youth entrepreneur · 2 | youth enterpreneur 1.1. konsep dasar kewirausahaan istilah entrepreneur...
Post on 30-Jul-2021
15 Views
Preview:
TRANSCRIPT
YOUTH ENTREPRENEUR
ii
YOUTH ENTREPRENEUR
Penulis
Saparila Worokinasih
Nila Firdausi Nuzula
Cacik Rut Damayanti
Desain Cover dan Penata Isi
Tim MNC Publishing
Cetakan I, Januari 2021
Diterbitkan oleh :
Media Nusa Creative Anggota IKAPI (162/JTI/2015) Bukit Cemara Tidar H5 No. 34, Malang Telp. : 0812 3334 0088 E-mail : mncpublishing.layout@gmail.com Website : www.mncpublishing.com
ISBN 978-602-462-561-0
Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ke dalam bentuk apapun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk fotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari Penerbit. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Hak Cipta, Bab XII Ketentuan Pidana, Pasal 72, Ayat (1), (2), dan (6)
iii
Membangun sebuah usaha di usia muda membutuhkan
pengetahuan, keterampilan dan pengalaman yang memadai.
Berbagai macam karakteristik yang melekat pada kelompok muda
ini dianggap memiliki potensi untuk bisa bersaing dalam
menghadapi kompetisi di dunia usaha. Disamping itu, kelompok
muda juga memiliki tantangan yang besar dalam mengelola
usahanya. Pengusaha muda harus mampu mengelola faktor internal
dan faktor eksternal yang ada. Faktor internal meliputi pengetahuan
dan keterampilan yang dibutuhkan dalam menjalankan usahanya
serta kemampuan dalam mengelola emosinya. Faktor eksternal
meliputi kemampuan dalam mengelola jaringan yang ada dan
terbentuk untuk kebutuhan usahanya. Pemahaman dan pengeloaan
yang tepat terhadap fakto-faktor yang mempengaruhi wirausaha
muda tersebut diharapkan mampu meningkatkan kinerja usahanya.
Buku ini membahas tentang pengertian dari Youth
Entrepreneur atau wirausaha muda. Disamping itu buku ini juga
membahas tentang faktor-faktor yang diperlukan pengusaha muda
untuk menjalankan usahanya, yaitu meliputi: literasi keungan,
kecerdasan emosional, modal sosial. Bagian terakhir buku ini
membahas tentang kinerja dan cara pengukuran kinerja usaha.
Bagian-bagian dalam buku ini meliputi konsep teori serta penjabaran
bahasan yang lebih mendalam dengan menggunakan bahasa yang
bisa dipahami dengan mudah, sehingga pembaca mampu
memahami faktor dasar yang harus dipenuhui dan dikelola oleh
pengusaha muda dalam menjalankan usahanya.
Penulis menyadari masih adanya kekurangan dalam tulisan
ini. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh
penulis, kirnaya pembaca dapat menyampaikan saran dan kritik
yang membangun dalam rnagka penyempurnaan isi dari buku ini.
iv
Akhirnya, penulis menyampaikan terima kasih kepada
semua pihak yang telah memberikan kesempatan serta dukungan
yang tak terhingga hingga terealisasi penerbitan buku ini.
Malang, November 2020
Tim Penulis
v
PRAKATA ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ......................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... viii
BAB I PENDEKATAN TEORITIK DALAM
ENTREPRENEURSHIP........................................................ 1
1.1. Konsep Dasar Kewirausahaan .................................... 2
1.2. Perbedaan Pendapat Munculnya Kewirausahaan .... 5
1.3. Teori Kebutuhan Prestasi McClelland ....................... 8
1.4. Teori Efisiensi X Leibenstein .................................... 11
1.5. Teori Risiko Bearing Knight ..................................... 12
1.6. Teori Max Weber tentang Pertumbuhan
Wirausaha .................................................................... 13
1.7. Teori Kewirausahaan Hagen ..................................... 14
1.8. Teori Nilai Budaya Thomas Cochran ....................... 15
1.9. Teori Perubahan Pola Tingkat Kelompok ............... 16
1.10. Teori Ekonomi Kewirausahaan ................................. 16
1.11. Teori Eksposur Kewirausahaan ................................ 17
1.12. Teori Sistem Politik Pertumbuhan Wirausaha ........ 18
BAB II Pengertian Youth Entrepreneur ........................................ 21
2.1. Definisi Entrepreneurship ......................................... 22
2.1.1. Entrepreneurship is Alertness ................................ 23
2.1.2. Entrepreneurship is Action ................................... 23
2.1.3. Entrepreneurship Produces Market Order ............. 23
2.1.4. Entrepreneurship Involves Calculation .................. 24
2.1.5. Entrepreneurship is a process ................................. 24
2.2. Siapakah Youth Entrepreneurs ? ............................... 26
2.3. Karakteristik Youth Entrepreneurs ........................... 27
2.4. Youth Entrepreneurs Di Indonesia ........................... 29
vi
2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Karakteristik
Wirausaha .................................................................... 31
BAB III Youth Entrepreneur & Financial Literacy ........................ 33
3.1. Definisi financial literacy .......................................... 34
3.2. Dimensi Financial literacy ......................................... 36
3.2.1 Financial Knowledge ................................................. 37
3.2.2 Financial Attitude ...................................................... 37
3.2.3 Financial Behaviour .................................................... 37
BAB IV Social Capital Pada Youth Entrepreneurs ......................... 43
4.1. Definisi Social Capital ............................................... 44
4.2. Dimensi Social Capital ............................................... 47
4.3. Sumber Social Capital ................................................ 48
4.4. Sumber Social Capital Jangka Panjang .................... 51
4.5. Social Learning Theory .............................................. 53
4.6. Pentingnya Social Capital bagi Youth
Entrepreneurs .............................................................. 58
BAB V Emotional Intelligent Pada Youth Entrepreneur ....... 63
5.1. Definisi Emotional Intelligent .................................. 64
5.2. Dimensi Emotional Intelligent .................................. 66
5.2.1. Self-awareness ...................................................... 66
5.2.2. Self-regulation/management .................................. 69
5.2.3. Internal motivatio: .................................................. 73
5.2.4. Empathy ................................................................. 75
5.2.5. Social skills ............................................................. 77
5.3. Pentingnya Emotional Intelligence Bagi Youth
Entrepreneurs .............................................................. 78
BAB VI Green Financial Behaviour Pada Youth Entrepreneur ... 83
6.1. Psikologi dan Entrepreneurship ............................... 84
6.2. Karakteristik Enterpreneurship ................................ 85
6.3. Green financial behavior ........................................... 90
vii
BAB VII Sustainable Enterprise Performance Pada Youth
Entrepreneur ....................................................................... 93
7.1. Definisi Sustainable Enterprise Performance ......... 94
7.2. Dimensi Sustainable Enterprise Performance......... 97
7.2.1. Economic Sustainability (Keberlanjutan
Ekonomi) ............................................................... 98
7.2.2. Environmental Sustainability (Kelestarian
Lingkungan) ......................................................... 99
7.2.3. Social Sustainability (Keberlanjutan Sosial) ..... 99
7.3. Sustainability Performance in Theoritical
Concept ...................................................................... 100
7.4. Perusahaan yang Sehat ............................................. 102
7.4.1. Likuiditas ............................................................ 102
7.4.2. Solvabilitas .......................................................... 103
7.4.3. Efisiensi Operasi ................................................ 103
7.4.4. Profitabilitas ....................................................... 104
viii
Gambar 1.1. Historis Kewirausahaan .............................................. 3
Gambar 1.2. Lima tahapan dalam evolusi Kewirausahaan .......... 5
Gambar 1.3. Kewirausahaan dan Pembaharuan ............................ 7
Gambar 1.4. Flow New venture creation ......................................... 18
Gambar 1.5. Teori Sistem Politik Pertumbuhan Wirausaha ......... 19
Gambar 4.1. Social Learning Theory ................................................ 58
Gambar 5.1. Emotional Intelligence – Goleman Model ................. 64
ix
Tabel 3.1 Contoh sumber modal sosial yang sering dikutip ........ 49
x
YOUTH ENTERPRENEUR | 1
2 | YOUTH ENTERPRENEUR
1.1. Konsep Dasar Kewirausahaan
Istilah entrepreneur itu sendiri berasal dari bahasa Prancis,
yaituentreprendre yang mengandung makna to undertake yang berarti
mengerjakan atau berusaha atau melakukan suatu pekerjaan.
Ronstadt dalam (Kuratko dan Hodgetts, 1989) menjelaskan bahwa the
entrepreneur is one who undertakes to organize, manage, and assume the
risks of the business, yang berarti bahwa seorang wirausaha adalah
seseorang yang berupaya untuk mengatur, mengelola, serta bersedia
menanggung risiko dari suatu usaha. Bidang yang dikelompokkan
dan badan pengetahuan yang sistematis Diorganisir di sekitar satu
atau lebih teori sentral dan sejumlah prinsip umum Biasanya
dinyatakan dalam istilah kuantitatif Pengetahuan yang
memungkinkan prediksi, dan di bawah keadaan anak, kontrol
peristiwa masa depan.
Definisi kewirausahaan melibatkan penciptaan nilai melalui
penggabungan modal, pengambilan risiko, teknologi, dan bakat
manusia. Ini adalah konsep multidimensi. Ciri khas kewirausahaan
selama bertahun-tahun adalah:
a. Inovasi,
b. Fungsi prestasi tinggi,
c. Pembangunan organisasi,
d. Kegiatan tingkat kelompok,
e. Keterampilan manajerial dan kepemimpinan,
f. Kegiatan Peluang
g. Kewirausahaan
Untuk Ilmuwan, 'teori' mengacu pada hubungan antara
fakta. Dengan kata lain, teori adalah beberapa prinsip yang
mengatur. Ada berbagai teori kewirausahaan yang dapat dijelaskan
dari sudut pandang ekonom, sosiolog dan psikolog. Teori- teori ini
telah didukung dan diberikan oleh berbagai pemikir selama lebih
dari dua setengah abad. Mari kita pahami perspektif Historis
Kewirausahaan pada Gambar berikut:
PENDEKATAN TEORITIK DALAM ENTREPRENEURSHIP | 3
Gambar 1.1. Historis Kewirausahaan
Banyak dari kita berfikir popularitas kewirausahaan
merupakan fenomena dari abad kedua puluh atau dua puluh satu,
namun tidak seperti ini. Kewirausahaan sudah muncul dari awal
abad kedelapan belas, dengan istilah wirausaha atau entrepreneur /
Go-Beetween / Between Taker. Pencetus istilah wirausaha adalah
Richard Cantillon, seorang ekonom terkenal dan penulis terkenal di
tahun 1700-an. Cantillon menggunakan istilah tersebut untuk
merujuk pada seseorang yang mengambil peran aktif menanggung
risiko dalam mengejar peluang.
Pada akhir abad kedelapan belas, konsep kewirausahaan
diperluas untuk mencakup tidak hanya pendorong risiko tetapi juga
perencanaan, pengawasan, pengorganisasian, dan bahkan
4 | YOUTH ENTERPRENEUR
kepemilikan faktor-faktor produksi. Abad kesembilan belas adalah
masa keemas an untuk aktivitas kewirausahaan karena kemajuan
teknologi selama revolusi industri memberikan dorongan untuk
penemuan dan inovasi yang berkelanjutan. Kemudian, menjelang
akhir abad kesembilan belas, konsep kewirausahaan berubah sedikit
lagi untuk membedakan antara yang menyuplai dana dan
memperoleh bunga dan mereka yang diuntungkan dari kemampuan
berwirausaha.
Selama awal abad kedua puluh, kewirausahaan masih
diyakini berbeda dari manajemen organisasi. Namun, pada
pertengahan tahun 1930-an konsep kewirausahaan berkembang.
Saat itulah ekonom Joseph Schumpeter mengusulkan bahwa
kewirausahaan melibatkan inovasi dan teknologi yang belum dicoba
atau apa yang disebut creative distruction, yang didefinisikan sebagai
proses di mana produk, proses, ide, dan bisnis yang ada diganti
dengan yang lebih baik. Schumpeter percaya bahwa melalui proses
penghancuran kreatif, pendekatan dan produk lama dan usang
diganti dengan yang lebih baik.
Melalui penghancuran yang lama datanglah penciptaan
yang baru. Dia juga percaya bahwa pengusaha adalah kekuatan
pendorong di balik proses pendobrak kreatifitas ini. Merekalah yang
membawa ide-ide terobosan dan inovasi ke pasar. Deskripsi
Schumpeter tentang proses pendobrak kreatif berfungsi untuk lebih
menyoroti peran penting yang dimainkan inovasi dalam
kewirausahaan. Seperti yang ditunjukkan oleh definisi
kewirausahaan sebelumnya, konsep inovasi dan keunikan adalah
bagian integral dari aktivitas kewirausahaan.
Perkembangan terakhir dari abad kedua puluh yang akan
kita lihat adalah pendapat Peter Drucker bahwa kewirausahaan
melibatkan pemaksimalan peluang. Drucker adalah penulis terkenal
dan produktif tentang berbagai macam masalah manajemen. Apa
yang ditambahkan perspektifnya ke konsep kewirausahaan adalah
bahwa wirausahawan mengenali dan bertindak berdasarkan
peluang. Drucker mengusulkan bahwa kewirausahaan tidak hanya
terjadi begitu saja, tetapi muncul sebagai tanggapan atas apa yang
PENDEKATAN TEORITIK DALAM ENTREPRENEURSHIP | 5
dilihat pengusaha sebagai peluang yang belum dimanfaatkan dan
belum dikembangkan.
1.2. Perbedaan Pendapat Munculnya Kewirausahaan
Konsep kewirausahaan telah mengalami perubahan besar
selama lebih daridua setengah abad. Namun konsep kewirausahaan
tidak jelas. Karena konsep kewirausahaan yang kompleks dalam
isinya, tidak hanya dipengaruhi oleh aspek ekonomi, tetapi juga oleh
nilai-nilai sosiologis, psikologis, etika, agama dan budaya. Selama
bertahun-tahun para ilmuwan sosial telah menafsirkan fenomena
kewirausahaan secara berbeda sesuai dengan persepsi dan
lingkungan ekonominya. Lima tahapan dalam evolusi
Kewirausahaan dapat diidentifikasi seperti yang ditunjukkan pada
gambar berikut:
Gambar 1.2. Lima tahapan dalam evolusi Kewirausahaan
6 | YOUTH ENTERPRENEUR
Teori kewirausahaan yang terkoordinasi dan komprehensif
belum datang. Berikut disampaikan perkembangan teori wirausah
ayang ada. Teori kewirausahaan dinamis pertama kali dikemukakan
oleh Schumpeter (1949) yang menganggap kewirausahaan sebagai
katalisator yang mengganggu aliran sirkuler stasioner ekonomi dan
dengan demikian memulai dan menopang proses pembangunan.
Memulai 'kombinasi baru' dari factor-faktor produksi yang secara
ringkas dia sebut, inovasi wirausahawan mengaktifkan ekonomi ke
tingkat perkembangan yang baru. Schumpeter memperkenalkan
konsep inovasi sebagai faktor kunci dalam kewirausahaan di
samping mengasumsikan risiko dan mengatur faktor produksi.
Schumpeter mendefinisikan kewirausahaan sebagai
"aktivitas kreatif". Seorang inovator yang membawa produk atau
layanan baru ke dalam perekonomian diberi status wirausaha. Dia
menganggap inovasi sebagai alat wirausaha, Pengusaha dipandang
sebagai 'mesin pertumbuhan', Dia melihat peluang untuk
memperkenalkan produk baru, pasar baru, sumber pasokan baru,
bentuk organisasi industri baru atau untuk pengembangan yang
baru ditemukan sumber daya. Konsep inovasi dan perkembangan
akibatnya mencakup lima fungsi:
a. Pengenalan produk baru yang belum dikenal konsumen atau
pengenalan kualitas baru dari produk yang sudah ada,
b. pengenalan metode produksi baru yang belum teruji oleh
pengalaman di cabang manufaktur terkait, yang tidak perlu
didasarkan pada penemuan baru secara ilmiah dan juga dapat
hadir dalam cara baru menangani komoditas secara komersial,
c. terbukanya pasar baru yang merupakan pasar yang belum
pernah dimasuki oleh cabang produsen tertentu di negara
bersangkutan, apakah pasar tersebut sudah ada atau belum,
d. penaklukan sumber baru pasokan bahan baku dan
e. pelaksanaan organisasi baru industri apa pun.
Schumpeter adalah ahli teori besar pertama yang
menempatkan agen manusia di pusat proses pembangunan
ekonomi. Dia sangat eksplisit tentang fungsi ekonomi pengusaha.
Pengusaha adalah penggerak utama dalam pembangunan ekonomi;
PENDEKATAN TEORITIK DALAM ENTREPRENEURSHIP | 7
fungsinya, untuk berinovasi atau melakukan kombinasi baru.
Schumpeter membuat perbedaan antara inovator dan penemu.
Seorang penemu menemukan metode dan bahan baru. Sebaliknya,
inovator adalah orang yang memanfaatkan atau menerapkan
penemuan dan penemuan untuk membuat kombinasi baru. Seorang
penemu prihatin dengan pekerjaan teknis penemuannya sedangkan
pengusaha mengubah pekerjaan teknis menjadi kinerja ekonomi.
Seorang inovator lebih dari seorang penemu karena dia tidak hanya
berasal sebagai penemunya tetapi melangkah lebih jauh dalam
mengeksploitasi penemuan secara komersial.
Gambar 1.3. Kewirausahaan dan Pembaharuan
Wilken telah menambahkan konsep perubahan yang dibawa
oleh seorang pengusaha:
a. Perluasan barang, produk.
b. Produktivitas dari faktor-faktor produksi seperti keuangan,
tenaga kerja, material.
c. Inovasi dalam produksi seperti, teknologi, perubahan proses
dan peningkatan produktivitas sumber daya manusia.
d. Inovasi di bidang pemasaran seperti komposisi pasar, ukuran
pasar dan pasar baru.
8 | YOUTH ENTERPRENEUR
Bagi Schumpeter, pengusaha adalah individu yang
dimotivasi oleh keinginan untuk berkuasa; karakteristik khusus
mereka adalah kapasitas yang melekat untuk memilih jawaban yang
benar, energi, kemauan dan pikiran untuk mengatasi bakat-bakat
pikiran yang tetap, dan kemampuan untuk menahan pertentangan
sosial. Faktor-faktor yang berkontribusi pada pengembangan
kewirausahaan pada dasarnya akan menjadi lingkungan yang cocok
dalam memahami fakta-fakta esensial.
Dapat dicatat bahwa tokoh utama teori ini, "wirausahawan
inovatif" telah memainkan peran penting dalam kebangkitan
kapitalisme modern. Pengusaha telah menjadi penggerak utama -
untuk proses pembangunan ekonomi. Di sisi kritik, teori ini tampak
sepihak karena terlalu menekankan pada fungsi inovatif. Ini
mengabaikan aspek pengambilan risiko dan pengorganisasian
kewirausahaan. Seorang wirausahawan tidak hanya berinovasi
tetapi juga mengumpulkan sumber daya dan memanfaatkannya
secara optimal.
Sementara menekankan pada fungsi inovatif dari
wirausahawan, Schumpeter mengabaikan fungsi pengambilan
risiko, yang sama pentingnya. Ketika seorang wirausahawan
mengembangkan kombinasi baru dari faktor-faktor produksi, ada
cukup banyak risiko yang terlibat. Terlepas dari kekurangan
tersebut, teori ini mendukung wirausahawan untuk berinovasi. Ini
adalah tindakan yang memberikan sumber daya dengan kapasitas
baru untuk menciptakan kekayaan. Drucker berkata, “Inovasi,
memang, menciptakan sumber daya. Itu memberinya nilai ekonomi.
" Pandangan Schumpeter sangat relevan dengan negara berkembang
di mana inovasi perlu didorong. Transformasi ekonomi agraria
menjadi ekonomi industri membutuhkan banyak inisiatif dan
perubahan dari pihak pengusaha dan pengelola.
1.3. Teori Kebutuhan Prestasi McClelland:
Menurut McClelland, karakteristik wirausaha memiliki dua
fitur - pertama melakukan sesuatu dengan cara yang baru dan lebih
baik dan kedua pengambilan keputusan di bawah ketidakpastian.
PENDEKATAN TEORITIK DALAM ENTREPRENEURSHIP | 9
McClelland menekankan orientasi pencapaian sebagai faktor
terpenting bagi pengusaha. Individu dengan tinggi, orientasi
pencapaian tidak dipengaruhi oleh pertimbangan uang atau insentif
eksternal lainnya. Keuntungan dan insentif hanyalah tolak ukur
keberhasilan wirausahawan yang berorientasi pada prestasi tinggi.
Orang dengan prestasi tinggi (N-Ach) tidak dipengaruhi oleh
imbalan uang dibandingkan dengan orang dengan prestasi rendah.
Jenis yang terakhir ini siap untuk bekerja lebih keras demi uang atau
insentif eksternal lainnya.
Sebaliknya, keuntungan hanyalah ukuran keberhasilan dan
kompetensi bagi orang-orang dengan kebutuhan berprestasi tinggi.
Profesor David McClelland, dalam bukunya The Achieving Society,
telah mengemukakan teori berdasarkan penelitiannya bahwa
kewirausahaan pada akhirnya bergantung pada motivasi. Ini adalah
kebutuhan untuk berprestasi (N-Ach), rasa melakukan dan
menyelesaikan sesuatu, yang mempromosikan kewirausahaan.
Menurutnya, N-Ach adalah karakteristik kepribadian yang relatif
stabil yang berakar pada pengalaman di masa kanak-kanak
menengah melalui sosialisasi keluarga dan praktik pembelajaran
anak yang menekankan pada standar keunggulan, kehangatan
materi, pelatihan kemandirian dan dominasi yang rendah.
Menurutnya, seseorang memperoleh tiga jenis kebutuhan sebagai
hasil dari pengalaman hidup seseorang. Ketiga kebutuhan tersebut
adalah:
a. Kebutuhan akan Prestasi. Dorongan untuk unggul, maju, dan
berkembang.
b. Kebutuhan Kekuasaan. Dorongan untuk mendominasi atau
mempengaruhi orang lain dan situasi.
c. Kebutuhan akan Afiliasi. Dorongan untuk hubungan antar-
pribadi yang bersahabat dan dekat.
Perilaku manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh tiga
kebutuhan yaitu Kebutuhan akan pencapaian atau berprestasi
(Achievement), Kebutuhan akan Kekuasaan (Power) dan Kebutuhan
akan Afiliasi (Affiliate). Oleh karena itu, Teori Kebutuhan McClelland
sering disebut juga sebagai Teori Tiga Kebutuhan atau Three Needs
10 | YOUTH ENTERPRENEUR
Theory. McClelland menemukan bahwa masyarakat tertentu
cenderung menghasilkan persentase besar orang dengan prestasi
tinggi. Dia menunjukkan bahwa individu, bahkan seluruh
masyarakat yang memiliki N-ach akan memiliki tingkat
kesejahteraan ekonomi yang lebih tinggi daripada mereka yang
tidak. Pekerjaan McClelland menunjukkan bahwa ada lima
komponen utama dari sifat N-ach: (a) tanggung jawab untuk
pemecahan masalah, (b) menetapkan tujuan, (c) mencapai tujuan
melalui usaha sendiri, (d) kebutuhan dan penggunaan umpan balik,
dan (e) preferensi untuk pengambilan risiko tingkat sedang.
Individu dengan pencapaian kebutuhan tingkat tinggi
adalah seorang pengusaha potensial. Ciri-ciri khusus seorang
(wirausaha) berprestasi tinggi dapat diringkas sebagai berikut:
a. Mereka menetapkan tujuan yang cukup realistis dan dapat
dicapai untuk mereka.
b. Mereka mengambil risiko yang diperhitungkan.
c. Mereka lebih menyukai situasi di mana mereka dapat
mengambil tanggung jawab pribadi untuk memecahkan
masalah.
d. Mereka membutuhkan umpan balik konkrit tentang seberapa
baik mereka melakukannya.
e. Kebutuhan mereka untuk berprestasi ada tidak hanya
demipenghargaan ekonomi atau pengakuan sosial melainkan
pencapaian pribadi secara intrinsik lebih memuaskan bagi
mereka.
Menurut McClelland, motivasi, kemampuan, dan
lingkungan yang menyenangkan, semuanya digabungkan untuk
mempromosikan kewirausahaan. Karena motivasi dan kemampuan
kewirausahaan adalah masalah sosiologis jangka panjang;
Menurutnya, lingkungan politik, sosial dan ekonomi sebaiknya
dibuat sesuai untuk tumbuhnya kewirausahaan di negara-negara
tertinggal dan berkembang.
PENDEKATAN TEORITIK DALAM ENTREPRENEURSHIP | 11
1.4. Teori Efisiensi X Leibenstein
Teori ini, awalnya dikembangkan untuk tujuan lain, baru-
baru ini diterapkan untuk menganalisis peran pengusaha. Pada
dasarnya, X-efisiensi adalah tingkat inefisiensi dalam penggunaan
sumber daya di dalam perusahaan: mengukur sejauh mana
perusahaan gagal mewujudkan potensi produktifnya. Menurut
Leibenstein, Ketika suatu masukan tidak digunakan secara efektif,
perbedaan antara keluaran aktual dan keluaran maksimum yang
disebabkan oleh masukan tersebut adalah ukuran derajat efisiensi X.
Efisiensi X muncul baik karena sumber daya perusahaan digunakan
dengan cara yang salah atau karena terbuang percuma, yaitu tidak
digunakan sama sekali. Leibenstein mengidentifikasi dua peran
utama pengusaha: agapfiller dan pelengkap masukan.
Fungsi-fungsi ini muncul dari asumsi dasar teori efisiensi X.
