analisa integrasi pasar dan transmisi harga...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISA INTEGRASI PASAR DAN TRANSMISI HARGA BERAS PETANI-KONSUMEN DI INDONESIA
TESIS
FIRDAUSSY YUSTININGSIH 1006741513
FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK
JAKARTA DESEMBER 2012
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISA INTEGRASI PASAR DAN TRANSMISI HARGA BERAS PETANI-KONSUMEN DI INDONESIA
TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Ekonomi
FIRDAUSSY YUSTININGSIH 1006741513
FAKULTAS EKONOMI PROGRAM STUDI MAGISTER PERENCANAAN DAN KEBIJAKAN PUBLIK
KEKHUSUSAN EKONOMI PERSAINGAN USAHA JAKARTA
DESEMBER 2012
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
ii
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa tesis ini saya susun tanpa tindakan plagiarism sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan Plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.
Jakarta, 28 Desember 2012
(Firdaussy Yustiningsih)
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Firdaussy Yustiningsih
NPM : 1006741513
Tanda Tangan :
Tanggal : Desember 2012
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Tesis ini diajukan oleh : Nama : Firdaussy Yustiningsih NPM : 1006741513 Program Studi : Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik Judul Tesis : Analisa Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Beras
Petani-Konsumen di Indonesia Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Ekonomi pada Program Studi Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia.
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Dr. Ir. Widyono Soetjipto M.Sc ( )
Penguji : Iman Rozani S.E., M.Sc ( )
Penguji : Dr. Aris Yunanto S.TP., M.S.E ( )
Ditetapkan di : Jakarta Tanggal : Desember 2012
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-
Nya, saya dapat menyelesaikan tesis ini. Penulisan tesis ini dilakukan dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Magister Ekonomi
Program Studi Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik pada Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan
tesis ini, sangatlah sulit bagi saya untuk menyelesaikan tesis ini. Oleh karena itu,
saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
(1) Bapak Dr. Widyono Soetjipto, selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan tesis ini;
(2) Bapak Iman Rozani S.E., M.Sc dan Bapak Dr. Aris Yunanto, selaku dosen
penguji tesis, yang telah memberikan masukan terhadap isi tesis ini;
(3) Bapak Dr. Riyanto, selaku narasumber, yang telah memberikan masukan dan
bantuan terkait model ekonometri yang digunakan dalam tesis ini;
(4) Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia (KPPU), yang telah
menyediakan dana beasiswa untuk menempuh studi S-2 pada Program Studi
Magister Perencanaan dan Kebijakan Publik di Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia;
(5) Bapak Mulangin dari BPS dan Bapak Eri dari PT. Food Station Cipinang,
yang telah mendukung perolehan data dalam tesis ini;
(6) Bapak Taufik Ariyanto, selaku Kepala Biro Pengkajian, atas ide, arahan, dan
masukannya selama penulisan tesis ini;
(7) Suami, orang tua, dan keluarga tercinta, atas doa, dukungan, dan
bantuannyanya selama penulisan tesis ini;
(8) Mas Daniel, Mba Riris, Mba Nuring, Mba Indar, Mba Noor, dan rekan-rekan
KPPU yang telah banyak membantu selama masa perkuliahan dan
penyusunan tesis ini
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
vi
(9) Liasari, Wiwit, Vidi, Mba Febby, Mba Endang, Mba Metty, Mba Ita, Mba
Leni, Mba Indi, Mba Ance, dan seluruh rekan-rekan MPKP FEUI Angkatan
XXIII Sore yang telah menjadi teman dan sahabat seperjuangan selama masa
perkuliahan ini.
Akhir kata, saya berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan semua
pihak yang telah membantu. Semoga tesis ini membawa manfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan.
Jakarta, Desember 2012
Penulis
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Firdaussy Yustiningsih
NPM : 1006741513
Kekhususan : Ekonomi Persaingan Usaha
Program Studi : Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik
Fakultas : Ekonomi
Jenis Karya : Tesis
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Analisa Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Beras Petani-Konsumen
di Indonesia
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan,
mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database),
merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan
nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada Tanggal : ___ Desember 2012
Yang menyatakan
(Firdaussy Yustiningsih)
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
viii Universitas Indonesia
ABSTRAK Nama : Firdaussy Yustiningsih Program Studi : Magister Perencanaan Dan Kebijakan Publik Judul Tesis : Analisa Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Beras Petani-
Konsumen di Indonesia Tesis ini dilatarbelakangi oleh fenomena disparitas harga beras Indonesia yang semakin melebar antara level petani dengan level konsumen, sejak tahun 1998. Padahal, sebagai komoditas yang strategis, kebijakan perberasan seharusnya mampu menjamin harga beras yang tinggi di level petani namun tetap terjangkau di level konsumen.
Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk melakukan analisis pergerakan harga gabah kering panen (GKP) di level petani dengan harga beras di level konsumen, dengan menggunakan pendekatan teori Asymmetric Price Transmission, dan (2) menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat integrasi pasar dan transmisi harga beras petani – konsumen, yang dikaitkan dengan kondisi struktur dan perilaku pedagang perantara beras di Indonesia.
Model yang digunakan dalam analisa adalah model error correction (ECM), yang diestimasi dari pergerakan data harga GKP di level petani dengan harga beras di level konsumen. Data yang digunakan adalah data sekunder bulanan dengan rentang waktu (time series) dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2011.
Hasil pendugaan model menunjukkan bahwa dalam jangka pendek transmisi harga GKP petani terhadap harga beras konsumen bersifat simetris, sementara dalam jangka panjang bersifat asimetris. Fenomena transmisi harga tidak simetris pada jangka panjang disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) penyalahgunaan market power oleh pedagang perantara, dan (2) kebijakan Pemerintah.
Pedagang perantara mendapatkan market power dari kondisi struktur pasar yang bersifat oligopolistik, dimana jumlah pedagang perantara relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah petani dan konsumen. Hal ini menyebabkan pedagang perantara memiliki posisi tawar yang lebih tinggi, sehingga memudahkan pedagang perantara untuk mengendalikan harga.
Dalam hal kebijakan Pemerintah, berbagai kebijakan perberasan dirancang untuk mengintervensi harga di level petani agar berada di atas level harga Pemerintah, sementara harga di level konsumen diserahkan kepada mekanisme pasar. Hal ini menimbulkan persepsi pedagang perantara bahwa penurunan harga GKP petani hanya bersifat sementara, sehingga pedagang perantara tidak segera bereaksi terhadap penurunan harga GKP petani.
Kata kunci :
Integrasi pasar, transmisi harga vertikal, rantai pemasaran beras, market power, Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
ix Universitas Indonesia
ABSTRACT Name : Firdaussy Yustiningsih Study Program : Master of Planning and Public Policy Title : Analysis of Market Integration and Price Transmission on
Farm - Retail Rice Price in Indonesia The background of this thesis is due to the price disparity between the farm level and the consumer retail in rice sectors in Indonesia. The anomaly is the price disparity has widened after the liberalization of the rice market in 1998. As a strategic commodity in Indonesia, the government should develop a policy that can guarantee the price of rice is high at the farmers level and remain affordable at the consumer level.
The goal of this research is (1) to analyze the price transmission between the farm level and the consumer level in rice sector, by using the Asymmetric Price Transmission approach, and (2) to explain the factors that affect the level of market integration and rice price transmission between the farm level and the consumers level, which associated with the condition of the structure and behavior of Indonesian rice middle man.
The model used in the analysis is the error correction model (ECM), which is estimated from the movements of rice price in the farm level with the consumer level. The data used are monthly price in each level from 2000 to 2011.
Based on the model, the price transmission from the farm level to the consumer level is symmetric in the short term. Meanwhile in the long term, the price transmission is asymmetric. It means that the price transmission is caused by the long term factors, such as abuse of market power by the middle man and the government policy.
Middle man get their market power from the market structure of the middle man level which lead to oligopolistic market, where the number of middlemen are relatively few compared to the number of farmers and consumers. This causes the middle man has a higher bargaining position, so they can easily control the prices.
In terms of policy, the Indonesian government prefer to give more protection to farmer than to consumer. In the farm level, government made the Government Purchase Price Policy which aims to ensure that the farmer always get a better price (high price) by selling their rice. While, prices at the consumer level left to the market mechanism. This gives the perception in the middle man level that the falling price in the farm level only temporary, because the government will immediately intervene the market. This makes the middle man not immediately react for the falling prices in the farm level. On the other hand, the middle man believe that the rising price in the farm level is permanent, so they will increase the rice price in the consumers level immediately.
Keywords : Market integration, vertical price transmission, marketing chain of rice, market power, Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
x Universitas Indonesia
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………….……. i SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ……………………. ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS …………..………….... iii HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………… iv KATA PENGANTAR …………………………………………………… v HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ……….. vii ABSTRAK ……………………………………………………………….. viii DAFTAR ISI …………………………………………………………….. x DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………. xii DAFTAR TABEL ……………………………………………………….. xiii 1. PENDAHULUAN …………………………………………………... 1
1.1. Latar Belakang …………………………………………………. 1 1.2. Perumusan Masalah Penelitian ……………………………….. 5 1.3. Tujuan Penelitian ……………………………………………… 5 1.4. Manfaat Penelitian …………………………………………….. 6 1.5. Hipotesa ………………………………………………………... 6 1.6. Metodologi Penelitian …………………………………………. 6
1.6.1. Data-Data yang Digunakan ……………………………. 6 1.6.2. Metode Analisis ………………………………………… 7 1.6.3. Ruang Lingkup Penelitian …………………………….. 8
1.7. Sistematika Penelitian …………………………………………. 8 1.8. Kerangka Penelitian ………………………………….…………. 9
2. TINJAUAN LITERATUR …………………………………………. 12 2.1. Teori Integrasi Pasar dan Transmisi Harga …………………… 12 2.2. Asymmetric Vertical Price Transmission ………………………. 16 2.3. Penyebab Asymmetric Vertical Price Transmission …………… 21
2.3.1. Market Power dan Struktur Pasar Persaingan Tidak Sempurna ………………………………………………. 22
2.3.2. Adjustment Cost atau Menu Cost ………………………. 26 2.3.3. Return to Scale dalam Produksi ………………………... 28 2.3.4. Karakteristik Produk …………………………………… 29 2.3.5. Kebijakan Pemerintah …………………………………. 30
2.4. Penelitian Terdahulu …………………………………………… 31 3. GAMBARAN PERBERASAN INDONESIA ……………………... 35
3.1. Gap Antara Pola Produksi dan Konsumsi Beras ……………… 36 3.2. Gambaran Distribusi Beras di Indonesia ……………………… 39 3.3. Kebijakan Perberasan Indonesia ……………………………..... 44
3.3.1. Kebijakan Produksi …………………………………….. 46 3.3.2. Kebijakan Harga ………………………………………... 49 3.3.3. Kebijakan Impor ……………………………………….. 53 3.3.4. Kebijakan Distribusi ……………………………………. 55
3.4. Kebijakan Pemerintah dan Perkembangan Harga …………..... 59 3.5. Kebijakan Pemerintah dan Peningkatan Produksi …….……… 61
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
xi Universitas Indonesia
4. METODOLOGI PENELITIAN …………………………………… 65
4.1. Cakupan Penelitian ……………………………………………. 65 4.2. Metode Analisis ………………………………………………... 68 4.3. Tahapan Pengujian …………………………………………….. 70
4.3.1. Tes Stasioner …………………………………………… 70 4.3.2. Tes Kointegrasi …………………………………………. 72 4.3.3. Tes Kausalitas …………………………………………... 74 4.3.4. Model Simetris Error Correction Model (ECM) ………. 76 4.3.5. Tes Asimetri ……………………………………………. 77
4.4. Keterbatasan Penelitian ………………………………………... 80 5. HASIL DAN PEMBAHASAN ……………………………………... 82
5.1. Analisa Data Deskriptif ………………………………………… 82 5.2. Analisa Time Series …………………………………………….. 86
5.2.1. Uji Stasioner ……………………………………………. 86 5.2.2. Uji Kointegrasi ………………………………………….. 90
5.3. Estimasi Model Asimetris ……………………………………… 91 5.3.1. Uji Kausalitas …………………………………………… 91 5.3.2. Uji Model Simetris ……………………………………… 93 5.3.3. Uji Model Asimetris ……………………………………. 95
5.4. Analisa Faktor Penyebab Transmisi Harga Asimetris ………… 107 5.4.1. Biaya Penyesuaian ……………………………………… 107 5.4.2. Kebijakan Pemerintah dan Perilaku Pedagang Perantara. 108 5.4.3. Market Power dan Struktur Pasar ……………………… 111
6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI …………………………... 116 6.1. Kesimpulan ……………………………………………………... 116 6.2. Rekomendasi ……………………………………………………. 117
DAFTAR REFERENSI …………………………………..……………... 120
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
xii Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Perbandingan Harga Beras Petani-Konsumen ……………. 2 Gambar 1.2. Kerangka Penelitian ………………………………………… 10 Gambar 2.1. Transmisi Harga Tidak Simetris Dari Sisi Kecepatan dan
Besaran ……………………………………………………... 17
Gambar 2.2. Transmisi Harga Tidak Simetris Positif dan Negatif ……... 20 Gambar 3.1. Pola Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia …………. 38 Gambar 3.2. Rantai Pemasaran Beras di Indonesia ……………………... 42 Gambar 3.3. Rantai Distribusi Beras di Pulau Jawa …………………….. 44 Gambar 3.4. Kurva Pembentukan Harga Dasar Gabah …………………. 51 Gambar 3.5. Kurva Pembelian Harga Dasar Pembelian Pemerintah …… 52 Gambar 3.6. Interaksi Pergerakkan Harga Beras dan Kebijakan Perberasan
Indonesia ……………………………………………………. 60
Gambar 3.7. Pertumbuhan Luas Areal Tanam Padi di Indonesia ………. 62 Gambar 3.8. Pertumbuhan Produktivitas Lahan Padi di Indonesia …….. 63 Gambar 3.9. Pertumbuhan Produksi Padi di Indonesia …………………. 63 Gambar 4.1. Tahapan Analisa ………………………………………….... 80 Gambar 5.1. Pergerakan Harga GKP Petani dan Harga Beras Eceran
Konsumen Periode 2000 – 2011 …………………………… 82
Gambar 5.2. Kondisi Supply-Demand saat ECT+ ................................... 104 Gambar 5.3. Kondisi Supply-Demand saat ECT- ................................... 105 Gambar 5.4. Struktur Pasar Gabah dan Beras di Setiap Level Pemasaran. 114
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
xiii Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Perbandingan Jumlah Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia... 37 Tabel 3.2. Program Peningkatan Produksi Padi Pemerintah Periode
1959 – 2007 ……………………………………………………. 47
Tabel 5.1. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada level dengan ADF Test ……………………………………………………..... 86 Tabel 5.2. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada level dengan
PP Test ……………………………………………………….... 87
Tabel 5.3. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada first difference dengan ADF Test …………………………………………….... 88
Tabel 5.4. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada first difference dengan PP Test ………………………………………………... 88
Tabel 5.5. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada level dengan ADF Test ………………………………….…………… 88
Tabel 5.6. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada level dengan PP Test ……………………………………………….... 89
Tabel 5.7. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada first difference dengan ADF Test …………………………………… 89
Tabel 5.8. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada first difference dengan PP Test ……………………………………... 89
Tabel 5.9. Hasil Uji Kointegrasi pada data Harga GKP Petani dan Harga Beras Konsumen ……………………………………………..... 91 Tabel 5.10. Hasil Uji Kausalitas dengan Metode Granger Test …………… 92 Tabel 5.11. Hasil Estimasi Model Simetris ………………………………… 93 Tabel 5.12. Hasil Estimasi Model Asimetris Sederhana dengan Metode Granger-Lee ……………………………………………………. 95 Tabel 5.13. Hasil Pengujian Koefisien Model Asimetris Sederhana ……... 96 Tabel 5.14. Hasil Estimasi Model Asimetris Kompleks dengan Metode Von Cramon-Taubadel dan Loy ………………….…………… 99
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
xiv Universitas Indonesia
Tabel 5.15. Hasil Pengujian Koefisien Variabel Harga GKP Petani Periode t pada Model Asimetris Kompleks ……………………………... 100 Tabel 5.16. Hasil Pengujian Koefisien Variabel Harga GKP Petani Periode t-1 pada Model Asimetris Kompleks ……………………………... 101 Tabel 5.17. Hasil Pengujian Koefisien Variabel Harga Beras Konsumen pada Periode t-1 pada Model Asimetris Kompleks …….…………… 101 Tabel 5.18. Hasil Pengujian Koefisien Transmisi Harga Jangka Panjang pada Model Asimetris Kompleks ……………………………… 102
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
1 Universitas Indonesia
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Beras merupakan komoditas penting bagi penduduk Indonesia. Program
diversifikasi pangan yang gagal dilakukan Pemerintah menyebabkan peran
beras sebagai sumber karbohidrat utama belum tergantikan oleh jenis
pangan lainnya. Tingginya tingkat ketergantungan penduduk Indonesia akan
beras menjadikan Indonesia sebagai negara dengan tingkat konsumsi beras
tertinggi di Asia Tenggara. Saat ini konsumsi beras di Indonesia mencapai
139 kilogram per kapita per tahun1. Menurut Menteri Pertanian, tingkat
konsumsi beras penduduk Indonesia sudah terlalu banyak, sementara
konsumsi sumber karbohidrat lainnya masih relatif rendah. Contohnya
umbi-umbian yang jumlah konsumsinya hanya 40 gram per kapita per hari ,
dari jumlah ideal 100 gram per kapita per hari2.
Tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap beras, didukung dengan tidak
adanya produk subtitusi, menyebabkan kurva permintaan beras di Indonesia
bersifat inelastis. Dalam teori ekonomi mikro, produk dengan kurva
permintaan inelastis memberikan keuntungan yang besar bagi produsen,
atau dalam hal ini petani beras. Kondisi ini akan menyebabkan petani beras
memiliki posisi tawar yang relatif lebih tinggi dibandingkan konsumen,
sehingga produsen akan dengan mudah menaikan harga beras tanpa harus
takut kehilangan konsumen.
Dari sisi ekonomi makro, harga beras yang terlalu tinggi akan berbahaya
bagi perekonomian Indonesia. Sebagai salah satu komoditas utama
pembentuk inflasi, Pemerintah selalu berupaya menjaga harga beras berada
pada suatu tingkat tertentu yang menguntungkan bagi petani dan konsumen
sekaligus. Dalam hal ini, Pemerintah akan menghadapi food price dilemma,
1 Kompas Online, www.kompas.com, “Konsumsi Beras Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara, 7 Februari 2012 2 Republika Online, www.republika.co.id, “Mentan: Konsumsi Beras Indonesia Terlalu Banyak”, 4 April 2012
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
2
Universitas Indonesia
dimana petani menginginkan harga beras yang tinggi namun konsumen
menginginkan sebaliknya. Oleh sebab itu kebijakan harga beras yang
diambil Pemerintah diharapkan dapat menjembatani kepentingan petani dan
juga konsumen. Efektivitas kebijakan tersebut akan tercermin dari harga
beras yang tinggi di level petani dan rendah di level konsumen. Sayangnya
kondisi tersebut tidak terjadi di pasar beras Indonesia.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bank Indonesia di tahun 2008
diketahui bahwa pergerakan harga beras di tingkat petani tidak
ditransmisikan secara sempurna terhadap harga beras di tingkat konsumen,
ataupun sebaliknya. Hal ini tercermin dari semakin besarnya disparitas
harga antara level petani dengan konsumen selama periode Januari 2001
sampai Januari 20083. Adapun perbandingan harga dan disparitas harga
antara level petani dan konsumen digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1.1. Perbandingan Harga Beras Petani - Konsumen
Sumber : Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi, Working Paper BI 2008
3 Working Paper BI Edisi WP/07/2008, Juni 2008, “Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi”, www.bi.go.id
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
3
Universitas Indonesia
Arifin et al. (2006) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa
permasalahan disparitas harga pada komoditi beras sangat siginifikan terjadi
sejak jatuhnya Pemerintahan Soeharto pada tahun 1998. Pada 1 Juni 1998,
Pemerintah menetapkan Harga Dasar Gabah (HDG) sebesar Rp. 1.000 per
kilogram, sedangkan harga beras di tingkat grosir minimal sudah mencapai
Rp. 1.850 per kilogram. Sejak saat itu disparitas harga beras dan gabah terus
berlanjut dan menjadi salah satu permasalahan kompleks yang dihadapi
Pemerintah Indonesia.
Disparitas harga beras yang tinggi menunjukkan bahwa baik petani maupun
konsumen tidak diuntungkan dalam perdagangan beras. Nilai tambah
pengolahan dan perdagangan beras kemungkinan lebih banyak dinikmati
oleh pedagang perantara. Dalam teori pemasaran, besarnya disparitas harga
dalam suatu lini pemasaran dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu jalur
pemasaran yang terlalu panjang dan/atau adanya market power yang
dimiliki oleh pedagang perantara. Keduanya akan menyebabkan margin
yang terbentuk dalam satu lini pemasaran dari hulu ke hilir (vertikal)
menjadi sangat besar dan tidak efisien.
Secara teori ekonomi industri, semakin kecil tingkat margin distribusi yang
dihasilkan mengindikasikan bahwa para pelaku di jalur distribusi tidak
memiliki market power yang cukup untuk membentuk harga (price maker).
Dengan kata lain, pasar yang tercipta mengarah pada model pasar
persaingan sempurna. Sebaliknya, semakin tinggi margin distribusi
mengindikasikan bahwa para pelaku di jalur distribusi memiliki market
power yang cukup untuk menetapkan harga di atas biaya marginalnya dan
menunjukkan bahwa mereka berada pada pasar yang cukup terkonsentrasi.
Namun poin yang menarik pada kasus pasar beras adalah semakin
melebarnya disparitas harga antara level petani dengan konsumen justru
terjadi pasca diberlakukannya kebijakan deregulasi pasar beras di Indonesia
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
4
Universitas Indonesia
pada tahun 19984, atau pada saat pasar beras memasuki era pasar bebas.
Dengan kata lain dari sisi struktur, seharusnya pasar distribusi beras sudah
mengarah pada kondisi pasar yang lebih bersaing. Apabila mekanisme pasar
berjalan secara sempurna maka idealnya pedagang perantara tidak memiliki
kemampuan untuk menetapkan margin pemasaran yang besar, sehingga
disparitas harga yang terbentuk pun relatif kecil. Besarnya disparitas harga
beras antara level petani dengan konsumen dapat menjadi indikasi bahwa
terdapat perilaku anti persaingan yang dilakukan oleh pedagang perantara.
Menurut Vavra dan Goodwin (2005), salah satu penyebab transmisi harga
yang tidak simetris antar pasar yang terhubung secara vertikal (dalam satu
rantai pemasaran) adalah adanya perilaku tidak kompetitif antara para
pedagang perantara, khususnya apabila pedagang perantara tersebut berada
pada pasar yang terkonsentrasi. Umumnya pedagang perantara akan
berusaha mempertahankan tingkat keuntungannya dan tidak akan
menaikan/menurunkan harga sesuai dengan sinyal harga yang sebenarnya.
Sehingga pedagang perantara akan lebih cepat bereaksi terhadap kenaikan
harga dibandingkan dengan penurunan harga, Kondisi inilah yang
menyebabkan competition restraint pada jalur distribusi dan transmisi harga
yang tidak sempurna antara level produsen dengan konsumen. Pada
akhirnya pasar petani dan konsumen menjadi tidak terintegrasi.
Hal yang sama dikemukakan oleh Jochen Meyer dan Stephan von Cramon-
Taubadel (2004), disebutkan bahwa tidak terjadinya transmisi harga antara
dua level pasar yang berbeda dalam satu rantai pemasaran disebabkan oleh
pasar yang tidak kompetitif. Bahkan untuk komoditas pertanian secara jelas
disebutkan bahwa persaingan yang tidak sempurna di rantai pemasaran
(marketing chain) membuka ruang bagi middleman untuk melakukan
penyalahgunaan kekuatan pasar yang dimilikinya (abuse of market power).
4 Di tahun 1998, Pemerintah mencabut hak monopoli BULOG dalam impor beras, sehingga saat ini seluruh pihak dapat dengan bebas menjadi importir beras.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
5
Universitas Indonesia
Untuk meneliti dugaan penyalahgunaan market power yang dilakukan oleh
pedagang perantara beras maka akan digunakan pendekatan teori integrasi
pasar dan transmisi harga secara vertikal (vertical price transmission).
Berdasarkan teori tersebut, dua pasar yang saling berhubungan (melakukan
transaksi) akan terintegrasi secara sempurna dan transmisi harga terjadi
secara simetris. Apabila transmisi harga antar kedua pasar tersebut tidak
simetris maka dapat menjadi indikasi adanya penyalahgunaan market power
yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam pasar tersebut. Untuk menunjang
hasil analisa statistik agar lebih menyeluruh, dalam penelitian ini dipaparkan
pula mengenai gambaran struktur dan perilaku pedagang perantara di
sepanjang jalur pemasaran (marketing chain) beras secara umum.
1.2. Perumusan Masalah Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk membuktikan apakah fenomena integrasi
pasar dan transmisi harga vertikal yang simeris terjadi antara pasar beras di
tingkat petani dan konsumen di Indonesia. Apabila kondisi tersebut tidak
terjadi, maka selanjutnya akan dianalisa apakah terdapat faktor struktur
pasar dan perilaku pedagang perantara yang menyebabkan fenomena
Asymmetric Vertical Price Transmission tersebut.
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisis transmisi harga beras
secara vertikal antara level petani dengan konsumen berdasarkan teori
Asymmetric Price Transmission dengan cara :
a. Membandingkan pergerakan harga gabah kering panen (GKP) di tingkat
petani dengan harga beras di tingkat konsumen.
b. Menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat integrasi
dan transmisi harga beras petani-konsumen berdasarkan teori integrasi
pasar dan transmisi harga vertikal dikaitkan dengan kondisi struktur dan
perilaku pasar beras di Indonesia.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
6
Universitas Indonesia
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari peneltian ini adalah :
a. Tersedianya gambaran mengenai kondisi pasar distribusi beras di
Indonesia, baik dari sisi struktur, perilaku, dan kinerja.
b. Apabila terbukti bahwa terjadi transmisi harga vertikal yang tidak
simetris antara harga beras di level petani dengan konsumen, maka
dapat menjadi masukan lebih lanjut untuk meneliti faktor penyebab
dari kejadian tersebut.
1.5. Hipotesa
Dengan memperhatikan kondisi margin antara petani dan konsumen yang
semakin lebar, sebagaimana ditampilkan pada Gambar 1.1, maka hipotesis
awal dari penelitian ini adalah :
a. Diduga transmisi harga beras secara vertikal antara level petani dan
konsumen bersifat tidak simetris, yaitu terjadi perbedaan respon harga
beras di level konsumen terhadap perubahan kenaikan harga dengan
perubahan penurunan harga beras di level petani.
b. Diduga terdapat faktor struktur dan perilaku pedagang perantara yang
menyebabkan transmisi harga beras petani-konsumen tidak simetris.
1.6. Metodologi Penelitian
1.6.1. Data – Data Yang Digunakan
Penelitian ini akan difokuskan pada kondisi transmisi harga petani-
konsumen setelah era deregulasi pasar beras di Indonesia di tahun 1998.
Data yang digunakan adalah data sekunder dari Badan Pusat Statistik
periode 2000 – 2011. Tahun 2000 dijadikan tahun awal karena pada tahun
1998 – 1999 terjadi bencana El-Nino dan La-Nina yang mengurangi
jumlah produksi padi nasional, sehingga dikhawatirkan pergerakan harga
pada tahun tersebut tidak dapat menjelaskan faktor terjadinya transmisi
harga yang tidak simetris antara level petani dan level konsumen secara
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
7
Universitas Indonesia
akurat. Data harga beras petani yang digunakan adalah data harga GKP
bulanan, sementara harga beras konsumen digunakan data harga beras
eceran bulanan.
1.6.2. Metode Analisis
a. Analisa Kuantitatif
Metode ini mengacu pada fenomena harga yang terjadi ketika harga di
level hilir bereaksi terhadap perubahan (shock) harga di level hulu.
Kondisi transmisi harga vertikal yang tidak simetris terjadi apabila
terdapat perbedaan respon harga di level hilir antara shock kenaikan
dan shock penurunan yang terjadi pada harga di level hulu. Dalam
kondisi transmisi harga yang tidak simetris, penyesuaian harga di level
hilir umumnya lebih cepat terjadi pada saat harga di level hulu
mengalami kenaikan, dibandingkaan saat harga mengalami penurunan.
Kondisi transmisi harga yang tidak simetris juga dapat dilihat dari sisi
besaran harga. Sebagai contoh, pada saat terjadi kenaikan harga di
sektor hulu maka harga di sektor hilir akan mengalami kenaikan pada
besaran yang sama dengan kenaikan harga di level hulu, sementara
pada saat terjadi penurunan harga di level hulu maka penurunan harga
yang ditransmisikan di level hilir tidak sebesar penurunan harga yang
terjadi di level hulu. Sebagai ilustrasi berikut ditampilkan gambar
perbedaan respon yang terjadi pada kondisi transmisi harga vertikal
yang tidak simetris (asymmetric vertical price transmission).
Dalam penelitian ini akan digunakan Cointegration dan Error
Correction Model (ECM) untuk menguji dugaan transmisi harga
vertikal yang tidak simetris pada harga beras di level petani dan
konsumen di Indonesia.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
8
Universitas Indonesia
b. Analisa Kualitatif
Analisa kualitatif dilakukan untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab
terjadinya transmisi harga vertikal yang tidak simetris antara harga
beras petani dan konsumen di Indonesia, khususnya dikaitkan dengan
faktor struktur pasar dan perilaku pedagang perantara.
1.6.3. Ruang Lingkup Penelitian
Pada penelitian ini penulis hanya akan mengukur kinerja distribusi harga
beras Indonesia dengan pendekatan teori integrasi pasar dan transmisi
harga asimetris, dengan melihat transmisi pergerakan harga GKP di level
petani terhadap harga eceran beras di level konsumen. Variabel lain di luar
penelitian dianggap konstan. Data harga sebelum periode 2000 dianggap
tidak stabil karena adanya krisis ekonomi dan bencana El-Nino dan La-
Nina pada tahun 1998 – 1999, maka data pergerakan harga beras yang
digunakan adalah periode 2000 – 2011.
