalam hubungan antara nikotin
dan indeks massa tubuh. Lamanya ketiga faktor tersebut terpapar oleh nikotin
sehingga dampak yang ditimbulkan yakni penurunan komsumsi yang berakibat
86
pada kecenderungan penurunan bobot badan dengan peningkatan pembelanjaan
energi yang berakibat pada kecenderungan penurunan rataan IMT.
Kecernaan dan Energi Metabolisme
Peran penting makanan bagi mahluk hidup adalah untuk kebutuhan pokok,
produksi dan reproduksi. Nutrien yang terkandung dalam pakan yang diberikan
tidak semuanya dapat dicerna dan diserap oleh alat pencernaan karena nilai
koefisien cerna pakan yang berbeda dan kemampuan hewan dalam mencerna
bahan pakan juga berbeda sehingga dapat berpengaruh pada nilai guna pakan bagi
hewan (Maynard et al. 1979). Bahan pakan mempunyai tiga fungsi yaitu peran
dalam proses fisiologis, sosial dan psikologis. Secara umum pakan mempunyai
fungsi yaitu menyediakan energi untuk melangsungkan berbagai proses di dalam
tubuh, menyediakan bahan-bahan untuk membangun dan memperbaharui jaringan
tubuh yang telah rusak dan mengatur proses di dalam tubuh dan kondisi
lingkungan di dalam tubuh. Penyediaan energi dibebankan pada bahan kering,
sedangkan pembentukan bangunan tubuh merupakan tugas dari protein, mineral
dan air (Sutardi 1980).
Konsumsi Nutrien (KN) dan Kecernaan Bahan Kering (KCBK)
Konsumsi nutrien diperoleh dengan menghitung jumlah konsumsi per hari
dikalikan dengan persentase masing-masing zat makanan yang terkandung dalam
pakan yang diberikan, sedangkan kecernaan bahan kering merupakan jumlah
bahan kering yang dapat diabsorpsi oleh hewan dari konsumsi nutrien. Rataan
konsumsi nutrien harian monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi
nikotin dapat dilihat pada Tabel 13 dan rataan kecernaan bahan kering harian
monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin dapat dilihat pada
Tabel 14.
Rataan konsumsi nutrien (KN) maupun kecernaan bahan kering (KCBK)
dari monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin menunjukkan
respon yang berbeda. Rataan konsumsi nutrien, kecernaan bahan kering monyet
ekor panjang yang mendapat perlakuan A dan B cenderung mengalami
penurunan, namun respon berbeda pada monyet yang mendapat perlakuan C
87
mengalami peningkatan rataan KN termasuk KCBK selama intervensi nikotin
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 13 dan 14.
Tabel 13 Rataan konsumsi nutrien (g/ekor/hari) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Kandungan Nutrien
Bulan Perlakuan
Pakan A Pakan B Pakan C
BK
B1 61,67 ± 16,90 a
Y
66,46 ± 11,47 a
Y
110,07 ± 23,39 b
X B2 44,31 ± 11,34 a 46,68 ± 9,11 c 108,51 ± 27,50 b B3 55,69 ± 9,70 b 60,43 ± 8,71 ab 110,21 ± 15,32 b B4 55,46 ± 6,69 a 52,44 ± 4,01 bc 133,19 ± 12,32 a
PK
B1 9,50 ± 2,60
Y
11,67 ± 2,01
Y
33,52 ± 7,12
X B2 6,83 ± 1,75 8,20 ± 1,60 33,05 ± 8,37 B3 8,58 ± 1,49 10,61 ± 1,53 33,56 ± 4,66 B4 8,54 ± 1,03 9,21 ± 0,70 40,56 ± 3,75
LK
B1 16,44 ± 4,51 A
X
16,91 ± 2,92 A
X
5,19 ± 1,10 A
Y B2 11,81 ± 3,02 B 11,88 ± 2,32 D 5,11 ± 1,30 A B3 14,85 ± 2,58 B 15,37 ± 2,22 B 5,19 ± 0,72 A B4 14,78 ± 1,78 B 13,34 ± 1,02 C 6,28 ± 0,58 A
SK
B1 1,68 ± 0,46 a
Y
1,08 ± 0,19 a
Z
2,81 ± 0,60 b
X B2 1,20 ± 0,31 b 0,76 ± 0,15 b 2,77 ± 0,70 b B3 1,51 ± 0,26 a 0,98 ± 0,14 ab 2,82 ± 0,39 b B4 1,51 ± 0,18 a 0,85 ± 0,07 ab 3,40 ± 0,31 a
BETN
B1 42,08 ± 11,53 A
Y
46,91 ± 8,10 A
Y
72,64 ± 15,44 B
X B2 30,23 ± 7,74 B 32,96 ± 6,43 C 71,61 ± 18,15 B B3 38,00 ± 6,62 A 42,66 ± 6,15 AB 72,73 ± 10,11 B B4 37,84 ± 4,56 A 37,02 ± 2,83 BC 87,90 ± 8,13 A
GE (kal/g)
B1 3.540,46 ± 970,40 A
Y
3.811,21 ± 657,87 A
Y
5.615,13 ± 1.193,39 B
X B2 2.543,67 ± 650,86 B 2.677,27 ± 522,39 C 5.535,68 ± 1.402,78 B B3 3.197,06 ± 556,59 A 3.465,52 ± 499,73 B 5.622,54 ± 781,30 B B4 3.183,78 ± 384,00 A 3.007,65 ± 229,99 BC 6.794,72 ± 628,71 A
Keterangan: PK= protein kasar, LK = lemak kasar, SK= serat kasar, BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen, BK= bahan kering, GE = gross energi.
Huruf (X, Y, Z) yang berbeda pada baris dan (A, B, C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,01). Huruf (x, y, z) yang berbeda pada baris dan (a, b, c) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,05).
Konsumsi bahan kering sebelum intervensi nikotin yakni sebesar
61,67±16,90–110,07±23,39 g/ekor/hari dengan rataan bahan kering yang dapat
tercerna sebesar 33,23±7,61–43,55±5,97 g/ekor/hari. Berdasarkan hasil analisis
statistik menunjukkan bahwa perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya
intervensi nikotin) berbeda nyata (P<0,05) terhadap konsumsi bahan kering
demikian pula perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin)
berbeda nyata (P<0,05) terhadap kecernaan bahan kering.
Rataan konsumsi bahan kering pada perlakuan A lebih rendah bila
dibandingkan dengan rataan konsumsi dari hasil penelitian sebelumnya (Oktarina
88
2009) dengan hewan yang sama yakni 68,07 g/ekor/hari demikian pula dengan
perlakuan B sebesar 89,53 g/ekor/hari. Namun berbeda dengan perlakuan C,
rataan konsumsi bahan kering pada penelitian ini lebih tinggi bila dibandingkan
dengan penelitian sebelumnya yakni sebesar 69,30 g/ekor/hari. Selama intervensi
nikotin, konsumsi bahan kering menurun sebesar 15,97% pada perlakuan A,
19,98% pada perlakuan B dan mengalami peningkatan sebesar 6,57% pada
perlakuan C. Disisi lain terjadi peningkatan kecernaan nutrien sebesar 35,36%
pada perlakuan A, 17,39% pada perlakuan B dan 27,90% pada perlakuan C.
Penurunan dan peningkatan konsumsi dan absorpsi bahan kering memberikan
hasil yang berbeda sangat nyata (P<0,01). Konsumsi bahan kering monyet ekor
panjang dari penelitian ini baik sebelum dan sesudah intervensi nikotin telah
melebihi kebutuhan harian sebagaimana NRC (2003) yakni sebesar 30,0–50,0
g/ekor/hari.
Dari hasil analisis statistik, perlakuan pakan menunjukkan perbedaan yang
sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi protein kasar maupun absorpsi protein
kasar namun berdasarkan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin)
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Sebelum intervensi nikotin
rataan konsumsi protein kasar yakni 9,50±2,60–33,52±7,12 g/ekor/hari dengan
rataan protein yang dapat absorpsi sebesar 5,38±1,13–19,00±1,05 g/ekor/hari,
rataan konsumsi protein ini relatif sama dengan hasil penelitian Oktarina (2009)
dengan monyet yang sama yakni 9,82 g/ekor/hari.Selama intervensi nikotin,
konsumsi protein kasar mengalami penurunan sebesar 15,96% pada perlakuan A
dan 19,97% pada perlakuan B, akan tetapi perlakuan C mengalami peningkatan
sebesar 6,57%. Disisi lain walaupun terjadi penurunan konsumsi protein namun
terjadi peningkatan absorpsi selama intervensi nikotin sebesar 12,21% pada
perlakuan A, 8,99% pada perlakuan B dan 2,95% pada perlakuan C. Berdasarkan
hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa protein yang dikonsumsi oleh monyet
ekor panjang telah mencukupi kebutuhan proteinnya, sebagaimana Bennet et al.
(1995) bahwa kebutuhan protein pada monyet ekor panjang adalah 3,5
g/ekor/hari.
Peningkatan konsumsi protein kasar pada perlakuan C juga dibarengi
dengan peningkatan kehilangan protein dalam bentuk nitrogen urine dan feses
89
yang lebih tinggi dibandingkan perlakuan A dan B, hal ini dapat dilihat dari
jumlah protein yang dapat diabsorpsi. Sebagaimana Banerjee (1978) bahwa
protein yang dimakan akan dikeluarkan melalui nitrogen feses dan nitrogen urine,
nitrogen feses merupakan nitrogen dari makanan yang tidak tercerna dan tidak
terabsopsi serta nitrogen endogen yang meliputi nitrogen yang berasal dari dalam
tubuh seperti nitrogen dari sisa cairan empedu dan getah pencernaan, reruntuhan
sel epitel usus dan mikroba saluran pencernaan yang tidak tercerna. Sedangkan
nitrogen urine berasal dari dua sumber yakni dari pergantian nitrogen penyusun
jaringan yang mutlak selalu terjadi dan dari konsumsi protein. Sehingga jika
konsumsi protein tinggi maka jumlah protein dari hasil metabolisme dalam bentuk
nitrogen urine pun menjadi tinggi.
Tabel 14 Rataan kecernaan bahan kering (KCBK) (g/ekor/hari) monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Kandungan Nutrien
Bulan Perlakuan
Pakan A Pakan B Pakan C
BK
B1 33,23 ± 7,61 B
Z
43,10 ± 11,45 B
Y
43,55 ± 5,97 C
X B2 34,61 ± 6,45 B 43,11 ± 6,13 B 57,94 ± 5,41 A B3 49,38 ± 3,90 A 54,42 ± 7,12 A 52,00 ± 5,29 B B4 50,95 ± 1,88 A 54,26 ± 5,48 A 57,16 ± 2,39 A
PK
B1 5,38 ± 1,13 B
Z
8,05 ± 1,84 A
Y
19,00 ± 1,05 A
X B2 4,16 ± 1,17 C 7,43 ± 1,10 C 20,06 ± 1,21 A B3 6,83 ± 0,71 A 9,46 ± 1,28 A 18,73 ± 1,19 B B4 7,12 ± 0,34 A 9,43 ± 0,98 A 19,89 ± 0,54 A
LK
B1 6,09 ± 2,50 C
Y
12,49 ± 2,39 C
X
1,41 ± 0,37 A
Z B2 14,86 ± 0,88 B 13,62 ± 1,07 B 1,41 ± 0,49 A B3 16,88 ± 0,53 A 15,61 ± 1,25 A 0,87 ± 0,48 C B4 17,09 ± 0,26 A 15,58 ± 0,96 A 1,34 ± 0,22 B
SK
B1 0,95 ± 0,20 B
X
0,58 ± 0,23 A
Y
0,49 ± 0,24 C
X B2 0,40 ± 0,26 C 0,22 ± 0,19 B 1,06 ± 0,21 A B3 0,98 ± 0,15 AB 0,57 ± 0,22 A 0,83 ± 0,21 B B4 1,05 ± 0,07 A 0,56 ± 0,17 A 1,03 ± 0,09 A
BETN
B1 33,54 ± 3,35 B
Z
35,71 ± 6,28 B
Y
44,01 ± 1,89 B
X B2 25,06 ± 4,19 C 33,23 ± 3,82 C 46,53 ± 2,08 A B3 34,64 ± 2,53 AB 40,27 ± 4,43 A 44,24 ± 2,04 B B4 35,67 ± 1,22 A 40,17 ± 3,41 A 46,23 ± 0,92 A
GE (kal/g)
B1 2.388,97 ± 355,09 B
Y
2.858,63 ± 524,74 B
X
2.269,93 ± 297,95 C
Y B2 2.216,89 ± 336,23 C 2.821,55 ± 287,66 B 2.998,44 ± 268,34 A B3 2.986,45 ± 203,43 A 3.352,84 ± 334,22 A 2.703,40 ± 262,48 B B4 3.068,34 ± 98,19 A 3.345,40 ± 257,09 A 2.959,53 ± 118,80 A
Keterangan: PK= protein kasar, LK = lemak kasar, SK= serat kasar, BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen, BK= bahan kering, GE = gross energi.
Huruf (X, Y, Z) yang berbeda pada baris dan (A, B, C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,01) pada taraf 99%.
90
Rataan konsumsi lemak sebelum intervensi nikotin yakni 5,19±1,10–
16,44±4,51 g/ekor/hari dengan rataan lemak yang dapat diabsorpsi sebesar
1,41±0,37–12,49±2,39 g/ekor/hari. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
perlakuan pakan maupun perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) berbeda
sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi lemak kasar namun demikian pula
perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) berbeda
sangat nyata (P<0,01) terhadap kecernaan lemak kasar.
Konsumsi lemak yang tinggi pada perlakuan A dan B dideposisi menjadi
sumber energi yang disimpan dalam bentuk lemak tubuh, hal ini terlihat dari IMT
dari monyet yang mendapat perlakuan A dan B. Berbeda dengan perlakuan C,
walaupun konsumsi lemaknya rendah namun IMT-nya lebih tinggi bila
dibandingkan dengan monyet yang mendapat perlakuan A. Fenomena ini karena
tingginya konsumsi protein (jumlah protein yang dapat diabsorpsi sebesar
19,00±1,05 g/ekor/hari atau 70,83%) dari monyet yang mendapat perlakuan C.