Jadi jelaslah bahwa “jika tidak semua faktor produksi dipasarkan
atau jika ada ketidaksempurnaan di pasar, maka pengusaha harus
mengisi celah di pasar. Untuk menggerakkan perusahaan,
pengusaha harus mengisi cukup banyak celah. " Peran kedua adalah
penyelesaian input, yang melibatkan penyediaan input yang
meningkatkan efisiensi metode produksi yang ada atau
memfasilitasi pengenalan metode produksi baru. Peran
wirausahawan adalah meningkatkan arus informasi di pasar.
Teori tersebut menyimpulkan bahwa seorang wirausahawan
harus bertindak sebagai pengisi celah dan pelengkap input jika
terdapat ketidaksempurnaan di pasar. Karena menggunakan
keterampilan yang tidak biasa di sana, dia mendapat keuntungan
serta berbagai keuntungan non-khas. Menurutnya wirausaha ada
dua jenis.
a. Kewirausahaan rutin - berurusan dengan fungsi bisnis normal
seperti mengoordinasikan kegiatan bisnis.
b. Kewirausahaan inovatif - di mana seorang pengusaha inovatif
dalam pendekatannya. Ini mencakup aktivitas yang
diperlukan untuk menciptakan perusahaan di mana tidak
semua pasarnya mapan atau didefinisikan dengan jelas.
12 | YOUTH ENTERPRENEUR
1.5. Teori Risiko Bearing Knight
Elemen kunci kewirausahaan adalah menanggung risiko.
Prof Knight dan John Staurt Mill melihat penanggung risiko sebagai
fungsi penting dari wirausahawan. Beberapa ciri penting dari teori
ini adalah sebagai berikut:
a. Risiko menciptakan Keuntungan: Menurut teori penanggung
risiko, wirausahawan mendapatkan keuntungan karena ia
mengambil risiko.
b. Lebih Banyak Risiko Lebih Banyak Keuntungan: Tingkat risiko
bervariasi di berbagai industri. Pengusaha mengambil tingkat
risiko yang berbeda sesuai dengan kecenderungan iklan
kemampuan mereka. Teori risiko mengusulkan bahwa
semakin berisiko sifat bisnis, semakin besar pula keuntungan
yang diperolehnya.
c. Laba sebagai Imbalan dan Biaya: Laba adalah imbalan
pengusaha untuk menanggung risiko. Oleh karena itu, ini juga
diperlakukan sebagai bagian dari biaya produksi normal.
Dia mengidentifikasi ketidakpastian dengan situasi di mana
kemungkinan hasil perubahan tidak dapat ditentukan baik dengan
alasan apriori atau dengan inferensi statistik. Penalaran Apriori sama
sekali tidak relevan dengan situasi ekonomi yang melibatkan
peristiwa unik. Teori ini merangkum bahwa keuntungan adalah
imbalan dari usaha wirausaha yang timbul karena menanggung
resiko dan ketidakpastian yang tidak dapat diasuransikan dan
jumlah keuntungan yang diperoleh bergantung pada tingkat
bantalan ketidakpastian. Knight berpendapat bahwa perusahaan
bisnis tingkat ketidakpastian dapat dikurangi melalui 'konsolidasi'.
Konsolidasi untuk ketidakpastian adalah apa asuransi untuk risiko;
ini adalah metode untuk mengurangi ketidakpastian total dengan
menggabungkan instans individu. Elastisitas penawaran
kepercayaan diri adalah penentu terpenting dari tingkat keuntungan
dan jumlah pengusaha.
PENDEKATAN TEORITIK DALAM ENTREPRENEURSHIP | 13
1.6. Teori Max Weber tentang Pertumbuhan Wirausaha
Max Weber dalam teorinya mengatakan agama memiliki
pengaruh yang besar terhadap perkembangan kewirausahaan.
Menurut Weber, beberapa agama memiliki keyakinan dasar untuk
menghasilkan dan memperoleh uang dan beberapa memiliki lebih
sedikit. Dia menyebut mereka sebagai 'semangat kapitalisme' dan
'semangat petualang'. Semangat kapitalisme akan muncul ketika
sikap mental masyarakat berpihak pada kapitalisme. Menurut Max
Weber, mendorong energi kewirausahaan dihasilkan oleh adopsi
keyakinan agama yang dipasok dari luar. Keyakinan inilah yang
menghasilkan pengerahan tenaga yang intensif dalam pengejaran
pekerjaan, urutan sistematis sarana untuk mencapai tujuan, dan
akumulasi aset. Teorinya menunjukkan sistem kepercayaan Hindu,
Budha dan Islam tidak mendorong kewirausahaan. Pendiriannya
telah ditantang oleh banyak sosiolog.
Teori Max Weber cocok dengan penguasa kolonial yang
ingin mendorong kewirausahaan Eropa di India. Tapi itu telah
dikritik oleh peneliti selanjutnya. Teori tersebut didasarkan pada
asumsi yang tidak valid, yaitu:
a. Ada satu sistem nilai Hindu,
b. Komunitas India menginternalisasi nilai-nilai itu dan
menerjemahkannya ke dalam perilaku sehari-hari, dan
c. Nilai-nilai ini tetap kebal dan terlindung dari tekanan dan
perubahan eksternal.
Pesatnya pertumbuhan kewirausahaan di India sejak
kemerdekaan membuktikan bahwa Hinduisme tidak menolak
semangat kapitalisme dan semangat petualangan. Banyak pemikir
telah menerima analisis Weber tentang hubungan antara keyakinan
agama dan pertumbuhan kewirausahaan. Namun pandangan ini
tidak diterima secara universal. Samuelson mengkritik pandangan
Weber dengan alasan bahwa kapitalisme juga berkembang dalam
masyarakat di mana etika Protestan 'tidak lazim. Hoselitz
berpendapat bahwa Protestan tidak dapat mengembangkan industri
di Prancis karena mereka tidak diberi keamanan politik. Dapat
disimpulkan dalam kata-kata Carroll bahwa"nilai-nilai etika
14 | YOUTH ENTERPRENEUR
memiliki pengaruh pada pertumbuhan kewirausahaan, tetapi untuk
mempertimbangkan semuanya secara keseluruhan tidak realistis."
1.7. Teori Kewirausahaan Hagen
Salah satu teori penting tentang perilaku kewirausahaan
telah dikemukakan oleh Hagen yang disebut sebagai penarikan
penghargaan status. Hagen mengaitkan penarikan penghormatan
status suatu kelompok dengan asal mula kewirausahaan. Hagen
menganggap pencabutan status, rasa hormat, sebagai mekanisme
pemicu perubahan dalam pembentukan kepribadian. Pencabutan
status terjadi ketika anggota beberapa kelompok sosial merasa
bahwa tujuan dan nilai-nilai mereka dalam hidup tidak dihormati
oleh kelompok dalam masyarakat yang mereka hormati, dan yang
harga diri mereka hargai.
Hagen mendalilkan empat jenis peristiwa yang dapat
menghasilkan penarikan status:
a. Tergesernya kelompok elit tradisional dari status sebelumnya
oleh kekuatan fisik suplai tradisional lainnya.
b. Pencemaran nama baik simbol melalui beberapa perubahan
dalam sikap kelompok atasan.
c. Inkonsistensi simbol status dengan distribusi kekuatan
ekonomi yang berubah.
d. Tidak menerima status yang diharapkan tentang migrasi ke
masyarakat baru.
Hagen lebih lanjut mendalilkan bahwa penarikan
penghargaan status akan memberikan empat kemungkinan reaksi
dan menciptakan empat tipe kepribadian yang berbeda:
a. Retret: Pengusaha yang terus bekerja di masyarakat tetapi
tetap tidak peduli pada pekerjaan atau statusnya.
b. Ritualist: Orang yang bekerja sesuai dengan norma-norma
dalam masyarakat tetapi tidak ada harapan perbaikan kondisi
kerja atau statusnya.
c. Reformis: Orang yang memberontak dan mencoba membawa
cara baru untuk bekerja dan masyarakat baru.
PENDEKATAN TEORITIK DALAM ENTREPRENEURSHIP | 15
d. Inovator: Seorang wirausahawan yang kreatif dan berusaha
mencapai tujuan yang ditetapkan oleh dirinya sendiri.
Menurut Hagen (1962), kreativitas kelompok minoritas yang
kurang beruntung merupakan sumber utama wirausaha. Ia
mengembangkan tesis ini dari kasus komunitas samurai Jepang.
Secara tradisional, komunitas ini menikmati status tinggi yang
kemudian dirampas. Untuk mendapatkan kembali prestise yang
hilang ini, perusahaan menjadi lebih aktif dan bersemangat serta
memunculkan banyak pengusaha. McClelland mendukung tesis ini
dengan mengakui bahwa komunitas yang tertindas memiliki lebih
banyak kreativitas. Dia mengatakan bahwa Jain bisa menjadi
pengusaha sukses karena kesadaran mayoritas dan kompleks
superioritas mereka. McClelland telah sedikit memodifikasi tesis
Hagen untuk menjelaskan kasus seperti itu. Ia menyatakan bahwa
subordinasi kelompok minoritas dapat membangkitkan motivasi
berprestasi pada anggotanya tetapi luasnya tergantung pada tingkat
motivasi awal dan sarana yang tersedia bagi kelompok untuk
mengaktifkan motivasi berprestasi.
1.8. Teori Nilai Budaya Thomas Cochran
Proporsi utama dalam teori Thomas Cochran adalah nilai
budaya, ekspektasi peran, dan sanksi sosial. Menurutnya,
wirausahawan merepresentasikan kepribadian teladan masyarakat.
Penampilannya dipengaruhi oleh faktor-faktor sikapnya sendiri
terhadap pekerjaannya, ekspektasi peran yang dipegang oleh
kelompok yang memberi sanksi, dan persyaratan operasional
pekerjaan. Penentu dua faktor pertama adalah nilai-nilai masyarakat.
Perubahan dari waktu ke waktu dalam variabel seperti populasi,
teknologi, dan pergeseran kelembagaan akan berdampak pada
struktur peran dengan menciptakan kebutuhan operasional baru.
Di sebagian besar negara, wirausahawan muncul dari kelas
sosial ekonomi tertentu. Etika Protestan di Barat dikatakan
berkontribusi pada munculnya kelas industrialis baru. Dapat dicatat
bahwa berbagai komunitas dan kasta sepertiamurai di Jepang, pola
keluarga di Prancis, Yoruba di Nigeria, Kikuya di Kenya, Kristen di
16 | YOUTH ENTERPRENEUR
Lebanon, industrialis HalaiMemon di Pakistan, Parsees, Marwaries
dan Gujaratis di India telah menjadi sumber kewirausahaan.
1.9. Teori Perubahan Pola Tingkat Kelompok
Young mendefinisikan wirausaha karena karakteristik
wirausaha ditemukan dalam kelompok kecil di mana individu
berkembang sebagai wirausaha. Young sampai pada pola perilaku
kelompok wirausaha berdasarkan studinya yang dikenal dengan Tes
Apresiasi Tematik (TAT) pada kelompok wirausaha. Tes tersebut
mengungkapkan 'kecenderungan untuk menggambarkan situasi
sebagai masalah yang harus diselesaikan, kesadaran akan upaya
pragmatis yang diperlukan, kepercayaan pada kemampuan mereka
sendiri untuk memecahkan masalah dan kecenderungan untuk
mengambil sudut pandang masing-masing individu pada gilirannya
dan menganalisis situasi sebagai dia mungkin melihatnya sebelum
menyarankan hasil.
Teori Young adalah teori perubahan yang didasarkan pada
penggabungan subkelompok reaktif masyarakat. Sebuah grup
menjadi reaktif ketika tiga kondisi berikut bertepatan:
a. Ketika akses ke jaringan sosial penting ditolak;
b. Ketika sebuah kelompok mengalami pengakuan status yang
rendah; dan
c. Ketika kelompok memiliki sumber daya kelembagaan yang
lebih baik daripada kelompok lain dalam masyarakat pada
tingkat yang sama.
1.10. Teori Ekonomi Kewirausahaan
Banyak ekonom mengungkapkan bahwa kewirausahaan dan
pertumbuhan ekonomi akan terjadi dalam keadaan di mana kondisi
ekonomi tertentu mendukung lingkungan bisnis. Pendukung utama
teori ini adalah Papanek dan Harris. Menurut mereka, insentif
ekonomi adalah kekuatan utama kegiatan kewirausahaan di negara
manapun. Ada banyak faktor ekonomi yang mendorong atau
menurunkan kewirausahaan di suatu negara. Faktor-faktor tersebut
adalah:
PENDEKATAN TEORITIK DALAM ENTREPRENEURSHIP | 17
a. Ketersediaan kredit bank
b. Pembentukan modal tinggi dengan arus tabungan dan
investasi yang baik
c. Menyediakan dana pinjaman dengan tingkat bunga yang lebih
rendah.
d. Meningkatnya permintaan untuk layanan iklan barang
konsumen
e. Ketersediaan sumber daya produktif.
f. Kebijakan ekonomi yang efisien seperti kebijakan moneter
iklan fiscal
g. Fasilitas komunikasi dan transportasi
Pembangunan ekonomi adalah hasil rasionalisasi teknologi
dan sistem akuntansi dan perolehan modal dan penggunaan
produktifnya adalah tema utama tesis Weberian. Beberapa ahli telah
mencoba menjelaskan pertumbuhan kewirausahaan dari segi faktor
ekonomi daerah, e.i., dukungan industri terhadap lingkungan di
daerah tersebut. Aquestion yang dianalisis oleh seorang peneliti
adalah: “Karena Jain dan Vaisya ada di setiap pelosok India,
mengapa hanya Marwari ad Gujarati Vaisyas dan Jain yang
memimpin dalam berwirausaha, kebanyakan di Gujarat”. Analisis
ini mengungkapkan bahwa Gujarat memiliki lingkungan yang
menguntungkan bagi bisnis dan industri. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa iklim industri dapat memberikan pengaruh
yang sangat signifikan terhadap respon pengusaha. Namun, faktor
kelompok, seperti yang ditekankan oleh berbagai penelitian, tidak
dapat diabaikan sama sekali.
1.11. Teori Eksposur Kewirausahaan
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa paparan ide
dan peluang baru menuju kreativitas iklan inovasi yang mengarah
pada penciptaan usaha baru. Terdapat bukti empiris yang memadai
untuk membuktikan validitasnya. 'Tripathi telah mengamati bahwa
keterpaparan terhadap ide-ide dan nilai-nilai baru adalah faktor
umum antara para pengusaha Parsi dan Hindu, yang mengarahkan
mereka pada kewirausahaan. Pendidikan telah memainkan peran
18 | YOUTH ENTERPRENEUR
yang sangat penting dalam mengekspos wirausahawan India pada
ide-ide Barat yang mengarahkan mereka ke kewirausahaan. Ini juga
merupakan tanggapan yang berbeda dari kelompok-kelompok sosial
terhadap peluang yang diberikan oleh komitmen sistem politik
terhadap industrialisasi yang telah menyebabkan proses penyebaran
kewirausahaan. Konsep ini diilustrasikan pada Gambar seperti di
bawah ini:
Gambar 1.4 Flow new venture creation
1.12. Teori Sistem Politik Pertumbuhan Wirausaha
Sistem politik dapat menghasilkan infrastruktur yang
memadai, undang-undang yang mendukung, sistem dan prosedur
perpajakan yang menguntungkan, memberikan insentif dan subsidi,
keamanan bagi wirausahawan, membuat kebijakan yang
mempromosikan dan dapat mendorong orang menuju
kewirausahaan. Pemerintah juga dapat membangun sistem
pendukung bagi calon wirausaha. Dengan demikian, komitmen
sistem politik dapat memberikan kontribusi yang signifikan
terhadap pengembangan kewirausahaan.
PENDEKATAN TEORITIK DALAM ENTREPRENEURSHIP | 19
Gambar 1.5: Teori Sistem Politik Pertumbuhan Wirausaha
Menurut Hoselitz, pengusaha Jepang dapat tumbuh subur
karena sistem politiknya mampu berintegrasi dengan baik dengan
berbagai sektor seperti industri dan pertanian, industri besar, kecil
dan kerajinan tangan, padat karya dan padat modal, serta struktur
sosial tradisional dan modern. Juga, tidak ada gangguan kolonial.
Menurut Boulding, “struktur politik adalah faktor penentu dalam
pertumbuhan kewirausahaan di Prancis dan Rusia. Tetapi sebelum
1917 itu tidak berkembang karena kemampuan kreatif massa tidak
dapat menemukan ekspresi. Hoselitz berpendapat bahwa Prancis
tertinggal secara kewirausahaan, karena sistem politiknya tidak
memberikan insentif dan keamanan yang memadai kepada para
pengusaha.
20 | YOUTH ENTERPRENEUR
DAFTAR PUSTAKA
Bygrave, William D & Hofer, Charles W (1991), 'Theorizing about
entrepreneurship', Entrepreneurship Theory and Practice, vol.
16, no. 2, pp. 13-22.
Chepurenko, Alexander (2015), 'Entrepreneurship Theory: New
Challenges and Future Prospects', Foresight-Russia, vol. 9, no.
2, pp. 44-57.
Davidson, Peer. Researching entrepreneurship, 2004 Springer
Science + Business Media, Inc
YOUTH ENTERPRENEUR | 21
22 | YOUTH ENTERPRENEUR
2.1. Definisi Entrepreneurship
Banyak sekali definisi yang telah dikemukakan oleh para
peneliti dalam studi akademis terkini di bidang entrepreneurship.
Terlepas dari kenyataan bahwa mendefinisikan entrepreneurship telah
menyibukkan para peneliti dan/atau sarjana selama bertahun-tahun,
namun masih belum ada konsensus tentang makna yang pasti dari
entrepreneurship. Kurangnya definisi yang konsisten dari istilah
kewirausahaan menjadi tantangan bagi penelitian di lapangan (P.J.
Peverelli dan J.Song 2012; Alan Gutermen 2012; Nadim A. & Richard
G. 2008).
Istilah entrepreneurship diapdosi dari Bahasa Perancis,
“entreprendre” yang berarti melakukan (to undertake), memulai atau
berusaha melakukan tindakan mengorganisir dan mengatur. Istilah
entrepreneurship mulai diperkenalkan dalam tulisan Richard
Cantillon yang berjudul “Essai Sur la Nature du Commerce en General”
tahun 1755 (Bula,2012). Meskipun tidak ada definisi resmi tentang
kewirausahaan, definisi berikut ini berevolusi dari pekerjaan yang
dilakukan di Harvard Business School dan sekarang diterima secara
umum oleh penulis: "Kewirausahaan adalah proses menciptakan
atau merebut peluang dan mengejarnya terlepas dari apapun sumber
daya saat ini dikendalikan "(Timmons, 1994).
Kirzner memberikan arti yang tepat pada kata
"kewirausahaan". Pertama, kewirausahaan neurship adalah
"kewaspadaan" terhadap peluang baru. Seperti inilah
wirausahawan. Kedua, kewirausahaan adalah urutan tindakan
inovatif yang mengikuti "penemuan" peluang tersebut. Inilah yang
dilakukan pengusaha. Dalam teori Kirzner, seperti apa
wirausahawan itu pasti menentukan apa yang dilakukan
wirausahawan. Dalam ilustrasi yang dijabarkan oleh teori Kirzner,
bahwa bukan keuntungan yang mendorong seorang wirausahawan
mengambil jalur baru tetapi the expectation of profit. Kewaspadaan
mengarah pada penemuan peluang baru. Jika peluang yang
ditemukan adalah nyata, pengusaha akan bertindak.
PENGERTIAN YOUTH ENTREPRENEUR | 23
2.1.1. Entrepreneurship is Alertness
Dalam arti pertamanya, kewirausahaan adalah aspek
tindakan. Ini adalah elemen dalam logika pilihan Austria yang
hilang dari logika pilihan neoklasik tradisional. Jadi, kewirausahaan
hadir dalam ekonomi mikro Austria, tetapi tidak dalam
mikroekonomi neoklasik. Menurut Kirzner, kewirausahaan adalah
perubahan sarana tujuan kerangka pemilih. Perubahan seperti itu
bisa terjadi karena wirausahawan "waspada" terhadap kemungkinan
tindakan baru. Jika pengusaha tidak waspada, dia tidak akan pernah
mengadopsi kerangka kerja tujuan baru, dan perubahan dalam
kehidupan ekonomi tidak mungkin dilakukan. Tetapi perubahan
adalah fitur penting dari tindakan manusia karena perjalanan waktu
membuat kita semua berubah dan tidak pasti. Waktu dan
kesempatan terjadi pada kita semua.
2.1.2. Entrepreneurship is Action
Dalam arti kedua, kewirausahaan adalah rangkaian tindakan
yang mengikuti dari penemuan peluang. Tindakan ini harus
mengikuti dari penemuan. Jika wirausahawan tidak bertindak
berdasarkan peluang, dia belum "menemukannya" sama sekali.
2.1.3. Entrepreneurship Produces Market Order
Proses pasar adalah proses dinamis perubahan yang
didorong oleh wirausahawan yang waspada yang menemukan
peluang keuntungan baru. Sepanjang proses pasar, ada insentif
ekonomi bagi orang untuk mengumpulkan kembali sumber daya.
Orang menanggapi seperti itu insentif, tetapi kemampuan individu
untuk mengenali insentif dan mengalokasikan kembali sumber daya
bervariasi. Individu dengan kewaspadaan superior terhadap
perubahan dan keadaan disekuilibrium bergerak untuk
mengeksploitasi peluang dan memperoleh keuntungan ekonomi.
Dengan demikian, peran wirausahawan adalah menemukan dan
merebut peluang pasar melalui alokasi kembali sumber daya
produktif.
24 | YOUTH ENTERPRENEUR
2.1.4. Entrepreneurship Involves Calculation
Dalam pengertian Kirzner, peluang "terlihat" jika dan hanya
jika diterapkan. Ini tidak memerlukan biaya peluang. Yang penting
untuk proses tersebut adalah penemuan non-kesengajaan dari
peluang yang tidak terduga. Pernyataan ini tidak boleh dianggap
menyiratkan, bagaimanapun, bahwa penemuan peluang
kewirausahaan tidak memerlukan perhitungan biaya uang dan
pendapatan. Kirzner menyadari bahwa untuk "melihat" suatu
kesempatan membutuhkan perencanaan dan perhitungan (Kirzner,
1973, hlm. 74-75).
2.1.5. Entrepreneurship is a process
Kewirausahaan adalah proses yang melibatkan banyak
tahapan tindakan. Namun, jika kita melihat proses tersebut dari
perspektif yang cukup jauh dan abstrak, rinciannya akan hilang dari
pandangan. Perspektif ini adalah yang diadopsi oleh Kirzner. Dalam
teorinya, tahapan proses penemuan tidak terlihat lagi. Tetapi jika kita
melihat lebih dekat, kita dapat melihat tahapan terpisah yang terjadi
pada waktu yang berbeda. Kurangnya minat Kirzner pada tahap-
tahap proses penemuan kewirausahaan tidak boleh dianggap
menyiratkan bahwa tahapan tersebut tidak ada atau bahwa teorinya
menyangkal bahwa tahapan tersebut ada. Teori Harper yang dibahas
di bawah ini memberikan pendekatan Austria pada tahapan
tindakan yang terlibat dalam proses kewirausahaan (Harper, 1994,
1996, 1998).
Entrepreneur adalah orang yang mempunyai semangat, sikap,
perilaku dan kemampuan wirausaha dalam menangani usaha atau
kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan serta
menerapkan cara kerja, teknologi dan produk baru dengan
meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan plelayanan yang
lebih baik atau memperoleh keuntungan yang lebih besar. Melihat
sebuah peluang menjadi awal suatu ide untuk menancapkan sebuah
roda usaha. Namun, hal tersebut perlu ditindaklanjuti dengan upaya
eksploitasi peluang sehingga menciptakan keuntungan yang
PENGERTIAN YOUTH ENTREPRENEUR | 25
menjanjikan. Dalam hal ini, tidak semua orang mampu melihat
peluang usaha.
Terdapat beberapa karakteristik kepribadian seseorang yang
akan mempengaruhi dirinya dalam cara mengorganisasikan peluang
wirausaha. Kepribadian yang berbeda akan menunjukkan
perbedaan cara dalam menghadapi tantangan meski berada dalam
situasi yang sama. Faktor-faktor psikologi dan keputusan
mengeksploitasi, seseorang yang memiliki kemampuan
mengeksploitasi peluang wirausaha akan membuat keputusan
berbeda dari orang lain pada keadaan dimana informasi dan
keahlian sama dan karakter psikologis lebih mempengaruhi
kemampuan mengeksploitasi. Diantaranya kepribadian, motivasi,
evaluasi diri, sifat kognitif, peluang, minat, berani mengambil resiko,
kreatif dan inofatif, dan menumbuhkan pola pikir kewirausahaan.
Entrepreneurship berarti penciptaan bisnis baru dan siapa pun
yang berhasil mendirikan bisnis baru adalah wirausahawan
langsung (Drucker,1985). Demikian halnya Global Entrepreneurship
Monitor mendefinisikan kewirausahaan sebagai penciptaan bisnis
baru atau upaya apa pun untuk melakukannya, perluasan bisnis
yang sudah ada, organisasi bisnis baru, atau bisnis yang sudah
mapan (GEM 2001). Entrepreneurship, menurut Onuoha (2007) adalah
praktek memulai organisasi baru atau merevitalisasi organisasi yang
matang, terutama bisnis baru umumnya sebagai tanggapan atas
identifikasi peluang.
Dari definisi di atas, entrepreneurship dapat disimpulkan
dalam 3 kalimat kunci yakni:
1. Entrepreneurship melibatkan penciptaan atau perluasan bisnis.
2. Pengambilan risiko atau penerimaan kegagalan.
3. Bakat untuk mengidentifikasi dan memanfaatkan peluang
baru untuk menghasilkan produk atau proses / pasar baru.
Dengan kata lain bahwa entrepreneurship merupakan suatu
proses menciptakan sesuatu yang baru yang bernilai, khususnya
menanggapi peluang yang tersedia. Ini melibatkan waktu, upaya,
dan asumsi risiko, dengan harapan menerima imbalan pada
26 | YOUTH ENTERPRENEUR
akhirnya. Imbalannya bisa dalam bentuk apapun moneter atau non-
moneter (kepuasan pribadi).