1.7. Sistematika Penelitian
Pada bab pertama, akan diuraikan mengenai latar belakang penelitian,
perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, sistematika
penulisan, serta kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian. Dalam
bab selanjutnya kemudian akan dijelaskan mengenai berbagai teori yang
melandasi penulisan tesis, mulai dari teori mengenai integrasi pasar dan
transmisi harga vertikal, berbagai faktor penyebab transmisi harga tidak
simetris, sampai dengan hasil penelitian mengenai integrasi pasar dan
transmisi harga vertikal yang sudah pernah dilakukan sebelumnya. Dalam
bab ini juga akan dipaparkan secara ringkas mengenai posisi penelitian dan
perbedaannya dari penelitian terdahulu.
Dalam bab ketiga, akan dijelaskan mengenai gambaran industri beras secara
umum di Indonesia, dalam hal karakteristik produksi, karakteristik
konsumsi, serta berbagai kebijakan yang pernah ditetapkan Pemerintah,
berikut implikasinya terhadap harga dan produksi.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
9
Universitas Indonesia
Bab keempat merupakan bab metodologi. Dalam bab ini akan diuraikan
mengenai metodologi yang digunakan dalam penelitian, yaitu dengan
menggunakan teori asymmetric vertical price transmission dengan
pendekatan error correction model (ECM). Selain itu, bab ini akan
membahas pula mengenai cakupan data yang digunakan serta tahapan
pengolahan data tersebut.
Setelah melalui tahapan-tahapan sebagaimana dijelaskan dalam metodologi,
hasil estimasi model kemudian akan dibahas secara mendalam pada bab
kelima, mulai dari interpretasi model sampai dengan pembahasan faktor
penyebab transmisi harga tidak simetris antara harga GKP di level petani
dengan harga beras eceran level di konsumen. Untuk dapat menjelaskan
hasil pengujian model dengan kondisi industri beras di Indonesia yang riil,
maka pembahasan faktor penyebab transmisi harga tidak simetris akan
dikaitkan dengan kondisi struktur dan perilaku pasar serta kebijakan
perberasan yang ditetapkan Pemerintah pada periode tersebut. Hasil analisa
yang telah diuraikan pada bab kelima kemudian disimpulkan dalam bab
selanjutnya, untuk selanjutnya diusulkan saran dan rekomendasi.
1.8. Kerangka Penelitian
Kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan
membandingkan kondisi ideal dengan kondisi riil yang terjadi di industri
beras Indonesia setelah liberalisasi pasar yang dilakukan Pemerintah pada
tahun 1998. Gambaran kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian
ini secara lebih lengkap ditampilkan pada Gambar 1.2 di halaman
selanjutnya
Kebijakan liberalisasi pasar beras di Indonesia pada tahun 1998 dilakukan
dengan cara mencabut hak monopoli impor yang dimiliki oleh BULOG serta
menghapuskan tarif ekspor beras. Pada kondisi yang ideal, kebijakan
liberalisasi tersebut akan membuka peluang bagi pelaku usaha baru untuk
masuk ke pasar beras Indonesia, sehingga jumlah pelaku usaha di industri
beras akan bertambah.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
10
Universitas Indonesia Gambar 1.2. Kerangka Penelitian
Karakteristik Pasar Beras dan Kebijakan Perberasan di Indonesia
Kondisi Ideal :
Jumlah pedagang perantara bamyak
Pedagang perantara sebagai price taker
Perubahan harga GKP Petani ditransmisikan sempurna terhadap harga beras konsumen
Kondisi Saat Ini :
Jumlah pedagang perantara relatif sedikit
Pedagang perantara sebagai price maker
Perubahan harga GKP Petani ditransmisikan tidak sempurna terhadap harga beras konsumen
Tujuan Penelitian :
Pengujian kondisi asymmetric vertical price transmission pada harga beras level petani – konsumen di Indonesia
Metode Penelitian :
Pengujian asymmetric vertical price transmission dengan menggunakan data harga GKP petani dan data harga beras eceran konsumen
Pergerakan Harga Beras Petani - Konsumen
Pergerakan Harga Beras Petani - Konsumen
Analisa penyebab asymmetric vertical price transmission pada harga beras level petani – kosnumen di Indonesia dan keterkaitannya dengan struktur dan perilaku pedagang perantara
Kesimpulan dan Saran
YA TIDAK
Gap
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
11
Universitas Indonesia
Sesuai dengan teori ekonomi industri, pertambahan jumlah pelaku usaha
pada suatu industri akan menyebabkan market power yang dimiliki pelaku
usaha berkurang, sehingga pelaku usaha tidak memiliki kemampuan yang
cukup besar untuk mempengaruhi harga (price taker). Pada kasus rantai
pemasaran, pedagang perantara yang tidak memiliki market power akan
mentransmisikan perubahan biaya (harga pembelian produk) yang
dihadapinya terhadap harga jual produknya secara sempurna. Dengan kata
lain, perubahan harga di hulu rantai pemasaran akan ditransmisikan secara
sempurna terhadap perubahan harga di hilir.
Akan tetapi, pada kasus pasar beras di Indonesia, sejak liberalisasi pasar
beras yang dilakukan Pemerintah di tahun 1998 disparitas harga beras di
tingkat petani dengan tingkat konsumen semakin melebar. Hal ini dapat
mengindikasikan adanya dugaan market power yang dimiliki pedagang
perantara. Kondisi ini yang kemudian menjadi latar belakang dan tujuan dari
penelitian.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
12 Universitas Indonesia
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
2.1. Teori Integrasi Pasar dan Transmisi Harga
Para ekonom neo-klasik percaya bahwa harga merupakan indikator utama
yang dapat mencerminkan tingkat efisiensi suatu pasar. Transmisi harga dan
tingkat integrasi pasat dapat dijadikan indikasi efisiensi yang terbentuk antar
dua pasar yang saling berinteraksi, baik secara vertikal maupun spasial
(Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004).
Kondisi pasar persaingan sempurna dijadikan sebagai titik acuan dalam
menilai proses transmisi harga dan tingkat integrasi antar dua pasar. Premis
yang digunakan adalah transmisi harga akan berjalan sempurna apabila di
dalam pasar tidak terjadi friksi dan distorsi (Conforti, 2004). Tidak adanya
transmisi harga antar pasar yang saling melakukan transaksi dianggap akan
menyebabkan inefisiensi alokasi sumber daya dan menurunkan
kesejahteraan ekonomi di bawah titik keseimbangan pareto. Dengan kata
lain, transmisi harga yang sempurna akan berujung pada pasar yang berjalan
secara efisien.
Menurut Amikuzuno dan Ogundari (2012), khusus untuk bidang ekonomi
pertanian, analisa transmisi harga dan integrasi pasar sudah berkembang
sejak 50 tahun terakhir. Penelitian mengenai integrasi pasar dan transmisi
harga diawali dengan analisa tingkat integrasi dan transmisi harga antar dua
pasar yang berbeda wilayah geografisnya, yang kemudian disebut dengan
interaksi secara spasial. Penelitian kemudian berkembang untuk melihat
interaksi harga yang terjadi antar dua level pasar yang berada dalam satu
rantai pemasaran, yang kemudian disebut dengan interaksi secara vertikal.
Pada kasus spasial, interaksi harga akan berjalan sesuai hukum satu harga
(Law of One Price/LOP) sebagaimana dikemukakan oleh Enke (1951),
Samuelson (1952), serta Takayama dan Judge (1972) dalam Rapsomanikis,
et al. (2003), dimana harga antara dua pasar yang berbeda lokasi adalah
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
13
Universitas Indonesia
sama, selisih harga yang terjadi hanya sebesar biaya transfer antar kedua
pasar tersebut. Pada model tersebut, perubahan yang terjadi di sisi
permintaan dan penawaran di salah satu pasar akan mempengaruhi
perdagangan dan harga jual di pasar yang lain, sampai pada akhirnya
mencapai suatu titik keseimbangan harga yang tidak memungkinkan
terjadinya pertukaran perdagangan antara kedua pasar tersebut.
Pada kasus vertikal, integrasi pasar didefinisikan sebagai keterkaitan
hubungan antara suatu lembaga pemasaran dengan lembaga pemasaran
lainnya dalam suatu rantai pemasaran (Suparmin 2005 dalam Irawan dan
Rosmayanti 2007). Bustaman (2003) menyatakan bahwa integrasi pasar
vertikal penting untuk dipelajari guna mengetahui tingkat keeratan hubungan
antara pasar produsen dan pasar ritel/pedagang. Menurut Goodwin (2006),
tingkat transmisi harga pada satu rantai pemasaran dapat menjadi petunjuk
kinerja dari setiap level/lembaga pemasaran yang berada dalam rantai
pemasaran tersebut. Suatu rantai pemasaran dikatakan efisien dan
terintegrasi secara vertikal apabila pola interaksi harga antar level hanya
tergantung pada biaya produksinya. Dengan kata lain, perubahan harga pada
suatu level pemasaran akan ditransformasikan kepada level pemasaran
lainnya secara selaras. Dalam kasus beras, integrasi pasar beras dikatakan
efisien apabila perubahan harga beras di tingkat petani diikuti dengan
perubahan harga beras di tingkat konsumen dalam porsi yang sama.
Pada beberapa penelitian, integrasi pasar dalam jangka panjang cenderung
terjadi dalam bentuk integrasi yang lemah dan perkembangan transmisi
harga sering menunjukkan perilaku tidak simetri (asimetri). Asimetri harga
secara teoritis dapat terjadi dalam hubungannya dengan karakteristik
kompetisi yang tidak sempurna, misalnya akibat adanya lag informasi,
promosi, dan konsentrasi pasar (Henderson & Quant, 1980; Kinnucan &
Forker, 1987).
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
14
Universitas Indonesia
Analisa transmisi harga asimetri untuk produk pertanian pertama kali
dilakukan oleh Tweeten & Quance (1969), yang menggunakan teknik
variabel dummy untuk mengestimasi fungsi penawaran yang tidak dapat
diubah (Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004, hal. 594). Variabel dummy
digunakan untuk memisahkan harga bahan baku menjadi dua, yaitu variabel
yang hanya terdiri dari kenaikan harga input dan variabel yang hanya terdiri
dari penurunan harga input. Selanjutnya koefisien untuk kedua variabel
tersebut diestimasi dan dibandingkan. Hipotesis transmisi harga simetris
ditolak apabila kedua koefisien tersebut berbeda signifikan secara statistik.
Wolffram (1971) memperkenalkan teknik pemisahan variabel baru dengan
menggunakan data harga turunan (first difference) ke dalam persamaan yang
ajan diestimasi. Metode tersebut kemudian dimodifikasi oleh Houck (1979)
dengan mengeluarkan nilai observasi awal, karena level observasi yang
pertama dinilai tidak memiliki kekuatan penjelasan bebas. Ward (1982)
kemudian mengembangkan model Houck dengan menambahkan lag pada
variabel eksogen, seperti efek keterlambatan dan lamanya waktu lag, yang
tetap dapat dipisahkan antara efek kenaikan harga dan efek penurunan harga
(Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004, hal. 594-595).
Boyd & Brorsen (1988) adalah yang pertama menggunakan lag untuk
memisahkan transmisi dalam hal waktu penyesuaian (speed of adjustment)
dengan besaran penyesuaian (magnitude of adjustment) (Meyer & von
Cramon-Taubadel, 2004, hal. 595). Dari hasil estimasi, nilai koefisien
variabel menunjukan lamanya waktu penyesuaian pada periode tertentu, dan
nilai penjumlahan koefisien menunjukkan besaran penyesuaian.
Meyer dan von Cramon-Taubadel (2004) mengklasifikasikan metode
tersebut sebagai teknik pre-kointegrasi, dimana regresi terhadap lag
dipisahkan berdasarkan tandanya. Pada teknik ini sehingga perubahan atas
kenaikan harga (diinisiasikan dengan tanda positif) diperbolehkan untuk
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
15
Universitas Indonesia
memberikan efek yang berbeda dengan perubahan atas penurunan harga
(diinisiasikan dengan tanda negatif).
Penelitian-penelitian yang menggunakan teknik tersebut dalam analisa
transmisi harga antara lain analisa transmisi harga vertikal untuk industri
susu (Kinnucan & Forker, 1987), industri daging babi di Amerika (Boyd &
Brorsen, 1988), industri broiler di Amerika (Bernard & Willet, 1996),
analisa transmisi harga asimetris vertikal untuk tomat, bawang, susu bubuk,
kopi, beras, dan buncis di Brazil (Aguiar & Santana, 2002), dan analisa
harga asimetris pada industri tomat segar di Amerika (Girapunthong et al.,
2003).
Von Cramon-Taubadel & Fahlbusch (1994) merupakan yang pertama
mengenalkan konsep kointegrasi dalam model transmisi harga tidak simetris
dengan menggunakan konsep error correction model (ECM) (Vavra &
Goodwin, 2005, hal. 12). Prinsip utama model ini adalah dengan melihat
signifikansi penyimpangan (error) dari model keseimbangan jangka
panjangnya. Pada konsep kointegrasi, dua series harga dikatakan
terkointegrasi apabila pergerakan di salah satu series harga diikuti dengan
pergerakan harga di series lainnya secara sempurna (Wixson & Katchova,
2012, hal. 11). Apabila terdapat pergerakan harga yang menyimpang, maka
akan dimasukan sebagai bentuk error correction (error correction
term/ECT).
Konsep tersebut didasari oleh penelitian Engle & Granger (1987)
sebelumnya yang menunjukkan bahwa kointegrasi untuk data time series
yang tidak stasioner akan merepresentasikan nilai ECT yang valid
(Hassouneh, et al., 2012, hal. 7). Mereka menyebutkan bahwa teknik pre-
kointegrasi untuk analisa transmisi harga asimetri justru dapat menghasilkan
regresi lancung (spurious regression) karena menggunakan series data yang
tidak stasioner.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
16
Universitas Indonesia
Pada analisa transmisi harga dengan metode ECM, ECT kemudian
dipisahkan antara bentuk positif dengan bentuk negatif. ECT positif
menunjukkan kondisi penyimpangan di atas garis keseimbangan jangka
panjang, sementara ECT negatif menunjukkan kondisi penyimpangan di
bawah garis keseimbangan jangka panjangnya (Wixson & Katchova, 2012,
hal. 11). Vavra & Goodwin (2005) dan Acquah & Onumah (2010)
menyebutkan bahwa penggunaan metode ECM lebih disarankan
dibandingkan metode Houck yang konvensional.
Meskipun demikian, Meyer & von Cramon-Taubadel (2004) menyebutkan
bahwa analisa transmisi harga dengan menggunakan ECM hanya dapat
menggambarkan pola asimetris dari sisi waktu penyesuaian. Hal ini
disebabkan analisa kointegrasi dan ECM merupakan bentuk keseimbangan
jangka panjang, sehingga apabila transmisi harga tidak simetris terjadi dari
sisi besaran penyesuaian maka data tidak akan saling terkointegrasi.
2.2. Asymmetric Vertical Price Transmission
Transmisi harga dikatakan tidak simetris apabila terdapat perbedaan respon
harga antara shock harga positif (saat terjadi kenaikan harga) dengan shock
harga negatif (saat terjadi penurunan harga). Menurut Meyer & von-Cramon
Taubadel (2004), yang dimaksud dengan asimetri pada kasus transmisi harga
dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) kriteria.
Kriteria yang pertama transmisi harga tidak simetris yang terjadi secara
vertikal atau spasial. Sebagaimana yang sudah disinggung sebelumnya,
transmisi harga vertikal terjadi antar level pemasaran dalam satu rantai,
sedangkan transmisi harga spasial terjadi antar pasar yang berbeda lokasi
geografisnya. Sebagai contoh, transmisi harga vertikal yang tidak simetris
terjadi pada saat kenaikan harga di level petani ditransmisikan lebih cepat
dan lebih sempurna kepada harga di level konsumen, dibandingkan saat
terjadi penurunan harga di level petani. Sementara transmisi harga spasial
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
17
Universitas Indonesia
yang tidak simetris dapat dicontohkan melalui perbedaan respon harga
domestik terhadap harga internasional, dimana kenaikan harga internasional
lebih cepat dan lebih sempurna diadopsi oleh harga domestik dibandingkan
saat terjadi penurunan harga internasional.
Kriteria yang kedua merujuk kepada kondisi transmisi harga yang tidak
simetris dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian harga. Dalam hal
kecepatan waktu penyesuaian, fenomena asimetris terjadi apabila shock
harga di salah satu pasar tidak dengan segera ditransmisikan oleh pasar
lainnya. Sementara dari sisi besaran, fenomena asimetris terjadi pada saat
shock harga di satu pasar tidak ditransmisikan secara penuh oleh pasar
lainnya. Kondisi transmisi harga yang tidak simetris dari sisi kecepatan
waktu dan besaran penyesuaian harga ditampilkan pada Gambar 2.1.
(a) (b)
(c)
Gambar 2.1. Transmisi Harga Tidak Simetris Dari Sisi Kecepatan dan Besaran
Sumber : Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004, Asymmetric Price Transmission : A Survey, Journal of Agricultural Economics Volume 55 Number 3, Nov 2004
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
18
Universitas Indonesia
Pada Gambar 2.1 diasumsikan sumber dari shock harga terjadi pada Pin. Dari
Gambar 2.1.a dapat dilihat bahwa terjadi perbedaan respon dari sisi besaran
penyesuaian harga di Pout antara shock positif dengan shock negatif yang
terjadi di Pin. Pada saat terjadi shock positif di Pin, Pout akan mentransmisikan
shock tersebut secara sempurna, dimana kenaikan harga yang terjadi di Pout
sama dengan kenaikan yang terjadi di Pin. Sementara saat terjadi shock
negatif di Pin, penurunan harga yang terjadi di Pout tidak terjadi dengan
sempurna. Hanya setengah dari shock negatif di Pin yang ditransmisikan oleh
Pout.
Gambar 2.1.b menjelaskan transmisi yang tidak simetris dari sisi kecepatan
waktu penyesuaian. Saat terjadi kenaikan harga di Pin pada waktu t1, Pout
akan dengan segera melakukan penyesuaian pada waktu yang sama.
Sementara saat di Pin terjadi penurunan harga, Pout tidak dengan segera
merespon penurunan harga tersebut, melainkan terdapat lag selama n.
Sehingga shock negatif di Pin baru akan ditransmisikan di Pout pada waktu
t1+n.
Gambar 2.1.c menjelaskan transmisi yang tidak simetris dari sisi kecepatan
waktu dan besaran. Kenaikan harga yang terjadi di Pin pada waktu t1, tidak
ditransmisikan seluruhnya pada waktu yang sama, melainkan hanya
setengahnya. Pada waktu t2 barulah seluruh shock positif di Pin
ditransmisikan secara sempurna. Sementara saat terjadi penurunan harga
pada waktu yang sama di Pin, proes transmisinya dilakukan pada waktu yang
lebih lama dibandingkan saat terjadi shock positif, yaitu pada waktu t3.
Respon penurunan harga yang terjadi di Pout pun tidak sebesar penurunan
harga yang terjadi di Pin. Hal ini menggambarkan bahwa terjadi transmisi
yang tidak sempurna dari sisi kecepatan waktu dan besaran penyesuaian
yang ditunjukan oleh Pout saat terjadi shock negatif di Pin.
Dalam Gambar 2.1 ditampilkan pula dampak hilangnya kesejahteraan akibat
adanya transmisi harga yang tidak sempurna, yang digambarkan dalam
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
19
Universitas Indonesia
bentuk area yang gelap. Menurut Meyer & von-Cramon Taubadel, transmisi
harga tidak simetris dari sisi kecepatan akan menghilangkan kesejahteraan
yang sifatnya sementara. Adapun ukuran/besaran kesejateraan yang hilang
sementara tersebut sangat tergantung pada panjangnya interval waktu
transmisi antara t1 dan t1+n, besarnya respon perubahan, dan volume
transaksi yang dilakukan (Gambar 2.1.b). Sedangkan transmisi harga tidak
simetri dari sisi besaran menyebabkan hilangnya kesejahteraan secara
permanen (Gambar 2.1.a), dan ukurannya hanya tergantung pada besarnya
respon perubahan harga dan volume transaksi yang dilakukan. Terakhir,
transmisi tidak simetris dari sisi kecepatan dan besaran akan menyebabkan
perubahan kesejahteraan yang bersifat sementara sekaligus permanen.
Meyer & von-Cramon Taubadel (2004) menambahkan bahwa hilangnya
kesejahteraan yang sifatnya sementara dalam jumlah besar dapat
memberikan dampak yang lebih buruk dibandingkan dengan hilangnya
kesejahteraan permanen dalam jumlah kecil yang terjadi saat ini.
Kriteria ketiga, mengacu pada Peltzman (2000), transmisi harga yang tidak
simetris dapat diklasifikasikan menjadi transmisi tidak simetris yang positif
dan transmisi tidak simetris yang negatif. Transmisi tidak simetris yang
positif adalah kondisi dimana shock positif akan direspon secara lebih cepat
dan/atau lebih sempurna dibandingkan saat terjadi shock negatif (Gambar
2.2.a). Sebalikannya, transmisi tidak simetris yang negatif adalah situasi
dimana shock negatif akan lebih cepat dan/atau lebih sempurna direspon
dibandingkan shock positif (Gambar 2.2.b).
Pada konteks transmisi harga vertikal dalam satu rantai pemasaran, transmisi
tidak simetris yang positif ataupun negatif tidak hanya dapat terjadi dari hulu
ke hilir saja, melainkan dapat pula terjadi sebaliknya (dari hilir ke hulu),
contohnya pada saat terjadi pergesaran kurva permintaan. Untuk
menghindari kesalahan penafsiran, Meyer & von-Cramon Taubadel (2004)
mendefinisikan transmisi harga tidak simetris yang positif adalah kondisi
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
20
Universitas Indonesia
transmisi harga yang lebih cepat dan/atau lebih sempurna terjadi saat adanya
tekanan terhadap margin (squeeze margin) dibandingkan saat adanya
penambahan margin (stretch margin). Yang dimaksud dengan squeeze
margin adalah pada saat terjadi kenaikan harga di hulu (Pin) atau penurunan
harga di hilir (Pout), sementara stretch margin adalah saat terjadi penurunan
Pin atau kenaikan Pout.
(a) (b)
Gambar 2.2. Transmisi Harga Tidak Simetris Positif dan Negatif
Sumber : Meyer & von Cramon-Taubadel, 2004, Asymmetric Price Transmission : A Survey, Journal of Agricultural Economics Volume 55 Number 3, Nov 2004
Dalam hal kesejahteraan, apabila transmisi harga tidak simetris berjalan dari
hulu ke hilir, misal untuk kasus produk pertanian adalah dari petani ke
konsumen, maka transmisi tidak sempurna yang negatif dianggap baik bagi
konsumen. Hal ini disebabkan kenaikan harga input tidak akan
ditransmisikan kepada konsumen, sehingga konsumen akan selalu
menikmati harga yang rendah. Sebaliknya, transmisi harga tidak simetris
yang positif akan merugikan konsumen karena konsumen tidak pernah
menikmati penurunan harga yang terjadi di level petani. Akibatnya, harga di
level konsumen cenderung tinggi dan kesejahteraan konsumen akan
berkurang. Meskipun demikian, Vavra & Goodwin (2005) menyebutkan
bahwa untuk menghitung tingkat kesejahteraan maka perlu memperhatikan
faktor biaya transaksi (adjustment cost dan menu cost pada kasus transmisi
vertikal) dalam perhitungan transmisi harga.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
21
Universitas Indonesia
Menurut Vavra & Goodwin (2005), untuk analisa transmisi harga secara
vertikal setidaknya terdapat 4 (empat) pertanyaan yang fundamental untuk
menjelaskan proses transmisi harga yang terjadi (mengacu pada tipe-tipe
transmisi harga tidak simetris yang digambarkan sebelumnya). Pertanyaan-
pertanyaan tersebut adalah :
1. Seberapa besar respon penyesuaian harga di setiap level akibat
perubahan harga yang terjadi di level lainnya? (transmisi yang dilihat
dari sisi besaran);
2. Apakah terdapat lag penyesuaian yang signifikan? (transmisi yang
dilihat dari sisi kecepatan waktu penyesuaian);
3. Apakah transmisi harga secara positif dan negatif yang terjadi bersifat
asimetri?
4. Apakah terjadi perbedaan respon transmisi saat sumber shock terjadi di
hulu dengan saat sumber shock terjadi di hilir? (transmisi yang dilihat
dari sisi arah shock).
2.3. Penyebab Asymmetric Vertical Price Transmission
Berbagai literatur ekonomi telah secara khusus mengidentifikasi berbagai
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya transmisi harga secara tidak
simetris, baik secara spasial maupun vertikal. Sebagian besar penelitian
mengaitkan fenomena transmisi harga yang tidak simetri dengan dugaan
adanya market power yang dimiliki pedagang di pasar (von Cramon-
Taubadel, 1998; Goodwin & Holt, 1999; Peltzman, 2000; dan McCorriston
& Shelton, 1999 dalam Vavra & Goodwin, 2005). Sebagian lagi
mengemukakan bahwa kehadiran biaya transaksi yang tinggi akan
menyebabkan transmisi harga antar pasar menjadi tidak simetris, meskipun
pasar tersebut berada pada persaingan sempurna (Zachariasse & Bunte, 2003
dalam Vavra & Goodwin, 2005).
Beberapa faktor lain yang diduga menjadi penyebab transmisi harga tidak
simetris antara lain : (1) masing-masing perusahaan akan menyikapi secara
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
22
Universitas Indonesia
berbeda dalam penyesuaian biaya tergantung apakah harga sedang naik atau
sedang turun; (2) pelaku pemasaran menahan barangnya pada saat harga
naik karena takut kehabisan stok (Kinnucan & Forker, 1987; Goodwin &
Holt. 1999); (4) market power industri dalam hubungannya dengan
karakteristik fungsi biaya yang sering bersifat increasing return to scale
(Mc. Corriston et al., 2000); (5) adanya intervensi pemerintah, misalnya
dalam bentuk kebijakan subsidi harga (Kinnucan & Forker, 1987; Gardner,
1975 dalam Vavra & Goodwin, 2005).
Menurut Conforti (2004) meskipun faktor yang mempengaruhi derajat
integrasi pasar dan transmisi harga secara spasial dapat pula digunakan
untuk menjelaskan proses transmisi harga secara vertikal, seperti market
power dan biaya transaksi, namun terdapat beberapa faktor yang khusus
dikaitkan dengan fenomena transmisi harga vertikal seperti increasing
return to scale pada produksi dan tingkat homogenitas dan diferensiasi
produk. Berikut dipaparkan beberapa faktor utama yang dapat menyebabkan
transmisi harga tidak simetris secara vertikal.
2.3.1. Market Power dan Struktur Pasar Persaingan Tidak Sempurna
Sebagian besar literatur ekonomi menyebutkan bahwa struktur pasar
persaingan yang tidak sempurna menjadi faktor utama penyebab
transmisi harga yang tidak simetris (Kinnucan & Forker (1987),
Acharya (2000), McCoriston (2002), Lyod et al. (2003). Khusus
untuk produk pertanian, struktur pasar yang terbentuk pada level
manufaktur dan pedagang perantara mengarah pada struktur
persaingan tidak sempurna, terutama jika dibandingkan dengan
struktur pasar di level petani dan level konsumen. Hal ini
menyebabkan manufaktur dan pedagang perantara akan bertindak
sebagai pembentuk harga (price taker), sementara petani dan
konsumen akan bertindak sebagai penerima harga (price taker)
(Conforti, 2004). Akibatnya, manufaktur dan pedagang perantara
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
23
Universitas Indonesia
dapat dengan leluasa menyalahgunakan market power yang
dimilikinya untuk kepentingan kesejahteraan dan keuntungannya
sendiri, dan proses penyesuaian harga antar level pemasaran menjadi
tidak sempurna (Karantininis, 2011; Vavra & Goodwin, 2005).
Dalam investigasi yang dilakukan oleh Otoritas Pengawas
Persaingan di Inggris (UK’s Competition Commission), analisa
transmisi harga menjadi salah satu indikator yang digunakan untuk
membuktikan dugaan adanya market power yang dimiliki oleh
pelaku usaha di sektor ritel. Basis penelitiannya adalah melihat
transmisi harga yang dilakukan oleh supermarket akibat adanya
penurunan harga di level petani. Apabila harga tidak ditransmisikan
secara sempurna antar setiap level pemasaran maka konsumen akhir
tidak akan mendapatkan keuntungan dari penurunan harga di level
petani, dan sebaliknya. Hal ini menyebabkan permasalahan re-
distribusi consumer welfare (McCorriston et al., 2000).
Penyalahgunaan market power yang dilakukan oleh manufaktur dan
pedagang perantara umumnya menyebabkan transmisi harga tidak
simetris yang positif. Artinya, tekanan terhadap margin (margin-
squeezing) yang diakibatkan kenaikan harga input atau penurunan
jumlah permintaan akan dengan segara dan sempurna ditransmisikan
kepada level diatas atau dibawahnya, dibandingkan saat terjadinya
penambahan margin (margin-stretching) akibat perubahan harga
(Boyd & Brorsen, 1988); Meyer & von-Cramon Taubadel, 2004).
Menurut Balke et al (1998), Brown & YÜcel (2000), dan Damania
& Yang (1998), transmisi harga tidak simetris yang positif terjadi
akibat adanya “perjanjian tidak tertulis” dan sanksi diantara pelaku
usaha yang berada di pasar oligopoli (Meyer & von-Cramon
Taubadel, 2004, hal. 587). Zachariasse & Bunte (2003) dalam Vavra
& Goodwin (2005) menambahkan bahwa dalam pasar oligopoli atau
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
24
Universitas Indonesia
oligopsoni terdapat interdependence antar pelaku usaha yang dapat
menyebabkan lag pada proses penyesuaian harga. Sebagai
gambaran, apabila terjadi kenaikan harga input maka seluruh pelaku
usaha akan dengan segera menyesuaikan harganya sebagai sinyal
bahwa tidak ada “perjanjian” yang dilanggar. Sementara pada saat
terjadi penurunan harga input, pelaku usaha akan saling menunggu
reaksi pesaingnya, untuk menghindari sanksi yang akan diterapkan
pesaingnya dalam bentuk perang harga. Kovenock & Widdows
(1998) menambahkan bahwa fenomena tersebut akan lebih
cenderung terjadi apabila market power antar pelaku usaha dalam
suatu pasar tidak sama, atau biasa disebut dengan pola price
leadership-price follower (Meyer & von-Cramon Taubadel, 2004,
hal. 588).
