analisis biaya produksi usaha persuteraan alam: … · the cost of producing kain sarung in...
TRANSCRIPT
ANALISIS BIAYA PRODUKSI USAHA PERSUTERAAN ALAM:
STUDI KASUS DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR SULAWESI
BARAT DAN KABUPATEN ENREKANG SULAWESI SELATAN
RENATO
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
ABSTRACT
RENATO. E24070078. Production Cost Analysis of Sericulture (A Case Study at
Polewali Mandar Regency West Sulawesi and Enrekang Regency South
Sulawesi). Under direction of BINTANG C. H. SIMANGUNSONG.
Sericulture is a part of social forestry programmes to improve the welfare of
society, which live mainly around forest areas. In order to compete and overcome
the obstacles that exist in Sericulture business today, production cost analysis
should be done, as an important component in decision-making. The objective of
this study is to determine production cost including break even point (BEP), and
profitability rate. This study was conducted at Polewali Mandar Regency West
Sulawesi and Enrekang Regency South Sulawesi in November untill December
2011.
The results showed that: (a) the largest cost in Polewali Mandar Regency
was at sericulture process that is 36,8% while in Regency Enrekang was at
weaving process 53,8%; (b) production costs of cocoon in Enrekang Regency Rp
24.310/kg, the production cost of yarn Rp 393.940/kg, production cost of kain ikat
Rp 197.340/sheet, and production cost of kain sarung Rp 303.440/sheet. While
the cost of producing kain sarung in Polewali Mandar Regency Rp 143.940/sheet;
(C) Break-even point of farmers group in Polewali Mandar Regency was 119
sheet of kain sarung in a year. Break even point of KUB Sinar Buntu Kurung was
2647,15 kg cocoons in a year. Break even point of UPT Tekstil was 481,5 kg silk
yarn in a year. Break even point of Pertenunan Nenek Mallomo was 68 sheet of
kain ikat in a year and 826 sheet of kain sarung in a year; (d) Profitability rate was
obtained by Farmers Group Pallis is 25,1% from production costs, KUB Sinar
Buntu Kurung was 43,9%, Pertenunan Nenek Mallomo was 26,7% for kain ikat,
While UPT Tekstil suffer loss; (e) An integrated sericulture process in Polewali
Mandar Regency have ROI point at 3,3%. Sericulture process in Regency
Enrekang which done separately, reached ROI point at 15,7% on cocoons
production stage. At fabric production, Pertenunan Nenek Mallomo have ROI
point at 6,7%. While ROI point at spinning process in UPT Tekstil showed
negative value.
Keywords : non-timber forest produts, sericulture, production costs, break even
point (BEP), profitability.
RINGKASAN
RENATO. E24070078. Analisis Biaya Produksi Usaha Persuteraan Alam: Studi
Kasus di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat dan Kabupaten Enrekang
Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh BINTANG C. H. SIMANGUNSONG.
Persuteraan alam adalah bagian kegiatan perhutanan sosial yang bertujuan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, utamanya di sekitar kawasan hutan.
Untuk mengatasi persaingan dan hambatan yang dihadapi oleh usaha persuteraan
alam saat ini, perlu dilakukan analisis biaya produksi, yang merupakan komponen
penting dalam setiap pengambilan keputusan dalam suatu usaha. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis struktur biaya produksi, tingkat Break Even Point
(BEP) dan tingkat profitabilitas. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Polewali
Mandar Sulawesi Barat dan Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan pada bulan
November sampai dengan Desember 2011.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (a) Persentase biaya terbesar di
Kabupaten Polewali Mandar terdapat pada tahap pemeliharaan ulat yaitu sebesar
36,8% sedangkan di Kabupaten Enrekang terdapat pada tahap pertenunan yaitu
sebesar 53,8%; (b) Biaya produksi kokon di Kabupaten Enrekang sebesar Rp
24.310/kg, biaya produksi benang sebesar Rp 393.940/kg, biaya produksi kain
ikat sebesar Rp 197.340/lembar, dan biaya produksi kain sarung sebesar Rp
303.440/lembar. Sedangkan biaya produksi kain di Kabupaten Polewali Mandar
sebesar Rp 143.940/lembar; (c) Break even point Kelompok Tani Pallis di
Kabupaten Polewali Mandar adalah sebesar 119 lembar sarung per tahun. Break
even point KUB Sinar Buntu Kurung adalah 2647,15 kg kokon per tahun. Break
even point pemintalan UPT Tekstil adalah 481,5 kg benang per tahun. Break even
point Pertenunan Nenek Mallomo untuk kain ikat sebesar 68 lembar kain ikat per
tahun dan untuk kain sarung sebesar 826 lembar kain sarung per tahun; (d)
Tingkat profitabilitas yang didapatkan oleh Kelompok Tani Pallis sebesar 25,1%
dari biaya produksi, KUB Sinar Buntu Kurung sebesar 43,9%, Pertenunan Nenek
Mallomo untuk kain ikat sebesar 26,7%, sedangkan UPT Tekstil mengalami
kerugian; (e) Nilai ROI untuk usaha persuteraan alam secara terintegrasi di
Kabupaten Polewali Mandar adalah sebesar 3,3%. Usaha persuteraan alam di
Kabupaten Enrekang yang dilakukan secara terpisah pada tahap produksi kokon,
mencapai nilai ROI sebesar 15,7%, pada tahap produksi kain sebesar 6,7%
sedangkan nilai ROI Pada tahap pemintalan menunjukkan nilai yang negatif.
Kata kunci : hasil hutan non kayu, persuteraan alam, biaya produksi, break even
point (BEP), profitabilitas.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Biaya
Produksi Usaha Persuteraan Alam: Studi Kasus di Kabupaten Polewali Mandar
Sulawesi Barat dan Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan adalah benar-benar
hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah
digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2012
Renato
NRP E24070078
ANALISIS BIAYA PRODUKSI USAHA PERSUTERAAN ALAM:
STUDI KASUS DI KABUPATEN POLEWALI MANDAR SULAWESI
BARAT DAN KABUPATEN ENREKANG SULAWESI SELATAN
RENATO
E24070078
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
pada Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Judul Penelitian : Analisis Biaya Produksi Usaha Persuteraan Alam: Studi
Kasus di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat dan
Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan
Nama : Renato
NIM : E24070078
Menyetujui,
Dosen Pembimbing,
Ir. Bintang C.H. Simangunsong, MS, Ph.D
NIP. 19630413 198703 1 004
Mengetahui,
Ketua Departemen Hasil Hutan
Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc
NIP. 1966 0212 199103 1 002
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian ini ialah persuteraan alam, dengan judul Analisis Biaya Produksi Usaha
Persuteraan Alam: Studi Kasus di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat
dan Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan.
Sutera alam merupakan salah satu komoditi hasil hutan bukan kayu yang
bernilai tinggi dan sebagai sumber devisa negara. Hambatan yang dihadapi saat
ini adalah keterbatasan pengetahuan budidaya murbei dan teknik pemeliharaan
ulat sutera yang baik dan benar, masuknya bahan baku impor serta kurangnya
dana untuk investasi. Untuk menghadapi persaingan serta demi kelangsungan
kegiatan persuteraan alam perlu dilakukan analisis biaya dengan harapan dapat
memberi manfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan informasi mengenai usaha
persuteraan alam dan wawasan kepada pembaca mengenai analisis biaya produksi
usaha persuteraan alam
Penulis juga menyadari bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun,
sehingga tulisan ini menjadi lebih baik. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat
bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Bogor, Februari 2012
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 7 Februari 1989 dari ayah Abdul
Muthalib dan ibu Murniati. Penulis merupakan putra kedua dari dua bersaudara.
Pada tahun 2007 penulis lulus dari SMA Negeri 70 Jakarta. Penulis masuk
Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru
(SPMB) pada tahun 2007. Penulis memilih Program Studi Teknologi Hasil Hutan,
Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan. Selanjutnya memilih bagian Bio-
Komposit dengan bidang keahlian Ekonomi Industri Hasil Hutan.
Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi
kemahasiswaan yakni sebagai staf Divisi Eksternal Himpunan Mahasiswa Hasil
Hutan (HIMASILTAN) tahun 2008-2009, Ketua Himpunan Mahasiswa Hasil
Hutan tahun 2009-2010, Panitia Bina Corps Rimbawan (BCR) Fakultas
Kehutanan tahun 2009, Panitia KOMPAK Departemen Hasil Hutan tahun 2009,
dan panitia Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional V tahun 2010. Selain itu penulis
juga pernah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar
Alam Gunung Sawal dan Cagar Alam Pangandaran pada tahun 2009,
melaksanakan Praktek Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat,
Sukabumi dan Kesatuan Pemangkuan Hutan Cianjur, pada tahun 2010. Penulis
juga melakukan Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Profilindah Kharisma,
Mojokerto, Jawa Timur pada tahun 2011.
Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan IPB.
Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Analisis Biaya Produksi Usaha
Persuteraan Alam: Studi Kasus di Kabupaten Polewali Mandar Sulawesi Barat
dan Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan dibimbing oleh Ir. Bintang C.H.
Simangunsong, MS, Ph.D.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
membantu dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. Pada
kesempatan ini, dengan penuh rasa hormat penulis ingin menyampaikan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Ir. Bintang C.H. Simangunsong, MS, Ph.D. atas kesabaran dan
keikhlasan dalam memberikan bimbingan ilmu, waktu, bantuan, arahan dan
nasehat kepada penulis.
2. Ibu Dr. Ir. Noor Farikhah Haneda, M.Si selaku dosen penguji mewakili
Departemen Silvikultur dan Bapak Ir. Jajang Suryana, M.Sc selaku ketua
sidang.
3. Keluarga tercinta: Abdul Muthalib (ayah), Murniati (ibu), dan Sally (kakak)
atas cinta, doa, pengertian dan perhatian yang diberikan kepada penulis.
4. Seluruh staf pengajar dan staf kependidikan di lingkungan Departemen
Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.
5. Bapak Ir. Antonius T. Patandianan, MP selaku kepala Balai Persuteraan
Alam (BPA), Bapak Rinaldo selaku staf BPA, Bapak Salahuddin selaku
koordinator pelaksana BPA Kab. Polewali Mandar, dan Bapak Tamrin
selaku koordinator pelaksana BPA Kab. Enrekang yang telah bersedia
memberikan izin untuk melaksanakan penelitian.
6. Bapak Sahir, Bapak Sukri, Bapak Syamsir, Bapak Baharuddin, Bapak
Arifin, dan Ibu Hj. Nafisah yang telah membimbing serta membantu penulis
dalam melaksanakan penelitian dan pengumpulan data.
7. Teman-teman mahasiswa Departemen Hasil Hutan angkatan 44 yang tidak
bisa disebutkan satu persatu dan khususnya Topik, Punto, Nia, Desi, Ina,
Ridha, Ferry, Djayus, Syamsi, Harisfan, Jauhar, dan Rudi. Terimakasih
untuk kebersamaan yang hangat selama ini.
7. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kehutanan Anggi, Yasser, Adijombang,
Rizki, Rusdi, Arifin, Lembong,
8. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dan mendoakan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah SWT membalas kebaikan semua pihak yang telah membantu
penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Bogor, Februari 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................................ i
DAFTAR TABEL ............................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... iii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Tujuan .............................................................................................. 2
1.3 Manfaat ............................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Persuteraan Alam ................................................................ 3 2.2 Usaha Persuteraan Alam .................................................................. 3 2.3 Biaya Produksi ................................................................................. 8
2.4 Ekonomi Persuteraan Alam ............................................................. 9
BAB III METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 13
3.2 Jenis Data dan Cara Pengumpulan Data ........................................ 13 3.3 Metode Analisis Data ..................................................................... 13 3.4 Sistem Pemasaran dan Dampak Usaha Persuteraan Alam
Terhadap Kesejahteraan Masyarakat ............................................. 18
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Kelompok Tani Pallis .................................................................... 19 4.2 Kelompok Usaha Bersama Sinar Buntu Kurung ........................... 22 4.3 UPT Tekstil Enrekang.................................................................... 25
4.4 Pertenunan Nenek Mallomo .......................................................... 26
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Biaya Produksi Persuteraan Alam ................................................. 29 5.2 Analisis Break Even Point ............................................................. 34 5.3 Analisis Profitabilitas ..................................................................... 35 5.4 Sistem Pemasaran dan Dampak Usaha Persuteraan Alam
Terhadap Kesejahteraan Masyarakat ............................................. 38
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan .................................................................................... 43
6.2 Saran .............................................................................................. 43
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 44
LAMPIRAN ........................................................................................................ 46
ii
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Komposisi faktor yang menyebabkan perilaku makan ulat sutera ................. 5
2. Perkembangan persuteraan alam di Indonesia tahun 2005-2010 ................... 9
3. Nilai dan perkembangan ekspor produk sutera alam Indonesia
tahun 2001-2006 .......................................................................................... 10
4. Jenis data dan pengumpulan data ................................................................ 14
5. Proses dan waktu pemeliharaan ulat sutera dalam satu periode ................. 25
6. Biaya produksi persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar
dan Enrekang ............................................................................................... 31
7. Biaya produksi persuteraan alam berdasarkan tahapan kegiatan di
Kabupaten Polewali Mandar dan Enrekang ................................................ 32
8. Perbandingan analisis biaya produksi persuteraan alam hasil
penelitian tahun 2004 dan 2011 ................................................................. 33
9. Rugi laba usaha persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar
dan Enrekang ............................................................................................... 36
iii
DAFTAR GAMBAR
No. Halaman
1. Siklus hidup ulat sutera (Bombyx mori) berdasarkan dari
www.cdfd.org.in............................................................................................. 6
2. Produksi benang sutera di Indonesia tahun 2005-2010................................ 10
3. Wilayah pengembangan persuteraan alam di Indonesia. ............................. 12
4. Daun beberapa jenis murbei (kiri ke kanan: M. nigra, M. alba, M.
cathayana, M. multicaulis). .......................................................................... 20
5. Pemeliharaan ulat sutera instar II (a) dan ulat sutera instar V (b). ............... 21
6. Tahapan proses pemasakan dan pewarnaan benang. ................................... 22
7. Kebun murbei petani di Desa Mata Allo, Kabupaten Enrekang. ................. 23
8. Macam-macam tempat pengokonan; frame dari bilah bambu (a)
dan seriframe dari plastik (b). ...................................................................... 24
9. Ulat mulai membuat kokon (a) dan kokon yang sudah dipanen(b). ............ 24
10. Tahapan proses pemintalan benang. ............................................................ 26
11. Alat tenun tradisional gedogan (a) dan alat tenun bukan mesin (b). ............ 27
12. Produk kain sarung sutera mandar (a) dan kain tenun ikat (b). ................... 28
13. Alur distribusi pemasaran kain sutera di Kabupaten Polewali
Mandar. ........................................................................................................ 39
14 Alur distribusi persuteraan alam di Kabupaten Enrekang............................ 41
iv
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Investasi, penyusutan, dan bunga modal persuteraan alam di
Kabupaten Polewali Mandar ....................................................................... 47
2. Investasi, penyusutan, dan bunga modal persuteraan alam di
Kabupaten Enrekang ................................................................................... 48
3. Biaya variabel persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar .............. 49
4. Biaya variabel persuteraan alam di Kabupaten Enrekang........................... 50
5. Produksi dan pendapatan usaha persuteraan alam di Kabupaten
Polewali Mandar dan Kabupaten Enrekang ................................................ 51
6. Jumlah dan nilai ekspor sutera Indonesia tahun 2004 – 2010 ..................... 53
7. Jumlah dan nilai impor sutera Indonesia tahun 2004 – 2010 ..................... 55
8. Tanaman murbei untuk sutera alam Indonesia tahun 2005-2010 ............... 57
9. Produksi benang sutera Indonesai tahun 2005-2010 ................................... 58
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Persuteraan alam adalah bagian kegiatan perhutanan sosial yang ditujukan
untuk peningkatan ekonomi kerakyatan, perluasan kesempatan usaha dan kerja,
pemberdayaan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat utamanya
di sekitar kawasan hutan. Kegiatan persuteraan alam (sericulture) terdiri dari
kegiatan budidaya murbei (moriculture), pembibitan ulat sutera, pemeliharaan ulat
sutera dan pengolahan kokon dengan hasil berupa kokon dan benang sutera.