2.2. Siapakah Youth Entrepreneurs ?
Entrepreneur merupakan pelaku entrepreneurship. Seorang
entrepreneur tidak perlu menjadi seorang manajer atau pendiri
perusahaan, seperti yang telah banyak diasumsikan dalam berbagai
penelitian tentang entrepreneurship. Beberapa penelitian lain lebih
lanjut berpendapat bahwa orang yang mengembangkan cara baru
untuk memasarkan jasa dan barang, tidak hanya pendiri atau
manajer, bisa menjadi entrepreneur. Misalnya Kirzner (1973) yang
mendefinisikan entrepreneur sebagai "Orang yang mengakui dan
bertindak atas peluang keuntungan, pada dasarnya seorang
arbitrase". Pada dasarnya seorang entrepreneur dapat dilihta dari
berbagi perspektif, baik dari segi ekonom, psikolog dan sesama
entrepreneur sendiri.
Bagi seorang ekonom, entrepreneur adalah seseorang yang
membawa sumber daya, tenaga kerja, material, dan aset lainnya ke
dalam kombinasi yang membuat nilainya lebih besar dari
sebelumnya, dan juga orang yang memperkenalkan perubahan,
inovasi, dan tatanan baru. Bagi psikolog, entrepreneur biasanya
didorong oleh kekuatan tertentu - kebutuhan untuk memperoleh
atau mencapai sesuatu, untuk bereksperimen, seorang entrepreneur
tampak sebagai ancaman, pesaing yang agresif. Sedangkan bagi
entrepreneur lain, akan melihat entrepreneur yang sama dapat menjadi
sekutu, sumber pasokan, pelanggan, atau seseorang yang
menciptakan kekayaan bagi orang lain, serta menemukan cara yang
lebih baik untuk memanfaatkan sumber daya, mengurangi
pinggang, dan menghasilkan pekerjaan. (Vesper, 1980).
Pada intinya, seorang entrepreneur ialah seseorang yang
melakukan kegiatan penciptaan atau perluasan bisnis, pengambilan
risiko atau penerimaan kegagalan, serta memiliki bakat untuk
mengidentifikasi dan memanfaatkan peluang baru untuk
menghasilkan produk atau proses / pasar baru. Sedangkan youth
entrepreneurs merupakan ialah generasi muda (millenilas) yang
PENGERTIAN YOUTH ENTREPRENEUR | 27
mengorganisir dan mengoperasikan bisnis besar atau bisnis kecil
lengkap dengan tantangan yang dihadapinya (Pendergast,2009).
Berdasarkan Generation Theory yang dicetuskan oleh Karl
Mannheim pada tahun 1923, generasi millenials adalah generasi yang
lahir pada rasio tahun 1980 sampai dengan 2000. Generasi millenial
juga disebut sebagai generasi Y. Istilah ini mulai dikenal dan dipakai
pada editorial koran besar Amerika Serikat pada Agustus 1993
(Yembise, 2018). Menurut Ali dan Lilik (2017) dalam bukunya
Millennial Nusantara menyebutkan bahwa Generasi milenial
Indonesia adalah mereka yang lahir antara tahun 1981 sampai
dengan tahun 2000. Menurut Sebastian (Green, 2014) bahwa ada
beberapa keunggulan dari generasi milenial, yaitu ingin serba cepat,
mudah berpindah pekerjaan dalam waktu singkat, kreatif, dinamis,
melek teknologi, dekat dengan media sosial, dan sebagainya.
Menurut Khan (2016) youth entrepreneurs (pengusaha muda)
ialah generasi muda (millennials) yang mengorganisir dan
mengoperasikan bisnis besar atau bisnis kecil, serta berani
mengambil risiko moneter yang lebih tinggi dari biasanya. Para
milenials memilih menjadi youth entrepreneurs ditengarai oleh
beberapa faktor diantaranya, ekonomi dan kependudukan,
Pergeseran ke ekonomi jasa, kemajuan teknologi, dan gaya hidup
bebas (Johnson, 2014). Johnson (2014) menjelaskan bahwa faktor
ekonomi dan kependudukan dimana komposisi jumlah penduduk
suatu negara sebagian besar pada kisaran umur 25 - 35 tahun akan
menyadari bahwa cara meraih sukses yang mudah yakni dengan
berwirausaha. Kemajuan teknologi dan pergeseran ke ekonomi jasa
pun dianggap faktor yang memicu milenial untuk berlomba menjadi
youth entrepreneurs.
2.3. Karakteristik Youth Entrepreneurs
Beberapa studi penelitian telah dilakukan untuk
mengidentifikasi karakteristik/ciri seorang entrepreneur sejati.
Meskipun tidak ada karakteristik spesifik yang diterima secara
universal yang telah ditemukan untuk dimilikioleh semua
entrepreneur, namun hanya ada sedikit sifat yang dimiliki oleh
28 | YOUTH ENTERPRENEUR
kebanyakan entrepreneur sukses. Karakteristik ini pula harus dimiliki
oleh para youth entrepreneur yakni:
1. Motivasi
Youth entrepreneur harus memiliki gairah, semangat dan motivasi
yang tinggi. Mereka memiliki tingkat energi yang tinggi dan
selalu bersedia mengambil inisiatif. Mereka selalu memikirkan
bisnis mereka dan bagaimana meningkatkan pangsa pasar,
bagaimana memperbaiki proses yang ada.
2. Toleransi terhadap resiko
Pendirian usaha syarat dengan risiko dan pengusaha harus
menanggung risiko. Karena risiko dan imbalan tidak dapat
dipisahkan, untuk berkembang, seorang youth entrepreneur harus
memiliki selera yang besar untuk menanggung risiko.
3. Visi
Salah satu tanggung jawab utama seorang youth entrepreneur,
sebagai pendiri dan kepala perusahaan, adalah memutuskan
kemana bisnis harus pergi. Itu membutuhkan visi yang kuat dari
seorang youth entrepreneur.
4. Kemampuan Mental dan Kreativitas
Youth entrepreneur harus mengantisipasi perubahan dan harus
mampu mempelajari berbagai situasi di mana keputusan harus
dibuat. Youth entrepreneur sukses memiliki kemampuan kreatif
untuk mengenali dan mengejar peluang. Youth entrepreneur selalu
mencari cara baru dalam melakukan sesuatu, meluncurkan
produk baru, menyediakan layanan baru, dll.
5. Tujuan yang Jelas
Seorang youth entrepreneur memiliki kejelasan tentang tujuan yang
ingin dicapai dalam usahanya, sifat barang yang akan diproduksi
dan kegiatan anak perusahaan yang akan dijalankan. Kejelasan
tujuan membantu youth entrepreneur untuk menerjemahkan ide
bisnis mereka menjadi kenyataan.
6. Kemampuan komunikasi yang baik
Ini pada dasarnya berkaitan dengan komunikasi secara efektif.
Youth entrepreneur yang dapat berkomunikasi secara efektif
dengan pelanggan, karyawan, pemasok, dan kreditor akan lebih
PENGERTIAN YOUTH ENTREPRENEUR | 29
mungkin berhasil daripada youth entrepreneur yang tidak
memiliki kemampuan yang baik.
7. Human Skills
Faktor kepribadian terpenting yang berkontribusi pada
kesuksesan youth entrepreneur termasuk stabilitas emosional,
hubungan antar pribadi yang baik, pertimbangan dan
kebijaksanaan. Seorang youth entrepreneur harus menjaga
hubungan baik dengan pelanggannya sehingga mendorong
mereka untuk terus menggurui bisnisnya. Youth entrepreneur juga
harus menjaga hubungan baik dengan karyawannya sehingga
memotivasi mereka untuk melakukan pekerjaannya dengan
tingkat efisiensi yang tinggi
8. Literasi yang baik
Seorang youth entrepreneur harus memiliki pengalaman literasi
yang baik untuk mampu mendesign tujuan, visi dan
mengimplemantasikan pengetahuan yang dimilikinya dalam
menjalankan bisnisnya.
2.4. Youth Entrepreneurs Di Indonesia
Kew et al. (2013) dalam laporan Youth Business International
and Global Entrepreneurship Monitor menyebutkan 80% generasi
millenials di Asia Pasifik dan Asia Selatan merupakan youth
entrepreneur TEA yang berbisnis dengan opportunity driven. Kaum
millenials ini mengacu pada orang-orang yang berusia antara 18 - 34
tahun (Kew et al., 2013). Aktivitas pengusaha di Indonesia memiliki
tingkat yang relatif tinggi pada Total Early-stage Entrepreneurial
Activity yang selanjutnya disebut TEA (GEM, 2013). Pengusaha yang
termasuk dalam TEA adalah kelompok nascent entrepreneurship dan
new business ownership. Keduanya adalah kelompok usaha yang
tergolong berada pada tahap awal. Tingkat persentase TEA di
Indonesia sendiri mencapai 25,5%.
Data Himpunan Pengusaha Muda Indonesia menyebutkan,
hingga saat ini pemuda Indonesia menggeluti atau menjadi seorang
pengusaha ternyata hanya tiga persen dari total jumlah penduduk
sekitar 260 juta jiwa. Beberapa faktor penentu Kegagalan dan
30 | YOUTH ENTERPRENEUR
keberhasilan usaha seorang youth entrepreneur ditentukan oleh
antara lain :
1. Faktor pemasaran
Dalam konteks ini, pemasaran adalah lokomotif bagi gerbong-
gerbong lainnya seperti keuangan, personalia, produksi,
distribusi, logistik, pembelian dan lain-lain. Banyak usaha yang
gagal karena lupa bahwa lokomotifnya belum berjalan dengan
baik.
2. Faktor manusia (SDM)
Membutuhkan SDM yang matang dan handal dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, mengembangkan usaha
dan mempunyai kepemimpinan yang baik.
3. Faktor keuangan
Jangan pernah berpikir bahwa bisnis tanpa keuangan (arus kas)
yang lancar itu bisa berhasil. Arus kas itu bagaikan aliran darah
dalam tubuh kita. Bila arus kas tidak mengalir, maka bisnis pasti
berhenti dan mati. Risiko keuangan harus bisa dikendalikan
dengan baik, sehingga ada perhitungan dan perencanaannya.
4. Faktor organisasi
Ibarat sebuah pohon yang memiliki batang yang kokoh dan kuat,
organisasi usaha itu harus terstruktur dengan baik. Organisasi
usaha juga tidak statis tapi dinamis, kreatif dan berwawasan
kedepan.
5. Faktor perencanaan
Anda harus memahami bahwa bekerja tanpa rencana berarti
berjalan tanpa tujuan yang jelas. Jadi sudah pasti rencana adalah
faktor penting dalam sebuah usaha.
6. Faktor lokasi/pasar
Faktor ini berpengaruh banyak karena usaha juga berhubungan
dengan peraturan daerah, legalitas dan perizinan, situasi ekonomi
dan politik, perkembangan budaya lokal yang harus diikuti,
lingkungan sosial yang berbeda disetiap daerah dan faktor-faktor
didaerah tersebut.
PENGERTIAN YOUTH ENTREPRENEUR | 31
7. Faktor kreatifitas
Dalam sebuah usaha, kreatifitas sangat dibutuhkan, karena
pekerjaan selalu mengalami perubahan, terdapat masalah yang
kompleks, kemajuan informasi dan teknologi yang selalu
berkembang yang menuntut selalu adanya kreatifitas.
2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Karakteristik
Wirausaha
a. Lingkungan keluarga dan masa kecil
Beberapa penelitian yang berusaha mengungkap mengenai
pengaruh lingkungan keluarga terhadap pembentukan semangat
berwirausaha. Penelitian bertopik urutan kelahiran menemukan
bahwa anak dengan urutan kelahiran pertama lebih memilih
untuk berwirausaha. Namun, penelitian ini perlu dikaji lebih
lanjut. Selanjutnya pengaruh pekerjaan orang tua terhadap
pertumbuhan semangat kewirausahaan ternyata memiliki
pengaruh yang signifikan.
b. Pendidikan
Faktor pendidikan juga tak kalah memainkan penting dalam
penumbuhan semangat kewirausahaan. Pendidikan tidak hanya
mempengaruhi seseorang untuk melanjutkan usahanya namun
juga membantu dalam mengatasi masalah dalam menjalankan
usahanya.
c. Nilai-nilai Personal
Faktor selanjutnya adalah nilai-nilai personal yang akan
mewarnai usaha yang dikembangkan seorang wirausaha. Nilai
personal akan membedakan dirinya dengan pengusaha lain
terutama dalam menjalin hubungan dengan pelanggan, suplier,
dan pihak-pihak lain, serta cara dalam mengatur organisasinya.
d. Pengalaman Kerja
Pengalaman kerja tidak sekedar menjadi salah satu hal yang
menyebabkan seseorang untuk menjadi seorang entrepreneur.
Pengalaman ketidak puasan dalam bekerja juga turut menjadi
salah satu pendorong dalam mengembangkan usaha baru.
32 | YOUTH ENTERPRENEUR
YOUTH ENTERPRENEUR | 33
34 | YOUTH ENTERPRENEUR
3.1. Definisi Financial Literacy
Kata literasi diambil dari bahasa Inggris yaitu “literacy” yang
berarti kemampuan membaca dan menulis. Seiring perkembangan
jaman konsep literasi tidak hanya identik dengan kemelekan huruf
seseorang, namun juga terhadap teknologi yaitu computer literacy,
dan dalam bidang keuangan dikenal financial literacy. Financial
Literacy adalah tentang bagaimana seseorang dapat mengelola
uangnya dengan menggunakan pengetahuan mereka tentang
keuangan itu sendiri.
Menurut (Thomas et al., 2016) financial literacy tidak terbatas
pada orang yang cakap dan berpengetahuan luas. Individu yang
menyadari keterbatasan mereka dalam masalah keuangan tertentu
tetapi mampu menemukan sumber yang tepat untuk mendapatkan
pengetahuan yang diperlukan untuk dapat membuat keputusan
yang tepat. Financial literacy didefinisikan sebagai kemampuan untuk
mengelola keuangan pribadi (Sohn et al., 2012) Sementara itu,
(Fünfgeld & Wang, 2009) menyebutkan bahwa financial literacy
adalah pengetahuan yang cukup tentang fakta, konsep, prinsip dan
teknologi yang mendasari sebagai dasar untuk pintar dalam
menggunakan uang. Lebih jauh, financial literacy didefinisikan
sebagai komponen sumber daya manusia terbaik yang dapat
digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan finansial.
Pada pertengahan 1990-an, financial literacy menjadi topik
kebijakan penting ketika koalisi diluncurkan di Amerika Serikat.
Salah satu kontribusi penting dari inisiatif ini adalah survei financial
literacy di kalangan Amerika pada 1997-1998. Menyusul
perkembangan pesat sektor keuangan, negara-negara lain seperti
Jepang dan Inggris juga mulai mempertimbangkan pentingnya
financial literacy di antara warga negara mereka. Namun, baru pada
2005 terlihat upaya untuk menjadikan financial literacy menjadi
sorotan global, ketika Organisasi Kerjasama Ekonomi dan
Pembangunan (OECD) mengeluarkan Prinsip dan Praktek yang Baik
untuk Kesadaran Pendidikan Keuangan. Sejak itu, perhatian
terhadap literasi keuangan melonjak di arena pembuatan kebijakan.
YOUTH ENTREPRENEUR & FINANCIAL LITERACY | 35
OECD mendefinisikan financial literacy sebagai "kombinasi
kesadaran, pengetahuan, kemampuan perilaku, dan sikap yang
diperlukan untuk mengambil modal dan keuangan yang tepat untuk
memenuhi kondisi yang memuaskan." Financial literacy menekankan
pentingnya menerapkan pengetahuan dan keterampilan dalam
keuangan untuk memutuskan beberapa keputusan keuangan. Jadi
pada titik ini untuk melihat bagaimana seseorang benar-benar
memiliki financial literacy dapat dilihat sejauh mana seseorang
memiliki perilaku keuangan yang akan membuat keputusan
keuangan yang baik untuk seseorang. Sebuah penelitian di Rwanda
oleh (Uc. ediringhe, y.m.s. keertipala, 2019) mengungkapkan bahwa
dengan memberikan pelatihan financial literacy mempengaruhi
perilaku keuangan. Ini membantu mengubah perilaku tabungan,
pinjaman, dan pembayaran mereka. Lebih lanjut studi ini juga
mengungkapkan bahwa literasi keuangan sebagai faktor penting
yang menjelaskan perubahan perilaku.
Definisi financial literacy menurut (Thiago Borges Ramalho
and Denis, n.d.) adalah kemampuan seseorang untuk mendapatkan,
memahami, dan mengevaluasi informasi yang relevan untuk
pengambilan keputusan dengan memahami konsekuensi finansial
yang ditimbulkannya. Menurut (Metawa et al., 2019) “Financial
literacy is the ability to use knowledge and skills to manage financial
resources effectively for lifetime financial security”. Financial literacy
terjadi manakala seorang individu memiliki sekumpulan keahlian
dan kemampuan yang membuat orang tersebut mampu
memanfaatkan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan.
(Ameliawati & Setiyani, 2018) menyatakan bahwa pengetahuan
finansial merupakan dimensi yang tidak terpisahkan dari literasi
keuangan, namun belum dapat menggambarkan financial literacy
seseorang. Financial literacy memiliki dimensi aplikasi tambahan
yang menyiratkan bahwa seseorang harus memiliki kemampuan
dan kepercayaan diri untuk menggunakan pengetahuan
finansialnya untuk membuat keputusan.
36 | YOUTH ENTERPRENEUR
3.2. Dimensi Financial literacy
Ameliawati & Setiyani (2018) menegaskan bahwa financial
literacy memfasilitasi pengambilan keputusan proses seperti
pembayaran tagihan tepat waktu, manajemen utang yang tepat yang
meningkatkan kelayakan kredit calon peminjam untuk mendukung
mata pencaharian, pertumbuhan ekonomi, sehat sistem keuangan,
dan pengurangan kemiskinan. Ini juga memberikan kontrol yang
lebih besar dari seseorang masa depan keuangan, penggunaan
produk dan layanan keuangan yang lebih efektif Investor pada
bagiannya dapat mengevaluasi dan membandingkan produk
keuangan, seperti rekening bank, produk tabungan, kredit dan
pinjaman opsi, instrumen pembayaran, investasi, cakupan asuransi,
sehingga membuat optimal keputusan.
Perubahan perilaku keuangan harus pada gilirannya,
mengarah pada peningkatan hasil keuangan. Hasil keuangan dapat
mencakup, misalnya, pencapaian tujuan keuangan tertentu seperti
mencapai target tabungan, membentuk dana tabungan darurat,
mengurangi hutang, atau membeli rumah atau aset lainnya. Ini
mungkin juga melibatkan pengurangan tekanan finansial —
perasaan tertekan karena tuntutan dan kekhawatiran finansial yang
tiada henti. Hasil lain bisa berupa kepuasan finansial yang lebih
besar — rasa kontrol finansial dan kesejahteraan finansial. Ini terkait
dengan stabilitas keuangan — persepsi atau harapan bahwa
keuangan sama atau lebih baik dari sebelumnya.
Peningkatan hasil keuangan mungkin juga diindikasikan
dengan pengurangan jumlah waktu yang dihabiskan untuk masalah
keuangan atau berapa kali masalah keuangan pribadi mengganggu
pekerjaan atau penyelesaian tugas-tugas lain (Metawa et al.,
2019).Financial literacy memiliki dimensi aplikasi tambahan yang
menyiratkan bahwa seseorang harus memiliki kemampuan dan
kepercayaan diri untuk menggunakan pengetahuan finansialnya
untuk membuat keputusan.
YOUTH ENTREPRENEUR & FINANCIAL LITERACY | 37
3.3. Financial Knowledge
Financial knowledge dapat diperoleh dari pendidikan formal
dan sumber-sumber informal, maka Financial knowledge is financial
awareness and understanding about the financial concepts and procedures
as well as the use of this understanding to solve financial problems (OECD,
2016). Pendidikan formal ini seperti program sekolah tinggi atau
kuliah, seminar, dan kelas pelatihan di luar sekolah. Sumber-sumber
informal dapat diperoleh dari lingkungan sekitar, seperti dari orang
tua, teman, dan rekan kerja, maupun yang berasal dari pengalaman
sendiri. Sadalila (2011) menyebutkan pengetahuan keuangan
mencakup beberapa aspek dalam keuangan sebagai berikut :
a. Basic Personal Finance
b. Manajemen Uang
c. Manajemen Kredit dan Utang
d. Tabungan
e. Investasi
f. Manajemen Risiko
3.4. Financial Attitude
Menurut Robbins (2003) Financial Attitude adalah pernyataan
yang evaluatif baik yang menyenangkan maupun yang tidak
menyenangkan terhadap objek, individu, dan peristiwa. Sikap
memiliki 3 komponen utama yang terdiri dari (Robbins, 2003):
a. Kognitif
b. Afektif (perasaan)
c. Perilaku atau tindakan
3.5. Financial Behaviour
Perilaku keuangan (financial behaviour) mulai dikenal dan
berkembang didunia bisnis dan akademis pada tahun 1990.
Berkembangnya financial behavior dipelapori oleh adanya perilaku
seseorang dalam proses pengambilan keputusan. Beberapa
penelitian terdahulu menunjukkan financial knowledge atau
38 | YOUTH ENTERPRENEUR
pengetahuan keuangan memiliki hubungan yang positif dengan
perilaku keuangan (financial behavior) (Chaulagain, 2014).
Financial Behavior adalah suatu perilaku yang berkaitan
dengan aplikasi keuangan. Menurut Ricciardi (Dwiastanti, 2015),
behavioral finance adalah suatu displin ilmu yang di dalamnya
melekat interaksi berbagai displin ilmu dan secara terus menerus
berintegrasi sehingga pembahasannya tidak dilakukan isolasi. Ada 3
aspek yang mempengaruhi behavioral finance. Mengenai dimensi
behavioral finance, ada 3 aspek yang mempengaruhi financial behaviour.
3 aspek tersebut adalah psikologi, sosiologi, dan keuangan.
Seseorang yang ingin mempelajari financial behaviour harus memiliki
pengertian mengenai aspek psikologi, sosiologi, dan keuangan. 3
aspek ini akan memperkuat financial behaviour seseorang.
Financial behavior dimanifestasikan ketika orang memiliki
tujuan atau motivasi untuk menabung (Browning & Crossley, 2001).
Financial behaviour terkait dengan bagaimana orang memperlakukan,
mengelola, dan menggunakan sumber daya keuangan yang tersedia
baginya. Individu yang memiliki financial behaviour yang
bertanggung jawab cenderung efektif dalam penggunaan uangnya,
seperti membuat anggaran, menghemat uang dan mengendalikan
pengeluaran, berinvestasi, dan membayar kewajiban tepat waktu
(Sadalila, 2011).
3.6. Pentingnya financial literacy terhadap youth entrepreneur
Beberapa peneliti telah membuktikan bahwa financial
literacy memiliki pengaruh terhadap perilaku keuangan seseorang.
Pengukuran financial literacy para youth entrepreneurs yang dilakukan
oleh peneliti mengacu beberapa aspek dalam keuangan sesuai
dengan konsep pengukuran yang dikembangkan OECD (2016) dan
Sadalila (2011). Aspek pengukuran yang dimaksud merupakan
indikator untuk merefleksi variabel financial knowledge yakni basic
personal finance, manajemen uang, manajemen kredit dan utang,
tabungan dan invertase, serta manajemen risiko.
Sedangkan financial Behaviour yang merupakan baigian dari
financial literacy adalah perilaku para youth entrepeneurs yang
YOUTH ENTREPRENEUR & FINANCIAL LITERACY | 39
berkaitan dengan aplikasi keuangan dalam menjalankan kegiatan
bisnisnya. Farrell, Fry, & Risse (2015) mengembangkan kuesioner
dari OECD (2013) dan mengemukakan financial behaviour memiliki 3
indikator utama untuk mengukurnya yakni manajemen arus kas,
manajemen kredit, dan manajemen tabungan.
Temuan penelitian yang dilakukan oleh Listiani, (2017)
menunjukkan menunjukkan bahwa financial literacy memiliki
pengaruh positif tidak signifikan terhadap financial behavior, artinya
bahwa pengetahuan keuangan yang dimiliki oleh rata-rata
responden tidak diikuti dengan perilaku pengelolaan keuangan
yang baik. Hal ini dapat juga diartikan bahwa pengelolaan keuangan
yang dimiliki oleh rata-rata youth entrepreneur tidak diikuti dengan
pengetahuan keuangan yang baik. Hasil yang tidak signifikan berarti
semakin baik pengetahuan keuangan yang dimilki youth entrepreneur
tidak memiliki pengaruh terhadap perilaku pengelolaan
keuangannya.
Memiliki pengetahuan untuk mengelola keuangan, namun
hanya sedikit ilmu pengetahuan keuangan yang dimiliki maka akan
mengakibatkan individu kurang benar dan tepat dalam mengelola
keuangannya. Mayoritas youth entrepreneur di dunia memiliki ilmu
pengetahuan keuangan yang rendah, namun sudah baik dalam
mengelola semua aktifitas keuangan dalam kehidupan sehari-hari.
Buktinya, dalam theory of planned behavior yang dikemukakan
oleh Ajen (1991) bahwa sikap dapat mempengaruhi niat untuk
perilaku individu. Hal ini dapat disimpulkan bahwa apabila
seseorang dalam menyikapi pengetahuan keuangan itu tidak
seberapa penting maka ilmu pengetahuan keuangannya akan
rendah, namun jika ada niat dalam mengelola keuangan maka
rendahnya pengetahuan keuangan tidak berpengaruh pada perilaku
individu tersebut dalam mengelola keuangan. Hasil penelitian
penelitian Herawati et al., (2017) yang menjelaskan bahwa financial
literacy memiliki dampak langsung yang signifikan terhadap personal
financial behavior. Herdjiono et al., (2016); Herma Wiharno (2018);
Fauziyah & Aty Ruhayati (2016); Chaulagain (2014); Danes &
Haberman (2007) yang menjelaskan bahwa financial literacy memiliki
40 | YOUTH ENTERPRENEUR
dampak positif signifikan terhadap personal financial behavior.
