unud 945-264823204-tesis pemungutan pajak hotel dengan sistem online stlh ujian tesis
Post on 19-Jun-2015
678 Views
Preview:
TRANSCRIPT
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL ……………………………………………………….. i
HALAMAN PRASYARAT GELAR MAGISTER ………………………… ii
LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………… iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA UJIAN TESIS ……………………… iv
SURAT PERNYATAAN ……………………………………………………… v
UCAPAN TERIMAKASIH…………………………………………………… vi
ABSTRAK……………………………………………………………………… ix
ABSTRACT…………………………………………………………………….. x
RINGKASAN…………………………………………………………………… xi
DAFTAR ISI………………………………………………………………….… xiv
BAB I : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah.................................................................................. 16
1.3. Ruang Lingkup Masalah ...................................................................... 16
1.4. Tujuan Penelitian ................................................................................... 16
1. Tujuan Umum .................................................................................. 16
2. Tujuan Khusus ................................................................................ 17
1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................... 17
1. Manfaat Teoritis ................................................................................. 17
2. Manfaat Praktis ................................................................................... 17
1.6. Orisinalitas Penelitian ............................................................................. 18
1.7. Landasan Teoritis .................................................................................... 20
1.8. Metode Penelitian ................................................................................... 42
1. Jenis Penelitian ................................................................................... 42
2. Jenis Pendekatan Masalah ................................................................... 42
xiv
3. Sumber Bahan Hukum ....................................................................... 43
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .................................................... 44
5. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum ................................. 44
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK DAERAH.
2.1. Pengetian Pajak dan Pajak Daerah...................................................... 47
2.2. Prinsi-Prinsip Umum Pajak Daerah ................................................... 54
2.3. Fungsi Pajak Daerah .......................................................................... 55
2.4. Perbedaan Pajak Dengan Retribusi .................................................. 58
2.5. Obyek, Subyek, Wajib Pajak Hotel ................................................. 64
BAB III : PENGATURAN PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DENGAN
SISTEM ONLINE DI KOTA DENPASAR.
3.1. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Hotel dengan sistem Online ….. 66
3.2. Pengaturan Pemungutan Pajak Hotel dengan sistem Online .......... 82
3.3.Pihak-Pihak Yang Turut Serta Dalam Perjanjian Kerjasama Pemungutan
Pajak Hotel Dengan Sistem Online .................................................... 93
BAB IV : KEDUDUKAN HUKUM PERJANJIAN KERJASAMA PEMUNGUTAN
PAJAK HOTEL DENGAN SISTEM ONLINE.
4.1. Hirarkhi Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah …...... 98
4.2. Kedudukan Hukum Perjanjian Kerjasama Pemungutan Pajak Hotel
dengan sistem Online ………………………………………… 114
4.3. Akibat Hukum Perjanjian Kerjasama Pemungutan Pajak Hotel dengan
Sistem Online ............................................................................. 126
xv
BAB V : PENUTUP
5.1.Kesimpulan ........................................................................................ 131
5.2. Saran................................................................................................... 133
DAFTAR PUSTAKA
xvi
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 24 DESEMBER 2013
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH.MS. Dr. I Nyoman Suyatna, SH,MH.
NIP. 19461231 197403 1 025 NIP. 19590923 198601 1 001
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Direktur Program Pascasarjana
Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Universitas Udayana,
Dr. Ni Ketut Supasti Darmawan, SH.M.Hum,LLM Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
NIP. 19611101 198601 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001
iii
TESIS INI TELAH DIUJI
PADA TANGGAL 24 DESEMBER 2013
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
Nomor 3308 / UN 144/HK/2013
Tanggal 4 November 2013
Ketua : Prof. Dr.I Made Pasek Diantha, SH.MS
Sekretaris : Dr. I Nyoman Suyatna,SH.MH.
Anggota : Dr. Putu Gede Arya Sumertha Yasa, SH.MH
Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.MH.
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.M.Hum.LLM.
iv
TESIS INI TELAH DIREVISI
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
Nomor 3308 / UN 144/HK/2013
Tanggal 4 November 2013
Ketua : Prof. Dr.I Made Pasek Diantha, SH.MS (_________________)
Sekretaris : Dr. I Nyoman Suyatna,SH.MH. (__________________)
Anggota : Dr. Putu Gede Arya Sumertha Yasa, SH.MH (_________________)
Dr. Ni Ketut Sri Utari, SH.MH. (__________________)
Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.M.Hum.LLM. (__________________)
SURAT PERNYATAAN
Yang bertandatangan dibawah ini :
Nama : I Komang Agus Budiyasa
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Tesis : Aspek Hukum Pemungutan Pajak Hotel Dengan
Sistem Online Pada Pemerintah Kota Denpasar
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian
hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi
Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.
Denpasar, Januari 2014
Yang Menyatakan,
I Komang Agus Budiyasa
v
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang
Maha Esa yang telah memberikan jalan, sehingga penulisan tesis yang berjudul
“ ASPEK HUKUM PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DENGAN SISTEM ONLINE PADA
PEMERINTAH KOTA DENPASAR“ telah dapat diselesaikan.
Selesainya penyusunan dan pembuatan tesis ini, tidak lepas berkat dorongan, bimbingan,
arahan, dan bantuan semua pihak, yang telah membantu penulis selama mengikuti pendidikan
S-2 pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pemerintahan Universitas
Udayana. Oleh karena itu pada kesempatan yang baik ini penulias menyampaikan ucapan
terimakasih serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD sebagai Rektor Universitas Udayana.
2. Bapak Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH., MS sebagai Pembimbing I maupun sebagai
Dosen penulis selama mengikuti pendidikan di S2 di Universitas Udayana.
3. Bapak Dr. I Nyoman Suyatna, SH., MH sebagai Pembimbing II maupun sebagai Dosen
penulis selama mengikuti pendidikan di S2 di Universitas Udayana.
4. Bapak Walikota Denpasar melalui Bapak Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Kota
Denpasar yang telah memberikan izin untuk mengikuti mengikuti pendidikan S-2 pada
Program Studi Magister Ilmu Hukum Konsentarsi Hukum Pemerintahan Universitas
Udayana.
vi
5. Ibu Prof. Dr. dr. Raka Sudewi, Sp S (K) sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas
Udayana.
6. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH, M.Hum, LLM Ketua Program Studi Magister
Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana.
7. Bapak I Made Toya, SH.,MH sebagai Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kota
Denpasar yang telah memberikan izin dan motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan
penulisan tesis ini.
8. I Nyoman Rai Budiarsa, SH dan Komang Lestari Kusuma Dewi, SH., MH sebagai rekan
Kasubag pada Bagian Hukum Setda Kota Denpasar yang telah memberikan dorongan dan
motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
9. Seluruh Staf pada Bagian Hukum Setda Kota Denpasar yang telah memberikan dorongan dan
motivasi kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.
10. Seluruh Dosen dan Staf Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana
Universitas Udayana atas bimbingan dan ilmu pengetahuan yang telah diberikan.
11. Kedua Orang Tua I Made Parka, SH dan Ni Made Kondriani yang telah memberikan
dorongan dan semangat sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
12. Istri tercinta Putu Ayu Sudariasih, SH.,MH yang dengan kesabaran selalu memberikan
semangat dan dorongan, sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
13. Anakku yang tercinta I Putu Gede Pradnyana Budiyasa yang banyak memberikan inspirasi
dan semangat kepada penulis.
vii
Penulis menyadari tesis ini dibuat masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu kritik dan
saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan tesis ini. Besar harapan
penulis semoga tesis ini dapat memberikan manfaat dan semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa /
Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan keselamatan dan bimbingan kepada kita semua.
Denpasar, Januari 2014
Penulis
viii
TESIS
ASPEK HUKUM PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DENGAN SISTEM
ONLINE PADA PEMERINTAH KOTA DENPASAR
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I KOMANG AGUS BUDIYASA
NIM 1090561030
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
ii
TESIS
ASPEK HUKUM PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DENGAN SISTEM
ONLINE PADA PEMERINTAH KOTA DENPASAR
�
OLEH :
I KOMANG AGUS BUDIYASA
NIM 1090561030
KONSENTRASI PEMERINTAHAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Aspek Hukum Pemungutan Pajak Hotel dengan sistem
online pada Pemerintah Kota Denpasar. Dimana dalam Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menentukan “Pajak
ditetapkan dengan Peraturan Daerah” Sebagai tindaklanjutnya Pemerintah Kota Denpasar
telah menetapkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak
Hotel sebagai dasar pemungutan Pajak Hotel di Kota Denpasar. Peraturan Daerah Kota
Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel tidak memuat tentang Ketentuan
Peralihan dan secara tegas menyatakan mencabut dan tidak berlaku Peraturan Daerah
Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pajak Hotel. Rumusan masalahnya adalah
bagaimanakah Pengaturan Pemungutan Pajak Hotel dengan sistem online pada
Pemerintah Kota Denpasar dan bagaimanakah kedudukan hukum perjanjian kerjasama
pemungutan pajak hotel dengan sisten online. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk
mengkaji pemungutan Pajak Hotel dengan sistem online pada Pemerintah Kota Denpasar
serta untuk mengetahui kedudukan hukum dari Perjanjian Kerjasama Pemungutan Pajak
Hotel dengan sistem online. Penelitian ini juga diharapkan dapat mencapai tujuan yang
lebih khusus sebagai berikut Untuk menganalisa mengenai Pangaturan pemungutan Pajak
Hotel dengan sistem online pada Pemerintah Kota Denpasar serta untuk menganalisa
kedudukan hukum perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online.
Kajian ini adalah mempergunakan metode penelitian hukum normatif. Dalam
penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan
pendekatan konsep hukum ( conceptual approach ). Bahan hukum yang digunakan
adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Metode Pengumpulan bahan
dilakukan dengan studi dokumen dan Studi lapangan bersaranakan sarana wawancara.
Teknik analisa terhadap bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam kajian ini adalah
teknik deskripsi, interpretasi, sistematisasi, argumentasi dan evaluasi.
Pengaturan pemungutan pajak hotel dengan sistem online pada Pemerintah
Kota dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang kemudian untuk di Kota Denpasar
tindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang
Pajak Hotel, disamping dasar yang dipakai adalah Kesepakatan Bersama antara
Pemerintah Kota Denpasar dengan PT Bank Pembangunan Daerah Bali (BPD Bali). yang
kemudian ditindaklanjuti dengan perjanjian bersama antara Dinas Pendapatan Kota
Denpasar dengan PT Bank Pembangunan Daerah Bali (BPD Bali). Dilihat dari aspek
prosedur penyusunan dan materi/substansi yang diatur dalam perjanjian kerjasama
pemungutan pajak hotel dengan sistem online, dapat disetarakan dengan produk hukum
yang bersifat pengaturan yang berbentuk Peraturan Bersama Kepala Daerah.
Untuk menghindari adanya kekosongan norma hukum, maka Pemerintah Kota
Denpasar perlu segera menerbitkan Peraturan Walikota tentang Tata Cara Pembayaran,
Penyetoran, Tempat Pembayaran, Angsuran, dan Penundaan Pembayaran Pajak sebagai
tindak lanjut dari Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak
Hotel.
Kata Kunci : pemungutan, sistem pajak online.
ix
RINGKASAN
Desentralisasi sistem perpajakan merupakan pelimpahan kewenangan perpajakan dan
penggunaan dana bagi hasil pajak kepada pemerintah daerah. Desentralisasi sistem perpajakan
bertujuan agar daerah mampu mengurus dan mengelola rumah tangganya sendiri secara
mandiri, termasuk menyangkut penyediaan sumber dana penyelenggaraan pemerintahan dari
penerimaaan pajak. Desentralisasi sistem perpajakan diharapkan dapat meningkatkan kualitas
pelayanan publik sehingga masyarakat dapat langsung merasakan manfaat dari pajak yang
mereka bayarkan, dalam bentuk pelayanan publik yang mereka terima.
Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh daerah kepada orang pribadi atau
badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Dengan demikian pajak
daerah merupakan pajak yang ditetapkan oleh pemerintahan daerah dengan Peraturan Daerah.
Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah menentukan “Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah”.
Sebagai tindak lanjut dari amanat ketentuan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut, Pemerintah Kota
Denpasar telah menetapkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang
Pajak Hotel. Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel tidak
memuat tentang Ketentuan Peralihan dan secara tegas menyatakan mencabut dan tidak
berlaku Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pajak Hotel. Disisi
lain terkait dengan pelaksanaan pemungutan pajak hotel di Kota Denpasar serta dalam rangka
meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak daerah khususnya terhadap pemungutan pajak
xi
hotel, maka Pemerintah Kota Denpasar melalui Dinas Pendapatan Kota Denpasar memulai
pengembangan sistem pemungutan pajak daerah khususnya pajak hotel dengan sistem online.
Selain memudahkan wajib pajak daerah, pemungutan secara online juga memberikan manfaat
langsung kepada Pemerintah Kota Denpasar khususnya Dinas Pendapatan Kota Denpasar.
Adapun manfaat tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, pemungutan pajak melalui Bank
yang telah ditunjuk akan mengurangi interaksi antara wajib pajak dengan petugas pajak,
sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya tindakan-tindakan kecurangan. Kedua, dengan
semakin banyaknya wajib pajak daerah khususnya wajib pajak hotel yang memanfaatkan
fasilitas pemungutan secara online, maka akan tersedia lebih banyak waktu bagi petugas pajak
pada Dinas Pendapatan Kota Denpasar untuk melaksanakan tugas-tugas lain yang terkait
dengan perpajakan daerah. Manfaat kedua tersebut akan semakin terasa dengan semakin
banyaknya jenis pajak daerah dan jumlah wajib pajak daerah yang harus ditangani oleh Dinas
Pendapatan Daerah Kota Denpasar.
Pada BAB I akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, landasan teori dan metode
penelitian. Selanjutnya di dalam BAB II akan diuraikan mengenai tinjauan umum tentang
pajak daerah yang antara lain berisi tentang pengertian pajak dan pajak daerah, prinsip-prinsip
umum pajak daerah,fungsi pajak daerah, perbedaan antara pajak daerah dengan retribusi
daerah, obyek dan subyek wajib pajak hotel. Selanjutnya pada BAB III berisi tentang
pengaturan pemungutan pajak hotel dengan sistem online di Kota Denpasar yang meliputi
dasar hukum pemungutan hotel dengan sistem online, pengaturan pemungutan pajak hotel
dengan sistem online, pihak-pihak yang turut serta dalam perjanjian kerjasama pemungutan
pajak hotel dengan sistem online. Pada BAB IV berisi tentang kedudukan hukum perjanjian
xii
kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online yang meliputi hierarkhi peraturan
perundang-undangan tingkat daerah, kedudukan hukum perjanjian kerjasama pemungutan
pajak hotel dengan sistem online, akibat hukum perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel
dengan sistem online. Pada BAB V diuraikan mengenai kesimpulan dari hasil pembahasan
dan juga saran yang disampaikan berdasarkan hasil kesimpulan yang didapat dari penelitian
tesis ini.
xiii
ABSTRACT
This writing shall be entitled as “Online Hotel Taxation Collecting
System within local Denpasar Governmental”. Pursuant to Article 95 (1) Law 28 of
2009 concerning Regional Tax and Retribution which declares, “Tax shall be resolved
by the enactment of Regional Regulation”. As an implication, the Government of
Denpasar had enacted Regional Regulation No 5 of 2011 concerning Hotel Taxation as
legal basis in collecting hotel tax within Denpasar jurisidiction. Problems arise shall be
the mechanism applied through the on line system and the legal status of the existing
agreement regarding the online mechanism applied. This writing general aim shall be
the analysis of Hotel Tax Collecting Mechanism through online system along with the
related agreement legal status which had been the ground of the mechanism in prior. It
is also expected that through this writing, the analysis towards the regulatory aspect of
the online collecting system and the legal status agreement shall be accomplished.
This writing shall utilize normative legal research. It shall use several
approaches, namely statutotry approach, and conceptual approach. Legal materials used
shall vary from the primary, secondary, and informative sources of law. Data collectinf
method used shall be through bibliographical approach and field survey-interview. It
shal also apply descriptive, interpretative, systematization, argumentative, and
evaluation technique in analyzing the sources of law.
Legal aspect of Hotel Tax Collecting through online Mechanism shall be upon
the enactment of Government Regulation as stipulated within Article 2 (2) Law 28 of
2009 concerning Local Tax and Retribution, which later be operated through the
enactment of Denpasar Local Regulation No 5 of 2011 concerning Hotel Tax, added to
that, shall be the Memorandum of Understanding among the party of Denpasar
Government and the party of PT Bank Pembangunan Daerah Bali (hereinafter shall be
abbreviated as “BPD Bali”) which later operated through common agreement among
Denpasar Revenue Bureau and BPD Bali. As it is observed from the procedural
perspective of the legal product, the respective common agreement shall be classified
among the equal hierarchy as Common Regulation of Heads of Region considering
from substances and materials regulated within.
In order to avoid the absence of law, it is expected that the Government of
Denpasar to enact Municipal Regulation concerning Payment, Admission, Place of
Payment, Installment, and Delayment of Hotel Tax Proceduredue to the enactment of
Denpasar Local Regulation No 5 of 2011 concerning Hotel Tax.
Keyword : collecting, online taxation system.
x
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan Negara Hukum
berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa yang aman,
tertib, sejahtera, dan berkeadilan. Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri
atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Setiap daerah tersebut mempunyai hak
dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan
pelayanan kepada masyarakat.
Dengan berlakunya Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana
telah diubah dua kali terakhir dengan Undang - Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang - Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor
59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844) dan Undang -
Undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 Nomor 126, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2
4438), maka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dilakukan dengan
memberikan kewenangan yang seluas - luasnya, disertai dengan pemberian hak
dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara.
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah tersebut ditentukan Pajak Daerah yang pelaksanaannya di daerah diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Daerah. Mengenai perpajakan, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa “ pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
undang-undang.”
Pelaksanaan otonomi daerah dipandang sebagai suatu strategi yang
bertujuan untuk mencapai tuntutan masyarakat daerah terhadap permasalahan-
permasalahan yang dihadapi seperti distribusi pendapatan dan pembagian
kewenangan. Disamping itu dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat
perekonomian daerah dalam rangka memperkokoh perekonomian nasional
menghadapi era globalisasi. Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan
terlaksana secara optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti
dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan
mengacu kepada Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Daerah diberikan hak untuk
mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa kepastian tersediannya
pendanaan dari pemerintah sesuai dengan urusan pemerintah yang diserahkan,
kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak daerah dan mendapatkan bagi
3
hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada didaerah dan dana
perimbangan lainnya.
Prinsip otonomi daerah pada dasarnya dijelaskan dalam Pasal 18 ayat (5)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa “Pemerintahan Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali
urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan
pemerintah pusat”. Dalam hal ini daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-
luasnya dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua
urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Dalam
pelaksanaan otonomi tersebut, daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan
daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah menegaskan bahwa kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah
untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, moneter, dan fiskal, agama serta kewenangan
yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian dan evaluasi.
Urusan pemerintahan yang didesentralisasikan Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Provinsi sebagai daerah otonom adalah urusan yang berskala provinsi
atau yang bersifat lintas kabupaten / kota. Sejalan dengan itu, kewenangan
Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota adalah urusan pemerintahan yang berskala
4
kabupaten / kota. Perbedaan kewenangan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten / Kota akan ditemukan pada sifat dan wilayah berlakunya
urusan pemerintahan.
Prinsip otonomi seluas-luasnya selanjutnya diatur dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 2 ayat (5) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 menetapkan antara Pemerintah Pusat, Pemerintah
Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki hubungan kewenangan,
keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya
lainnya. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten /Kota dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi wewenangnya diarahkan
untuk dapat mewujudkan adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat,
pelayanan umum, dan daya saing daerah. Pembagian kewenangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan selanjutnya ditentukan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 28,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737).
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal,
kemandirian daerah menjadi sangat penting, baik dari sisi pendapatan (revenue
assignment) maupun dari sisi pengeluaran (expenditure assignment). Untuk
mendorong terwujudnya kemandirian dimaksud daerah diberikan kewenangan
berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
5
tentang Pemerintahan Daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah,
yang tata cara dan substansinya diatur dalam Undang-Undang. Banyak kalangan
berpendapat bahwa sumber pendanaan daerah tidak menjadi persoalan sepanjang
kebutuhan pendanaan daerah dapat dipenuhi. Penganut pendapat ini sangat
mendukung sistem pendanaan daerah yang saat ini berlangsung dimana sebagian
besar sumber pendanaan daerah berasal dari dana transfer dari pusat. Pendapat ini
sekaligus mendukung penguasaan pusat atas sumber-sumber pajak.1
Dalam banyak hal, sistem pendanaan daerah yang sebagian besar
bersumber dari dana transfer kurang mendukung akuntabilitas penyelenggaraan
pemerintahan. Untuk menjamin akuntabilitas penggunaan dana daerah idealnya
masyarakat lokal harus memiliki posisi tawar yang kuat dalam pembayaran pajak
daerah dan retribusi daerah. Selain itu, pusat memiliki keterbatasan untuk
mendesain dana transfer yang dapat memenuhi kebutuhan pendanaan daerah.
Pajak daerah dan retribusi daerah yang merupakan komponen utama dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) diharapkan dapat menutup kekurangan dana
tersebut.
Secara umum, pendapatan asli daerah dapat dibedakan menjadi dua, yakni:
(1) Retribusi yang dipungut dengan kompensasi layanan tertentu ; dan
(2) Pajak yang dipungut tanpa kompensasi layanan. 2
1Anonim, 2007, Pedoman Nasional Pajak Daerah & Retribusi Daerah, Jakarta,
Departemen Keuangan Republik Indonesia, Dirjen Perimbangan Keuangan. hal. 7 2Wahyudi Kumorotomo, 2006, Desentralisasi Fiskal Politik Perubahan Kebijakan 1974-
2004. Jakarta, Penerbit Kencana, hal. 125.
6
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksanana secara
optimal apabila penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pembagian
sumber-sumber penerimaan yang cukup kepada daerah, dengan mengacu kepada
undang-undang tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan
pemerintahan daerah, dimana besarnya disesuaikan dan diselarasakan dengan
pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah.
Semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang
diserahkan menjadi sumber keuangan daerah.
Salah satu komponen utama pelaksanaan desentralisasi dalam otonomi
daerah adalah desentralisasi fiskal (pembiayaan otonomi daerah)3. Dewasa ini
penerapan desentralisasi sebagai suatu sistem perpajakan dalam bidang kebijakan
fiskal disamping kebijakan moneter merupakan kebijakan yang tengah
dilaksanakan oleh banyak negara. Dimana dalam hal ini, kebijakan pemungutan
perpajakan merupakan instrumen kebijakan fiskal yang ditetapkan pemerintah
dalam melakukan fungsi alokasi, distribusi, regulasi dan stabilitasi.
Desentralisasi sistem perpajakan merupakan pelimpahan kewenangan
perpajakan dan penggunaan dana bagi hasil pajak kepada pemerintah daerah.
Desentralisasi sistem perpajakan bertujuan agar daerah mampu mengurus dan
mengelola rumah tangganya sendiri secara mandiri, termasuk menyangkut
penyediaan sumber dana penyelenggaraan pemerintahan dari penerimaaan pajak.
Desentralisasi sistem perpajakan diharapkan dapat meningkatkan kualitas
3Tjip Ismail , 2007, Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia, Jakarta, Yellow, Printing,
hal.12.
7
pelayanan publik sehingga masyarakat dapat langsung merasakan manfaat dari
pajak yang mereka bayarkan, dalam bentuk pelayanan publik yang mereka terima.
Pajak sebagai sumber penerimaan negara telah dipungut di Indonesia
sejak awal kemerdekaan. Pungutan terhadap pajak bersifat memaksa dan terutang
oleh wajib pajak dengan tidak mendapat prestasi kembali secara langsung, hasil
dari pungutan pajak dapat digunakan membiayai pengeluaran negara dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan4
Pajak adalah gejala masyarakat, artinya pajak hanya ada di dalam
masyarakat. Masyarakat terdiri dari individu, individu mempunyai hidup sendiri
dan kepentingan sendiri, yang dapat dibedakan dari hidup masyarakat dan
kepentingan masyarakat. Negara adalah masyarakat yang mempunyai tujuan
tertentu. Kelangsungan hidup negara juga berarti kelangsungan hidup masyarakat
dan kepentingan masyarakat. Untuk kelangsungan hidup masing-masing
diperlukan biaya. Biaya hidup individu, menjadi beban dari individu yang
bersangkutan dan berasal dari penghasilan sendiri. Biaya hidup negara adalah
untuk kelangsungan alat-alat negara, administrasi negara, lembaga negara dan
seterusnya serta dibiayai dari penghasilan negara5.
Penghasilan negara adalah berasal dari rakyat yang salah satunya berasal
dari pungutan pajak dan/ atau dari hasil kekayaan alam yang ada dalam negara
(natural resources). Pungutan Pajak mengurangi penghasilan/kekayaan individu
tetapi sebaliknya merupakan penghasilan masyarakat yang kemudian
dikembalikan kepada masyarakat, melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan
4Marihot P. Siahaan, 2005, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, PT. Raja Grafindo,
Jakarta, hal. 7 5 Erly Suandy, 2000, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta, hal. 5
8
pengeluaran-pengeluaran pembangunan yang akhirnya kembali lagi kepada
masyarakat.
Pembagian jenis pajak berdasarkan pada lembaga pemungut pajak di
Indonesia dibagi menjadi dua yaitu pajak pusat dan pajak daerah (yang terbagi
menjadi pajak provinsi dan pajak kabupaten/kota). Pajak pusat adalah pajak yang
ditetapkan oleh pemerintah pusat melalui undang-undang, yang wewenang
pemungutannya ada pada pemerintah pusat dan hasilnya digunakan untuk
membiayai pengeluaran pemerintah pusat dan pembangunan. Pajak pusat
dipungut oleh pemerintah pusat yang penyelenggaraan pemungutannya
dilakanakan oleh Kementrian Keuangan.
Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh daerah kepada orang
pribadi atau badan tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang
digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pembangunan daerah. Dengan demikian pajak daerah merupakan pajak yang
ditetapkan oleh pemerintahan daerah dengan Peraturan Daerah.
Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Pasal 2 ditentukan bahwa :
(1) Jenis Pajak Provinsi terdiri atas :
a. Pajak Kendaraan Bermotor;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Air Permukaan;dan
e. Pajak Rokok.
9
(2) Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran:
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;
k. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Secara normatif pengertian Pajak daerah dapat ditemukan dalam Pasal 1
angka 10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 13,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) bahwa :
Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah Kontribusi wajib
kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan demikian, secara konseptual dalam pajak daerah terdapat ciri-
ciri,yakni:
1. Imbalan yang tidak langsung dari pihak pemerintah daerah;
2. berupa barang/jasa yang memberi keuntungan kepada orang secara
kolektif; dan
3. untuk masyarakat yang lebih luas, atau setidak-tidaknya untuk sektor
pajak yang bersangkutan.
Unsur utama dari pengertian pajak daerah dalam Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah kontribusi
10
wajib, yang berbeda dengan unsur utama dari pengertian Retribusi Daerah, yakni
pungutan Daerah. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah
pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan
orang pribadi atau Badan.
Penggunaan istilah atau tanda yang berbeda untuk menandai pajak daerah
dan retribusi daerah menunjukan: (1) retibusi daerah adalah pungutan, sedangkan
pajak daerah bukanlah pungutan; dan (2) retribusi daerah tidak bersifat memaksa,
sedangkan pajak daerah bersifat memaksa. Pembedaan ini tidak koheren dengan
karakter pungutan yang bersifat memaksa dalam Pasal 23 A Undang-Undang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945. Berdasarkan karakter
konstitusional ini, maka pemahamannya adalah:
1. Pajak Daerah (sebagai spesies pajak) adalah pungutan yang bersifat
memaksa. Pemahaman ini diperoleh dengan menafsirkan teks “Pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa”, yang maknanya pungutan
yang bersifat memaksa terdiri dari pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa. Jadi, pajak daerah adalah pungutan yang bersifat
memaksa.
