analisa thermal dan morfologi campuran aspal …
TRANSCRIPT
ANALISA THERMAL DAN MORFOLOGI CAMPURAN ASPAL BITUMEN DENGAN RESIPREN
SKRIPSI
ABDUL KADIR JAILANI
150822001
DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISA THERMAL DAN MORFOLOGI CAMPURAN ASPAL BITUMEN DENGAN RESIPREN
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi syarat mencapai gelar Sarjana Sains.
ABDUL KADIR JAILANI
150822001
DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PERNYATAAN ORISINALITAS
ANALISA THERMAL DAN MORFOLOGI CAMPURAN ASPAL BITUMEN DENGAN RESIPREN
SKRIPSI
Saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri, kecuali beberapa
kutipan dan ringkasan yang masing-masing disebutkan sumbernya.
Medan, 6 Februari 2018
Abdul Kadir Jailani
15 08 22 001
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGESAHAN SKRIPSI Judul : ANALISA THERMAL DAN MORFOLOGI CAMPURAN ASPAL BITUMEN DENGAN RESIPREN Kategori : SKRIPSI Nama : ABDUL KADIR JAILANI Nomor Induk Mahasiswa : 150822001 Program Studi : SARJANA (S1)/ KIMIA EKSTENSI Departemen : KIMIA Fakultas : MIPA - UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Disetujui di, Medan, Februari 2018
Komisi Pembimbing Pembimbing 2 Pembimbing 1 Dr. Yugia Muis, M.Si Prof. Dr. Thamrin, M.Sc NIP. 195310271980032003 NIP.196007041989031003 Ketua Program Studi Kimia FMIPA USU
Dr. Cut Fatimah ZuhraM.Si
NIP: 197405051999032001
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ANALISA THERMAL DAN MORFOLOGI CAMPURAN ASPAL
BITUMEN DENGAN RESIPREN
ABSTRAK
Analisa Thermal dan Morfologi pada campuran aspal bitumen dengan
resipren telah dilakukan. Aspal modifier dibuat dalam 7 jenis variasi perbandingan
aspal, bitumen, dengan resipren yang telah dilarutkan dengan toluena sebesar
75:20:5 ; 70:20:10 ; 65:20:15 ; 60:20:20 ; 55:20:25 (v/v/b) dalam 100 ml,
penambahan agregat pasir halus 300 gram dan agregat kasar kerikil 50 gram, dan
diproses dalam ekstruder pada suhu 150o
C. Sifat termal aspal modifier di uji
dengan DTA, morfologi dengan SEM dan XRD. Hasil analisa DTA menunjukkan
bahwa variasi sampel 5 dengan suhu dekomposisi Tm sebesar 480 ºC dan hasil
analisa SEM menunjukkan kualitas aspal lebih bagus dibandingkan dengan variasi
sampel 6.
Kata kunci: Aspal, Bitumen, Resipren, SEM,DTA,XRD,Sifat Morfologi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
THERMAL AND MORPHOLOGY ANALYSIS MIXED BITUMEN ASPHALES WITH RESIPREN
ABSTRACT
Thermal and Morphological analysis on bituminous asphalt mixture with Resipren has been done. Asphalt modifier is made in 7 varieties of asphalt, bituminous, with Resipren-diluted toluene ratio of 75: 20: 5; 70:20:10; 65:20:15; 60: 20: 20; 55:20:25 (v / v / b) in 100 ml, an addition of 300 g of fine sand aggregate and 50 gram gravel aggregate, and processed in an extruder at a temperature of 150 ° C. The thermal properties of bitumen modifier were tested with DTA, morphology with SEM and XRD. The DTA analysis showed that sample 5th with decomposition temperature (Tm) of 480 ºC and SEM analysis results showed better quality of asphalt compared sample 6th.
Keywords: Asphalt, Bitumen, Resipren, SEM, DTA, XRD, Morphological Properties.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGHARGAAN
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt, karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya hingga Penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini
dengan judul Analisa Thermal Dan Morfologi Campuran Aspal Bitumen Dengan
Resipren.
Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Thamrin, M.Sc
selaku pembimbing I dan Ibu Dr. Yugia Muis, M.Si selaku pembimbing II yang
telah meluangkan waktunya selama penyusunan skripsi ini. Terimakasih kepada
Ibu Dr. Cut Fatimah Zuhra, M.Si selaku ketua program studi dan sekretaris
program studi S1-Kimia Ekstensi FMIPA-USU, dekan dan wakil dekan FMIPA-
USU, seluruh staf dan dosen program studi S-1 Kimia Ekstensi FMIPA-USU,
pegawai dan rekan-rekan kuliah. Akhirnya tidak terlupakan kepada Ibu dan
keluarga yang selama ini memberikan bantuan dan dorongan yang diperlukan.
Semoga Allah Swt akan membalasnya.
Medan, 6 Februari 2018
Abdul Kadir Jailani
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR ISI
Halaman
PENGESAHAN SKRIPSI i ABSTRAK ii ABSTACT iii PENGHARGAAN iv DAFTAR ISI v DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR viii DAFTAR LAMPIRAN ix DAFTAR SINGKATAN x BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1 1.2 Perumusan Masalah 3 1.3 Pembatasan Masalah 3 1.4 Tujuan Penelitian 4 1.5 Manfaat Penelitian 5 1.6 Metodologi Penelitian 5 1.7 Lokasi Penelitian 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aspal 7 2.1.1 Jenis – jenis Aspal 8
2.1.2 Kandungan Aspal 9 2.2 Bitumen 10
2.2.1 Kandungan Bitumen 11 2.2.2 Klasifikasi Bitumen 11
2.2.2.1 Bitumen Padat 12 2.2.2.2 Bitumen Cair 13 2.2.2.3 Klasifikasi Bitumen kelas SARA 13 2.2.2.4 Klasifikasi Bitumen kelas PONA 16
2.2.3 Modifikasi Polimer Bitumen 16 2.2.4 Kegunaan Bitumen 17
2.3 Karet Alam 18 2.3.1 Jenis – jenis Karet Alam 18
2.4 Resipren 19
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.5 Agregat 20 2.6 Karakterisasi Aspal Modifier 22
2.6.1 Analisa Thermal dengan DTA (Differentiak Thermal Analysis) 22 2.6.2 Analisa SEM (Scanning Electron Microscopy) 24
2.6.3 Analisa X-Ray Diffraction (XRD) 26 2.6.3.1 Prinsip Kerja XRD (X-Ray Diffraction) 26
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Bahan 28 3.2 Alat 28 3.3 Prosedur Penelitian 29
3.3.1 Preparasi Agregat 29 3.3.1.1Preparasii Agregat Halus 29 3.3.1.2 PreparasiAgregat Kasar 29
3.3.2 Proses Pembuatan Aspal Modifier 30 3.3.3 Karakterisasi Aspal Modifier 31
3.3.3.1 Analisa Sifat Thermal dengan Differential Thermal Analysis (DTA) 31 3.3.3.2 Analisa Sifat Morfologi dengan Scanning Electron Microscopy (SEM) 31 3.3.3.3 Analisa dengan menggunakan X-Ray Diffraction (XRD) 32
3.4 Bagan Penelitian 33 3.4.1 Preparasi Agregat Halus 33 3.4.2 Preparasi Agregat Kasar 33 3.4.3 Poses Pembuatan Aspal Modifier 34
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1Karakteristik berdasarkan Analisa Sifat Thermal dengan Differential Thermal Analysis (DTA) 35
4.2 Karakterisasi berdasarkan Scanning Electron Microscopy (SEM) 37 4.3 Karakteristik berdasarkan Analisa dengan menggunakan X-Ray
Diffraction (XRD) 44
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 45 5.2 Saran 46
Daftar Pustaka 47 Lampiran 50
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR TABEL
Nomor
Tabel Judul Halaman
2.1. Sifat Dasar Bitumen 12
2.2 Ketentuan Agegat 21
3.1 Bahan – bahan penelitian 28
3.2 Alat – alat penelitian 28
3.3. Variasi Sampel 30
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Gambar Judul Halaman
2.1. Struktur Asphaltenes 14
2.2. Struktur Saturate 14
2.3. Struktur Karet Alam Cis-1,4-Poliisoprena 18
2.4. Pola Umum Kurva DTA 23
2.5. Difraksi Bragg 27
4.1. Grafik Hasil Pengujian DTA Terhadap Aspal, Bitumen,
dan Resipren (55 : 20 : 25) 36
4.2. Grafik Hasil Pengujian DTA Terhadap Aspal dan
Resipren (80 : 0 : 20) 37
4.3. Hasil SEM Aspal, Bitumen, dan Resipren (55 : 20 : 25)
untuk perbesaran 100,500,1000,2500, dan 5000 38-41
4.4. Hasil SEM Aspal, Bitumen, dan Resipren (80 : 0 : 20)
untuk perbesaran 100,500,1000,2500, dan 5000 42-44
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Lampiran Judul Halaman
1. Foto Bahan Penelitian 51
2. Foto Alat Penellitian 52
3. Aktivitas Penelitian 53
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR SINGKATAN
PONA = Parafin ,Oefin , Naftalen, dan Aromatis
SARA = Saturates, Aromatis, Resin, danAspal
AASHTO = American Association of State Highway and Trasnsportation
Officials
ASTM = American Standart Testing and Material
SNI = Standar Nasional Indonesia
SEM = Scanning Electron Microscopy
DTA = Differential Thermal Analysis
XRD = X-Ray Diffraction
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dewasa ini sudah tidak asing lagi bagi kita untuk mengetahui dan menyadari
kondisi jalan raya yang rusak yang menjadi faktor penghambat aktifitas
transportasi. Hal ini ini dipengaruhi oleh rendahnya produksi kilang minyak
terhadap kebutuhan aspal, iklim tropis di Indonesia, curah hujan yang tinggi, dan
padatnya aktivitas mobilisasi angkutan orang maupun barang setiap harinya.
Aspal konvensional yang biasa digunakan sebagai bahan campuran panas
(hotmix) cenderung memiliki viskositas dan titik leleh yang rendah, mudah
dipengaruhi oleh suhu dan beban yang melintas di atasnya. Pada siang hari di
Indonesia dengan suhu yang tinggi ditambah dengan adanya beban dari lalu lintas
yang besar akan semakin memperbesar kemungkinan jalan akan mengalami
kerusakan yang permanen. Sementara itu, terkait dengan curah hujan yang tinggi,
air hujan akan sering menggenangi permukaan jalan. Tipikal kerusakan karena
pengaruh air adalah lubang. Sekali lubang terbentuk maka air akan tertampung di
dalamnya sehingga dalam hitungan minggu lubang yang semula kecil dapat
membesar lebih cepat. Selain itu, kerusakan pada jalan aspal umumnya berkaitan
dengan beban roda yang berat, peningkatan tekanan ban, eskalasi atau
meningkatnya jumlah lalu lintas dan kerusakan kelembaban (Brown, 1990).
Salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai bahan pengikat pada aspal
adalah bitumen. Bitumen biasanya ditemukan sebagai bahan yang berwarna coklat
kehitaman, yang diperoleh dari hasil destilasi minyak mentah. Secara luas telah
digunakan sebagai bahan pengikat mineral – mineral yang ada pada jalan, trotoar,
dan juga sebagai bahan tahan air yang digunakan dalam pembuatan atap. Bitumen
memiliki kombinasi penyusunan yang sangat baik karena dapat tahan terdapat air
dan bersifat perekat yang telah lama digunakan lebih dari 5000 tahun.
(McNally,T.2011).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Akan tetapi, bitumen memiliki sifat mekanik yang lemah dimana akan
mudah rapuh pada keadaan dingin akan cepat melunak dan mencair dalam
keadaan panas. Salah satu metode yang digunakan untuk menguatkan bitumen
adalah mencampurkannya dengan bahan polimer. (Mc Nally,2011).
Resipren 35 merupakan sebuah karet alam siklis yang larut dalam pelarut
yang tidak berbau, khususnya hidrokarbon alifatik dan campuran aromatik dan
alifatik, cocok untuk melindungi dan menjaga lapisan dan untuk cat kapal laut.
Resipren 35 berada pada posisi yang memiliki kualitas paling tinggi di produk
resin. Resipren merupakan resin karet siklis dari karet alam yang memiliki
viskositas larutan yang tinggi, dibuat seperti padatan yang berbentuk butiran.
Resipren memiliki ketahanan terhadap proses penyabunan dan ketahanan kimia
bahan pengikat yang dapat digunakan dalam penggabungan dengan plasticizer
yang cocok untuk pelapis yang tahan, untuk aplikasi pada baja suatu beton, karena
kelarutannya dalam pelarut hidrokarbon alifatik dan kompatibilitasnya dengan
kebanyakan minyak rantai panjang. Resipren adalah bahan baku dari berbagai
jenis produk industri diantaranya : pernis, cat kapal, tinta cetak, pelapis cermin,
cat dekorasi, sebagai isolator listrik, cat dasar kendaraan (Bukit, 2011).
Penelitian terdahulu mengenai analisa thermal dan morfologi pada
campuran aspal bitumen dengan resipren belum banyak diteliti. Informasi sifat
termal suatu bahan sangat dibutuhkan, sebab sifat ini sangat dikaitkan dengan
peruntukannya. Berapa hal yang sangat mempengaruhi sifat termal adalah sifat
dari masing-masing polimer dan teknologi prosesnya. Karakteristik termal
memegang peranan penting terhadap sifat suatu bahan karena erat dengan struktur
dalam bahan itu sendiri.
Jun Li ( 2007) telah melakukan penelitian dengan menggunakan EMA - g –
LDPE yang dimodifikasi dengan bitumen dari Qinhuangdao. Hasil yang didapat
ialah bitumen yang dimodifikasidengan GMA - g – LDPE memiliki sifat yang
tahan rutting lebih baik pada suhu dan kelelehan yang tinggi , dan ketahanan retak
pada suhu rendah dibandingkan dengan bitumen yang dimodifikasi dengan LDPE.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gonzales V (2011) telah melakukan penelitian tentang pengolahan
modifikasi bitumen dengan karet ban remah dan zat polimer tambahan.
Dimanahasil yang didapatkan bahwa semua zat polimer tambahan yang digunakan
berhasil meningkatkan sifat reologi pada bahan pengikatnya. Dalam waktu
pengerjaan 2 – 3 jam dapat menyebabkan peningkatan kekuatan pada bitumen dan
bertambahnya keelastisan dari karet ban remah yang digunakan.
Kischynsky et al. (2016) telah melakukan penelitian tentang meningkatkan
kualitas dan daya tahan bitumen dan aspal dengan modifikasi menggunakan daur
ulang polietilen komposisi polimer dasar.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin mencoba melakukan
penelitian tentang analisa thermal & morfologi pada campuran aspal bitumen
dengan resipren. Dimana dengan adanya penambahan resipren diharapkan
terdapat perbedaan thermal dan sifat morfologi dari aspal modifikasi yang
dihasilkan.
1.2 Perumusan Masalah
Adapun permasalahan pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana perbandingan material yang optimum antara campuran aspal yang
dimodifikasi dengan resipren dan bitumen.
2. Bagaimana karakteristik sifat thermal dari campuran aspal dengan modifier
bitumen.
3. Bagaimana karakteristik sifat morfologi dari aspal modifikasi yang telah
dicampurkan dengan resipren dan bitumen.
1.3 Pembatasan Masalah
Pada penelitian ini permasalahan yang dibatasi pada :
1. Aspal yang digunakan yaitu aspal produksi asal Iran dengan type grade 60/70
yang diperoleh dari distributor PT.Gudang Aspal 51, Medan Sumatera Utara.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Bahan pengikat yang digunakan yaitu Resipren yang diperoleh dari produksi
PT.Industri Karet Nusantara.
3. Bahan perekat yang digunakan yaitu bitumen cair ( bitumen peneteration)
dengan type composite produksi asal Malaysia yang diperoleh dari
Inspectorate Malaysia SDN.BHD Malayisa.
4. Bahan agregat halus yang digunakan merupakan pasir yang diperoleh dari
took panglong CV. Setia Jaya Medan, Sumatera Utara.
5. Bahan agragat kasar yang digunakan merupakan batu kerikil yang diperoleh
dari CV. Setia Jaya Medan, Sumatera Utara.
6. Analisis dan karakterisasi yang dilakukan adalah analisa thermal dengan
menggunakan DTA (Differential Thermal Analysis), analisa morfologi dengan
menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy), dan XRD (X-Ray
Diffraction).
7. Spesimen uji berbentuk kubus ukuran sisi 5 cm.
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah di atas maka, tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui perbandingan optimum yang digunakan agar menghasilkan
aspal yang lebih baik.
2. Untuk mengetahui perbedaan temperatur pada aspal dan bitumen yang telah
dicampurkan dengan resipren.
3. Untuk mengetahui karakteristik sifat morfologi dari aspal modifikasi yang
telah dicampur dengan resipren dan bitumen.
1.5 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai pemanfaatan
bitumen sebagai bahan tambahan dalam modifikasi aspal yang meningkatkan sifat
morfologi dari aspal dan perbandingan temperaturnya.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1.6 Metodologi Percobaan
Penelitian ini bersifat eksperimental laboratorium, dimana pada penelitian ini
dilakukan beberapa tahapan yaitu :
1. Tahapan preparasi Agregat Halus dan Kasar.
2. Tahapan pembuatan Aspal Modifier
Pada tahapan ini variasai resipren direaksikan terlebih dahulu dengan bitumen
selanjutnya dicampurkan dengan variasi aspal, dan ditambahkan dengan
agregat dan batu kerikil. Campuran tersebut yang kemudian diblending
menggunakan ekstruder dan dicetak melalui Hot Compressor.
3. Tahapan Karakterisasi Aspal Modifier
Untuk karakterisasi yaitu dengan Analisa Thermal menggunakan DTA
(Differential Thermal Analysis), analisa morfologi dengan menggunakan
SEM (Scanning Electron Microscopy), dan XRD (X-Ray Diffraction).
Variabel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah :
• Variabel Bebas : - Bitumen cair, aspal dan resipren dengan variasi
perbandingan (v/v/b) :
20 : 75 : 5 ; 20 : 70 : 10 ; 20 : 65 : 15 ; 20 : 60 : 20 ; 20:
55 : 25 ; 0: 80 : 20 dan 20 : 80 : 0 .
• Variabel Tetap : - Agregat pasir halus 100 mesh 300 gram
- Agregat Batu Kerikil 50 gram
• Variable Terikat : - Uji Differential Thermal Analysis (DTA),
- Uji Scanning Electron Microscopy (SEM), dan
- Uji X-Ray Diffraction (XRD).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1.7 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Polimer Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara Medan. Analisa
morfologi dengan Uji Scanning Electron Microscopy (SEM) di Laboratorium
Pusat Penelitian Kimia LIPI, Serpong & Uji X-Ray Diffraction (XRD) di
Laboratorium Universitas Malikussaleh, Aceh. Uji thermal dengan
Differential Thermal Analysis (DTA) di Laboratorium PTKI, Medan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aspal
Aspal didefinisikan sebagai material perekat (cementitious), berwarna hitam atau
coklat tua dengan unsur utama bitumen. Aspal dapat diperoleh di alam ataupun
juga merupakan hasil residu dari pengilangan minyak bumi. Aspal merupakan
material yang umum digunakan untuk bahan pengikat agregat, oleh karena itu
seringkali bitumen disebut pula sebagai aspal. Pada suhu ruang, aspal adalah
material yang berbentuk padat sampai agak padat, dan bersifat termoplastis. Jadi,
aspal akan mencair jika dipanaskan sampai dengan temperatur tertentu, dan
kembali membeku jika temperatur turun. Bersama dengan agregat, aspal
merupakan material pembentuk campuran perkerasan jalan (Sukirman, 2003).
Aspal dikenal sebagai bahan atau material yang bersifat viskos atau padat,
berwarna hitam atau coklat, yang mempunyai daya lekat (adhesif), mengandung
bagian-bagian utama yaitu hidokarbon yang dihasilkan dari minyak bumi atau
kejadian alami (aspal alam) dan terlarut dalam karbondisulfida. Aspal sendiri
dihasilkan dari minyak mentah yang dipilih melalui proses destilasi minyak bumi.
Proses penyulingan ini dilakukan dengan pemanasan hingga temperatur 350o
Aspal adalah material yang termoplastik, berati akan menjadi keras atau
lebih kental jika temperatur berkurang dan akan lunak atau lebih cair jika
temperatur bertambah. Sifat ini dinamakan kepekaan terhadap perubahan
temperatur. Kepekaan terhadap temperatur dari setiap jenis aspal berbeda-beda,
yang dipengaruhi oleh komposisi kimiawi aspalnya, walaupun mungkin
mempunyai nilai penetrasi atau viskositas yang sama pada temperatur tertentu.
Pemeriksaan sifat kepekaan aspal terhadap perubahan temperatur perlu dilakukan
C
dibawah tekanan atmosfir untuk memisahkan fraksi-fraksi ringan, seperti gasoline
(bensin), kerosene (minyak tanah), dan gas oil (Wignall, 1999).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sehingga diperoleh informasi rentang temperatur yang baik untuk pelaksanaan
pekerjaan.