Demikian halnya penelitian Kholilah & Iramani (2013) yang
menunjukkan bahwa pengetahuan keuangan tidak signifikan
mempengaruhi perilaku pengelolaan keuangan masyarakat.
YOUTH ENTREPRENEUR & FINANCIAL LITERACY | 41
DAFTAR PUSTAKA
Ajzen, I. 1991. The theory of planned behavior. Organizational
behavior and human decision processes, 50(2), 179-
211. (di unduh dari
https://entrepreneurshiptheories.blogspot.com/2017/08/the
ory-of-planned-behavior pada tanggal 27 Oktober 2020)
David Trafimow. 2009. The Theory of Reasoned Action
Article in Theory & Psychology. (di unduh dari
https://www.researchgate.net/publication/247743775 pada
tanggal 27 Oktober 2020)
42 | YOUTH ENTERPRENEUR
YOUTH ENTERPRENEUR | 43
44 | YOUTH ENTERPRENEUR
Definisi Social Capital
Social capital dianggap sebagai asset penting bagi individu,
kelompok serta masyarakat karena terkait dengan kesehatan
individu dan status sosial ekonomi, dan itu akan mempengaruhi
kohesi sosial, dan kesejahteraan sosial (Guiso et al., 2004). Penelitian
yang menyatakan efek dari modal sosial telah memberikan beberapa
jawaban yang meyakinkan bahwa jika masyarakat ingin sejahtera,
mereka tidak hanya membutuhkan modal fisik dan manusia, tetapi
juga modal social (Varughese & Ostrom, 2001) Jika modal fisik
mengacu kepada sumber daya yang berwujud, dan modal manusia
dapat dipahami sebagai keterampilan dan pendikikan, modal social
mengacu kepada hubungan antara individu, jaringan sosial dan
timbal balik dari kepercayaan yang muncul dari hubungan (Leonardi
et al., 2001). Jika dua jenis modal pertama pada umumnya dimiliki
secara individu, modal sosial berada pada hubungan dan karenanya
hampir secara kolektif. Hal ini menyatakan bahwa, seperti semua
barang pada umumnya, ia lebih rentan untuk diabaikan dan luput
daripada jenis modal lainnya.
(Coleman, 1988) mendefenisikan social capital sebagai sumber
daya sosial-struktural yang memfasilitasi tindakan tertentu dari
individu yang berada dalam suatu lingkungan. Lingkup social capital
berkisar dari tingkat mikro dan meso ke tingkat makro dimana
lingkup ini ditandai oleh norma sosial dan timbal balik pada
berbagai skala sosial, dari individu ke individu tingkat komunitas
dan negara. Bourdieu dalam Yustika (2012) mendefenisikan social
capital sebagai agregat sumberdaya aktual maupun potensial yang
diikat untuk mewujudkan jaringan yang awet (durable) sehingga
menginstitusionalisasikan hubungan persahabatan (acquaintance)
yang saling menguntungkan. Sehingga melalui pemaknaan tersebut
Boudieu berkeyakinan bahwa jaringan sosial tidaklah alami
melainkan dikonstruksi melalui strategi investasi yang berorientasi
pada pelembagaan hubungan-hubungan kelompok, yang dapat
dipakai sebagai sumber terpercaya untuk meraih keuntungan
(benefits).
SOCIAL CAPITAL PADA YOUTH ENTREPRENEURS | 45
Tidak semua jenis modal sosial dipandang bermanfaat, dan
hanya pada aspek tertentu dari modal sosial yang dapat berdampak
positif bagi masyarakat luas. Misalnya, Granovetter menjelaskan
perbedaan yang jelas antara ikatan yang kuat dan yang lemah,
dijelaskan bahwa jenis yang terakhir memberikan berabagai
keuntungan bagi anggotannya, terutama dalam hal pencarian
pekerjaan (Granovetter, 1973). Hubungan yang lemah
memungkinkan arus informasi yang lebih efektif dan oleh karena itu
sangat bermanfaat untuk memfasilitasi tindakan kolektif. Perbedaan
lain didasarkan pada perbedaan antara ikatan modal sosial, yang
dihasilkan dari interaksi dengan orang-orang seperti diri sendiri, dan
menjembatani interaksi dengan orang-orang dari sampel populasi
yang luas (Leonardi et al., 2001).
Terkait dengan bentuk-bentuk dari modal sosial, (Coleman,
1988) menyebutkan setidaknya terdapat tiga bentuk social capital,
yaitu:
1. Struktur kewajiban (obligations), ekspektasi (expectations), dan
kepercayaan (trustworthiness). Dalam konteks ini, bentuk social
capital tergantung pada dua elemen kunci, yaitu: kepercayaan dari
lingkungan sosial dan perluasan actual dari kewajiban yang telah
terpenuhi (obligation held). Coleman menyatakan bahwa
kepercayaan didasarkan pada pemahaman bahwa bantuan yang
diterima dari orang lain adalah seperti hutang budi yang di
berikan oleh penolong dan merupakan kewajiban dari orang yang
menerima bantuan untuk membalas budi tersebut. Coleman
yakin kepercayaan akan sirna jika kewajibaan yang diharapkan
tidak dipenuhi.
Literatur yang terbaru menunjukkan kategori kepercayaan
Coleman kemungkinan didefenisikan terlalu sempit (Allum et al.,
2010). Paldam (2000) mengemukakan bahwa kepercayaan
sebenarnya terdiri dari dua dimensi: kepercayaan umum
(kepercayaan pada orang pada umumnya) dan kepercayaan
khusus (kepercayaan pada orang yang dikenal atau institusi
tertentu). Paxton (1999) juga mengemukakan bahwa kepercayaan
bukanlah dimensi tunggal tetapi terdiri dari kepercayaan pada
46 | YOUTH ENTERPRENEUR
individu dan kepercayaan pada institusi. Terdapat dukungan
dalam literatur untuk membedakan kedua jenis kepercayaan
tersebut. Hudson (2006), contohnya, menemukan bukti di antara
orang Eropa tentang hubungan positif antara kesejahteraan
masyarakat dan lembaga kepercayaan. Rus dan Iglic (2005)
menemukan bahwa pengusaha di Slovenia lebih mengandalkan
kepercayaan institusional sementara hubungan bisnis di bosnia
berpusat pada kepercayaan antarpribadi.
2. Jaringan Informasi (Information Channels). Individu yang memiliki
jaringan lebih luas akan lebih mudah (dan murah) untuk
memperoleh informasi, sehingga dapat dikatakan modal
sosialnya tinggi; demikian pula sebaliknya. Coleman menyatakan
bahwa jaringan informasi melibatkan seorang individu dalam
memperoleh lebih banyak informasi dengan mengenal lebih
banyak orang dan mengembangkan kedekatan ikatan dengan
orang lain. Coleman memberikan beberapa contoh general untuk
menunjukkan bagaimana hubungan sosial dana berguna untuk
memperoleh informasi (1998). Beberapa literatur telah
menguraikan gagasan Coleman dan menyatakan dua bentuk
utama saluran informasi: Hubungan sosial melalui kontak
dengan keluarga dan teman (Lelkes 2006; Powdthavee 2008); dan
keterlibatan dengan masyarakat seperti partisipasi dalam
organisasi olahraga atau asosiasi profesional, dan keanggotaan
dalam organisasi sukarela (Bjorskov 2006; Putnam 2001).
3. Norma dan sanksi efektif (norms and effective sancions). Bentuk
ketiga dari modal sosial Coleman terdiri dari norma dan sanksi
efektif yang dapat mendorong tindakan yang bermanfaat untuk
tujuan bersama, dan membatasi tindakan yang tidak diinginkan
oleh masyarakat. Sebagai contoh, Coleman menyatakan “norma-
norma efektif yang menghambat kejahatan memungkinkan untuk
berjalan bebas di luar pada malam hari di kota” (1988). Ada sangat
sedikit dalam literatur yang menilai bentuk modal sosial ini,
meskipun Bjorskov (2006) mengukur norma sosial dengan
SOCIAL CAPITAL PADA YOUTH ENTREPRENEURS | 47
menanyakan kepada responden apakah perilaku seperti
menerima suap dan menggelapkan pajak dapat dibenarkan.
Konstruksi teoritis norma dan sanksi tampaknya menjadi yang
paling abstrak di antaraa dimensi modal sosial yang dinyatakan
oleh Coleman. Contoh lainnya, norma dalam sebuah komunitas
yang mendukung individu untuk memeroleh prestasi tentu saja
bisa digolongkan sebagai bentuk social capital yang sangat
penting.
4.1. Dimensi Social Capital
Terdapat beberapa indicator dalam social capital yang dapat
dijadikan pedoman untuk menilai sebuah unit bisnis apakah sudah
memanfaatkan social capital secara optimal. Muin (2013) dalam
(Rapih, 2015) menyebutkan ada beberapa indikator untuk
mengetahui apakah sebuah usaha dalam skala mikro telah
mengoptimalkan potensi dari social capital yang ada, antara lain:
1. Kemampuan menghimpun sumberdaya
2. Kemampuan membangun kerjasama
3. Kemampuan membangun kepercayaan
4. Kemampuan membangun rasa hormat
5. Kemampuan membangun reputasi
Selain kelima indikator di atas, Roxas (2008) dalam (Rapih,
2015) juga mengemukakan beberapa indikator yang dapat
digunakan untuk mengetahui sejauh mana potensi social capital
sudah digunakan dalam usaha skala mikro. Indikator-indikator
tersebut antara lain:
a. Partisipasi dalam masyarakat local
b. Kerjasama dengan dinas terkait
c. Rasa aman dalam lingkungan dan kepercayaan koneksi
d. Jejaring teman dan keluarga
e. Toleransi keberagaman
Muchtar (2009) mengemukakan beberapa indikator yang
dapat digunakan untuk menilai sejauh mana social capital sudah
dimanfaatkan oleh perusahaan, antara lain:
48 | YOUTH ENTERPRENEUR
1. Kemampuan membangun Kerjasama. Kemampuan seseorang
dalam menjalin Kerjasama dengan sesame pelaku usaha untuk
lebih memberikan nilai tawar dan saling memberikan
masukan dalam menjalankan usaha.
2. Kemampuan membangun kepercayaan. Kemampuan
seseorang untuk membangun kepercayaan baik kepada
sesame pengusaha bisnis maupun pelanggan.
3. Partisipasi dalam masyarakat lokal. Kemampuan membangun
kerjasama dengan masyarakat setempat dalam berbagai
bentuk kegiatan yang saling menguntungkan.
Menurut (Guiso et al., 2004) dimensi social capital terbagi
kedalam tiga bagian yang dapat dijelaskan, diantaranya:
a. Cognitif dimension
Pada tahap ini memberikan penjelasan mengapa norma kelompk
lebih kuat, dan dengan demikian dimensi kognitif yang lebih kuat
dari social capital kelompok dapat menyebabkan lebih banyak
informasi difusi di dalam komunitas.
b. Structural dimension
Pandangan structural modal sosial, di mana individu tertanam
dengan baik dengan tinggi modal sosial ikatan individu dapat
memiliki pengaruh pada penyebaran informasi di dalam
kelompok.
c. Relational dimension
Pada tahap ini memungkinkan mereka untuk menangkap
informasi dengan cepat dan karenanya menciptakan keuntungan
bagi anggota kelompok lainnya.
4.2. Sumber Social Capital
Berbagai literatur menyebutkan sumber modal sosial sebagai
daftar panjang faktor yang berhubungan dengan hampir pada setiap
aspek keberadaan manusia. Hal ini tidak mengherankan mengingat
defenisi luas dari social capital menyatakan bahwa faktor apapun
yang terkait dengan sosial relevan untuk dimasukkan dalam daftar.
Jika bersosialisasi membawa manfaat atau kerugian potensial, maka
dapat dikatakan bahwa itu dianggap sebagai modal sosial. Faktor-
SOCIAL CAPITAL PADA YOUTH ENTREPRENEURS | 49
faktor yang membentuk kepercayaan dan nilai-nilai yang
merupakan bagian dari budaya suatu masyarakat. Faktor-faktor
tersebut dapat mencakup hampir semua hal seperti yang di
tunjukkan pada tabel di bawah ini.
SUMBER MODAL SOSIAL
Sejarah dan budaya
Ketimpangan ekonomi dan
kelas sosial
Heterogenitas etnis dan sosial
Struktur dan hierarki sosial
Sistem hukum dan penegakan
hukum
Sistem ekonomi dan politik
termasuk hubungan dan
struktur kelembagaan yang
diformalkan
Tren pasar tenaga kerja
Ukuran dan sifat
Kesejahteraan
Kekuatan dan karakteristik
masyarakat sipil
Skala organisasi sosial
Lingkungan binaan termasuk
transportasi dan desain
perkotaan
Mobilitas perumahan
Televisi dan teknologi digital
Keluarga
Pendidikan
Nilai dan kepercayaan individu
Agama dan organisasi
keagamaan
Tabel. 4.1 Contoh sumber modal sosial yang sering dikutip
Sumber: (Halpern, 2005)
Masing-masing sumber yang tercantum dalam tabel di atas
memiliki keterkaitan yang kompleks dengan modal sosial. Misalnya,
mobilitas tempat tinggal memengaruhi apakah orang
mengembangkan hubungan dekat dengan tetangganya. Di daerah
dengan mobilitas tinggi orang cenderung enggan berinvestasi dalam
membangun hubungan dengan tetangga karena kemungkinan
mereka akan pindah ke daerah lain (Glaeser et al., 2002). Kurangnya
interaksi berulang dari waktu ke waktu biasanya mengurangi
perkembangan kepercayaan dan norma timbal balik.
Banyak ahli teori modal sosial memandang perilaku sebagai
logis dan rasional tetapi memberikan sedikit penjelasan tentang
faktor biologis atau psikologis atau moralitas sebagai motivasi
perilaku. Kami dapat mengamati bahwa seseorang mengembalikan
50 | YOUTH ENTERPRENEUR
dompet yang hilang. Kita bisa menjelaskan perilaku ini sebagai
orang yang memprediksi bahwa pemiliknya akan memberinya
hadiah, jika tidak sekarang, suatu saat di masa depan. Jadi, itu
konsisten dengan perhitungan yang disengaja dan motif yang egois.
Namun, perilaku tersebut mungkin konsisten dengan kebiasaan
yang dipelajari di mana tidak ada perhitungan sama sekali: orang
tersebut tidak pernah membayangkan perilaku alternatif. Perilaku
itu sesuai dengan situasi. Penjelasan lainnya adalah mengembalikan
dompet adalah hal yang benar untuk dilakukan. Ini mungkin terkait
dengan nilai atau kepercayaan budaya atau agama. Misalnya, apa
yang harus dilakukan, atau mereka yang berbuat baik akan masuk
surga. Pengamatan perilaku tidak menjelaskan motifnya. Alasan
selanjutnya untuk mengembalikan dompet mungkin adalah simpati
kepada orang yang kehilangannya. Emosi bisa memainkan peran
penting dan bisa jadi tidak selaras dengan rasionalitas. Orang
tersebut mungkin mengembalikan dompetnya karena merasa
senang melakukannya, atau karena tidak melakukannya akan
membebani hati nuraninya, bukan karena imbalan atau keuntungan
yang nyata.
(Halpern, 2005), menjelaskan tentang sumber modal sosial di
berbagai tingkatan, “Secara mikro, modal sosial dipengaruhi oleh tipe
kepribadian, usia, keluarga, kelas, pendidikan, pekerjaan, agama, dan
kebiasaan konsumsi. Pada level meso, modal sosial dipengaruhi oleh
masyarakat sipil, sekolah, komunitas, heterogenitas etnis dan sosial,
mobilitas, kebiasaan/infrastruktur transportasi, dan desain perkotaan.
Terakhir, di tingkat makro, modal sosial secara langsung dipengaruhi oleh
sejarah dan budaya, struktur dan hierarki sosial, tren pasar tenaga kerja,
serta ukuran dan sifat negara kesejahteraan.”
Meskipun sumber modal sosial pada tingkat analisis yang
berbeda mungkin berbeda, keduanya saling terkait secara tidak
terpisahkan. Misalnya, individu dipengaruhi oleh faktor tingkat
kelompok dan masyarakat, dan kelompok dan masyarakat terdiri
dari individu yang masing-masing memiliki keadaan dan
karakteristiknya sendiri. Oleh karena itu, sumber potensial di semua
tingkat adalah relevan terlepas dari tingkat kepentingannya. Sumber
SOCIAL CAPITAL PADA YOUTH ENTREPRENEURS | 51
modal sosial mencakup seluruh ilmu sosial yang memiliki kaitan
dengan sosiologi, psikologi, ilmu politik, ekonomi, teologi,
antropologi, dan banyak lagi. Semua disiplin ilmu ini telah
berkontribusi pada teori modal sosial, masing-masing mendekati
konsep dari perspektif yang relevan dengan disiplin ilmu mereka,
dan masing-masing berkontribusi pada pemahaman kita secara
keseluruhan tentang konsep tersebut. Untuk mendapatkan
pemahaman yang menyeluruh tentang modal sosial, kita harus
mengambil pendekatan interdisipliner dengan mengumpulkan
wawasan yang relevan dari berbagai ilmu sosial (Claridge, 2018).
Jumlah dan kompleksitas sumber modal sosial membuat
analisis menjadi berlebihan. Namun sangat penting untuk
memahami sumbernya jika kita ingin menyelidiki, mengukur,
mengubah, atau membangunnya. Untuk membantu tantangan ini,
kita dapat mundur selangkah dan memeriksa intuisi inti dari modal
sosial - bahwa ketika manusia berkumpul dan berinteraksi, manfaat
menjadi sosial dapat terwujud. Kebanyakan penulis cenderung
setuju bahwa ini berkaitan dengan niat baik, kebajikan, dan kerja
sama. Namun, masih ada pertanyaan penting: mengapa individu
yang mementingkan diri sendiri membantu orang lain? Apakah bisa
dijelaskan oleh rasionalitas, moralitas, biologi, atau faktor lain?
4.3. Sumber Social Capital Jangka Panjang
Manusia telah berevolusi menjadi sosial. Bukti dari biologi
evolusioner menunjukkan bahwa kerja sama tertanam dalam diri
kita pada tingkat genetik. Nenek moyang kita mendiami lingkungan
di mana kerjasama dalam memperoleh dan berbagi makanan
menghasilkan manfaat yang besar. Bukti arkeologis menunjukkan
nenek moyang kita bekerja sama dalam berburu mamalia besar,
mengasuh anak, dan melindungi tetangga yang bermusuhan.
Keturunan kita terlahir lemah dan membutuhkan investasi yang
besar untuk mencapai kedewasaan, sehingga kebutuhan memaksa
manusia untuk hidup berkelompok dan bekerja sama untuk
memenuhi kebutuhan kolektif kita. Kerja sama memiliki keuntungan
yang signifikan dibandingkan anggota kelompok non-koperasi
52 | YOUTH ENTERPRENEUR
(Bowles & Gintis, 2002), artinya gen kooperatif telah dipilih secara
konsisten pada rentang waktu evolusioner. Ini karena sosialitas
mendorong keberhasilan reproduksi. Sosialitas manusia sebagian
besar adalah bagaimana nenek moyang kita bertahan cukup lama
untuk bereproduksi dan membesarkan keturunan mereka
(Kanazawa & Savage, 2009).
Bukti dari psikologi menunjukkan bahwa otak manusia
modern memproses informasi dan menginduksi respon perilaku
yang merepresentasikan kerjasama (Bowles & Gintis, 2011). Kita
biasanya merasa senang saat kita prososial, merasa senang saat
memberikan sanksi kepada pengendara bebas, merasa bersalah saat
kita berkendara bebas, dan merasa malu saat kita dikenai sanksi
untuk tumpangan gratis. Emosi memainkan peran penting dalam
menentukan perilaku dan bisa jadi tidak sesuai dengan logika dan
rasionalitas, yang seringkali gagal untuk memprediksi perilaku
manusia. Otak manusia dilengkapi dengan mekanisme psikologis
yang tepat yang menimbulkan preferensi, keinginan, kognisi, dan
emosi, dan memotivasi perilaku adaptif yang cenderung ke arah
kemampuan bersosialisasi dan kerja sama.
Kemasyarakatan secara intrinsik terkait dengan pemahaman
kita tentang apa artinya menjadi manusia (Bruni & Sugden, 2000).
Manusia berkembang dalam hidup berdampingan dengan orang
lain - dalam konteks hubungan sosial, aturan sosial, dan konsekuensi
sosial. Kami mengembangkan sistem nilai yang kompleks
berdasarkan lingkungan sosial kami. Berkembang dalam isolasi
berarti tidak menjadi manusia seperti yang kita kenal.
Kemasyarakatan dan kapasitas untuk berpartisipasi dalam
kehidupan sosial adalah karakteristik manusia yang menentukan.
Dalam beberapa hal, kita tidak dilahirkan sebagai manusia tetapi
menjadi manusia karena sosialisasi. Ada beberapa bukti terbatas
tentang apa yang terjadi ketika seorang anak hidup terisolasi dari
kontak manusia sejak usia sangat muda. 'Anak-anak liar' ini biasanya
tidak memiliki bahasa, keterampilan sosial yang mendasar, dan
cenderung tidak menyadari, atau tertarik pada, orang lain di sekitar
mereka. Mereka melewatkan proses sosialisasi dan enkulturasi, dan
SOCIAL CAPITAL PADA YOUTH ENTREPRENEURS | 53
akibatnya, mereka menyerupai 'binatang' seperti yang disarankan
Aristoteles: "Dia yang hidup tanpa masyarakat adalah baik binatang
atau Tuhan". Seperti macan tutul berbintik-bintik, manusia bersifat
sosial.
Sementara manusia memiliki kecenderungan untuk bekerja
sama, kita adalah agen individu dan independen yang juga bertindak
demi kepentingan pribadi. Kerja sama jelas memiliki banyak
manfaat, tetapi juga membawa biaya. Sementara banyak orang
dalam masyarakat yang kooperatif, kerjasama jarang mutlak bahkan
di antara sebagian besar anggota koperasi, dan banyak orang tidak
kooperatif atau bahkan eksploitatif. Manusia dapat menjadi
prososial, asosial, dan anti-sosial dalam berbagai ukuran pada waktu
yang berbeda dan bahkan secara bersamaan. Kami tidak terikat
secara membuta untuk berperilaku hanya untuk kebaikan
komunitas. Kita mampu berpikir mandiri dan cerdas yang dapat
mengesampingkan naluri dasar kita - baik naluri kita untuk bekerja
sama, maupun naluri kita untuk bertindak demi kepentingan
pribadi. Di sinilah letak ketegangan antara kerja sama dan
kepentingan pribadi yang terkadang tampak tidak sesuai.
Manusia purba dan bahkan pra-manusia memiliki alasan
yang jelas untuk bekerja sama, jadi akan membentuk kelompok kecil
individu yang kooperatif, biasanya berbasis di sekitar kelompok
keluarga. Kerja sama akan didorong dan dihargai, sementara non-
kerja sama atau eksploitasi akan diberi sanksi atau bahkan
dikeluarkan dari grup. Dalam kelompok kecil ini, biaya pemberian
sanksi umumnya dibagi di antara semua orang dalam kelompok.
4.4. Social Learning Theory
Social learning theory adalah teori yang berusaha menjelaskan
sosialisasi dan pengaruhnya terhadap perkembangan kepribadian.
Ada banyak teori yang berusaha menjelaskan bagaimana manusia
bersosialisasi. Social learning theory, mengkaji proses pembelajaran,
pembentukan kepribadian, dan pengaruh lingkungan terhadap
individu yang sedang bersosialisasi. Teori ini didasarkan pada
gagasan bahwa kita belajar dari interaksi kita dengan orang lain
54 | YOUTH ENTERPRENEUR
dalam konteks sosial, dengan mengamati perilaku orang lain, orang
akan mengembangkan perilaku yang serupa. Setelah mengamati
perilaku orang lain, orang mengasimilasi dan meniru perilaku
tersebut, terutama jika pengalaman obersvasi mereka positif atau
menyertakan reward terkait dengan perilaku yang diamati. Menurut
Bandura, imitasi melibatkan reproduksi aktual dari aktivitas motorik
yang di amati (Bandura, 1977).
Social learning theory dalam hal ini akan memandang
pembentukan kepribadian individu sebagai respons atas stimulus
sosial. Teori ini akan menekankan bahwa identitas individu bukan
hanya merupakan hasil alam bawah sadarnya (subconscious),
melainkan juga karena respons individu tersebut atas ekspektasi-
ekspektasi orang lain. Perilaku dan sikap seseorang tumbuh karena
dorongan atau peneguhan dari orang-orang di sekitarnya. Social
learning theory telah menjadi teori pembelajaran dan perkembangan
yang paling berpengaruh. Teori ini berakar pada banyak konsep
dasar teori pembelajaran tradisional. Teori ini sering disebut sebagai
jembatan antara teori pembelajaran perilaku dan teori pembelajaran
kognitif karena mencakup perhatian, ingatan, dan motivasi (Muro &
Jeffrey, 2008). Namun, Bandura percaya bahwa penguatan langsung
tidak dapat menjelaskan semua jenis pembelajaran. Oleh karena itu,
dalam teorinya ia menambahkan unsur sosial, yaitu orang dapat
mempelajari informasi dan perilaku baru dengan memperhatikan
orang lain.
