uji aktivitas nanofotokatalis lacr mo o yang …digilib.unila.ac.id/28782/2/skripsi tanpa bab...
Post on 13-Jun-2019
235 Views
Preview:
TRANSCRIPT
UJI AKTIVITAS NANOFOTOKATALIS LaCr0,98Mo0,02O3 YANGDIIRADIASI SINAR-UV UNTUK KONVERSI NANOSELULOSA
MENJADI GULA ALKOHOL
(Skripsi)
Oleh
Lindawati
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2017
ABSTRAK
UJI AKTIVITAS NANOFOTOKATALIS LaCr0,98Mo0,02O3 YANG DIIRADIASISINAR-UV UNTUK KONVERSI NANOSELULOSA MENJADI GULA
ALKOHOL
Oleh
Lindawati
Telah dilakukan preparasi nanokatalis LaCr0,98Mo0,02O3 menggunakan metode solgel dengan pektin sebagai agen pengemulsi. Setelah proses Freeze-dry prekursordikalsinasi pada suhu 700oC. Selanjutnya uji aktifitas fotokatalitik untuk konversinanoselulosa menjadi gula alkohol dengan variasi waktu penyinaran (30, 45, dan60 menit). Karakterisasi nanokatalis meliputi analisis struktur kristalmenggunakan difraksi sinar-X (XRD), analisis keasaman menggunakan metodegravimetri dan FTIR, dan analisis morfologi katalis (TEM). Kemudian, hasil ujifotokatalitik konversi nanoselulosa dianalisis menggunakan Kromatografi CairKinerja Tinggi (KCKT). Analisis XRD dari katalis LaCr0,98Mo0,02O3 menunjukkanbahwa fasa kristalin La2Mo2O9 dan LaCrO3 terbentuk dengan ukuran partikel yangdihasilkan dari persamaan Scherrer sebesar 55,90 nm. Hasil analisis keasamannanokatalis LaCr0,98Mo0,02O3 sebesar 12,638 mmol/g katalis dengan jenis situsasam Lewis. Hasil analisis morfologi menunjukkan adanya aglomerasi, danbentuk kristal persegi panjang serta diperoleh ukuran rata-rata partikel denganmengambil enam spot yaitu sebesar 51,30 nm. Hasil uji fotokatalitik menyatakanbahwa nanoselulosa telah terkonversi menjadi gula alkohol berupa sorbitol yaitusebanyak 4,33, 7,53, dan 2,02% dengan variasi waktu penyinaran berturut-turut30, 45, dan 60 menit.
Kata kunci: nanokatalis, nanoselulosa, gula alkohol
ABSTRACT
THE ACTIVITY TEST OF LaCr0.98Mo0.02O3 NANOPHOTOCATALYSTIN CONVERTING NANOCELLULOSE TO ALCOHOL-SUGAR
IRRADIATED BY UV-LIGHT
By
Lindawati
This research has been done on the preparation of nanocatalyst LaCr0.98Mo0.02O3
with pectin as an emulsifier agents using sol gel method. After Freeze-dryingprocess precursor was calcined at 700°C. Then, a photocatalytic test forconverting nanocellulose to alcohol-sugar with variation in irradiation time 30,45, dan 60 minute. Characterization have been done to nanocatalyst preperedwere XRD, FTIR, and TEM. Furthermore, the results photocatalytic test wereanalyzed using High Performance Liquid Chromatography (HPLC). The XRDresult poved that sample nanocatalyst has a crystalline phase of both La2Mo2O9
and LaCrO3, and has an avarage crystallite size of 55.90 nm, calculated byscherrer equation. The result of acidity analysis of LaCr0.98Mo0.02O3 nanocatalystwas 12.638 mmol/g catalyst with Lewis acid site. The TEM result showed thatthere were aglomeration and average grain size of 51.30 nm. The photocatalytictest proved that LaCr0.98Mo0.02O3 is active to convert nanocellulose into alcoholsugar (sorbitol) with result convertion of 4.33, 7.53, and 2.02% with variations inradiation time of 30, 45, and 60 minutes respectively.
Key words: nanocatalyst, nanocellulose, alcohol sugar
UJI AKTIVITAS NANOFOTOKATALIS LaCr0,98Mo0,02O3 YANG DIIRADIASISINAR-UV UNTUK KONVERSI NANOSELULOSA MENJADI GULA
ALKOHOL
Oleh
Lindawati
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai GelarSARJANA SAINS
Pada
Jurusan KimiaFakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Lampung
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAMUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2017
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang pada tanggal 01 Januari
1994, anak ketiga bersaudara dari empat bersaudara, yang
merupakan buah hati dari pasangan ayahanda Damin dan
Ibunda Surami..
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 01 Bandar
Surabaya pada tahun 2007, dan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 01
Bandar Surabaya pada tahun 2010. Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA
Negeri 01 Seputih Surabaya pada tahun 2013. Penulis diterima sebagai
mahasiswa Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Lampung pada tahun 2013 melalui jalur Seleksi Bersama Masuk
Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).
Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah aktif dalam organisasi Himpunan
Mahasiswa Kimia (HIMAKI) Fakultas MIPA periode 2014-2015 dan 2015-2016
sebagai anggota bidang Sosial dan Kemasyarakatan. Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) Fakultas MIPA periode 2014-2015 sebagai anggota Advokasi
Kesejahteraan Masyarakat (ADKESMA) dan pada periode 2015-2016 sebagai
Staf Bendahara Eksekutif. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Kimia Dasar
dan Kimia Fisik untuk Fakultas Pertanian Universitas Lampung serta kimia Fisik
untuk Jurusan Kimia FMIPA. Pada bulan Juli tahun 2016 penulis melakukan
Praktek Kerja Lapangan di Laboratorium Kimia Fisik Anorganik dengan judul
“PREPARASI DAN KARAKTERISASI NANOKATALIS LaCr0,98Mo0,02O3
DENGAN METODE SOL-GEL”.
MOTTO HIDUP
“Karena sesunguhnya sesudah kesulitan itu adakemudahan ( Al-Insyirah: 5)
“Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan bataskemampuannya ( Albaqoroh : 287) .”
“Siapapun yang berhenti belajar akan cepat menjadi tua, meskipun iabaru berumur 20-an. Tapi orang yang suka belajar akan tetap muda.
Hal terbesar dalam hidup ini adalah memelihara pikirankita tetap muda (Henry Ford)”
“Allah merencanakan apa yang tidak pernah direncanakanhambanya”
“When Allah is your strngth, nothing can break you”
Alhamdulillahirobbil a’lamiin........
Atas Rahmat Allah SWT, kupersembahkan karya Sederhana ini teruntuk......
Bapak dan Mamak tercinta yang telah memberikan do’a, cinta, kasih sayang,
dukungan dan bimbingan kepada ananda selama ini.
Saudaraku tesayang
Ayuk Tutik Wahyuni, Mas Aris, Ayuk Lia Mariana, Mas Harjianto dan Adik
Fitri Handayani yang selalu menyayangi, mendoakan, memberikan senyuman
terhangat dan menjadi pelengkap di dalam hidup ananda.
Keponakan-keponakanku tersayang
Noviana Faiqotul Khasanah, Harning Septiana, Daffa Hafidz Alfatir dan
Affan Yusuf Alfarizi, yang selalu memberikan keceriaan. Senyum dan canda
tawa kalian menjadi semangat ananda.
Keluarga Kimia 2013 yang telah memberikan dukungan dan motivasi kepada
penulis.
Teruntuk Almamaterku tercinta Unila.
SANWACANA
Alhamdulillahirabbil ‘alamin, segala puji hanya bagi Allah, Rabb semesta alam
yang telah memberikan nikmat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul UJI AKTIVITAS NANOFOTOKATALIS
LaCr0,98Mo0,02O3 YANG DIIRADIASI SINAR-UV UNTUK KONVERSI
NANOSELULOSA MENJADI GULA ALKOHOL. Shalawat dan salam tak
lupa semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang memberikan
syafa’atnya kepada seluruh umatnya di dunia dan di akhirat, Aamiin.
Teriring do’a yang tulus, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada :
1. Kedua Orang Tua penulis bapak dan mamak yang telah membesarkan,
merawat, dan mendidik penulis dengan segala cinta, kasih sayang, dan
kesabaran yang tulus. Saudaraku ayuk Tuti Wahyuni, mas Aris, ayuk Lia
Mariana, mas Har dan adikku Fitri Handayani yang telah memberikan do’a,
semangat, dukungan, dan keceriaan kepada penulis, semoga barokah Allah
selalu menyertai mereka. Keponakanku Noviana Faiqotul Khasanah, Harning
Septiana, Daffa Hafidz Alfatir, dan Affan Yusuf Alfarizi yang selalu
memberikan keceriaan kepada penulis.
2. Bapak Dr. Rudy T.M Situmeang, M.Sc. selaku pembimbing utama yang telah
banyak membimbing penulis, memberikan banyak ilmu pengetahuan, arahan,
saran dan kritik dengan rasa sabar yang begitu besar selama penyusunan
skripsi ini.
3. Bapak Prof. Wasinton Simanjuntak, Ph.D. selaku pembimbing II penulis yang
telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan keikhlasan sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Bapak Mulyono, Ph.D. selaku pembahas penulis yang telah memberikan
bimbingan, arahan, dan nasihat kepada penulis sehingga skripsi ini dapat
terselesaikan. Semoga Allah membalasnya dengan keberkahan.
5. Bapak Prof. Sutopo Hadi, Ph.D. selaku pembimbing akademik penulis yang
telah memberikan motivasi, arahan, dan nasihat sehingga penulis dapat
menempuh pendidikan dengan baik di Jurusan Kimia FMIPA Unila. Semoga
Allah selalu memberikan rahmat kepadanya.
6. Bapak Prof. Warsito, D.E.A., Ph.D. selaku dekan Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.
7. Bapak Dr. Eng. Suripto Dwi Yuwono, M.T. selaku Ketua Jurusan Kimia
FMIPA Unila dan seluruh Bapak/Ibu dosen Jurusan Kimia FMIPA Unila.
8. Mbak Liza, Pak Gani, Bu Ani, dan Mbak Wiwit.
9. Sahabat terbaikku dari SMA Siti Zulaiha dan Galuh Isnaena Setya Putri yang
selalu memberikan dukungan dan nasehat selama penulis menyelesaikan
skripsi ini. Semoga Allah selalu memberikan keberkahan kepada kalian.
10. Teruntuk sahabat-sahabatku Anita Sari, Nur Padila, Khalimatus Sa’diah dan
Renita Susanti yang telah meluangkan waktu untuk membantu dan
memberikan semangat ketika penulis sedang merasa lelah dalam penyelesaian
skripsi ini.
11. Sahabatku Fathania Sejati, Sinta Dewi Oktariani dan Nessia Kurnia yamg
selalu memberikan semangat, dukungan dan masukan ketika penulis sedang
merasa lelah dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Partner penelitianku Kimia Fisik Renita Susanti, Mega Mawarti, Dewi
Rumondang C.P.S., Widya Aryani M. Esti Sandra Pertiwi, dan Siti Nabilla
Shofa yang telah menemani memberikan semangat dan dukungan kepada
penulis, semoga Allah selalu memberikan kelancaran kepada mereka.
13. Kakak-kakakku semua Mbak Surtini, Mbak Ana, Kak Febi, yang telah
memberikan arahan, wejangan, dan motivasi kepada penulis.
14. Keluargaku tercinta kimia 2013 yang selalu memberikan keceriaan dan kasih
sayang kepada penulis. Semoga Allah membalasnya dengan keberkahan.
15. Adik-adik bimbinganku
16. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, penulis memohon maaf kepada semua pihak apabila skripsi ini masih
terdapat kesalahan dan kekeliruan, semoga skripsi ini dapat berguna dan
bermanfaat sebagaimana mestinya, Aamiin.