Ward (1982) dalam Serra & Goodwin (2002) menyebutkan bahwa
transmisi harga tidak simetris yang disebabkan oleh market power
juga dapat terjadi secara negatif, apabila manufaktur dan pedagang
perantara yang berada pada struktur pasar oligopoli beranggapan
bahwa kenaikan harga justru beresiko terhadap penurunan
marginnya. Bailey & Brorsen (1989) menambahkan bahwa transmisi
harga tidak simetris akan berjalan secara positif atau negatif
tergantung dari reaksi dari pesaing. Apabila suatu perusahaan
percaya bahwa tidak ada satu pun pesaingnya yang akan merespon
perubahan kenaikan harga, sementara pada saat terjadi penurunan
harga seluruh pesainganya akan dengan cepat merespon, maka yang
terjadi adalah transmisi harga tidak simetris yang negatif. Begitu
pula sebaliknya, apabila perusahaan percaya bahwa pesainganya
akan lebih bereaksi terhadap kenaikan harga dibandingkan
penurunan harga maka transmisi harga tidak simetris yang terjadi
adalah positif. Senada dengan hal tersebut, Meyer & von-Cramon
Taubadel (2004) menambahkan bahwa pada struktur pasar oligopoli,
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
25
Universitas Indonesia
transmisi harga tidak simetris dapat terjadi secara positif maupun
negatif, tergantung pada struktur dan perilaku pasar. Sementara pada
pasar monopoli, transmisi harga tidak simetris yang terjadi lebih
akan mengarah pada bentuk positif daripada negatif.
Meskipun berbagai penelitian telah mengaitkan tranmisi harga tidak
simetris dengan dugaan adanya market power yang dimiliki oleh
perusahaan manufaktur dan/atau pedagang perantara, namun
menurut Meyer & von-Cramon Taubadel (2004) hanya sedikit
penelitian yang secara khusus menganalisa keterkaitan antara market
power dengan transmisi harga asimetris. Salah satu penelitian untuk
melihat hubungan antara market power dengan transmisi harga
dilakukan oleh Peltzman (2000), dengan menggunakan data jumlah
pelaku usaha dan konsentrasi pasar dalam bentuk Herfindahl-
Hirschman Index (HHI) sebagai indikator market power. Hasil
penelitiannya menunjukkan anomali, dimana jumlah pelaku usaha
yang sedikit menyebabkan lag transmisi harga tidak simetris
semakin besar, namun derajat konsentrasi pasar justru menunjukkan
hal yang sebaliknya (transmisi harga simetris terjadi pada pasar yang
konsentrasinya tinggi). Dengan demikian penelitian ini gagal
menunjukkan dugaan transmisi harga tidak simetris yang disebabkan
oleh adanya market power. Hal senada diungkapkan oleh
Weldegebriel (2004) dalam Vavra & Goodwin (2005) yang
menyebutkan bahwa adanya kekuatan oligopoli dan oligopsoni tidak
selalu menyebabkan transmisi harga yang tidak sempurna. Menurut
Weldegebriel, fungsi permintaan di level ritel dan fungsi penawaran
di level petani merupakan faktor kunci yang menentukan tingkat
transmisi harga.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
26
Universitas Indonesia
2.3.2. Adjustment cost atau menu cost
Kekakuan dalam proses penyesuaian harga antar level dalam satu
rantai pemasaran sering pula disebabkan adanya sejumlah tambahan
biaya yang harus dikeluarkan oleh pelaku usaha untuk menyesuaikan
harganya. Dalam ilmu ekonomi biaya tersebut dikenal dengan
adjustment cost atau menu cost, seperti biaya yang digunakan untuk
melakukan perubahan label dan katalog harga, biaya periklanan,
serta biaya lain yang harus dikeluarkan untuk menyampaikan
perubahan harga kepada klien (Jensen & Møller, 2007; Meyer &
von-Cramon Taubadel, 2004).
Menurut Vavra dan Goodwin (2005), perubahan harga yang relatif
sering pun akan mempengaruhi reputasi dari pedagang perantara,
khususnya pedagang ritel yang berhubungan langsung dengan
konsumen akhir. Selain itu, menurut McCorriston et al. (2000),
ketidakpastian apakah perubahan harga terjadi secara permanen atau
hanya bersifat sementara menghalangi pedagang untuk merespon
sinyal perubahan harga. Sehingga perubahan harga yang tidak terlalu
signifikan tidak akan ditransmisikan secara sempurna oleh pedagang.
Lebih jauh lagi, Balke et al. (1998) menyebutkan bahwa manajemen
persediaan (inventory) perusahaan pun akan berpengaruh terhadap
proses transmisi harga (Meyer & von-Cramon Taubadel, 2004, hal.
590). Manajemen persediaan merupakan elemen penting yang
menentukan seberapa cepat proses adjustment shock yang dapat
dilakukan oleh suatu perusahaan. Dari hasil penelitianya, Balke et al
menyebutkan bahwa model penyimpanan persediaan secara FIFO
(first in first out) dapat menyebabkan transmisi harga yang tidak
sempurna.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
27
Universitas Indonesia
Menurut Reagan & Weitzman (1982) hubungan antara manajemen
persediaan dengan transmisi harga tidak simetris tergantung dari
kondisi permintaan yang dihadapi perusahaan. Pada periode
permintaan rendah, perusahaan akan cenderung mengurangi jumlah
penjualan dan meningkatkan jumlah persediaannya, dibandingkan
melakukan penurunan harga. Sebaliknya, pada saat permintaan
tinggi perusahaan akan langsung menaikan harga, sehingga terjadi
transmisi harga tidak simetris yang positif.
Ball dan Mankiw (1994) mengembangkan model yang
mengkombinasikan variabel menu cost dengan inflasi untuk melihat
fenomena transmisi harga asimetris. Hasilnya menunjukkan bahwa
kenaikan harga input lebih cepat disesuaikan dibandingkan
penurunan harga input. Dengan adanya inflasi, penurunan harga
input akan mengurangi margin riil yang dapat diterima pelaku usaha.
Dengan demikian, penurunan harga input tidak akan ditransmisikan
dalam bentuk penurunan harga output apabila terjadi inflasi.
Perbedaan mendasar antara transmisi harga yang disebabkan oleh
market power dengan adjustment cost adalah dalam hal waktu.
Adjustment cost yang besar hanya akan terjadi dalam jangka pendek,
sehingga sifatnya hanya menunda proses transmisi atau penyesuaian
harga, dan dalam jangka panjang akan terjadi penyesuaian harga
yang sempurna (Karantininis, 2011; McCorriston et al., 2000).
Sementara asimetri yang disebabkan oleh market power dapat
“bertahan” dalam waktu yang lama, karena tidak hanya berpengaruh
dari sisi time of adjustment tetapi juga mempengaruhi magnitude of
adjustment (Meyer & von-Cramon Taubadel, 2004).
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
28
Universitas Indonesia
2.3.3. Return to Scale dalam Produksi
Penelitian mengenai transmisi harga tidak simetris yang dikaitkan
dengan dugaan market power selalu mengasumsikan bahwa produksi
bersifat constant return to scale, artinya setiap penambahan satu unit
output disebabkan adanya penambahan satu unit input5. Menurut
McCorriston et al. (2000), asumsi constant return to scale akan
menghasilkan kesimpulan yang bias, karena menghilangkan potensi
korelasi antara skala ekonomi dengan perilaku harga yang diterapkan
oleh pelaku usaha. Kombinasi antara keduanya akan menghasilkan
proses transmisi harga yang berbeda. Untuk membuktikan dugaan
tersebut, McCorriston membandingkan nilai elastisitas transmisi
pada 3 (tiga) kondisi, yaitu 1) kondisi persaingan sempurna, 2)
kondisi persaingan tidak sempurna dan constant return to scale, serta
3) kondisi persaingan tidak sempurna dan increasing return to
scale6. Dalam penelitian tersebut dibandingkan pula kondisi kurva
permintaan, antara kurva permintaan yang linear dengan kurva
permintaan yang log-linear.
Dari hasil penelitiannya diketahui bahwa untuk fungsi permintaan
yang linear, nilai elastisitas transmisi harga pada kondisi persaingan
tidak sempurna dan increasing return to scale lebih tinggi
dibandingkan nilai elastisitas pada kondisi persaingan tidak
sempurna dan constant return to scale. Sementara pada saat fungsi
permintaan bersifat log linear, nilai elastisitas transmisi harga untuk
kondisi persaingan tidak sempurna dan increasing return to scale
adalah yang tertinggi, bahkan dibandingkan kondisi persaingan
sempurna. Hal ini menunjukkan bahwa asumsi non-constant return
to scale tidak hanya mempengaruhi derajat transmisi harga namun
5 Pindyck & Rubinfeld, 2009, Microeconomics, Seventh Edition. Pearson Prentice Hall. 6 Yaitu situasi dimana penambahan satu unit input menghasilkan jumlah output yang lebih dari satu unit.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
29
Universitas Indonesia
juga dapat menghilangkan pengaruh dari market power dalam proses
transmisi harga, tergantung dari fungsi permintaan yang dihadapi.
McCorriston menambahkan bahwa pada kondisi decreasing return
to scale, pengaruh market power terhadap proses transmisi harga
tidak simetris akan lebih besar.
Sama halnya dengan menu cost, pengaruh return to scale terhadap
transmisi harga akan berbeda antara jangka pendek dan jangka
panjang. Menurut Karantininis (2011), return to scale hanya akan
memberikan pengaruh jangka pendek dalam proses transmisi harga,
sementara untuk jangka panjang hanya faktor market power yang
akan berpengaruh terhadap transmisi harga.
2.3.4. Karakteristik Produk
Dalam penelitian yang dilakukan European Commision (EU-COM,
2009) disebutkan bahwa khusus untuk produk pertanian,
karakteristik produk, seperti daya simpan dan musiman, merupakan
faktor penting yang mempengaruhi tingkat integrasi pasar dan
transmisi harga produk pertanian. Ward (1982) dalam Serra &
Goodwin (2002) menyebutkan bahwa pada produk pertanian yang
daya simpannya singkat, pola transmisi harga asimetris yang terjadi
mengarah pada tipe negatif. Pedagang perantara yang menjual
barang-barang perishable cenderung tidak akan menaikan harga
outputnya meskipun terjadi kenaikan harga input. Alasannya adalah
pedagang khawatir barangnya tidak laku. Sehingga pedagang lebih
memilih menekan marginnya, dengan tidak menaikan harga output,
daripada harus menanggung kerugian yang lebih besar, akibat barang
yang tidak laku. Dalam kasus ini, transmisi harga asimetri akan
menguntungkan bagi supplier dan konsumen, sementara untuk
pedagang perantara akan cenderung merugikan.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
30
Universitas Indonesia
Namun menurut Heien (1980), dampak permasalahan perubahan
harga pada produk perishable sebenarnya relatif kecil jika
dibandingkan dengan produk-produk jangka panjang (Vavra &
Goodwin, 2005, hal. 8). Menurutnya, untuk barang yang memiliki
umur produk yang panjang, perusahaan yang terakhir melakukan
perubahan harga justru akan mendapatkan biaya yang lebih besar
akibat kehilangan reputasi perusahaan.
2.3.5. Kebijakan Pemerintah
Menurut Kinnucan dan Forker (1987), kebijakan pemerintah pun
dapat menyebabkan transmisi harga asimetris yang terjadi antar level
pemasaran. Perubahan harga di level petani yang relatif sering pada
dasarnya akan menyebabkan ketidakpastian bagi pedagang perantara
dalam menentukan harga jualnya, mengingat harga di level petani
merupakan biaya input bagi pedagang perantara. Apabila perubahan
biaya input tersebut bersifat sementara, maka tidak ada insentif bagi
pedagang perantara untuk melakukan penyesuaian harga.
Pada kasus kebijakan Pemerintah, hampir di semua negara
Pemerintah memiliki kebijakan intervensi harga (dalam bentuk floor
price) sebagai antisipasi saat terjadi penurunan harga di level petani,
yang tujuannya adalah untuk melindungi petani. Sebaliknya,
Pemerintah tidak akan melakukan intervensi apabila terjadi kenaikan
harga di level petani. Di satu sisi, kebijakan ini akan dapat
mengurangi ketidakpastian perubahan biaya yang dihadapi pedagang
perantara. Namun di sisi lain, kebijakan ini pun akan menyebabkan
transmisi harga di level petani ke level konsumen menjadi tidak
simetris. Penjelasannya adalah pada saat terjadi kenaikan harga di
level petani, pedagang akan menganggap bahwa perubahan tersebut
sifatnya permanen karena tidak akan ada intervensi Pemerintah.
Akibatnya, pedagang akan dengan segera melakukan penyesuaian
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
31
Universitas Indonesia
harga jualnya sesuai dengan kenaikan harga di level petani. Namun
pada saat terjadi penurunan harga di level petani, pedagang akan
percaya bahwa penurunan tersebut hanya bersifat sementara karena
Pemerintah akan segera melakukan intervensi. Sehingga pedagang
tidak akan dengan cepat melakukan penyesuaian harga jual saat
terjadi penurunan harga di level petani. Hal ini yang menyebabkan
terjadinya transmisi harga asimetris yang positif.
Penelitian serupa dilakukan oleh Serra dan Goodwin (2003) yang
melakukan studi terhadap transmisi harga pada produk-produk susu
(dairy products) di Spanyol. Dari penelitian tersebut disimpulkan
bahwa bahwa kelangkkan susu, pada besaran tertentu disebabkan
oleh sistem kuota yang ditetapkan Pemerintah. Sehingga mengarah
pada situasi dimana pabrik pengolah susu bersaing untuk
meningkatkan akses mereka terhadap kuota susu dan market share
penjualan mereka akan tetapi tidak mentrasmisikan peningkatan
harga di level petani secara penuh kepada harga di level ritel.
2.4. Penelitian terdahulu
Analisa transmisi harga tidak simetris telah banyak mengalami berbagai
perkembangan metodologi. Analisa transmisi harga yang sederhana
dilakukan dengan mengikuti metode Houck (1979) dalam Acquah dan
Onumah (2010), yang membagi efek perubahan harga antara shock kenaikan
harga dengan shock penurunan harga. Metode Houck kemudian disebut
dengan model statis, yang dapat ditulis dalam persamaan berikut :
(2.1)
dimana dan merupakan perubahan positif dan negatif yang
terjadi pada . Pengujian transmisi harga simetri dilakukam dengan
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
32
Universitas Indonesia
membandingkan koefisien dan , transmisi harga dikatakan tidak
simetris apabila kedua keofisien tersebut signifikan tidak identik.
Metode Houck dianggap tidak sesuai apabila terdapat hubungan kointegrasi
antara dua series data harga. Von Cramon-Taubadel mengusulkan
pendekatan ECM lebih valid untuk digunakan untuk pengujian transmisi
harga asimetris. Penggunaan ECM dalam analisa transmisi harga tidak
simetris pertama kali dilakukan oleh Granger dan Lee (1989) dalam Acquah
dan Onumah (2010), dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
(2.2)
(ECTt-1 = PA,t-1 - α - γPB,t-1) (2.3)
dimana merupakan bentuk penyimpangan dari keseimbangan jangka
panjang (keseimbangan kointegrasi) dari dan , yang kemudian
dipisahkan dalam bentuk positif ( ) dan negatif ( ).
menggambarkan kondisi saat penyimpangan berada di atas garis
keseimbangan jangka panjang. Sebaliknya, menggambarkan kondisi
saat penyimpangan berada di bawah garis keseimbangan jangka panjang.
Koefisien dan diharapkan bernilai negatif, artinya bahwa
penyimpangan yang terjadi akan kembali ke garis keseimbangan (Wixson &
Katchova, 2012). Kondisi asimetris ditentukan dengan membandingkan
keidentikan koefisien dengan .
Analisa transmisi harga asimetris dengan menggunakan ECM disebut
dengan model dinamis. Von Cramon-Taubadel dan Loy (1996) dalam
Acquah dan Onumah (2010) kemudian mengembangkan model dinamis
yang lebih kompleks, dengan menggabungkan model Houck dan model
ECM Granger. Persamaan model ECM yang dikembangkan Von Cramon-
Taubadel dan Loy adalah sebagai berikut :
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
33
Universitas Indonesia
(2.4)
Pada model ini, proses transmisi harga dapat dilihat dalam parameter jangka
pendek dan jangka panjang sekaligus. Hipotesa transmisi harga asimetris
akan ditolak apabila koefisien positif dengan koefisien negatif terbukti tidak
identik secara statistik. Pengujian koefisien dilakukan baik terhadap
koefisien jangka pendek ( = dan = ) maupun koefisien jangka
panjang ( = ).
Model ECM Von Cramon-Taubadel dan Loy dalam analisa transmisi harga
pun telah dinyatakan valid oleh Hassouneh et al. (2012). Hassouneh et al.
membandingkan beberapa model ekonometri dalam analisa transmisi harga,
dengan mempertimbangkan ada atau tidaknya unit roots dan kointegrasi
dalam dua data series harga. Mereka menyimpulkan bahwa VECM dan
ECM adalah model yang valid untuk menguji pola transmisi harga pada
kondisi data yang tidak stasioner namun terkointegrasi. Pada saat persamaan
jangka panjangnya menunjukkan pola yang tidak stasioner, maka persamaan
VECM dan ECM yang biasa tidak dapat digunakan sehingga diperlukan
metode AVECM atau AECM7.
Aplikasi metode tersebut dalam analisa transmisi harga untuk produk-
produk pertanian menjadi sangat popular. Beberapa analisa transmisi harga
vertikal yang menggunakan metode tersebut antara lain von Cramon-
Taubadel (1998), Rapsomanikis et al. (2004), Acquah & Onumah (2010),
dan Alam et al. (2010).
Penelitian yang dilakukan Alam et al. (2010) merupakan penelitian yang
paling ideal untuk digunakan sebagai referensi dalam penelitian ini. Alam et
al. (2010) secara khusus meneliti dugaan transmisi harga beras tidak 7 Untuk kasus persamaan jangka panjang yang tidak linear, aplikasi model AVECM sama validnya dengan model Threshold Vector Error Correction (TVECM) maupun model Smooth Transition Vector Error Correction (STVECM).
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
34
Universitas Indonesia
simetris antara harga beras level pedagang grosir dengan harga beras level
konsumen di Bangladesh. Untuk membuktikan dugaan transmisi harga
asimetris, mereka menggunakan metode ECM Von Cramon-Taubadel dan
Loy, dimana harga beras level pedagang grosir bertindak sebagai variabel
independent dan variabel harga beras level konsumen sebagai variabel
dependent-nya. Penentuan variabel dependent dan independent dilakukan
dengan metode VECM.
Meskipun penelitian ini menggunakan penelitian Alam et al. (2010) sebagai
referensi, namun akan dilakukan beberapa modifikasi diantaranya (1) data
harga yang digunakan adalah harga gabah kering panen (GKP) di level
petani dan harga eceran beras di level konsumen; (2) pengujian kausalitas
dilakukan dengan menggunakan Granger test yang kemudian dibandingkan
dengan teori dan karakteristik perdagangan beras; dan (3) pengujian
asimetris dilakukan dengan menggunakan model asimetris Granger – Lee
(1989) dan model asimetris Von Cramon-Taubadel dan Loy (1996).
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
35 Universitas Indonesia
BAB 3 GAMBARAN PERBERASAN INDONESIA
Beras merupakan komoditas strategis di Indonesia. Menurut Dodge &
Gemessa (2012), berdasarkan data Susenas tahun 2010, sebanyak 98.5%
masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai bahan pangan
pokoknya. Program diversifikasi pangan yang gagal menyebabkan beras
masih menjadi pangan utama di berbagai daerah. Bahkan daerah yang
sebelumnya mempunyai pola pangan pokok bukan beras pun beralih
mengkonsumsi beras, seiring dengan peningkatan pendapatan yang
diperoleh. Sehingga beras berperan penting dalam mewujudkan ketahanan
pangan8 masyarakat Indonesia. Selain itu, usaha tani padi masih menjadi
urat nadi perekonomian di pedesaan. Menurut Mardianto & Ariani (2004),
sebanyak 20 juta keluarga petani dan buruh tani menggantungkan hidupnya
pada usaha tani padi. Akibatnya, gejolak yang terjadi pada komoditas beras
tidak hanya akan menyebabkan kerawanan ekonomi, tetapi juga kerawanan
sosial dan politik, yang berujung pada kegoyahan stabilitas negara.
Sebagai salah satu komoditas pertanian, beras memiliki karakteristik
penawaran dan permintaan yang unik. Fungsi penawaran maupun fungsi
permintaan beras bersifat inelastis terhadap perubahan harga (Prastowo et
al., 2008). Petani sebagai produsen tidak bisa serta merta meningkatkan
produksinya ketika terjadi kenaikan harga, karena padi termasuk dalam
kelompok tanaman musiman. Begitu pula halnya dengan konsumen yang
tidak dapat mengurangi permintaannya secara drastis ketika harga beras
eceran meningkat.
Kondisi tersebut menyebabkan perlunya suatu formulasi kebijakan yang
khusus, guna menjembatani kepentingan produsen dan konsumen sekaligus.
8 Definisi ketahanan pangan, menurut UU No 7 Tahun 1996 Pasal 1 Ayat 17, adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
36
Universitas Indonesia
Di sisi petani, kebijakan yang diambil Pemerintah harus mampu
meningkatkan pendapatan petani, sehingga petani memiliki insentif untuk
tetap menanam padi dan meningkatkan produktivitasnya. Di sisi lain,
kebijakan tersebut pun harus mampu menjamin harga eceran beras yang
terjangkau di level konsumen. Kebijakan perberasan dikatakan efektif
apabila dapat mempertahankan harga yang baik di tingkat produsen dan
pada saat yang sama tidak terlalu memberatkan konsumen.
3.1. Gap Antara Pola Produksi dan Konsumsi Beras
Sebagai negara agraris, pada dasarnya produksi padi/beras di Indonesia
sudah cukup besar. Dari berbagai penelitian yang mengkaji pola permintaan
dan penawaran beras dalam negeri menyebutkan bahwa secara statistik
produksi beras di dalam negeri mampu mencukupi seluruh kebutuhan
(konsumsi) beras masyarakat Indonesia (Prastowo et al, 2008;
Kusumaningrum, 2008; Arifin, 2011). Sebagai gambaran di tahun 2007,
jumlah produksi padi Indonesia mencapai 57.05 juta ton, atau setara dengan
29.57 juta ton beras, sementara jumlah konsumsi beras dalam negeri adalah
26.99 juta ton. Dengan demikian di tahun 2007 Indonesia memiliki surplus
beras sebanyak 2.62 juta ton.
Secara statistik, jumlah produksi beras di Indonesia terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya, meskipun peningkatannya tidak terlalu besar.
Data BPS menunjukkan produktivitas lahan padi di Indonesia pun
mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 produktivitas lahan padi rata-rata
sebesar 47.26 kuintal/hektar, sementara di tahun 2011 produktivitasnya
mencapai 50.09 kuintal/hektar9. Hal ini menunjukkan bahwa produksi padi
Indonesia mengalami pola increasing return to scale yang melambat.
Apabila membandingkan dengan jumlah konsumsi beras tahunan, Indonesia
telah mengalami surplus beras sejak tahun 2002 (Tabel 3.1).
9 Buku Produksi Tanaman Pangan BPS Tahun 2007 dan Buku Produksi Tanaman Pangan BPS Tahun 2011
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
37
Universitas Indonesia
Tabel 3.1. Perbandingan Jumlah Produksi dan Konsumsi Beras Indonesia
Tahun Produksi beras (juta ton)
Konsumsi beras (juta ton)
Surplus/ deficit
2000 26.90 26.26 0.64 2001 26.15 26.41 -0.26 2002 26.68 26.55 0.13 2003 27.02 26.91 0.11 2004 28.03 26.83 1.20 2005 28.06 26.30 1.76 2006 28.21 26.65 1.56 2007 29.61 26.99 2.62 2008 31.25 28.52 2.73 2009 33.36 30.03 3.33 2010 34.43 32.08 2.35 2011 34.06 33.56 0.50
Sumber : BPS (2012), Kementerian Pertanian (2012), telah diolah kembali
Meskipun secara statistik kebutuhan beras dalam negeri mampu dipenuhi
seluruhnya oleh produksi dalam negeri, namun adanya gap antara waktu
produksi dengan waktu konsumsi seringkali menimbulkan permasalahan
kelangkaan. Sebagaimana diketahui, beras merupakan tanaman musiman,
yang produksinya berfluktuasi mengikuti pola tanam. Surplus beras biasanya
terjadi pada bulan Februari – Mei, dengan puncaknya di bulan April (dikenal
dengan masa panen raya). Untuk daerah tertentu, musim panen padi dapat
terjadi 2 (dua) kali setahun, yaitu pada bulan Februari – Mei dan bulan
Agustus – September. Pada musim kemarau dan musim tanam (Oktober –
Januari), produksi beras akan mengalami defisit10.
Di sisi lain, pola konsumsi beras stabil sepanjang tahun, karena beras
merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia (Bustaman,
2003). Kondisi ini yang menyebabkan terjadinya kelangkaan beras pada
bulan tertentu di Indonesia, meskipun secara statistik Indonesia mengalami
surplus beras. Berikut adalah pola produksi beras dan konsumsi beras di
10 Yang dimaksud defisit adalah jumlah produksi beras lebih rendah dari jumlah konsumsinya.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
38
Universitas Indonesia
Indonesia, yang dilengkapi dengan data impor dan harga GKP di level
petani dan harga beras di level konsumen.
Gambar 3.1. Pola Produksi dan Konsumsi Beras di Indonesia
Sumber : (1) Arifin, 2011, The “Regulation” of Rice Market in Indonesia (2) BPS (2012), telah diolah kembali
Perbedaan antara pola produksi dan pola konsumsi beras menyebabkan
karakteristik penawaran dan permintaan beras menjadi unik, dimana baik
fungsi penawaran maupun fungsi permintaannya bersifat inelastis terhadap
perubahan harga. Petani sebagai produsen tidak bisa serta merta
meningkatkan produksinya ketika terjadi kenaikan harga, karena adanya
kendala periode musim panen dan tanam. Begitu pula halnya dengan
konsumen, yang tidak dapat mengurangi permintaannya ketika harga
meningkat.
Gap antara waktu produksi dan waktu konsumsi tidak hanya menyebabkan
permasalahan kelangkaan beras, tetapi juga berpengaruh terhadap tingkat
kesejahteraan petani dan konsumen. Pada saat musim panen, jumlah beras di
pasar meningkat secara drastis. Sesuai dengan hukum penawaran, saat
terjadi peningkatan jumlah supply (yang tidak disertai dengan peningkatan
jumlah demand) maka harga keseimbangan di pasar akan mengalami
penurunan. Sehingga harga jual padi di level petani pun akan menurun,
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
39
Universitas Indonesia
terbukti dengan menurunnya harga GKP di level pada bulan Februari – Mei
(Gambar 3.1). Kondisi ini akan berimplikasi pada penurunan tingkat
kesejahteraan petani.
Fenomena yang menarik untuk dibahas adalah pada awal musim panen raya
(Februari – Maret) impor beras ke Indonesia masih dilakukan. Meskipun
puncak masa panen raya jatuh pada bulan April, namun pada bulan Februari
dan Maret jumlah produksi beras di dalam negeri sudah mulai mengalami
surplus. Masuknya beras impor pada bulan tersebut dikhawatirkan akan
semakin menurunkan harga GKP di level petani.
Pada saat musim kemarau dan musim tanam, terjadi fenomena yang
sebaliknya. Jumlah supply akan mengalami penurunan, sementara jumlah
demand-nya tetap. Akibatnya harga akan terdorong ke level yang lebih
tinggi. Meskipun dari data pola impor pada gambar 3.1 menunjukkan bahwa
beras impor mulai masuk ke Indonesia sejak bulan September, namun
jumlah beras impor nampaknya masih relatif sedikit untuk memenuhi total
kebutuhan konsumsi beras dalam negeri. Kenaikan harga beras pada masa
tanam dan masa paceklik ini akan mengurangi tingkat kesejahteraan
konsumen dan tidak menyebabkan kenaikan tingkat kesejahteraan petani,
karena umumnya petani langsung menjual seluruh hasil produksinya pada
saat musim panen11.
3.2. Gambaran Distribusi Beras di Indonesia
Dengan adanya gap antara periode produksi dan konsumsi beras serta
karakteristik penawaran dan permintaan beras yang inelastis, maka sistem
distribusi menjadi berperan penting dalam menjamin ketersediaan beras di
pasaran sepanjang tahun. Mubyarto (1990) mendefinidikan sistem distribusi
sebagai suatu kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa dan
menyampaikan barang dan jasa dari produsen ke konsumen (KPPU, 2007,
hal.II.1). Pada kasus komoditas beras, sistem distribusi juga mencakup
11 Hasil penelitian Bank Indonesia menunjukkan bahwa 92% hasil produksi petani akan dijual dan hanya 8% yang disimpan untuk kebutuhan konsumsinya sendiri.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
40
Universitas Indonesia
proses penyimpanan, karena petani langsung menjual sebagian besar (92%)
hasil produksinya dan tidak melakukan penyimpanan beras.
Prastowo et al. (2008) menyebutkan bahwa faktor distribusi merupakan
variabel penting yang perlu diperhitungkan dalam pembentukan harga beras,
karena gangguan distribusi dapat menimbulkan kelangkaan pasokan yang
meningkatkan harga eceran beras di pasar. Gangguan distribusi disinyalir
tidak akan memberikan keuntungan kepada konsumen maupun petani.
Kesejahteraan konsumen akan berkurang seiring dengan peningkatan harga.