Aspal yang mengandung lilin (wax) lebih peka terhadap temperatur
dibandingkan dengan aspal yang tidak mengandung lilin. Hal ini terlihat pada
aspal yang mempunyai viskositas yang sama pada temperatur tinggi, tetapi sangat
berbeda viskositas pada temperatur rendah. Kepekaan terhadap temperatur akan
menjadi dasar perbedaan umur aspal untuk menjadi retak/mengeras. Parameter
pengukur kepekaan aspal terhadap temperatur adalah indeks penetrasi (penetration
index = PI) (Sukirman, 2003).
2.1.1 Jenis – jenis Aspal
Secara umum, jenis aspal dapat diklasifikasikan berdasarkan asal dan proses
pembentukannya adalah sebagai berikut :
a) Aspal Alamiah
Aspal alamiah ini berasal dari berbagai sumber, seperti pulau Trinidad dan
Bermuda. Aspal dari Trinidad mengandung kira-kira 40% organik dan zat-zat
anorganik yang tidak dapat larut, sedangkan yang berasal dari Bermuda
mengandung kira-kira 6% zat-zat yang tidak dapat larut. Dengan pengembangan
aspal minyak bumi, aspal alamiah relatif menjadi tidak penting (Oglesby, 1996).
b) Aspal Batuan
Aspal batuan adalah endapan alamiah batu kapur atau batu pasir yang
diperpadat dengan bahan-bahan berbitumen. Aspal ini terjadi di berbagai bagian
di Amerika Serikat. Aspal ini umumnya membuat permukaan jalan yang sangat
tahan lama dan stabil, tetapi kebutuhan transportasi yang tinggi membuat aspal
terbatas pada daerah-daerah tertentu saja (Oglesby, 1996)
c) Aspal Minyak Bumi
Aspal minyak bumi pertama kali digunakan di Amerika Serikat untuk
perlakuan jalan pada tahun 1894.Bahan-bahan pengeras jalan aspal sekarang
berasal dari minyak mentah domestik bermula dari ladang-ladang di Kentucky,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Ohio, Michigan, Illinois, Mid-Continent, Gulf-Coastal, Rocky Mountain,
California, dan Alaska.Sumber-sumber asing termasuk Meksiko, Venezuela,
Colombia, dan Timur Tengah. Sebesar 32 juta ton telah digunakan pada tahun
1980 (Oglesby, 1996).
Aspal pabrik, merupakan aspal yang terbentuk oleh proses yang terjadi
dalam pabrik, sebagai hasil samping dari proses penyulingan minyak bumi.
Aspalpabrik ini, mempunyai kualitas standard. Aspal pabrik terbagi kedalam tiga
jenis, yaitu :
1) Aspal emulsi, yaitu campuran aspal (55%-65%), air (35%-45%) dan bahan
emulsi 1% sampai 2%. Di pasaran ada dua macam aspal emulsi, yaitu jenis
aspal emulsi anionik (15%) dan jenis aspal emulsi kationik (di pasaran lebih
banyak, yaitu sebesar 85%).
2) Aspal cair, disebut juga aspal cut-back, yang dibagi-bagi menurut proses
fraksinya. Misalnya Slow Curing (SC), Medium Curing (MC) dan Rapid
Curing (RC).
3) Aspal beton, disebut juga Asphalt Concrete (AC) yang dibagi-bagi menurut
angka penetrasinya. Misal : AC 40/60, AC 80/100, dan seterusnya. Umumnya
aspal beton yang digunakan dalam proyek-proyek konstruksi jalan terbagi atas
beberapa jenis yaitu jenis aspal beton campuran panas atau dikenal dengan
Hot Mix Asphalt Concrete (HMAC) merupakan aspal yang paling umum
digunakan dalam jalan raya, sedangkan jenis lainya seperti aspal beton
campuran hangat, aspal beton campuran dingin, dan aspal mastis (Asiyanto,
2008).
2.1.2 Kandungan Aspal
Kandungan aspal terdiri dari senyawa asphaltenes dan maltene. Asphaltenes
merupakan campuran kompleks dari hidrokarbon, yang terdiri dari cincin
aromatik kental dan senyawa heteroaromatik yang mengandung belerang, serta
amina, amida, senyawa oksigen (keton, fenol atau asam karboksilat), nikel dan
vanadium.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Di dalam maltene terdapat tiga komponen penyusun yaitu saturates,
aromatis, dan resin, dengan struktur ditunjukkan pada Gambar 2.1 dan 2.2 Dimana
masing-masing komponen memiliki struktur dan komposisi kimia yang berbeda,
dan sangat menentukan dalam sifat rheologi bitumen. Aspal merupakan senyawa
yang kompleks, bahan utamanya disusun oleh hidrokarbon dan atom-atom N, S,
dan O dalam jumlah yang kecil, juga beberapa logam seperti Vanadium, Ni, fe, Ca
dalam bentuk garam organik dan oksidanya. (Nuryanto, A. 2008).
2.2 Bitumen
Bitumen adalah produk olahan sebagian kecil dari destilasi minyak mentah, pada
umunya diakui bahwa minyak mentah dari sisa makhluk hidup laut dan bahan
sayuran yang terendap dengan lumpur dan pecahan batuan di lautan. (Shell
Bitumen, 2003).
Menurut British Standart 3690, bagian 1 : 1989, bitumen merupakan
cairan kental atau padatan yang terdiri dari hidrokarbon dan turunannya, yang
dapat larut dalam pelarut trikloroetilen dan merupakan senyawa non – volatile dan
akan melunak apabila dipanaskan. Bitumen memiliki kombinasi unik kedap air
yang sempurna dan sifat adesif yang telah digunakan dengan efektif selama lebih
5000 tahun. Bitumen merupakan bahan thermoplastic yang berharga rendah
ataupun murah dan biasanya digunakan sebagai atap, jalan dan juga trotoar. Akan
tetapi, bitumen memiliki sifat mekanik yang lemah dimana akan mudah rapuh
pada keadaan dingin akan cepat melunak dan mencair dalam keadaan panas. Salah
satu metode yang digunakan untuk menguatkan bitumen adalah
mencampurkannya dengan bahan polimer. (Mc Nally,2011).
Sejak permulaan abad 20 permintaan bitumen telah melebihi kemampuan
dari yang dapat dihasilkan oleh alam. Biasanya bitumen ditemukan disekitar
endapan minyak dibawah tanah. Dimana permukaan rembesan bias terjadi pada
kesalahan biologis. Jumlah dan sifat material yang terjadi secara alamiah ini
tergantung pada jumlah proses alam yang mana membatasi sifat dari material ini.
Produk ini sering disertai dengan bahan mineral, jumalh dan sifat yang bergantung
pada keadaan sekitar menyebabkan campuran terjadi (whiteoak,1990).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.2.1 Kandungan Bitumen
Bitumen dianggap sebagai campuran kompleks dari berat molekul yang tinggi
hidrokarbon dan nonhidrokarbon yang mana dapat dipisahkan menjadi sifat yang
terdiri dari aspal, resin, aromatik dan parfin (Traxler,1963).
Tiga jenis hidrokarbon saat ini dalam bitumen, paraffin, naftana dan
aromatik. Non hidrokarbon dalam bitumen memiliki atom heterosiklik terdiri dari
sulfur, nitrogen, nitrogen dan oksigen. Analisis dasar mengenai bitumen
dihasilkan dari berbagai macam minyak mentah menunjukkan bahwa kebanyakan
bitumen mengandung :
- Karbon 82 – 85 %
- Hydrogen 8 – 11 %
- Sulfur 0 – 6 %
- Oksigen 0 – 1,5 %
- Nitrogen 0 – 1 %
Sedikit banyaknya logam seperti nikel, besi, vanadium, kalsium, magnesium, dan
kromium juga ditemukan dalam bitumen (Atherton et al,1987).
2.2.2 Klasifikasi Bitumen
Ada banyak kebingungan dalam penggunaan dan penasfsiran dari istilah
“bitumen”, aspal bitumen, ataupun aspal murni. Dala tigam dekade terkahir,
upaya yang dibuat untuk mengembangkan tata nama yang seragam dari bahan-
bahan bitumen yang ada di dunia. Tidak adanya kesepakatan yang diperoleh dari
usaha ini dan berbagai skema pengklasifian bitumen telah dibuat dan diusulkan
oleh para peneliti yang berbeda dalam membagi jenis dari zat – zat yang ada pada
bitumen. (Chilingarian, G.V.1987).
Bitumen dikelompokkan berdasarkan cara mendapatkannya yaitu Bitumen
alam (bitumen gunung, bitumen danau) dan bitumen buatan (bitumen minyak dan
tar). Secara umum komposisi dari bitumen terdiri dari asphaltenes dan maltenes.
Asphaltenes merupakan material berwarna hitam atau coklat tua larut dalam
heptanes sedangkan maltenes merupakan cairan kental terdiri dari resin dan
minyak, larut dalam heptanes. Bitumen secara kimia terdiri dari aromat, parafin
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
dan olefin, sedangkan kandungan bitumen secara fisik terdiri dari asphaltenes,
maltenes, resin. Pada bitumen buatan, maltene lebih dominan (lebih banyak),
sehingga bentuknya semipadat, sedangkan bitumen alam kebanyakan
mengandung asphaltene saja, sehingga bentuknya cenderung padat.
Sifat dasar dari bitumen seperti ditunjukkan pada Tabel 2.1 Berdasarkan
bentuknya, bitumen dibagi ke dalam 3 golongan yaitu bitumen padat, emulsi, dan
cair. Bitumen padat adalah bitumen yang pada suhu ruang berbentuk padat dan
dalam keadaan panas berbentuk cair. Bitumen emulsi merupakan suatu campuran
bitumen dengan air dan bahan pengemulsi. Sedangkan bitumen cair adalah
bitumen yang pada suhu ruang berbentuk cair dan merupakan campuran bitumen
keras dengan bahan pencair dari hasil penyulingan minyak bumi, dapat dilarutkan
dalam zat pelarut yang berupa nafta, kerosin, atau minyak gas.
Tabel 2.1 Sifat Dasar Bitumen
No Sifat Bitumen/aspal
1 Warna Coklat - hitam
2 Bentuk Cair - padat
3 Dalam CS2/CCl Larut 4
4 Dalam Air Tidak larut
5 Bau Berbau
6 Aromat Ada yang
bergandengan
(Mirawaty,2011)
2.2.2.1 Bitumen Padat
Bitumen padat adalah batuan sedimen yang mengandung material organik, yang
akan menghasilkan minyak melalui proses penyulingan atau retort. Umumnya
batuan yang dikategorikan sebagai bitumen padat berupa serpih, namun batuan
lain pun dapat juga dikategorikan sebagai bitumen padat dengan syarat memiliki
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sejumlah material organik yang dapat menghasilkan minyak dengan retorting
proses.