Bandar Lampung, 15 Oktober 2017Penulis
Lindawati
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI................................................................................................... i
DAFTAR GAMBAR...................................................................................... iv
DAFTAR TABEL .......................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Tujuan Penelitian ........................................................................... 6
C. Manfaat Penelitian ......................................................................... 6
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 7
A. Gula Alkohol .................................................................................. 7
1. Sorbitol ..................................................................................... 8
2. Manitol ..................................................................................... 9
3. Xylitol....................................................................................... 9
B. Selulosa .......................................................................................... 10
C. Pektin ............................................................................................. 12
D. Reaksi Fotokatalitik........................................................................ 14
E. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ................................... 16
F. Senyawa Perovskite........................................................................ 18
G. Katalis............................................................................................. 20
H. Material Nanopartikel .................................................................... 22
I. Metode Preparasi Katalis ............................................................... 24
1. Sol-Gel .................................................................................... 24
ii
2. Freeze dry................................................................................. 25
3. Kalsinasi ................................................................................... 26
J. Karakterisasi Katalis ..................................................................... 27
1. Analisis Keasaman ................................................................... 27
a. Metode Gravimetri ............................................................ 28
b. Spektroskopi Inframerah (FTIR)....................................... 29
2. Analisis Fasa Kristalin Katalis ................................................. 31
3. Analisis Ukuran Partikel Katalis .............................................. 33
4. Analisis Morfologi Katalis ....................................................... 36
III.METODELOGI PENELITIAN........................................................ 38
A. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 38
B. Alat dan Bahan ............................................................................... 38
C. Prosedur Penelitian......................................................................... 39
1. Preparasi Nanoatalis ................................................................. 39
2. Karakterisasi Katalis ................................................................ 40
a. Analisis Keasaman Katalis................................................. 40
b. Analisis Struktur Katalis dengan XRD .............................. 41
c. Analisis Morfologi Katalis ................................................. 42
d. Analisis Ukuran Partikel .................................................... 42
3. Uji Aktivitas (Fotokatalitik) .................................................... 43
a. Reaksi Fotokatalitik...................................................... 43
b. Analisis Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
(KCKT) ........................................................................ 44
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 45
A. Preparasi nanokatalis ....................................................................... 45
B. Karakterisasi katalis......................................................................... 47
1. Analisis struktur kristalin............................................................ 47
2. Analisis keasaman....................................................................... 49
iii
3. Analisis morfologi katalis ........................................................... 52
4. Analisis ukuran partikel katalis................................................... 53
5. Uji aktifitas (fotokatalitik) .......................................................... 55
V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Gambar Halaman
1. Puncak-puncak representatif dari masing-masing acuan pada katalis
LaCr0,98Mo0,02O3 ....................................................................................... 48
2. Puncak-puncak representatif dari difraktogram katalis
LaCr0,98Mo0,02O3 ....................................................................................... 49
3. Hasil produk dari konversi selulosa dengan katalis
LaCr0,98Mo0,02O3 ....................................................................................... 59
4. Perbandingan hasil konversi selulosa menjadi sorbitol dengan katalis yang
berbeda ...................................................................................................... 60
5. Data 2θ dan nilai FWHM Difaktogram Fasa Kristalin ............................. 76
6. Data PengukuranJumlah Situs Asamn Katalis.......................................... 77
7. Data Analisa Spektrum FTIR katalis yang mengadsorbsi piridin ............ 78
8. Data Hasil Distribusi Ukuran Partikel ...................................................... 79
9. Data Hasil konversi nanoselulosa menggunakan katalis
LaCr0,98Mo0,02O3 ....................................................................................... 81
10. Data hasil analisis KCKT sampel dengan sorbitol standar ....................... 82
11. Hasil produk konversi selulosa menjadi sorbitol dan selektivitasnya ...... 84
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Struktur Gula Alkohol............................................................................... 7
2. Reaksi pembentukan sorbitol dari selulosa............................................... 8
3. Reaksi pembentukan manitol dari selulosa............................................... 9
4. Reaksi pembentukan xylitol dari selulosa................................................. 10
5. Struktur selulosa........................................................................................ 11
6. Struktur pektin .......................................................................................... 13
7. Skema proses fotokatalitik ........................................................................ 15
8. Diagram skematik alat KCKT ................................................................. 17
9. Struktur umum Perovskite ABO3.............................................................. 19
10. Skema instrumen FTIR ............................................................................. 29
11. Spektra inframerah.................................................................................... 31
12. Difraktogram XRD ................................................................................... 33
13. Prinsip kerja PSA...................................................................................... 34
14. Skema Kerja TEM .................................................................................... 36
15. Gel LaCr0,98Mo0,02O3 ................................................................................ 46
16. Serbuk padatan LaCr0,98Mo0,02O3.............................................................. 47
17. Difraktogram nanokatalis LaCr0,98Mo0,02O3 ............................................. 48
v
18. Spektrum inframerah nanokatalis LaCr0,98Mo0,02O3 yang telah mengadsorbsi
piridin ........................................................................................................ 50
19. Mikrograf TEM katalis suhu kalsinasi 700oC (a) LaCrO3 (b) La2Mo4O9
(c)LaCr0,98Mo0,02O3 ............................................................................. ..... 52
20. Distribusi partikel nanokatalis LaCr0,98Mo0,02O3 ...................................... 54
21. Hasil uji fehling konversi nanoselulosa menggunakan katalis
LaCr0,98Mo0,02O3 dengan variasi waktu penyinaran (a)30 (b) 45 dan (c) 60
menit ......................................................................................................... 56
22. Presentase % konversi nanoselulosa katalis LaCr0,98Mo0,02O3 ................. 56
23. Kromotograf sorbitol standar .................................................................... 57
24. Kromotograf hasil konversi nanoselulosa menggunakan katalis
LaCr0,98Mo0,02O3 dengan variasi waktu penyinaran (a) 30, (b) 45dan (c) 60
menit ........................................................................................................ 58
25. Tahapan reaksi konversi selulosa menjadi gula alkohol
(sorbitol dan manitol)................................................................................ 61
26. Skema Prosedur Sintesis Katalis LaCr0,98Mo0,02O3 .................................. 74
27. SkemaProsedur Uji Fotokatalitik .............................................................. 75
28. Difaktogram XRD katalis LaCr0,98Mo0,02O3 (700oC) ............................... 76
29. Spektrum FTIR katalis LaCr0,98Mo0,02O3(700oC) .................................... 78
30. Kromatogram sorbitol standar .................................................................. 82
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsumsi sukrosa sebagai pemanis makanan sekarang mulai dikurangi dan
digantikan. Mengkonsumsi sukrosa berlebih dapat menimbulkan karies gigi,
karena sukrosa cepat difermentasi menjadi asam oleh mikroorganisme dalam
rongga mulut dan kalorinya cukup tinggi. Sehingga perlu adanya pengganti dari
sukrosa. Bahan pengganti dari gula ini yaitu harus memiliki rasa manis, tidak
toksik, tidak mahal, berkalori dan tidak menyebabkan plak pada gigi serta dapat
dihasilkan secara industrial. Salah satu alternatif untuk menggantikan sukrosa
yaitu gula alkohol (Soesilo dkk. 2005).
Gula alkohol atau poliol merupakan turunan dari sakarida yang gugus keton atau
aldehidnya diganti dengan gugus hidroksil. Poliol adalah poli karbohidrat atau
gula alkohol karena strukturnya menyerupai gula dan bagian ini mirip alkohol,
tetapi senyawa ini bukan gula dan juga bukan alkohol. Poliol memiliki rasa dan
kemanisan hampir sama dengan sukrosa, bahkan beberapa jenis lebih manis.
Senyawa ini sangat penting karena memiliki banyak manfaat yaitu sebagai
pengganti gula yang aman dikonsumsi oleh penderita diabetes yang tidak mampu
memproduksi insulin, stabilizer pada suplemen dan makanan, menjaga kesehatan
gigi dengan cara menghambat pembentukan karies dan plak pada gigi, menekan
2
keasaman plak serta mempercepat proses pembentukan mineral gigi. Contoh
gula alkohol yang banyak dimanfaatkan adalah sorbitol, manitol dan xylitol
(Hansen et al., 2006).
Gula alkohol dapat diperoleh dengan mereduksi selulosa dengan bantuan suatu
katalis. Di alam, selulosa banyak dijumpai sebagai selulosa natif, yaitu selulosa
tidak murni yang masih berikatan dengan senyawa lain seperti lignin dan
hemiselulosa. Selulosa dapat dengan mudah terdegradasi pada temperatur tinggi
(>180 oC) menjadi senyawa furfural, 5-hydroxymethyl furufural (HMF), asam
asetat, asam levulinat dan asam formiat, juga dapat membentuk Carboxy Methyl
Celulose (CMC) yaitu senyawa turunan dari selulosa yang berfungsi sebagai
sumber karbon pada Aspergillus niger untuk produksi bioethanol (Antony, 2012).
Konversi selulosa menjadi gula alkohol telah dilakukan pada penelitian
sebelumnya yaitu menggunakan katalis NixFe2-xO4 dengan variable x = 0,5 pada
suhu 120 ºC dan variable x = 1 pada suhu 140 ºC, hasil uji katalitik menunjukkan
bahwa katalis dapat mengkonversi selulosa menjadi sorbitol, manitol, dan xilitol
(Amalia, 2013). Fukuoka et al (2011) dengan katalis logam Pt(N))/BP2000
menghasilkan sorbitol sebesar 39% dan manitol sebesar 4% dengan waktu 24 jam
pada temperatur reaksi 190 ºC, konversi selulosa menjadi manitol dengan
rendemen sebesar 68,07% menggunakan katalis Ni4,63Cu1Al1,82Fe0,79 pada
temperatur reaksi 215 ºC berhasil dilakukan oleh Zhang et al., 2014. Peneliti
lainnya, Palkovits et al (2011) berhasil mengubah selulosa menjadi xylitol sebesar
11,3% menggunakan katalis Ru/C pada suasana asam (H2SO4) selama 3 jam pada
temperatur reaksi 160 ºC.
3
Beberapa penelitian di atas, menunjukkan hasil dari konversi masih belum
optimum. Sehingga pada penelitian ini selulosa akan dibuat menjadi ukuran
nanoselulosa yang kemudian akan di konversi menjadi gula alkohol.
Nanoselulosa merupakan selulosa yang memiliki ukuran diameter dalam
nanometer (2–20 nm) dan panjangnya antara ratusan sampai ribuan nanometer.
Partikel selulosa yang dirubah menjadi nanoselulosa mengalami perubahan, yaitu
berupa peningkatan kristalinitas, luas permukaan, peningkatan dispersi dan
biodegradasi. Dengan adanya perubahan dari selulosa menjadi nanoselulosa
menyebabkan terjadinya perubahan sifat dari selulosa. Perubahan sifat dari
selulosa juga mempengaruhi bentuk dari struktur nanoselulosa (Isdin, 2010).
Ditinjau dari strukturnya, nanoselulosa mempunyai kelarutan yang besar dalam air
karena banyaknya kandungan gugus hidroksil yang dapat membentuk ikatan
hidrogen dengan air. Akan tetapi tidak demikian karena nanoselulosa tidak larut
dalam air tetapi juga dalam pelarut lain. Penyebabnya ialah struktur dari
nanoselulosa yang kompleks dan kuat serta bagian amorf yang hilang pada proses
hidrolisis oleh asam. Faktor ini menjadi penyebab kristalinitas yang tinggi dari
serat selulosa. Selain tingkat kristalinitas, nanoselulosa juga memiliki
peningkatan luas permukaan, kemampuan dispersi, dan biodegrasi. Selulosa
dengan ukuran nano diharapkan akan lebih mudah dan banyak menghasilkan gula
alkohol dibandingkan dengan mengkonversi selulosa yang memiliki ukuran lebih
besar.
Beberapa penelitian telah menunjukkan kinerja katalis padatnya untuk
mengkonversi selulosa. Fukuoka dan Dhepe 2006, melaporkan bahwa konversi
4
selulosa menggunakan katalis Pt/Al2O3 dengan perolehan rendemen sorbitol 32%
dan manitol 6,6%. Selain itu, HPMo juga dapat mengkatalisis konversi selulosa
menjadi asam glikolat dengan rendemen 49,3% dan katalis MoO3 dengan
rendemen 24,5% pada temperatur 180 ºC dan di aliri gas O2 0,5 MPa selama 1 jam
menggunakan pelarut air (Han et al., 2013). Konversi selulosa menjadi sorbitol
menggunakan katalis Ru/ AC-SO3H dengan porolehan rendemen sebesar 71,1 %
pada temperatur reaksi 165 ºC (Lee and Han, 2012). Serta katalis LaCrO3 juga
berhasil mengkonversi selulosa sebesar 16,66% pada temperatur 140 ºC selama 6
jam (Kahar, 2015).
Beberapa hasil penelitian katalis yang disebutkan di atas masih belum
menunjukkan hasil yang optimum. Hal tersebut menunjukkan bahwa masih perlu
adanya pengembangan sistem katalis dan perlunya menggunakan selulosa dengan
ukuran nano agar hasil konversi lebih optimum. Sehingga pada penelitian ini
akan dilakukan konversi nanoselulosa menjadi gula alkohol dengan menggunakan
LaCr0,98Mo0,02O3 sebagai katalis.
Banyak sekali metode yang telah digunakan untuk mengkonversi selulosa menjadi
sumber bahan bakar dan turunan bahan kimia, seperti fermentasi (Mota et al.,
2011), pyrolisis (Lu et al., 2014), gasifikasi-uap (Zhang and Zhao, 2009) dan
super-kritis (Asghari and Yoshida, 2010). Namun demikian, semua metode
tersebut masih menggunakan energi yang cukup tinggi, peralatan yang digunakan
mahal dan menghasilkan limbah. Sehingga masih perlu di cari metode yang
ramah lingkungan dan ekonomis. Salah satu metode yang dapat digunakan yaitu
5
pemanfaatan sinar matahari (sinar UV) untuk mengkonversi selulosa menjadi
bahan bakar dan turunan bahan kimia (Zhang et al., 2016).
Sinar UV mempunyai rentang panjang gelombang 100-400 nm atau rentang
energi sebesar 3,1-12,4 eV. Sedangkan selulosa dengan ikatan β -1,4 – gliosidik
memerlukan energi sebesar 2-14 kJ/mol untuk memutuskan ikatan O-
glikosidiknya per molekul selulosa (Sorensen et al., 2015). Hal ini telah terbukti
dengan konversi fruktosa dan xylosa menjadi asam organik menggunakan lampu
UV 400 W, λ = 365 nm selama 120 menit pada temperatur 30ºC dengan konversi
sebesar 50-70% (Puttipat et al., 2014). Hasil konversi tersebut dapat ditingkatkan
dengan pemilihan nanokatalis yang tepat untuk mengabsorbsi sinar UV, sehinga
perlu digunakan katalis yang baik untuk menghasilkan hasil konvesi yang lebih
banyak.
Adanya kaitan antara ukuran katalis dengan hasil kerja ini yang menjadi acuan
penggunaan nanokatalis dalam penelitian ini. Aktivitasi optimal dari suatu katalis
dapat meningkatkan uji katalitik pada proses konversi. Katalis dengan ukuran
nanopartikel akan memiliki aktifitas yang jauh lebih baik sebagai katalis karena
memiliki luas area permukaan yang cukup tinggi dengan rasio atom-atom yang
menyebar merata pada permukaan sehingga memudahkan transfer massa reaktan
untuk dapat berdifusi sampai masuk ke dalam situs aktif katalis di dalam pori-pori
(Widegren et al., 2003).
Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan preparasi nanokatalis
LaCr0,98Mo0,02O3 dengan metode sol-gel. Kemudian akan dilakukan freez dry dan
kalsinasi dengan suhu 700 oC, serta dilakukan karakterisasi. Katalis
6
LaCr0,98Mo0,02O3 tersebut akan digunakan dalam proses konversi nanoselulosa
menjadi gula alkohol seperti sorbitol, manitol, dan xylitol.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu sebagai berikut :
1. Mempelajari preparasi nanokatalis LaCr0,98Mo0,02O3 dengan metode sol-gel.
2. Mengkarakterisasi nanokatalis LaCr0,98Mo0,02O3 yang telah di sintesis dengan
metode sol-gel.
3. Menganalisis potensi uji aktivitas dari nanokatalis LaCr0,98Mo0,02O3 dalam
mengkonversi nanoselulosa menjadi gula alkohol.
C. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi mengenai
kemampuan nanokatalis LaCr0,98Mo0,02O3 dalam menguji aktivitas katalis tersebut
pada proses konversi nanoselulosa menjadi sorbitol, manitol, dan xylitol.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Gula Alkohol
Gula alkohol merupakan gula yang komposisi kimianya memiliki tiga atau lebih
kelompok hidroksil (Goldberg, 1994). Secara kimia disebut sebagai gula alkohol
karena bagian strukturnya mirip dengan alkohol dan rasanya menyerupai gula
tebu. Rasa manis yang dimiliki menjadikan gula alkohol sebagai pemanis yang
rendah kalori, sehingga sering digunakan sebagai pemanis untuk penderita
diabetes karena tidak menaikkan kadar glukosa darah. Senyawa drai gula alkohol
diantaranya yaitu sorbitol, manitol, xylitol, erythritol, maltitol, laktitol, dan
platinit. Struktur dari sorbitol, manitol dan xylitol ditunukkan pada Gambar 1.
(a) (b) (c)
Gambar 1. Struktur gula alkohol (a) sorbitol, (b) manitol, (c) xylitol.
8
1. Sorbitol
Sorbitol adalah salah satu gula alkohol yang terdiri dari enam karbon dengan
rumus kimia C6H14O6. Sorbitol banyak digunakan sebagai pengganti gula karena
bahan dasarnya mudah diperoleh dan murah. Selain itu karena sifatnya yang tidak
reaktif dan tidak hidroskopis, sorbitol digunakan untuk eksipien pada produksi
tablet kunyah dan granulasi serbuk. Di indonesia sorbitol diproduksi dari umbi
tanaman singkong (Manihot utillissima pohl). Sorbitol juga terdapat pada alga
merah sekitar 13,6 %, pada tanaman berri dari spesies Sorbus amiricana sebanyak
10 % dan terdapat juga pada famili Rosaceae seperti buah pir, apel, ceri, prune,
peach, dan aprikot. Selain terdapat pada tanaman, jaringan tubuh juga
memproduksi sorbitol melalui hasil katalisasi dari D-glukosa oleh enzim aldose
reductase yang mengubah struktur aldehid (CHO) pada glukosa menjadi alkohol
(CH2OH) (Garrow and james, 1993). Produksi sorbitol secara komersial
dilakukan dengan hidrogenasi glukosa menggunakan katalis nikel dengan tekanan
tinggi. Reaksi pembentukan sorbitol secara umum yaitu sebagai berikut:
Gambar 2. Reaksi pembentukan sorbitol dari selulosa
Sebelum terbentuk glukosa, selulosa mengalami hidrolisis sehingga terbentuk
monomer-monomernya yaitu glukosa. Kemudian glukosa mengalami reaksi
9
hidrogenasi dengan bantuan katalis logam yang bertekanan tinggi. Penambahan
gas hidrogen yang di katalis dengan logam seperti platinum, palladium, nikel dan
rhodium akan meningkatkan temperatur sehingga produk yang dihasilkan akan
lebih banyak (Marhusari, 2009).
2. Manitol
Manitol adalah gula alkohol seperti sorbitol yang memiliki enam karbon dengan
rumus kimia C6H14O6 , berat molekulnya 182,17 g/mol dan memiliki kelarutan
lebih kecil dibandingkan dengan sorbitol yaitu 22 g manitol didalam 100 ml air
(25 ºC). Manitol memiliki tingkat kemanisan 0,5 sampai dengan 0,7 kali tingkat
kemanisan sukrosa. Manitol tidak bersifat sebagai pereduksi sebab tidak memiliki
gugus aldehid bebas. Secara alami manitol terdapat pada nanas, asparagus, ubi
jalar, wortel dan alga coklat. Manitol adalah hasil reduksi dari manosa dimana
gugus aldehid pada atom C1 diubah menjadi gugus CH2OH. Mekanisme
pembentukan manitol secara umum adalah sebagai berikut.
Gambar 3. Reaksi pembentukan manitol dari selulosa
3. Xylitol
Xylitol adalah gula alkohol yang memiliki rumus kimia C5H12O5 dengan berat
molekul 152,15 g/mol dan kelarutan xylitol 169 g didalam 100 ml air (20 ºC),
10
serta memiliki pH 5-7 di dalam air. Tingkat kemanisan xylitol relatif sama
dengan sukrosa, tetapi lebih tinggi daripada sorbitol (Bar, 1991). Karena tingkat
kemanisannya sama dengan sukrosa sehingga xylitol banyak digunakan dalam
industri makanan seperti industri coklat, permen, es krim, selai, jus juga pada
produksi roti dan minuman. Xylitol banyak terdapat dalam sayuran dan buah-
buahan juga diproduksi oleh mikroorganisme yeast dan bakteri serta dapat
diproduksi di dalam tubuh manusia dewasa.
Sama halnya dengan sorbitol dan mannitol, xylitol juga dapat dikonversi dari
bahan lignoselulosa khususnya hemiselulosa atau xilan. Melalui proses hidrolisis
xilan akan membentuk xilosa dan arbinosa yang kemudian dapat dihidrogenasi
menjadi xylitol.
Gambar 4. Reaksi pembentukan xylitol dari selulosa
B. Selulosa
Selulosa merupakan biomassa yang paling berlimpah di alam, umumnya selulosa
banyak terdapat pada kayu dan dinding sel tanaman bisa mencapai 40-50%
(Fukuoka and Dhepe, 2009). Selulosa merupakan polimer karbohidrat yang
tersusun dari β D-glukopironosa dengan ikatan β 1,4-glikosida dan terdiri dari tiga
11
gugus hidroksi per anhidro glukosa. Selulosa memiliki rumus empiris (C6H10O5)n
dengan n menunjukkan derajat polimerisasi yakni jumlah satuan glukosa.
Kedudukan β dari gugus OH pada atom C1 membutuhkan pemutaran unit glukosa
melalui sumbu C1-C4 cincin piranosa (Mathur and Mathur, 2001).
Gambar 5. Struktur Selulosa
Selulosa banyak ditemukan pada limbah hasil pertanian, antara lain sekam padi
sekitar 58%, kulit batang sagu 56,86%, tongkol jagung 44,9%, kayu kertas 40-
45%, kayu lunak 38-49%, tandan kosong kelapa sawit 36-42%, rumput esparto
33-38%, ampas tebu 32-44%, jerami gandum 29-37%, jerami padi 28-36% dan
bambu sekitar 26-43% (Akgul and Kirci, 2009).
Selulosa dapat dihidrolisis menjadi gula reduksi (glukosa, fruktosa, selbiosa)
dengan menggunakan media air dan dibantu dengan katalis asam atau enzim
(Huber et al., 2006), degradasi dengan supercritical water, depolimerisasi dalam
cairan ionik (Rinaldi et al., 2010), dan pirolisis suhu tinggi dengan atau tanpa
katalis (Carlson et al., 2008). Hasil hidrolisis selulosa dapat dikonversi menjadi
gula alkohol (sorbitol, mannitol, xylitol) serta glukosa anhidrat. Dimana hasil
konversi ini dapat dipergunakan lebih lanjut sebagai produksi bahan kimia atau
bahan produksi biofuel karena memiliki banyak manfaat lainnya (Hansen et al.,
2006).
12
Selulosa dengan ukuran nano atau nanoselulosa merupakan material baru,
memiliki ukuran diameter dalam nanometer (2–20 nm) (Helbert et al., 1996) yang
mengalami perubahan, perubahan ini berupa peningkatan kristalinitas, luas
permukaan, peningkatan dispersi dan biodegradasi. Dengan adanya perubahan
dari selulosa menjadi nanoselulosa menyebabkan terjadinya perubahan sifat dari
selulosa dapat dimanfaatkan sebagai filler penguat polimer, aditif untuk produksi
biodegradable, penguat membran, pengental untuk dispersi, dan media pembawa
obat (Ioelovich, 2012). Selain itu perubahan dari selulosa tersebut akan
memudahkan dalam proses konversi nanoselulosa menjadi gula alkohol.
Konversi dipengaruhi oleh berbagai faktor lain seperti indeks kristalinitas, tingkat
polimerisasi, dan fraksi gugus ujung yang terikat dengan substrat. Indeks
kristalinitas merupakan faktor utama dalam proses konversi selulosa. Hal ini
dikarenakan struktur kristal yang dimiliki selulosa sebagai hasil ikatan jaringan
hidrogen yang luas, mampu membuat selulosa tahan terhadap reaksi enzimatik.
Jika struktur kristal yang dimiliki selulosa semakin kristalin, maka katalis akan
semakin sulit untuk berinteraksi dengan situs inti kristal pada selulosa (Zang et
al., 2010).
C. Pektin
Pektin merupakan suatu polimer dari polisakarida yang memiliki bobot molekul
tinggi dan terkandung dalam lamella tengah dinding sel pada tumbuhan darat.
Komponen utama pektin adalah molekul asam galakturonat yang dihubungkan
dengan unit-unit yang sama melalui ikatan α – 1,4 – glikosidik. Komponen lain
13
yang merupakan komponen minor meliputi L-arabinosa, D-xilosa, D-galaktosa
dan L-rhamnosa. Sebagian gugus karboksil pektin teresterifikasi oleh metil
alkohol (Towle and Christensen, 1973).
Pada umumnya larutan pektin bersifat asam, hal ini dikarenakan adanya gugus
karboksil pada rantai panjang struktur pektin. Namun, sebagian dari gugus
karboksil tersebut secara alami juga termetoksilasi menjadi gugus metoksil
(Yujaroen et al., 2008). Struktur pektin ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur pektin
Pektin merupakan serbuk halus atau sedikit kasar, berwama putih dan hampir
tidak berbau. Bobot molekul pektin bervariasi antara 30.000-300.000. Kelarutan
pektin berbeda-beda, sesuai dengan kadar metoksilnya. Pektin dengan kadar
metoksi tinggi (7-9%) akan mudah larut di dalam air sedangkan pektin dengan
kadar metoksi rendah (3-6%) mudah larut di dalam alkali dan asam oksalat.
Pektin tidak larut di dalam alkohol dan aseton. Kadar metoksi merupakan jumlah
metanol di dalam 100 mol asam galakturonat. Kadar metoksi berperan dalam
menentukan sifat fungsional dan mempengaruhi struktur serta tekstur dari gel
pektin (Erika, 2013).
13
yang merupakan komponen minor meliputi L-arabinosa, D-xilosa, D-galaktosa
dan L-rhamnosa. Sebagian gugus karboksil pektin teresterifikasi oleh metil
alkohol (Towle and Christensen, 1973).
Pada umumnya larutan pektin bersifat asam, hal ini dikarenakan adanya gugus
karboksil pada rantai panjang struktur pektin. Namun, sebagian dari gugus
karboksil tersebut secara alami juga termetoksilasi menjadi gugus metoksil
(Yujaroen et al., 2008). Struktur pektin ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur pektin
Pektin merupakan serbuk halus atau sedikit kasar, berwama putih dan hampir
tidak berbau. Bobot molekul pektin bervariasi antara 30.000-300.000. Kelarutan
pektin berbeda-beda, sesuai dengan kadar metoksilnya. Pektin dengan kadar
metoksi tinggi (7-9%) akan mudah larut di dalam air sedangkan pektin dengan
kadar metoksi rendah (3-6%) mudah larut di dalam alkali dan asam oksalat.
Pektin tidak larut di dalam alkohol dan aseton. Kadar metoksi merupakan jumlah
metanol di dalam 100 mol asam galakturonat. Kadar metoksi berperan dalam
menentukan sifat fungsional dan mempengaruhi struktur serta tekstur dari gel
pektin (Erika, 2013).
13
yang merupakan komponen minor meliputi L-arabinosa, D-xilosa, D-galaktosa
dan L-rhamnosa. Sebagian gugus karboksil pektin teresterifikasi oleh metil
alkohol (Towle and Christensen, 1973).
Pada umumnya larutan pektin bersifat asam, hal ini dikarenakan adanya gugus
karboksil pada rantai panjang struktur pektin. Namun, sebagian dari gugus
karboksil tersebut secara alami juga termetoksilasi menjadi gugus metoksil
(Yujaroen et al., 2008). Struktur pektin ditunjukkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Struktur pektin
Pektin merupakan serbuk halus atau sedikit kasar, berwama putih dan hampir
tidak berbau. Bobot molekul pektin bervariasi antara 30.000-300.000. Kelarutan
pektin berbeda-beda, sesuai dengan kadar metoksilnya. Pektin dengan kadar
metoksi tinggi (7-9%) akan mudah larut di dalam air sedangkan pektin dengan
kadar metoksi rendah (3-6%) mudah larut di dalam alkali dan asam oksalat.
Pektin tidak larut di dalam alkohol dan aseton. Kadar metoksi merupakan jumlah
metanol di dalam 100 mol asam galakturonat. Kadar metoksi berperan dalam
menentukan sifat fungsional dan mempengaruhi struktur serta tekstur dari gel
pektin (Erika, 2013).
14
Pembentukan gel pada pektin terjadi melalui ikatan hidrogen antara gugus
karbonil bebas dengan gugus hidroksil. Pektin dengan kandungan metoksi tinggi
membentuk gel dengan gula dan asam pada konsentrasi gula 58-70% sedangkan
pektin dengan metoksi rendah tidak mampu membentuk gel dengan asam dan
gula tetapi dapat membentuk gel dengan adanya ion-ion kalsium.
Saat ini pektin telah banyak digunakan sebagai komponen fungsional pada
industri makanan karena kemampuannya dalam membentuk gel dan menstabilkan
protein (May, 1990). Selain itu, melalui pembuluh darah pektin dapat
memperpendek waktu koagulasi darah untuk mengendalikan pendarahan (Farobie,
2006). Pektin pada penelitian ini digunakan untuk sintesis katalis, yang berfungsi
sebagai penghelat yang dapat mengikat ion.
D. Reaksi Fotokatalitik
Fotokatalitik merupakan kombinasi proses fotokimia dan katalitik. Dalam hal ini
diperlukan cahaya dan katalis untuk melangsungkan (mempercepat) reaksi kimia
(Linsebigler et.,al 1995). Sehingga dapat dikatakan, reaksi fotokatalitik adalah
reaksi yang berlangsung karena pengaruh cahaya dan katalis secara bersama-
sama. Katalis ini mempercepat fotoreaksi melalui interaksinya dengan subtrat
baik dalam keadaan dasar maupun keadaan tereksitasinya, atau fotoproduk
utamanya, yang bergantung pada mekanisme fotoreaksi tersebut. Secara umum,
fotokatalitik terbagi menjadi dua jenis, yaitu fotokatalik homogen dan fotokatalitk
heterogen. Fotokatalitik homogen adalah reaksi fotokatalitik dengan bantuan
oksidator seperti ozon dan hydrogen peroksida, sedangkan fotokatalitik heterogen
15
merupakan teknologi yang didasarkan pada irradiasi sinar UV pada
semikonduktor (Qodri, 2011).