Di lain pihak, petani pun tidak akan menikmati kenaikan harga karena
umumnya tidak memiliki kemampuan modal dan fasilitas penyimpanan,
sehingga pada saat terjadi kenaikan harga petani sudah tidak memiliki
padi/beras untuk dijual. Lebih jauh lagi, kenaikan harga beras akibat
gangguan distribusi akan menyebabkan kenaikan inflasi, mengingat beras
merupakan komponen utama pembentuk inflasi.
Permasalahan yang terjadi dalam distribusi beras di Indonesia semakin
dinamis, seiring dengan dinamika perkembangan ekonomi, sosial, dan
politik yang terjadi di dalam negeri. Salah satu permasalahan yang paling
kompleks adalah masalah disparitas harga beras yang sangat signifikan
terjadi setelah masa deregulasi tata niaga beras di tahun 1998 (Arifin et al.,
2006; KPPU, 2007). Disparitas harga tersebut terjadi secara spasial (antar
wilayah/Propinsi) maupun secara vertikal (antar berbagai level dalam satu
rantai pemasaran).
Dalam konteks vertikal, disparitas harga yang semakin melebar antar
berbagai level pemasaran dalam satu rantai menunjukkan adanya
permasalahan inefisiensi dalam rantai pemasaran tersebut. KPPU (2007)
menyebutkan bahwa sistem distribusi dapat dikatakan efisien apabila
memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu (1) mampu menyampaikan barang dari
produsen ke konsumen dengan biaya semurah-murahnya, dan (2) mampu
memberikan pembagian yang adil dari keseluruhan harga yang dibayarkan
konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
41
Universitas Indonesia
produksi dan distribusi barang sesuai porsi peranannya masing-masing.
Berdasarkan persyaratan tersebut maka sistem distribusi yang efisien akan
dapat meningkatkan pendapatan pihak-pihak yang terlibat dalam tataniaga,
mulai dari produsen, lembaga pemasaran (pedagang perantara), maupun
konsumen.
Efisiensi dalam sistem distribusi dapat dilihat dari dua aspek, yaitu efisiensi
operasional dan efisiensi harga. Efisiensi operasional terjadi apabila
distribusi produk dari produsen ke konsumen akhir diselenggarakan dengan
biaya atau marjin yang rendah tanpa mengurangi tingkat kepuasan
konsumen. Sementara efisiensi harga terjadi apabila masing-masing
partisipan dalam sistem distribusi responsif terhadap perubahan harga yang
terjadi, dengan kata lain terjadi proses transmisi harga yang sempurna antara
level pemasaran. Terdapat 3 (tiga) kondisi yang menunjukkan terjadinya
efisiensi harga, yaitu (1) tersedianya alternatif pilihan bagi konsumen, (2)
perbedaan harga mencerminkan adanya biaya yang dikeluarkan karena
adanya penambahan nilai tambah, dan (3) masing-masing pelaku dalam
rantai pemasaran merasa puas (KPPU, 2007).
Dengan adanya disparitas harga yang semakin melebar antara level produsen
dengan konsumen mengindikasikan tidak adanya pembagian yang adil atas
perubahan harga yang terjadi. Dalam hal ini produsen tidak menikmati
keuntungan saat terjadi kenaikan harga di level konsumen, dan konsumen
pun tidak menikmati keuntungan saat terjadi penurunan harga di level
petani.
Menurut Mardianto et al. (2005), kinerja dan efisiensi sistem pemasaran
dipengaruhi oleh sejumlah faktor, baik faktor intrinsic maupun faktor
ekstrinsik. Yang dimaksud dengan faktor intrinsic antara lain struktur pasar,
tingkat integrasi pasar, dan margin pemasaran. Sementara faktor eksternal
yang akan berpengaruh terhadap kinerja sistem pemasaran adalah kebijakan
Pemerintah, seperti pengembangan infrastruktur pemasaran (fisik dan
kelembagaan), program stabilisasi harga, pajak, dan lain-lain.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
42
Universitas Indonesia
Prastowo et al (2008) menambahkan bahwa permasalahan efisiensi dalam
sistem distribusi dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu (1) rantai pemasaran
yang terlalu panjang, dan (2) besarnya marjin keuntungan yang ditetapkan
oleh setiap mata rantai distribusi. Semakin pendek mata rantai distribusi dan
semakin kecil marjin keuntungan, maka kegiatan distribusi tersebut semakin
efisien. Namun, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan KPPU di 5
(lima) Propinsi, diketahui bahwa rantai pemasaran beras di Indonesia secara
umum tergolong pendek, karena hanya melibatkan beberapa pelaku/lembaga
pemasaran pasca farm gate. Sehingga indikasi sistem distribusi yang tidak
efisien pada komoditas beras lebih disebabkan oleh faktor yang kedua, yaitu
besarnya marjin keuntungan yang ditetapkan oleh setiap lembaga
pemasaran. Secara umum berikut adalah gambaran rantai pemasaran beras
di Indonesia.
Gambar 3.2. Rantai Pemasaran Beras di Indonesia
Sumber : KPPU, 2007
Dari Gambar 3.2 di atas dapat dilihat bahwa petani memiliki akses untuk
langsung menjual gabahnya kepada pengusaha penggilingan/huller,
khususnya pengusaha penggilingan skala kecil yang umumnya membeli
gabah tidak melalui tengkulak. Menurut Prastowo et al (2008), petani
umumnya hanya menjual 92% hasil produksinya, sementara sisanya
digunakan untuk konsumsi sendiri. Adapun produk yang dijual petani
sebagian besar dalam bentuk gabah kering panen (GKP), yaitu sebanyak
45%, dan gabah kering giling (GKG), yaitu sebanyak 42%. Sementara
produk dalam bentuk beras hanya sebanyak 13%. Gabah tersebut sebagian
besar dijual kepada pedagang pengumpul/tengkulak (84%), sisanya dijual
kepada pengusaha penggilingan (10%) dan pedagang besar di daerah lain.
Petani Tengkulak/Pedagang Pengumpul
Penggilingan/Huller
Pedagang Grosir
Pengecer
Perdagangan ke Luar Daerah/Pulau
Konsumen
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
43
Universitas Indonesia
KPPU (2007) menyebutkan bahwa di beberapa lokasi sampel, pengusaha
penggilingan tidak hanya memberikan jasa penggilingan saja, melainkan
juga berperan sebagai pedagang besar. Bahkan di Sumatera Utara, Jawa
Barat, dan Jawa Timur, pengusaha penggilingan juga berperan sebagai
pedagang antar pulau (PAP). Untuk pedagang pengecer yang lokasinya
dekat dengan sentra produksi beras, umumnya melakukan pembelian beras
langsung kepada pengusaha penggilingan, tanpa melalui pedagang grosir.
Sistem distribusi beras juga berperan dalam menyalurkan beras dari daerah
surplus beras ke daerah defisit beras. Sentra produksi beras di Indonesia
masih didominasi oleh daerah-daerah di Pulau Jawa, yaitu Propinsi Jawa
Barat (17,65%), Jawa Timur (17,24%), dan Jawa Tengah (15,27%). Untuk
wilayah luar Jawa, produksi beras yang cukup besar berasal dari Propinsi
Sulawesi Selatan (6,48%), Sumatera Utara (5,44%), dan Sumatera Selatan
(4,92%) (Ditjen PPHP, 2011). Sementara dari sisi konsumsi, hampir seluruh
Propinsi di Indonesia menjadikan beras sebagai makanan pokoknya. Tanpa
adanya sistem distribusi, harga beras antar Propinsi akan sangat bervariasi.
Untuk daerah sentra produksi beras akan terjadi surplus beras, yang
menyebabkan harganya menjadi rendah. Sebaliknya, untuk daerah defisit
beras akan mendapatkan harga eceran beras yang sangat tinggi karena
kelangkaan.
Khusus untuk jalur distribusi di Jawa, Ditjen PPHP melakukan identifikasi
bahwa sebanyak 70% beras produksi pengusaha penggilingan disalurkan
kepada pedagang grosir yang berada di dalam Pulau Jawa. Sebanyak 25%
sisanya dijual kepada pedagang antar pulau, untuk kemudian didistribusikan
kepada masyarakat luar Jawa. Sisanya, sebesar 5%, dijual kepada BULOG
sebagai beras raskin. Berikut adalah gambaran distribusi beras khusus di
Pulau Jawa.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
44
Universitas Indonesia
Gambar 3.3. Rantai Distribusi Beras di Pulau Jawa
Sumber : Ditjen PPHP, 2006 dalam Indrayani, 2008
3.3. Kebijakan Perberasan Indonesia
Intervensi pemerintah dalam sektor beras di Indonesia mempunyai sejarah
yang panjang. Wahab & Gonarsyah (1989) dalam Kusumaningrum (2008)
menyebutkan bahwa kebijakan perberasan telah ada sejak masa
Pemerintahan Sunan Amangkurat I (1645-1677), dimana pada tahun 1655
Pemerintahnya melarang ekspor beras ke luar Jawa akibat adanya
kekeringan yang luar biasa.
Pada masa orde baru, sektor pertanian menjadi primadona. Terbukti dengan
banyaknya kebijakan publik yang ditujukan untuk meningkatkan
produktivitas pertanian serta memberikan perlindungan terhadap petani,
mulai dari peningkatan infrastruktur irigasi sampai dengan berbagai program
PETANI
Penebas Pedagang Pengumpul Desa
PENGGILINGAN PADI (produk beras)
Pedagang Antar Pulau
Pedagang Grosir BULOG
Grosir Luar Jawa Pedagang Pengecer Masyarakat Miskin/ TNI/Polri
Pengecer Luar Jawa Konsumen Jawa
Konsumen Luar Jawa
20% 80%
25% 70% 5%
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
45
Universitas Indonesia
subsidi bahan baku (pupuk dan benih) dan kredit ringan yang diberikan
kepada petani (Arifin, 2011). Tujuan kebijakan perberasan pada masa orde
baru adalah menjamin stabilisasi harga di tingkat petani maupun konsumen.
Namun, seiring dengan bertambahnya beban anggaran Pemerintah, bantuan-
bantuan Pemerintah di sektor pertanian sedikit demi sedikit mulai dikurangi
(Mardianto & Ariani, 2004).
Sejak memasuki masa reformasi di tahun 1998, kebijakan perberasan
Indonesia mengalami perubahan yang cukup drastis, akibat adanya Letter of
Intent dengan IMF. Kebijakan perberasan Indonesia perlahan-lahan mulai
diarahkan pada kebijakan perdagangan liberal dan berbagai subsidi yang
diberikan kepada petani sedikit demi sedikit dicabut. Akibatnya, fluktuasi
harga beras di pasar dalam negeri semakin tidak terkendali dan jumlah
pembelian beras impor semakin tinggi (Arifin, 2011).
Pada tahun 2002, Pemerintah menetapkan arah kebijakan perberasan
Indonesia dalam 5 (lima) elemen utama, yaitu (1) elemen peningkatan
produktivitas petani dan produksi beras nasional; (2) elemen diversifikasi
usaha tani; (3) elemen kebijakan harga; (4) elemen kebijakan impor yang
melindungi petani dan konsumen dalam negeri; dan (5) elemen jaminan
distribusi dan penyediaan beras untuk keluarga miskin dan rawan pangan
(Kusumaningrum, 2008). Berdasarkan elemen-elemen tersebut dapat dilihat
bahwa kebijakan perberasan di Indonesia termasuk dalam kelompok
kebijakan development policy12, karena bertujuan untuk meningkatkan
pendapatan petani dan meningkatkan produksi padi nasional secara
sekaligus. Contoh teknis kebijakan perberasan di Indonesia yang mencakup
elemen peningkatan produksi dan elemen kebijakan harga antara lain
kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP), Subsidi Pupuk, dan
Bantuan Langsung Benih Unggul (BLBU).
12 Kebijakan pemerintah di bidang pertanian terbagi menjadi dua tipe, yaitu Development Policy dan Compensating Policy. Development policy bertujuan mendorong produksi dan peningkatan pendapatan petani. Sedangkan compensating policy bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani tetapi dengan kecenderungan menekan produksi (Hardono et.al, 2004 dalam Pratiwi, 2008).
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
46
Universitas Indonesia
Berdasarkan Inpres No 2/2005, kebijakan perberasan di Indonesia dapat
diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok, yaitu kebijakan produksi,
kebijakan harga, kebijakan impor, dan kebijakan distribusi (Pratiwi, 2008).
3.3.1. Kebijakan Produksi
Sebagai bahan pangan utama bagi sebagian besar penduduk
Indonesia, Pemerintah Indonesia senantiasa melakukan berbagai
upaya untuk mencukupi kebutuhan beras dalam negeri sepanjang
tahun, melalui berbagai kebijakan produksi. Secara umum,
peningkatan produksi komoditas pertanian dapat dilakukan melalui 2
(dua) cara yaitu intensifikasi, yaitu peningkatan produksi dengan
cara meningkatkan produktivitas tanaman dan Indeks Pertanaman
(IP), dan ekstensifikasi pertanian, yang dilakukan peningkatan luas
areal panen.
Kebijakan peningkatan produksi padi di Indonesia sudah dimulai
sejak tahun 1959, dengan dikeluarkannya Program Padi Sentra.
Program ini dilakukan melalui dua paket teknologi yaitu bantuan alat
dan bahan (hard technology) dan pendekatan sosial individu (soft
technology) (Pratiwi, 2008). Selama periode 1959 – 1998 tercatat
setidaknya terdapat 9 (sembilan) program Pemerintah yang secara
khusus ditujukan untuk meningkatkan produksi padi nasional.
Hasilnya di tahun 1984 Indonesia berhasil mencapai swasembada
beras, melalui Program Panca Usahatani. Meskipun swasembada
beras tersebut hanya bertahan sampai tahun 1993 (Kusumaningrum,
2008).
Menurut Mardianto & Ariani (2004), kebijakan produksi padi yang
ditetapkan Pemerintah Orde Baru, seperti pemberian subsidi input
dan kredit usaha tani, efektif meningkatkan produktivitas usaha tani
padi di Indonesia. Namun dengan semakin beratnya beban anggaran
Pemerintah, berbagai program insentif dan bantuan Pemerintah
tersebut sedikit demi sedikit dihapuskan. Puncaknya pada tahun
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
47
Universitas Indonesia
1998, program subsidi pupuk urea, sebagai satu-satunya program
yang masih tersisa, pun akhirnya dicabut. Bahkan distribusi dan
harga diserahkan seluruhnya kepada mekanisme pasar. Kondisi ini
dinilai semakin meningkatkan biaya produksi petani.
Pada tahun 2000, Pemerintah membuat Proyek Ketahanan Pangan
dengan memberikan varietas Cibodas dan Membrano kepada petani,
yang dinilai sebagai salah satu varietas unggulan. Namun program
tersebut kurang berhasil karena kesulitan untuk memonitoring petani.
Di tahun 2007, Pemerintah kembali membuat program peningkatan
produksi padi melalui Program Peningkatan Beras Nasional. Dalam
program ini Pemerintah memberikan bantuan benih unggul, pupuk
bersubsidi, pupuk organik, dan perbaikan irigasi kepada petani.
Berdasarkan Berita Resmi BPS tanggal 3 Maret 2008, Program
Peningkatan Beras Nasional dinyatakan berhasil meningkatkan
produksi padi sebanyak 2,6 juta ton gabah kering giling. Berikut
adalah berbagai perubahan kebijakan produksi beras di Indonesia.
Tabel 3.2. Program Peningkatan Produksi Padi Pemerintah Periode 1959 – 2007
Program Tahun Hard Technology Soft Technology
Padi Sentra 1959 Varietas Si Gadis, Jelita, Dara dan Bengawan
Komando Operasi Gerakan Makmur
Bimbingan Masal
1965 Varietas Si Gadis, Jelita, Dara dan Bengawan
Perbaikan kelembagaan dan kredit
Intensifikasi Masal
1968 Pengenalan varietas PB5 dan PB8 (IRRI)
Sama dengan Padi Sentra, tanpa kredit
Bimas Gotong Royong
1969 Penggunaan varietas PB5 dan PB8
Penguatan kelembagaan modal swasta
Intensifikasi Khusus
1979 Panca Usahatani Pembentukan kelompok tani
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
48
Universitas Indonesia
(sambungan Tabel 3.2)
Program Tahun Hard Technology Soft Technology
Supra Intensifikasi Khusus
1987 Sapta Usahatani Penguatan kelompok tani
SUTPA 1995 Varietas Cibodas dan Membramo
Diversifikasi Pertanian
INBIS 1997 Varietas Cibodas dan Membramo
Pendampingan Petani
Gema Palagung 1998 Sapta Usahatani Kredit Usaha Tani (KUT)
Corporate Farming
2000 Varietas Cibodas dan Membramo
Konsolidasi petani sehamparan
Proyek Ketahanan Pangan
2000 Varietas Cibodas dan Membramo
Bantuan dana Langsung
Pengelolaan Tanaman & Sumberdaya Terpadu
2001 Perpaduan sumberdaya
Kelompok usaha agribisnis dan penguatan modal
Program Peningkatan Beras Nasional
2007 Bantuan benih, pupuk bersubsidi, pupuk organik, perbaikan irigasi
Pengendalian OPT, manajemen pasca panen dan kelembagaan
Sumber : Pratiwi, 2008
Beberapa kendala yang diduga menghambat efektivitas kebijakan
peningkatan produksi padi yang telah ditetapkan Pemerintah antara
lain rendahnya penerapan teknologi produksi dan pascapanen oleh
petani. Hal ini disebabkan rendahnya pengetahuan dan penguasaan
teknologi yang dimiliki oleh petani (Pratiwi, 2008). Selain itu,
kendala akses permodalan yang dihadapi petani juga dinilai menjadi
salah satu penyebab rendahnya produksi padi Indonesia.
Keterbatasan anggaran yang dimiliki Pemerintah menyebabkan
jumlah bantuan dan subsidi yang diberikan tidak merata kepada
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
49
Universitas Indonesia
seluruh petani. Akibatnya petani yang tidak mendapatkan bantuan
menjadi kesulitan untuk membeli benih unggul dan pupuk yang baik.
3.3.2. Kebijakan Harga
Falsafah dasar dari kebijakan harga adalah (1) menjaga harga dasar
yang cukup tinggi di level petani untuk merangsang produksi, (2)
menetapkan harga maksimum untuk menjamin kelayakan dan
keterjangkauan harga bagi konsumen, (3) menjaga disparitas yang
layak antara harga dasar dengan harga maksimum untuk memberikan
keuntungan yang wajar bagi swasta untuk menyimpan dan
mendistribusikan beras, (4) menjamin hubungan harga yang wajar
antar daerah dan terhadap harga internasional (Amang, 1989 dalam
Kusumaningrum, 2008).
Secara umum, kebijakan harga output dan perdagangan bertujuan
untuk memberikan perlindungan kepada produsen (petani) dan
konsumen. Kebijakan harga untuk melindungi petani biasa disebut
sebagai harga dasar (floor price), sedangkan untuk konsumen disebut
harga eceran tertinggi (ceiling price). Negara-negara Asia yang
menerapkan kebijakan tersebut antara lain India, Philipinam
Thailand, Vietnam, dan Myanmar. Di negara-negara tersebut,
pelaksanaan kebijakan harga diawasi secara ketat, sehingga petani
padi benar-benar mendapat manfaat yang nyata dari implementasi
kebijakan (Mardianto & Ariani, 2004).
Di Indonesia, kebijakan harga yang populer untuk komoditas
padi/beras adalah kebijakan stabilisasi harga pada masa orde baru.
Pada periode tersebut, Pemerintah mengendalikan batas bawah harga
beras melalui mekanisme floor price dan batas atas harga beras
melalui mekanisme ceiling price (Kusumaningrum, 2008). Melalui
penentapan floor price, jatuhnya harga gabah pada saat panen raya
dapat dihindari. Dalam hal ini, Pemerintah memberikan jaminan
harga (guaranteed price) kepada petani, sehingga pendapatan petani
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
50
Universitas Indonesia
tidak akan berkurang dan produksi beras dapat terus ditingkatkan. Di
sisi lain, penetapan ceiling price akan memberikan perlindungan
kepada konsumen dari harga beras yang tinggi, khususnya pada saat
musim paceklik. Pagu ceiling price ditetapkan berbeda antar
wilayah, tujuannya adalah untuk mendorong distribusi perdagangan
antar daerah surplus beras dengan daerah defisit beras. Namun
akibat keterbatasan anggaran Pemerintah, kebijakan ceiling price
dicabut, dan hanya menyisakan instrumen floor price sebagai
kebijakan pengendali harga (Pratiwi, 2008).
Untuk dapat mempertahankan harga dasar pada level yang
ditetapkan Pemerintah, khususnya pada saat musim panen raya
dimana jumlah supply beras meningkat signifikan, maka Pemerintah
melakukan pembelian gabah dan beras. Kebijakan tersebut pada
masa orede baru dikenal dengan kebijakan Harga Dasar Gabah
(HDG). Sejak tahun 1999, kebijakan stabilisasi harga melalui HDG
dinilai kurang efektif. Hal ini disebabkan harga dasar yang
ditetapkan Pemerintah berada jauh di atas harga paritas impor,
sehingga beras impor masuk membanjiri pasar dalam negeri
(Kusumaningrum, 2008). Pemerintah kemudian mengganti kebijakan
HDG dengan kebijakan harga dasar pembelian Pemerintah (HDPP).
Kebijakan tersebut dianggap sebagai kebijakan transmisi menuju
pelepasan harga gabah ke mekanisme pasar.
Pada kebijakan HDG, Pemerintah wajib membeli seluruh kelebihan
supply pada saat panen raya, untuk menjamin harga gabah di pasar
tetap berada pada level HDG yang ditetapkan Pemerintah. Implikasi
dari kebijakan ini adalah beban anggaran Pemerintah yang
dibutuhkan sangat besar, karena Pemerintah harus membeli seluruh
kelebihan supply kapan pun dan dimana pun. Padahal anggaran yang
dimiliki Pemerintah terbatas. Mekanisme kerja kebijakan HDG
ditampilkan dalam Gambar berikut :
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
51
Universitas Indonesia
Gambar 3.4. Kurva Pembentukan Harga Dasar Gabah
Sumber : Kusumaningrum, 2008
Pada Gambar 3.4 dapat dilihat bahwa pada saat panen raya akan
terjadi peningkatan produksi padi, yang akan menggeser kurva
penawaran ke kanan (S petani → S’ petani). Akibatnya, harga akan
turun sebesar P1. Untuk melindungi petani dari kerugian, Pemerintah
menetapkan HDG sebesar P2. Namun, agar dapat mempertahankan
harga pada level P2 maka Pemerintah wajib membeli kelebihan
supply sebesar A-B dari petani. Hal ini membutuhkan dana yang
cukup besar dan harus tersedia setiap saat.
Penetapan Kebijakan HDPP pertama kali dituangkan Pemerintah
melalui Inpres No 9 Tahun 2002. Dalam Inpres 9/2002 kebijakan
perberasan diarahkan untuk melindungi petani dari gejolak harga
musiman dan melindungi dari gejolak harga di pasar dunia. Caranya
adalah melalui instrumen pembelian Pemerintah pada tingkat harga
yang sesuai dengan Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP)
(Mardianto & Ariani, 2004). Perbedaan dengan kebijakan HDG,
pada kebijakan HDPP Pemerintah telah menetapkan batas persentase
pembelian kelebihan supply sebesar 8%13 dan hanya akan membeli
gabah sebesar persentase tersebut. Kebijakan HDPP dimaksudkan
13 Nilai 8% diperoleh dari studi menggunakan kurun waktu 20 tahun.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
52
Universitas Indonesia
agar Pemerintah akan lebih mudah dalam melakukan budgeting,
planning, dan kalkulasi anggarannya untuk membeli beras
(Kusumaningrum, 2008). Adapun mekanisme kerja kebijakan HDPP
adalah sebagai berikut :
Gambar 3.5. Kurva Pembentukan Harga Dasar Pembelian Pemerintah
Sumber : Kusumaningrum, 2008
Pada saat terjadi panen raya, terjadi peningkatan jumlah supply yang
menggeser kurva penawaran petani ke kanan (S petani → S’petani)
dan menurunkan titik keseimbangan harga pada level P1 (P0 → P1).
Berbeda dengan kebijakan HDG yang menetapkan batas harga
dasar/minimum, pada kebijakan HDPP Pemerintah tidak
menetapkan harga dasar minimum. Pemerintah akan bertindak
sebagai konsumen beras, dengan harga pembelian sesuai HDPP,
sehingga akan meningkatkan jumlah penawaran dan menggeser
kurva permintaan ke atas (DKonsumen → DKonsumen+Pemerintah) . Dengan
demikian, kurva S’petani dan kurva DKonsumen+Pemerintah akan
membentuk titik keseimbangan harga yang baru, yaitu di titik P2.
Pada tahun 2005, melalui Instruksi Presiden No 2 Tahun 2005,
istilah HDPP kembali berubah menjadi Harga Pembelian Pemerintah
(HPP). Perubahan tersebut dinilai semakin membuyarkan kewajiban
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
53
Universitas Indonesia
Pemerintah dalam mengamankan harga gabah di tingkat petani
(Arifin, 2006).
Sementara untuk dapat mempertahankan level harga maksimum,
Pemerintah melakukan penjualan (injeksi) beras di pasar. Terdapat
dua jenis kebijakan intervensi harga pasar yang berlaku di Indonesia,
yaitu Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus (OPK).
OPM merupakan OPM merupakan bagian dari general price subsidy
yang digunakan pada saat harga beras terlalu tinggi akibat excess
demand di pasar. OPM dilakukan dengan cara pemotongan harga
sekitar 10-15 persen di bawah harga pasar. Sedangkan OPK
merupakan implementasi dari targeted price subsidy. Tujuan utama
OPK adalah memberikan bantuan pangan pada masyarakat miskin
yang rawan pangan OPK masih terus dilakukan sampai saat ini,
dengan targetnya masyarakat miskin. Tahun 2002, OPK dirubah
namanya menjadi Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin). Program
Raskin juga masih terus dilakukan sebagai salah satu jaring
pengaman sosial yang volumenya semakin meningkat dari tahun ke
tahun karena adanya kecenderungan kenaikan harga beras di tingkat
konsumen (Pratiwi, 2008).
Untuk menjalankan kebijakan-kebijakan tersebut, Pemerintah
menunjuk Badan Urursan Logistik (BULOG) sebagai lembaga yang
bertugas melakukan stabilisasi harga beras. Meskipun peran BULOG
sebagai stabilitator harga pernah dicabut pada tahun 1998, namun
pada tahun 2007, melalui SK Mendag No 1111 Tahun 2007,
Pemerintah kembali menunjuk BULOG sebagai pengendali harga
dan impor beras di Indonesia (Pratiwi, 2008).
3.3.3. Kebijakan Impor
Indonesia merupakan salah satu negara importir beras terbesar di
dunia. Kebijakan impor bertujuan untuk menekan jumlah dan
mengurangi tingkat ketergantungan beras dari negara lain. Kebijakan
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
54
Universitas Indonesia
ini diimplementasikan melalui 2 (dua) instrumen utama, yaitu
hambatan tarif dan hambatan non tarif (Pratiwi, 2008).
Sebelum tahun 1999, Pemerintah memberlakukan kebijakan non tarif
impor dengan cara mengatur jumlah impor (kuota) beras ke dalam
negeri, yang tujuannya adalah menjaga agar stok dan harga beras
nasional tidak terganggu. Untuk mengefektifkan pengaturan kuota
impor, Pemerintah hanya menunjuk BULOG sebagai satu-satunya
pihak yang dapat melakukan importasi beras (monopoli impor).
Dengan diberikannya hak monopoli impor beras tersebut, BULOG
dapat dengan mudah menjaga stok beras di dalam negeri sekaligus
menjaga stabilitas harga beras dalam negeri (Sidik, 2004; Timmer,
2004; Yonekura, 2004; Dodge & Gemessa, 2012).
Namun sesuai dengan kesepakatan GATT/WTO di tahun 1995,
kebijakan non tarif sudah tidak boleh lagi diterapkan. Sehingga sejak
tahun 1999, Pemerintah mencabut hak monopoli impor beras yang
dimiliki BULOG. Dengan demikian, seluruh pihak (swasta)
memiliki kebebasan untuk melakukan impor beras (Kusumaningrum,
2008).
Paritas harga beras impor dan harga beras dalam negeri yang terlalu
tinggi menyebabkan harga beras dalam negeri menjadi tidak
kompetitif dibandingkan beras impor. Hal ini signifikan mengurangi
pendapatan petani, khususnya petani kecil yang tidak memiliki
modal dan fasilitas penyimpanan beras yang memadai. Untuk
melindungi petani dari persaingan dengan harga beras impor yang
lebih murah, pada tahun 2000 Pemerintah menetapkan tarif bea
masuk impor. Tujuannya adalah untuk meningkatkan pendapatan
petani dan produksi beras, mengamankan kebijakan harga dan
stabilisasi harga dalam negeri, dan meminimumkan beban anggaran
Pemerintah (Simatupang, 1999 dalam Kusumaningrum, 2008).
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
55
Universitas Indonesia
Selain itu, sejak tahun 2004, Pemerintah mengeluarkan kebijakan
yang melarang impor beras pada saat musim panen raya,
sebagaimana diatur dalam SK Menperindag No 9/MPP/Kep/I/ 2004
tentang Ketentuan Impor Beras. Dalam peraturan tersebut, impor
beras dilarang dalam masa satu bulan sebelum panen raya, saat
panen raya, dan dua bulan setelah panen raya. Pertimbangannya
adalah untuk mengantisipasi pergeseran waktu panen raya akibat
anomali iklim dan cuaca. Penentuan masa panen raya sendiri
ditetapkan oleh Menteri Pertanian (Mardianto & Ariani, 2004).
Selain itu, impor beras hanya dapat dilakukan oleh Importir
Produsen Beras (IP) (Pratiwi, 2008).
Pada dasarnya, kebijakan impor dapat menjadi solusi untuk menjaga
ketahanan pangan dan kestabilan harga, dengan catatan dilakukan di
waktu dan dengan jumlah yang tepat. Sehingga impor tidak berbalik
menekan harga beras dalam negeri. Dengan melihat kecenderungan
yang terjadi selama ini, dimana harga beras impor lebih banyak
mendikte dan menekan harga beras dalam negeri, maka sejak
pertengahan 2003 Pemerintah kembali menugaskan BULOG sebagai
lembaga pengendali impor dan harga beras dalam negerei (Pratiwi,
2008).