Ada tiga konsep inti dari teori pembelajaran sosial. Pertama
adalah gagasan bahwa orang dapat belajar melalui observasi. Kedua,
gagasan bahwa keadaan mental internal adalah bagian penting dari
proses ini. Ketiga, teori ini mengakui bahwa hanya karena sesuati
telah dipelajari, tidak berarti hal itu akan mengakibatkan perubahan
perilaku. Bandura menjelaskan, “untungnya, sebagian besar
perilaku manusia dipelajari secara observasi melalui permodelan;
dari mengamati orang lain, seseorang membentuk gagasan tentang
bagaimana perilaku baru dilakukan, dan pada kesempatan
selanjutnya, informasi ini berfungsi sebagai panduan untuk
bertindak.”
SOCIAL CAPITAL PADA YOUTH ENTREPRENEURS | 55
4.5.1. Individu dapat belajar melaui observasi
Salah satu eksperimen paling terkenal dalam sejarah
psikologi melibatkan boneka bernama Bobo. Bandura menunjukkan
bahwa anak-anak belajar dan meniru perilaku yang mereka amati
pada orang lain. Anak-anak dalam studi Bandura mengamati orang
dewasa yang bertindak kasar terhadap boneka Bobo. Ketika anak-
anak tersebut kemudian diijinkan bermain dalam satu kamar dengan
boneka Bobo, mereka mulai meniru tindakan agresif yang mereka
amati sebelumnya (McKee, 2011).
Bandura (1977) mengidentifikasi adanya tiga model dasar
pembelajar melalui pengamatan:
1. Melalui model hidup (live model) yang biasanya akan
mencontohkan sebuah perilaku secara demonstratif.
2. Melalui model instruksional verbal (verbal instructional model)
yang biasanya akan mendeskripsikan dan menjelaskan suatu
perilaku.
3. Melalui model simbolik (symbolic model) yang menggunakan
tokoh-tokoh nyata atau fiktif dalam hal yang menampilkan
perilaku-perilaku tertentu dalam buku, film, program televisi,
atau media online, dan lainnya.
Seperti yang kita lihat, pembelajaran observasional bahkan
tidak selalu membutuhkan menonton orang lain untuk terlibat
dalam suatu aktivitas. Mendengarkan instruksi verbal, seperti
mendengarkan podcast, dapat mengarah pada pembelajaran, atau
menyaksikan aksi karakter dalam buku dan film (Bajcar & Babel,
2018). Jenis pembelajaran observasi inilah yang telah menjadi
penangkal petir kontroversi karena orang tua dan psikoloh
memperdebatkan dampak media budaya pop terhadap anak-anak.
Banyak yang khawatir bahwa anak-anak dapat mempelajari perilaku
buruk seperti agresi dari video game kekerasan, film, program
televisi, dan video online.
4.5.2. Keadaan mental penting untuk belajar
Bandura mencatat bahwa faktor eksternal, penguatan
lingkungan bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi
56 | YOUTH ENTERPRENEUR
pembelajaran dan perilaku. Dan dia menyadari bahwa penguatan
tidak selalu datang dari sumber luar (Fryling et al., 2011). Keadaan
mental dan motivasi individu sendiri memainkan peran penting
dalam menentukan apakah suatu perilaku dipelajari atau tidak.
Bandura menggambarkan penguatan intrinsik sebagai bentuk
penghargaan internal, seperti kebanggan, kepuasan, dan rasa
pencapaian (Cook & Artino, 2016). Penekanan pada pemikiran
internal dan kognisi membantu menghubungkan teori pembelajaran
dengan teori perkembangan kognitif. Sementara banyak buku teks
menempatkan teori pembelajaran sosial dengan teori perilaku,
Bandura sendiri menggambarkan pendekatannya sebagai 'teori
kognitif sosial.'
4.5.3. Pembelajaran tidak selalu menuntun ke arah perubahan
Jadi bagaimana kita dapat menentukan kapan sesuatau telah
dipelajari? Dalam banyak kasus, pembelajaran dapat langsung
dilihat saat perilaku baru ditampilkan. Saat seseorang mengejari
seorang anak bersepeda, kita dapat dengan cepat menentukan
apakah pembelajaran telah terjadi dengan meminta anak tersebut
mengendarai sepedanya tanpa bantuan. Tetapi kadang-kadang kita
dapat mempelajari banyak hal meskipun pembelajaran itu mungkin
tidak langsung terlihat.
Sementara para peneliti bidang perilaku percaya bahwa
belajar menyebabkan perubahan permanen dalam perilaku,
pembelajaran observasional menunjukkan bahwa orang dapat
mempelajari informasi baru tanpa menunjukkan perilaku baru
(Fryling and Hayes, 2011)
4.5.4. Faktor penentu keberhasilan
Penting untuk dicatat bahwa tidak semua perilaku yang
diamati dipelajari secara efektif. Kenapa tidak? Faktor-faktor yang
melibatkan model dan pelajar dapat berperan dalam keberhasilan
pembelajaran sosial. Persyaratan dan langkah tertentu juga harus
diikuti.
SOCIAL CAPITAL PADA YOUTH ENTREPRENEURS | 57
Langkah-langkah berikut terlibat dalam pembelajaran
observasi dan proses permodelan (Fryling et al., 2011):
Perhatian: Untuk belajar, Anda perlu memperhatikan. Apa
pun yang mengalihkan perhatian Anda akan berdampak
negatif pada pembelajaran observasional. Jika modelnya
menarik atau ada aspek baru dari situasinya, Anda
kemungkinan besar akan mencurahkan perhatian penuh Anda
untuk belajar.
Retensi: Kemampuan menyimpan informasi juga merupakan
bagian penting dari proses pembelajaran. Retensi dapat
dipengaruhi oleh sejumlah faktor, tetapi kemampuan untuk
menarik informasi kemudian dan menindaklanjutinya sangat
penting untuk pembelajaran observasional.
Reproduksi: Setelah Anda memperhatikan model dan
mempertahankan informasinya, sekarang saatnya untuk
benar-benar melakukan perilaku yang Anda amati. Praktik
lebih lanjut dari perilaku yang dipelajari mengarah pada
peningkatan dan peningkatan keterampilan.
Motivasi: Akhirnya, agar pembelajaran observasional berhasil,
Anda harus termotivasi untuk meniru perilaku yang telah
dicontohkan. Penguatan dan hukuman memainkan peran
penting dalam motivasi. Sementara mengalami motivator ini
bisa sangat efektif, begitu pula mengamati orang lain yang
mengalami beberapa jenis penguatan atau hukuman.
Misalnya, jika Anda melihat siswa lain diberi penghargaan
dengan kredit ekstra karena berada di kelas tepat waktu, Anda
mungkin mulai datang beberapa menit lebih awal setiap hari.
Teori ini melihat secara seimbang unsur internal dan
eksternal seseorang. Faktor internal berupa kepribadian dan perilaku
yang dipandang sebagai factor reaksi yang dinamis dalam
perkembangan perilaku agresif. Selain itu, faktor lingkungan berupa
keberadaan yang diamati individu secara tidak langsung dicerna
perilakunya sebagai dinamika dalam proses pembelajaran perilaku
yang dapat digambarkan 4.1.
58 | YOUTH ENTERPRENEUR
Gambar 4.1 : Social Learning Theory
Sumber: Albert Bandura
Secara garis besar kita dapat menyatakan bahwa Social
Learning Theory merepresentasikan perubahan signifikan dalam
bagaimana pembelajaran dikonseptualisasikan. Hal tersebut
menuntjukkan bahwa peserta aktif dalam proses pembelajaran dan
mempelajari suatu perilaku diperlukan lebih dari sekedar
menanggapi sesuatu yang terjadi di lingkungan. Sebaliknya,
pembelajaran mengharuskan orang mengamati lingkungan mereka,
menjadi termotivasi untuk meniru perilaku dari konteks sosial
mereka, dan belajar tidak hanya dari tindakan mereka sendiri tetapi
dari mereplikasi perilaku yang dicontohkan untuk mereka.
4.5. Pentingnya Social Capital bagi Youth Entrepreneurs
Social capital merupakan hasil dari kerjasama,
mengembangkan kepercayaan, dan membangun rangkaian sosial.
Membangun social capital untuk Menyusun lingkungan sosial yang
kaya akan partisipasi dan peluang. Seperti suatu lingkungan sosial
SOCIAL
LEARNING
THEORY
Behaviour
Environmental Factor Personal Factors
SOCIAL CAPITAL PADA YOUTH ENTREPRENEURS | 59
yang memungkinkan pelaku untuk kerap bertemu, di mana berbagi
nilai dan norma sosial dapat terus dipelihara. Hal ini lalu
mendongkrak kemungkinan atas keberlanjutan interaksi berulang ke
depan, kemudian mengurangi ketidakpastian dan memperkecil
risiko. Social capital mengasumsikan sumber daya yang terdapat
dalam salah satu hubungan sosial dapat digunakan untuk
mendukung adanya kewirausahaan, yang diekspektasikan pada
kepastian penjelasan yang lebih lengkap tentang fenomena, dan
mengungkapkan tambahan wawasan berkembang sesuai penjelasan
(Guiso et al., 2004). Scial capital adalah jumlah dari sumber daya
actual dan potensial yang tertanam didalamnya, tersedia melalui,
dan berasal dari jaringan hubungan yang dimiliki oleh individua
atau sosial (Akcomak, 2008).
Dalam hal ini, kekuatan dalam faktor lingkungan sosial
menjadi hal yang sangat penting sebagai pendorong dalam membuat
suatu keputusan akhir. Dalam teori yang telah dicetuskan oleh
Coleman ini, faktor capital social seperti tingkat kepercayaan
seseorang memberikan kontribusi yang sangat besar dalam
mencapai tindakan. Sehingga kita dapat menyimpulkan bahwa social
capital yang memadai sangat penting untuk di bangun dan di
pelihara demi menjaga keberlanjutan wirausaha, karena saat
wirausahawan telah memiliki kepercayaan dan jaringan yang baik
mereka akan lebih mudah mempertahankan dan mengembangkan
bisnis mereka.
Pada penelitian yang dilakukan oleh penulis, didapatkan
hasil yang menyatakan bahwa, social capital memiliki pengaruh
secara positif namun tidak signifikan terhadap kinerja perusahaan
dari pengusaha muda di Jawa Timur. Hasil dari penelitian ini tidak
sejalan dengan RBV yang menyatakan bahwa keunggulan kompetitif
dan kinerja perusahaan bergantung pada sumber daya berwujud
dan tidak berwujud (Das & Teng, 2000). Salah satu bentuk sumber
daya aktual dan potensial yang tertanam, tersedia, dan berasal dari
struktural dan relasi pelaku usaha atau unit sosial. Pengusaha perlu
mengembangkan kepercayaan dengan berbagai pihak-pihak
pemangku kepentingan, seperti pelanggan dan mitra untuk asosiasi
60 | YOUTH ENTERPRENEUR
bisnis jangka panjang dan menurunkan risiko kegiatan
kewirausahaan (Welter, 2012). Oleh karena itu, trust dianggap
sebagai faktor pemicu kinerja dalam kewirausahaan.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian terdahulu yang
dilakukan oleh W. Wu dan A. Leung, (2005), Luo et al., (2004) yang
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh tidak signifikan antara
modal sosial dengan kegiatan kewirausahaan. Hal ini berarti,
semakin baik modal sosial yang dimiliki, akan meningkatkan
kualitas kegiatan kewirausahaan, akan tetapi peningkatan yang
dihasilkan tidak signifikan. Pengusaha yang memiliki banyak relasi
atau jaringan, akan mendapatkan banyak informasi sekalipun itu
tidak signifikan berpengaruh terhadap kinerja perusahaannya.
SOCIAL CAPITAL PADA YOUTH ENTREPRENEURS | 61
DAFTAR PUSTAKA
Akcomak, S. (2008). The Impact of Social Capital on Economic and Social
Outcomes. 1–231.
Bajcar, E. A., & Babel, P. (2018). How does observational learning
produce placebo effects? A model integrating research
findings. Frontiers in Psychology, 9(OCT), 1–8.
https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.02041
Bandura, A. (1977). Self-efficacy: toward a unifying theory of
behavioral change. Psychological Review, 84(2), 191.
Bowles, S., & Gintis, H. (2002). Social capital and community
governance. Economic Journal, 112(483), 419–436.
https://doi.org/10.1111/1468-0297.00077
Bowles, S., & Gintis, H. (2011). Schooling in capitalist America:
Educational reform and the contradictions of economic life.
Haymarket Books.
Bruni, L., & Sugden, R. (2000). Moral canals: Trust and social capital
in the work of Hume, Smith and Genovesi. Economics and
Philosophy, 16(1), 21–45.
https://doi.org/10.1017/S0266267100000122
Claridge, T. (2018). Functions of social capital–bonding, bridging,
linking. Social Capital Research, 20, 1–7.
Coleman, J. S. (1988). Social capital in the creation of human capital.
American Journal of Sociology, 94, S95–S120.
Cook, D. A., & Artino, A. R. (2016). Motivation to learn: an overview
of contemporary theories. Medical Education, 50(10), 997–1014.
https://doi.org/10.1111/medu.13074
Das, T. K., & Teng, B.-S. (2000). A resource-based theory of strategic
alliances. Journal of Management, 26(1), 31–61.
Fryling, M. J., Johnston, C., & Hayes, L. J. (2011). Understanding
Observational Learning: An Interbehavioral Approach. The
Analysis of Verbal Behavior, 27(1), 191–203.
https://doi.org/10.1007/bf03393102
62 | YOUTH ENTERPRENEUR
Glaeser, E. L., Laibson, D., & Sacerdote, B. (2002). An economic
approach to social capital. The Economic Journal, 112(483), F437–
F458.
Granovetter, M. S. (1973). The strength of weak ties. American Journal
of Sociology, 78(6), 1360–1380.
Guiso, L., Sapienza, P., & Zingales, L. (2004). The role of social capital
in financial development. American Economic Review, 94(3),
526–556.
Halpern, D. (2005). Social Capital (Cambridge: Polity).
Kanazawa, S., & Savage, J. (2009). An evolutionary psychological
perspective on social capital. Journal of Economic Psychology,
30(6), 873–883. https://doi.org/10.1016/j.joep.2009.08.002
Leonardi, R., Nanetti, R. Y., & Putnam, R. D. (2001). Making democracy
work: Civic traditions in modern Italy. Princeton university press
Princeton, NJ.
Muro, M., & Jeffrey, P. (2008). A critical review of the theory and
application of social learning in participatory natural resource
management processes. Journal of Environmental Planning and
Management, 51(3), 325–344.
Rapih, S. (2015). Analisis Pengaruh Kompetensi Sumber Daya Manusia,
Modal Sosial dan Modal Finansial terhadap Kinerja UMKM Bidang
Garmen di Kabupaten Klaten. UNS (Sebelas Maret University).
Welter, F. (2012). All you need is trust? A critical review of the trust
and entrepreneurship literature. International Small Business
Journal, 30(3), 193–212.
YOUTH ENTERPRENEUR | 63
64 | YOUTH ENTERPRENEUR
5.1. Defenisi Emotional Intelligent
bersama koleganya Annie McKee dan Richard Boyatzis.
Ada beberapa model emotional intelligence pada saat ini, yang sedang
di kerjakan, sebagai tanda dari perkembangan suatu bidang.
Gambar 5.1. Emotional Intelligence – Goleman Model Sumber: Daniel Goleman, 2011
Pendekatan konsep emotional intelligence menurut Salovey &
Mayer (1990) adalah sebagai serangkaian kemampuan emosional
dalam empat dimensi, yang semuanya mempersepsikan emosi,
mengelola diri sendiri dan emosi orang lain dan menggunakannya
dalam tindakan. EI telah sangat ditekankan dalam beberapa domain
(Aydemir, 2014). Emotional intelligence menjadi awalan memiliki hasil
kerja yang berkualitas. Sederhananya, baik atau tidaknya pekerjaan
yang dilakukan secara tidak langsung dipengaruhi oleh kualitas
emotional intelligence yang dimiliki. Kekuatan emotional intelligence
yang dimiliki oleh seseorang akan berdampak terhadap perilaku
pengambilan risiko (Demaree et al., 2008; Satterfield (1998); Oslon
(2006). Sedangkan Oslon (2006) melihat pengaruh emotional
intelligence terhadap perilaku keuangan, yang pada akhirnya akan
mempengaruhi kinerja keuangannya (Ameriks et al., 2009).
Emotional intelligence didefenisikan sebagai kemampuan
seseorang untuk menyadari dan mengekspresikan emosi diri sendiri
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 65
dan orang lain, mampu memotivasi diri sendiri, memahami sinyal
yang dikirim emosi terhadap hubungan dengan orang lain, serta
mampu mengatur emosi diri sendiri dan orang lain. Seseorang
dengan emotional intelligence yang baik mampu mengontrol emosi
saat marah, peka terhadap perasaan orang lain, dsb.
5.2. Apa Itu Kecerdasan Emosional?
Daniel Goleman mengungkapkan, suatu ketika ada seorang
pria di asrama yang memiliki nilai sempurna pada hasi SAT-nya,
ditambah nilai sempurana pada lima tes penempatan lanjutan. Dari
sudut pandang akademis, dia brilian. Tapi dia punya masalah: tidak
adanya motivasi. Dia tidak pernah naik kelas, dia tidur sampai siang,
tidak pernah menyelesaikan tugasnya. Dia membutuhkan delapan
tahun untuk mendapat gelar sarjana dan hari ini dia bekerja sendiri
sebagai konsultan. Dia bukan pemain bintang, dia bukan kepala
organisasi besar, dia bukan pemimpin yang luar biasa. Dia sekarang
terlihat tidak memiliki beberapa kecerdasan emosional yang penting,
terutama penguasaan diri.
Howard Gardner, seorang teman dari Goleman di sekolah
pascasarjana, membuka percakapan tentang berbagai jenis
kecerdasan di luar IQ ketika dia menulis tentang kecerdasan
majemuk pada tahun 1980-an. Howard berargumen, bahwa agar
kecerdasan diakui sebagai seperangkat kapasitas yang berbeda,
harus ada seperangkat area otak yang mendasari dan mengatur
kecerdasan itu.
Pada saat itu para peneliti otak telah mengidentifikasi sirkuit
yang berbeda untuk kecerdasan emosional dalam sebuah studi
penting yang dilakukan oleh teman lama lainnya, Reuven Bar-on.
Bar-On bekerja dengan salah satu kelompok penelitian otak luar
biasa pada saat itu, yang dikepalai oleh Antonio Damasio di sekolah
kedokteran Universitas Iowa. Mereka menggunakan metode standar
emas dalam neuropsikologi untuk mengidentifikasi area otak yang
terkait dengan perilaku dan fungsi mental tertentu: studi
pembelajaran. Artinya, mereka mempelajari pasien yang mengalami
cidera otak di area yang di tentukan, menghubungkan lokasi cedera
66 | YOUTH ENTERPRENEUR
dengan kapasitas tertentu yang berkurang atau hilang pada pasien.
Atas dasar metodologi yang benar dan telah teruji dalam neurologi
ini, Bar-On dan rekan-rekannya mengidentifikasi beberapa area otak
yang penting untuk kemampuan kecerdasan emosional dan sosial.
5.3. Dimensi Emotional Intelligent
Dalam buku Emotional Intelligence: Why It Can Matter More
Than IQ dan Working With Emotional Intelligence, Daniel Goleman
mengkategorikan lima komponen yang dapat menjadi alat ukur
menetukan kondisi EQ seseorang.
5.3.1. Self-awareness:
Menyadari perasaan atau keadaan yang sedang orang lain
rasakan dan pengaruhnya terhadap orang lain. Seseorang dengan
kesadaran diri yang tinggi akan mengenal dirinya dengan baik. Dia
akan tahu kekuatan dan kelemahan diri serta bagaimana tingkah
lakunya berdampak bagi orang lain. Biasanya orang yang sadar diri
dapat menangani dan belajar dari kritikan yang membangun
dibandingkan dengan mereka yang tidak. Mereka memahami emosi
yang mereka sendiri rasakan, sehingga tidak membiarkan perasaan
mengendalikan diri mereka. Mereka percaya diri dan percaya pada
intuisi mereka mereka sendiri. Mengetahui kekuatan dan kelemahan
diri dan mencari tahu bagaimana menjadi seseorang yang lain baik.
Banyak orang percaya bahwa karakteristik ini adalah salah satu dari
bagian terpenting dalam kecerdasan emosi.
Temuan baru menunjukkan bagaimana wilayah otak terlibat
dalam membantu kesadaran diri dengan etika dan dengan
pengambilan keputusan secara umum. Kunci untuk memahami
dinamika saraf ini adalah dengan membedakan antara otak berpikir
(neokorteks), dan area subkortikal. Antonio Damasio (ahli saraf yang
labnya mengerjakan Bar-On tentang dasar-dasar otak EI) telah
menulis tentang kasus neurologis yang menarik. Ada seorang
pengacara perusahaan yang brilian yang, sayangnya, memiliki
kecerdasan. Untungnya tumor itu didiagnosis lebih awal dan
berhasil dioperasi. Tetapi selama operasi, ahli bedah harus
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 67
memutuskan sirkuit yang menghubungkan area utama korteks
prefrontal, pusat eksekutif otak, dan amigdala di area otak tengah
untuk emosi.
Setelah Setelah operasi, ada gambaran klinis yang sangat
membingungkan. Pada setiap tes IQ, ingatan, dan perhatian,
pengacara ini benar-benar secerdas dia sebelum operasi. Tapi dia
tidak bisa melakukan pekerjaannya lagi. Dia kehilangan
pekerjaannya. Dia tidak bisa mempertahankan pekerjaan apa pun.
Pernikahannya putus. Dia kehilangan rumahnya. Dia akhirnya
tinggal di kamar tidur cadangan saudaranya dan, dengan putus asa,
dia pergi ke Damasio untuk mencari tahu apa yang salah.
Pada awalnya Damasio benar-benar bingung, karena pada
setiap tes neurologis, pengacaranya baik-baik saja. Tapi petunjuk
datang ketika Damasio bertanya kepada pengacara, "Kapan kita akan
membuat janji berikutnya?"
Saat itulah Damasio menyadari bahwa pengacara dapat
memberinya keuntungan dan kerugian rasional setiap jam selama
dua minggu ke depan - tetapi dia tidak tahu mana yang terbaik.
Damasio mengatakan bahwa untuk membuat keputusan yang baik,
kita harus memiliki perasaan tentang pikiran kita - dan lesi yang
muncul selama operasi tumor pengacara berarti dia tidak bisa lagi
menghubungkan pikirannya dengan pro dan kontra emosional.
Perasaan seperti itu datang dari pusat emosi di otak tengah,
berinteraksi dengan area tertentu di korteks prefrontal. Ketika kita
telah memikirkannya, itu segera divalidasi oleh pusat-pusat otak ini,
positif atau negatif. Inilah yang membantu kita mengubah pemikiran
kita menjadi prioritas - seperti kapan waktu terbaik untuk membuat
janji. Tanpa masukan itu, kita tidak tahu harus merasakan apa
tentang pikiran kita, jadi kita tidak bisa membuat keputusan yang
baik.
Sirkuit kortikal-subkortikal juga menawarkan kemudi etis.
Di bagian bawah otak, di bawah area limbik, terdapat jaringan saraf
yang disebut basal ganglia. Ini adalah bagian otak yang sangat
primitif, tetapi ia melakukan sesuatu yang luar biasa penting untuk
menjelajahi dunia modern.
68 | YOUTH ENTERPRENEUR
Saat kita melewati setiap situasi dalam hidup, basal ganglia
mengekstrak aturan keputusan: ketika saya melakukannya, itu
bekerja dengan baik; ketika saya mengatakan ini, itu dibom, dan
sebagainya. Kebijaksanaan hidup kita yang terakumulasi disimpan
dalam sirkuit primitif ini. Namun, ketika kita menghadapi suatu
keputusan, korteks verbal kitalah yang membangkitkan pemikiran
kita tentang hal itu. Tetapi untuk lebih sepenuhnya mengakses
pengalaman hidup kita tentang masalah yang sedang dihadapi, kita
perlu mengakses masukan lebih lanjut dari sirkuit subkortikal
tersebut.
Sementara basal ganglia memiliki beberapa hubungan
langsung ke verbala reas, ternyata juga memiliki koneksi yang sangat
kaya ke saluran pencernaan - usus. Jadi dalam membuat keputusan,
naluri apakah benar atau salah adalah informasi penting juga. Bukan
berarti Anda harus mengabaikan datanya, tetapi jika tidak sesuai
dengan perasaan Anda, mungkin Anda harus berpikir dua kali
tentangnya.
Aturan praktis itu tampaknya berperan dalam studi tentang
pengusaha California yang sangat sukses yang ditanyai bagaimana
mereka membuat keputusan bisnis yang penting. Mereka semua
melaporkan strategi yang kurang lebih sama. Pertama, mereka
adalah konsumen yang rakus dari data atau informasi apa pun yang
mungkin mempengaruhi keputusan mereka, yang memberikan
jaring yang luas. Namun kedua, mereka semua menguji keputusan
rasional mereka terhadap firasat mereka - jika kesepakatan dirasa
tidak tepat, mereka mungkin tidak akan melanjutkan, bahkan jika di
atas kertas terlihat bagus. Jawaban atas pertanyaan, “Apakah yang
akan saya lakukan sesuai dengan tujuan, makna, atau etika saya?”
tidak datang kepada kita dengan kata-kata; itu datang kepada kita
melalui naluri ini. Lalu kami menjelaskannya dengan kata-kata
Ada beberapa cara untuk mengembangkan self-awareness,
diantaranya:
Meditasi - mengembangkan perhatian yang lebih besar
membantu kita untuk tetap mendatangkan emosi yang
muncul ditubuh kita dengan sendirinya.
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 69
Pengingat untuk memeriksa diri kita – cukup
mengembangkan kebiasaan memeriksa diri sendiri sebelum
rapat atau percakapan dapat membantu kita berada dalam
kesadaran diri yang dapat meningkatkan efektivitas kita.