2. Retribusi Daerah adalah pungutan yang bersifat memaksa, yang dalam
konteks Pasal 23 A Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia 1945, termasuk dalam “pungutan lain yang bersifat
memaksa”.
11
Pembedaan pajak daerah dan retribusi daerah yang merupakan pungutan
yang bersifat memaksa dan dipungut oleh Daerah adalah pada imbalan. Pada
pajak daerah, imbalannya tidak langsung, sedangkan pada retribusi daerah,
imbalannya langsung berupa jasa atau izin tertentu.
Sekalipun ditemukan pengertian pajak daerah tidak ada hubungannya
dengan karakter yang terdapat dalam Pasal 23 A Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945, namun dalam rangka pembentukan peraturan daerah
pengertian tersebut tetap digunakan. Pembentukan Peraturan Daerah pada
prinsipnya adalah pelaksanaan undang-undang dan dalam Pasal 23 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Tahun 1945 merupakan dasar hukum pemungutan pajak
oleh negara. Dalam Pasal ini dinyatakan bahwa pengenaan dan pemungutan pajak
(termasuk bea dan cukai) untuk negara hanya boleh terjadi berdasarkan undang-
undang.
Hal itu dapat dipahami dalam kerangka implementasi kebijakan publik,
yang salah satu aktivitasnya adalah interpretasi (interpretation), yakni aktivitas
menjabarkan substansi kebijakan agar menjadi rencana dan pengarahan yang
diterima dan dilaksanakan.6 Aktivitas interpretasi dalam implementasi kebijakan
publik adalah menjabarkan sebuah kebijakan publik yang masih bersifat umum ke
dalam kebijakan publik yang lebih operasional, atau pembuatan kebijakan
pelaksanaan. Pembuatan kebijakan publik, termasuk kebijakan pelaksanaan,
dalam bentuknya yang positif hakekatnya merupakan perumusan norma hukum ke
6Charles O. Jones, 1991, Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy), terjemahan,
Rajawali Pers, Jakarta, hal. 296.
12
dalam aturan hukum.7 Dalam konteks ini, kebijakan pelaksanaan dari kebijakan
pajak daerah yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5049) tersebut adalah Peraturan Daerah, yang memuat norma
hukum yang mengikat secara umum. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan pengganti dari Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah.
Dilihat secara yuridis khususnya prinsip dasar dalam Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 21 huruf e, terlihat
daerah mempunyai hak untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah,
dimana pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan daerah,
menurut ketentuan Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terdiri dari :
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) ; yaitu
1) Hasil pajak daerah
2) Hasil retribusi daerah
3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
4) Lain-lain PAD yang sah
b. Dana perimbangan
7Marhaendra Wija Atmaja, 2006, “Pembuatan Kebijakan Penanggulangan HAIV/AIDS
dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006”, Makalah, Lokakarya Legal Drafting Perda
Penanggulangan HIV/AIDS bagi Anggota DPRD 10 Provinsi Di Indonesia, diselenggarakan oleh
Komisi Penanggulangan Aids Nasional (KPAN), pada Minggu-Rabu 11-14 Juni di Bandung, hal.
2-4.
13
c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah
Sebagai implementasi dari otonomi daerah maka daerah dapat memungut
pajak daerah dan retribusi daerah yang diatur dengan Undang-Undang. Dalam
tatanan peraturan perundang-undangan di tingkat daerah maka yang memiliki
prosedur pembuatan yang sama dengan Undang-Undang adalah Peraturan Daerah.
Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah menentukan : “Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah”
Sebagai tindak lanjut dari amanat ketentuan Pasal 95 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
tersebut, Pemerintah Kota Denpasar telah menetapkan Peraturan Daerah Kota
Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel (Lembaran Daerah Kota
Denpasar Tahun 2011 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Denpasar
Nomor 5) sebagai dasar pemungutan pajak hotel di Kota Denpasar. Peraturan
Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel tidak memuat
tentang Ketentuan Peralihan dan secara tegas menyatakan mencabut dan tidak
berlaku Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pajak
Hotel.
Dalam Pasal 14 ayat (4) Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011
tentang Pajak Hotel, ditentukan:
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran, penyetoran, tempat
pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak diatur dengan
Peraturan Walikota.
Sampai saat ini Peraturan Walikota yang berkaitan dengan tata cara
pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran, angsuran, dan penundaan
14
pembayaran pajak belum diterbitkan, sehingga dapat dikatakan sebagai ketentuan
norma kosong.
Disisi lain, terkait dengan pelaksanaan pemungutan pajak hotel di Kota
Denpasar serta dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak daerah
khususnya terhadap pemungutan pajak hotel, maka Pemerintah Kota Denpasar
melalui Dinas Pendapatan Kota Denpasar memulai pengembangan sistem
pemungutan pajak daerah khususnya pajak hotel dengan sistem on line. Sebagai
tindak lanjut dari kebijakan tersebut di atas, Pemerintah Kota Denpasar telah
melakukan Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Kota Denpasar dengan PT
Bank Pembangunan Daerah Bali ( BPD Bali)
Nomor : 415.4/02/KB/Pem/2010
0006/107/110/2012.2
tentang Pemanfaatan Layanan Jasa Perbankan Untuk Menerima Pembayaran
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Secara On Line, yang kemudian ditindak
lanjuti dengan Perjanjian Kerjasama antara Dinas Pendapatan Kota Denpasar
dengan PT Bank Pembangunan Daerah Bali ( BPD Bali)
Nomor : 973/139/DPKD/2012
0016.10.2012.2
tentang Pemanfaatan Layanan Jasa Perbankan Untuk Menerima Pembayaran
Pajak Daerah Secara On Line.
Dengan sistem pemungutan secara online ini, maka wajib pajak daerah
khususnya pajak hotel tidak perlu datang lagi ke kantor Dinas Pendapatan untuk
melakukan pembayaran pajak karena pembayaran dapat dilakukan melalui bank
yang telah ditunjuk oleh Pemerintah Kota Denpasar. Melalui pemungutan secara
15
online ini diharapkan akan semakin meningkatkan ketaatan wajib pajak daerah
khususnya pajak hotel dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
Selain memudahkan wajib pajak daerah, pemungutan secara online juga
memberikan manfaat langsung kepada Pemerintah Kota Denpasar khususnya
Dinas Pendapatan Kota Denpasar. Adapun manfaat tersebut adalah Pertama,
pemungutan pajak melalui Bank yang telah ditunjuk akan mengurangi interaksi
antara wajib pajak dengan petugas pajak, sehingga mengurangi kemungkinan
terjadinya tindakan-tindakan kecurangan. Kedua, dengan semakin banyaknya
wajib pajak daerah khususnya wajib pajak hotel yang memanfaatkan fasilitas
pemungutan secara online, maka akan tersedia lebih banyak waktu bagi petugas
pajak pada Dinas Pendatan Kota Denpasar untuk melaksanakan tugas-tugas lain
yang terkait dengan perpajakan daerah. Manfaat kedua akan semakin terasa
dengan semakin banyaknya jenis pajak daerah dan jumlah wajib pajak daerah
yang harus ditangani oleh Dinas Pendapatan Daerah. 8 Dari uraian tersebut dapat
diketahui bahwa pelaksanaan pemungutan pajak hotel dengan sistem online di
Kota Denpasar telah dilakukan, namun secara yuridis belum jelas substansi
hukum pengaturan pemungutan pajak hotel secara online.
Bertitik tolak dari pengaturan pajak hotel sebagai pajak daerah yang
diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
13, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049), dikaitkan
dengan sistem pemungutan pajak hotel dengan sistem online yang dilakukan oleh
8Dinas Pendapatan Kota Denpasar 2012, Kerangka Acuan Kerja Penyusunan Dan
Pembuatan Aplikasi Sistem Pembayaran Pajak Daerah, hal.1
16
Pemerintah Kota Denpasar, maka menjadi sangat menarik untuk dikaji dalam
penelitian tesis, yang berjudul ASPEK HUKUM PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL
DENGAN SISTEM ONLINE PADA PEMERINTAH KOTA DENPASAR.
I.2. Rumusan masalah
Dari uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumusan permasalahannya
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Pengaturan Pemungutan Pajak Hotel dengan sistem
online pada Pemerintah Kota Denpasar ?
2. Bagaimanakah Kedudukan Hukum Perjanjian Kerjasama Pemungutan
Pajak Hotel dengan sistem online ?
I.3. Ruang Lingkup Masalah
Dalam penulisan karya ilmiah ini, untuk memudahkan dalam menelaah
permasalahan dan tidak melebar ke permasalahan lain, maka perlu diadakan
pembatasan masalah.Penulisan karya ilmiah ini meliputi masalah-masalah antara
lain dasar hukum pemungutan pajak hotel dengan sistem online, pengaturan
pemungutan pajak dengan sistem online, pihak-pihak yang turut serta dalam
perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online, hierarkhi
peraturan perundang-undangan tingkat daerah, kedudukan hukum perjanjian
kerjasama pemungutan pajak hotel dengan system online, akibat hukum perjanjian
kerjasama pemungutan pajak hotel dengan system online.
I.4. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengkaji pengaturan
pemungutan Pajak Hotel dengan sistem online pada Pemerintah Kota Denpasar
17
serta untuk mengetahui kedudukan hukum dari Perjanjian Kerjasama Pemungutan
Pajak Hotel dengan sistem online.
2. Tujuan Khusus
Penelitian ini juga diharapkan dapat mencapai tujuan yang lebih khusus
sebagai berikut :
1. Untuk menganalisa mengenai Pangaturan pemungutan Pajak Hotel
dengan sistem online pada Pemerintah Kota Denpasar.
2. Untuk menganalisa kedudukan hukum perjanjian kerjasama
pemungutan pajak hotel dengan sistem online.
I.5. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat untuk keperluan yang
bersifat teoritis terutama bagi kalangan akademis dan berguna untuk kepentingan
yang bersifat praktis terutama bagi para pengambil kebijakan/kepentingan
pemerintah Kota Denpasar, yang dijabarkan sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan pemikiran guna
memberikan landasan teoritis dan yuridis bagi pemungut khususnya berkaitan
dengan pemungutan hukum pajak hotel yang dipungut dengan sistem online.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah
Kota Denpasar dalam kaitannya dengan Pengaturan pemungutan Pajak Hotel
dengan sistem online.
18
I.6. Orisinalitas Penelitian.
Pemungungatan pajak hotel harus dilaksanakan secara efisien dan efektif
berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat
dan akuntabilitas, tujuan pemungutan pajak hotel merupakan salah satu sumber
pendapatan daerah Kota Denpasar yang penting guna membiayai pelaksanaan
pembangunan di Kota Denpasar, maka dari itu pengaturan pemungutan pajak
hotel dengan sistiem online merupakan topik yang menarik untuk dijadikan obyek
penelitian.
Penelitian sejenis yang terkait dengan pengaturan pemungutan pajak hotel
dengan sistem online, telah dilakukan penelusuran diantaranya sebagai berikut :
Pertama, menemukan tesis di Universitas Udayana, Denpasar, pada Tahun
2007, atas nama Ida Ayu Ary Utami berjudul “ Pengaturan Pengelolaan Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebagai Pajak Daerah “ dengan rumusan
masalah sebagai berikut :
1. Apakah dasar kewenangan Pemerintah Provinsi dalam menentukan besar
kecilnya pembagian hasil Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor antara
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah kabupaten/Kota.
2. Pembagian Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
Tesis ini menekankan pada dasar kewenangan Pemerintah Provinsi dalam
menentukan Besar Kecilnya Pembagian Hasil Pajak Bahan Bakar Kendaraan
Bermotor. Dalam penulisan tesis ini berisi pula materi tentang Pembagian Pajak
Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dan dasar pengenaan, tarif, dan cara
perhitungan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB)
19
Kedua, menemukan tesis di Universitas Diponegoro, Semarang, Tahun
2009 atas nama Rona Rositawati berjudul “ Sistem Pemungutan Pajak Daerah
Dalam Era Otonomi Daerah ( Studi Kasus di Kabupaten Bogor)”, dengan
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana dasar hukum sistem pemungutan pajak daerah dalam era
otonomi daerah ?
2. Bagaimana sistem pemungutan pajak dalam era otonomi daerah ?
3. Bagaimana konsistensi antara peraturan daerah yang mengatur pajak
daerah dengan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah ?
Penulisan tesis ini menekankan pada dasar hukum sistem pemungutan
pajak daerah dalam era otonomi daerah dan sistem pemungutan pajak daerah
dalam era otonomi daerah di Kabupaten Bogor. Dalam tesis ini dimuat juga
tentang konsistensi antara Peraturan Daerah yang mengatur pajak daerah dengan
peraturan perundang-undangan dibidang pajak daerah.
Ketiga, menemukan tesis di Universitas Udayana, Denpasar, pada tahun
2011, atas nama Ni Putu Diah Siswandari dengan judul “ Kewenangan
Pemerintah Provinsi Bali Dalam Pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor “
dengan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam
pemungutan Pajak Kendaraan Bermotor ?
2. Bagaimanakah tata cara pemungutan pajak Kendaraan Bermotor di
Pronsi Bali ?
20
Penulisan tesis ini menekankan pada kewenangan pemungutan pajak yang
merupakan kewenangan dari Pemerintah Provinsi yaitu kewenangan pemungutan
pajak kendaraan bermotor di Provinsi Bali dan dalam penulisan tesis ini berisi
pula materi tentang tata cara pemungutan pajak kendaraan bermotor di Provinsi
Bali serta tesis ini memuat juga bagi hasil pajak kendaraan bermotor kepada
kabupaten/kota.
Dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan tampaklah perbedaan-
perbedaan yang spesifik. Penekanan pada penelitian ini dititik beratkan pada
pengaturan pemungutan pajak yang merupakan kewenangan Pemerintah
Kabupaten/Kota yaitu khususnya mengenai pengaturan pemungutan pajak hotel
dengan sistem online. Pada penelitian ini melakukan pembahasan berdasarkan
ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah.
Dalam penelitian terdahulu, baik di Universitas Udayana maupun
Universitas lainnya sepanjang penulis ketahui, penekanan pada penelitian ini
belum pernah memperoleh kajian, oleh karena itu penelitian yang dilakukan dapat
dikemukakan masih bersifat orisinal dan layak dijadikan obyek penelitian dalam
tesisi ini.
I.7. Landasan Teoritis
Dalam rangka membahas permasalahan penelitian tentang Pengaturan
Pemungutan Pajak Hotel dengan Sistem online pada Pemerintah Kota Denpasar,
maka digunakan beberapa teori, konsep, dan asas-asas yang relevan dengan
21
kewenangan Pemerintah Kota Denpasar dalam pemungutan pajak hotel serta
dilengkapi dengan pandangan-pandangan sarjana yang terkemuka.
a. Teori Negara Hukum
Negara Indonesia ialah Negara hukum (rechtstaat) berdasarkan Pancasila9.
Negara hukum yang dianut negara Indonesia tidaklah dalam artian formal ,namun
negara hukum dalam artian material yang juga diistilahkan dengan negara
kesejahteraan atau negara kemakmuran.
Bagir Manan mengemukakan ciri-ciri minimal dari negara berdasarkan
asas hukum yaitu 10
:
a. Semua tindakan harus berdasarkan hokum
b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya
c. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa
terhadap masyarakat .
d Adanya pembagian kekuasaan.
Istilah negara hukum berasal dari istilah rechtstaat. Penggunaan istilah negara
hukum selain rechtstaat juga The Rule Of Law di Inggris dan Government of
law,but not of man11
. Philipus M.Hadjon tidak menyetujui istilah negara hukum
disamakan dengan rechtstaat ataupun The Rule Of Law12
. Ia membedakan istilah
itu berdasarkan latar belakang dan sistem hukum rechtstaat sistem hukum civil
law dari hasil perjuangan menentang absolutisme sehingga bersifat revolusioner
9Sjahran Basah,1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrsi di
Indonesia,Alumni Bandung, hal. 2 10
Bagir Manan,1994,Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD
1945,Makalah Ilmiah Disampaikan Kepada Mahasiswa Pasca Sarjana UNPAD,hal 19 11
Ni Matul Huda, 2006, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada, hal 73. 12
Philipus M Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Di Indonesia, Bina Ilmu,
Surabaya, hal. 25.(selanjutnya disebut Philipus M Hadjon I)
22
dan The Rule Of Law sistem hukum Common Law berkembang secara
evolusioner.
Konsep tentang negara hukum sudah dicetuskan sejak abad ke 17 dan 18
untuk menentang kekuasaan yang tidak terbatas dari penguasa. Para pemikir
mencoba menjawab persoalan yang berkaitan dengan hakekat,asal dan tujuan
negara. Khususnya adalah berkaitan dengan dari mana negara mendapat
kekuasaan, karena itulah muncul 2 teori besar tentang negara dan hukum yaitu
Teori Kedaulatan ( Souverenete) dan Teori Asal Mula Negara ,yang menghasilkan
2 pola negara yaitu negara kekuasaan (machstaats) dan negara hukum
(rechstaat)13
.
Huge Krabbe (1857-1936) dalam bukunya berjudul Die Lehre der
Rechtssouveenitet beliau mengajarkan bahwa sumber hukum adalah keadilan,
hukum menurutnya bukan yang secara formal diundangkan oleh badan legislatif,
hukum bersumber pada peranan anggota masyarakat. Negara tidaklah berdaulat
mutlak, karena perasaan hukum membatasi dan menentukan isi hukum bukan
negara tetapi hukumlah yang berdaulat. Karena itu teori Krabe dikenal sebagai
Teori Kedaulatan Hukum, yang menimbulkan bentuk negara hukum yaitu negara
yang susunannya diatur sedemikian rupa sehingga segala kekuasaan dari alat
pemerintah didasarkan atas ketentuan hukum dan segenap warga negara harus
tunduk pada hukum14
. Ide negara hukum muncul kembali dalam aliran liberal
dengan cara pandang yang individualistic, yang melahirkan Negara Hukum
Liberal, atau lebih dikenal dengan nama “negara jaga malam” (Nacht
13
Mukthi Fajar, 2004, Type Negara Hukum, Bayu Media Publihsing, Malang , hal. 11. 14
Sudarsono, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka cipta, hal. 112.
23
Wakerstaat), tugas pokok pemerintah adalah menjamin dan melindungi
kedudukan ekonomi golongan rulling Claass15
,
Menurut Dicey di negara dengan sistem Anglo Saxon konsep the rule of
law,unsur-unsur negara hukum adalah terdiri dari :supremacy of law, equality
before the law, dan the constitution based on indifidual rights. Sedangkan
menurut International Commission of Jurist, dalam konferensinya di Bangkok
pada tahun 1965, merumuskan syarat-syarat pemerintahan demokratis adalah :
1.Perlindungan konstitusional;
2.Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak
3.Pemilu yang bebas;
4.Kebebasan menyatakan pendapat.
5.Kebebasan berserikat dan beroposisi;
6.Pendidikan civil.
Dalam negara hukum tentunya apa yang menjadi dasar pembentukan suatu
Pemerintahan didasarkan atas hukum yang berlaku. Dalam kaitannya dengan
Pemerintahan Daerah.
Sampai saat ini ada dua cara yang dapat dipergunakan untuk menelusuri
suatu negara dikatakan sebagai negara hukum, yaitu Pertama, melalui konstitusi
dari negara yang bersangkutan. Artinya apakah konstitusi yang dimaksud
memuat ketentuan tentang negara hukum. Kedua, berdasarkan pandangan ilmiah
dari para ahli, yang dalam konteks ini berusaha memberikan unsur-unsur/ciri-ciri
dari suatu negara hukum.
15
Sumali, 2002, Reduksi Kekuasaan Eksekutif Di Bidang peraturan Pengganti Undang-
undang, Universitas Muhamadyah, Malang, hal. 12.
24
Philipus M Hadjon16
mengemukakan 3 (tiga) macam konsep negara
hukum yakni: rechtstaat, the rule of law dan negara hukum Pancasila. Secara
konseptual ide negara hukum lahir pada abad ke 19 dan abad ke 20 yang ditandai
dengan dikemukakannya istilah Rechts Staat (negara hukum), oleh ahli-ahli
hukum Eropa Barat Kontinental atau oleh kalangan ahli Anglo Saxon
menyebutnya dengan istilah Rule Of Law ( negara berdasarkan kekuasaan
hukum ). Burkens mengemukakan suatu negara dapat dikatakan sebagai negara
hukum (rechts staat) apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 17
1. Asas Legalitas, setiap tindak pemerintah harus didasarkan atas peraturan
perundang-undangan (wettelijke gronslag). Dengan landasan ini,
Undang-Undang dalam arti formal merupakan tumpuan dasar tindakan
pemerintah.
2. Pembagian kekuasaan, syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan
negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan.
3. Hak-hak dasar (gronddrechten), merupakan sasaran perlindungan dari
pemerintah terhadap rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan
pembentuk Undang-Undang
4. Pengawasan pengadilan bagi rakyat.
Sesuai dengan persyaratan-persyaratan tersebut, syarat pertama dan ketiga
yang relevan dengan objek penelitian. Syarat pertama menunjukkan bahwa dasar
kewenangan dari pemerintah daerah dalam pemungutan pajak hotel dengan
sistem online harus ada dasar hukumnya, yang merupakan tumpuan dasar
tindakan pemerintah. Asas legalitas ini diwujudkan dalam bentuk Undang-
Undang dan peraturan perundang-undangan lainnya untuk memberikan kepastian
hukum dalam pemungutan pajak hotel dengan sistem online kepada masyarakat.
16
Philipus M. Hadjon I, op.cit. hal. 69. 17
Yohanes Usfunan, 1999, Kebebasan Berpendapat di Indonesia, Disertasi, Surabaya,
Program Pascasarjana Universitas Airlangga, hal.111
25
Syarat ketiga menunjukkan bahwa disamping memberikan perlindungan dan
kepastian hukum bagi masyarakat, juga sasarannya agar tindakan sewenang-
wenang pemerintah dalam pemungutan pajak hotel dengan sistem online dapat
dicegah.
Sejalan dengan Burkens, Carl Friedrich Julius Stahl dari kalangan ahli
hukum Eropa Barat Kontinental sebagaimana dikutip oleh Moh.Mahfud MD,
memberikan ciri-ciri rechtsstaat sebagai berikut 18
:
a. Hak-hak asasi manusia
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi
manusia itu yang biasa dikenal dengan Trias Politika
c. Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan
(wetmatigheid van bestuur)
d. Peradilan Administrasi dalam perselisihan
Dari pendapat Carl Friedrich Julius Stahl yang dikutip oleh Moh.Mahfud
MD, ciri-ciri yang relevan dengan penelitian tesis ini adalah hak-hak asasi
manusia dan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Pada saat yang bersamaan muncul pula konsep negara hukum (rule of law)
dari A.V. Dicey, yang lahir dalam naungan sistem hukum anglo-saxon. Dicey
mengemukakan unsur-unsur rule of law sebagai berikut :
1. Supremasi aturan-aturan hukum ( supremacy of the law ), yaitu tidak
adanya kekuasaan sewenang-wenang ( absence of arbitrary power )
dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar
hukum.
2. kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum ( equality infore the
law ). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat.
3. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (dinegara lain oleh
undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan). 19
18
Moh.Mahfud. MD. 2001, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi Tentang
Interaksi Politik Dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta, PT. Rineka Cipta, hal.28 19
Ibid, hal.4
26
Dalam kaitannya dengan objek penelitian maka unsur pertama, kedua, dan
ketiga relevan dengan penelitian tesis ini, dimana mensyaratkan setiap tindakan
pemerintah harus berdasarkan atas hukum, kedudukan yang sama di depan hukum
dan diatur oleh peraturan perundang-undangan.
Konsep negara hukum Pancasila yang merupakan penegasan Indonesia
sebagai negara hukum itu sendiri dapat ditemukan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang menegaskan bahwa Negara
Indonesia adalah negara hukum. Dengan penegasan yang demikian, maka
konsekuensi logisnya adalah bahwa tata kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara harus berdasarkan pada norma-norma hukum.
Bertolak dari teori negara hukum yang demikian, maka sesungguhnya
penyelenggaraan pemerintah semestinya harus tetap mengacu pada koridor
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini menjadi instrumen penting
dalam penyelenggaraan pemerintahan baik pada tingkat pusat maupun di tingkat
daerah agar setiap tindakan pemerintah termasuk pungutan pajak hotel tetap
dengan sistem online mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
b. Teori Kewenangan
Negara Indonesia ialah Negara hukum (rechtstaat) berdasarkan
Pancasila20
. Negara hukum yang dianut negara Indonesia tidaklah dalam artian
formal ,namun negara hukum dalam artian material yang juga diistilahkan dengan
20
Sjahran Basah, op. cit , hal 2
27
negara kesejahteraan atau negara kemakmuran. Sjahran Basah21
mengemukakan
bahwa kewenangan seseorang atau badan hukum pemerintah untuk melakukan
suatu tindakan pemerintahan dapat diperoleh dari peraturan perundang-undangan
baik secara langsung (atribusi) ataupun pelimpahan (delegasi dan sub delegasi)
serta atas dasar penugasan (mandate). Pendapat ini juga dikemukakan oleh
H.D.Van Wijk dan Wilem Konijnenbelt yang mengklasifikasikan cara perolehan
kewenangan atas 3 (tiga) cara antara lain: :
a. Atributie: Teoleninning van een bestuursbevoegdheid door een wetgever aan
een bestuurorgaan,atau atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan
oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan.
b. Delegatie : Overdracht van een bevoegdheid van he teen bestuurorgan aan
een ander atau delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari
satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya
c. Mandate : een bestuurorgan lat zijn bevoegdheid names hues uitoefenen
door een ander, artinya mandat terjadi ketika organ pemerintahan
mengijinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya22
.
Selanjutnya dengan menekankan kepada ada tidaknya peralihan
kewenangan, F.A.M Stroink dan J.G. Steenbeek berpendapat mengenai cara
perolehan wewenang pada hakekatnya melalui cara atribusi dan delegasi terkait
dengan pandangan di atas, maka dapat disimak bahwa atribusi adalah
pembangunan kekuasaan kepada bagian instansi pada atribusi terjadi pemberian
21
Sjachran Basah, Ibid , hal.7 22
Ridwan HR, 2003, Hukum Administrasi Negara,UII.Press Yogyakarta,hal. 45.
28
wewenang pemerintahan yang baru oleh pembuat (dalam arti material kepada
organ administrasi negara badan hukum).
Delegasi adalah pelimpahan wewenang dari pejabat yang lebih tinggi
kepada pejabat yang lebih rendah atas dasar peraturan perundang-undangan.
Dalam hal ini suatu badan juga telah memiliki wewenang secara mandiri
membuat peraturan perundang-undangan (wewenang atribusi), menyerahkan
kepada suatu badan untuk membuat peraturan perundang-undangan atas dasar
kekuasaan dan tanggung jawabnya sendiri. Menurut Indroharto penerima
wewenang atas dasar delegasi (delegataris) dapat pula mendelegasikan wewenang
yang diterimanya dari pemberi wewenang asli (delegasi) kepada organ atau
pejabat TUN lainnya23
.