3.3.4. Kebijakan Distribusi
Distribusi beras mutlak diperlukan dalam menjaga ketahanan pangan
sepanjang tahun, mengingat beras merupakan tanaman musiman.
Selain itu, persediaan beras antar daerah yang tidak merata, akibat
perbedaan kemampuan produksi antar daerah yang tidak sama,
membutuhkan pengaturan distribusi pangan yang baik. Secara
umum, tujuan kebijakan distribusi adalah untuk menjamin
ketersediaan pangan sepanjang tahun secara merata dan terjangkau
bagi seluruh lapisan masyarakat.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
56
Universitas Indonesia
Sejak tahun 1967, Pemerintah membentuk BULOG sebagai badan
yang berfungi untuk menjaga stabilitas harga bahan pangan pokok di
dalam negeri (Sidik, 2004). Khusus untuk komoditas beras, BULOG
hanya memiliki satu tugas utama pada periode orde baru, yaitu
melakukan stabilisasi harga beras dalam negeri. Stabilisasi harga
mencakup penjaminan harga yang tinggi di level petani dan
penjaminan harga beras yang terjangkau di level konsumen (Dodge
& Gemessa, 2012).
Menurut Timmer (2004), selama 30 tahun BULOG berhasil
melakukan stabilisasi harga beras karena didukung oleh 4 (empat)
instrumen kebijakan, yaitu :
(1) Kebijakan monopoli impor, yang menyebabkan BULOG dapat
mengendalikan harga beras dalam negeri dari perdagangan
internasional;
(2) Akses yang tidak terbatas terhadap kredit, dengan bunga yang
disubsidi pada tahun pertama dan jaminan suku bunga dari Bank
Indonesia untuk tahun-tahun berikutnya;
(3) Pembelian/pengadaan beras yang cukup besar oleh Dolog14
untuk menaikan harga beras di level petani, yang disertai dengan
kebijakan harga dasar gabah (mekanisme floor price);
(4) Fasilitas logistik dan infrastruktur yang memadai, dimana
BULOG menguasai pergudangan hampir di seluruh Indonesia.
Sehingga cadangan beras yang dimiliki BULOG sangat besar
dan merata di seluruh daerah. Cadangan beras inilah yang
kemudian akan digunakan BULOG untuk mempertahankan
harga beras di level yang terjangkau bagi konsumen, khususnya
konsumen perkotaan (mekanisme ceilling price15).
14 Dolog merupakan kantor perwakilan BULOG di daerah. 15 Pada tahun-tahun awal BULOG berdiri, ceilling price yang ditetapkan Pemerintah akan diumumkan oleh BULOG, namun beberapa tahun berikutnya besaran ceilling price tidak lagi diumumkan.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
57
Universitas Indonesia
Menurut Dodge & Gemessa (2012), meskipun BULOG tetap
menghadapi persaingan dengan pedagang swasta dalam pembelian
gabah di tingkat petani dan pemasaran beras di tingkat konsumen,
namun hak monopoli impor yang diberikan kepada BULOG
menyebabkan kebijakan stabilisasi harga beras pada periode orde
baru dapat berjalan dengan efektif. Dengan adanya hak monopoli
impor, serta berbagai kebijakan pendukung di atas, membuat
BULOG mampu mengendalikan keseimbangan supply-demand di
pasar beras dalam negeri, yang pada akhirnya akan mampu
mengendalikan harga beras di dalam negeri.
Rais (2003) menambahkan bahwa pada periode orde baru, BULOG
mampu membangun sistem distribusi beras dengan pola komando
logistik yang disiplin. BULOG memberikan fungsi distribusi hanya
kepada pedagang-pedagang tertentu, yang disebut BULOG dengan
“mitra kerja”. Mitra kerja tersebut berada di wilayah-wilayah tertentu
yang ditentukan oleh BULOG. BULOG akan mengendalikan volume
distribusi beras kepada mitranya dengan sistem jatah. Sebagai mitra
kerja, para distributor tersebut ikut menjalankan tugas stabilisasi
harga di wilayah kerjanya masing-masing, yang sebenarnya tugas
tersebut merupakan tanggung jawab BULOG. Dengan demikian,
BULOG dapat dengan mudah memantau keseimbangan pasar beras
dengan konsisten sampai ke jalur distribusi yang paling hilir. Pada
akhirnya, BULOG mampu menjalankan mekanisme floor price dan
ceilling price secara efektif.
Dengan dihapuskannya hak monopoli impor yang dimiliki BULOG,
sistem distribusi yang dimiliki BULOG pun menjadi hilang. Menurut
Abu Bakar (2007) dalam Pratiwi (2008), setidaknya BULOG saat ini
memiliki 4 tugas publik yang terkait dengan beras, yaitu; (i) jaminan
harga pembelian pemerintah untuk gabah dan beras, (ii) stabilisasi
harga, (iii) pengelolaan raskin, dan (iv) cadangan atau stok pangan
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
58
Universitas Indonesia
nasional. Keempat tugas publik tersebut harus dilakukan secara
bersama-sama karena tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain.
Gabah/beras yang dibeli BULOG dari petani bertujuan untuk
memberikan harga yang wajar, khususnya saat musim panen raya
dimana harga gabah akan jatuh. Kemudian gabah dan beras hasil
pengadaan dari dalam negeri tersebut akan menjadi persediaan yang
tersimpan dalam gudang-gudang (divre atau subdivre) BULOG
sebagai Cadangan Beras Pemerintah/CBP (buffer stock). CBP
tersebut nantinya akan digunakan Pemerintah sebagai sumber
bantuan sosial, operasi pasar, keperluan darurat dan supply pasar
tertentu.
Jumlah minimum buffer stock yang wajib tersedia di gudang
BULOG adalah 1 juta ton beras. Apabila dalam penyaluran beras
terjadi kekurangan stok yang tidak dapat dipenuhi dari produksi
dalam negeri, maka BULOG dapat melakukan impor agar cadangan
pangan nasional tetap tercukupi. Seperti yang pernah dilakukan pada
pertengahan tahun.
Proses distribusi beras di Indonesia pada dasarnya dilakukan dengan
dua cara yaitu melalui distribusi BULOG dan mekanisme pasar.
Namun dibandingkan dengan total konsumsi beras Indonesia,
besarnya CBP tersebut belum merepresentasikan pengaruh BULOG
terhadap distribusi beras dalam negeri. BULOG hanya menguasai
10% pangsa pasar distribusi beras di Indonesia. Sementara lebih dari
80 – 90% distribusi beras di Indonesia dilakukan oleh pedagang
swasta melalui mekanisme pasar (Kitano et al, 1999; Pratiwi, 2008).
Dalam kaitannya dengan stabilisasi harga, dengan sedikitnya jumlah
CBP yang dimiliki BULOG, maka peran BULOG dan pengenaan
kebijakan HPP sering kali menjadi kurang efektif dalam
menstabilkan harga beras di level petani maupun konsumen,
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
59
Universitas Indonesia
khususnya dengan melihat distorsi harga beras impor yang cukup
besar.
3.4. Kebijakan Pemerintah dan Perkembangan Harga
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, beras merupakan komoditas strategis
di Indonesia. Akibatnya, kebijakan perberasan Indonesia diarahkan untuk
menjamin harga jual padi/beras yang tinggi di level petani sekaligus
menjamin harga beras yang layak dan tidak memberatkan di level
konsumen. Sebagaimana dipaparkan dalam sub bab 3.3, kebijakan
perberasan sendiri telah mengalami banyak perubahan, sesuai dengan situasi
ekonomi dan politik yang terjadi. Dilihat dari sisi kebijakan pengendalian
harga dan kebijakan impor, kebijakan perberasan Indonesia terbagi menjadi
3 (tiga) rezim, yaitu (1) Rezim Orde Baru (tahun 1975 – 1998), dimana
harga, impor, dan distribusi beras di dalam negeri sepenuhnya berada di
bawah kendali Pemerintah (dalam hal ini BULOG); (2) Rezim Pasar Bebas
(tahun 1998 – 1999), dimana impor beras dibiarkan bebas dengan bea
masuk nol persen; dan (3) Rezim Pasar Terbuka Terkendali (tahun 2000 –
saat ini), dimana impor beras “dikendalikan” melalui mekanisme tarif dan
non tarif (Arifin, 2006). Gambaran interaksi pergerakan harga beras dalam
negeri dengan kebijakan perberasan yang pernah diterapkan Pemerintah
ditampilkan pada Gambar 3.6.
Dari Gambar 3.6 dapat dilihat bahwa pada rezim Orde Baru pergerakan
harga padi di level petani dan harga beras di level konsumen relatif stabil.
Pada periode tersebut pun diparitas antara harga padi dengan harga eceran
beras cenderung kecil dan terkendali. Hal ini disebabkan BULOG diberikan
kewenangan monopoli impor dan berbagai kebijakan Pemerintah yang
mendukung peran BULOG sebagai stabilitator harga beras dalam negeri.
Selain itu, jaringan distribusi BULOG yang kuat dan menyeluruh di seluruh
Indonesia memudahkan BULOG untuk mengendalikan jumlah supply dan
demand pada pasar beras di Indonesia. Akibatnya, harga beras di level
petani dan level konsumen akan dengan mudah dikendalikan BULOG.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
60
Universitas Indonesia
Gambar 3.6. Interaksi Pergerakan Harga Beras dan Kebijakan Perberasan Indonesia
Sumber : BULOG (2009) dalam Arifin (2011)
Pada tahun 1998, kebijakan perberasan nasional berubah drastis, dimana
kebijakan perberasan diarahkan menuju liberalisasi perdagangan. Pada tahun
ini bea masuk beras dihapuskan dan setahun berikutnya kewenangan
monopoli impor BULOG dicabut, sehingga pelaku usaha lain dapat
melakukan importasi beras secara bebas. Namun dampaknya, harga beras di
dalam negeri menjadi sulit dikendalikan karena variabel harga beras luar
negeri menjadi dominan dalam penentuan harga beras dalam negeri.
Disparitas harga antara level petani dengan level konsumen pun akhirnya
menjadi melebar.
Tahun 2000, Pemerintah kembali memberlakukan kebijakan tarif impor
beras, dengan menetapkan bea masuk impor sebesar 30% (Rp 430/kg)16.
Implikasinya, pada periode 2000 – 2005 harga beras dalam negeri relatif
16 Pada tahun 2005, bea masuk impor beras dinaikkan menjadi Rp 450/kg
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
61
Universitas Indonesia
stabil, meskipun disparitas harga antara level petani dengan level konsumen
tetap besar.
Arifin (2006) melakukan penelitian terhadap dampak kebijakan perberasan
dengan stabilisasi harga beras dalam negeri. Hasilnya menunjukkan bahwa
untuk harga gabah pada rezim orde baru lebih stabil dibandingkan dengan
rezim pasar bebas dan pasar terbuka terkendali. Sementara untuk harga beras
di level konsumen, tingkat stabilitas harga antara rezim orde baru dengan
rezim pasar terbuka terkendali relatif sama. Pada rezim pasar bebas, tingkat
stabilitas harga menunjukkan nilai yang paling rendah. Artinya, harga beras
di level konsumen relatif tidak stabil dibandingkan rezim orde baru dan
rezim pasar terbuka terkendali.
3.5. Kebijakan Pemerintah dan Peningkatan Produksi
Kebijakan perberasan nasional pada dasarnya diarahkan untuk
meningkatkan produksi beras dalam negeri, guna mencapai kemandirian
pangan. Hanya saja, dalam menentukan suatu kebijakan pangan, Pemerintah
seringkali dihadapkan pada kondisi yang dilematis. Di satu sisi Pemerintah
perlu menjamin harga gabah/beras yang tinggi di level petani, sehingga
petani tetap memiliki insentif untuk menanam padi di musim tanam
berikutnya. Di sisi lain, Pemerintah harus memastikan harga beras yang
terjangkau di level konsumen.
Produksi padi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain (1) luas areal
tanam, (2) produktivitas lahan, (3) harga jual gabah/beras, dan (4) tingkat
pendapatan petani. Seluruh kebijakan perberasan nasional, mulai dari
kebijakan produksi, kebijakan harga, kebijakan impor, dan kebijakan
distribusi, saling terkait dalam mempengaruhi faktor-faktor di atas.
Kebijakan produksi akan secara langsung berpengaruh terhadap luas areal
tanam dan produktivitas lahan. Kebijakan produksi juga secara tidak
langsung akan berimplikasi terhadap harga beras/gabah, sebagaimana
hukum penawaran yang berlaku. Sebaliknya, kebijakan harga, kebijakan
impor dan kebijakan distribusi justru akan mempengaruhi harga gabah/beras
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
62
Universitas Indonesia
dan pendapatan petani secara langsung, serta memiliki dampak tidak
langsung terhadap luas areal tanam dan produktivitas lahan. Akibatnya,
perubahan pada salah satu kebijakan akan mempengaruhi kinerja kebijakan
lainnya.
Berdasarkan data BPS, pertumbuhan luas areal panen relatif stagnan.
Pertumbuhan luas areal panen lebih besar terjadi di luar Jawa, sementara di
pulau Jawa justru luas areal panen cenderung berkurang (Pratiwi, 2008).
Peningkatan pembangunan ekonomi yang masih terkonsentrasi di Pulau
Jawa menjadi penyebab terjadinya konversi lahan pertanian menjadi areal
industri atau pemukiman. Padahal produktivitas lahan di pulau Jawa relatif
lebih baik dibandingkan di luar Jawa, akibat faktor kesesuaian lahan, iklim,
serta infrastruktur irigasi yang baik untuk produksi tanaman padi. Berikut
adalah perbandingan pertumbuhan luas areal panen, produktivitas lahan, dan
produksi beras nasional.
Gambar 3.7. Pertumbuhan Luas Areal Tanam Padi di Indonesia
Sumber : BPS (2012), telah diolah kembali
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
63
Universitas Indonesia
Gambar 3.8. Pertumbuhan Produktivitas Lahan Padi di Indonesia
Sumber : BPS (2012), telah diolah kembali
Gambar 3.9. Pertumbuhan Produksi Padi di Indonesia
Sumber : BPS (2012), telah diolah kembali
Berdasarkan Gambar di atas dapat dilihat bahwa peningkatan produksi
padi/beras nasional nampaknya lebih disebabkan oleh peningkatan
produktivitas lahan dibandingkan oleh penambahan luas areal tanam.
Peningkatan produktivitas lahan tidak terlepas dari berbagai kebijakan
produksi yang ditetapkan Pemerintah, seperti program bantuan benih unggul
dan subsidi pupuk yang sudah mulai diberikan Pemerintah sejak tahun 1979
melalui program Panca Usahatani. Efektivitas kebijakan peningkatan
produktivitas lahan secara nyata dapat dilihat pada tahun 2007 – 2011. Sejak
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
64
Universitas Indonesia
tahun 2007, Pemerintah secara intensif memberikan berbagai bantuan benih
unggul dan subsidi pupuk kepada petani guna meningkatkan produktivitas
lahannya. Dampaknya sejak tahun 2007 produksi padi/beras Indonesia
cenderung meningkat, meskipun luas areal tanam menunjukkan trend yang
relatif stagnan. Efektivitas kebijakan produksi dalam bentuk program
bantuan benih unggul dan pupuk dijelaskan pula dalam penelitian Pratiwi
(2008), yang menyebutkan bahwa penggunaan bibit unggul dan faktor
pemupukan merupakan faktor input yang sangat mempengaruhi
produktivitas lahan dan produksi padi/beras.
Dalam hal kebijakan harga, sebagaimana yang sudah dijelaskan sebelumnya,
sejak tahun 1998 Pemerintah mulai berusaha melepaskan harga jual gabah di
level petani ke mekanisme pasar. Hal ini akan berimplikasi pada penurunan
harga jual gabah di level petani, karena umumnya harga beras luar negeri
masih lebih rendah dibandingkan harga di dalam negeri. Dengan harga
gabah yang rendah, pendapatan yang diterima petani pun akan berkurang.
Apabila kondisi ini dibiarkan dikhawatirkan petani akan tidak lagi berminat
untuk menanam padi dan kemudian menjual sawahnya. Hal inilah yang
kemungkinan menyebabkan terjadinya penurunan luas areal tanam padi di
Jawa.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
65 Universitas Indonesia
BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini akan diuraikan mengenai metode analisis yang akan digunakan
dalam penelitian serta data-data yang diperlukan dalam penelitian.
4.1. Cakupan Penelitian
Dalam penelitian ini akan dianalisa kinerja saluran pemasaran beras di
Indonesia, dengan menggunakan pendekatan analisa transmisi pergerakan
harga gabah kering panen (GKP) di level petani terhadap harga beras di level
konsumen. Adapun metode analisis yang digunakan adalah Asymmetric Price
Transmission dengan model Asymmetric Error Correction (AECM). Kinerja
saluran pemasaran beras dikatakan tidak efisien apabila terjadi fenomena
Asymmetric Price Transmission antara harga GKP petani dengan harga beras
konsumen, baik jangka pendek ataupun jangka panjang.
Sebelum masuk ke tahap pengujian asimetris, dilakukan pengujian
stasioneritas dan pengujian kointegrasi untuk mengetahui karakteristik series
data. Setelah identifikasi karakteristik data dilakukan, maka selanjutnya
dilakukan pengujian kausalias untuk mengetahui arah hubungan transmisi
harga. Dalam penelitian ini pengujian kausalitas dilakukan secara statistic
dengan metode Granger causality test, yang kemudian dibandingkan dengan
pendekatan teori..
Untuk pengujian transmisi harga asimetri dilakukan dengan menggunakan
metode Error Correction Model (ECM) yang dikembangkan oleh Granger-
Lee (1989) dan Von Cramon-Taubadel & Loy (1996), yang merupakan model
dinamis. Dikatakan model dinamis karena ECM tidak hanya melihat proses
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
66
Universitas Indonesia
transmisi harga jangka pendek17, tetapi juga mempertimbangkan proses
penyesuaian harga terhadap keseimbangan jangka panjang.
Model ECM yang dikembangkan oleh Granger dan Lee dalam analisa
transmisi harga asimetris adalah menggunakan persamaan sebagai berikut
(Acquah & Onumah, 2010) :
(4.1)
(ECTt-1 = PA,t-1 - α - γPB,t-1) (4.2)
dimana merupakan bentuk penyimpangan dari keseimbangan jangka
panjang dan . Oleh karena model ECM pada dasarnya merupakan
pengembangan dari konsep kointegrasi, maka keseimbangan jangka panjang
antara dua series harga adalah pada saat kedua series harga tersebut saling
terkointegrasi, dimana pergerakan harga di salah satu series memiliki pola
yang sama dengan pergerakan series harga lainnya. Pada saat pergerakan
harga menyimpang dari pola/keseimbangan jangka panjang yang seharusnya,
maka penyimpangan tersebut akan dimasukan sebagai bentuk error (ECT).
Dalam model transmisi harga asimetris, ECT kemudian dipisahkan dalam
bentuk positif ( ) dan negatif ( ). menggambarkan kondisi
penyimpangan harga saat berada di atas garis keseimbangan, dan
menggambarkan kondisi penyimpangan harga saat berada di bawah garis
keseimbangan. Kondisi asimetris ditentukan dengan membandingkan
keidentikan koefisien dan .
Von Cramon-Taubadel dan Loy kemudian mengembangkan model dinamis
yang lebih kompleks, dengan menggabungkan model statis Houck dan model
ECM Granger-Lee. Melalui model ini, transmisi harga asimetris dapat
17 Transmisi harga jangka pendek, disebut juga model statis, adalah hanya melihat efek perubahan harga antara shock kenaikan harga dengan shock penurunan harga. Model statis transmisi harga asimetris dikembangkan oleh Houck. Model ini dinilai kurang valid untuk digunakan pada data yang memiliki hubungan kointegrasi.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
67
Universitas Indonesia
dipisahkan antara transmisi jangka pendek dengan transmisi jangka panjang.
Persamaan model ECM yang dikembangkan Von Cramon-Taubadel dan Loy
adalah sebagai berikut (Alam et al., 2010) :
(4.3)
Pada model ini, hipotesa transmisi harga asimetris akan ditolak apabila
koefisien positif dengan koefisien negatif terbukti tidak identik secara
statistik. Pengujian koefisien dilakukan baik terhadap koefisien jangka
pendek ( = dan = ) maupun koefisien jangka panjang ( = ).
Aplikasi metode tersebut dalam analisa transmisi harga untuk produk-produk
pertanian menjadi sangat popular. Model ECM Von Cramon-Taubadel dan
Loy dalam analisa transmisi harga telah dinyatakan valid oleh Hassouneh et
al. (2012). Hassouneh et al. membandingkan beberapa model ekonometri
dalam analisa transmisi harga, dengan mempertimbangkan ada atau tidaknya
unit roots dan kointegrasi dalam dua data series harga. Mereka
menyimpulkan bahwa VECM dan ECM adalah model yang valid untuk
menguji pola transmisi harga pada kondisi data yang tidak stasioner namun
terkointegrasi. Pada saat persamaan jangka panjangnya menunjukkan pola
yang tidak stasioner, maka persamaan VECM dan ECM yang biasa tidak
dapat digunakan sehingga diperlukan metode AVECM atau AECM18.
Dengan mengacu pada berbagai literatur penelitian sebelumnya, maka
pendekatan yang digunakan dalam analisa integrasi pasar dan transmisi harga
antara harga GKP petani terhadap harga beras konsumen adalah dengan
menggunakan AECM model Granger-Lee (persamaan (4.1)) dan model Von
Cramon Taubadel & Loy (persamaan (4.3)). Melalui kedua model tersebut
diharapkan akan lebih tergambarkan apakah proses transmisi harga asimetris
18 Untuk kasus persamaan jangka panjang yang tidak linear, aplikasi model AVECM sama validnya dengan model Threshold Vector Error Correction (TVECM) maupun model Smooth Transition Vector Error Correction (STVECM).
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
68
Universitas Indonesia
terjadi dalam jangka pendek, dalam jangka panjang, atau keduanya. Model
AECM digunakan dengan asumsi arah hubungan harga yang terjadi adalah
satu arah. Sehingga apabila hasil pengujian kausalitas menunjukkan arah
hubungan yang terjadi adalah dua arah, maka pengujian model asimetri hanya
mengambil salah satu arah transmisi, dengan menyesuaikan pada karakteristik
industri beras Indonesia.
Pemilihan sampel data harga GKP dan harga beras didasarkan pada data
harga bulanan rata-rata dari bulan Januari 2000 sampai dengan bulan
Desember 2011 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik. Harga GKP
digunakan dalam penelitian ini mengingat sebagian besar (45%) produk yang
dijual oleh petani adalah dalam bentuk GKP19. Untuk harga beras, data yang
digunakan adalah harga beras eceran umum, tanpa memperhatikan jenis beras
yang dijual. Harga tersebut dipilih karena adanya keterbatasan data sekunder
yang tersedia. Dalam publikasi data harga eceran beras BPS, jenis beras yang
dipasarkan di setiap provinsi berbeda-beda. Sebagai gambaran, beras jenis
IR64 di wilayah Indonesia Timur tidak dipasarkan. Sehingga data harga beras
di level konsumen digunakan data harga eceran umum, karena pengambilan
data harga yang dibatasi pada jenis beras tertentu dikhawatirkan akan
mengurangi validitas hasil analisa.
4.2. Metode Analisis
Pendekatan statistik yang digunakan pada asymmetric vertical price
transmission mengacu pada fenomena harga yang terjadi ketika harga di salah
satu level pemasaran bereaksi terhadap perubahan harga (shock) di level yang
lain. Analisa dapat dilakukan dari hulu ke hilir, yaitu melihat reaksi harga
hilir terhadap shock yang terjadi di hulu, maupun sebaliknya dari hilir ke
hulu, tergantung karakteristik industrinya. Analisa transmisi harga dari hulu
ke hilir umumnya dilakukan apabila karakteristik industrinya adalah supply 19 Working Paper BI Edisi WP/07/2008, Juni 2008, “Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan Implikasinya Terhadap Inflasi”, www.bi.go.id
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
69
Universitas Indonesia
shifted, dimana perubahan harga lebih besar ditentukan oleh sisi penawaran.
Sebaliknya, analisa transmisi harga dari hilir ke hulu dilakukan pada industri
dengan karakteristik demand shifted.
Dalam penelitian ini analisa transmisi harga dilakukan secara satu arah, yaitu
dengan melihat perubahan dan proses transmisi harga di hilir (konsumen)
akibat shock harga yang terjadi di hulu (petani). Dengan kata lain analisa
transmisi harga dilakukan dari hulu ke hilir. Asumsi ini digunakan dengan
melihat karakteristik perdagangan beras yang merupakan bahan pangan
pokok yang sifatnya musiman, dimana harga beras lebih banyak ditentukan
oleh pergerakan di sisi supply dibandingkan sisi demand.
Transmisi harga vertikal dikatakan asimetris apabila terjadi perbedaan respon
harga di salah satu level pemasaran akibat adanya shock kenaikan atau
penurunan harga di level yang lain. Pendekatan asymmetric vertical price
transmission digunakan dalam penelitian ini dengan melihat kondisi
pergerakan harga GKP petani dengan harga beras konsumen selama periode
tahun 2000 – 2011, dimana gap kedua data harga tersebut menunjukkan
kecenderungan yang semakin melebar.
Model pengujian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Asymmetric
Error Correction Model (AECM). Melalui AECM, transmisi harga asimetris
dapat dipisahkan antara pola jangka pendek dengan pola jangka panjang.
Dengan demikian dugaan adanya penyalahgunaan market power sebagai
faktor penyebab transmisi harga asimetris dapat lebih mudah diidentifikasi.
Apabila transmisi harga asimetris terjadi hanya pada jangka pendek,
sementara pada jangka panjang proses transmisinya menunjukkan pola
simetris, maka dapat disimpulkan bahwa penyebab transmisi harga lebih
disebabkan oleh faktor adjustment cost/menu cost atau skala ekonomi. Faktor
market power hanya akan berpengaruh terhadap proses transmisi harga dalam
jangka panjang, sehingga apabila transmisi harga asimetris pada jangka
panjang siginifikan, maka dapat dipastikan transmisi harga asimetris tersebut
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
70
Universitas Indonesia
disebabkan oleh adanya penyalahgunaan market power yang dilakukan
pedagang perantara.
4.3. Tahapan Pengujian
Beberapa faktor dibutuhkan dalam menghasilkan model persamaan yang
dapat diandalkan. Faktor tersebut meliputi pengujian stasioneritas, pengujian
kointegrasi, pengujian kausalitas, dan terakhir pengujian transmisi harga
asimetris dengan AECM.
4.3.1. Tes Stasioner
Uji stasioneritas dilakukan untuk menguji karakteristik data yang
digunakan. Pengujian ini diperlukan mengingat data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data time series. Stasioneritas terkait erat
dengan konsistensi pergerakan data time series. Suatu data dikatakan
stasioner apabila nilai parameter statistiknya (nilai rata-rata dan
varians) konstan sepanjang waktu, diikuti dengan nilai covarians antar
dua periode waktu yang hanya bergantung pada selang diantara
keduanya. Sebaliknya, data time series dikatakan tidak stasioner
apabila terdapat tren pada nilai rata-rata atau variannya.
Menurut Granger & Newbold (1974) dalam Vavra & Goodwin (2005),
regresi dengan menggunakan data yang tidak stasioner akan mengarah
pada regresi lancung (spurious regression). Permasalahan ini muncul
akibat adanya tren (pergerakan yang menurun maupun meningkat)
yang kuat dari variabel dependen dan independen dalam runtun waktu.
Tren tersebut akan menghasilkan nilai R2 yang tinggi, dimana secara
statistik dapat diartikan adanya hubungan antar variabel yang
siginifikan, namun hasil tersebut tidak memiliki arti ekonomi apapun.
Apabila data time series diturunkan pada tingkat pertama (first
difference) dan baru menunjukkan hasil yang stasioner, maka data
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
71
Universitas Indonesia
series tersebut dikatakan terintegrasi pada ordo 1 atau dinotasikan
dengan I(1). Secara umum, apabila data time series harus diturunkan
sebanyak “d” kali agar stasioner, maka data tersebut dapat dinotasikan
dalam bentuk I(d).
Uji stasioneritas yang paling berkembang adalah uji akar unit (unit
root test). Suatu data time series dikatakan tidak stasioner apabila
memiliki unit root. Terdapat berbagai metode untuk melakukan uji
unit root, diantaranya Dickey-Fuller Unit Root Test (DF), Augmented
Dickey-Fuller Test (ADF), dan Philips Perron Test (PP). Dalam
penelitian ini, akan digunakan tes ADF dan tes PP untuk menguji
stasioneritas dari data. Tes ADF mengikuti persamaan berikut :
(4.4)
dimana Pt adalah series harga, ∆ adalah turunan pertama (Pt- Pt-1), dan
εt merupakan notasi untuk error terms. Hipotesis nol yang diuji adalah
persamaan memiliki unit root (ρ = 0), dengan hipotesis tandingannya
adalah persamaan stasioner (ρ < 0). Sementara untuk tes PP mengikuti
spesifikasi berikut :
(4.5)
dimana Pt adalah series harga, adalah tren waktu, T adalah
ukuran sampel, dan vt adalah white noise error term. Hipotesis nol
yang diuji sama dengan tes ADF, yaitu persamaan memiliki unit root
(ρ = 0), dan hipotesis tandingannya adalah persamaan stasioner (ρ <
0).
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
72
Universitas Indonesia
4.3.2. Tes Kointegrasi
Tahap selanjutnya adalah melakukan uji kointegrasi. Sebagaimana
telah disebutkan sebelumnya, regresi yang dilakukan terhadap data
non stasioner akan menyebabkan permasalahan regresi lancung dan
tidak konsisten. Padahal umumnya data – data ekonomi memiliki
karakteristik tidak stasioner. Oleh sebab itu, untuk melihat
kecenderungan pergerakan data antara dua variabel yang tidak
stasioner, namun bergerak secara bersama-sama dalam jangka
panjang, digunakan uji kointegrasi.