Tingkatkan kosa kata emosional kita – sama halnya dengan
warna yang berbeda antara merah dan marun, ada perbedaan
yang sangat besar antara bersedih (sad) dan merasa hancur
(devastated). Semakin banyak rasa dan kedalaman yang kita
tambahkan ke kosakata emosional kita, semakin kita mampu
untuk menyadari apa yang sebenarnya kita rasakan.
5.3.2. Self-regulation/management:
Menggunakan kemampuan emosional untuk mengatur
emosi yang akan memunculkan reaksi atau perilaku tertentu. EQ
yang tinggi akan membuat seseorang dapat dengan bijak
menyatakan dan mengontrol emosinya. Kita tidak akan menemukan
orang dengan self-regulation yang tinggi bertengkar di depan umum.
Mereka adalah orang-orang yang berpikir dahulu sebelum
bertindak. Ciri-ciri orang dengan self-regulation yang baik adalah
dapat beradaptasi dengan baik di lingkungan mereka, tetap tenang
dan produktif di tengah kesulitan, serta dapat diandalkan. Orang-
orang yang memiliki kemampuan regulasi diri biasanya tidak akan
membiarkan mereka merasa terlalu marah atau iri, juga tidak
membuat keputusan yang sembarangan. Mereka juga terbiasa untuk
berpikir dulu sebelum bertindak. Karakteristik dari orang yang
memiliki kemampuan regulasi diri adalah mereka yang penuh
pemikiran, nyaman dengan perubahan, integritas, dan mampu
berkata tidak.
Dua kuadran kiri dalam model kecerdasan emosional
generik adalah tentang diri: kesadaran diri dan manajemen diri.
Ini adalah dasar untuk penguasaan diri: kesadaran akan
kondisi internal kita, dan pengelolaan kondisi tersebut. Domain
keterampilan inilah yang membuat seseorang menjadi individu yang
berkinerja luar biasa dalam domain kinerja apa pun - dan dalam
bisnis menjadi kontributor individu yang luar biasa, atau bintang
70 | YOUTH ENTERPRENEUR
tunggal. Kompetensi seperti mengelola emosi, dorongan terfokus
untuk mencapai tujuan, kemampuan beradaptasi dan inisiatif
didasarkan pada manajemen diri emosional.
Area saraf utama untuk pengaturan diri adalah korteks
prefrontal, yang, dalam arti tertentu, adalah "bos yang baik" di otak,
yang membimbing kita saat kita berada dalam kondisi terbaik kita.
Zona dorsolateral dari area prefrontal adalah pusat kendali kognitif,
pengaturan perhatian, pengambilan keputusan, tindakan sukarela,
penalaran, dan fleksibilitas dalam merespon. Amigdala adalah titik
pemicu tekanan emosional, kemarahan, dorongan hati, ketakutan,
dan sebagainya. Saat sirkuit ini mengambil alih, sirkuit ini bertindak
sebagai "bos yang buruk", yang menuntun kita untuk mengambil
tindakan yang mungkin kita sesali nanti.
Interaksi antara dua area saraf ini menciptakan jalan raya
saraf yang, jika seimbang, menjadi dasar untuk penguasaan diri.
Sebagian besar, kita tidak dapat mendikte emosi apa yang akan kita
rasakan, kapan kita akan merasakannya, atau seberapa kuat kita
merasakannya. Mereka datang tanpa dilarang dari theamygdala dan
area subkortikal lainnya. Poin pilihan kita datang begitu kita merasa
dengan cara tertentu. Lalu apa yang harus kita lakukan? Bagaimana
kita mengungkapkannya? Jika korteks prafrontal Anda memiliki
sirkuit penghambat yang meledak-ledak, Anda akan dapat memiliki
titik keputusan yang akan membuat Anda lebih pandai dalam
memandu cara Anda merespons, dan pada gilirannya, cara Anda
mengarahkan emosi orang lain, menjadi lebih baik atau lebih buruk,
dalam situasi itu. Di tingkat saraf, inilah yang dimaksud dengan
"pengaturan diri".
Amigdala adalah radar otak untuk ancaman. Otak kita
dirancang sebagai alat untuk bertahan hidup. Dalam cetak biru otak,
amigdala memiliki posisi istimewa. Jika amigdala mendeteksi
adanya ancaman, dalam sekejap ia dapat mengambil alih bagian otak
lainnya - khususnya korteks prefrontal - dan kita mengalami apa
yang disebut pembajakan amigdala.
Pembajakan tersebut menarik perhatian kami,
mengirimkannya ke ancaman yang ada. Jika Anda sedang bekerja
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 71
saat mengalami pembajakan amigdala, Anda tidak dapat fokus pada
apa yang diminta pekerjaan Anda - Anda hanya dapat memikirkan
tentang apa yang mengganggu Anda. Memori kita juga terseok-seok,
sehingga kita paling mudah mengingat apa yang relevan dengan
ancaman - tetapi tidak dapat mengingat hal-hal lain dengan baik.
Selama pembajakan, kita tidak dapat belajar, dan kita mengandalkan
kebiasaan yang terlalu dipelajari, cara kita berperilaku berkali-kali.
Kami tidak bisa berinovasi atau fleksibel selama pembajakan.
Pencitraan saraf ketika seseorang benar-benar marah
menunjukkan bahwa amigdala kanan khususnya sangat aktif,
bersama dengan korteks prefrontal kanan. Amigdala telah
menangkap area prafrontal ini, mendorongnya dalam kaitannya
dengan keharusan untuk menghadapi bahaya yang dirasakan di
depan mata. Ketika sistem alarm ini terpicu, kita mendapatkan
respons klasik melawan-lari-atau-beku, yang dari sudut pandang
otak berarti bahwa amigdala telah memicu sumbu HPA (sumbu
adrenal hipofisis hipotalamus) dan tubuh mengalami stres. hormon,
terutama kortisol dan adrenalin.
Bagaimana kita bisa meminimalkan pembajakan? Pertama-
tama, perhatikan. Jika Anda tidak menyadari bahwa Anda berada di
tengah-tengah pembajakan amigdala dan tetap terbawa olehnya,
Anda tidak memiliki kesempatan untuk kembali ke keseimbangan
emosional dan meninggalkan dominasi prafrontal sampai Anda
membiarkan pembajakan berjalan dengan sendirinya. Lebih baik
menyadari apa yang sedang terjadi dan lepaskan.
Langkah-langkah untuk mengakhiri atau menghentikan
serangan balik dimulai dengan memantau apa yang terjadi dalam
pikiran dan otak Anda, dan memperhatikan, "Saya benar-benar
bereaksi berlebihan," atau "Saya benar-benar kesal sekarang," atau
"Saya mulai marah. " Jauh lebih baik jika Anda dapat memperhatikan
perasaan yang familier bahwa pembajakan mulai - seperti kupu-
kupu di perut Anda, atau tanda apa pun yang mungkin
mengungkapkan bahwa Anda akan mengalami episode. Lebih
mudah untuk melakukan hubungan arus pendek jika lebih awal
72 | YOUTH ENTERPRENEUR
Anda berada dalam siklus pembajakan. Yang terbaik adalah
menghindarinya di awal pembajakan yang akan datang.
Apa yang dapat Anda lakukan jika Anda terjebak dalam
cengkeraman pembajakan amigdala? Pertama, Anda harus
menyadari bahwa Anda ada di dalamnya. Pembajakan dapat
berlangsung selama beberapa detik atau menit atau jam atau hari
atau minggu. Bagi sebagian orang, ini mungkin tampak "normal" -
orang yang terbiasa selalu marah atau selalu takut. Ini menutupi
kondisi klinis seperti gangguan kecemasan atau depresi, atau
gangguan stres pasca-trauma, yang merupakan penyakit amigdala
yang tidak menguntungkan yang disebabkan oleh pengalaman
traumatis di mana amigdala bergeser ke mode pemicu rambut
instan, pembajakan ekstrem.
Ada banyak cara untuk keluar dari pembajakan jika pertama-
tama kita menyadari bahwa kita tidak tertangkap, dan juga berniat
untuk menenangkan diri. Salah satunya adalah pendekatan kognitif:
bicarakan diri Anda sendiri dari pembajakan. Beralasan dengan diri
Anda sendiri, dan tantang apa yang Anda katakan pada diri Anda
sendiri dalam pembajakan –Orang ini tidak selalu S.O.B. Saya dapat
mengingat saat-saat ketika dia sebenarnya sangat bijaksana dan baik
hati, dan mungkin saya harus memberinya kesempatan lagi.
Atau Anda dapat menerapkan empati, dan membayangkan
diri Anda dalam posisi orang itu. Ini mungkin berhasil dalam kasus
yang sangat umum di mana pemicu pembajakan adalah sesuatu
yang dilakukan atau dikatakan orang lain kepada kita. Anda
mungkin memiliki pemikiran anempatik: Mungkin dia
memperlakukan saya seperti itu karena dia berada di bawah tekanan
yang begitu besar.
Selain intervensi kognitif seperti itu, ada juga intervensi
biologis. Kita bisa menggunakan metode seperti meditasi atau
relaksasi untuk menenangkan tubuh kita. Tetapi teknik relaksasi
atau meditasi bekerja paling baik selama pembajakan ketika Anda
telah mempraktikkannya secara teratur, paling baik setiap hari.
Kecuali metode-metode ini telah menjadi kebiasaan pikiran yang
kuat, Anda tidak bisa memintanya begitu saja begitu saja. Tetapi
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 73
kebiasaan yang kuat untuk menenangkan tubuh dengan metode
yang dipraktekkan dengan baik dapat membuat perbedaan besar
saat Anda dibajak dan sangat membutuhkannya.
Ada beberapa cara untuk mengembangkan self-regulation,
diantaranya
Biasakan menerima keadaan – meskipun kita dapat mengubah
respon emosional kita terhadap masukan dan perubahan
tertentu di lingkungan kita dari waktu ke waktu, tapi sering
kali kita tidak dapat mematikan emosi begitu kita
merasakannya timbul. Menerima apa yang kita rasakan dan
tidak hanya memendapnya akan membantu kita
mengembangkan respon yang sesuai terhadap situasi tersebut.
Ketahui reaksi kita – apakah kita beralih ke “mode
menyalahkan” Ketika ada yang salah? Siapa yang melakukan
ini? Bagaimana anda bisa melakukan ini kepada kami? Atau
apakah anda lebih ke arah seorang yang lebih tenang? Apa
yang dapat kami lakukan? Mengetahui bahwa kita memiliki
pola respon dapat membantu kita meningkatkan kesadaran
dan mimilih jalan yang berbeda di masa depan.
Kembangkan kebiasaan untuk membawa diri Kembali ke saat
anda tenang – kita sering berkata bahwa kita “terbawa
suasana” oleh emosi kita. Ungkapan ini benar adanya. Ketika
kita kehilangan kendali atas emosi kita, hal ini hamper seperti
kita meniggalkan tubuh kita dan pergi ke tempat pelarian
emosional. Latihan pernapasan dan memperhatikan
perubahan sensasi di tubuh kita dapat membawa kita Kembali
ke saat anda tenang (back in to the moment) dan menghilangkan
Sebagian dari emosi yang intens.
5.3.3. Internal motivation:
Mengambil keputusan sebagai bentuk optimisme, rasa
penasaran, dan keinginan untuk mencapai sesuatu. Orang dengan
EO tinggi adalah orang yang dapat memotivasi dirinya sendiri.
Mereka tidak mudah didorong oleh uang atau gelar. Ambisi
pribadilah yang membuat mereka tetap optimis. Self-motivation
74 | YOUTH ENTERPRENEUR
membuat mereka selalu berenergi dan gigih dengan usaha mereka
sampai tercapai. Orang demikian merupakan pemimpin yang baik
karena dia akan mendorong timnya dengan cara yang positif dan
optimis. Orang dengan Emotional intelligence yang tinggi biasanya
memiliki motivasi yang tinggi. Bersedia menunda hasil cepat demi
kesuksesan jangka panjang. Mereka produktif dan aktif, menyukai
tantangan, dan melakukan apapun secara efektif.
Kata 'motivasi' memiliki akar yang sama dengan 'emosi':
keduanya berasal dari bahasa Latin motere, bergerak. Motif kita
memberi kita tujuan dan dorongan untuk mencapainya. Apa pun
yang memotivasi membuat kita merasa baik. Seperti yang dikatakan
oleh seorang ilmuwan kepada saya, "Cara alam membuat kita
melakukan apa yang diinginkannya adalah dengan membuatnya
menyenangkan."
Motif kita menentukan di mana kita menemukan
kesenangan kita. Tetapi ketika harus mengejar tujuan-tujuan itu,
hidup sering kali menghadirkan kesulitan. Dan ketika kita
menghadapi kemunduran dan rintangan dalam mencapai tujuan
yang didorong oleh motif kita, sirkuit yang berkumpul di zona di
korteks prefrontal kiri menjadi hidup untuk mengingatkan kita
tentang perasaan baik yang akan kita miliki begitu kita mencapai
tujuan itu. Jika ada yang salah, ini membantu kita terus melewati
masa-masa sulit
Orang yang emosinya mengarah ke sisi kiri cenderung lebih
positif dalam pandangan emosionalnya. Tapi, Davidson
menemukan, mereka rentan terhadap kemarahan, terutama ketika
tujuan yang layak digagalkan. Kemudian mereka menjadi frustrasi
dan jengkel - yang bagus, karena itu menggerakkan energi mereka
dan memfokuskan perhatian mereka dalam bekerja untuk mengatasi
rintangan dan mencapai tujuan itu.
Sebaliknya, Davidson mengatakan, aktivasi prafrontal kanan
bertindak sebagai apa yang disebut "penghambat perilaku": orang
lebih mudah menyerah ketika keadaan menjadi sulit. Mereka juga
terlalu menghindari risiko - bukan penghindar risiko yang cerdas,
tetapi terlalu berhati-hati. Mereka memiliki motivasi yang rendah,
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 75
mereka umumnya lebih cemas dan takut dan telah meningkatkan
kewaspadaan terhadap ancaman.
Penelitian Davidson telah menemukan bahwa belahan kiri
menyala bahkan pada pikiran untuk mencapai tujuan yang berarti.
Aktivitas prafrontal kiri juga terkait dengan sesuatu yang lebih besar
dari target tunggal mana pun: ini adalah tujuan hidup, tujuan besar
yang memberi makna pada hidup kita.
Howard Gardner telah menulis tentang apa yang dia sebut
"Kerja Baik," kombinasi keunggulan, di mana Anda melakukan
pekerjaan yang membutuhkan bakat terbaik Anda; keterlibatan, di
mana Anda antusias, bersemangat, dan mencintai apa yang Anda
lakukan; dan etika, di mana pekerjaan selaras dengan tujuan, makna,
dan tujuan hidup Anda. Belum ada yang melakukan penelitian ini,
tetapi saya memperkirakan jika Anda mempelajari otak orang saat
terlibat dalam pekerjaan yang baik, Anda akan menemukan aktivasi
prafrontal kiri yang relatif lebih banyak.
5.3.4. Empathy:
Memahami emosi orang lain dan menggunakan kemampuan
ini untuk merespon orang lain berdasarkan tingkat emosional.
Seseorang dengan empati yang tinggi akan memiliki belas kasihan
dan pengertian terhadap orang lain. Kemampuan untuk berempati
ini membuat mereka memberikan pelayanan yang hebat dan respon
yang tulus terhadap orang lain. Empati adalah kemampuan untuk
mengidentifikasi dan mengerti kebutuhan, keinginan, dan perspektif
dari orang-orang disekitarmu. Orang dengan empati dapat
mengenal perasaan yang dirasakan orang lain meski tidak terlihat
jelas. Biasanya mereka cakap dalam mempertahankan hubungan,
dan mendengarkan orang lain. Mereka menghindari menghakini
dan memberi stereotype pada orang lain secara langsung dan cepat.
Keterampilan inti dalam kesadaran sosial adalah empati -
merasakan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain, tanpa
mereka memberitahu kita dengan kata-kata. Kami terus
mengirimkan sinyal orang lain tentang perasaan kami melalui nada
suara, ekspresi wajah, gerak tubuh, dan banyak saluran nonverbal
76 | YOUTH ENTERPRENEUR
lainnya. Orang sangat bervariasi dalam seberapa baik mereka dapat
membaca sinyal ini.
Ada tiga macam empati. Salah satunya adalah empati
kognitif: Saya tahu bagaimana Anda melihat sesuatu; Saya bisa
mengambil perspektif Anda. Manajer yang tinggi dalam jenis empati
ini dapat memperoleh kinerja yang lebih baik dari yang diharapkan
dari karyawan, karena mereka dapat meletakkan hal-hal dalam
istilah yang dapat dipahami orang - dan yang memotivasi mereka.
Dan para eksekutif yang memiliki empati kognitif yang lebih tinggi
melakukan posting yang lebih baik dalam bahasa asing, karena
mereka lebih cepat menangkap norma-norma yang tidak terucapkan
dari budaya yang berbeda.
Jenis kedua adalah empati emosional: Saya merasakan
bersama Anda. Ini adalah dasar untuk hubungan dan chemistry.
Orang yang unggul dalam empati emosional menjadi konselor, guru,
manajer klien, dan pemimpin kelompok yang baik karena
kemampuan ini untuk merasakan pada saat bagaimana orang lain
bereaksi.
Dan jenis ketiga adalah perhatian empatik: Saya rasa Anda
membutuhkan bantuan dan saya secara spontan siap
memberikannya. Mereka yang memiliki kepedulian empatik adalah
warga negara yang baik dalam sebuah kelompok, organisasi, atau
komunitas, yang secara sukarela membantu sesuai kebutuhan.
Empati adalah blok bangunan penting untuk welas asih. Kita
harus merasakan apa yang dialami orang lain, apa yang mereka
rasakan, untuk menunjukkan belas kasih dalam diri kita. Ada
spektrum yang berkisar dari penyerapan diri total (di mana kita tidak
memperhatikan orang lain) hingga memperhatikan mereka dan
mulai mendengarkan, berempati, memahami kebutuhan mereka dan
memiliki kepedulian empati - dan kemudian muncul tindakan welas
asih, di mana kita membantu mereka.
Jenis empati yang berbeda tampaknya bergantung pada
sirkuit otak yang berbeda. Empati emosional, misalnya, telah
dipelajari oleh Tania Singer, ahli saraf di Max Planck Institute di
Jerman. Penyanyi melihat peran insula sebagai kunci empati (ingat,
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 77
insula adalah salah satu area saraf yang diidentifikasi sebagai
penting untuk kecerdasan emosional). Sinyal indra insula dari
seluruh tubuh kita. Saat kita berempati dengan seseorang, neuron
cermin kita meniru keadaan orang tersebut di dalam diri kita. Area
anterior semenanjung membaca pola itu dan memberi tahu kita apa
negara bagian itu.
Penyanyi menemukan bahwa membaca emosi pada orang
lain berarti, di tingkat otak, pertama membaca emosi itu dalam diri
kita; insula menyala saat kita menyesuaikan diri dengan sensasi kita
sendiri. Dia melakukan studi FMRI terhadap pasangan, misalnya, di
mana salah satu pasangan menjalani pemindaian otak saat melihat
bahwa pasangan lainnya akan mengalami syok. Pada saat pasangan
melihat hal ini, bagian dari otaknya menyala yang akan
melakukannya jika dia benar-benar mendapatkan syok, bukan hanya
melihat pasangannya yang terkena.
Paul Ekman, pakar ekspresi wajah emosi dunia, adalah
ilmuwan yang mendasari acara TV Lie to Me; tokoh utama
memecahkan kejahatan dengan mendeteksi bagaimana perasaan
orang-orang yang sesungguhnya, bukan apa yang mereka coba
proyeksikan. Dia mendeteksi kebohongan mereka melalui
"kebocoran" non verbal halus dari perasaan mereka yang
sebenarnya. Ekman telah merancang program pelatihan (yang
tampaknya ditujukan pada sirkuit cermin neuron-insula) yang
memungkinkan kita membaca ekspresi wajah yang muncul di wajah
seseorang dalam seperlima detik, terlalu cepat untuk kita kenali
secara sadar. Melalui program pelatihan ini, orang dapat
meningkatkan pengenalan sekilas - tetapi mengungkapkan - emosi
di wajah orang lain, dalam waktu sekitar satu jam.
5.3.5. Social skills:
Menggunakan kemampuan emosional untuk membangun
sosial yang kuat dengan sekitar. Seseorang dengan EQ yang tinggi
dapat membangun hubungan yang baik dan bertahan lama dengan
orang lain. Mereka dapat mengarahkan orang lain kepada tujuan
yang diinginkan dan memiliki rasa percaya yang tinggi terhadap
78 | YOUTH ENTERPRENEUR
anggota timnya. Orang yang telah memiliki people skill atau social skill
telah menguasai 4 kategori di atas dan merupakan seorang
pemimpin yang tepat. Biasanya mereka dengan kemampuan
bersosialisasi yang baik akan lebih mudah diajak berbicara dan
berdiskusi. Dan ini salah satu karakteristik Emotional Intelligence yang
ada di dalam diri seseorang. Mereka dengan kemampuan
bersosialisasi yang tinggi justru akan berforkus untuk membantu
orang lain untuk sukses terlebih dahulu sebelum ia berfokus pada
dirinya sendiri.
5.4. Pentingnya Emotional Intelligence Bagi Youth
Entrepreneurs
Emosi manusia adalah salah satu sumber energi yang paling
kuat di dunia. Emosi dapat menciptakan dan memulai peperangan;
memercikkan api cinta bahkan perpisahan. Tidak dapat dipungkiri
bahwa emosi adalah sumber energi bagi seseorang untuk mengambil
tindakan baik yang rasional maupun tidak rasional. Bagi seorang
entrepreneur atau pengusaha emosi sangat diperlukan karena
merupakan sumber motivasi untuk menggerakkan bisnis. Untuk
menjadi seorang pengusaha, self-motivation sangat dibutuhkan,
energi untuk membangun self-motivation itu didapatkan dari emosi
yang dikelola dengan baik.
Kesuksesan berwirausaha dapat ditetapkan sebagai standar
ukuran yang digunakan untuk menilai keberhasilan dari sebuah
usaha. Ahmedtouglu et al., (2011) menyatakan bahwa
kewirausahaan adalah tidak semata-mata tentang menciptakan
bisnis melainkan sekumpulan aktivitas atau perilaku pengusaha itu
sendiri. Mencapai kesuksesan sebagai wirausaha membutuhkan
banyak keahlian, kualitas, dan elemen yang berbeda. Salah satu
kualitas yang paling sering diabaikan yang sangat menentukan suatu
kesuksesan baik dalam bisnis atau pekerjaan adalah kecerdasan
emosional. Dapat dikatakan bahwa entrepreneur dengan EI yang
tinggi lebih mungkin memiliki harapan kinerja yang berbeda dengan
kegiatan berwirausaha, dan memprioritaskan hal yang berbeda
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 79
dalam melakukan kegiatan tersebut, jika dibandinkan dengan
mereka yang memili tingkat Emotional Intelligence yang lebih rendah.
Orang yang cerdas secara emosional mampu menempatkan
diri pada posisi orang lain. Hal ini membantu mereka dalam
memahami perspektif orang lain, yang membantu mereka menjadi
lebih baik dalam memecahkan masalah. Berkat kesadaran diri yang
meningkat. Mereka juga memiliki pemahaman yang tajam tentang
emosi mereka sendiri. Ini membuat mereka lebih baik dalam
mengendalikan emosi mereka dalam situasi sulit dan
mengomunikasikan kebutuhan mereka kepada orang lain.
Berdasarkan Bahadori (2012), orang dengan tingkan kecerdasan
emosional yang tinggi dapat memecahkan permasalahan lebih
efisien dan dapat mengontrol emosi mereka. Dia menambahkan
bahwa EI bertolak belakang antara apa yang orang rasakan dan apa
yang mereka pikirkan.
Seperti selayaknya oli dan perawatan rutin yang menjaga
sebuah kendaran tetap melaju dengan lancar, kecerdasan emosional
adalah minyak yang memfasilitasi hubungan antar pribadi.
Brandstatter (1997), melakukan penelitian pada sampel acak dari dua
kelompok orang, kelompok pertama terdiri dari 255 pemilik dari
UMKM sementara kelompok kedua terdiri dari 104 orang yang
tertarik untuk mendirikan usaha pribadi. Dia menemukan bahwa,
pemilik yang juga merupakan pendiri memiliki emosi yang lebih
stabil dan mandiri dari pada pemilik yang mengambil alih usaha dari
orang tua, kerabat, atau melalui perkawinan. Pemilik usaha yang
stabil secara emosional dan mandiri lebih berhasil dalam
menjalankan usahanya.
Pengusaha yang sukses diharuskan memiliki perpaduan
antara kecerdasan analitis, kreatif dan praktis, yang jika
dikombinasikan menghasilkan kecerdasan yang luar biasa. Peran
yang dimainkan pengusaha dalam merangsang inovasi berkaitan
dengan kepribadian manusia tetapi tidak dengan emosi.
Ahmetouglu et al., (2011) menemukan bahwa individu yang
memiliki EI tinggi cenderung memiliki efektivitas yang lebih tinggi,
memberikan ide-ide kreatif dan dengan demikian menimbulkan
80 | YOUTH ENTERPRENEUR
inovasi. Bagaimana pengusaha membuat keputusan dan penilaian
dalam mode pengalaman (emosional) daripada mode rasional
menyiratkan pentingnya kecerdasan emosional dalam kesuksesan
wirausaha. Lebih lanjut ditekankan bahwa kinerja yang tinggi dapat
dicapai ketika pengusaha mengalami pengalaman yang banyak yang
berkaitan dengan emosional dan spiritual. Suasana hati positif
terbukti meningkatkan memori informasi positif, kepercayaan diri,
antusiasme, fleksibilitas, kreativitas, dan penalaran induktif.
Perasaan gembira dapat berfungsi sebagai alat motivasi yang
mendorong wirausahawan untuk mendorong kinerja mereka ke
tingkat yang lebih tinggi dan mencapai kepuasan dan kesuksesan
berikutnya.