Sebagaimana Guyton (1996) bahwa konsumsi protein yang tinggi akan langsung
digunakan sebagai energi dan kelebihan protein tersebut disimpan dalam bentuk
lemak, kondisi ini dapat meningkat IMT. Selama intervensi nikotin, rataan
konsumsi lemak menurun sebesar 15,98% pada perlakuan A, 19,9% pada
perlakuan B dan pada perlakuan C terjadi peningkatan sebesar 6,49%. Disisi lain
terjadi peningkatan absorpsi lemak sebesar 167,27% pada perlakuan A, 19,59%
pada perlakuan B sedangkan perlakuan C mengalami penurunan absorpsi sebesar
14,42%. Peningkatan dan penurunan konsumsi lemak kasar berdasarkan waktu
(lamanya intervensi nikotin) menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata
(P<0,01) secara statistik. Konsumsi lemak pada perlakuan A lebih tinggi bila
dibandingkan dengan hasil penelitian Oktarina (2009) pada hewan yang sama
sebesar 13,36 g/ekor/hari. Sedangkan pada perlakuan B, konsumsi lemak tersebut
lebih rendah dari penelitian sebelumnya dengan hewan yang sama yakni sebesar
17,56 g/ekor/hari.
Rataan konsumsi serat kasar pada perlakuan A dan B selama intervensi
nikotin mengalami penurunan. Dari hasil analisis statistik, perbedaan perlakuan
pakan maupun perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) menunjukkan
perbedaan sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi serat kasar. Demikian pula
91
kecernaan serat kasar menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (P<0,01) baik
perbedaan perlakuan pakan maupun perbedaan waktu (lamanya intervensi
nikotin). Konsumsi serat kasar sebelum intervensi nikotin yakni 1,08±0,19–
2,81±0,60 g/ekor/hari dengan rataan serat kasar yang dapat diabsorpsi sebesar
0,49±0,24–0,95±0,20 g/ekor/hari. Selama intervensi nikotin, terjadi penurunan
konsumsi serat kasar sebesar 16,27% pada perlakuan A, 20,06% pada perlakuan B
sedangkan untuk monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan C mengalami
peningkatan konsumsi serat kasar sebesar 6,64%. Rataan konsumsi serat kasar
baik pada perlakuan A, B dan C tidak jauh berbeda dengan rataan konsumsi serat
kasar sebagaimana hasil penelitian Pijoh (2006) pada monyet ekor panjang yang
mengalami pengangkutan dengan pakan yang berbeda yakni 1,29–3,52
g/ekor/hari.
Bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN) merupakan bahan yang berisi
monosakarida (pentosa dan heksosa), disakarida (maltosa dan laktosa), trisakarida
dan polisakarida terutama pati yang mudah larut dalam asam dan basa yang
mempunyai daya cerna yang tinggi (Tillman dkk. 1989). Rataan konsumsi BETN
sebelum intervensi nikotin yakni 42,08±11,53–72,64±15,44 g/ekor/hari dengan
rataan absorpsi sebesar 33,54±3,35–44,01±1,89 g/ekor/hari pada perlakuan C.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pakan dan perbedaan waktu
(lamanya intervensi nikotin) berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap konsumsi
BETN demikian pula perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya intervensi
nikotin) berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap kecernaan BETN .
Rataan konsumsi BETN pada perlakuan A ini relatif sama dengan hasil
penelitian sebelumnya (Oktarina 2009) pada hewan yang sama yakni 40,45
g/ekor/hari, sedangkan pada perlakuan B lebih rendah bila dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya. Namun pada perlakuan C, rataan konsumsi BETN lebih
tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya pada hewan yang
sama. Selama intervensi nikotin, rataan konsumsi BETN menurun sebesar 15,98%
pada perlakuan A, 19,96% pada perlakuan B dan terjadi peningkatan pada
perlakuan C sebesar 6,57%. Disamping itu pula terjadi peningkatan absorpsi
BETN sebesar 6,10% pada perlakuan B dan 3,76% pada perlakuan C sedangkan
pada perlakuan A mengalami penurunan sebesar 5,22%. Penurunan dan
92
peningkatan konsumsi dan absorpsi BETN memberikan hasil yang berbeda sangat
nyata (P<0,01).
Rataan konsumsi energi sebelum intervensi nikotin yakni 3.540,46±970,40–
5.615,13±1.193,39 kal/g/ekor/hari dengan rataan yang dapat dicerna sebesar
2.269,93±297,95–2.858,63±254,74 kal/g/ekor/hari. Rataan konsumsi energi pada
perlakuan C selama intervensi nikotin lebih tinggi bila dibandingkan dengan
perlakuan lainnya dengan peningkatan sebesar 6,57%, sedangkan pada perlakuan
A dan B mengalami penurunan sebesar 15,98% dan 26,86%. Disamping itu,
terjadi peningkatan absorpsi energi sebesar 15,41% pada perlakuan A, 11,01%
pada perlakuan B dan 27,19% pada perlakuan C. Hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya intervensi
nikotin) berbeda nyata (P<0,05) terhadap konsumsi energi demikian pula
perlakuan pakan dan perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) berbeda nyata
(P<0,05) terhadap kecernaan energi.
Berdasarkan hasil rataan konsumsi energi dan rataan energi metabolisme,
menunjukkan bahwa selama intervensi nikotin jumlah energi yang diperoleh dari
pakan mengalami penurunan bila dibandingkan sebelum intervensi nikotin
sehingga memungkinkan energi yang digunakan dalam proses metabolisme zat-
zat makanan dan proses fisiologis berasal dari energi yang tertimbun dalam tubuh
dalam bentuk deposit lemak yang telah ditimbun sebelumnya dalam tubuh guna
menjalankan proses metabolisme dan aktivitas fisiologis normal tubuhnya.
Yettefty et al. (1997) menyatakan bahwa efek nikotin tidak menyebabkan intake
energi meningkat melainkan menyebabkan peningkatan penggunaan energi dalam
tubuh. Peningkatan penggunaan energi tersebut melalui mobilisasi asam lemak
bebas pada proses lipolisis di jaringan adipose (Andersson dan Arner (2001).
Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa terjadi penurunan konsumsi nutrien
namun secara umum bahwa kecernaan nutrien mengalami peningkatan yang
berbeda nyata (P<0,05) berdasarkan perlakuan pakan dan perbedaan waktu
(lamanya intervensi nikotin). Hal ini menunjukkan bahwa walaupun konsumsi
nutrien rendah, namun nutrien yang terkonsumsi tersebut mampu dicerna secara
optimal oleh tubuh dengan yang dilihat dari peningkatan nilai kecernaan nutrien
selama intervensi nikotin.
93
Koefisien Kecernaan dan Energi Metabolisme
Kecernaan merupakan suatu gambaran mengenai jumlah zat makanan yang
dapat dicerna oleh hewan dan digunakan untuk kelangsungan proses kegiatan di
dalam tubuhnya. Nilai koefisien kecernaan menggambarkan seberapa hewan dapat
mencerna pakan yang diberikan. Rataan koefisien kecernaan, TDN dan energi
metabolisme monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin dapat
dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Rataan koefisien kecernaan, TDN dan energi metabolisme monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Kandungan Nutrien
Bulan Perlakuan
Pakan A Pakan B Pakan C
KC BK (%)
B1 42,59 ± 9,75 B
Z
56,18 ± 14,92 B
X
49,45 ± 6,78 C
Y B2 44,37 ± 8,27 B 56,19 ± 7,99 B 65,79 ± 6,14 A B3 63,29 ± 5,00 A 70,94 ± 9,28 A 59,04 ± 6,01 B B4 65,30 ± 2,41 A 70,73 ± 7,14 A 64,90 ± 2,72 A
KC PK (%)
B1 44,75 ± 9,39 B
Z
59,79 ± 13,69 B
Y
70,83 ± 3,91 B
X B2 34,61 ± 9,72 C 55,16 ± 8,17 C 74,81 ± 4,52 A B3 56,86 ± 5,88 A 70,25 ± 9,50 A 69,83 ± 4,42 B B4 59,22 ± 2,84 A 70,04 ± 7,30 A 74,15 ± 2,00 A
KC LK (%)
B1 29,26 ± 12,02 C
Y
64,00 ± 12,26 C
X
33,87 ± 8,86 A
Z B2 71,43 ± 4,25 B 69,79 ± 5,51 B 34,05 ± 11,84 A B3 81,15 ± 2,57 A 79,96 ± 6,40 A 21,03 ± 11,58 B B4 82,18 ± 1,24 A 79,81 ± 4,92 A 32,34 ± 5,24 A
KC SK (%)
B1 44,86 ± 9,37 B
46,14 ± 18,34 A
21,85 ± 10,47 C
B2 18,86 ± 12,06 C 17,57 ± 15,02 B 47,31 ± 9,46 A B3 46,46 ± 7,30 A 45,32 ± 17,46 A 36,91 ± 9,25 B B4 49,40 ± 3,52 A 44,93 ± 13,43 A 45,94 ± 4,19 A
KC BETN (%)
B1 63,01 ± 6,28 B
Z
65,94 ± 11,60 B
Y
75,72 ± 3,25 B
X B2 47,07 ± 7,87 C 61,35 ± 7,04 C 80,06 ± 3,58 A B3 65,07 ± 4,76 A 74,36 ± 8,19 A 76,12 ± 3,50 B B4 66,99 ± 2,30 A 74,18 ± 6,30 A 79,54 ± 1,59 A
KC E (%)
B1 53,34 ± 7,93 B
Y
64,97 ± 11,93 B
X
50,52 ± 6,63 C
Y B2 49,49 ± 7,51 C 64,13 ± 6,54 B 66,74 ± 5,97 A B3 66,68 ± 4,54 A 76,20 ± 7,60 A 60,17 ± 5,84 B B4 68,50 ± 2,19 A 76,03 ± 5,84 A 65,87 ± 2,64 A
TDN (%)
B1 53,57 ± 10,30 C
Y
72,45 ± 13,74 B
X
66,66 ± 4,00 B
Y B2 63,05 ± 7,60 B 71,53 ± 7,52 B 70,84 ± 4,61 A B3 80,44 ± 4,60 A 85,42 ± 8,74 A 65,77 ± 4,51 B B4 82,29 ± 2,22 A 85,22 ± 6,72 A 70,17 ± 2,04 A
EM (kkal)
B1 1.846,86 ± 386,96 B
Z
2.486,87 ± 693,09A
Y
2.838,72 ± 774,19C
XB2 1.248,57 ± 305,51 C 1.719,23 ± 400,85C 3.644,48 ± 757,78B B3 2.116,62 ± 263,99 A 2.644,88 ± 476,89A 3.396,85 ± 650,83B B4 2.177,08 ± 203,39 A 2.288,60 ± 241,96B 4.489,26 ± 581,30A
Keterangan: KC= koefisien cerna, PK= protein kasar, LK = lemak kasar, SK= serat kasar, BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen, TDN = total digentible nutrient, BK= bahan kering, GE = gross energi, ET = energi termetabolisme.
Huruf (X, Y, Z) yang berbeda pada baris dan (A, B, C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,01) pada taraf 99%..
94
Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa koefisien kecernaan
nutrien sebelum dan selama intervensi nikotin memberikan hasil yang berbeda.
Nilai rataan koefisien kecernaan sebelum intervensi nikotin berkisar 44–80%
(protein kasar), 29–64% (lemak kasar), 21–46% (serat kasar), 63–80% (BETN),
42–56% (bahan kering) dan 50–65% untuk energi. Dan selama intervensi nikotin
terjadi kecenderungan peningkatan koefisien kecernaan dengan sebesar 2,96–
167,44%. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan pakan dan
perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin) berbeda sangat nyata (P<0,01)
terhadap rataan koefisien kecernaan.
Berdasarkan hasil penelitian seperti yang ditampilkan pada Tabel 15
menunjukkan bahwa koefisien kecernaan lebih rendah bila dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya Oktarina (2009) dengan menggunakan hewan yang sama
dimana rataan koefisien kecernaan sebesar ≥90%, hal ini menunjukkan bahwa
pakan yang diberikan memiliki kualitas ransum yang baik. Dengan intervensi
nikotin, rataan koefisien tersebut lebih rendah, kondisi ini bukan berarti pakan
yang digunakan memiliki kualitas buruk tetapi hewan percobaan menggunakan
energi dan zat nutrisi yang telah ditimbun sebelumnya dalam tubuh guna
menjalankan proses metabolisme dan aktivitas fisiologis tubuhmya, hal ini terlihat
dari tingginya kandungan nutrien yang ditemukan kembali dalam feses disamping
itu adanya kecenderungan penurunan IMT sebagai salah satu indikator obesitas.
Atau dengan kata lain, bahwa kecenderungan penurunan IMT dan rendahnya
koefisien kecernaan yang diperoleh menunjukkan bahwa terjadi penggunaan zat
nutrisi dan energi yang ada dalam tubuh guna menjalankan proses metabolisme
dan aktivitas fisiologis tubuh. Sebagaimana Lamota et al. (2008) bahwa nikotin
mengaktifkan sistem endogenous cannabinoid yang merupakan alat modulasi
metabolisme yang menyebabkan pengeluaran energi sehingga dapat menurunkan
bobot badan. Selain itupula, efek langsug dari nikotin pada metabolisme jaringan
adipose terutama aksinya pada leptin, ghrelin dan neuropeptide Y merupakan zat
yang berperan dalam asupan makanan dan pengeluaran energi yang sangat
berhubungan dengan indeks massa tubuh (Chatkin dan Chatkin 2007).
Total digestible nutrient (TDN) merupakan bahan organik yang dapat
dicerna yang diperoleh dengan mengalikan protein dapat dicerna dan serat kasar
95
dapat dicerna serta BETN dapat dicerna dengan lemak kasar dapat dicerna dan
faktor 2,25 (Tillman dkk. 1989). TDN merupakan cara untuk menghitung energi
bahan makanan yang dapat dicerna. Dari hasil penelitian nilai TDN sebelum dan
selama intervensi nikotin dicantumkan pada Gambar 28.
53.57
72.4566.66
75.2680.72
68.93
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
A B C
Pakan
Rat
a-ra
ta T
DN
(%
)
sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin
Keterangan: A= pakan A, B= pakan B, dan C= pakan C. Gambar 28 Histogram rataan TDN monyet ekor panjang (Macaca fascicularis)
sebelum dan selama intervensi nikotin
Berdasarkan hasil yang diperoleh seperti yang dapat dilihat pada Gambar 28
di atas, menunjukkan bahwa secara umum terjadi peningkatan nilai TDN yang
berbeda sangat nyata (P<0,01) baik berdasarkan perlakuan pakan maupun waktu
(lamanya intervensi nikotin). Sebelum intervensi nikotin rataan nilai TDN sebesar
53,57±10,30–72,45±13,74%. Selama intervensi nikotin rataan nilai TDN
meningkat sebesar 40,49% pada perlakuan A, 11,42% pada perlakuan B dan
3,40% pada perlakuan C. Perbedaan nilai energi dari bahan makanan yang dapat
dicerna tersebut menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata (P<0,01).