Bitumen padat didefinisikan sebaga batuan sedimen klastik halus seperti
serpih, lanau, batulempung ataupun batupasir yang kaya akan material organik
dan mempunyai prospek untuk menghasilkan sejumlah minyak dan gas melalui
proses geologi tertentu. Setelah mengalami pemanasan pada suhu tertentu material
organik tersebut mengalami dekomposisi dan melepaskan hidrokarbon dalam
bentuk uap dan setelah melalui proses pendinginan akan berubah menjadi minyak
atau gas. Bitumen padat juga merupakan energi fosil yang sangat memungkinkan
untuk dikembangkan sebagai salah satu energi alternatif untuk mensubtitusi energi
yang digunakan saat ini (Subarnas,2001).
2.2.2.2 Bitumen Cair
Bitumen cair dibedakan dalam beberapa kelas sesuai dengan pelarut yang berbeda
dalam teknik ekstraksi. Dua klasifikasi paling umum yang dikenal dengan
singkatnya adalah :
- SARA (Minyak Jenuh (Saturates), Aromatis, Resin, dan Aspal)
- PONA (Parafin, Oktfin, Naftan, dan Aromatis)
2.2.2.3 Klasifikasi Bitumen kelas SARA
Bitumen biasanya dibagi berdasarkan empat fraksi yang ada pada umumnya, yaitu
Minyak Jenuh (Saturates), Aromatis, Resin, dan Aspal, secara bersamaan
keempatnya disebut dengan SARA.
Semula klasifikasi ini dibuat dengan kromatografi kolom dengan
menggunakan perbedaan bahan penyerap dan pelarut. Teknik yang digunakan
dalam analasis SARA didasarkan pada penyerapan bitumen atau fraksinya di
dlaam kolom dengan adsorben yang aktif dan kemudian mengelusi partikel dari
fraksi dengan pelarut yang selektif. Fraksi ini digunakan selanjutnya untuk
analisis kimia. (Banerjee,K.D. 2012)
a. Asphaltene. Kelompok ini membentuk butiran halus, berdasarkan struktur
benzene aromatis serta berat molekul tinggi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 2.1 Struktur Asphaltenes
a) Oil. Kelompok ini berbentuk cairan yang melarutkan asphaltene, tersusun dari
paraffin, siklo paraffin dan aromatis serta mempunyai berat molekul rendah.
b) Resin. Kelompok ini membentuk cairan penghubung asphaltenese dan
mempunyai berat molekul sedang. Selanjutnya gabungan oil dan resin sering
disebut maltene.
Fungsi kandungan aspal dalam campuran juga berperan sebagai selimut
agregat dalam bentuk film aspal yang berperan maenahan gaya gesek permukaan
dan mengurangi kandungan pori udara yang juga berarti mengurangi penetrasi air
ke dalam campuran (Rianung, 2007).
Di dalam maltene terdapat tiga komponen penyusun yaitu saturate,
aromatis, dan resin. Dimana masing-masing komponen memiliki sturktur dan
komposisi kimia yang berbeda, dan sangat menentukan dalam sifat rheologi
bitumen.
Gambar 2.2 Struktur Saturate
Berikut sifat – sifat dari senyawa penyusunannya :
a) Asphaltene
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1. Berwarna hitam/coklat amorf, bersifat termoplastik dan sangat polar,
merupakan komplek aromatis, H?C ratio 1:1, berat molekul 1000-100000,
dan tidak larut dalam n-heptan.
2. Berpengaruh pada sifat reologi bitumen, pemanasan yang berkelanjutan
akan rusak.
3. Makin tinggi asphaltene, maka bitumen makin keras, makin kental, makin
tinggi titik lembeknya, makin rendah harga pentrasinya.
b) Resin
1. Berwarna coklat tua, berbentuk solid/semi solid, tersusun oleh C dan H,
dan sedikit O,S dan N, bersifat sangat polar, H/C ratio 1,3 – 1,4 , berat
molekul 500 – 50000, dan larut dalam n-heptan.
2. Daya rekat yang kuat, dan berfungsi sebagai dispersing agent atau
peptisizer dari asphlatene.
c) Aromatis
1. Berwarna coklat tua, berntuk cairan kental, bersifat non polar, dan di
dominasi oleh cincin tidak jenuh, berat molekul 300-2000.
2. Terdiri dari senyawa naften aromatis, komposisi 40-65% dari total
bitumen.
d) Saturate
- Berbentuk cairan kental non polar, berat molekul hamper sama dengan
aromatis.
- Tersusun dari campuran hidrokarbon lurus, bercabang, alkil napthene, dan
aromatis, kompsisi 5-20% dari total bitumen.
Asphaltene dan resin yang bersifat sangat polar dapat bercampur
membentuk koloid atau micelle dan menyebar dalam aromatis dan saturate.
Dengan demikian maka aspal atau bitumen adalah suatu campuran cairan kental
senyawa organik, berwarna hitam, lengket, larut dalam karbon disulfida, dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
struktur utamanya oleh ”polisiklik aromatis hidrokarbon” yang sangat kompak.
(Nuryanto, A. 2008).
2.2.2.4 Klasifikasi Bitumen kelas PONA
Analisis bitumen kelas PONA biasanya mendestilasi fraksi bitumen dengan
menggunakan teknik kromatografi seperti High Performance Liquid
Chromatography (HPLC). Dalam menganalisa bitumen jenis PONA tidaklah
harus didlaam fraksi resid, karena akan memberikan hasil yang keliru. Analisis
PONA saat didestilasi (350-535 o
- Parafin + Olefin < 10%
C) dan jenis konsentrasi PONA ditunjukkan
seperti :
- Naftalen 20-30%
- Aromatik 60-70%
Bagian aromatic pada bitumen lebih lanjut dipisahkan menjadi mono, di-,
dan fraksi poliaromatik dengan menggunakan teknik kromatografi. Konsentarasi
dari subfraksi dapat ditotalkan yang biasanya berurutan dari 20 – 25% mono, 30 -
35%, dan lebih dari 50% poliaromatik.
Dengan demikian, atas hasil yang telah didapat, jarak antara titik didih dari
fraksi akan meningkat, dan molekul akan menjadi lebih berat, dan konsentrasi
relative dari aromatic akan meningkat dan konsentrasi relative dari hidrokarbon
jenuh (nafta dan paraffin) akan menurun (Banerjee,K.D.2012).
2.2.3 Modifikasi Polimer Bitumen
Konsep blending atau pencampuran 2 atau lebih bahan terbentuk produk tunggal
dengan sifat fisik yang berbeda kepada sifat unsur pokok bahan adalah tidak baru.
Mechanical, elektris, kimiawi, dan banyak sifat lainnya ditentukan oleh keadaan
fase yang dihasilkan. Sebagai contoh, tembaga dan seng dari fase tunggal
dinamakan kungingan yang mana secara mekanik lebih besar dari unsur pokok
lainnya sendiri. Poliblend adalah campuran fisik dari perbedaan homo atau
kopolimer yang berbeda secara structural. Bates (1991) dan Paul dan Barlow
(1980) telah meninjau keadaan fase polimer – polimer dan kemampuan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mencampur keadan polimer dengan cukup baik. Homogenitas dalam campuran
tergantung pada panas dan entropi campuran.
Bitumen adalah termoplastik murah yang penting yang mana ditemukan
banyak pengaplikasiannya sabagai bangunan dan bahan untuk teknik mesin ;
bagaimanapun, bitumen memiliki sifat mekanik yang sedikit karena bitumen keras
dan rapuh pada lingkungan yang dingin atau lembab dan fluida pada lingkungan
panas (Whiteoak,1990).
Polimer yang telah umum digunakan untuk memodifikasi bitumen adalah
kopolimer Styrene Butadiene Styrene (SBS), kopolimer Styrene Butadiene Rubber
(SBR), Etilen Vinil Asetat (EVA), Polietilen (LDPE,HDPE dll) dan polimer
limbah (plastic, karet remah ban, dll). Untuk polimer tersebut, proses
pencampuran mungkin memiliki efek yang baik dari sifat teknik pada campuran
yang dihasilkan. Dengan demikian, diperlukan pengolahan suhu ( 170 – 180o
Sebagai alternatif, penggunaan polimer reaktif sebagai ganti bahan
pengikat telah dievaluasi. Dimana polimer reaktif ini lebih murah, lebih mudah
untuk dicampurkan dan lebih kompatibel pada bitumen dibandingkan dengan
polimer yang standart, ini karena keduanya dapat membentuk ikatan kimia dengan
beberpa senyawa bitumen dan akibatnya dapat diubah struktur dari pengikat
tersebut. Sehingga kekuatan pengikat akan meningkat setelah dimodifikasi
(McNally, T.2011).
C)
untuk dapat mengurangi perbedaan viskositas dari bitumen dan polimer yang
sesuai. Akibatnya, pengikat akan mengalami penuaan, karena terjadi oksidasi
pada senyawa maltene, dan polimer degradasi yang mengarah kepenuaan kinerja
mekanik yang diharapkan dapat mengikat bitumen. Selain itu, penggunaan
polimer dengan berat molekul yang tinggi mungkin akan menghasilkan bitumen
modifikasi dengan termodinamika yang tidak stabil dan pemisahan fase mudah
terjadi selama penyimpanan di suhu yang lebih tinggi.
2.2.4 Kegunaan Bitumen
Secara luas umumnya bitumen digunakan oleh industry konstuksi, sebagai unsur
pokok produk dalam mengaspal dan pengatapan. Karakteristik tahan air yang
sempurna dan kebiasaan termoplastik membuatnya cocok untuk aplikasi secara
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
luas. Suhu yang ditinggikan (biasanya dintara 100-200o
C) bereaksi seperti cairan
kental dan dapat dicampur dengan komponen lain dan dimanipulasi dan dibentuk
sesuai kebutuhan. Sewaktu didinginkan itu adalah padatan lembab yang dapat
bertahan lama dan hidropobik (tidak suka air) (Shell Bitumen,2003).
2.3 Karet Alam
Tanaman karet (Hevea brasilliensis) yang merupakan sumber utama penghasil
lateks dan dibudidayakan secara luas. Lateks karet alam mengandung partikel
hidrokarbon karet dan substansi non-karet yang terdispersi dalam fase cairan
serum. Kandungan hidrokarbon karet dalam lateks diperkirakan antara 30-45
persen tergantung klon tanaman dan umur tanaman. Substansi non-karet terdiri
atas protein, asam lemak, sterol, trigliserida, fosfolipid, glikolipid, karbohidrat,
dan garam-garam anorganik. Senyawa protein dan lemak ini menyelubungi
lapisan permukaan dan sebagai pelidnung partikel karet.