Kecerdasan emosional dikatakan sebagai faktor dalam
kinerja yang unggul dimana emosi merupakan salah satu elemen
penting dalam membantu pengusaha sukses dalam membuat proses
pengambilan keputusan yang rasional maupun dalam proses
inovasi. Selain itu, Baron (2008) setuju bahwa emosi positif dapat
meningkatkan kreativitas kewirausahaan termasuk pengenalan
peluang. Dia juga menyatakan bahwa pemimpin dengan kecerdasan
emosional dalam berperilaku dapat mendorong kreativitas
karyawan mereka.
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 81
DAFTAR PUSTAKA
Ahmetoglu, G., Leutner, F., & Chamorro-premuzic, T. (2011). EQ-
nomics : Understanding the relationship between individual
differences in Trait Emotional Intelligence and
entrepreneurship. Personality and Individual Differences, 51(8),
1028–1033. https://doi.org/10.1016/j.paid.2011.08.016
Ameriks, J., Wranik, T., & Salovey, P. (2009). and Investor Behavior.
Demaree, H. A., DeDonno, M. A., Burns, K. J., & Erik Everhart, D.
(2008). You bet: How personality differences affect risk-taking
preferences. Personality and Individual Differences, 44(7), 1484–
1494. https://doi.org/10.1016/j.paid.2008.01.005
Gardner, H. (1983). Frames of Mind. New York: Basic Book. Zimbardo,
Psyhologie.
Goleman, D. (n.d.). The Brain and Emotional Intelligence : New Insights.
More Than Sound.
Goleman, D. (1995). EI: Why it can matter more than IQ. London:
Bloomsbury.
Mayer, J. D., Caruso, D. R., & Salovey, P. (2016). The Ability Model of
Emotional Intelligence: Principles and Updates. Emotion
Review, 8(4), 290–300.
https://doi.org/10.1177/1754073916639667
Salovey, P., & Mayer, J. D. (1990). An Intelligent Look at Emotional
Intelligence. Imagination, Cognition and Personality, 9(3), 185–
211. https://doi.org/10.2190/DUGG-P24E-52WK-6CDG
Satterfield, J. (1999). from the SAGE Social Science Collections . All
Rights. Hispanic Journal of Behavioral Sciences, 9(2), 183–205.
https://doi.org/10.1177/07399863870092005
M. Bahadori, M, “The effect of emotional intelligence on
entrepreneurial behaviour: A case study in a Medical Science
University”. Asian Journal of Business Management. vol 4
issue1, pp.81-85, 2012
R.A. Baron, “The role of affect in the entrepreneurial process”.
Academy Management Review. vol 33, pp. 323-340, 2008.
82 | YOUTH ENTERPRENEUR
G. Ahmetoglu, F.Leutner and T.Chamorro-Premuzic, “EQ-nomics:
Understanding the relationship between individual
differences in Trait Emotional Intelligence and
entrepreneurship”, Personality and Individual Differences,
51(8), 1028-1033,2011.
H. Brandstätter, “Becoming an entrepreneur — A question of
personality structure?”, Journal of Economic Psychology, vol.
18, issue 2-3, pp. 157-177, 1997.
J.D. Mayer and P. Salovey. “What emotional intelligence?” In P.
Salovey and D. Sluyter (Eds.), Emotional development and
intelligence: implications for educators (pp.3-31), New York:
Basic Books.2000.
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 83
84 | YOUTH ENTERPRENEUR
6.1. Psikologi dan Entrepreneurship
Psikologi adalah ilmu pengetahuan yang berusaha
mengukur, menjelaskan, dan terkadang mengubah prilaku manusia
dan makhluk lain. Para psikolog memfokuskan diri mempelajari dan
berupayah memahami prilaku individual. Mereka yang yang telah
memberikan kontribusi dan terus menambah pengetahuan prilaku
organisasi adalah teoritikus pengetahuan teoritikus kepribadian,
teoritikus konseling, dan yang terpenting teoritikus psikologi
industri dan organisasi.
Psikologi industri/organisasi pada zaman dahulu
memfokuskan diri mereka dengan pernasalahan rasa lelah, bosan,
dan faktor-faktor lain yang relevan dengan kondisi-kondisi kerja
yang dapat menghalangi kinerja yang efisien. Baru-baru ini,
kontribusi-kontribusi mereka telah diperluas sehingga mencakup
pengetahuan, persepsi, kepribadian, emosi, pelatihan keefektifan,
kepemimpinan, kebutuhan dan kekuatan motivasional, kepuasan
kerja, proses pembuatan keputusan, penghargaan kinerja, ukuran
sikap, teknik sleksi karyawan, rancangan kerja, dan stress kerja.
(Robbins & Timothy, 2008).
Entrepreneurship adalah suatu kemampuan (ability) dalam
berfikir kreatif dan berperilaku inovatif yang dijadikan dasar,
sumber daya, tenaga penggerak tujuan, siasat kiat dan proses dalam
menghadapi tantangan hidup (Spemahamidjaja, 1980). Jadi
entrepreneur adalah merupakan proses menciptakan sesuatu yang
berbeda dengan mengabdikan seluruh waktu dan tenaganya disertai
dengan menanggung resiko keuangan, kejiwaan, sosial, dan
menerima balas jasa dalam bentuk uang dan kepuasan pribadinya.
Selain itu, entrepreneurship adalah kemampuan kreatif dan inovatif
yang dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang
menuju sukses. Inti dari entrepreneur adalah kemampuan untuk
menciptakan sesuatu yang baru dan berbeda (create new and different)
melaui berpikir kreatif dan bertindak inovatif untuk menciptakan
peluang dalam menghadapi tantangan hidup. Pada hakekatnya
entrepreneurship adalah sifat, ciri, dan watak seseorang yang
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 85
memiliki kemauan dalam mewujudkan gagasan inovatif kedalam
dunia nyata secara kreatif.
6.2. Karakteristik Enterpreneurship
Shane (2003) mengelompokkan karakter psikologis yang
mempengaruhi mengapa seseorang lebih memanfaatkan peluang
dibandingkan yang lain dalam 4 aspek yaitu kepribadian, motivasi,
evaluasi diri, sifat-sifat kognitif.
1. Kepribadian
Kepribadian dan motivasi berpengaruh terhadap tindakan
seseorang dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan
tindakan memanfaatkan peluang. Bahkan ketika sekumpulan
orang dihadapkan pada peluang yang sama, mempunyai
ketrampilan yang hampir sama, dan informasi yang sama; maka
orang dengan motivasi tertentu akan memanfaatkan peluang,
sementara yang lain tidak. Ada 5 aspek kepribadian dan motif
yang berpengaruh dalam memanfaatkan peluang.
Ekstraversi
Ektraversi terkait dengan sikap sosial, asertif, aktif, ambisi,
inisiatif, danekshibisionis. Sikap ini akan membantu
entrepreneur untuk mengeksploitasi peluang terutama dalam
memperkenalkan ide ataupun kreasi mereka yang bernilai
kepada calon pelanggan, karyawan, dan sebagainya. Sikap ini
membantu entrepreneur untuk mengombinasikan dan
mengorganisasikan sumber daya dalam kondisi yang tidak
menentu.
Agreebleeness (Kesepahaman)
Sikap ini terkait dengan keramahan, konformitas sosial,
keinginan untuk mempercayai, kerjasama, keinginan untuk
memaafkan, toleransi, dan fleksibilitas dengan orang lain. Hal
ini akan membantu entrepreneur dalam membangun jaringan
kerjasama untuk kematangan bisnisnya terutama aspek dari
keinginan untuk mempercayai orang lain.
86 | YOUTH ENTERPRENEUR
Pengambilan Risiko
Sikap ini berkaitan dengan kemauan seseorang untuk terlibat
dalam kegiatan beresiko. Beberapa resiko yang mungkin
dihadapi oleh entrepreneur antara lain pemasaran, finansial,
psikologis dan sosial. Seseorang yang memiliki perilaku
pengambilan resiko yang tinggi akan lebih mudah dalam
mengambil keputusan dalam keadaan yang tidak menentu
dan mengorganisasikan sumber daya yang dimilikinya
terutama dalam memperkenalkan produknya ke pembeli.
2. Motivasi
Hal yang tak kalah penting dalam menumbuhkan jiwa
kewirausahaan adalah motivasi. Sebagian besar entrepreneur
dimotivasi oleh keinginan untuk menentukan nasibnya sendiri.
Dalam paparan berikut ini akan dibahas mengenai 2 macam
kebutuhan yang melandasi motivasi seorang entrepreneur.
Kebutuan Berprestasi
Merupakan motivasi yang akan memicu seseorang untuk
terlibat dengan penuh rasa tanggung jawab, membutuhkan
usaha dan keterampilan individu, terlibat dalam resiko
sedang, dan memberikan masukan yang jelas. Kebutuhan
berprestasi yang tinggi dapat dilihat dari kemampuan
individu dalam menghasilkan sesuatu yang baru terhadap
masalah khusus. Selanjutnya, kebutuhan berprestasi juga
dicirikan dengan adanya penentuan tujuan, perencanaan, dan
pengumpulan informasi serta kemauan untuk belajar. Ciri
selanjutnya dari adanya kebutuhan berprestasi adalah
kemampuannya dalam membawa ide ke implementasi di
masyarakat. Dengan demikian, kebutuhan berprestasi yang
tinggi akan membantu seorang entrepreneur dalam
menjalankan usahanya untuk memecahkan masalah sesuai
dengan penyebabnya, membantu dalam menentukan tujuan,
perencanaan, dan aktivitas pengumpulan informasi. Selain itu,
kebutuhan informasi akan membantu entrepreneur untuk
bangkit dengan segera ketika menghadapi tantangan.
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 87
Keinginan untuk independen (Need for independence)
Faktor ini menjadi penentu kekhasan dari seorang
entrepreneur. Selain keinginan yang tidak ingin ditentukan
oleh orang lain, keinginan untuk independen akan memicu
seorang entrepreneur menghasilkan produk yang berbeda
dengan orang lain. Ia akan lebih berani dalam membuat
keputusan sendiri dalam mengeksploitasi peluang
berwirausaha.
Motivasi seseorang juga akan meningkat seiring dengan
adanya role model dalam membangun usahanya. Seorang
entrepreneur akan berupaya mewarnai bisnisnya karena
terinspirasi dengan entrepreneur yang telah sukses
sebelumnya. Biasanya hal ini akan terlihat ketika seorang
entrepreneur mulai memperkenalkan usahanya ke publik.
Role model berperan sebagai katalis dan mentor dalam
menjalankan usahanya. Selain itu, jaringan dukungan sosial
dari orang-orang di sekitar entrepreneur akan berperan
terutama ketika usaha tersebut menghadapi kesulitan ataupun
ketika berada dalam keadaan stagnan dalam prosesnya.
Keberadaan jaringan ini dikategorikan menjadi:
a. Jaringan dukungan moral. Jaringan ini bisa berawal dari
dukungan pasangan, teman-teman, dan saudara.
b. Jaringan dukungan dari profesional. Jaringan ini akan
membantu seorang entrepreneur dalam mendapatkan
nasihat dan konseling mengenai perkembangan usahanya.
Jaringan ini bisa berawal dari mentor, asosiasi bisnis,
asosiasi perdagangan, dan hubungan yang bersifat
personal.
3. Evaluasi Diri
Locus of control
Locus of control didefinisikan sebagai kepercayaan seseorang
bahwa ia mampu mengendalikan lingkungan di sekitarnya.
Seorang entrepreneur yang memiliki internal locus of control
lebih mampu dalam memanfaatkan peluang kewirausahaan.
88 | YOUTH ENTERPRENEUR
Mereka memiliki kepercayaan dapat memanfaatkan peluang,
sumber daya, mengorganisasikan perusahaan, dan
membangun strategi. Hal ini dikarenakan kesuksesan dalam
menjalankan aktivitas entrepreneur tergantung pada
keinginan seseorang untuk percaya pada kekuatannya sendiri.
Self Efficacy
Self-efficacy adalah kepercayaan seseorang pada kekuatan diri
dalam menjalankan tugas tertentu. Entrepreneur sering
membuat penilaian sendiri pada keadaan yang tidak menentu,
oleh karena itu mereka harus memiliki kepercayaan diri dalam
membuat pernyataan, keputusan mengenai pengelolaan
sumber daya yang mereka miliki.
4. Karakteristik Kognitif
Karakteristik kognitif merupakan faktor yang mempengaruhi
bagaimana seseorang berpikir dan membuat keputusan. Dalam
mengembangkan peluang kewirausahaan, seorang entrepreneur
harus membuat keputusan positif mengenai sesuatu yang mereka
belum pahami, dalam ketidakpastian, dan informasi yang
terbatas. Dalam membuat keputusan positif tersebut dibutuhkan
karakteristik kognitif yang membantu entrepreneur untuk
memetakan cara bagaimana memanfaatkan peluang wirausaha.
Karakteristik tersebut antara lain:
Overconfidence
Overconvidence merupakan kepercayaan pada pernyataan
diri yang melebihi keakuratan dari data yang diberikan. Sikap
percaya yang berlebihan ini sangat membantu entrepreneur
terutama dalam membuat keputusan pada situasi yang belum
pasti dan informasi yang terbatas. Mereka akan melangkah
lebih pasti dalam menjalankan keputusannya meskipun
kesuksesan yang diinginkan belum pasti. Hal ini sebenarnya
bias dari rasa optimisme. Overconfidence mendorong orang
mampu memanfaatkan peluang usaha (Busenitz dalam Shane,
2003).
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 89
Beberapa riset yang mendukung teori bahwa overconfidence
mendorong memanfaatkan peluang usaha. Shane (2003)
mempresentasikan beberapa penelitian yang mendukung
kenyataan ini. Gartner dan Thomas pada tahun 1989
melakukan survei terhadap 63 pendiri perusahaan software
computer. Hasilnya menunjukkan bahwa mereka cenderung
overconfidence dan perkiraan rata-rata penjualan 29% di atas
penjualan tahun sebelumnya. Sementara penelitian yang
dilakukan oleh Cooper dkk tahun 1988 menunjukkan bahwa
33,3% dari yang mereka percaya bahwa mereka akan sukses
dan dua pertiga dari yang mereka survei merasa yakin akan
kesuksesan yang akan diraihnya.
Entrepreneur cenderung lebih overconfidence dibandingkan
dengan manajer. Hasil penelitian Busenizt dan Barney tahun
1997 dengan cara membandingkan 124 pendiri perusahaan
dan 74 manajer dalam sebuah organisasi besar. Hasilnya
menunjukkan bahwa pendiri perusahaan lebih overconfidence
dibandingkan dengan manajer. Demikian juga penelitian yang
dilakukan oleh Amir dkk tahun 2001, yang dilakukan dengan
cara wawancara pada 51 pendiri perusahaan dan 28 manajer
senior (bukan pendiri) di Kanada. Pendiri perusahaan
memperkirakan mereka mempunyai peluang sukses lebih
besar dibandingkan dengan perkiraan manajer senior.
Representatif
Representatif merupakan keinginan untuk menggeneralisasi
dari sebuah contoh kecil yang tidak mewakili sebuah populasi.
Bias dalam representatif akan mendorong seorang
entrepreneur dalam membuat keputusan. Ia menjadi lebih
mudah dalam membuat keputusan terutama dalam keadan
yang tidak menentu.
Penelitian mengenai hal ini dilakukan oleh Busenitz dan
Barney di tahun 1997, dengan cara membandingkan 124
pendiri perusahaan dengan 74 manajer. Hasilnya
menunjukkan bahwa para pendiri perusahaan memiliki sekor
representativeness yang lebih tinggi dibandingkan dengan
90 | YOUTH ENTERPRENEUR
manajer. Hal ini menunjukkan bahwa gaya pemecahan
masalah antara entrepreneur dan manajer berbeda
Intuisi
Sebagian besar entrepreneur menggunakan intuisi daripada
menganalisis informasi dalam membuat keputusan. Kegunaan
intuisi untuk memfasilitasi pembuatan keputusan mengenai
ketersediaan sumber daya, mengorganisasi dan membangun
strategi baru. dengan memfasilitasi pembuatan keputusan
maka argumen akan muncul, dan intuisi selanjutnya akan
meningkatkan performa dalam kegiatan entrepreneur.
Beberapa riset mendukung fakta di atas. Shane (2003)
melaporkan beberapa hasil penelitian berikut ini. Hasil
penelitian Allison dkk membandingkan 156 pendiri
perusahaan dan perusahaan yang masuk daftar dalam British
Publication Local Heroes sebagai perusahaan yang
berkembang dengan 546 manajer. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa pendiri perusahaan lebih intuitif dalam
pengambilan keputusan dibandingkan dengan manajer.
6.3. Green Financial Behavior
Green financial behavior menurut Claudia & Nuryasman MN
(2019) mengatakan bahwa Green finance merupakan pengucuran
modal dengan menggunakan prinsip ramah lingkungan bisa
menjadi solusi dari sektor finansial untuk mengatasi dampak
kerugian yang akan didapatkan oleh para youth entrepreneur dalam
menjalankan bisnisnya. Menurut Zhu, Bu, Jin, & Mbroh (2020) Green
financial behavior dapat diartikan sebagai strategi usaha mikro, kecil
dan menengah dalam hal pengelolaan investasi, pendanaan, dan
operasional untuk mencapai tujuan organisasi selain juga
berkontribusi dalam menjaga kelangsungan lingkungan hidup. Hal
ini mengharuskan para youth entrepreneurs untuk menerapkan suatu
perilaku yang berbasis ramah lingkungan dalam mengelola
keuangannya (green financial behaviour). Menurut Zhu et al. (2020)
mengatakan adanya dimensi yang dapat menjadi alat ukur pada
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 91
green financial behavior yaitu: Investment activities, Financing
activities, Operation activities.
Menurut Goel (2016) mengatakan adanya dimensi yang
dapat menjadi alat ukur pada green financial behavior yaitu:
1. Green Bonds, yaitu suatu langkah yang dilakukan para youth
entrepreneur untuk dapat memahami dan mengerti akan
pentingnya obligasi yang pro pada perbaikan lingkungan (green
bond) dalam bisnisnya karena akan berpengaruh kepada customer-
nya.
2. Green Insurance, yaitu skema asuransi pro pada perbaikan
lingkungan yang dipertimbangkan diikuti oleh para youth
entrepreneur untuk melindungi bisnisnya dari resiko dan
meminimalisirkan kesalahan bisnis.
3. Green Loan Schemes, yaitu skema pembiayaan yang pro pada
perbaikan lingkungan (green loan) dan dibutuhkan oleh para youth
entrepreneur agar dapat memiliki pinjaman ketika menjalankan
bisnis.
DAFTAR PUSTAKA
Zoltan J. Acs And David B. Audretsch. 2010. Handbook Of
Entrepreneurship Research An Interdisciplinary Survey And
Introduction. (diunduh pada tanggal 27 Oktober 2020)
92 | YOUTH ENTERPRENEUR
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 93
94 | YOUTH ENTERPRENEUR
Permasalahan lingkungan dan sosial saat ini sangat
melimpah. Sebagai contoh, potensi dampak negatif dari pemanasan
global telah diterima secara luas, dimana banyak negara-negara
industri mengalami pengangguran massal atau bergulat dengan
tantangan yang diakibatkan oleh ekonomi dan masyarakat yang
semakin mengglobal. Banyak dari tantangan ini dapat dikaitkan
dengan eksternalitas negatif atau fenomena lain yang dijelaskan
dalam literatur ekonomi klasik, seperti the tragedy of commons
(Hardin, 1968). Sustainability behaviour, atau singkatnya
sustainability, adalah paradigma yang dapat berfungsi sebagai
referensi bagi pengembangan solusi untuk tantangan lingkungan
dan masyarakat saat ini (Kuckertz dan Wagner, 2009). Sustainability
diakui sebagai visi jangka panjang yang membentuk perusahaan
yang sadar sosial dan lingkungan (Aksoy et al., 2020).
7.1. Definisi Sustainable Enterprise Performance
Sustainability adalah topik diskusi bagi manajer, praktisi,
pemangku kepentingan, dan pelanggan perusahaan. Globalisasi dan
integrasi vertikal juga telah meningkatkan fokus pada sustainability.
Sustainability berasal dari sistem ekologi dan lingkungan, dan
dianggap sebagai kemampuan untuk melanjutkan atau beradaptasi
dengan lingkungan yang berubah (Seuring dan Müller, 2008).
Sustainability telah menjadi pertimbangan strategis yang semakin
penting bagi perusahaan (Moore dan Manring, 2009). Berdasarkan
pada beberapa literatur, sustainability dapat meningkatkan
keunggulan kompetitif perusahaan. Oleh sebab itu, sustainability
harus menjadi bagian bisnis yang lebih strategis dan tidak
terpisahkan (Tomsic, Bojnec, dan Simcic, 2015).
The Brundtland Commission, yang dibentuk oleh
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada awal 1980-an,
mendefinisikan sustainable development sebagai “pemenuhan
kebutuhan saat ini tanpa mengorbankan kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri” (World
Commission on Environment and Development, 1987: 54). Ini merupakan
proses untuk mencapai tujuan dari sustainability, di mana
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 95
pertumbuhan ekonomi, kohesi sosial dan perlindungan lingkungan
yang disebut “triple bottom line” (Elkington, 1997) diperlakukan
sama dan saling mendukung. Saat konsep ini diaplikasikan pada
suatu perusahaan, maka disebut sebagai corporate sustainability.
Corporate sustainability menjelaskan tentang menggabungkan
tujuan sustainable development seperti keadilan sosial, efisiensi
ekonomi, dan kinerja lingkungan ke dalam praktik operasional
perusahaan (Varsei et al., 2014). Corporate sustainability
didefinisikan sebagai, “mengadopsi strategi dan aktivitas bisnis yang
memenuhi kebutuhan perusahaan dan para pemangku
kepentingannya saat ini, sambil melindungi, mempertahankan, dan
meningkatkan sumber daya manusia dan alam yang akan
dibutuhkan di masa depan” (Deloitte dan Touche, 1992). Lozano
(2012) mendefinisikan corporate sustainability sebagai aktivitas
perusahaan yang secara proaktif berusaha berkontribusi pada
keseimbangan sustainability, termasuk dimensi ekonomi,
lingkungan, dan sosial saat ini, serta keterkaitan antar dimensi di
sepanjang dimensi waktu sambil menangani sistem perusahaan dan
pemangku kepentingan.
Corporate sustainability (CS) adalah strategi bisnis dinamis
yang menerapkan praktik keberlanjutan yang diperlukan untuk
memenuhi tujuan pemegang saham dan memberi energi kepada
pemangku kepentingan (Aksoy et al., 2020). Hal ini memerlukan
tugas yang menantang untuk memberikan hasil yang kompetitif
sambil merangkul metrik environment, social, dan governance (ESG)
untuk secara positif memengaruhi nilai perusahaan dan memastikan
reputasi publik yang baik. Selain itu, semakin besarnya dampak
investasi dan pendekatan yang sadar ESG dari perusahaan
manajemen kekayaan global dan pemangku kepentingan lainnya
mendorong perusahaan untuk menunjukkan akuntabilitas yang
lebih besar terhadap sustainability (Braam et al., 2016). Sebuah survei
global tahun 2014 terhadap lebih dari 3800 eksekutif senior yang
dilakukan bersama oleh Boston Consulting Group, UN Global
Compact, dan MIT Sloan Management Review mencatat bahwa
96 | YOUTH ENTERPRENEUR
sekitar 65% perusahaan mengidentifikasi sustainability sebagai salah
satu item utama dalam agenda manajemen mereka.
Dalam framework ini, faktor penentu corporate
sustainability dan pengukurannya menjadi penting dalam
membuktikan secara eksplisit dedikasi perusahaan terhadap
masalah terkait sustainability. Searcy dan Elkhawas (2012)
menggarisbawahi bahwa perusahaan harus mendefinisikan dan
mengukur corporate sustainability performance mereka untuk
menciptakan nilai. Corporate sustainability performance (CSP) atau
sustainable enterprise performance (SEP) menjelaskan suatu metode
untuk mengevaluasi kesiapan dan progres perusahaan melalui suatu
set indikator kualitatif dan kuantitatif yang menyeluruh. Indikator
tersebut mencakup strategi perusahaan untuk mencapai dampak
suatu perusahaan dalam konsep corporate social responsibility dan
ekspektasi stakeholders, mengembangkan dan memantau produk
dan layanan yang ditawarkan serta proses bisnis.
Pertimbangan terhadap sustainability dapat membawa
keuntungan dan keunggulan yang signifikan (Rajesh, 2018). Prioritas
keberlanjutan ekonomi, lingkungan, dan sosial perusahaan dapat
menentukan bobot masing-masing dimensi, untuk mencapai
sustainability performance (SP). Selain itu, tingkat prioritas mungkin
bergantung pada keunggulan kompetitif perusahaan yang
berkelanjutan (Ahi dan Searcy, 2013). Topik terkait sustainability
performance telah menciptakan motivasi yang semakin meningkat
bagi perusahaan untuk meningkatkan keunggulan kompetitifnya
(Aksoy et al., 2020).
Indeks sustainability yang terkait dengan pasar keuangan
bertujuan untuk memberikan wawasan lebih jauh kepada investor
tentang CSP. Menurut Sustainable Stock Exchanges Initiative (2018),
40 bursa dengan total kapitalisasi pasar 81 triliun USD memiliki
indeks keberlanjutan. Selain bursa saham ini, beberapa perusahaan,
termasuk FTSE-Russell, Dow Jones, Standard & Poor's, MSCI,
Thomson Reuters, dan Stoxx, juga mengembangkan indeks
keberlanjutan dan sering bekerja sama dengan bursa saham untuk
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 97
memperbaikinya. Mereka sangat membantu untuk menunjukkan
perusahaan dengan CSP yang notable.