Energi metabolisme merupakan kebutuhan energi bagi hewan guna
berlangsungnya proses fisiologis. Rataan energi metabolisme sebelum intervensi
nikotin berkisar 1.846,86±386,96–2.838,72±774,19 kkal. Rataaan nilai energi
metabolisme menunjukkan nilai yang berbeda sangat nyata (P<0,01) terhadap
perbedaan pakan maupun perbedaan waktu (lamanya intervensi nikotin.
Berdasarkan hasil penelitian, rataaan nilai energi metabolisme sebelum dan
selama intervensi nikotin ditampilkan pada Gambar 29.
96
1846.86
2486.872838.72
1847.422217.57
3843.53
0.00500.00
1000.001500.002000.002500.003000.003500.004000.004500.00
A B C
Pakan
Rat
a-ra
ta E
ner
gi
Met
abo
lism
e (k
kal)
sebelum intervensi nikotin selama intervensi nikotin
Keterangan: A = pakan A, B = Pakan B, dan C = pakan C. Gambar 29 Histogram rataan energi termetabolisme monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Selama intervensi nikotin, nilai energi metabolisme mengalami penurunan
sebesar 10,83% pada perlakuan B, namun pada perlakuan A dan C mengalami
peningkatan sebesar 0,03% dan 35,40%. Sebagaimana hasil yang diperoleh yakni
adanya kecenderungan penurunan IMT merupakan salah satu indikator
penggunaan energi yang ada terutama dalam bentuk timbunan lemak yang telah
dibakar dalam proses metabolisme sehingga timbunan lemak menjadi berkurang.
Pengurangan timbunan lemak tersebut tercermin pada kecenderungan penurunan
IMT dari hewan percobaan. Chatkin dan Chatkin (2007) menyatakan bahwa efek
langsug dari nikotin pada metabolisme jaringan adipose terutama aksinya pada
leptin, ghrelin dan neuropeptide Y yang berperan dalam asupan makanan dan
pengeluaran energi yang sangat berhubungan dengan indeks massa tubuh.
Disamping itu pula Filozof et al. (2004) menyatakan bahwa molekul yang dapat
terlibat dengan aksi yang berhubungan dengan konsumsi nikotin yakni
neuropeptides dan hormon peptide (leptin, neuropeptide Y (NPY) dan orexins)
yang berperan dalam asupan makanan dan pengeluaran energi.
Lebih lanjut dikatakan bahwa nikotin menggunakan mekanisme dengan
memodulasi biosintesis leptin dan akibatnya mengurangi bobot badan karena
leptin merupakan regulator negatif dari asupan makanan dan energi positif pada
97
regulator pengeluaran energi. Sedangkan efeknya pada NPY yakni menurunkan
ekspresi dari NPY akibat intervensi nikotin yang merupakan stimulator kuat dari
asupan makanan. Orexins sebagai regulator positif terhadap asupan makanan juga
memberikan respon yang menurun dengan intervensi nikotin. Hal tersebut
menjadi jelas, dengan bertambahnya waktu intervensi nikotin memberikan efek
paparan nikotin yang lebih lama pada neuropeptides dan hormon peptide dengan
respon yang menyebabkan peningkatan modulasi penggunaan energi, penurunan
konsumsi sehingga ada kecenderungan penurunan bobot badan dan IMT.
Tingkah Laku
Sebagai hewan diurnal, monyet ekor panjang melakukan aktivitasnya pada
siang hari. Walaupun pola aktivitas sebagian besar dilakukan pada siang hari,
namun keadaan ini dapat berubah baik karena faktor dari dalam tubuh hewan
tersebut maupun dari faktor luar (lingkungan). Dari penelitian ini diperoleh hasil
bahwa kondisi sebagaimana disebutkan sebelumnya memberikan andil terhadap
tingkah laku hewan yang diteliti hal ini dapat dilihat adanya perubahan pola
tingkah laku yang diperlihatkan sebelum dan selama intervensi nikotin (0,75
mg/kg bobot badan/12 jam) dalam pakan. Pembagian pola tingkah laku tersebut
meliputi ingestif (makan dan minum), eliminasi (defekasi dan urinasi), tingkah
laku sosial (menatap, self grooming, kontak/sentuhan dan agonistik), serta
lokomosi dari penelitian ini ditampilkan pada Tabel 16.
98
Tabel 16 Rataan lama aktivitas dan frekuensi ingestif, eliminasi, sosial dan lokomosi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
Tingkah Laku
Perlakuan Pakan A Pakan B Pakan C
menit/jam F (kali)/jam menit/jam F
(kali)/jam menit/jam F (kali)/jam
Ingestif
Makan
Sebelum intervensi nikotin 0,714 0,42 1,206 0,67 0,493 0,54
Selama intervensi nikotin 0,432 0,58 0,451 0,67 0,654 0,58
Minum
Sebelum intervensi nikotin 0,037 0,38B 0,254 0,54B 0,043 0,50B
Selama intervensi nikotin 0,048 0,75A 0,036 1,54A 0,032 1,38A
Eliminasi
Defekasi
Sebelum intervensi nikotin 0,008 0,21 0,009 0,38 0,011 0,38
Selama intervensi nikotin 0,010 0,25 0,010 0,25 0,010 0,33
Urinasi
Sebelum intervensi nikotin 0,015 0,25 0,015 0,29 0,019 0,38
Selama intervensi nikotin 0,019 0,42 0,015 0,33 0,019 0,42
Sosial
Menatap
Sebelum intervensi nikotin 0,024b 0,08b 0,287b 0,17b 0,000 0,00
Selama intervensi nikotin 0,140a 0,38a 1,455a 0,54a 0,000 0,00
Self grooming
Sebelum intervensi nikotin 0,139A 0,46B 0,747A 0,92B 0,433A 1,29B
Selama intervensi nikotin 0,041B 1,25A 0,338B 2,00A 0,203A 2,33A
Kontak/ sentuhan
Sebelum intervensi nikotin 0,059 0,13 0,000 0,00 0,428 0,63
Selama intervensi nikotin 0,025 0,54 0,134 0,25 0,438 1,04
Agonistik
Sebelum intervensi nikotin 0,004 0,04 0,008 0,08 0,011 0,33
Selama intervensi nikotin 0,008 0,13 0,003 0,13 0,052 0,33
Lokomosi
Sebelum intervensi nikotin 0,010 0,63 0,016 0,96 0,018 1,67
Selama intervensi nikotin 0,130 1,38 0,047 1,96 0,032 1,46
Keterangan: Huruf (x, y, z) yang berbeda pada baris tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,05). Huruf (X, Y, Z) yang berbeda pada baris dan (A, B, C) yang berbeda pada kolom tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,01). Huruf (a, b, c) yang berbeda pada baris tiap pengamatan berbeda nyata (P<0,05).
Ingestif
Ingestif merupakan tingkah laku yang dilakukan oleh hewan yang
berhubungan dengan aktivitas makan dan minum. Tingkah laku ingestif dari
monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin mengalami
X Y X
y
Y
a
B
x
Y
a
B
y
Z X Y
X
b
b ab a
A
99
perubahan, hal ini dapat dilihat pada Tabel 16. Perubahan yang terjadi meliputi
jumlah alokasi waktu yang dibutuhkan maupun frekuensi melakukan aktivitas
tersebut baik tingkah laku makan dan minum.
Berdasarkan hasil yang diperoleh bahwa rataan frekuensi makan dari
monyet ekor panjang selama intervensi nikotin mengalami peningkatan untuk
semua perlakuan bila dibandingkan rataan frekuensi sebelum intervensi nikotin.
Frekuensi tingkah laku makan terlihat sebelum intervensi nikotin berkisar 0,42–
0,67 kali/jam. Sedangkan selama intervensi nikotin mengalami peningkatan antara
0,58–0,67 kali/jam. Dari Gambar 30 dapat dilihat bahwa frekuensi tingkah laku
makan tersebut tertinggi pada pagi hari dan kemudian menurun pada sore hari.
Persentase frekuensi makan selama intervensi nikotin dibandingkan sebelum
intervensi nikotin berturut-turut; pakan A (58,33%:41,67%), pakan B
(50,00%:50,00%) dan pakan C (51,85%:48,15%). Peningkatan rataan persentase
frekuensi makan selama 24 jam pada pagi, siang, sore dan malam dengan
pembagian berdasarkan periode waktu dapat dilihat pada Gambar 30.
Gambar 30 Histogram frekuensi tingkah laku makan monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin
Peningkatan frekuensi minum juga terjadi selama intervensi nikotin.
Sebelum intervensi nikotin, frekuensi minum berkisar 0,38–0,54 kali/jam.
Sedangkan selama intervensi nikotin mengalami peningkatan antara 0,75–1,54
kali/jam. Dengan rataan persentase frekuensi minum selama intervensi nikotin
100
yakni 66%. Rataan persentase frekuensi tingkah laku minum tersebut tidak
berbeda nyata (P>0,05) pada masing-masing perlakuan selama intervensi nikotin
dibandingkan sebelum intervensi nikotin dengan besaran pada masing-masing
perlakuan yakni pakan A (66,67%:33,33%), pakan B (74,00%:26,00%) dan pakan
C (73,33%:26,67%). Rataan persentase frekuensi minum selama 24 jam pada
pagi, siang, sore dan malam dengan pembagian berdasarkan periode waktu dapat
dilihat pada Gambar 31.
Gambar 31 Histogram frekuensi tingkah laku minum monyet ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin
Walaupun rataan persentase frekuensi makan dan minum selama intervensi
nikotin lebih tinggi dibandingkan sebelum intervensi nikotin tetapi perbedaan
tersebut tidak berbeda nyata (P>0,05). Namun sebelum intervensi nikotin, waktu
yang dibutuhkan oleh monyet ekor panjang yang mendapat perlakuan A dan B
mulai dari mengambil makan, menggigit, melepeh (mengeluarkan kembali) dan
mengunya makanan lebih lama bila dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan
monyet ekor panjang pada perlakuan yang sama selama intervensi nikotin. Rataan
lamanya waktu makan yang dibutuhkan monyet ekor panjang sebelum intervensi
nikotin berkisar 0,493–1,206 menit/jam dan menit/jam sedangkan selama
intervensi nikotin lamanya waktu yang dibutuhkan cenderung mengalami
penurunan antara 0,432–0,654 menit/jam menit. Berdasarkan hasil analisis
statistik perbedaan lamanya waktu makan sebelum dan selama intervensi nikotin
tidak berbeda nyata (P>0,05).
101
Berdasarkan hasil observasi pada Gambar 30 di atas, bahwa pola tingkah
laku makan dari monyet penelitian mengikuti pemberian makanan yakni pada
pagi hari (08.00 WIB) dan siang hari (13.00 WIB). Aktivitas makan dari monyet
pada perlakuan A sebelum intervensi nikotin ditemukan lebih tinggi yakni pada
pagi hari (06.00-08.00) baik dari segi alokasi waktu maupun frekuensi tingkah
laku makan, hal yang serupa juga terlihat pada alokasi waktu dan frekuensi waktu
yang dibutuhkan untuk minum. Sedangkan untuk monyet yang mendapat
perlakuan B, aktivitas makan dan minum sebelum intervensi nikotin ditemukan
pada semua periode waktu dari pagi, siang, sore dan malam. Dengan aktivitas
tertinggi baik alokasi waktu yang dibutuhkan untuk makan dan minum yakni
malam hari (18.30-05.30). Pola tingkah laku makan ini dapat menjadi salah faktor
pendorong tingginya rataan indeks massa tubuh dari monyet ekor panjang yang
mendapat perlakuan B yakni 26,60. Sebagaimana Haslam dan James (2005)
menyatakan bahwa ada dua pola makan abnormal yang bisa menjadi penyebab
obesitas yaitu makan dalam jumlah sangat banyak (binge) dan makan di malam
hari (sindroma makan pada malam hari).
Pola tingkah laku makan dari setiap individu monyet yang terlihat pada
penelitian menunjukkan pola yang tidak menetap, pada kondisi tertentu monyet
mengambil makanan yang kemudian diperiksa dengan cara membaui yang
kemudian digigit dan dikunyah. Disamping itu pula sebelum dimakan, makanan
dibuat memanjang dengan cara menggosokkan kedua tangan dan kemudian
dimasukkan ke dalam mulut. Pola yang lain juga terlihat, pakan langsung dimakan
tanpa diperiksa. Begitupula halnya dengan pola tingkah laku minum,
menunjukkan pola yang tidak menetap. Dimana pada kondisi tertentu, monyet
meminum langsung dengan mulut pada tempat minum dan kadang juga
ditemukan meminum dengan menggunakan tangan, yakni tangan dimasukkan ke
dalam tempat air minum dan kemudian mengangkat tangannya dari tempat minum
lalu menjilati tangan yang telah dimasukkan tersebut.
Eliminasi
Eliminasi merupakan tingkah laku dalam membuang kotoran baik dalam
bentuk padatan (feses) maupun dalam bentuk cairan (urine). Tingkah laku
defekasi sebelum dan selama intervensi nikotin relatif sama. Aktivitas defekasi
102
ditemukan hampir disemua periode pembagian waktu (pagi, siang, sore dan
malam) baik pada monyet yang mendapat perlakuan A, B, dan C dan secara
statistik tidak berbeda nyata (P>0,05). Pola tersebut juga terjadi pada tingkah laku
urinasi baik sebelum pemberian maupun selama pemberian, namun persentase
frekuensi urinasi selama intervensi nikotin lebih tinggi yakni 56,15% sedangkan
sebelum intervensi nikotin yakni 43,85% walaupun secara statistik tidak berbeda
nyata (P>0,05). Rataan lama aktivitas dan frekuensi tingkah laku eliminasi baik
defekasi maupun urinasi dapat dilihat pada Tabel 16.