Uji kointegrasi merupakan pengujian model stasioner pada nilai
residual yang dihasilkan dari persamaan yang menggunakan data tidak
stasioner. Dengan kata lain, dua data time series yang tidak stasioner
dapat terkointegrasi apabila tingkat penyimpangan dari masing-masing
data tetap memiliki karakteristik yang stasioner dan menunjukkan pola
keseimbangan jangka panjang (terkointegrasi).
Pergerakan data antara dua variabel dikatakan terkointegrasi apabila
kedua data tersebut bergerak secara bersama-sama dalam jangka
panjang, meskipun dalam jangka pendek pergerakannya terkesan
menjauh. Dengan demikian, analisa kointegrasi merupakan metode
yang valid digunakan untuk mengestimasi hubungan ekonomi jangka
panjang antar variabel yang terintegrasi, meskipun variabel tersebut
tidak stasioner.
Dalam analisa transmisi harga asimetris dengan VECM, uji
kointegrasi merupakan salah satu prasyarat untuk dapat melanjutkan
analisa ke tahap pengujian (V)ECM. Pada metode (V)ECM, data time
series yang tidak stasioner dapat digunakan sepanjang data tersebut
terkointegrasi (memiliki hubungan jangka panjang atau terjadi
ekuilibrium dalam jangka panjang).
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
73
Universitas Indonesia
Pengujian kointegrasi pada penelitian ini dilakukan untuk
menunjukkan hubungan jangka panjang antara variabel harga GKP
dan variabel harga beras konsumen. Model pengujian kointegrasi yang
digunakan dalam penelitian adalah berdasarkan metode Johansen
(1988) dan Johansen & Juselius (1990), yang dikenal dengan
maximum likelihood (Vavra & Goodwin, 2005, hal. 31-32).
Berdasarkan metode Johansen, uji kointegrasi diawali dengan model
vector autoregressive (VAR) tradisional untuk menentukan jumlah lag
yang optimal, berdasarkan uji likelihood ratio atau AIC. Lag optimal
tersebut digunakan untuk mengestimasi VECM dan menentukan
peringkat dari matriks parameter. Persamaan kointegrasi model
VECM adalah sebagai berikut :
∆Pt = ∏Pt-1 + Γ1 ∆Pt-1 + … + Γk-1 ∆Pt-k+1 + εt (4.6)
dimana Pt = (P1t P2t)3 adalah vektor dari variabel harga I(1), εt adalah
vektor dari error terms dan Γi menunjukkan dinamika jangka pendek
dari data harga. Matriks ∏ menunjukan informasi hubungan
kointegrasi antara dua variabel yang tidak stasioner di Pt.
Berdasarkan metode Johansen, VECM diestimasi dengan
menggunakan maximum likelihood Lmax (r) yang merupakan fungsi
dari peringkat kointegrasi r. Untuk menguji adanya hubungan jangka
panjang antar variabel, terdapat 2 (dua) metode pengujian yaitu trace
test dan maximum eigenvalue test. Apabila nilai trace statistic (TS)
dan maximal eigenvalue (ME) melebihi nilai t-statistik maka hipotesis
nol ditolak. Dengan kata lain terdapat hubungan jangka panjang antara
variabel-variabel yang dianalisa.
Pengujian TS mengikuti persamaan berikut :
λtrace = – T ln(1 – λ2i) (4.7)
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
74
Universitas Indonesia
dimana T merupakan jumlah observasi dan λi adalah nilai karakteristik
akar dari ∏. Hipotesis nol yang digunakan pada pengujian TS adalah
peringkat ∏ kurang dari atau sama dengan r, dengan hipotesis
tandingannya adalah peringkat ∏ lebih dari r.
Sementara pengujian ME dilakukan dengan persamaan berikut :
λmax = – T ln(1 – λr+1) (4.8)
dimana hipotesis nol yang diuji adalah peringkat ∏ = r, dengan
hipotesis tandingannya adalah peringkat ∏ = r + 1.
4.3.3. Tes Kausalitas
Pengujian kausalitas dalam analisa transmisi harga bertujuan untuk
memastikan arah hubungan sebab-akibat antara variabel – variabel
yang diuji. Dalam kasus analisa transmisi harga vertikal, uji kausalitas
digunakan untuk melihat apakah sumber transmisi harga berasal dari
hulu (farm gate) atau berasal dari hilir (konsumen). Pengujian
kausalitas menjadi salah satu tahapan penting karena menurut Gardner
(1975) dalam Kinnucan & Forker (1987) elastisitas transmisi harga
yang berasal dari farm gate (disebabkan oleh pergeseran kurva
penawaran/supply sifted) akan berbeda dengan elastisitas transmisi
harga yang disebabkan oleh pergeseran kurva permintaan (demand
shifted).
Menurut Bernard & Willet (1996) setidaknya terdapat 2 (dua) metode
untuk menentukan arah hubungan sebab-akibat antara variabel-
variabel. Pertama, pengujian kausalitas secara statistik, dengan
menggunakan uji Granger seperti yang dilakukan oleh Bailey &
Brorsen (1989), Aguiar & Santana (2002), dan Bernard & Willet
(1996). Kedua, menentukan arah kausalitas secara ad hoc berdasarkan
karakteristik pasar yang terbentuk. Caranya adalah dengan melihat
apakah perubahan harga lebih sering disebabkan oleh perubahan
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
75
Universitas Indonesia
fungsi permintaan (demand-pull forces) atau perubahan fungsi
penawaran (cost-push forces). Penelitian yang menggunakan metode
kedua dalam menentukan arah kausalitas antara lain Kinnucan &
Forker (1987).
Metode pengujian kausalitas untuk analisa transmisi harga masih
menjadi perdebatan. Beberapa ekonom berpendapat bahwa metode
pertama dianggap lebih valid secara statistik dan lebih disarankan
untuk digunakan. Namun, sebagian ekonom berpendapat bahwa uji
Granger pun sebenarnya tidak dapat memastikan bahwa satu variabel
mempengaruhi variabel lainnya, karena uji Granger hanya
memprediksi nilai saat ini dari suatu variabel dengan melihat nilai
masa lalu variabel lainnya. Selain itu, Alam et al., (2010)
menyebutkan bahwa uji kausalitas Granger konvesional tidak valid
untuk digunakan apabila dua atau lebih variabel saling terkointegrasi.
Dalam penelitian ini, metode pengujian secara statistik maupun ad hoc
akan dilakukan untuk melihat hubungan kausalitas antar harga GKP
Petani dengan harga eceran beras konsumen. Apabila hasil pengujian
secara statistik dengan metode Granger menunjukkan hubungan
kausalitas dua arah, maka arah transmisi harga dalam pengujian
transmisi harga asimetri di tahap selanjutnya diasumsikan terjadi satu
arah yaitu dari petani ke konsumen, dan tidak sebaliknya. Asumsi
tersebut diambil dengan mempertimbangkan karakteristik produk
pertanian pada umumnya, dimana penentuan harga beras lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor penawaran dibandingkan perubahan
permintaan. Selain itu, sebagai komoditas pangan utama, maka dapat
dipastikan jumlah permintaan beras di Indonesia relatif stabil.
Sehingga shock akibat perubahan kurva permintaan jarang terjadi,
kecuali apabila terjadi perubahan jumlah populasi yang signifikan.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
76
Universitas Indonesia
4.3.4. Model Simetris Error Correction Model (ECM)
Konsep dasar metode ECM mengacu pada bentuk error correction.
Menurut Engle & Granger (1987) dalam Hassouneh et al. (2012),
kointegrasi yang terjadi antara dua variable yang tidak stasioner
mengindikasikan bahwa perubahan yang terjadi terhadap peubah bebas
(dependent variable) tidak hanya dipengaruhi oleh peubah tidak bebas
(explanatory variables), tetapi juga dipengaruhi oleh
ketidakseimbangan dari hubungan kointegrasi antara keduanya
(penyimpangan). Ketidakseimbangan dari hubungan kointegrasi ini
ditujukan oleh nilai error correction term. Engle & Granger
menunjukkan bahwa kointegrasi antara data time series yang tidak
stasioner akan menghasilkan bentuk error correction yang valid pada
time series tersebut.
Bentuk error correction dianggap lebih efisien untuk
merepresentasikan hubungan kointegrasi antara dua series data. Hal ini
disebabkan metode tersebut mampu merepresentasikan keseimbangan
jangka panjang suatu sistem, dinamika ketidakseimbangan jangka
pendek, dan pola penyesuaian menuju keseimbangan secara sekaligus.
Dalam penelitian ini, hubungan antara harga GKP petani dengan harga
beras konsumen direpresentasikan dalam persamaan :
(4.9)
dimana RP adalah harga beras di level konsumen (ritel), PP adalah
harga GKP di level petani, t adalah tren waktu, dan ε adalah error
term. Persamaan tersebut dapat diubah menjadi bentuk VECM
bivariate berikut :
(4.10)
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
77
Universitas Indonesia
(4.11)
dimana :
α . γ = parameter dari vektor kointegrasi
, = white noise disturbances
, , , , , = parameter dinamika jangka pendek
, = parameter untuk mengukur ratio penyesuaian harga
yang menyimpang dari keseimbangan hubungan kointegrasi jangka
panjang.
= RPt-1 - α - γPPt-1 merupakan hubungan keseimbangan jangka
panjang antara harga GKP dan harga beras konsumen.
Residual dari persamaan tersebut merepresentasikan deviasi dari
hubungan keseimbangan, atau disebut juga engan error correction
term (ECT).
4.3.5. Tes Asimetri
Apabila persamaan VECM di atas linear dan stasioner, maka seluruh
variabel pada persamaan di atas bersifat stasioner dan VECM
merupakan model yang valid untuk merepresentasikan hubungan
jangka panjang antar harga dan mengkoreksi deviasi dinamika jangka
pendek dari keseimbangan jangka panjang. Namun, apabila persamaan
jangka panjang tersebut menunjukkan pola yang tidak stasioner, maka
persamaan VECM di atas tidak valid untuk digunakan pada analisa
transmisi harga.
Persamaan VECM, dalam analisa transmisi harga, dikatakan linear
dalam 2 (dua) makna. Pertama, linear dalam arti seluruh parameter
dalam model diasumsikan konstan sepanjang periode sampling.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
78
Universitas Indonesia
Kedua, linear dalam arti variabel left-hand-side (LHS) bereaksi secara
linear terhadap perubahan variabel right-hand-side (RHS).
Untuk kasus transmisi harga vertikal, umumnya transmisi harga
menunjukkan pola yang berbeda (asimetris), tergantung apakah shock
yang terjadi berupa kenaikan harga atau penurunan harga. Hal ini
menunjukkan bahwa perubahan reaksi harga di LHS tidak linear
terhadap perubahan harga yang terjadi di RHS. Oleh karena itu perlu
menggunakan model VECM yang non-linear, yaitu Asymmetric Vector
Error Correction Model (AVECM). Namun, karena dalam penelitian
ini diasumsikan arah transmisi harga terjadi secara satu arah (dari hulu
ke hilir) maka model AVECM diubah menjadi model AECM.
Granger & Lee (1989) mengembangkan model error correction yang
standar menjadi model yang mampu melakukan penyesuaian asimetris
dengan cara memisahkan ECT ke dalam komponen positif (untuk ECT
yang berada di atas garis keseimbangan jangka panjang20) dan negatif
(untuk ECT yang berada di bawah garis keseimbangan jangka
panjang21). Model tersebut kemudian dikembangkan kembali oleh von
Cramon-Taubadel&Loy (1996) menjadi model yang lebih kompleks,
dengan turut memasukan variabel transmisi harga jangka pendek
dalam model. (Acquah & Onumah, 2010, hal. 61-62).
Terdapat 2 (dua) persamaan AECM yang akan digunakan dalam
penelitian ini, yaitu :
(4.12)
dan
20 ECT dikatakan berada di atas garis keseimbangan apabila perubahan penurunan harga di level petani tidak diikuti oleh perubahan (penurunan) harga di level konsumen. 21 ECT dikatakan berada di atas garis keseimbangan apabila perubahan kenaikan harga di level petani tidak diikuti oleh perubahan (kenaikan) harga di level konsumen.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
79
Universitas Indonesia
(4.13)
( = RPt-1 - α - γPPt-1) (4.14)
Untuk melihat dugaan asimetri dalam transmisi harga maka digunakan
Wald test, dengan membandingkan signifikansi antara koefisien positif
dengan koefisien negatif. Dugaan adanya penyalahgunaan market
power dapat dilihat dari koefisien jangka panjangnya ( dan
ataupun dan ). Apabila koefisien tersebut signifikan berbeda
artinya dalam jangka panjang terjadi transmisi harga yang tidak
simetris, antara shock positif dengan shock negatif, yang diakibatkan
adanya penyalahgunaan market power. Sementara koefisien , ,
, dan dapat menggambarkan pola transmisi harga jangka
pendek. Apabila ≠ dan ≠ , artinya terjadi transmisi
harga tidak simetris yang disebabkan oleh faktor adjustment cost
dan/atau return to scale.
Analisa asimetri yang dilakukan dalam penelitian ini terbagi atas 2
(dua) hal, yaitu analisa terhadap data dan analisa terhadap faktor
penyebab transmisi harga tidak simetris. Analisa terhadap faktor
penyebab dilakukan secara kualitatif dengan mengaitkan pada struktur
pasar dan perilaku pedagang perantara.
Tahapan analisa secara keseluruhan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
80
Universitas Indonesia
Gambar 4.1. Tahapan Analisa
4.4. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini, model yang digunakan untuk menjelaskan fenomena
transmisi harga tidak simetris antara level petani dengan level konsumen
adalah menggunakan model ECM. Meyer & von Cramon-Taubadel (2004)
serta Karantininis et al (2011) menyebutkan bahwa analisa transmisi harga
dengan konsep kointegrasi dan ECM pada dasarnya hanya mampu
menjelaskan fenomena transmisi harga tidak simetris dari sisi waktu,
sementara dalam hal besaran tidak dapat dijelaskan dalam model. Hal ini
Uji Unit Root (ADF test dan PP test)
Uji Kointegrasi Antara Data Harga (Johansen test)
Estimasi Model Simetris (ECM)
Uji Kausalitas
Estimasi autoregressive distribute lagged model (ARDL) (Granger causality test)
Kesimpulan: tidak ada integrasi (Granger causality test)
Estimasi Model Asimetris, dengan memisahkan perubahan harga
naik&turun serta nilai residual keseimbangan jangka panjang positif&negatif
Analisa Integrasi Pasar dan Transmisi Harga Keseluruhan
Unit root pada level yang berbeda
I(1) I(0)
Terkointegrasi
tidak
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
81
Universitas Indonesia
disebabkan konsep kointegrasi pada dasarnya melihat pola keseimbangan
jangka panjang. Apabila terjadi transmisi harga yang tidak simestris dari sisi
besaran maka kedua data time series akan saling menjauh dalam jangka
panjang, sehingga tidak akan menunjukkan pola yang terkointegrasi. Oleh
sebab itu, fenomena transmisi harga tidak simetris yang dibahas dalam
penelitian ini hanya terbatas pada fenomena asimetris dari sisi waktu
penyesuaian.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
82 Universitas Indonesia
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Analisa Data Deskriptif
Penelitian ini menggunakan data harga gabah kering panen (GKP) di level
petani dan data harga beras eceran di level konsumen. Seluruh data dalam
bentuk harga bulanan untuk periode Januari 2000 sampai Desember 2011,
yang diambil dari Badan Pusat Statistik (BPS). Data harga GKP digunakan
dengan pertimbangan bahwa sebagian besar (45%) produk yang dijual oleh
petani adalah dalam bentuk GKP. Sementara untuk harga beras eceran
digunakan data harga beras rata-rata seluruh Provinsi (harga beras umum),
tanpa memperhatikan jenis berasnya. Berikut adalah pergerakan harga GKP
dan harga beras eceran di Indonesia selama periode tahun 2000 – 2011.
Gambar 5.1. Pergerakan Harga GKP Petani dan Harga Beras Eceran Konsumen Periode 2000 - 2011
Sumber : BPS (2012), telah diolah kembali
Berdasarkan Gambar 5.1 di atas dapat dilihat bahwa harga GKP di level
petani dan harga beras eceran di level konsumen pada periode 2000 – 2004
relatif stabil, meskipun disparitas harganya cenderung besar. Sejak tahun
2005, harga GKP dan harga beras eceran mulai menunjukkan
kecenderungan terjadinya kenaikan harga. Namun fluktuasi harga pada
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
83
Universitas Indonesia
periode 2005 – 2011 relatif tinggi dan disparitas harga yang terjadi semakin
melebar. Sebagai perbandingan, pada periode 2000 – 2004 rata-rata
disparitas harga GKP dan harga beras eceran hanya sebesar Rp 1887,03.
Pada periode 2005 – 2011, rata-rata disparitas harga tersebut naik 104,82%
menjadi Rp 3864,99. Hal ini disebabkan oleh perubahan kebijakan impor
yang terjadi di tahun 2004.
Sejak diberlakukannya liberalisasi beras di tahun 1998, dimana bea masuk
beras dihapuskan (0%) dan importasi beras dapat dilakukan secara bebas
oleh importir swasta, petani dalam negeri tidak mampu bersaing terhadap
beras impor. Disparitas harga beras dalam negeri dan beras impor yang
cukup tinggi disinyalir menyebabkan pedagang lebih memilih untuk
memasarkan beras impor dibandingkan beras petani. Akibatnya, harga
gabah/beras di level petani relatif tertekan. Namun di sisi lain, pedagang
perantara (khususnya pedagang besar) yang dapat bertindak sebagai
importer justru mendapatkan posisi yang menguntungkan. Pedagang dapat
dengan mudah menetapkan harga jual beras yang tinggi, yang seolah-olah
mengikuti harga beras produksi dalam negeri, padahal harga belinya
mengikuti harga beras impor yang lebih rendah.. Dengan kata lain, kenaikan
harga di level konsumen pada tahun 1998 – 1999 tidak ditransmisikan
secara sempurna kepada level petani dan petani tidak mendapatkan
tambahan manfaat dari kenaikan harga beras dalam negeri.
Dengan memperhatikan kondisi tersebut, Pemerintah berinisiatif untuk
kembali menetapkan bea masuk beras di tahun 2000, yaitu sebesar Rp
430/kg (30% ad volarem). Tujuan utamanya adalah untuk melindungi petani
dalam negeri dari persaingan terhadap beras impor. Namun, akibat diparitas
harga beras dalam negeri dan beras impor yang terlalu besar pada periode
tersebut, justru mendorong importir/pedagang untuk melakukan
penyelundupan. Rendahnya harga beras impor menarik importir/pedagang
untuk tetap memasarkan beras impor, dan untuk mempertahankan margin
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
84
Universitas Indonesia
yang besar dari penjualan beras impor maka penyelundupan menjadi strategi
yang diambil pada importir/pedagang. Terbukti dari penelitian yang
dilakukan oleh Sawit (2005) ditemukan fakta bahwa selama tahun 2000 –
2003 lebih dari 50% beras yang masuk ke Indonesia merupakan beras ilegal.
Dengan demikian, kebijakan impor melalui penetapan bea masuk tidak
efektif meningkatkan harga beras di level petani.
Pada tahun 2004, Pemerintah mengeluarkan SK Menperindag No
9/MPP/Kep/1/2004 tentang Ketentuan Impor Beras yang diantaranya
mengatur mengenai waktu impor beras dan pihak yang dapat menjadi
importir beras. Dalam hal waktu impor beras, melalui peraturan tersebut
impor beras tidak boleh dilakukan selama 1 (satu) bulan sebelum panen
raya, saat panen raya, dan 2 (dua) bulan setelah panen raya. Adapun masa
panen raya akan ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Dalam hal importir
beras, Pemerintah menetapkan bahwa impor beras hanya boleh dilakukan
oleh importir yang telah mendapat pengakuan sebagai Importir Produsen
Beras (IP).
Gambar 5.1 memperlihatkan dengan jelas bahwa setelah di tahun 2005
mulai terjadi kenaikan harga GKP di level petani. Sehingga apabila dilihat
hanya dari sisi petani, kebijakan tersebut efektif meningkatkan harga beras
di level petani. Akan tetapi, kebijakan pengetatan impor tersebut nampaknya
memberikan efek negatif yang cukup besar terhadap konsumen. Berdasarkan
Gambar 5.1 kenaikan harga beras di level konsumen jauh lebih tinggi
dibandingkan kenaikan harga yang terjadi di level petani. Akibatnya,
disparitas harga GKP di level petani dan harga eceran beras di level
konsumen pun semakin melebar. Tingginya kenaikan harga di level
konsumen dapat disebabkan oleh 2 (dua) hal, yaitu (1) terdapat perbedaan
supply beras antar Propinsi di Indonesia pada masa panen raya; dan (2)
transmisi harga tidak sempurna yang dilakukan oleh pedagang perantara.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
85
Universitas Indonesia
Sebagaimana dipaparkan sebelumnya dalam Bab 3, produksi beras antar
Propinsi di Indonesia berbeda – beda. Data Ditjen PPHP menunjukkan
bahwa lebih dari 50% beras nasional diproduksi di Pulau Jawa, dan sebagian
besar (sebanyak 70%) produksi tersebut dipasarkan di dalam Pulau Jawa itu
sendiri. Hanya 25% yang dipasarkan ke pulau lain. Bagi propinsi yang
produksi berasnya sedikit dan tidak mendapatkan cukup pasokan dari Pulau
Jawa, maka keberadaan beras impor menjadi jalan keluar untuk memenuhi
kebutuhan pangan utama penduduknya. Sehingga meskipun memasuki
musim panen raya, supply beras (produksi sendiri dan pasokan beras dari
Jawa) di Propinsi “defisit” tersebut tidak sepenuhnya dapat memenuhi
seluruh konsumsinya. Sebagai contoh di Propinsi Riau, menurut Kepala
Badan Ketahanan Pangan Propinsi Riau dari total kebutuhan beras di
Propinsi tersebut hanya 39% yang berasal dari produksi dalam negeri.
Sementara sisanya harus didatangkan dari Thailand dan Vietnam22. Dengan
demikian kebijakan pembatasan impor akan mengancam ketahanan pangan
di Propinsi tersebut. Dalam kasus ini, kebijakan pembatasan impor justru
mengakibatkan kenaikan harga beras di level konsumen yang cukup besar
akibat terjadinya kelangkaan. Kondisi ini pula yang menyebabkan disparitas
harga GKP di level petani dengan harga beras di level konsumen semakin
melebar sejak tahun 2005.
Dalam kaitannya dengan transmisi harga asimetris yang dilakukan pedagang
perantara, kebijakan pembatasan impor semakin memperkuat posisi tawar
pedagang perantara. Dengan dibatasinya jumlah beras impor ke Indonesia,
pedagang dapat dengan mudah menetapkan harga eceran beras tanpa perlu
memperhatikan tekanan harga beras impor yang umumnya lebih rendah.
Secara lebih detil, fenomena transmisi harga asimetris akibat posisi tawar
pedagang perantara akan dibahas dalam sub bab selanjutnya.
22 Kompas Online, www.kompas.com, “Beras Impor 90.000 ton gagal masuk Riau”, 21 Januari 2004
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
86
Universitas Indonesia
5.2. Analisa Time Series
5.2.1. Uji Stasioner
Untuk menganalisa pergerakan data time series dan melihat
hubungan antara variabel, maka perlu dilakukan pengujian
stasioneritas data series tersebut. Pengujian ini dilakukan untuk
melihat konsistensi pergerakan data time series serta mencegah
terjadinya spurious regression, yaitu kondisi dimana sebuah regresi
terhadap satu variabel terhadap variabel lainnya menghasilkan nilai
R2 yang tinggi namun sebenarnya tidak ada hubungan yang berarti
secara teori ekonomi. Hal ini sering terjadi pada saat kedua data time
series menunjukan karakteristik tren yang kuat dalam runtun waktu.
Untuk mengetahui pada kondisi mana data dapat menjadi stasioner,
maka data diuji dalam beberapa kondisi. Jika series data bersifat
stasioner tanpa melakukan differencing, maka dikatakan sebagai
kondisi I(0)/level. Apabila series data bersifat stasioner pada turunan
pertama I(1), maka dikatakan sebagai kondisi (first differences) atau
integrasi dari order 1. Secara umum, apabila data time series harus
diturunkan sebanyak “d” kali agar stasioner, maka data tersebut
dapat dinotasikan dalam bentuk I(d) atau terintegrasi dari orde “d”.
Dalam penelitian ini, pengujian stasioneritas dilakukan dengan tes
Augmented Dickey Fuller (ADF) dan tes Philips Perron (PP) pada
kondisi level, dengan spesifikasi trend dan intercept. Apabila data
tidak stasioner pada level, maka pengujian akan dilanjutkan pada
kondisi first difference. Berikut adalah hasil pengujian stasioner data
harga GKP petani pada kondisi level dengan menggunakan ADF test
dan PP test.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
87
Universitas Indonesia
Tabel 5.1. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada level dengan ADF Test
Null Hypothesis: GKPPT has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -2.546410 0.3057
Test critical values: 1% level -4.023506 5% level -3.441552 10% level -3.145341 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Tabel 5.2. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada level dengan PP Test
Null Hypothesis: GKPPT has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Bandwidth: 7 (Newey-West using Bartlett kernel)
Adj. t-Stat Prob.* Phillips-Perron test statistic -2.060343 0.5630
Test critical values: 1% level -4.023506 5% level -3.441552 10% level -3.145341 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Dari tabel 5.1 dan 5.2 di atas dapat dilihat bahwa hipotesis nol yang
menyatakan terdapat unit root diterima. Dengan demikian harga
GKP Petani pada kondisi level bersifat tidak stasioner. Selanjutnya
dilakukan pengujian pada kondisi first difference terhadap data harga
GKP.
Pada kondisi first difference, baik dengan menggunakan ADF test
maupun PP test hasilnya menunjukkan tidak dapat menerima
hipotesis nol (Tabel 5.3 dan Tabel 5.4). Dengan demikian, pada first
difference tidak terdapat unit root dan data GKP Petani bersifat
stasioner.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
88
Universitas Indonesia
Tabel 5.3. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada first difference dengan ADF Test
Null Hypothesis: D(GKPPT) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -10.80162 0.0000
Test critical values: 1% level -3.477144 5% level -2.881978 10% level -2.577747 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Tabel 5.4. Uji Stasioneritas Data Harga GKP Petani pada first difference dengan PP Test
Null Hypothesis: D(GKPPT) has a unit root Exogenous: Constant Bandwidth: 16 (Newey-West using Bartlett kernel)
Adj. t-Stat Prob.* Phillips-Perron test statistic -12.39947 0.0000
Test critical values: 1% level -3.476805 5% level -2.881830 10% level -2.577668 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Pengujian yang sama dilakukan terhadap data harga beras konsumen.
Hasilnya menunjukkan bahwa harga beras konsumen pada kondisi
level tidak stasioner.
Tabel 5.5. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada level dengan ADF Test
Null Hypothesis: KONS has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -0.859719 0.9566
Test critical values: 1% level -4.024452 5% level -3.442006 10% level -3.145608 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
89
Universitas Indonesia
Tabel 5.6. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada level dengan PP Test
Null Hypothesis: KONS has a unit root Exogenous: Constant, Linear Trend Bandwidth: 12 (Newey-West using Bartlett kernel)
Adj. t-Stat Prob.* Phillips-Perron test statistic -0.825631 0.9601
Test critical values: 1% level -4.023506 5% level -3.441552 10% level -3.145341 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Selanjutnya dilakukan pengujian stasioneritas pada kondisi first
difference dan diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 5.7. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada first difference dengan ADF Test
Null Hypothesis: D(KONS) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=13)
t-Statistic Prob.* Augmented Dickey-Fuller test statistic -9.166831 0.0000
Test critical values: 1% level -3.477144 5% level -2.881978 10% level -2.577747 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Tabel 5.8. Uji Stasioneritas Data Harga Beras Konsumen pada first difference dengan PP Test
Null Hypothesis: D(KONS) has a unit root Exogenous: Constant Bandwidth: 27 (Newey-West using Bartlett kernel)
Adj. t-Stat Prob.* Phillips-Perron test statistic -6.790402 0.0000
Test critical values: 1% level -3.476805 5% level -2.881830 10% level -2.577668 *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
90
Universitas Indonesia
Dari tabel 5.7 dan 5.8 di atas terlihat bahwa hipotesis nol tidak dapat
diterima, artinya data harga beras konsumen pada kondisi first
difference tidak memiliki unit root atau stasioner. Dengan demikian,
baik harga GKP petani maupun harga beras konsumen sama-sama
stasioner pada kondisi first difference, atau dapat dinotasikan dengan
I(1).
5.2.2. Uji Kointegrasi
Pengujian kointegrasi merupakan salah satu prasyarat dalam analisa
transmisi harga dengan menggunakan metode (V)ECM. Pada
metode tersebut, data time series yang tidak stasioner pada level
dapat tetap digunakan sepanjang data tersebut memiliki hubungan
keseimbangan jangka panjang (terkointegrasi). Oleh sebab itu
pengujian kointegrasi terhadap data harga GKP petani dan harga
beras konsumen mutlak dilakukan dalam penelitian ini.
Sebagaimana disebutkan dalam Bab IV, pengujian kointegrasi dalam
peneltian ini menggunakan Johansen test, dengan membandingkan
nilai trace statistic (TS) dan maximal eigenvalue (ME) terhadap nilai
t-statistik. Apabila nilai TS dan ME melebihi nilai t-statistik, maka
hipotesis nol ditolak dan artinya kedua variabel saling terkointegrasi.
Hasil pengujian kointegrasi terhadap kedua data tersebut ditampilkan
pada Tabel 5.9.
Dari Tabel 5.9 dapat dilihat bahwa baik nilai TS maupun ME
signifikan lebih tinggi dibandingkan nilai t-statistik 5%. Hal ini
menunjukkan bahwa data harga GKP petani dengan data harga beras
konsumen terkointegrasi. Artinya, kedua series data tersebut
memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang. Dengan demikian
analisa transmisi harga dapat dilanjutkan ke tahap pengujian
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
91
Universitas Indonesia
selanjutnya, yaitu pengujian model asimetris dengan menggunakan
ECM.