Karet alam dibentuk oleh polisiprena dengan susunan geometri 100% cis
1,4. Berat molekul berkisar 1,2 juta, sehingga mempunyai sifat keliatan dan
kelekatan yang tinggi dan sifat fisik seperti elastisitas, kuat tarik, dan kepagasan
yang tinggi. Keteraturan geometri yang tinggi menambah kuat tarik pada saat
diregangkan karena kristalisasi, dengan sifat unggul ini karet alam digunakan
untuk barang industry terutama ban (Sondari, 2010).
Gambar 2.3 Struktur Karet Alam Cis-1,4-Poliisoprena
2.3.1 Jenis-jenis Karet Alam
Jenis-jenis karet alam yang dikenal luas adalah :
- Bahan olahan karet (lateks kebun, sheet angina, slab tipis dan lump segar)
- Karet konvensional (RSS, white crepes, dan pale crepe)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
- Lateks pekat
- Karet bongkah atau block rubber (SIR 5, SIR 10, SIR 20)
- Karet spesifikasi teknis atau crumb rubber
- Karet siap ola atau type rubber
- Karet reklim atau reclaimed rubber (Tim Penulis, 1992)
2.4 Resipren
Resipren 35 merupakan sebuah karet alam siklis yang larut dalam pelarut
yang tidak berbau, khususnya hidrokarbon alifatik dan campuran aromatik dan
alifatik, cocok untuk melindungi dan menjaga lapisan dan untuk cat kapal laut.
Resipren 35 berada pada posisi yang memiliki kualitas paling tinggi di produk
resin. Resipren merupakan resin karet siklis dari karet alam yang memiliki
viskositas larutan yang tinggi, dibuat seperti padatan yang berbentuk butiran.
Resipren memiliki ketahanan terhadap proses penyabunan dan ketahanan kimia
bahan pengikat yang dapat digunakan dalam penggabungan dengan plasticizer
yang cocok untuk pelapis yang tahan, untuk aplikasi pada baja suatu beton, karena
kelarutannya dalam pelarut hidrokarbon alifatik dan kompatibilitasnya dengan
kebanyakan minyak rantai panjang. Resipren adalah bahan baku dari berbagai
jenis produk industri diantaranya : pernis, cat kapal, tinta cetak, pelapis cermin,
cat dekorasi, sebagai isolator listrik, cat dasar kendaraan (Bukit, 2011).
Resipren adalah bahan baku dari berbagai jenis produk industri diantaranya:
a. Pernis
b. Cat Kapal
c. Tinta Cetak
d. Pelapis Cermin
e. Cat Dekorasi
f. Sebagai isolator listrik
g. Cat dasar kendaraan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(Bukit, 2011)
2.5 Agregat
Agregat merupakan butir-butir batu pecah, kerikil, pasir atau mineral lain, baik
yang berasal dari alam maupun buatan yang berbentuk mineral padat berupa
ukuran besar maupun kecil atau fragmen-fragmen. Agregat merupakan komponen
utama dari struktur perkerasan jalan, yaitu 90-95% agregat berdasarkan persentase
berat, atau 75-85% agregat berdasarkan persentase volume (Sukirman,2003).
Berikut jenis-jenis agregat :
1. Agregat Halus
Agregat halus yang digunakan dapat berupa pasir alami maupun pasir bautan.
Pasir alami adalah hasil desintegrasi alami dari batuan, sementara pasir buatan di
peroleh dari aalt-alat pemecah batu.
Persyaratan teknis agregat halus adalah :
a. Memiliki butiran-butiran yang keras, awet dan tidak mengandung lumpur,
garam, tanah liat lebih dari 3 persen, serta tidak banyak butiran pipih.
b. Terdiri dari butiran-butiran yang beraneka ragam besarnya dan lolos saringan
nomor 7 atau 3 mm, serta harus memenuhipersyaratan berikut :
1) Sisa di atas ayakan 4 mm minimum 2 persen terhadap berat
2) Sisa di atas ayakan 1 mm minimum 10 persen terhadap berat
3) Sisa dia tas ayakan 0,25 mm berkisar antara 80 dan 95 %.
4) Faktor penyerapan air kurang dari 5 persen
5) Hasil uji bahan terhadap kotoran organisk kurang dari 0,5 %.
Pasir laut tidak boleh dipakai sebagai agregat halus untuk semua mutu
beton (kecuali ada petunjuk dan lembaga pemeriksaan bahan) karena material ini
memiliki karakteristik butiran halus dan bulat, gradasi (besar butiran) seragam,
serta megnandung garam-garam klorida (Cl) dan sulfat (SO4) dengan sifat yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
tidak menguntungkan bagi beton sehingga tidak disarankan menggunakan pasir
laut untuk pembuatan beton.
2. Agregat Kasar
Agregat kasar yang digunakan dapat berupa kerikil dan batu pecah atau split.
Kerikil sebagai hasil dari disintegrasi alam batuan, sedangkan batu pecah atau
split diperoleh dari alat-alat pemecah batu.
Persyatan teknis agregat kasar adalah :
a. Memilki ukuran lebih dari 12,5 mm
b. Lolos saringan 20mm dan tertinggal di atas saringan nomor 7
c. Memiliki butiran-butiran keras, await dan tidak berpori, serta tidak
mengandung lumpur, garam, tanah liat lebih dari 3 persen.
d. Besaran butiran secara umum tidak boleh lebih dari 1/5 jarak terkecil antara
bidang samping cetakan.
e. Boleh megnandung butiran pipih dan lonjong. Namun, jumlahnya tidak
melampaui 20 persen dari jumah total.
f. Bersifat kekal dan tidak mudah pecah oleh pengaruh cuaca.
g. Tidak mengandung zat-zat yang dapat merusak beton, msialnya za reaktif
alkali.
(Arif,K. 2011)
Tabel 2.2 Ketentuan Agregat
No. Karakteristik Standar Pengujian Pesyaratan
A. Agregat Kasar
1 Penyerapan Air SNI 03-1969-1990 Maks. 3%
2 Berat Jenis SNI 03-1970-1990 Min. 2,5 g/cc
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3 Abrasi dengan mesin Los Angeles SNI 03-2417-1991 Maks. 40%
4 Kelekatan agregat terhadap aspal SNI 03-2439-1991 Min. 95%
5 Partikel pipih ASTM D-4791 Maks. 25%
6 Partikel Lonjong ASTM D-4791 Maks. 10%
B. Agregat Halus
1 Penyerapan Air SNI 03-1969-1990 Maks. 3%
2 Berat Jenis SNI 03-1970-1990 Min. 2,5 g/cc
3 Nilai setara pasir AASHO T-176 Min. 40%
C. Filler
1 Material lolos saringan No.200 SNIM-02-1994-03 Min. 70%
(Rianung, 2007).
2.6 Karakterisasi Aspal Modifier
Karakteristik dari aspal yang telah dimodifikasi yang di ukur meliputi Uji Thermal
dengan Differential Thermal Analysis (DTA), analisa morfologi dengan Uji
Scanning Electron Microscopy (SEM) dan pengujian dengan menggunakan X-Ray
Diffraction (XRD).
2.6.1 Analisa Thermal dengan DTA (Differential Thermal Analysis)
Differential Thermal Analysis (DTA) merupakan metode yang paling sering
digunakan saat ini untuk penelitian-penelitian kuantitatif terhadap transisi termal
dalam polimer. Dalam metode Differential Thermal Analysis (DTA) suatu sampel
polimer dan referensi inert dipanaskan, biasanya dalam atmosfer nitrogen, dan
kemudian transisi-transisi termal dalam sampel tersebut dideteksi dan diukur.
Ukuran sampel bervariasi dari sekitar 0,5 sampai 10 mg. meskipun kedua metode
memberikan tipe informasi yang sama, terdapat perbedaan yang signifikan dalam
instrumentasinya (Stevens, 2001).
Analisis termal bukan saja mampu untuk memberikan informasi tentang
perubahan fisik sampel (misalnya titik leleh dan penguapan), tetapi terjadinya
proses kimia yang mencakup polimerisasi, degradasi, dekomposisi, dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
sebagainya. Dalam bidang campuran polimer (poliblen) pengamatan suhu transisi
kaca (Tg) sangat penting untuk meramalkan interaksi antara rantai dan mekanisme
pencampuran beberapa polimer.
Campuran polimer yang homogen akan menunjukkan satu puncak Tg
(eksotermis) yang tajam dan merupakan fungsi komposisi. Tg campuran biasanya
berada diantara Tg dari kedua komponen, karena itu pencampuran homogen
digunakan untuk menurunkan Tg , seperti halnya plastisasi dengan pemlastis cair.
Pencampuran polimer heterogen ditujukan untuk menaikkan ketahanan bentur
bahan polimer. Campuran polimer heterogen ini ditandai dengan beberapa puncak
Tg, karena disamping masing-masing komponen masih merupakan fase terpisah,
daerah antarmuka mungkin memberikan Tg yang berbeda. Pengamatan termal
campuran polimer juga dapat digunakan untuk menentukan parameter interaksi,
yang merupakan faktor penurunan suhu leleh kristal (Wirjosentono, 1995).
Berikut gambar yang menunjukkan pola kuva umum DTA.
Gambar 2.4 Pola Umum Kurva DTA
Sifat termal polimer merupakan salah satu sifat yang paling penting karena
menentukan sifat mekanis bahan polimer. Senyawa – senyawa polimer
menunjukkan suhu transisi gelas pada suhu tertentu. Senyawa polimer amorf
seperti polistirena dan bagian amorf dari polimer semi – kristalin seperti polietilen
memiliki suhu transisi gelas (Tg), namun polimer kristalin murni seperti elastomer
tidak memiliki suhu transisi gelas, namun hanya menunjukkan suhu leleh (Tm)
(Kristian, 2008).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2.6.2 Analisa Scanning Electron Microscopy (SEM)
SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen secara
makroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada spesimen
interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa fenomena yaitu
hamburan balik berkas elektron, sinar x, elektron sekunder, absorbsi elektron.
Adanya material lain dalam suatu matriks seperti dispersi material tersebut
menyebabkan terjadinya perubahan pada permukaan spesimen. Untuk melihat
perubahan spesimen. Untuk melihat perubahan dalam bahan tersebut dapat
dilakukan suatu analisa permukaan, dan alat yang biasa digunakan adalah SEM.
Teknik SEM pada hakikatnya merupakan pemeriksaan dan analisa
permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau
dari lapisan yang tebalnya sekitar 20 μm dari permukaan yang diperoleh
merupakan gambar tofografi dengan segala tonjolan, lekukan, dan lubang
permukaan. Gambar tofografi diperoleh dari penangkapan elektron sekunder yang
dipancarkan oleh spesimen. Sinyal elektron sekunder yang dihasilkan ditangkap
oleh detektor dan diteruskan ke monitor. Pada monitor akan diperoleh gambar
yang khas yang menggambarkan struktur permukaan spesimen. Selanjutnya
gambar di monitor dapat dipotret dengan menggunakan film hitam putih atau
dapat pula direkam kedalam suatu disket (Wirjosentono, 1995).