Rata-rata lama waktu yang dibutuhkan untuk membuang kotoran terutama
defekasi yakni 0,04–0,05 menit sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk urinasi
yakni 0,07 menit. Frekuensi tingkah laku defekasi cenderung lebih tinggi sebelum
intervensi bila dibandingkan selama intervensi nikotin. Sebelum intervensi nikotin
frekuensi defekasi berkisar 0,21–0,38 kali/jam dengan lama waktu yakni 0,008–
0,011 menit/jam. Sedangkan selama intervensi nikotin frekuensi defekasi berkisar
0,25–0,33 kali/jam dengan lama waktu 0,010 menit/jam.
Frekuensi tingkah laku urinasi selama intervensi nikoitin lebih tinggi bila
dibandingkan sebelum intervensi nikotin sebagaimana dapat dilihat pada Tabel
16. Secara statistik waktu yang dibutuhkan untuk urinasi berbeda sangat nyata
(P<0,01) berdasarkan perbedaan pakan. Dari pengamatan yang diperoleh bahwa
tingkah laku defekasi umumnya dilakukan pada pagi hari sebelum maupun saat
pembersihan dan pemberian pakan. Rata-rata tingkah laku eliminasi, baik tingkah
laku defekasi maupun urinasi dilakukan 2 kali sehari. Monyet melakukan tingkah
laku defekasi dengan cara duduk di atas besi tempat bertengger dalam kandang,
duduk dilantai kandang, berdiri, bergantung maupun jongkok. Demikian pula,
pola yang sama juga dilakukan saat urinasi. Tingkah laku eliminasi (defekasi dan
urinasi) juga ditemukan saat terjadi tingkah laku agonistik yakni saat
menggocang-goncangkan kandang.
Tingkah Laku Sosial
Tingkah laku sosial merupakan tingkah laku sebagai bagian integral dari
usaha setiap individu untuk tetap menjaga kelangsungan hidupnya dan mencapai
sukses. Bentuk tingkah laku sosial yang diamati sebagai upaya dari individu untuk
tetap menjaga proses tersebut meliputi tingkah laku menatap, merawat diri
103
(grooming) dalam hal ini secara self grooming, kontak dengan kandang maupun
agonistik. Adapun pola tingkah laku sosial yang diamati disajikan dalam Tabel 16
berikut baik lama waktu yang dihabiskan maupun frekuensi dalam melakukan
kegiatan tersebut.
Tingkah laku menatap yang dimaksudkan adalah merupakan bentuk tingkah
laku sosial dari individu untuk melakukan komunikasi secara visual yakni dengan
menatap individu lain pada kandang yang berbeda baik dengan ekspresi
menyeringai sebagai tanda untuk menekan atau menakuti individu lainnya
maupun tanpa ekspresi apapun. Sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 16
bahwa rata-rata waktu yang dibutuhkan individu dalam melakukan tingkah laku
ini lebih lama selama intervensi nikotin dibandingkah dengan sebelum pemberian
yakni 0,140–1,455 menit/jam berbanding 0,024–0,287 menit/jam terutama untuk
perlakuan A dan B. Sedangkan pada individu yang mendapat perlakuan C tidak
teramati.
Rataan frekuensi tingkah laku menatap tertinggi selama intervensi nikotin
dan tingkah laku ini umumnya dilakukan saat pagi hari yakni pukul 06.00-10.30
WIB dan saat sore (16.00-18.00 WIB) serta malam hari (18.30-05.30 WIB)
seperti yang dapat dilihat pada Gambar 32.
Gambar 32 Histogram frekuensi tingkah laku sosial (menatap) monyet ekor
panjang sebelum dan selama intervensi nikotin
104
Tingkah laku menatap yang tertinggi dilakukan pada pagi dan menjelang
sore hari. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa frekuensi tingkah laku dan
lama waktu melakukan tingkah laku secara statistik berbeda nyata (P<0,05).
Tingkah laku menatap menjelang malam atau saat sore hari ini kemungkinan
mengandung maksud bahwa individu tersebut berusaha mengetahui kondisi atau
keadaan dari individu lain yang ada di sekitarnya dan sebagai salah satu upaya
untuk melakukan komunikasi visual menjelang istrahat, hal ini karena monyet
ekor panjang merupakan hewan yang memiliki perilaku sosial seperti hidup
berkelompok. Begitupula halnya tingkah laku ini teramati saat pagi hari
dimaksudkan bahwa individu tersebut berusaha mengetahui kondisi individu
lainnya apakah dalam kondisi yang baik atau tidak.
Tingkah laku merawat diri (grooming) yang teramati yakni secara self
grooming (membersihkan atau merawat bulu dengan tangan atau mulut), aktivitas
tersebut ditemukan pada disemua periode pembagian waktu (pagi, siang, sore dan
malam) baik pada monyet yang mendapat perlakuan A, B, dan C. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bahwa frekuensi melakukan merawat diri selama intervernsi
nikotin lebih tinggi bila dibandingkan sebelum intervensi nikotin, namun lama
waktu yang dibutuhkan melakukan tingkah laku tersebut lebih tinggi sebelum
intervensi nikotin, sebagaimana yang dapat dilihat pada Gambar 33.
Gambar 33 Histogram frekuensi tingkah laku sosial (self grooming) monyet ekor
panjang sebelum dan selama intervensi nikotin
105
Rataan persentase frekuensi tingkah laku merawat diri selama intervensi
nikotin yakni 73,17% pada perlakuan A, 68,57% pada perlakuan B dan 64,37%
pada perlakuan C. Sebelum intervensi nikotin hanya ditemukan 26,83% pada
perlakuan A, 31,43% pada perlakuan B dan 35,63% pada perlakuan C.
Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk melakukan tingkah laku self grooming berbeda sangat nyata
(P<0,01) berdasarkan perbedaan pakan dan waktu (sebelum dan selama intervensi
nikotin), disamping itu pula frekuensi tingkah laku self grooming berdasarkan
perbedaan pakan dan waktu (sebelum dan selama intervensi nikotin) juga berbeda
sangat nyata (P<0,01), namun berdasarkan perbedaan pakan terhadap frekuensi
tingkah laku self grooming secara statistik berbeda nyata (P<0,05).
Pola tingkah laku merawat diri yang terlihat antara lain dilakukan dengan
menggaruk-garuk rambut baik badan, tangan maupun kaki. Tingkah laku merawat
diri yang dilakukan pada pagi hari dilakukan sebelum melakukan aktivitas makan,
disamping itu tingkah laku ini dilakukan setelah melakukan aktivitas makan baik
pada pagi (setelah pemberian makan pada pagi hari) maupun pada siang hari
(setelah pemberian makan pada siang hari). Atau dengan kata lain bahwa tingkah
laku merawat diri dilakukan pada waktu senggang setelah selesai melakukan
aktivitas makan maupun saat menunggu makanan. Tingkah laku merawat diri ini
merupakan aktivitas tingkah laku dengan frekuensi terbanyak yakni 12,03 kali
atau (19,14%) dibandingkah dengan aktivitas tingkah laku yang lainnya.
Walaupun rataan persentase frekuensi aktivitas merawat diri selama
intervensi nikotin lebih tinggi bila dibandingkan sebelum intervensi nikotin,
namun alokasi waktu yang dibutuhkan berbeda. Sebelum intervensi nikotin, lama
waktu yang dibutuhkan yakni 0,139–0,747 menit/jam. Sedangkan lama waktu
yang dibutuhkan selama intervensi nikotin yakni 0,041–0,338 menit/jam.
Lamanya durasi waktu yang dibutuhkan sebelum intervensi nikotin kemungkinan
disebabkan karena kondisi bobot badan individu yang lebih tinggi sehingga
pergerakan (lokomosi) lebih sedikit sehingga alokasi waktu untuk melakukan
aktivitas merawat diri lebih banyak.
Tingkah laku kontak/sentuhan dalam pengamatan seperti yang dimaksudkan
pada penelitian ini adalah tingkah laku yang diperlihatkan oleh individu dengan
106
melakukan kontak/sentuhan dengan lantai kadang atau berbaring terlentang
maupun tengkurap yang dibarengi dengan mengelus-elus lantai kadang. Dari hasil
pengamatan diperoleh bahwa tingkah laku kontak/sentuhan yang tertinggi
ditemukan selama intervensi nikotin dengan rataan persentase frekuensi yakni
81,25% pada perlakuan A, 100% pada perlakuan B dan 62,50% pada perlakuan C.
Sedangkan sebelum intervensi nikotin, rataan persentase frekuensi yakni 18,75%
pada perlakuan A, 0% pada perlakuan B dan 37,50% pada perlakuan C,
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 34
Gambar 34 Histogram persentase tingkah laku sosial (kontak/sentuhan) monyet
ekor panjang sebelum dan selama intervensi nikotin
Dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa baik frekuensi maupun
lamanya waktu yang dibutuhkan secara statistik berbeda sangat nyata (P<0,01)
terhadap tingkah laku kontak/sentuhan. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar
34, bahwa umumnya tingkah laku ini dilakukan dilakuan pada siang hari (11.00-
13.00 WIB), sore hari (16.00-18.00 WIB) dan malam hari (18.30-05.30 WIB)
untuk individu yang mendapat perlakuan A dan B. Untuk individu yang mendapat
perlakuan C teramati hampir disemua periode waktu (pagi, siang, sore dan
malam). Tingkah laku merawat diri, tingkah laku kontak/sentuhan ini dilakukan
sebelum melakukan aktivitas makan maupun setelah melakukan aktivitas makan
baik pada pagi (setelah pemberian makan pada pagi hari) maupun pada siang hari
(setelah pemberian makan pada siang hari).
107
Seperti halnya tingkah laku merawat diri, kondisi bobot badan individu yang
lebih tinggi sebelum intervensi nikotin menyebabkan alokasi waktu yang
dibutuhkan dalam aktivitas kontak lebih banyak. Lama waktu kontak yang
dibutuhkan oleh individu pada perlakuan A sebelum intervensi nikotin yakni
sekitar 0,059 menit/jam dan 0,025 menit/jam selama intervensi nikotin. Pada
perlakuan B, lama waktu kontak yakni 0,134 menit/jam (selama intervensi
nikotin) dan pada perlakuan C yakni 0,428 menit/jam (sebelum intervensi nikotin)
dan 0,438 menit/jam (selama intervensi nikotin).
Tingkah laku agonistik merupakan tingkah laku agresif. Tingkah laku ini
juga merupakan bentuk pertahanan terhadap adanya bahaya yang mengancam.
Berdasarkan hasil pengamatan pada penelitian ini, tingkah laku agonistik yang
terjadi yakni tingkah laku agresifitas yang dilampiaskan ke kandang dengan
mengoyang-goyangkan kandang. Secara umum tingkah laku agonistik selama
intervensi nikotin lebih tinggi bila dibandingkan sebelum intervensi nikotin. Pada
perlakuan A, rataan persentase frekuensi agonistik selama intervensi nikotin yakni
75,00% (0,13 kali/jam), 60,00% (0,13 kali/jam) pada perlakuan B dan 50,00%
(0,33 kali/jam) pada perlakuan C. Sedangkan sebelum intervensi nikotin, tingkah
laku agonistik yakni 25,00% (0,04 kali/jam) ditemukan pada perlakuan A, 40,00%
(0,08 kali/jam) pada perlakuan B dan 50,00% (0,33 kali/jam) ditemukan pada
perlakuan C seperti yang dapat dilihat pada Gambar 35.
Gambar 35 Histogram persentase tingkah laku sosial (agonistik) monyet ekor
panjang sebelum dan selama intervensi nikotin
108
Dari hasil analisis statistik menunjukkan bahwa frekuensi maupun lamanya
waktu yang dibutuhkan secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap
tingkah laku agonistik. Berdasarkan hasil penelitian seperti yang dapat dilihat
pada Tabel 16 dan Gambar 35, bahwa tingkah laku agonistik selama intervensi
nikotin frekuensinya lebih tinggi dibandingkan sebelum intervensi nikotin.
Namun berdasarkan periode waktu, frekuensi tingkah laku agonistik sebelum
intervensi nikotin lebih banyak, baik pada individu yang mendapat perlakuan A, B
dan C dengan lama waktu yang dibutuhkan 0,004–0,011 menit/jam sedangkan
selama intervensi nikotin lama waktu yang dibutuhkan yakni 0,003–0,052
menit/jam. Pada perlakuan A ditemukan pada pukul 13.00-15.30 WIB dan pukul
18.30-05.30 WIB dengan persentase masing-masing 50,00%. begitupula halnya
dengan individu yang mendapat perlakuan B ditemukan dua kali dengan
persentase masing-masing 50,00%. Sedangkan pada perlakuan C baik sebelum
dan selama intervensi nikotin, tingkah laku agonistik ditemukan masing-masing
pada dua periode waktu.
Lokomosi
Tingkah laku lokomosi atau perpindahan yang dilakukan oleh individu
dalam kandang baik ke arah bagian lain dari sisi kandang maupun pergerakan ke
atas atau ke bawah (pada lantai kandang). Berdasarkan hasil penelitian bahwa
tingkah laku lokomosi ditemukan pada semua periode waktu baik pagi, siang, sore
dan malam hari, seperti yang ditampilkan pada Gambar 36.
Gambar 36 Histogram persentase tingkah laku lokomosi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sebelum dan selama intervensi nikotin
109
Rataan persentase frekuensi tingkah laku lokomosi tertinggi yakni selama
intervensi nikotin dengan persentase 68,75% (1,38 kali/jam) pada perlakuan A,
67,14% (1,96 kali/jam) pada perlakuan B dan 46,67% (1,46 kali/jam) pada
perlakuan C. Sedangkan rataan persentase frekuensi lokomosi sebelum intervensi
nikotin yakni 31,25% (0,63 kali/jam) pada perlakuan A, 32,86% (0,96 kali/jam)
pada perlakuan B dan 53,33% (1,67 kali/jam) pada perlakuan C. Berdasarkan
hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tingkah laku lokomosi baik frekuensi
maupun lamanya waktu yang dibutuhkan secara statistik tidak berbeda nyata
(P>0,05).
Rataan frekuensi tingkah laku lokomosi seperti pada Gambar 36, dapat
dilihat bahwa selama intervensi nikotin tingkah laku lokomosi tertinggi pada
perlakuan A dan C yakni pada pagi hari (06.00-10.30 WIB). Sedangkan pada
perlakuan B, tingkah laku lokomosi tertinggi yakni pada siang hingga menjelang
sore hari (13.30-15.30 WIB). Pada perlakuan C memiliki tingkat lokomosi
tertinggi dan ditemukan pada semua periode waktu pagi, siang dan sore dengan
persentase frekuensi yang berbeda-beda.