Dalam Sumadiwangsa (2006) disebutkan bahwa, sutera alam merupakan salah
satu komoditi HHBK yang bernilai tinggi dan sebagai sumber devisa negara.
Sutera alam merupakan salah satu komoditi untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri maupun ekspor baik berupa kokon, benang, maupun produk jadi.
Kebutuhan dunia akan benang sutera selalu meningkat setiap tahunnya. Hal
ini dapat dilihat dari produksi sutera alam dunia saat ini sekitar 83.393 ton
sementara kebutuhan dunia sekitar 92.741 ton. Indonesia pada tahun 2009 hanya
dapat memproduksi kokon dan benang sutera sebanyak 152 ton. Hal ini belum
dapat memenuhi kebutuhan industri pertenunan dalam negeri sehingga hal ini
membuka peluang untuk mengembangkan usaha di bidang persuteraan alam.
Salah satu sentra persuteraan alam di Indonesia saat ini adalah provinsi Sulawesi
Selatan dengan persentase produksi hampir 86% dari total produksi nasional. Hal
ini terjadi karena adanya faktor pendukung, diantaranya: (1) konsumsi benang
sutera alam setempat untuk kerajinan dan industri rumah tangga, (2) lahan yang
masih luas dan iklim yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman murbei, (3)
konstruksi rumah masyarakat yang umumnya berbentuk panggung mendukung
untuk pemeliharaan ulat dan pengolahan kokon, (4) pekerjaan masyarakat yang
umumnya sebagai petani (Zainuddin 1997).
Hambatan yang dihadapi dalam usaha persuteraan alam di Indonesia saat ini
adalah keterbatasan pengetahuan budidaya murbei dan teknik pemeliharaan ulat
sutera yang baik dan benar, masuknya bahan baku impor serta kurangnya dana
untuk investasi dan kurangnya pengalaman dalam manajemen pengelolaannya.
2
Perlu adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak dalam perkembangan
persuteraan di Indonesia, mulai dari budidaya hingga ke pemasarannya agar usaha
di bidang sutera dapat memberikan kontribusi terhadap perekonomian
masyarakat.
Maka untuk menghadapi persaingan diperlukan suatu pengaturan dan
pengawasan yang baik dalam kegiatan produksinya, yaitu perencanaan produksi,
pengawasan pembiayaan, penilaian efisiensi, penekanan biaya produksi, dan
penentuan harga jual yang tepat. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan
analisis biaya produksi, yang merupakan komponen penting dalam setiap
pengambilan keputusan perusahaan sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai.
Oleh karena itu, penelitian tentang analisis biaya produksi usaha persuteraan alam
ini diharapkan dapat membantu dalam pengelolaan produksi persuteraan alam dan
tingkat keuntungan yang didapat pengusaha.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menganalisis struktur biaya produksi usaha persuteraan alam yang mencakup
biaya produksi kokon, biaya produksi benang, dan biaya produksi kain sutera.
2. Menghitung break even point usaha persuteraan alam.
3. Menganalisis tingkat profitabilitas usaha persuteraan alam.
1.3 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pengusaha
tentang komponen biaya produksi untuk kepentingan pengelolaan dan
pengendalian biaya, serta memberikan informasi kepada mahasiswa dan
masyarakat tentang proses pembuatan benang sutera dan komponen biaya
produksinya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Persuteraan Alam
Budi daya ulat sutera jenis Bombyx mori (Lepidoptera, Bombycidae) sudah
dikembangkan di negara China sejak 2500 tahun SM, yakni pada era Dinasti Han.
Benang dan kain sutera yang berasal dari ulat jenis ini telah menjadi produk
unggulan yang dibanggakan oleh negara China, sekaligus bagian dari kegiatan
atau budaya masyarakat di negara tersebut. Selain di China, budi daya ulat sutera
B. mori juga sudah berkembang pesat di Jepang (abad ke-2), di India dan Korea
(abad ke-3), di Italia dan Prancis (abad ke-16), serta Inggris (abad ke-17) (Solihin
2010).
Di Indonesia, perkembangan sutera juga sudah lama berlangsung, yakni
dimulai pada abad ke-10. Awalnya, kegiatan perdagangan sutera di Indonesia
dilakukan secara langsung oleh negara China dan India. Hal ini membuat
pemanfaatan sutera mengalami perkembangan di wilayah Nusantara, terutama di
daerah Sulawesi dan berlanjut hingga masa pendudukan Belanda. Sejak tahun
1922 hingga periode pendudukan Jepang, ulat sutera B. mori berkembang baik di
beberapa daerah, terutama pada ketinggian 1000-5000 kaki dpl, misalnya di Garut
(Jawa Barat), Solo (Jawa Tengah), Curup (Bengkulu), dan Pematang Siantar
(Sumatera Utara).
2.2 Usaha Persuteraan Alam
Pada dasarnya kegiatan persuteraan alam adalah kegiatan agroindustri yang
merupakan bagian dari kegiatan perhutanan sosial, terdiri dari beberapa kegiatan
antara lain: budidaya tanaman murbei, pembibitan ulat sutera, pemeliharaan ulat
sutera, pengendalian hama dan penyakit tanaman murbei dan ulat sutera,
pemanenan kokon, pemintalan benang sutera dan pertenunan kain sutera (BPA
2007).
Menurut Saifullah (2004), kegiatan persuteraan alam di Kebun Wanatani
Sutera Cibidin, Sukabumi meliputi tiga tahap yaitu budidaya murbei,
pemeliharaan ulat sutera, dan pemintalan benang. Kegiatan budidaya murbei
4
meliputi tahapan mulai dari pengolahan lahan, penanaman bibit yang dapat berupa
stek, pemeliharaan tanaman, hingga pemanenan daun. Kegiatan budidaya murbei
bertujuan sebagai sumber bahan pakan bagi kegiatan pemeliharaan ulat sutera.
Kegiatan pemeliharaan ulat sutera sendiri dimulai dari persiapan pemeliharaan,
penetasan telur, pemeliharaan ulat kecil, pemeliharaan ulat besar, pengokonan,
hingga pemanenan kokon. Kokon yang sudah dipanen diseleksi terlebih dahulu
baru kemudian direbus sebelum dilakukan pemintalan I (reeling) dan Pemintalan
II (re-reeling).
2.2.1 Budidaya Murbei
Tanaman murbei (Morus sp.) termasuk ke dalam divisi Spermatophyta,
subdivisio Angiospermae, classis Dicotyledonae, ordo Urticalis, familia
Moraceae, genus Morus, species Morus sp. (Samsijah 1974). Tanaman murbei
merupakan perdu atau semak, tetapi ada pula yang merupakan pohon tinggi bila
dibiarkan. Umumnya bercabang banyak, percabangan tegak atau mendatar.
Cabang dan ranting umumnya berbentuk bulat, warna hijau abu-abu, putih agak
coklat ataupun ungu. Bentuk daun oval, ovulus atau sub orbiculair. Tepi daun
bergerigi, bergigi, beringgit, bercangap berlekuk atau tidak. Ujung daun
meruncing. Permukaan atas licin sedikit atau tidak berbulu, berwarna hijau tua
atau suram, sedang permukaan bawah hijau suram, dan kasar. Tangkai daun
umumnya bulat berwarna hijau putih atau ungu. Mempunyai daun penumpu, lekas
gugur dengan meninggalkan bekas. Tumbuhan berumah satu atau dua dan buah
majemuk.
Menurut Katsumata (1972, dalam Samsijah 1974) dikenal beberapa jenis
tanaman murbei, yaitu:
1. Morus nigra Linn.
2. M. alba Linn.
3. M. alba L.var. tartarica
4. M. alba L.var. macrophylla
5. M. multicaulis.
6. M. cathayana.
7. M. australis.
5
Disamping itu juga dijumpai jenis M. bombycis koidz, Morus sp. (sering disebut
jenis x), Morus sp. (berasal dari tengger) dan M. macroura.
Berdasarkan kebutuhan ulat sutera perlu diketahui bahwa untuk memelihara
ulat kecil (stadia 1 – 3) dibutuhkan daun murbei yang masih muda tetapi yang
tidak terlalu lembek, jadi daun daun pucuk apalagi di musim hujan sebaiknya
tidak dipakai. Untuk memelihara ulat besar (stadia 4 – mengokon) dibutuhkan
daun murbei yang cukup tua asal tidak terlalu keras atau kering. Hamamura (2001)
menyatakan bahwa pada daun murbei terdapat attracting factor, biting factor, dan
swallowing factor yang mempengaruhi perilaku makan ulat sutera. Komposisi
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku makan ulat sutera disajikan dalam
Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi faktor yang menyebabkan perilaku makan ulat sutera
Feeding Behaviour Stimulate Substance
Attracting Citral
Biting β-sitosterol
Morin or isoquercitrin
Swallowing Cellulose powder
Supplementary Potassium diposphate
Sucrose
Inositol
Silicasol
Sumber: Hamamura (2001)
2.2.2 Pemeliharaan Ulat sutera
Ulat sutera (Bombyx mori L.) merupakan serangga yang biasa dipelihara
dalam ruangan dan penghasil sutera utama, meliputi 95% produksi sutera dunia.
Sebutan lain adalah ulat sutera murbei karena secara alami hanya makan daun
murbei (Morus spp.) dan sutera yang dihasilkan dikenal sutera alam murbei
(Sunanto 1997 dalam Nurhaedah 2009).
Ulat sutera merupakan serangga dengan metamorfosis sempurna, yaitu
serangga dengan perkembangan sayap terjadi di dalam tubuh dan fase pra dewasa
berbeda dengan fase dewasa baik morfologi ataupun perilaku makan. Secara
keseluruhan siklus hidup yang dilalui ulat sutera meliputi telur, larva (instar),
pupa dan dewasa (imago). Pada masing-masing akhir instar ditandai dengan
pergantian kulit (moulting). Pada fase instar ada lima tahap, yaitu: instar I, instar
6
II, instar III, instar IV, dan instar V. Katsumata (1964 dalam Ekastuti 1994)
memberikan batasan waktu tahapan instar ini sebagai berikut:
1. Instar I lamanya 2 hari 13 jam, dihitung dari saat telur menetas sampai
istirahat I.
2. Instar II lamanya 2 hari 2 jam, dihitung setelah istirahat 20 jam pada
istirahat I.
3. Instar III lamanya 2 hari 14 jam, dihitung setelah istirahat II selama 20 jam.
4. Instar IV lamanya 3 hari 16 jam, dihitung setelah istirahat III yang lamanya
24 jam.
5. Instar V lamanya 8 hari 5 jam, dihitung setelah istirahat IV yang lamanya 1
hari 13 jam. Tahap terakhir ini ditandai dengan ulat mulai tidak mau makan.
Gambar 1 Siklus hidup ulat sutera (Bombyx mori) berdasarkan dari
www.cdfd.org.in.
Lamanya periode hidup ulat sutera mulai saat menetaskan telur sampai masa
membuat kokon sekitar satu bulan dan sangat tergantung pada iklim serta keadaan
lingkungan (Atmosoedarjo et al. 2000 dalam Nurhaedah 2009). Menurut Tazima
(1964), lamanya siklus hidup ulat sutera secara keseluruhan sekitar 55 – 60 hari
7
pada suhu 23 – 25 oC. Siklus hidup ulat sutera (B. mori) secara keseluruhan dapat
dilihat pada Gambar 1.
Menurut Sangaku (1975 dalam Ekastuti 1994), ulat sutera dapat dibagi
berdasarkan atas sifat fisiologis dan ekologisnya, yaitu :
1. Berdasarkan atas voltinismenya (jumlah generasi per tahun), maka akan
didapatkan ulat sutera yang monovoltine, yaitu yang hanya mengalami satu
generasi dalam setahun, atau secara alam telurnya hanya menetas sekali
setahun. Ulat sutera bivoltine yaitu ulat sutera yang mengalami dua generasi
setahun. Dan ulat sutera polivoltine yaitu ulat yang mengalami tiga generasi
atau lebih dalam setahun. Dalam hal ini telurnya dapat menetas setiap saat.
2. Berdasarkan atas moltinismenya (pergantian kulit), terdapat jenis three
molter, yaitu ulat sutera yang mengalami tiga kali pergantian kulit. Jenis
four molter mengalami empat kali pergantian kulit. Dan jenis five molter
mengalami lima kali pergantian kulit.
3. Berdasarkan asalnya, terdapat jenis Jepang yang kupu-kupunya bertelur
banyak, kokon berwarna putih dan bentuknya seperti kacang tanah. Jenis
China kokonnya agak bulat, ada yang berwarna putih, dan kuning kehijauan.
Jenis Eropa kokonnya besar dan berwarna putih. Ulatnya tidak tahan
terhadap iklim panas dan lembab, ukuran telur dan ulatnya panjang dan
periodenya juga panjang. Dan ulat sutera jenis Tropika kokonnya kecil.
Kokon adalah rajutan filamen sutera yang dihasilkan kelenjar sutera
melalui proses insolubisasi yang disebabkan oleh aksi mekanik pengeluaran
cairan sutera dan berfungsi sebagai pelindung saat berlangsungya proses
metamorfosis (Rukaesih et al. 1991 dalam Nurhaedah 2009). Bagian luar kokon
berupa serat sutera yang membungkus kokon secara rapi dengan warna dan
kehalusannya sangat ditentukan oleh jenis serangga penghasil sutera dan bahan
pakannya (Lee 2000; Sunanto 1997 dalam Nurhaedah 2009).
Produk dari kokon yang sangat penting adalah serat atau filamen sutera.
Serat sutera dihasilkan oleh sepasang kelenjar sutera (silk gland) dengan bagian-
bagian seperti : 1. Bagian depan merupakan saluran pengeluaran kelenjar yang
terbuka pada ujungnya tepat di bawah mulut larva; 2. bagian tengah, bagian ini
sebagai penghasil zat warna yang dibentuk bersama serisin yang berfungsi
sebagai perekat dua serat paralel dengan proporsi 25 % dari bobot serat dan
bersifat mudah larut dalam air panas; 3. bagian belakang kelenjar, sebagai
penghasil serat sutera yang disebut fibroin merupakan bagian utama serat filamen
dengan proporsi 75 % dari bobot total serat dan tidak larut dalam air panas
(Tazima 1978 dalam Nurhaedah 2009).