Dalam penelitian morfologi permukaan SEM terbatas pemakaiannya,
tetapi memberikan informasi yang bermanfaat mengenai topologi permukaan.
Aplikasi-aplikasi yang khas mencakup penelitian disperse-dispersi pigemn dalam
sel, pelepuhan atau perekatan koting, batas-batas fase dalam polipaduan yang tak
dapat campur, struktur sel busa-busa polimer dan kerusakan pada bahan perekat.
SEM teristimewa berharga dalam mengevaluasi betapa penanaman (implant) pada
polimerik bereaksi baik dengan lingkungan bagian tubuhnya (Stevens, 2001)
2.6.3 Analisa X-Ray Diffraction (XRD)
Difraksi sinar-x merupakan proses hamburan sinar-x oleh bahan kristal.
Pembahasan mengenai difraksi sinar-x mencakup pengetahuan yang berhubungan
dengan hal-hal berikut ini:
1. pembentukan sinar-x
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. hamburan (scattering) gelombang elektromagnetik
3. sifat kekristalan bahan (kristalografi)
Ada dua proses yang terjadi bila seberkas sinar-x ditembakkan ke sebuah atom:
(1) energi berkas sinar-x terserap oleh atom, atau (2) sinar-x dihamburkan oleh
atom. Dalam proses yang pertama, berkas sinar-x terserap atom melalui Efek
Fotolistrik yang mengakibatkan tereksitasinya atom dan/atau terlemparnya
elektronelektron dari atom. Atom akan kembali ke keadaan dasarnya dengan (1)
memancarkan elektron (melalui Auger effect), atau (2) memancarkan sinar-x
floresen yang memiliki panjang gelombang karakteristik atom tereksitasinya. Pada
proses yang kedua, ada bagian berkas yang mengalami hamburan tanpa
kehilangan kehilangan energi (panjang gelombangnya tetap) dan ada bagian yang
terhambur dengan kehilangan sebagian energi (Hamburan Compton).
Hamburan Compton dinamakan juga hamburan tak-koheren. Jadi serapan
total sinar-x terjadi karena efek fotolistrik dan hamburan tak-koheren. Namun,
hamburan tak-koheren memiliki efek menyeluruh yang dapat diabaikan, kecuali
untuk radiasi dengan panjang gelombang pendek yang mengenai material dengan
berat atom rendah. Dalam interaksinya dengan material, sinar-x juga dapat
mengalami polarisasi linier (seperti halnya cahaya tampak), baik parsial maupun
total. Dengan demikian berkas sinar-x terpolarisasi dapat diperoleh dengan cara
hamburan dan untuk sudut hamburan 90o
Spektroskopi difraksi sinar-X (X-ray difraction/XRD) merupakan salah
satu metoda karakterisasi material yang paling tua dan paling sering digunakan
, polarisasi lengkap terjadi, yaitu
komponen vektor medan listrik tegak lurus bidang yang dibentuk berkas datang
dan berkas terhambur. Berkas hamburan sinar-x oleh material yang dapat diukur
adalah intensitas. Intensitas berkas sinar-x yang mendekati paralel adalah fluks
energi yang melewati satu satuan luasan tertentu per satuan waktu. Untuk
gelombang planar monokromatik, intensitas sebanding dengan kuadrat amplitudo
getaran. Intensitas radiasi yang dihasilkan oleh sumber titik (atau sumber kuasi-
titik) pada arah tertentu adalah energi yang dipancarkan per detik per satuan sudut
ruang pada arah itu. Dalam pengukuran intensitas mutlak, cara termudah adalah
dengan menentukan jumlah foton teremisi atau tertangkap (detektor) per satuan
waktu, bisa per satuan luas atau per satuan sudut ruang.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
hingga sekarang. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin
dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk
mendapatkan ukuran partikel. Sinar X merupakan radiasi elektromagnetik yang
memiliki energi tinggi sekitar 200 eV sampai 1 MeV. Sinar X dihasilkan oleh
interaksi antara berkas elektron eksternal dengan elektron pada kulit atom.
Spektrum sinar- X memilki panjang gelombang 10 nm, berfrekuensi 1017-1020
Hz dan memiliki energi 103-106 eV. Panjang gelombang sinar X memiliki orde
yang sama dengan jarak antar atom sehingga dapat digunakan sebagai sumber
difraksi Kristal (Jamaluddin, K. 2010).
2.6.3.1 Prinsip Kerja XRD (X-Ray Diffraction)
Metode difraksi sinar X digunakan untuk mengetahui struktur dari lapisan tipis
yang terbentuk. Sampel diletakkan pada sampel holder difraktometer sinar X.
Proses difraksi sinar X dimulai dengan menyalakan difraktometer sehingga
diperoleh hasil difraksi berupa difraktogram yang menyatakan hubungan antara
sudut difraksi 2θ dengan intensitas sinar X yang dipantulkan. Untuk difraktometer
sinar X, sinar-X terpancar dari tabung sinar-X. Sinar-X didifraksikan dari sampel
yang konvergen yang diterima dalam posisi simetris dengan respon ke focus sinar-
X. Sinar-X ini ditangkap oleh detektor sintilator dan diubah menjadi sinyal listrik.
Sinyal tersebut, setelah dieliminasi komponen noisenya, dihitung sebagai analisa
pulsa tinggi. Teknik difraksi sinar x juga digunakan untuk menentukan ukuran
kristal, regangan kisi, komposisi kimia dan keadaan lain yang memiliki orde yang
sama. Keuntungan utama penggunaan sinar-X dalam karakterisasi material adalah
kemampuan penetrasinya, sebab sinar-X memiliki energi sangat tinggi akibat
panjang gelombangnya yang pendek. Sinar-X adalah gelombang elektromagnetik
dengan panjang gelombang 0,5-2,0 mikron. Sinar ini dihasilkan dari penembakan
logam dengan elektron berenergi tinggi. Elektron itu mengalami perlambatan saat
masuk ke dalam logam dan menyebabkan elektron pada kulit atom logam tersebut
terpental membentuk kekosongan. Elektron dengan energi yang lebih tinggi
masuk ke tempat kosong dengan memancarkan kelebihan energinya sebagai foton
sinar-X.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Dari metode difraksi kita dapat mengetahui secara langsung mengenai
jarak rata – rata antar bidang atom. Kemudian kita juga dapat menentukan
orientasi dari kristal tunggal. Secara langsung mendeteksi struktur kristal dari
suatu material yang belum diketahui komposisinya. Kemudian secara tidak
langsung mengukur ukuran, bentuk dan internal stres dari suatu kristal. Prinsip
dari difraksi terjadi sebagai akibat dari pantulan elastis yang terjadi ketika sebuah
sinar berinteraksi dengan sebuah target. Pantulan yang tidak terjadi kehilangan
energi disebut pantulan elastis (elastic scatering). Ada dua karakteristik utama
dari difraksi yaitu geometri dan intensitas. Geometri dari difraksi secara sederhana
dijelaskan oleh Bragg’s Law. Misalkan ada dua pantulan sinar α dan β. Secara
matematis sinar β tertinggal dari sinar α sejauh xy+yz yang sama dengan 2d sinθ
secara geometris. Agar dua sinar ini dalam fasa yang sama maka jarak ini harus
berupa Kelipatan bilangan bulat dari panjang gelombang sinar λ. Maka
didapatkanlah Hukum Bragg: 2d sin θ = nλ
Gambar 2.5 Difraksi Bragg (sumber:gsu.edu)
Secara matematis, difraksi hanya terjadi ketika Hukum Bragg dipenuhi. Secara
fisis jika kita mengetahui panjang gelombang dari sinar yang membentur
kemudian kita bisa mengontrol sudut dari benturan maka kita bisa menentukan
jarak antar atom (geometri dari latis). Persamaan ini adalah persamaan utama
dalam difraksi. Secara praktis sebenarnya nilai n pada persamaan Bragg diatas
nilainya 1. Sehingga cukup dengan persamaan 2d sin θ = λ. Dengan menghitung d
dari rumus Bragg serta mengetahui nilai h, k, l dari masing – masing nilai d,
dengan rumus – rumus yang telah ditentukan tiap – tiap bidang kristal kita bisa
menentukan latis parameter (a, b dan c) sesuai dengan bentuk kristalnya
(Jamaluddin, K. 2010).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Bahan
Adapun bahan-bahan kimia yang digunakan disusun dalam table 3.1
Tabel 3.1 Bahan-bahan penelitian
Bahan Spesifikasi Merek
Aspal Type 60/70 Iran
Karet Remah SIR-20 PTPN III
Batu Kerikil - CV. Setia Jaya Medan,
Sumatera Utara
Agregat Pasir Halus - CV. Setia Jaya Medan,
Sumatera Utara
Bitumen Cair Composite Inspectorate Malaysia
SDN BHD
3.2 Alat
Sedangkan alat –alat yang digunakan disusun dalam table 3.2
Tabel 3.2 Alat-alat penelitian
Nama Alat Spesifikasi Merek
Gelas beaker 500 mL Pyrex
Gelas ukur 50 mL Pyrex
Gelas ukur 5 mL Pyrex
Neraca analitis (presisi ± 0.0001
g)
Radwag
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Hot Plate 30-600 o Czorning PC 400 D C
Extruder ulir ganda - Shimadzu MIFPOL
BRS 896
Oven 30-200 o Memmert C
Ayakan 100 mesh Tantalum 3N8 purity
Stirer fisher scientific Made in USA
Spatula - -
Pipet Tetes - -
Cetakan sample berupa kubus
ukuran sisi 5 cm - ASTM C 348-2002
Seperangkat alat Differential
Thermal Analysis - Shimadzu DT 300
Seperangkat alat Scanning
Electron Microscopy - -
Seperangkat alat X-Ray
Difraction
3.3 Prosedur Penelitian
3.3.1 Preparasi Agregat
3.3.1.1 Preparasi Agregat Halus
1. Agregat berupa pasir halus dicuci terlebih dahulu dengan air, kemudian
dikeringkan di oven pada suhu 110o
2. Seluruh agregat pasir halus disaring dalam ayakan 100 mesh.
C.
3. Hasil ayakan dibuat masing-masing ke dalam 300 gram.
3.3.1.2 Preparasi Agregat Kasar
1. Agregat berupa batu kerikil dicuci terlebih dahulu dengan air, kemudian
dikeringkan di oven pada suhu 110oC.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2. Batu kerikildibuat masing-masing ke dalam 50 gram.