Pola tingkah laku lokomosi seperti yang dapat dilihat pada Tabel 16 dan
Gambar 36 memiliki durasi waktu sekitar 0,010–0,018 menit/jam sebelum
intervensi nikotin dan 0,032–0,130 menit/jam selama intervensi nikotin. Lamanya
waktu tingkah laku lokomosi selama intervensi nikotin bila dibandingkan dengan
lamanya waktu tingkah laku lokomosi sebelum intervensi nikotin sangat beralasan
karena bobot badan yang berbeda dari individu hewan.
Sebelum intervensi nikotin bobot badan dari monyet ekor panjang lebih
berat sehingga aktivitas yang banyak dilakukan adalah grooming (merawat diri)
dan kontak, hal ini dapat dilihat pada Tabel 16. Sedangkan selama intervensi
nikotin bobot badan dari monyet ekor panjang cenderung mengalami penurunan,
hal tersebut menjadikan monyet lebih agresif yang ditunjukkan dengan
meningkatnya waktu maupun frekuensi yang dibutuhkan dalam aktivitas
lokomosi.
110
Analisis Korelasi Bobot Badan, Kecernaan Nutrien, Hematologi dan
Tingkah Laku
Untuk mengetahui keeratan hubungan antara bobot badan dengan
hematologi dan dampaknya pada perubahan tingkah laku, demikian pula efek dari
kecernaan nutrien terhadap perubahan nilai hematologi dan tingkah laku makan
dilakukan analisis korelasi antara sifat-sifat tersebut (Tabel 17, 18, 19, 20 dan 21).
Tabel 17 Matriks korelasi antara bobot badan dan hematologi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin
BB SDP SDM Hb Hct MCV SDP 0.209
SDM 0.114 0.139
Hb 0.356** 0.061 0.319**
Hct 0.185 0.144 0.934** 0.570**
MCV 0.047 -0.119 -0.783** 0.227 -0.517**
MCH 0.011 -0.111 -0.927** 0.019 -0.795** 0.861**
MCHC -0.003 -0.113 -0.913** -0.079 -0.852** 0.736**
Plt 0.057 0.508** 0.548** -0.142 0.477** -0.529**
Netrofil 0.291* 0.065 0.092 0.293* 0.190 0.114
Limfosit -0.347** -0.073 -0.174 -0.235 -0.249 -0.012
Eosinofil 0.059 -0.061 -0.027 -0.156 -0.045 -0.021
Monosit 0.166 0.098 0.351** -0.109 0.271* -0.394** MCH MCHC Plt Netrofil Limfosit Eosinofil MCHC 0.976**
Plt -0.660** -0.669**
Netrofil 0.025 -0.008 -0.119
Limfosit 0.091 0.118 0.033 -0.940**
Eosinofil -0.063 -0.072 0.049 -0.348** 0.096
Monosit -0.411** -0.377** 0.303* 0.024 -0.296* 0.169 Keterangan: cell contents: Pearson correlation ** = berbeda sangat nyata (P<0,01), * = berbeda nyata (P<0,05) BB = bobot badan, SDP = sel darah putih, SDM = sel darah merah, Hb =
hemoglobin, Hct = hematokrit, MCV = mean corpuscular volume, MCH = mean corpuscular hemoglobin, MCHC = mean corpuscular hemoglobin concentration dan Plt = platelet.
Berdasarkan nilai korelasi antara bobot badan dan hematologi seperti yang
dapat dilihat pada Tabel 17, menunjukkan bahwa perubahan bobot badan tidak
memberikan pengaruh pada nilai sel darah putih, sel darah merah, hematokrit,
MCV, MCH, MCHC, platelet, eosinofil dan monosit. Bobot badan dan
hemoglobin sangat nyata berkorelasi dengan nilai sebesar 0,356 (P<0,01) serta
, , , , , , , , , , , ,
, , , , , , , , , , ,
, , , , , , , , , ,
, , , , , , , , ,
, , , , , , , ,
, , , , , , ,
, , , , , ,
, , , , ,
, , , ,
, , ,
, , ,
111
erat hubungannya dengan netrofil sebesar 0,291 (P<0,05). Nilai korelasi antara
bobot badan dan hemoglobin memiliki hubungan sangat erat, karena p-value
menunjukkan angka dibawah 1%. Hal ini berarti bahwa peningkatan bobot badan
akan meningkatkan nilai hemoglobin, kondisi ini sebagai konpensasi untuk
memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh, karena peningkatan bobot badan akan
meningkatkan konsumsi oksigen terutama pada jaringan. Hal ini sejalan dengan
Chen et al. (2002), menyatakan bahwa ada korelasi yang signifikan antara bobot
badan dan nilai hemoglobin. Demikian pula dengan persentase netrofil memiliki
hubungan yang erat dengan p-value menunjukkan angka dibawah 5% yang berarti
bahwa meningkatnya bobot badan maka kadar hemoglobin dan netrofil akan
meningkat pula, namun sebaliknya akan menurunkan jumlah limfosit secara nyata
(P<0,01), dan nilai korelasinya negatif dengan nilai p-value menunjukkan angka
dibawah 1% (-0,347).
Tabel 18 Matriks korelasi antara bobot badan dan frekuensi tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin
BB Makan Minum Defekasi Urinasi Tatap
Makan 0.119
Minum
Defekasi 0.293
Urinasi 0.172
Tatap
Grooming 0.008
Kontak 0.106
Agonistik 0.110
Lokomosi 0.098
BB Makan Minum Defekasi Urinasi Tatap
Makan 0.119
0.429* 0.411
Defekasi 0.293
Urinasi 0.172
Tatap -0.014
Grooming 0.008
Kontak 0.106
Agonistik 0.110
Lokomosi 0.098
BB Makan Minum Defekasi Urinasi Tatap
0.411*
Defekasi 0.293 -0.131
Urinasi 0.172 -0.414*
0.014 -0.150
Grooming 0.008 -0.143 0.002
Kontak 0.106 -0.008 0.009 0.278
Agonistik 0.110 -0.052 0.170 0.141 0.331 0.022
Lokomosi 0.098 -0.230
BB Makan Minum Defekasi Urinasi Tatap
0.131 -0.326
-0.372* 0.678
0.150 -0.237 0.160
0.143 0.002
0.008 0.009 0.278
0.052 0.170 0.141 0.331 0.022
0.230 0.378*
BB Makan Minum Defekasi Urinasi Tatap
0.678**
0.237 0.160
0.143 0.002 0.402*
0.008 0.009 0.278
0.052 0.170 0.141 0.331 0.022
-0.048 0.064 0.075
BB Makan Minum Defekasi Urinasi Tatap
0.237 0.160 0.539**
0.479** 0.404
0.008 0.009 0.278 0.436*
0.052 0.170 0.141 0.331 0.022
0.048 0.064 0.075
BB Makan Minum Defekasi Urinasi Tatap
0.404*
-0.031
0.052 0.170 0.141 0.331 0.022
0.048 0.064 0.075
Grooming
0.476**
0.190
0.203 0.047
Grooming Kontak
0.190 0.564**
0.203 0.047
Agonistik
0.203 0.047 0.447*
Keterangan : cell contents: Pearson correlation ** = berbeda sangat nyata (P<0,01), * = berbeda nyata (P<0,05), BB = bobot badan
Pada Tabel 18 dapat dilihat bobot badan tidak mempunyai hubungan yang
erat dengan aktivitas makan, defekasi, urinasi, grooming, kontak/sentuhan,
agonistik maupun lokomosi. Korelasi antara bobot badan dan tingkah laku minum
sebesar 0,429, menunjukkan adanya hubungan yang erat dengan tingkah laku
minum (nilai p-value menunjukkan angka dibawah 5%), yang berarti bahwa
, , , ,
,
, ,
, ,
,
, ,
,
, ,
, ,
, ,
,
, ,
, ,
,
,
, ,
, ,
,
, ,
, ,
,
, ,
,
,
, ,
,
,
,
112
peningkatan bobot badan akan meningkatkan frekuensi aktivitas minum
sebaliknya peningkatan bobot badan tidak menurunkan tingkah laku
sosia/menatap yang berbeda.
Tabel 18 juga menunjukkan bahwa peningkatan frekuensi tingkah laku
minum akan diikuti dengan peningkatan frekuensi tingkah laku makan dengan
hubungan yang sangat erat. Peningkatan frekuensi tingkah laku makan berkorelasi
negatif dengan frekuensi tingkah laku urinasi. Pada saat tingkah laku lokomosi
meningkat akan meningkatkan frekuensi tingkah laku minum, hal ini karena
peningkatan aktivitas tersebut menyebabkan hewan mengeluarkan banyak panas
melalui respirasi, maupun melalui keringat, sehingga untuk memulihkan kondisi
tersebut hewan akan meningkatkan konsumsi minumnya. Peningkatan tingkah
laku merawat diri juga menyebabkan peningkatan tingkah laku kontak/sentuhan,
hal ini beralasan karena aktivitas merawat diri yang dilakukan selain
menggunakan tangan atau kaki juga dilakukan dengan menggosokkan tubuh ke
dinding kandang yang juga merupakan aktivitas tingkah laku kontak antara hewan
dengan kandang.
Tabel 19 Matriks korelasi antara kecernaan nutrien dan hematologi monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin
Kecernaan PK LK SK BETN BK GE
SDP 0,087 -0,157 -0,179 -0,023 -0,126 -0,201 SDM 0,027 -0,281 * -0,366 ** -0,116 -0,379 ** -0,390 ** Hb 0,262 * -0,013 -0,122 0,397 ** 0,393 ** 0,380 ** Hct 0,240 -0,376 ** -0,313 * 0,130 -0,160 -0,245 MCV 0,337 ** 0,042 0,343 ** 0,491 0,633 ** 0,520 ** MCH -0,010 0,366 ** 0,329 ** 0,198 0,506 ** 0,546 ** MCHC -0,158 0,473 ** 0,297 * 0,051 0,404 ** 0,504 ** Plt 0,267 -0,486 ** -0,170 0,030 -0,249 -0,430 ** Neutrofil 0,084 -0,030 0,019 0,117 0,100 0,063 Limfosit -0,065 0,079 0,026 -0,098 0,005 0,020 Eosinofil -0,056 -0,011 0,031 0,025 -0,059 0,046 Monosit -0,029 -0,189 -0,202 -0,100 -0,379 ** -0,380 **
Keterangan: cell contents: Pearson correlation ** = berbeda sangat nyata (P<0,01), * = berbeda nyata (P<0,05), PK = protein kasar
(%), LK = lemak kasar (%), SK = serat kasar (%), BETN = bahan ekstrak tanpa nitrogen, BK = bahan kering (%), GE = gross energy (%), SDP = sel darah putih, SDM = sel darah merah, Hb = hemoglobin, Hct = hematokrit, MCV = mean corpuscular volume, MCH = mean corpuscular hemoglobin, MCHC = mean corpuscular hemoglobin concentration dan Plt = platelet.
113
Berdasarkan nilai korelasi pada Tabel 19, bahwa sel darah putih tidak
memiliki korelasi dengan kecernaan protein kasar maupun nutrien lainnya (lemak
kasar, serat kasar, BETN, bahan kering dan energi) dengan arah yang negatif dan
hubungannya tidak nyata. Sel darah merah tidak mempunyai hubungan yang erat
dengan kecernaan protein kasar, namun nyata memiliki korelasi negatif (P<0,05)
dengan kecernaan lemak kasar serta sangat nyata berkorelasi negatif (P<0,01)
dengan kecernaan serat kasar, kecernaan bahan kering dan kecernaan energi.
Sedangkan hemoglobin nyata mempunyai hubungan erat positif dengan kecernaan
protein kasar. Korelasi hemoglobin terhadap BETN, bahan kering dan energi
memiliki hubungan yang sangat erat positif (P<0,01).
Peningkatan kecernaan protein kasar meningkatkan kadar hemoglobin dan
MCV hal karena protein merupakan nutrisi pembentuk hemoglobin sehingga
peningkatan kadar hemoglobin harus diimbangi oleh tubuh dengan peningkatan
kecernaan protein. Disamping itu pula peningkatan kecernaan protein tersebut
juga digunakan untuk penyusun dinding butir sel darah merah sehingga
peningkatan MCV dibarengi dengan peningkatan kecernaan protein.
Korelasi dengan arah negatif ditunjukkan pada hematokrit dan platelet
terhadap kecernaan lemak kasar dengan hubungan yang erat (P<0,05). Hal ini
berarti peningkatan kecernaan lemak kasar akan menyebabkan hematokrit dan
platelet menurun. Keeratan hubungan dengan arah negatif juga ditunjukkan antara
serat kasar dan hematokrit. Korelasi positif dengan hubungan yang sangat erat
(P<0,01) ditunjukkan antara MCV dan serat kasar, bahan kering serta kecernaan
energi demikian juga antara MCH dan MCHC memiliki korelasi positif dengan
hubungan yang sangat erat (P<0,01) terhadap kecernaan lemak kasar, serat kasar,
bahan kering serta kecernaan energi.
Nilai korelasi positif pada kecernaan lemak kasar terhadap MCH dan
MCHC berarti bahwa peningkatan MCH dan MCHC akan meningkatkan
kecernaan lemak kasar namun peningkatan kecernaan lemak kasar, serat kasar,
bahan kering dan energi ini akan menurunkan nilai sel darah merah. Disampin itu
pula peningkatan MCV akan meningkatkan kecernaan serat kasar, bahan kering
dan energi. Demikian peningkatan MCH dan MCHC akan meningkatkan
kecernaan lemak kasar, serat kasar, bahan kering dan energi.
114
Tabel 20 Matriks korelasi antara kecernaan nutrien dan frekuensi tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin
Kecernaan PK LK SK BETN BK GE
Makan 0,045 0,122 0,038 0,112 0,209 0,229 Minum 0,145 0,081 -0,038 0,197 0,367 * 0,335 Defekasi 0,252 -0,114 0,078 0,292 0,207 0,113 Urinasi 0,104 -0,046 0,079 0,090 0,109 0,018 Menatap -0,260 0,453 * -0,068 -0,124 0,166 0,346 Self grooming 0,423 * -0,061 0,159 0,475 ** 0,627 ** 0,458 * Kontak/sentuhan 0,435 * -0,372 * 0,009 0,241 0,162 -0,169 Agonistik 0,334 -0,311 -0,134 0,214 0,045 -0,189 Lokomosi 0,230 0,027 -0,248 0,208 0,261 0,133
Keterangan: cell contents: Pearson correlation P-Value
** = berbeda sangat nyata (P<0,01), * = berbeda nyata (P<0,05) PK = protein kasar (%), LK = lemak kasar (%), SK = serat kasar (%), BETN =
bahan ekstrak tanpa nitrogen, BK = bahan kering (%), GE = gross energy (%).