Mengacu pada Bagir Manan 24
dan A.Hamid S Attamimi25
teori wewenang
pembentukan peraturan perundang-undangan dibedakan atas atribusi dan delegasi,
pengertian atribusi wewenang pembentukan peraturan perundang-undangan
memuat unsur-unsur :
1.Penciptaan wewenang baru untuk membuat peraturan perundang-
undangan ;
2.Wewenang tersebut diberikan oleh pembentuk UUD atau pembentuk
UU kepada suatu lembaga;
3.Lembaga yang menerima wewenang itu bertanggung jawab atas
pelaksanaan wewenang tersebut.
23
Indroharto,1991,Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara,Sinar Harapan, hal .66 24
Bagir Manan dan Kuntana Magnar ,1997,Kedudukan dan Fungsi Keputusan Presiden
Sistem Perundang-undangan dan peranannya dalam Akselerasi Pembangunan Ekonomi,Penerbit
Alumni, hal 206-214. 25
Hamid S Atamimi,1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintah Negara Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang
Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV disertasi, Jakarta Pasca sarjana
UI.hal 347-352
29
Sedangkan pengertian delegasi pembentukan peraturan perundang-undangan
memuat unsur- unsur :
1.Penyerahan wewenang untuk membuat peraturan perundang-undangan;
2.Wewenang itu diserahkan oleh pemegang wewenang atributif (delegans)
kepada lembaga lainnya (delegataris);dan
3 Lembaga yang menerima wewenang (delegataris) bertanggung jawab
atas pelaksanaan wewenang tersebut.
Wewenang atribusi dan delegasi terdapat persamaan dan perbedaan.
Persamaan adalah lembaga yang menerima wewenang bertanggung jawab atas
pelaksanaan wewenang itu. Perbedaannya adalah (1) pada delegasi selalu harus
didahului adanya atribusi, sedangkan pada atribusi tidak ada yang mendahului
dan (2) pada atribusi terjadi pembentukan wewenang, sedangkan pada delegasi
terjadi penyerahan wewenang26
, perbedaan ini dapat lebih dipahami dengan
menyimak konstatasi E.Utrecht :
Delegasi tidak memuat inisiatif membuat peraturan mengenai pokok-
pokok yang baru, inisiatif untuk membuat peraturan mengenai pokok-
pokok semacam tadi tetap dalam tangan yang mendeegasi,delegasi,yaitu
“menyelenggarakan “’tidak lain dari pada mengatur untuk selanjutnya27
.
Dalam kaitan dengan kewenangan menjalankan prinsip negara hukum baik
kewenangan atribusi, delegasi maupun mandate akan melahirkan pemberlakuan
asas dalam hukum Pemda baik asas desentralisasi, asas dekonsentrasi maupun
asas tugas pembantuan. Dalam desentralisasi yang merupakan penyerahan
kewenangan kepada daerah otonom dimana daerah otonom adalah hasil dari
26
SF.Marbun,2004, Mandat,Delegasi,Atribusi Dan Implementasinya Di Indonesia,UII
Press Yogyakarta,hal 109-120 27
Utrecht,E,1966, Pengantar dalam Hukum Indonesia,Edisi Potografi, Jakarta, hal. 339
30
pelimpahan kewenangan desentralisasi. Menurut Ateng Syaruddin istilah otonomi
mempuyai makna kebebasan atas kemandirian Zelfstandigheid tetapi bukan
kemerdekaaan atau onafhakelijkheid kebebasan yang terbatas /kemandirian itu
adalah wujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
Menginggat administrasi adalah pemerintahan atau badan eksekutif seperti
dikemukakan oleh Berlinfante (1981) yang juga dilihat sebagai ragkaian tugas
penguasa ( overheads taak)28
.
Dalam konsep hukum publik wewenang merupakan konsep inti dari
hukum tata negara dan hukum administrasi negara.29
Tanpa adanya kewenangan
yang dimiliki, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak dapat
melaksanakan suatu perbuatan atau tindakan pemerintahan. Menurut Donner, ada
dua fungsi berkaitan dengan kewenangan, yakni fungsi pembuatan kebijakan
(policy making) yaitu kekuasaan yang menentukan tugas (taakstelling) dari alat-
alat pemerintah atau kekuasaan yang menentukan politik negara dan fungsi
pelaksanaan kebijakan (policy executing) yaitu kekuasaan yang bertugas untuk
merealisasikan politik negara yang telah ditentukan (verwezenlijkking van de
taak). 30
Pelimpahan wewenang Pusat kepada Daerah, didasarkan kepada Teori
Kewenangan, yaitu pertama-tama kekuasaan diperoleh melalui attributie oleh
lembaga negara sebagai akibat dari pilihan sistem pemerintahan. Setelah
28
Ateng Syarudin,1993,Perencanaan Administrasi Pembangunan Daerah,Mandar Maju
Bandung, hal. 1 29
Philipus M. Hadjon, 1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuurbevoegheid) Pro
Justitia, Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998, hal. 90 (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon II) 30
Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Jakarta, Bina
Aksara, hal.30.
31
menerima kewenangan attributie (diatur dalam Undang-Undang Dasar),
kemudian dilakukan pelimpahan (afgeleid) yang dilakukan melalui dua cara,
yaitu delegatie dan mandaat. Pada delegatie hanya boleh di Sub Delegatie, dan
tidak ada Sub-sub Delegatie. Mengapa demikian, karena jabatan kenegaraan
dalam setiap sistem pemerintahan, wajib dipertanggungjawabkan, sesuai dengan
prinsip pembagiannya. Untuk menentukan batas dan tanggung jawab dari masing-
masing lembaga negara ditentukan beberapa prinsip, yaitu :
1. Setiap kekuasaan wajib dipertanggungjawabkan
2. Setiap pemberian kekuasaan harus dipikirkan beban tanggung jawab
untuk setiap penerima kekuasaan
3. Kesediaan untuk melaksanakan tanggung jawab harus secara inklusif
sudah diterima pada saat menerima kekuasaan
4. Tiap Kekuasaan ditentukan batasnya dengan teori kewenangan. 31
Sehubungan dengan kewenangan Philipus M. Hadjon, mengemukakan ada
dua sumber untuk memperoleh kewenangan yaitu atribusi dan delegasi. Namun
dikatakan kadangkala, mandat digunakan sebagai cara tersendiri dalam
memperoleh wewenang. Tetapi dalam kaitannya dengan wewenang pemerintah
untuk membuat keputusan, Philipus M. Hadjon secara tegas mengatakan bahwa
hanya ada dua cara untuk memperoleh kewenangan membuat keputusan yaitu
”atribusi dan delegasi”.32
c. Teori Hierarkhi Peraturan Perundang-undangan.
Hans Kelsen mendefinisikan, “ A Law is a despsychogized command, a
command which does not imply a will in a psychological sense of the term –
31
Ibrahim R, 2009, Hubungan Pemerintah Pusat – Daerah Dan Konstalasi Demokrasi Di
Indonesia. Denpasar, Makalah. Diskusi Panel Pada Perancangan dan Advokasi Hubungan Pusat-
Daerah Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Denpasar 5 – 7 Februari 2009, hal.7 32
Philipus M. Hadjon,dkk, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet.I. Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, hal.64. (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon III)
32
a rule expressing the fact thar somebody ought to act in a certain way,
without implying that anybody really ”wants” the person to act in the way”33
Lebih lanjut Hans Kelsen dalam Teori Stufenbau mengatakan bahwa:
Norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan
hierarkis, dimana norma yang dibawah berlaku bersumber dan berdasarkan pada
norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada
akhirnya berhenti pada suatu norma yang tertinggi yang disebut norma dasar
Groundnorm atau Basic Right atau Fundamental norm yang tidak dapat kita
telusuri lagi siapa membentuknya dan dari mana asalnya34
.
Selanjutnya Groundnorm menurut Hans Kelsen :
............ the basic norm must be formulated as follows : coercive acts sought to
be performed under the conditions and in the manner which the historically first
constitution and in the manner which the historically first constitution, and the
norms created according to it, prescribe. (In short: one ought to behave as the
constitution prescribes) (Pure Theory of Law, transl. M. Knight, pp 200-1)35
Maria Farida Indrati Soeprapto menjelaskan pula :
Norma-norma yang ada dan berlaku mempunyai kaitan antara norma yang
satu dengan norma yang lainnya.Hal tersebut disebabkan karena norma yang
terendah mempunyai daya laku dan bersumber pada norma yang paling tinggi
itu tidak dapat ditelusuri lagi asal dan sumbernya oleh karena telah ditetapkan
terlebih dahulu oleh masyarakat36
.
Berdasarkan pendapat Hans Kelsen sebagaimana dikemukakan di atas
telah dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
33
Hari Chand, 1994, Modern Yurisprudence, International Law Book Services, Kuala
Lumpur, hal. 92. 34
Hans Kelsen,1995,Teori Hukum Murni,Rimdi Press,hal 126-127 35
Hilaire McCoubrey and Nigel D. White, 1996, Jurisprudence, Blacstone Press Limited,
London, hal. 138. 36
Maria Farida Indrati Seoprapto, 2004, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar
Pembentukannya ,Kanisius, Yogyakarta,hal 9
33
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam Pasal 7 ayat (1) menyebutkan
jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut
a.
b.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Ketetapan Majels Permusyawaratan Rakyat.
c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang
d. Peraturan pemerintah.
e. Peraturan Presiden.
f.
g.
Peraturan Daerah Provinsi.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang dimaksud dengan
hierarki adalah penjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang
didasarkan pada asas bahwa perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Segala peraturan perundang-undangan antara yang lebih rendah dengan
yang lebih tinggi tidak boleh bertentangan. Terkait dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
jika direplikasikan dengan teori “Stufenbau Des Rechat” nampak produk hukum
tersebut berada dalam tingkatan lebih rendah dari UUD NKRI 1945, oleh karena
itu bila ternyata ada Undang-Undang dan Peraturan Presiden bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Undan-Undang dan
Peraturan Presiden tersebut menjadi tidak berlaku .
Untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik harus
memperhatikan tiga landasan yaitu landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Selain ketiga landasan perundang-undangan hendaknya pembuat peraturan
perundang-undangan memperhatikan asas perundang-undangan. Purnadi
34
Purbacaraka dan Soerjono Soekamto merinci asas-asas perundang-undangan
sebagai berikut :
a. Undang-Undang tidak berlaku surut.
b. Undang-undang yang dibuat Penguasa yang lebih tinggi mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula.
c. Undang-Undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-
Undang yang bersifat umum ( lex specialis derogate lex generalis).
d. Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-
Undang yang berlaku terdahulu ( lex postiore derogate lex priori).
e. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat.
f. Undang-Undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat
mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat
maupun individu,melalui pembaharuan atau pelestarian (asas
welfarestaat)37
Apabila suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak
memperhatikan syarat-syarat perundang-undangan, maka peraturan perundang-
undangan tersebut akan mengalami kekurangan (gebreken). Kekurangan dalam
suatu peraturan perundang-undangan dapat menjadi sebab perundang-undangan
itu tidak sah (nietrechtsgelding).
37
Rosjidi Ranggawijaya,1998, Pengantar Ilmu perundang-undangan, Mandar Maju
Bandung,hal 46
35
d. Teori Pemungutan Pajak
Dalam sistem perpajakan, pungutan pajak dalam masyarakat dapat
dibenarkan atau tidak, hal tersebut dapat dilihat dari beberapa teori, yaitu sebagai
berikut :
1. Teori Asuransi
2. Teori Daya Pikul
3. Teori Kepentingan
4. Teori Daya Beli
5. Teori Kewajiban Pajak Mutlak.
6. Teori Pembenaran Pajak menurut Pancasila 38
Penjelasannya :
1. Menurut teori asuransi ini mengatakan bahwa pajak diibaratkan sebagai
suatu premi asuransi yang harus dibayar oleh setiap orang karena orang
mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dari pemerintah. Teori ini
tidak mempunyai banyak pendukung karena tidak sesuai dengan kenyataan
dan juga tidak sesuai dengan sifat-sifat pajak, sehingga teori ini ditinggal
orang.
2. Menurut teori daya pikul ini setiap orang wajib membayar pajak sesuai
dengan daya pikul masing-masing. Daya pikul maksudnya kekuatan
seseorang untuk memikul suatu beban dari apa yang tersisa, setelah
seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang
mutlak untuk kehidupan primer diri sendiri beserta keluarganya.
3. Menurut teori kepentingan ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan
besarnya kepentingan wajib pajak yang dilindungi. Jadi lebih besar
38
Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas dan Dasar Perpajakan I, PT.
Refika Aditama, Bandung, hal. 28 – 34.
36
kepentingan yang dilindungi maka lebih besar pula pajak yang harus
dibayar. Teori ini tidak sesuai dengan sifat pajak, sebab justru pajak
sifatnya adalah suatu pembayaran yang tidak ada imbalannya secara
langsung dapat ditunjuk dan menurut teori ini pajak harus sesuai dengan
kepentingan masing-masing.
4. Menurut teori daya beli ini pajak diibaratkan sebagai pompa yang
menyedot daya beli seseorang/anggota masyarakat, yang kemudian
dikembalikan lagi kepada masyarakat. Jadi sebenarnya uang yang berasal
dari rakyat kembali lagi kepada masyarakat melalui saluran lain, sehingga
pada hakikatnya pajak tidak merugikan rakyat, oleh sebab itu maka
pungutan pajak dapat dibenarkan.
5. Menurut teori kewajiban pajak mutlak ini negara itu merupakan satu
kesatuan yang didalamnya setiap warga negara terikat. Tanpa adanya
organ atau lembaga itu individu tidak mungkin dapat hidup. Lembaga
tersebut oleh karena memberi hidup kepada warganya dapat membebani
setiap anggota masyarakatnya dengan kewajiban-kewajiban yang antara
lain kewajiban mambayar pajak, berdasarkan pemikiran tersebut maka
pemungutan pajak walaupun membebani individu dapat dibenarkan.
6. Menurut teori Pembenaran Pajak menurut Pancasila ini Pancasila
mengandung sifat kekeluargaan dan gotong royong. Gotong royong adalah
usaha yang dilakukan secara bersama, tanpa diberi imbalan yang ditujukan
untuk kepentingan umum atau kepentingan bersama, sedangkan
kekeluargaan yang merupakan sifat Pancasila mengandung arti bahwa
37
setiap anggota keluarga berdasarkan hakikat kekeluargaan mempunyai
kewajiban untuk ikut membantu, mempertahankan, melangsungkan hidup
keluarga da menjaga nama baik keluarga tanpa suatu imbalan, melainkan
hanya melakukan pengorbanan saja. Pembayaran pajak dalam rangka
pemikiran ini merupakan sesuatu yang tidak sukar diberikan
pembenarannya. Jadi berdasarkan Pancasila, pungutan pajak dapat
dibenarkan karena pembayaran pajak dipandang sebagai uang yang tidak
keluar dari lingkungan masyarakat tempat wajib pajak hidup.
Dari keenam teori pemungutan pajak tersebut di atas, yang sesuai dengan
sistem pemungutan pajak di Indonesia dan juga mendukung penulisan tesis ini
adalah teori daya beli, teori kewajiban pajak mutlak dan teori pembenaran pajak
menurut Pancasila.
e. Konsep Desentralisasi
Susunan negara kesatuan dalam pengorganisasian negara pada
penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang diikuti Undang-Undang
organik dan peraturan pelaksanaannya. Ketentuan Pasal 18 tersebut masih bersifat
umum, tetapi mengenai bentuk dan susunan Pemerintah Daerah itu belumlah
diketahui, karena segala sesuatunya akan diatur lebih lanjut dengan Undang-
Undang. 39
Pada Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
tidak didapati ketentuan atau keterangan yang secara tersurat menyatakan negara
39
Kuntana Magnar, 1984, Pokok-pokok Pemerintah Daerah Otonom dan Wilayah
Administratif, CV. Armico, Bandung hal. 24.
38
kesatuan dengan desentralisasi Indonesia menganut asas desentralisasi dan
dekonsentrasi, dilengkapi tugas pembantuan. Namun Pasal 18 menunjukan secara
tersirat negara kesatuan Indonesia menganut asas desentralisasi yang ditunjukkan
dengan adanya daerah-daerah yang bersifat otonom dengan wujud otonomi daerah
dalam bentuk daerah otonom, dan menganut asas dekonsentrasi yang ditunjukkan
dengan adanya wilayah yang bersifat administratif dengan wujud wilayah
administratif dalam bentuk wilayah administrasi, secara tersirat dilengkapi asas
tugas pembantuan yang terkandung dalam adanya daerah Indonesia
diorganisasikan dalam daerah-daerah provinsi dan daerah-daerah provinsi
diorganisasikan lagi dalam daerah-daerah yang lebih kecil.
Soehino mengemukakan berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 Pemerintah diwajibkan melaksanakan asas
dekonsentrasi, desentralisasi, dan tugas pembantuan, yang semuanya diatur
dengan UU organik. 40
Menurut Moh.Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, dalam ketentuan Pasal 18
UUD 1945 terdapat empat unsur susunan negara kesatuan dalam
pengorganisasian negara pada penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu : 41
1. Daerah Indonesia diorganisasikan dalam daerah besar dan kecil yang
merupakan wilayah administrasi dan daerah otonom.
2. Setiap daerah mempunyai susunan dan bentuk pemerintahan daerah
yang diatur dengan Undang-Undang.
3. Dasar permusyawaratan / perwakilan diberlakukan di daerah-daerah
otonum yang berarti daerah-daerah mempunyai badan perwakilan
daerah; serta
40
Soehino, 1991, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah, Edisi Pertama,
Cetakan Pertama, BPFE, Yogyakarta, hal.16 41
Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan CV. Sinar Bakti, hal. 259-260.
39
4. Negara menghormati kedudukan daerah-daerah yang bersifat istimewa
dan hak-hak asal usul daerah.
Undang-Undang organik pengaturan mengenai otonomi daerah di
Indonesia didasarkan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang tersebut
adalah dalam rangka memenuhi tuntutan masyarakat pada era reformasi untuk
terwujudnya Pemerintahan Daerah yang demokratis, partisipatif, transparan dan
akuntabel ( Clean Government and Good Governance ).
Danny Burn, et.all, mengemukakan bahwa otonomi daerah dengan sistem
desentralisasi mempunyai fungsi strategis dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan. Dalam pandangan para penulis ini dikemukakan :
“Decentralisation offers an attractive alternative to market models because
it has the potential not only to provide responsive, high quality services, but also a
range of possibilities for strengthening citizen involvement in the governing
process” 42
(Desentralisasi memberikan suatu alternatif yang cukup menarik
untuk model pemasaran, oleh karena tidak saja bersifat responsif, mampu
memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi, akan tetapi sangat
memungkinkan memperkuat peran serta rakyat dalam proses pemerintahan).
Pendapat di atas menunjukkan bahwa melalui desentralisasi atau
penyerahan sebagian urusan kewenangan pemerintahan pada daerah akan
diciptakan pemerintahan yang responsif, mampu memberikan pelayanan yang
baik serta membuka partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemerintahan.
Dalam konteks negara kesatuan dalam hal ini negara kesatuan dengan
desentralisasi, otonomi bukan asas melainkan wujud dari asas desentralisasi.
Otonomi daerah ialah wujud dari desentralisasi yang menyangkut hak, wewenang,
42
Danny Burn, 1994, Robin Hambleton and Paul Hogget, “The Politics of
Decentralisation, Revitalising Local, Democracy”, The Macmillan Pres Ltd. London, hal.XIV
40
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan menurut inisiatif / prakarsa sendiri dengan memperhatikan
kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dalam wadah negara kesatuan dengan desentralisasi. Isi
otonomi daerah ialah urusan pemerintahan yang diberikan oleh pemerintah pusat
kepada pemerintahan daerah yang kemudian menjadi kewenangan pemerintahan
daerah.
Penyelenggaraan otonomi dengan prinsip desentralisasi di Indonesia
terkait dengan pola pembagian urusan yang menjadi kewenangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah, karena di dalam penyelenggaraan
desentralisasi selalu terdapat dua elemen penting, yakni pembentukan daerah
otonom dan penyerahan kewenangan secara hukum dari Pemerintah Pusat ke
Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus bagian-bagian tertentu urusan
pemerintahan.
f. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB)
Dalam melakukan tindakan pemerintahan khususnya dalam kaitan dengan
pengaturan pajak daerah khususnya pajak hotel, pada pemerintah
Kabupaten/Kota, selain berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, juga
harus mengacu dan memperhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik
(AAUPB).
Terkait dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, H.A. Muin
Fahmal mengemukakan bahwa awalnya asas-asas umum pemerintahan yang baik
terdapat dalam Algemene Beginselen van Behoorlijk Bestuur yang dikemukakan
41
De’Monchy yang diajukan dalam Parlemen Belanda pada tahun 195043
.
Kemudian oleh Komisi Vander Grinten pada tahun 1952 oleh Crince Le Roy
menyebutkan sembilan asas dan diakomodasikan dalam yurisprudensi Belanda
tahun 1975 menjadi sepuluh asas.
Menurut Crince Le Roy dasar-dasar / asas-asas umum pemerintah yang
baik (general prinsiple of good administration) adalah sebagai berikut : 44
1. Asas Kepastian Hukum (principle of legal security)
2. Asas Keseimbangan (principle of proportionality)
3. Asas Kesamaan Dalam Mengambil Keputusan Pengreh (principle of
equality)
4. Asas Bertindak Cermat (principle of carefulness)
5. Asas Motivasi untuk setiap keputusan Pengarah (principle of
motovation)
6. Asas Jangan Mencampuradukkan Kewenangan (principle of non
misuse of competence).
7. Asas permainan yang layak (principle of fair play)
8. Asas Keadilan atau Kewajaran (principle of reasonable or prohittion
of arbitrariness)
9. Asas Menanggapi Penghargaan Yang Wajar (principle of meeting
raised expectation)
10. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of
indoing the consequences of an anmuled decision)
11. Asas Perlindungan Atas Pandangan (Cara) Hidup Pribadi (principle of
protecting the personal way of life)
Dalam perkembangan selanjutnya, Kuntjoro Purbopranoto menambahkan
dua asas yaitu :
1. Asas Kebijaksanaan (principle of sapientia)
2. Asas Penyelenggaraan Kepentingan Umum (principle of public
service)45
43
Muin Fahmal, H.A. 2006, Peran Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Layak Dalam
Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, , UII Press, Yogyakarta, hal. 49. 44
Ibid, hal. 279 45
Kuntjoro Purbopranoto, 1978, Beberapa Catatan Tentang Hukum Tata Pemerintah dan
Peradilan Tata Usaha Negara, Alumni, Bandung, hal. 13
42
Dari tiga belas asas yang dikemukakan tersebut, yang berkaitan
dengan rumusan masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Asas kepastian hukum, dimana sisi formal dari asas kepastian hukum
membawa serta bahwa ketetapan-ketetapan yang memberatkan dan
ketentuan-ketentuan yang terkait pada ketetapan-ketetapan yang
menguntungkan.
2. Asas bertindak cermat, asas kecermatan mensyaratkan, agar badan
pemerintahan sebelum mengambil suatu ketetapan, meneliti semua
fakta yang relevan dan memasukkan pula semua kepentingan yang
relevan kedalam pertimbangannya.
3. Asas penyelenggaraan kepentingan umum, asas ini menghendaki agar
pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu mengutamakan
kepentingan umum, yakni kepentingan yang mencakup semua aspek
kehidupan orang banyak46
I.8. Metode Penelitian.
1. Jenis Penelitian.
Kajian ini adalah mempergunakan metode penelitian hukum normatif.
Menurut Sunaryati Hartono, dalam penelitian hukum normatif, untuk mengkaji
persoalan hukumnya dipergunakan bahan-bahan hukum yang terdiri dari bahan-
bahan hukum primer ( primary sources or authorities) dan bahan-bahan hukum
sekunder ( secondary sources or authorities )47
2. Jenis Pendekatan Masalah.
Dalam penelitian hukum normatif ada beberapa metode pendekatan yakni
pendekatan perundang-undangan ( statute approach ), pendekatan konsep
(conceptual approach ), pendekatan analitis ( analytical approach ), pendekatan
perbandingan ( comparative approach ), pendekatan historis (historical approach)
pendekatan filsafat ( philosophical approach ),dan pendekatan kasus (case
46
Ridwan HR, op. cit, hal.207 47
Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20,
Alumni Bandung, hal 134.
43
approach)48
. Dalam penelitian ini digunakan beberapa cara pendekatan untuk
menganalisa permasalahan. Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konsep hukum
( conceptual approach ).
Pendekatan perundang-undangan ( statute approach ), dilakukan dengan
menelaah peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5049)
Pendekatan konsep hukum ( conceptual approach ) dilakukan dengan
menelaah pandangan-pandangan mengenai pajak hotel sesuai dengan penelitian
ini.49
3. Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer bahan dan
hukum sekunder. Bahan hukum primer adalah segala dokumen resmi yang
memuat ketentuan hukum,dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah serta
peraturan perundang-undangan yang lain yang terkait dengan Pajak Hotel.
48
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Interpratama Offset, Jakarta, hal
93-137. 49
Ibid, hal. 19.
44
Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti hasil penelitian atau
karya tulis para ahli hukum yang memiliki relevansi dengan penelitian ini. Data
Penunjang yaitu berupa informasi dari lembaga atau pejabat, baik dari lingkungan
Pemerintah Daerah Kota Denpasar maupun dengan para pihak terkait yang
membidangi tentang pemungutan Pajak Hotel.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Metode Pengumpulan bahan dilakukan dengan studi dokumen dan Studi
lapangan bersaranakan sarana wawancara. Bahan hukum dikumpulkan melakukan
studi dokumentasi, yakni dengan melakukan pencatatan terhadap hal-hal yang
relevan dengan masalah yang diteliti yang ditemukan dalam bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder. Untuk mendukung bahan hukum tersebut dilakukan studi
lapangan.
Studi lapangan bersaranakan sarana wawancara dilakukan terhadap
informan yang terkait seperti dengan SKPD ( Satuan Kerja Perangkat Daerah)
terkait yang ada di lingkungan Pemerintah Kota Denpasar. Masukan yang
diperoleh digunakan sebagai penunjang dan untuk mengkonfirmasikan bahan
hukum sekunder.
5. Teknik Pengolahan Dan Analisis Bahan Hukum
Teknik analisa terhadap bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam
kajian ini adalah teknik deskripsi, interpretasi, sistematisasi, argumentasi dan
evaluasi. Philipus M.Hadjon mengatakan bahwa teknik deskripsi adalah
45
mencakup isi maupun struktur hukum positif.50
Pada tahap deskripsi ini dilakukan
pemaparan serta penentuan makna dari aturan-aturan hukum yang dikaji . Dengan
demikian pada tahapan ini hanya menggambarkan apa adanya tentang suatu
keadaan51
. Lebih lanjut berkaitan dengan teknik Interpretasi Alf Ross
mengatakan:
The relation between a given formulation and specific complex of
facts.The technique of argumentation demanded by this method is directed toward
discovering the meaning of the statute and arguing that the given facts sre either
covered by it or not.52
(terjemahan bebas: Hubungan antara rumusan konsep yang diberikan dan
kumpulan fakta khusus. Teknik argumentasi ini dibutuhkan oleh cara ini yang
diarahkan kepada penemuan makna dari undang-undang dan fakta-fakta yang
saling melengkapi satu sama lain).
Dari sisi sumber dan kekuatan mengikatnya menurut I Dewa Gede
Atmadja secara yuridis interpretasi ini dapat dibedakan menjadi:53
1. Penafsiran otentik; yakni penafsiran yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan itu sendiri. Penafsiran ini adalah merupakan
penjelasan-penjelasan yang dilampirkan pada undang-undang yang
bersangkutan (biasanya sebagai lampiran). Penafsiran otentik ini
mengikat umum ;
2. Penafsiran Yurisprudensi ; merupakan penafsiran yang ditetapkan oleh
hakim yang hanya mengikat para pihak yang bersangkutan ;
3. Penafsiran Doktrinal ahli hukum; merupakan penafsiran yang
diketemukan dalam buku-buku dan buah tangan para ahli sarjana
hukum. Penafsiran ini tidak mempunyai kekuatan mengikat, namun
karena wibawa ilmiahnya maka penafsiran yang dikemukakan, secara
materiil mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan undang-undang.