Tabel 5.9. Hasil Uji Kointegrasi pada Data Harga GKP Petani dan Harga Beras Konsumen
Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized Trace 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.** None * 0.093574 17.90655 15.49471 0.0212
At most 1 * 0.029222 4.152070 3.841466 0.0416 Trace test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized Max-Eigen 0.05
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical Value Prob.** None 0.093574 13.75448 14.26460 0.0601
At most 1 * 0.029222 4.152070 3.841466 0.0416 Max-eigenvalue test indicates no cointegration at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values
5.3. Estimasi Model Asimetris
5.3.1. Uji Kausalitas
Pengujian kausalitas dilakukan untuk memastikan arah transmisi
harga. Dalam kasus vertikal, shock harga yang disebabkan oleh
perubahan permintaan (transmisi harga dari hilir ke hulu) akan
memberikan efek transmisi harga yang berbeda dengan shock akibat
perubahan penawaran. Dalam penelitian pengujian kausalitas
dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu (1) melalui pengujian secara
statistik dengan menggunakan metode Granger test, dan (2) melalui
penilaian secara deskriptif dengan memperhatikan karakteristik
industri beras.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
92
Universitas Indonesia
Apabila hasil pengujian dengan menggunakan metode Granger test
menunjukkan bahwa hubungan kausalitas terjadi dua arah (harga
GKP petani mempengaruhi harga beras konsumen, dan sebaliknya),
maka arah transmisi yang diuji pada tahap pengujian asimetri
diasumsikan hanya satu arah yaitu harga GKP petani mempengaruhi
harga beras konsumen. Asumsi ini digunakan dengan melihat
karakteristik perdagangan beras, dimana perubahan harga beras lebih
banyak dipengaruhi oleh perubahan supply daripada perubahan
demand (Prastowo et al., 2008). Berikut adalah hasil pengujian
kausalitas secara statistik dengan menggunakan Granger test.
Tabel 5.10. Hasil Uji Kausalitas dengan Metode Granger Test Null Hypothesis: Obs F-Statistic Prob. KONS does not Granger Cause GKPPT 141 10.3809 3.E-06
GKPPT does not Granger Cause KONS 2.35657 0.0747
Dari Tabel 5.10 dapat dilihat bahwa hipotesis nol harga beras
konsumen tidak mempengaruhi harga GKP petani ditolak. Begitu
pula halnya dengan hipotesis nol harga GKP tidak mempengaruhi
harga beras konsumen. Dengan demikian, hubungan kausalitas
antara harga GKP petani dengan harga beras konsumen terjadi dua
arah.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, apabila hubungan
kausalitas secara statistik terjadi dua arah, maka pengujian transmisi
harga asimetris pada tahap berikutnya dilakukan secara satu arah,
yaitu harga GKP petani mempengaruhi harga beras konsumen.
Asumsi ini digunakan dengan memperhatikan penelitian Prastowo et
al. (2008), yang menyebutkan bahwa harga beras akan stabil kecuali
terjadi gangguan dari sisi penawaran (supply shock) seperti gagal
panen, gangguan distribusi, dan kebijakan impor beras. Menurutnya,
sisi permintaan komoditas pertanian, khususnya komoditas pangan
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
93
Universitas Indonesia
pokok seperti beras, cenderung stabil. Meskipun tekanan dari sisi
permintaan dapat terjadi, namun derajatnya relatif rendah. Tekanan
dari sisi permintaan hanya bersumber dari peningkatan jumlah
penduduk dan pendapatan. Kedua faktor tersebut sifatnya lebih
mudah ditekan, dibandingkan faktor cuaca dan musim yang
mempengaruhi sisi penawaran.
5.3.2. Uji Model Simetris
Sebelum masuk ke tahap pengujian asimetris dilakukan pengujian
model simetris terlebih dahulu, guna memastikan signifikansi dari
setiap variabel yang digunakan dalam model. Variabel-variabel yang
akan digunakan dalam estimasi model simetris harga beras
konsumen antara lain : (1) harga GKP petani periode t dan periode t-
1; (2) harga konsumen periode t-1; dan (3) error correction term
(ECT) periode t-1. Berikut adalah hasil estimasi model simetris untuk
harga beras konsumen periode t.
Tabel 5.11. Hasil Estimasi Model Simetris
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 21.66615 8.571696 2.527639 0.0126
DGKP 0.714634 0.065220 10.95724 0.0000 DGKP1 0.138985 0.084565 1.643527 0.1026
DKONS1 0.249729 0.068340 3.654245 0.0004 V(-1) -0.114134 0.031685 -3.602110 0.0004
R-squared 0.594690 Mean independent var 52.74648
Adjusted R-squared 0.582856 S.D. independent var 146.7760 S.E. of regression 94.79769 Akaike info criterion 11.97594 Sum squared resid 1231164. Schwarz criterion 12.08002 Log likelihood -845.2920 Hannan-Quinn criter. 12.01824 F-statistic 50.25327 Durbin-Watson stat 1.922298 Prob(F-statistic) 0.000000
Berdasarkan hasil estimasi di atas dapat dilihat bahwa variabel harga
GKP petani periode t, variabel harga beras konsumen periode t-1,
dan variabel ECT periode t-1 secara bersama-sama signifikan
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
94
Universitas Indonesia
mempengaruhi harga beras konsumen periode t. Sementara variabel
harga GKP petani periode t-1 tidak signifikan mempengaruhi harga
beras konsumen periode t. Dari nilai adjusted R-squared, dapat
disimpulkan bahwa model ini dapat menjelaskan 59,46% variasi dari
variabel independent.
Baik harga GKP petani periode t maupun harga konsumen periode t-
1, keduanya memiliki pengaruh positif terhadap harga beras
konsumen periode t. Untuk variabel harga GKP petani, setiap terjadi
kenaikan 1 satuan harga GKP petani pada periode t akan
mengakibatkan kenaikan harga eceran beras konsumen periode t
sebesar 0,71 satuan. Untuk variabel harga konsumen, kenaikan harga
beras konsumen pada periode t-1 sebesar 1 satuan akan menyebabkan
kenaikan 0,24 satuan harga beras konsumen periode t.
Variabel ECT yang signifikan memiliki pengertian bahwa
ketidakseimbangan (penyimpangan) antara pergerakan harga GKP
dan pergerakan harga beras konsumen dari hubungan keseimbangan
jangka panjangnya signifikan mempengaruhi model. Dengan kata
lain, meskipun harga GKP petani terkointegrasi dengan harga beras
di level konsumen, namun pola pergerakan keduanya tidak
selamanya sama23.
Nilai koefisien ECT yang negatif artinya bahwa pengaruhnya
terhadap harga beras konsumen adalah negatif. Hasil ini sesuai
dengan teori kointegrasi, dimana pada saat series harga
terkointegrasi maka koefisien keseimbangan jangka panjangnya
bernilai negatif. Artinya, apabila terjadi penyimpangan harga pada
jangka pendek maka penyimpangan tersebut akan kembali terkoreksi
23 Kenaikan harga GKP di level petani selalu diikuti dengan kenaikan harga beras di level konsumen, dan penurunan harga GKP di level petani selalu diikuti dengan penurunan harga beras di level konsumen.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
95
Universitas Indonesia
ke garis keseimbangan jangka panjangnya. Nilai koefisien ECT
sebesar 0.114134 menunjukkan bahwa saat terjadi penyimpangan
harga jangka pendek, maka penyimpangan tersebut baru akan
kembali ke garis keseimbangan jangka panjang dengan sempurna
setelah 8 bulan.
5.3.3. Uji Model Asimetris
Pengujian asimetris dilakukan untuk melihat apakah transmisi harga
GKP petani terhadap harga beras konsumen terjadi secara sempurna.
Terdapat 2 (dua) model asimetris ECM (AECM) yang akan
diestimasi dalam penelitian ini. Pertama, estimasi model asimetris
dengan menggunakan metode Granger – Lee, yang merupakan
model asimetris dinamis24 sederhana. Pada model ini, kondisi
asimetris hanya akan dilihat melalui koefisien dan .
Apabila kedua koefisien tersebut identik maka transmisi harga terjadi
secara simetris.
ECT pada dasarnya menggambarkan kondisi saat pergerakan harga di
salah satu level (GKP petani atau beras konsumen) tidak sesuai
dengan kondisi keseimbangannya. Pergerakan harga dikatakan
berada pada garis keseimbangan apabila kenaikan harga GKP di
level petani diikuti dengan kenaikan harga di level konsumen, dan
penurunan harga GKP di level petani diikuti dengan penurunan harga
beras di level konsumen. menggambarkan kondisi
penyimpangan harga saat berada di atas garis keseimbangan jangka
panjang, yaitu pada saat penurunan harga GKP petani tidak diikuti
dengan penurunan harga beras di level konsumen. Sebaliknya,
24 Dikatakan model dinamis karena ECM tidak hanya melihat proses transmisi harga jangka pendek (hanya melihat efek perubahan harga antara shock kenaikan harga dengan shock penurunan harga) tetapi juga mempertimbangkan proses penyesuaian harga terhadap keseimbangan jangka panjangnya.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
96
Universitas Indonesia
menggambarkan kondisi penyimpangan harga saat berada di bawah
garis keseimbangan jangka panjang, dimana kenaikan harga GKP di
level petani tidak diikuti oleh kenaikan harga beras di level
konsumen. Berikut adalah hasil estimasi model AECM Granger –
Lee.
Tabel 5.12. Hasil Estimasi Model Asimetris Sederhana dengan Metode Granger-Lee
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -12.91937 12.42451 -1.039830 0.3003
DGKP 0.731472 0.062552 11.69381 0.0000 DGKP1 0.145235 0.080909 1.795045 0.0749
DKONS1 0.235152 0.065489 3.590721 0.0005 VPOS(-1) 0.026634 0.048602 0.547993 0.5846 VNEG(-1) -0.262690 0.050263 -5.226346 0.0000
R-squared 0.631849 Mean independent var 52.74648
Adjusted R-squared 0.618314 S.D. independent var 146.7760 S.E. of regression 90.67929 Akaike info criterion 11.89387 Sum squared resid 1118292. Schwarz criterion 12.01876 Log likelihood -838.4648 Hannan-Quinn criter. 11.94462 F-statistic 46.68271 Durbin-Watson stat 1.970050 Prob(F-statistic) 0.000000
Dari hasil estimasi model asimetris sederhana yang ditampilkan pada
Tabel 5.12 di atas dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan koefisien
antara dengan , dimana koefisien bernilai positif
dan bernilai negatif. Koefisien yang bernilai positif
(0,026634) menunjukkan bahwa penyimpangan harga di jangka
pendek tidak akan terkoreksi kembali ke garis keseimbangan jangka
panjangnya. Dengan kata lain, pada saat penyimpangan berada di
atas garis keseimbangan (saat penurunan harga GKP di level petani
tidak diikuti dengan penurunan harga beras di level konsumen) maka
penyimpangan tersebut tidak akan kembali ke garis
keseimbangannya (harga beras di level konsumen tidak akan
menyesuaikan turun).
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
97
Universitas Indonesia
Sementara koefisien yang bernilai negatif (-0,262690)
menunjukkan bahwa penyimpangan yang terjadi saat berada di
bawah garis keseimbangan (saat kenaikan harga GKP di level petani
tidak diikuti dengan kenaikan harga beras di level konsumen) pada
suatu periode pasti akan kembali ke garis keseimbangannya (harga
beras di level konsumen pasti akan ikut menyesuaikan naik).
Lamanya waktu penyesuaian dapat dilihat dari nilai koefisien. Dari
nilai koefisien sebesar 0,262690 dapat disimpulkan bahwa
waktu yang dibutuhkan untuk kembali ke garis keseimbangan, saat
kenaikan harga GKP di level petani tidak diikuti oleh kenaikan harga
di level konsumen adalah kurang lebih 3 bulan. Dengan kata lain,
terjadi penyimpangan akibat kenaikan harga GKP di level petani,
harga beras di level konsumen akan menyesuaikan naik 3 bulan
berikutnya.
Secara deskriptif, dengan melihat nilai koefisien dan signifikansi
variabel dan , sebenarnya sudah dapat dilihat bahwa
transmisi harga GKP petani terhadap harga beras konsumen terjadi
secara asimetris. Dimana penyimpangan yang disebabkan kenaikan
harga GKP di level petani ( ) akan lebih cepat dikoreksi
dibandingkan dengan penyimpangan akibat penurunan harga GKP di
level petani. Bahkan saat penyimpangan harga berada di atas
keseimbangan (penyimpangan akibat penurunan harga GKP di level
petani), penyesuaian/koreksi menuju garis keseimbangan justru tidak
akan pernah terjadi. Artinya, transmisi harga GKP petani terhadap
harga beras konsumen antara penurunan dan kenaikan harga bersifat
asimetri.
Untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih meyakinkan maka
dilakukan pengujian keidentikan koefisien dengan menggunakan
Wald Test, dengan hasil sebagai berikut:
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
98
Universitas Indonesia
Tabel 5.13. Hasil Pengujian Koefisien Model Asimetris Sederhana
Test Statistic Value df Probability
F-statistic 13.72690 (1, 136) 0.0003
Chi-square 13.72690 1 0.0002
Null Hypothesis Summary: Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err. C(5) - C(6) 0.289324 0.078091 Restrictions are linear in coefficients.
Dari hasil pengujian koefisien dengan Wald test tersebut dapat dilihat
bahwa keofisien dan tidak edentik secara statistik.
Dengan kata lain, transmisi harga GKP petani terhadap harga beras
konsumen terjadi secara asimetris.
Model dinamis kedua menggunakan metode yang dikembangkan
Von Cramon-Taubadel dan Loy, dimana transmisi harga tidak
simetris dipisahkan antara transmisi jangka pendek dengan transmisi
jangka panjang. Pada model ini pengujian kondisi asimetris tidak
hanya dilakukan terhadap koefisien dan , melainkan
juga pada terhadap shock positif dan shock negatif. Shock positif
merupakan kondisi pada saat variabel independent mengalami
perubahan kenaikan harga (dalam model dinotasikan dengan variabel
harga GKP petani periode t naik/GKPplus, harga GKP petani periode
t-1 naik/GKP1plus, dan harga konsumen periode t-1
naik/KONS1plus). Sementara shock negatif merupakan kondisi saat
terjadi penurunan harga variabel independent (dinotasikan dengan
variabel GKPmin, GKP1min, dan KONS1min). Berikut adalah hasil
estimasi model asimetris dengan metode Von Cramon-Taubadel dan
Loy.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
99
Universitas Indonesia
Tabel 5.14. Hasil Estimasi Model Asimetris Kompleks dengan Metode Von Cramon-Taubadel dan Loy
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C -14.00742 13.08139 -1.070790 0.2862
DGKPPLUS 0.781788 0.119026 6.568208 0.0000 DGKPMIN 0.675074 0.107597 6.274119 0.0000
DGKP1PLUS 0.099051 0.149631 0.661970 0.5091 DGKP1MIN 0.183061 0.120486 1.519353 0.1310
DKONS1PLUS 0.245930 0.082516 2.980407 0.0034 DKONS1MIN 0.178335 0.190277 0.937235 0.3503
VPOS(-1) 0.018979 0.060681 0.312764 0.7550 VNEG(-1) -0.255038 0.057098 -4.466669 0.0000
R-squared 0.633143 Mean independent var 52.74648
Adjusted R-squared 0.611077 S.D. independent var 146.7760 S.E. of regression 91.53496 Akaike info criterion 11.93260 Sum squared resid 1114360. Schwarz criterion 12.11994 Log likelihood -838.2147 Hannan-Quinn criter. 12.00873 F-statistic 28.69240 Durbin-Watson stat 1.972477 Prob(F-statistic) 0.000000
Berdasarkan hasil estimasi model di atas dapat dilihat bahwa untuk
transmisi harga jangka pendek, secara deskriptif terjadi perbedaan
respon harga beras konsumen terhadap shock positif dan shock
negatif pada setiap variabel independent-nya. Untuk variabel harga
GKP petani periode t, dengan melihat nilai koefisien GKPplus dan
GKPmin, menunjukkan bahwa perubahan kenaikan harga
ditransmisikan secara berbeda dengan perubahan penurunan harga.
Untuk variabel GKP petani periode t-1, baik perubahan kenaikan
harga maupun penurunan harga menunjukkan nilai yang tidak
signifikan. Artinya, harga GKP di tingkat petani pada 1 periode
sebelumnya tidak akan berpengaruh terhadap harga beras di level
konsumen. Implikasi dari hasil ini adalah apabila Pemerintah akan
melakukan intervensi harga beras di level konsumen melalui
kebijakan HPP, maka intervensi tersebut harus dilakukan pada
periode (bulan) yang sama.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
100
Universitas Indonesia
Untuk variabel harga konsumen periode t-1, perubahan penurunan
harga menujukkan nilai yang tidak signifikan sedangkan perubahan
kenaikan harganya signifikan. Artinya, hanya kenaikan harga beras
konsumen periode t-1 yang mempengaruhi harga beras konsumen
periode t, sementara saat penurunan harga beras konsumen periode t-
1 tidak akan berpengaruh terhadap harga beras konsumen periode t.
Hal ini kemungkinan terjadi karena beras yang dijual pedagang
perantara masih merupakan stok lama, dimana pedagang perantara
membelinya pada harga yang masih tinggi. Sehingga pada saat
terjadi penurunan harga, pedagang perantara akan terlebih dahulu
melihat biaya penyimpanannya.
Guna memastikan apakah perbedaan koefisien variabel GKPplus,
GKP1plus, dan KONS1plus dengan koefisien variabel GKPmin,
GKP1min, dan KONS1min signifikan maka dilakukan pengujian
dengan menggunakan Wald test. Hasil pengujian ini kemudian akan
menjadi ukuran keidentikan antara koefisien shock positif dan shock
negatif jangka pendek dari model asimetris dinamis. Berikut adalah
hasil pengujian koefisien model asimetris dinamis jangka pendek.
Tabel 5.15. Hasil Pengujian Koefisien Variabel Harga GKP Petani Periode t pada Model Asimetris Kompleks
Test Statistic Value df Probability F-statistic 0.344854 (1, 133) 0.5580
Chi-square 0.344854 1 0.5570
Null Hypothesis Summary: Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err. C(2) - C(3) 0.106714 0.181720 Restrictions are linear in coefficients.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
101
Universitas Indonesia
Tabel 5.16. Hasil Pengujian Koefisien Variabel Harga GKP Petani Periode t-1 pada Model Asimetris Kompleks
Test Statistic Value df Probability F-statistic 0.158009 (1, 133) 0.6916
Chi-square 0.158009 1 0.6910
Null Hypothesis Summary: Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err. C(4) - C(5) -0.084010 0.211344 Restrictions are linear in coefficients.
Tabel 5.17. Hasil Pengujian Koefisien Variabel Harga Beras Konsumen Periode t-1 pada Model Asimetris Kompleks
Test Statistic Value df Probability F-statistic 0.095240 (1, 133) 0.7581
Chi-square 0.095240 1 0.7576
Null Hypothesis Summary: Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err. C(6) - C(7) 0.067596 0.219032 Restrictions are linear in coefficients.
Berdasarkan Tabel 5.15, Tabel 5.16, dan Tabel 5.17. dapat dilihat
bahwa dari hasil pengujian keofisien dengan Wald test menunjukkan
bahwa shock positif dan shock negatif untuk seluruh variabel
independent tidak signifikan. Artinya, meskipun secara deskriptif
hasil estimasi model asimetri menunjukkan adanya respon yang
berbeda antara shock positif dan shock negatif, namun secara statistik
perbedaan respon tersebut menunjukkan tidak signifikan. Dengan
demikian, transmisi harga dalam jangka pendek bersifat simetris.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
102
Universitas Indonesia
Dalam model dinamis kompleks juga tetap dilakukan pengujian
terhadap proses transmisi harga jangka panjang, dengan
membandingkan nilai keofisien dan . Dari Tabel 5.14,
pada dasarnya variabel menunjukkan nilai yang tidak
signifikan. Artinya, saat penyimpangan harga berada di atas garis
keseimbangan (saat penurunan harga GKP petani tidak diikuti
dengan penurunan harga beras konsumen) maka penyimpangan
tersebut tidak akan mempengaruhi harga beras di level konsumen.
Dengan kata lain, harga beras di level konsumen tidak akan pernah
turun menyesuaikan penurunan harga GKP yang terjadi di level
petani. Sementara nilai koefisien sebesar -0,255038 dapat
diartikan bahwa penyimpangan yang disebabkan kenaikan harga
GKP petani akan terjadi dalam periode 3 bulan selanjutnya. Dengan
kata lain, apabila terjadi penyimpangan (kenaikan harga GKP petani
tidak menyebabkan kenaikan harga beras konsumen), maka setelah 3
bulan terjadi kenaikan harga GKP petani maka harga beras di level
konsumen pun akan ikut mengalami kenaikan. Hasil ini konsisten
dengan hasil estimasi model asimetri sederhana. Berikut adalah hasil
pengujian koefisien transmisi harga jangka panjang menggunakan
Wald test.
Tabel 5.18. Hasil Pengujian Koefisien Transmisi Harga Jangka Panjang pada Model Asimetris Kompleks
Test Statistic Value df Probability F-statistic 7.508488 (1, 133) 0.0070
Chi-square 7.508488 1 0.0061
Null Hypothesis Summary: Normalized Restriction (= 0) Value Std. Err. C(8) - C(9) 0.274016 0.100000 Restrictions are linear in coefficients.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
103
Universitas Indonesia
Berdasarkan hasil pengujian keofisien pada Tabel 5.18 di atas dapat
dilihat bahwa keofisien 25 dan 26 tidak identik secara
statistik. Artinya transmisi harga GKP petani terhadap harga beras
konsumen dalam jangka panjang terjadi secara asimetris.
Secara keseluruhan, dari hasil pengujian koefisien dengan
menggunakan Wald test pada model asimetris kompleks
menunjukkan bahwa untuk koefisien transmisi harga jangka pendek
fenomena transmisi harga tidak simetris ditolak. Sementara untuk
jangka panjang, koefisien transmisinya menunjukkan asimetris. Hal
ini menunjukkan bahwa proses transmisi harga GKP petani terhadap
harga beras konsumen tidak simetris terjadi dalam jangka panjang,
sementara dalam jangka pendek bersifat simetris. Dengan demikian,
faktor penyebab transmisi harga tidak simetris pada harga GKP
petani terhadap harga beras konsumen merupakan faktor jangka
panjang, seperti adanya penyalahgunaan market power yang
dilakukan pedagang perantara.
Fenomena transmisi harga asimetri jangka panjang dapat pula
dijelaskan dengan melihat kondisi supply-demand yang terjadi di
pasar GKP level petani dengan pasar beras level konsumen.
Gambaran kondisi supply-demand saat terjadi transmisi harga yang
tidak simetris dalam jangka panjang ditampilkan pada Gambar 5.2.
Fenomena penurunan harga GKP di level petani umumnya terjadi
pada saat masa panen raya27, dimana jumlah supply GKP di pasar
petani dan jumlah supply beras di pasar konsumen meningkat. Pada
25 Penyimpangan yang terjadi akibat penurunan harga GKP petani, dimana penurunan harga GKP petani tidak diikuti dengan penurunan harga beras konsumen. 26 Penyimpangan yang terjadi akibat kenaikan harga GKP petani, dimana kenaikan harga GKP petani tidak diikuti dengan kenaikan harga beras konsumen. 27 Untuk memudahkan ilustrasi, fenomena penyimpangan dianalogikan terjadi pada saat
panen raya, dimana supply GKP di pasar petani meningkat sehingga harga GKP turun.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
104
Universitas Indonesia
Gambar 5.2, kurva (a) menunjukkan kondisi supply-demand pada
pasar GKP di level petani sementara kurva (b) menunjukkan kondisi
supply-demand pada pasar beras di level konsumen. Pada pasar GKP
petani, panen raya menyebabkan terjadinya pergeseran kurva supply
ke arah kanan. Sehingga terjadi keseimbangan baru, dimana harga
GKP petani menurun dari P0 ke P1 dan jumlah GKP di pasar
meningkat dari Q0 ke Q1.
Gambar 5.2. Kondisi Supply-Demand saat
Pada saat terjadi penyimpangan , penurunan harga GKP di
level petani tidak diikuti dengan penurunan harga beras di level
konsumen. Sehingga pada pasar beras konsumen (kurva (b)), harga
beras tetap berada di level P0. Beras di level konsumen dapat tetap
berada pada tingkat harga P0 kemungkinan disebabkan adanya
penahanan jumlah supply beras yang dilakukan pedagang perantara.
Masa simpan beras yang cukup lama (kurang lebih 3 bulan28) dan
didukung dengan fasilitas penyimpanan yang dimiliki oleh pedagang
perantara, memungkinkan pedagang perantara untuk mengendalikan
jumlah supply beras di pasaran. Supply beras yang disimpan tersebut
28 Hasil wawancara dengan pedagang beras di Pasar Induk Cipinang
D
S0
S1
Q0
P0
P1
Q1
D
S0
S1
Q0
P0
P1
Q1
(a) (b)
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
105
Universitas Indonesia
akan sedikit demi sedikit dilepas ke pasar pada saat harga beras di
pasar sudah mulai naik.
Pada saat terjadi penyimpangan keseimbangan jangka panjang akibat
kenaikan harga GKP petani ( ), hasil estimasi model asimetri
sederhana maupun kompleks menunjukan bahwa penyimpangan
tersebut dalam jangka panjang akan kembali ke garis
keseimbangannya. Dengan kata lain, kenaikan harga GKP petani
dalam jangka panjang akan diikuti dengan kenaikan harga beras di
level konsumen, meskipun terdapat lag waktu selama 3 periode.
Hasil ini pada dasarnya sesuai dengan masa penyimpanan beras yang
hanya akan tahan selama 3 bulan. Untuk lebih jelasnya berikut
adalah ilustrasi kondisi supply-demand pada saat terjadi
penyimpangan .
Gambar 5.3. Kondisi Supply-Demand saat
Pada saat musim tanam atau musim paceklik, supply GKP di pasar
petani mengalami penurunan sehingga terjadi pergeseran kurva
supply ke arah kanan (Gambar 5.3 (a)). Akibatnya harga GKP di
level petani mengalami kenaikan dari P0 ke P1.
(a) (b)
D
S0 S1
Q0
P0
P1
Q1
D
S0 S1
Q0
P0
P3
Q3
S2 S3
P1 P2
Q1 Q2
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
106
Universitas Indonesia
Penyimpangan terjadi pada saat kenaikan harga GKP petani
tidak langsung disertai dengan kenaikan harga beras di level
konsumen. Berbeda dengan penyimpangan yang tidak akan
kembali ke garis keseimbangan, dari hasil estimasi model asimetri
diketahui bahwa penyimpangan akan kembali ke garis
keseimbangan dengan lag waktu penyesuaian selama 3 bulan.
Dengan demikian, meskipun terjadi penyimpangan namun kenaikan
harga GKP petani pasti akan disertai dengan kenaikan harga beras di
level konsumen pada 3 bulan berikutnya.
Apabila dikaitkan dengan kondisi perdagangan beras di Indonesia,
penundaan penyesuaian kenaikan GKP di pasar petani dapat
dikaitkan dengan persediaan beras di pedagang perantara.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pada saat panen raya
pedagang perantara melakukan penyimpanan beras sehingga harga
beras di level konsumen tidak ikut turun (sebagaimana yang terjadi
di pasar GKP petani). Beras tersebut kemudian akan dilepas di pasar
beras konsumen sedikit demi sedikit pada masa tanam atau masa
paceklik. Sehingga pada saat harga GKP di level petani mengalami
kenaikan di musim tanam dari P0 ke P1 (Gambar 5.4 (a)),
penyesuaian harga beras di level konsumen tidak akan terjadi secara
sekaligus dalam periode yang sama. Harga beras di pasar konsumen
baru akan mengalami penyesuaian yang sempurna29 setelah 3 bulan
berikutnya, seiring dengan habisnya persediaan beras di gudang
pedagang perantara (Gambar 5.4 (b)).
29 Dalam Gambar 5.4 (b), penyesuaian harga beras di pasar konsumen sempurna saat terjadi kenaikan harga dari P0 ke P3.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
107
Universitas Indonesia
5.4. Analisa Faktor Penyebab Transmisi Harga Asimetris
5.4.1. Biaya Penyesuaian
Yang dimaksud dengan biaya penyesuaian (adjustment cost dan
menu cost) adalah sejumlah tambahan biaya yang harus dikeluarkan
oleh pelaku usaha untuk melakukan penyesuaian harga akibat terjadi
perubahan biaya. Contoh adjustment cost dan menu cost antara lain
biaya yang digunakan untuk melakukan perubahan label dan katalog
harga, biaya periklanan, dan biaya akibat penyimpanan.
Menurut Karantininis (2011) dan McCorriston et al. (2000),
transmisi harga tidak simetris yang disebabkan oleh faktor
adjustment cost umumnya hanya terjadi pada jangka pendek. Tanpa
adanya market power maka harga akan melakukan penyesuaian
kembali menuju ke garis keseimbangan jangka panjangnya.
Dalam penelitian ini, transmisi harga tidak simetris yang disebabkan
oleh faktor adjustment cost dilihat dengan cara memisahakan
variabel independent antara variabel positif dengan variabel negatif,
dan kemudian membandingkan apakah koefisien keduanya identik
atau tidak. Variabel positif adalah kondisi saat variabel independent
mengalami perubahan kenaikan harga, sebaliknya variabel negatif
adalah kondisi saat terjadi penurunan harga variabel independent.
Dari hasil estimasi model asimetris dan hasil pengujian koefisien
jangka pendek (Tabel 5.14, Tabel 5.15, Tabel 5.16, dan Tabel 5.17)
diperoleh hasil transmisi harga GKP petani terhadap harga beras
konsumen bersifat asimetris. Meskipun secara kualitatif terjadi
perbedaan respon transmisi antara shock positif dengan shock
negatif, namun pengujian secara statistik menunjukkan bahwa
perbedaan respon tersebut tidak cukup signifikan.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
108
Universitas Indonesia
Hasil tersebut sesuai dengan karakteristik industri dan perdagangan
beras di Indonesia. Meskipun beras di level konsumen terdiferensiasi
berdasarkan merek tertentu, namun biaya periklanan yang
dikeluarkan pedagang untuk produk beras relatif rendah30. Hal ini
disebabkan oleh elastisitas subtitusi beras antar merek-merek
tersebut sangat tinggi, dimana konsumen akan dengan sangat mudah
untuk beralih ke merek beras yang lain apabila terjadi kenaikan harga
pada satu merek. Sehingga wajar apabila transmisi harga GKP petani
terhadap harga konsumen dalam jangka pendek berjalan secara
simetris.