Keeratan hubungan antara kecernaan nutrien dan tingkah laku, seperti yang
dapat dilihat pada Tabel 20 menunjukkan bahwa kecernaan protein kasar
mempunyai hubungan erat positif dengan tingkah laku grooming dan
kontak/sentuhan (nilai p-value menunjukkan angka dibawah 5%). Kecernaan serat
kasar memiliki hubungan erat positif dengan tingkah laku menatap serta hubungan
erat negatif dengan tingkah laku kontak/sentuhan. Tingkah laku grooming
menunjukkan adanya hubungan yang erat dengan kecernaan BETN, bahan kering
dan energi (P<0,05). Hal ini berarti bahwa peningkatan kecernaan nutrien BETN,
bahan kering dan kecernaan energi akan meningkatkan aktivitas merawat diri
(grooming). Sedangkan tingkah laku makan, agonistik dan lokomosi tidak
mempunyai hubungan dengan kecernaan nutrien.
Kecernaan protein kasar akan meningkatkan aktivitas merawat diri dan
tingkah laku kontak/sentuhan. Disamping itu pula peningkatan kecernaan bahan
kering akan meningkatkan aktivitas minum hal ini karena air yang diminum akan
menjadi bahan pelarut dalam proses metabolisme, peningkatan kecernaan bahan
kering memerlukan pelarut dari air yang lebih banyak sehingga peningkatan
kecernaan nutrien ini dibarengi oleh hewan dengan meningkatkan konsumsi air
minumnya.
Peningkatan tingkah laku merawat diri akan dilakukan bila hewan istrahat
karena kondisi kenyang atau kurang lokomosi karena bobot badan meningkat.
115
Peningkatan kecernaan bahan kering dapat meningkatkan perasaan kenyang
sedangkan peningkatan kecernaan BETN dan energi dapat menyebabkan
timbunan lemak meningkat bila kebutuhannya pada jaringan tubuh telah
tercukupi. Sehingga peningkatan kecernaan BETN, bahan kering dan energi akan
meningkatkan tingkah laku merawat diri.
Tabel 21 Matriks korelasi antara hematologi dan frekuensi tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diintervensi nikotin
SDP SDM Hb Hct MCV MCH MCHC Plt Neut Limf Eos Mon
Makan -0,219 -0,115 0,015 -0,141 0,039 0,159 0,203 -0,101 -0,206 0,143 0,174 0,089
Minum 0,059 -0,244 0,34 -0,081 0,404* 0,417* 0,36 0,001 -0,081 0,148 -0,018 -0,223
Defekasi -0,248 0,306 0,443* 0,416* 0,065 -0,088 -0,135 -0,24 0,366 -0,323 -0,082 -0,091
Urinasi -0,216 -0,038 0,186 0,049 0,159 0,142 0,116 -0,261 0,447 -0,329 -0,378* -0,151
Menatap -0,178 -0,227 0,121 -0,158 0,218 0,297 0,291 -0,323 0,323 -0,274 -0,034 -0,169
Selfgrooming -0,090 -0,251 0,354 -0,028 0,51** 0,426* 0,324 -0,1 0,288 -0,121 -0,266 -0,424*
Kontak/sentuhan -0,016 -0,261 0,077 -0,119 0,367* 0,315 0,253 -0,032 0,309 -0,204 -0,53** -0,008
Agonistik -0,174 0,018 0,085 0,137 0,196 -0,004 -0,091 0,109 0,033 0,017 -0,208 -0,052
Lokomosi 0,029 -0,094 0,332 0,087 0,353 0,236 0,142 -0,022 -0,037 0,103 -0,076 -0,160 Keterangan: cell contents: Pearson correlation P-Value
** = berbeda sangat nyata (P<0,01), * = berbeda nyata (P<0,05) SDP = sel darah putih, SDM = sel darah merah, Hb = hemoglobin, Hct = hematokrit, MCV = mean corpuscular volume, MCH = mean corpuscular hemoglobin, MCHC = mean corpuscular hemoglobin concentration, Plt = platelet, Neut = netrofil, Limf =limfosit, Eos = eosinofil, Mon = monosit.
Korelasi antara hematologi dan tingkah laku ditampilkan pada Tabel 21.
Berdasarkan data dari matriks tersebut dapat dilihat tingkah laku minum
dipengaruhi oleh indeks sel darah merah yakni MCV dan MCH dengan nilai
korelasi positif (P<0,05). Tingkah laku selfgrooming juga dipengaruhi oleh indeks
sel darah merah yakni MCV, MCH dengan hubungan yang erat positif (P<0,05),
disamping itu pula tingkah laku selfgrooming memiliki hubungan yang erat
dengan arah negatif dengan monosit. Sedangkan tingkah laku kontak/sentuhan
mempunyai hubungan erat dengan arah positif terhadap MCV dan eosinofil.
Tingkah laku makan, defekasi, urinasi, menatap, agonistik dan lokomosi tidak
memiliki hubungan dengan nilai hematologi.
116
Peningkatan nilai MCV dan MCH dapat menyebabkan kekentalan darah
juga meningkat. Kondisi ini akan menyebabkan peningkatan aktivitas kontraksi
jantung dan peningkatan respirasi sehingga untuk menurunkan atau menormalkan
kondisi ini maka harus diimbangi dengan peningkatan masukan cairan yang
diperoleh melalui air minum. Peningkatan nilai MCV dan MCHC tersebut
direspon oleh hewan dengan meningkatkan frekuensi aktivitas tingkah laku
minumnya. Disamping itu pula, peningkatan nilai MCV dan MCHC
meningkatkan frekuensi tingkah laku merawat diri. Demikian pula peningkatan
hemoglobin dan hematokrit akan meningkatkan aktivitas sirkulasi aptik darah ke
usus, peningkatan tersebut menyebabkan kontraksi usus juga meningkat dan
menyebabkan peningkatan kecernaan makanan sehingga zat-zat yang tidak
tercerna akan meningkat pula dan dibuang melalui feses. Hal ini menyebabkan
frekuensi tingkah laku defekasi juga meningkat.
Diskusi Umum
Obesitas merupakan kondisi kelebihan bobot badan akibat penimbunan
lemak yang berlebih dalam tubuh. Kondisi tersebut disebabkan kelebihan energi
sedangkan aktivitas tubuh kurang. Penelitian menggunakan monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis) yang diberi pakan berenergi dan berprotein tinggi untuk
mendapatkan hewan model obes yang dilakukan selama setahun (Februari 2008-
Februari 2009) menyebabkan hewan model menjadi obes. Penelitian tersebut
menggunakan bahan pakan yang bersumber dari bahan-bahan lokal dan pakan
buatan pabrik (monkey cow). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pakan
dengan energi dan protein tinggi dapat menyebabkan obesitas, demikian pula
pakan buatan pabrik (monkey cow) yang diberikan secara ad libitum pada monyet
ekor panjang yang telah dewasa menyebabkan terjadinya obesitas.
Efek tersebut ternyata mempengaruhi kondisi fisiologis, metabolisme dan
tingkah laku dari hewan model. Untuk mengatasi masalah tersebut dilakukan
intervensi dengan menggunakan senyawa alamiah yang terkandung dalam
tembakau dalam hal ini nikotin. Penggunaan nikotin diberikan pada pakan
sebanyak dua kali sehari dengan dosis 0,75 mg/kg bobot badan/12 jam dan
merupakan dosis aman penggunaan nikotin (Margin of Safaty). Hasil yang
117
diperoleh setelah intervensi nikotin 0,75 mg/kg bobot badan/12 jam menunjukkan
bahwa gambaran darah terutama nilai sel darah merah, hematokrit dan platelet
mengalami penurunan yang sangat signifikan namun masih dalam kisaran normal
untuk satwa primata. Kondisi homeostatis tubuh dalam merespon atau
mempertahankan keadaan fisiologis dalam tubuh agar berjalan normal yakni
mempertahankan kadar hemoglobin pada kondisi normal sehingga suplai oksigen
bagi tubuh tetap terjaga sehingga tidak terjadi keadaan hipoksia, dengan demikian
kebutuhan oksigen bagi tubuh baik kapiler maupun seluler tetap terpenuhi. Hal
tersebut dapat dilihat dari nilai MCH dan MCHC yang merupakan ukuran
kepekatan hemoglobin cenderung mengalami peningkatan yang signifikan.
Disamping itu pula intervensi nikotin ini tidak menyebabkan gangguan pada
kekebalan tubuh yang terlihat dari nilai sel darah putih beserta komponennya
(neutrofil, limfosit, eosinofil dan monosit) yang relatif normal.
Selain itu pula intervensi nikotin tersebut menyebakan perbaikan pada
kecernaan nutrien makanan yang diberikan, disamping itu terjadi penurunan
konsumsi pakan dan peningkatan pengeluaran energi dan meskipun secara visual
terjadi penurunan bobot badan dan indeks massa tubuh namun secara statistik
tidak bermakna. Efek lain yang terlihat yakni peningkatan aktivitas monyet ekor
panjang yang terlihat melalui peningkatan frekuensi tingkah laku baik itu bergerak
makan, minum, merawat diri, agonistik, maupun kontak/sentuhan.
Hasil tersebut memberikan gambaran sementara bahwa intervensi nikotin
dengan dosis 0,75 mg/kg bobot badan/12 jam dapat memperbaiki kondisi
fisiologis terutama gambaran hematologi, metabolisme nutrien dan tingkah laku
yang memberikan arti bahwa penggunaan nikotin dengan dosis tersebut dapat
mengurangi resiko penderita sindrom metabolik terutama obesitas yang berakibat
pada perbaikan kualitas hidup dan meningkatkan produktivitas kerja. Namun
penggunaan kearah tersebut masih perlu kajian-kajian lebih lanjut terutama
kondisi kardiovaskuler sehingga nikotin dengan dosis yang digunakan dalam
penelitian dapat bermanfaat terutama pada manusia yang mengalami obesitas
gunak perbaikan kualitas hidup dan peningkatan produktivitas kerjanya.
118
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Intervensi nikotin 0,75 mg/kg bobot badan/12 jam memberikan pengaruh pada
gambaran darah yakni penurunan yang bermakna pada nilai sel darah merah,
hematokrit dan platelet, namun masih dalam kisaran normal. Disamping itu
pula intervensi nikotin tidak menyebabkan penurunan kadar hemoglobin,
tetapi ada peningkatan indeks sel darah merah (MCV, MCH dan MCHC) yang
berbeda nyata. Disisi lain, intervensi nikotin secara statistik tidak bermakna
terhadap nilai sel darah putih yang berarti bahwa intervensi nikotin tidak
menyebabkan gangguan pada nilai sel darah putih, konsentrasi netrofil dan
limfosit. Akan tetapi menurunkan eosinofil dan monosit yang bermakna
berdasarkan lamanya intervensi nikotin.
2. Intervensi nikotin 0,75 mg/kg bobot badan/12 jam menyebabkan terjadinya
perbaikan nilai kecernaan yang dapat dilihat dari peningkatan absorpsi nutrien,
peningkatan koefisien kecernaan, peningkatan energi metabolisme serta TDN
(Total Digestible Nutrient). Disamping itu pula terjadi penurunan konsumsi
yang bermakna pada perlakuan A dan B. Terlihat adanya kecenderungan
penurunan bobot badan dan indeks massa tubuh (IMT) namun itu tidak
bermakna berdasarkan lamanya intervensi nikotin.
3. Intervensi nikotin 0,75 mg/kg bobot badan/12 jam menyebabkan monyet ekor
panjang lebih aktif, hal ini dapat dilihat dari peningkatan frekuensi (jumlah
dan persentase) makan, minum, grooming, agonistik, lokomosi, kontak serta
peningkatan waktu tingkah laku menatap.
4. Pemberian pakan komersial (monkey cow) ad libitum pada monyet yang telah
dewasa dapat menyebabkan obesitas.
5. Bobot badan mempunyai hubungan yang sangat erat positif dengan
hemoglobin, serta hubungan yang erat positif dengan frekuensi tingkah laku
minum. Akan tetapi mempunyai hubungan yang sangat erat negatif dengan
limfosit.
6. Frekuensi tingkah laku makan mempunyai hubungan erat positif dengan
frekuensi tingkah laku minum dan hubungan erat negatif frekuensi urinasi.
119
Frekuensi tingkah laku minum dan selfgrooming mempunyai hubungan yang
erat positif dengan indeks sel darah merah yakni MCV dan MCH.
7. Sel darah merah mempunyai hubungan yang erat negatif dengan kecernaan
lemak kasar serta hubungan yang sangat erat negatif dengan kecernaan serat
kasar, kecernaan bahan kering dan kecernaan energi. Sedangkan hemoglobin
nyata mempunyai hubungan erat positif dengan kecernaan protein kasar.
Korelasi hemoglobin terhadap BETN, bahan kering dan energi memiliki
hubungan yang sangat erat positif.
8. Kecernaan protein kasar mempunyai hubungan erat positf dengan tingkah laku
grooming dan kontak/sentuhan. Kecernaan serat kasar memiliki hubungan erat
positif dengan tingkah laku menatap serta hubungan erat negatif dengan
tingkah laku kontak/sentuhan. Tingkah laku grooming menunjukkan adanya
hubungan yang erat dengan kecernaan BETN, bahan kering dan energi.
Saran
Sebelum diterapkan pada penderita sindrom metabolik, perlu kajian lebih
lanjut terutama terhadap kondisi kardiovaskulernya sehingga dosis yang
digunakan dalam penelitian dapat bermanfaat terutama pada manusia yang
mengalami obesitas dan sindrom metabolik.
120
DAFTAR PUSTAKA
Adam JMF. Obesitas dan Sindroma Metabolik. Bandung: ISBN 979-25-560-8; 2006.
Ahima RS, Prabakaran D, Mantzoros C, Daqing Qu, Lowell B, Maratos-Flier E, Flier JS. Role of leptin in the neuroendocrine response to fasting. Nature 1996;382:250–252.
Aliambar SH. Pengaruh pengendalian hewan terhadap temperatur, nadi dan respirasi, nilai hematologi dan kimia darah rusa (Cervus timorensis-Blainville 1822) [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; 1999.
Altman J. Observational study of behavior : sampling methods. Behavior 1974;49:227–267.
Amador AG. Platelet aggregation responses. Artikel hhtp://www.hidupsehat.com, last modified on 1999, acces : 4 August 2009, at 19:46.
Andersson K, Arner P. Systemic nicotine stimulates human adipose tissue lipolysis through local cholinergic and catecholaminergic receptors. International Journal of Obesity 2001;25:1225–1232.
Andrade MCR, Ribeiro CT, Silva FV da, Molinaro EM, Gonçalves MAB, Marques MAP, Cabello PH, Leite JPG. Biologic data of Macaca mulatta, Macaca fascicularis, and Saimiri sciureus used for research at the Fiocruz Primate Center. Mem Inst Oswaldo Cruz, Rio de Janeiro 2004;99(6):581–589.
Anggorodi HR. Nutrisi Aneka Ternak Unggas. Jakarta: PT. Gramedia; 1995.
Anthony G. Comuzzie, Cole SA, Martin L, Dee Carey K, Mahaney MC, Blangero J, VandeBerg JL. The baboon as a nonhuman primate model for the study of the genetics of obesity. Obes Res 2003;11:75–80.
Arabi Z. Metabolic and cardiovascular effects of smokeless tobacco. J. Cardiometab Syndr 2006;1(5):345–350.
Arai K, Kim K, Kaneko K, Iketani M, Otagiri A, Yamauchi N, Shibasaki T. Nicotine infusion alters leptin and uncoupling protein-1 mRNA expression in adipose tissues of rats. Am J Physiol Endocrinol Metab 2001;280:E867–76.
Argacha JF, Garcia C, Xhaët O, Gujic M, Preumont N, Simaeys Van G, Goldman S, Borne van de P. Nicotine does not compromise resting myocardial blood flow autoregulation in smokers at high cardiovascular risk. Nicotine & Tobacco Research 2008;10(7):1131–1137.
Balfour D, Benowitz N, Fagerström K, Kunze M, Keil U. Diagnosis and treatment of nicotine dependence with emphasis on nicotine replacement therapy: A status report. European Heart Journal 2000:21;438– 445.
Balfour DJK. The psychobiology of nicotine dependence. Eur Respir Rev 2008:17;172– 181.
121
Banerjee GC. Animal Nutrition. Calcuta-Bombay-New Delhi: Oxford and IBH Publishing Co; 1978.
Bennet BT, Abee CR, Henrickson R. Nonhuman Primates in Biomedical Research. New York: Academic Press; 1995.
Benowitz NL and Jacob P III. Metabolism of nicotine to cotinine studied by a dual stable isotope method. Clin Pharmacol Ther 1994;56:483–493.
Benowitz NL, Jacob P III, Fong I, Gupta S. Nicotine metabolic profile in man: comparison of cigarette smoking and transdermal nicotine. J Pharmacol Exp Ther 1994;268:296–303.
Berrettini HW, Lerman CE. Pharmacotherapy and Pharmacogenetics of Nicotine Dependence. Am J Psychiatry 2005; 162:1441–1451.
Beyer PL. Digestion, absorption, transport and excretion of nutrients. Di dalam: Mahan LK, Stump SE, editor. Krause’s Food, Nutrition & Diet Therapy. Ed ke-11. Pennsylvania: Saunders; 2004. hlm 2–20.
Bismark M. Ekologi makan dan perilaku bekantan (Nasalis larvatus Wurmb) di hutan bakau Taman Nasional Kutai, Kalimantan Timur [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; 1994.
Blanc J, Guerra-Alves, Rousset S, Goudry P. Protective role of UPC-1 in atherosclerosis. Circulation 2003:388–390.
Boeing H, Weisgerber UM, Jeckel A, Rose HJ, Kroke A. Association between glycated hemoglobin and diet and other lifestyle factors in a nondiabetic population: cross-sectional evaluation of data from the Potsdam cohort of the European Prospective Investigation into Cancer and Nutrition Study. Am J Clin Nutr 2000;71:1115–1122.
Boyland E, de Kock DH. Nicotine metabolism. Annu Rep Brit Emp Cancer Campaign 1966;44:5.
Brees DJ, Elwell MR, Tingley FD III, Sands SB, Jakowski AB, Shen AC, Cai JH, Finkelstein MB. Pharmacological effects of nicotine on norepinephrine metabolism in rat brown adipose tissue: Relevance to nicotinic therapies for smoking cessation.Toxicologic Pathology 2008;36:568–575.
Byrd GD, Chang KM, Greene JM, deBethizy JD. Evidence for urinary excretion of glucuronide conjugates of nicotine, cotinine and trans-3_-hydroxycotinine in smokers. Drug Metab Dispos 1992;20:192–197.
Cannon B, Nedergaard J. Brown adipose tissue: function and physiological significance. Physiol Rev 2004;84;277–359.
Caraka I HA. Perkembangan ukuran bagian-bagian tubuh monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang diberi pakan obes. [Skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor; 2008.
Cashman JR, Park SB, Yang ZC, Wrighton SA, Jacob P III, Benowitz NL. Metabolism of nicotine by human liver microsomes: stereoselective formation of trans-nicotine N’-oxide. Chem Res Toxicol 1992;5:639–646.
122
Chaloupka FJ. Meredam wabah: Pemerintah dan Aspek Ekonomi Pengawasan terhadap Tembakau. Terjemahan: Adioetomo SM. Indonesia;2000.
Chatkin R, Chatkin JM. Smoking and changes in body weight: can physiopathology and genetics explain this association. J Bras Pneumol 2007;33(6):712–719.
Chen Y, Ogawa H, Narita H, Ohtoh K, Yoshida T, Yoshikawa Y. Ratio of leptin to adiponectin as an obesity index of cynomolgus monkeys (Macaca fascicularis). Exp Anim 2003;52:137– 143.
Chen Y, Ono F, Yoshida T, Yoshikawa Y. Relationship between body weight and hematological and serum biochemical parameters in female cynomolgus monkeys (Macaca fascicularis). Exp Anim 2002;51(2):125– 131.
Chiolero A, Faeh D, Paccaud F, Cornuz J. Consequences of smoking for body weight, body fat distribution, and insulin resistance. Am J Clin Nutr 2008;87:801–809.
Christakis NA, Fowler JH. The spread of obesity in a large social network over 32 years. NEJM 2007;357:370–379.
Coles EH. Veterinary Clinical Pathology. Ed ke-3 Philadelphia: WB Saunders;1980.
Collinge N.C. 1993. Introduction to Primate Behavior. Iowa: Kendall/Hunt Publishing Company; 1993.
Crampton EW, Harris LE. Applied Animal Nutrition. Ed ke-2, San Fransico: WH. Freeman and Company;1969.
Cuming JL. Reversible dementia. Jama, 2003;234:2434–2459.
Dahlstrom A, Lundell B, Curvall M, Thapper L. Nicotine and cotinine concentrations in the nursing mother and her infant. Acta Paediatr Scand 1990;79:142–147.
Dempsey DA, Benowitz NL. Risks and benefits of nicotine to aid smoking cessation in pregnancy. Drug Safety 2001;24:277–322.
Dierauf LA. Handbook of Marine Mammal Medicine: Health, Disease, and Rehabilitation. American Veterinary Medical Association;1990.
Dolhinow P, Fuentes A. The Nonhuman Primates. Mountain View. California: Mayfield Publishing Company; 1999.
Drewnowski A, Specter SE. Poverty and obesity: the role of energy density and energy costs. Am J Clin Nutr 2004; 79: 6–16.
Ebbert JO, Dale LC, Severson H, Croghan IT, Rasmussen DF, Schroeder DR, Weg MWV, Hurt RD. Nicotine lozenges for the treatment of smokeless tobacco use. Nicotine & Tobacco Research 2007;9(2):233–240.
Fenster CP, Rains MF, Noerager B, Quick MW, Lester RAJ. Influence of subunit composition on desensitization of neuronal acetylcholine receptors at low concentrations of nicotine. J Neurosci 1997:17;5747– 5759.
123
Filozof MC, Fernández Pinilla, Fernández-Cruz A. Smoking cessation and weight gain. Obesity Reviews 2004;5:95–103.
Ford CL, Zlabek J. Nicotine replacement therapy and cardiovascular disease. Mayo Clin Proc 2005;80(5):652– 656.
Fridman EP. Medical Primatology: History, Biological Foundations and Applications. New York: Taylor & Francis; 2002
Ganong WF. Review of Medical Physiology. Ed ke-11. Los Altos. California: Lange Medical Publications; 1983.
Geng Y, Savage SM, Razanai-Boroujerdi S, Sopori ML Rogers CJ, Hance KW, Zaharoff DA, Perkins SN, Schlom J, Hursting SD, Greiner JW. Effects of nicotine on the immune response. II. Chronic nicotine treatment induces T cell anergy Diet-induced obesity impairs both innate and adaptive immune responses.2006.
Gilman AG, Goodman LS, Gilman A. Goodman and Gilman’s The Pharmalogical Basis of Therapeutics. Ed ke-6. Toronto, Bailliere, Tindal: McMillan Publishing Co. Inc. New York. Collier McMilland Canada Ltd;1980.
Gomez KA, Gomez AA. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Ed Kedua. Sjamsuddin E, Baharsjah JS, Penterjemah. Jakarta: UI Press; 2007: Terjemahan dari: Statistical Procedures for Agricultural Research.
Gorrod JW, Hibberd AR. The metabolism of nicotine-delta 1’(5’)-iminium ion, in vivo and in vitro. Eur J Drug Metab Pharmacokinet 1982;7:293–298.
Gourlay SG, Benowitz NL. Arteriovenous differences in plasma concentration of nicotine and catecholamines and related cardiovascular effects after smoking, nicotine nasal spray and intravenous nicotine. Clin Pharmacol Ther 1997; 62:453–463.
Gries JM, Benowitz N, Verotta D. Chronopharmacokinetics of nicotine. Clin Pharmacol Ther 1996;60:385–395.
Grunberg NE. The value of animal studies to understand and treat tobacco use. Medical and Clinical Psychology Uniformed Services University of The Health Sciences Bethesda, Maryland. http://www.sbm.org/meeting/2007/ slides/neil_grunberg.pdf.
Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-7. Irawati Setiawan, Ken Ariata Tengadi, Alex Santoso Penterjemah. Jakarta: EGC; 1997: Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology.
Guyton AC. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-7 Bagian 1. Ken Ariata Tengadi Penterjemah. Jakarta: EGC; 1996: Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology.
Guyton AC. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Andrianto P, Penterjemah. Jakarta: EGC; 1996: Terjemahan dari: Human Physiology and Mechanisms of Disease.
Guyton AC. Sel Darah, Imunitas dan Pembekuan Darah. Didalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-7 Bagian 1. Irawati Setiawan, Ken Ariata
124
Tengadi, Alex Santoso Penterjemah. Jakarta: EGC; 1993: Terjemahan dari: Textbook of Medical Physiology.
Habib KE, Weld KP, Rice KC, Pushkas J, Champoux M, Listwak S, Webster EL, Atkinson AJ, Schulkin J, Contoreggi C, Chrousos GP, McCann SM, Suomi SJ, Higley JD, Gold PW. Oral administration of a corticotropin releasing hormone receptor antagonist significantly attenuates behavioral, neuroendocrine, and autonomic responses to stress in primates. PNAS 2000;97 (11):6079–6084.
Harper HA, Rodwell VW, Mayer PA. Review of Physiological Chemistry. Martin Mulyawan Penterjemah. Jakarta: EGC; 1979.
Haslam DW, James WP. Obesity. Lancet 2005;366(9492): 1197–209.
Heeschen C, Weis M, Cooke JP. Nicotine promotes arteriogenesis. Journal of the American College of Cardiology 2003:41(3):489–496.
Henningfield JE, Keenan RM. Nicotine delivery kinetics and abuse liability. J Consult Clin Psychol 1993;61:743–750.
Henningfield JE, Stapleton JM, Benowitz NL, Grayson RF, London ED. Higher levels of nicotine in arterial than in venous blood after cigarette smoking. Drug Alcohol Depend 1993;33:23–29.
Hodge AM, Westerman RA, de Courten MP, Collier GR, Zimmet PZ, Alberti KG. Is leptin sensitivity the link between smoking cessation and weight gain. Int J Obes 1997;1:50–53.
Honess PE, Johnson PJ, Wolfensohn SE. A study of behavioural responses of non-human primates to air transport and re-housing. Laboratory Animals 2004;38:119–132.
Hukkanen J, Jacob P III, Benowitz NL. Metabolism and disposition kinetics of nicotine. Pharmacol Rev 2005;57:79–115.
IPCS ICHEM. Nicotine. http://www.inchem.org/documents/pims/chemical. /nicotine.htm#PartTitle:7.%20TOXICOLOGY. [Journal Online] last modified on April 1991, acces : 3 February 2009, at 10:46.
Irianto K. Struktur dan Fungsi Tubuh Manusia untuk Paramedis. Bandung: CV. Yrama Widya; 2005.
Jain NC. Erythrocyte Physiology and Changes in Disease. Essentials Veterinary Hematology. Lea and Febiger; 1993.
Jacob P III, Ulgen M, Gorrod JW. Metabolism of (-)-(S)-nicotine by guinea pig and rat brain: identification of cotinine. Eur J Drug Metab Pharmacokinet 1997;22:391–394.
Jequier E, Tappy L. Regulation of body weight in human. Physiol Rev 1999;79:451–480.
Jia H, Lubetkin EI. The impact of obesity on health-related quality-of-life in the general adult US population. Journal of Public Health 2005;27(2):156–164.
Jones LM. Veterinary Pharmacology and Therapeutics. Ed ke-3. Calcuta, New Delhi, Bombay: Oxford and IBH Publishing Co;1974.
125
[JRHF] June Russell’s Health Facts. Smoking-Reported Health Benefits (along with some negative consequences). http://www.jrussellshealth.org /smokbens.html#top. last modified on 4 November 2004, acces : 3 February 2009, at 8:46.
Kaplan JR, Shively CA, Fontenot MB, Morgan TM, Howell SM, Manuck SB, Muldoon MF, Mann JJ. Demonstration of an association among dietary cholesterol, central serotonergic activity, and social behavior in monkeys. Psychosomatic Medicine 1994;56:479–484.