3.3.2 Proses Pembuatan Aspal Modifier
1. Dirangkai alat sedemikian rupa didalam lemari asam.
2. Kemudian lemari asam dihidupakan dan diatur suhu Hot Plate pada suhu
175o
3. Sebanyak 5 gram resipren dimasukkan ke dalam beaker glass 500 ml lalu
ditambahkan 20 ml bitumen cair, campuran diaduk selama 15 menit pada suhu
175
C.
o
4. Sebelum campuran tersebut mengeras, ditambahkan 75 ml aspal ke dalam
campuran panas tersebut, kemudian diaduk kembali hingga merata sambil
dipanaskan pada temperatur 175
C.
o
5. Ditambahkan 300 gram agregat pasirdan 50 gram batu kerikil ke dalam
campuran tersebut secara perlahan sambil diaduk pada temperatur yang sama
selama 15 menit.
C selama 15 menit.
6. Campuran tersebut kemudian diekstruksi pada suhu 150 o
7. Hasil ekstruksi dimasukkan ke dalam cetakan kubus, dan ditempatkan ke
dalam Hot Compressor pada suhu 80
C.
o
8. Hasil cetakan didinginkan pada suhu kamar, kemudian dikeluarkan dari
cetakan untuk di uji.
C selama 30 menit.
9. Perlakuan yang sama juga dilakukan pada aspal, bitumen dan resipren dengan
variasi perbandingan (v/v/b): 70 : 20 : 10 ; 65 : 20 : 15 ; 60 : 20 : 20 ; 55 : 20 :
25 ; 80 : 0 : 20 dan 80 : 20 : 0 .
Tabel 3.3 Variasi Sampel
Nomor Sampel Variasi
Aspal : Bitumen : Resipren
(ml:ml:gram)
Sampel 1 75 : 20 : 5
Sampel 2 70 : 20 : 10
Sampel 3 65 : 20 : 15
Sampel 4 60 : 20 : 20
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sampel 5 55 : 20 : 25
Sampel 6 80 : 0 : 20
Sampel 7 80 : 20 : 0
3.3.3 Karakterisasi Aspal Modifier
Hasil yang diperoleh kemudian dikarakterisasi untuk menentukan sifat thermal
dengan menggunakan DTA (Differential Thermal Analysis), analisa morfologi
dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy) dan XRD (X-Ray
Diffraction).
3.3.3.1 Analisa Sifat Thermal dengan Differential Thermal Analysis (DTA)
Alat yang digunakan untuk menganalisa sifat thermal yaitu adalah
Thermal Analyzer . Dengan prosedur pengujian sebagai berikut :
1. Alat dinyalakan selama 60 menit sebelum digunakan (main swicht
ON)
2. Dialirkan pendingin
3. Diatur Detektor DTG dan Thermo Couple PR, aplifair DTA ON
4. Diatur program 10º C/menit, limit temperature s/d 960º C
5. Diatur DTA range ±250 µV
6. Ditimbang 30mg bahan sampel pada mangkok platina yang lain.
7. Bahan pembanding dan bahan sampel ditempatkan diatas Thermo
Couple RP (Bahan Pembanding disebelah kiri dan sampel disebelah
kanan)
8. Diatur recorder: pulpen temperature pada posisi nol dan pulpen DTA
titik nol pada pertengahan Kertas Rekorder, DC Voltage 15 mV, Chart
2,5
9. Switch “ST By” ON
10. Switch “START” ON
11. Diamati hasil yang diperoleh dari Rekorder
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.3.3.2 Analisa Sifat Morfologi dengan Scanning Electron Microscopy (SEM)
Pengujian dilakukan pada permukaan sampel. Dengan prosedur pengujian
sebagai berikut :
1. Sampel dilapisi dengan aurum bercampur palladium dalam suatu
ruangan bertekanan (vacuum evaporator) 1492 x 102 atm.
2. Kemudian disinari dengan pancaran electron bertenaga ±15 kV pada
ruangan khusus sehingga mengeluarkan electron sekunder dan elektron
terpental yang dapat di deteksi oleh detector Scientor yang diperkuat
dengan suatu rangkaian listrik yang menyebabkan timbulnya Cathode
Ray Tube (CTD).
Hasil pemotretan dilakukan setelah memilih bagian tertentu dari objek
(sampel) dan dilakukan perbesaran mencapai 100 kali, 500 kali, 1000 kali, dan
2500 kali sehingga diperoleh foto yang baik dan jelas.
3.3.3.3 Analisa dengan menggunakaan X-Ray Diffraction (XRD)
Metode difraksi sinar X digunakan untuk mengetahui struktur dari lapisan
tipis yang terbentuk. Sampel diletakkan pada sampel holder difraktometer sinar X.
Proses difraksi sinar X dimulai dengan menyalakan difraktometer sehingga
diperoleh hasil difraksi berupa difraktogram yang menyatakan hubungan antara
sudut difraksi 2θ dengan intensitas sinar X yang dipantulkan. Untuk difraktometer
sinar X, sinar-X terpancar dari tabung sinar-X. Sinar-X didifraksikan dari sampel
yang konvergen yang diterima dalam posisi simetris dengan respon ke fokus
sinar- X. Sinar-X ini ditangkap oleh detektor sintilator dan diubah menjadi sinyal
listrik. Sinyal tersebut, setelah dieliminasi komponen noisenya, dihitung sebagai
analisa pulsa tinggi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.4 Bagan Penelitian
3.4.1 Preparasi Agregat Halus
3.4.2 Preparasi Agregat Kasar
Pasir Halus
Dicuci dengan air
Dikeringkan di oven, suhu 110 ºC
Disaring dalam ayakan 100 mesh
Hasil ayakan ditimbang masing-masing 300 gram
Batu kerikil
Dicuci dengan air
Dikeringkan di oven, suhu 110 ºC
Batu kerikil ditimbang masing-masing 300 gram
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3.4.3 Proses Pembuatan Aspal Modifier
Dimasukkan ke dalam beaker glass 500 ml
Ditambahkan 9,5 ml Toluena
Diaduk dan dipanaskan pada suhu 175 ºC
selama 15 menit
Ditambahkan 20 ml bitumen
Diaduk dan dipanaskan pada suhu 175 ºC
selama 15 menit
Ditambahkan 75 ml aspal cair
Diaduk dan dipanaskan pada suhu 175 ºC
selama 15 menit
Ditambahkan 300 gram agregat pasir halus
Ditambahkan 50 gram batu kerikil
Diekstruksi pada suhu 150 ºC
Dimasukkan ke dalam cetakan kubus
Dipress dan dipanaskan pada suhu 80º C
selama 30 menit
Dikarakterisasi
Catatan : Perlakuan yang sama juga dilakukan pada sampel 2,3,4,5,6 dan 7.
5 gr Resipren
Campuran
Campuran Agregat
Hasil
Uji
DTA
Uji
SEM
Uji
XRD
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Aspal polimer telah dibuat dengan mencampurkan aspal dengan bitumen
dan resipren yang dicampurkan bersama agregat pasir sebanyak 300 gram
menggunakan proses ekstruksi. Dengan memvariasikan antara aspal, bitumen dan
resipren.
Sebelum nya telah dilakukan pengujian analisa ketahanan terhadap air dengan uji
serapan air (Water Adsorption Test) oleh Fitri Ikova M, sehingga diperoleh hasil
yang optimum pada sampel 5 dan hasil minimum pada sampel 6. Hasil kemudian
dikarakterisasikan dengan DTA, SEM, dan XRD.
4.1 Karakteristik Berdasarkan Analisa Sifat Thermal dengan Differential
Thermal Analysis (DTA)
Pengujian dengan DTA dilakukan terhadap sampel 5 dan 6. Hasil pengujian
ditampilkan dalam bentuk grafik seperti yang disajikan pada gambar 4.1 dan 4.2
berikut.
Gambar 4.1 Grafik Hasil Pengujian DTA pada sampel 5
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Gambar 4.2 Grafik Hasil Pengujian DTA pada sampel 6
Pengujian DTA dilakukan untuk menentukan temperatur maksimum (suhu
dekomposisi) (Tm). Dimana untuk pengukuran suhu dekomposisi dimulai dari
puncak peak DTA yang ditarik garis lurus sampai memotong garis penunjuk
temperatur, selanjutnya titik potong tersebut ditandai, dan diturunkan dua skala
kebawah sehingga didapat titik potong yang baru, dari titik potong ini ditarik garis
lurus menuju skala temperatur 15 mv. Hasil yang diperoleh menjadi titik
dekomposisi (Tm) yang dinyatakan dalam skala ºC.
Berdasarkan Gambar 4.1 diperoleh suhu dekomposisinya sebesar 480 ºC.
Sedangkan pada Gambar 4.2 diperoleh suhu dekomposisinya sebesar 475 ºC.
Dari kedua gambar menurut Stevens (2001) diketahui bahwasanya pada
saat mendekati temperatur kritis terjadi suatu geseran endotermik pada baseline
awal karena kapasitas panas sampel yang naik, kemudian terbentuk peak
temperatur kritis ke arah eksotermik, selanjutnya peak yang merupakan
temperatur maksimum ke arah eksotermik.
Kedua gambar tersebut hampir sama, hanya perbedaan terjadi pada suhu
dekomposisinya. Dimana pada campuran aspal tanpa bitumen tersebut
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
mengurangi suhu dekomposisinya. Hal ini menunjukkan tidak adanya bitumen
yang menyebabkan aspal lebih mudah lepas dari ikatannya. Dan kehadiran
Bitumen dalam campuran aspal tersebut meningkatkan sifat mekaniknya namun
sekaligus memberikan suhu dekomposisi yang rendah. Sedangkan untuk
campuran aspal bitumen suhu dekomposisinya lebih besar.
Adanya perbedaan suhu dekomposisi Tm dari sampel 5 sebesar 480 ºC dan
dibandingkan dengan suhu dekomposisi sampel 6. Jadi, berdasarkan pengujian
sifat termal dengan menggunakan DTA menunjukkan hasil yang sedikit lebih
baik apabila menggunakan variasi sampel 5.
4.2 Karakteristik Berdasarkan Scanning Electron Microscopy (SEM)
Pengujian dengan SEM dilakukan untuk menganalisis struktur permukaan
dari sampel sehingga dapat dibandingkan perubahan struktur permukaan pada
campuran aspal resipren dengan bitumen dan aspal resipren tanpa bitumen.
Telah dilakukan pengujian dengan SEM terhadap dua jenis sampel yaitu
sampel 5 dan 6 dengan analisis perbesaran 100, 500, 1000, 2500 dan 5000 kali
yang hasilnya dapat dilihat pada Gambar 4.3 dan 4.4.