8
2.2.3 Pemintalan
Pemintalan merupakan suatu proses untuk melepas serat sutera dari kokon
dan menyayatkannya untuk menghasilkan benang sutera dengan menggunakan
alat pintal. Alat pintal yang digunakan dalam industri pemintalan benang sutera
alam terdiri dari alat pintal tradisional, alat pintal semi mekanis, dan alat pintal
otomatis (Bachtiar 1991 dalam Saifullah 2004). Tahapan pengolahan kokon
menjadi benang sutera mentah (rawsilk) yaitu: 1. pengeringan, 2. pemilahan, 3.
pemasakan, 4. pemintalan, 5. pemintalan ulang, 6. penjahitan, 7. pengujian, 8.
penumpukan dan pengemasan (Jaya 2003).
Menurut Jaya (2003), mesin pintal (mesin reeling) ada 3 macam yaitu mesin
pintal otomatis untuk kokon normal, mesin pintal duppion untuk kokon rangkap,
dan mesin pintal multi untuk kokon cacat ringan. Mesin pintal multi dan mesin
pintal otomatis dalam memintal kokon memiliki langkah yang sama yaitu sebagai
berikut: 1. pemasakan, 2. pemilihan, 3. penyikatan, 4. jetbort, 5. button, 6. pulley,
7. beam, 8. guide, 9. reeling. Perbedaan kedua mesin ini hanya terletak pada
penyikatan kokon untuk mencari ujung benang. Pada mesin multi pekerjaan
tersebut dilakukan secara manual, sedangkan pada mesin otomatis dilakukan
dengan menggunakan mesin (secara otomatis).
2.3 Biaya Produksi
Saifullah (2004) menyatakan bahwa, struktur biaya usaha persuteraan alam
terdiri dari biaya produksi kokon dan biaya produksi benang. Biaya produksi
kokon meliputi biaya pemeliharaan kebun murbei dan biaya pemeliharaan ulat.
Sedangkan biaya produksi benang meliputi biaya pemintalan dan biaya pembelian
kokon. Biaya produksi kokon di Kabupaten Garut sebesar Rp. 43.840/kg
sedangkan di Kabupaten Sukabumi Rp 32.550/kg. Untuk biaya produksi benang
di Kabupaten Garut sebesar Rp. 193.880/kg sedangkan di Kabupaten Sukabumi
Rp. 362.989/kg.
Berdasarkan data dari Balai Persuteraan Alam pada tahun 2010, Harga telur
ulat sutera F1 produksi KPSA Perum Perhutani Soppeng saat ini adalah Rp.
80.000 per boks, sementara produksi PSA Candiroto Rp. 40.000 dengan jumlah ±
25.000 butir per boks. Harga kokon sebagai bahan baku proses pemintalan
9
benang, saat ini berkisar antara Rp. 20.000 – Rp. 27.000 per kilogram. Sedangkan
untuk harga benang sutera saat ini berkisar antara Rp. 225.000 – Rp. 250.000 per
kilogram.
2.4 Ekonomi Persuteraan Alam
Perkembangan persuteraan alam di Indonesia mulai tahun 2005-2010 dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Perkembangan persuteraan alam di Indonesia tahun 2005-2010
Tahun Tanaman
Murbei (Ha)
Produksi
Kokon (Kg)
Produksi
Benang (Kg)
Petani Sutera
(KK)
2005 4.573,00 418.276,00 58.949,00 2.911
2006 3.660,55 338.593,55 46.573,68 3.951
2007 3.544,07 469.819,27 65.194,50 3.339
2008 4.658,05 272.827,16 36.864,52 5.714
2009 3.766,10 132.792,26 19.212,23 8.867
2010 2.063,82 161.409,58 20.337,50 3.508
Sumber : Statistik Kehutanan Ditjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan
Sosial (2010) dan Statistik Pengembangan Persuteraan Alam (2011)
Volume impor sutera alam dari berbagai negara produsen sutera seperti
China, India, Jepang, Korea dan Brazil lebih banyak pada hasil budidaya ulat
sutera (produksi kokon) dan benang sutera. Kenyataan ini sangat bertolak
belakang dengan potensi sumber daya alam yang menunjang bagi pengembangan
budidaya murbei dan pemeliharaan kokon di Indonesia. Dengan demikian pasar
bagi pemenuhan kebutuhan kokon dan benang dalam negeri masih terbuka.
Sedangkan untuk volume ekspor banyak pada produksi kain dan barang jadi. Hal
tersebut menunjukkan masih besarnya respon pasar luar negeri untuk produk-
produk hilir persuteraan alam (Yusup 2009).
Peningkatan permintaan produk sutera alam dunia merupakan peluang bagi
Indonesia untuk memproduksi sutera alam yang lebih optimal. Ekspor sutera alam
Indonesia saat ini telah mencakup berbagai negara, antara lain : Malaysia, Jepang,
Turki, Yunani, Jerman, Amerika dan Spanyol. Nilai dan perkembangan ekspor
sutera alam di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.
10
Tabel 3 Nilai dan perkembangan ekspor produk sutera alam Indonesia tahun
2001-2006
Tahun Nilai Ekspor (US $) Perkembangan (%)
2001 44.274 -
2002 241.009 444,36
2003 275.993 14,52
2004 365.844 32,56
2005 1.866.493 410,19
2006 1.972.568 5,68
Sumber : Badan Pusat Statistik (2007)
Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai ekspor produk sutera alam di Indonesia
dari tahun 2001 sampai tahun 2006 mengalami peningkatan. Nilai ekspor dari
tahun 2001 sampai dengan tahun 2006 berkembang positif. Persentase
perkembangan nilai ekspor terbesar terjadi pada periode tahun 2002 dan 2005.
Walaupun demikian, secara keseluruhan nilai ekspor produk sutera alam di
Indonesia meningkat, hal ini berarti peluang bisnis pesuteraan alam di Indonesia
masih menjanjikan.
Gambar 2 Produksi benang sutera di Indonesia tahun 2005-2010.
Berdasarkan data produksi benang sutera dari Direktorat Jenderal Bina
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial pada tahun 2005-2010.
Penghasil benang sutera di indonesia dari yang terbesar adalah berturut-turut
provinsi Sulawesi Selatan dengan total jumlah produksi 130,3 ton, Jawa Tengah
11,7 ton, Jawa Barat 6,5 ton, dan Sulawesi Utara 3,6 ton, Berdasarkan data
tersebut dapat dilihat pada Gambar 2, bahwa provinsi Sulawesi Selatan
menyumbang hampir 83% produksi benang sutera dari total produksi nasional
82,83%
7,44%
4,12%
2,31% 3,31%
Sulawesi Selatan
Jawa Tengah
Jawa Barat
Sulawesi Utara
others
11
pada tahun 2005-2010. Tingginya produksi benang sutera di Sulawesi Selatan
karena sejak tahun 1970 telah diadakan proyek pembinaan persuteraan alam.
Produksi benang sutera dari setiap provinsi di Indonesia secara rinci dapat dilihat
pada Tabel Lampiran 9.
Wilayah pengembangan persuteraan alam di Indonesia yang dilakukan oleh
Balai Persuteraan Alam Kementerian Kehutanan telah mencakup 16 provinsi,
seperti ditunjukkan pada Gambar 3. Saat ini provinsi yang mengelola persuteraan
alam mulai dari hulu (penanaman murbei dan pemeliharaan ulat sutera) hingga
hilir (industri pemintalan dan industri pertenunan) hanya terdapat di lima provinsi
yaitu, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Bali, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Hal
ini merupakan peluang dan potensi dari setiap provinsi untuk mengembangkan
persuteraan alam mulai dari sektor hulu hingga hilir, mengingat kebutuhan benang
sutera secara nasional cenderung meningkat dan masih banyak bergantung dari
produk benang sutera impor.
12
Gambar 3 Wilayah pengembangan persuteraan alam di Indonesia.
BAB III
METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November-Desember 2011 di
Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat dan Kabupaten Enrekang, Sulawesi
Selatan.
3.2 Jenis Data dan Cara Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data
sekunder. Data primer dikumpulkan dengan cara pengukuran langsung dan
wawancara di lapangan, sementara data sekunder dikumpulkan dengan cara
pencatatan data yang tersedia di perusahaan atau pengutipan dari laporan dan
literatur yang berkaitan. Secara rinci jenis dan metode pengumpulan data dapat
dilihat pada Tabel 4.
3.3 Metode Analisis Data
Analisis yang dilakukan adalah analisis biaya produksi per tahapan produksi,
analisis break event point, analisis profitabilitas, dan analisis sistem pemasaran
produk dan dampak usaha persuteraan alam terhadap kesejahteraan masyarakat.
3.3.1 Analisis Biaya Produksi
Biaya produksi dalam penelitian ini terdiri dari biaya variabel dan biaya
tetap. Biaya variabel mencakup biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membeli
bahan baku, membayar upah, membeli bahan penolong, dan biaya energi.
Besarnya biaya variabel dihitung dengan cara mengalikan kebutuhan bahan baku
atau tenaga kerja atau bahan penolong per unit produk dengan harganya masing-
masing seperti yang disajikan di bawah ini.
14
Tabel 4 Jenis data dan pengumpulan data
Tahapan
Produksi Jenis Data Data
Cara
Pengumpulan data
Budidaya
Murbei
Data Primer - Tahapan proses budidaya murbei
serta jenis dan jumlah peralatan
yang digunakan
- Pengamatan di
lapangan
- Biaya dan kebutuhan bahan baku
(pengadaan stek)
- Wawancara
- Biaya dan kebutuhan bahan
pelengkap
- Wawancara
- Upah tenaga kerja - Wawancara
Data Sekunder - Luas area kebun - Data perusahaan
- Produksi daun per ha - Data perusahaan
Pemeliharaan
Ulat Sutera
Data primer - Tahapan proses pemeliharaan ulat
sutera serta peralatan dan
perlengkapan yang digunakan
- Pengamatan di
lapangan
- Biaya dan kebutuhan bahan baku
(pengadaan bibit ulat sutera)
- Wawancara
- Biaya dan kebutuhan bahan
pelengkap
- Wawancara
- Upah tenaga kerja - Wawancara
Data Sekunder - Keadaan umum perusahaan - Data perusahaan
- Jumlah daun untuk pakan - Data perusahaan
- Jumlah boks ulat yang dipelihara - Data perusahaan
- Jumlah produksi kokon - Data perusahaan
- Harga jual kokon - Data perusahaan
Pemintalan
Benang
Data Primer - Tahapan proses pemintalan
benang serta peralatan dan
perlengkapan yang digunakan
- Pengamatan di
lapangan
- Biaya dan kebutuhan bahan baku
(biaya pembelian kokon)
- Wawancara
- Biaya dan kebutuhan bahan
pelengkap
- Wawancara
- Upah tenaga kerja - Wawancara
- Kegiatan pemasaran - Wawancara
Data sekunder - Keadaan umum perusahaan - Data perusahaan
- Jenis, jumlah, dan lama masa
pakai mesin
- Data perusahaan
- Volume produksi - Data perusahaan
- Harga jual produk - Data perusahaan
Pertenunan Data Primer - Tahapan proses pertenunan serta
peralatan dan perlengkapan yang
digunakan
- Pengamatan di
lapangan
- Biaya dan kebutuhan bahan baku
(biaya pembelian benang)
- Wawancara
- Biaya dan kebutuhan bahan
pelengkap
- Wawancara
- Upah tenaga kerja - Wawancara
- Kegiatan pemasaran - Wawancara
Data Sekunder - Keadaan umum perusahaan - Data perusahaan
- Jenis dan jumlah produk - Data perusahaan
- Jenis, jumlah, dan lama masa
pakai mesin
- Data perusahaan
- Volume produksi - Data perusahaan
- Harga jual produk - Data perusahaan
15
Biaya kebutuhan bahan baku bibit ulat sutera yang dipakai oleh petani
dihitung dengan cara pada persamaan 1 sebagai berikut.:
(1)
Dimana: B1 = Biaya bahan baku bibit ulat sutera (Rp/kg).
a = Kebutuhan bibit ulat sutera (box/kg).
H = Harga bibit ulat sutera (Rp/boks).
Sistem kerja dilakukan dengan sistem borongan dengan pengendalian
langsung dari pengawas produksi. Perhitungan biaya untuk gaji dan upah untuk
setiap kilogram produksi dihitung dengan cara:
Karyawan kontrak:
(2)
Dimana: B2 = Biaya upah langsung (Rp/kg).
ULj = Upah langsung (Rp/HOK).
HOK = Hari orang kerja (HOK/kg).
Karyawan tetap:
(3)
Dimana: B3 = Biaya untuk gaji dan upah karyawan tetap (Rp/kg).
U = Gaji dan upah yang dikeluarkan setiap bulan (Rp/bulan).
Q = Rata-rata produksi (kg/bulan).
Sedangkan biaya tetap mencakup biaya penyusutan, bunga modal dan
asuransi dari mesin-mesin peralatan, sarana dan prasarana yang digunakan dalam
proses produksi. Biaya tetap ini juga mencakup pajak dan pembebanan lainnya.
Cara penghitungan besarnya biaya tetap disajikan di bawah ini.
Besarnya biaya penggunaan mesin-mesin dan peralatan untuk setiap
kilogram produk dihitung dengan cara:
16
(4)
Dimana: B4 = Biaya penggunaan mesin-mesin dan peralatan (Rp/kg).
De = Depresiasi dari mesin-mesin dan peralatan ke-e (Rp/bulan).
Me = Biaya bunga modal dari mesin-mesin dan peralatan ke-e
(Rp/bulan).
r = Bunga dalam persen per tahun
e = 1,2, ..., 1; Jenis mesin-mesin dan peralatan yang digunakan
dalam proses produksi.
Q = Rata-rata produksi (kg/bulan).
Besarnya penyusutan dihitung dengan cara:
(5)
Dimana: De = Depresiasi dari mesin-mesin dan peralatan ke-e (Rp/bulan).
Ae = Harga beli dari mesin-mesin dan peralatan ke-e (Rupiah).
Te = Masa pakai dari mesin-mesin dan peralatan ke-e (bulan).
Sedangkan untuk bunga modal dapat dihitung dengan rumus:
(6)
Dimana: Me = Bunga modal dari mesin-mesin dan peralatan ke-e (Rp/bulan).
Ae = Harga beli dari mesin-mesin dan peralatan ke-e (Rupiah).
Te = Masa pakai dari mesin-mesin dan peralatan ke-e (bulan).
r = Tingkat bunga (%/bulan).
3.3.2 Analisis Break Even Point
Break Even Point adalah suatu kondisi dimana suatu usaha tidak
memperoleh keuntungan tetapi juga tidak mengalami kerugian atau kondisi
17
imbang antara penerimaan dan biaya-biaya (Nugroho 2002). BEP dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut :
(7)
Dimana: Q = Produksi titik impas, dalam satuan unit produksi
P = Harga jual per unit produksi
FC = Biaya tetap
VC = Biaya Variabel
3.3.3 Analisis Profitabilitas
Analisis profitabilitas dilakukan untuk melihat kemampuan perusahaan
memperoleh laba dan kelayakan usaha persuteraan alam. Kemampuan perusahaan
memperoleh laba dilihat dari nilai Return on Investment (ROI) yang dihasilkan.
Semakin besar nilai ROI, maka semakin besar pula laba bersih yang mampu
dihasilkannya. ROI dihitung dengan menggunakan rumus pada persamaan 8.
(8)
Dimana : ROI = Return on investment (%);
NI = Laba bersih perusahaan per tahun (Rp/tahun); dan
AV = Semua aset / modal yang dimiliki perusahaan (Rp).