5.4.2. Kebijakan Pemerintah dan Perilaku Pedagang Perantara
Menurut Kinnucan dan Forker (1987) kebijakan yang ditetapkan
Pemerintah dapat menjadi pemicu terjadinya transmisi harga vertikal
yang tidak simetris. Sebagai contoh kebijakan harga dasar, dimana
Pemerintah melakukan intervensi harga pada saat mekanisme pasar
menyebabkan harga produk menjadi sangat rendah dan merugikan
petani. Pada saat terjadi penurunan harga di level petani, pedagang
akan percaya bahwa penurunan tersebut hanya bersifat sementara
karena Pemerintah akan segera melakukan intervensi. Sehingga
pedagang tidak akan dengan cepat melakukan penyesuaian harga jual
saat terjadi penurunan harga di level petani. Sebaliknya, pada saat
terjadi kenaikan harga di level petani, pedagang akan menganggap
bahwa perubahan tersebut sifatnya permanen sehingga akan dengan
segera melakukan penyesuaian harga jualnya.
Pada kasus perdagangan beras di Indonesia, pada dasarnya
Pemerintah telah menerapkan kebijakan harga dasar sejak masa Orde
30 Berdasarkan teori ekonomi industri, apabila suatu produk berada pada pasar persaingan monopolistik, yang dicirikan dengan jumlah pedagang dan pembeli banyak serta produk yang terdiferensiasi, maka umumnya biaya yang dikeluarkan untuk periklanan cukup besar.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
109
Universitas Indonesia
Baru. Hanya saja, pada periode tersebut kebijakan harga dasar gabah
disertai dengan kebijakan ceilling price di level konsumen.
Akibatnya, disparitas harga yang terjadi relatif kecil dan proses
transmisi harga terjadi secara simetris.
Namun, akibat keterbatasan anggaran yang dimiliki Pemerintah,
kebijakan ceilling price dicabut. Sementara kebijakan harga dasar
tetap diberlakukan, dengan berbagai macam perubahan istilah seperti
Harga Dasar Gabah (HDG) menjadi Harga Dasar Pembelian
Pemerintah (HDPP) dan kemudian diubah lagi menjadi Harga
Pembelian Pemerintah (HPP). Meskipun pada mekanisme HPP,
harga GKP petani seolah-olah dibiarkan bergerak mengikuti
mekanisme pasar. Namun, pembelian sejumlah supply GKP oleh
Pemerintah nampaknya cukup untuk mengendalikan pergerakan
harga GKP di level petani. Sebaliknya, pelepasan harga beras
konsumen ke mekanisme pasar menyebabkan harga beras di level
konsumen dapat bergerak tanpa batas, dengan kecenderungan yang
semakin meningkat. Akibatnya, disparitas harga GKP petani dengan
harga beras konsumen akan semakin melebar.
Meskipun di tahun 2004 Pemerintah telah kembali menetapkan
BULOG sebagai stabilitator harga beras dalam negeri, namun
cadangan beras yang dimiliki BULOG dinilai sangat kecil untuk
mempengaruhi harga eceran beras di pasar. Dengan cadangan yang
dimilikinya, BULOG hanya menguasai 10% pangsa pasar distribusi
beras di Indonesia. Sementara sisanya diserahkan ke mekanisme
pasar. Sehingga kebijakan ini pun gagal untuk menahan gejolak
peningkatan harga beras di level konsumen.
Selain itu, sejak tahun 2004 Pemerintah menerapkan kebijakan
importasi yang baru, dengan mengatur waktu impor dan membatasi
pedagang yang dapat menjadi importir. Tujuannya adalah untuk
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
110
Universitas Indonesia
memberikan perlindungan kepada petani dalam negeri dari harga
beras impor yang lebih murah. Dengan adanya kebijakan ini,
penurunan harga GKP di level petani saat musim panen raya dapat
dihindari.
Kebijakan ini akan semakin memperkuat persepsi pedagang
perantara bahwa Pemerintah akan berupaya untuk melakukan
intervensi harga dengan berbagai cara pada saat harga beras di dalam
negeri mengalami penurunan. Kondisi ini menyebabkan pedagang
perantara merasa bahwa penurunan harga gabah/beras di level petani
hanya bersifat sementara. Sehingga dalam jangka panjang, respon
pedagang perantara terhadap penurunan harga GKP petani menjadi
tidak sensitif. Hal ini sejalan dengan hasil pengujian secara statistik
pada model asimetris sederhana (Tabel 5.12) maupun pada model
asimetris kompleks (Tabel 5.14) yang secara konsisten menunjukkan
bahwa variabel bernilai positif. Artinya, pada saat terjadi
penurunan harga GKP di level petani, tidak akan terjadi penyesuaian
ke garis keseimbangan jangka panjang (tidak terjadi transmisi harga).
Bahkan dari nilai koefisiennya yang tidak signifikan, dapat diartikan
bahwa penurunan harga GKP petani tidak signifikan berpengaruh
terhadap perubahan harga beras konsumen.
Sementara saat terjadi kenaikan harga GKP petani (ditunjukkan
dengan variabel ), terjadi proses penyesuaian ke garis
keseimbangan, dicirikan dengan nilai koefisien variabel yang
bertanda negatif. Hasil ini semakin memperkuat dugaan bahwa
pedagang perantara lebih responsif terhadap perubahan kenaikan
harga GKP di level petani dibandingkan saat terjadi penurunan.
Dalam hal ini pedagang menganggap bahwa kenaikan harga GKP di
level petani sifatnya permanen, karena Pemerintah tidak akan
melakukan intervensi harga GKP petani saat terjadi kenaikan harga.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
111
Universitas Indonesia
5.4.3. Market Power dan Struktur Pasar
Faktor terakhir yang dapat menjelaskan transmisi harga tidak
simetris adalah dugaan adanya penyalahgunaan market power yang
dilakukan oleh pedagang perantara. Untuk melihat transmisi harga
tidak simetris yang disebabkan oleh dugaan market power maka
perlu yang perlu dilihat adalah koefisien jangka panjangnya, yaitu
dengan melihat nilai dan (Karantininis, 2011).
Dari hasil pengujian koefisien dan pada model
asimetris sederhana (Tabel 5.13) maupun pada model asimetris
kompleks (Tabel 5.18) dapat dilihat bahwa kedua koefisien tersebut
signifikan tidak identik. Dengan kata lain, terjadi transmisi yang
tidak simetris dalam jangka panjang. Hasil ini memperkuat dugaan
adanya penyalahgunaan market power pedagang perantara dalam
rantai pemasaran beras di Indonesia. Untuk lebih memperkuat hasil
pengujian statistik, berikut dijabarkan secara umum kondisi struktur
industri dari setiap level pemasaran beras di Indonesia.
Prastowo et al. (2008) menyebutkan bahwa struktur pasar sangat
mempengaruhi besar/kecil-nya margin keuntungan yang dapat
ditetapkan oleh para agen ekonomi dalam rantai pemasaran. Struktur
pasar ditentukan oleh beberapa kriteria, yaitu (1) jumlah perusahaan
yang beroperasi di pasar, (2) ada tidaknya hambatan bagi perusahaan
untuk masuk dan keluar dari pasar, dan (3) karakteristik dari produk
yang diperdagangkan. Struktur pasar tersebut selanjutnya akan
berpengaruh terhadap kekuatan dari para perusahaan didalamnya
untuk mempengaruhi harga pasar.
Pada struktur pasar yang bersifat monopoli, perusahaan atau agen
tunggal berperan sebagai price setter, akibatnya perusahaan memiliki
keleluasaan dalam menentapkan harga dan memperoleh marjin
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
112
Universitas Indonesia
keuntungan yang optimal. Sebaliknya, pada pasar persaingan
sempurna (atau setidaknya highly competition), perusahaan hanya
akan berperan sebagai price taker, dimana perusahaan tidak memiliki
kekuatan untuk mempengaruhi harga di pasar, sehingga marjin
keuntunganyang diperolehnya sangat kecil.
Untuk kasus beras, kondisi pasar dengan intesitas persaingan yang
tinggi terlihat di level petani saat panen raya. Homogentias dan
melimpahnya beras di pasaran menyebabkan petani tidak
mempunyai bargaining position untuk menetapkan harga, sehingga
petani “terpaksa” menjadi price taker. Sebaliknya pada level
pedagang (baik pedagang pengumpul maupun penggiling) yang
jumlahnya lebih sedikit akan cenderung memiliki kekuatan untuk
mempengaruhi harga. Bahkan seringkali pedagang pengumpul
maupun penggiling membentuk kartel dengan membuat kesepakatan
harga di pasar.
Pada saat musim paceklik, musim dimana harga beras umumnya
tinggi akibat kekurangan pasokan, petani tidak akan mendapatkan
keuntungan dari kenaikan harga. Keterbatasan modal yang dimiliki
petani menyebabkan petani tidak memiliki kemampuan untuk
menyediakan infrastruktur penyimpanan beras hasil produksinya.
Sehingga petani umumnya akan menjual seluruh hasil produksinya
secara sekaligus saat panen raya, dan hanya menyimpan sedikit
untuk keperluan konsumsinya sendiri.
Petani juga dihadapkan pada posisi fungsi penawaran yang inelastis,
dimana tidak dapat menambah hasil produksinya pada saat terjadi
kenaikan harga beras di pasaran. Hal ini disebabkan sifat tanaman
padi yang merupakan tanaman musiman. Akibatnya, kenaikan harga
pada saat musim kemarau dan musim paceklik sepenuhnya dinikmati
oleh pedagang perantara.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
113
Universitas Indonesia
Penelitian terdahulu yang secara khusus melakukan pemetaan
struktur pasar beras dalam satu rantai pemasaran (dari petani sampai
ke konsumen) dilakukan oleh KPPU (2007), dengan mengambil
sampel pada 5 (lima) lokasi, yaitu Sumatera Utara, Lampung, DKI
Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Dari hasil
penelitiannya diketahui bahwa bahwa struktur pasar gabah dan beras
secara umum tidak kompetitif. Jumlah petani di seluruh lokasi
sampel jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pedagang
pengumpul/tengkulak dan pengusaha penggilingan. Jumlah pedagang
pengumpul pun masih lebih banyak dibandingkan dengan jumlah
pengusaha penggilingan. Dengan demikian struktur pasar di tingkat
pedagang pengumpul dan pengusaha penggilingan termasuk dalam
bentuk pasar oligopsoni. Sementara untuk perbandingan pengusaha
penggilingan dengan pedagang besar jumlahnya relatif sama.
Struktur pasar di tingkat pedagang besar adalah oligopoli, karena
jumlah pedagang pengecer jauh lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah pedagang besar. Terakhir, struktur pasar di tingkat pedagang
pengecer adalah persaingan monopolistik, karena jumlah pedagang
pengecer dengan jumlah konsumen relatif sama dan produk yang
dipasarkan sudah terdiferensiasi. Secara lebih jelas dalam Gambar
5.4 digambarkan struktur pasar yang terbentuk di setiap level
pemasaran gabah dan beras.
Implikasi dari struktur pasar yang digambarkan di atas menyebabkan
petani dan konsumen berada pada posisi tawar yang lemah, dan
sebaliknya pengusaha penggilingan dan pedagang besar pada posisi
dominan. Selain itu, dari hasil penelitian yang dilakukan KPPU di
beberapa lokasi diketahui bahwa pedagang pengecer umumnya
bermodal lemah sehingga sistem pembeliaan beras dilakukan dengan
cara bayar kemudian kepada pedagang besar. Di lain pihak, petani
seringkali sudah terikat banyak pinjaman kepada tengkulak maupun
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
114
Universitas Indonesia
pengusaha penggilingan, sehingga tidak memiliki pilihan untuk
menjual seluruh hasil produksinya dalam bentuk GKP (kecuali
menyisakan sedikit untuk keperluan konsumsinya). Dengan
demikian suplai gabah meningkat tajam saat musim panen dan posisi
tawar petani menjadi semakin lemah.
Gambar 5.4. Struktur Pasar Gabah dan Beras di Setiap Level Pemasaran
Sumber : KPPU, 2007
Posisi pengusaha penggilingan dan pedagang besar menjadi semakin
kuat karena adanya hambatan masuk (barrier to entry) alamiah bagi
perusahaan-perusahaan baru yang berniat masuk ke pasar tersebut.
Hambatan tersebut berupa penguasaan modal dan teknologi, serta
yang terpenting adalah jaringan pemasaran yang telah dikuasai
perusahaan existing (KPPU, 2007). Dominasi pengusaha
penggilingan dan pedagang besar inilah yang menyebabkan mereka
menjadi pihak yang mampu menentukan harga (price taker) dan
PETANI
Pengumpul/ Tengkulak
Penggilingan/
Huller
Pedagang Besar
KONSUMEN
PENGECER
OLIGOPSONI
OLIGOPSONI
OLIGOPSONI/ OLIGOPOLI
OLIGOPOLI
MONOPOLISTIK
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
115
Universitas Indonesia
dapat dengan mudah mengatur harga beras di level konsumen.
Dalam hal ini, pedagang perantara, khususnya pengusaha
penggilingan dan pedagang grosir, memiliki bargaining power yang
kuat sehingga mampu mengendalikan proses transmisi harga GKP
petani terhadap harga eceran beras konsumen.
Saat harga GKP mengalami kenaikan, margin pedagang perantara
akan mengalami tekanan (berkurang) apabila tidak melakukan
penyesuaian. Oleh karena kuatnya bargaining power yang
dimilikinya, maka pedagang perantara akan dengan mudah
menyesuaikan kenaikan harga GKP petani ke harga jual berasnya.
Sementara, pada saat harga GKP mengalami penurunan, margin
pedagang perantara justru semakin besar. Sebagai pihak yang
tujuannya mencari keuntungan, maka penurunan harga GKP petani
tidak akan ditransmisikan dalam bentuk penurunan harga jual
berasnya. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan transmisi
harga GKP petani terhadap harga beras.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
116 Universitas Indonesia
BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1. Kesimpulan
1. Dari hasil pengujian transmisi harga tidak simetris diketahui bahwa baik model
asimetris sederhana maupun model asimetris kompleks menunjukkan hasil yang
konsisten, dimana koefisien keseimbangan jangka panjang positif ( 31) dan
koefisien keseimbangan jangka panjang negatif ( 32) signifikan tidak identik
secara statistik. Hal ini menunjukkan bahwa proses penyesuaian jangka panjang yang
disebabkan oleh penyimpangan penurunan harga GKP petani ( ) berbeda dengan
proses penyesuaian akibat penyimpangan kenaikan harga GKP petani ( ).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa transmisi harga GKP di level petani terhadap harga
beras di level konsumen bersifat asimetris dalam jangka panjang.
2. Dengan memperhatikan karakteristik struktur dan perilaku industri beras di Indonesia,
transmisi harga tidak simetris dalam jangka panjang yang terjadi disebabkan oleh 2
(dua) hal, yaitu (1) kebijakan intervensi harga yang dilakukan Pemerintah terhadap
harga gabah di level petani, sementara harga beras konsumen dibiarkan bergerak tanpa
batas, dan (2) market power yang dimiliki pedagang perantara.
a. Kebijakan Pemerintah yang lebih cenderung mengintervensi harga di level petani,
khususnya pada saat terjadi penurunan harga GKP, menimbulkan persepsi bagi
pedagang perantara bahwa penurunan harga GKP petani hanya bersifat sementara.
Akibatnya pedagang tidak dengan segera mentransmisikan penurunan harga
tersebut pada harga beras konsumen. Sebaliknya, pada saat terjadi kenaikan harga
GKP petani, Pemerintah tidak akan melakukan intervensi apapun, sehingga
31 Variabel menunjukkan kondisi saat terjadi penyimpangan berada di atas garis keseimbangan, yaitu saat
penurunan harga GKP petani tidak diikuti dengan penurunan harga beras konsumen. 32 Variabel menunjukkan kondisi saat terjadi penyimpangan berada di bawah garis keseimbangan, yaitu saat
kenaikan harga GKP petani tidak diikuti dengan kenaikan harga beras konsumen.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
117
Universitas Indonesia
pedagang perantara menilai kenaikan harga sifatnya lebih permanen dan akan
langsung menyesuaikannya dalam bentuk kenaikan harga beras konsumen.
b. Dugaan penyalahgunaan market power oleh pedagang perantara yang berujung
pada transmisi harga tidak simetris, didukung oleh struktur pasar pedagang
perantara yang mengarah pada oligoposoni/oligopoli, dimana jumlah pedagang
perantara relatif sedikit dibandingkan dengan jumlah petani dan konsumen beras.
Kondisi ini menyebabkan market power yang dimiliki pedagang beras relatif besar.
Akibatnya, pedagang perantara dapat dengan mudah menetapkan harga sesuai
dengan tingkat margin yang diharapkan (price maker).
c. Dari variabel transmisi harga jangka pendek, shock positif dan shock negatif pada
variabel GKP petani periode t, variabel GKP petani periode t-1, maupun variabel
harga beras konsumen periode t-1 menunjukkan hasil yang identik. Artinya
transmisi harga GKP petani terhadap harga beras konsumen dalam jangka pendek
bersifat simetris. Hasil ini sesuai dengan faktor biaya penyesuaian pada industri
beras, dimana penjualan beras tidak membutuhkan biaya periklanan yang besar.
Sehingga tidak ada biaya tambahan yang dikeluarkan pada saat pedagang perantara
melakukan perubahan harga.
6.2. Rekomendasi
1. Analisa transmisi harga dengan menggunakan model ECM hanya mampu menjelaskan
peristiwa asimetri harga dari sisi waktu penyesuaian. Sementara apabila melihat data
data harga GKP di level petani dan harga harga beras di level konsumen yang
menunjukkan disparitas harga yang semakin melebar, kemungkinan transmisi harga
asimetri tidak hanya terjadi dari sisi waktu melainkan juga dari sisi besaran. Untuk itu,
dalam penelitian selanjutnya dapat digunakan model transmisi harga asimetris lain
yang dapat memetakan peristiwa asimetri harga dalam hal besaran penyesuaian.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
118
Universitas Indonesia
2. Kebijakan pengetatan impor yang ditetapkan Pemerintah di tahun 2004 menyebabkan
disparitas harga GKP di level petani dengan harga beras di level konsumen semakin
melebar. Hal ini disebabkan posisi tawar pedagang perantara menjadi semakin tinggi,
sehingga pedagang perantara dapat dengan bebas menetapkan harga jual beras ke
konsumen. Untuk mengatasi hal tersebut, maka direkomendasikan kepada Pemerintah
untuk membuat kebijakan yang mampu membatasi market power pedagang perantara,
seperti :
a. Kebijakan ceilling price yang terbatas, dimana ceilling price hanya diberlakukan
pada saat musim tanam atau musim paceklik (saat harga beras mengalami
peningkatan). Kebijakan ini dinilai tidak akan merugikan petani karena kenaikan
harga yang terjadi pada saat musim tanam atau musim paceklik tidak akan
dinikmati oleh petani. Sebagaimana yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa
petani Indonesia umumnya akan menjual seluruh hasil produksinya pada saat
musim panen. Sehingga meskipun harga beras pada saat musim tanam atau musim
paceklik relatif tinggi namun petani tidak memiliki produk yang dapat dijual. Di
sisi lain, kebijakan ini diharapkan dapat menghindari perilaku eksploitasi yang
dilakukan pedagang perantara, dalam bentuk penentapan harga beras yang
terlampau tinggi di level konsumen.
b. Kebijakan price band, dimana Pemerintah menetapkan suatu rentang/disparitas
harga yang wajar antara harga di level petani dengan harga di level konsumen.
Untuk menentukan rentang yang wajar maka Pemerintah perlu memperhatikan
tingkat harga yang tidak eksploitatif bagi konsumen namun tetap memberikan
margin yang ideal bagi pedagang perantara.
c. Kebijakan yang dapat mendorong pelaku usaha baru untuk masuk ke sektor
perdagangan beras. Sebagaimana disebutkan bahwa masih terdapat entry barrier
alami dalam perdagangan beras di Indonesia, yaitu berupa jaringan pemasaran.
Dalam hal ini Pemerintah diharapkan mampu mengurangi entry barrier tersebut,
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
119
Universitas Indonesia
sehingga peluang bagi pelaku usaha baru untuk masuk ke perdagangan beras
menjadi semakin terbuka.
d. Mengintensifkan peran lembaga stabilisasi harga, sehingga intervensi harga beras
baik di tingkat petani maupun di tingkat konsumen akan lebih efektif. Dengan
demikian, jaminan harga beras yang tinggi di level petani namun tetap terjangkau di
level konsumen akan tercapai.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
120 Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Acharya, R.N. (August, 2000). Market Power and Asymmetry in Farm-Retail Price
Transmission. Paper presented at AAEA Annual Meetings, Tampa.
Acquah, H. G. dan E.E. Onumah. (2010). A Comparison of the Different Approaches to
Detecting Asymmetry in Retail-Wholesale Price Transmission. American-Eurasian Journal
of Scietific Research 5(1) : 60-66, 2010.
Aguiar, D. dan J.A. Santana, (2002). Asymmetry in Farm to Retail Price Transmission: Evidence
for Brazil. Agribusiness, Vol 18 (1), 37-48.
Alam, M.J. et al., (2010). Testing Asymmetric Price Transmission in the Vertical Supply Chain
in De-Regulated Rice Markets In Bangladesh. Paper presented at American Association of
Agricultural and Applied Economics 2010 AAEA, CAES & WAEA Joint Conference,
Colorado, USA.
Amikuzuno, J. dan K. Ogundari. (April, 2012). The Contribution of Agricultural Economics to
Price Transmission Analysis and Market Policy in Sub-Sahara Africa: What Does the
Literature Say?. Paper presented at the 86th Annual Conference of the Agricultural
Economics Society, United Kingdom.
Arifin, B., (December, 2011). The Regulation of Rice Market in Indonesia. Presented at
Conference G20 Agriculture, Paris, France.
Arifin, B., et al. (2006). Analisis Kebijakan Tataniaga Beras Indonesia. Jurnal SOSIO
EKONOMIKA, Vol 12, No 2, Desember, 2006.
Bailey, D. V. dan B. W. Brorsen, (1989). Price Asymmetry in Spatial Fed Cattle Markets.
Western Journal of Agricultural Economics. Vol 14 (2), 246-252.
Ball, L. dan N.G. Mankiw, (1994). Asymmetric Price Adjustment and Economic Fluctuations,
The Economic Journal 104, 247-261.
Bernard, J.C. dan L.S. Willett, (1996). Asymmetric Price Relationship in the U.S. Broiler
Industry. Journal of Agricultural and Applied Economics, Vol 28, 279-289.
Boyd, M.S. dan B.W. Brorsen. (1988). Price Asymmetry in the U.S. Pork Marketing Channel,
North Central Journal of Agricultural Economics, Vol 10, 103-109.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
121
Universitas Indonesia
Bustaman, A.D. (2003). Analisa Integrasi Pasar Beras di Indonesia. Skripsi. Jurusan Sosial
Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Conforti, P. (2004). Price Transmission in Selected Agricultural Markets. Working Paper FAO
Commoditiy and Trade Policy Research, No 7, March, 2004. http://www.fao.org/es/ESC/
Ditjen PPHP. (2011). Keragaan Database Kinerja Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian
2011, Ditjen PPHP - Kementerian Pertanian.
Dodge, E. dan S. Gemessa. (2012). Food Security and Price Stabilization in Indonesia –
Analysis of Policy Responses. Harvard Kennedy School of Government.
Girapunthong, N., et al. (2003). Price asymmetry in the United States fresh tomato market.
Journal of Food Distribution Research, Vol 34 (3), 51-59.
Goodwin, B.K. (April, 2006). Spatial and Vertical Price Transmission in Meat Markets. Paper
presented at Workshop of Market Integration and Vertical and Spatial Price Transmission in
Agricultural Markets. Kentucky, 2004.
Goodwin, B. K. dan M. T. Holt. (1999). Asymmetric Adjustment and Price Transmission in the
U.S. Beef Sector. American Journal of Agricultural Economics. Vol 79, 630-637.
Hassouneh, I., et al. (2012). Recent Developments in the Econometric Analysis of Price
Transmission, Working Paper Transparency of Food Pricing No 2, January, 2012.
Indrayani, R. (2008). Analisis Pola Kemitraan Dalam Pengadaan Beras Pandanwangi
Bersertifikat (Kasus Gapoktan Citra Sawargi dan CV Quasindo). Tesis. Program Studi
Industri Kecil Menengah, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Irawan, A. dan D. Rosmayanti. (2007). Analisis Integrasi Pasar Beras di Bengkulu. Jurnal Agro
Ekonomi, Vol 25, No 1, 37-54.
Jensen, J.D. dan A.S. Møller, (2007). Vertical Price Transmissin in the Danish Food Marketing
Chain. Mogens Lund, Institute of Food and Resources Economics, Production and
Technology Division.
Karantininis, K. et al. (August, 2011) Price Transmission in the Swedish Pork Chain:
Asymmetric non linear ARDL. Paper presented at the EAAE 2011 Congress, Zurich,
Switzerland.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
122
Universitas Indonesia
Kinnucan, H.W. dan O.D. Forker. (1987). Asymmetry in Farm-Retail Price Transmission for
Major Dairy Products. American Journal of Agricultural Economics, Vol 69, No 2, 285-292.
Kitaro, N. et al. (1999). Current Situation of Rice Distribution System in Indonesia. Research
Institute for Development and Finance – Japan Bank for International Cooperation.
Kompas Online, www.kompas.com, “Konsumsi Beras Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara, 7
Februari 2012
Kompas Online, www.kompas.com, “Beras Impor 90.000 ton gagal masuk Riau”, 21 Januari
2004
KPPU, (2007). Kajian Industri dan Perdagangan Sektor Industri Beras.
Kusumaningrum, R. (2008). Dampak Kebijakan Harga Dasar Pembelian Pemerintah terhadap
Penawaran dan Permintaan Beras di Indonesia. Tesis. Program Studi Ilmu Ekonomi
Pertanian, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Lloyd, T., McCorriston, S., Morgan, C. W. and Rayner, A. J. (August, 2003). The Impact of
Food Scares on Price Transmission in Inter-Related Markets. Paper presented to the 25th
IAAE Conference, Durban, South Africa.
Mardianto, S. (2005). Dinamika Pola Pemasaran Gabah dan Beras di Indonesia. Forum
Penelitian Agro Ekonomi. Vol 23, No 2, 116 – 131.
Mardianto, S. dan M. Ariani. (2004). Kebijakan Proteksi dan Promosi Komoditas Beras di Asia
dan Prospek Pengembangannya di Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian Edisi Desember,
2004, Vol 2, No 4, 340-353.
McCorriston, S. (2002). Why Should Imperfect Competition Matter to Agricultural Economists?,
European Review of Agricultural Economics, Vol 29 (3), 349-371.
Meyer, J. dan S. von Cramon-Taubadel (2004). Asymmetric Price Transmission: A Survey.
Journal of Agricultural Economics, Vol 55, No 3, 581-611.
Pindyck dan Rubinfeld (2009) Microeconomics, Seventh Edition. Pearson Prentice Hall.
Peltzman, S. (2000). Prices Rise Faster than they fall. Journal of Political Economy, Vol 108, No
3, 466-502.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
123
Universitas Indonesia
Prastowo et al. (2008). Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas dan
Implikasinya Terhadap Inflasi. Working Paper BI Edisi WP/07/2008. Juni, 2008.
www.bi.go.id
Pratiwi, P. (2008). Efektivitas dan Perumusan Strategi Kebijakan Beras Nasional. Skripsi.
Program Studi Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Rapsomanikis, G. et al. (2003). Market Integration and Price Transmission in Selected Food and
Cash Crop Markets of Developing Countries : Review and Applications. Commodity Markets
Review 2003 – 2004, 51-75, FAO Commodities and Trade Division.
Reagan, P.B. dan M.L. Weitzman. (1982). Asymmetries in Price and Quantity Adjustments by
the Competitive Firm, Journal of Economic Theory 27, 410-420.
Republika Online, www.republika.co.id, “Mentan: Konsumsi Beras Indonesia Terlalu Banyak”,
4 April 2012
Sasli, R. (2003). Kebijakan Penetapan Harga Dasar. Makalah. Magister Ekonomi dan Keuangan
Syariah, PSKTTI UI.
Sawit, M.H. (2005) Melindungi Industri Padi/Beras: Menerapkan Tarif Quota dan Memerankan
STE. Analisis Kebijakan Pertanian Edisi Desember 2005. Vol.3 No.4.
Serra, T., dan B.K. Goodwin, (January, 2002). Price Transmission asn Asymmetric Adjustment in
the Spanish Dairy Sector. Paper presented at 2002 AAEA-WAEA Annual Meeting.
Sidik. (2004). Indonesia Rice Policy in View of Trade Liberalization. Paper presented at FAO
Rice Conference, Rome, Italy.
Timmer, P. (2004). Food Security in Indonesia : Current Challenges and The Long Run Outlook.
Working Paper Center for Global Development No. 48.
Vavra, P. dan B.K. Goodwin (2005). Analysis of Price Transmission Along Food Chain.
Working Papers OECD Food, Agriculture and Fisheries, No 3, OECD Publishing.
Von Cramon-Taubadel, S. (1998). Estimating Asymmetric Price Transmission with the Error
Correction Representation: An Application to the German Pork Market, European Review of
Agricultural Economics. Vol 25, 1-18
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012
124
Universitas Indonesia
Wixson, S.E. dan A.L. Katchova. (February, 2012). Price Volatility and Farm Income
Stabilisation – Modelling Outcomes and Assesing Market and Policy Based Responses. Paper
presented at 123rd EAAE Seminar, Dublin.
Yonekura, H. (2005). Institutional Reform in Indonesia’s Food Security Sector : The
Transformation of BULOG into a Public Corporation. Journal The Developing Economies
XLIII – 1 : 121-48.
Analisa integrasi..., Firdaussy Yustiningsih, FEUI, 2012