50
Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik ( Normatif ) dalam
Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember, hal. 33. (selanjutnya disebut Philipus M.
Hadjon IV) 51
Erna Widodo , 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avy-rouz, hal. 16. 52
Alf Ross, 1959, On Law And Justice, , University Of Californis Press, Barkely & Los
Angeles, hal. 111. 53
I Dewa Gede Atmadja, 1996, “Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka Sosialisasi Hukum,
Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan konsekuen” Pidato Pengenalan Jabatan Guru
Besar Dalam Bidang Hukum Tata Negara Pada FH.UNUD, hal. 14 .
46
Bertitik tolak dari pandangan Philipus M. Hadjon dan I Dewa Atmadja di
atas, maka untuk membahas persoalan hukum yang dikaji, akan dipergunakan
penafsiran otentik dan penafsiran gramatikal. Penafsiran otentik dalam kajian ini
dimaksudkan adalah penafsiran yang didasarkan pada penafsiran yang diberikan
oleh pembentuk undang-undang, melalui penjelasan-penjelasannya dan peraturan
perundang-undangan yang lain.
Sedangkan penafsiran Gramatikal dalam kajian ini dilakukan dalam
kaitannya untuk menemukan makna atau arti aturan hukum, khususnya aturan
hukum yang berkaitan dengan Pajak Hotel.
47
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PAJAK DAERAH
2.1. Pengertian Pajak dan Pajak Daerah
Pajak merupakan sumber pendapatan yang sangat penting bagi negara
yang merupakan iuran kepada negara yang dapat dipaksakan yang terutang oleh
yang wajib membayarnya menurut peraturan perundang-undangan dengan tidak
mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya
untuk membiayai pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.54
Dalam beberapa literatur ditemukan beberapa definisi pajak menurut
pendapat beberapa sarjana, antara lain :
1. Soemohamidjojo mengatakan pajak adalah iuran wajib berupa uang
atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma
huikum, guna menutup biaya produksi barang-barang, jasa kolektif
dalam mencapai kesejahteraan umum.55
2. Rochmat Soemitro mengatakan pajak adalah iuran rakyat kepada kas
negara (peralihan kekayaan dari sektor partikelir ke sektor pemerintah)
berdasarkan undang-undang ( yang dapat dipaksakan ) dengan tiada
mendapat jasa timbal ( tegen pretatie ) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum.(publiekuitgaven) dan digunakan sebagai alat pencegah atau
pendorong untuk mencapai tujuan yang ada di luar bidang
keuangan”.56
Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-
unsur :
54
Santoso Brotodihardjo, R, 1995, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung, PT. Eresco ,
hal. 2 55
Josef Riwu Kaho, 2005, Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada,hal. 144 56
Rochmat Soemitro, 1977, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, Bandung,
PT. Eresco, hal. 22
48
a. Iuran dari rakyat kepada negara, yang berhak memungut pajak
hanyalah negara, iuran tersebut berupa uang (bukan barang).
b. Berdasarkan undang-undang, pajak dipungut berdasarkan atau dengan
kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
c. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari negara yang secara langsung
dapat ditunjuk, dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan
adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.
d. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-
pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas. 57
3. P.J.A. Adriani memberikan definisi pajak adalah iuran pada negara
(yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya
menurut peraturan-peraturan dengan tidak ada prestasi kembali yang
langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan. 58
4. Secara normatif pengertian pajak dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan
Umum Dan Tata Cara Perpajakan, disebutkan bahwa “Pajak adalah
kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan negara bagi sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Sebagai perbandingan, berikut disajikan beberapa definisi pajak dari sarjana
asing
N.J. Feldmann, dalam bukunya De overheidsmiddelen van Indonesia,
Leiden, 1949, memberikan definisi mengenai pajak adalah sebagai berikut :
Belastingen zijn aan de overhead (Volgens algemene, door haar
vastgestelde normen) verschuldigde afdwingbare pretties, waar
geentegenprestatie tegenover staat en uitsluitend dienen tot decking van publieke
uitgaven.
(Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada
penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya
kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-
pengeluaran umum). 59
57
Mardiasmo, MBA, 2008, Perpajakan edisi Revisi 2008, Yogyakarta, Penerbit Andi
Yogyakarta, hal. 1. 58
Bohari, 2002, Pengantar Hukum Pajak, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, hal. 23 59
Santoso Brotodihardjo R, op. cit, hal.4
49
M.J.H. Smeets, dalam bukunya De Economische Betekenis der
Belastingen, 1951, mendefinisi pajak sebagai berikut yaitu : “ Pajak adalah
Prestasi kepada pemerintah yang terhutang menurut norma-norma umum dan
yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukan dalam
hal individual, maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.” 60
Hampir di semua Negara kekuasaan pengenaan pajak oleh Negara secara
tegas dicantumkan dalam konstitusinya (Undang-Undang Dasar). Sebagai contoh,
di Belgia diatur dalam Pasal 170, Meksiko dalam Pasal 31, Italia dalam Pasal 23,
Prancis dalam Pasal 34, Portugal dalam Pasal 107, dan Spanyol dalam Pasal
133.61
Di Indonesia, ketentuan konstitusional pengenaan pajak oleh Negara diatur
dalam Pasal 23A UUD 1945, yang menentukan: “Pajak dan pungutan lain yang
bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”
Artinya, ada 2 (dua) macam pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara, yakni pajak dan pungutan lain (selain pajak). Frase “diatur dengan
undang-undang” menunjukan politik hukum62
pembatasan kekuasaan pemerintah
dalam mengenakan pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara,
baik pajak maupun pungutan lain (selain pajak). Sebab, diatur dengan undang-
undang bermakna adanya keterlibatan rakyat baik melalui mekanisme perwakilan
melalui Dewan Perwakilan Rakyat maupun mekanisme partisipasi publik,
60
Subiyakto Indra Kusuma, 1988, Mengenal Dasar-Dasar Perpajakan, Surabaya, Usaha
Nasional, hal. 13 61
Darussalam dan Danny Septriadi, 2006, Membatasi Kekuasaan Untuk Mengenakan
Pajak: Tinjauan Akademis terhadap Kebijakan, Hukum, dan Administrasi Pajak di Indonesia,
Grasindo, Jakarta, hal. 2. 62
Moh. Mahfud MD, 2006, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, LP3ES,
Jakarta, hal. 6 dan 15.
50
sehingga pemerintah mengenakan pungutan tersebut berdasarkan kehendaknya
sendiri.
Dari beberapa pengertian pajak tersebut di atas lebih banyak bercorak
ekonomis, yaitu adanya peralihan kekayaan dan biaya/pengeluaran negara untuk
penyelenggaraan kepentingan umum (masyarakat). Pajak sebenarnya adalah
hutang, yaitu hutang anggota masyarakat kepada masyarakat. Hutang menurut
pengertian hukum adalah perikatan (verbintenis) yang didahului dengan adanya
perjanjian, namun perikatan dalam hukum pajak tidak didasarkan atas perjanjian
tetapi atas ketentuan undang-undang.
Pajak bila dilihat dari segi hukum merupakan perikatan yang timbul
karena undang-undang yang mewajibkan seseorang yang memenuhi syarat-syarat
yang telah ditentukan oleh undang-undang (tatbestand), untuk membayar
sejumlah uang kepada negara (kas negara) yang pelaksanaannya dapat
dipaksakan, tanpa mendapatkan suatu imbalan yang secara langsung dapat
ditunjuk yang digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara (rutin
dan pembangunan) dan yang digunakan sebagai alat/sarana untuk mencapai
tujuan-tujuan negara / pemerintah di luar bidang keuangan. Tatbestand itu sendiri
artinya sebagai suatu keadaan, perbuatan maupun peristiwa yang memberikan
kedudukan hukum tertentu pada seseorang berkaitan dengan hak dan kewajiban
sehingga dapat menimbulkan hutang pajak.
51
Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka dapat ditentukan mengenai
unsur-unsur pajak, adapun unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut 63
:
1. Adanya masyarakat;
2. Adanya undang-undang yang mencerminkan adanya asas demokrasi,
perwakilan rakyat, musyawarah dan keadilan sosial;
3. Adanya pemungut pajak (penguasa);
4. Adanya subyek pajak (wajib pajak);
5. Adanya obyek pajak/Tatbestand (keadaan, perbuatan, peristiwa);
6. Adanya Surat Ketetapan Pajak (SKP), namun sifatnya fakultatif.
Berkaitan dengan unsur-unsur tersebut di atas dapat dikemukakan ciri-ciri
pajak yang membedakan antara pajak dengan pungutan lainnya yang dilakukan
oleh pemerintah. Adapun ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut 64
:
1. Merupakan peralihan kekayaan dari orang/badan ke sektor
pemerintah (baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah);
2. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan)
dalam artian bahwa pemungutan pajak harus mendapat persetujuan
dari masyarakat, mempunyai dasar hukum yang jelas, serta
pelaksanaannya dapat dipaksakan bagi setiap orang yang
melanggarnya;
3. Tanpa adanya imbalan langsung yang dapat ditunjuk (tidak ada
kontraprestasi individual);
4. Pajak diperuntukkan untuk membiayai pengeluaran
umum/pemerintah, bila dari pemasukannya masih terdapat surplus,
dipergunakan untuk membiayai publik investment;
5. Pajak dapat pula mempunyai fungsi di luar fungsi budgeter, yaitu
fungsi mengatur
Definisi pajak daerah dapat ditelusuri melalui pendapat beberapa ahli yaitu
1. Rochmat Soemitro merumuskan pajak daerah sebagai berikut :
pajak daerah adalah sebagai berikut : “Pajak lokal atau pajak daerah
adalah pajak yang dipungut oleh daerah-daerah swatantra, seperti
provinsi, kotapraja, kabupaten dan sebagainya”. 65
63
Rochmat Soemitro, 1992, Pengantar Singkat Hukum Pajak, Bandung, PT. Eresco, Cet.
Ketiga, hal. 1. 64
Santoso Brotodihardjo, op.cit, hal.7.
52
2. A. Siagian merumuskan pajak daerah sebagai berikut:
Siagian merumuskan pengertian pajak daerah adalah sebagai berikut
“Pajak daerah adalah pajak negara yang diserahkan kepada daerah dan
dinyatakan sebagai pajak daerah dengan undang-undang”. 66
3. Definisi Pajak Daerah menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana
tercantum dalam Pasal 1 angka 10:
Pajak adalah Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah
Kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk
keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
Bertitik tolak dari definisi, terdapat beberapa unsur penting dalam suatu
pajak daerah, yaitu :
1. Pajak Daerah dipungut berdasarkan Peraturan Daerah.
Pajak daerah harus ditetapkan berdasarkan peraturan daerah. Ketentuan ini
merupakan suatu hal yang mutlak karena pemungutan pajak tidak dapat
dilakukan secara sembarangan melainkan harus dengan persetujuan DPRD.
Selain itu peraturan daerah yang mendasari suatu pungutan harus diketahui dan
dipahami oleh masyarakat luas, untuk digunakan sebagai pegangan dan adanya
kepastian hukum dalam pelaksanaan suatu pungutan daerah. Hal ini merupakan
landasan berpikir mengenai keharusan pengundangan peraturan daerah dalam
lembaran daerah.
65
Josef Riwu Kaho, 2002, Prospek Otonomi Daerah Di Negara Republik Indonesia
(Identifikasi beberapa faktor yang mempengaruhi penyelenggaraannya), Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada, Cet. VI, hal. 5 66
A. Siagian, Pajak Daerah Sebagai Sumber Keuangan Daerah, Institut Ilmu
Pemerintahan Jakarta, hal. 64.
53
2. Pengenaan pajak daerah dapat dipaksakan.
Salah satu hal yang membedakan pajak dengan pungutan daerah lainnya adalah
sifat memaksa yang melekat didalamnya. Dalam memungut pajak daerah
pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk melakukan pemaksaan
agar wajib pajak/pembayar pajak memenuhi kewajiban perpajakannya. Oleh
karenja itu pajak daerah yang terutang menurut peraturan daerah dapat
dipaksakan.
3. Pembayar pajak daerah tidak memperoleh imbalan langsung
Salah satu kriteria yang membedakan antara pajak daerah dengan puingutan
daerah lainnya (seperti retribusi daerah atau sumbangan) adalah wajib pajak
sebagai pembayar pajak tidak memperoleh imbalan atau kontraprestasi
langsung secara individu atas pembayaran yang dilakukan.
4. Penerimaan pajak daerah digunakan untuk menjalankan fungsi Pemerintahan
daerah.
Salah satu instrumen yang digunakan negara untuk menjalankan fungsinya
secara baik adalah pajak daerah. Pajak daerah dipungut dengan tujuan untuk
membiayai pengadaan pelayanan publik didaerah. Disamping itu, pajak daerah
dapat juga dipungut untuk mencapai tujuan.
Dalam sistem pemerintahan negara yang membagi kekuasaan kepada
tingkat pemerintahan bawahan (pemerintah daerah) maka untuk mendanai
penyelenggaraan pemerintah, daerah juga diberikan sumber-sumber penerimaan
yang salah satunya adalah dalam bentuk pajak daerah.
54
2.2. Prinsip-Prinsip Umum Pajak Daerah
Ada beberapa prinsip umum dalam pajak dan prinsip-prinsip tersebut juga
dapat diterapkan dalam sistem pemungutan pajak daerah, yaitu :
1. Prinsip Keadilan (Equity)
Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya keseimbangan berdasarkan
kemampuan kemampuan masing-masing subjek pajak. Yang dimaksud
dengan keseimbangan atas kemampuan subjek pajak adalah hendaknya
dalam pemungutan pajak tidak ada diskriminatif diantara sesama wajib
pajak yang memiliki kemampuan yang sama. Pemungutan pajak yang
dilakukan terhadap semua subyek pajak harus sesuai dengan batas
kemampuan masing-masing, sehingga dalam prinsi equity ini setiap
masyarakat yang dengan kemampuan yang sama harus dikenai pajak yang
sama dan masyarakat yang memiliki kemampuan berbeda memberikan
kontribusi yang berbeda sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
2. Prinsip Kepastian (Certainty)
Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya kepastian, baik bagi petugas
pajak maupun semua wajib pajak dan seluruh masyarakat. Kepastian
pajak antara lain mencakup dasar hukum yang mengaturnya, kepastian
mengenai subjek pajak, kepastian mengenai objek pajak, dan kepastian
mengenai tata cara pemungutannya. Adanya kepastian akan menjamin
setiap orang untuk tidak ragu-ragu dalam menjalankan kewajiban
membayar pajak, karena segala sesuatunya diatur secara jelas.
55
3. Prinsip Kemudahan (Convenience)
Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya saat dan waktu yang tepat bagi
wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan. Pelaksanaan
pemungutan pajak sebaiknya pada saat wajib pajak menerima penghasilan
dan penghasilan yang diterima harus diatas kebutuhan pokok untuk hidup.
4. Prinsip Efisiensi (Efficiency)
Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya efisiensi pemungutan pajak,
artinya biaya yang dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan pajak
tidak boleh lebih besar dari jumlah pajak yang dipungut. Dalam prinsip
ini terkandung pengertian bahwa pemungutan pajak sebaiknya
memperhatikan mekanisme yang dapat mendatangkan pemasukan pajak
yang sebesar-besarnya dan biaya yang sekecil-kecilnya.
Prinsip-prinsip tersebut diatas seyogyanya tergambar dalam suatu
peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah sehingga
pemungutannya dapat dilakukan secara efisien dan efektif.
2.3. Fungsi Pajak Daerah
Pajak daerah mempunyai peran penting dalam pelaksanaan fungsi
negara/pemerintahan, baik dalam fungsi alokasi, distribusi, stabilisasi dan regulasi
maupun kombinasi antara keempatnya. Adapun fungsi pajak daerah dapat
dikelompokan sebagai berikut:
56
1. Fungsi Penerimaan (Budgetair)
Disebut juga fungsi fiskal, yaitu fungsi untuk mengunpulkan uang
pajak sebanyak-banyaknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada
waktunya akan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara.
Fungsi Budgetair ialah fungsi pajak sebagai alat untuk mengisi kas
negara yang digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan
pembangunan. Fungsi pajak sebagai Budgetair yang merupakan fungsi utama
pajak dan fungsi fiskal ialah suatu fungsi dimana pajak dipergunakan sebagai alat
untuk memasukan dana secara optimal ke kas Negara dan ke kas daerah (pajak
daerah) berdasarkan undang-undang perpajakan yang berlaku
Maksud dari memasukan kas secara optimal ialah sebagai berikut :
1. Jangan sampai ada wajib pajak/subyek pajak yang tidak membayar kewajiban
pajaknya.
2. Jangan sampai wajib pajak tidak melaporkan objek pajak kepada fiskus.
3. Jangan sampai ada obyek pajak dari pengamatan dan perhitungan fiskus yang
terlepas.
4. Optimalisasi pemasukan dana ke kas Negara/kas daerah (pajak daerah)
tercipta atas usaha wajib pajak dan fiskus.
5. Pajak yang dipergunakan unruk membiayai pengeluaran umum pemerintahan
dapat dipaksakan. 67
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) Pajak-
Pajak Daerah juga nampak fungsinya sebagai fungsi penerimaan/budgteair. Pajak
Daerah yang merupakan kewenangan pemerintah daerah merupakan sumber
pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan
daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
67
Adrian Sutedi, 2008, Hukum Pajak Dan Retribusi Daerah, Ghalia Indonesia, Bogor,
hal. 49.
57
Pajak daerah sebagai komponen terbesar dari Pendapatan Asli daerah
(PAD) merupakan pendapatan yang bersumber dari daerah yang bersangkutan.
Penggunaan Pendapatan Asli daerah (PAD) untuk membiayai kegiatan
pemerintahan daerah dipandang lebih fleksibel karena memberikan keleluasaan
kepada daerah dalam penggunaannya.
Fungsi yang paling utama atau disebut juga fungsi penerimaan dari
pajak adalah untuk mengisi kas negara. Fungsi budgetair dari pajak secara
sederhana dapat dikatakan bahwa pajak adalah sebagai alat pemerintah untuk
menghimpun dana dari masyarakat untuk berbagai kepentingan pembiayaan
pembangunan negara. Fungsi ini juga tercermin dalam prinsip efisiensi yang
menghendaki pemasukan yang sebesar-besarnya dengan pengeluaran yang
sekecil-kecilnya dari suatu penyelenggaraan perpajakan.
2. Fungsi Pengaturan (Regulerend)
Fungsi lain dari pajak daerah adalah untuk mengatur atau regulerend.
Dalam hal ini pajak digunakan oleh pemerintah daerah dilakukan untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan yang letaknya diluar bidang
keuangan, untuk mendorong investasi dan sebagai alat redistribusi ( mengadakan
perubahan terhadap tarif). Dalam hal ini pengenaan pajak dapat dilakukan untuk
mempengaruhi konsumsi dari barang dan jasa tertentu. Pengenaan cukai untuk
minuman beralkohol, rokok atau “sin-tax” atau “ sumptuary tax “ secara teoritis
dikenakan pada tingkat yang dapat mengurangi konsumsi. Pengurangan konsumsi
terhadap barang tersebut akan membantu konsumen menjadi lebih sehat sehingga
dapat mengurangi aliran dana ke sistem pelayanan kesehatan. Pajak ini
58
dimaksudkan untuk meningkatkan biaya produksi yang cukup untuk melarang
masyarakat membeli barang tersebut. Efektifitas penggunaan pajak tersebut
tentunya sangat tergantung pada responsifitas yang ada saat ini biasanya tidak
memadai untuk mengurangi penggunaan barang tersebut, walaupun beberapa
studi menunjukkan pajak atas rokok sangat berkaitan erat dengan penurunan
konsumsinya.
Dengan demikian pajak merupakan instrument pendapatan yang
memiliki fungsi yang luas yaitu redistribusi pendapatan, alokasi, dan insentif
kegiatan ekonomi. Kebijakan pemerintah tercermin dalam kebijakan pajak, baik
dari sisi penarikan maupun belanja pemerintah. Sebagai kebijakan yang penting
instrument kebijakan pajak seyogyanya melibatkan publik yang diwakili oleh
DPRD.68
3. Fungsi Demokrasi
Fungsi demokrasi ialah fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan
atau wujud system gortong royong termasuk kegiatan pemerintahan dan
pembangunan. Fungsi ini sering dikaitkan dengan hak seseorang untuk
mendapatkan pelayanan dari pemerintah.
4. Fungsi Distribusi
Fungsi distribusi ialah fungsi yang menekankan pada pemerataan dan
keadilan dalam masyarakat.
2.4. Perbedaan antara Pajak Daerah dengan Retribusi Daerah
Secara umum, pendapatan daerah dapat dibedakan menjadi dua, yakni: (1)
Retribusi yang dipungut dengan kompensasi layanan tertentu dan (2) Pajak yang
68
Ibid, hal. 50
59
dipungut tanpa kompensasi layanan.69
Pada retribusi daerah terdapat suatu
tegenprestatie atau pengembalian jasa yang langsung dari pihak pemerintah.70
Secara argumentum a contrario, pada pajak daerah tidak terdapat pengembalian
jasa yang langsung dari pihak pemerintah.
Unsur pengembalian jasa yang lansung dan yang tidak lansung merupakan
pembeda retribusi daerah dan pajak daerah, sebagaimana tampak pada pendapat
berikut. Pajak Daerah, di dalamnya harus pula terdapat unsur
imbalan/kontraprestasi sebagaimana halnya retribusi daerah. faktor yang
membedakan, pada pajak daerah kontraprestasi tersebut untuk masyarakat yang
lebih luas, atau setidak-tidaknya untuk sektor pajak yang bersangkutan, sedangkan
pada retribusi daerah kontraprestasinya langsung kepada pembayar retribusi.71
Artinya, setiap pembayaran pajak memberi kontribusi atas jasa-jasa pelayanan
yang diselenggarakan oleh Pemerintah, tetapi pembayarannya tidak menerima
konstraprestasi langsung yang dapat dinikmati, dan setiap pembayaran retribusi
menerima kontraprestasi langsung berupa jasa-jasa pembayaran yang telah
disediakan atau dibuat untuk itu.72
Jenis pelayanan yang membedakan dalam pengenaan pajak dan retribusi
adalah tergantung pada tipe pelayanan. Pelayanan suatu barang publik, yakni
barang/jasa yang memberi keuntungan kepada orang secara kolektif, maka
pembebanan pungutannya adalah pajak. Pelayanan suatu barang privat, yakni
69
Wahyudi Kumorotomo, 2006, Desentralisasi Fiskal: Politik PerubahanKebijakan
1974-2004, Kencana, Jakarta, hal. 125. 70
R. Soedargo, 1964, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, N.V. Eresco, Bandung,
hal.29. 71
Tjip Ismail, op. cit., hal. 56. 72
Kesit Bambang Prakosa, 2003, Pajak dan Retribusi Daerah, UII Press, Yogyakarta, hal.
35.
60
barang/jasa yang memberi keuntungan pada diri sendiri, maka pembebanan
pungutannya adalah retribusi.73
Pungutan yang bersifat memaksa untuk keperluan negara, dari segi
kewenangan pengenaannya, dibedakan menjadi dua, yakni (1) yang dikenakan
oleh Pemerintah Pusat; dan (2) yang dikenakan oleh Pemerintah Daerah. Untuk
jenis pungutan yang kedua ini telah diundangkan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-Undang ini
menentukan jenis pungutan yang bersifat memaksa menjadi pajak daerah dan
retribusi daerah, sebagai bentuk dari pungutan lain yang bersifat memaksa.
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah menentukan Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada
Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung
dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Unsur utama dari pengertian pajak daerah dalam Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi adalah kontribusi
wajib, yang berbeda dengan unsur utama dari pengertian Retribusi Daerah, yakni
pungutan Daerah. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah
pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan
orang pribadi atau Badan.
73
Ibid., hal. 36.
61
Penggunaan istilah atau tanda yang berbeda untuk menandai pajak daerah
dan retribusi daerah menunjukan: (1) retibusi daerah adalah pungutan, sedangkan
pajak daerah bukanlah pungutan; dan (2) retribusi daerah tidak bersifat memaksa,
sedangkan pajak daerah bersifat memaksa. Pembedaan ini tidak koheren dengan
karakter pungutan yang bersifat memaksa dalam Pasal 23A UUD 1945.
Berdasarkan karakter konstitusional ini, maka pemahamannya adalah:
1. Pajak Daerah (sebagai spesies pajak) adalah pungutan yang bersifat
memaksa. Pemahaman ini diperoleh dengan menafsirkan teks “Pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa”, yang maknanya pungutan yang
bersifat memaksa terdiri dari pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa. Jadi, pajak daerah adalah pungutan yang bersifat memaksa.
2. Retribusi Daerah adalah pungutan yang bersifat memaksa, yang dalam
konteks Pasal 23A UUD 1945 termasuk dalam “pungutan lain yang
bersifat memaksa”.
Pembedaan pajak daerah dan retribusi daerah yang merupakan pungutan
yang bersifat memaksa dan dipungut oleh Daerah adalah pada imbalan. Pada
pajak daerah, imbalannya tidak langsung, sedangkan pada retribusi daerah,
imbalannya langsung berupa jasa atau izin tertentu.
Sekali pun ditemukan pengertian pajak daerah tidak ada koherensi dengan
karakter yang terdapat dalam Pasal 23A UUD 1945, namun dalam rangka
pembentukan peraturan daerah pengertian tersebut tetap digunakan. Oleh karena,
pembentukan peraturan daerah pada prinsipnya adalah pelaksanaan undang-
undang.
62
Hal itu dapat dipahami dalam kerangka implementasi kebijakan publik,
yang salah satu aktivitasnya adalah interpretasi (interpretation), yakni aktivitas
menjabarkan substansi kebijakan agar menjadi rencana dan pengarahan yang
diterima dan dilaksanakan.74
Dapat dipahami, aktivitas interpretasi dalam
implementasi kebijakan publik adalah menjabarkan sebuah kebijakan publik yang
masih bersifat umum ke dalam kebijakan publik yang lebih operasional, atau
pembuatan kebijakan pelaksanaan. Pembuatan kebijakan publik, termasuk
kebijakan pelaksanaan, dalam bentuknya yang positif hakekatnya merupakan
perumusan norma hukum ke dalam aturan hukum.75
Dalam konteks ini, kebijakan
pelaksanaan dari kebijakan pajak daerah yang dituangkan dalam UU PDRD 2009
tersebut adalah Peraturan Daerah, yang memuat norma hukum yang mengikat
secara umum. Pajak daerah adalah pajak yang ditetapkan serta dipungut oleh
pemerintah daerah (daerah otonom) provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan atas
kewenangan yang dimiliki.
Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 menyebutkan
pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah “Kontribusi wajib kepada
Daerah yang terutang oleh orang yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan dipergunakan
untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pajak daerah adalah pajak
negara yang diserahkan kepada daerah otonom untuk dipungut berdasarkan
74
Charles O. Jones, 1991, Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy), terjemahan,
Rajawali Pers, Jakarta, hal. 296. 75
Marhaendra Wija Atmaja, op. cit . 2-4.
63
peraturan perundang-undangan yang dipergunakan guna membiayai pengeluaran-
pengeluaran daerah, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran pembangunan.