Semikonduktor mempunyai struktur elektronik yang berbeda dari bahan lain,
yaitu dengan adanya conduction band (bagian teratas dari semikonduktor yang
tidak terisi elektron) dan valence band (bagian terbawah dari semikonduktor yang
terisi elektron). Dua jenis band ini dipisahkan oleh bandgap yang nilainya
ditunjukkan oleh bandgap energy (Eg). Bandgap energy inilah yang menjadi
salah satu faktor penentu efisiensi reaksi fotokatalitik. Mekanisme proses
fotokatalitik di tunjukkan pada Gambar 7.
Gamabar 7. Skema Proses Fotokatalitik
Mekanisme fotokatalitik dimulai absorbsi foton oleh semikonduktor, yang
menyebabkan terjadinya pemisahan muatan atau fotoeksitasi dalam
semikonduktor. Elektron (e-) akan tereksitasi ke pita konduksi dengan
meninggalkan lubang positif (h+) pada pita valensi. Proses redoks kemudian
terjadi jika ada senyawa yang teradsorbsi pada permukaan semikonduktor.
Elektron pada pita konduksi akan beraksi dengan akseptor elektron dan lubang
16
(hole) positif pada pita valensi akan akan beraksi dengan donor elektron.
Senyawa-senyawa polutan organik umumya adalah donor elektron dan jika berada
dalam air dapat teroksidasi.
Hole akan memecah air membentuk suatu hidroksi radikal. Hidroksi radikal
tersebut kemudian akan bereaksi dengan molekul organik dan memecah senyawa
organik tersebut menjadi senyawa intermediet lain yang akan mengalami reaksi
lebih lanjut. Elektron yang tereksitasi akan bereaksi dengan oksigen yang
membentuk spesi anion super oksida. Anion super oksida akan bereaksi dengan
senyawa hasil pemecahan molekul organik membentuk produk. Siklus ini akan
terus berulang sampai reaksi selesai (Putera, 2008).
E. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Kromatografi merupakan salah satu metode pemisahan komponen-komponen
campuran dalam keadaan kesetimbangan diantara dua fase yaitu fase diam yang
dapat menahan cuplikan dan fase gerak yang dapat membawa cuplikan.
Kromatografi berdasarkan fase geraknya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
kromatografi gas dan kromatografi cair (Day & Underwood 2002). Kromatografi
Cair Kinerja Tinggi (KCKT) merupakan salah satu teknik kromotografi yang
menggunakan cairan sebagai fase geraknya. Sampel yang digunakan dapat
berbentuk cairan atau padatan yang dilarutkan dalam pelarutnya. Sampel
dialirkan pada suatu kolom kromotografi dengan bantuan fase gerak. Pemisahan
terjadi dengan adanya interaksi anatara fase gerak dan fase diam. Interaksi yang
terjadi dapat berupa adsorbsi padat-cair, partisi cair-cair, penukar ion, maupun
17
eksklusi ukuran (Harvey, 2000).
KCKT merupakan salah satu contoh kromatografi cair yang menggunakan zat
cair sebagai fase gerak. Selain untuk pemisahan, metode ini juga dapat
digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Keuntungan menggunakan
KCKT antara lain jumlah sampel yang diperlukan sangat (beberapa mikroliter),
waktu yang diperlukan oleh suatu komponen untuk mencapai detektor atau
waktu retensinya hanya dalam beberapa menit, dan batas deteksinya sampai
nanogram perliter. Instrumen dasar KCKT terdiri dari pompa, sistem pemasukan
sampel, kolom, detektor, dan rekorder (Hendayana et al., 1994). Diagram
skematik alat KCKT ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Skema Alat KCKT.
Pada Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ada 2 tipe pemisahan yaitu :
1. Pemisahan dengan Fasa Normal
Pemisahan yang dilakukan jika Fasa diamnya bersifat lebih polar
dibandingkan dengan fasa geraknya.
2. Pemisahan dengan Fasa Terbalik
17
eksklusi ukuran (Harvey, 2000).
KCKT merupakan salah satu contoh kromatografi cair yang menggunakan zat
cair sebagai fase gerak. Selain untuk pemisahan, metode ini juga dapat
digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Keuntungan menggunakan
KCKT antara lain jumlah sampel yang diperlukan sangat (beberapa mikroliter),
waktu yang diperlukan oleh suatu komponen untuk mencapai detektor atau
waktu retensinya hanya dalam beberapa menit, dan batas deteksinya sampai
nanogram perliter. Instrumen dasar KCKT terdiri dari pompa, sistem pemasukan
sampel, kolom, detektor, dan rekorder (Hendayana et al., 1994). Diagram
skematik alat KCKT ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Skema Alat KCKT.
Pada Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ada 2 tipe pemisahan yaitu :
1. Pemisahan dengan Fasa Normal
Pemisahan yang dilakukan jika Fasa diamnya bersifat lebih polar
dibandingkan dengan fasa geraknya.
2. Pemisahan dengan Fasa Terbalik
17
eksklusi ukuran (Harvey, 2000).
KCKT merupakan salah satu contoh kromatografi cair yang menggunakan zat
cair sebagai fase gerak. Selain untuk pemisahan, metode ini juga dapat
digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Keuntungan menggunakan
KCKT antara lain jumlah sampel yang diperlukan sangat (beberapa mikroliter),
waktu yang diperlukan oleh suatu komponen untuk mencapai detektor atau
waktu retensinya hanya dalam beberapa menit, dan batas deteksinya sampai
nanogram perliter. Instrumen dasar KCKT terdiri dari pompa, sistem pemasukan
sampel, kolom, detektor, dan rekorder (Hendayana et al., 1994). Diagram
skematik alat KCKT ditunjukkan pada Gambar 8.
Gambar 8. Skema Alat KCKT.
Pada Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) ada 2 tipe pemisahan yaitu :
1. Pemisahan dengan Fasa Normal
Pemisahan yang dilakukan jika Fasa diamnya bersifat lebih polar
dibandingkan dengan fasa geraknya.
2. Pemisahan dengan Fasa Terbalik
18
Pemisahan yang dilakukan jika fasa diamnya bersifat kurang non polar
dibandingkan dengan fasa geraknya.
Prinsip kerja KCKT pada dasarnya sama dengan kromatografi lapis tipis dan
kromatografi kolom, yang membedakan adalah pada kolom (fasa diam) KCKT
memperbolehkan ukuran butir partikel yang lebih kecil sehingga memberi luas
permukaan yang lebih besar untuk molekul-molekul yang lewat berinteraksi
dengan fasa diamnya. Hal ini membuat keseimbangan antar fasa menjadi lebih
baik dan efisien. Tekanan tinggi menyebabkan fasa gerak berdifusi menjadi
sekecil-kecilnya karena gerakan yang begitu cepat. Sehingga akan didapatkan
hasil pemisahan komponen-komponen dari campuran yang sebaik-baiknya.
Metode ini dapat digunakan pada senyawa yang tidak tahan terhadap panas dan
berbobot molekul besar.
Waktu yang dibutuhkan oleh senyawa untuk bergerak melalui kolom menuju
detektor disebut waktu retensi. Waktu retensi diukur berdasarkan waktu dimana
sampel diinjeksikan sampai satu senyawa keluar di prosesor unit pengolah data
yang ditunjukkan oleh ketinggian puncak yang maksimum dari senyawa itu.
Waktu retensi yang dihasilkan oleh tiap senyawa akan berbeda-beda.
F. Senyawa Perovskite
Oksida logam yang membentuk struktur perovskite dengan rumus umum ABO3
telah menjadi perhatian yang menarik selama dua dekade terakhir karena
mempunyai aplikasi komersil yang potensial sebagai katalis untuk dekomposisi
NOx, sel elektroda bahan bakar, dan sensor deteksi gas. Senyawa ABO3 memiliki
19
struktur yang sangat sederhana, dimana struktur idealnya membentuk kubus
dengan kation besar (A) dikelilingi oleh dua anion dan kation yang lebih kecil (B)
dikelilingi oleh enam anion. Contoh struktur umum perovskite pada Gambar 9.
Gambar 9. Struktur umum perovskite ABO3 .
Perubahan struktur dapat terjadi pada beberapa perovskite. Misalnya atom A atau
B tidak berada dalam ukuran yang benar dalam menyerang situs yang dihasilkan
oleh sisa struktur. Struktur oksida yang ideal adalah struktur kubik perovskite
yang panjang ikatannya berhubungan dengan ukuran unit sel a dengan,
a = BAr _2 = OBr _2
Derajat perubahan perovskite diberikan dengan faktor toleransi,
t =OB
OA
r
r
_
_
2
2
Pada prakteknya, ada beberapa fleksibilitas dari panjang ikatan dan biasanya
perovskite kubik terbentuk dengan t dalam rentang 0.9 < t < 1.0. Jika t > 1, sisi B
lebih besar dari yang dibutuhkan. Jika t sedikit lebih besar dari 1.0 maka struktur
berubah namun masih struktur dasar perovskite seperti BaTiO3 dengan t = 1,06.
Untuk perbedaan yang lebih besar dari t = 1, ion B menempati sisi yang lebih
20
kecil dengan bilangan koordinasi yang lebih rendah dan struktur berubah
seluruhnya seperti pada BaSiO3 dengan Si tetrahedral. Untuk faktor toleransi
yang lebih kecil 0,85 < t < 0,90 terjadi perubahan struktur yang berbeda seperti
GdFeO3, kation A terlalu kecil untuk sisi tersebut. Untuk t < 0,85, perubahan
struktur perovskite tidak stabil dalam waktu lebih lama dan kation A menempati
sisi yang lebih kecil, contoh adalah pada LiNbO3 dan FeTiO3.
Perovskite dapat diberikan dengan rumus umum A1A2B1B2O3 dimana A1 adalah
yang terpilih diantara Lantanida (umumnya La, namun kadang-kadang Ce, Pr atau
Nd) dan A2 adalah diantara logam alkali tanah (Ca, Ba, Sr) posisi B1 dan B2
ditempati oleh logam transisi (Co, Mn, Fe, Cr, Cu, V) atau logam mulia. A2 dan
B2 berhubungan dengan subtitusi sebagian dari ion A1 dan B1. Metode preparasi
perovskite dapat dilakukan dengan metode etilen glikol dengan prekursor garam
oksalat, atau dengan metode karbonil dengan prekursor garam asetat, dan metode
sitrat dengan prekursor garam nitrat (Irusta et al., 1998). Katalis oksida tipe
perovskite dapat memberikan aktivitas katalitik yang baik untuk oksidasi CO dan
reduksi NO (Deremince, 1995).
G. Katalis
Katalis merupakan suatu zat yang mampu meningkatkan laju suatu reaksi, tanpa
mengalami perubahan apapun dan secara termodinamika tidak akan
mempengaruhi nilai ketetapan kesetimbangan. Sebenarnya dalam suatu reaksi,
katalis ikut terlibat membentuk ikatan dengan molekul yang ada untuk saling
bereaksi membentuk produk yang kemudian pada akhir reaksi akan kembali ke
21
bentuk semula. Maka dari itu, katalis tidak memberikan tambahan energi pada
sistem, tapi menurunkan energi aktivasi, yang menyebabkan reaksi berlangsung
lebih cepat. Penurunan energi aktivasi tersebut terjadi akibat adanya interaksi
antara reaktan dengan situs-situs aktif yang terdapat pada katalis (Anderson et al.,
1976).
Katalis mempercepat reaksi dengan cara menurunkan energi aktivasi reaksi.
Penurunan energi aktivasi tersebut terjadi sebagai akibat dari interaksi antara
katalis dan reaktan. Katalis menyediakan situs-situs aktif yang berperan dalam
proses reaksi. Situs-situs aktif ini dapat berasal dari logam-logam yang terdeposit
pada pengemban atau dapat pula berasal dari pengemban sendiri. Logam-logam
tersebut umumnya adalah logam-logam transisi yang menyediakan orbital d
kosong atau elektron tunggal yang akan disumbangkan pada molekul reaktan
sehingga terbentuk ikatan baru dengan kekuatan ikatan tertentu (Campbell, 1998).
Pada umumnya katalis memiliki sifat-sifat yaitu sebagai berikut :
1. Aktivitas
Katalis harus memiliki kemampuan untuk dapat aktif bereaksi. Keaktifan
tersebut dapat dibuktikan dari hasil kerja katalis dalam mengubah bahan baku
menjadi produk baru yang diinginkan. Katalis dikatakan memiliki aktivitas
yang baik, jika katalis mampu menuju kesetimbangan dengan waktu yang
sangat singkat.
2. Selektivitas
Katalis harus memiliki kemampuan untuk dapat menghasilkan produk yang
diinginkan. Selektivitas diperlukan dalam pemilihan setiap material yang akan
digunakan. Hal ini dikarenakan dalam suatu proses reaksi, terdapat zat yang
22
berperan dalam meningkatkan laju reaksi, namun juga dapat menjadi
penghambat pada proses lainnya. Katalis dikatakan memiliki selektivitas yang
baik, jika katalis mampu secara efektif meningkatkan jumlah produk yang
diinginkan.
3. Stabilitas
Katalis harus memiliki kemampuan untuk dapat menghadapi racun atau zat lain
yang mungkin dapat merusak kinerja dari katalis itu sendiri. Stabilitas katalis
dalam proses reaksi akan berpengaruh pada produk yang dihasilkan.
4. Kekuatan mekanik
Katalis harus memiliki kemampuan untuk dapat digunakan dalam kondisi
apapun, meskipun dalam tekanan dan temperatur tinggi (Nasikin dan Susanto,
2010).