18
3.4 Sistem Pemasaran dan Dampak Usaha Persuteraan Alam Terhadap
Kesejahteraan Masyarakat
Analisis sistem pemasaran produk dilakukan secara deskriptif dengan cara
melihat rantai pemasaran produk tersebut mulai dari produsen hingga ke
konsumen, sedangkan analisis dampak usaha persuteraan alam terhadap
masyarakat dilakukan untuk mengetahui manfaat keberadaan usaha persuteraan
alam bagi masyarakat dari segi tingkat pendapatan dan penyerapan tenaga kerja.
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
Kegiatan persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar dilakukan secara
terintegrasi oleh kelompok tani di Desa Pallis mulai dari pemeliharaan murbei
sampai pertenunan. Kegiatan persuteraan alam di Kabupaten Enrekang dilakukan
secara terpisah, kegiatan pemeliharaan murbei dan pemeliharaan ulat sutera
dilakukan oleh kelompok tani di Desa Mata Allo kemudian kokon yang dihasilkan
dibawa ke UPT Tekstil Enrekang yang terletak di Kelurahan Kalosi untuk dipintal
menjadi benang. Benang sutera yang dihasilkan selanjutnya dijual kepada
pengusaha pertenunan yang lokasinya berada di luar Kabupaten Enrekang seperti
usaha pertenunan Nenek Mallomo yang terletak di Kabupaten Sidrap.
4.1 Kelompok Tani Pallis
Kegiatan usaha persuteraan alam yang dilakukan oleh Kelompok Tani Pallis
di Desa Pallis sudah berlangsung sejak tahun 1960-an. Desa Pallis terletak di
Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Desa Pallis
berada pada ketinggian 250-300 mdpl. Sumber mata pencaharian masyarakat di
desa ini antara lain beternak, berkebun kakao, dan memelihara ulat sutera.
Kegiatan persuteraan alam sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat di desa
ini karena sarung mandar yang dihasilkan merupakan salah satu tradisi adat suku
mandar yang memang berasal dari daerah ini.
4.1.1 Budidaya Murbei
Daun tanaman murbei merupakan satu-satunya pakan bagi ulat sutera jenis
B. mori. Bibit tanaman murbei yang ditanam oleh petani didapat dari kebun bibit
murbei yang terletak di Desa Tammangalle, Kecamatan Balanipa. Tanaman
murbei yang dibudidayakan oleh petani di Desa Pallis adalah jenis M. cathayana,
M. nigra, dan M. multicaulis. M. cathayana memiliki bentuk daun berlekuk
dengan ketebalan daun yang tipis dan warnanya hijau muda. M. nigra dikenal juga
dengan nama murbei hitam, ujung daunnya lancip dan ukurannya lebih kecil
dibanding dengan murbei jenis lain. M. multicaulis dikenal dengan nama murbei
20
besar karena ukuran daunnya yang besar dan bentuknya agak membulat. M.
multicaulis banyak ditanam oleh petani karena ukuran daunnya yang besar dan
lebar dibandingkan kedua jenis diatas sehingga produksi daunnya lebih tinggi.
Sumber: Balai Persuteraan Alam
Gambar 4 Daun beberapa jenis murbei (kiri ke kanan: M. nigra, M. alba, M.
cathayana, M. multicaulis).
Pemeliharaan kebun murbei yang dilakukan oleh petani berupa pemupukan
dan pemangkasan tanaman murbei. Pemupukan bertujuan untuk meningkatkan
kandungan zat hara dalam tanah di sekitar tanaman murbei. Pupuk yang
digunakan oleh petani adalah pupuk organik yang berupa pupuk kandang dan
pupuk anorganik yang berupa pupuk urea. Setiap selesai periode pemeliharaan
ulat, tanaman murbei dipangkas dengan ketinggian 100cm dari atas tanah.
Pemangkasan tanaman murbei bertujuan untuk membentuk tanaman dan
mengatur produksi daun. Apabila tanaman murbei tidak dipangkas akan
menyulitkan dalam proses pengambilan daun karena tanaman akan tumbuh tinggi.
4.1.2 Budidaya Ulat Sutera
Kegiatan budidaya ulat sutera (sericulture) bertujuan untuk memproduksi
kokon. Ulat sutera yang dipelihara oleh petani merupakan jenis B. mori. Bibit ulat
yang dipelihara berasal dari Pusat Pembibitan Ulat Sutera (PPUS) Perum
Perhutani di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan seharga Rp 80.000 per boks
dengan jumlah telur ulat sebanyak 25.000 telur per boks. Tahapan pemeliharaan
ulat dibagi menjadi dua yaitu pemeliharaan ulat kecil (Instar I-III) dan
pemeliharaan ulat besar (Instar IV-V). Tahap pemeliharaan ulat kecil dilakukan di
unit pemeliharaan ulat kecil atau kandang ulat dengan menggunakan rak
pemeliharaan, sedangkan pada tahap pemeliharaan ulat besar petani kemudian
memindahkan ulat mereka untuk dipelihara di kolong rumah masing-masing. Ulat
yang akan mengokon selanjutnya akan dipindahkan ke alat pengokonan yang
21
berupa mayang kelapa. Lama waktu pemeliharaan ulat hingga panen kokon
kurang lebih 30 hari.
(a) (b)
Gambar 5 Pemeliharaan ulat sutera instar II (a) dan ulat sutera instar V (b).
4.1.3 Pemintalan Benang
Kokon yang telah dipanen selanjutnya siap untuk dipintal menjadi benang
sutera. Alat pemintal benang sutera yang banyak digunakan oleh petani adalah
alat pintal tradisional yang masih diputar dengan tangan. Sebelum dipintal kokon
direndam dulu dalam air panas. Untuk mencari ujung benang biasanya petani
menggunakan bambu ataupun sikat. Tiap benang biasanya terdiri dari 10-12 serat
kokon. Serat tersebut dimasukkan ke penyaring atau mangkok, kemudian ke
peluncur, selanjutnya ke tempat penggulung benang (haspel). Benang sutera yang
sudah mengumpul di haspel kemudian dikeringanginkan dan diambil dari haspel.
4.1.4 Pertenunan
Pertenunan merupakan tahap produksi setelah pemintalan. Sebelum ditenun
benang sutera perlu melalui tahapan pemasakan dan pewarnaan terlebih dahulu.
Proses pemasakan benang sutera menggunakan bahan berupa sabun netral dan
soda abu yang bertujuan untuk menghilangkan serisin yang mungkin masih
melekat pada benang. Setelah dimasak benang direndam di dalam larutan tawas
selama 24 jam dengan tujuan agar pori-pori benang terbuka (pemordanan) dan
siap untuk proses pewarnaan. Proses pewarnaan benang sutera yang dilakukan
oleh petani menggunakan zat pewarna alam. Zat pewarna alam didapat dari
ekstraksi tumbuhan yang mengandung zat warna seperti kayu secang (Caesalpinia
sappan) untuk warna merah, daun mangga (Mangifera indica) untuk warna
22
kuning, dan kulit buah kakao (Theobroma cacao) untuk menghasilkan warna
coklat. Benang sutera yang sudah dicelup dalam pewarna alam selanjutnya
direndam dalam air yang diberi asam cuka dengan tujuan untuk menguatkan
warna. Setelah itu benang dibilas dengan air bersih dan diangin-anginkan hingga
kering. Benang yang sudah diberi warna selanjutnya ditenun dengan
menggunakan alat tenun tradisional (gedogan) untuk dijadikan kain sarung.
Tahapan proses pemasakan dan pewarnaan benang dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Tahapan proses pemasakan dan pewarnaan benang.
4.2 Kelompok Usaha Bersama Sinar Buntu Kurung
Desa Mata Allo terletak di Kecamatan Alla, Kabupaten Enrekang pada
ketinggian 800-1500 mdpl, curah hujan 1500 mm/tahun dan suhu 20oC. Kegiatan
persuteraan alam di Desa Mata Allo sudah dilakukan mulai dari tahun 1980-an
dan merupakan mata pencaharian utama para petani. Kegiatan usaha persuteraan
alam dilakukan secara berkelompok. Jumlah kelompok usaha bersama ulat sutera
yang terdapat di Desa Mata Allo berjumlah enam kelompok dengan jumlah
anggota dari masing-masing kelompok berkisar antara 20-40 orang. Kelompok
Usaha Bersama (KUB) Sinar Buntu Kurung merupakan salah satu kelompok
Pemasakan
Pemordanan
Pencucian
Persiapan Bahan
Pewarna Alam
Ekstraksi
Penyaringan
Pencelupan
Fiksasi
Perendaman
Penyabunan
Pencucian
23
usaha persuteraan alam yang terdapat di Desa Mata Allo. KUB Sinar Buntu
Kurung terletak di Dusun To’collo dan diketuai oleh Pak Sukri. Kegiatan
pemeliharaan ulat sutera di Desa Mata Allo dalam setahun rata-rata bisa sampai
lima kali periode pemeliharaan, hal ini tergantung dari kondisi luasan lahan
tanaman murbei yang dimiliki oleh petani.
Gambar 7 Kebun murbei petani di Desa Mata Allo, Kabupaten Enrekang.
Kegiatan pemeliharaan ulat sutera meliputi kegiatan pemeliharaan tanaman
murbei sebagai sumber pakan, pemeliharaan ulat, hingga pemanenan kokon.
Tanaman murbei yang ditanam oleh petani di Desa Mata Allo ada 2 jenis yaitu M.
alba dan M. indica. M. alba dikenal dengan nama murbei buah, sifat yang
mencolok dari jenis ini adalah ruas batangnya yang pendek dan bentuk daun
seperti jenis M. nigra. Kebanyakan petani di Desa Mata Allo lebih memilih untuk
menanam jenis M. indica karena daunnya lebih lembut sehingga disukai oleh ulat.
Kegiatan pemeliharaan tanaman yang dilakukan oleh petani antara lain
pemangkasan, pembersihan gulma, pemupukan, penyemprotan insektisida, dan
pemberian pupuk daun. Pemangkasan tanaman murbei yang dilakukan berupa
pangkasan rendah dengan ketinggian 5-10cm dari permukaan tanah, setelah
dipangkas selanjutnya adalah pembersihan gulma dengan menyemprotkan
herbisida. Untuk mengembalikan zat hara yang terkandung dalam tanah perlu
dilakukan pemupukan. Pupuk yang diberikan oleh petani berupa pupuk anorganik
yaitu pupuk urea dan TSP. Pemeliharaan tanaman selanjutnya adalah
pengendalian hama dengan penyemprotan insektisida dan pemberian pupuk daun
untuk memicu pertumbuhan produksi daun.
24
(a) (b)
Gambar 8 Macam-macam tempat pengokonan; frame dari bilah bambu (a) dan
seriframe dari plastik (b).
Pemeliharaan ulat sutera oleh petani di Desa Mata Allo ada tiga jenis yang
pertama bibit yang berasal dari Perum Perhutani Kabupaten Soppeng, Sulawesi
Selatan, kedua bibit yang berasal dari PPUS Candiroto, Jawa Tengah, dan yang
ketiga bibit impor yang berasal dari negara Cina. Bibit ulat sutera dikemas dalam
boks dengan jumlah telur perboksnya 25.000 butir (100 induk). Bibit ulat sutera
diterima oleh petani paling lambat 3 hari sebelum jadwal penetasan yang tertera
pada boks, yaitu tanggal 1 setiap bulannya. Ciri-ciri telur ulat sutera yang mau
menetas adalah berubahnya warna telur dari kuning menjadi biru hingga berwarna
keabu-abuan.
(a) (b)
Gambar 9 Ulat mulai membuat kokon (a) dan kokon yang sudah dipanen (b).
Lama waktu yang dibutuhkan dalam satu kali pemeliharaan rata-rata 30
hari. Tahap penetasan dan pemeliharaan ulat kecil (Instar I-III) dilakukan selama
15 hari sedangkan pemeliharaan ulat besar (Instar IV-V) sampai panen kokon
menghabiskan waktu 15 hari. Tahapan proses pemeliharaan ulat sutera dapat
25
dilihat pada Tabel 5. Setelah sekitar lima hari sejak ulat dipindahkan ke tempat
pengokonan, kokon sudah dapat dipanen. Apabila kokon terlalu cepat dipanen,
pupa masih terlalu muda sehingga mudah pecah dan mengakibatkan kokon
menjadi kotor. Sebaliknya apabila pemanenan terlambat, pupa yang ada dalam
kokon akan berubah menjadi kupu-kupu dan keluar dengan merusak kulit kokon.
Tabel 5 Proses dan waktu pemeliharaan ulat sutera dalam satu periode
Hari ke- Tahapan Keterangan
1-2 Penetasan telur - Dilakukan di kotak penetasan
3-6 Instar I - Daun untuk pakan berasal dari pucuk 1-2
7 Tidur - Pakan dihentikan
- Setelah bangun ditaburi kapur sesaat sebelum makan
8-10 Instar II - Daun untuk pakan berasal dari pucuk 3-5
11 Tidur - Pakan dihentikan
- Setelah bangun ditaburi kapur sesaat sebelum makan
12-14 Instar III - Daun untuk pakan berasal dari pucuk 6-7
15 Tidur - Pakan dihentikan
- Dipindah ke Unit Pemeliharaan Ulat Besar
16-19 Instar IV - Daun untuk pakan diberikan dengan batangnya
20 Tidur - Pakan dihentikan
- Setelah bangun ditaburi kapur sesaat sebelum makan
21-25 Instar V - Daun untuk pakan diberikan dengan batangnya
- Hari ke-5 ulat dipindah ke alat pengokonan
26-29 Mengokon - Pada alat pengokonan yang berupa anyaman bambu
30 Panen Kokon - Dipungut dan dibersihkan bila ada kotoran yang
menempel
Sumber: hasil wawancara dan pengamatan di lapangan
4.3 UPT Tekstil Enrekang
UPT Tekstil Enrekang merupakan usaha pemintalan binaan Dinas
Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Sulawesi Selatan. UPT Tekstil Enrekang
terletak di dusun To’banga, Kelurahan Kalosi, Kecamatan Alla, Kabupaten
Enrekang. Usaha ini membeli hasil produksi kokon dari kelompok usaha bersama
yang ada disekitar Kelurahan Kalosi dan Desa Mata Allo sebagai bahan baku
pemintalan benang sutera.
Kokon yang baru didatangkan perlu diberi perlakuan pendahuluan dengan
dimasukkan kedalam oven pengering. Proses pengeringan ini bertujuan untuk
26
mematikan pupa yang ada didalam kokon tersebut sehingga kokon lebih awet dan
tahan dalam penyimpanan. Kokon dikeringkan selama kurang lebih 2 jam di oven
pengering dengan suhu 100oC. Selanjutnya kokon direbus dalam air panas untuk
menghilangkan serisin yaitu lapisan luar dari serat sutera, sehingga serat inti
bagian dalam (fibroin) mudah keluar dan terpisah menjadi lembaran-lembaran
benang sutera.
Gambar 10 Tahapan proses pemintalan benang.
Pemintalan (reeling) merupakan proses penyatuan filamen dari kokon untuk
dipintal menjadi benang sutera. Proses pemintalan di UPT Tekstil Enrekang
menggunakan mesin pintal semi tradisional. Reeling adalah pemintalan awal dari
kokon untuk digulung pada gulungan kecil atau haspel. Setelah benang terkumpul
dalam haspel, Tahap selanjutnya dilakukan pemintalan ulang (rereeling) yang
bertujuan untuk memindahkan benang sutera yang sudah dipintal dari reel dengan
keliling yang lebih kecil ke reel yang lebih besar. Hasil rereeling disebut juga
dengan benang rawsilk. Selanjutnya benang dikeluarkan dari gulungan besar
untuk dikeringanginkan lalu kemudian dikemas untuk siap dipasarkan. Alur
proses produksi benang sutera secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 10.