Berdasarkan pengertian pajak daerah tersebut di atas, maka dapat diuraikan ciri-
ciri dari pajak daerah sebagai berikut :
1. Pajak daerah berasal dari pajak negara yang diserahkan kepada
daerah sebagai pajak;
2. Penyerahan berdasarkan undang-undang;
3. Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan undang-
undang dan/ peraturan hukum lainnya;
4. Hasil pemungutan pajak daerah dipergunakan untuk membiayai
penyelenggaraan urusan-urusan rumah tangga daerah atau untuk
membiayai pengeluaran daerah sebagai badan hukum publik. 76
Retribusi Daerah, dibandingkan dengan pajak daerah, maka pada retribusi
daerah terdapat suatu tegenprestatie atau pengembalian jasa yang langsung dari
pihak pemerintah.77
Jenis pelayanan yang membedakan dalam pengenaan pajak dan retribusi
adalah tergantung pada tipe pelayanan. Pelayanan suatu barang publik, yakni
barang / jasa yang memberi keuntungan kepada orang secara kolektif, maka
pembebanan pungutannya adalah pajak. Pelayanan suatu barang privat, yakni
barang / jasa yang memberi keuntungan pada diri sendiri, maka pembebanan
pungutannya adalah retribusi. 78
Unsur pengembalian jasa yang langsung dan tidak langsung sebagai
pembeda retribusi daerah dan pajak daerah, sebagaimana tampak pada pendapat
berikut. Pajak Daerah di dalamnya harus pula terdapat unsur imbalan/
kontraprestasi sebagaimana halnya retribusi daerah. Perbedaan imbalan/
76
Marhaendra Wija Atmaja, Ibid, hal.131. 77
Soedargo. R, 1964, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Bandung, N.V. Eresco,
hal.29 78
Ibid, hal. 36
64
kontraprestasi keduanya adalah bahwa pada pajak daerah kontraprestasi tersebut
untuk masyarakat yang lebih luas, atau setidak-tidaknya untuk sektor pajak yang
bersangkutan, sedangkan kontraprestasinya langsung kepada pembayar
retribusi.79
Menurut Kesit Bambang Prakosa, mengatakan bahwa:
Setiap pembayaran pajak memberi kontribusi atas jasa-jasa pelayanan
yang diselenggarakan oleh Pemerintah, tetapi pembayarannya tidak menerima
kontraprestasi langsung yang dapat dinikmati, setiap pembayaran retribusi
menerima kontraprestasi langsung berupa jasa-jasa pembayaran yang telah
disediakan atau dibuat untuk itu .80
2.5. Objek, Subjek, dan Wajib Pajak Hotel
Dalam Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah secara tegas disebutkan tentang Objek, Subjek dan Wajib Pajak Hotel
Ketentuan mengenai Obyek, Subjek dan Wajib Pajak hotel tersebut diatur dalam
Pasal 32 dan Pasal 33 yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 32 berbunyi :
(1) Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang sediakan oleh hotel dengan
pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang
sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas
olahraga dan hiburan.
(2) Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas
telepon, Faxsimile, teleks, internet, fotocopy, pelayanan cuci, setrika,
transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola
hotel.
(3) Tidak termasuk objek hotel sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah :
a. jasa tempat tinggal asrama yang diseleneggarakan oleh Pemerintah
atau Pemerintah Daerah;
79
Tjip Ismail, op. cit, hal. 56 80
Kesit Bambang Prakosa, op. cit hal.37
65
b. jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo,
panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;dan
e. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan
oleh hotel yang dimanfaatkan oleh umum.
Pasal 33 berbunyi
(1) Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau badan yang melakukan
pembayaran kepada orang pribadi atau badan yang mengusahakan
hotel.
(2) Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau badan yang
mengusahakan hotel.
Pada Pajak Hotel yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau
badan yang melakukan pembayaran atas pelayanan hotel. Secara sederhana yang
menjadi subjek adalah konsumen yang menikmati dan membayar pelayanan yang
diberikan oleh pengusaha hotel. Sementara yang menjadi wajib pajak adalah
pengusaha hotel yaitu orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam
lingkungan perusahaan atau pekerjaannya melakukan usaha dibidang penginapan.
Dengan demikian subjek pajak dan wajib pajak pada Pajak Hotel tidak sama.
Konsumen yang menikmati pelayanan hotel merupakan subjek pajak yang
membayar (menanggung) pajak sedangkan pengusaha hotel bertindak sebagai
wajib pajak yang diberi kewenangan untuk memungut pajak dari konsumen
(subjek pajak) dan melaksanakan kewajiban perpajakan lainnya.
66
BAB III
PENGATURAN PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL DENGAN
SISTEM ON LINE DI KOTA DENPASAR
3.1. Dasar Hukum Pemungutan Pajak Hotel Dengan Sistem On Line
Satjipto Rahardjo dengan mendasarkan pada pandangan Gustav Radbruch
mengungkapkan, bahwa validitas adalah kesahan berlaku hukum serta kaitannya
dengan nilai-nilai dasar dari hukum. Bahwasanya hukum itu dituntut untuk
memenuhi berbagai karya dan oleh Radbruch disebut sebagai nilai-nilai dasar dari
hukum, yakni keadilan, kegunaan (zweckmaszigkeit), dan kepastian hukum.81
Satjipto Rahardjo menguraikan timbulnya masing-masing nilai-nilai dasar
dari hukum itu. Pertama, hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma
berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan pencerminan dari
kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan ke
mana harus diarahkan. Oleh karena itu, pertama-tama hukum itu mengandung
rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan.
Ide-ide ini adalah ide mengenai keadilan. Kedua, hukum yang sengaja dibuat itu
mengikatkan diri kepada masyarakat sebagai basis sosialnya. Ini berarti, bahwa ia
harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan anggota-anggota masyarakat
serta memberikan pelayanan kepadanya. Inilah yang dimaksud dengan kegunaan
sebagai salah satu nilai-nilai dasar dari hukum. Ketiga, masyarakat tidak hanya
ingin keadilan diciptakan dalam masyarakat dan kepentingan-kepentingannya
dilayani oleh hukum, melainkan juga menginginkan agar dalam masyarakat
81Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal.19.
67
terdapat peraturan yang menjamin kepastian dalam hubungan-hubungan mereka
satu sama lain.82
Gagasan hukum dari Gustav Radbruch tersebut diuraikan pula oleh
W. Friedmann. Gagasan hukum sebagai gagasan kultural tidak bias formal, tetapi
harus diarahkan kepada cita-cita hukum, yakni keadilan. Tetapi, keadilan sebagai
suatu cita adalah yang sama harus diperlakukan sama, yang tidak sama
diperlakukan tidak sama. Untuk mengisi cita keadilan ini dengan isi yang konkret,
harus menoleh pada kegunaannya sebagai unsur kedua dari cita hukum. Kegunaan
menuntut kepastian hukum. Hukum harus pasti. Tuntutan akan keadilan dan
kepastian merupakan bagian-bagian yang tetap dari cita hukum, dan ada di luar
pertentangan-pertentangan bagi pendapat politik. Kegunaan memberi unsur
relativitas. Tetapi tidak hanya kegunaan sendiri yang relatif, hubungan antara tiga
unsur dari cita hukum itu juga relatif. Seberapa jauh kegunaan lebih kuat dari
keadilan, atau kepastian lebih penting dari kegunaan, merupakan masalah yang
harus diputuskan oleh sistem politik masing-masing.83
Masalah ini biasanya
dibicarakan dalam hubungannya dengan kesahan berlaku hukum.
Validitas norma hukum dari Radbruch, sebagaimana dipaparkan baik oleh
Satjipto Rahardjo maupun W. Friedman, adalah dalam pengertian kualitas hukum
atau dunia seharusnya” (das sollen). Pada intinya, pandangan ini adalah bahwa
hukum didasarkan pada keberlakuan filsafati supaya hukum mencerminkan nilai
keadilan, didasarkan pada keberlakuan sosiologis supaya hukum mencerminkan
82
Satjipto Rahardjo, Ibid., hal. 18-19. 83
W. Friedmann, Teori & Filsafat Hukum: Idealisme Filosofis & Problema Keadilan
(Susunan II), 1990, diterjemahkan oleh Mohamad Arifin (dari judul asli: Legal Theory), Penerbit
CV Rajawali. Jakarta, hal. 43.
68
nilai kegunaan, dan didasarkan pada keberlakuan yuridis supaya hukum
mencerminkan nilai kepastian hukum.
Senada dengan pandangan tersebut, Bagir Manan mengemukakan, agar
hukum ditaati, maka hukum harus mempunyai dasar-dasar berlaku yang baik.
Biasanya ada tiga dasar agar hukum mempunyai kekuatan berlaku secara baik,
yaitu mempunyai dasar yuridis, sosiologis, dan filosofis. Dengan demikian
peraturan perundang-undangan sah secara hukum (legal validity) dan berlaku
efektif karena dapat atau akan diterima masyarakat secra wajar dan berlaku untuk
waktu yang panjang. 84
Selanjutnya dikemukakan, dasar berlaku secara yuridis (juridische
gelding) mengandung makna: 1) keharusan adanya kewenangan dari pembuat
peraturan perundang-undangan, dengan perkataan lain, setiap peraturan
perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. 2)
keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan
dengan materi yang diatur, terutama yang diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi atau sederajat. 3) keharusan tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya. dan 4) keharusan mengikuti tata cara tertentu dalam
pembentukannya. Dasar berlaku secara sosiologis (sociologische gelding) berarti
mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan itu dapat
berupa kebutuhan atau tuntutan atau masalah-masalah yang dihadapi yang
memerlukan penyelesaian. Dengan dasar sosiologis ini diharapkan peraturan
84
Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Penerbit Ind-
Hill.Co, Jakarta, , hal. 14-17.
69
perundang-undangan akan diterima oleh masyarakat, sehingga tidak banyak
memerlukan pengerahan institusional untuk melaksanakannya. Dasar berlaku
secara filosofis (filosofiische gelding) berarti mencerminkan nilai yang terdapat
dalam cita hukum (rechtsidee), baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai
maupun sarana mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat.
Jimly Asshiddiqie mengemukakan adanya 5 (lima) landasan keberlakuan,
yakni landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan politis, landasan yuridis,
dan landasan administratif. Berikut dikemukan pengertian landasan filosofis,
landasan sosiologis, dan landasan yuridis. Pertama, landasan filosofis harus
mencerminkan cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat dan bernegara hendak
diarahkan atau nilai-nilai filosofis yang dianut negara. Kedua, landasan sosiologis
harus mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum
yang sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Ketiga, landasan yuridis
terpenuhi apabila suatu norma hukum ditetapkan berdasarkan norma yang lebih
tinggi, ditetapkan menurut prosedur yang berlaku oleh lembaga yang
berwenang.85
Makna “sosiologis” dalam pengertian validitas sosiologis adalah
untuk mendapatkan data mengenai kebutuhan hukum masyarakat, sehingga
peraturan perundang-undangan yang hendak dibuat memenuhi nilai kegunaan.
Pengaturan Pajak Hotel mendasarkan pada tiga landasan keabsahan, yakni
filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Landasan Filosofis yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
85
Jimly Asshiddiqie, 2006, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, hal.170-
172.
70
Indonesia Tahun 1945, bertujuan untuk memberikan pengayoman dan memajukan
kesejahteraan masyarakat dalam rangka mewujudkan tata kehidupan bangsa yang
aman, tertib, sejahtera, dan berkeadilan.
Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 ditentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi
atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah
kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah. Masing-masing pemerintahan daerah itu mengatur dan
mengurus sendiri pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
Otonomi dimaksud adalah otonomi seluas-luasnya.
Ketentuan konstitusional tersebut dilaksanakan dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah
beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Berlakunya Undang-Undang ini, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah
dilakukan dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai dengan
pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan
sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Pajak daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang
penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dalam rangka
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu
71
dilakukan perluasan objek pajak daerah dan pemberian diskresi dalam penetapan
tarif. Kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan
prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan
akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditegaskan, landasan filosofis pengaturan
Pajak Hotel adalah bahwa Pajak Hotel merupakan sumber pendapatan daerah
yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah dan
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, sehingga perlu pengaturan Pajak
Hotel berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta
masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah.
Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel berdasarkan prinsip demokrasi,
pemerataan dan keadilan, peranserta masyarakat, dan akuntabilitas. Adapun
tujuan pembentukan Peraturan Daerah ini adalah sebagai landasan hukum
pemungutan Pajak Hotel, yang merupakan salah satu sumber pendapatan Kota
Denpasar yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan pemerintahan
daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat di Kota Denpasar.
Landasan Yuridis yaitu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, yakni Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5),
penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas
daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten
dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
72
Pengaturan perpajakan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 terdapat dalam Pasal 23A, yang menegaskan Pajak dan
pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
undang-undang.
Ketentuan-ketentuan konstitusional tersebut menegaskan, bahwa
pemungutan Pajak Daerah harus didasarkan pada Undang-Undang yaitu Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Jenis Pajak kabupaten/kota yang diatur dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retrbusi Daerah terdiri
dari:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;dan
k. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah menegaskan di dalam Pasal 95 ayat (1), pajak daerah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah. Selanjutnya dalam Pasal 95 ayat (3) ditentukan Peraturan
Daerah tentang Pajak paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
a. nama, objek, dan Subjek Pajak;
b. dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
c. wilayah pemungutan;
73
d. Masa Pajak;
e. penetapan;
f. tata cara pembayaran dan penagihan;
g. kedaluwarsa;
h. sanksi administratif; dan
i. tanggal mulai berlakunya.
Berikutnya dalam 95 ayat (4) ditentukan Peraturan Daerah tentang Pajak
dapat juga mengatur ketentuan mengenai:
a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal
tertentu atas pokok pajak dan/atau sanksinya;
b. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa; dan/atau
c. asas timbal balik, berupa pemberian pengurangan, keringanan, dan
pembebasan pajak kepada kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara
asing sesuai dengan kelaziman internasional.
Uraian tersebut menegaskan landasan yuridis pengaturan Pajak Hotel adalah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Dalam Pasal 158 ayat (1), Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang
74
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditentukan Pajak Daerah
ditetapkan dengan Undang-Undang yang pelaksanaannya di daerah diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Daerah.
Sebagai tindak lanjut dari ketentuan amanat Pasal 95 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 13, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) tersebut, Pemerintah Kota
Denpasar telah menetapkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun
2011 tentang Pajak Hotel, sebagai dasar pemungutan pajak hotel di Kota
Denpasar.
Tujuan dibentuknya Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel dapat dilihat
dalam konsidran menimbang Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun
2011 tentang Pajak Hotel, adapun tujuannya adalah sebagai berikut:
1. Memberikan kepastian bagi masyarakat mengenai siapa dan apa yang
dikenakan pajak, dan berapa besaran yang harus dibayar dan bagaimana
cara membayarnya.
2. Memperkuat dasar hukum bagi Pemerintah Kota Denpasar melakukan
pungutan Pajak Hotel, sehingga Pajak Hotel dapat menjadi sumber
pendapatan asli daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan
pemerintahan daerah dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat,
sehingga perlu pengaturan berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan,
peranserta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan
potensi daerah.
75
Tujuan pemungutan pajak sebagai sumber pendapatan asli daerah atau
menambah kas daerah secara teoritik dapat dibenarkan. Ini terkait dengan teori
tentang fungsi pajak, yang dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua), yakni fungsi
penerimaan (bubgetair) dan fungsi pengaturan (regulerend). Fungsi Penerimaan
adalah pajak sebagai instrumen untuk mengisi kas Negara yang digunakan untuk
membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan. Fungsi Pengaturan adalah
pajak digunakan sebagai instrumen untuk mencapai tujuan tertentu.86
Misalnya
pajak rokok dimaksudkan untuk mengurangi konsumsi rokok, sehingga konsumen
dapat hidup sehat.87
Pengaturan Pajak Hotel dengan Peraturan Daerah dilakukan oleh Walikota
Denpasar dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Denpasar.
Rancangan dapat berasal dari Walikota atau dari DPRD, dalam hal ini rancangan
berasal dari Walikota.
Pungutan pajak daerah, termasuk Pajak Hotel harus dengan Peraturan
Daerah. Adapun materi pokok yang diatur dengan Peraturan Daerah tentang Pajak
Hotel mengacu pada Pasal 95 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah.
Dengan dibentuknya Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel harus
memperhatikan beberapa aspek, yaitu: aspek filosofis, aspek sosiologis, dan aspek
yuridis.
86
Anggito Abimanyu, et.al., 2005, Evaluasi Pelaksanaan UU Nomor 34 Tahun 2000
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pusat Pengkajian Ekonomi dan Keuangan Badan
Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional Departemen Keuangan RI, Jakarta,
hlm. 34. 87
H. Mustaqiem, 2008, Pajak Daerah dalam Transisi Otonomi Daerah, UII Press,
Yogyakarta ,hal. 55-70.
76
Aspek filosofis, yakni ada jaminan keadilan dalam pengenaan Pajak Hotel
adanya jaminan kepastian dalam pengenaan Pajak Hotel, aspek yuridis yakni
materi/substansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan
umum dan aspek sosiologis yakni pengaturan Pajak Hotel memang dapat
memberikan manfaat, baik bagi Pemerintah Kota Denpasar maupun bagi
masyarakat.
Selain itu, pembentukan Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel sebagai
salah satu jenis peraturan perundang-undangan harus memperhatikan asas-asas:
Kedayagunaan dan kehasilgunaan. Asas ini dapat diwujudkan sepanjang
pengaturan Pajak Hotel memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam
mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan benegara. Salah satu indikasi
pengaturan Pajak Hotel memang benar-benar dibutuhkan adalah adanya wajib
Pajak Hotel sebagaimana telah dikemukakan dalam kondisi eksisting di atas.
Kejelasan rumusan. Asas ini dapat terwujud dengan pembentukan
Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel sesuai persyaratan teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi,
serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Singkatnya,
rumusan aturan hukum dalam Peraturan Daerah tentang Hotel yang menjamin
kepastian.
Keterbukaan. Proses pembentukan Peraturan Daerah ini harus menjamin
partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin haknya untuk
77
memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta kewajiban Pemerintah
Kota untuk menjamin masukan tersebut telah dipertimbangkan relevansinya.
Untuk terselenggaranya partisipasi masyarakat itu, maka terlebih dahulu
Pemerintah Kota memberikan informasi tentang proses pembentukan Peraturan
Daerah bersangkutan.
Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga masyarakat tanpa kecuali. Tuntutan
keadilan mempunyai dua arti. Dalam arti formal keadilan menuntut bahwa hukum
berlaku umum. Dalam arti materiil dituntut agar hukum sesuai dengan cita-cita
keadilan dalam masyarakat.88
Demikian pula dalam penyusunan norma hukum
Pajak Hotel adalah dimaksudkan untuk berlaku umum (untuk setiap wajib pajak
dan dikenakan untuk setiap objek pajak). Agar mendapatkan rumusan norma
hukum Pajak Hotel yang sesuai dengan aspirasi keadilan yang berkembang dalam
masyarakat, maka harus diadakan konsultasi publik.
Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. Berdasarkan asas
ini materi muatan Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel tidak berisi ketentuan-
ketentuan yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain
agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Inti dari kesamaan adalah
keadilan, yang menjamin perlakuan yang sama, sesuai hak dan kewajibannya.89
Peraturan Daerah tentang Pajak Hotel dapat menimbulkan ketertiban
dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum. Jaminan kepastian
hukum mempunyai dua arti. Pertama, kepastian hukum dalam arti kepastian
88
Franz Magnis-Suseno, 1987, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Moden, Gramedia, Jakarta, hal. 81. 89
Ibid., hal. 116.
78
pelaksanaannya, yakni bahwa hukum yang diundangkan dilaksanakan dengan
pasti oleh negara. Kedua, kepastian hukum dalam arti kepastian orientasi, yakni
hukum harus sedemikian jelas sehingga masyarakat dan pemerintah serta hakim
dapat berpedoman padanya. Masing-masing pihak dapat mengetahui tentang hak
dan kewajibannya.90
Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan kepastian hukum
adalah kepastian hukum dalam arti kepastian orientasi. Ini berarti yakni norma
hukum Pajak Hotel harus sedemikian jelas sehingga masyarakat dan pemerintah
serta hakim dapat berpedoman padanya. Terutama masyarakat dapat dengan jelas
mengetahui hak dan kewajiban dalam kaitannya dengan Pajak Hotel. Termasuk di
sini, adalah norma hukum pajak dan sanksinya atas pelanggarannya tidak boleh
berlaku surut.
Dalam konteks penyusunan norma hukum Pajak Hotel harus ada
keseimbangan beban dan manfaat, atau, kewajiban membayar pajak dengan hak
yang didapatkannya dengan membayar pajak. Juga harus ada keseimbangan
antara sanksi antara aparatur dan wajib pajak ketika melakukan kelalaian atau
pelanggaran.91
Mengenai asas-asas materiil yang lain, sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dalam pengaturan tentang Pajak Hotel berkaitan dengan
kriteria umum tentang perpajakan daerah, yakni:
90
Ibid., hal. 79-80. 91
H. Lauddin Marsuni, 2006, Hukum dan Kebijakan Perpajakan Di Indonesia, UII Press,
Yogyakarta, hal. 113.
79
1. prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastik, artinya dapat
mudah naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan
masyarakat.
2. adil dan merata secara vertikal artinya sesuai dengan tingkatan
kelompok masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap
anggota kelompok masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.
3. administrasi yang fleksibel artinya sederhana, mudah dihitung,
pelayanan memuaskan bagi wajib pajak.
4. secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul
motivasi dan kesadaran pribadi untuk membayar pajak.
5. non-distorsi terhadap perekonomian, implikasi pajak atau pungutan
yang hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap
perekonomian. Jangan sampai suatu pajak atau pungutan menimbulkan
beban tambahan yang berlebihan, sehingga akan menimbulkan
kerugian pada masyarakat.92
Selain itu, berkaitan dengan prinsip yang diperkenalkan oleh Adam Smith
sebagai “The Four Maxims” untuk dipertimbangkan dalam merumuskan suatu
kebijakan perpajakan, temasuk Pajak Hotel yakni:
1. Prinsip keadilan (Equty). Dalam prinsip ini ditekankan pentingnya
keseimbangan berdasarkan kemampuan masing-masing subjek pajak,
yakni dalam pemungutan pajak tidak ada diskriminasi di antara
sesame wajib pajak yang memiliki kemampuan yang sama.
92
Tjip Ismail, “Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam Rangka
Pelaksanaan Otonomi Daerah”, dalam Orpha Jane, et.al., eds., Prosiding Workshop Internasional
Implementasi Desentralisasi Fiskal sebagai Upaya Memberdayakan Daerah dalam Membiayai
Pembangunan Daerah, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Katolik Parahyangan,
Bandung, 2002, hal. 115-143.
80
2. Prinsip kepastian (Certainty). Dalam prinsip ini ditekankan
pentingnya kepastian, baik bagi petugas pajak maupun semua wajib
pajak dan seluruh masyarakat, antara lain mencakup dasar hukum
yang mengaturnya, kepastian mengenai subjek pajak, kepastian
mengenai objek pajak, dan kepastian mengenai tata cara
pemungutannya.
3. Prinsip kemudahan (Convenience). Dalam prinsip ini ditekankan
pentingnya saat dan waktu yang tepat bagi wajib pajak dalam
memenuhi kewajiban perpajakannya. Pelaksanaan pemungutan pajak
sebaiknya pada saat wajib pajak menerima penghasilan dan
penghasilan yang diterimanya di atas kebutuhan pokok untuk hidup.
4. Prinsip efisiensi (Efficiency). Dalam prinsip ini ditekankan
pentingnya efisiensi pemungutan pajak, artinya biaya yang
dikeluarkan dalam melaksanakan pemungutan pajak tidak boleh lebih
besar dari jumlah pajak yang dipungut.93
Dasar hukum pemungutan Pajak hotel merujuk pada ketentuan Pasal 2
ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yang menyatakan bahwa :
(2) Jenis Pajak Kabupaten/Kota terdiri atas:
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran:
c. Pajak Hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. Pajak Penerangan Jalan;
f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
g. Pajak Parkir;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan;
k. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Disamping itu dasar hukum yang dipakai adalah ketentuan Pasal 95
ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yang menyebutkan Pajak Daerah ditetapkan dengan Peraturan
Daerah. Sedangkan Dasar hukum pemungutan Pajak hotel dengan sistem
93
Tim Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, t.t.,Pedoman Nasional Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Departemen Keungan RI, Jakarta
hal. 13-14.
81
online di Kota Denpasar dilaksanakan berdasarkan Peraturan Daerah Kota
Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel.
Seperti yang telah ditentukan dalam ketentuan Pasal 14 ayat (4)
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel, harus
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota. Namun sampai saat ini Peraturan
Walikota yang berkaitan dengan tata cara pembayaran, penyetoran, tempat
pembayaran, angsuran, dan penundaan pembayaran pajak belum diterbitkan.
Peraturan Walikota ini diperlukan sebagai dasar hukum dalam melakukan teknis
pemungutan pajak hotel.
Ada dua cara untuk merumuskan teknis pemungutan pajak hotel
secara online, yaitu dapat dirumuskan langsung dalam Peraturan Walikota atau
dirumuskan bahwa teknis pemungutan pajak hotel dapat dikerjasamakan dengan
pihak ketiga.
Dari kedua cara diatas jika pemungutan pajak hotel dengan sistem
online dirumuskan langsung dalam Peraturan Walikota, maka Pemerintah Kota
Denpasar harus menyediakan sarana dan prasarana terkait dengan teknis
pemungutan pajak hotel dengan sistem online. Apabila terjadi perubahan sistem
pemungutan pajak maka Peraturan Walikota juga harus diubah.
Sedangkan kalau pemungutan pajak hotel dengan sistem online
dirumuskan dengan cara dikerjasamakan dengan Pihak Ketiga maka tidak ada
kewajiban bagi Pemerintah Kota Denpasar untuk menyediakan sarana dan
prasarana terkait dengan teknis pemungutan pajak hotel secara online karena
sudah disediakan oleh Pihak Ketiga. Apabila terjadi perubahan sistem
82
pemungutan pajak maka tidak perlu mengubah Peraturan Walikota, karena yang
perlu diubah hanyalah Perjanjian Kerjasama dengan Pihak Ketiga yang berkaitan
dengan sistem pemungutan pajak hotel.
Dari kedua cara diatas setelah dilakukan analisis, lebih efektif bagi
Pemerintah Kota Denpasar merumuskan teknis pemungutan pajak hotel
dikerjasamakan dengan Pihak Ketiga. Dengan argumentasi bahwa Pemerintah
Kota Denpasar tidak mempunyai kewajiban untuk memikul beban perangkat
lunak dan peranghkat keras yang berkaitan teknis pemungutan pajak hotel secara
online.
3.2. Pengaturan Pemungutan Pajak Hotel dengan sistem Online.
Berdasarkan penelusuran beberapa kajian literatur pengaturan pemungutan
pajak hotel dengan sisten online sejalan dengan prinsip E-Government.
E-Government merupakan penggunaan internet yang dimaksudkan untuk
melaksanakan urusan pemerintahan dan penyediaan pelayanan publik yang lebih
baik, cepat, dan tepat sehingga pada hakikatnya adalah suatu cara yang
berorientasi pada pelayanan masyarakat. Dengan demikian, mengenai tujuan yang
ingin dicapai dari implementasi E-Government adalah untuk menciptakan
customer online dan memberikan pelayanan tanpa adanya intervensi pegawai
institusi publik. Selain itu E-Government juga bertujuan untuk mendukung good
governance, dengan mempermudah masyarakat dalam mengakses informasi, serta
mengurangi korupsi dengan cara meningkatkan transparansi dan akuntabilitas
lembaga publik. E-Government diharapkan dapat memperluas partisipasi publik
dengan memungkinkan masyarakat terlibat aktif dalam pengambilan
83
keputusan/kebijakan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah. E-Government
juga diharapkan dapat memperbaiki produktifitas dan efisiensi birokrasi serta
meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Dengan demikian,
E-Government berupaya menciptakan interaksi yang ramah, nyaman, transparan,
dan murah antara pemerintah dan masyarakat, pemerintah dan perusahaan bisnis,
serta antar pemerintah itu sendiri.
Di Indonesia, E-Government telah diperkenalkan melalui Instruksi
Presiden Nomor 6 Tahun 2001 tanggal 24 April 2001 tentang Telematika
(Telekomunikasi, Media dan Informatika) jo. Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun
2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government
yang menyatakan bahwa aparat pemerintah harus menggunakan teknologi
telematika untuk mendukung good governance dan mempercepat proses
demokrasi. E-Government wajib diperkenalkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan termasuk juga dalam pemerintahan daerah. Kebijakan seperti itu
dikembangkan tidak terlepas dari keunggulan E-Government yang mampu
menyediakan pelayanan melalui internet, seperti di bidang perpajakan berupa
penyediaan informasi, interaksi satu arah, dan interaksi dua arah antar para pihak
Pemerintah dengan wajib pajak, Interaksi satu arah, antara lain dapat berupa
fasilitas men-download formulir yang dibutuhkan dalam kegiatan perpajakan.
Sementara itu, pemrosesan/pengumpulan formulir di bidang informasi perpajakan
secara online merupakan contoh interaksi dua arah.
Keunggulan yang ditawarkan oleh E-Government tersebut juga telah
mendorong amendemen Paket UU Perpajakan 2000 yang terdiri dari UU
84
Ketentuan Umum Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), dan UU Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) disertai dengan penggunaan sistem teknologi informasi.
Sebagai contoh dapat disimak ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 6 ayat (2) UU
No. 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menetapkan :
(1) Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar,
lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf
Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta
menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak.
(1a) Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing
dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat
Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan
satuan mata uang selain Rupiah yang diizinkan, yang
pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
(1b) Penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda
tangan elektronik atau digital, yang semuanya mempunyai
kekuatan hukum yang sama, yang tata cara pelaksanaannya diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a)
mengambil sendiri Surat Pemberitahuan di tempat yang ditetapkan oleh
Direktur Jenderal Pajak atau mengambil dengan cara lain yang tata cara
pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan.
Pada bagian penjelasan Pasal 3 ayat (1) dinyatakan bahwa pengertian
dari “mengisi Surat Pemberitahuan” adalah mengisi formulir Surat
Pemberitahuan dalam bentuk kertas dan/atau dalam bentuk elektronik, dengan
benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan petunjuk pengisian yang diberikan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Selanjutnya
85
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan menetapkan bahwa “Penyampaian Surat Pemberitahuan
dapat dikirimkan melalui pos dengan tanda bukti pengiriman surat atau dengan
cara lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan”.
Menurut penjelasan Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dikemukakan bahwa “Dalam rangka
peningkatan pelayanan kepada Wajib Pajak dan sejalan dengan perkembangan
teknologi informasi, perlu cara lain bagi Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban
menyampaikan Surat Pemberitahuannya, misalnya disampaikan secara
elektronik”. Kedua rumusan di atas menunjukkan bahwa cara elektronik
merupakan salah satu instrumen perpajakan yang dapat dikembangkan dalam
pelayanan pajak di Indonesia, tentunya termasuk juga dalam pelayanan dan
pemungutan Pajak Hotel.
Pengaturan lebih lanjut di tingkat pusat dari amanat ketetuan Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 1983 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan terkait dengan Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan di Indonesia secara elektronik dapat dijumpai pada Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 383/PJ./2002 tentang Tata Cara
Pembayaran, Setoran Pajak Melalui Sistem Pembayaran On-Line dan
Penyampaian Surat Pemberitahuan Dalam Bentuk Digital, Keputusan Direktur
86
Jenderal Pajak Nomor KEP-162/PJ/2003 tentang Pelaksanaan Sistem Monitoring
Pelaporan Pembayaran Pajak (MP3) pada Direktorat Jenderal Pajak, Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-88/PJ./2004 tentang Penyampaian SPT
secara elektronik melalui Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP), Keputusan
Direktur Jenderal Pajak No. KEP-88/PJ/2004 tentang Penyampaian Surat
Pemberitahuan Secara Elektronik dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak KEP-
05/PJ./2005 tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Secara
Elektronik (E-filling) melalui Perusahaan Penyedia Jasa Aplikasi (ASP).
Pasal 6 ayat (1), (2) dan (3) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-88/PJ./2004 menetapkan :
(1) Penyampaian Surat Pemberitahuan secara elektronik dapat dilakukan
selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu.
(2) Standar waktu yang digunakan untuk menentukan saat diterimanya Surat
Pemberitahuan secara elektronik adalah Waktu Indonesia Bagian Barat.
(3) Surat Pemberitahuan yang disampaikan secara elektronik pada akhir
batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan yang jatuh pada hari
libur, dianggap disampaikan tepat waktu.
Selanjutnya pada Pasal 1 Keputusan Direktur Jenderal Pajak KEP-
05/PJ./2005 ditegaskan mengenai pengertian dari Surat Pemberitahuan secara
elektronik pada hakikatnya adalah Surat Pemberitahuan Masa atau Surat
Pemberitahuan Tahunnan dikenal dengan E-filling yang berbentuk formulir
elektronik dalam media komputer (e-SPT). Lebih lanjut ditetapkan bahwa Surat
Pemberitahuan secara elektronik (E-filling) adalah suatu cara penyampaian Surat
Pemberitahuan yang dilakukan melalui sistem on-line yang real time. Pada pihak
lain dengan mengkaji judul peraturan pelaksanaan seperti di atas, maka
87
penghitungan, pelaporan, dan pembayaran pajak yang terutang secara on-line oleh
wajib pajak secara mandiri atau melalui jasa pihak ketiga.
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD) merupakan surat yang oleh
Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran
pajak, Obyek Pajak dan/atau bukan Obyek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban,
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
Sehubungan dengan potensi dilakukannya proses penghitungan, pelaporan, dan
pembayaran pajak daerah termasuk juga Pajak Hotel dengan sistem on-line
melalui kerjasama dengan pihak ketiga, pengaturannya dapat dijumpai pada
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 beserta penjelasannya. Ketentuan
Pasal 6 menetapkan “Pemungutan pajak tidak dapat diborongkan”. Selanjutnya
pada bagian penjelasan ditetapkan sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan tidak dapat diborongkan adalah bahwa seluruh
proses kegiatan pemungutan pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga.
Namun, dimungkinkan adanya kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka
proses pemungutan pajak, antara lain, percetakan formulir perpajakan, pengiriman
surat-surat kepada Wajib Pajak, atau penghimpunan data Obyek Pajak dan
Subyek Pajak. Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga
adalah kegiatan penghitungan besarnya pajak terutang, pengawasan penyetoran
pajak, dan penagihan pajak.
Menyimak rumusan ketentuan di atas, maka kegiatan dalam pemungutan
pajak yang dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga pada hakikatnya berkaitan
dengan penyediaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk penghitungan
besarnya pajak terutang. Sedangkan kegiatan penghitungan besarnya pajak
terutang, pengawasan penyetoran pajak, dan penagihan pajak.tidak dapat
dikerjasamakan dengan pihak ketiga. Dalam hubungannya dengan pelayanan
pajak secara online, adapun kegiatan yang menjadi ruang lingkup penyediaan
88
sarana dan prasarana antara lain berkaitan dengan pengadaan perangkat komputer,
penyediaan jaringan, maupun pembinaan sumber daya manusia pengguna
perangkat komputer bersangkutan.
Kecenderungan penyelenggaraan pemerintahan dewasa ini telah
mengalami pergeseran paradigma yaitu dari paradigma state oriented menuju
civilize oriented. Hal ini sejalan dengan derasnya tuntutan peran serta masyarakat
dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan. Gelombang demokrasi partisipatif
yang bercirikan otonomi daerah terus bergulir menuju terciptanya tatanan
kehidupan masyarakat yang lebih demokratis, transparan, akuntabel, damai, dan
sejahtera. Adalah wajar, kalau semua pemerintahan daerah dengan “otonomi
daerah“ yang dimilikinya berada dalam tekanan untuk dapat bekerja lebih baik,
efektif, efisien, ekonomis (to maximize results and minimize costs). Upaya-upaya
yang dilakukan seperti reinventing, reengineering, horizontal administration,
responsive government dan lain sebagainya adalah agar pemerintahan daerah
dapat dijalankan secara lebih efektif dan efisien.
Tantangan ini telah merubah fungsi Pemerintah Daerah dari sekedar
memberikan pelayanan rutin seadanya menjadi pelayanan masyarakat yang
terencana dengan mengutamakan mutu yang tinggi (high quality services).
Konsekuensinya, semua pemerintahan daerah berupaya untuk menggagas inisiatif
baru dalam meningkatkan standar kinerja pelayanannya agar dapat memenuhi dan
kalau bisa melebihi keinginan dan harapan masyarakat. Kesuksesan Pemerintah
Daerah dalam memberikan pelayanan publik (public services) merupakan kunci
89
utamanya, mengingat Pemerintah Daerah merupakan aparatur pemerintahan yang
bersentuhan langsung dengan masyarakat di daerah.
Pembayaran pajak daerah merupakan perwujudan dari kewajiban
kenegaraan dan peran serta wajib pajak untuk secara langsung dan bersama-sama
melaksanakan kewajiban perpajakan untuk pembiayaan pembangunan daerah.
Penggunaan uang pajak meliputi mulai dari belanja pegawai sampai dengan
pembiayaan berbagai proyek pembangunan. Pembangunan sarana umum seperti
jalan-jalan, jembatan, sekolah, rumah sakit/puskesmas, kantor polisi dibiayai
dengan menggunakan uang yang berasal dari pajak. Uang pajak juga digunakan
untuk pembiayaan dalam rangka memberikan rasa aman bagi seluruh lapisan
masyarakat. Dengan demikian jelas bahwa peranan penerimaan pajak bagi suatu
daerah menjadi sangat dominan dalam menunjang jalannya roda pemerintahan
dan pembiayaan pembangunan daerah. Disamping fungsi budgeter (fungsi
penerimaan) di atas, pajak juga melaksanakan fungsi redistribusi pendapatan dari
masyarakat yang mempunyai kemampuan ekonomi yang lebih tinggi kepada
masyarakat yang kemampuannya lebih rendah.
Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya
merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga negara untuk ikut
berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara,
pembangunan nasional, maupun pembangunan daerah. Tanggung jawab atas
kewajiban pembayaran pajak sebagai pencerminan kewajiban kenegaraan di
bidang perpajakan tersebut berada pada anggota masyarakat sendiri untuk
memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai dengan sistem self assessment
90
yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia. Sementara itu, Pemerintah dalam
hal ini perangkat Pemerintahan Daerah di bidang perpajakan, sesuai dengan
fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan/penyuluhan, pelayanan, dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan perpajakan yang sederhana, murah, cepat,
dan transparan. Hal tersebut menunjukkan sistem perpajakan yang baru dengan
menggunakan sistem elektronik (e-system) diharapkan dapat menghilangkan
persekongkolan antara wajib pajak dan petugas pajak penyampaian SPT pajak
secara elektronik. Dengan cara yang baru ini para wajib pajak akan lebih mudah
menunaikan kewajibannya. Mereka tidak perlu lagi antre di kantor-kantor
pelayanan pajak, sehingga kesan birokrasi yang rumit dan bertele-tele dapat
dihilangkan.
Melalui sistem perpajakan daerah secara online ini maka proses
perpajakan dapat lebih dipercepat, efektif, dan efisien. Sistem ini juga idealnya
mampu mencegah segala kecurangan, kebocoran, dan penyimpangan.
Dikemukakan idealnya, karena sistem itu merupakan suatu intrumen semata
sehingga keberhasilannya sangat tergantung dari mental, kesadaran, dan dedikasi
aparat Pemerintah Daerah dan Wajib Pajak Daerah itu sendiri. Dengan kata lain,
pada satu sisi perlu dibangun perilaku birokrasi yang tunduk pada sistem yang
dibangun dalam penyerahan SPT secara online yang disebut E-filling. Sedangkan
pada sisi lainnya, E-filling yang dibangun harus pula mampu meminimalisir
kecurangan-kecurangan yang terjadi dalam pelayanan perpajakan daerah.
E-filling ini pada hakikatnya sejalan dan mendukung self-assesment sistem
dalam perpajakan nasional maupun daerah yang memberikan hak kepada wajib
91
pajak menghitung, melaporkan, dan membayar sendiri pajak terutang yang
menjadi kewajibannya. Data pajak yang dimasukkan dengan E-filling benar-benar
data dari wajib pajak tanpa ada campur tangan dari pihak petugas pajak. yang
dilaksanakan dengan jujur dan sistematis akan mengurangi kontak fisik antar
fiskus dengan wajib pajak. Pemanfaatan teknologi informasi seperti E-filling
dalam bidang perpajakan daerah akan mampu mengurangi interaksi langsung
antara petugas pajak dan wajib pajak yang sering dianggap sebagai 'celah'
terjadinya praktek KKN di bidang perpajakan daerah. Sistem online yang
dikembangkan bukanlah dimaksudkan untuk mencari-cari kesalahan wajib pajak
tetapi untuk menjamin bahwa wajib pajak membayar pajak sesuai kewajibannya
dalam meningkatkan penerimaan daerah dari sektor Pajak Hotel. Namun
demikian, penerapan pola online itu tidaklah dilakukan serta merta kepada semua
wajib pajak. Penerapannya memerlukan pengkajian ilmiah lebih dalam terkait
wajib pajak yang diwajibkan lebih awal, mekanisme pelaporan, pelaksanaan
fungsi pengawasan dan pengendaliannya, sanksi hukum yang dapat diterapkan
atas pelanggaran yang terjadi, beserta payung hukum dalam mendukung sistem
online dalam pemungutan Pajak Hotel.
Pengaturan pemungutan pajak dengan sistem online dilaksanakan
berdasarkan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak
Hotel sebagai dasar hukum pemungutan pajak hotel di Kota Denpasar, Peraturan
Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel tidak memuat
tentang Ketentuan Peralihan dan secara tegas menyatakan mencabut dan tidak
berlaku Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 4 Tahun 2002 tentang Pajak
92
Hotel. Namun sampai saat ini Peraturan Walikota sebagai tindak lanjut dari
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel yang
berkaitan dengan tata cara pembayaran, penyetoran, tempat pembayaran,
angsuran, dan penundaan pembayaran pajak belum diterbitkan, sehingga dapat
dikatakan sebagai ketentuan norma kosong.
Disisi lain untuk meningkatkan pelayanan kepada wajib pajak daerah
Pemerintah Kota Denpasar melalui Dinas Pendapatan Daerah Kota Denpasar telah
melakukan Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Kota Denpasar dengan PT
Bank Pembangunan Daerah Bali ( BPD Bali)
Nomor : 415.4/02/KB/Pem/2010
0006/107/110/2012.2
tentang Pemanfaatan Layanan Jasa Perbankan Untuk Menerima Pembayaran
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Secara On Line, yang kemudian ditindak
lanjuti dengan Perjanjian Kerjasama antara Dinas Pendapatan Kota Denpasar
dengan PT Bank Pembangunan Daerah Bali ( BPD Bali)
Nomor : 973/139/DPKD/2012
0016.10.2012.2
tentang Pemanfaatan Layanan Jasa Perbankan Untuk Menerima Pembayaran
Pajak Daerah Secara On Line.
Selain itu landasan hukum yang dipakai sebagai acuan dalam perjanjian
kerjasama kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja
Sama Daerah, dimana dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007
tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah menyebutkan bahwa Obyek
93
kerja sama daerah adalah seluruh urusan pemerintahan yang telah menjadi
kewenangan daerah otonom dan dapat berupa penyediaan pelayanan publik.
3.3. Pihak-Pihak Yang Turut Serta Dalam Perjanjian Kerjasama
Pemungutan Pajak Hotel Dengan Sistem On Line.
Pihak-Pihak yang turut serta dalam Perjanjian Kerjasama Pemungutan Pajak
Hotel Dengan Sistem online di Pemerintah Kota Denpasar, yaitu :
a. PT. Bank Pembangunan Daerah Bali
Bank Pembangunan Daerah Bali didirikan pada tanggal 5 Juni 1962
dengan Akta Notaris Ida Bagus Ketut Rurus Nomor 131. Dengan diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1962 tentang Pokok Bank Pembangunan
Daerah Bali maka akta notaris tersebut dibatalkan dan selanjutnya berdasarkan
Peraturan Daerah Nomor 6/DPR.DGR/1965 Tanggal 9 Februari 1965 didirikanlah
Bank Pembangunan Daerah Bali dengan bentuk hukum Perusahaan Daerah.
Perubahan bentuk badan hukum Bank Pembangunan Daerah Bali menjadi
Perseroan Terbatas (PT) berdasarkan Akta Pendirian Nomor 7 tanggal 12 Mei
2004 yang dibuat dihadapan Ida Bagus Alit Sudiatmika, SH, Notaris di Denpasar
yang telah mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan No. C-12858HT.01.01.TH 2004
tanggal 21 Mei 2004, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia Nomor 50
tanggal 22 Juni 2004, dan telah disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan Akta Nomor 25 tanggal 8 Agustus
2008 yang dibuat oleh I Made Widiada,SH, Notaris di Denpasar yang disahkan
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI berdasarkan Surat Keputusan Nomor
94
AHU-63398.AH.01.02. Tahun 2008 tanggal 15 September 2008, Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia Nomor 81 tanggal 7 Oktober 2008; dan telah
mengalami beberapa kali perubahan dengan perubahan terakhir Akta Nomor 19
tentang Berita Acara Rapat Pemegang Saham Luar Biasa PT Bank Pembangunan
Daerah Bali tanggal 8 Mei 2012 yang dibuat oleh I Made Widiada, Sarjana
Hukum, Notaris di Denpasar.
PT. Bank Pembangunan Daerah Bali yang didirikan berdasarkan Akta
Pendirian Nomor 7 Tahun 2004 yang dibuat dihadapan Ida Bagus Alit
Sudiatmika, Sarjana Hukum, Notaris di Denpasar yang dasarnya telah diumumkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 6004 Tahun 2004 dan Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia Nomor 50 tanggal 22 Juni 2004 dan telah
disesuaikan dengan Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007
dengan Akta Nomor 25 tanggal 8 Agustus 2008 yang dibuat dihadapan I Made
Widiada, Sarjana Hukum, Notaris di Denpasar yang telah diumumkan dalam
Tambahan Berita Negara Republik Indonesia tanggal 7 Oktober 2008 Nomorn 81
dan perubahan terakhir dengan Akta Nomor 13 tanggal 7 Desember 2012 tentang
Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT. Bank Pembangunan
Daerah Bali yang dibuat oleh I Made Widiada, SH Notaris di Denpasar yang
berkedudukan di Denpasar dan berkantor di Jalan Raya Puputan, Niti Mandala
Renon, Denpasar .
Pada tahun 2004 aktivitas PT. Bank Pembangunan Daerah Bali
ditingkatkan dari Bank Umum menjadi Bank Umum Devisa berdasarkan
95
persetujuan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Nomor 6/32/KEP.DGS/2004
tanggal 11 Nopember 2004.
Untuk meningkatkan kegiatan usaha PT. Bank Pembangunan Daerah Bali
modal dasar awal pendirian adalah Rp.75.000.000.000,00 ditingkatkan menjadi
Rp. 250.000.000.000,00. Modal dasar tersebut kemudian ditingkatkan menjadi
Rp 1.000.000.000.000,00 (Satu Triliun Rupiah) dalam Rapat Umum Pemegang
Saham Luar Biasa (RUPS - LB) tahun 2004 yang dikukuhkan dengan Akta
Nomor 49 tanggal 31 Agustus 2004.
Adapun Visi dan Misi dari PT. Bank Pembangunan Daerah Bali adalah :
Visi
Menjadikan Bank Terkemuka dalam Melayani UMKM untuk Mendorong
Pertumbuhan Perekonomian Bali.
Misi
Meningkatkan Kinerja Organisasi, Daya Saing, Program Kemitraan dan
Kontribusi pada Daerah serta Kepedulian Lingkungan.
b. DINAS PENDAPATAN KOTA DENPASAR
Dinas Pendapatan Kota Denpasar dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah
Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas
Daerah Kota Denpasar yang telah diubah beberapa kali terkahir dengan Peraturan
Daerah Kota Denpasar Nomor 15 Tahun 2012 tentang Perubahan Ketiga Atas
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 7 Tahun 2008 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Dinas Daerah Kota Denpasar (Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun
2012 Nomor 15, Tambahan Lembaran Daerah Kota Denpasar Nomor 15)
96
Dinas Pendapatan Kota Denpasar merupakan salah satu Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) di Lingkungan Pemerintah Kota Denpasar, yang
mempunyai tugas pokok dan fungsi mengkoordinasikan target penerimaan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dana perimbangan yang berasal dari dana bagi
hasil pajak dan bukan pajak serta merealisasikannya bersama-sama Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) terkait lainnya sesuai dengan tahapan yang telah
ditetapkan agar dapat dipergunakan untuk membiayai rencana kegiatan yang telah
ditetapkan.
Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsi tersebut Dinas Pendapatan
Kota Denpasar berpedoman pada Visi yang telah ditetapkan yaitu menjadikan
Kemampuan Keuangan daerah Sendiri (KKDS) sebagai sumber pendanaan yang
utama dalam menunjang pembangunan Kota Denpasar yang krearif berwawasan
budaya dalam kesimbangan menuju keharmonisan.
Untuk mencapai Visi tersebut dilakukan melalaui tahapan Misi sebagai
berikut:
1. Menjaga hubungan yang positif dengan wajib pajak selaku mitra kerja
pemerintah dalam pemungutan pajak.
2. Mewujudkan penegakkan Peraturan Daerah serta sanksi hukum yang
tegas.
3. Mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat.
4. Menggali sumber-sumber pendapatan.
5. Mewujudkan Sumber Daya Manusia yang berkualitas.
97
Untuk mewujudkan Misi yang telah ditetapkan tersebut, maka
disusunlah Program-Program Strategis untuk meningkatkan Pendapatan Asli
Daerah (PAD), antara lain :
1. Peningkatan sarana prasarana seperti penataan kantor sehingga
memberi suasana sejuk untuk melayani masyarakat wajib pajak.
2. Pelatihan Sumber Daya Manusia yaitu dengan mengadakan pelatihan
akuntansi dan pelatihan lainnya untuk menunjang kompetensi
pelaksanaan tugas-tugas pelayanan.
3. Pelayanan Porporasi Bill secara gratis.
4. Pemungutan pajak dengan jemput bola.
98
BAB IV
KEDUDUKAN HUKUM PERJANJIAN KERJASAMA PEMUNGUTAN
PAJAK HOTEL DENGAN SISTEM ONLINE
4.1. Hirarkhi Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah
Salah satu tiang utama dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara
adalah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, harmonis, dan
mudah diterapkan dalam masyarakat. Sebagai suatu wacana untuk melaksanakan
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik diperlukan adanya suatu
peraturan yang dapat dijadikan pedoman dan acuan bagi para pihak yang
berhubungan dengan pembentukan peraturan Perundang-undangan baik di tingkat
pusat maupun di tingkat daerah.
Proses atau tata cara pembentukan undang-undang merupakan suatu
tahapan kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan untuk membentuk
undang-undang. Proses diawali dari prakarsa (inisiatif) mengajukan rancangan
undang-undang yang dapat berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
Presiden, maupun Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang disusun berdasarkan
program legislasi nasional (prolegnas). Rancangan undang-undang (RUU) yang
diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) adalah Rancangan undang-undang (RUU) yang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam,
perimbangan keuangan pusat dan daerah. Rancangan undang-undang (RUU) yang
diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga non
kementrian sesuai lingkup tugas dan tanggungjawabnya. Pengharmonisan,
99
pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal
dari Presiden dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan HAM Republik
Indonesia. Rancangan Undang-undang (RUU) yang telah disetujui bersama oleh
DPR dan Presiden disampaikan oleh Pimpinan DPR dalam jangka waktu paling
lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama untuk disahkan
menjadi undang-undang. Setelah disahkan menjadi Undang-undang kemudian
Undang-undang tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia. Pengundangan peraturan
perundang-undangan dimaksudkan agar setiap orang mengetahui berlakunya
peraturan perundang-undangan tersebut. Peraturan perundang-undangan yang
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia meliputi :
a. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
b. Peeraturan Pemerintah.
Pengundangan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia dilaksanakan oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia.
Sedangkan untuk pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah
dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi maupun
Kabupaten/Kota bersama Gubernur atau Bupati/Walikota yang terlebih dahulu
disusun dalam program legislasi daerah (prolegda) yang memuat rencana dan
prioritas pembentukan Peraturan Daerah untuk kurun waktu 1 tahun, prioritas
ditentukan dengan :
a. Perintah peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
b. Rencana pembangunan daerah.
100
c. Penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan.
d. Aspirasi masyarakat daerah.
Program Legislasi Daerah (prolegda) manjadi acuan bagi Satuan Kerja
Perangkat Daerah dan DPRD dalam menyiapkan ranperda. Program Legislasi
Daerah (prolegda) menghindari terjadinya ketidaksinkronan dan
ketidakharmonisan peraturan. Setelah itu tahapan yang dilakukan adalah melalui
tingkat-tingkat pembicaraan dalam rapat komisi/panitia khusus/alat kelengkapan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang khusus menangani bidang
legislasi dan rapat paripurna, sesuai dengan ketentuan peraturan tata tertib Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Peraturan Daerah yang telah ditetapkan oleh
Kepala Daerah agar memiliki kekuatan hukum dan mengikat masyarakat harus
diundangkan dalam Lembaran Daerah yang pelaksanaannya dilakukan oleh
Sekretaris Daerah. Dengan diundangkan Peraturan Daerah dalam lembaran resmi
(lembaran daerah) maka setiap orang dianggap telah mengetahui peraturan daerah
tersebut.
Peraturan perundang-undangan yang baik adalah peraturan yang mampu
memenuhi rasa keadilan dan menjamin kepastian hukum serta memenuhi harapan
dan tuntutan masyarakat (responsive). Peraturan Perundang-undangan yang baik
menurut ilmu hukum harus memenuhi syarat yuridis,sosiologis dan filosofis.
Persyaratan yuridis “juridische gelding”menurut Solly Lubis 94
berarti
kebijakan yang akan dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan harus
94
Solly Lubis,1997, Landasan dan Teknik Perundang-undangan,Alumni, Bandung
hal.19
101
mempunyai dasar hukum dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih di atasnya.
Syarat sosiologis “sociologiche gelding” sangat tergantung pada seberapa
jauh hukum itu mencerminkan kenyataan dalam kehidupan masyarakat. Syarat
filosofis menunjukkan peraturan perundang-undangan yang dibentuk sesuai
dengan pandangan atau ide atau cita-cita sewaktu membentuknya. Di Indonesia
dasar filosofis ini dapat ditemukan dalam Pancasila. Secara operasional
pendekatan yuridis, sosiologis maupun filosofis dalam merancang peraturan
perundang-undangan yang baik dapat digunakan pendekatan ROCCIPI
(Rule,Oportunity,Capacity,Communication,Interest,Process,Ideology)95
.
Dalam kaitannya dengan politik hukum dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) apabila dikaitkan dengan teori ROCCIPI dapat dianalisa dari aspek
RULE bahwa dalam kewenangan membentuk undang-undang constitutional
dalam kaitannya dengan kewenangan lembaga pembentuk undang-undang,
penentuan IA (Implementing Agency) dan penentuan RO (Rule Accupation).
Disamping itu terkait dengan perspektif normatif untuk menghindari
kemungkinan terjadinya konflik norma hukum antara peraturan perundang-
undangan yang dibuat dengan UUD NRI 1945 mapun secara horizontal
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lainnya .
Politik hukum dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dimana
kewenangan lembaga membentuk undang-undang yang diatur dalam UUD 1945
adalah DPR, Presiden, dan DPD namun dalam Nomor 12 Tahun 2011
95
Yohanes Usfunan,2004,Orasi Ilmiah : Perancangan Peraturan Perundang-undangan
Yang Baik Menciptakan Pemerinthan yang Bersih dan Demokrasi,Pidato pengukuhan Jabatan
Guru Besar UniversitasUdayana, hal. 27
102
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berwenang adalah DPR dan
Presiden. Hal tersebut menunjukkan penggunaan asas Lex Specialis Derogat Legi
Generalis dimana undang-undang / peraturan perundang-undangan yang bersifat
khusus mengenyampingkan UU/ peraturan perundang-undangan yang bersifat
umum.
Teori Stufenbau dikemukakan oleh Hans Kelsen yang mengatakan bahwa :
Norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
susunan hierarkis,dimana norma yang dibawah berlaku ,bersumber dan
berdasarkan pada norma yang lebih tinggi,norma yang lebih tinggi
berlaku,bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,demikian
seterusnya sampai pada akhirnya berhenti pada suatu norma yang tertinggi yang
disebut norma dasar Groundnorm atau Basic Right atau Fundamental norm
yang tidak dapat kita telusuri lagi siapa pembentuknya dan dari mana asalnya96
.
Maria Farida Indrati Soepraptomenjelaskan pula :
Norma-norma yang ada dan berlaku mempunyai kaitan antara norma
yang satu dengan norma yang lainnya.Hal tersebut disebabkan karena norma
yang terendah mempunyai daya laku dan bersumber pada norma yang paling
tinggi itu tidak dapat ditelusuri lagi asal dan sumbernya oleh karena telah
ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat97
.
Berdasarkan pendapat Hans Kelsen sebagaimana dikemukakan di atas
dapat mengilhami atau sebagai inspirasi dari pada penyusun Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
dimana dalam Pasal 7 menyebutkan jenis dan hierarkhis peraturan perundang-
undangan adalah sebagai berikut:
a.
b.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Ketetapan Majelis Permusywaratan Rakyat
c. Undang-undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang
96
Hans Kelsen,1995,Teori Hukum Murni,Rimdi Press,hal 126-127 97
Maria Farida Indrati Seoprapto,2004,Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar
Pembentukannya , Kanisius,Yogyakarta,hal. 9
103
d. Peraturan pemerintah..
e. Peraturan Presiden
f.
g.
Peraturan Daerah Provinsi;dan
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Segala peraturan perundang-undangan antara yang lebih rendah dengan
yang lebih tinggi tidak boleh bertentangan. Terkait dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
jika disesuaikan dengan teori “Stufenbau Des Rechat” nampak produk hukum
tersebut berada dalam tingkatan lebih rendah dari UUD NRI 1945. Oleh karena
itu bila ternyata ada Undang-Undang dan Peraturan Presiden bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka UU dan Perpres tersebut
menjadi tidak berlaku .
Untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang baik harus
memperhatikan tiga landasan yaitu landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis.
Selain ketiga landasan perundang-undangan hendaknya pembuat peraturan
perundang-undangan memperhatikan asas perundang-undangan. Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekamto merinci asas-asas perundang-undangan
sebagai berikut :
a. Undang-Undang tidak berlaku surut
b. Undang-undang yang dibuat Penguasa yang lebih tinggi mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi pula
c. Undang-Undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-
Undang yang bersifat umum ( lex specialis derogate lex generalis)
d. Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-
104
Undang yang berlaku terdahulu ( lex postiore derogate lex priori)
e. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat
f. Undang-Undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat
mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat
maupun individu,melalui pembaharuan atau pelestarian (asas
welfarestaat)98
Apabila suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat tidak memperhatikan
syarat-syarat perundang-undangan, maka peraturan perundang-undangan tersebut
akan mengalami kekurangan (gebreken). Kekurangan dalam suatu peraturan
perundang-undangan dapat menjadi sebab perundang-undangan itu tidak sah
(nietrechtsgelding).
Menurut Utrecht ,untuk menerima atau tidak suatu peraturan perundang-
undangan yang mengandung kekurangan sebagai suatu peraturan perundang-
undangan yang sah (rechtsgelding) tergantung apakah syarat yang tidak dipenuhi
itu merupakan syarat yang harus dipenuhi agar sesuatu (bestaansvoorwaarde)99
.
Menurut Hamid.S.Attamimi, peraturan perundang-undangan ( wettelijke
regels ) secara harfiah dapat diartikan peraturan yang berkaitan dengan undang-
undang baik peraturan itu berupa undang-undang sendiri maupun peraturan lebih
rendah.
Pengertian peraturan perundang-undangan berkaitan dengan pengertian
undang-undang, yang terbagi undang-undang dalam arti formal dan undang-
98
Rosjidi Ranggawijaya,1998, Pengantar Ilmu perundang-undangan, Mandar Maju
Bandung,hal 46 99
Utrecht.E,1986, Pengantar Hukum Administrasi Republik Indonesia, Pustaka Tinta Mas
Surabaya,hal 27
105
undang dalam art material, yang merupakan alih bahasa “ wet in formele zin atau
formele wet dan wet in materiele zin atau materiele wet yang dikenal di belanda.
Dikemukakan oleh A.Hamid S.Attamimi, bahwa wet in formele zin atau formele
wet berarti keputusan dalam bentuk wet ( besluit in wetsvorm ) yang ditetapkan
oleh pemerintah ( regering ) dan lembaga yang disebut Staten –General bersama-
sama, terlepas mengenai sisinya. Sedangkan wet in materiele zin atau materiele
wet berarti peraturan hukum yang berlaku umum dan mengikat rakyat, biasanya
disertai sanksi yang dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu dan menurut prosedur
tertentu pula.100
Selanjutnya tidak tepat apabila wet in formelezin diterjemahkan dengan
undang-undang dalam arti formal atau kata-kata wet in materiele zin dengan
undang-undang dalam arti material mengingat undang-undang dalam bahasa
Indonesia tidak dapat dilepas kaitannya dari konteks pengertian ketatanegaraan
Indonesia menurut UUD 1945 Apabila dilepaskan dari konteks pengertian
tersebut, maka akan timbul kerancuan mengenai pemahamannya.101
Berdasarkan uraian Hamid S.Attamimi tersebut, dua hal dapat dicermati.
Pertama, pengertian peraturan perundang-undangan sebagai terjemahan wet in
materiele zin atau materiele wet adalah peraturan hukum yang belaku umum dan
mengikat rakyat, biasanya disertai sanksi, yang dibuat oleh lembaga-lembaga
tertentu dan menurut prosedur tertentu pula. Kedua keberatan Hamid S.Attamimi
atas penerjemahan wet in materiele zin menjadi undang-undang dalam arti
material oleh karena wet in materiele zin di Belanda mempunyai arti khusus yakni
100
Hamid.S.Attamimi , Op.cit, hal. 161. 101
Ibid, hal. 199.
106
meski peraturan tetapi tidak selalu merupakan hasil bentukan regering dan Staten-
general bersama-sama, melainkan dapat juga merupakan produk pembentuk
peraturan ( regelgever ) yang lebih rendah seperti raja, mentri, provinsi,
kotamadya dan lain-lainnya. Hal yang sama terjadi juga di Indonesia, makna
Undang-undang dalam arti material “tidak selalu peraturan hasil bentukan
presiden dengan persetujuan DPR melainkan dapat juga produk dari Presiden
( tanpa persetujuan DPR ), Provinsi dan Kabupaten / Kota .
Bagir Manan mengartikan undang-undang dalam arti material adalah
setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat yang berwenang yang berisi
aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum. Inilah yang
dimaksud dengan peraturan perundang-undangan. Dari uraian ini lanjut Bagir
Manan, tidaklah begitu salah kalau orang awam mengatakan bahwa setiap aturan
tertulis yang dibuat atau dikeluarkan pejabat yang berwenang adalah undang-
undang. Hanya undang-undang di sini dalam arti material bukan dalam arti formil.
Bagir Manan memberikan pengertian peraturan perundang-undangan
adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan
yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat
secara umum.102
Yang dimaksud dengan “yang berwenang“ adalah yang
mempunyai fungsi legislative sebagaimana terungkap dalam pengertian peraturan
perundang-undangan yang dikemukakan oleh Bagir Manan dan Kuntana Magnar,
102
Bagir Manan, 1994, ” Ketentuan-Ketentuan tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan dalam Pembangunan Hukum Nasional ”, makalah disajikan pada pertemuan
ilmiah tentang kedudukan Bio Hukum / Unit Kerja Departemen/ LPND dalam Pembangnan
Hukum, diselenggarakan Badan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Jakarta, 19-20 Oktober,
hal. 1.
107
bahwa peraturan perundang-undangan adalah setiap putusan tertulis yang dibuat,
ditetapkan dan dikeluarkan oleh lembaga dan atau pejabat Negara yang
mempunyai fungsi legislative sesuai dengan tata cara yang berlaku.103
Dari pengertian peraturan perundang-undangan yang diturunkan dari
uraian Hamid.S.Attamimi menggunakan unsur-unsur yakni :
1. Peraturan hukum ;
2. Yang dibuat oleh lembaga-lembaga yang bersumber pada kekuasaan
legislatif berdasarkan kewenangan atribusi ataupun kewenangan
delegasi dari undang-undang ;
3. Yang berlaku umum dan mengikat rakyat ;
4. Biasanya disertai sanksi ;
5. Menurut prosedur tertentu pula.
Pengertian peraturan perundang-undangan secara otentik dapat ditemukan
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan Pasal 1 angka 2, bahwa peraturan perundang-undangan
adalah peraturan tertulis yang memuat norma yang mengikat secara umum dan
dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang
melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Unsur-unsur yang terdapat dalam pengertian tersebut adalah :
1. Peraturan tertulis;
2. Memuat norma dan mengikat secara umum ;
103
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, 1987, Peranan Peraturan Perundang-undangan
dalam Pembinaaan Hukum Nasional, Armico, Bandung, hal. 13.
108
3. Dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang
berwenang;
4. Prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Sebelumnya, pengertian peraturan perundang-undangan dapat ditemukan
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara sebagaimana diubah dengan UU Nomor 9 Tahun 2004, Penjelasan Pasal
1 angka 2 yakni :
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” dalam undang-
undang ini adalah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum
yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah baik
tingkat pusat maupun tingkat daerah, serta semua Keputusan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum.
Pengertian tersebut menujukkan bahwa yang diakui sebagai peraturan
perundang-undangan mencakup dan mengandung unsur-unsur :
1. Peraturan yang bersifat mengikat secara umum ;
2. Yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama
Pemerintah baik tingkat pusat maupun tingkat daerah ;
3. Keputusan yang bersifat mengikat secara umum ;
4. Yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di
tingkat pusat maupun di daerah.
Ulasan Indroharto, bahwa menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pengertian peraturan perundang-undangan
itu mencakup pengertian undang-undang dalam arti formal serta Keputusan Tata
Usaha Negara yang mengandung pengaturan yang bersifat umum. Baik peraturan
yang merupakan produk dari original legislator maupun hasil dari delegated
109
legislator serta Keputusan Tata Usaha Negara merupakan pengaturan yang
bersifat umum.104
Peraturan perundang-undangan daerah diartikan sebagai peraturan
perundang-undangan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah atau salah satu unsur
Pemerintah Daerah yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan
daerah. Peraturan Daerah merupakan salah satu jenis peraturan perundang-
undangan, maka pembentukan peraturan daerah dipahami sebagai berikut :
1. Proses pembuatan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan
bersifat umum ;
2. Dilakukan oleh dewan perwakilan Rakyat Dearah dan kepala Daerah ;
dan
3. Yang dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik
penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan dan pengundangan.
Pembentukan produk hukum dalam bahasa inggris law forming atau
rechtsvorming ( bahasa Belanda ) adalah pembentukan peraturan perundang-
undangan sebagai peraturan tertulis yang mengikat umum. Peraturan perundang-
undangan disini dimaksudkan peraturan yang dibentuk berdasarkan wewenang
legislasi yang bersifat ataribusi atau berdasarkan wewenang regulasi yang bersifat
delegasi. Wewenang regulasi dalam peraturan perundanng-undangan menurut
doktrin hukum disebut produk delegasi perundang-undangan atau delegated
legislation dalam istilah Belanda disebut delegatie van wetgeving.
104
Indroharto, Op.Cit, hal. 104-105.
110
Pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakekatnya ialah
pembentukan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan yang bersifat umum.
Norma hukum berlaku keluar berarti berlaku baik bagi jajaran pemerintahan
maupun bagi rakyat pemerintahan maupun bagi rakyat.105
Dalam kaitannya norma
hukum bersifat umum, menurut FR.Bohtlink dan J.H.A.Logeman, mengandung
pengertian berhubungan dengan ruang berlaku, yakni berlaku diseluruh wilayah,
berhubungan dengan waktu berlaku, yakni berlaku terus menerus, berhubungan
dengan subyek hukum yang terkenaan dengan norma hukum, yakni berlaku untuk
semua orang, dan berhubungan dengan fakta yang terulang.106
Kriteria yang lazim digunakan adalah dari subyek dan obyek. Dari segi
subyek ditunjukkan dengan melihat norma hukum dari segi alamat ( addressat )
atau untuk siapa norma hukum itu ditujukan atau diperuntukkan. Apabila suatu
norma hukum yang ditujukan adalah untuk orang banyak ( addressat umum ) dan
tidak tertentu disebut dengan norma hukum umum. Norma hukum yang ditujukan
untuk seseorang atau beberapa orang disebut norma hukum individual. Dari segi
obyek dalam arti hal yang diatur atau perbuatan tingkah lakunya yang diatur hal-
hal yang tertentu disebut norma hukum kongkrit sedangkan norma hukum
mengenai hal-hal yang tidak tertentu disebut norma hukum abstrak. Dari sifat-
sifat norma hukum yang umum-individual dan norma hukum yang abstrak-
konkret, terdapat empat kombinasi yakni : norma hukum umum-abstrak, norma
105
Hamid.S.Attamimi, op.cit, hal. 314-315. 106
ibid , hal. 135.
111
hukum umum-konkrit, norma hukum individual-abstrak dan norma hukum
individual-konkrit.107
Norma hukum dalam peraturan perundang-undangan mengandung norma
hukum yang umum-abstrak atau sekurang-kurangnya yang umum kongkrit,
sedangkan norma hukum yang lainnya yaitu yang individual-abstrak dan yang
invidual kongkrit lebih mendekati penetapan ( beschiking ) daripada peraturan
( regeling ). Dalam kaitannya keberlakuan suatu norma ditentukan oleh hubungan
norma-norma hukum atas dan bawahan atau pertingkatan, norma hukum yang
lebih tinggi dan norma hukum yang lebih rendah sebagaimana dikemukakan oleh
Hans Kelsen :
Kesatuan norma-norma ini ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukan
norma yang satu-yakni norma yang lebih rendah ditentukan oleh norma
lain yang lebih tinggi lagi, dan regressus ( rangkaian proses pembentukan
hukum ) ini diakhiri oleh suatu norma dasar tertinggi dari validitas
keseluruhan tatanan hukum, membentuk suatu kesatuan tatanan hukum
ini.108
Hans Nawiasky juga berpendapat bahwa selain norma itu berlapis-lapis
juga berkelompok-kelompok. Bila kelompok-kelompok tersebut dalam struktur
tata hukum Indonesia adalah :
1. Staatfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945) ;
2. Staatsgrundgezet : Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan Konvensi
ketatanegaraan ;
3. Formell gezets: Undang-Undang ;
107
Budiman.N.P.D.Sinaga, 2004, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Yogyakarta,
UII Press, hal. 7-13. 108
Hans Kelsen, 2006, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, Terjemahan dari Hans
Kelsen General Theory of Law and State ( New York ; Russel and Russel, 1971), Penerbit
Nusamedia & penerbit Nuansa, Bandung, hal. 179.
112
4. Verordnung en autonome satzung : Secara hirarkhis mulai dari Peraturan
Pemerintah hingga Peraturan Gubernur dan Peraturan walikota /
Bupati.109
Dengan mengutip Hans Nawiasky dan Carl Schmitt110
melihat dari wujud
norma hukum norma yang paling abstrak adalah Staatfundamentalnorm. Norma
yang lebih kongkrit adalah norma hukum yang lebih rendah lagi adalah formell
gezets karena sudah dapat dilengkapi ketentuan mengenai sanksi-sanksi bagi
pelanggarnya. Jenis terakhir Verordnung en autonome satzung berupa peraturan
pelaksanaan atau peraturan otonomi yang bersifat kongkrit.
Pengertian pembentukan peraturan perundang-undangan dapat ditemukan
dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan “Pembentukan
Peraturan perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan perundang-undangan
yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, atau
penetapan dan pengundangan”.
Pemahaman secara otentik tentang peraturan perundang-undangan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembenntukan
Peraturan Perundang-undangan dengan pengertian secara teoritik, maka diperoleh
pemahaman mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan mengandung
unsur-unsur pengertian sebagai berikut :
1. Prosess pembuatan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan
bersifat umum ;
109
Maria Farida, Op.cit, hal 45-56. 110
Darji Darmodiharja, 2004, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filasafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, hal. 224.
113
2. Dilakukan oleh pejabat yang berwenang ; dan
3. Yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik
penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahaan, pengundangan.
Namun perlu juga dicermati tidak semua produk hukum daerah mengikuti
tahapan-tahapan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 diatas.
Salah satu kewenangan yang sangat penting dari suatu daerah yang
berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri ialah kewenangan
untuk menetapkan Peraturan Daerah (legislatieve bevoegdheid,legislative power),
Dengan memperhatikan pemahaman dari pembentukan peraturan perundang-
undangan maka pembentukan peraturan daerah dapat dipahami sebagai berikut :
1. Proses pembuatan norma-norma hukum yang berlaku keluar dan
bersifat umum ;
2. Dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pembahasan rancangan peraturan daerah di Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Provinsi maupun Kabupaten/Kota bersama Gubernur atau
Bupati/Walikota yang dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan dalam rapat
komisi/panitia/alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang khusus menangani legislasi dan rapat
paripurna, sesuai dengan ketentuan peraturan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD) Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ketentuan Pasal 8 ayat (1) 1
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
114
Perundang-undangan terdapat 4 (empat) peraturan perundang-undangan di daerah
yaitu :
1. Peraturan Daerah Provinsi;
2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
3. Peraturan Kepala Daerah;
4. Peraturan Desa.
Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun
2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, terdapat 4 (empat) bentuk
produk hukum daerah yang terdiri dari :
1. Peraturan Daerah atau sebutan lainnya;
2. Peraturan Kepala Daerah;
3. Peraturan Bersama Kepala Daerah;
4. Keputusan Kepala Daerah.
4.2. Kedudukan Hukum Perjanjian Kerjasama dengan sistem Online
Kenyataan sehari-hari menunjukan bahwa pemerintah disamping
melaksanakan aktifitas dalam bidang hukum publik juga terlibat dalam lapangan
keperdataan. Dalam pergaulan hukum, pemerintah sering tampil dengan
“ twee peten ”, dengan dua kepala, sebagai wakil dari jabatan (ambi) yang tunduk
pada hukum publik dan wakil dari badan hukum (rechtpersoon) yang tunduk pada
hukum privat. Untuk mengetahui kapan administrasi negara terlibat dalam hukum
publik dan kapan terlibat dalam pergaulan hukum keperdataan, pertama-tama
yang harus dilakukan adalah melihat lembaga yang diwakili pemerintah, dalam
hal ini negara, provinsi atau kabupaten. Untuk mengetahui kedudukan hukum
115
negara, provinsi atau kabupaten mau tidak mau harus melibatkan pembagian dua
jenis hukum111
Dalam beberapa literatur, diantaranya Utrect mengatakan bentuk-
bentuk perbuatan pemerintahan, berdasarkan kelaziman sistematika hukum dibagi
dalam dua golngan, yakni dalam hukum privat (sipil) dan hukum publik, maka
perbuatan hukum itu ada dua macam yaitu:
a. Perbuatan menurut hukum privat (sipil).
b. Perbuatan hukum menurut hukum publik. Administrasi negara sering juga
mengadakan hubungan-hubungan hukum dengan subjeck hukum lain
berdasarkan hukum privat112
Sedangkan Ridwan HR dalam bukunya Hukum Administrasi Negara,
mengemukakan instrumen hukum keperdataan yang digunakan oleh pemerintah
dalam menjalankan pemerintahannya,pemerintah dapat menggunakan perjanjian
yang bentuknya yaitu perjanjian perdata biasa, perjanjian perdata dengan syarat-
syarat standar, perjanjian mengenai kewenangan publik, perjanjian mengenai
kebijaksanaan pemerintahan:
1. Perjanjian Perdata Biasa.
Dalam melakukan perjanjian perdata biasa,pemerintah disamping
menggunakan instrumen hukum keperdataan sekaligus pula melibatkan diri
dalam hubungan hukum keprdataan sehingga kedudukan hukum pemerintah
tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata. Meskipun
perjanjian yang dilakukan pemerintah bersifat biasa, namun selalu didahului
111
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta,
hal.72 112
Utrecht, 1960, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Fakultas Hukum dan
Pengetahuan Masyarakat Universitas Negeri Padjadjaran, Cetakan keempat, hal.63.
116
adanya oleh adanya Keputusan Tata Usaha Negara, yang kemudian dianggap
keputusan tersebut melebur kedalam tindakan hukum perdata.
2. Perjanjian Perdata dengan Syarat-Syarat Standar.
Pada umumnya perjanjian dengan syarat-syarat standar ini berbentuk konsesi
kontrak adhesie , yaitu suatu perjanjian yang seluruhnya telah disiapkan secara
sepihak, hingga pihak lawan berkontraknya tidak ada pilihan lain kecuali
menerima atau menolaknya. Dalam hal ini pemerintah menentukan sepihak
syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak swasta atau pihak yang
berkepentingan.
3. Perjanjian mengenai kewenangan Publik
Perjanjian ini merupakan perjanjian antara badan atau pejabat tata usaha negara
dengan warga masyarakat dan yang diperjanjijkan adalah mengenai cara badan
atau pejabat tata usaha negara menggunakan wewenang pemerintahnnya.
4. Perjanjian mengenai Kebijaksanaan Pemerintahan
Perjanjian kebijaksanaan adalah perbuatan hukum yang menjadikan
kebijaksanaan publik sebagai objek perjanjian, lebih lanjut disebutkan
perjanjian ini berkaitan dengan klausul mengenai:
a. Kemungkinan-kemungkinan penggunaan maupun pendirian bangunan-
bangunan(pengaturan tata ruang);
b. Ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk pemindahtangan harta kekayaan
negara;
c. Syarat-syarat untuk kelestarian lingkungan hidup;
d. Ketentuan-ketentuan yang harus selalu dilaksanakan oleh mereka yang
diberi izin melakukan usaha-usaha sosial;
e. Persyaratan untuk pengelolaan parkir kendaraan diseluruh kota,
perusahaan pompa bensin dan sebagainya;
117
f. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para developer
dari suatu real estate sebelum maupun selama pekerjaan pembangunan
dilapangan di kerjakan. 113:
Berdasarkan hasil penelusuran yang didapatkan di Pemerintah Kota
Denpasar dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2012 perbuatan pemerintah
(administrasi negara),yang didasarkan atas hukum publik dapat dilihat dari tabel
dibawah ini.
Tabel 1 Perbuatan Pemerintah Kota Denpasar yang didasarkan atas
hukum publik
No.
Tahun Nama Perbuatan
Hukum
Para Pihak dan Materi
yang Diatur
1. 2010 Perbuatan Kontrak
tentang Pengelolaan
Inkubator Bisnis
Pihak I Sekretaris Daerah
Kota Denpasar
Pihak II Kandatel Bali
Mengatur tentang
Pengelolaan Inkubator
Bisnis Kota Denpasar
sebagai Pusat
Pengembangan dan
Penelitian ekonomi
Kreatif Di kota Denpasar
2. 2010 Perbuatan Kontrak
tentang Program
Legislasi daerah
Pihak I Sekretaris Daerah
Kota Denpasar
Pihak II Fakultas Hukum
Universitas
UdayanaMengatur
tentang Program
Legislasi Daerah
3. 2011 Perbuatan Kontrak
tentang Pemanfaatan
Pelabuhan Benoa
Pihak I Walikota
Denpasar
Pihak II Dirut Pelindo III
(Persero)
Mengatur tentang
Pemanfaatan Pelabuhan
Benoa Di Kota Denpasar
113
Ridwan HR,op.cit. hal..230-237
118
4. 2011 Perbuatan Kontrak
Penyelenggaraan
Program
Transmigrasi
Pihak I Bupati Konawe
Selatan
Pihak II Walikota
Denpasar
Mengatur tentang
penyelenggaraan
Program Transmigrasi Di
Desa Arongo Kecamatan
Landano Kabupaten
Konawe Selatan Provinsi
Sulawesi Tenggara
5. 2012 Perbuatan Kontrak
tentang Pelayanan
Parkir di Tepi Jalan
Umum
Pihak I Sekretaris Daerah
Kota Denpasar
Pihak II Dirut PD Parkir
Kota Denpasar
Mengatur tentang
6. 2012 Perbuatan Kontrak
tentang Bidang
Perhubungan Laut
Pihak I Kepala Dinas
Perhubungan Kota
Denpasar
Pihak II GM PT Pelindo
III (Persero)
Mengatur tentang Bidang
Perhubungan Laut di
Pelabuhan Benoa
Sumber: Bagian Kerjasama Sekretariat Daerah Kota Denpasar
Tabel 2 Perbuatan Pemerintah Kota Denpasar yang didasarkan atas
hukum privat
No.
Tahun Nama Perbuatan
Hukum
Para Pihak dan Materi
yang Diatur
1. 2012 Perbuatan Sewa
Menyewa
Pihak I Pemerintah Kota
Denpasar
Pihak II Sulianty Gotama
Mengatur tentang
perjanjian sewa menyewa
bangunan/gudang yang
dipergunakan untuk
gudang tenmpat
penyimpanan barang-
barang inventaris kantor
119
2. 2 Perbuatan sewa
menyewa
Pihak I Ni Wayan Suji
Pihak II Pemerintah Kota
Denpasar
Mengatur tentang
Perjanjian sewa
menyewa tanah dan
bangunan yag
dipergunakan untuk
kantor Kelurahan Renon
3. 2011 Perbuatan Sewa
menyewa
Pihak I Drs. Nyoman
Bratajaya, SH
Pihak II Pemerintah Kota
Denpasar
Mengatur tentang
Perjanjian sewa
menyewa tanah yang
digunakan oleh Dinas PU
untuk penempatan
bahan/material untuk
keperluan kegiatan
pemerliharaan jalan di
Kota Denpasar
Sumber: Bagian Pengelolaan Aset Daerah Sekretariat Daerah Kota Denpasar
Dari tabel diatas dapat diketahui, Pemerintah Kota Denpasar dalam hal ini
Walikota Denpasar, dapat melakukan suatu perbuatan hukum yang didasarkan
atas hukum privat, selain perbuatan hukum yang didasarkan atas hukum publik.
Jika dibandingkan perbuatan hukum yang didasarkan atas hukum publik
dan perbuatan hukum yang didasarkan atas hukum privat yang dilakukan oleh
Walikota Denpasar, dapat dengan jelas dilihat suatu perbedaannya seperti pada
tabel dibawah ini :
120
Tabel 3 Perbedaan Perbuatan Hukum Pemerintah Kota Denpasar
yang didasarkan atas hukum privat dan hukum publik
Ditinjau dari
aspek
Perbuatan
Hukum
Walikota
Denpasar yang
didasarkan atas
hukum publik
Perbuatan
Hukum Walikota
Denpasar yang
didasarkan atas
hukum privat
Kedudukan
para pihak
Kedudukan
Walikota
dengan pihak-
pihak yang
diatur dalam
perbuatan
hukum ini, tidak
sejajar, artinya
Walikota
Denpasar
mempunyai
kewenangan
untuk
memerintah dan
pihak-pihak
yang diatur
dalam perbuatan
hukum ini
berada pada
kedudukan
diperintah.
Contoh:
Keputusan
Walikota
Denpasar
Nomor 188.45/
10/HK/2011
tentang
Penunjukkan
Kedudukan
Walikota dengan
pihak-pihak yang
diatur dalam
perbuatan hukum
privat ini, sejajar,
artinya Walikota
Denpasar
mempunyai
kedudukan yang
sama dengan
pihak-pihak yang
diatur dalam
perbuatan hukum
privat ini.
Contoh:
Perjanjian
Pemerintah Kota
Denpasar Nomor
011/80/PAD.
Tahun 2013
tentang
perjanjian sewa
menyewa tanah
dan bangunan
untuk keperluan
Kantor
Kelurahan Renon
Dalam contoh
121
Pejabat/Petugas
Pengamanan
Persandian
Daerah Kota
Denpasar
Dalam contoh
diatas, kelihatan
sekali Walikota
Denpasar
mempunyai
kewenangan
untuk
memerintah dan
.... sebagai
pejabat.....
berada pada
kedudukan yang
diperintah.
diatas, paling
tidak dalam hal
penentuan harga
kontrak, lamanya
waktu
mengontrak
harus ada
kesepakatan
antara
Pemerintah Kota
Denpasar dengan
pihak-pihak yang
diatur dalam
hukum privat ini,
karena harus ada
kesepakatan
inilah maka dapat
dikatakan
kedudukan para
pihak yang
melakukan
perbuatan hukum
yang didasarkan
atas hukum
privat ini yang
sejajar.
Hukum yang
mengatur
Hukum yang
mengatur
perbuatan
hukum Walikota
Denpasar yang
didasarkan atas
hukum publik,
Contoh
Peraturan
Walikota
Denpasar nomor
25 A Tahun
Perbuatan
Hukum Walikota
Denpasar yang
didasarkan atas
hukum privat,
dasar hukum
pengaturannya
lasimnya
bertumpu pada
ketentuan-
ketentuan hukum
privat atau
Hukum Perdata.
122
2010 tentang
Kawasan Tanpa
Rokok
Jika terjadi
gugatan
Hukum yang
mengatur
perbuatan
hukum Walikota
Denpasar yang
didasarkan atas
hukum publik,
jika terjadi
gugatan
diselesaikan
oleh Pengadilan
Tata Usaha
Negara.
Contoh
gugatan tentang
HGB Tiara
Gosir
Perbuatan
Hukum Walikota
Denpasar yang
didasarkan atas
hukum privat,
jika terjadi
gugatan
diselesaikan oleh
Pengadilan
Negeri.
Contoh Gugatan
Edy Harliyanto
tentang
pembongkaran
toko jalan Gajah
Mada Denpasar
Sumber: diolah dari berbagai sumber oleh penulis.
Berdasarkan uraian diatas, Kedudukan Hukum Perjanjian Kerjasama
Pemungutan Pajak Hotel dengan Sistem online yang dilakukan oleh Pemerintah
Kota Denpasar dapat dikaji dari beberapa aspek seperti:
1. Kedudukan Para pihak : para pihak yang melakukan perjanjian
kerjasama pemungutan hotel dengan sistem online yaitu dalam hal
ini adalah Pemerintah Kota Denpasar dan Direktur Utama PT.
Bank Pembangunan mempunyai kedudukan yang sama / sejajar
123
2. Hukum Yang Mengatur : dilihat dari substansi perjanjian kerjasama
pemungutan hotel dengan sistem online tergolong hukum publik,
sedangkan format/bentuk Perbuatan Hukum dalam melakukan
perjanjian kerjasama pemungutan hotel dengan sistem online
didasarkan atas hukum privat, dasar hukum pengaturannya
lasimnya bertumpu pada ketentuan-ketentuan hukum privat atau
Hukum Perdata.
3. Jika Terjadi gugatan : Perbuatan Hukum yang didasarkan atas
hukum privat, jika terjadi gugatan diselesaikan oleh Pengadilan
Negeri, hal ini dipertegas dalam Pasal 18 ayat (3) perjanjian
kerjasama antara Dinas Pendapatan Kota Denpasar dengan PT.
Bank Pembangunan daerah Bali (BPD Bali)
Nomor : 973/139/DPKD/2012 tentang
0016.10.2012.2
Pemanfaatan Layanan Jasa Perbankan Untuk Menerima
Pembayaran Pajak Daerah Secara On Line.
yang menyebutkan bahwa apabila cara musyawarah untuk
mencapai mufakat tersebut tidak tercapai, maka Para Pihak sepakat
untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Pengadilan
Negeri Denpasar.
Berdasarkan uraian, maka dapat dikatakan kedudukan hukum perjanjian
Kerjasama Pemungutan Pajak Hotel dengan Sistem online yang dilakukan oleh
Pemerintah Kota Denpasar, jika dilihat dari substasinya merupakan perbuatan
124
hukum pemerintah yang didasarkan atas hukum publik, akan tetapi jika dilihat
dari aspek format/ bentuk hukum pengaturan yang terdapat didalam perjanjian
tersebut, dapat dikatakan perjanjian Kerjasama Pemungutan Pajak Hotel dengan
Sistem online yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Denpasar tergolong
perbuatan hukum pemerintah yang didasarkan atas hukum privat.
Sejalan dengan hasil temuan diatas, Johanes Usfunan mengungkapkan ada
beberapa pandangan para sarjana mengenai keputusan yang merupakan perbuatan
hukum perdata, yang disebut dengan keputusan yang melebur ke dalam perbuatan
hukum perdata seperti114
:
1. Keputusan yang jangkauannya akan melahirkan atau justru menolak
terjadinya suatu perbuatan hukum perdata.Umpamanya, keputusan
penolakan untuk menjual suatu rumah dinas seorang pegawai negeri,
penolakan pihak Perumtel untuk memberi sambungan telepon.
2. Keputusan yang melebur dalam perbuatan hukum perdata. Contoh.
Keputusan tentang menyewa suatu gedung untuk kantor.
3. Keputusan yang menyebabkan dipenuhinya atau justru tidak dipenuhi
suatu syarat yang perlu harus ada suatu perbuatan hukum perdata dapat
bekerja dengan sah. Contoh Persetujuan Setneg untuk pemborongan
suatu pekerjaan.
4. Keputusan yang merupakan pelaksanaan dari perbuatan hukum perdata.
Contoh Keputusan memberi izin menghuni suatu rumah yang dibangun
atas dasar perjanjian antara Walikota dengan real estate.
Jika dilihat dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah ada 2 sifat produk hukum daerah
yaitu :
a. Produk hukum daerah yang bersifat pengaturan ;
b. Produk hukum daerah yang bersifat penetapan.
Bentuk produk hukum daerah yang bersifat pengaturan terdiri dari :
114
Johanes Usfunan, 2002, Perbuatan Pemerintah Yang Dapat Digugat, Penerbit
Djambatan Jakarta, , hal. 44.
125
a. Peraturan Daerah atau nama lainnya;
b. Peraturan Kepala Daerah;
c. Peraturan Bersama Kepala Daerah.
Sedangkan bentuk produk hukum daerah yang bersifat penetapan berupa
Keputusan Kepala Daerah.
Dikaitkan dengan kedudukan hukum perjanjian kerjasama pemungutan
pajak hotel dengan sistem online sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka
perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online dapat
diklasifikasikan setara atau sederajat dengan Peraturan Bersama Kepala Daerah,
hal ini didasarkan atas beberapa pertimbangan:
a. Dari aspek prosedur penyusunan perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel
dengan sistem online, dimana draft naskah kerjasama itu berasal dari Pimpinan
SKPD teknis terkait yang menangani masalah pemungutan pajak daerah dalam
hal ini adalah Dinas Pendapatan Daerah Kota Denpasar. Kemudian draft
naskah tersebut dilakukan pembahasan oleh Bagian Kerjasama Sekretariat
Daerah Kota Denpasar dengan Tim Kerjasama Kota Denpasar, setelah itu draft
perjanjian tersebut diharmonisasi dan disinkronisasi dengan SKPD Teknis
terkait lainnya.
Berdasarkan ketentuan Pasal 42 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53
Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, maka prosedur
penyusunan perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem
online diatas sama dengan prosedur penyusunan Peraturan Bersama Kepala
Daerah.
126
b. Dari aspek substansi atau materi yang diatur dalam perjanjian kerjasama
pemungutan pajak hotel dengan sistem online, sama dengan materi/substansi
yang diatur dalam Peraturan Kepala Daerah atau Peraturan Bersama Kepala
daerah yang bersifat umum dan mengikat pihak luar yaitu dalam hal ini adalah
PT. Bank Pembangunan Daerah Bali.
Dilihat dari aspek prosedur penyusunan dan materi/substansi yang diatur dalam
perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online, dapat
disetarakan dengan produk hukum yang bersifat pengaturan yang berbentuk
Peraturan Bersama Kepala Daerah.
4.3. Akibat Hukum Perjanjian Kerjasama Pemungutan pajak Hotel dengan
Sistem On Line
Kekuatan hukum menurut sejarahnya, mula pertama timbul dalam lapangan
hukum perdata/privat. Kekuatan hukum dari tindakan pemerintah pada mulanya
dibahas oleh van der Pot115
. Kekuatan hukum dibedakan atas kekuatan hukum
formal dan kekuatan hukum material. Tindakan pemerintahan mempunyai
kekuatan hukum formal, apabila kekuatannya tidak dapat ditiadakan lagi oleh
organ yang lebih tinggi misalnya banding. Sedangkan Utrcht116
mengatakan
kekuatan hukum formal dari tindakan pemerintah apabila ketetapan itu tidak
dibantah lagi oleh alat hukum.
115
Philipus M Hadjon, 1985, Pengertian-Pengertian Dasar Tentang Tindak Pemerintahan,
Djumali Surabaya, , hal. 26. (selanjutnya disebut Philipus M Hadjon V) 116
Utrecht, op.cit, hal.119.
127
Keputusan pemerintah yang telah dilaksanakan atau telah berlaku dengan
sendirinya mempunyai kekuatan hukum material117
. Namun W.F Prins
mengatakan keputusan pemerintah yang telah mempunyai kekuatan hukum
material, dapat ditarik kembali dengan memperhatikan asas-asas tertentu,
seperti118
:
a. Keputusan yang dibuat karena yang berkepentingan menggunakan
tipuan;
b. Suatu ketetapan yang isinya belum diberitahukan kepada yang
bersangkutan;
c. Suatu ketetapan yang bermanfaat bagi yang dikenainya dengan
beberapa syarat tertentu, pada waktu tersebut yang dikenai tidak
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan;
d. Suatu ketetapan yang bermanfaat bagi yang dikenainya tidak boleh
ditarik kembali, setelah lewat jangka waktu tertentu apabila dengan
penarikan tersebut keadaan yang layak akibat dari keputusan tersebut
menjadi keputusan yang tidak layak.
e. Oleh karena suatu keputusan lahirlah suatu keadaan yang tidak layak
yang menimbulkan kerugian bagi negara.
f. Menarik atau mengubah suatu keputusan harus dilakukan sesuai
dengan formalitas pembuatan keputusan.
Sedangkan dari sisi hukum privat, suatu perjanjian dikatakan mempunyai
kekuatan hukum, apabila telah memenuhi kualifikasi yang disyaratkan dalam
Pasal 1320 KUH Perdata. Sedangkan Pasal 1338 KUH Perdata, perjanjian yang
dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
Pasal 1320 KUH perdata
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
117
Utrecht, ibid, hal 127. 118
Utrecht, ibid, hal. 128-129.
128
Pasal 1338 KUH Perdata
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.
Dengan mempergunakan dasar pemikiran seperti yang diuraikan diatas,
apabila ditelusuri substansi Perjanjian Kerjasama Pemungutan pajak Hotel dengan
Sistem online tersebut, memuat hak dan kewajiban dari masing-masing pihak
yang merupakan akibat hukum dari diberlakukannya Perjanjian Kerjasama
Pemungutan pajak Hotel dengan Sistem online ini.
Kekuatan hukum yang terkandung didalam Perjanjian Kerjasama
Pemungutan pajak Hotel dengan Sistem online ini berupa hak dan kewajiban dari
masing-masing pihak sebagai berikut:
Adapun Hak dan Kewajiban dari para pihak dalam Perjanjian Kerjasama
Pemungutan pajak Hotel dengan Sistem online adalah sebagai berikut:
Pihak Pertama mempunyai hak dan kewajiban :
1. Menyediakan data base pembayaran setoran pajak untuk wajib pajak hotel,
pajak restoran, pajak hiburan dan pajak air tanah untuk dapat diakses oleh
Pihak Kedua setiap awal bulan dimulai pada tanggal 10 setiap bulannya
2. Data pembayaran setoran pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak
air tanah Pihak Pertama wajib di upload ke Pihak Kedua melalui jaringan
komunikasi, sehingga Pihak Kedua dapat mengakses data tersebut setiap
terjadi transaksi pembayaran setoran pajak hotel, pajak restoran, pajak
hiburan, dan pajak air tanah.
129
3. Menjaga kestabilan server produksi Pihak Pertama sehingga pelaksanaan
pembayaran setoran pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, dan pajak
air tanah dapat berjalan lancar.
4. Menjamin kebenaran dan keakuratan data pembayaran setoran wajib pajak
hotel, pajak restoran, pajak hiburan dan pajak air tanah yang ada di host
Pihak Pertama.
5. Pihak Pertama atas dasar hasil rekonsialisi, yang berdasarkan data
penerimaan data pembayaran pajak oleh Pihak Kedua akan menerima
setoran dari Pihak Kedua pada hari kerja berikutnya (H+1) kecuali akhir
bulan setoran tersebut disetorkan pada hari kerja yang sama (H+0) pada
rekening kas umum daerah Pemkot Denpasar.
Pihak Kedua mempunyai hak dan kewajiban :
1. Menyiapkan dan memelihara jaringan komunikasi dan sistem pembayaran
online pembayaran setoran pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, dan
pajak air tanah Pihak Pertama yang dilakukan melalui layanan Pihak
Kedua, berupa layanan teller dan layanan elektronik.
2. Menerima setoran pembayaran pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan,
dan pajak air tanah Pihak Pertama
3. Melakukan rekonsiliasi data secara terpusat atau tersentralisasi terhadap
data harian pembayaran setoran pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan,
dan pajak air tanah Pihak Pertama.
130
4. Menyetorkan hasil penerimaan pajak sebesar nominal sesuai dengan data
hasil rekonsiliasi pada maksimal hari kerja berikutnya (H+1), kecuali akhir
bulan setoran tersebut wajib disetorkan pada hari kerja yang sama (H+0)
pada rekening kas umum daerah Pemkot denpasar.
5. Apabila terjadi gangguan jaringan komunikasi yang digunakan dalam
program penerimaan pembayaran setoran pajak hotel, pajak restoran, pajak
hiburan dan pajak air tanah secara online, maka Pihak Kedua segera
melaksanakan perbaikan sistem, sehingga pelayanan dapat berfungsi
dengan baik.
131
BAB V
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari uraian / kajian pada pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
a. Pengaturan pemungutan pajak hotel dengan sistem online pada
Pemerintah Kota dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) dan
Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah, yang kemudian untuk di Kota Denpasar
tindaklanjuti dengan Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun
2011 tentang Pajak Hotel, disamping dasar hukum yang dipakai adalah
Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Kota Denpasar dengan PT Bank
Pembangunan Daerah Bali ( BPD Bali)
Nomor : 415.4/02/KB/Pem/2010
0006/107/110/2012.2
tentang Pemanfaatan Layanan Jasa Perbankan Untuk Menerima
Pembayaran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Secara On Line, yang
kemudian ditindak lanjuti dengan Perjanjian Kerjasama antara Dinas
Pendapatan Kota Denpasar dengan PT Bank Pembangunan Daerah Bali
( BPD Bali).
Nomor : 973/139/DPKD/2012
0016.10.2012.2
tentang Pemanfaatan Layanan Jasa Perbankan Untuk Menerima
Pembayaran Pajak Daerah Secara On Line.
132
Terkait dengan perjanjian kerjasama kerjasama pemungutan pajak hotel
dengan sistem online dasar hukum yang dipakai sebagai acuan adalah
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Kerja Sama Daerah.
b. Kedudukan hukum perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan
sistem online dapat diklasifikasikan setara atau sederajat dengan
Peraturan Bersama Kepala Daerah, hal ini didasarkan atas beberapa
pertimbangan:
Dari aspek prosedur penyusunan perjanjian kerjasama pemungutan pajak
hotel dengan sistem online, dimana draft naskah kerjasama itu berasal dari
Pimpinan SKPD teknis terkait yang menangani masalah pemungutan pajak
daerah dalam hal ini adalah Dinas Pendapatan Daerah Kota Denpasar.
Kemudian draft naskah tersebut dilakukan pembahasan oleh Bagian
Kerjasama Sekretariat Daerah Kota Denpasar dengan Tim Kerjasama Kota
Denpasar, setelah itu draft perjanjian tersebut diharmonisasi dan
disinkronisasi dengan SKPD Teknis terkait lainnya.
Dari aspek substansi atau materi yang diatur dalam perjanjian kerjasama
pemungutan pajak hotel dengan sistem online, sama dengan
materi/substansi yang diatur dalam Peraturan Kepala Daerah atau
Peraturan Bersama Kepala daerah yang bersifat umum dan mengikat pihak
luar yaitu dalam hal ini adalah PT. Bank Pembangunan Daerah Bali.
Dilihat dari aspek prosedur penyusunan dan materi/substansi yang diatur
dalam perjanjian kerjasama pemungutan pajak hotel dengan sistem online,
133
dapat disetarakan dengan produk hukum yang bersifat pengaturan yang
berbentuk Peraturan Bersama Kepala Daerah.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dikemukakan saran sebagai solusi
dalam penulisan ini yaitu :
Untuk menghindari adanya kekosongan norma hukum, maka Pemerintah
Kota Denpasar perlu segera menerbitkan Peraturan Walikota tentang Tata
Cara Pembayaran, Penyetoran, Tempat Pembayaran, Angsuran, dan
Penundaan Pembayaran Pajak sebagai tindak lanjut dari Peraturan Daerah
Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel, sehingga
Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Kota Denpasar dengan PT Bank
Pembangunan Daerah Bali ( BPD Bali)
Nomor : 415.4/02/KB/Pem/2010
0006/107/110/2012.2
tentang Pemanfaatan Layanan Jasa Perbankan Untuk Menerima
Pembayaran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah secara On Line, yang
kemudian ditindak lanjuti dengan Perjanjian Kerjasama antara Dinas
Pendapatan Kota Denpasar dengan PT Bank Pembangunan Daerah Bali
( BPD Bali)
Nomor : 973/139/DPKD/2012
0016.10.2012.2
tentang Pemanfaatan Layanan Jasa Perbankan Untuk Menerima
Pembayaran Pajak Daerah Secara On Line, mempunyai landasan atau
dasar hukum yang kuat.
134
DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi, 2008, Hukum Pajak dan Retribusi Daerah, Ghalia Indonesia,
Bogor
Anonim, 2007, Pedoman Nasional Pajak daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta,
Departemen Keuangan Republik Indonesia, Dirjen Perimbangan
Keuangan.
Ateng Syarudin,1993,Perencanaan Administrasi Pembangunan Daerah,Mandar
Maju Bandung,
Atmadja, I Dewa Gede 1996, Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka Sosialisasi
Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan konsekuen”
Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Tata Negara
Pada FH.UNUD.
Alf Ross, 1959, On Law And Justice, University Of Californis Press, Barkely &
Los Angeles.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar,1997,Kedudukan dan Fungsi Keputusan
Presiden Sistem Perundang-undangan dan peranannya dalam Akselerasi
Pembangunan Ekonomi,Penerbit Alumni, Bandung.
Budiman.N.P.D.Sinaga, 2004, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan,
Yogyakarta, UII Press
Burn, Danny, 1994, Robin Hambleton and Paul Hogget, “The Politics of
Decentralisation, Revitalising Local, Democracy”, The Macmillan Pres
Ltd. London.
Charles O. Jones, 1991, Pengantar Kebijakan Publik (Public Policy), terjemahan,
Rajawali Pers, Jakarta,
Darussalam dan Danny Septriadi, 2006, Membatasi Kekuasaan Untuk
Mengenakan Pajak: Tinjauan Akademis terhadap Kebijakan, Hukum, dan
Administrasi Pajak di Indonesia, Grasindo, Jakarta,
Darji Darmodiharja, 2004, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filasafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama
Erna Widodo , 2000, Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif, Avy-rouz.
Erly Suandy, 2000, Hukum Pajak, Salemba Empat, Jakarta,
135
H. Lauddin Marsuni, 2006, Hukum dan Kebijakan Perpajakan Di Indonesia, UII
Press, Yogyakarta.
Hari Chand, 1994, Modern Yurisprudence, International Law Book Service,
Kuala Lumpur.
Hilaire McCoubrey and Nigel D White, 1996, Yurisprudence, Blackstone Press
Limited, London.
Kelsen, Hans, 1973, General Theory of Law and State, Translate by Anders
Wedberg, Russel & Russel, New York.
Kesit Bambang Prakosa, 2003, Pajak dan Retribusi Daerah,UII Press,
Yogyakarta
Kuntjoro Purbopranoto, 1978, Beberapa Catatan Tentang Hukum Tata
Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara, Alumni, Bandung,
Kuntana Magnar, 1984, Pokok-pokok Pemerintah Daerah Otonom dan Wilayah
Administratif, Bandung, CV. Armico.
Kusnardi Moh dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara
Indonesia, Jakarta, Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI dan CV. Sinar
Bakti.
Mardiasmo,2008, Perpajakan edisi Revisi 2008, Yogyakarta, Penerbit Andi.
Mahfud. MD, Moh 2001, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi Tentang
Interaksi Politik Dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta, PT. Rineka
Cipta.
Marihot P. Siahaan, 2005, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Jakarta, PT. Raja
Grafindo Persada.
Maria Farida Indrati Seoprapto, 2004, Ilmu Perundang-undangan Dasar-Dasar
Pembentukannya , Yogyakarta, Kanisius,
Muin Fahmal, H.A. 2006, Peran Asas-asas Umum Pemerintahan Yang Layak
Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Bersih, UII Press, Yogyakarta,
Mukthi Fajar, 2004, Type Negara Hukum, Bayu Media Publihsing, Malang.
Ni Matul Huda, 2006, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Jakarta Interpratama Offset.
136
P.W. Brouwer et.al, 1992, Grond Rechten and Conflic in Law, Rechts
Filosoticband Rechts Theori 7, Tjeen Willink, Zwole.
Philipus M. Hadjon,dkk, 1993, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet.I.
Gadjah Mada University Press.
----------, 1993, Pemerintahan Menurut Hukum (wet-en rechtsmatigheid van
bestuur), Yuridika, Surabaya.
----------, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Peradaban,
Surabaya.
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, 2003, UII Press, Yogyakarta.
Rochmat Soemitro, 1977, Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, PT.
Eresco, Bandung.
Rosjidi Ranggawijaya,1998, Pengantar Ilmu perundang-undangan, Mandar Maju
Bandung,
Sadjijono, 2008, Memahami beberapa Bab Pokok Hukum Administrasi, LaksBang
Pressindo, Yogyakarta.
Santoso Brotodihardjo, R, 1995, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung,
PT. Eresco.
Subiyakto Indra Kusuma, 1988, Mengenal Dasar-Dasar Perpajakan, Surabaya,
Usaha Nasional,
Sudarsono, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Rineka Cipta.
Sumali, 2002, Reduksi Kekuasaan Eksekutif Di Bidang peraturan Pengganti
Undang-undang, Universitas Muhamadyah, Malang.
Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad ke 20,
Alumni Bandung,
Soedargo. R, 1964, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Bandung N.V. Eresco.
Soehino,1991, Hukum Tata Negara Perkembangan Otonomi Daerah, Yogyakarta,
Edisi Pertama, Cetakan Pertama, BPFE.
137
Solly Lubis,1997, Landasan dan Teknik Perundang-undangan,Alumni, Bandung
Sjahran Basah,1985, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrsi di
Indonesia,Alumni, Bandung,
SF,Marbun,2004, Mandat,Delegasi,Atribusi Dan Implementasinya Di
Indonesia,UII Press Yogyakarta
Tjip Ismail, 2007, Pengaturan Pajak daerah di Indonesia, Jakarta, Yellow Printing
Victor Situmorang, 1989, Dasar-Dasar Hukum Administrasi Negara, Jakarta,
Bina Aksara.
Wahyudi Kumorotomo, 2006, Desentralisasi Fiskal Politik Perubahan Kebijakan
1974 – 2004, Jakarta, Penerbit Kencana.
Yohanes Usfunan, 1999, Kebebasan Berpendapat di Indonesia, Disertasi,
Surabaya, Program Pascasarjana Universitas Airlangga,
Makalah, dan Tulisan Ilmiah.
Atmadja, I Dewa Gede 1996, Penafsiran Kostitusi Dalam Rangka Sosialisasi
Hukum, Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni Dan konsekuen”
Pidato Pengenalan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Hukum Tata Negara
Pada FH.UNUD.
Hamid S Atamimi, 1990, Peranan Kepususan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintah Negara : Studi Analisis Mengenai
Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu
Pelita I-Pelita IV disertasi ,Jakarta Pasca sarjana UI.
Ibrahim R, 2009, Hubungan Pemerintah Pusat – Daerah Dan Konstalasi
Demokrasi Di Indonesia. Denpasar, Makalah. Diskusi Panel Pada
Perancangan dan Advokasi Hubungan Pusat-Daerah Dewan Perwakilan
Daerah (DPD) di Denpasar 5 – 7 Februari 2009.
Marhaendra Wija Atmaja, 2006, “Pembuatan Kebijakan Penanggulangan
HAIV/AIDS dalam Perda Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2006”, Makalah,
Lokakarya Legal Drafting Perda Penanggulangan HIV/AIDS bagi
Anggota DPRD 10 Provinsi Di Indonesia, diselenggarakan oleh Komisi
Penanggulangan Aids Nasional (KPAN), pada Minggu-Rabu 11-14 Juni di
Bandung,
138
Philipus M Hadjon, 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik ( Normatif ) dalam
Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember-Desember.
-----------,1998, Tentang Wewenang Pemerintahan (bestuurbevoegheid) Pro
Justitia, Tahun XVI Nomor 1 Januari 1998.
Dinas Pendapatan Kota Denpasar 2012, Kerangka Acuan Kerja Penyusunan Dan
Pembuatan Aplikasi Sistem Pembayaran Pajak Daerah,
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4844).
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049).
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5234).
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Antara
Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten / Kota
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737).
Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja
Sama Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor
112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4761 ).
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah ( Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 153).
Peraturan Daerah Kota Denpasar Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Hotel
(Lembaran Daerah Kota Denpasar Tahun 2011 Nomor 5, Tambahan
Lembaran Daerah Kota Denpasar Nomor 5).
top related