H. Material Nanopartikel
Material nanopartikel menarik banyak peneliti karena material nanopartikel
menunjukkan sifat fisika dan kimia yang spesifik dibanding dengan bulk
materialnya, seperti kekuatan mekanik, elektronik, magnetik, kestabilan termal,
katalitik dan optik (Deraz et al., 2009). Nanopartikel merupkan suatu partikulat
yang terdispersi atau partikel-partikel padatan dengan ukuran partikel berkisar 10
– 100 nm (Mohanraj and Chen, 2006; Sietsma et al., 2007 ).
Material nanopartikel lebih unggul dibandingkan dengan material besarnya (bulk).
Pertama, ukuran yang sangat kecil, menyebabkan material nanopartikel memiliki
angka perbandingan yang besar antara luas permukaan dan volumenya. Sehingga
23
bersifat lebih reaktif, karena hanya atom-atom di permukaan saja yang akan saling
bersentuhan langsung dengan material lain. Kedua, perubah sifat, seperti sifat
kekuatan mekanik, transparansi, konduktifitas listrik dan magnetisasi pada
material nanopartikel yang berkaitan dengan fenomena kuantum akibat pengaruh
keterbatasan ruang gerak. Sedangkan perbandingan jumlah atom yang menempati
luas permukaan dan volume berkaitan dengan perubahan sifat seperti titik leleh,
titik didih dan reaktivitas kimia dari material nanopartikel tersebut (Abdullah,
2008).
Material nanopartikel menunjukkan potensi sebagai katalis karena material
nanopartikel memiliki area permukaan yang luas dan rasio-rasio atom yang
tersebar secara merata pada permukaanya, sifat ini menguntungkan untuk transfer
massa di dalam pori-pori dan juga menyumbangkan antar muka yang besar untuk
reaksi-reaksi adsorpsi dan katalitik (Widegren and Finke, 2003). Selain itu,
material nanopartikel telah banyak dimanfaatkan sebagai katalis untuk
menghasilkan bahan bakar dan zat kimia serta katalis untuk mengurangi
pencemaran lingkungan (Sietsma et al., 2007).
Nanopartikel dalam bidang katalis telah banyak peneliti yang mampu
menghasilkan nanokatalis dengan metode nanopartikel yang umum digunakan,
seperti metode hidrotermal (Ohara et al., 2004), metode simple heating (Abdullah,
2008), metode combustion, metode sintesis koloid (Soderlind, 2008), metode
kopresipitasi (Kanade et al., 2006) dan metode sol-gel (Ismunandar, 2006).
24
I. Metode Preparasi katalis
Karakteristik katalis sangat dipengaruhi oleh setiap proses preparasi katalis yang
dilakukan. Pemilihan metode preparasi katalis yang tepat dan sesuai akan
memberikan karakteristik katalis yang diinginkan seperti mempunyai aktivitas,
selektivitas dan stabilitas yang tinggi. Tujuan utama dari metode preparasi katalis
adalah mendapatkan struktur definit, stabil, mempunyai luas permukaan yang
tinggi dan situs aktif yang lebih terbuka.
Beberapa jenis metode preparasi katalis adalah sebagai berikut :
1. Sol Gel
Sol gel adalah suatu suspensi koloid dari partikel yang digelkan ke bentuk
padatan. Proses sol gel dapat digunakan untuk pembuatan gelas yang tidak
melibatkan suatu proses peleburan. Proses ini melibatkan evolusi jaringan-
jaringan anorganik melalui polimerisasi kondensasi untuk kemudian membentuk
suspensi yang disebut sol (Sopyan dkk., 1997). Sol adalah suspensi dari partikel
koloid pada suatu cairan atau larutan molekul polimer (Rahaman, 1995). Di
dalam sol ini terlarut partikel halus dari senyawa hidroksida atau senyawa oksida
logam. Proses tersebut kemudian dilanjutkan dengan proses gelasi dari sol
tersebut untuk membentuk jaringan dalam suatu fasa cair yang kontinyu, sehingga
terbentuk gel (Sopyan dkk., 1997).
Preparasi katalis heterogen dengan proses sol-gel melibatkan tahapan
pembentukan sol dan kemudian menjadi gel. Sol gel adalah suatu suspensi
koloid dari partikel yang digelkan ke bentuk padatan. Sol adalah suspensi cair
25
dari partikel padat dengan ukuran 1 nm – 1 mikron, dapat diperoleh dari
hidrolisis dan kondensasi parsial prekursor seperti sebuah garam anorganik atau
logam. Kondensasi lebih lanjut dari partikel sol menjadi jaringan tiga dimensi
yang berbentuk gel, yang merupakan material fasa ganda dengan enkapsulat
padat dan pelarut. Keunggulan dari metode sol-gel antara lain, proses
berlangsung pada temperatur rendah, bisa diaplikasikan dalam segala kondisi
(versatile), menghasilkan produk dengan kemurnian dan kehomogenan yang
tinggi jika parameternya divariasikan. Dimana bisa dilakukan kontrol terhadap
ukuran dan distribusi pori yang merubah rasio molar air/prekursor, tipe katalis
atau prekursor, suhu gelasi, pengeringan dan proses stabilisasi. Selain itu pada
proses sol-gel tidak terjadi reaksi dengan senyawa sisa, kehilangan bahan akibat
penguapan dapat diperkecil, dan mengurangi pencemaran udara (Delfinas, 2014).
2. Freeze Dry
Pada preparasi katalis dengan metode konvensional seperti pengeringan dalam
oven (drying) dapat menyebabkan molekul-molekul pelarut terperangkap dalam
pori-pori katalis. Hal ini akan berdampak pada berkurangnya situs aktif katalis
sehingga aktivitas katalis dalam suatu reaksi tidak optimal. Molekul-molekul
pelarut tersebut dapat dikeluarkan dengan pemanasan pada temperatur tinggi
(kalsinasi), tetapi pemanasan pada temperatur yang tinggi dapat menyebabkan
kerusakan terhadap pembentukan kisi kristal katalis yang teridentifikasi melalui
kadar fasa kristalin dan luas permukaannya. Maka diperlukan metode lain yang
lebih baik untuk mengatasi permasalahan tersebut. Freeze drying merupakan
suatu metode yang memiliki efektivitas tinggi yang dapat digunakan untuk
26
mengeluarkan molekul-molekul air dalam pori-pori prekursor katalis atau
pendukung tanpa merusak kisi kristal molekul katalis itu sendiri.
Freeze drying adalah suatu proses yang telah umum dikenal dalam bidang biologi,
farmasi dan makanan. Metode ini cocok untuk senyawa yang sensitif terhadap
panas, virus dan mikroorganisme. Proses yang terjadi adalah mengubah air yang
terperangkap dalam rongga bahan katalis mejadi uap air tanpa melalui intermediet
cair. Dasar sublimasi ini melibatkan absorpsi panas oleh sampel beku guna
menguapkan air, pemindahan dan pengumpulan uap air ke dalam suatu kondesor,
menghilangkan panas sebagai akibat pembentukan es, dari kondensor melalui
sistem refrigerator. Intinya proses freeze-dry adalah keseimbangan antara panas
yang diadsorpsi oleh sampel untuk menguapkan air dan memindahkan panas dari
kondensor untuk mengubah uap air menjadi es. Dalam katalis, metode ini
digunakan untuk menghilangkan air hidrat dalam rongga bahan katalis tanpa
merusak struktur jaringan bahan tersebut (Labconco, 1996).
3. Kalsinasi
Kalsinasi merupakan proses pemanasan suatu zat padat pada suhu tinggi dibawah
titik lelehnya yang dilakukan secara bertahap dengan laju dan derajat kenaikan
yang konstan. Kalsinasi dibutuhkan pada zat padat seperti katalis untuk dapat
mengubah kristal-kristal yang ada sehingga diperoleh ukuran partikel yang lebih
optimum. Perubahan ini terjadi karena atom-atom karbon, hidrogen dan oksigen
dapat teruapkan menjadi air dan karbon dioksida.
Peristiwa yang terjadi pada proses kalsinasi yaitu :
27
1. Dekomposisi komponen prekursor pada pembentukan spesi oksida. Proses
pertama terjadi pelepasan air bebas (H2O) dan terikat (OH) berlangsung
sekitar suhu 100o dan 300o C.
2. Pelepasan gas CO2 yang berlangsung sekitar suhu 600o C, terjadi
pengurangan berat secara berarti dan terjadi reaksi antara oksida yang
terbentuk dengan penyangga.
3. Sintering komponen prekusor. Pada proses ini struktur kristal sudah
terbentuk namun ikatan diantara partikel serbuk belum kuat dan mudah
lepas.
J. Karakterisasi Katalis
Karakterisasi katalis ini digunakan untuk memperoleh informasi mengenai
katalis yang dibuat yaitu sifat kimia dan sifat fisika. Pada karakterisasi kimia
untuk mengetahui jumlah kandungan logam dalam katalis, keasaman, ikatan
kimia dan kristalinitas. Sedangkan karakterisasi fisika untuk mengetahui luas
permkaan, diameter pori, volume pori, kekerasan dan distribusi logam pada
katalis.
1. Analisis Keasaman
Analisis keasaman dilakukan dengan metode gravimetri untuk mengetahui
jumlah situs asam selanjutnya dianalisis menggunakan instrumentasi Fourier
Transform Infra Red (FTIR) untuk mengetahui jenis situs asam pada katalis.
28
a. Metode Gravimetri
Keasaman katalis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas dari
katalis. Aktivitas katalis dipengaruhi oleh besarnya keasaman dari katalis tersebut.
Semakin banyak jumlah situs asam suatu katalis, maka situs aktif yang terkandung
dalam katalis.juga semakin banyak. Sehingga aktivitas katalitik katalis juga
semakin meningkat. Penentuan jumlah situs asam dalam katalis dapat dilakukan
dengan menggunakan metode gravimetri dengan cara menghitung jumlah basa
yang teradsorpsi secara kimia (kemisorpsi) dalam fase gas (ASTM, 2005).
Basa yang digunakan dalam metode gravimetri yaitu seperti amonia, piridin,
piperidin, quinolin, trimetil amin, dan pirol yang teradsorbsi pada situs asam
dengan kekuatan adsorbsi yang proporsional dengan kekuatan asam (Richardson,
1989). Namun, basa yang sering digunakan dalam metode ini yaitu piridin.
Penentuan jumlah situs asam menggunakan piridin sebagai basa adsorbat
merupakan penentuan jumlah situs asam yang terdapat pada permukaan katalis,
dengan asumsi bahwa ukuran molekul piridin yang relatif besar sehingga hanya
dapat teradsorbsi pada permukaan katalis (Rodiansono et al., 2007). Berikut
merupakan cara mengukur keasaman atau menghitung banyaknya jumlah mol basa
yang teradsorpsi pada permukaan katalis menggunakan piridin sebagai basa
adsorban.
= ( − )( − ) × /Dimana, w1 = Berat wadah
w2 = Berat wadah + sampelw3 = Berat wadah + sampel yang
telah mengadsorpsi piridinBM = Berat molekul piridin
29
b. Fourier Transform Infra Red (FTIR)
Penetuan jenis situs asam pada katalis dapat ditentukan menggunakan
spektroskopi infra merah (FTIR) dari katalis yang telah mengadsorpsi basa
adsorbat. FTIR merupakan salah satu instrumen yang menggunakan prinsip
spektroskopi. FTIR merupakan suatu metode analisis yang mengamati interaksi
antar atom-atom dalam molekul berdasarkan perubahan vibrasi-vibrasi yang
terbentuk pada saat sampel teradsorpsi dengan energi khusus dan dilewati oleh
sinar inframerah (Ayyad, 2011). Sinar inframerah ini berada pada jangkauan
panjang gelombang 2,5 – 25 µm atau jangkauan frekuensi 2000 – 400 cm-1. Hal
ini karena di daerah jangkauan antara 2000 – 400 cm-1 adalah daerah khusus yang
berguna untuk identifkasi gugus fungsional.
Instrumen FTIR menggunakan sistem yang disebut dengan interferometer untuk
mengumpulkan spektrum. Interferometer terdiri atas sumber radiasi, pemisah
berkas, dua buah cermin, laser dan detektor. Skema lengkap dari instrumentasi
FTIR ditunjukan oleh Gambar 10.
Gambar 10. Skema instrumentasi FTIR.
30
Energi inframerah di emisikan dari sumber bergerak melalui celah sempit untuk
mengontrol jumlah energi yang akan diberikan ke sampel. Di sisi lain, berkas
laser memasuki interferometer dan kemudian terjadi “pengkodean spektra”
menghasilkan sinyal interferogram yang kemudian keluar dari interferogram.
Berkas laser kemudian memasuki ruang sampel, berkas akan diteruskan atau
dipantulkan oleh permukaan sampel tergantung dari energinya, yang mana
merupakan karakteristik dari sampel. Berkas akhirnya sampai ke detektor dan
untuk mendapatkan spektrum inframerah, sinyal detektor dikirim ke komputer dan
suatu algoritma yang disebut fourier, mengubah penampilan interferogram
menjadi spektrum berkas tunggal. Spektrum referensi atau ”background”
dikumpulkan tanpa menggunakan sampel. Perbandingan antara berkas tunggal
yang melalui sampel dan referensi menghasilkan spektrum. Spektrum inframerah
tersebut dihasilkan dari pentrasmisian cahaya yang melewati sampel, pengukuran
intensitas cahaya dengan detektor dan dibandingkan dengan intensitas tanpa
sampel sebagai fungsi panjang gelombang. Spektrum inframerah yang diperoleh
kemudian diplot sebagai intensitas fungsi energi, panjang gelombang (µm) atau
bilangan gelombang (cm-1) (Anam, 2007).
Pada hasil analisis FTIR, adsorpsi molekul piridin dapat terjadi pada situs-situs
asam dipermukaan katalis. Pada situs asam Bronsted-Lowry, piridin akan
berinteraksi dengan situs asam melalui ikatan hidrogen membentuk ion piridinium
dan ditandai dengan puncak hasil serapan pada bilangan gelombang 1485-1500,
~1620, dan ~1640 cm-1, sedangkan pada situs asam Lewis, piridin akan
berinteraksi secara koordinasi dengan situs aktif (logam transisi) yang akan
bertindak sebagai spesies asam Lewis dengan menerima pasangan elektron dari
31
piridin dan ditandai dengan puncak hasil serapan pada bilangan gelombang 1447-
1460, 1488- 1503, ~1580, dan 1600- 1633 cm-1 (Tanabe, 1981).