7.2. Dimensi Sustainable Enterprise Performance
Mengukur sustainability performance sangat penting bagi
perusahaan industri karena beberapa alasan, juga
mempertimbangkan dampak keseluruhan dari agenda
sustainability, baik dari segi ekonomi maupun untuk kebijakan di
masa mendatang (Uni Eropa, 2017). Perusahaan menerima tekanan
kuat untuk meningkatkan sustainability dan transparansi tentang
hasil yang dicapai (Lozano dan Huisingh, 2011; Stacchezzini et al.,
2016) oleh pemangku kepentingan eksternal (Staniskis dan
Arbaciauskas, 2009), kepada pihak yang dituju oleh perusahaan
untuk menyampaikan praktik dan sustainability performance
mereka (Szekely dan Vom Brockem, 2017). Dengan meningkatkan
hubungan dengan pemangku kepentingan eksternal (Fuente et al.,
2017), perusahaan bertujuan untuk meningkatkan dan melindungi
reputasinya (De Villiers et al., 2016).
Dengan mempertimbangkan indikator sustainability
performance perusahaan, ada beberapa ukuran evaluasi yang
digunakan secara global. Global Reporting Initiatives (GRI)
diarahkan untuk mengukur kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan
perusahaan. Kerangka kerja ini menggunakan lebih dari 100
indikator yang relevan dengan ketiga bidang utama sustainability
performance. Kerangka kerja PBB untuk sustainability performance
juga didasarkan pada kerangka kerja hierarki dan membagi
indikator menjadi indikator utama dan sub-indikator dengan
mempertimbangkan berbagai aspek sustainable development.
Berbeda dengan GRI, kerangka kerja ini juga mempertimbangkan
aspek kelembagaan (institutional aspect) dari sustainability. Institution
of Chemical Engineers (IChemE) menyediakan kerangka kerja yang
relatif lebih sederhana untuk sustainability reporting dan didasarkan
pada dampak kegiatan tersebut. Ini mencakup formulir pelaporan
standar dan tabel konversi untuk penilaian dan hal yang lebih
menekankan pada evaluasi aspek kelestarian lingkungan. Thomson
98 | YOUTH ENTERPRENEUR
Reuters memberikan kerangka kerja untuk evaluasi kinerja ekonomi,
sosial, dan tata kelola perusahaan berdasarkan 10 indikator utama,
dan lebih dari 400 indikator tingkat perusahaan yang berbeda.
Sebuah kerangka untuk mengukur dimensi sustainability
dapat mengatasi masalah ekonomi, lingkungan, dan sosial. Namun,
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah memperkenalkan dimensi
keempat untuk mengevaluasi sustainability performance, yang disebut
sebagai dimensi institutional (Labuschagne et al., 2005). Meninjau
kerangka kerja dan dimensi evaluasi keberlanjutan seperti; Global
Reporting Initiatives (GRI), United Nations Commission on Sustainable
Development Framework, Sustainability Metrics of the Institution of
Chemical Engineers (IChemE), Wuppertal Sustainability Indicators,
dimensi evaluasi sustainability performance terdiri atas ekonomi,
lingkungan, dan sosial. Masing-masing dimensi diuraikan sebagai
berikut.
7.2.1. Economic Sustainability (Keberlanjutan Ekonomi)
Keberlanjutan ekonomi seperti yang didefinisikan oleh GRI
berkaitan dengan “dampak organisasi pada keadaan ekonomi
pemangku kepentingannya dan pada sistem ekonomi di tingkat
lokal, nasional, dan global” (GRI, 2002). Perusahaan yang mencapai
keunggulan kompetitif melalui kapabilitas untuk mempraktikkan
bisnis yang menguntungkan dan tidak berubah dapat bertahan
dalam jangka panjang, tetapi tidak dapat memberikan kontribusi apa
pun pada sistem ekonomi di tingkat lokal, nasional, atau global
(Svensson, 2007). Organisasi harus menjaga kesehatan ekonomi dan
kelangsungan hidup mereka untuk mencapai kelangsungan hidup
jangka panjang (Rajesh, 2020). Empat kriteria utama digunakan
untuk mengukur keberlanjutan ekonomi perusahaan yaitu,
kesehatan finansial, kinerja ekonomi, potensi keuntungan finansial,
dan peluang perdagangan. Kesehatan keuangan menunjukkan
stabilitas keuangan internal perusahaan, sedangkan kinerja ekonomi
mengukur nilai perusahaan yang diukur oleh pemangku
kepentingan, manajemen puncak, dan pemerintah. Manfaat
keuangan potensial menilai manfaat finansial tersebut selain
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 99
keuntungan dan peluang perdagangan, untuk mengakses
kerentanan jaringan perdagangan terhadap berbagai sumber risiko.
7.2.2. Environmental Sustainability (Kelestarian Lingkungan)
Kelestarian lingkungan dapat didefinisikan sebagai
kombinasi dari beberapa kemampuan perusahaan untuk
mengurangi keseluruhan carbon footprint dari suatu produk (Lam
dan Lai, 2015). Dampak terhadap empat sumber daya alam utama
yang dipantau, yaitu sumber daya udara, sumber daya air, sumber
daya tanah, sumber daya mineral dan energi (GRI, 2002). Penilaian
dampak siklus hidup produk dapat mengukur potensi dampak pada
semua sumber daya ini (Rajesh, 2020). Pada sumber daya udara,
kontribusi perusahaan terhadap tingkat kualitas udara regional
dipantau. Penggunaan air dan pelepasan limbah dan polutan air
dipantau untuk menilai ketersediaan air bersih dan aman. Dampak
langsung atau tidak langsung pada sumber daya lahan dapat
dipantau untuk mengurangi dampak pada tanah dan
keanekaragaman hayati. Polutan tanah merupakan bagian utama
dari penipisan sumber daya lahan untuk mencapai kelestarian
lingkungan. Selain itu, penipisan sumber daya tak terbarukan dan
energi dipantau untuk menilai tingkat dampak perusahaan terhadap
sumber daya mineral dan energi.
7.2.3. Social Sustainability (Keberlanjutan Sosial)
Perusahaan lebih memperhatikan keberlanjutan dimensi
sosial karena pergeseran tekanan pemangku kepentingan dari
masalah lingkungan ke masalah sosial (Yawar dan Seuring, 2017).
Keberlanjutan dimensi sosial dapat menangani masalah-masalah
yang berkaitan dengan sumber daya internal, serta populasi
eksternal. Faktor-faktor yang terkait dengan sumber daya internal
dapat mencakup stabilitas pekerjaan, praktik ketenagakerjaan,
kesehatan dan keselamatan kerja, dan pengembangan kapasitas
(Ahmadi et al., 2017). Stabilitas kerja mengatasi dampak bisnis pada
kesempatan kerja di dalam perusahaan, sedangkan hak asasi
manusia, kesetaraan tenaga kerja, kesetaraan gender ditangani
100 | YOUTH ENTERPRENEUR
dalam praktik ketenagakerjaan. Praktik kesehatan dan keselamatan
dinilai untuk tindakan pencegahan, serta untuk menangani insiden
kesehatan atau keselamatan. Pengembangan kapasitas berfokus
pada dua aspek yang berbeda yaitu penelitian dan pengembangan
serta pengembangan karir. Parameter yang berhubungan dengan
populasi eksternal termasuk modal manusia, modal produktif, dan
modal komunitas. Modal manusia mengacu pada kemampuan
individu untuk bekerja dan menghasilkan pendapatan, modal
produktif mengacu pada aset dan infrastruktur tersebut, kebutuhan
individu untuk mempertahankan kehidupan produktif, dan modal
komunitas termasuk efek dari inisiatif operasional pada jaringan
hubungan sosial dan kelembagaan.
Menyeimbangkan aspek kinerja sosial, lingkungan, dan
ekonomi dari keberlanjutan di tingkat perusahaan, yang disebut
kinerja “triple bottom line” adalah tugas yang menantang (Henry et
al., 2019).
7.3. Sustainability Performance in Theoritical Concept
Teori pemangku kepentingan (stakeholder theory) (Freeman,
1983) telah memberikan dasar corporate sustainability performance
(CSP), yang membantu membangun dan memperkuat hubungan
saling percaya dengan pemangku kepentingan. Pemangku
kepentingan membutuhkan transparansi dan efisiensi untuk
meningkatkan keuntungan mereka dan memastikan keberlanjutan
masa depan perusahaan (Aksoy et al., 2020). Dengan demikian,
mereka menuntut agar kebijakan lingkungan dan sosial
diintegrasikan ke dalam kinerja perusahaan (Pava dan Krausz, 1996).
Teori keagenan (agency theory), di sisi lain, lebih menekankan pada
bagaimana dewan memantau manajemen untuk kepentingan terbaik
pemegang saham (Fama dan Jensen, 1983). Oleh karena itu, dewan
yang efektif harus memiliki kombinasi kemampuan dan pengalaman
yang tepat untuk mengevaluasi strategi bisnis dan dampaknya
terhadap kebijakan sustainability.
Beberapa penulis telah mengemukakan pendekatan multi-
perspektif untuk peningkatan pemahaman CSP (misalnya, Aguinis
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 101
dan Glaves, 2012; Mellahi et al., 2016). Teori eksternal lebih
berkonsentrasi pada hubungan antara bisnis dan masyarakat dan
diantaranya yaitu institutional theory, resource dependence theory,
the resource-based view (RBV), dan stakeholder theory. Secara
khusus, teori pemangku kepentingan mengevaluasi kegiatan
perusahaan sebagai hasil langsung dari tekanan pemangku
kepentingan yang terkait dengan ketergantungan kekuasaan, klaim
legitimasi, atau urgensi (Clarkson, 1995; Freeman dan David, 1983;
Mitchell et al., 1997).
Teori internal, di sisi lain, berurusan dengan proses internal,
di mana CSP disebut sebagai strategi atau hasil dari keputusan
manajerial dan termasuk teori keagenan dan RBV (Wissink, 2016).
Kepentingan yang berbeda dari prinsipal dan agen dapat
menyebabkan konflik karena beberapa agen mungkin tidak selalu
bertindak untuk kepentingan terbaik prinsipal. Miskomunikasi
berikutnya dapat mengakibatkan masalah (Eisenhardt, 1989; Jensen
dan Meckling, 1976). Dengan demikian, perusahaan mengejar
aktivitas corporate sustainability untuk memenuhi permintaan
pemangku kepentingan (stakeholder theory), mengamankan sumber
daya kritis (resource dependence theory), memenuhi kebutuhan
individu manajer (teori agensi), menyesuaikan dengan norma dan
tekanan kelembagaan untuk meningkatkan legitimasi mereka
(institutional theory), dan mengembangkan sumber daya yang
berharga untuk mengejar peluang (RBV). Dalam kerangka ini,
karena masalah keberlanjutan menjadi semakin kompleks, bersifat
global dan penting bagi keberhasilan, perusahaan cenderung
berperilaku dengan cara yang bertanggung jawab secara sosial dan
berkelanjutan melalui efek mediasi dari beberapa kondisi
kelembagaan termasuk regulasi, organisasi nonpemerintah, aliansi
industri, norma yang dilembagakan, pesaing, dan dialog antara
perusahaan dan pemangku kepentingan mereka (Campbell, 2007;
Kiron et al., 2015).
102 | YOUTH ENTERPRENEUR
7.4. Perusahaan yang Sehat
Perusahaan yang sehat adalah perusahaan yang dapat
bertahan dalam kondisi ekonomi apapun, yang terlihat dari
kemampuannya dalam memenuhi kewajiban-kewajiban
finansialnya dan melaksanakan operasinya dengan stabil serta dapat
menjaga kontinuitas perkembangan usahanya dari waktu ke waktu.
Kesehatan suatu perusahaan dapat dilihat dari aspek
keuangannya. Untuk mengevaluasi secara akurat kesehatan
keuangan dan keberlanjutan jangka panjang perusahaan, sejumlah
metrik keuangan harus dipertimbangkan. Empat bidang utama
kesehatan keuangan yang harus diperiksa adalah likuiditas,
solvabilitas, profitabilitas, dan efisiensi operasi. Ada sejumlah rasio
keuangan yang dapat ditinjau untuk mengukur kesehatan keuangan
perusahaan secara keseluruhan dan untuk menentukan
keberlanjutan perusahaan sebagai bisnis yang layak. Tren umum
rasio keuangan, apakah meningkat dari waktu ke waktu, juga
merupakan pertimbangan penting.
Tidak ada ukuran yang sempurna untuk menentukan
kesehatan keuangan perusahaan, apalagi keberlanjutan. Namun, ada
empat area penting terkait kesehatan finansial yang dapat diamati
dengan cermat untuk mencari tanda-tanda kekuatan atau
kerentanan. Empat bidang yang perlu dipertimbangkan adalah
likuiditas, solvabilitas, profitabilitas, dan efisiensi operasi.
7.4.1. Likuiditas
Likuiditas adalah faktor kunci dalam menilai kesehatan
keuangan dasar perusahaan. Likuiditas adalah jumlah uang tunai
dan aset yang mudah dikonversi menjadi kas yang dimiliki
perusahaan untuk mengelola kewajiban hutang jangka pendeknya.
Sebelum sebuah perusahaan dapat berhasil dalam jangka panjang,
terlebih dahulu harus mampu bertahan dalam jangka pendek.
Dua metrik paling umum yang digunakan untuk mengukur
likuiditas adalah current ratio dan quick ratio. Dari keduanya, quick
ratio, terkadang juga disebut sebagai acid test, yang merupakan
ukuran yang lebih tepat. Hal ini karena, dalam membagi aset lancar
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 103
dengan kewajiban lancar, tidak termasuk persediaan dari aset dan
tidak termasuk bagian saat ini dari hutang jangka panjang dari
kewajiban. Dengan demikian, ini memberikan indikasi yang lebih
praktis secara realistis tentang kemampuan perusahaan untuk
mengelola kewajiban jangka pendek dengan kas dan aset yang
dimiliki. Quick ratio yang lebih rendah dari 1,0 adalah sinyal bahaya,
karena menunjukkan kewajiban saat ini melebihi aset lancar.
7.4.2. Solvabilitas
Konsep solvabilitas berkaitan erat dengan likuiditas,
merupakan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban
hutangnya secara berkelanjutan, tidak hanya dalam jangka pendek.
Rasio solvabilitas menghitung hutang jangka panjang perusahaan
dalam kaitannya dengan aset atau ekuitasnya.
Rasio hutang terhadap ekuitas (D / E) umumnya merupakan
indikator kuat dari keberlanjutan jangka panjang perusahaan karena
memberikan ukuran rasio hutang terhadap ekuitas pemegang
saham, dan oleh karena itu juga merupakan ukuran minat dan
kepercayaan investor pada suatu perusahaan. Rasio D / E yang lebih
rendah berarti lebih banyak operasi perusahaan yang dibiayai oleh
pemegang saham daripada oleh kreditor. Ini merupakan nilai
tambah bagi perusahaan karena pemegang saham tidak
mengenakan bunga atas pembiayaan yang mereka berikan.
Rasio D / E sangat bervariasi antar industri, tetapi terlepas
dari sifat spesifik bisnisnya, tren penurunan rasio D / E dari waktu
ke waktu adalah indikator yang baik bahwa perusahaan berada pada
kondisi keuangan yang semakin kokoh.
7.4.3. Efisiensi Operasi
Efisiensi operasi sebuah perusahaan adalah kunci
kesuksesan finansialnya. Marjin operasi perusahaan merupakan
indikator terbaik dari efisiensi operasinya. Metrik ini menunjukkan
tidak hanya marjin laba operasional dasar perusahaan setelah
dikurangi biaya variabel untuk memproduksi dan memasarkan
produk atau jasa perusahaan, tetapi juga memberikan indikasi
seberapa baik manajemen perusahaan mengendalikan biaya.
104 | YOUTH ENTERPRENEUR
Manajemen yang baik sangat penting untuk keberlanjutan
jangka panjang perusahaan. Manajemen yang baik dapat mengatasi
berbagai masalah sementara, sedangkan manajemen yang buruk
dapat menyebabkan runtuhnya bisnis yang paling menjanjikan
sekalipun.
7.4.4. Profitabilitas
Perusahaan memang dapat bertahan selama bertahun-tahun
tanpa keuntungan, beroperasi atas niat baik kreditor dan investor,
tetapi untuk bertahan dalam jangka panjang, perusahaan pada
akhirnya harus mencapai dan mempertahankan profitabilitas.
Metrik terbaik untuk mengevaluasi profitabilitas adalah
margin bersih dan rasio laba terhadap total pendapatan. Penting
untuk mempertimbangkan rasio margin bersih karena angka
keuntungan yang sederhana tidak cukup untuk menilai kesehatan
keuangan perusahaan. Sebuah perusahaan mungkin menunjukkan
angka laba bersih beberapa ratus juta dolar, tetapi jika angka dolar
itu mewakili margin bersih hanya 1% atau kurang, maka kenaikan
sekecil apa pun dalam biaya operasi atau persaingan pasar dapat
menjerumuskan perusahaan ke dalam posisi merah. Margin bersih
yang lebih besar, terutama dibandingkan dengan rekan-rekan
industri, berarti margin of financial safety yang lebih besar, dan juga
menunjukkan perusahaan berada dalam posisi keuangan yang lebih
baik untuk mengalokasikan modal untuk pertumbuhan dan
ekspansi.
Tidak ada metrik tunggal yang dapat mengidentifikasi
kesehatan keuangan dan operasional perusahaan secara
keseluruhan. Likuiditas menunjukkan kemampuan perusahaan
untuk bertahan dalam jangka pendek dan solvabilitas menunjukkan
seberapa siapnya perusahaan dapat menutupi hutang dan kewajiban
jangka panjangnya. Efisiensi dan profitabilitas menunjukkan
kemampuan perusahaan untuk mengubah input menjadi arus kas
dan laba bersih. Keseluruhan faktor-faktor tersebut diperlukan
untuk mendapatkan pandangan yang lengkap dan holistik tentang
stabilitas perusahaan.
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 105
Aguinis, H., dan Glavas, A. 2012. What we know and do not know
about corporate social responsibility: a review and research
agenda. Journal of Management. Vol. 38, No. 4, pp. 932-968.
Ahi, P., dan Searcy, C., 2013. A comparative literature analysis of
definitions for green and sustainable supply chain
management. Journal of Cleaner Production. Vol. 52, pp. 329-
341.
Ahmadi, H. B., Kusi-Sarpong, dan S., Rezaei, J. 2017. Assessing the
social sustainability of supply chains using Best Worst Method.
Resources, Conservation and Recycling. Vol. 126, pp. 99-106.
Aksoy, Mine, Yilmaz, Mustafa K., Tatoglu, Ekrem, dan Basar, Merve.
Antecedents of corporate sustainability performance in
Turkey: The effects of ownership structure and board
attributes on non-financial companies. Journal of Cleaner
Production. Vol. 276.
Braam, G.L., De Weerd, L.U., Hauck, M., dan Huijbregts, M.A., 2016.
Determinants of corporate environmental reporting: the
importance of environmental performance and assurance.
Journal of Cleaner Production. Vol. 129, pp. 724-734.
Campbell, J.L. 2007. Why would corporations behave in socially
responsible ways? An institutional theory of corporate social
responsibility. Academy of Management Review. Vol. 32, No.
3, pp. 946-967.
Clarkson, M.E. 1995. A stakeholder framework for analyzing and
evaluating corporate social performance. Academy of
Management Review. Vol. 20, No. 1, pp. 92-117.
Deloitte, I. I. S. D., dan Touche. W. B. C. S. D. 1992. Business Strategy
for Sustainable Development.
De Villiers, C., Rouse, dan P., Kerr, J. 2016. A new conceptual model
of influences driving sustainability based on case evidence of
106 | YOUTH ENTERPRENEUR
the integration of corporate sustainability management control
and reporting. Journal of Cleaner Production. Vol. 136, pp. 78-
85.
Eisenhardt, K.M., 1989. Agency theory: an assessment and review.
Academy of Management Review. Vol. 14, No. 1, pp. 57-74.
Elkington, J., 1997. Cannibals with Forks: the Triple Bottom Line of
21st Century Business. Gabriola Island, Canada: New Society
Publishers.
Fama, E.F., Jensen, dan M.C. 1983. Separation of ownership and
control. Journal of law and Economics. Vol. 26, No. 2, pp. 301-
325.
Freeman, R.E., 1983. Strategic management: a stakeholder approach.
Advances in Strategic Management. Vol. 1, No. 1, pp. 31-60.
Freeman, R.E., dan David, L.R. 1983. Stockholders and stakeholders:
a new perspective on corporate governance. California
Management Review. Vol. 25, No. 3, pp. 88-106.
Fuente, J.A., García-S_anchez, I.M., dan Lozano, M.B., 2017. The role
of the board of directors in the adoption of GRI guidelines for
the disclosure of CSR information. Journal of Cleaner
Production. Vol. 141, pp. 737-750.
European Environmental Agency, 2017. Air quality in Europe - 2017
report.
GRI. 2002. Sustainability reporting guidelines. Boston (MA): Global
Reporting Initiative.
Hardin, G., 1968. The tragedy of the commons. Science. Vol. 162, pp.
1243–1248.
Henry, L.A., Buyl, T., dan Jansen, R.J.G. 2019. Leading corporate
sustainability: the role of top management team composition
for triple bottom line performance. Business Strategy and the
Environment. Vol. 28, No. 1, pp. 173-184.
Jensen, N., Meckling, W., 1976. Theory of the firm: managerial
behavior, agency costs, and capital structure. Journal of
Financial Economics. Vol. 3, No. 4, pp. 305-360.
Kiron, D., Kruschwitz, N., Haanaes, K., Reeves, M., FuiszKehrbach,
S.K., Kell, G., 2015. Joining forces: collaboration and leadership
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 107
for sustainability. MIT Sloan Management Review. Vol. 56, No.
3, pp. 1-31.
Kuckertz, Andreas dan Wagner, Marcus. 2010. The influence of
sustainability orientation on entrepreneurial intentions —
Investigating the role of business experience. Journal of
Business Venturing. Vol. 25, pp. 524–539.
Labuschagne, C., Brent, A. C., dan Van Erck, R. P. 2005. Assessing the
sustainability performances of industries. Journal of Cleaner
Production. Vol. 13, No. 4, pp. 373-385.
Lam, J. S. L., Lai, dan K. H. 2015. Developing environmental
sustainability by ANP-QFD approach: the case of shipping
operations. Journal of Cleaner Production. Vol. 105, pp. 275-
284.
Lozano, R., dan Huisingh, D. 2011. Inter-linking issues and
dimensions in sustainability reporting. Journal of Cleaner
Production. Vol. 19, pp. 99-107.
Mellahi, K., Frynas, G.J., Sun, P., dan Siegel, D. 2016. A review of the
nonmarket strategy literature: toward a multi-theoretical
integration. Journal of Management. Vol. 24, pp. 1-31.
Mitchell, R.K., Agle, B.R., dan Wood, D.J. 1997. Toward a theory of
stakeholder identification and salience: defining the principle
of who and what really counts. Academy of Management
Review. Vol. 22, No. 4, pp. 853-886.
Moore, Samuel B., dan Manring, Susan L. 2009. Strategy
development in small and medium sized enterprises for
sustainability and increased value creation. Journal of Cleaner
Production. Vol. 17, pp. 276–282.
Pava, M.L., dan Krausz, J. 1996. The association between corporate
social responsibility and financial performance: the paradox of
social cost”. Journal of Business Ethics. Vol. 15, No. 3, pp. 321-
357.
Rajesh, R. 2018. On sustainability, resilience, and the sustainable–
resilient supply networks. Sustainable Production and
Consumption. Vol. 15, pp. 74-88.
108 | YOUTH ENTERPRENEUR
Rajesh, R. 2020. Exploring the sustainability performances of firms
using environmental, social, and governance scores. Journal of
Cleaner Production. Vol. 247.
Searcy, C., dan Elkhawas, D., 2012. Corporate sustainability ratings:
an investigation into how corporations use the Dow Jones
Sustainability Index. Journal of Cleaner Production. Vol. 35,
pp. 79-92.
Seuring, S., dan Müller, M., 2008. From a literature review to a
conceptual framework for sustainable supply chain
management. Journal of Cleaner Production. Vol. 16, No. 15,
pp. 1699-1710.
Stacchezzini, R., Melloni, dan G., Lai, A. 2016. Sustainability
management and reporting: the role of integrated reporting for
communicating corporate sustainability management. Journal
of Cleaner Production. Vol. 136, pp. 102-110.
Staniskis, J.K., dan Arba_ciauskas, V., 2009. Sustainability
performance indicators for industrial enterprise management.
Environmental Research, Engineering and Management. Vol.
48, No. 2, pp. 42-50.
Svensson, G. 2007. Aspects of sustainable supply chain management
(SSCM): conceptual framework and empirical example. Supply
Chain Management: An International Journal. Vol. 12, No. 4,
pp. 262-266.
Szekely, N., dan Vom Brockem, J. 2017. What can we learn from
corporate sustainability reporting? Deriving propositions for
research and practice from over 9,500 corporate sustainability
reports. PLoS One. Vol. 12, No.4, pp. 1-27.
Tomsic, Nastja, Bojnec, Stefan, dan Simcic, Blaz. 2015. Corporate
sustainability and economic performance in small and medium
sized enterprises. Journal of Cleaner Production. Vol. 108, pp.
603-612.
Varsei, M., Soosay, C., Fahimnia, dan B., Sarkis, J., 2014. Framing
sustainability performance of supply chains with
multidimensional indicators. Supply Chain Management: An
International Journal. Vol. 19, No. 3, pp. 242-257.
EMOTIONAL INTELLIGENT PADA YOUTH ENTREPRENEUR | 109
Wissink, S. 2016. Determinants of Corporate Social Responsibility for
Dutch Listed Firms. Master Thesis. The University of Twente.
World Commission on Environment and Development. 1987. Our
Common Future. Oxford, United Kingdom: Oxford University
Press.
Yawar, S. A., dan Seuring, S. 2017. Management of social issues in
supply chains: a literature review exploring social issues,
actions and performance outcomes. Journal of Business Ethics.
Vol. 141, No. 3, pp. 621-643.
110 | YOUTH ENTERPRENEUR
top related