4.4 Pertenunan Nenek Mallomo
Pertenunan Nenek Mallomo terletak di Desa Carawali, Kecamatan
Wattampulu, Kabupaten Sidrap. Usaha Pertenunan Nenek Mallomo merupakan
kelompok usaha bersama binaan Disperindag Kabupaten Sidrap. Kelompok usaha
bersama ini berdiri sejak tahun 1983 dan saat ini diketuai oleh Hj. Nafisah. Usaha
pertenunan ini sebagai salah satu konsumen benang sutera hasil pintalan UPT
Tekstil Enrekang. Jenis produk utama yang dihasilkan ada dua yaitu, kain sarung
sutera bugis dan kain tenun ikat.
Pertenunan merupakan pembuatan kain dari bahan baku benang sutera
dengan menggunakan alat tenun. Pertenunan sutera di pertenunan nenek mallomo
Penyortiran Kokon Pengeringan Kokon Perebusan Kokon
Penggulungan I Penggulungan II Pengeringan Benang Pengepakan
27
menggunakan dua jenis alat tenun yaitu alat tenun tradisional (gedogan) dan alat
tenun bukan mesin (ATBM). Pada ATBM terdapat dua benang utama yaitu
benang lungsi yang dipasang secara vertikal dan benang pakan yang dipasang
secara horizontal.
(a) (b)
Gambar 11 Alat tenun tradisional gedogan (a) dan alat tenun bukan mesin (b).
Proses pembuatan kain ikat terdiri dari pembuatan benang pakan dan
benang lungsi. Tahap pertama pembuatan benang pakan untuk tenun kain ikat
adalah dengan pemaletan. pemaletan merupakan kegiatan menggulung benang
pakan pada gulungan palet dengan menggunakan alat kincir secara manual.
Gulungan palet adalah gulungan benang pakan yang berukuran lebih kecil dari
gulungan kelos yaitu berdiameter satu cm. Kemudian benang sutera yang sudah
berada dalam gulungan palet diatur pada rak benang untuk kemudian disejajarkan.
Setelah sejajar selanjutnya benang diikat pada tiap-tiap bagian sesuai dengan
motif yang diinginkan. Setelah proses pengikatan selanjutnya pemberian warna
atau pencoletan. Bagian yang terikat tidak akan terkena warna sehingga ketika
ditenun akan memberikan motif. Setelah pewarnaan benang dikeringkan untuk
selanjutnya kembali digulung pada gulungan kecil untuk dimasukkan kedalam
pistol kayu sebagai benang pakan.
Proses pembuatan benang lungsi adalah dengan pengelosan atau
penggulungan benang lungsi pada gulungan kelos. Gulungan kelos ini merupakan
gulungan benang lungsi yang berdiameter dua cm. Pengelosan dilakukan secara
manual dengan tangan menggunakan alat kincir yang diputar. Benang sutera yang
berada dalam gulungan kelos selanjutnya digintir pada mesin twist. Proses
selanjutnya adalah pencelupan benang sutera pada bahan pewarna. Bahan
28
pewarna yang digunakan merupakan zat warna asam (eronyl). Setelah diwarna
benang kembali dipalet untuk kemudian diatur pada rak benang. Kemudian proses
selanjutnya adalah penghanian yaitu kegiatan memasukkan dan mensejajarkan
gulungan benang dengan pegangan yang sama dalam panjang tertentu. Setelah
benang dihani selanjutnya adalah proses pencucukan benang ke dalam mata gun
yang berjumlah 3800 pada ATBM. Proses hani dan pencucukan bisa dikerjakan
dalam 1-2 hari.
(a) (b)
Gambar 12 Produk kain sarung sutera mandar (a) dan kain tenun ikat (b).
Usaha Pertenunan Nenek Mallomo terletak di pinggir jalan poros antara
Kota Makassar dengan Kabupaten Toraja. Usaha Pertenunan Nenek Mallomo
sering dikunjungi baik wisatawan lokal maupun mancanegara yang tertarik untuk
melihat secara langsung proses pertenunan kain sutera. Wisatawan yang
berkunjung juga sekaligus membeli produk hasil produksi yang berupa kain
sarung sutera bugis dengan ukuran 0,7x7 meter per lembar kain dan kain tenun
ikat yang berukuran 1,5x2,5 meter per lembar kain.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Biaya Produksi Persuteraan Alam
Biaya produksi usaha persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar dan
Enrekang terdiri dari biaya produksi kokon, biaya produksi benang, dan biaya
produksi kain. Secara umum tiap komponen biaya produksi tersebut meliputi
biaya tetap dan biaya variabel. Biaya produksi usaha persuteraan alam dalam
penelitian ini dihitung dalam satu tahun dan untuk setiap kilogram kokon, benang,
atau unit sarung yang diproduksi. Perhitungan biaya produksi usaha persuteraan
alam, secara rinci dapat dilihat pada Tabel 6 dan Tabel 7, sedangkan jumlah
produksi dan pendapatan dari masing-masing kegiatan persuteraan alam dapat
dilihat pada Tabel Lampiran 5.
Kegiatan usaha persuteraan alam secara terintegrasi yang dilakukan oleh
Kelompok Tani Pallis di Kabupaten Polewali Mandar menghasilkan biaya
produksi kain per unit sarung di Kabupaten Polewali Mandar sebesar Rp 144 ribu.
Komponen biaya penyusun yang lebih besar terdapat pada biaya tetap terutama
nilai penyusutan, hal ini terjadi karena biaya investasi yang dikeluarkan mulai dari
pembuatan dan pemeliharaan kebun, pemeliharaan ulat, pemintalan benang, serta
pertenunan tidak diikuti dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Komponen
biaya variabel pada produksi kain di Kabupaten Polewali Mandar lebih kecil
karena produksi kain dikerjakan sendiri oleh petani secara terintegrasi, sehingga
petani tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membeli bahan baku berupa kokon
dan benang sutera, karena baik kokon maupun benang sutera yang dipakai berasal
dari hasil budidaya ulat petani, selain itu pada proses pertenunan petani juga
menggunakan zat pewarna alam.
Komponen penyusun biaya produksi kain di Kabupaten Polewali Mandar
turut memperhitungkan subsidi dari pemerintah yang berupa bahan baku bibit ulat
sutera sebesar Rp 80.000/boks dan juga 5 buah alat pintal yang bernilai Rp 15
juta. Subsidi pemerintah yang berupa bahan baku bibit ulat disertakan ke dalam
komponen penyusun biaya variabel yaitu biaya material sedangkan subsidi
30
pemerintah yang berbentuk alat pintal disertakan ke dalam komponen penyusun
biaya tetap untuk dihitung besarnya nilai penyusutan dan bunga modal.
Kegiatan usaha persuteraan alam di Kabupaten Enrekang dilakukan secara
terpisah. Biaya produksi kokon per kilogram di Kabupaten Enrekang yaitu sebesar
Rp 24 ribu. Biaya produksi kokon terdiri dari dua komponen pembiayaan yaitu
biaya pembuatan dan pemeliharaan kebun murbei serta biaya pemeliharaan ulat.
biaya pembuatan dan pemeliharaan kebun murbei di Kabupaten Enrekang untuk
perkilogram kokon adalah sebesar Rp 15 ribu, sedangkan pada tahap
pemeliharaan ulat biaya yang dikeluarkan untuk perkilogram kokon sebesar Rp
10 ribu.
Komponen penyusun biaya pembuatan dan pemeliharaan kebun serta
pemeliharaan ulat terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya variabel pada
produksi kokon di Kabupaten Enrekang lebih besar daripada biaya tetap, Hal itu
terjadi karena pemeliharaan kebun dan pemeliharaan ulat yang dilakukan oleh
petani di Kabupaten Enrekang lebih intensif. Petani mengeluarkan biaya untuk
bahan baku pemeliharaan kebun yang tinggi seperti untuk pupuk dan pestisida,
dengan tujuan mencegah serangan hama peyakit pada tanaman murbei serta untuk
meningkatkan produksi daun.
Biaya produksi benang per kilogram di Kabupaten Enrekang adalah sebesar
Rp 394 ribu. Biaya variabel pada tahap pemintalan benang di Kabupaten
Enrekang lebih besar daripada biaya tetap. Besarnya biaya variabel disebabkan
besarnya biaya material sebesar Rp 42,64 juta per tahun atau sebesar Rp 261 ribu
per kilogram benang. Biaya material terdiri dari biaya pembelian bahan baku
pemintalan yaitu berupa kokon dan bahan penolong minyak tanah. Subsidi dari
pemerintah yang berupa bantuan bangunan dan alat pemintalan turut disertakan
dalam perhitungan biaya tetap untuk kemudian dihitung nilai penyusutan dan
bunga modalnya.
Pertenunan Nenek Mallomo memproduksi dua jenis kain yaitu kain tenun
ikat dan kain sarung bugis. Biaya produksi kain ikat di pertenunan nenek mallomo
sebesar Rp 197 ribu dan biaya produksi kain sarung sebesar Rp 303 ribu untuk per
unit sarung yang dihasilkan. Pada tahap pertenunan biaya variabel lebih besar
daripada biaya tetap baik pada produksi kain ikat maupun produksi kain sarung.
31
Tabel 6 Biaya produksi persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar dan Enrekang
Uraian
Biaya Produksi (Rp Juta/Tahun) Biaya Produksi (Rp 000,-/Kg)
Kab. Polman Kab. Enrekang Kab. Polman Kab. Enrekang
KTP SBK UPT NM KTP SBK UPT NM
1) 2) 3) 4) 5) 1) 2) 3) 4) 5)
Biaya Produksi 22,45 166,45 64,37 57,62 211,50 143,94 24,31 393,94 197,34 303,44
Biaya tetap 18,29 46,14 15,82 4,70 15,36 117,27 6,74 96,83 16,10 22,03
Penyusutan 11,90 26,21 8,92 1,77 5,61 76,26 3,83 54,56 6,05 8,05
Bunga Modal 6,40 19,93 5,41 2,76 9,32 41,02 2,91 33,10 9,44 13,38
Overhead 0,00 0,00 1,50 0,18 0,42 0,00 0,00 9,18 0,61 0,61
Biaya variabel 4,16 120,31 48,55 52,92 196,14 26,67 17,57 297,11 181,24 281,41
Material 3,70 118,30 42,64 34,67 91,59 23,72 17,28 260,94 118,74 131,41
Upah 0,00 2,01 3,51 18,25 104,55 0,00 0,29 21,48 62,50 150,00
Sewa 0,46 0,00 2,40 0,00 0,00 2,95 0,00 14,69 0,00 0,00
Keterangan :
1) Kelompok Tani Pallis
2)
KUB Sinar Buntu Kurung
3)
UPT Tekstil Enrekang
4)
Pertenunan Nenek Mallomo
32
pada produksi kain ikat komponen penyusun biaya variabel yang terbesar dari
biaya pembelian material bahan baku dan bahan penolong sedangkan pada
produksi kain sarung komponen biaya penyusun terbesar terdapat biaya upah
pekerja.
Tabel 7 Biaya produksi persuteraan alam berdasarkan tahapan kegiatan di
Kabupaten Polewali Mandar dan Enrekang
Tahapan
Kab. Polman Kab. Enrekang
Rp
Juta/tahun % Rp Juta/tahun %
Pembuatan dan Pemeliharaan Kebun 6,57 29,2 99,38 19,9
Pemeliharaan Ulat 8,26 36,8 67,07 13,4
Pemintalan Benang 6,62 29,5 64,37 12,9
Pertenunan 1,01 4,5 269,12 53,8
Total 22,45 100,0 499,94 100,0
Biaya produksi per tahapan kegiatan dilakukan untuk mengetahui tahapan
atau bagian produksi yang membutuhkan biaya paling besar sehingga petani dapat
mengendalikan biaya pada tahapan tersebut dengan harapan efisiensi produksi
dapat dicapai. Berdasarkan tahapan kegiatan, biaya pemeliharaan ulat merupakan
biaya yang mendominasi kegiatan persuteraan alam secara terintegrasi di
Kabupaten Polewali Mandar. Komponen utama yang membuat biaya ini
mendominasi biaya persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar adalah biaya
penyusutan dan bunga modal serta kebutuhan material seperti bibit ulat, kapur,
dan kaporit. Biaya yang mendominasi kegiatan persuteraan alam secara terpisah di
Kabupaten Enrekang adalah biaya pada proses pertenunan. Hal ini disebabkan
karena usaha pertenunan harus mengeluarkan biaya untuk pembelian material
berupa benang sutera, bahan pewarna, bahan pemasak benang, serta membayar
upah pekerja.
Penelitian mengenai biaya produksi usaha persuteraan alam pernah
dilakukan sebelumnya oleh Saifullah pada tahun 2004 di Kabupaten Sukabumi
dan Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat, seperti terlihat pada Tabel 8. Nilai ROI
Kelompok Tani Ulat Sutera Margalaksana di Kabupaten Garut pada tahun 2004
33
Tabel 8 Perbandingan analisis biaya produksi persuteraan alam hasil penelitian tahun 2004 dan 2011
Komponen Satuan
Penelitian Renato (2011) Penelitian Saifullah (2004)
Kab. Polman Kab. Enrekang Kab. Garut Kab. Sukabumi
KTP SBK UPT NM KTM PBK KWSC
ikat sarung
Produksi
Kokon kg/tahun 306,00 6847,50
19,73
56,67
Benang kg/tahun 39,00
163,40
19,33 7,10
Kain lembar/tahun 156,00
292,00 697,00
Harga Jual
Kokon Rp 000,-/kg
35,00
10,00
Benang Rp 000,-/kg
330,00
210,00 240,00
Kain Rp 000,-/lembar 180,00
250,00 300,00
Biaya Produksi
Kokon Rp 000,-/kg
24,31
43,84
32,55
Benang Rp 000,-/kg
393,94
193,88 368,92
Kain Rp 000,-/lembar 143,94
197,34 303,44
Pendapatan Rp Juta/tahun 28,08 239,66 53,92 73,00 209,10 0,29 4,06 1,70
Keuntungan Rp Juta/tahun 5,62 73,21 -10,46 12,98 -0,58 0,24 -0,92
Break Event Point kg/tahun 119,35 2647,15 481,50 68,35 826,07 233,84 6,14 27,02
Investasi Rp Juta/tahun 169,74 465,88 81,22 193,98 52,78 8,00 20,00
ROI % 3,31 15,71 -12,88 6,69 -1,09 2,98 -4,58
34
sebesar -1,09%, sedangkan usaha pemintalan benang Koko memiliki nilai ROI
yang positif yaitu sebesar 2,98%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa petani ulat di
Kabupaten Garut mengalami kerugian, sementara usaha pemintalan memperoleh
keuntungan. Hal ini disebabkan pemintalan benang Koko merupakan satu-satunya
pemintalan yang ada di Kabupaten Garut, sehingga petani ulat hanya dapat
menjual kokonnya sesuai harga yang ditwarkan oleh pemintalan ini.