Pada gambar 4.3 tersebut terlihat bongkahan-bongkahan dari agregat dengan
kerapatan yang lumayan baik, disebabkan masih terdapat lubang pori-pori yang
terbentuk (pada perbesaran 100 kali) pada bagian tengah dan ujung atas dan
bawah sisi kiri. Dan pada perbesaran 500, 1000 dan 2500 terlihat menyatunya
agregat dengan bantuan bitumen sebagai perekat. Ukuran butiran partikel dari
pasir yang cukup kecil dan hampir sama besar membuat kerapatan cukup baik
pada campuran aspal tersebut. Pada perbesaran 5000 struktur mengikat kuat meski
masih ditemui ada beberapa lubang pori-pori yang tidak berpengaruh signifikan
terhadap kekuatan aspal polimer tersebut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sampel 5
(Perbesaran 100 kali)
Sampel 5
(Perbesaran 500 kali)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sampel 5
(Perbesaran 1000 kali)
Sampel 5
(Perbesaran 2500 kali)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sampel 5
(Perbesaran 5000 kali)
Gambar 4.3 Hasil SEM sampel 5 untuk Perbesaran 100, 500, 1000,2500 dan 5000 kali
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Perbedaan terlihat pada hasil SEM pada Gambar 4.4 dibawah ini. Dimana
kerapatan berkurang dan terlihat banyak pori-pori yang terbentuk pada campuran
tersebut.
Sampel 6
(Perbesaran 100 kali)
Sampel 6
(Perbesaran 500 kali)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sampel 6
(Perbesaran 1000 kali)
Sampel 6
(Perbesaran 2500 kali)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Sampel 6
(Perbesaran 5000 kali)
Gambar 4.4 Hasil SEM sampel 6 untuk Perbesaran 100, 500, 1000, 2500, 5000 kali
Dari Gambar 4.4 tersebut terlihat banyak partikel-partikel dengan ukuran
yang bervariasi, hal ini disebabkan karena campuran aspal tidak menyatu
sempurna dengan agregat (pada perbesaran 100 kali dan 500 kali). Pada
perbesaran 1000 kali terlihat seperti pecahan-pecahan halus yang hasil lebih jelas
terlihat pada perbesaran 2500 kali. Dan pada perbesaran 5000 terlihat agregat
tidak menyatu sempurna dengan aspal, masih terdapat partikel-partikel dengan
ukuran yang tidak merata.
Dari kedua gambar tersebut ditinjau dari permukaan sampel terlihat jelas
adanya perbedaan antara campuran aspal, bitumen, dan resipren.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4.3 Karakteristik Berdasarkan X – Ray Difraction (XRD)
Gambar 4.5 Identifikasi Fasa dari Pola Difraksi Sinar-X Aspal Modifier Bitumen Resipren Sampel 5
Identifikasi fasa yang muncul pada sampel 5 mengandung fasa pengotor dari
aspal yang diduga adalah fasa albite (AlNaO8Si3), fasa magnetite (Fe3O4), dan
fasa quartz (SiO2
), yang berturut-turut merujuk pada hasil penelitian Downs
(1994), Haavik (2000), dan Will (1988), seperti yang ditunjukkan pada Gambar
4.5 Dengan demikian diperlukan analisa lebih lanjut untuk dapat menunjukkan
bahwa sampel-sampel tersebut memiliki empat fasa mineral.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai Analisa Thermal Dan
Morfologi Pada Campuran Aspal Bitumen Dengan Resipren, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1. Hasil analisa DTA menunjukan bahwa sampel 5 (aspal , bitumen,resipren
dengan variasi 55 ml : 20 ml : 25 gr) dengan suhu dekomposisi Tm
sebesar 480 ºC sedikit lebih baik dibanding sampel 6 (aspal dan resipren
80 ml : 0 ml : 20 gr) dengan suhu dekomposisi sebesar 475 ºC.
2. Kualitas aspal akan lebih bagus dengan adanya penambahan bitumen
dibandingkan dengan tanpa adanya penambahan bitumen. Hal ini
dikarenakan bitumen mampu merekatkan mineral-mineral yang berada di
aspal, resipren serta agregat.
3. Hasil analisa sifat morfologi diperoleh hasil foto SEM yang menunjukkan
bahwa keberadaan bitumen berpengaruh untuk merekatkan campuran
aspal dan resipren serta agregatnya. Campuran tanpa bitumen
menunjukkan lebih banyak celah, sedangkan adanya penambahan bitumen
keberadaan celah lebih berkurang dan terlihat adanya interaksi antar
campuran.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5.2. Saran
1. Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar menggunakan bitumen yang
dalam bentuk padatan, dan yang belum dipenetrasi.
2. Untuk penelitian selanjutnya disarankan agar variasi penambahan bitumen
didasarkan penelitian terdahulu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DAFTAR PUSTAKA
Arif,K. 2011. Buku Pintar Membangun Rumah : Menghitung dan Melaksanakan Pembangunan Rumah dari Nol. Jakarta : Kanaya Press
Asiyanto. 2008. Metode Konstruksi Proyek Jalan. Jakarta : Universitas Indonesia – Press
Atherton, N.M. 1987. Endor spectral of vanadyl complexes in asphaltenes. Magn Res.Chem.,25,829-830
Banerjee,K.D. 2012. Oil Sands, Heavy Oil & Bitumen : from recovery to refinery. Printed In the united states of America.
Bukit,N.2011. Pengolahan Zeolit Alam Sebagai Bahan Pengisi Nano Komposit Polipropilena dan Karet Alam SIR-20 dengan Kompatibiliser Anhidrida Maleat-Grafted-Polipropilena.Disertasi.Universitas Sumatera Utara Medan
Brown, E.R., Rowlet, R.D., dan Boucher, J.L. 1990. Highway Research: Shearing The Benefits. Proceeding of The United States Strategic Highway Research Program Conference. London
Chilingarian, G.V.1987. Bitumen, Asphalts and Tar Sands. Amsterdam : Elsevier Scientific Publishing Company
Downs R.T., Hazen R.M., Finger L.W. 1994. The High-Pressure Crystal Chemistry of Low Albite and The Origin Of Pressure Dependency of Al/Si order-disorder, American Mineralogist. 79.1042-1052
Jamaluddin, K. 2010. X-Rays Difractions. Makalah Fisika Material. Kendari : Departemen Pendidikan Fisika Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Halueleo.
Kristian, 2008. Karakterisasi Sifat Fisika Dan Kimia Plastisiser Poligliserol Asetat Dan Kinerja Plastisisasinya Dalam Matriks Termoplastik Polistirena. Medan : Tesis Magister Ilmu Kimia. Universitas Sumatera Utara McNally,T.2011. Polymer Modified Bitumen Properties and Characterisation. Amsterdam : Woodhead Publishing Company
Mirawaty, Gunandjar.2011. Mobilisasi Limbah Sludge Radioaktif Dari Dekomisioning Fasilitas Pemurnian Asam Fosfat Dengan Matriks Campuran Bitumen Dan Pasir.
Nuryanto, A. 2008. Aspal Buton dan Propelan Padat. Jilid II. Edisi Keempat. Jakarta : Penerbit Erlangga
Oglesby,C.H. 1996. Teknik Jalan Raya. Jilid II.Edisi Keempat. Erlangga. Jakarta
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Rianung, 2007. Kajian Laboratorium Pengaruh Penggunaan Pasir Besi sebagai Agregat Halus pada Campuran Aspal Panas HRA (Hot Rolled Asphlat) terhadap Sifat Marshall dan Durabilitas. Semarang : Master Thesis, Program Pasca Sarjana, Universitas Diponegoro.
Setiawan,D.H. 2005. Petunjuk Lengkap Budidaya Karet. Jakarta : Agromedia Pustaka
Shell Bitumen, 2003. The Shell Bitumen Handbook. London : Thomas Telford Publishing
Sondari, D. Haryono, A.,Ghozali, M., Randy, A., Suhardjo, K.A., Aryadi, B., Surasno.2010. Pembuatan Elastomer Termoplastik Menggunakan Inisitor Kalium Persulfat dan Amonium Peroksi Disulfat. Vol (5)1:22-26
Subarnas, Agus.2001. Penyelidikan Pendahuluan Endapan Bitumen Padat Di Daerah Pasarwajo Dan Sekitarnya, Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara
Stevens, M.P., 2001. Kimia Polimer. Cetakan Pertama. Pradnya Paramita. Jakarta
Sukirman, 2003. Beton Aspal Campuran Panas. Granit. Jakarta
Traxler,R.N. 1963. The Physical Chemistry of Asphalts Bitumen, Chem. Rev.,19,119-143
Wirjosentono, B. 1995. Analisis dan Karakterisasi Polimer. Universitas Sumatera Utara – Press. Medan
Wignall,A. 1999. Proyek Jalan Teori dan Praktek. Edisi Keempat. Penerbit Erlangga. Jakarta
Whiteoak,D.1990. The Shell Bitumen Handbook, Chertsey, Surrey, Shell Bitumen
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LAMPIRAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 1.FotoBahanPenelitian
Aspal Iran Bitumen
Resipren Agregat Halus Pasir
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Agregat Kasar Kerikil Toluene
Lampiran 2.FotoAlat penelitian
Hidrolik Press CetakanKubus
Oven
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 3.Aktivitas Penelitian
PencampuranAspal , Pencetakan Benda Uji Hasil Benda Uji
Bitumen, Resipren dan Agregat
Benda Uji SeluruhVariasi Aspal, Bitumen dan Resipren
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 4. Tabel Nilai Penyerapan Air untuk Variasi Aspal, Bitumen, dan Resipren
No
Variasi
Aspal : Bitumen : Resipren
(ml:ml:gram)
Massa Spesimen
(gram)
Selisih WA (%)
Mk Mj
1 775 : 20 : 5 273,36 276,58 3,22 1,17
2 770 : 20 : 10 275,53 278,88 3,35 1,21
3 665 : 20 : 15 278,34 280,68 2,34 0,84
4 660 : 20 : 20 277,92 279,91 1,99 0,71
5 555 : 20 : 25 271,23 272,95 1,69 0,60
6 880 : 0 : 20 274,73 279,53 4,80 1,37
7 880 : 20 : 0 276,93 280,58 3,65 1,31
Dari tabel diatas dapat dilihat hubungan antara persentase penyerapan air
dengan variasi aspal, bitumen dan resipren yang disajikan dalam bentuk grafik.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Lampiran 5. Grafik persentase penyerapan air dengan variasi aspal, bitumen dan resipren
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
75:20:05 70:20:10 65:20:15 60:20:20 55:20:25 80:0:20
(Fitri Ikova M)
80:20:0
Nila
i Day
a Se
rap
(%)
Variasi Sampel ( ml:ml:gram )
1,17 1,21
0,84 0,71
0,60
1,37 1,31
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA