unud-1418-294378556-tesis misran wahyudi nim 1390561013 gabung
Post on 04-Sep-2015
84 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
-
i
TESIS
INDEPENDENSI ODITUR MILITER TENTARA
NASIONAL INDONESIA (TNI) DALAM
MELAKSANAKAN FUNGSINYA DI ODITURAT
MILITER III-14 DENPASAR
MISRAN WAHYUDI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
-
i
TESIS
INDEPENDENSI ODITUR MILITER TENTARA
NASIONAL INDONESIA (TNI) DALAM
MELAKSANAKAN FUNGSINYA DI ODITURAT
MILITER III-14 DENPASAR
MISRAN WAHYUDI
NIM 1390561013
PROGRAM STUDI MAGISTER
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
i
-
ii
INDEPENDENSI ODITUR MILITER TENTARA
NASIONAL INDONESIA (TNI) DALAM
MELAKSANAKAN FUNGSINYA DI ODITURAT
MILITER III-14 DENPASAR
Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Udayana
MISRAN WAHYUDI
NIM 1390561013
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
ii
-
iii
Lembaran Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL 16 APRIL 2015
Mengetahui
Pembimbing I
Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H., M.Hum.
NIP. 1946123119760110011
Pembimbing II
Dr. I Gede Artha, S.H., M.H.
NIP. 195801271985031002
Ketua Program Studi
Magister (S2) Ilmu Hukum
Universitas Udayana
Dr. Ni Ketut Supasti Darmawan,S.H.,M.Hum.,LLM.
NIP. 1961110119860112001
Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, SP.S(K).
NIP. 195902151985102001
iii
-
iv
Tesis Ini Telah Diuji
Pada tanggal 16 April 2015
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Nomor : 863/UN14.4/HK/2015 Tanggal 9 April 2015
Ketua : Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH., M.Hum.
Sekretaris : Dr. I Gede Artha, SH.,MH.
Anggota : 1. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH., MS.
2. Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH.
3. Dr. I Dewa Made Suartha, SH., MH.
iv
-
v
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Misran Wahyudi
Program Studi : Ilmu Hukum
Judul Tesis : Independensi Oditur Militer Tentara Nasional Indonesia
(TNI) Dalam Melaksanakan Fungsinya Di Oditurat
Militer III-14 Denpasar.
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila di
kemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah, maka saya bersedia menerima
sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010
dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku.
Denpasar, 16 April 2015
Yang menyatakan
Misran Wahyudi
v
-
vi
UCAPAN TERIMAKASIH
Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat, hidayah dan kekuatan lahir batin kepada penulis sehingga
dapat menyelesaikan tesis dengan judul Independensi Oditur Militer Tentara
Nasional Indonesia (TNI) Dalam Menjalankan Fungsinya Di Oditurat Militer
III-14 Denpasar. Penulisan tesis ini merupakan persyaratan mutlak dalam
memperoleh gelar lengkap Magister Hukum (MH) pada Program Studi Magister
(S2) Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar, Bali.
Dalam penulisan tesis ini penulis menyadari akan segala keterbatasan yang
dimiliki,namun dengan segala ikhtiar yang sungguh-sungguh dan disertai doa,maka
semua kendala maupun hambatan tersebut dapat diatasi. Oleh sebab itu dengan
segala kerendahan hati penulis mohon bantuan berupa kritik, saran atau masukan
yang bersifat membangun dari semua pihak guna mendapatkan kesempurnaan
dalam penulisan tesis ini. Semoga dengan penulisan tesis ini dapat memberikan
manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan, khususnya kepada pemangku
kebijakan yang terkait dalam mewujudkan sistem peradilan militer yang kredibel
dan mandiri.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak akan berhasil dengan
baik tanpa adanya bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak yang terkait.
Sehingga dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapakan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor
Universitas Udayana.
2. Ibu Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) selaku Direktur Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
3. Ibu Dr. Ni Ketut Supasti Darmawan, SH., M.Hum., LLM selaku Kepala
Progam Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana.
4. Bapak Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH., M.Hum selaku Sekretaris
Progam Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana.
vi
-
vii
5. Bapak Prof. Dr. I Ketut Mertha, SH., M.Hum selaku pembimbing I yang
telah memberikan bimbingan dalam penulisan tesis ini, sehingga dapat
berjalan sesuai waktu yang telah ditentukan.
6. Bapak Dr. I Gede Artha, SH., MH selaku pembimbing II yang telah
memberikan bimbingan dan arahannya dalam penulisan tesis ini, sehingga
dapat berjalan dengan lancar.
7. Para Dosen dan Staf Administrasi Progam Studi Magister (S2) Ilmu Hukum
Universitas Udayana yang telah mendukung kelancaran kegiatan belajar
mengajar.
8. Kepala Badan Pembinaan Hukum TNI di Jakarta yang telah memberikan
ijin kuliah di Progam Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas
Udayana.
9. Kepala Dinas Pengawas Teknis Oditurat Jendral TNI Jakarta Kolonel Chk
Endro Nurwantoko, SH., MH yang telah memberikan sumbangsih berupa
pemikirannya dan data-data penunjang yang diperlukan.
10. Kepala Oditurat Militer III-14 Denpasar Kolonel Chk Yonavia, SH., MH
beserta staf yang telah memberikan motivasi berupa dukungan moral,
sehingga dapat mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan lancar.
11. Letkol Chk Sumantri, SH., Mayor Chk Reman, SH., MH dan Mayor Laut
(KH) I Made Adnyana, SH selaku narasumber dalam penulisan tesis ini.
12. Rekan-rekan Mahasiswa angkatan tahun 2013 Progam Studi Magister (S2)
Ilmu Hukum Universitas Udayana atas segala bantuannya informasi,
sehingga tesis ini dapat selesai dengan tepat waktu.
13. Ibu Desak Karin, S.Par yang telah memberikan dukungan berupa
pemikirannya dalam menunjang penulisan tesis ini.
14. Semua pihak yang tidak dapat sebutkan satu per satu, yang telah
memberikan bantuannya dalam menyelesaikan tesis ini.
15. Keluarga besar penulis yang berada di Yogyakarta atas segala doa serta
motivasi yang telah diberikan sampai dengan selesainya tesis ini.
vii
-
viii
Permohonan maaf yang setinggi-tingginya apabila dalam penulisan tesis ini
terdapat kekurangan, karena sesungguhnya sifat manusia adalah tidak sempurna.
Namun demikian penulis telah berusaha semaksimal mungkin agar segala
kekurangan tersebut tidak mempengaruhi makna dari subtansi yang sesungguhnya.
Akhirnya seraya memohon kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa agar
diberikan petunjuk, hidayah dan anugerah, sehingga jalan terang selalu menyertai.
Denpasar, 16 April 2015
Penulis
Misran Wahyudi
viii
-
ix
ABSTRAK
Oditur Militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) merupakan salah satu sub
sistem dalam sistem peradilan militer di Indonesia. Oditur Militer selaku penuntut
umum di lingkungan TNI memiliki fungsi utama adalah melakukan penuntutan
dalam persidangan di Pengadilan Militer berdasarkan alat bukti yang sah dengan
senantiasa memperhatikan norma-norma keagamaan, kemanusiaan, dan kesusilaan
serta wajib menggali nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat
dan harus memperhatikan kepentingan pertahanan keamanan negara. Oditur Militer
dapat menjalankan fungsinya dengan baik, jika memiliki independensi. Bertitik tolak
dengan hal tersebut, adanya kebijakan rencana tuntutan yang dikeluarkan Oditur
Jenderal TNI berpotensi dapat mempengaruhi independensi Oditur Militer selaku
penuntut umum di lingkungan TNI. Oleh karena itu penulis melakukan penelitian
dengan mengambil tema Independensi Oditur Militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) Dalam Melaksanakan Fungsinya Di Oditurat Militer III-14 Denpasar. Rumusan permasalahan pertama adalah bagaimana independensi Oditur Militer
dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan
diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan dari Oditur Jenderal TNI. Sedangkan
permasalahan kedua adalah upaya-upaya apakah yang harus dilakukan dalam
mewujudkan Oditur Militer yang memiliki independensi dalam sistem peradilan
militer di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris. Penelitian ini bersifat
bersifat deskriptif analitik dengan menggunakan data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh melalui wawancara dengan narasumber yang berkopeten.
Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Setelah data
primer dan data sekunder lengkap kemudian dianalisis secara kualitatif
menggunakan teori hukum. Hasil analisis disajikan secara deskriptif analitis dalam
bentuk uraian-uraian sehingga mampu memberi gambaran dan kesimpulan yang
jelas.
Simpulan pembahasan tesis ini sebagai berikut : Pertama adalah Oditur
Militer dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar menjadi
tidak independen dengan diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan dari Oditur
Jenderal TNI menjadikan Oditur Militer karena pada saat membuat surat tuntutan
Oditur Militer menjadi tergantung kepada keputusan atasannya. Kedua upaya-
upaya yang dilakukan dalam mewujudkan Oditur Militer agar memiliki
independensi dalam sistem peradilan militer di Indonesia adalah upaya-upaya
bersifat teknis yang terbagi dalam tiga bidang yaitu bidang teknis penuntutan,
bidang pengawasan dan pengendalian, serta bidang pendidikan dan pelatihan,
sedangkan upaya bersifat kelembagaan dengan menempatkan lembaga Oditurat
berada langsung di bawah kendali Panglima TNI baik secara pembinaan organisasi,
prosedur administrasi dan finansial maupun secara teknis yustisial.
(kata kunci : Oditur Militer, Independensi, Fungsi)
ix
-
x
ABSTRACT
Military Attorney is one of components in enforcing the law in the military
court of justice system. Moreover, the Military Attorney is as general prosecutor in
the Indonesian National Armed Forces. Confidently, it has major function in
demanding based on legitimating evidences in Military Court. Based on
aforementioned statement, Military Attorney consider to religious norm, humanity,
and civility. In addition, the dig law and justice are also discovered by concerning
the importance of defense and security system of the country. As well, based on its
duty, the subject of this study is about The Independent of Military Attorney of the Indonesian National Armed Forces (TNI) in implementing its function in Military
Prosecuting Attorneys III-14 Denpasar. Afterwards, the first problem is wheter Military Attorney independently achieve its function in Military Prosecuting
Attorneys III-14 Denpasar by conducted the plan demans policy as of Military
General Attorneyof Indonesian National Armed Forces. Whereas, the second
problem iswhether the efforts shoud be accomplished in establishing independent
Military Attorney of Indonesian military court of justice system.
This research was conducted by empirical legal research methods.
Moreover, this study was a descriptive analysis research by using primary data
and secondary data. Primary data were obtained by conducting the interviews of
sample. Further more, purposive sampling or judgmental sampling was applied in
this research. After the primary data and secondary data were completed, a theory
was analyzed by using qualitative method. Then,the result of the analysis was
presented in descriptive analysis in the form of descriptions that were able to
givean overview and appropriate conclusions based on the research problems.
Based on this research, it can be concluded that; first, Military Attorney is
on duty as general procecutor in Military Prosecuting Attorneys III-14 Denpasar
became less independent. It was occured because the implementation of the plan
demand policy by Military General Attorney. It can be stated that the demand was
only established by upper position. Finally, the judgments are not merely
according conscience. Secondly, Military Attorney attempt to independently in
military court justice system in three aspects such as technical field of prosecution,
field supervision and control, as well as education and training ; while the
institutional effort to put Military Prosecuting Attorney intitutions are directly
under control of the Commander of the Indonesian National Armed Forces of both
organization development, administrative and technical of judicial.
(keywords: Military Attorney, Independence, Functions)
xi
-
xi
RINGKASAN
INDEPENDENSI ODITUR MILITER TENTARA NASIONAL
INDONESIA (TNI) DALAM MELAKSANAKAN FUNGSINYA
DI ODITURAT MILITER III-14 DENPASAR
Bab I sebagai awal penulisan tesis ini menguraikan tentang latar belakang
masalah, dengan rumusan masalah yaitu : Bagaimana independensi Oditur Militer
dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan
diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan dan upaya-upaya apakah yang harus
dilakukan untuk mewujudkan Oditur Militer agar memiliki independensi dalam
sistem peradilan pidana militer di Indonesia. Latar belakang penulisan ini
berangkat dari adanya perbedaan antara das sollen dan das sein terhadap kebijakan
rencana tuntutan oleh Oditur Jenderal TNI (Orjen TNI) yang diberlakukan di
seluruh Oditurat termasuk di Oditurat Militer III-14 Denpasar sejak tahun 2006,
sehingga penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris. Penelitian ini bersifat
deskriptif analitik dengan menggunakan sumber data primer yang diperoleh dengan
cara observasi secara langsung dan wawancara (intervew) secara langsung dengan
nara sumber, sedangkan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan,
yang kemudian dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif analitis
dalam bentuk uraian-uraian, sehingga akan mendapatkan gambaran dan kesimpulan
yang jelas.
Bab II berisikan tinjauan umum tentang hakekat independensi, Oditur
Militer sebagai penuntut umum TNI, sistem peradilan pidana militer di Indonesia,
sistem penuntutan di lingkungan Kejaksaan dan kebijakan rencana tuntutan.
xii
-
xii
Bab III membahas mengenai independensi Oditur Militer dalam
melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan
diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI sejak tahun 2006.
Adapun pembahasannya adalah Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya di
Oditurat Militer III-14 Denpasar menjadi tidak independen dengan adanya
kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI yang berlaku sejak tahun 2006,
dikarenakan Oditur Militer yang seharusnya lebih mengetahui fakta-fakta hukum
yang terjadi di Persidangan Militer secara utuh, tetapi pada saat membuat tuntutan
pidana kepada terdakwa keputusannya menjadi sangat tergantung kepada
keputusan atasannya/Orjen TNI, sehingga Oditur Militer tidak dapat menentukan
besaran tuntutan secara mandiri sesuai hati nuraninya dalam perkara yang menjadi
tanggung jawabnya.
Bab IV membahas mengenai upaya-upaya dalam mewujudkan Oditur
Militer agar memiliki independensi dalam sistem peradilan militer, yaitu berupa
upaya-upaya bersifat teknis dan upaya bersifat kelembagaan. Upaya-upaya bersifat
teknis yang terbagi dalam tiga bidang yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu
bidang teknis penuntutan, bidang pengendalian dan pengawasan, serta bidang
pendidikan dan latihan. Sedangkan upaya bersifat kelembagaan adalah dengan
melakukan penempatan lembaga Oditurat baik secara pembinaan organisasi
Oditurat, prosedur administrasi dan finansial maupun secara teknis yustisial berada
langsung di bawah kendali Panglima TNI dan perlunya menempatkan personel TNI
sebagai Perwira Penghubung (LO TNI) di Kejaksaan Agung guna memudahkan
koordinasi di bidang penuntutan.
xiii
-
xiii
Bab V adalah penutup yang berisikan simpulan dan saran.
Simpulan dalam tesis ini, Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya di
Oditurat Militer III-14 Denpasar menjadi tidak independen dengan adanya
kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI yang berlaku sejak tahun 2006,
dikarenakan Oditur Militer yang seharusnya lebih mengetahui fakta-fakta hukum
yang terjadi di Persidangan Militer secara utuh, tetapi pada saat membuat tuntutan
pidana kepada terdakwa keputusannya menjadi sangat tergantung kepada
keputusan atasannya/Orjen TNI, sehingga Oditur Militer tidak dapat menentukan
besaran tuntutan secara mandiri sesuai hati nuraninya dalam perkara yang menjadi
tanggung jawabnya. Selanjutnya dalam mewujudkan Oditur Militer yang memiliki
independensi dalam sistem peradilan militer dilakukan upaya-upaya yang bersifat
teknis maupun secara bersifat kelembagaan. Upaya-upaya yang bersifat teknis
terbagi dalam 3 (tiga) bidang yang harus mendapat perhatian khusus guna
dilakukan perbaikan, yaitu bidang teknis penuntutan, bidang pengendalian dan
pengawasan, serta bidang pendidikan dan latihan, sedangkan upaya yang bersifat
kelembagaan adalah dengan melakukan penempatan lembaga Oditurat baik secara
pembinaan organisasi Oditurat, prosedur administrasi dan finansial maupun secara
teknis yustisial berada langsung di bawah kendali Panglima TNI.
Saran yang dapat diberikan adalah: Pertama agar Orjen TNI untuk mengkaji
ulang terhadap kebijakan rencana tuntutan yang telah diberlakukan sejak tahun
2006 dan terkait rencana penuntutan menyesuaikan dengan ketentuan dalam
Peraturan Panglima TNI Nomor Perpang/5/II/2009 tanggal 27 Pebruari 2009 yang
terdapat pada Bab V angka 28 huruf h tentang tuntutan, sehingga mampu memberi
xiv
-
xiv
marwah bagi independensi Oditur Militer selaku penuntut umum di lingkungan
TNI untuk bersikap profesional, mandiri dan mampu bertanggung jawab penuh
terhadap perkara yang ditangani. Kedua agar Pimpinan TNI memperbaiki
mekanime teknis di bidang penuntutan, pengendalian dan pengawasan serta
pendidikan dan pelatihan bagi Oditur Militer, serta secara kelembagaan agar
melakukan kajian yang utuh guna menyatukan wewenang kendali Oditurat Jenderal
TNI berada langsung dibawah Panglima TNI serta perlunya TNI menempatkan
Perwira Penghubung TNI (LO TNI) di Kejaksaan Agung agar memudahkan
koordinasi dalam bidang penuntutan.
xv
-
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DALAM TESIS ......................................................... i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER HUKUM .................... ii
HALAMAN PENGESAHAN TESIS ............................................................... iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS ................................ iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................. v
UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................. vi
ABSTRAK ........................................................................................................ ix
ABSTRACT ...................................................................................................... x
RINGKASAN ................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... xv
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR xviii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 12
1.3. Ruang Lingkup Masalah .......................................................... 13
1.4. Tujuan Penelitian ..................................................................... 13
1.4.1. Tujuan Umum ................................................................ 13
1.4.2. Tujuan Khusus ............................................................... 13
1.5. Manfaat Penelitian ..................................................................... 14
1.5.1. Manfaat Teoritis ............................................................ 14
1.5.2. Manfaat Praktis .............................................................. 14
1.6. Orisinalitas Tesis ..................................................................... 14
1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berfikir ............................... 15
1.8. Hipotesis .................................................................................. 29
1.9. Metode Penelitian .................................................................... 29
1.9.1. Jenis Penelitian .............................................................. 29
1.9.2. Sifat Penelitian ............................................................... 30
1.9.3. Data dan Sumber Data ................................................... 31
xvi
-
xvi
1.9.4. Teknik Pengumpulan Data ............................................ 32
1.9.5. Teknik Penentuan Sampel ............................................. 33
1.9.6. Pengolahan dan Analisis Data ....................................... 34
1.9.7. Lokasi Penelitian ........................................................... 35
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAKEKAT INDEPENDENSI,
ODITUR MILITER SEBAGAI PENUNTUT UMUM TNI,
SISTEM PERADILAN PIDANA MILITER, SISTEM
PENUNTUTAN KEJAKSAAN, DAN KEBIJAKAN
RENCANA TUNTUTAN ................................................................
36
2.1. Hakekat Independensi .............................................................. 36
2.2. Oditur Militer SebagaiPenuntut Umum TNI ........................... 38
2.3. Sistem Peradilan Pidana Militer .............................................. 48
2.4. Sistem Penuntutan di Lingkungan Kejaksaan ......................... 64
2.5. Kebijakan Rencana Tuntutan ................................................... 72
BAB III INDEPENDENSI ODITUR MILITER DALAM
MELAKSANAKAN FUNGSINYA DI ODITURAT MILITER
III-14 DENPASAR DENGAN DIBERLAKUKANNYA
KEBIJAKAN RENCANA TUNTUTAN .........................................
77
3.1. Maksud dan Tujuan Berlakunya Kebijakan Rencana
Tuntutan ...................................................................................
77
3.2. Independensi Oditur Militer Dalam Melaksanakan Fungsinya
di Oditurat Militer III-14 Denpasar Dengan Diberlakukannya
Kebijakan Rencana Tuntutan ...................................................
80
BAB IV UPAYA-UPAYA DALAM MEWUJUDKAN ODITUR MILITER
YANG MEMILIKI INDEPENDENSI DALAM SISTEM
PERADILAN MILITER DI INDONESIA ......................................
107
4.1. Upaya-Upaya Yang Bersifat Teknis ........................................ 107
4.2. Upaya Yang Bersifat Kelembagaan ........................................ 114
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 137
xvii
-
xvii
5.1. Simpulan .................................................................................. 137
5.2. Saran ........................................................................................ 139
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR INFORMAN
xix
-
xviii
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
TABEL
Tabel 1 Data Rentut Otmil III-14 Denpasar Tahun 2012 ................................. 87
Tabel 2 Data Rentut Otmil III-14 Denpasar Tahun 2013 ................................. 89
GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Berfikir ............................................................................ 29
Gambar 2 Karakteristik Sistem Peradilan Militer ............................................. 60
Gambar 3 Siklus Mekanisme Rencana Tuntutan .............................................. 79
Gambar 4 Bagan Mekanisme Pelaksanaan Rencana Tuntutan ......................... 80
Gambar 5 Struktur Organisasi Babinkum TNI ................................................. 120
Gambar 6 Struktur Organisasi Otjen TNI ......................................................... 121
Gambar 7 Struktur Organisasi Otjen TNI Yang Ideal ...................................... 126
xx
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Tentara Nasional Indonesia (TNI) berdasarkan Pasal 30 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia terdiri atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. TNI sebagai alat pertahanan negara
yang bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tugas TNI diperjelas
dengan ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia, yaitu menegakkan kedaulatan negara,
mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan
negara.
Prajurit TNI adalah warga negara yang memenuhi persyaratan khusus
yang ditentukan dalam perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang
berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan. Sesuai Pasal 2
Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 setiap prajurit harus memiliki jati diri
sebagai :
a. Tentara Rakyat, yaitu tentara yang anggotanya berasal dari warga negara Indonesia;
b. Tentara Pejuang, yaitu tentara yang berjuang menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak mengenal menyerah dalam
melaksanakan dan menyelesaikan tugasnya;
1
-
2
c. Tentara Nasional, yaitu tentara kebangsaan Indonesia yang bertugas demi kepentingan negara di atas kepentingan daerah, suku, ras, dan
golongan agama;
d. Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin
kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang
menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia,
ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah
diratifikasi.
Setiap prajurit TNI dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya dituntut agar bersikap profesional sesuai kewenangan dan job
description masing-masing. Kemudian di sisi lain setiap prajurit TNI wajib
menaati peraturan perundang-undangan dan norma-norma yang berlaku di
masyarakat serta menghormati nilai-nilai dasar hak asasi manusia. Paradigma
Baru TNI menekankan penegakkan hukum terhadap prajurit TNI yang
melakukan pelanggaran hukum harus dilaksanakan sesuai ketentuan hukum
yang berlaku. Dalam hal tindakan yang dilakukan merupakan suatu tindak
pidana, harus diselesaikan menurut mekanisme yang berlaku tanpa
diskriminasi, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan di atas landasan
setiap orang diperlakukan sama di muka hukum (equality before the law).1
Sesuai asas equality before the law, seorang pelaku suatu tindak pidana harus
dikenakan suatu akibat hukum, yang berupa hukuman pidana tanpa
membedakan baik sipil maupun militer.
Menurut Pompe hukum pidana adalah semua aturan hukum yang
menentukan terhadap tindakan apa yang seharusnya dijatuhkan pidana dan
1 Romli Atmasasmita, 2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada
Media Grup, Jakarta, h. 82.
-
3
apa macam pidananya yang bersesuaian.2 Hukum pidana di dalamnya
mengatur perbuatan-perbuatan mana yang seharusnya dikenakan pidana dan
sanksi apa yang diterima oleh si pelaku yang melanggar hukum. Sedangkan
perbuatan melanggar hukum, yaitu bukan hanya suatu perbuatan atau
kelalaian yang melanggar hak orang lain, tetapi juga suatu perbuatan atau
kelalaian yang bertentangan dengan kewajiban yang didasarkan atas hukum
(rechtsplicht).3
H.L.A. Hart menyatakan :
The criminal law is something which we either obey or disobey and what
its rule require is spoken of as a duty. If we disobey we are said to
break the law and what we have done is legally wrong, a breach of
duty, or an offence.4
Terjemahan bebas : Hukum pidana merupakan suatu yang kita patuhi atau
tidak kita patuhi dan apa yang dituntut oleh ketentuan-ketentuannya
dikatakan sebagai kewajiban. Jika kita tidak patuh, kita dikatakan
melanggar hukum dan apa yang kita telah lakukan merupakan suatu yang
secara legal salah, suatu pelanggaran kewajiban atau sebuah kesalahan.
Masih menurut H.L.A. Hart terkait pemidanaan terhadap anggota
militer, ia menyatakan :
2 S.R. Sianturi, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya,
Babinkum TNI, Jakarta (Selanjutnya disebut S.R. Sianturi I), h.14. 3 Chaidir Ali, 1978, Yuriprudensi tentang Perbuatan Melanggar Hukum oleh Penguasa
(onrechtmatige overheidaad), Penerbit Bina Cipta, Bandung, h. 16. 4 H.L.A. Hart, 1997, The Concept of Law : Second Edition, Oxford University Press, New
York, h. 27.
-
4
A Military example may make the idea of tacit order as clear as it is
possible to make it. A Sergeant who him self regulary obeys his superiors,
orders his men to do certain fatiques and punishes them when they
disobeys.5
Terjemahan bebas : Satu contoh militer bisa menerangkan ide perintah
secara diam ini sejelas yang dimungkinkannya. Seorang Sersan, yang dia
sendiri taat kepada atasannya, memerintahkan orang-orangnya untuk
melakukan tugas tertentu dan menghukum mereka ketika mereka tidak
patuh.
Dasar pemidanaan adalah alasan untuk membenarkan
(rechtsvaardigen) penjatuhan pidana oleh penguasa.6 Sanksi dalam hukum
nasional dapat berupa dalam dua bentuk yang berbeda, yaitu sebagai
penghukuman dan sebagai eksekusi sipil.7 Kedua jenis sanksi ini berupa
sebentuk kejahatan paksa atau berupa pencabutan paksa atas suatu nilai.
Sebagai contoh dalam kasus hukuman mati yang dicabut adalah nyawa
seorang individu, sedangkan dalam dalam kasus hukuman badan berupa
pemenjaraan. Pemberian sanksi terhadap pelaku kejahatan untuk membentuk
suatu keseimbangan agar tumbuh budaya hukum yang dalam masyarakat.
Budaya hukum merupakan gagasan, nilai, harapan dan sikap terhadap hukum
dan institusi hukum yang bersifat publik.8
5 Ibid, h. 46.
6 S.R. Sianturi I, op cit, h. 123.
7 Hans Kelsen, 2011, Teori Hukum Murni, Nusamedia, Bandung, h. 124.
8 Peter De Cruz, 2010, Perbandingan Sistem Hukum, Penerbit Nusamedia, Bandung, h. 7.
-
5
Penegakan hukum Sistem penegakan hukum pidana terpadu
(intergrated criminal justice system) merupakan bagian dari sistem
penegakan hukum, dan sistem penegakan hukum merupakan bagian dari
kekuasaan kehakiman.9 Bertolak dari pemikiran tersebut, Barda Nawawi
Arief mengatakan dalam sistem peradilan pidana terdapat empat sub sistem
kekuasaan, yaitu:
a. Kekuasaan Penyidikan (Badan Penyidikan),
b. Kekuasan Penuntutan (Badan Penuntutan),
c. Kekuasan Mengadili (Badan Pengadilan), dan
d. Kekuasaan Pelaksana Pidana (Badan Eksekusi).
Sejalan dengan konsep sistem penegakan hukum pidana terpadu,
penegakan hukum pidana dalam sistem peradilan pidana militer akan berjalan
dengan baik apabila aparatur penegak hukumnya bersinergi dan mampu
bersikap profesional. Aparatur penegakkan hukum dalam sistem peradilan
militer terdiri dari :
a. Penyidik di lingkungan TNI terdiri dari Atasan Yang Berhak
Menghukum (Ankum), Polisi Militer (PM) dan Oditur Militer.
b. Kekuasaan penuntutan merupakan kewenangan Oditurat,
c. Kekuasan mengadili merupakan kewenangan Pengadilan Militer di
semua tingkatan.
9 H.R. Abdussalam dan Adri Desasfuryanto, 2012, Sistem Peradilan Pidana, Penerbit :
PTIK, Jakarta, h. 36.
-
6
d. Kekuasaan pelaksana pidana merupakan kewenagan Lembaga
Pemasyarakatan, baik Lembaga Pemasyarakatan Militer maupun
Lembaga Pemasyarakat Umum.
Oditur Militer sebagai bagian dari aparatur penegak hukum dalam
sistem peradilan militer di Indonesia memiliki fungsi utama melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan di lingkungan TNI. Oditur Militer
dalam melakukan penuntutan harus senantiasa memegang teguh nilai-nilai
kejujuran, kebenaran dan keadilan. Selain melakukan penuntutan, tugas
Oditur Militer adalah melaksanakan penetapan hakim dan putusan Pengadilan
Militer yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melakukan
pengawasan terhadap pelaksananaan putusan pidana bersyarat, serta
melaksanakan pemeriksaan tambahan guna melengkapi berkas perkara dari
Penyidik Polisi Militer (PM) sebelum dilimpahkan kepada pengadilan di
lingkungan peradilan militer atau pengadilan di lingkungan peradilan umum
yang berwenang disertai dengan surat dakwaan dan Keputusan Perwira
Penyerah Perkara tentang penyerahan perkara.
Oditur Militer setelah selesai melaksanakan pemeriksaan terhadap
para saksi, terdakwa dan barang bukti yang dihadirkan dalam persidangan di
Pengadilan Militer, berkewajiban surat tuntutan (requsitoir). Surat tuntutan
dibuat secara tertulis dengan mencantumkan tuntutan terhadap terdakwa
berupa penghukuman berdasarkan pemeriksaan saksi, ahli, surat dan
keterangan terdakwa yang nantinya menjadi dasar bagi hakim untuk
-
7
menjatuhkan putusan. Putusan hakim tanpa adanya tuntutan Penuntut
berakibat putusan batal demi hukum.10
Berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer, Oditur Militer dalam melakukan penuntutan diatur hal-hal
sebagai berikut:
a. Oditur melakukan penuntutan bertindak untuk dan atas nama
masyarakat, pemerintah, dan negara serta bertanggung jawab menurut
saluran hierarki.
b. Oditur melaksanakan penuntutan dengan keyakinan berdasarkan alat
bukti yang sah Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
c. Dalam melakukan penuntutan Oditur senantiasa mengindahkan norma
keagamaan, kemanusiaan dan kesusilaan serta wajib menggali nilai-
nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam masyarakat dengan
memperhatikan kepentingan pertahanan keamanan negara.
Oditur Militer dalam menjalankan fungsinya selaku penuntut umum di
lingkungan TNI akan berjalan dengan baik apabila memiliki independensi.
Makna independensi adalah tidak terpengaruh oleh pihak manapun dalam
menentukan keputusan dan mengambil kebijakan, sehingga lembaga yang
memiliki predikat independen mempunyai kebebasan dalam menentukan misi
yang diembannya. Prinsip independensi (the principle of independence)
dihubungkan dengan fungsi Oditur Militer adalah setiap menjalankan tugas,
10
Http://www.politikindonesia.com/hukum/rencana-tuntutan-bisa-jadi-komoditas, diunduh
pada hari Sabtu, 03 Mei 2014, jam 04.00 wib.
-
8
wewenang dan tanggung jawabnya seharusnya harus terbebas dari berbagai
intervensi yang bersifat mempengaruhi, namun demikian bukan bebas
sebebas-bebasnya, tetapi tetap patuh dan tunduk pada aturan hukum yang
berlaku.
Bertolak belakang dengan prinsip independensi yang seharusnya
dimiliki oleh setiap Oditur Militer dalam melaksanakan tugas dan fungsinya,
adanya kebijakan rencana tuntutan yang diberlakukan oleh Oditur Jenderal
TNI disingkat Orjen TNI sejak tahun 2006 berpotensi mengurangi
independensi Oditur Militer dalam menjalankan tugas, wewenang dan
tanggung jawabnya selaku penuntut umum. Sesuai dengan Peraturan
Panglima TNI Nomor 5/II/2009 tanggal 27 Februari 2009 tentang Petunjuk
Administrasi Oditurat Dalam Penyelesaian Perkara Pidana, yang terdapat
dalam Bab V angka 28 h tentang tuntutan disebutkan bahwa Oditur melalui
Kepala Oditurat Militer/Kepala Oditurat Militer Tinggi harus meminta
petunjuk dan arahan Orjen TNI sebelum mengajukan tuntutan:
a) Dalam Perkara :
(1) Yang diancam hukuman lima tahun atau lebih.
(2) Yang sifatnya menonjol.
b) Apabila akan menuntut bebas dari dakwaan atau lepas dari tuntutan.
Apabila mengacu Peraturan Panglima TNI Nomor 5/II/2009 tanggal
27 Februari 2009 di atas, rencana tuntutan yang seharusnya diajukan kepada
Orjen TNI guna dimintakan persetujuan hanyalah perkara yang ancaman
pidananya lima tahun atau lebih, perkara yang sifatnya menonjol maupun jika
-
9
Oditur Militer akan menuntut bebas terdakwa. Namun dalam prakteknya
terdapat fakta yang berbeda ketentuan tersebut, yaitu terhadap perkara pidana
yang ancaman pidananya di bawah lima tahun Oditur Militer juga harus
mengajukan rencana tuntutan kepada Orjen TNI. Hal tersebut dapat dilihat
dari data rencana tuntutan Oditurat Militer pada kantor Oditurat Militer III-14
Denpasar tahun 2012, terdapat 41 perkara yang diajukan rencana tuntutan.
Dari 41 rencana tuntutan, sebanyak 2 perkara diajukan rencana tuntutan lokal
hanya kepada Kaotmil III-14 Denpasar, dan sebanyak 39 perkara diajukan
rencana tuntutan kepada Orjen TNI. Selanjutnya dari 39 yang diajukan
rencana tuntutan kepada Orjen TNI terdiri dari 9 perkara yang ancaman
pidananya 5 tahun atau lebih, dan sisanya sebanyak 30 perkara ancaman
pidananya kurang dari 5 tahun, sehingga seharusnya tidak layak dimintakan
persetujuan Orjen TNI.
Keadaan demikian jika terus berlangsung akan membuat Oditur
Militer menjadi kurang profesional karena berkurangnya independensi dalam
menjalankan penuntutan. Oditur Militer yang seharusnya lebih mengetahui
fakta-fakta hukum yang ada di persidangan secara utuh, namun saat
menentukan tuntutan pidana terhadap terdakwa keputusannya menjadi
tergantung atasannya. Dengan adanya kebijakan rencana yang merupakan
fungsi kontrol, namun di sisi yang lain tidak mengajari setiap Oditur Militer
untuk mandiri dan bertanggung jawab secara penuh dalam perkara yang
sedang ditanganinya. Begitu juga tidak adanya penjelasan mengenai
perbedaan besaran tuntutan yang diajukan Oditur Militer dengan besaran
-
10
tuntutan persetujuan Orjen TNI menjadi beban tersendiri bagi setiap Oditur
Militer. Sebagai contoh Oditur Militer yang semula hanya mengajukan
tuntutan pidana berupa pidana penjara namun setelah dimintakan persetujuan
dari Orjen TNI justru memerintahkan agar menuntut terdakwa dengan pidana
pokok berupa pidana penjara dan pidana tambahan berupa pemecatan dari
dinas militer. Selain itu dengan diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan
akan mempengaruhi efektivitas percepatan penyelesaian perkara, seringkali
persidangan yang seharusnya dapat dilaksanakan tetapi harus tertunda karena
persetujuan rencana tuntutan belum turun.
Kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI melalui Surat Telegram
Orjen TNI Nomor : ST/20/2006 tanggal 22 Nopember 2006, yang isinya
Oditur Militer yang hendak melakukan penuntutan terhadap terdakwa agar
terlebih dahulu meminta persetujuan Orjen TNI dengan melampirkan fakta-
fakta hukum yang terungkap di persidangan dan hal-hal yang meringankan
serta memberatkan dalam perkara pidana yang ancaman pidananya di atas 2
(dua) tahun 8 (delapan) bulan. Penekanan ulang kebijakan tentang rencana
tuntutan dilakukan oleh Orjen TNI melalui Surat Telegram Nomor :
ST/01/2009 tanggal 18 Pebruari 2009 yang isinya setiap Oditur Militer/Oditur
Militer Tinggi yang akan melakukan penuntutan terhadap terdakwa agar
terlebih dahulu meminta persetujuan Orjen TNI yang dituangkan dalam
rencana tuntutan terhadap perkara yang ancaman pidananya dua tahun
delapan bulan dan perkara yang ancaman pidananya dua tahun delapan bulan
-
11
ke bawah, tetapi akan dituntut dengan hukuman tambahan pemecatan dari
dinas militer, kecuali terhadap perkara desersi in absensia.
Kemudian setelah adanya Peraturan Panglima TNI Nomor 5/II/2009
tanggal 27 Februari 2009, ternyata kebijakan rencana tuntutan tetap
dilanjutkan meski sebenarnya tidak wajib melakukan rencana tuntutan, yaitu
melalui Surat Telegram Orjen TNI Nomor : ST/11/2011 tanggal 28 Desember
2011, ST/04/2012 tanggal 31 Januari 2012 dan ditekankan lagi melalui Surat
Telegram Orjen TNI Nomor : ST/26/2012 tanggal 21 Desember 2012, yang
isinya rencana tuntutan diajukan kepada Orjen TNI terhadap perkara-perkara:
a. Perkara yang akan dituntut kurang dari tiga bulan.
b. Perkara narkotika dan psikotropika.
c. Perkara susila yang melibatkan Keluarga Besar TNI.
d. Perkara yang ancaman pidananya lebih dari dua tahun delapan bulan.
e. Perkara yang ancaman pidananya kurang dari dua tahun delapan
bulan, tetapi akan dituntut dengan hukuman tambahan pemecatan
kecuali perkara desersi in absensia.
f. Perkara yang dimintakan Petunjuk Orjen TNI untuk Tuppera atau
Kumplin dan sesuai Petunjuk Orjen tetap diselesaikan melalui
Dilmil/Dilmilti.
Selain kebijakan rencana tuntutan, hal mendasar terkait dengan
permasalahan independensi Oditur Militer adalah faktor kelembagaan
Oditurat yang terjadi tumpang tindih dalam hierarki pertanggung jawaban.
Apabila mengacu dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor
-
12
31 Tahun 1997, disebutkan pembinaan organisasi dan prosedur administrasi,
finansial Oditurat dilakukan oleh Panglima. Kemudian berdasarkan
Penjelasan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997, bahwa Oditur
Jenderal TNI dalam melaksanakan tugas di bidang teknis penuntutan
bertanggung jawab kepada Jaksa Agung Republik Indonesia selaku penuntut
umum tertinggi di negara Republik Indonesia melalui Panglima, sedangkan
dalam pelaksanaan tugas pembinaan Oditurat bertanggung jawab kepada
Panglima. Jika mengacu ketentuan pada Pasal 7 ayat (1) dan Penjelasan 57
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 Oditurat Jenderal TNI (Otjen TNI)
selaku Badan Penuntut Tertinggi di lingkungan TNI berada langsung di
bawah kendali Panglima TNI. Namun kenyataan Otjen TNI dalam pembinaan
penyelenggaraan Oditurat berada di bawah Badan Pembinaan Hukum TNI
(Babinkum TNI), dan Otjen TNI bertanggung jawab secara teknis yustisial di
bawah pengawasan Jaksa Agung RI selaku Penuntut Tertinggi di Negara
Republik Indonesia melalui Panglima TNI. Dengan demikian hierarki
pertanggung jawaban Otjen TNI terjadi dualisme pengendali/kepemimpinan,
sehingga hal tersebut sangat memungkinkan terjadinya tarik ulur kepentingan
terhadap lembaga Oditurat.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah diatas, maka penulis
menyusun rumusan masalah sebagai berikut :
-
13
1. Bagaimana independensi Oditur Militer dalam melaksanakan
fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan diberlakukannya
kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI sejak tahun 2006?
2. Upaya-upaya apakah yang harus dilakukan dalam mewujudkan Oditur
Militer yang memiliki independensi dalam sistem peradilan militer di
Indonesia?
1.3. Ruang Lingkup Masalah
Tesis mengenai Independensi Oditur Militer Tentara Nasional
Indonesia Dalam Melaksanakan Fungsinya di Oditurat Militer III-14
Denpasar akan membahas dua hal, yaitu mengenai independensi Oditur
Militer dalam melaksanakan fungsinya selaku Penuntut Umum TNI di
Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan diberlakukannya kebijakan rencana
tuntutan yang dikeluarkan oleh Orjen TNI sejak tahun 2006 dan upaya-upaya
apakah yang harus dilakukan dalam mewujudkan Oditur Militer agar
memiliki independensi dalam sistem peradilan militer di Indonesia.
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menganalisis
mengenai independensi Oditur Militer sebagai PenuntutUmum di
lingkungan TNI dalam melaksanakan fungsinya dalam sistem
paradilan militer.
-
14
1.4.2 Tujuan Khusus
a. Untuk menggambarkan dan menganalisis bagaimana
independensi Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya
sebagai Penuntut Umum di Oditurat Militer III-14 Denpasar
dengan diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan sebelum
melakukan penuntutan.
b. Untuk menganalisis upaya-upaya apasaja yang harus dilakukan
dalam mewujudkan Oditur Militer yang memiliki independensi
dalam sistem peradilan militer di Indonesia.
1.5. Manfaat Penelitian
1.5.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi
pengembangan hukum pidana di Indonesia yang didalamnya termasuk
hukum pidana militer untuk menguatkan teori-teori yang telah ada.
1.5.2 Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangsih bagi
institusi penuntutan di lingkungan TNI, sehingga dapat dijadikan
bahan pembanding dalam membuat kebijakan di bidang
penuntutan.
b. Memberikan atensi berupa gambaran kepada masyarakat
maupun praktisi hukum tentang sistem penuntutan yang ada di
lingkungan TNI dan ciri khusus yang dimilikinya.
1.6. Orisinalitas Tesis
-
15
Tesis ini belum ada yang menulis sebelumnnya, adapun sebagai bahan
pembanding adalah :
a. Sistem Peradilan Militer dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 34
Tahun 2004 oleh Mahasiswa Universitas Udayana atas nama Siti Alifah.
Tesis ini menitik beratkan pada Sistem Peradilan Militer dalam Undang-
Undang nomor 31 Tahun 1997, setelah berlakunya Undang-Undang
Nomor 34 tahun 2004 dan Kompetensi Peradilan Militer yang akan
datang.11
b. Wewenang Peradilan Militer dalam Mengadili Prajurit TNI Dengan
Berlakunya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI oleh
Mahasiswa Universitas Udayana atas nama AAA. Oka Putu Dewi Iriani.
Tesis ini memfokuskan pembahasan pada kewenangan Peradilan Militer
mengadili perkara tertentu dan kewenangan Peradilan Militer dalam
mengadili Prajurit TNI yang akan datang.12
c. Kebijakan Legislatif Hukum Pidana Militer di Indonesia oleh Mahasiswa
Universitas Diponegoro atas nama Supriyadi. Tesis ini membahas tentang
kebijakan legislatif mengenai hukum pidana militer dalam hukum positif
di Indonesia saat ini dan masa yang akan datang.13
11
Siti Alifah, 2007, Sistem Peradilan Militer dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004. (tesis), Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
12
AAA. Oka Putu Dewi Iriani, 2007, Wewenang Peradilan Militer dalam Mengadili Prajurit TNI Dengan Berlakunya Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI. (tesis), Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
13
Supriyadi, 2004, Kebijakan Legislatif Hukum Pidana Militer di Indonesia. (tesis), Program Pasca Sarjana Program Studi Magister Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
-
16
1.7. Landasan Teoritis Dan Kerangka Berpikir
Untuk menganalis data yang telah dikumpulkan dari hasil penelitian,
dan untuk menjawab pertanyaan sebagaimana dalam rumusan masalah, maka
digunakan landasan teoritis, yang terdiri dari asas-asas hukum, konsep-
konsep hukum, doktrin dan teori-teori hukum, yaitu :
1.7.1. Asas-Asas Hukum
Menurut Scholten asas hukum adalah kecenderungan-
kecenderungan yang diisyaratkan oleh pandangan kita pada hukum,
merupakan sifat-sifat umum dengan segala keterbatasannya sebagai
pembawaan yang umum itu, tetapi yang tidak boleh tidak harus ada.14
a. Asas-Asas Sistem Peradilan Militer
Dalam hukum acara pada peradilan militer di Indonesia
sesuai Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer berpedoman pada asas-asas
yang tercantum dalam tercantum dalam Undang-Undang
Pokok Kehakiman, tanpa mengabaikan asas dan ciri-ciri dalam
tata kehidupan militer sebagai berikut:
1) Asas kesatuan komando.
Kehidupan prajurit TNI/militer dalam struktur
organisasinya menempatkan seorang komandan dengan
kedudukan sentral dan bertanggung jawab penuh terhadap
kesatuan dan anak buahnya. Oleh sebab itu seorang komandan
14
Sudikno Mertokusumo, 2004, Penemuan Hukum, Penerbit Liberty, Yogyakarta, h. 5
-
17
diberi wewenang penyerahan perkara dalam penyelesaian
perkara pidana dan berkewajiban untuk menyelesaikan
sengketa Tata Usaha di lingkungan Tentara Nasional
Indonesia yang diajukan oleh anak buahnya melalui upaya
administrasi.
2) Asas komandan bertanggung jawab terhadap anak
buahnya.
Tata kehidupan dan ciri-ciri organisasi Tentara
Nasional Indonesia, komandan berfungsi sebagai pimpinan,
guru, bapak, dan pelatih, sehingga seorang komandan harus
bertanggung jawab penuh terhadap kesatuan dan anak
buahnya.Asas ini adalah merupakan kelanjutan dari asas
kesatuan komando.
3) Asas kepentingan militer.
Untuk menyelenggarakan pertahanan dan keamanan
negara, kepentingan militer diutamakan melebihi daripada
kepentingan golongan dan perorangan, namun dalam proses
peradilan pidana militer kepentingan militer selalu
diseimbangkan dengan kepentingan hukum.
b. Asas-asas di bidang pengorganisasian militer yaitu :15
1) Asas komando tunggal (unity of command);
15
S.R. Sianturi, 2010, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Babinkum TNI, Jakarta
(Selanjutnya disebut S.R. Sianturi II), h. 16.
-
18
2) Asas pembagian tugas yang serasi (homogenus
assignment);
3) Asas delegasi kekuasaan (delegation of authority);
4) Asas rentang dan penggunaan pengawasan (spanned
and spent of control);
5) Asas rantai komando (chain of command);
6) Asas kekenyalan (flexibility);
7) Asas mobilitas (mobility);
8) Asas keserhanaan (simplicity);
9) Asas pembekalan sendiri (self sufficiency).
1.7.2. Konsep-Konsep Hukum
Menurut Soerjono Soekanto konsep merupakan kumpulan dari
arti-arti yang berkaitan dengan istilah.16
a. Konsep Mengenai Independensi
Independensi atau imparsialitas lembaga peradilan
merupakan konsep dari doktrin separation of power
(pemisahan/pembagian kekuasaan) yang dikenalkan oleh
Montesquieu. Montesquieu menginginkan pemisahan
/pembagian harus dilakukan secara tegas agar cabang-cabang
kekuasaan negara tidak saling mempengaruhi, yaitu kekuasaan
membuat undang-undang (legislative power), kekuasaan
16
Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum Cetakan III, Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta, h. 132.
-
19
menjalankan undang-undang (executive power), dan
kekuasaan kehakiman (judicial power).17
Menurut Gerald Turkel, kemandirian hukum dan
pranata hukum serta personel penegaknya tidak mungkin
dipahami kecuali dalam kontek sosial.18
Dalam pandangan
Turkel, gagasan tentang kemandirian hukum dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan sosial dan nilai-nilai yang sifatnya
nonhukum, di mana hubungan ekonomi, politik, kekuasaan,
stratifikasi dapat melemahkan kemandirian, sehingga
kemandirian sangat berkaitan dengan the rule of law. Jika
kadar kemandirian dan kemerdekaan pranata hukum dan
penalaran hukum tidak kuat, maka the rule of law akan runtuh
menjadi alat dari berbagai kepentingan yang kuat, sehingga
kemandirian diartikan sebagai komitmen yang kuat untuk
melaksanakan the rule of law dalam realita.
b. Konsep Mengenai Oditur Militer (Ormil)
Menurut kamus hukum Oditur adalah penuntut umum
pada pengadilan tentara.19
Sedangkan Berdasarkan ketentuan
Pasal 47 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang
Peradilan Militer, bahwa Oditur adalah pejabat fugsional yang
17
Ikahi, 2012, Varia Peradilan : Majalah Hukum Tahun XXVII No. 323 Oktober 2012,
Penerbit Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta Pusat, h. 32. 18
Ahmad Ali, 2004, Sosiologi Hukum : Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, Penerbit BP
IBLAM, Jakarta, h. 209. 19
Setiawan Widagdo, 2012, Kamus Hukum Cetakan Pertama, Penerbit PT. Prestasi
Pustakarya, Jakarta, h. 166.
-
20
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dan
penyidikan di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI)
dan Oditur adalah satu tidak terpisah-pisahkan dalam
melakukan penuntutan.
Oditur Militer dalam melaksanakan tugasnya dilandasi
dengan slogan Jujur, Benar dan Adil yang memiliki makna
suatu kebulatan yang menggambarkan kemuliaan, tekad dan
kesungguhan hati untuk melaksanakan tugasnya, harus lurus
hati, tidak curang, tulus ikhlas dan berani mengatakan benar
itu benar dan yang salah itu salah.
1.7.3. Doktrin
Doktrin Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah Tri Darma
Ekakarma yang berasal dari bahasa Sansekerta, yakni tri berarti tiga,
darma berarti pengabdian, eka berarti satu, dan karma berarti
perjuangan. Hakikat dari doktrin TNI adalah memberikan suatu
pengertian luhur yang merupakan pengabdian tiga matra dalam satu jiwa,
tekad dan semangat perjuangan TNI yang dilandasi oleh nilai-nilai
yang tekandung dalam Sapta Marga, Sumpah Prajurit dan Delapan
Wajib TNI. Nilai-nilai tersebut adalah sebagai berikut :
a. Sapta Marga
1. Kami Warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersandikan Pancasila.
2. Kami Patriot Indonesia, mendukung serta pembela Ideologi Negara yang bertanggung jawab dan tidak
mengenal menyerah.
-
21
3. Kami Ksatria Indonesia, yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta membela kejujuran, kebenaran dan
keadilan.
4. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, adalah Bhayangkari Negara dan Bangsa Indonesia.
5. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, memegang teguh disiplin, patuh dan taat kepada pemimpin serta
menjunjung tinggi sikap dan kehormatan Prajurit.
6. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, mengutamakan keperwiraan didalam melaksanakan tugas, serta senantiasa
siap sedia berbakti kepada Negara dan Bangsa.
7. Kami Prajurit Tentara Nasional Indonesia, setia dan menepati janji serta Sumpah Prajurit.
b. Sumpah Prajurit
1. Setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan.
3. Taat kepada atasan dengan tidak membantah perintah atau putusan.
4. menjalankan segala kewajiban dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Tentara dan Negara Republik
Indonesia.
5. Memegang rahasia segala rahasia tentara sekeras-kelasnya.
c. Delapan Wajib TNI
1. Bersikap ramah tamah terhadap rakyat. 2. Bersikap sopan santun terhadap rakyat. 3. menjunjung tinggi kehormatan wanita. 4. Menjaga kehormatan diri di muka umum. 5. Senantiasa menjadi contoh dalam sikap dan
kesederhanaannya.
6. Tidak sekali-kali merugikan rakyat. 7. Tidak sekali-kali manakuti dan menyakiti hati rakyat. 8. menjadi contoh dan memelopori usaha-usaha untuk
mengatasi kesulitan rakyat sekelilingnya.
1.7.4. Landasan Teori
Teori adalah bagian yang sangat penting dalam menganalisis
suatu permasalahan, sehingga akan memudahkan dalam mencari suatu
solusi pemecahannya. Radbruch mendefinisikan makna dari teori
-
22
hukum sebagai : The task of legal theory is clarification of legal
values and postulates up to their ultimate philosophical foundation.20
Tugas teori hukum adalah membuat jelas nilai-nilai hukum serta
postulat-pustulatnya sampai pada landasan filosofisnya yang terdalam.
Tesis ini menggunakan beberapa teori yang berhubungan
dengan permasalahan yang dibahas. Adapun teori yang digunakan
adalah sebagai berikut:
a. Teori Sistem Hukum
Menurut Lawrence M. Friedman bahwa efektivitas
penegakan hukum tergantung dari 3 (tiga) unsur sistem hukum
yang mempengaruhi, yaitu struktur hukum (struktur of law),
substansi hukum (substance of the law) dan budaya hukum (legal
culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum,
substansi hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan
budaya hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang
dianut dalam suatu masyarakat.
Tentang struktur hukum Lawrence M. Friedman
menjelaskan bahwa :
To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system consist of elements of this kind: the number and size of courts;
their jurisdictionstrukture. Also means how the legislature is organized. What procedures the police department follow, and go.
Structure is away, is a kind of crosss section of the legal system.
Akind of photograph with free the action.
20
Jhonny Ibrahim, 2005, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia
Publishing, Malang, h. 179-180.
-
23
Struktur dalam sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah
dan ukuran pengadilan, yurisdiksinnya dan tata cara naik banding
dari pengadilan ke pengadilan lainnya. Struktur juga berarti
bagaimana badan legislatif ditata, apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan oleh presiden, prosedur ada yang diikuti oleh kepolisian
dan sebagainya. Jadi struktur (legal structure) terdiri dari lembaga
hukum yang ada dimaksudkan untuk menjalankan perangkat
hukum yang ada.21
Substansi hukum (substance of the law) dapat dipahami
sebagai berikut :
Another aspect of the legal system is its substance. By this is
meast the actual rules, norm, and behavioral patterns of people
inside the system the stress here is on living law, not just rules
in law goods.
Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya. Yang
dimaksud dengan substansinya adalah aturan, norma, dan pola
perilaku nyata manusia yang berada dalam system itu. Jadi
substansi hukum menyangkut peraturan perundang-undangan
yang berlaku yang memiliki kekuatan yang mengikat dan menjadi
pedoman bagi aparat penegak hukum.22
21
Lawrence M. Friedman, 1984, American Law An Introduction, WW. Norton and
Company, New York, h. 7. 22
Ibid
-
24
Sedangkan mengenai budaya hukum Friedman
berpendapat sebagai berikut :
The third component of legal system, of legal culture. By this we
mean peoples attitudes toward law and legal system their belief,
in other word, is the eliminate of social thought and social force
which determines how law is used aveded andavused.
Budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk budaya
hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem
hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk
menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik apapun
kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya
hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan
masyarakat, maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara
efektif.23
b. Teori Kebijakan Hukum Pidana
Menurut Barda Nawawi Arief upaya atau kebijakan untuk
melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan termasuk
bidang kebijakan kriminal (criminal policy). Kebijakan kriminal
ini pun tdak lepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu kebijakan
sosial(social policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya
untuk kesejahteraan sosial (social welfare polcy) dan upaya-upaya
23
Ibid
-
25
untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).24
Tujuan
utama dari kebijakan hukum pidana adalah perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Pencegahan dan
penanggulangan kejahatan dengan dengan sarana penal
merupakan penal policy atau penal law enforcement yang
operasionalisasinya melalui tiga tahapan, yaitu tahap formulasi
(kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial)
dan tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).
Tahapan aplikasi memegang peranan penting dalam upaya
pencegahan dan penanggulangan kejahatan selain aparatur
penegak hukum. Tahapan aplikasi merupakan tahapan yang paling
strategis dari penal policy, karena apabila terjadi kesalahan dalam
tahap aplikasi justru akan dapat menjadi penghambat bagi
kemajuan sistem penegakkan hukum pidana. Selain daripada itu
pencegahan dan penanggulangan harus menunjang tujuan
kesejahteraan rakyat (social welfare) dan perlindungan
masyarakat (social defense).
c. Teori Fungsi Hukum
Menurut teori utility, Jeremy Bentham berpendapat bahwa
tujuan hukum ialah menjamin adanya kemanfaatan atau
kebahagiaan sebanyak-banyaknya bagi masyarakat luas. Hukum
dapat mengorbankan kepentingan individu perorangan demi
24
Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana
dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, h. 77.
-
26
kepentingan masyarakat luas terpenuhi. Hukum bertujuan untuk
mewujudkan hal-hal yang bermanfaat atau berfaedah bagi orang,
dan tidak mempertimbangkan tentang hal-hal yang konkrit. Oleh
sebab itu apa yang bermanfaat belum tentu memenuhi nilai-nilai
keadilan.
Sedangkan fungsi hukum dalam masyarakat menurut
Roscoe Pound adalah law as a tool of social engineering25
Dalam
hal ini hukum bukan saja sebagai sekumpulan sistem peraturan,
doktrin, dan kaidah atau azas-azas, yang dibuat dandiumumkan
oleh badan yang berwenang, tetapi juga proses-proses yang
mewujudkan hukum itu secaranyata melalui penggunaan
kekuasaan. Oleh karena itu hukum menjadi alat legitimasi
penguasa untuk berbuat terhadap rakyatnya, sehingga hukum
menjadi alat pengendali penguasa terhadap rakyatnya.
Pound menggolongkan kepentingan-kepentingan yang
secara sah dilindungi, dalam tiga golongan yaitu:26
1) Kepentingan-kepentingan umum (public interests);
2) Kepentingan-kepentingan sosial (social interests);
3) Kepentingan-kepentingan individu (individual interests).
Penggolongan-penggolongan kepentingan tersebut dimaksudkan
jika terjadi perselisihan kepentingan dalam proses pembangunan
25
H.R. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, 2004, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum,
Penerbit P.T. Alumni, Bandung, h. 33. 26
W. Friedmann, 1994, Teori & Filsafat Hukum : Idealisme Filosafis & Problema Keadilan,
PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 141.
-
27
khususnya benturan kepentingan umum atau sosial dengan
kepentingan individu, maka perlu diupayakan keseimbangan atau
harmonisasi kepentingan. Harmonisasi kepentingan akan terjadi
perubahan-perubahan sosial, serta membawa kemajuan dalam
masyarakat dan peradabannya, sehingga hukum akan memilih dan
mengakui kepentingan yang lebih utama melalui penggunaan
kekuasaan.
d. Teori Sistem Peradilan Pidana
Muladi mengemukakan bahwa sistemperadilanpidana
merupakan suatu jaringan (network) yang menggunakan hukum
pidana materiil, hukum pidana formal maupun hukum pelaksana
pidana.27
Makna integrated criminal justice system adalah
sinkronisasi atau keserampakan dan keselarasan, yang dibedakan
dalam :
1) Sinkronisasi struktural (structural syncronization), yaitu
keserampakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antar
lembaga penegak hukum.
2) Sinkronisasi subtansial (subtancial syncronization), adalah
keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan
horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
3) Sinkronisasi kultural (cultural syncronization), yaitu
keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-
27
Romli Atmasasmita,2010, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, h. 5.
-
28
pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh
mendasari jalannya sistem peradilan pidana.
1.7.5. Kerangka Berpikir
Tesis tentang Independensi Oditur Militer Tentara Nasional
Indonesia (TNI) Dalam Melaksanakan Fungsinya di Oditurat Militer
III-14 Denpasar, dapat digambarkan dalam kerangka berfikir sebagai
berikut:
-
29
Gambar 1 Kerangka Berpikir
Independensi Oditur Militer Tentara Nasional Indonesia (TNI) Dalam
Melaksanakan Fungsinya Di Oditurat Militer III-14 Denpasar
Rumusan Masalah :
1. Bagaimana independensi
Oditur Militer dalam
melaksanakan fungsinya di
Oditurat Militer III-14
dengan diberlakukannya
kebijakan rencana tuntutan
dari Orjen TNI sejak tahun
2006 ?
2. Upaya-upaya apakah yang
harus dilakukan dalam
mewujudkan Oditur Militer
yang memiliki independensi
dalam sistem peradilan
pidana militer di Indonesia?
Metode Penelitian :
Jenis Penelitian Sifat Penelitian Data & Sumber
Data
Pengolahan dan Analisis Data
Lokasi Penelitian
Landasan Teoritis :
Asas-Asas Hukum
Konsep-Konsep Hukum
Doktrin Landasan Teori
Sasaran :
1. Mengetahui bagaimana independensi Oditur
Militer dalam melaksanakan fungsinya
selaku penuntut umum TNI dengan
diberlakukannya kebijakan rencana tuntutan
dari Orjen TNI sejak tahun 2006.
2. Mencari upaya-upaya dalam mewujudkan
Oditur Militer TNI yang memiliki
independensi dalam sistem peradilan militer
di Indonesia.
Latar Belakang Masalah
Adanya kebijakan rencana tuntutan dari Orjen TNI yang berlaku sejak
2006 dan di sisi lain adanya dualisme wewenang kendali lembaga
Oditurat yang berpotensi mengurangi terhadap independensi Oditur
Militer selaku penuntut umum di lingkungan TNI
-
30
1.8. Hipotesis
Hipotesis-hipotesis adalah dugaan-dugaan yang belum diuji berkenan
dengan hubungan-hubungan di dalam kenyataan.28
Hipotesis atau jawaban
sementara rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
a. Jika kebijakan rencana tuntutan tetap diberlakukan, maka Oditur Militer
dalam melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar
menjadi tidak independen.
b. Upaya-upaya yang harus dilakukan dalam mewujudkan Oditur Militer
memiliki independensi dalam sistem peradilan militer, yaitu secara
teknis dengan menghapus kebijakan rencana tuntutan dan upaya secara
kelembagaan dengan menyatukan kendali Oditurat baik secara teknis
yustisial maupun secara organisasi, prosedur dan finansial di bawah
Panglima TNI.
1.9.Metode Penelitian
1.9.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersumber dari data rencana tuntutan Oditur
Militer sebelum melakukan penuntutan di Oditurat Militer III-14
Denpasaryang berhubungan dengan fungsi Oditur Militer selaku
penuntut umum di lingkungan TNI. Pada penelitian ini menggunakan
data, maka dengan sendirinya merupakan penelitian empiris.29
28
B. Arief Sidharta, 2000, Apakah Teori Hukum Itu, Fakultas Ilmu Hukum Universitas
Katolik Parahyangan, Bandung, h. 88. 29
Mukti Fajar N.D.dan Achmad, Yulianto, 2007, Dualisme Penelitian Hukum, Pensil
Komunika, Yogyakarta, h. 32.
-
31
Penelitian hukum empiris merupakan penelitian lapangan yang
bertitik tolak dari data primer yang diperoleh langsung dari
masyarakat dan direalisasikan kepada penelitian terhadap efektivitas
hukum.30
Hukum pada kenyataan dibuat dan diterapkan oleh manusia
hidup dalam masyarakat, artinya keberadaan hukum tidak bisa
dilepaskan dari keadaan sosial masyarakat serta perilaku manusia
yang terkait dengan lembaga hukum tersebut. Kajian dalam tesis ini
adalah independensi Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya di
Oditurat Militer III-14 Denpasar dengan diberlakukannya kebijakan
rencana tuntutan dari Orjen TNI sejak tahun 2006.
1.9.2. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan tujuan untuk
menggambarkan secara tepat terhadap suatu peristiwa, gejala dan
keadaan yang sebenarnya dari permasalahan tentang independensi
Oditur Militer Militer selaku penuntut umum TNI dalam
melaksanakan fungsinya di Oditurat Militer III-14 Denpasar terkait
adanya kebijakan rencana tuntutan sejak tahun 2006. Metode
diskriptif adalah metode yang bertujuan membuat diskripsi atau
gambaran faktual secara sistematis yang akurat dan faktual
mengenai data yang terperinci serta fenomena-fenomena yang
diteliti.
30
Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, h. 16.
-
32
Sifat diskriptif dalam penelitian ini disesuaikan dengan metode
penelitian dalam menggambarkan tentang fenomena-fenomana yang
di teliti. Fakta-fakta yang ada dilakukan dengan suatu interpretasi,
evaluasi, dan pengetahuan umum, karena fakta tidak akan mempunyai
arti tanpa interpretasi evaluasi dan pengetahuan umum.31
1.9.3. Data dan Sumber Data
a. Data Primer
Data primer didapat dari observasi dan wawancara
dengan narasumbar yang berhubungan langsung dengan
permasalahan yang diteliti, yaitu hasil wawancara dengan
Oditur Militer di Oditurat Militer III-14 Denpasar maupun data
penunjang berupa rencana tuntutan yang ada di Oditurat
Militer III-14 Denpasar.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan bahan hukum dalam
penelitian yang diambil dari studi kepustakaan (studi
dokumentasi) yang terdiri dari :
1) Bahan hukum primernya berupa Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Militer (KUHPM), Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
31
I.S. Susanto, 1990, Kriminologi, Penerbit Undip, Semarang, h. 15
-
33
Militer, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34
Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 25 Tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer,
Peraturan Panglima TNI Nomor : Perpang/5/II/2009
tentang Petunjuk Administrasi Oditurat Dalam
Penyelesaian Perkara Pidana dan peraturan-peraturan
yang terkait dengan permasalahan.
2) Bahan hukum sekunder terdiri dari berbagai macam
literatur hukum, jurnal-jurnal hukum dan artikel ilmiah.
Bahan hukum sekunder ini didapat dari bacaan yang
berupa Petunjuk Pelaksanaan (Juklak), Petunjuk Teknis
(Juknis), Standar Operasi dan Prosedur (SOP) yang ada di
lingkungan TNI.
3) Bahan hukum tersier diambil dari kamus hukum dan
enslikopedi.
1.9.4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data primer dalam penelitian ini
dilakukan melalui observasi secara langsung dan wawancara
(intervew) baik secara tertutup (closed interview) maupun secara
terbuka (open interview) dengan narasumber yang terkait dengan
permasalahan. Wawancara merupakan proses tanya jawab yang
-
34
berlangsung secara lisan dan bertatap muka dengan dua orang atau
lebih guna mendapatkan informasi serta keterangan yang
dibutuhkan.32
Wawancara akan dilakukan dengan Oditur Militer
dikantor Oditurat Militer III-14 Denpasar.
Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi
kepustakaan. Metode pengumpulan data ini sangat bermanfaat karena
dapat dilakukan tanpa menggunakan obyek penelitian teknik studi
kepustakaan digunakan untuk mengumpulkan data sekunder dalam
bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
lingkungan TNI, putusan hakim di lingkungan peradilan militer dan
publikasi ilmiah lainnya yang relevan dengan tesis ini.
1.9.5. Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel
dengan metode non probability sampling dalam bentuk purposive
sampling atau judgemental sampling yaitu pengambilan sampel
berdasarkan penilaian peneliti mengenai siapa saja yang pantas
(memenuhi syarat) untuk dijadikan sampel. Penerapan tata cara
sampel tersebut, mempunyai beberapa keuntungan, misalnya :33
1. Tata cara ini tidak mengikuti seleksi secara random, sehingga
lebih mudah dan tidak akan banyak menelan biaya.
32
Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, 2004, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta,
h. 83. 33
Soerjono Soekanto, op cit, h. 196.
-
35
2. Tata cara ini menjamin keinginan peneliti, untuk memasukkan
unsur-unsur tertentu ke dalam sample-nya.
Selanjutnya pengambilan sampel secara purposive sampling
dengan kriteria narasumber yang diwawancari adalah pihak yang
berkopeten dalam bidang penuntutan TNI dalam sistem peradilan
militer di wilayah Denpasar Bali, yaitu Oditur Militer di Kantor
Oditurat Militer III-14 Denpasar.
1.9.6. Pengolahan dan Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis secara
kualitatif, yaitu dengan mengangkat fenomena yang terjadi di
lapangan,dengan pengkajian terhadap pemikiran secara mendalam
mengenai gejala-gejala yang menjadi obyek penelitian.34
Fenomena
yang diangkat dalam tesis ini dibahas dan dikaji menggunakan teori-
teori hukum dan diselaraskan dengan ketentuan-ketentuan normatif
dengan yang ada.
Kemudian dari hasil analisis tersebut disajikan secara
deskriptif analitis dalam bentuk uraian-uraian, sehingga mendapatkan
gambaran dan kesimpulan yang jelas dalam membahas masalah yang
dikemukakan. Menurut Bambang Sunggono bahwa deskriptif analitis
adalah permasalahan yang ada dipaparkan dalam bentuk uraian-uraian
yang berhubungan dengan teori-teori hukum yang ada, sehingga
34
Burhan Ashsofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, h. 57.
-
36
memperoleh suatu kesimpulan dan gambaran yang jelas dalam
pembahasan masalah.35
1.9.7. Lokasi Penelitian
Penelitian mengenai Analisis Independensi Oditur Militer
Tentara Nasional Indonesia(TNI) Dalam Melaksanakan Fungsinya Di
Oditurat Militer III-14 Denpasar, telah dilaksanakan di Kantor
Oditurat Militer III-14 Denpasar yang daerah hukumnya meliputi
Wilayah Bali dan Nusa Tenggara Barat.
35
Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
h. 134.
-
37
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HAKEKAT INDEPENDENDI, ODITUR
MILITER SEBAGAI PENUNTUT UMUM TNI, SISTEM PERADILAN
PIDANA MILITER, SISTEM PENUNTUTAN DI LINGKUNGAN
KEJAKSAAN DAN KEBIJAKAN RENCANA TUNTUTAN
2.1 Hakekat Independensi
Hakikat independensi ialah secara mendasar memiliki arti bahwa
orang mampu untuk menentukan sendiri secara bebas dalam mengambil
keputusan, tetapi tetap terikat oleh suatu aturan. Menurut Franz Magnis
Suseno, kebebasan di sini terbagi dalam dua jenis, yaitu kebebasan
eksistensial dan kebebasan sosial.36
Hakekat kebebasan eksistensial adalah
terdiri dalam kemampuan manusia untuk menentukan dirinya sendiri yang
sifatnya positif. Maksud dari konsep kebebasan ini adalah kebebasan tidak
menekankan segi bebas dari apa, tetapi bebas untuk apa. Jadi kebebasan itu
mendapat wujudnya yang positif dalam tindakan manusia yang disengaja
dilakukan dengan maksud dan tujuan tertentu. Sedangkan hakekat kebebasan
sosial berarti suatu keadaan di mana manusia tidak berada di bawah paksaan,
tekanan atau kewajiban dan larangan dari pihak manusia lainnya.37
Kebebasan eksistensial dan kebebasan sosial merupakan satu kesatuan
utuh dari kebebasan yang dimiliki manusia. Dalam memaknai kebebasan
36
Ahmad Kamil, 2012, Filsafat Kebebasan Hakim, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, h.
149. 37
Ibid, h. 155.
37
-
38
dihubungkan dengan fungsi suatu lembaga tentunya tidak dapat dilepaskan
dari tanggung jawab yang menyertainya. Tanggung jawab merupakan sesuatu
yang membatasi kebebasan sosial agar tidak bertabrakan dengan kebebasan
orang lain yang dapat memuaskan seluruh tuntutan kebebasan eksistensial
manusia yang sesungguhnya memiliki dua dimensi. Pertama, mengandaikan
bahwa tanggung jawab merupakan bentuk aturan yang dilegitimasi oleh
lingkungan sosial manusia, dalam hal ini disebut masyarakat, untuk
menjamin hak-hak semua anggota masyarakat dan demi kepentingan dan
kemajuan masyarakat sesuai batas wewenang masing-masing. Kedua,
tanggung jawab merupakan ungkapan sadar manusia atas kebebasan
eksistensial agar digunakan dalam batas-batas yang tidak mengganggu dan
menimbulkan kerugian pada orang lain.38
Independensi Oditur Militer dalam melaksanakan fungsinya selaku
penuntut umum di lingkungan TNI merupakan prasyarat mutlak demi
terjaminnya tegaknya hukum dan keadilan yang merupakan cita-cita dari
suatu negara hukum. Prinsip independensi atau kemandirian (the principle of
independece) terhadap Oditur Militer dalam menjalankan fungsinya sebagai
penuntut umum TNI harus tercermin pada setiap mengambil keputusan,
terutama dalam melakukan penuntutan dalam sistem peradilan militer di
Indonesia. Independensi Oditur Militer dan Oditurat terwujud dalam
kemandirian oditurat sebagai institusi penuntutan yang berwibawa,
bermartabat dan terpercaya. Independensi terhadap peran dan fungsi Oditur
38
Ibid, h. 158.
-
39
Militer dalam hal ini harus terbebas dari berbagai bentuk intervensi, baik
secara langsung maupun tidak langsung yang berasal dari dalam maupun luar
institusinya.
Tolok ukur atau batasan independensi Oditur Militer dikaitkan dengan
fungsi utamanya adalah melakukan penuntutan dalam sistem peradilan militer
di Indonesia terbebas dari pengaruh dan bebas dari paksaan maupun
rekomendasi. Jika Oditur Militer sebagai Penuntut Umum di lingkungan TNI
dalam melakukan penuntutan tidak independent, tentunya akan berdampak
kepada putusan hakim militer nantinya. Tujuan utama penuntutan oleh Oditur
Militer selaku penuntut umum adalah untuk mencari dan mendapatkan
kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu
perkara pidana sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku guna menentukan
apakah orang yang didakwanya dapat dinyatakan bersalah. Oditur Militer
dalam melakukan penuntutan juga bertujuan melindungi hak asasi individu,
baik yang menjadi korban maupun pelaku tindak pidana.
2.2 Oditur Militer Sebagai Penuntut Umum TNI
2.2.1. Pengertian dan Kewenangan Oditur Militer
Oditur Militer dan Oditur Militer Tinggi yang selanjutnya
disebut Oditur adalah pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak
sebagai penuntut umum, sebagai pelaksana putusan atau penetapan
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau Pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum dalam perkara pidana, dan sebagai penyidik
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Oditur Militer adalah
-
40
pejabat fungsional yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang
penuntutan dan penyidikan dilingkungan TNI. Oditur adalah satu
tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan penuntutan. Profesi Oditur
apabila dikaitkan dengan lingkup tugas dalam dimensi penegakan
hukum (law enforcement) mempunyai tugas, wewenang dan tanggung
jawab sesuai Pasal 1 dan Pasal 64 Undang-Undang Nomor 31 tahun
1997 tentang Peradilan Militer adalah sebagai berikut :
a. Melakukan penyidikan.
b. Pemeriksaan tambahan.
c. Penuntutan perkara pidana.
d. Melaksanakan penetapan hakim atau putusan pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer dan peradilan umum.
Tugas wewenang dan tangung jawab Oditur Militer/Oditur
Militer Tinggi merupakan perpanjangan tangan dari tugas, wewenang
dan tanggung jawab Oditur Jenderal TNI. Kedudukan Oditurat
Jenderal TNI adalah suatu badan yustisi di lingkungan peradilan
militer yang secara organisasi, administrasi dan keuangan
berkedudukan dilingkungan Mabes TNI dalam hal ini Babinkum TNI,
namun secara teknis yustisial dibawah Jaksa Agung Republik
Indonesia. Berdasarkan Pasal 47 dan pasal 48 Undang-Undang nomor
31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, susunan dan kekuasaan
Oditurat sebagai berikut:
-
41
a. Oditurat melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
dan penyidikan dilingkungan TNI.
b. Oditurat adalah satu tidak terpisah-pisahkan dalam melakukan
penuntutan.
c. Pembinaan teknis yustisial dan pengawasan bagi Oditur
dilakukan oleh Oditur Jenderal TNI.
2.2.2. Etika Profesi Oditur Militer
Oditur Militer dalam mengemban tugas, wewenang dan
tanggung jawab yang strategis dalam menegakkan hukum dan
keadilan tentunya sering harus menghadapi berbagai tantangan dan
godaan baik dalam masyarakat umum maupun dalam masyarakat
militer sendiri. Oleh sebab itu Oditur Militer harus dibekali dengan
suatu sikap ketangguhan moral berupa ethika profesi Oditur Militer.
Etika berasal dari bahasa Yunani ethikos yang berarti moral dan dari
kata ethosyang berarti karakter. Etika merupakan filsafat moral
untuk mendapatkan petunjuk tentang prilaku yang baik, berupa nilai-
nilai luhur dan aturan-aturan pergaulan yang baik dalam hidup
bermasyarakat dan kehidupan pribadi seseorang.
Etika bertujuan agar orang hidup dengan baik dan
berkepribadian luhur (berkarakter) yang sesuai dengan etika moral
yang dianut oleh kesatuan atau lingkungan hidupnya. Etika moral ini
menumbuhkan kaedah-kaedah atau norma-norma ethika yang
mencakup teori nilai tentang hakekat apa yang baik dan apa yang
-
42
buruk dan teori tentang perilaku conduct tentang perbuatan mana
yang baik dan mana yang buruk. Etika profesi merupakan etika moral
yang khusus diciptakan untuk kebaikan jalannya profesi yang
bersangkutan, karena setiap profesi mempunyai identitas, sifat/ciri dan
standar profesi tersendiri sesuai dengan ketentuan profesi masing-
masing demi tegaknya dan kebaikan jalannya profesi.
Etika profesi Oditur Militer mengatur tentang nilai-nilai moral,
kaedah-kaedah dalam tugas penuntutan dan aturan-aturan tentang
prilaku yang seharusnya dan seyogyanya dipegang teguh oleh setiap
Oditur Militer dalam menjalankan tugas profesinya. Tujuan akhir atau
filosofi dari etika profesi Oditur Militer adalah menegakan hukum,
kebenaran, keadilan dan kejujuran dalam suatu perkara pidana sesuai
keadilan, kebenaran dan kejujuran yang terdapat dalam alam das
sollen harus dapat diwujudkan dalam alam das sein melalui nilai-
nilai etika profesi yang berisikan kode ethik untuk mencapainya.
Nilai-nilai etika profesi yang melekat pada diri seorang Oditur
Militer dapat ditemukan dalam:
a. Pancasila yang di jabarkan dalam butir-butir dalam sila-sila
pancasila.
b. Sapta Marga, khususnya marga ke-3 yang berbunyi Kami
ksatria indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, serta membela kejujuran kebenaran dan keadilan.
Artinya segenap prajurit TNI akan menegakkan kejujuran,
-
43
kebenaran dan keadilan yang merupakan hakekat dari hukum
dalam satu nafas dengan disiplin keprajuritan yang didasarka
top related