Usaha persuteraan alam di Kabupaten Enrekang menunjukkan hal yang
sebaliknya dimana nilai ROI yang dimiliki petani ulat KUB Sinar Buntu Kurung
bernilai positif yaitu sebesar 15,71%, sedangkan usaha pemintalan UPT Tekstil
Enrekang bernilai negatif yaitu sebesar -12,88%. Nilai tersebut menunjukkan
bahwa petani ulat di Kabupaten Enrekang mempunyai kemampuan memperoleh
laba yang cukup besar bila dibandingkan dengan petani ulat di Kabupaten Garut.
Selain itu nilai ROI yang negatif pada usaha pemintalan disebabkan karena usaha
pemintalan berproduksi jauh dibawah kapasitas optimumnya. Besarnya jumlah
investasi yang dikeluarkan untuk peralatan pemintalan tidak diikuti dengan
tingkat produksi optimum, UPT Tekstil Enrekang hanya berproduksi 12,97% dari
kapasitas pemintalan.
Usaha persuteraan alam secara terintegrasi di Kebun Cibidin Kabupaten
Sukabumi hanya sampai pada tahap produksi benang, sedangkan di Kabupaten
Polewali Mandar sampai pada tahap produksi kain. Pada tahun 2004 Kebun
Wanatani Sutera Cibidin memiliki nilai ROI yang negatif yaitu sebesar -4,58%.
Hal ini disebabkan karena produksi pemintalan yang rendah, yaitu hanya sebesar
10% dari kapasitas terpasang, selain itu usaha pemintalan benang di Kebun
Cibidin juga mengalami kesulitan dalam memasarkan benangnya. Hal yang
sebaliknya terjadi pada petani sutera di Kabupaten Polewali Mandar, walaupun
tidak begitu besar tetapi petani mampu memperoleh keuntungan.
5.2 Analisis Break Even Point
Break even point KUB Sinar Buntu Kurung di Kabupaten Enrekang pada
tahun 2011 dicapai pada tingkat produksi kokon 2647,15 kg. Produksi kokon
KUB Sinar Buntu Kurung pada tahun 2011 mencapai 6847,5 kg. Nilai tersebut
35
berada jauh di atas break even point sehingga terlihat bahwa KUB Sinar Buntu
Kurung memperoleh keuntungan yang cukup besar dari usaha ini.
Break even point Pemintalan UPT Tekstil di Kabupaten Enrekang pada
tahun 2011 dicapai pada tingkat produksi benang 481,5 kg atau 38,21% dari
kapasitas terpasang. Produksi benang sutera UPT Tekstil Enrekang pada tahun
2011 berada jauh di bawah break even point yaitu hanya sebesar 163,4 kg.
Dengan demikian terlihat bahwa usaha pemintalan UPT Tekstil Enrekang
mengalami kerugian yang cukup besar. UPT Tekstil Enrekang berproduksi jauh
dibawah kapasitas optimumnya karena memiliki kendala yaitu sulit mencari
tenaga kerja yang mau diupah untuk memintal benang.
Break even point Pertenunan Nenek Mallomo pada tahun 2011 dicapai
pada tingkat produksi kain ikat 68 unit dan kain sarung 826 unit. Produksi kain
ikat di pertenunan nenek mallomo berada jauh di atas break even point yaitu
sebesar 292 unit sedangkan produksi kain sarung berada dibawah break even
point yaitu sebesar 697 unit. Dengan demikian terlihat bahwa kerugian akibat
produksi kain sarung dapat ditutupi oleh keuntungan yang didapat dari produksi
kain ikat.
Break even point untuk kegiatan persuteraan alam Kelompok Tani pallis di
Kabupaten Polewali Mandar yang terintegrasi mulai dari hulu hingga hilir adalah
sebesar 119 unit kain sarung. Produksi kain sarung di kelompok tani pallis berada
di atas break even point yaitu sebesar 156 unit. Dengan demikian terlihat bahwa
kelompok tani pallis mendapatkan keuntungan dari usaha ini.
5.3 Analisis Profitabilitas
Kegiatan persuteraan alam secara terintegrasi mulai dari budidaya murbei,
budidaya ulat, pemintalan, hingga pertenunan yang dilakukan oleh kelompok tani
pallis di Kabupaten Polewali Mandar memperoleh keuntungan sebesar Rp 5,62
juta per tahun. Keuntungan yang diterima oleh kelompok tani masih bisa
ditingkatkan lagi mengingat kelompok tani hanya memanfaatkan 3 kali periode
pemeliharaan setiap tahunnya. Apabila petani bisa melakukan periode
pemeliharaan setiap sebulan sekali atau 12 kali dalam setahun, tentunya berturut-
36
turut produktivitas kokon, benang, dan sarung akan meningkat dan diiringi dengan
meningkatnya pendapatan.
Tabel 9 Rugi laba usaha persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar dan
Enrekang
Komponen Satuan
Kab. Polman Kab. Enrekang
KTP SBK UPT NM
ikat sarung
Produksi
Kokon kg/tahun 306,00 6847,50
Benang kg/tahun 39,00
163,40
Kain lembar/tahun 156,00
292,00 697,00
Harga Jual
Kokon Rp 000,-/kg
35,00
Benang Rp 000,-/kg
330,00
Kain Rp 000,-/lembar 180,00
250,00 300,00
Biaya Produksi
Kokon Rp Juta/tahun 14,83 166,45
Benang Rp Juta/tahun 6,62
64,38
Kain Rp Juta/tahun 1,01
57,62 211,50
Pendapatan Rp Juta/tahun 28,08 239,66 53,92 73,00 209,10
Keuntungan Rp Juta/tahun 5,62 73,21 -10,46 12,98
Biaya Tetap Rp Juta/tahun 18,30 46,14 15,83 4,70 15,36
Biaya Variabel Rp Juta/kg
0,02 0,03
Rp Juta/lembar 0,03
0,18
Break Event Point kg/tahun
2647,15 481,50
lembar/tahun 119,35
68,35 826,07
Investasi Rp Juta 169,74 465,88 81,22 193,98
ROI % 3,31 15,71 -12,88 6,69
Harga Pokok Rp 000,-/kg 172,77 29,17 472,80 236,79 364,13
Kelompok Tani Pallis di Kabupaten Polewali Mandar akan menderita
kerugian apabila menjual produknya dalam bentuk kokon, karena biaya produksi
kokon per kilogram adalah sebesar Rp 47 ribu lebih besar daripada harga kokon di
Kabupaten Polewali Mandar yaitu Rp 38 ribu. kelompok tani juga akan menderita
kerugian apabila menjual dalam bentuk benang sutera, karena biaya produksi
benang dengan menyertakan biaya produksi kokon per kilogramnya menjadi
37
sebesar Rp 541 ribu lebih besar daripada harga benang sutera di Kabupaten
Polewali Mandar yaitu sebesar Rp 400 ribu per kilogram. Hal ini terjadi karena
investasi yang dikeluarkan oleh petani mulai dari budidaya murbei, budidaya ulat,
hingga pemintalan cukup besar nilainya yaitu Rp 165,6 juta, namun tidak diikuti
dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Keputusan Kelompok Tani Pallis untuk
menjual produknya dalam bentuk kain sarung, bukan dalam bentuk kokon
maupun benang sutera dinilai cukup baik karena petani bisa mengambil nilai
tambah dari produk yang dihasilkan sehingga biaya produksi yang tinggi pada
tahapan produksi kokon dan benang sutera bisa tertutupi.
Kelompok usaha bersama (KUB) Sinar Buntu Kurung di Kabupaten
Enrekang yang melakukan kegiatan persuteraan alam hingga tahapan produksi
kokon mampu memperoleh keuntungan sebesar Rp 73,21 juta per tahun.
Kelompok usaha bersama Sinar Buntu Kurung dapat menggunakan sumber daya
seefisien mungkin, besarnya investasi yang dikeluarkan diikuti dengan tingkat
produktivitas yang tinggi sehingga pendapatan yang diterima besar.
Kegiatan pemintalan benang sutera di UPT Tekstil Enrekang mengalami
kerugian karena pendapatan hasil pemintalan yang rendah (Rp 53,92 juta per
tahun) tidak mampu menutupi biaya produksi yang dikeluarkan (Rp 64,38 juta per
tahun). Kerugian yang diderita oleh UPT Tekstil mencapai Rp 10,46 juta per
tahun. Kerugian yang dialami disebabkan biaya tetap yang berupa penyusutan dan
bunga modal dari sarana dan prasarana tidak pernah diperhitungkan karena
merupakan hibah bantuan dari pemerintah daerah.
Pendapatan dari produksi kain ikat pada Pertenunan Nenek Mallomo lebih
besar daripada biaya produksi kain, sehingga mendapat keuntungan sebesar Rp
15,38 juta per tahun. Sedangkan hasil pendapatan yang diterima dari produksi
kain sarung lebih kecil daripada biaya produksi yang harus dikeluarkan sehingga
mendapatkan kerugian sebesar Rp 2,4 juta per tahun. Secara keseluruhan
Pertenunan Nenek Mallomo menerima keuntungan sebesar Rp 12,98 juta per
tahun.
ROI pada kegiatan pemintalan di UPT Tekstil bernilai negatif, sedangkan
pada kegiatan produksi kokon di KUB Sinar Buntu Kurung, produksi kain di
Pertenunan Nenek Mallomo dan kegiatan persuteraan alam terintegrasi di
38
Kelompok Tani Pallis memiliki nilai yang positif. Nilai ROI untuk kegiatan
produksi kokon di KUB Sinar Buntu Kurung yaitu sebesar 15,71%, Pertenunan
Nenek Mallomo sebesar 6,69%, dan usaha persuteraan alam terintegrasi
Kelompok Tani Pallis sebesar 3,31%. Nilai ROI yang positif menunjukkan
bahwa usaha ini menguntungkan, namun apabila suku bunga bank sekitar 12 %
per tahun maka ROI pada kegiatan produksi kokon di KUB Sinar Buntu Kurung
berada diatas tingkat bunga bank yang ditetapkan. Hal ini berarti dengan
menjalankan usaha ini, KUB Sinar Buntu Kurung memperoleh pendapatan yang
jauh lebih besar dibandingkan dengan hanya menaruh uang mereka di bank.
Harga pokok penjualan dihitung dengan asumsi bahwa petani sutera
menginginkan keuntungan sebesar 20% dari biaya produksi yang dikeluarkan.
Harga pokok penjualan kain sutera Kelompok Tani Pallis sebesar Rp 173 ribu per
unit sarung. Harga pokok penjualan kokon KUB Sinar Buntu Kurung sebesar Rp
29 ribu, benang sutera UPT Tekstil Enrekang sebesar Rp 473 ribu, kain ikat
Pertenunan Nenek Mallomo sebesar Rp 237 ribu, dan kain sarung Pertenunan
Nenek Mallomo sebesar Rp 364 ribu. Harga pokok penjualan benang sutera UPT
Tekstil Enrekang dan kain sarung Pertenunan Nenek Mallomo yang ditetapkan
sangat tinggi dan berada di atas harga jual sebenarnya. Hal ini dapat menyebabkan
keuntungan menurun bahkan merugi karena biaya produksi tidak dapat tertutupi
oleh pendapatannya. Harga pokok penjualan kain sutera Kelompok Tani Pallis,
kokon KUB Sinar Buntu Kurung, dan kain ikat Pertenunan Nenek Mallomo yang
ditetapkan masih berada dibawah harga jual rata-rata yang berlaku di daerah
tersebut sehingga keuntungan yang diperoleh menjadi lebih besar. Dengan
demikian terlihat bahwa Kelompok Tani Pallis, KUB Sinar Buntu Kurung ,dan
Pertenunan Nenek Mallomo mendapatkan excess profit dari usaha persuteraan
alam ini.
5.4 Sistem Pemasaran dan Dampak Usaha Persuteraan Alam Terhadap
Kesejahteraan Masyarakat
Produk utama yang dihasilkan oleh kelompok tani ulat sutera dan kelompok
penenun di Kabupaten Polewali Mandar adalah kain sarung sutera mandar.
Kelompok Tani Pallis melakukan sendiri semua tahapan persuteraan alam mulai
39
dari produksi kokon, produksi benang, hingga menjadi kain. Kelompok Tani
Pallis menenun benang sutera mereka sendiri hingga menjadi kain sarung sutera
mandar. Kain hasil produksi kemudian dijual kepada pedagang pengumpul yang
ada di Pasar Pambusuang dan Pasar Tinambung dengan harga Rp 140 ribu-Rp 180
ribu. Selain dari kelompok tani ulat sutera, pedagang pengumpul juga
mendapatkan sarung sutera mandar dari kelompok penenun dengan cara
memberikan benang sutera kepada para penenun dan membayar upah menenun
mereka untuk satu kain yang dihasilkan sebesar Rp 75 ribu-Rp 100 ribu. Produk
kain sarung sutera mandar yang dibeli oleh pedagang pengumpul selanjutnya
dijual lagi kepada toko pengecer maupun konsumen akhir dengan harga sebesar
Rp 250 ribu-Rp 300 ribu. Dapat dilihat bahwa pedagang pengumpul memiliki
margin keuntungan yang lebih besar dibandingkan para petani. Hal ini terjadi
karena Kelompok Tani Pallis kurang memiliki pengetahuan pemasaran yang baik
serta keterbatasan akses pasar dibandingkan dengan pedagang pengumpul.
Kelompok Tani Pallis berharap adanya semacam koperasi sebagai wadah untuk
membantu dalam hal pemasaran dan kepastian harga bagi produk kain sarung
sutera mandar mereka, sehingga keuntungan petani dapat meningkat. Alur
distribusi produk kain sutera di Kabupaten Polewali Mandar dapat dilihat pada
Gambar 13.
Gambar 13 Alur distribusi pemasaran kain sutera di Kabupaten Polewali Mandar.
Kelompok Tani
Ulat Sutera
Pedagang Pengumpul
Pasar Pambusuang
Konsumen
Toko
Pedagang Pengumpul
Pasar Tinambung
Kelompok
Penenun
Keterangan:
= Produk kain sutera
40
Kelompok Usaha Bersama (KUB) Sinar Buntu Kurung di Kabupaten
Enrekang melakukan budidaya ulat sutera yang menghasilkan produk berupa
kokon. Kokon tersebut kemudian dipasarkan ke UPT Tekstil atau ke KUB
pemintalan milik petani untuk dipintal hingga menjadi benang sutera. Benang
sutera yang dihasilkan selanjutnya dijual kepada usaha dan industri pertenunan
yang berada di luar Kabupaten Enrekang seperti di Pertenunan Nenek Mallomo di
Kabupaten Sidrap, Kabupaten Sengkang, Kabupaten Wajo, dan Kabupaten
Polman. Konsumen akhir bisa mendapatkan produk kain sutera dengan membeli
di toko atau langsung membeli kepada pengrajin tenun sutera. Usaha Pertenunan
Nenek Mallomo memasarkan produknya langsung di tempat. Karena lokasi usaha
pertenunannya terletak di pinggir jalan poros antara Kota Makassar dan
Kabupaten Tana Toraja, sehingga pertenunan nenek mallomo menjadi tempat
persinggahan bagi para wisatawan untuk melihat proses menenun dan juga
sekaligus untuk membeli cindera mata berupa kain sutera. Alur distribusi
persuteraan alam di Kabupaten Enrekang dapat dilihat pada Gambar 14.
Usaha persuteraan alam berdampak sangat positif bagi masyarakat. Usaha
persuteraan sudah menjadi mata pencaharian utama bagi masyarakat di Kabupaten
Polewali Mandar dan Enrekang. Usaha ini sangat baik dalam menyerap tenaga
kerja, walaupun tenaga kerja tersebut masih muda ataupun tidak memiliki
pendidikan yang tinggi sekalipun. Proyeksi penyerapan tenaga kerja untuk
pemeliharaan satu boks ulat sutera yaitu, pada tahap budidaya murbei dan
pemeliharaan ulat 3 orang, pemintalan 2 orang, dan pertenunan 4 orang. Sifatnya
yang padat karya sehingga membuat usaha persuteraan alam dapat mengurangi
tingkat pengangguran khususnya di pedesaan.
Usaha persuteraan alam merupakan sektor usaha yang banyak menyerap
tenaga kerja terutama tenaga kerja wanita pada proses pertenunan selain itu usaha
ini juga memberikan nilai tambah yang tinggi apabila dikerjakan hingga menjadi
produk kain. Nilai tambah suatu produk diperoleh jika produk tersebut mengalami
proses produksi dan menjadi produk yang lebih kompleks dengan harga jual yang
lebih mahal. Nilai tambah yang dihitung adalah nilai tambah dari bahan baku
kokon yang diolah menjadi produk benang dan kemudian menjadi produk kain.
41
Gambar 14 Alur distribusi persuteraan alam di Kabupaten Enrekang.
Kelompok Usaha Bersama
Ulat Sutera
Pedagang
Pasar Sudu
UPT Tekstil
Enrekang
KUB Pemintalan
Kab. Enrekang
Konsumen
Penenun
Toko
Pedagang Pengumpul
Kab. Sidrap
Hj. Suhu
Industri Pertenunan
Kab. Wajo
H. Kurnia
Industri Pertenunan
Kab. Sengkang
H. Sultan
KUB Pertenunan
Nenek Mallomo
Kab. Sidrap
Usaha Pertenunan
Kab. Polman
H. Hadrawi
Keterangan:
= Produk kokon
= Produk benang
= Produk kain sutera
42
Nilai tambah yang diperoleh pada proses pengolahan bahan baku kokon
hingga menjadi kain di Kabupaten Polewali Mandar adalah sebesar Rp 54 ribu per
unit kain. sedangkan di Kabupaten Enrekang kokon yang diolah menjadi kain ikat
memperoleh nilai tambah sebesar Rp 61 ribu per unit kain, apabila diolah menjadi
kain sarung nilai tambah yang diperoleh sebesar Rp 27 ribu. Dari hasil
perhitungan nilai tambah produk kokon baik di Kabupaten Polewali Mandar
maupun di Kabupaten Enrekang akan semakin tinggi seiring dengan proses
produksi yang dijalankan.
Kendala yang dihadapi saat ini seperti keterbatasan akses pasar oleh para
petani ulat sutera di Kabupaten Polewali Mandar serta serangan virus hingga
menyebabkan kematian pada ulat dan menyebabkan gagal panen kokon di
Kabupaten Enrekang, membuat banyak petani ulat sutera yang beralih untuk
menanam komoditi perkebunan yang lain seperti kol, kakao, bawang merah
ataupun memilih untuk beternak kambing. Namun salah satu faktor yang
menyebabkan usaha persuteraan alam tetap bertahan di Kabupaten Polewali
Mandar dan Enrekang karena usaha ini sudah menjadi bagian dari kebudayaan
masyarakat di kedua kabupaten dan provinsi tersebut.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan tahapan kegiatan, persentasi biaya terbesar di Kabupaten
Polewali Mandar terdapat pada tahap pemeliharaan ulat yaitu sebesar
36,77%. Sedangkan di Kabupaten Enrekang persentasi terbesar terdapat
pada tahap pertenunan yaitu sebesar 53,83%.
2. Biaya produksi kokon di Kabupaten Enrekang sebesar Rp 24.310/kg. Biaya
produksi benang di Kabupaten Enrekang sebesar Rp 393.940/kg. Biaya
produksi kain ikat di Pertenunan Nenek Mallomo sebesar Rp 197.340/unit
dan biaya produksi kain sarung sebesar Rp 303.440/unit. Sedangkan biaya
produksi kain di Kabupaten Polewali Mandar sebesar Rp 143.940/unit.
3. Break even point Kelompok Tani Pallis di Kabupaten Polewali Mandar
adalah sebesar 119 kain sarung per tahun. Break even point KUB Sinar
Buntu Kurung adalah 2647,15 kg kokon per tahun. Break even point
pemintalan UPT Tekstil adalah 481,5 kg benang per tahun. Break even point
Pertenunan Nenek Mallomo untuk kain ikat sebesar 68 kain ikat per tahun
dan untuk kain sarung sebesar 826 kain sarung per tahun.
4. Usaha persuteraan alam secara terintegrasi di Kabupaten Polewali Mandar
memberikan keuntungan sebesar Rp 5,62 juta per tahun bagi kelompok tani.
Usaha persuteraan alam di Kabupaten Enrekang yang dilakukan secara
terpisah. Pada tahap produksi kokon, KUB Sinar Buntu Kurung
mendapatkan keuntungan sebesar Rp 73,21 juta per tahun. Pada tahap
pemintalan, UPT Tekstil menderita kerugian sebesar Rp 10,46 juta per
tahun. Pada tahap produksi kain, Pertenunan Nenek Mallomo mendapat
keuntungan sebesar Rp 12,98 juta per tahun.
6.2 Saran
1. Pada tahap pemeliharaan ulat sutera sebaiknya dilakukan dengan cara
membentuk petani ulat kecil dan petani ulat besar, sehingga keuntungan
dapat dimaksimalkan karena petani ulat besar dapat memelihara ulat lebih
banyak karena pakan hanya perlu disediakan untuk ulat besar.
2. Pada tahap pemeliharaan ulat kecil (Instar I-III) perlu pemeliharaan yang
intensif karena rawan serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian
bagi ulat.
3. Pemerintah diharapkan dapat membantu petani agar bisa mendapatkan akses
pasar bagi produk hasil usahanya.
DAFTAR PUSTAKA
[BPA] Balai Persuteraan Alam. 2007. Petunjuk Teknis Budidaya Tanaman
Murbei (Morus spp.). Gowa: Balai Persuteraan Alam.
[BPA] Balai Persuteraan Alam. 2010. Selayang Pandang Balai Persuteraan
Alam. Gowa: Balai Persuteraan Alam.
[BPA] Balai Persuteraan Alam. 2011. Statistik Pengembangan Persuteraan Alam.
Gowa: Balai Persuteraan Alam.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Ekspor Impor Menurut Komoditi.
http://www.bps.go.id/exim-frame.php [29 Feb 2012].
[CDFD] Centre for DNA Fingerprinting and Diagnostics. 2011. Life cycle of
silkworms. http://www.cdfd.org.in/SILKSAT/lfcycle.html [29 Sep 2011].
Ekastuti DR, Piliang WG, Astuti DA. 1994. Pakan Buatan Sebagai Salah Satu
Usaha Meningkatkan Produksi Kokon Ulat Sutera (Bombyx mori). Bogor:
Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor.
Hamamura Y. 2001. Silkworm Rearing on Artificial Diet. Enfield: Science
Publisher, Inc.
Jaya SE. 2003. Teknik Pengusahaan Persuteraan Alam di PT. Indo Jado Sutera
Pratama Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas
Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
[Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Statistik Kehutanan Indonesia.
Jakarta: Kementerian Kehutanan.
Nugroho B. 2002. Analisis Biaya Proyek Kehutanan. Bogor: Yayasan Penerbit
Fakultas Kehutanan IPB.
Nurhaedah M. 2009. Pengaruh Pakan Pada Resistensi Ulat Sutera (Bombyx mori
L.) Terhadap Penyakit Grasserie [Tesis]. Bogor: Program Studi Silvikultur
Tropika. Institut Pertanian Bogor.
Saifullah A. 2004. Analisis Biaya Produksi Usaha Persuteraan Alam Studi Kasus
di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Garut Jawa Barat [Skripsi]. Bogor:
Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
Samsijah. 1974. Cara-Cara Perbanyakan, Penanaman dan Pemeliharaan
Tanaman Murbei (Morus Sp). Bogor: Lembaga Penelitian Hutan.
Solihin DD, Fuah AM. 2010. Budi Daya Ulat Sutera Alam. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Sumadiwangsa ES, Gusmailina. 2006. Teknologi Budidaya, Pemanfaatan dan
Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu. Bogor: Puslitbang Hasil Hutan,
Kementerian Kehutanan.
Tazima, Y. 1964. The Genetics Of The Silkworm. London: Logos Press.
45
[UNSD] United Nations Statistics Division. 2010. Commodity Trade Statistics
Database. http://data.un.org/Data.aspx?d=ComTrade&f=_l1Code%3a51 [29
Feb 2012].
Yusup M. 2009. Optimalisasi Produksi Kain Tenun Sutera pada CV Batu Gede di
Kecamatan Tamansari Kabupaten Bogor [Skripsi]. Bogor: Fakultas
Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.
Zainuddin. 1997. Analisis Ekonomi Usahatani Persuteraan Alam Rakyat (Studi
Kasus di Kecamatan Donri-Donri, Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan)
[Skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor.
LAMPIRAN
47
Tabel Lampiran 1 Investasi, penyusutan, dan bunga modal persuteraan alam di
Kabupaten Polewali Mandar Harga Umur Total Penyusutan Bunga
Per Satuan Teknis Investasi Modal
(Rp 000,-/unit) (Tahun) (Rp Juta) (Rp Juta/thn) (Rp Juta/thn)
1. Budidaya Murbei 125,01
Lahan Ha 15 5000 75,00
Pembuatan Kebun 30 50,01 1,67 3,10
Pengadaan stek murbei Batang 150000 0,075 11,25
Pengadaan pupuk urea kg 1500 1,8 2,70
Pengadaan pupuk kandang kg 15000 0,12 1,80
Pembuatan tanaman
pengolahan lahan Ha 15 700 10,50
penggemburan Ha 15 700 10,50
penanaman Ha 15 700 10,50
Peralatan Kebun
gunting stek unit 19 50 0,95
parang unit 19 60 1,14
cangkul unit 19 35 0,67
2. Pemeliharaan Ulat 22,60 4,52 1,63
Unit Pemeliharaan Ulat Kecil Unit 1 15000 5 15,00 3,00 1,08
Peralatan pemeliharaan ulat
rak pemeliharaan set 19 400 5 7,60 1,52 0,55
alat pengokonan set 19 0 5 0,00 0,00 0,00
3. Pemintalan 17,99 5,23 1,39
mesin pintal tradisional unit 19 150 30 2,85 0,10 0,18
mesin pintal + re-reeling unit 5 3000 3 15,00 5,00 1,20
Peralatan Pemintalan
panci besar unit 1 75 1 0,08 0,08 0,01
baskom unit 3 20 1 0,06 0,06 0,01
4. Pertenunan 4,15 0,48 0,28
alat tenun tradisional (gedogan) unit 19 200 30 3,80 0,13 0,24
Peralatan Pertenunan
panci besar unit 3 75 1 0,23 0,23 0,03
ember unit 5 15 1 0,08 0,08 0,01
gayung unit 3 6 1 0,02 0,02 0,00
timbangan unit 1 35 1 0,04 0,04 0,00
Total 169,74 11,90 6,40
Lahan 75,00
Investasi Pembuatan Kebun 50,01 1,67 3,10
Investasi Pemeliharaan Ulat 22,60 4,52 1,63
Investasi Pemintalan 17,99 5,23 1,39
Investasi Pertenunan 4,15 0,48 0,28
No Komponen Satuan Jumlah
48
Tabel Lampiran 2 Investasi, penyusutan, dan bunga modal persuteraan alam di
Kabupaten Enrekang Harga Umur Total Penyusutan Bunga
Per Satuan Teknis Investasi Modal
(Rp 000,-/unit) (Tahun) (Rp Juta) (Rp Juta/thn) (Rp Juta/thn)
1. Budidaya Murbei 277,37
Lahan Ha 16 10000 160,00
Pembuatan kebun 30 117,37 3,91 7,28
Pengadaan stek murbei batang 800000 0,04 32,00
Pembuatan Tanaman Ha 16 5000 80,00
Peralatan Kebun
alat semprot unit 3 500 1,50
alat potong rumput unit 2 1000 2,00
sabit unit 34 20 0,68
cangkul unit 34 35 1,19
2. Pemeliharaan Ulat 188,51 22,30 12,65
unit pemeliharaan ulat besar unit 6 20000 10 120,00 12,00 7,92
Peralatan pemeliharaan ulat
rak pemeliharaan set 34 1000 10 34,00 3,40 2,24
alat pengokonan (tabba) set 6800 5 5 34,00 6,80 2,45
baki plastik unit 170 3 5 0,51 0,10 0,04
3. Pemintalan (UPT Tekstil) 81,22 8,92 5,41
Bangunan unit 1 30000 30 30,00 1,00 1,86
Oven unit 1 6000 5 6,00 1,20 0,43
mesin pintal + re-reeling unit 5 3000 30 15,00 0,50 0,93
Mesin Keloss unit 1 10000 5 10,00 2,00 0,72
Mesin Rangkap unit 1 10000 5 10,00 2,00 0,72
Mesin Twist unit 1 10000 5 10,00 2,00 0,72
peralatan pemintalan
panci besar unit 1 75 1 0,08 0,08 0,01
baskom unit 2 20 1 0,04 0,04 0,00
timbangan unit 2 50 1 0,10 0,10 0,01
listrik 10 150 1,50
4. Pertenunan (Nenek Mallomo) 193,98 7,38 12,08
bangunan unit 1 50000 28 50,00 1,79 3,11
alat tenun tradisional (gedogan) unit 150 750 28 112,50 4,02 6,99
ATBM unit 6 4600 26 27,60 1,06 1,72
mesin hani unit 1 1000 26 1,00 0,04 0,06
mesin keloss unit 1 500 26 0,50 0,02 0,03
mesin rangkap unit 1 1000 26 1,00 0,04 0,06
mesin twist unit 1 1000 26 1,00 0,04 0,06
peralatan pertenunan
panci besar unit 3 75 1 0,23 0,23 0,03
ember unit 5 20 1 0,10 0,10 0,01
gayung unit 3 6 1 0,02 0,02 0,00
timbangan unit 1 35 1 0,04 0,04 0,00
listrik 12 50 0,60
Total 743,17 42,51 37,41
Lahan 160,00
Investasi Pembuatan Kebun 117,37 3,91 7,28
Investasi Pemeliharaan Ulat 188,51 22,30 12,65
Investasi Pemintalan 81,22 8,92 5,41
Investasi tenun (bersama) 52,88 2,26 3,31
Investasi tenun ikat 28,60 1,10 1,78
Investasi tenun sarung 112,50 4,02 6,99
Listrik 2,10 0,00 0,00
No Komponen Satuan Jumlah
49
Tabel Lampiran 3 Biaya variabel persuteraan alam di Kabupaten Polewali
Mandar
Harga Per Satuan Total
(Rp 000,-/Unit) (Rp Juta)
1. Pemeliharaan Kebun 1,80
Material :
pupuk kandang kg/tahun 15000 0,12 1,80
Upah :
2. Pemeliharaan Ulat 2,11
Material : 1,69
bibit ulat sutera boks/tahun 9,75 80 0,78
kaporit kg/tahun 14,25 35 0,50
kapur kg/tahun 285,00 0,6 0,17
kertas parafin/minyak lembar/tahun 245,00 1 0,25
Upah : 0,00
Sewa : 0,42
kendaraan bulan/tahun 3,00 140 0,42
3. Pemintalan 0,00
Material : 0,00
kokon kg/tahun 306,00 0 0,00
Upah : 0,00
4. Pertenunan 0,26
Material : 0,21
benang kg/tahun 39,00 0 0,00
sabun netral kg/tahun 11,70 12 0,14
soda abu kg/tahun 2,34 4 0,01
tawas kg/tahun 5,85 2 0,01
cuka liter/tahun 3,51 15 0,05
Upah : 0,00
Sewa : 0,04
Kendaraan bulan/tahun 3 14 0,04
Total : 4,17
Pemeliharaan Kebun 1,80
Pemeliharaan Ulat 2,11
Pemintalan 0,00
Pertenunan 0,26
No Kegiatan Satuan Jumlah
50
Tabel Lampiran 4 Biaya variabel persuteraan alam di Kabupaten Enrekang
Harga Per Satuan
(Rp 000,-/Unit)
1. Pemeliharaan Kebun Murbei 88,19
Material : 86,18
Herbisida botol/tahun 47 408 19,18
Pestisida botol/tahun 45 136 6,12
Pupuk Daun botol/tahun 25 1224 30,60
Pupuk Urea kg/tahun 1,8 10025 18,05
Pupuk TSP kg/tahun 3 4080 12,24
Upah : 2,01
Pemangkasan 10 200,5 2,01
2. Pemeliharaan Ulat 32,12
Material : 32,12
bibit ulat sutera (soppeng) boks/tahun 80 106,50 8,52
bibit ulat sutera (candiroto) boks/tahun 80 55,50 4,44
bibit ulat sutera (cina) boks/tahun 245 38,50 9,43
kaporit kg/tahun 30 204,00 6,12
kapur kg/tahun 1,2 1002,50 1,20
kertas koran kg/tahun 3 802,00 2,41
Upah : 0,00
3. Pemintalan 48,55
Material : 42,64
kokon kg/tahun 30 417 12,51
kokon kg/tahun 35 821 28,74
minyak tanah liter/tahun 8 174 1,39
Upah : orang/tahun 20
pemintal HOK/tahun 15 234 3,51
Sewa :
transportasi bulan/tahun 200 12 2,40
4. Pertenunan 196,14 52,92
Material (kain ikat) : 34,67
Material (kain sarung) : 91,59
benang sutera kg/tahun 500 174,30 65,7 87,15 32,85
eronyl kg/tahun 250 13,94 5,84 3,49 1,46
sabun netral kg/tahun 12 52,29 19,71 0,63 0,24
soda abu kg/tahun 4 10,46 3,94 0,04 0,02
tawas kg/tahun 2 26,15 9,86 0,05 0,02
cuka liter/tahun 15 15,69 5,91 0,24 0,09
Upah :
meter/tahun 25 730 18,25
unit/tahun 150 697 104,55
Total : 417,92
Pemeliharaan Kebun 88,19
Pemeliharaan Ulat 32,12
Pemintalan 48,55
Pertenunan (kain ikat) 52,92
Pertenunan (kain sarung) 196,14
No Kegiatan Satuan JumlahTotal
(Rp Juta)
51
Tabel Lampiran 5 Produksi dan pendapatan usaha persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Enrekang
Rp 000,- Rp Juta Rp 000,- Rp Juta Rp 000,- Rp Juta Rp 000,- Rp Juta
Produksi Jumlah Bahan Baku boks/tahun 200,5
Kokon Bibit Soppeng boks/tahun 9,25 106,5
Bibit Candiroto boks/tahun 55,5
Bibit Cina boks/tahun 38,5
Jumlah Produksi kg/tahun 6847,5
Kokon Soppeng kg/tahun 306 3727,5
Kokon Candiroto kg/tahun 1387,5
Kokon Cina kg/tahun 1732,5
Harga Produk Rp/kg
Kokon Soppeng Rp/kg 35
Kokon Candiroto Rp/kg 33
Kokon Cina Rp/kg 37
Pendapatan Rp/tahun 240,4
Kokon Soppeng Rp/tahun 130,46
Kokon Candiroto Rp/tahun 45,79
Kokon Cina Rp/tahun 64,10
Kab. Polewali Mandar
Tahapan Item Satuan
Kab. Enrekang
Kelompok Tani Pallis KUB Sinar Buntu Kurung UPT Tekstil Pertenunan Nenek Mallomo
JumlahTotal
JumlahTotal
JumlahTotal
JumlahTotal
52
Tabel Lampiran 5 Produksi dan pendapatan usaha persuteraan alam di Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Enrekang (lanjutan)
Rp 000,- Rp Juta Rp 000,- Rp Juta Rp 000,- Rp Juta Rp 000,- Rp Juta
Produksi Bahan Baku (kokon) kg/tahun 306 1238
Benang Jumlah Produksi kg/tahun 39 163,4
Harga Produk Rp/kg 400 330
Pendapatan Rp/tahun 53,92
Produksi Bahan Baku (benang) kg/tahun 39 240
Kain Jumlah Produksi
Kain Ikat unit/tahun 292
Kain Sarung unit/tahun 156 697
Harga Produk Rp/unit
Kain Ikat 250
Kain Sarung 180 300
Pendapatan Rp/tahun 28,08 282
Kain Ikat 73
Kain Sarung 209
JumlahTotal
Tahapan Item Satuan
Kab. Enrekang
Kelompok Tani Pallis KUB Sinar Buntu Kurung UPT Tekstil Pertenunan Nenek Mallomo
JumlahTotal
Jumlah
Kab. Polewali Mandar
TotalJumlah
Total
53
Tabel Lampiran 6 Jumlah dan nilai ekspor sutera Indonesia tahun 2004 – 2010
Kode
(HS)
Item
Ekspor
Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
(kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg)
500100 Silk-worm cocoons suitable for reeling 26.156 - 2.163 1.845 266 57 3.319
500200 Raw silk (not thrown) 38.988 - 4.045 - - - -
500310 Silk waste, not carded or combed 8 - - 2.956 2.835 6.730 1.766
500390 Silk waste, carded or combed 316.036 45.281 15.810 - - - -
500400 Silk yarn (except from waste) not retail 9.613 913 183 - - - -
500500 Yarn spun from silk waste, not retail 337.884 58.148 14.905 2.221 - - -
500600 Silk yarn retail, silk worm gut 6.096 - 6 - - - 18
500710 Woven fabric of noil silk 1.033.753 1.688.636 33.129 2.268 1.595 10.399 5.983
500720 Woven fabric >85% silk (except noil silk) 1.260 12.303 28.604 4.509 82.310 11.851 79
500790 Woven fabric of silk, nes 325.881 37.998 32.907 8.818 2.884 4.049 29.115
Total 2.095.675 1.843.279 131.752 22.617 89.890 33.086 40.280
Sumber : United Nations Statistics Diviion (2010)
54
Tabel Lampiran 6 Jumlah dan nilai ekspor sutera Indonesia tahun 2004 – 2010 (lanjutan)
Kode
(HS)
Item
Ekspor
Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
(USD) (USD) (USD) (USD) (USD) (USD) (USD)
500100 Silk-worm cocoons suitable for reeling 128.825 - 55.316 36.127 26.596 7.861 6.138
500200 Raw silk (not thrown) 86.929 - 12.136 - - - -
500310 Silk waste, not carded or combed 1.623 - - 2.365 1.138 4.710 1.413
500390 Silk waste, carded or combed 201.913 42.280 67.116 - - - -
500400 Silk yarn (except from waste) not retail 136.780 2.613 2.260 - - - -
500500 Yarn spun from silk waste, not retail 681.677 121.999 55.722 10.301 - - -
500600 Silk yarn retail, silk worm gut 33.359 - 12 - - - 6
500710 Woven fabric of noil silk 7.665.130 9.507.509 373.788 135.002 42.130 44.266 72.472
500720 Woven fabric >85% silk (except noil silk) 20.032 72.868 125.192 17.521 1.156.432 174.728 6.824
500790 Woven fabric of silk, nes 817.746 235.093 276.882 127.936 22.049 52.960 -
Total 9.774.014 9.982.362 968.424 329.252 1.248.345 284.525 86.853
Sumber : United Nations Statistics Diviion (2010)
55
Tabel Lampiran 7 Jumlah dan nilai impor sutera Indonesia tahun 2004 – 2010
Kode
(HS)
Item
Impor
Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
(kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg)
500100 Silk-worm cocoons suitable for reeling 164.120 59.612 6.020.818 6.357 333.946 321.523 4.384
500200 Raw silk (not thrown) 26.233 252.024 47.021 18.312 38.927 36.685 7.390
500310 Silk waste, not carded or combed - - - 2 48.721 1.725 -
500390 Silk waste, carded or combed 3.358 274 24.302 - - - -
500400 Silk yarn (except from waste) not retail 231.964 310.958 315.611 142.992 269.517 248.804 246.479
500500 Yarn spun from silk waste, not retail 80.190 54.010 10.964 12.258 93.718 20.720 32.879
500600 Silk yarn retail, silk worm gut 16.684 20.824 17.812 29.233 47.264 79.069 138.595
500710 Woven fabric of noil silk 1.366 7.048 12.315 37.208 632.855 47.614 58.053
500720 Woven fabric >85% silk (except noil silk) 7.501 1.937 3.652 16.081 18.776 193.142 182.543
500790 Woven fabric of silk, nes 4.183 16.771 9.547 194 163.024 29.597 130.061
Total 535.599 723.458 6.462.042 262.637 1.646.748 978.879 800.384
Sumber : United Nations Statistics Diviion (2010)
56
Tabel Lampiran 7 Jumlah dan nilai impor sutera Indonesia tahun 2004 – 2010 (lanjutan)
Kode
(HS)
Item
Impor
Tahun
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
(USD) (USD) (USD) (USD) (USD) (USD) (USD)
500100 Silk-worm cocoons suitable for reeling 142.309 319.564 2.023.313 30.988 2.344.226 2.375.301 16.693
500200 Raw silk (not thrown) 91.837 500.039 141.200 17.378 814.932 181.529 202.209
500310 Silk waste, not carded or combed - - - 6 420.133 13.870 -
500390 Silk waste, carded or combed 613 1.003 3.872 - - - -
500400 Silk yarn (except from waste) not retail 1.044.695 911.464 898.248 566.729 1.870.349 805.384 1.056.096
500500 Yarn spun from silk waste, not retail 113.923 89.385 26.263 18.205 238.609 258.993 173.778
500600 Silk yarn retail, silk worm gut 26.217 33.189 85.174 132.780 272.396 198.450 151.325
500710 Woven fabric of noil silk 35.377 159.222 190.784 203.238 5.442.343 1.268.927 638.322
500720 Woven fabric >85% silk (except noil silk) 89.130 30.950 78.889 56.934 216.179 1.522.089 2.445.459
500790 Woven fabric of silk, nes 11.491 109.466 204.505 6.940 1.466.810 534.032 2.161.519
Total 1.555.592 2.154.282 3.652.248 1.033.198 13.085.977 7.158.575 6.845.401
Sumber : United Nations Statistics Diviion (2010)
57
Tabel Lampiran 8 Tanaman murbei untuk sutera alam Indonesia tahun 2005-2010
No Provinsi
Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010
(ha) (ha) (ha) (ha) (ha) (ha)
1 Aceh - - - - - -
2 Sumatera Utara 350,00 350,00 350,00 - 10,00 18,00
3 Sumatera Barat 24,00 24,00 24,00 - 8,00 8,00
4 Riau - - - - - -
5 Jambi - - - - - -
6 Sumatera Selatan 144,00 144,00 229,00 - - -
7 Bengkulu - - - - - -
8 Lampung 68,00 68,00 68,00 - 25,00 25,00
9 Bangka Belitung - - - - - -
10 Kep. Riau - - - - - -
11 DKI Jakarta - - - - - -
12 Jawa Barat 1.381,00 326,55 326,55 608,10 608,10 608,10
13 Jawa Tengah 725,00 725,00 523,52 529,50 273,00 273,00
14 DI Yogyakarta 329,00 329,00 329,00 19,00 19,00 19,00
15 Jawa Timur - 20,00 - - - -
16 Banten - - - - - -
17 Bali 45,00 45,00 45,00 32,45 32,45 32,45
18 Nusa Tenggara Barat 23,00 23,00 46,00 12,00 12,00 12,00
19 Nusa Tenggara Timur 23,00 23,00 - 96,50 96,50 96,50
20 Kalimantan Barat - - - - - -
21 Kalimantan Tengah - - - - - -
22 Kalimantan Selatan - - - - - -
23 Kalimantan Timur - - - - - -
24 Sulawesi Utara - - - - 246 246
25 Sulawesi Tengah - 122,00 122,00 44,50 44,50 44,50
26 Sulawesi Selatan 1.461,00 1.461,00 1.481,00 2.543,00 2614,8 624,52
27 Sulawesi Tenggara - - - 475,00 4,75 4,75
28 Gorontalo - - - 246,00 - -
29 Sulawesi Barat - - - 52,00 52 52
30 Maluku - - - - - -
31 Maluku Utara - - - - - -
32 Papua Barat - - - - - -
33 Papua - - - - - -
Jumlah 4.573,00 3.660,55 3.544,07 4.658,05 4.046,10 2.063,82
Keterangan: (-) tidak ada tanaman
Sumber: Ditjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (2010)
58
Tabel Lampiran 9 Produksi benang sutera Indonesia tahun 2005-2010
No Provinsi
Tahun
2005 2006 2007 2008 2009 2010
(ton) (ton) (ton) (ton) (ton) (ton)
1 Aceh - - - - - -
2 Sumatera Utara 0,10 0,28 0,28 - 0,01 0,02
3 Sumatera Barat - - - 0,01 0,01 0,03
4 Riau - - - - - -
5 Jambi - - - - - -
6 Sumatera Selatan - - - - - 0,02
7 Bengkulu - - - - - -
8 Lampung 0,20 0,06 0,06 - - -
9 Bangka Belitung - - - - - -
10 Kep. Riau - - - - - -
11 DKI Jakarta - - - - - -
12 Jawa Barat 2,50 34 0,34 1,72 0,81 0,77
13 Jawa Tengah 4,90 3,17 - 1,75 1,38 0,50
14 DI Yogyakarta 0,30 0,12 0,12 - 0,01 -
15 Jawa Timur - - - - 0,06 0,03
16 Banten - - - - - -
17 Bali 0,25 0,01 0,01 0,03 0,01 0,01
18 Nusa Tenggara Barat 0,90 0,01 - 0,01 - -
19 Nusa Tenggara Timur 0,90 0,01 - 0,04 0,02 0,03
20 Kalimantan Barat - - - - - -
21 Kalimantan Tengah - - - - - -
22 Kalimantan Selatan - - - - - -
23 Kalimantan Timur - - - 0,01 - -
24 Sulawesi Utara - 0,64 0,64 1,24 1,11 -
25 Sulawesi Tengah - 0,05 0,05 0,07 0,01 -
26 Sulawesi Selatan 59,00 8,94 - 31,55 15,81 15,00
27 Sulawesi Tenggara 0,40 - - - - -
28 Gorontalo - - - - - -
29 Sulawesi Barat - 0,02 0,02 0,43 0,04 0,13
30 Maluku - - - - - -
31 Maluku Utara - - - - - -
32 Papua Barat - - - - - -
33 Papua - - - - - 0,01
Jumlah 69,45 13,64 1,52 36,86 19,28 16,57
Keterangan: (-) tidak ada produksi
Sumber: Ditjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (2010)