Karo-Karo S. Efektivitas nikotin ekstrak daun tembakau terhadap cacing lambung (Haemonchus contortus,Rudolphi) pada kambing (Capra hircus Linn). [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; 1990.
Kaufman D, Banerji MA, Shorman I, Smith ELP, Coplan JD, Rosenblum LA, Kral JG . Early-life stress and the development of obesity and insulin resistance in juvenile bonnet macaques. Diabetes 2007;56:1382–1386.
Kemnitz JW, Goy RW, Flitsch TJ, Lohmiller JJ, Robinson JA. Obesity in male and female rhesus monkeys: fat distribution, glucoregulation, and serum androgen levels. J Clin Endocrinol Metab 1989;69:287–293
Kitchen AM, Martin AA. The effects of cage size and complexity on the behaviour of captive common marmosets, Callithrix jacchus jacchus. Laboratory Animals 1996;30:317–326 .
Krisnawan FFD. Studi banding beberapa karakteristik biologis monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan hasil silangannya di Pusat Studi Satwa Primata Lembaga Penelitian IPB, Bogor. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; 2000.
Lamota L, Bermudez-Silva FJ, Marco EM, Liorente R, Gallego A, Rodriguez de Fonseca F, Viveros MP. Effects of adolescent nicotine and SR 147778 (surinabant) administration on food intake somatic growth and metabolic parameters in rats. Neuropharmacology 2008:54(1);194–205 .
Larosa JC, Fry AG, Muesing R, Rosing DR. Effects of high-protein, low-carbohydrate dieting on plasma lipoproteins and body weight. J Am Diet Assoc 1980;77(3):264–70.
Lekagul B, McNeely JA. Mamals of Thailand. Bangkok: Kurushapa Ladprao Press;1977.
Lindell G, Lunell E, Graffner H. Transdermally administered nicotine accumulates in gastric juice. Eur J Clin Pharmacol 1996;51:315–318.
Linder MC. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme: Dengan Pemakaian Secara Klinis. Parakkasi A, Penterjemah; Linder MC, editor. Jakarta: UI Pr; 2006: Terjemahan dari: Nutritional Biochemistry and Metabolism.
Lunell E, Molander L, Ekberg K, Wahren J. Site of nicotine absorption from a vapour inhaler–comparison with cigarette smoking. Eur J Clin Pharmacol 2000;55:737–741.
126
Mahoney J. Medical care.Di dalam: Wolfe-Coote S, editor. The Laboratory Primate. Chapter 16. London, California: Elsevier Academic Press; 2005. Hlm 241-257.
Mann J. Secondary Metabolism. New York: Oxford Science Publishing;2001.
Christos S. Mantzoros CS. The Role of Leptin in Human Obesity and Disease: A Review of Current Evidence. Ann Intern Med. 1999;130:671–680.
Mars M, Graaf de C, Groot de LCPGM, Kok FJ. Decreases in fasting leptin and insulin concentrations after acute energy restriction and subsequent compensation in food intake. Am J Clin Nutr 2005; 81:570–577.
Martini FH. Fundamentals of Anatomy and Physiology. Third Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc; 1995.
Matsumoto K, Akagi H, Ochiai T, Hagino K, Sekita K, Kawasaki Y, Matin MA, Furuya T. Comparative blood values of Macaca mulatta and Macaca fascicularis. Exp Anim 1980;29:335–340.
Maynard LA, Loosli JK, Hintz HF, Wanner HG. Animal Nutrition. Ed ke-3, New York: McGraw Hill Publishing Co.Ltd;1979.
McDonal P, Edwads RA, Greenhalgh JFD, Morgan CA. Animal Nutrition. Ed ke-6. London: Prentice Hall; 2002.
Medway L. The Wild Mammals of Malaya. London: Oxford University Press and Offshore Island Incluiding Singapore; 1969.
Middlebrook AJ, Martina C,Chang Y,Ronald J. Lukas, Dominick DeLuca. Effects of Nicotine Exposure on T Cell Development in Fetal Thymus Organ Culture: Arrest of T Cell Maturation1. The Journal of Immunology, 2002;169: 2915–2924.
Misra A, Khurana L. Obesity and the metabolic syndrome in developing countries. J. Clin. Endocrinol Metab 2008; 93: s9–s30.
Moen AN. Wildlife Ecology, an Analytical Approach. San Francisco: W.H. Freeman and Company;1973.
Murphy PJ. Enzymatic oxidation of nicotine to nicotine 1_(5_) iminium ion. A newly discovered intermediate in the metabolism of nicotine. J Biol Chem 1973;248:2796–2800.
Napier JR, Napier PH. A Hand Book of Living Primates. New York: Academic Press;1967.
Napier JR, Napier PH. The Natural History of the Primates. Massachussetts. Cambridge: The MIT Press;1985.
Narahshi T, Fenster CP, Quick MW, Lester RAJ, Marszalec W, Aistrup GL, Sattelle DB, Martin BR, Levin ED. Symposium overview: mechanism of action of nicotine on neuronal acetycholine receptors, from molecule to behavior. Toxicological Sciences 2000:57;193–202.
Nedergaard J, Agneta B, Barbara C. Regulation of the activity of the uncoupling protein. New Comprehensive Biochemistry vol.23. didalam: Ernster L, Editor; Molecular mechanisms in bioenergetics. Elsevier, Amsterdam:2003:385– 420.
127
[NRC] National Research Council. Nutrient Requirement Consumption of Nonhuman Primate. Edi ke-2, Rev. Washington DC: The National Academic Press; 2002.
Oktarina R. Kajian pakan bersumber energi tinggi pada pembentukan monyet obes. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; 2009.
Parakkasi A. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Jakarta: Universitas Indonesia Press; 1999.
Park SB, Jacob P III, Benowitz NL, Cashman JR. Stereoselective metabolism of (S)-(‘)-nicotine in humans: formation of trans-(S)-(‘)-nicotine N-1’-oxide. Chem Res Toxicol 1993;6:880–888.
Pearce EC. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama; 2006.
Perry DC, Davila-Garcia MI, Stockmeier CA, Kellar KJ. Increased nicotinic receptors in brains from smokers: membrane binding and autoradiography studies. J Pharmacol Exp Ther 1999;289:1545–1552.
Peterson LA, Trevor A, Castagnoli N Jr. Stereochemical studies on the cytochrome P-450 catalyzed oxidation of (S)-nicotine to the (S)-nicotine delta 1’(5’)-iminium species. J Med Chem 1987;30:249–254.
Phillis JW. Veterinary Physiology. Bristol: Wright Scientechnica;1979.
Pijoh D. Kajian biologis monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang mengalami pengangkutan dengan pemberian pakan berbeda. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; 2006.
Piliang WG, Djojosoebagio S. Fisiologi Nutrisi Volume I. Ed Revisi. Bogor: IPB Press; 2006.
Pi-Sunyer FX. Glycemic index and disease. Am J Clin Nutr (Suppl) 2002;76:290S–298S.
Plantenga MSW, Saris WHM, Hukshorn CJ, Campfield LA. Effects of weekly administration of pegylated recombinant human OB protein on appetite profile and energy metabolism in obese men. Am J Clin Nutr 2001;74:426–434.
Poedjiadi A, Supriyanti TFM. Dasar-Dasar Biokimia. Ed Revisi. Jakarta: Universitas Indonesia Press; 2007.
Putra IGAA, Wandia IN, Soma IG, Sajuthi D. Indeks massa tubuh dan morfometri monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) di Bali. J Vet 2006;7:119–124.
Racette SB, Deusinger SS, Deusinger SH. Obesity: overview of prevalence, etiology, and treatment. Phys Ther 2003;83:276–288.
Ranjhan SK. Animal Nutrition. Vikas Publishing Hause PVT Ltd; 1980.
Rezvani AH, Levin ED. Adolescent and adult rats respond differently to nicotine and alcohol: Motor activity and body temperature. Int J Dev Neurosci 2004;22:349–54.
Robinson WF, Huxtable CRR. Clinicopathologic Principles for Veterinary Medicine. Cambridge University Press;1988.
128
Röder EL, Timmermans PJA. Housing and care of monkeys and apes in laboratories: adaptations allowing essential species-species behaviour. Laboratory Animals 2002;36:221–242.
Roth GS, Mattison JA, Ottinger MA, Chachich ME, Lane MA, Ingram DK. Aging in rhesus monkeys: relevance to human health interventions. Science 2004;305:1423–1426.
Rubinstein ML, Benowitz NL, Auerback GM, Moscicki AB. A Randomized trial of nicotine nasal spray in adolescent smokers. Artikel. Pediatrics 2008;122(3):e595–e600.
Sabatini R. The Evolution of Intelligence, Part 2: Intelligence in Non Human Primates. Brazil: University of Sao Paulo; 2001.
Sahakian B, Jones G, levy R, Gray J, Warburton D. The effects of nicotine on attention, information processing, and short-term memory in patients with dementia of the alzheimer type. British Journal of Psychiatry 1989;154:797–800.
Sajuthi D, Yusuf TL, Monsjoer I, Lelana RPA, Suparto IH. Kursus singkat penanganan satwa primata sebagai hewan model. Bali;1997.
Sari NK. Tingkah laku monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) periode pra transportasi (studi kasus di Pusat Studi Satwa Primata, Lembaga Penelitian-IPB). [Skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Produksi Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor; 2004.
Schermer S. The Blood Morphology of Laboratory Animals. Ed ke-3, Philadelphia: F.A. Davis Company; 1967.
Shao XM, Feldman JL. Mechanisms underlying regulation of respiratory pattern by nicotine in prebötzinger complex. J Neurophysiol 2001:85;2461–2467.
Siagian A. 2006. Pengaruh indeks glisemik, komposisi zat gizi pangan, serta frekuensi pemberian makan pada respon glisemik, nafsu makan, dan profil lipid orang dewasa obes dan normal. [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor; 1999.
Smith JB. Mangkoewidjojo S. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: UI Press; 1988.
Stell RGD, Torrie JH. Prinsip dan Prosedur Statistika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Umum; 1993.
Sturkie PD. Avian Physiology. Ed ke-3, Berlin: Heidelberg; 1976.
Supriatna J, Wahyono EH. Panduan Lapangan Primato Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia;2000.
Sutardi T. Landasan Ilmu Nutrisi Jilid I. Bogor: Departemen Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Institut Pertanian Bogor;1980.
Swenson MJ. Physiological Properties and Cellular and Chemical Constituents of Blood. Di dalam: Duke’s Physiology of Domestic Animals. Ithaca and London: Publishing Associates a Division of Cornell University;1970.
129
Sylvia ES. Nutrition andDiagnosis-related Care. Ed ke-4, Baltimore, Maryland: Williams and Wilkins Co;1998.
Tillman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawirokusumo S, Lebdosoekojo S. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press; 1989.
Tizard I. Veterinary Immunology and Introduction. Ed ke-3. Sanders WB, Masduki Partodirejo Penterjemah. Surabaya: Airlangga University Press;1987.
Tortora GJ, Anagnostakos NP. Principles of Anatomy and Physiology. Ed ke-6. New York: Harper & Row Publishers; 1990.
Unwin S. Anaesthesia.Di dalam: Wolfe-Coote S, editor. The Laboratory Primate. Chapter 18. London, California: Elsevier Academic Press; 2005.Hlm 275-292.
Wagner JD, Carlson CS, O’Brien TD. Diabetes mellitus in nonhuman primates: Recent research advances on current husbandry practices. J Med Primatol 1996;19:609–625.
[WHO] The World Health Organization. Prevalence of obesity. 2005 http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs311/en/index.html. [acces : 3 February 2009, at 8:46].
[WHO] The World Health Organization. WHO’s Classification of BMI. Geneva; 2000.
Widjajakusuma R, Sikar H. Fisiologi Hewan Laboratorium. Bogor: Fisiologi dan Famakologi: FKH-IPB;1986.
Winarno FG. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama; 1992.
Yang W, Kelly T, He J. Genetic epidemiology of obesity. Epidemiol Rev 2007:29: 49–61.
Yano JK, Mei-Hui H, Keith JGC, David S, Eric FJ. Structures of human microsomal cytochrome P450 2Al complexed with coumarin and methoxsalem. Issue of the journal Nature Structural & Molecular Biology 2005.
Yayasan Spritia. Hitung darah lengkap Lembar Informasi 121. http://spiritia.or.id. last modified on 4 Januari 2008, acces : 4 August 2009, at 19:46.
Yettefty K, J. C. Orsini JC, Perrin J. Neuronal responses to systemic nicotine in the solitary tract nucleus: Origin and possible relation with nutritional effects of nicotine. Pharmacol Biochem Behav 1997;58(2):529–535.
Zametkin AJ, Zoon CK, Klein HW, Munson S. Psychiatric aspects of child and adolescent obesity: a review of the past 10 years. J Am Acad Child Adolesc Psychiatry 2004;43(2): 134–50.
Zorin S, Kuylenstierna F, Thulin H. In vitro test of nicotine’s permeability through human skin. Risk evaluation and safety aspects. Hyg 1999:43(6);405–413.
130
LAMPIRAN–LAMPIRAN
131
Lampiran 1 Surat persetujuan ACUC
Komisi Pengawasan Kesejahteraan dan Penggunaan Hewan Percobaan PT. INDOANILAB
Animal Care and Use Committee
Jl. Ceremai No.1. Taman Kencana, Bogor 16151. Telp. 0251-363634. Fax. 0251-363634 PERSETUJUAN ATAS PERLAKUAN ETIS Judul Penelitian: Intervensi Nikotin Terhadap Ekspresi Leptin-LDL, dan Resiko Aterogenesis Pada Monyet Ekor Panjang Peneliti Utama : dr. Anwar Wardy W. Sp.S Bahan Review :
1. Form Aplikasi ACUC PT. INDOANILAB 2. Protokol Penelitian 3. Prosedur Penelitian pada hewan coba
Dengan memperhatikan:
4. Species dan Relevansi Hewan Model, 5. Justifikasi jumlah hewan yang digunakan 6. Prosedur Penelitian pada hewan coba.
Kami menyatakan bahwa prosedur dalam penelitian ini memenuhi persyaratan etis dan memperhatikan kesejahteraan hewan coba yang digunakan. Maka, kami memberikan Ethical Approval pada penelitian ini. Nomor: 04-IA-ACUC-09 Bogor, 18 Februari 2009 Ketua Komisi
Dr.dr. Irma Herawati Suparto, Ms