Pada penelitian ini nanokatalis LaCr0,98Mo0,02O3 yang telah diuji keasaman dengan
metode gravimetri dan selanjutnya diketahui serapan basa yang terikat pada
katalis asam untuk mengidentifikasi jenis situs asam yang terbentuk dengan
menggunakan spektrofotometer FTIR yang akan terlihat jelas dari spektrum IR
yang diperoleh.
Gambar 11. Spektra IR dari katalis: (a) NiFe2O4, (b) Co3O4, dan (c)Co3O4/NiFe2O4
Pada Gambar 11 hasil puncak serapan katalis menunjukkan bahwa situs asam
Bronsted-Lowry lebih dominan daripada situs asam Lewisnya (Fransisca, 2011).
2. Analisis Fasa Kristalin Katalis
Analisi fasa kristalin katalis dilakukan dengan menggunakan instrumentasi
difraksi sinar-X (X-Ray Difractional/XRD). XRD merupakan salah satu metode
karakterisasi material yang paling tua dan paling sering digunakan hingga saat
32
ini. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi suatu material berdasarkan
fasa kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter kisi serta untuk
mendapatkan ukuran partikel suatu material menggunakan persamaan Debye-
Scherrer (Auda, 2009).
cosk
D
dimana: D= diameter rata-rata partikel (nm)k = konstanta dari instrumen yang digunakanλ = panjang gelombang sinar-X yang digunakan (nm)β = pelebaran puncak (radian)θ = sudut Bragg (radian)
Metode XRD didasarkan pada fakta bahwa pola difraksi sinar-X untuk masing-
masing material kristalin adalah khas. Dengan demikian, bila pencocokan yang
tepat dapat dilakukan antara pola difraksi sinar-X dari sampel yang tidak
diketahui dengan standar yang telah diketahui, maka identitas dari sampel dapat
diketahui (Skoog dan Leary, 1992). Difraksi sinar-X terjadi pada hamburan
elastis foton-foton sinar-X oleh atom dalam sebuah kisi periodik. Hamburan
monokromatis sinar-X dalam fasa tersebut memberikan interferensi yang
konstruktif.
Dasar dari penggunaan XRD untuk mempelajari kisi kristal adalah berdasarkan
persamaan Bragg (Ismunandar, 2006). Berdasarkan persamaan Bragg, jika
seberkas sinar-X dijatuhkan pada sampel kristal, maka bidang kristal itu akan
membiaskan sinar-X yang memiliki panjang gelombang yang sama dengan
jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan akan ditangkap oleh
detektor, kemudian diterjemahkan sebagai puncak difraksi. Semakin banyak
33
bidang kristal yang sama terdapat dalam sampel, maka semakin kuat intensitas
pembiasan yang dihasilkan. Tiap puncak yang muncul pada pola XRD
mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam sumbu tiga
dimensi (Auda, 2009).
Gambar 12. Perbandingan antara difraktogram katalis sebelum dansesudah uji aktifitas. (a) Difraktogram sebelum ujiaktifitas, (b) Difraktogram setelah uji aktifitas(Sukmawibowo, 2010).
Pada Difraktogram Gambar 12, menunjukan bahwa reduksi yang terjadi hanya
pada bagian tertentu saja, tidak menyeluruh, karena fase kristal dari α-Fe2O3
masih terdapat dan menjadi fase kristal yang lebih mendominasi dibandingkan
fase kristal Fe3O4 (Sukmawibowo, 2010).
3. Analisis Ukuran Partikel Katalis
Analisis ukuran partikel katalis dilakukan menggunakan instrumentasi Particle
Size Analyzer (PSA). PSA merupakan salah satu metode karakterisasi yang tidak
hanya dapat digunakan untuk mengetahui ukuran partikel dari suatu material,
34
namun juga dapat menginformasikan besaran distribusi ukuran partikel tersebut.
Sehingga dapat diasumsikan bahwa hasil pengukuran tersebut merupakan
gambaran keseluruhan dari kondisi sampel. Alat ini mampu mengukur ukuran
partikel dan molekul dalam rentang 0,15 nm sampai 10 µm.
PSA berkerja berdasarkan prinsip Dinamyc Light Scattering (DLS) dengan
memanfaatkan hamburan inframerah yang ditembakkan oleh alat ke sampel
sehingga sampel akan merespon dengan menghasilkan gerak Brown. Gerak
Bown berupa gerak acak dari partikel yang sangat kecil dalam cairan akibat
benturan dengan molekul-molekul yang ada dalam zat cair. Gerak inilah yang
akan di analisis, semakin kecil ukuran partikel maka semakin cepat gerakannya.
Metode LAS ideal untuk menentukan partikel berukuran nanometer dan
biomaterial. Kisaran ukuran partikel yang dapat dianalisis yaitu antara 0,1 nm
hingga 10 µm. Distribusi ukuran partikel dianalisis dan diolah menggunakan
statistik dengan parameter mean (ukuran rata-rata), median (nilai tengah), dan
modulus (ukuran dengan frekuensi tinggi) (Rawle, 2012). Prinsip kerja PSA
ditunjukkan pada Gambar 13.
Gambar 13. Prinsip kerja PSA
34
namun juga dapat menginformasikan besaran distribusi ukuran partikel tersebut.
Sehingga dapat diasumsikan bahwa hasil pengukuran tersebut merupakan
gambaran keseluruhan dari kondisi sampel. Alat ini mampu mengukur ukuran
partikel dan molekul dalam rentang 0,15 nm sampai 10 µm.
PSA berkerja berdasarkan prinsip Dinamyc Light Scattering (DLS) dengan
memanfaatkan hamburan inframerah yang ditembakkan oleh alat ke sampel
sehingga sampel akan merespon dengan menghasilkan gerak Brown. Gerak
Bown berupa gerak acak dari partikel yang sangat kecil dalam cairan akibat
benturan dengan molekul-molekul yang ada dalam zat cair. Gerak inilah yang
akan di analisis, semakin kecil ukuran partikel maka semakin cepat gerakannya.
Metode LAS ideal untuk menentukan partikel berukuran nanometer dan
biomaterial. Kisaran ukuran partikel yang dapat dianalisis yaitu antara 0,1 nm
hingga 10 µm. Distribusi ukuran partikel dianalisis dan diolah menggunakan
statistik dengan parameter mean (ukuran rata-rata), median (nilai tengah), dan
modulus (ukuran dengan frekuensi tinggi) (Rawle, 2012). Prinsip kerja PSA
ditunjukkan pada Gambar 13.
Gambar 13. Prinsip kerja PSA
34
namun juga dapat menginformasikan besaran distribusi ukuran partikel tersebut.
Sehingga dapat diasumsikan bahwa hasil pengukuran tersebut merupakan
gambaran keseluruhan dari kondisi sampel. Alat ini mampu mengukur ukuran
partikel dan molekul dalam rentang 0,15 nm sampai 10 µm.
PSA berkerja berdasarkan prinsip Dinamyc Light Scattering (DLS) dengan
memanfaatkan hamburan inframerah yang ditembakkan oleh alat ke sampel
sehingga sampel akan merespon dengan menghasilkan gerak Brown. Gerak
Bown berupa gerak acak dari partikel yang sangat kecil dalam cairan akibat
benturan dengan molekul-molekul yang ada dalam zat cair. Gerak inilah yang
akan di analisis, semakin kecil ukuran partikel maka semakin cepat gerakannya.
Metode LAS ideal untuk menentukan partikel berukuran nanometer dan
biomaterial. Kisaran ukuran partikel yang dapat dianalisis yaitu antara 0,1 nm
hingga 10 µm. Distribusi ukuran partikel dianalisis dan diolah menggunakan
statistik dengan parameter mean (ukuran rata-rata), median (nilai tengah), dan
modulus (ukuran dengan frekuensi tinggi) (Rawle, 2012). Prinsip kerja PSA
ditunjukkan pada Gambar 13.
Gambar 13. Prinsip kerja PSA
35
PSA terbagi dalam dua metode, terdiri atas:
a. Metode kering (Dry Dispersion Unit)
Metode ini memanfaatkan aliran udara sebagai media pelarut partikel yang
akan dianalisis. Metode ini lebih baik digunakan pada material yang
berukuran besar atau kasar, karena hubungan yang terjadi antar partikel cukup
lemah dan kecil kemungkinan partikel saling beraglomerasi.
b. Metode basah (Wet Dispersion Unit)
Metode ini memanfaatkan media cair untuk mendispersi partikel yang akan
dianalisis. Pada umumnya metode ini lebih baik digunakan pada material
yang berukuran nano dan submikron, karena akan besar kemungkinan untuk
partikel saling beraglomerasi.
Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA biasanya menggunakan metode
basah. Metode ini dinilai lebih akurat jika dibandingkan dengan metode kering
ataupun pengukuran partikel dengan metode ayakan dan analisa gambar.
Terutama untuk sampel-sampel dalam orde nanometer dan submikron yang
biasanya memiliki kecendrungan aglomerasi yang tinggi. Hal ini dikarenakan
partikel didispersikan ke dalam media sehingga partikel tidak saling
beraglomerasi (menggumpal). Dengan demikian, ukuran partikel yang terukur
adalah ukuran dari single particle. Selain itu hasil pengukuran dalam bentuk
distribusi, sehingga hasil pengukuran dapat diasumsikan sudah menggambarkan
keseluruhan kondisi sampel (Rawle, 2010).
36
4. Analisis Morfologi Katalis
Analisis morfologi kristalin katalis dilakukan menggunakan instrumentasi
Transmission Electron Microscopy (TEM). Transmission Electron Microscopy
(TEM) adalah alat untuk mengamati bentuk, struktur, serta distribusi pori padatan.
Prinsip kerja TEM sama seperti proyektor slide dimana elektron ditransmisikan ke
dalam obyek pengamatan dan hasilnya diamati melalui layar. Mekanisme kerja
dari TEM yaitu pistol elektron berupa lampu tungsten dihubungkan dengan
sumber tegangan tinggi (100–300 kV) ditransmisikan pada sampel yang tipis,
pistol akan memancarkan elektron secara termionik maupun emisi medan magnet
ke sistem vakum. Interaksi antara elektron dengan medan magnet menyebabkan
elektron bergerak sesuai aturan tangan kanan, sehingga memungkinkan
elektromagnet untuk memanipulasi berkas elektron. Skema kerja dari TEM
ditunjukkan pada Gambar 14.
Gambar 14. Skema Kerja dari TEM
36
4. Analisis Morfologi Katalis
Analisis morfologi kristalin katalis dilakukan menggunakan instrumentasi
Transmission Electron Microscopy (TEM). Transmission Electron Microscopy
(TEM) adalah alat untuk mengamati bentuk, struktur, serta distribusi pori padatan.
Prinsip kerja TEM sama seperti proyektor slide dimana elektron ditransmisikan ke
dalam obyek pengamatan dan hasilnya diamati melalui layar. Mekanisme kerja
dari TEM yaitu pistol elektron berupa lampu tungsten dihubungkan dengan
sumber tegangan tinggi (100–300 kV) ditransmisikan pada sampel yang tipis,
pistol akan memancarkan elektron secara termionik maupun emisi medan magnet
ke sistem vakum. Interaksi antara elektron dengan medan magnet menyebabkan
elektron bergerak sesuai aturan tangan kanan, sehingga memungkinkan
elektromagnet untuk memanipulasi berkas elektron. Skema kerja dari TEM
ditunjukkan pada Gambar 14.
Gambar 14. Skema Kerja dari TEM
36
4. Analisis Morfologi Katalis
Analisis morfologi kristalin katalis dilakukan menggunakan instrumentasi
Transmission Electron Microscopy (TEM). Transmission Electron Microscopy
(TEM) adalah alat untuk mengamati bentuk, struktur, serta distribusi pori padatan.
Prinsip kerja TEM sama seperti proyektor slide dimana elektron ditransmisikan ke
dalam obyek pengamatan dan hasilnya diamati melalui layar. Mekanisme kerja
dari TEM yaitu pistol elektron berupa lampu tungsten dihubungkan dengan
sumber tegangan tinggi (100–300 kV) ditransmisikan pada sampel yang tipis,
pistol akan memancarkan elektron secara termionik maupun emisi medan magnet
ke sistem vakum. Interaksi antara elektron dengan medan magnet menyebabkan
elektron bergerak sesuai aturan tangan kanan, sehingga memungkinkan
elektromagnet untuk memanipulasi berkas elektron. Skema kerja dari TEM
ditunjukkan pada Gambar 14.
Gambar 14. Skema Kerja dari TEM
37
Penggunaan medan magnet akan membentuk sebuah lensa magnetik dengan
kekuatan fokus variabel yang baik. Selain itu, medan elektrostatik dapat
menyebabkan elektron didefleksikan melalui sudut yang konstan. Dua pasang
defleksi yang berlawanan arah dengan intermediete gap akan membentuk arah
elektron yang menuju lensa yang selanjutnya dapat diamati melalui layar pospor
(Jie et al., 2003).
Analisis TEM juga dapat melihat perbesaran dengan resolusi tinggi hingga diatas
perbesaran 500000 kali. Analisis ini dapat melihat perbesaran sampai kristal
ataupun kolom atom suatu molekul sehingga penglihatan perbesaran dapat
dilakukan secara tembus gambar. Karakterisasi TEM dapat meningkatkan
penggambaran sehingga jika terjadi penumpukan pada perbesaran sampel tetap
dapat dilihat ukuran dan bentuknya (Harahap, 2012).
III. METODELOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Kimia Anorganik Fisik Universitas
Lampung. Analisis jenis situs asam katalis dilakukan di Laboratorium Pusat
Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) Batan Serpong. Analisis XRD
dilakukan di Laboratorium Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) Batan
Serpong, PSA dilakukan Balai Besar Paska Panen Bogor, dan analisis TEM
dilakukan di Univeristas Gajah Mada. Serta uji aktifitas dari reaksi fotokatalitik
katalis dilakukan di Akademik Analis Kimia Bogor. Penelitian ini dilakukan dari
bulan Februari 2017 sampai dengan bulan Juni 2017.
B. Alat dan Bahan
Alat-alat yang akan digunakan adalah peralatan gelas, termometer, desikator,
Freezer merek LG, Magnetic Strirrer merek Stuart heat-stir CB162, oven
merek Fischer Scientific (SEA) Pie Ltd, neraca digital merek Kern ABT 220-
4M, ultrasonikasi merek Bandelin Sonorex Technik, Magnetic Strirrer, Freeze
Dry merek ModulyoD Freeze Dryer , reaktor katalitik, Fourier Transform Infra
Red (FTIR) merek SHIMADZU PRESTIGE 21, Particle Size Analyzer (PSA)
merek FRITSCH GmbH, Transmission Electron Microscopy (TEM) merek
39
TEM JEOL JEM 1400, X- ray Difraction (XRD) Type Miniflex 600 Merek
Rigaku. dan High Performance Liquid Chromatography (HPLC) merek Waters
Alliance 2695.
Bahan-bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini antara lain, serbuk
pektin, lantanum nitrat La(NO3)2.6H2O (Merck, 99%), kromium nitrat
Cr(NO3)2.9H2O (Merck, 99%), ammonium molibdat (NH4)6.Mo7O24.4H2O
(Merck, 99%), piridin, aquadest, amoniak, nanoselulosa (Widiarto et al., 2017)
dan gas hidrogen (BOC 99,99%).
C. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian ini akan dilakukan beberapa tahap yang dilakukan yaitu
preparasi nanokatalis, karakterisasi nanokatalis, pembuatan nanoselulosa dan uji
aktifitas nanokatalis.
1. Preparasi Nanokatalis
Nanokatalis LaCr0,98Mo0,02O3 dibuat dengan melarutkan 8 gram pektin
kedalam 400 ml aquadest. Larutan tersebut diaduk menggunakan
magnetik stirrer pada suhu ruang sampai homogen + 3 jam dan
kemudian ditambahkan 50 mL amoniak pekat. Selanjutnya ditambahkan
tetes demi tetes secara perlahan dan bersamaan larutan La nitrat
La(NO3)2.6H2O 3,61084 gram dalam 200 mL aquades, amonium
molibdat (NH4)6Mo7O24.4H2O 0,2061 gram dalam 100 mL aquades dan
larutan kromium nitrat Cr(NO3)3.9H2O 3,26961 gram dalam 300 mL
40
aquades, sambil diaduk menggunakan heating magnetic stirrer hingga
diperoleh larutan homogen. Larutan yang telah homogen dipanaskan
pada suhu 100ºC sampai terbentuk gel dengan volume 200 mL.
Kemudian gel tersebut di frezee dry sampai kering untuk menghilangkan
molekul air dalam gel yang telah kering dimasukkan dalam cawan yang
akan dikalsinasi sampai suhu 700ºC. Proses kalsinasi dilakukan secara
bertahap dengan laju suhu 5ºC /menit. Setelah itu, bubuk katalis
LaCr0,98Mo0,02O3 yang diperoleh di gerus kembali sampai halus
menggunakan mortar agate kemudian di timbang untuk dilanjutkan ke
tahap karakterisasi katalis.
2. Karakterisasi Katalis
a. Analisis Keasaman
Penentuan jumlah situs asam pada material dilakukan dengan metode
gravimetri. Sebanyak 0,1 gram material katalis dimasukkan ke dalam
wadah dan di letakkan ke dalam desikator bersama dengan basa piridin.
Desikator ditutup selama 24 jam, sampel dikeluarkan dan dibiarkan selama
2 jam di tempat terbuka. Selanjutnya ditimbang dan ditentukan
keasamannya dengan persamaan berikut.
41
= ( − )( − ) × /Dimana, w1 = Berat wadah
w2 = Berat wadah + sampelw3 = Berat wadah + sampel yang telah mengadsorpsi
piridinBM = Berat molekul piridin
Selanjutnya, penentuan situs asam Bronsted-Lowry dan situs asam lewis
dari katalis, dilakukan dengan cara bahan katalis hasil uji keasaman secara
gravimetri dianalisis dengan menggunakan FTIR. Sebelumnya sampel
katalis dicampur dengan KBr, lalu sampel diukur menggunakan FTIR
dilakukan pada rentang bilangan gelombang 4000-400 cm-1 (Pary,1963;
Ryczkowski, 2001). Daerah serapan IR padatan dibawah 1000 cm-1 selalu
menunjukan ion dalam bentuk kisi kristal (Brabers et al., 1969).
b. Analisis Struktur Kristal dengan XRD
Analisis struktur kristal pada sampel dilakukan menggunakan difraksi
sinar-X (XRD), disesuaikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maiti
et al (1973) yaitu menggunakan radiasi CuKα (1,5425 Ǻ) . Puncak-puncak
yang terdapat pada difraktogram kemudian diidentifikasi menggunakan
metode Search Match dengan standar file data yang terdapat dalam
program Macth Crystal Impact. Ukuran partikel dihitung menggunakan
persamaan Scherrer sebagai berikut :
42
cosk
D
Dimana: D= ukuran partikel (nm)k = konstanta (0,94)λ = 1,5425 Åβ = radian (FWHM)θ = lebar puncak
c. Analisis Morfologi Katalis
Penentuan morfologi katalis dilakukan menggunakan instrumentasi
Transmission Electron Microscop (TEM). Persiapan sampel untuk uji
morfologi dapat dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu :
1. Sampel digerinda sampai ketebalan 20 µm.
2. Sampel yang akan di analisis ditembalkan dengan ion argon sampai
berlubang.
3. Elektron ditembakkan, berkas yang menembus sampel akan dibaca
oleh detektor dan diolah menjadi gambar (Bendersky and Gayle,
2001).
d. Analisis Ukuran partikel
Sampel katalis akan di analisis menggunakan PSA untuk dapat mengetahui
ukuran partikel dari katalis. Karakterisasi biasanya dilakukan dengan
pengukuran wet dispersion unit. Metode ini memanfaatkan air atau aliran
air untuk melarutkan partikel dan membawanya ke sensing zone.
Pengukuran sampel dilakukan beberapa kali, hingga diperoleh dua data
yang memiliki selisih kurang dari 0,0120 μm. Dari kedua data tersebut
43
kemudian diolah secara bertahap dalam menentukan hasil terbaik (Rawle,
2010).
3. Uji Aktifitas (Fotokatalitik)
a. Reaksi Fotokatalitik
Katalis LaCr0,98Mo0,02O3 yang telah di hasilkan sebelumnya akan
dilakukan uji aktifitas dengan reaksi fotokatalitik yaitu konversi selulosa
menjadi gula alkohol. Reaksi fotokatalitik dilakukan dengan
mensuspensikan sebanyak 0,5 gram selulosa dalam 100 mL aquades
kemudian disonifikasi selama 30 menit. Selanjutnya dimasukkan katalis
LaCr0,98Mo0,02O3 sebanyak 0,1 gram dalam suspensi. Kemudian larutan
dialirkan gas hidrogen dengan laju 10 ml per menit dan dipasangkan
lampu UV sebesar 125 W. Posisi lampu UV diletakkan dengan rentang
jarak 10-15 cm ke permukaan reaktor (Manurung et al., 2015). Dilakukan
variasi waktu penyinaran sinar UV pada proses konversi nanoselulosa
yaitu 30, 45, dan 60 menit. Ketiga sampel tersebut didiamkan selama 2
hari dan disaring untuk memisahkan filtrat dan endapan. Endapan yang
diperoleh ditimbang dan dihitung persentase nanoselulosa yang
terkonversi oleh katalis LaCr0,98Mo0,02O3 melalui iradiasi sinar UV. Pada
setiap sampel diambil sebanyak 10 mL dan selanjutnya di analisis
menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).
44
b. Analisis menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)
Hasil dari uji aktivitas yaitu konversi selulosa menjadi gula alkohol akan
dianalisi menggunaka Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT).
Analisis KCKT dilakukan dengan parameter fasa gerak asetonitril air.
Sealin itu parameter kolom Carbohydrate High Performance (4,6 x 250
mm), detektor indeks refraksi, laju alir 1,4 mL/ menit, dan suhu pada
kolom 35ºC. Parameter tersebut digunakan bertujuan untuk mengetahui
kandungan alkohol yang terkandung dalam senyawa tersebut.
Analisis kualitatif dilakukan untuk membuktikan bahwa adanya
kandungan gula alkohol dalam senyawa tersebut, sedangkan analisis
kuantitatif dilakukan untuk mengetahui konsentrasi gula alkohol. Untuk
uji kualitatif dilakukan dengan cara membandingkan waktu retensi (Rf)
dari sampel terhadap pembanding. Apabila senyawa dalam pembanding
terkandung dalam uji, maka waktu retensi puncak larutan uji sama dengan
waktu retensi puncak larutan standar. Analisis kuantitatif dilakukan
dengan cara membandingkan intensitas gula alkohol (manitol, xylitol, dan
sorbitol) standar dengan intensitas sampel pada kromotograf.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa :
1. Penelitian ini dapat menghasilkan katalis LaCr0,98Mo0,02O3 dengan ukuran
partikel skala nano dengan metode sol gel menggunakan pektin sebagai agen
pengemulsi.
2. Hasil analisis difraksi sinar-X (XRD) menunjukan terbentuknya struktur
katalis LaCr0,98Mo0,02O3 dengan fasa kristalin La2Mo2O9 dan LaCrO3
3. Katalis LaCr0,98Mo0,02O3 memperlihatkan pita serapan yang menunjukkan
jenis situs asam Lewis.
4. Katalis LaCr0,98Mo0,02O3 suhu kalsinasi 700oC memiliki jumlah situs asam
yaitu 12, 638 mmol/ g katalis.
5. Hasil analisis TEM (Transmission Electron Microscope) nanokatalis
LaCr0,98Mo0,02O3 menunjukkan bahwa morfologi permukaan mengalami
aglomersi dan tidak merata serta kristal berbentuk persegi panjang.
6. Katalis LaCr0,98Mo0,02O3 suhu kalsinasi 700oC aktif dalam mengkonversi
nanoselulosa menjadi gula akohol berupa sorbitol dengan variasi waktu (30,
45, dan 60 menit).
64
B. SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka pada penelitian selanjutnya
disarankan untuk :
1. Melakukan uji fotokatalitik dengan daya lampu UV lebih besar dari 125W
dan memvariasikan waktu penyinaran lebih banyak agar diperoleh hasil
konversi nanoselulosa yang optimal
2. Mengoptimalkan aliran gas H2 pada saat konversi berlangsung, agar hasil dari
konversi nanoselulosa lebih optimal.
3. Melakukan karakterisasi energi band-gab, sehingga dapat diketahui dengan
pasti panjang gelombang yang harus digunakan untuk reaksi konversi
selulosa tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M., V. Yudistira, Nirmin dan Khairurrijal. 2008.Sintesis Nanomaterial.Journal Nanosains dan Nanoteknologi.1: 33–36.
Akgul, M. And H. Kirci. 2009. An Enviromentally Frienly Organosolv (Etanol-Water) Palping of Poplar Wood. Journal of Enviromental Biology. 30: 735-740.
Amalia, R. 2013. Studi Pendahuluan Konversi Selulosa Menjadi Gula Alkoholdengan Katalis NixFe2-xO4 dengan Variabel x=0,5; 0,8 dan 1.Skripsi.Universitas Lampung. Bandar Lampung. 47-49.
Anam, Choirul. Sirojudin dkk. 2007. Analisis Gugus Fungsi pada Sampel Uji,Bensin dan Spritus Menggunakan Metode Spektrokopi FTIR. BerkalaFisika. 10: 79-85.
Anderson, B. Robert and Peter, T. Dawson. 1976. Experimental Methods InCatalytic Research. Academic Press. New York. 235-256.
Antony. 2012. Produksi Enzim Selulase.Skripsi. Fakultas Teknologi Industri,Institut Teknologi Bandung. Bandung. 1-33.
Asghari, F. S., and Yoshida, H. 2010. Convertion of Japanese Red Pine Wood(Pinus densiflora) into Valuable Chemicals Under Subcritical WaterCondutions.Carbohydrate Research.35: 124-131.
ASTM D4824-03. 2005. Test Method for Determination of Catalyst Acidity byAmmonia Chemisorption. Annual Book of ASTM.
Auda, H. Y. 2009. Analisa Pola-PolaDifraksi Sinar-X Pada Material SerbukNd6Fe13Sn, Nd6Fe13Ge, Nd6Fe13Si Menggunakan Metode RietveldGSAS.Skripsi. Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret. Surakarta.57-67.
66
Ayyad, O.D . 2011 . Novel Strategies The Synthesis of Metal Nanoparticle andNanostructure.Thesis. Univesitas de Barcelona. Barcelona. 67-76.
Bai, Renbi and D.Deng.2004. Removal Oftrivalent and Hexavalentchromium withAminated Polyacrylonitrile Fibers: Performance and Mechanisms. WaterResearch. 38: 2423–2431.
Bar, A. In Nabors, L.O.and Gelardi, R. C. 1991.Xylitol Alternative Sweetener. 2nd
Edition. N.Y., Basel. Hongkong. Marcel Dekker Incorporated. 349- 376.
Bendersky, L. A. and F. W. Gayle. 2001. Elektron Difraction using TransmissionElectron Microscopy.National Institute of Standards and Tecnology.Gaithersburg. 106: 20899-8554.
Brabers, VAM. 1969.Infrared Spectra of Cubic and Tetragonal ManganeseFerrites. Physica Status Solidi.33: 563–572.
Campanati, M., G. Fonsari and A. Vaccari. 2003. Fundementals in ThePreparation of Heterogeneous Catalyst. Catalysis Today. 77: 299-314.
Campbell, I.M. 1988. Catalyst at Surface. Chapman and Hall. New York.1-3.
Carlson. T , T.Vispute, G. Huber. 2008. Green Gasoline by Catalytic FastPyrolysis of Solid Biomass Derived Compounds.ChemicalSustainableChemistry. 1: 37–40.
Cheng H,WangH.,Liang L.,Zhou L.,andDong Q. 2008. Facile synthesisof
La2Mo2O9NanoparticlesViaan EDTAComplexing Approach.Rare Metals.
27:340-344.
DayRA, andUnderwood AL. 2002.AnalisisKimiaKuantitatif.Erlangga.Jakarta.396-404.
Delfinas, V. 2014. Studi Pelapisan Nanokristal TiO2-SiO2/ Kitosan pada KatunTekstil dan Aplikasinya sebagai Senyawa Anti Bakteri Staphylococcusaureus.Skripsi. Universitas Andalas Padang. Sumatera Barat. 33- 46.
Deraz, N. M., M. M. Selim, and M. Ramadan. 2009. Processing and Properties ofNanocrystalline Ni and NiO Catalysts. Materials Chemistry and Physics.113:269–275.
67
Deremince, V. Mathieu, J.B. Nagy dan J.J. Verbist. 1998. Structure and CatalyticActivity of Mixed Oxides of Perovskite Structure. Catalysis andAutomotive Pollution Control III. 96: 393-404.
Erika, C. 2013. Ekstraksi Pektin dari Kulit Kakao (Theobroma cacao l.)menggunakan Amonium Oksalat.Journal Teknologi dan Industri PertanianIndonesia. 5:1-5.
Farobie, O. 2006. Pembuatan dan Pencirian Pektin Asetat. Skripsi. IPB. Bogor.1-3.
Fessenden, R.J. and J.S. Fessenden. 1986. Kimia Organik Dasar Edisi Ketiga.Jilid 1. Terjemahan oleh A.H. Pudjaatmaka. Erlangga. Jakarta. 409-411.
Fukuoka, A and Dhepe, P.L. 2006. Catalytic Conversion of Cellulose into SugarAlcohols. Angewandte Chemie. 45:5161-5163.
Fukuoka, A., H.Kobayashi,Y.Ito, T. Komanoya,Y. Hosaka, P.L. Dhepe,K.Kasai and K.Hara. 2011. Synthesis of SugarAlcohols byHydrolyticHydrogenation of Cellulose OverSupported Metal Catalysts. GreenChemistry.13:326-333.
Fransisca, N. 2011. Konversi Glukosa dengan Katalis Co3O4/NiFe2O4yangDipreparasi Melelui Sol-gel.Skripsi. Fakultas Matematika dan IlmuPengetahuan Alam, Universitas Lampung. Bandar Lampung. 53-68.
Garrow, J. S. And James, W.P.T. 1993. Human Nutrition and Dietetics. 9th
Edition. Longman Singapore. Singapore.570.
Goldberg, I.1994. Functional Foods. Chapmann. New York.37-219.
Hendayana S, Kadarohman A, Sumarna A. A, Supriatna A. 1994. KimiaAnalitikInstrumen. IKIPSemarangPress.Semarang. 187-203.
Han, Y., J. Zhang.,andX.Liu. 2014. Molybdenum-ContainingAcidicCatalyststo Convert Cellulosic Biomass to GlycolicAcid.United States Patent, US8,846,974 B2.
Hansen, T. S., A. Boisen, J. M. Woodley, S. Pedersen and A. Riisager. 2006.Production of HMF from Aqueous Fructose– A Microwave Study.https://www.researchgate.net/publication/266359321.
68
Harahap, Y. 2012. Preparasi dan Karakterisasi Nanopartikel Kitosan denganVariasi Asam. Skripsi. Fakultas Teknik Kimia, Universitas Indonesia. Jakarta.28.
Herbert W.; Cavaille J. Y.; Dufresne A. 1996.Thermoplastic NanocompositesFilled with Wheat Starw Cellulose Whiskers. Part 1: Processing andMechanical behavior.Polymers Composite. 17:604-611.
Huber,G. W., S. Iborra, A. Corma, 2006. Synthesis of Transportation Fuels fromBiomass Chemistry Catalysts and Engineering. Chemical Reviews.106:4044-4098.
Irusta, S; M. P. Pinna, M. Menendes & J. Santamaria. 1998. Catalytic Combustionof Volatil Compounds Over La-Based Perovskites. Journal of Catalysis.179: 400-412.
Isdin, O.2010.Nanoscienceinnature: Cellulose Nanocrystals.Study UndergraduateReseachers at Guelph. 3.
Ismunandar. 2006. Padatan Oksida Logam: Struktur, Sintesis dan Sifat-Sifatnya.Penerbit ITB. Bandung.8-23.
Israel, E Wachs. 1995. Infrared Spectroscopy of Supported Metal Oxide Catalysts.Physicochemical and Engineering Aspects. 105:143-149.
Jie, Wei, Li Yubao. 2003. Tissue Engineering Scaffold Material of Nano-ApatiteCrystals and Polyamide Composite. European Polymer Journal. 40: 509-515.
Kahar, L. N. A. 2015. Studi Pendahuluan Konversi Selulosa Mnjadi Gula AlkoholMenggunakan Nanokatalis LaCrO3. Skripsi. Fakultas Matematika dan IlmuPengetahuan Alam, Universitas Lampung. Bandar Lampung. 57-61.
Kanade, K.G., Kale, B.B., Aiyer, R.C., Das, B.K. 2005. Effect of Solvents on TheSynthesis of Nano-Size Zinc Oxide and Its Properties. Materials ResearchBulletin. 41:590-600.
Labconco. 1996. Manual Book of Freeze Dry. USA.1–2.
Lee, H. and J. W. Han. 2012. Direct Conversion of Cellulose intoSorbitolusing Dual-FunctionalizedCatalyst inNeutralAqueousSolution.Catalysis Communications.19: 115-118.
69
Linsebigler A.L. 1995. Photocatalysis on TiO2 surfaces : Principles, Mechanism,and Selected Results. Chemical Reviews. 95: 735-758.
Li-Yun C., Chuan-bo Z., Jiang-feng H., 2005. Influence of Temperature, [Ca2+]Ca/P Ratio and Ultrasonic Power on The Crystalinity and Morphology ofHydroxyapatite Nanoparticles Prepared with a Novel Precipitation Method.Material Letters. 59: 1902-1906.
Ioelovich, M. 2012. Optimal Conditions for Isolation of Nanocrystalline CelluloseParticles.Nanoscience and Nanotechnology. 2: 9-13.
Lu, Q., Ye, X. N., Zhang, Z. B., Dong, C. Q., and Zhang, Y. 2014. Catalyst FastPyrolysis of Cellulose Biomass to Produce Levo-Glucocenone UsingMagnetic SO4
2- / TiO2 – Fe3O4 . Bioresource Technology. 171: 10-15.
Marhusari, R. 2009. Bentonit Terpilar TiO2 sebagai Katalis Sembuatan Hidrogendalam Pelarut Air pada Hidrogenasi Glukosa menjadi Sorbitol dengankatalis Nikel.Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan. 5-9.
Mathur, N.K and V. Mathur. 2001. Chemical Weekly. July Edition. 155.
May, C. D. 1990. Industrial Pectins: Sources, Production andApplication.Carbohydrate Polymers. 12: 79-84.
Mohanraj, V.J. and Y. Chen. 2006. Nanoparticles a Review. Tropical journal ofPharmaceutical Research. 5: 561-573.
Mota, N., Alvarez- Galvan, C., Navarro, R.M., and Fierro, J. L. G. 2011. Biogasas Source of Renewable Syngas Production : Advances andChallenges.Biofuels.2: 325-343.
Nasikin, M. dan Susanto, B.2010.Katalis Heterogen.UI Press. Jakarta. 12-52.
Palkovits, R., K. Tajvidi,A. Ruppert and J. Procelewska. 2011. HeteropolyAcidsas EfficientAcid Catalysts in TheOne-Step Conversion Cellulose to SugarAlcohols. ChemicalCommunications.47: 576-578.
Parry, E. P. 1963. An Infrared Study of Pyridine Adsorbed on Acidic SolidsCharacterization of Surface Acidity. Journal ofCatalysis. 2: 371-379.
Perego, C., P. Villa. 1997. Catalyst Preparation Methods. CatalysisToday.34:281-305.
70
Poinern, G.E., Brundavanam R.K., Mondinos N., Jiang Z., 2009. Synthesis andCharacterization of Nanohydroxy Apatite Using an Ultrasound AssistedMethod. Ultrasonics Sonochemistry. 16: 469-474.
Putera, D.D. 2008. Sintesis Fotokatalisis CuO/ZnO untuk Konversi MetanolMenjadi Hidrogen. Skripsi. Program Studi Kimia Fakultas Matematika danIlmu Pengetahuan Alam, Institut Teknologi Bandung. Bandung. 9-10.
Puttipat, N., Payormhorm, J., Chiarakorn, S., Laosiripojana, N., and Chuangchote,S. 2014. Conversion of Sugar to Organic Acids Using TiO2PhotocatalystsSynthesized by Hydrotermal Process. 3rd International Conference onEnvironment Energy and Biotechnology, IPCBEE.70: 119-122.
Putz, H., Schon, J. C., and Jansen, M. 2001.Combined Method for ab InitioStructure Solution from Powder Diffraction Data.Journal of AppliedCrystallography. 32: 864-870.
Qodri, A. A. 2011. Fotodegradasi Zat Warna Remazol YellowFG denganFotokatalis Komposit TiO2/SiO2. Skripsi. Universitas Sebelas Maret.Surakarta. 7-8.
Rahaman, M.N. 1995. Ceramics Pressing and Sintering. Departement ofCeramics Engineering University of Missouri-Rolla Missouri. Columbia.214-219.
Rawle,A. 2010. Basic Principles of Particle Size Analysis. Technical paper ofMalvern Instruments. Worcestershire, United Kingdom. 2-9.
Rawle, A. 2012. A Basic Guide to Particle Characterization. Malvern InstrumentLimited. Malaysia. 1-8.
Richardson, T. James. 1989. Principles of Catalyst Development. Plenum Press.New York and London. 171.
Rodiansono, W dan Triyono. 2007. Pembuatan, Karakterisasi dan Uji AktifitasKatalis NiMo/Z dan NiMo/Z-Nb2O5 pada Reaksi Hidrorengkah FraksiSampah Plastik Menjadi Fraksi Bensin. BerkalaMIPA. 17: 44-54.
R. Rinaldi., N. Meine, J. Stein, R. Palkovits, F. Schüth, 2010. Which Controls theDepolymerization of Cellulose in Ionic Liquids: The Solid Acid Catalyst orCellulose.Chemical Sustainable Chemistry. 3: 266-276.
Ryczkowski, J. 2001. IR Spectroscopy in Catalysis. Catalysis Today. 68: 263-381.
71
Sietsma, J. R. A., J. D. Meeldijk, J. P. den Breejen, M. Versluijs-Helder, A. J. vanDillen, P. E. de Jongh, and K. P. de Jong. 2007. The Preparation ofSupported NiO and Co3O4 Nanoparticles by the Nitric Oxide ControlledThermal Decomposition of Nitrates. Angewandte Chemie.46: 4547-4549.
Skoog, D.A and J. J. Leary. 1996. Fundamentals of Analytical Chemistry7th
edition. Saunders College Publishing. USA. 44.
Soderlind, F. 2008. Colloidal Synthesis of Metal Oxide Nanocrystals and ThinFilms. Dissertation. Linkoping. Sweden. Linkoping University. 30.
Soesilo, Diana, Rinna Erlyawati Santoso, Indeswati Diyatri. 2005. PerananSorbitol dalam Mempertahankan Kestabilan pH Saliva pada ProsesPencegahan Karies.Fakultas Kedokteran Gigi. Universitas Airlangga.Surabaya. 46-58.
Sopyan, I., Winarto, D. A. and Sukartini. 1997. Pembuatan Bahan KeramikMelalui Teknologi Sol Gel. Bidang Pengembangan TeknologiBPPT. 137-143.
Sorensen, T. H., Cruys-Bagger, N., Borch, K., and Westh, P. 2015. Free EnergyDiagram for the Heterogeneous Enzymatic Hydrolysis of Glycosidic Bondsin Cellulose. Journalof Biological chemistry. 290: 22203-22211.
Sukmawibowo. 2010. Preparasi dan KarakterisasiKatalis Fe2O3untuk ReaksiHidrogenasiKatalitik CO2. Skripsi. Universitas Lampung.Lampung. 40-45.
Tanabe, K., 1981. Solid Acid andBaseCatalyst in Catalysis Science andTechnology. Springer-Link. Berlin. 231-273.
Towle, G. A. and O. Christensen. 1973. Pectin in R.L Whistler (ed.). IndustrialGum. Academic Press. New York.429.
Widegren, J., R.Finke and J. Mol. 2003. Preparation of A Multifunctional Core-Shell Nanocatalyst and Its Characterization. Journal Of Molecular CatalysisA: Chemical. 191: 187.
Widiarto, S., Yuwono, S.D., Rochliadi., Arcana, IM. 2017. Preparation andCharacterization of Cellulose and Nanocellulose from Argo-industrialWaste- Cassava Peel. IOP Conference. Series: Materials Science andEngineering. 176: 1-6.
Xiang, Qian. 2003. Heterogeous Aspects of Acid Hydrolysis of α-Cellulose.Applied Biochemistry and Biotechnology.107: 1-3.
72
Ye, L. M., Duan, X. P., Lin, H. Q., and Yuan, Y. Z. 2012. Improved Performanceof Magnetically Recoverable Ce-Promoted Ni/ Al2O3 Catalyst for Aqueous-Phase Hydrogenolysis of Sorbitol to Glycol.Catalysis Today.183: 65-71.
Yujaroen P, Supjaroenkul U, Rungrodnimitchai S. 2008. Extraction of PectinFrom Sugar Palm Meat. Thammasat International Journal of Science andTechnology. 13: 44-47.
Zhang, G., Ni, C., Huang, X., Welgamage, A., Lawton, L. A., Robertson, Peter,K. J., and Irvine, John, T. S. 2016. Simultaneous Cellulose Conversion andHydrogen Production Assisted by Cellulose Decomposition Under UVLight Photocatalysts. Chemical Communications. 52: 1673-1676.
Zhang, J., S. Wu and Y. Liu. 2014. DirectConversion of Cellulose intoSorbitol OveraMagnetic Catalyst inAn ExtremelyLow ConcentrationAcid System. Energy Fuels. 28: 4242– 4246.
Zhang, T.,Ding N. L., Wang Q., Zheng. M. Y.2010. Selective Transformation ofCellulose into Sorbitol by Using a BifunctionalNickelPhosphide.ChemicalSustainable Chemistry. 3: 818-821.
Zhang, Z. H., Zhao, Z. K. 2009. Solid acid and microwave-assisted hydrolysis ofcellulose in ionic liquid.Carbohydrate Research. 344: 2069-2072.
top related